Present By :
dr. Raymond
Rheza S922308004
Consultant :
dr. Niken Dyah Aryani Kuncorowati, Sp. THT-KL., M.Kes
Oleh
dr. Raymond
Rheza S922308004
Pada Hari/Tanggal :
Tempat : Ruang Sidang II KSM THT-KL Gd. Anggrek Lt. 5
RSDM
Mengetahui
Pembimbing
dr. Niken Dyah Aryani Kuncorowati, Sp. THT-KL., M.Kes
NIP. 1983041620160101 ( )
Evaluator
Dr. dr. Dewi Pratiwi, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp. Oto.(K), M.Kes ( )
NIP. 198105152015042002
dr. Ahmad Nurdiansyah Sp.T.H.T.B.K.L ( )
Penguji
1 Divisi Kedokteran Paru dan Perawatan Kritis, Departemen Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand
2 Pusat Keunggulan untuk Gangguan Tidur, Rumah Sakit Memorial King Chulalongkorn,
Masyarakat Palang Merah Thailand, Bangkok, Thailand
3 Divisi Alergi dan Imunologi Klinis, Departemen Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas
Chulalongkorn, Bangkok, Thailand
4 Chula VRC, Fakultas Kedokteran, Universitas Chulalongkorn
5 Bagian Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Teknologi Raja-Mangala
Suvarnabhumi, Phranakhon Si Ayutthaya, Thailand
Abstrak
Tujuan: Penelitian ini menilai efikasi steroid intranasal pada OSA sedang hingga berat
yang disertai dengan rhinitis kronis.
Metode: Sebuah uji coba prospektif acak, double-blind, terkontrol plasebo dilakukan
pada pasien obesitas derajat 2 hingga 3, obstruksi orofaring tidak parah, OSA sedang
hingga berat dengan rhinitis kronik yang terjadi bersamaan (Total Nasal Symtom Score
(TNSS) ≥ 6, IMT < 30 kg/m2, Mallampati yang dimodifikasi < 3). Penelitian ini
mengacak pasien untuk menerima steroid intranasal (fluticasone furoate, 110 mcg/hari)
atau plasebo selama satu bulan. Titik akhir utama adalah perubahan indeks apnea
hipopnea (AHI).
Hasil: Sebanyak 34 pasien secara acak dipilih untuk menerima steroid intranasal (N =
18) atau plasebo (N = 16). Perbedaan absolut yang disesuaikan berarti perubahan rata-
rata AHI tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (11,5 ± 7,9 kejadian/jam [95%
CI;-4,9 hingga 27,8; p = 0,16]). Menariknya, penurunan yang signifikan pada indeks
gangguan pernapasan non supine (RDI) (56,1 ± 21,9 kejadian/jam [95% CI; 18,9
hingga 93,2; p = 0,01]) diamati pada kelompok steroid intranasal. Ketika perbandingan
dibuat dalam kelompok, hanya kelompok steroid intranasal yang menunjukkan
penurunan yang signifikan pada AHI, RDI, NREM RDI, TNSS, dan indeks kualitas
tidur Pittsburgh Thailand (p = 0,02, 0,02, 0,01, 0,003, dan <0,001; masing-masing)
setelah menerima obat.
Kesimpulan: Pada pasien OSA sedang hingga berat dengan rhinitis kronis yang terjadi
bersamaan, steroid intranasal menunjukkan penurunan yang signifikan pada kejadian
pernapasan obstruktif selama tidur terlentang. Steroid intranasal dapat dipertimbangkan
sebagai tambahan atau alternatif untuk pengobatan OSA.
Kata kunci: obstructive sleep apnea, rhinitis kronis, kortikosteroid intranasal, terapi
posisi, alat oral
1. Pendahuluan
Rhinitis kronis (rhinitis alergi dan non-alergi) dan obstructive sleep apnea
(OSA) merupakan penyakit yang umumnya diamati dengan prevalensi yang
meningkat. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa hidung
tersumbat berhubungan dengan peningkatan 1,8 kali lipat dalam risiko
pengembangan OSA sedang hingga berat. Sebaliknya, Houser SM et al., telah
menunjukkan bahwa pasien OSA memiliki hidung tersumbat yang secara
signifikan lebih tinggi daripada pasien non-OSA yang ditunjukkan dengan
pengukuran rinometri akustik. Pernapasan mulut yang berkepanjangan yang
berhubungan dengan hidung tersumbat secara mekanis terkait dengan
peningkatan resistensi aliran udara karena pengurangan diameter faring akibat
pergeseran rahang bawah yang meningkatkan risiko OSA.
Pedoman Praktik Klinis American Academy of Sleep Medicine yang
diterbitkan pada tahun 2019 merekomendasikan penggunaan continuous
positive airway pressure (CPAP) sebagai modalitas pengobatan utama untuk
OSA terutama dengan kantuk di siang hari yang berlebihan atau gangguan
kualitas hidup yang berhubungan dengan tidur. Namun, kepatuhan
penggunaan CPAP tidak dapat diprediksi, terutama dalam aspek jangka
panjang. Beberapa penelitian telah melaporkan efek positif steroid intranasal
dalam mengurangi gejala rhinitis alergi dan non- alergi serta melemahkan
respons imun di saluran napas bagian atas. Assanasen et al., melaporkan
84,3% prevalensi rhinitis alergi kronis yang hidup berdampingan dengan
OSA sehingga meningkatkan pentingnya mengatasi rinitis alergi di antara
pasien OSA.
Menurut artikel ulasan oleh Chirakalwasan et al., dari lima penelitian
tentang efek steroid intranasal pada hasil OSA, hanya dua penelitian pada
orang dewasa yang menunjukkan penurunan yang signifikan pada AHI.
Namun, kedua penelitian tersebut dilakukan pada populasi obesitas derajat 1
dan 3 dan campuran antara mendengkur primer dan OSA.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efekasi steroid intranasal
selama 1 bulan pada obesitas derajat 2 hingga 3 berdasarkan klasifikasi ASIA,
obstruksi orofaringeal dengan OSA derajat sedang sampai berat. Prevalensi
OSA non-obes tinggi di antara orang Asia dan OSA sedang hingga berat saat
ini merupakan kelompok rentan yang pengobatannya secara umum
direkomendasikan. Oleh karena itu, tujuan lain dari penelitian ini adalah
untuk mempelajari kemanjuran steroid intranasal pada pasien OSA feno-tipik
khas Asia ini dengan rhinitis kronik yang hidup berdampingan.
2. Metode
Peserta
Penelitian prospektif ini dilakukan antara Juni 2018 hingga Februari 2019
atas persetujuan dari Dewan Peninjau Institusi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand. Percobaan acak (blok
permutasi ukuran 4), double-blind, terkontrol placebo dilakukan pada pasien
OSA sedang hingga berat dengan rhinitis kronis yang terjadi bersamaan yang
diindikasikan dengan total nasal symptom score (TNSS) ≥ 6, tidak mengalami
obesitas derajat 2 hingga 3 (BMI <30 kg/m2) dan obstruksi orofaring tidak
parah (Mallampati yang dimodifikasi <3). Pembuatan urutan alokasi
dilakukan oleh program yang dihasilkan komputer dan dimasukkan ke dalam
satu set amplop tertutup oleh peneliti non-percobaan yang juga
menyiapkan concealed nasal spray.
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah adanya hipertensi yang tidak
terkontrol atau resisten, penyakut kardiovaskular atau serebrovaskular yang
tidak terkontrol, penggunaan CPAP atau alat oral yang sedang berlangsung,
operasi saluran napas bagian atas atau hidung sebelumnya, penggunaan
steroid intranasal dalam 3 bulan terakhir, teknik penggunaan obat steroid
intranasal yang buruk, ketidakmampuan untuk menghentikan obat
antihistamin atau penghambat leukotrien 7 hari sebelum pendaftaran, atau
penyakit aktif yang dapat mengubah hasil polisomnografi. Inform consent
dilakukan pada semua peserta.
Protokol penelitian
Polisomnografi split night meliputi electroencephalography (EEG),
electrocardiogram (EKG), electrooculography (EOG), electromyography
(EMG), pemantauan saturasi oksigen, pengukuran aliran udara, dan
pengukuran upaya nafas. Pertama, penelitian ini dilakukan sebagai diagnostic
dan kedua, dilakukan sebagai titrasi CPAP. Panduan American Academy of
Sleep Medicine (AASM) untuk penilaian tidur dan terkait kejadian 2016
digunakan untuk penilaian tahap tidur dan pernapasan. Selama
polisomnografi split- night, parameter tidur dianalisis termasuk respiratory
disturbance index (RDI), RDI terlentang, RDI tidak terlentang, RDI gerakan
mata cepat (REM RDI), RDI non-REM (NREM RDI), indeks oksigen, total
waktu tidur, efisiensi tidur, bangun setelah onset tidur (WASO), latensi tidur,
latensi REM, persentase waktu yang dihabiskan di tahap NREM 1-3 dan
tahap REM, indeks gairah, serta tekanan optimal dan tekanan yang
direkomendasikan CPAP. Kuesioner termasuk TNSS, skala kantuk Epworth
(ESS) versi Thailand untuk penilaian kantuk di siang hari, dan indeks kualitas
tidur Pittsburgh (PSQI) versi Thailand untuk penilaian kualitas tidur juga
telah diselesaikan. TNSS adalah jumlah skor gejala nasal individu
berdasarkan tingkat gangguan kualitas hidup yang dinilai secara subyektif
pada skala Likert 4 poin (0 = tidak ada gangguan, 1 = gangguan ringan, 2 =
gangguan sedang, 3 = gangguan berat). Semua pasien yang terdaftar tidak
menjalani skin prick test dan rhinomanometri akustik untuk evaluasi volume
hidung (rata-rata rongga hidung kiri dan kanan) sebagai informasi awal.
Pasien kemudian di-randomisasi menggunakan blok 4 untuk menerima
steroid intranasal (flutikason furoat, 110 mcg/hari dan eksipien: glukosa
anhidrat, selulosa terdispersi, polisorbat 80, benzalkonium klorida, disodium
edetat, dan air murni) atau placebo (eksipien yang sama tanpa flutikason
furoat) satu kali sehari pada pagi hari selama satu bulan. Telepon mingguan
dari peneliti dilakukan untuk memastikan kepatuhan minum obat dan
mengevaluasi efek samping obat. Setelah satu bulan, polisomnografi split-
night dan kuesioner TNSS, ESS, PSQI, serta rhinomanometri akustik diulang.
Analisis Statik
Data disajikan sebagai rata-rata ± standar deviasi, median (rentang
interkuartil) dan frekuensi (%) untuk menggambarkan karakteristik dasar.
Variabel kontinu dievaluasi dengan uji T atau uji Mann-Whitney U. Variabel
kategorik dibandingkan dengan menggunakan uji chi-square atau uji eksak
Fisher. Analisis regresi linier digunakan untuk perhitungan hubungan.
Penelitian ini menggunakan ANOVA berulang untuk perbandingan statistik
dalam kelompok. Lima belas kejadian per jam perbedaan dalam AHI dihitung
untuk estimasi ukuran sampel dengan kekuatan 80%. Uji signifikansi
dilakukan dua sisi, dengan nilai alfa 0,05. Semua analisis dilakukan dengan
menggunakan STATA versi 12 (Stata-Corp LLC, College station, Texas,
Amerika Serikat).
Ukuran Sampel
Ukuran sampel diperkirakan berdasarkan studi terbaru oleh Acar et al.,
sebanyak 34 pasien diperlukan berdasarkan kesalahan tipe satu, kekuatan tes,
rasio intervensi per kontrol, dan perkiraan tingkat drop-out masing-masing
sebesar 5%, 80%, 1:1, 20%.
3. Hasil
Penelitian yang dilakukan dari bulan Juni 2018 hingga Januari 2019 ini
melibatkan 819 pasien yang di diagnosis OSA sedang hingga berat yang
dinilai kelayakannya. Terdapat 785 pasien tidak diikutsertakan karena tidak
memenuhi kriteria. Sebanyak 34 pasien terdaftar dan mengikuti prosedur
pengacakan, 18 pasien penerima steroid intranasal dan 16 pasien penerima
placebo. Didapatkan 1 dari 18 pasien (5,6%) pada kelompok steroid
intranasal drop-out karena infeksi aktif saat dilakukan polisomnografi
berulang. Lalu, 1 dari 16 pasien (6,3%) pada kelompok kontrol juga drop-out
karena menjalani operasi hidung selama penelitian berlangsung. Kepatuhan
penggunaan steroid intranasal dan placebo adalah 100% berdasarkan
pemeriksaan telepon mingguan dan pencatatan selama penelitian.
Pada Tabel 1, karakteristik polisomnografi awal menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara kelompok steroid intranasal dan plasebo
Tabel 1. Karakteristik awal, pola tidur, dan kuisioner kelompok steroid
intranasal dan placebo
Usia rata-rata keseluruhan pasien adalah 45,2 tahun, 50% laki- laki, dan
tingkat BMI rata-rata 25,6 kg/m2. Tes tusuk kulit positif pada 53% pasien (11
dari 17 (64,7%) pada kelompok steroid intranasal dan 6 dari 15 (40%) pada
kelompok plasebo). Rata-rata total AHI secara keseluruhan adalah 41,9
kejadian/jam, saturasi oksigen rata-rata adalah 95%, dan rasio oksigen nadir
adalah 83,4%. Nilai awal TNSS, ESS versi Thailand, PSQI versi Thailand
masing-masing adalah 10,5, 10,5, 8,3.
Gambar 1. Alokasi dan pengacakan
Pada Tabel 2, Skor Pittsburgh sleep quality index (PSQI) tidak berkurang
secara signifikan pada kelompok steroid intranasal dibandingkan dengan
kelompok plasebo (1,3 [95% CI; -0,2 hingga 2,8; p = 0,09])
Gambar 3.
A) Perubahan sebelum dan sesudah pengobatan pada indeks apnea
hypopnea (AHI) pada kelompok placebo dan kelompok steroid intranasal
B) Perubahan persen sebelum dan sesudah pengobatan dalam indeks
hypopnea (AHI) ([sebelum – sesudah pengobatan]/sebelum
pengobatan)*100) pada kelompok placebo dan kelompok steroid
intranasal
Pada Gambar 4, RDI, NREM RDI, TNSS, dan PSQI Thailand meningkat
secara signifikan setelah 4 minggu penggunaan steroid intranasal (p = 0,02,
0,02, 0,01, 0,003, dan <0,001; masing-masing). Dimana tidak ada satupun
parameter yang terbukti pada kelompok placebo. Selain itu, dua puluh persen
dari pasien dalam kelompok steroid intranasal diamati memiliki AHI pasca
perawatan kurang dari 15 kejadian per jam. Tak satu pun dari parameter ini
dalam kelompok plasebo mencapai pengurangan ini. Sebanyak 3 pasien tidak
mengalami obesitas, OSA sedang hingga berat, fenotipe OSA yang umum
diamati di antara orang Asia. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa steroid
intranasal secara signifikan mengurangi RDI selama posisi tidak terlentang
dibandingkan dengan plasebo.
Gambar 4. Perubahan sebelum dan sesudah pengobatan dengan steroid
intranasal selama 1 bulan
4. Diskusi
Obstructive sleep apnea (OSA) adalah gangguan yang ditandai dengan
episode obstruksi saluran napas bagian atas yang berulang saat tidur.
Patofisiologi utama OSA pada populasi Asia adalah gangguan pada struktur
kraniofasial dan saluran napas bagian atas, bahkan lebih dari indeks massa
tubuh (IMT). Meskipun, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa steroid
intranasal meningkatkan OSA yang ditunjukkan dengan penurunan AHI yang
signifikan, namun tidak ada yang dilakukan pada tingkat keparahan penyakit
tertentu atau karakteristik OSA.
A. General Description
1. Design : Randomized control trial study
2. Subject : A total of 819 patients (785 were excluded, 416 TNSS
<6, 161 modified Mallampati 3-4, 57 BMI >30kg/m 2, 51 intranasal
steroid use, 55 age <18 or >65 years old, 23 current PAP use, 7 study
refusal, 10 non optimal PAP titration, 5 incomplete document). And than,
the result is 34 patient underwent randomization (18 were assigned to
receive intranasal steroid and 16 were assigned to receive placebo)
3. Title : The title is appropriate, direct, and explicit
4. Authors : Authors and their affiliations are written explicitly. The
corresponding author is written clearly at the first page of the journal
5. Abstract : The abstract contains all information needed and is written
clearly
B. VIA Analysis
1. Validity
The study employs standard and widely used assessment tools,
including the T-Test or Mann-Whitney U test, chi-square test or Fisher’s
exact test, linear regression analysis, and repeated with ANOVA,
enhancing the validity of the results. The study utilizes a pre treatment
and post treatment design, allowing for within-group comparisons and
analysis of changes over time.
2. Importance
The research addresses a clinically relevant question, investigating
the impact of efficacy of intranasal steroid in moderate to severe OSA
with coexisting chronic rhinitis. The study's focus on intranasal steroid
use for therapy OSA with coexisting chronic rhinitis, makes its findings
valuable for both clinicians and researchers in the field of otolaryngology
and related disciplines. The identification of differential effects on
intranasal steroid based on the OSA with coexisting chronic rhinitis
contributes to a nuanced understanding of the outcomes of intranasal
steroid use.
3. Applicability
The use of standardized questionnaires facilitates the applicability
of the findings to other clinical settings, allowing for comparisons and
generalization. Clinicians can use the findings to guide the management
of patients moderate to severe OSA with coexisting chronic rhinitis.
C. PICO Analysis
1. Population
Patients with non 2nd to 3rd degree obese,non-severe oropharyngeal
obstruction, moderate to severe OSA with coexisting chronic
rhinitis
2. Intervention
Intranasal corticosteroid is the intervention under investigation.
3. Comparison
The comparison is made between before and after intranasal corticosteroid use.
4. Outcome
The primary outcomes include efficacy of intranasal corticosteroid as
treatment for moderate to severe obstructive sleep apnea with coexisting
chronic rhinitis (measured by the T-Test or Mann-Whitney U Test, chi-
square or Fisher’s exact test, using linear regression for relationship
circulation, and applied repeated ANOVA for the statistical comparison
within group).
D. Level of Evidence
Level 1.c: Evidence from RCT (experimental studies)
E. Critical Appraisal
Question Yes No Unclear Not
Applicable
Was true randomization used for
assignment of participants to treatment
groups?
✔
Was allocation to treatment groups
concealed?
Were treatment groups similar at the ✔
baseline?
✔
Were treatment groups treated
identically other than the intervention
of interest?
Was follow up complete and if not, ✔
were differences between groups in
terms of their follow up adequately
described and analyzed?
Were participants analyzed in the ✔
groups to which they were
randomized?
Were outcomes measured in the same ✔
way for treatment groups?
✔
Were outcomes measured in a realiable
way?
✔
Was apropriate statistical analysis
used?
REFERENCES