Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

LPR (LARINGOPHARYGEAL REFLUKS)

Disusun oleh :
Agustinus Krisna Aryo Wicaksono (19.P1.0033)

Pembimbing :
dr. Siti Nurkhikmah Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK THT-KL


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
17 APRIL – 20 MEI 2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Laringofaringeal refluks (LPR) dapat terjadi akibat dari aliran retrograde
isi lambung ke dalam laringofaring. LPR berbeda dengan GERD, Gerd (gastroesophageal
refluks) disebabkan oleh aliran balik isi lambung ke kerongkongan yang menyebabkan
kerusakan jaringan atau esophagitis. Gejala dan tanda klinis dari LPR ialah suara serak,
sensasi terbakar di tenggorokan, batuk terus-menerus, sakit tenggorokan, disfagia, sensasi
mengganjal di tenggorokan, tenggorokan kering.
Diperkirakan bahwa 10% pasien yang mengunjungi klinik otolaringologi memiliki
gejala yang disebabkan oleh refluks laringofaringeal, dan LPR menyebabkan suara serak
hingga 55% pasien dengan disfonia. Pada pasien dengan LPR, hampir 100% akan
mengeluh suara serak saat datang, bahkan tanpa adanya gejala terkait refluks klasik
lainnya. Prevalensi gejala terkait LPR pada populasi umum dievaluasi dalam penelitian
lain melalui kuesioner hasil yang dilaporkan pasien dan berkisar antara 5 sampai 30%
kasus. Berdasarkan variasi geografis, pola makan, dan gaya hidup, diperkirakan gejala LPR
dapat terjadi ditemukan pada 5 sampai 30% individu.
Diagnosis LPR dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, gejala klinis, dan dengan
atau tanpa manometri pH, namun diagnosis dengan Ph masih diragukan maka perlu
penanda klinis untuk diagnosis dan penatalaksanaan penyakit ini. Terdapat dua parameter
LPR yaitu RSI (Reflux Symptom Index) dan RFS (Reflux Finding Score), dimana RSI
(Reflux Symptom Index) Dirancang untuk meningkatkan kecurigaan klinis LPR pada
pasien dengan gejala di telinga, hidung, dan Tenggorokan, sedangkan RFS (Reflux
Finding Score) Dirancang untuk mengkarakteristik lesi morfologis yang mungkin terkait
LPR. Manajemen LPR dapat dilakukan dengan Golongan Obat PPI (Pompa Proton
Inhibitor), modifikasi gaya hidup, dan pola makan.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar mahasiswa kedokteran mampu
menegakkan diagnosis dan melakukan pengelolaan yang tepat berdasarkan data yang
diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien
Laringofaringeal refluks (LPR)

1.3. Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses belajar
menegakkan diagnose dan melakukan pengolalaan pasien Laringofaringeal refluks (LPR)
BAB II

LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 53
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Ngurensiti 5/2 Wedarijaksa
No. RM : 006242
Tanggal Masuk : 29-04-2023
Jam Masuk : 08:17:22

II. Anamnesis
Autoanamnesis: Pasien datang ke RSUD RAA SOEWONDO PATI pada hari Sabtu,
29 April 2023 pukul 08.17. Pasien datang dengan keluhan nyeri tenggorokan (+) sejak
1 bulan yang lalu, dan demam (+) 4 hari yang lalu, batuk pilek (-), nyeri telan (-).

Keluhan Utama : Nyeri Tenggorokan

Riwayat Penyakit Dahulu: Gastritis (+)


Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada
Alergi Obat dan Makanan : Tidak ada

III. Pemeriksaan Fisik


Kesadaran Umum : Compos Mentis
Tanda Vital:
 Tekanan darah :140/90
 HR : 80 x/menit
 RR : 20 x/menit
 BB : 61 kg
 TB : 163 cm
 Suhu : 36.3 °C
 Pemeriksaan Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Pemeriksaan Hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Pemeriksaan Tenggorokan: Laringoskopi – Endoskopi
 Hipertopi tonsil lingualis (+)
 Epiglottis tenang
 Ulkus (-)
 Subglotis oedem
 Ventricular obliterasi sulit dievaluasi
 Eritema difusa
 Vocal fold oedem mild
 Gerakan plika vokalis simetris
 Approksimasi baik
 Difuse laring oedem mild
 Komissura posterior hipertropi obstrukstif
 Oedem arytenoid bilateral (++)
 Granuloma (-)
 Thick endolaringeal mukuos (-)

Kesimpulan :

 Oedem arytenoid
 LPR
IV. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium : Tidak ada
 Radiologi : Tidak ada
 Operasi : Tidak ada

V. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis : LPR (Laringopharygeal Refluks)
Diagnosis Banding :
 GERD
 Infeksi Saluran Pernapasan Atas
 Rhinitis
 Asma
 Alergi
VI. Penatalaksanaan
Rincian Obat Rawat Jalan:
 Lansoprazol 30 mg 1xsehari
 Sucralfat Syrup
 Paracetamol 500 mg Tab 3xsehari

Tindakan yang dilakukan: Laringoskopi - Endoskopi

VII. Prognosis
Ad Vitam: bonam
Ad Functionam: dubia ad bonam
Ad Sanactionam: dubia ad malam

VIII. Kesimpulan
Seorang laki-laki Pasien datang ke poli THT di RSUD RAA SOEWONDO PATI
pada hari Sabtu, 29 April 2023 pukul 08.17. Pasien datang dengan keluhan nyeri
tenggorokan (+) sejak 1 bulan yang lalu, dan demam (+) 4 hari yang lalu, batuk pilek
(-), nyeri telan (-). Pasien juga memiliki riwayat penyakit dahulu berupa gastritis. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, TD 140/90, HR 80x/menit,
RR 20x/menit, BB 61 kg, TB 163 cm, dan suhu 36,3 °C
Berdasarkan pemeriksaan fisik telinga dan hidung tidak dilakukan karena pasien
tidak mengalami keluhan di kedua organ tersebut. Pemeriksaan fisik dengan
laringoskopi-endoskopi didapatkan hasil Hipertopi tonsil lingualis (+),Epiglottis
tenang, Ulkus (-), Subglotis oedem, Ventricular obliterasi sulit dievaluasi, Eritema
difusa, Vocal fold oedem mild, Gerakan plika vokalis simetris, Approksimasi baik,
Difuse laring oedem mild, Komissura posterior hipertropi obstrukstif, Oedem arytenoid
bilateral (++), Granuloma (-), Thick endolaringeal mukuos (-).
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Faktor Resiko


Lpr (refluks laryngopharyngeal) adalah kondisi yang terjadi akibat aliran retrograde
isi lambung ke dalam laringofaring yang menyebabkan peradangan pada bagian atas
jaringan saluran aerodigestif.
B. Anatomi Tenggorokan
Faring terletak di posterior rongga hidung dan rongga mulut dan berfungsi sebagai
rongga tempat makanan dan udara masing-masing masuk ke kerongkongan dan laring.
Faring terdiri dari tiga daerah terpisah: nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
a. Nasofaring
Bagian paling rostral dari faring dan mengacu pada daerah antara dasar
tengkorak dan langit-langit lunak. Terdapat tuba Eustachius yang
menghubungkan faring ke telinga tengah. Ini juga termasuk kelenjar gondok
dan amandel tuba, yang merupakan jaringan limfoid yang memainkan peran
penting dalam sistem kekebalan tubuh.
b. Orofaring
Berada di posterior rongga mulut, antara langit-langit lunak dan lipatan
pharyngoepiglottic. Struktur penting dalam orofaring termasuk amandel,
pangkal lidah, dan pita faring, yang merupakan nodul jaringan limfoid.
c. Laringofaring (Hypofaring)
Posisi laringofaring lebih rendah dari epiglotis dan dibatasi oleh lipatan
faringoepiglotis di bagian atas dan sfingter esofagus bagian atas di bagian
bawah.
Pasokan darah ke laringofaring adalah melalui arteri faring asenden, arteri tiroid
inferior, dan arteri tiroid superior. Cabang arteri faring asendens medial dari arteri karotis
eksternal (ECA) dan kursus antara ECA dan arteri karotis interna saat naik menuju faring.
Arteri tiroid superior berasal dari ECA pada tingkat percabangan karotis. Arteri tiroid
inferior berkembang dari batang thyrocervical dan akhirnya beranastomosis dengan arteri
tiroid superior. Drainase vena faring adalah melalui pleksus vena yang mengalir langsung
ke vena jugularis interna.
C. Epidemiologi
Diperkirakan bahwa 10% pasien yang mengunjungi klinik otolaringologi memiliki
gejala yang disebabkan oleh refluks laringofaringeal, dan LPR menyebabkan suara serak
hingga 55% pasien dengan disfonia. Pada pasien dengan LPR, hampir 100% akan
mengeluh suara serak saat datang, bahkan tanpa adanya gejala terkait refluks klasik
lainnya. Kasus LPR dapat dipantau dengan impedansi intraluminal-pH hipofaringeal-
esofagus (HEMII-pH) yang dianggap sebagai gold standart diagnostik. Pada Penelitian
sebelumnya memperkirakan kejadian LPR sebesar 10% dari klinik rawat jalan THT umum,
penelitian tersebut juga menemukan 30% pasien telah mendokumentasikan peristiwa
refluks faring asam berdasarkan pemantauan pH dual-probe. Penelitian lian juga menilai
1% pasien yang berkunjung dokter perawatan primer memiliki gejala yang menunjukkan
LPR, tetapi tidak ada pengujian yang dilakukan untuk memastikannya diagnosis.
Prevalensi gejala terkait LPR pada populasi umum dievaluasi dalam penelitian lain melalui
kuesioner hasil yang dilaporkan pasien dan berkisar antara 5 sampai 30% kasus.
Berdasarkan variasi geografis, pola makan, dan gaya hidup, diperkirakan gejala LPR dapat
terjadi ditemukan pada 5 sampai 30% individu.
D. Etiologi dan Faktor Resiko

Paparan langsung asam lambung dapat merusak epitel pada laring. Faktor risiko
untuk LPR sama dengan GERD, termasuk mengonsumsi makanan berat dalam makanan
asam atau berlemak dan kafein atau alkohol, makan besar sebelum tidur, obesitas, dan
merokok. Merokok juga merupakan faktor risiko dari edema Reinke, yang menyebabkan
suara serak dan penurunan frekuensi dasar suara, mirip dengan LPR. Perbedaan utama
antara LPR dan GERD adalah manifestasi gejala dan etiologi yang mendasarinya, yaiut
pada GERD terdapat kerusakan pada sfingter esofagus bagian bawah, sedangkan pada LPR
terdapat kerusakan pada sfingter esofagus bagian atas.

E. Patofisiologi
Patofisiologi LPR masih belum sepenuhnya dipahami. Namun ada beberapa
penelitian yang mengatakan patofisiologi LPR ialah Aliran retrograde asam lambung dan
pepsin menginduksi kerusakan mukosa laring dan gangguan klirens mukosiliar. Hal ini
dapat terjadi dalam isolasi, tetapi gejala dapat memburuk ketika LPR diperburuk oleh
penyalahgunaan vokal, perkembangan lesi mukosa, atau batuk kronis yang disebabkan
oleh refleks esofagus-bronkial, di mana asam di dalam esofagus distal menyebabkan
stimulasi vagal dan dengan demikian menginduksi respon batuk.

F. Manifestasi Klinis
Gejala umum LPR meliputi :
a. Suara serak
b. Lendir yang kental atau terlalu banyak
c. Iritasi tenggorokan kronis
d. Pembersihan tenggorokan kronis
e. Batuk kronis
f. Masalah suara
g. Batuk yang membangunkan dari tidur
G. Diagnosis
 Menggunakan Parameter RSI dan RFS
 Menggunakan HEMII-PH
HEMII-pH mendeteksi pergerakan bolus esofagus dengan mengukur perubahan
listrik resistensi dan dapat mengukur pH refluks dari esofagus ke faring. Indikasi
HEMII-pH tidak terstandarisasi. HEMII-pH sering digunakan pada pasien yang
tidak berespon terhadap percobaan terapi empiris atau mereka yang memiliki
banyak faktor perancu (alergi, rinosinusitis kronis, dll.). Peristiwa faring dapat
dideteksi dengan studi pH orofaring menggunakan unik sensor pH ke Perangkat ini
mudah digunakan tetapi, untuk HEMII-pH, analisis dan kriteria diagnosis harus
segera di pastikan.
 Pemeriksaan Biokimia
Deteksi Pepsin adalah teknik diagnostik non-invasif baru terdiri dari
analisis imunohistokimia pepsin di saluran napas mukosa atau sekresi pada waktu
yang berbeda dalam sehari: bangun, setelah makan, setelah episode. Sebuah meta-
analisis baru-baru ini menilai sensitivitas sensitivitas dan spesifisitas dalam air liur
masing-masing sebesar 64% dan 68%. Peptest (deteksi pepsin saliva) dikhususkan
untuk cific menjadi pepsin 3b (paling aktif), bertanggung jawab atas lesi jaringan.
Berbagai kondisi yang dapat mempengaruhi hasil seperti stres, aktivitas fisik dan
isi makanan selama pengambilan sampel selama pH masih asama yaitu 2,0, tetapi
pH hingga 7,0 juga dapat menyebabkan lesi jaringan mukosa. Enzim pepsin tidak
satu-satunya enzim yang terlibat dalam lesi mukosa. Meskipun sedikit dipelajari,
tripsin adalah enzim pankreas yang aktif pada tingkat pH yang lebih basa, dan
tampaknya memainkan peran utama dalam pengembangan jalan napas lesi mukosa.
Studi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme patofisiologis yang
mendasari aktivitas pepsin, tripsin, enzim gastroduodenal lainnya dan garam
empedu dan asam lambung bertanggung jawab untuk berkontribusi pada
pengembangan lesi mukosa di LPR.
 Menggunakan GI Endoscopy
Endoskopi GI memiliki peran terbatas dalam pengelolaan LPR. Endoskopi
GI dilakukan pada pasien dengan nyeri ulu hati, nyeri dada atau gejala GI tetapi
harus diingat bahwa endoskopi GI normal tidak mengecualikan diagnosis LPR.
Seperti yang disarankan dalam Tabel 2, pasien lanjut usia mungkin menderita
esofagitis tanpa keluhan; kemudian, endoskopi GI mungkin berguna untuk pasien
berusia >50 tahun dengan gejala kronis.
 Algoritma Diagnosis LPR

H. Penatalaksanaan
 Perubahan pola makan dan perilaku gaya hidup

Modifikasi gaya hidup adalah langkah pertama dalam manajemen. Ini termasuk
penurunan berat badan, pengurangan ukuran makanan, menahan diri dari berbaring
dalam waktu 3 jam setelah makan, makan makanan rendah lemak dan rendah asam,
menghindari minuman berkarbonasi atau berkafein, menghentikan penggunaan
tembakau, dan mengurangi asupan alkohol. Jika langkah-langkah ini gagal untuk
mencapai pengurangan gejala, obat-obatan seperti antagonis reseptor histamin H2
dan penghambat pompa proton dapat menekan produksi asam.
 PPI (Proton Pump Inhibitor)
PPI menurunkan sekresi lambung H+ dengan ikatan kovalen dengan H+/K+
ATPase. Penghambatan pompa proton meningkatkan pH tetesan refluks gas dan
membatasi aktivitas ekstraseluler pepsin pada jaringan saluran aerodigestif bagian
atas. PPI memiliki waktu paruh pendek (90 menit) dan dosis oral 20 mg
menghambat 70% enzim pompa. Dalam praktiknya, waktu paruh penghambatan
sekresi asam lambung berlangsung sekitar 24 jam. Sekitar 20% dari pompa proton
baru disintesis selama periode 24 jam dengan sintesis pompa yang lebih besar di
malam hari daripada siang hari. Namun, meningkatkan frekuensi dosis memang
memiliki beberapa efek; dosis pagi dan dosis malam sebelumnya makanan
menghasilkan sekitar 80% penghambatan output asam maksimal. Jadi, dua kali
sehari PPI bisa lebih baik karena kontrol lebih lengkap baik siang maupun malam
hari paparan asam esofagus. Secara farmakologis, penggunaan dua kali sehari 20
mg PPI bisa menjadi pendekatan yang paling efektif untuk menghambat sekresi
asam.
 Pembedahan
Fundoplikasi laparoskopi adalah pilihan yang valid, tetapi kemanjuran pada LPR
kontroversial sebagai tingkat keberhasilan berkisar antara 44% dan 94%
dibandingkan dengan 85–90% di GERD

I. Komplikasi
Komplikasi LPR jangka panjang yang signifikan dapat terjadi jika penyakit ini tidak
diobati atau tidak dikenali. Komplikasi umum meliputi:
 Batuk kronis
 Laringitis berulang
 Gangguan/ulkus rongga mulut
 Cedera / infeksi bronkopulmoner berulang, seperti pneumonia

LPR telah diidentifikasi sebagai faktor risiko karsinoma laring, meskipun hubungan ini
sedang diselidiki dan masih belum jelas.

J. Prognosis
Refluks laryngopharyngeal jangka panjang yang tidak diobati dapat menyebabkan
cedera vokal kronis dengan jaringan parut yang dihasilkan dari pita suara yang sebenarnya
dan suara serak. Dalam kasus yang jarang terjadi, LPR dapat menyebabkan stenosis
subglotis atau karsinoma sel skuamosa.Refluks laryngopharyngeal mungkin juga terkait
dengan GERD yang tidak diobati, yang menyebabkan esofagitis Barrett dan selanjutnya
degenerasi ganas menjadi adenokarsinoma jika tidak ditangani.
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang laki-laki Pasien datang ke poli THT di RSUD RAA SOEWONDO PATI
pada hari Sabtu, 29 April 2023 pukul 08.17. Pasien datang dengan keluhan nyeri
tenggorokan (+) sejak 1 bulan yang lalu, dan demam (+) 4 hari yang lalu, batuk pilek (-),
nyeri telan (-). Pasien juga memiliki riwayat penyakit dahulu berupa gastritis. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, TD 140/90, HR 80x/menit, RR
20x/menit, BB 61 kg, TB 163 cm, dan suhu 36,3 °C.

Berdasarkan pemeriksaan fisik telinga dan hidung tidak dilakukan karena pasien
tidak mengalami keluhan di kedua organ tersebut. Pemeriksaan fisik dengan laringoskopi-
endoskopi didapatkan hasil Hipertopi tonsil lingualis (+),Epiglottis tenang, Ulkus (-),
Subglotis oedem, Ventricular obliterasi sulit dievaluasi, Eritema difusa, Vocal fold oedem
mild, Gerakan plika vokalis simetris, Approksimasi baik, Difuse laring oedem mild,
Komissura posterior hipertropi obstrukstif, Oedem arytenoid bilateral (++), Granuloma (-
), Thick endolaringeal mukuos (-).

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan di poli THT, maka
diagnosis kasus ini mengarah kepada Refluks laryngopharyngeal (LPR). Refluks
laryngopharyngeal (LPR) didefinisikan sebagai kondisi yang terjadi akibat aliran
retrograde isi lambung ke dalam laringofaring yang menyebabkan peradangan pada bagian
atas jaringan saluran aerodigestif yang ditandai dari pemeriksaan fisik dengan
laringoskopi-endoskopi yang mengarah ke LPR dan gejala yang dialami pasien

Pasien diusulkan untuk melakukan terapi rawat jalan dengan farmakologis yaitu
dengan Lansoprazol 30 mg, Sucralfat Syrup, Paracetamol 500 mg Tab, dan pasien juga
diberikan edukasi untuk memodifikasi gaya hidup yang benar dan pola makan yang benar
dan teratur yaitu dengan makan malam 2-3 jam sebelum tidur, minum setidaknya 12
gelas/hari, penggunaan yogurt atau susu setiap kali makan, menghindari makan berminyak,
pedas, dan gorengan, berhenti merokok, aktivitas 30 menit/hari.
BAB V

PENUTUP

Lpr (refluks laryngopharyngeal) adalah kondisi yang terjadi akibat aliran retrograde
isi lambung ke dalam laringofaring yang menyebabkan peradangan pada bagian atas
jaringan saluran aerodigestif. Diperkirakan bahwa 10% pasien yang mengunjungi klinik
otolaringologi memiliki gejala yang disebabkan oleh refluks laringofaringeal, dan LPR
menyebabkan suara serak hingga 55% pasien dengan disfonia. Pada pasien dengan LPR,
hampir 100% akan mengeluh suara serak saat datang, bahkan tanpa adanya gejala terkait
refluks klasik lainnya. Kasus LPR dapat dipantau dengan impedansi intraluminal-pH
hipofaringeal-esofagus (HEMII-pH) yang dianggap sebagai gold standart diagnostik.
Etiologi dan Faktor Resiko ialah Paparan langsung asam lambung dapat merusak epitel
pada laring. Faktor risiko untuk LPR sama dengan GERD, termasuk mengonsumsi
makanan berat dalam makanan asam atau berlemak dan kafein atau alkohol, makan besar
sebelum tidur, obesitas, dan merokok. Perbedaan utama antara LPR dan GERD adalah
manifestasi gejala dan etiologi yang mendasarinya, yaiut pada GERD terdapat kerusakan
pada sfingter esofagus bagian bawah, sedangkan pada LPR terdapat kerusakan pada
sfingter esofagus bagian atas. Patofisiologi LPR masih belum sepenuhnya dipahami.
Gejala umum LPR meliputi Suara serak, Lendir yang kental atau terlalu banyak, Iritasi
tenggorokan kronis, Pembersihan tenggorokan kronis, Batuk kronis, Masalah suara, Batuk
yang membangunkan dari tidur.
Diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, penggunaan parameter RSI dan RFS,
penggunaan HEMII-PH, pemeriksaan biokimia, dan penggunaa GI Endoscopy.
Penatalaksanaan dari LPR sendiri ada secara farmakologis dan non-farmakologis, dimana
yang non-farmakologis dapat dilakukan dengan perubahan pola makan dan perilaku gaya
hidup, sedangkan untuk farmakologisnya dapat diberikan obat golongan PPI (Proton Pump
Inhibitor) seperti omeprazole, lansoprazole, dll. Pembedahan masih diragukan dalam kasus
LPR. Komplikasi dari LPR meliputi batuk kronis, laryngitis berulang, juga dapat
menyebabkan karsinoma laring. Prognosis dari LPR sendiri jika tidak segera ditangani
akan memberikan komplikasi yang cukup berat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bruss DM, Sajjad H. Anatomy, Head and Neck: Laryngopharynx. 2022. StatPearls .
Treasure Island (FL): StatPearls
2. Lechien, J. R., Saussez, S., Muls, V., Barillari, M. R., Chiesa-Estomba, C. M., Hans, S., &
Karkos, P. D. (2020). Laryngopharyngeal reflux: A state-of-the-art algorithm management
for primary care physicians. Journal of Clinical Medicine, 9(11), 1–18.
https://doi.org/10.3390/jcm9113618
3. Brown J, Shermetaro C. Laryngopharyngeal Reflux.2022. StatPearls . Treasure Island
(FL): StatPearls
4. Lechien JR. Pediatric Laryngopharyngeal Reflux: An Evidence-Based Review. Children
(Basel). 2023 Mar 18;10(3):583. doi: 10.3390/children10030583. PMID: 36980141;
PMCID: PMC10047907.
5. Salihefendic N, Zildzic M, Cabric E. Laryngopharyngeal Reflux Disease - LPRD. Med
Arch. 2017 Jun;71(3):215-218. doi: 10.5455/medarh.2017.71.215-218. PMID: 28974837;
PMCID: PMC5585794.
6. Kim, S. Il, Lechien, J. R., Ayad, T., Jia, H., Khoddami, S. M., Enver, N., Raghunandhan,
S. K., Hamdan, A. L., & Eun, Y. G. (2020). Management of laryngopharyngeal reflux in
asia. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology, 13(3), 299–307.
https://doi.org/10.21053/ceo.2019.01669
7. Junaid, M., Qadeer Ahmed, S., Kazi, M., Khan, H. U., & Sohail Halim, M. (2020).
Laryngopharyngeal Reflux Disease: Outcome of Patients After Treatment in
Otolaryngology Clinics. Cureus, 12(12), 1–9. https://doi.org/10.7759/cureus.12195
8. Lechien, J. R., Mouawad, F., Barillari, M. R., Nacci, A., Khoddami, S. M., Enver, N.,
Raghunandhan, S. K., Calvo-Henriquez, C., Eun, Y. G., & Saussez, S. (2019). Treatment
of laryngopharyngeal reflux disease: A systematic review. World Journal of Clinical
Cases, 7(19), 2995–3011. https://doi.org/10.12998/wjcc.v7.i19.2995
9. Sung, C. K. (n.d.). Laryngopharyngeal Reflux ( LPR ) Protocol.

Anda mungkin juga menyukai