Anda di halaman 1dari 26

JOURNAL READING

Pepsin and Oropharyngeal pH Monitoring to


Diagnose Patients With Laryngopharyngeal Reflux

Present By :

St. Hajar Putri Dwiyanti

S922302006

Consultant :

dr. Putu Wijaya K., Sp. T.H.T.B.K.L, Subsp. BE (K)

DEPARTMENT OF OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK


SURGERY FACULTY OF MEDICINE SEBELAS MARET UNIVERSITY
Dr. MOEWARDI HOSPITAL SURAKARTA
2024
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Journal Reading dengan judul


Pepsin and Oropharyngeal pH Monitoring to Diagnose Patients With
Laryngopharyngeal Reflux

Oleh

St. Hajar Putri Dwiyanti

S922302006

Pada Hari/Tanggal :
Tempat :

Mengetahui

Pembimbing

dr. Putu Wijaya K., Sp. T.H.T.B.K.L, Subsp. BE (K) (....................)


NIP. 197806202011011004

Evaluator

Dr. dr. Dewi Pratiwi, Sp. T.H.T.B.K.L Subsp. Oto, (K), M.Kes (....................)

NIP. 198105152015042002

2
Penguji

Dr. dr. Hadi Sudrajad, Sp. T.H.T.K.L(K), M.Si. Med (....................)


NIP. 196604222000121001

Dr. dr. Made Setiamika, Sp. THTBKL, Subsp. Onk (K), FICS (....................)
NIP. 195507271983121002

Dr. dr. S. Hendradewi, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp. Rhino (K), M.Si.Med (....................)


NIP. 196511212010012001

Dr. dr. Novi Primadewi, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. NO (K), M.Kes (....................)


NIP. 197511292008122002

dr. Niken Dyah Aryani, Sp. T.H.T.B.K.L, M.Kes (....................)


NIP. 1983041620160101

dr. Aziza Viquisa BP, Sp. T.H.T.B.K.L (....................)

dr. Ahmad Nurdiansyah, Sp. T.H.T.B.K.L (....................)

dr. M. Dody Hermawan, Sp.T.H.T.B.K.L (....................)

dr. Marisa Rizqiana Dewi, Sp.T.H.T.B.K.L (....................)

dr. Andri firmansyah, Sp.T.H.T.B.K.L (....................)

dr. Antonius Christanto, Sp.T.H.T.B.K.L, M.Kes (....................)

dr. Lenny Aprilia, Sp.T.H.T.B.K.L (....................)

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................4
JURNAL ASLI.........................................................................................................5
ABSTRAK.............................................................................................................11
PENDAHULUAN..................................................................................................12
BAHAN DAN METODE......................................................................................12
HASIL....................................................................................................................14
DISKUSI................................................................................................................16
KESIMPULAN......................................................................................................17
CRITICAL APPRAISAL.......................................................................................18

4
5
6
7
8
9
10
11
Pemantauan pH Pepsin dan Orofaring untuk Mendiagnosis
Pasien Refluks Laringofaring

Abstrak

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan akurasi


diagnostik pepsin air liur dengan pemantauan menggunakan sistem pengukuran
Restech (Dx-pH) untuk diagnosis laryngopharyngeal reflux (LPR).

Desain Studi: Studi kohort prospektif.

Metode: Tujuh puluh pasien dengan gejala primer LPR yang sedang menjalani
gastroskopi, manometri resolusi tinggi, pemantauan pH selama 24 jam (MII-pH),
dan esofagografi barium antara bulan Oktober 2015 dan Mei 2018. Dilakukan
pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan, termasuk penilaian Belafsky
Reflux Finding Score (RFS). Gejala klinis dievaluasi dengan Belafsky Reflux
Symptom Index (RSI) dan Gastrointestinal Quality of Life Index (GIQLI).
Bersamaan dengan MII-pH, dilakukan juga penentuan pepsin dan Dx-pH.

Hasil: Dari 70 pasien, 41 subjek (58,6%) dengan skor DeMeester patologis


menunjukkan nilai rata-rata pepsin yang lebih tinggi (nilai rata-rata: 216 ng/mL,
interval kepercayaan [CI] 95%: 172 hingga 260), dibandingkan dengan pasien
dengan skor DeMeester normal (nilai rata-rata: 161 ng/mL, CI 95%: 115 hingga
207). Pepsin liur menunjukkan spesifisitas 86,2% dan sensitivitas 41,5% untuk
mendiagnosis LPR menggunakan nilai batas optimal 216 ng/mL. Selain itu,
korelasi yang signifikan antara nilai pepsin air liur dan skor RSI terlihat pada
pasien dengan hasil patologis pada MII-pH (r = 0,344; P = 0,046). Namun,
peningkatan pengukuran Dx-pH tidak menunjukkan korelasi yang signifikan
dengan MII-pH, skor RSI, skor RFS, skor GIQLI, dan hasil pengukuran pepsin.

Kesimpulan: Pengukuran pepsin air liur bisa menjadi alat alternatif untuk
membantu diagnosis LPR. Namun, tes Dx-pH tidak adekuat untuk membantu
penegakan diagnosis LPR.

12
PENDAHULUAN
Refluks laringofaring (LPR) terjadi pada 10% kasus otolaringologi.
Penentuan gejala utama seperti suara serak, sering berdehem, batuk, atau gejala
yang berhubungan dengan penyakit refluks gastroesofageal (GERD) yang
memburuk atau alergi, sinusitis, bronkitis kronis, dan sindrom postnasal drip
masih menjadi tantangan hingga saat ini. Standar metode yang ada saat ini tidak
cukup akurat untuk mendiagnosis LPR. Kurangnya tes spesifik LPR sering
mengarah pada evaluasi respons pengobatan terhadap GERD atau impedansi
intraluminal multisaluran dan pemantauan pH 24 jam (MII-pH), yang masih
merupakan gold standard untuk menilai apakah ada gejala ekstraesofageal.
Namun, MII- pH merupakan metode yang invasif dan mahal serta tidak dapat
dilakukan pada semua pasien.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemantauan pH orofaring
menggunakan sistem pengukuran Restech (Dx-pH) tampak lebih sensitif
dibandingkan MII-pH dalam evaluasi pasien dengan LPR. Namun, pemeriksaan
Dx-pH juga masih terbatas karena kurangnya konsensus mengenai nilai batas
normal dan abnormal, serta tidak ada studi prospektif yang terkontrol dengan
baik.
Penentuan pepsin pada air liur telah diusulkan sebagai alat untuk
meningkatkan diagnosis GERD dan LPR. Pepsin merupakan enzim
proteolitik yang diaktifkan oleh prekursor pepsinogen di lambung dan dapat
dideteksi pada air liur serta sampel sekresi dari paru-paru, sinus, telinga
tengah, trakea, dan kondensat napas yang dihembuskan. Tujuan dari studi
prospektif ini adalah untuk membandingkan nilai penentuan pepsin pada air liur
dan pengukuran Dx-pH sebagai alat diagnostik multiparameter pada pasien
LPR.

BAHAN DAN METODE

13
Populasi Studi
Sejak Oktober 2015 - Mei 2018, sebanyak 635 pasien dengan gejala
GERD tipikal dan atipikal dinilai kelayakannya di Departemen Bedah
Ordensklinikum Linz Sisters of Rumah Sakit Amal di Linz, Austria. Tujuh
puluh pasien dengan gejala GERD primer atipikal dan diduga menderita LPR
dilibatkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan gastroskopi, barium esofagografi,
manometri esofagus resolusi tinggi (HRM), MII-pH, Dx-pH, dan pengukuran
konsentrasi pepsin air liur telah dilakukan. Kriteria inklusi adalah pasien dengan
gejala LPR primer/atipikal yang telah diobati dengan inhibitor pompa proton
(PPI) selama minimal 6 bulan. Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: usia <18
tahun, klasifikasi status fisik American Society of Anesthesiologists >II, riwayat
operasi esofagus atau lambung sebelumnya, hamil, adanya dismotilitas esofagus
tingkat tinggi (misalnya akalasia), dan penyebab potensial lain dari gejala
LPR/atipikal (misalnya, mukosa lambung heterotopik pada esofagus serviks).

Desain Studi dan Pelaksanaan


Desain penelitian ini adalah uji coba prospektif single-center mengenai
nilai penentuan pepsin pada air liur dan Dx-pH sebagai alat yang cukup untuk
mendiagnosis LPR. Penelitian dilakukan di rawat inap, pasien tidak
mengonsumsi PPI selama 10 hari.
Pada hari ke-1, pasien harus menjalani gastroskopi dan HRM. Pada hari
ke-2, dilakukan MII-pH dan Dx pH secara bersamaan, lalu pengumpulan tiga
sampel air liur untuk menentukan konsentrasi pepsin. Pada hari ke-3, pasien
harus menjalani pemeriksaan THT termasuk penilaian Belafskys Reflux Finding
Score (RFS). Selama 3 hari tersebut, penilaian kualitas hidup dan gejala klinis
dinilai dengan skor GIQLI dan Belafsky Reflux Symptom Index (RSI).

Manometri Esofagus Resolusi Tinggi


HRM menggunakan sistem Sierra ManoScan Z, Model A200 dilakukan
dalam posisi terlentang setelah puasa semalam untuk mengevaluasi gangguan
motilitas esofagus. Sfingter esofagus bagian bawah (LES) yang cacat secara

14
struktural didefinisikan sebagai panjang keseluruhan di bawah 2,4 cm, panjang
intraabdomen di bawah 0,9 cm, dan/atau adanya hernia hiatus. Tingkat tekanan
dinilai abnormal jika melebihi <29,8 atau >180,2 mmHg, dan gangguan
motilitas diklasifikasikan menurut Klasifikasi Chicago, versi 3.0.16
Evaluasi Kualitas Hidup
Kualitas hidup dinilai dengan menggunakan Indeks Kualitas Hidup
Gastrointestinal Jerman (GIQLI). Kuesioner ini telah divalidasi dalam bahasa
Jerman dan direkomendasikan oleh Kelompok Studi Eropa untuk Bedah
Antirefluks. The GIQLI mencakup 36 item, yang dibagi menjadi lima
subdimensi: gejala gastrointestinal, status emosional, sosial fungsi, fungsi fisik,
dan satu item untuk stres perawatan medis, skor minimal 0 dan maksimal 144
poin. Kualitas hidup yang lebih baik ditunjukkan dengan poin yang lebih tinggi.
Rata-rata normal dalam penduduk sehat ditetapkan sebesar 122,6 poin.

Impedansi Intraluminal Multisaluran dan Pemantauan pH 24 Jam


Semua pasien harus menghentikan terapi antisekretori selama 10 hari
sebelum pemeriksaan. Pasien dianjurkan untuk mempertahankan aktivitas dan
tetap bangun di siang hari. Tidur siang singkat satu kali diperbolehkan. Pasien
diminta makan utama tiga kali sehari, tanpa makan camilan di antaranya. Sistem
impedansi intraluminal multisaluran dan pemantauan pH Digitrapper-
multichannel (Medtronic, Minneapolis, MN) digunakan untuk penilaian. Probe
nasogastrik 2,1 mm dimasukkan dengan dua elektroda pH antimon yang terletak
5 cm di atas LES yang terletak secara manometri dan 15 cm ke arah distal LES
dan delapan elektroda impedansi, memungkinkan pengukuran impedansi
intraluminal dalam enam segmen pada 3, 5, 7, 9 , 15, dan 17 cm di atas LES.
Diagnosis GERD dapat ditegakkan jika skor pH komposit terkait refluks
menurut DeMeester >14,7, dikombinasikan dengan jumlah kejadian refluks
dalam 24 jam > 73.

Belafsky Reflux Symptom Index (RSI)

Gejala refluks laringofaring/ekstra-esofageal dievaluasi menggunakan

15
kuesioner RSI mencakup 9 item. Kisaran skor untuk setiap item adalah antara 0
(tidak ada masalah) dan 5 (masalah berat) poin, dengan skor total maksimum 45.
RSI >13 dianggap menunjukkan adanya refluks.

Belafsky Reflux Finding Score (RSF)

Pemeriksaan THT, laringoskopi fiberoptik dan dokumentasi fotografi


dilakukan oleh ahli THT. Rentang RFS ditetapkan dari skor 0 (laring normal)
hingga skor tertinggi 26. Skor >7 didefinisikan sebagai patologis.

Pemantauan pH Orofaring
Bersamaan dengan MII-pH, pasien harus menjalani Dx-pH. Sistem
pengukuran menggunakan Restech Dx-pH, versi 1.0 (Restech Dx-pH, Restech,
San Diego, CA). Probe ditempatkan dengan cara standar, seperti yang
direkomendasikan oleh penyedia layanan di orofaring di atas sfingter esofagus
bagian atas. Pengukuran dievaluasi dengan skor Ryan, yang dianggap patologis
bila lebih tinggi 9,4 pada posisi tegak (pH <5,5) atau lebih tinggi 6,8 pada posisi
terlentang (pH <5,0).

Penentuan Pepsin pada Air Liur

Subjek mengumpulkan sampel air liur saat bangun tidur, 1 jam setelah
makan siang, dan 1 jam setelah makan malam selama periode pemantauan MII-
pH dan Dx-pH secara simultan. Sampel pagi hari dikumpulkan sebelum pasien
makan, minum, merokok, atau menyikat gigi. Air liur dikumpulkan ke dalam
tabung yang berisi 0,5 mL asam sitrat 0,01 M. Sampel dikirim ke laboratorium
lalu didinginkan pada suhu 4oC dan dianalisis dalam waktu 2 hari setelah
pengumpulan. Nilai pepsin ditentukan dalam prosedur standar menggunakan
Peptest (RDBiomed). Nilai 16 ng/mL digunakan sebagai batas untuk sampel
positif (sebagaimana ditentukan oleh produsen). Sampel dengan konsentrasi
pepsin di atas batas atas 500 ng/mL memiliki hasil 501 ng/mL. Nilai rata-rata dari
tiga sampel digunakan untuk melakukan analisis korelasi..

16
Analisis Statistik

Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak analisis


statistik SPSS, versi 25.0 (SPSS Inc., Chicago, IL). Data dibandingkan dengan
menggunakan uji t berpasangan atau uji peringkat bertanda Wilcoxon. Jika
terdistribusi normal, kumpulan data juga disajikan sebagai rata-rata dan deviasi
standar. Perbandingan beberapa kelompok dilakukan dengan menggunakan
analisis varians satu arah, diikuti dengan Uji Kolmogorov – Smirnov untuk data
berdistribusi normal dan Uji Kruskall – Wallis dengan perbandingan Dunns untuk
data tidak normal. Kurva karakteristik operasi penerima (ROC) dibuat untuk
menentukan dan membandingkan sensitivitas dan spesifisitas konsentrasi batas
pepsin yang berbeda dan nilai prediktifnya untuk mendiagnosis atau menyangkal
diagnosis GERD dan gejala terkait refluks ekstra-esofagel/laringofirangeal. Rasio
kemungkinan dihitung, dan P <0,05 dianggap signifikan secara statistik.

HASIL
Karakteristik Pasien dan Klasifikasi
Penelitian ini melibatkan 70 pasien. Terdapat 30 (42,9%) laki-laki dan 40
(57,1%) pasien perempuan dengan usia rata-rata 54,44 (13,23%) tahun. Rata-
rata massa tubuh indeks massa tubuh (BMI) sebesar 23,21 (3,2%) kg/m2. Pasien
diklasifikasikan secara objektif berdasarkan skor DeMeester patologis (>14.72)
dan mengalami > 73 kejadian refluks dalam 24 jam yang menderita gejala
refluks laringofaring/ekstra-esofagus terkait GERD.
Sebanyak 41 pasien (58,6%) memiliki skor DeMeester patologis dan
diklasifikasikan sebagai kelompok LPR. Sebanyak 29 pasien (41,4%)
diklasifikasikan sebagai kelompok non-LPR yang memiliki gejala klinis LPR
dan hasil MII-pH normal. Di setiap kelompok, tidak ada pasien yang
menunjukkan gangguan motilitas esofagus, hernia hiatus paraesofagus, atau
upside down stomach pada barium esofagografi. Pada pemeriksaan gastroskopi,
24 dari 41 pasien (58,5%) pada kelompok LPR menunjukkan tanda-tanda
esofagitis (tingkat I atau II) dibandingkan dengan 4 dari 29 pasien (13,8%) pada
kelompok non-LPR (P = 0,0001). Perbedaan usia, BMI, dan distribusi jenis

17
kelamin di antara kedua kelompok tidak signifikan (P > 0,05).
Pada pengukuran skor RFS, episode refluks terdeteksi pada MII-pH, dan
skor DeMeester, tidak ada perbedaan signifikan pada nilai rata-rata skor RSI,
serta skor Ryan dan GIQLI. Namun, pasien pada kelompok LPR jauh lebih
banyak (32 dari 41; 78,0%) menunjukkan hasil patologis pada skor RSI
dibandingkan dengan kelompok non-LPR (14 dari 29; 48,3%) (P = 0,045).
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah pasien dengan skor
RFS patologis pada kedua kelompok (P > 0,05).

Prevalensi Pepsin Positif pada Deteksi / Konsentrasi Air Liur


Secara total, 35 dari 41 (85,4%) pasien pada kelompok LPR yang
memiliki Skor DeMeester patologis, memiliki satu atau lebih sampel air liur yang
positif mengandung pepsin. Sebagai perbandingan, 21 dari 29 (72,4%) pasien
dalam kelompok non-LPR menunjukkan setidaknya satu sampel positif (P >
0,05). Prevalensi pada kelompok LPR yang mempunyai sampel positif adalah
61,0% saat bangun tidur, 68,3% saat makan siang, dan 56,1% saat makan malam.
Pada kelompok non-LPR, prevalensinya memiliki sampel positif adalah
prevalensi 65,5% saat bangun tidur, Prevalensi 89,7% pada makan siang, dan
58,6% prevalensi pada makan malam. Rata-rata konsentrasi pepsin dari tiga
sampel air liur pada kelompok LPR adalah 216 ng/mL, sedangkan pasien dalam
kelompok non-LPR memiliki konsentrasi rata- rata 161 ng/mL.
Perbandingan konsentrasi pepsin saat bangun tidur (LPR vs non-LPR: 100
ng/mL vs 115 ng/mL) atau setelah makan siang (LPR vs non-LPR: 192 ng/mL vs
208 ng/mL) atau setelah makan malam (LPR vs non-LPR: 204 ng/mL vs 202
ng/mL) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Nilai Konsentrasi Pepsin Saliva untuk Membedakan Pasien Dengan dan


Tanpa LPR
Identifikasi nilai batas optimal konsentrasi pepsin pada air liur untuk
membedakan pasien LPR dan non-LPR digambarkan menggunakan kurva ROC.
Daerah di bawah kurva ROC adalah 0,658 ± 0,084 (95% CI, 0,387 hingga 0,720,

18
P <0,05). Nilai batas terbaik adalah 216 ng/mL, dan nilai indeks Youden adalah
yang terbesar. Spesifisitas Peptest sebesar 86,2% dan sensitivitas sebesar 41,5%
pada nilai batas optimal yang diukur. Jika setidaknya satu sampel positif (>16
ng/mL), tes menunjukkan spesifisitas 85,4% dan sensitivitas 27,6%, dengan nilai
prediksi negatif 57,1%.

Korelasi Antara Pepsin pada Saliva/Dx-pH dan RFS, RSI, dan GIQLI
Korelasi yang signifikan antara skor GIQLI dan Skor RSI (r = -0.419; P =
0.000), serta Skor GIQLI dan skor RFS (r = -0.262; P = 0.026) dapat ditemui
pada semua pasien. Pasien dengan skor MII-pH patologis menunjukkan korelasi
yang signifikan antara nilai pepsin dan pengukuran skor RSI (r = 0,344; P =
0,046). Tes pepsin dengan kadar tertinggi dari tiga sampel pada setiap pasien dari
kedua kelompok (LPR dan non-LPR) menunjukkan korelasi yang signifikan
dengan skor RFS (r = 0,246; P = 0,043).

Korelasi Antara Pepsin pada Saliva/Dx-pH dan HRM Serta MII-pH


Lower Esophageal Sphincter Resting Pressure (LESP) secara signifikan
lebih rendah pada kelompok LPR dengan rata-rata 17,69 mmHg dibandingkan
kelompok non-LPR dengan rata-rata 27,49 mmHg (P = 0,0001). Semua pasien
menunjukkan nilai normal pada tekanan sfingter esofagus bagian atas, tekanan
relaksasi dan kontraksi distal. Tidak ada pasien yang menunjukkan gangguan
motilitas esofagus tingkat tinggi. Tidak ada korelasi yang signifikan antara
pengukuran LESP dan hasil pepsin pada air liur, serta hasil pengukuran Dx-pH
dan LESP pada kedua kelompok (P > 0,05). Selain itu, hubungan antara skor
DeMeester dengan nilai pepsin serta nilai pepsin dengan hasil skor Ryan juga
tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan (P > 0,05). Tidak ada korelasi
yang signifikan antara nilai rata-rata pepsin dan jumlah episode refluks (kejadian
asam, asam lemah, non-asam) yang diukur dengan MII-pH.

Pemantauan pH Orofaring
Peningkatan pengukuran Dx-pH menunjukkan tidak ada korelasi

19
signifikan dengan DeMeester skor, skor RSI, skor RFS, skor GIQLI, hasil HRM,
atau hasil pengukuran pepsin pada air liur.

DISKUSI
Nilai akurat pepsin pada air liur dan DX-pH sebagai alat diagnosis LPR
masih kontroversial karena data yang heterogen dan kurangnya studi prospektif
multiparameter serta nilai batas yang memadai. Pada pasien dengan curiga LPR,
belum ada nilai batas optimal untuk pengukuran pepsin dengan Peptest
(RDBiomed). Tujuan studi prospektif ini adalah untuk menutupi kesenjangan
tersebut. Sejauh ini, studi prospektif ini adalah studi berskala terbesar yang
mengukur nilai diagnostik sistem pengukuran Peptest (RDBiomed) dan Restech
Dx-pH (Restech) untuk diagnosis obyektif LPR yang dikonfirmasi oleh MII-pH.
Hayat, et al. melaporkan bahwa batas optimal pepsin pada air liur adalah
>210 ng/mL, menunjukkan sensitivitas 44,0% dan spesifisitas 98,2% untuk
mendiagnosis pasien GERD.
Du, et al. menyatakan bahwa Pepstest (RDBiomed) memiliki sensitivitas
73% dan spesifisitas 88,3% untuk mendiagnosis GERD dengan menggunakan
nilai batas optimal 76 ng/mL.
Terdapat perbedaan hasil studi ini dengan penelitian Hayat, et al.
disebabkan oleh penggunaan protokol penelitian yang berbeda serta penggunaan
MII- pH dan endoskopi untuk menurunkan hasil negatif palsu.
Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang menjanjikan dengan
menggunakan Dx-pH untuk menentukan apakah gejala ekstraesofageal dapat
dikaitkan dengan GERD, sedangkan penelitian lain telah melaporkan kurangnya
korelasi antara Dx-pH dan MII-pH selama pengukuran yang simultan. Willhelm,
et al telah menyatakan bahwa Dx-pH tidak berguna untuk pengambilan
keputusan diagnostik atau terapeutik
Pada studi ini, nilai batas optimal pepsin pada air liur sebesar 216 ng/mL
untuk membedakan antara pasien LPR dan non-LPR sangat mirip dengan nilai
batas optimal yang digunakan oleh Hayet, et al sebesar 210 ng/mL untuk
membedakan antara pasien GERD dan non-GERD.

20
Namun, spesifisitas (86,2% vs 98,2%) dari Pepstest (RDBiomed) lebih
rendah pada studi ini dibandingkan dengan hasil studi Hayet et al., sedangkan
sensitivitasnya cukup mirip (41,5% vs. 44,0%). Hal ini dapat dijelaskan oleh
desain penelitian yang berbeda dan kohort pasien. Perlu dicatat bahwa Hayat, et
al. dan Du, et al telah mengukur nilai pepsin pada air liur untuk mendiagnosis
GERD, sedangkan studi ini fokus pada pasien dengan gejala LPR. Penulis juga
berhipotesis bahwa gejala atipikal merupakan akibat dari perubahan laring atau
faring akibat peningkatan stres dengan kadar pepsin yang lebih tinggi. Terdapat
tanda-tanda refluks esofagitis yang terlihat pada kelompok LPR dan non-LPR,
hal ini disebabkan oleh pemantauan pH menggunakan kateter mungkin gagal
dalam mendiagnosis pasien dengan GERD dan pasien menunjukkan variabilitas
sehari-hari selama pengukuran.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa pasien LPR memiliki rata-rata
konsentrasi pepsin yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan gejala LPR
namun memiliki skor DeMeester normal. Terdapat korelasi yang signifikan
antara nilai pepsin pada air liur dan pengukuran skor RSI pada pasien dengan
hasil patologis pada MII-pH. Secara signifikan, lebih banyak pasien pada
kelompok LPR yang menunjukkan hasil patologis pada skor RSI dibandingkan
dengan kelompok non-LPR. Berdasarkan hasil ini, penerapan gabungan nilai
batas pepsin sebesar 216 ng/mL dan penggunaan skor RSI dapat meningkatkan
spesifisitas dan sensitivitas tes diagnostik untuk membedakan pasien LPR dan
non-LPR. Selain itu, nilai pepsin dengan level tertinggi pada setiap pasien
menunjukkan korelasi yang signifikan dengan skor RFS, sehingga
memungkinkan pendekatan multiparameter gabungan dari Peptest (RDBiomed),
skor RSI, dan skor RFS.
Na, et al melaporkan bahwa saat bangun tidur adalah watu terbaik untuk
mengukur kadar pepsin di air liur. Hasil penelitian ini tidak dapat
mengkonfirmasi hal tersebut. Pada penelitian ini, justru nilai pepsin tertinggi
saat setelah makan siang dan makan malam. Sampel air liur postprandial
memiliki kemampuan yang lebih kuat untuk membedakan pasien GERD dan
non-GERD serta pasien LPR dan non-LPR. Oleh karena itu, nilai rata-rata dari

21
tiga sampel digunakan untuk melakukan analisis korelasi dalam penelitian ini.
Kadar pepsin tidak berpengaruh pada motilitas esofagus, dimana hasil
kami sama dengan penelitian sebelumnya. Secara keseluruhan, hasil penelitian
kami menggarisbawahi peran pepsin dalam patofisiologi gejala refluks
laringofaring/ekstraesofagus.
Uji korelasi antara hasil Dx-pH dan MII-pH, pepsin, dan skor RFS, serta
skor RSI dan GIQLI, tidak meyakinkan pada pasien kohort kami. Temuan ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya.
Keterbatasan penelitian kami adalah kurangnya data follow-up untuk
menilai hasil pengobatan setelah diagnosis berdasarkan uji pepsin dan tidak
dilakukan standarisasi makanan.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran pepsin pada air liur
dapat menjadi alternatif yang hemat biaya dan non-invasif untuk membantu
diagnosis LPR. Sedangkan Dx-pH bukanlah tes yang memadai.

22
CRITICAL APPRAISAL
Pepsin and Oropharyngeal pH Monitoring to Diagnose Patients With
Laryngopharyngeal Reflux

GENERAL DESCRIPTION
1. Design : Prospective cohort study.
2. Sample : The study population comprised 70 patients with primary
symptoms related to LPR underwent gastroscopy, high-resolution
manometry, pH throughout 24-hour monitoring (MII-pH), and barium
esophagography between October 2015 and May 2018.
3. Title : Pepsin and Oropharyngeal pH Monitoring to Diagnose Patients
With Laryngopharyngeal Reflux
4. Authors : Written clearly with an explanation of the author's institutional
affiliation and the corresponding author
5. Abstract : Clear and structured. It has a brief introduction, clear research
objectives, interventions for each treatment group and a detailed
description of the results, with clear research conclusions.

PICO
1. Patient: 70 patients with primary symptoms related to LPR underwent
gastroscopy, high-resolution manometry, pH throughout 24-hour
monitoring (MII-pH), and barium esophagography between October 2015
and May 2018.
2. Intervention: Participants allocated to diagnostic testing: MII-pH
monitoring, Dx-pH monitoring, ENT examination (RFS score), Peptest
using 3 saliva samples, esophageal manometry, GIQLI+RSI
questionnaires.

23
3. Comparison: The diagnostic accuracy of salivary pepsin with
oropharyngeal pH monitoring using the Restech measurement system (Dx-
pH) for the diagnosis of laryngopharyngeal reflux (LPR).
4. Outcome: Pepsin measurement in saliva could be an alternative tool to
assist office-based diagnosis of LPR, whereas Dx-pH does not seem to be
an adequate test.

VIA ANALYSIS
1. Validity: The study obtained ethical approval and stated inclusion-
exclusion criteria and sampling technique and explained any patient
exclusions from analysis in the study. Informed consent was obtained
from all the participant in the study. This research was conducted with
thorough methodological analysis and the outcomes measured in a
reliable way, so the bias was minimized. Therefore, this research can
be considered fully valid.
2. Importance: This journal is important because it provides an
explanation of the LPR and the diagnostic accuracy of salivary pepsin
with oropharyngeal pH monitoring using the Restech measurement
system (Dx-pH) for the diagnosis of laryngopharyngeal reflux (LPR).
3. Applicability: This cohort study has a sizeable population from
hospital in Austria, indicating that this study can be applied in hospital.
This study uses a regimen that is easy to obtain, so it can be applied in
various countries and populations to become an alternative choice for
LPR diagnostic.

24
CRITICAL APPRAISAL CHECKLIST

Unclea
Yes No NA
r

Were the two groups similar and


recruited from the same V □ □ □
population?

Were the exposures measured


similarly to assign people to both
exposed and unexposed groups? V □ □ □

Was the exposure measured in a


valid and reliable way?
V □ □ □

Were confounding factors


identified?
□ □ V □

Were strategies to deal with


confounding factors stated?
□ □ V □

Unclea
Yes No NA
r
Were the groups/participants free
of the outcome at the start of the
study (or at the moment of
V □ □ □
exposure)?

25
Were the outcomes measured in a
V □ □ □
valid and reliable way?

Was the follow up time reported


and sufficient to be long enough for
outcomes to occur? V □ □ □

Yes No Unclear NA

Was follow up complete, and if not, were the reasons


to loss to follow up described and explored?
V □ □ □

Were strategies to address incomplete follow up


utilized?
V □ □ □

Was appropriate statistical analysis used?


V □ □ □

26

Anda mungkin juga menyukai