Anda di halaman 1dari 30

JOURNAL READING

A RANDOMIZED, DOUBLE-BLIND, PLACEBO-CONTROLLED


TRIAL ON THE EFFECT OF INTRANASAL CORTICOSTEROID AS
A TREATMENT FOR MODERATE TO SEVERE OBSTRUCTIVE
SLEEP APNEA WITH COEXISTING CHRONIC RHINITIS

Present By :
dr. Raymond
Rheza S922308004

Consultant :
dr. Niken Dyah Aryani Kuncorowati, Sp. THT-KL., M.Kes

DEPARTMENT EAR, NOSE AND THROAT- HEAD AND NECK SURGERY


FACULTY OF MEDICINE SEBELAS MARET
UNIVERSITY Dr. MOEWARDI HOSPITAL
SURAKARTA 2024
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Journal Reading dengan judul:

A Randomized, Double-blind, Placebo-controlled Trial on the Effect of


Intranasal Corticosteroid as a Treatment for Moderate to Severe
Obstructive Sleep Apnea with Coexisting Chronic Rhinitis

Oleh
dr. Raymond
Rheza S922308004

Pada Hari/Tanggal :
Tempat : Ruang Sidang II KSM THT-KL Gd. Anggrek Lt. 5
RSDM

Mengetahui
Pembimbing
dr. Niken Dyah Aryani Kuncorowati, Sp. THT-KL., M.Kes
NIP. 1983041620160101 ( )

Evaluator
Dr. dr. Dewi Pratiwi, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp. Oto.(K), M.Kes ( )
NIP. 198105152015042002
dr. Ahmad Nurdiansyah Sp.T.H.T.B.K.L ( )
Penguji

Dr. dr. Made Setiamika, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp. Onko. (K), FICS ( )


NIP. 195507271983121002

Dr. dr. S. Hendradewi, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp. Rhino.(K) M.Si.Med ( )


NIP. 196511212010012001

Dr. dr. Hadi Sudrajad, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp.Oto(K)M.Si, M.Ed ( )


NIP. 196604222000121001

dr. Putu Wijaya K, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp. BE.(K) ( )


NIP. 197806202011011004

dr. Lenny Aprilia, Sp.T.H.T.B.K.L ( )


NIP. 197604052006042020

dr. Aziza Viquisa BP, Sp. T.H.T.B.K.L ( )

dr. Antonius Christanto, Sp.T.H.T.B.K.L, M.Kes ( )

dr. Marisa Rizqiana Dewi, Sp. T.H.T.B.K.L ( )


UJI COBA ACAK, DOUBLE-BLIND, PLACEBO-CONTROLLED TRIAL
TENTANG EFEK KORTIKOSTEROID INTRANASAL SEBAGAI
PENGOBATAN UNTUK OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SEDANG
HINGGA BERAT DENGAN RHINITIS KRONIS YANG TERJADI
BERSAMAAN

Vorakamol Phoophiboon,1,2 Kiat Ruxrungtham,3,4 Dittapol Muntham,5 Naricha


Chirakalwasan1,2

1 Divisi Kedokteran Paru dan Perawatan Kritis, Departemen Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand
2 Pusat Keunggulan untuk Gangguan Tidur, Rumah Sakit Memorial King Chulalongkorn,
Masyarakat Palang Merah Thailand, Bangkok, Thailand
3 Divisi Alergi dan Imunologi Klinis, Departemen Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas
Chulalongkorn, Bangkok, Thailand
4 Chula VRC, Fakultas Kedokteran, Universitas Chulalongkorn
5 Bagian Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Teknologi Raja-Mangala
Suvarnabhumi, Phranakhon Si Ayutthaya, Thailand

Abstrak
Tujuan: Penelitian ini menilai efikasi steroid intranasal pada OSA sedang hingga berat
yang disertai dengan rhinitis kronis.
Metode: Sebuah uji coba prospektif acak, double-blind, terkontrol plasebo dilakukan
pada pasien obesitas derajat 2 hingga 3, obstruksi orofaring tidak parah, OSA sedang
hingga berat dengan rhinitis kronik yang terjadi bersamaan (Total Nasal Symtom Score
(TNSS) ≥ 6, IMT < 30 kg/m2, Mallampati yang dimodifikasi < 3). Penelitian ini
mengacak pasien untuk menerima steroid intranasal (fluticasone furoate, 110 mcg/hari)
atau plasebo selama satu bulan. Titik akhir utama adalah perubahan indeks apnea
hipopnea (AHI).
Hasil: Sebanyak 34 pasien secara acak dipilih untuk menerima steroid intranasal (N =
18) atau plasebo (N = 16). Perbedaan absolut yang disesuaikan berarti perubahan rata-
rata AHI tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (11,5 ± 7,9 kejadian/jam [95%
CI;-4,9 hingga 27,8; p = 0,16]). Menariknya, penurunan yang signifikan pada indeks
gangguan pernapasan non supine (RDI) (56,1 ± 21,9 kejadian/jam [95% CI; 18,9
hingga 93,2; p = 0,01]) diamati pada kelompok steroid intranasal. Ketika perbandingan
dibuat dalam kelompok, hanya kelompok steroid intranasal yang menunjukkan
penurunan yang signifikan pada AHI, RDI, NREM RDI, TNSS, dan indeks kualitas
tidur Pittsburgh Thailand (p = 0,02, 0,02, 0,01, 0,003, dan <0,001; masing-masing)
setelah menerima obat.
Kesimpulan: Pada pasien OSA sedang hingga berat dengan rhinitis kronis yang terjadi
bersamaan, steroid intranasal menunjukkan penurunan yang signifikan pada kejadian
pernapasan obstruktif selama tidur terlentang. Steroid intranasal dapat dipertimbangkan
sebagai tambahan atau alternatif untuk pengobatan OSA.
Kata kunci: obstructive sleep apnea, rhinitis kronis, kortikosteroid intranasal, terapi
posisi, alat oral
1. Pendahuluan
Rhinitis kronis (rhinitis alergi dan non-alergi) dan obstructive sleep apnea
(OSA) merupakan penyakit yang umumnya diamati dengan prevalensi yang
meningkat. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa hidung
tersumbat berhubungan dengan peningkatan 1,8 kali lipat dalam risiko
pengembangan OSA sedang hingga berat. Sebaliknya, Houser SM et al., telah
menunjukkan bahwa pasien OSA memiliki hidung tersumbat yang secara
signifikan lebih tinggi daripada pasien non-OSA yang ditunjukkan dengan
pengukuran rinometri akustik. Pernapasan mulut yang berkepanjangan yang
berhubungan dengan hidung tersumbat secara mekanis terkait dengan
peningkatan resistensi aliran udara karena pengurangan diameter faring akibat
pergeseran rahang bawah yang meningkatkan risiko OSA.
Pedoman Praktik Klinis American Academy of Sleep Medicine yang
diterbitkan pada tahun 2019 merekomendasikan penggunaan continuous
positive airway pressure (CPAP) sebagai modalitas pengobatan utama untuk
OSA terutama dengan kantuk di siang hari yang berlebihan atau gangguan
kualitas hidup yang berhubungan dengan tidur. Namun, kepatuhan
penggunaan CPAP tidak dapat diprediksi, terutama dalam aspek jangka
panjang. Beberapa penelitian telah melaporkan efek positif steroid intranasal
dalam mengurangi gejala rhinitis alergi dan non- alergi serta melemahkan
respons imun di saluran napas bagian atas. Assanasen et al., melaporkan
84,3% prevalensi rhinitis alergi kronis yang hidup berdampingan dengan
OSA sehingga meningkatkan pentingnya mengatasi rinitis alergi di antara
pasien OSA.
Menurut artikel ulasan oleh Chirakalwasan et al., dari lima penelitian
tentang efek steroid intranasal pada hasil OSA, hanya dua penelitian pada
orang dewasa yang menunjukkan penurunan yang signifikan pada AHI.
Namun, kedua penelitian tersebut dilakukan pada populasi obesitas derajat 1
dan 3 dan campuran antara mendengkur primer dan OSA.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efekasi steroid intranasal
selama 1 bulan pada obesitas derajat 2 hingga 3 berdasarkan klasifikasi ASIA,
obstruksi orofaringeal dengan OSA derajat sedang sampai berat. Prevalensi
OSA non-obes tinggi di antara orang Asia dan OSA sedang hingga berat saat
ini merupakan kelompok rentan yang pengobatannya secara umum
direkomendasikan. Oleh karena itu, tujuan lain dari penelitian ini adalah
untuk mempelajari kemanjuran steroid intranasal pada pasien OSA feno-tipik
khas Asia ini dengan rhinitis kronik yang hidup berdampingan.

2. Metode
Peserta
Penelitian prospektif ini dilakukan antara Juni 2018 hingga Februari 2019
atas persetujuan dari Dewan Peninjau Institusi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand. Percobaan acak (blok
permutasi ukuran 4), double-blind, terkontrol placebo dilakukan pada pasien
OSA sedang hingga berat dengan rhinitis kronis yang terjadi bersamaan yang
diindikasikan dengan total nasal symptom score (TNSS) ≥ 6, tidak mengalami
obesitas derajat 2 hingga 3 (BMI <30 kg/m2) dan obstruksi orofaring tidak
parah (Mallampati yang dimodifikasi <3). Pembuatan urutan alokasi
dilakukan oleh program yang dihasilkan komputer dan dimasukkan ke dalam
satu set amplop tertutup oleh peneliti non-percobaan yang juga
menyiapkan concealed nasal spray.

Polisomnografi split-night digunakan untuk diagnosis OSA. Pasien


diikutsertakan jika tingkat keparahan OSA setidaknya berada pada tingkat
sedang yang ditunjukkan oleh indeks apnea hypopnea (AHI) dengan 15
kejadian per jam selama diagnostik split-night. Selain itu, titrasi CPAP dari
penelitian ini diperlukan untuk mencapai kualitas titrasi yang optimal dengan
tekanan yang direkomendasikan terkait dengan respiratory disturbance index
(RDI) kurang dari 5 kejadian per jam dan diuji setidaknya selama 15 menit
termasuk tidur terlentang.

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah adanya hipertensi yang tidak
terkontrol atau resisten, penyakut kardiovaskular atau serebrovaskular yang
tidak terkontrol, penggunaan CPAP atau alat oral yang sedang berlangsung,
operasi saluran napas bagian atas atau hidung sebelumnya, penggunaan
steroid intranasal dalam 3 bulan terakhir, teknik penggunaan obat steroid
intranasal yang buruk, ketidakmampuan untuk menghentikan obat
antihistamin atau penghambat leukotrien 7 hari sebelum pendaftaran, atau
penyakit aktif yang dapat mengubah hasil polisomnografi. Inform consent
dilakukan pada semua peserta.
Protokol penelitian
Polisomnografi split night meliputi electroencephalography (EEG),
electrocardiogram (EKG), electrooculography (EOG), electromyography
(EMG), pemantauan saturasi oksigen, pengukuran aliran udara, dan
pengukuran upaya nafas. Pertama, penelitian ini dilakukan sebagai diagnostic
dan kedua, dilakukan sebagai titrasi CPAP. Panduan American Academy of
Sleep Medicine (AASM) untuk penilaian tidur dan terkait kejadian 2016
digunakan untuk penilaian tahap tidur dan pernapasan. Selama
polisomnografi split- night, parameter tidur dianalisis termasuk respiratory
disturbance index (RDI), RDI terlentang, RDI tidak terlentang, RDI gerakan
mata cepat (REM RDI), RDI non-REM (NREM RDI), indeks oksigen, total
waktu tidur, efisiensi tidur, bangun setelah onset tidur (WASO), latensi tidur,
latensi REM, persentase waktu yang dihabiskan di tahap NREM 1-3 dan
tahap REM, indeks gairah, serta tekanan optimal dan tekanan yang
direkomendasikan CPAP. Kuesioner termasuk TNSS, skala kantuk Epworth
(ESS) versi Thailand untuk penilaian kantuk di siang hari, dan indeks kualitas
tidur Pittsburgh (PSQI) versi Thailand untuk penilaian kualitas tidur juga
telah diselesaikan. TNSS adalah jumlah skor gejala nasal individu
berdasarkan tingkat gangguan kualitas hidup yang dinilai secara subyektif
pada skala Likert 4 poin (0 = tidak ada gangguan, 1 = gangguan ringan, 2 =
gangguan sedang, 3 = gangguan berat). Semua pasien yang terdaftar tidak
menjalani skin prick test dan rhinomanometri akustik untuk evaluasi volume
hidung (rata-rata rongga hidung kiri dan kanan) sebagai informasi awal.
Pasien kemudian di-randomisasi menggunakan blok 4 untuk menerima
steroid intranasal (flutikason furoat, 110 mcg/hari dan eksipien: glukosa
anhidrat, selulosa terdispersi, polisorbat 80, benzalkonium klorida, disodium
edetat, dan air murni) atau placebo (eksipien yang sama tanpa flutikason
furoat) satu kali sehari pada pagi hari selama satu bulan. Telepon mingguan
dari peneliti dilakukan untuk memastikan kepatuhan minum obat dan
mengevaluasi efek samping obat. Setelah satu bulan, polisomnografi split-
night dan kuesioner TNSS, ESS, PSQI, serta rhinomanometri akustik diulang.

Analisis Statik
Data disajikan sebagai rata-rata ± standar deviasi, median (rentang
interkuartil) dan frekuensi (%) untuk menggambarkan karakteristik dasar.
Variabel kontinu dievaluasi dengan uji T atau uji Mann-Whitney U. Variabel
kategorik dibandingkan dengan menggunakan uji chi-square atau uji eksak
Fisher. Analisis regresi linier digunakan untuk perhitungan hubungan.
Penelitian ini menggunakan ANOVA berulang untuk perbandingan statistik
dalam kelompok. Lima belas kejadian per jam perbedaan dalam AHI dihitung
untuk estimasi ukuran sampel dengan kekuatan 80%. Uji signifikansi
dilakukan dua sisi, dengan nilai alfa 0,05. Semua analisis dilakukan dengan
menggunakan STATA versi 12 (Stata-Corp LLC, College station, Texas,
Amerika Serikat).

Ukuran Sampel
Ukuran sampel diperkirakan berdasarkan studi terbaru oleh Acar et al.,
sebanyak 34 pasien diperlukan berdasarkan kesalahan tipe satu, kekuatan tes,
rasio intervensi per kontrol, dan perkiraan tingkat drop-out masing-masing
sebesar 5%, 80%, 1:1, 20%.

3. Hasil
Penelitian yang dilakukan dari bulan Juni 2018 hingga Januari 2019 ini
melibatkan 819 pasien yang di diagnosis OSA sedang hingga berat yang
dinilai kelayakannya. Terdapat 785 pasien tidak diikutsertakan karena tidak
memenuhi kriteria. Sebanyak 34 pasien terdaftar dan mengikuti prosedur
pengacakan, 18 pasien penerima steroid intranasal dan 16 pasien penerima
placebo. Didapatkan 1 dari 18 pasien (5,6%) pada kelompok steroid
intranasal drop-out karena infeksi aktif saat dilakukan polisomnografi
berulang. Lalu, 1 dari 16 pasien (6,3%) pada kelompok kontrol juga drop-out
karena menjalani operasi hidung selama penelitian berlangsung. Kepatuhan
penggunaan steroid intranasal dan placebo adalah 100% berdasarkan
pemeriksaan telepon mingguan dan pencatatan selama penelitian.
Pada Tabel 1, karakteristik polisomnografi awal menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara kelompok steroid intranasal dan plasebo
Tabel 1. Karakteristik awal, pola tidur, dan kuisioner kelompok steroid
intranasal dan placebo

Usia rata-rata keseluruhan pasien adalah 45,2 tahun, 50% laki- laki, dan
tingkat BMI rata-rata 25,6 kg/m2. Tes tusuk kulit positif pada 53% pasien (11
dari 17 (64,7%) pada kelompok steroid intranasal dan 6 dari 15 (40%) pada
kelompok plasebo). Rata-rata total AHI secara keseluruhan adalah 41,9
kejadian/jam, saturasi oksigen rata-rata adalah 95%, dan rasio oksigen nadir
adalah 83,4%. Nilai awal TNSS, ESS versi Thailand, PSQI versi Thailand
masing-masing adalah 10,5, 10,5, 8,3.
Gambar 1. Alokasi dan pengacakan

Gambar 2. Perbandingan perbedaan rata-rata indeks apnea total (AHI)


antara kelompok placebo dan kelompok steroid intranasal

Hasil penelitian ini disesuaikan dengan variabel dalam model regresi


linier termasuk usia, jenis kelamin, BMI, TNSS, dan volume hidung kiri dan
kanan. Untuk hasil utama, perubahan perbedaan absolute yang disesuaikan
dari AHI tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara dua kelompok
meskipun lebih banyak penurunan yang diamati pada kelompok steroid
intranasal dibandingkan dengan kelompok placebo (11,5 ± 7,9 kejadian/ jam
[95% CI; -4,9 hingga 27,8; p=0,16]).
Penurunan yang signifikan dalam RDI non-supine diamati (56,1 ± 21,9
kejadian / jam [95% CI; 18,9 hingga 93,2; p = 0,01]). Ada juga
kecenderungan penurunan yang signifikan pada WASO (15,3± 8,2 menit
[95% CI; -1,7 hingga 32,2; p = 0,08]) pada kelompok steroid intranasal
dibandingkan dengan kelompok placebo.

Pada Tabel 2, Skor Pittsburgh sleep quality index (PSQI) tidak berkurang
secara signifikan pada kelompok steroid intranasal dibandingkan dengan
kelompok plasebo (1,3 [95% CI; -0,2 hingga 2,8; p = 0,09])

Tabel 2. Perubahan rata-rata pada hasil sekunder (sebelum dan sesudah)


kelompok steroid intranasal dan plasebo
Pada Gambar 3, ketika dilakukan perbandingan dalam kelompok,
kelompok steroid intranasal menunjukkan penurunan yang signifikan pada
AHI.

Gambar 3.
A) Perubahan sebelum dan sesudah pengobatan pada indeks apnea
hypopnea (AHI) pada kelompok placebo dan kelompok steroid intranasal
B) Perubahan persen sebelum dan sesudah pengobatan dalam indeks
hypopnea (AHI) ([sebelum – sesudah pengobatan]/sebelum
pengobatan)*100) pada kelompok placebo dan kelompok steroid
intranasal

Pada Gambar 4, RDI, NREM RDI, TNSS, dan PSQI Thailand meningkat
secara signifikan setelah 4 minggu penggunaan steroid intranasal (p = 0,02,
0,02, 0,01, 0,003, dan <0,001; masing-masing). Dimana tidak ada satupun
parameter yang terbukti pada kelompok placebo. Selain itu, dua puluh persen
dari pasien dalam kelompok steroid intranasal diamati memiliki AHI pasca
perawatan kurang dari 15 kejadian per jam. Tak satu pun dari parameter ini
dalam kelompok plasebo mencapai pengurangan ini. Sebanyak 3 pasien tidak
mengalami obesitas, OSA sedang hingga berat, fenotipe OSA yang umum
diamati di antara orang Asia. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa steroid
intranasal secara signifikan mengurangi RDI selama posisi tidak terlentang
dibandingkan dengan plasebo.
Gambar 4. Perubahan sebelum dan sesudah pengobatan dengan steroid
intranasal selama 1 bulan

A : respiratory disturbance index (p=0,02)

B : NREM RDI (p=0,01)

C : total nasal symptom score (TNSS) (p=0,003)

D : indeks kualitas tidur Pittsburgh Thailand (Thai PSQI) (p<0,001)

4. Diskusi
Obstructive sleep apnea (OSA) adalah gangguan yang ditandai dengan
episode obstruksi saluran napas bagian atas yang berulang saat tidur.
Patofisiologi utama OSA pada populasi Asia adalah gangguan pada struktur
kraniofasial dan saluran napas bagian atas, bahkan lebih dari indeks massa
tubuh (IMT). Meskipun, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa steroid
intranasal meningkatkan OSA yang ditunjukkan dengan penurunan AHI yang
signifikan, namun tidak ada yang dilakukan pada tingkat keparahan penyakit
tertentu atau karakteristik OSA.

Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengevaluasi efek


steroid intranasal pada OSA derajat 2 hingga 3 yang tidak mengalami
obesitas, OSA sedang hingga berat, fenotipe OSA yang umum pada orang
Asia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa steroid intranasal secara
signifikan mengurangi RDI selama posisi tidak telentang dibandingkan
dengan placebo.

OSA posisional digambarkan sebagai bentuk OSA yang unik dimana


kejadian pernapasan mendominasi selama tidur telentang. Kriteria umum
yang digunakan untuk mendiagnosis OSA posisional adalah RDI terlentang
setidaknya dua kali lebih tinggi daripada RDI tidak terlentang. Ceviz-Ci R et
al., melaporkan hubungan antara sumbatan hidung dan OSA posisional vs
OSA non-posisional. Penelitian mereka menunjukkan bahwa sumbatan
hidung merupakan predisposisi OSA yang tidak posisional. Asumsinya
adalah bahwa sumbatan hidung yang serius dapat menyebabkan peningkatan
resistensi hidung atau kolapsnya faring sehingga perubahan posisi tidak
berpengaruh. Berdasarkan pemikiran ini, steroid intranasal yang mengurangi
sumbatan hidung secara teoritis akan memperbaiki sumbatan hidung, yang
pada gilirannya, meningkatkan ketergantungan posisi OSA.

Menurut parameter praktik American Academy of Sleep Medicine


(AASM), terapi posisional adalah sebuah metode yang membuat pasien tetap
dalam posisi tidak terlentang. Metode ini merupakan terapi sekunder atau
terapi tambahan yang efektif untuk OSA pada pasien yang memiliki RDI
yang rendah pada posisi tidak terlentang dibandingkan dengan posisi
terlentang. Tinjauan Cochrane baru-baru ini menunjukkan bahwa meskipun,
terapi posisi kurang efektif dibandingkan dengan CPAP dalam mengurangi
RDI secara keseluruhan, terapi posisi lebih efektif dibandingkan dengan
kontrol aktif. Selain itu, terapi posisi menunjukkan kepatuhan yang lebih baik
dibandingkan dengan CPAP dengan efektivitas yang sebanding dalam
kualitas hidup dan peningkatan fungsi kognitif.

Alat oral dalam bentuk mandibular advancement device (MAD) menjadi


pilihan pengobatan OSA lainnya. Direkomendasikan pada pasien dengan
OSA yang tidak toleran terhadap terapi CPAP atau lebih memilih terapi
alternatif. Faktanya, alat oral telah terbukti seefektif CPAP pada OSA
posisional. Selanjutnya, steroid intranasal yang mengurangi kejadian
pernapasan selama tidur terlentang seperti yang tunjukkan dalam penelitian
saat ini, secara teoritis dapat mengubah pasien dari OSA non-posisional
menjadi OSA posisional dan meningkatkan keberhasilan pengobatan
alternatif untuk CPAP. Teerapraipruk B et al., menunjukkan prevalensi OSA
posisional pada populasi Thailand mencapai 70%, dibandingkan dengan
prevalensi 55% pada populasi Cina. Penggunaan steroid intranasal pada
kelompok OSA posisional ini selanjutnya dapat mengurangi kejadian
pernapasan selama posisi tidak terlentang dan menjadi pengobatan tambahan
untuk terapi posisi atau alat oral. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan
bahwa steroid intranasal secara signifikan meningkatkan kualitas tidur
dibandingkan dengan plasebo. Peningkatan kualitas tidur dapat dijelaskan
dengan berkurangnya rinorea nokturnal dan kongesti serta berkurangnya
mediator inflamasi yang diketahui menyebabkan gangguan tidur seperti
histamin dan CysLTs. Pada penelitian ini, 20% pasien dalam kelompok
steroid intranasal (1 pada kelompok rinitis alergi dan 2 pada kelompok rinitis
non-alergi) mengalami penurunan tingkat keparahan OSA dari berat menjadi
ringan. Oleh karena itu, pengobatan lebih lanjut mungkin tidak diperlukan.
Kemungkinan karena ukuran sampel yang terbatas, tidak ada parameter yang
diidentifikasi untuk memprediksi keberhasilan steroid intranasal dalam
memperbaiki tingkat keparahan AHI atau OSA.

Penelitian ini memiliki kekuatan uji coba acak, double-blind, terkontrol


plasebo dengan pengukuran parameter tidur yang objektif melalui
polisomnografi laboratorium. Namun, penelitian ini kemungkinan besar
kurang kuat untuk mendeteksi perbedaan hasil sekunder atau untuk
mengidentifikasi prediktor keberhasilan steroid intranasal karena margin AHI
yang berbeda besar -15 kejadian per jam digunakan untuk perhitungan jumlah
sampel. Durasi satu bulan untuk penggunaan steroid intranasal didasarkan
pada durasi pengobatan minimal yang direkomendasikan untuk pengobatan
rinitis alergi. Namun, efek maksimal mungkin memerlukan durasi yang lebih
lama. Pada penelitian ini digunakan panggilan telepon mingguan untuk
pemantauan kepatuhan steroid intranasal yang mungkin tidak sepenuhnya
akurat. Penelitian di masa depan yang menggabungkan durasi steroid intra
nasal yang lebih lama dengan pemantauan kepatuhan yang objektif dan
ukuran sampel yang lebih besar akan membantu menjelaskan hasil yang
didapat pada penelitian ini.
5. Kesimpulan

Pada pasien OSA derajat 2 sampai 3 yang tidak mengalami obesitas,


obstruksi orofaring yang tidak parah, pasien OSA sedang sampai berat
dengan rinitis kronis yang terjadi bersamaan, steroid intranasal menunjukkan
penurunan yang signifikan pada kejadian pernafasan obstruktif saat tidur
terlentang. Peran potensial steroid intranasal dapat dipertimbangkan sebagai
tambahan untuk pengobatan OSA dengan terapi posisi atau alat oral atau
pengobatan alternatif untuk CPAP.
ANALYSIS

A. General Description
1. Design : Randomized control trial study
2. Subject : A total of 819 patients (785 were excluded, 416 TNSS
<6, 161 modified Mallampati 3-4, 57 BMI >30kg/m 2, 51 intranasal
steroid use, 55 age <18 or >65 years old, 23 current PAP use, 7 study
refusal, 10 non optimal PAP titration, 5 incomplete document). And than,
the result is 34 patient underwent randomization (18 were assigned to
receive intranasal steroid and 16 were assigned to receive placebo)
3. Title : The title is appropriate, direct, and explicit
4. Authors : Authors and their affiliations are written explicitly. The
corresponding author is written clearly at the first page of the journal
5. Abstract : The abstract contains all information needed and is written
clearly

B. VIA Analysis
1. Validity
The study employs standard and widely used assessment tools,
including the T-Test or Mann-Whitney U test, chi-square test or Fisher’s
exact test, linear regression analysis, and repeated with ANOVA,
enhancing the validity of the results. The study utilizes a pre treatment
and post treatment design, allowing for within-group comparisons and
analysis of changes over time.
2. Importance
The research addresses a clinically relevant question, investigating
the impact of efficacy of intranasal steroid in moderate to severe OSA
with coexisting chronic rhinitis. The study's focus on intranasal steroid
use for therapy OSA with coexisting chronic rhinitis, makes its findings
valuable for both clinicians and researchers in the field of otolaryngology
and related disciplines. The identification of differential effects on
intranasal steroid based on the OSA with coexisting chronic rhinitis
contributes to a nuanced understanding of the outcomes of intranasal
steroid use.
3. Applicability
The use of standardized questionnaires facilitates the applicability
of the findings to other clinical settings, allowing for comparisons and
generalization. Clinicians can use the findings to guide the management
of patients moderate to severe OSA with coexisting chronic rhinitis.

C. PICO Analysis
1. Population
Patients with non 2nd to 3rd degree obese,non-severe oropharyngeal
obstruction, moderate to severe OSA with coexisting chronic
rhinitis
2. Intervention
Intranasal corticosteroid is the intervention under investigation.
3. Comparison
The comparison is made between before and after intranasal corticosteroid use.
4. Outcome
The primary outcomes include efficacy of intranasal corticosteroid as
treatment for moderate to severe obstructive sleep apnea with coexisting
chronic rhinitis (measured by the T-Test or Mann-Whitney U Test, chi-
square or Fisher’s exact test, using linear regression for relationship
circulation, and applied repeated ANOVA for the statistical comparison
within group).

D. Level of Evidence
Level 1.c: Evidence from RCT (experimental studies)

E. Critical Appraisal
Question Yes No Unclear Not
Applicable
Was true randomization used for
assignment of participants to treatment
groups?

Was allocation to treatment groups
concealed?
Were treatment groups similar at the ✔
baseline?

Were participants blind to treatment ✔


assignment?
Were those delivering treatment blind ✔
to treatment assignment?
Were outcomes assessors blind to ✔
treatment assignment?


Were treatment groups treated
identically other than the intervention
of interest?
Was follow up complete and if not, ✔
were differences between groups in
terms of their follow up adequately
described and analyzed?
Were participants analyzed in the ✔
groups to which they were
randomized?
Were outcomes measured in the same ✔
way for treatment groups?

Were outcomes measured in a realiable
way?

Was apropriate statistical analysis
used?
REFERENCES

1. Fitzpatrick MF, Driver HS, Chatha N, Voduc N, Girard AM. Partitioning


of inhaled ventilation between the nasal and oral routes during sleep in
normal subjects. J Appl Physiol. 2003;94(3):883-90.
2. Young T, Finn L, Kim H. Nasal obstruction as a risk factor for sleep -
disordered breathing. The University of Wisconsin Sleep and Respiratory
Research Group. J Allergy Clin Immunol. 1997;99(2):S757-62.
3. McNicholas WT, Tarlo S, Cole P, Zamel N, Rutherford R, Griffin D, et al.
Obstructive apneas during sleep in patients with seasonal allergic rhinitis.
Am Rev Respir Dis. 1982;126(4):625-8.
4. Metes A, Ohki M, Cole P, Haight JS, Hoffstein V. Snoring, apnea and
nasal resistance in men and women. J Otolaryngol. 1991;20(1):57-61.
5. Houser SM, Mamikoglu B, Aquino BF, Moinuddin R, Corey JP. Acoustic
rhinometry findings in patients with mild sleep apnea. Otolaryngol Head
Neck Surg. 2002;126(5):475-80.
6. McNicholas WT, Coffey M, Boyle T. Effects of nasal airflow on breathing
during sleep in normal humans. Am Rev Respir Dis. 1993;147(3):620-3.
7. Patil SP, Ayappa IA, Caples SM. Treatment of adult obstructive sleep
apnea with positive airway pressure: an American Academy of Sleep
Medicine clinical practice guideline. J Clin Sleep Med. 2019;15(2):335–
43.
8. Krieger J, Kurtz D, Petiau C, Sforza E, Trautmann D. Long-Term
Compliance With CPAP Therapy in Obstructive Sleep. 1996;19(9 Suppl):
S136-43.
9. Kohler M, Smith D, Tippett V, Stradling JR. Predictors of long-term
compliance with continuous positive airway pressure. Thorax. 2010;65(9):
829.
10. Wolkove N, Baltzan M, Kamel H, Dabrusin R, Palayew M. Long-term
compliance with continuous positive airway pressure in patients with
obstructive sleep apnea. Can Respir J. 2008;15(7):365-9.
11. Craig TJ, McCann JL, Gurevich F, Davies MJ. The correlation between
allergic rhinitis and sleep disturbance. J Allergy Clin Immunol. 2004;
114(5 Suppl):S139-45.
12. Cevizci R, Kemaloðlu YK, Yýlmaz M, Düzlü M, Karamert R. Role of
nasal problems on positional and nonpositional obstructive sleep apnea.
Tr-ENT. 2016;26(4):219-24.
13. Acar M, Cingi C, Sakallioglu O, San T, Fatih Yimenicioglu M, Bal C. The
effects of mometasone furoate and desloratadine in obstructive sleep apnea
syndrome patients with allergic rhinitis. American journal of rhinology &
allergy. 2013;27(4):e113-6.
14. Kiely JL, Nolan P, McNicholas WT. Intranasal corticosteroid therapy for
obstructive sleep apnoea in patients with co-existing rhinitis. Thorax.
2004;59(1):50-5.
15. Assanasen P, Banhiran W, Kositchaiwat N, Bunnag C. Prevalence of
chronic rhinitis in Thai patients with obstructive sleep disordered
breathing. J Med Assoc Thai. 2013;96(9):1169-74.
16. Chirakalwasan N, Ruxrungtham K. The linkage of allergic rhinitis and
obstructive sleep apnea. Asian Pac J Allergy Immunol.2014.32:276-86.
17. Chirakalwasan N, Teerapraipruk B, Simon R, Hirunwiwatkul P,
Jaimchariyatam N, Desudchit T, et al. Comparison of Polysomnographic
and Clinical Presentations and Predictors for Cardiovascular-Related
Diseases between Non-Obese and Obese Obstructive Sleep Apnea among
Asians. J Clin Sleep Med. 2013; 9(6): 553-7.
18. Sleep Society of Thailand [Internet]. Bangkok: Clinical Recommendations
for Diagnosis and Management of Obstructive Sleep Apnea in Thailand
for adult; c2018 [cited 2018 May 1]. Available from: http://sst.or.th/sleep
19. Berry RB, Brooks R, Gamaldo C, Harding SM, Lloyd RM, Quan SF, et al.
AASM Scoring Manual Updates for 2017 (Version 2.4). J Clin Sleep Med.
2017;13(5):665-6.
20. Young T, Skatrud J, Peppard PE. Risk Factors for Obstructive Sleep
Apnea in Adults. JAMA. 2004;291(16):2013-6.
21. Dempsey JA, Skatrud JB, Jacques AJ, Ewanowski SJ, Woodson BT,
Hanson PR, et al. Anatomic determinants of sleep-disordered breathing
across the spectrum of clinical and nonclinical male subjects. Chest.
2002;122(3): 840-51.
22. Schwab RJ, Gupta KB, Gefter WB, Metzger LJ, Hoffman EA, Pack AI.
Upper airway and soft tissue anatomy in normal subjects and patients with
sleep-disordered breathing. Significance of the lateral pharyngeal walls.
Am J Respir Crit Care Med. 1995;152(5 Pt 1):1673-89.
23. Lee RW, Vasudavan S, Hui DS, Prvan T, Petocz P, Darendeliler MA, et
al. Differences in craniofacial structures and obesity in Caucasian and
Chinese patients with obstructive sleep apnea. Sleep. 2010;33(8):1075-80.
24. Morgenthaler TI, Kapen S, Lee-Chiong T, Alessi C, Boehlecke B, Brown
T, et al. Practice parameters for the medical therapy of obstructive sleep
apnea. Sleep. 2006;29(8):1031-5.
25. Srijithesh PR, Aghoram R, Goel A, Dhanya J. Positional therapy for
obstructive sleep apnoea. Cochrane Database Syst Rev. 2019;5:Cd010990.
26. Ramar K, Dort LC, Katz SG, Lettieri CJ, Harrod CG, Thomas SM, et al.
Clinical Practice Guideline for the Treatment of Obstructive Sleep Apnea
and Snoring with Oral Appliance Therapy: An Update for 2015. J Clin
Sleep Med. 2015;11(7):773-827.
27. Takaesu Y, Tsuiki S, Kobayashi M, Komada Y, Nakayama H, Inoue Y.
Mandibular Advancement Device as a Comparable Treatment to Nasal
Continuous Positive Airway Pressure for Positional Obstructive Sleep
Apnea. J Clin Sleep Med. 2016;12(8):1113-9.
28. Teerapraipruk B, Chirakalwasan N, Simon R, Hirunwiwatkul P,
Jaimchariyatam N, Desudchit T, et al. Clinical and polysomnographic data
of positional sleep apnea and its predictors. Sleep Breath. 2012;16(4):
1167-72.
29. Tran NP, Vickery J, Blaiss MS. Management of rhinitis: allergic and non -
allergic. Allergy Asthma Immunol Res. 2011;3(3):148-56.
30. Chong LY, Head K, Hopkins C, Philpott C, Burton MJ, Schilder AGM.
Different types of intranasal steroids for chronic rhinosinusitis. Cochrane
Database of Systematic Reviews. 2016;4:CD011993

Anda mungkin juga menyukai