Anda di halaman 1dari 3

FAKTOR PERNIKAHAN & USIA BUKAN PENGHALANG

BAGI PEREMPUAN DALAM MENUNTUT ILMU

Pada era saat ini, pendidikan merupakan hal krusial bagi setiap orang. Pendidikan
bertujuan untuk memberikan bekal dalam kehidupan, baik dari sisi penguasaan ilmu
pengetahuan, kemampuan bernalar, dan budi pekerti. Pendidikan juga merupakan syarat
mutlak dalam mencari nafkah, di mana pada saat ini hampir semua lapangan pekerjaan
mensyaratkan pendidikan bagi pelamar.

Akan tetapi di Indonesia, angka putus kuliah di Indonesia tergolong masih tinggi,
terutama di kalangan perempuan. Laporan Statistik Pendidikan Tinggi 2020 dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi menunjukkan terdapat 231 ribu perempuan yang putus sekolah.
Hal senada disampaikan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim di bulan September
2021, bahwa peserta didik perempuan lebih rentan putus sekolah atau kuliah.

Terdapat berbagai hal yang menyebabkan tingginya angka putus kuliah bagi
perempuan di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa
sejumlah alasan utama putus sekolah atau kuliah secara umum adalah faktor ekonomi,
menikah, dan bekerja. Sedangkan secara khusus pada perempuan terdapat faktor sosial
yaitu stereotip budaya di masyarakat yang masih cenderung menomorduakan pendidikan
bagi perempuan. Pada umumnya perempuan dianggap hanya akan mengurus rumah-tangga
dan tidak memerlukan pendidikan tinggi. Tingkat peluang karir juga dirasakan lebih baik
pada laki-laki dari pada perempuan. Sehingga keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi
cenderung lebih memprioritaskan pendidikan bagi anak laki-laki dibandingkan bagi anak
perempuan.

Pemahaman seperti ini tentunya tidak tepat, karena seorang perempuan umumnya
adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Sebagai guru pertama, maka seorang perempuan
wajib memiliki pendidikan yang memadai agar dapat mendidik anak-anaknya dengan baik,
dari sisi intelektual maupun moral. Kesetaraan hak pendidikan antara laki-laki dan
perempuan juga merupakan hal yang menjadi keniscayaan pada saat ini. Pada masa yang
penuh dengan ketidakpastian seperti sekarang, tidak mungkin hanya mengandalkan pihak
laki-laki atau suami dalam mencari nafkah.

Faktor ekonomi juga mendominasi penyebab putus sekolah atau kuliah. Tidak sedikit
mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan yang harus berhenti menuntut ilmu di sekolah
maupun universitas karena faktor ekonomi, dan terpaksa harus bekerja. Akan tetapi,
mereka ini cenderung bekerja di sektor informal, di mana persyaratan pendidikan untuk
pekerja di sektor ini tergolong minim.

Namun demikian, pekerjaan di sektor informal seperti ini tidak memberikan jaminan
penghidupan yang memadai. Umumnya mereka mendapat upah di bawah Upah Minimum
di daerahnya serta tidak terlindungi oleh berbagai program jaminan sosial yang disyaratkan
pemerintah, misalnya BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Survei dari Badan Pusat
Statistik (BPS) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa rata-rata upah pekerja sektor informal
hanya sebesar Rp. 1,8 juta per bulan – bandingkan dengan upah minimum di Jakarta yang
pada saat itu sebesar Rp. 3,9 juta. Laporan dari International Labor Organization (ILO)
menyebutkan bahwa pekerja informal adalah pekerja rentan, karena mereka tidak
mendapatkan hak dasar seperti jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, serta waktu
istirahat yang memadai. Umumnya pekerja sektor informal bahkan tidak memahami hak-
hak dasarnya sendiri.

Bagi kaum perempuan, terdapat faktor tambahan yang semakin meningkatkan angka
putus sekolah atau kuliah, yaitu pernikahan, khususnya pernikahan di usia yang relatif dini.
Menurut Indrajati Sidi, Dirjen Pendidikan Dasar & Menengah, sebanyak 88.4% lulusan SMA
dan sederajat tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi dan hal ini terutama disebabkan
karena pernikahan.

Dalam tulisan ini, Penulis ingin membagikan pengalaman tentang hal-hal


sebagaimana di atas yang pernah Penulis alami. Penulis pernah mengalami putus kuliah
yang disebabkan karena faktor ekonomi. Keputusan itu tentunya tidak mudah, muncul
dilema antara melanjutkan kuliah dan bekerja. Akan tetapi lapangan kerja yang tersedia pun
hanya di sektor informal. Karena desakan ekonomi, Penulis terpaksa bekerja di sektor
informal, dan berpindah-pindah dari satu pekerjaan informal ke pekerjaan informal lainnya,
seperti menjaga toko bahan makanan, menjaga toko handphone & aksesoris, kasir restoran,
dan sebagainya.

Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia, mulai muncul desakan
dari lingkungan sekitar untuk menikah. Ketika Penulis menikah, sempat terpikir bahwa cita-
cita untuk menyelesaikan pendidikan tinggi sudah tidak mungkin diraih, mengingat pada
umumnya perempuan yang sudah menikah akan dituntut untuk mengurus rumah-tangga
dan anak secara penuh.

Akan tetapi segala sesuatu dapat terjadi di luar dugaan. Penulis sangat bersyukur
memperoleh seorang suami yang sangat mengutamakan pendidikan di mana ia mendukung
penuh cita-cita Penulis untuk menyelesaikan pendidikan tinggi. Saat ini Penulis kembali
melanjutkan studi di bangku kuliah dan mengambil Program Studi Sekretari di Universitas
Budi Luhur.

Pesan penulis kepada rekan-rekan khususnya kaum perempuan yang mengalami


putus sekolah atau kuliah, jangan pernah menyerah mengejar cita-cita, tetaplah
bersemangat untuk mencari peluang dalam mengejar pendidikan. Jangan merasa bahwa
ketika usia sudah bertambah, maka tidak ada kesempatan lagi untuk kembali ke bangku
kuliah. Ketika kembali ke bangku kuliah, usia Penulis saat ini memang sekitar 4-5 tahun di
atas teman-teman kuliah, tetapi hal ini tidak menjadi penghalang ataupun alasan untuk
tidak percaya diri. Penulis dan teman-teman kuliah Penulis dapat saling bercerita dan
berbagi pengalaman. Pengalaman Penulis saat bekerja, walaupun hanya di sektor informal,
sedikit-banyak dapat memberikan gambaran kepada teman-teman kuliah Penulis tentang
sikap dan perilaku yang dituntut di lingkungan kerja. Sebaliknya, Penulis pun banyak belajar
hal-hal baru dari teman-teman Penulis yang jauh lebih muda, khususnya dalam penggunaan
teknologi.
Jika saat ini kondisi memang masih belum memungkinkan untuk melanjutkan
pendidikan, usahakan untuk memperluas wawasan, berkenalan dengan pihak-pihak yang
menghargai pentingnya pendidikan, serta sedapat mungkin aktif di lingkungan atau kegiatan
di masyarakat maupun organisasi yang memungkinkan untuk membuka peluang ke dunia
pendidikan.

Penulis mengajak rekan-rekan untuk mencontoh seorang perempuan Thailand


bernama Sathaporn Phrom Sri yang masuk kuliah di usia 80 tahun dan diwisuda pada usia
88 tahun. Tidak ada kata terlambat ataupun terlalu tua untuk belajar.

Anda mungkin juga menyukai