Bio Ringkasan
Bio Ringkasan
desain, tidak ada tujuan, ridak ada kcjahatan dan kebaikan, tidak ada apa-apa kc-
cuali keridakacuhan yang buta dan tanpa belas kasihan" (Dawkins, 1995: 133):
Di dalam scbuah alam semeSta yang memuat daya-daya fisika yang buta dan
rcplikasi gcnctika, beberapa orang akan terluka, beberapa orang akan berun
tung, dan Anda tidak akan menemukan ritme atau alasan untuknya, juga tidak
ada kcadilan. Jagat raya yang kita amati persis mcmiliki kualitas yang kita harus
harapkan jika pada dasarnya tidak ada desain, tidak ada tujuan, tidak ada ke-
jahatan dan kebaikan, tidak ada apa-apa kecuali ketidakacuhan yang buta dan
Inti dari dunin Dawkinsian: meskipun dunia natural, dunia fisika, penuh
dengan ekstensi, durasi, angka, atom, asteroid, kuark, dan rasa senang dan
sakit, secara kentara dunia ini bebas dari baik dan jahat. Berikan sebuah
dcskripsi saintifik komplct untuk peluru yang mcncmbus kcpala scorang anak
Dunia yang disajikan sains, jumlah total dunia Dawkins, adalah dunia tanpa
baik atau jahat. Di dalam dunia fakta•fakta, nilai tidak ditealmukan di mana pun.
Singkirkan Allah dari pcrtimbangan, dan moralitas akan sulit untuk ditcmui.
Plato memerlukan Forma Kebaikan yang transenden, nabi dan imam me-
merlukan kehendak Allah untuk menyediakan ruang dalam kosmos bagi ke-
baikan dan kejahatan objektif. Beberapa filsuf kontemporer lari dari Allah,
namun jatuh ke dalam pelukan satu Pengamat Ideal yang mirip allah namun
tail-detail kecil dan keterbatasan yang unik yang mencegah kita sebagai penga-
dan kerabat kita—untuk menentukan Kebaikan untuk semua dan untuk setiap waktu. Luaskan dunia untuk
memuat yang transenden, dan kebaikan dan
Anda ke dunia natural, dunia fakta, dan lihat apa Anda bisa menjaring nilai.
baikan kcluar dari topi evolusioner (di dalam dunia Dawkinsian)? Bisakah
evolusi, atau lebih baik, evolusi yang dikosongkan dari yang kckal, membe-
rikan isi dan fondasi moralitas?
Di dalam dunia Dawkinsian—scbuah dunia yang "tidak ada desain, tidak ada
tujuan, tidak ada kcjahatan dan kcbaikan, tidak ada apa-apa kccuali kctidak-
kuno dari fllsufJ. L. Mackie, "janggal" (Mackie, 1977). Nilai-nilai moral Objek-
tifakan menjadi "janggal" dalam dunia Dawkinsian karena mercka tidak scpcrti
yang lain di dalam dunia tersebut (fakta-fakta nonmoral yang tidak acuh).
Kejanggalan berlipat ganda. Kita teguh percaya bahwa penilaian moral kita
atau bahwa kita memiliki hak untuk kebebasan dan kebahagiaan, ada sesuatu
dar selera, hasrat, konvensi, atau kegunaan manusia. Jika lembaga perbudakan
bisa memaksimalkan kepuasan hasrat atau kegunaan, tetap itu keliru. Inde-
penden dari kepercayaan dan hasrat manusia, ada sesuatu yang membuatnya
keliru. Mari kita sebut sesuatu yang membuat hal-hal benar dan salah sebagai
fakta moral (entah itu kehendak Allah, forma Plato, atau natur manusia yang
esensial). Karena tidak ada nilai objektif dalam dunia Dawkinsian, keliru un-
tuk berpikir mengenai penilaian moral kita sebagai benar secara objektif. Jika
tidak ada fakta objektif, tidak ada penilaian moral kita yang benar. Keper-
cayaan yang kita pegang mendalam bahwa penilaian moral kita benar adalah
juga memiliki apa yang disebut Richard Joyce dengan pengaruh praktis (Joyce,
2006). Pengaruh praktis dari penilaian moral terletak dalam fakta bahwa pe-
nilaian moral kelihatannya tidak bisa dihindari dan otoritatis Pengaruh praktis
penilaian moral melibatkan ide tentang otoritas moral: alasan integral untuk
bertindak sesuai dengan tuntutan moral. Ide tentang otoritas ini membeda-
kan penilaian moral dari prinsip-prinsip lainnya, seperti aturan etiket (misal-
nya, "Anda harus menggunakan peralatan makan" dan "Cuci tangan setelah
ke kamar kecil"). Penilaian moral memiliki otoritas yang tidak dimiliki aturan
perkembangan penilaian moral yang tidak bisa dihindari dan otoritatif? Seleksi
cara yang menolong. Untuk lebih Ianjut membantu manusia bertindak secara
harus menolong orang lain, bahkan sampai titik mengorbankan diri sendi-
harus melakukan demikian. Joyce mengargumentasikan bahwa cerita ini akhirnya tidak meyakinkan
karena kita kcliru tentang penilaian moral: di dalam dunia Dawkinsian, tidak
ada fakta moral. Evolusi tidak membela moralitas; cpolusi membantah moralitas.
Dengan ketiadaan fakta moral, seseorang bisa terjebak untuk sama sekali
mengabaikan diskursus moral. Joyce menolak pilihan ini dan memilih Mik-
tahankan bahwa diskursus moral mesti berlanjut bahkan jika tidak ada kebe-
praktis, meski saat yang bersamaan percaya bahwa tidak ada kebenaran moral.
si tindakan dengan entah kualitas "mesti dikerjakan" atau "tidak boleh diker-
jakan" (Joyce, 2001: 181). Jika Anda berpikir bahwa ada fakta moral objektif
tentang, katakan, kerakusan, dan Anda memercayainya, maka Anda akan lebih
adalah vaksin melawan godaan. Joyce mengargumentasikan bahwa sebagai warga negara dunia
Dawkinsian,
kita semakin sadar bahwa kepercayaan moral kita tidak benar. Namun, masuk
sebuah fiksi berguna meskipun benar dan salah telah dikeringkan dari makna
mereka. Ruse dan Wilson setuju: "Manusia berfungsi lebih baik jika mereka
ditipu oleh gen mereka untuk berpikir bahwa ada moralitas objektif tanpa
kepentingan yang mengikat mereka, yang harus ditaati semua" (Ruse and
Wilson, 1986: 179). Problem dengan fiksionalisme adalah bahwa pemikiran moral dan bahasa
moral memiliki kegunaan dan kekuatan hanya jika mereka dipercaya secara
aktual. Jika orang menjadi berpikir bahwa moralitas adalah fiksi yang ber-
segala sesuatu diizinkan." Kutipan ini sering kali dianggap mengimplikasikan kepercayaan Dostoevsky
bahwa moralitas bergantung secara esensial kepada
Allah; sehingga, jika tidak Ada Allah (tidak ada yang membuat pertimbangan
nilai menjadi benar), maka tidak ada benar dan salah dan setiap orang boleh
yang lain juga. la mungkin berpikir bahwa jika Allah tidak ada, manusia akan
akan melakukan apa yang mereka suka. Pertimbangkan sebuah analogi. Ketika anak saya berusia 7
tahun, gurunya
tuk perilaku yang pantas yang semua murid di kelasnya pelajari dengan baik.
but tanpa ragu dan setiap murid menyetujui bahwa peraturan-peraturan terse-
but esensial untuk berfungsinya kelas dengan seharusnya. Namun, ketika sang
sang guru. Begitu nilai etika objektif pergi, kita kehilangan motivasi moral.
Begitu kehilangan motivasi moral, kita mungkin dengan lebih sadar diri me-
saya percaya bahwa kebanyakan orang yang dengan jelas mengerti paradigma
Darwinian baru dan memikirkannya dengan tulus akan dituntun kepada belas
kasih dan kepedulian yang lebih besar bagi sesama manusia. Atau, paling tidak
kepedulian yang lebih besar akan kelihatan pantas" (Wright, 1994: 338).
Seseorang bisa bertanya bagaimana moralitas yang adalah lelucon bisa dipikir-
kan akan menginspirasikan belas kasihan dan kepedulian yang lebih besar dan
bukan pengejaran individualistik yang kukuh akan hasrat diri sendiri. Ruse lebih
jujur: ' 'Fakta sederhananya adalah bahwa jika kita melihat moralitas tidak lebih
dari sebuah epifenomena dari biologi kita, kita akan berhenti memercayainya
yang kuat yang membuat kita sebagai kooperator akan runtuh" (Ruse, 1991:
kehilangan motivasi untuk bermoral. Dengan asumsi bahwa kita telah bercvolusi menjadi pribadi
yang rasional, mementingkan diri sendiri, dan prososial, apa yang mungkin memotivasi kita un-
tuk menjadi moral? Pandangan tentang dunia apa, dunia yang nondawkinsian,
yang lebih selaras dengan keyakinan mendalam kita mengenai kebenaran moral
kehidupan duniawi ini, tidak selalu ada dalam kepentingan kita untuk men-
jadi moral. Bahkan, mungkin paling baik untuk kepentingan kita adalah ber-
bohong, menipu, atau mencuri (jika kita bisa tidak tertangkap), jika tidak ada
sekarang ini tersedia bagi kita, maka moralitas bisa dilihat sebagai penghalang
dengan kebajikan (di dalam hidup ini). Ini tidak sulit untuk dilihat dengan
tuntutan moral yang sangat keras sehingga tidak ada keuntungan duniawi yang
dapat diterima bagi diri sendiri setelah memenuhinya: memberikan hidup bagi
seorang anak, katakan, atau pengorbanan seumur hidup untuk seorang anak
yang cacat mental parah; tetap ada dalam pernikahan yang sangat bermasalah
mengambil tanggung jawab mungkin menjadi biaya bagi diri sendiri; merawat
orang tua berusia lanjut yang menderita Parkinson. Bahkan kewajiban-kewajiban yang kurang
menuntut—mcnyatakan seluruh
melebihkan biaya untuk mencapai jumlah risiko sendiri waktu membuat klaim
bos lampu merah waktu terlambat untuk rapat penting, atau mengembalikan
dan mereka bisa bertindak seperti ini bahkan kepada orang yang baik kepada mereka. Lebih lagi:
orang kadang-kadang sukses dengan cara ini. Fakta bahwa kita memiliki kapasitas
menunjukkan bahwa ada waktu di dalam evolusi ketika bersikap baik kepada
orang lain bukan strategi optimal secara genetika" (Wright, 1994: 215).
bertindak bagi kepentingan orang lain, adalah sebuah tuntutan moral. Kon-
disi moral tertinggi dari seorang individu bukan hanya melakukan hal yang
benar, namun melakukannya dengan simpati tulus bagi orang lain. Altruisme
bersifat tulus hanya jika muncul utamanya dari kepedulian kepada orang lain.
ciptakan lingkungan yang sehat bagi anaknya dan dirinya sendiri. Hilangkan
harapan dari orang tua bahwa mengerjakan kewajibannya bagi anaknya akan
menghasilkan kebaikan yang lebih besar baik bagi sang anak maupun dirinya
sendiri, dan orang tua tersebut akan kehilangan semangat. Hilangkan harapan
seperti itu dari diri orang tua secara umum, dan proyek menjadi orang tua
segera akan ditinggalkan. Pengorbanan diri yang dituntut dari orang tua
untuk dirinya sendiri. Apa yang telah saya katakan tentang menjadi orang tua dapat diluaskan ke
kewajiban harus dilakukan dengan pantas dan utamanya dimotivasi oleh kepe-
dulian tulus bagi orang lain. Meski demikian, ini tidak memerlukan seseorang
orang lain. Kita harus berupaya memiliki sebuah komunitas yang mengabdi
Kepentingan diri tidak dapat dan tidak boleh dihilangkan. Jika kita telah
kepedulian kepada diri dan orang lain. Untungnya, mementingkan diri sendiri
na untuk orang tua yang baik, untuk utamanya menginginkan kebaikan bagi
orang lain, tetapi juga menginginkan kebaikan diri sendiri. Seseorang dapat
dan harus berharap untuk menghasilkan situasi untuk pemuasan hasrat yang
maksimum baik untuk orang lain maupun diri sendiri. Agar tidak kehilangan semangat, kehidupan
kebajikan atau kewajiban ti-
dak bisa dilihat sebagai halangan untuk kebahagiaan saya. Artinya, saya ha-
rus percaya bahwa pengejaran untuk kebaikan Anda juga kondusif untuk ke-
baikan saya (jadi, tidak semuanya adalah biaya bagi saya). Motivasi moral dari
dipuaskan. Apa persisnya mestinya harapan kita? Apa yang harus kita harapkan
lam hidup ini antara pengabdian kepada kebajikan dan pemuasan hasrat ma-
gaimana adanya kita sebagai makhluk, menjadi bajik tidak bisa dilihat sebagai
memotivasi kita karena kita akan percaya bahwa upaya kita yang terbaik
meskipun selalu lemah untuk sukses tidak akan sia-sia. Ambil harapan itu dari
kita, dan kita akan percaya bahwa karena pergumulan moral tidak dapat dime-
nangkan, tidak ada gunanya untuk dijalani. Lebih baik mendapatkan seluruh
diperoleh bagi diri sendiri. Namun, haruskah kita berharap untuk dunia yang lebih baik hanya demi
keegoisan? Di sini tuntutan kebajikan jelas dan, seperti ditekankan oleh ke-
kecuali dan sampai mereka memuat kepentingan orang lain. Manusia yang
agar kita mempertimbangkan bukan hanya kepentingan kita, namun juga ke-
inginkan kebaikan orang lain adalah kebalikan keegoisan: ini adalah altruisme
dalam bentuknya yang terbaik. Kehidupan kebajikan didapatkan dengan menyingkirkan dari diri
pengab-
dian yang tidak berdasar dan eksklusifkepada diri kita sendiri dan mengambil
sukacita orang lain dan berduka karena kesedihan orang lain (yang juga akan
akan berduka dan bersukacita dengan diri sendiri). Kebajikan adalah hadiahnya: ketika kebajikan dan
keadilan berpelukan, se-
buah komunitas manusia yang ideal terbentuk, yang dengan tulus bersukacita
di dalam dan mencari kebaikan orang lain. Pemuasan mutual dari hasrat ma-
pemuasan hasrat. Pertama, orang yang bajik menjamin pemuasan dari hasrat
mengabdi untuk kebahagiannya juga, orang yang bajik tersebut juga menja-
Jika kita menerima tuntutan moral dengan serius, yaitu mengorbankan ke-
bahagiaan kita dan bahkan hidup itu sendiri demi kebaikan orang lain, maka
orang yang mementingkan diri sendiri secara rasional harus percaya bahwa
jutnya. Hal-hal ini disingkirkan dari dunia Dawkinsian. Kepercayaan teistik menyatukan perintah
altruistik dari kehidupan moral
giaan manusia tidak dijamin di dalam hidup ini. Jika mereka bisa diperoleh,
maka harus ada keberadaan setelah kematian tempat kebajikan selaras dengan
kebahagiaan. Jika kebajikan atau kebahagiaan melalui kebajikan tidak bisa di-
diri sendiri untuk kebaikan-kebaikan dalam dunia ini saja, dengan demikian,
orang yang berpikiran sama dan secara intrinsik menghasilkan kebahagiaan. Kita telah menawarkan
sebuah argumen teoretis bahwa sebuah dunia yang
teis dapat secara rasional memotivasi moralitas, namun sebuah dunia Dawkinsian
tidak bisa. Di dalam dunia Dawkinsian, kebaikan dan kejahatan bersifat jang-
gal, dan moralitas adalah fiksi yang berguna (yang dapat diabaikan jika itu se-
suai kebutuhan). Mari kita pertimbangkan pertanyaan ini secara lebih praktis.
Allah efektif? Perintah Ilahi tentu tidak bisa dihindarkan dan otoritatif. Dan,
ketika didukung oleh ancaman hukuman dan upah, menarik secara rasional.
premis ini: Mungkin sebuah survei akan menunjukkan bahwa sebagai sebuah kelompok,
orang ateis dan agnostik lebih hormat kepada hukum, lebih peka terhadap
kepentingan orang lain, atau lebih etis daripada orang beragama. Pastinya tidak
ada survei yang bisa diandalkan yang telah dilakukan untuk menunjukkan se-
baliknya. Mungkin saja yang terbaik yang bisa dikatakan tentang agama adalah
yang cerdas. Jika Anda merasa bahwa kesimpulan ini menyinggung perasaan,
dari saya)
gius sukses luar biasa untuk mendorong kerja sama manusia dan memotivasi
religius abad kesembilan belas lebih mungkin untuk bertahan hidup dibanding-
kan komunitas sekular; secara rata-rata komunitas religius bertahan empat kali lebih lama
dibandingkan komunitas sekuler (Sosis, 2000). Sosis dan
Israel, mereka yang religius memiliki tingkat kerja sama yang jauh lebih tinggi
dibandingkan yang sekuler, dan para lelaki yang religius jauh lebih altruistik
dibandingkan para lelaki sekuler (Sosis and Bressler, 2003). Survei Dominic
tinggi" diasosiasikan secara kuat dengan kerja sama (Johnson, 2005). Mengapa kepercayaan religius
kondusif bagi altruisme dan kerja sama?
Jonathan Haidt dan Selin Kesebir mendefinisikan sistem moral sebagai "pe-
volusi yang terjalin dan bekerja bersama untuk menekan atau mengatur ke-
egoisan dan membuat kehidupan sosial menjadi mungkin" (Haidt and Kesebir,
tkan agen pribadi nonmanusia dengan kepedulian bagi dan kekuatan untuk
mencipta kerja sama moral yang diperlukan untuk kohesi kelompok jangka
moralitas atau sahabat kebaikan. Yang paling penting, keberadaan ini dipikir-
kan sebagai memiliki kuasa untuk mencegah perilaku antisosial. Masalah umum untuk kerja sama
disebut masalah penumpang gratis.
lebih baik untuk menjadi imoral secara selektif jika ini menguntungkan bagi
mengambil keuntungan dari semua orang yang membayar tiket untuk naik
bus, namun gagal untuk membayar tiket bagi dirinya sendiri; secara harfi-
baik moral: menipu dalam pajak (dan mendapatkan keuntungan dari hidup
tidak bekerja keras, mencuri dari toko gandum, dan seterusnya. Selama hu-
kuman tidak mungkin terjadi (karena deteksi dan pemberian hukuman mahal
mereka sendiri dengan biaya yang relatif kecil bagi diri mereka sendiri atau
biaya kecil atau tidak ada biaya sama sekali. Kepercayaan dan praktik religi-
Studi empiris mendukung klaim bahwa perilaku kooperatif meningkat ke- tika kepercayaan atau
ketakutan akan deteksi meningkat. Jesse Bering mene mukan bahwa anak-anak berusia 3 tahun lebih
tidak mungkin membuka ko tak terlarang ketika diberitahu bahwa seorang agen yang tidak kelihatan,
Putri Alice, ada di dalam ruangan (Bering and Parker, 2006). Azim Shariff dan Ara Norenzayan
menunjukkan bahwa ateis dan teis sama-sama jauh lebih murah hati, jujur, dan menolong ketika
disugesti dengan konsep-konsep Allah (Shariff and Norenzayan, 2007). Orang religius lebih mungkin
dibandingkan orang nonreligius untuk mengerjakan perilaku yang menguntungkan orang lain dengan
biaya bagi diri sendiri ketika pemikiran-pemikiran religius diaktifkan dengan segar di dalam pikiran
mereka. Di dalam satu eksperimen yang meli- batkan memberikan uang secara anonim kepada
seorang asing, hanya menam bahkan gambar mata ke latar belakang komputer secara luar biasa
mening- katkan pemberian (Haley and Fessler, 2005). Ekperimen lain menunjukkan bahwa
menggambar mata di kotak donasi yang dipakai untuk mengumpulkan uang untuk minuman di
tempat makan universitas menambah pembayaran (Bateson, Nettle and Roberts, 2006). Keadaan
diamati mengurangi perilaku egois; diamati oleh Allah (yang bukan hanya tahu, namun juga
menghukum) lebih jauh mengurangi perilaku egois.
Namun, bahkan perlu lebih dari diamati untuk secara luar biasa menam bahkan perilaku tidak egois.
Kepercayaan religius saja, atau takut ketahuan, mungkin membuat orang tidak menipu, namun hanya
kepercayaan religius yang dalam dan tulus sebagaimana ditunjukkan dalam praktik religius reguler
yang transformatif secara moral. Penelitian empiris baru-baru ini telah me nunjukkan bahwa, sebagai
contoh, orang-orang yang pergi ke gereja secara teratur memiliki sejumlah ciri-ciri moral yang positif,
menarik, yang secara statistik signifikan. Agama, sebagai sebuah sumber perilaku moral, terbukti
superior dibandingkan ketidakpercayaan.
Bisakah agama agama memenuhi apa yang mereka janjikan, untuk mem buat orang lebih baik secara
moral dan spiritual? Penelitian baru-baru ini te lah menunjukkan bahwa kepercayaan religius
superior dibandingkan motivasi nonreligius untuk moralitas dan secara empiris diverifikasi sebagai
lebih baik untuk memotivasi moralitas. Pendeknya, agama mendukung moralitas.
Meskipun kepercayaan kepercayaan religius kadang menyalurkan rasa ti dak toleran dan kekerasan,
mereka juga menjinakkan natur kita yang lalim dan
keuntungan kesehatan dan usia panjang dari menjadi bagian komunitas re-
ligius telah lama diketahui, keuntungan moral dari berada dalam komunitas
menyimpulkan bahwa orang-orang percaya religius yang aktif jauh lebih mu-
rah hati daripada orang-orang yang tidak percaya. Berdasarkan data konkret
dari Biro Nasional Penelitian Ekonomi 2005, Survei Standar Komunitas Ka-
pital Sosial 2000, Survei Sosial Umum 1996—2004, Program Survei Sosial In-
ternasional 1998—2001, dan banyak lain, analisisnya, dalam Who Really Cares?
Bayangkan dua orang: Satu pergi ke gereja setiap minggu dan dengan keras menolak ide bahwa
pemerintah memiliki tanggung jawab untuk meredistribusi penghasilan antara orang-orang yang
memiliki banyak uang dan yang tidak. Orang yang lain tidak pernah masuk ke rumah ibadah, dan
dengan kuat per- caya bahwa pemerintah harus mengurangi perbedaan penghasilan.
Hanya mengetahui hal-hal ini, data memberitahukan kita bahwa orang yang pertama akan kurang
lebih memberikan uang kepada organisasi amal dua kali lebih banyak dibandingkan orang kedua
dalam setahun, dan akan memberi kan uang seratus kali lebih banyak per tahun (sebagaimana lima
puluh kali lebih banyak untuk hal-hal yang secara eksplisit nonreligius). (Brooks, 2006: 10)
Orang percaya religius jauh lebih mungkin, dibandingkan orang sekuler, di antara banyak hal, untuk
menjadi sukarelawan, donor darah, meminjamkan uang kepada sahabat dan keluarga (dan dengan
lebih murah hati). Bahkan setelah dikurangi uang yang diberikan dan waktu yang disumbangkan di
lem- baga religius, orang-orang percaya jauh lebih murah hati dengan uang dan waktu mereka.
Dalam ukuran kemurahan hati mana pun, orang religius menga lahkan orang sekuler. Brooks
menyimpulkan: "Orang religius lebih beramal di dalam segala ukuran nonreligius-termasuk
sumbangan sekuler, pemberian informal, dan bahkan tindakan kebaikan dan kejujuran daripada para
seku laris" (Brooks, 2006: 38).
Para kritikus agama sering kali mengklaim adanya bias religius untuk mengunggulkan pemaksaan
teokratis untuk moralitas religius yang ketat atau penghindaran model ghetto terhadap ruang publik
yang jahat. Agama meng goda pengikutnya untuk menganut triumfalisme atau tribalisme. Agama, da
lam pandangan ini, adalah akar dari segala kejahatan politis. Namun, studi demi studi menunjukkan
bahwa agama, paling tidak di Barat, sering kali justru memainkan peranan penting di dalam
mendukung norma-norma, kecenderungan, keterampilan, dan relasi yang dikatakan teo retikus
demokratis esensial bagi kewarganegaraan yang aktif.
Di dalam karya baru-baru ini tentang perkembangan apa yang bisa disebut sebagai kemampuan sipil
(seperti sukarelawan), studi menunjukkan bahwa tempat-tempat ibadah di Amerika Serikat adalah
lahan paling penting untuk mengembangkan kepemimpinan, komunikasi, dan "keterampilan sipil"
yang penting dalam demokrasi modern. Sebagai tambahan, orang religius lebih terlibat dalam
aktivitas sipil. Penemuan demikian mestinya memberikan keya- kinan bagi teoretikus demokratis
yang menekankan pentingnya publik yang memiliki informasi dan peduli. Ada juga asosiasi positif
secara umum antara tingkat religiositas dengan
kepemilikan "kapital sosial," yaitu, kecenderungan dan jaringan yang men dukung pembuatan
keputusan secara kolektif. Di dalam buku Bowling Alone (Bermain Boling Sendirian), ahli politik
Harvard Robert Putnam mengar- gumentasikan dengan meyakinkan bahwa kecenderungan-
kecenderungan, seperti kepercayaan antarpibadi dan timbal-balik, penting bagi adanya lemba- ga-
lembaga politik dan ekonomi yang efektif. Institusi religius adalah tempat kunci untuk pengembangan
disposisi seperti demikian. Kekuatan agama be gitu nyata sehingga Putnam sendiri telah
menyampaikan kepedulian ini secara publik bahwa tingkat partisipasi religius yang menurun di antara
orang-orang muda mungkin akan memiliki efek beracun bagi kehidupan publik yang sehat di Amerika
Serikat. Orang-orang Amerika yang religius secara aktif jauh le bih tidak menyalahgunakan alkohol
dan obat-obatan dan dengan demikian lebih sehat secara fisik dan hidup lebih lama dibandingkan
sesama mereka yang nonreligius. Kesehatan dan religiositas, yang keduanya dinikmati oleh orang-
orang religius yang aktif, adalah peramal terbaik akan kebahagiaan di dalam diri orang-orang usia
lanjut. Orang-orang dengan iman yang dalam dan keterlibatan dalam komunitas iman pulih