Anda di halaman 1dari 14

Richard Dawkins mengklaim bahwa di dunia yang ditemukan Sains "tidak ada

desain, tidak ada tujuan, ridak ada kcjahatan dan kebaikan, tidak ada apa-apa kc-

cuali keridakacuhan yang buta dan tanpa belas kasihan" (Dawkins, 1995: 133):

Di dalam scbuah alam semeSta yang memuat daya-daya fisika yang buta dan

rcplikasi gcnctika, beberapa orang akan terluka, beberapa orang akan berun

tung, dan Anda tidak akan menemukan ritme atau alasan untuknya, juga tidak

ada kcadilan. Jagat raya yang kita amati persis mcmiliki kualitas yang kita harus

harapkan jika pada dasarnya tidak ada desain, tidak ada tujuan, tidak ada ke-

jahatan dan kebaikan, tidak ada apa-apa kecuali ketidakacuhan yang buta dan

tanpa belas kasihan.

Inti dari dunin Dawkinsian: meskipun dunia natural, dunia fisika, penuh

dengan ekstensi, durasi, angka, atom, asteroid, kuark, dan rasa senang dan

sakit, secara kentara dunia ini bebas dari baik dan jahat. Berikan sebuah

dcskripsi saintifik komplct untuk peluru yang mcncmbus kcpala scorang anak

kccil—kcccpatan awal, ukuran Iuka masuk, ukuran Iuka keluar, kehilangan

darah—dan Anda sama sekali tidak menemukan kejahatannya.

Dunia yang disajikan sains, jumlah total dunia Dawkins, adalah dunia tanpa

baik atau jahat. Di dalam dunia fakta•fakta, nilai tidak ditealmukan di mana pun.

Singkirkan Allah dari pcrtimbangan, dan moralitas akan sulit untuk ditcmui.

Plato memerlukan Forma Kebaikan yang transenden, nabi dan imam me-

merlukan kehendak Allah untuk menyediakan ruang dalam kosmos bagi ke-

baikan dan kejahatan objektif. Beberapa filsuf kontemporer lari dari Allah,

namun jatuh ke dalam pelukan satu Pengamat Ideal yang mirip allah namun

tidak ada, yang melampaui kebergantungan manusia terhadap situasinya—de-

tail-detail kecil dan keterbatasan yang unik yang mencegah kita sebagai penga-

mat-pengamat yang kurang ideal untuk melihat melampaui kesenangan kita

dan kerabat kita—untuk menentukan Kebaikan untuk semua dan untuk setiap waktu. Luaskan dunia untuk
memuat yang transenden, dan kebaikan dan

kejahatan dengan mudah menemukan tempat mereka. Namun, lempar jala

Anda ke dunia natural, dunia fakta, dan lihat apa Anda bisa menjaring nilai.

Dengan adanya ketcrbatasan-keterbatasan ini, bisakah kita menarik ke-

baikan kcluar dari topi evolusioner (di dalam dunia Dawkinsian)? Bisakah

evolusi, atau lebih baik, evolusi yang dikosongkan dari yang kckal, membe-
rikan isi dan fondasi moralitas?

Di dalam dunia Dawkinsian—scbuah dunia yang "tidak ada desain, tidak ada

tujuan, tidak ada kcjahatan dan kcbaikan, tidak ada apa-apa kccuali kctidak-

acuhan yang buta dan tanpa bclas adalah, meminjam frasa

kuno dari fllsufJ. L. Mackie, "janggal" (Mackie, 1977). Nilai-nilai moral Objek-

tifakan menjadi "janggal" dalam dunia Dawkinsian karena mercka tidak scpcrti

yang lain di dalam dunia tersebut (fakta-fakta nonmoral yang tidak acuh).

Kejanggalan berlipat ganda. Kita teguh percaya bahwa penilaian moral kita

benar secara objektif—bahwa ketika kita mengklaim bahwa perbudakan keliru

atau bahwa kita memiliki hak untuk kebebasan dan kebahagiaan, ada sesuatu

yang membuat penilaian kita benar. Penilaian-penilaian tersebut bukan seka-

dar selera, hasrat, konvensi, atau kegunaan manusia. Jika lembaga perbudakan

bisa memaksimalkan kepuasan hasrat atau kegunaan, tetap itu keliru. Inde-

penden dari kepercayaan dan hasrat manusia, ada sesuatu yang membuatnya

keliru. Mari kita sebut sesuatu yang membuat hal-hal benar dan salah sebagai

fakta moral (entah itu kehendak Allah, forma Plato, atau natur manusia yang

esensial). Karena tidak ada nilai objektif dalam dunia Dawkinsian, keliru un-

tuk berpikir mengenai penilaian moral kita sebagai benar secara objektif. Jika

tidak ada fakta objektif, tidak ada penilaian moral kita yang benar. Keper-

cayaan yang kita pegang mendalam bahwa penilaian moral kita benar adalah

sesuatu yang keliru.

Penilaian moral, penilaian mengenai apa yang harus dilakukan seseorang,

juga memiliki apa yang disebut Richard Joyce dengan pengaruh praktis (Joyce,

2006). Pengaruh praktis dari penilaian moral terletak dalam fakta bahwa pe-

nilaian moral kelihatannya tidak bisa dihindari dan otoritatis Pengaruh praktis

penilaian moral melibatkan ide tentang otoritas moral: alasan integral untuk

bertindak sesuai dengan tuntutan moral. Ide tentang otoritas ini membeda-

kan penilaian moral dari prinsip-prinsip lainnya, seperti aturan etiket (misal-

nya, "Anda harus menggunakan peralatan makan" dan "Cuci tangan setelah

ke kamar kecil"). Penilaian moral memiliki otoritas yang tidak dimiliki aturan

etiket. Pengaruh praktis melibatkan ketidakbisaan dihindari dan otoritas, yang


menangkap bagaimana kita memandang dan menggunakan penilaian moral.

Apakah evolusi bisa menceritakan sebuah kisah yang meyakinkan tentang

perkembangan penilaian moral yang tidak bisa dihindari dan otoritatif? Seleksi

kerabat dan timbal-balik menuntun manusia untuk bertindak dengan cara-

cara yang menolong. Untuk lebih Ianjut membantu manusia bertindak secara

menolong, seleksi natural mungkin telah mengunggulkan ciri yang membuat

penilaian moral. Moralitas menyediakan manusia dengan ide bahwa mereka

harus menolong orang lain, bahkan sampai titik mengorbankan diri sendi-

ri. Emosi prososial dapat memotivasi perilaku kooperatif; penilaian moral

menambahkan kualitas menarik dengan membujuk manusia bahwa mereka

harus melakukan demikian. Joyce mengargumentasikan bahwa cerita ini akhirnya tidak meyakinkan

karena kita kcliru tentang penilaian moral: di dalam dunia Dawkinsian, tidak

ada fakta moral. Evolusi tidak membela moralitas; cpolusi membantah moralitas.

Dengan ketiadaan fakta moral, seseorang bisa terjebak untuk sama sekali

mengabaikan diskursus moral. Joyce menolak pilihan ini dan memilih Mik-

sionalisme. la percaya bahwa diskursus moral tidak bisa disingkirkan tanpa

konsekuensi serius, bahkan sangat merusak, dan dengan demikian memper-

tahankan bahwa diskursus moral mesti berlanjut bahkan jika tidak ada kebe-

naran untuk menopang diskursus tersebut. Fiksionalis moral mengakui keun-

tungan diskursus moral, mengklaim bahwa diskursus tersebut berguna secara

praktis, meski saat yang bersamaan percaya bahwa tidak ada kebenaran moral.

Diskursus moral dapat "menguatkan pengendalian diri," karena menginspira-

si tindakan dengan entah kualitas "mesti dikerjakan" atau "tidak boleh diker-

jakan" (Joyce, 2001: 181). Jika Anda berpikir bahwa ada fakta moral objektif

tentang, katakan, kerakusan, dan Anda memercayainya, maka Anda akan lebih

tidak gampang jatuh ke dalam godaan makan cokelat. Kepercayaan moral

adalah vaksin melawan godaan. Joyce mengargumentasikan bahwa sebagai warga negara dunia
Dawkinsian,

kita semakin sadar bahwa kepercayaan moral kita tidak benar. Namun, masuk

akal secara praktis untuk melanjutkan menggunakan diskursus moral sebagai

sebuah fiksi berguna meskipun benar dan salah telah dikeringkan dari makna
mereka. Ruse dan Wilson setuju: "Manusia berfungsi lebih baik jika mereka

ditipu oleh gen mereka untuk berpikir bahwa ada moralitas objektif tanpa

kepentingan yang mengikat mereka, yang harus ditaati semua" (Ruse and

Wilson, 1986: 179). Problem dengan fiksionalisme adalah bahwa pemikiran moral dan bahasa

moral memiliki kegunaan dan kekuatan hanya jika mereka dipercaya secara

aktual. Jika orang menjadi berpikir bahwa moralitas adalah fiksi yang ber-

guna, ia akan kehilangan kekuatannya untuk memotivasi orang melakukan

tindakan moral. Di dalam Ibe Brothers Karamazov (Para Karamazov Ber-

saudara) tulisan Dostoevsky, Smerdyakov mengklaim, "Jika Allah tidak ada,

segala sesuatu diizinkan." Kutipan ini sering kali dianggap mengimplikasikan kepercayaan Dostoevsky
bahwa moralitas bergantung secara esensial kepada

Allah; sehingga, jika tidak Ada Allah (tidak ada yang membuat pertimbangan

nilai menjadi benar), maka tidak ada benar dan salah dan setiap orang boleh

melakukan apa yang mereka mau. Dostoevsky mungkin memiliki pemikiran

yang lain juga. la mungkin berpikir bahwa jika Allah tidak ada, manusia akan

kehilangan motivasi untuk bermoral. Singkirkan hakim Ilahi dan manusia

akan melakukan apa yang mereka suka. Pertimbangkan sebuah analogi. Ketika anak saya berusia 7
tahun, gurunya

mengajar kelas dengan tangan besi. la memberikan peraturan-peraturan un-

tuk perilaku yang pantas yang semua murid di kelasnya pelajari dengan baik.

Jika ditanyakan, setiap murid dapat menyebutkan peraturan-peraturan terse-

but tanpa ragu dan setiap murid menyetujui bahwa peraturan-peraturan terse-

but esensial untuk berfungsinya kelas dengan seharusnya. Namun, ketika sang

guru keluar dari ruangan, kekacauan terjadi. Murid-murid memercayai atur-

an-aturan, namun tanpa pembuat aturan dan hakim, mereka melanggarnya.

Ketika gurunya keluar ruangan, sebagai parafrasa Dostoevsky, segala sesuatu

diizinkan. Fiksionalisme moral menempatkan kita di dalam jenis kondisi guru-mening-

galkan-ruangan. Ketidakbisaan dihindari dan otoritas berjalan keluar bersama

sang guru. Begitu nilai etika objektif pergi, kita kehilangan motivasi moral.

Begitu kehilangan motivasi moral, kita mungkin dengan lebih sadar diri me-

milih strategi yang meningkatkan kebugaran evolusioner kita, namun tidak

memerhatikan makna moral fiksional kita. Robert Wright bertanya apakah


"setelah Darwinisme baru mengakar, kata moral bisa berarti lain selain lelu-

con" (Wright, 1994: 326). Luar biasanya, ia kemudian mengklaim: "Namun,

saya percaya bahwa kebanyakan orang yang dengan jelas mengerti paradigma

Darwinian baru dan memikirkannya dengan tulus akan dituntun kepada belas

kasih dan kepedulian yang lebih besar bagi sesama manusia. Atau, paling tidak

kepada pengakuan, di dalam momen-momen objektif, bahwa belas kasihan dan

kepedulian yang lebih besar akan kelihatan pantas" (Wright, 1994: 338).

Seseorang bisa bertanya bagaimana moralitas yang adalah lelucon bisa dipikir-

kan akan menginspirasikan belas kasihan dan kepedulian yang lebih besar dan

bukan pengejaran individualistik yang kukuh akan hasrat diri sendiri. Ruse lebih

jujur: ' 'Fakta sederhananya adalah bahwa jika kita melihat moralitas tidak lebih

dari sebuah epifenomena dari biologi kita, kita akan berhenti memercayainya

dan berhenti bertindak berdasarkannya. Dengan demikian, langsung daya-daya

yang kuat yang membuat kita sebagai kooperator akan runtuh" (Ruse, 1991:

508). Pandangan seperti demikian akan membuat demoralisasi: seseorang akan

kehilangan motivasi untuk bermoral. Dengan asumsi bahwa kita telah bercvolusi menjadi pribadi
yang rasional, mementingkan diri sendiri, dan prososial, apa yang mungkin memotivasi kita un-

tuk menjadi moral? Pandangan tentang dunia apa, dunia yang nondawkinsian,

yang lebih selaras dengan keyakinan mendalam kita mengenai kebenaran moral

dan otoritasnya untuk memotivasi moralitas? Bisakah teisme melandasi morali-

tas dengan cara yang tidak bisa dihindarkan dan otoritatif?

Jika kita dibatasi kepada keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh dalam

kehidupan duniawi ini, tidak selalu ada dalam kepentingan kita untuk men-

jadi moral. Bahkan, mungkin paling baik untuk kepentingan kita adalah ber-

bohong, menipu, atau mencuri (jika kita bisa tidak tertangkap), jika tidak ada

kehidupan selanjutnya untuk disaingi. Jika keuntungan-keuntungan duniawi

sekarang ini tersedia bagi kita, maka moralitas bisa dilihat sebagai penghalang

untuk kepentingan kita. Kebahagiaan tidak berbanding lurus dengan kebajikan

di dalam kehidupan duniawi ini. Kebahagiaan kadangkala berbanding terbalik

dengan kebajikan (di dalam hidup ini). Ini tidak sulit untuk dilihat dengan

tuntutan moral yang sangat keras sehingga tidak ada keuntungan duniawi yang
dapat diterima bagi diri sendiri setelah memenuhinya: memberikan hidup bagi

seorang anak, katakan, atau pengorbanan seumur hidup untuk seorang anak

yang cacat mental parah; tetap ada dalam pernikahan yang sangat bermasalah

demi anak-anak; bicara ketika seseorang dituduh dengan keliru, meskipun

mengambil tanggung jawab mungkin menjadi biaya bagi diri sendiri; merawat

orang tua berusia lanjut yang menderita Parkinson. Bahkan kewajiban-kewajiban yang kurang
menuntut—mcnyatakan seluruh

pendapatan Anda dalam Surat Pemberitahuan Tahunan pajak Anda, tidak

melebihkan biaya untuk mencapai jumlah risiko sendiri waktu membuat klaim

ke perusahaan asuransi Anda, tidak melebihi batas kecepatan atau menero-

bos lampu merah waktu terlambat untuk rapat penting, atau mengembalikan

kelebihan kembalian dari kasir yang keliru memberikan—bertentangan dengan

kepentingan-kepentingan Anda (dengan asumsi Anda dapat melanggar ke-

wajiban-kewajiban ini tanpa hukuman). Dalam istilah evolusioner, eksploi-

tasi mungkin lebih menguntungkan—yaitu, mungkin lebih memajukan ke-

bugaran genetika daripada altruisme. Robert Wright menjelaskan: "Orang

kadang-kadang berbohong, menipu atau mencuri .

dan mereka bisa bertindak seperti ini bahkan kepada orang yang baik kepada mereka. Lebih lagi:

orang kadang-kadang sukses dengan cara ini. Fakta bahwa kita memiliki kapasitas

untuk mengeksploitasi ini, dan bahwa kadang-kadang ini memberikan hasil,

menunjukkan bahwa ada waktu di dalam evolusi ketika bersikap baik kepada

orang lain bukan strategi optimal secara genetika" (Wright, 1994: 215).

Meskipun kita mementingkan diri sendiri, altruisme, dimotivasi oleh dan

bertindak bagi kepentingan orang lain, adalah sebuah tuntutan moral. Kon-

disi moral tertinggi dari seorang individu bukan hanya melakukan hal yang

benar, namun melakukannya dengan simpati tulus bagi orang lain. Altruisme

bersifat tulus hanya jika muncul utamanya dari kepedulian kepada orang lain.

ciptakan lingkungan yang sehat bagi anaknya dan dirinya sendiri. Hilangkan

harapan dari orang tua bahwa mengerjakan kewajibannya bagi anaknya akan

menghasilkan kebaikan yang lebih besar baik bagi sang anak maupun dirinya
sendiri, dan orang tua tersebut akan kehilangan semangat. Hilangkan harapan

seperti itu dari diri orang tua secara umum, dan proyek menjadi orang tua

segera akan ditinggalkan. Pengorbanan diri yang dituntut dari orang tua

memerlukan bahwa orang tua percaya tindakan-tindakannya akhirnya akan

menghasilkan pencapaian puncak kesejahteraan baik untuk anaknya maupun

untuk dirinya sendiri. Apa yang telah saya katakan tentang menjadi orang tua dapat diluaskan ke

anggota-anggota komunitas moral lainnya. Menjadi bajik atau mengerjakan

kewajiban harus dilakukan dengan pantas dan utamanya dimotivasi oleh kepe-

dulian tulus bagi orang lain. Meski demikian, ini tidak memerlukan seseorang

untuk mengabaikan seluruh kepentingan diri. Seseorang harus berharap bah-

wa usaha moralnya bersumbangsih bagi komunitas yang saling memuaskan,

tempat setiap orang menginginkan dan berusaha mendapatkan kebaikan bagi

orang lain. Kita harus berupaya memiliki sebuah komunitas yang mengabdi

untuk kesejahteraan setiap anggotanya.

Kepentingan diri tidak dapat dan tidak boleh dihilangkan. Jika kita telah

berevolusi sebagian menjadi seperti binatang, sebagian seperti tuhan, kita

harus mengharapkan motivasi manusia yang sepenuhnya moral memuat

kepedulian kepada diri dan orang lain. Untungnya, mementingkan diri sendiri

tidak inkonsisten dengan altruisme yang tulus. Dimungkinkan, sebagaima-

na untuk orang tua yang baik, untuk utamanya menginginkan kebaikan bagi

orang lain, tetapi juga menginginkan kebaikan diri sendiri. Seseorang dapat

dan harus berharap untuk menghasilkan situasi untuk pemuasan hasrat yang

maksimum baik untuk orang lain maupun diri sendiri. Agar tidak kehilangan semangat, kehidupan
kebajikan atau kewajiban ti-

dak bisa dilihat sebagai halangan untuk kebahagiaan saya. Artinya, saya ha-

rus percaya bahwa pengejaran untuk kebaikan Anda juga kondusif untuk ke-

baikan saya (jadi, tidak semuanya adalah biaya bagi saya). Motivasi moral dari

orang yang secara rasional mementingkan diri memerlukan harapan bahwa

keinginan-keinginan setiap orang, termasuk milik saya, dapat secara mutual

dipuaskan. Apa persisnya mestinya harapan kita? Apa yang harus kita harapkan

jika kita menginginkan untuk dengan pantas memotivasi kehidupan moral?


Di sini, sekali lagi, adalah problemnya: tidak ada hubungan niscaya di da-

lam hidup ini antara pengabdian kepada kebajikan dan pemuasan hasrat ma-

nusiawi. Jika terbatas kepada keuntungan di dunia ini, kejahatan mungkin

adalah kebijakan terbaik untuk menjamin kehidupan manusia. Namun, seba-

gaimana adanya kita sebagai makhluk, menjadi bajik tidak bisa dilihat sebagai

halangan untuk mendapatkan kebahagiaan. Kita tidak bisa menilai dengan

rasional bahwa kepentingan kita dilayani oleh imoralitas.

Yang diperlukan makhluk yang mementingkan diri sendiri yang rasional,

dengan demikian, adalah harapan bahwa ada kehidupan selanjutnya tempat

kebajikan menghasilkan kebahagiaan, jika keadilan akan menang. Ini akan

memotivasi kita karena kita akan percaya bahwa upaya kita yang terbaik

meskipun selalu lemah untuk sukses tidak akan sia-sia. Ambil harapan itu dari

kita, dan kita akan percaya bahwa karena pergumulan moral tidak dapat dime-

nangkan, tidak ada gunanya untuk dijalani. Lebih baik mendapatkan seluruh

keuntungan di dunia ini—kesenangan dan penghindaran rasa sakit—yang bisa

diperoleh bagi diri sendiri. Namun, haruskah kita berharap untuk dunia yang lebih baik hanya demi

mendapatkan kebahagiaan kita? Bukankah kita dituntun kembali kepada

keegoisan? Di sini tuntutan kebajikan jelas dan, seperti ditekankan oleh ke-

banyakan teis, kepentingan-kepentingan kita tidak bisa sepenuhnya dipuaskan

kecuali dan sampai mereka memuat kepentingan orang lain. Manusia yang

dipuaskan mencari kebaikan bagi orang lain. Kehidupan kebajikan menuntut

agar kita mempertimbangkan bukan hanya kepentingan kita, namun juga ke-

pentingan orang lain. Jika seseorang menginginkan kepentingan orang lain,

bukankah seseorang menjadi egois? Di sini jawabannya kelihatan jelas—meng-

inginkan kebaikan orang lain adalah kebalikan keegoisan: ini adalah altruisme

dalam bentuknya yang terbaik. Kehidupan kebajikan didapatkan dengan menyingkirkan dari diri
pengab-

dian yang tidak berdasar dan eksklusifkepada diri kita sendiri dan mengambil

tanggung jawab mencari kepentingan orang lain (sembari tidak menyangkal

kepentingan diri yang sehat). Dengan melakukan demikian, seseorang menemu-

kan bahwa hasrat-hasrat terdalamnya dipuaskan—untuk mengenal dan dike-


nal, untuk merawat dan dikasihi oleh orang lain, untuk bergembira karena

sukacita orang lain dan berduka karena kesedihan orang lain (yang juga akan

akan berduka dan bersukacita dengan diri sendiri). Kebajikan adalah hadiahnya: ketika kebajikan dan
keadilan berpelukan, se-

buah komunitas manusia yang ideal terbentuk, yang dengan tulus bersukacita

di dalam dan mencari kebaikan orang lain. Pemuasan mutual dari hasrat ma-

nusia terdalam akan mengikuti.

Kehidupan moral yang saya paparkan menunjukkan sumber ganda dari

pemuasan hasrat. Pertama, orang yang bajik menjamin pemuasan dari hasrat

untuk mementingkan orang lain. Kedua, sebagai anggota komunitas yang

mengabdi untuk kebahagiannya juga, orang yang bajik tersebut juga menja-

min pemuasan dari pemuasan hasratnya.

Jika kita menerima tuntutan moral dengan serius, yaitu mengorbankan ke-

bahagiaan kita dan bahkan hidup itu sendiri demi kebaikan orang lain, maka

orang yang mementingkan diri sendiri secara rasional harus percaya bahwa

mungkin untuk mendapatkan kebajikan dan kebahagiaan di kehidupan selan-

jutnya. Hal-hal ini disingkirkan dari dunia Dawkinsian. Kepercayaan teistik menyatukan perintah
altruistik dari kehidupan moral

dengan pencapaian kebahagiaan manusia. Baik kebajikan maupun kebaha-

giaan manusia tidak dijamin di dalam hidup ini. Jika mereka bisa diperoleh,

maka harus ada keberadaan setelah kematian tempat kebajikan selaras dengan

kebahagiaan. Jika kebajikan atau kebahagiaan melalui kebajikan tidak bisa di-

peroleh, maka motivasi untuk mendapatkan mereka menjadi ciut. Membatasi

diri sendiri untuk kebaikan-kebaikan dalam dunia ini saja, dengan demikian,

mematahkan semangat: kehidupan moral tidak cukup dimotivasi dan seseorang

mungkin lebih rasional memilih kehidupan yang jahat. Memotivasi kehidupan

moral, dengan demikian, secara rasional menuntut harapan akan kehidupan

selanjutnya tempat kebajikan dapat diperoleh dalam sebuah komunitas dengan

orang yang berpikiran sama dan secara intrinsik menghasilkan kebahagiaan. Kita telah menawarkan
sebuah argumen teoretis bahwa sebuah dunia yang

teis dapat secara rasional memotivasi moralitas, namun sebuah dunia Dawkinsian

tidak bisa. Di dalam dunia Dawkinsian, kebaikan dan kejahatan bersifat jang-
gal, dan moralitas adalah fiksi yang berguna (yang dapat diabaikan jika itu se-

suai kebutuhan). Mari kita pertimbangkan pertanyaan ini secara lebih praktis.

Apakah Allah memotivasi manusia untuk menjadi moral? Pendeknya, apakah

Allah efektif? Perintah Ilahi tentu tidak bisa dihindarkan dan otoritatif. Dan,

ketika didukung oleh ancaman hukuman dan upah, menarik secara rasional.

Namun, apakah Allah sesungguhnya membuat kita baile Dennett menolak

premis ini: Mungkin sebuah survei akan menunjukkan bahwa sebagai sebuah kelompok,

orang ateis dan agnostik lebih hormat kepada hukum, lebih peka terhadap

kepentingan orang lain, atau lebih etis daripada orang beragama. Pastinya tidak

ada survei yang bisa diandalkan yang telah dilakukan untuk menunjukkan se-

baliknya. Mungkin saja yang terbaik yang bisa dikatakan tentang agama adalah

ia menolong beberapa orang mencapai tingkat kewarganegaraan dan morali-

tas yang biasanya ditemukan di dalam [pemegang sistem berpikir naturalistik]

yang cerdas. Jika Anda merasa bahwa kesimpulan ini menyinggung perasaan,

Anda hanya perlu menyesuaikan perspektifAnda. (Dennett, 2006: 55; tambahan

dari saya)

Bertentangan dengan Dawkins dan Dennett, faktanya, kepercayaan reli-

gius sukses luar biasa untuk mendorong kerja sama manusia dan memotivasi

moralitas (dan kepercayaan nonreligius tidak).

Dukungan empiris untuk keuntungan altruistik dan kooperatif dari ke-

percayaan religius sangat banyak. Rich Sosis membuktikan bahwa komunitas

religius abad kesembilan belas lebih mungkin untuk bertahan hidup dibanding-

kan komunitas sekular; secara rata-rata komunitas religius bertahan empat kali lebih lama
dibandingkan komunitas sekuler (Sosis, 2000). Sosis dan

Bressler menemukan bahwa di antara orang-orang yang tinggal di kibbutz di

Israel, mereka yang religius memiliki tingkat kerja sama yang jauh lebih tinggi

dibandingkan yang sekuler, dan para lelaki yang religius jauh lebih altruistik

dibandingkan para lelaki sekuler (Sosis and Bressler, 2003). Survei Dominic

Johnson terhadap 186 masyarakat di seluruh dunia menemukan bahwa ke-

mungkinan hukuman supranatural yang melibatkan moralisasi "dewa-dewa

tinggi" diasosiasikan secara kuat dengan kerja sama (Johnson, 2005). Mengapa kepercayaan religius
kondusif bagi altruisme dan kerja sama?
Jonathan Haidt dan Selin Kesebir mendefinisikan sistem moral sebagai "pe-

rangkat-perangkat nilai, praktik, institusi, dan mekanisme psikologis yang bere-

volusi yang terjalin dan bekerja bersama untuk menekan atau mengatur ke-

egoisan dan membuat kehidupan sosial menjadi mungkin" (Haidt and Kesebir,

2010). Kehidupan religius biasanya melibatkan hanya jenis-jenis entitas dan

praktik yang menekan keegoisan dan membuat kehidupan sosial mungkin.

Sebagai tambahan terhadap pengajaran moral umum melawan keegoisan—

kasihi sesama manusia seperti diri sendiri—sistem religius biasanya meliba-

tkan agen pribadi nonmanusia dengan kepedulian bagi dan kekuatan untuk

mencipta kerja sama moral yang diperlukan untuk kohesi kelompok jangka

panjang. Sebuah keberadaan yang supranatural dan pribadi adalah sumber

moralitas atau sahabat kebaikan. Yang paling penting, keberadaan ini dipikir-

kan sebagai memiliki kuasa untuk mencegah perilaku antisosial. Masalah umum untuk kerja sama
disebut masalah penumpang gratis.

Mungkin menguntungkan secara evolusioner untuk menjadi anggota dari

sebuah komunitas kooperatif dengan semua keuntungan kooperasi, namun

lebih baik untuk menjadi imoral secara selektif jika ini menguntungkan bagi

diri sendiri. Jadi, di dalam kasus paradigmatisnya, sang penumpang gratis

mengambil keuntungan dari semua orang yang membayar tiket untuk naik

bus, namun gagal untuk membayar tiket bagi dirinya sendiri; secara harfi-

ah, mereka adalah penumpang-penumpang gratis. Ada banyak cara untuk

menjadi penumpang gratis dari kooperasi yang diciptakan oleh kehendak

baik moral: menipu dalam pajak (dan mendapatkan keuntungan dari hidup

di dalam masyarakat yang membayar pajak) atau di dalam transaksi bisnis,

tidak bekerja keras, mencuri dari toko gandum, dan seterusnya. Selama hu-

kuman tidak mungkin terjadi (karena deteksi dan pemberian hukuman mahal

harganya), para penumpang gratis dapat memperoleh keuntungan untuk diri

mereka sendiri dengan biaya yang relatif kecil bagi diri mereka sendiri atau

bagi masyarakat. Hukuman supranatural menyelesaikan masalah penumpang gratis dengan

biaya kecil atau tidak ada biaya sama sekali. Kepercayaan dan praktik religi-

us dapat meningkatkan biaya pelanggaran ke titik yang tidak rasional untuk


menumpang secara gratis. Sebagai tambahan untuk hukuman manusia, ancaman hukuman
supranatural secara luar biasa meningkatkan taruhan moral nya. Dengan keberadaan yang punya
pengetahuan super dan menghukum dengan super, para penumpang gratis terjamin akan terdeteksi
dan dihukum. Karena agen supranatural berfungsi sebagai pembuat hukum, polisi, hakim, dan
penghukum, hanya ada biaya kecil untuk menjaga kedamaian. Para pe nipu akan tertangkap dan
dihukum. Hukumannya mungkin, meskipun tidak harus, di kehidupan berikut.

Studi empiris mendukung klaim bahwa perilaku kooperatif meningkat ke- tika kepercayaan atau
ketakutan akan deteksi meningkat. Jesse Bering mene mukan bahwa anak-anak berusia 3 tahun lebih
tidak mungkin membuka ko tak terlarang ketika diberitahu bahwa seorang agen yang tidak kelihatan,
Putri Alice, ada di dalam ruangan (Bering and Parker, 2006). Azim Shariff dan Ara Norenzayan
menunjukkan bahwa ateis dan teis sama-sama jauh lebih murah hati, jujur, dan menolong ketika
disugesti dengan konsep-konsep Allah (Shariff and Norenzayan, 2007). Orang religius lebih mungkin
dibandingkan orang nonreligius untuk mengerjakan perilaku yang menguntungkan orang lain dengan
biaya bagi diri sendiri ketika pemikiran-pemikiran religius diaktifkan dengan segar di dalam pikiran
mereka. Di dalam satu eksperimen yang meli- batkan memberikan uang secara anonim kepada
seorang asing, hanya menam bahkan gambar mata ke latar belakang komputer secara luar biasa
mening- katkan pemberian (Haley and Fessler, 2005). Ekperimen lain menunjukkan bahwa
menggambar mata di kotak donasi yang dipakai untuk mengumpulkan uang untuk minuman di
tempat makan universitas menambah pembayaran (Bateson, Nettle and Roberts, 2006). Keadaan
diamati mengurangi perilaku egois; diamati oleh Allah (yang bukan hanya tahu, namun juga
menghukum) lebih jauh mengurangi perilaku egois.

Namun, bahkan perlu lebih dari diamati untuk secara luar biasa menam bahkan perilaku tidak egois.
Kepercayaan religius saja, atau takut ketahuan, mungkin membuat orang tidak menipu, namun hanya
kepercayaan religius yang dalam dan tulus sebagaimana ditunjukkan dalam praktik religius reguler
yang transformatif secara moral. Penelitian empiris baru-baru ini telah me nunjukkan bahwa, sebagai
contoh, orang-orang yang pergi ke gereja secara teratur memiliki sejumlah ciri-ciri moral yang positif,
menarik, yang secara statistik signifikan. Agama, sebagai sebuah sumber perilaku moral, terbukti
superior dibandingkan ketidakpercayaan.

Bisakah agama agama memenuhi apa yang mereka janjikan, untuk mem buat orang lebih baik secara
moral dan spiritual? Penelitian baru-baru ini te lah menunjukkan bahwa kepercayaan religius
superior dibandingkan motivasi nonreligius untuk moralitas dan secara empiris diverifikasi sebagai
lebih baik untuk memotivasi moralitas. Pendeknya, agama mendukung moralitas.

Meskipun kepercayaan kepercayaan religius kadang menyalurkan rasa ti dak toleran dan kekerasan,
mereka juga menjinakkan natur kita yang lalim dan

egois. Studi menunjukkan bahwa orang-orang percaya religius di Amerika

Serikat secara umum lebih bermoral dibandingkan yang sekuler. Meskipun

keuntungan kesehatan dan usia panjang dari menjadi bagian komunitas re-
ligius telah lama diketahui, keuntungan moral dari berada dalam komunitas

religius baru saja dibuktikan dengan baik.

Arthur Brooks, Profesor Kebijakan Pemerintah Louis A. Bantle di The

Maxwell School of Citizenship and Public Affairs di Universitas Syracuse,

menyimpulkan bahwa orang-orang percaya religius yang aktif jauh lebih mu-

rah hati daripada orang-orang yang tidak percaya. Berdasarkan data konkret

dari Biro Nasional Penelitian Ekonomi 2005, Survei Standar Komunitas Ka-

pital Sosial 2000, Survei Sosial Umum 1996—2004, Program Survei Sosial In-

ternasional 1998—2001, dan banyak lain, analisisnya, dalam Who Really Cares?

(Siapa Yang Sunaquh Peduli?) menunjukkan perbedaan moral mengejutkan

antara orang Amerika religius dan sekuler.

Pertimbangkan ini, pintanya:

Bayangkan dua orang: Satu pergi ke gereja setiap minggu dan dengan keras menolak ide bahwa
pemerintah memiliki tanggung jawab untuk meredistribusi penghasilan antara orang-orang yang
memiliki banyak uang dan yang tidak. Orang yang lain tidak pernah masuk ke rumah ibadah, dan
dengan kuat per- caya bahwa pemerintah harus mengurangi perbedaan penghasilan.

Hanya mengetahui hal-hal ini, data memberitahukan kita bahwa orang yang pertama akan kurang
lebih memberikan uang kepada organisasi amal dua kali lebih banyak dibandingkan orang kedua
dalam setahun, dan akan memberi kan uang seratus kali lebih banyak per tahun (sebagaimana lima
puluh kali lebih banyak untuk hal-hal yang secara eksplisit nonreligius). (Brooks, 2006: 10)

Orang percaya religius jauh lebih mungkin, dibandingkan orang sekuler, di antara banyak hal, untuk
menjadi sukarelawan, donor darah, meminjamkan uang kepada sahabat dan keluarga (dan dengan
lebih murah hati). Bahkan setelah dikurangi uang yang diberikan dan waktu yang disumbangkan di
lem- baga religius, orang-orang percaya jauh lebih murah hati dengan uang dan waktu mereka.
Dalam ukuran kemurahan hati mana pun, orang religius menga lahkan orang sekuler. Brooks
menyimpulkan: "Orang religius lebih beramal di dalam segala ukuran nonreligius-termasuk
sumbangan sekuler, pemberian informal, dan bahkan tindakan kebaikan dan kejujuran daripada para
seku laris" (Brooks, 2006: 38).

Para kritikus agama sering kali mengklaim adanya bias religius untuk mengunggulkan pemaksaan
teokratis untuk moralitas religius yang ketat atau penghindaran model ghetto terhadap ruang publik
yang jahat. Agama meng goda pengikutnya untuk menganut triumfalisme atau tribalisme. Agama, da

lam pandangan ini, adalah akar dari segala kejahatan politis. Namun, studi demi studi menunjukkan
bahwa agama, paling tidak di Barat, sering kali justru memainkan peranan penting di dalam
mendukung norma-norma, kecenderungan, keterampilan, dan relasi yang dikatakan teo retikus
demokratis esensial bagi kewarganegaraan yang aktif.

Di dalam karya baru-baru ini tentang perkembangan apa yang bisa disebut sebagai kemampuan sipil
(seperti sukarelawan), studi menunjukkan bahwa tempat-tempat ibadah di Amerika Serikat adalah
lahan paling penting untuk mengembangkan kepemimpinan, komunikasi, dan "keterampilan sipil"
yang penting dalam demokrasi modern. Sebagai tambahan, orang religius lebih terlibat dalam
aktivitas sipil. Penemuan demikian mestinya memberikan keya- kinan bagi teoretikus demokratis
yang menekankan pentingnya publik yang memiliki informasi dan peduli. Ada juga asosiasi positif
secara umum antara tingkat religiositas dengan

kepemilikan "kapital sosial," yaitu, kecenderungan dan jaringan yang men dukung pembuatan
keputusan secara kolektif. Di dalam buku Bowling Alone (Bermain Boling Sendirian), ahli politik
Harvard Robert Putnam mengar- gumentasikan dengan meyakinkan bahwa kecenderungan-
kecenderungan, seperti kepercayaan antarpibadi dan timbal-balik, penting bagi adanya lemba- ga-
lembaga politik dan ekonomi yang efektif. Institusi religius adalah tempat kunci untuk pengembangan
disposisi seperti demikian. Kekuatan agama be gitu nyata sehingga Putnam sendiri telah
menyampaikan kepedulian ini secara publik bahwa tingkat partisipasi religius yang menurun di antara
orang-orang muda mungkin akan memiliki efek beracun bagi kehidupan publik yang sehat di Amerika
Serikat. Orang-orang Amerika yang religius secara aktif jauh le bih tidak menyalahgunakan alkohol
dan obat-obatan dan dengan demikian lebih sehat secara fisik dan hidup lebih lama dibandingkan
sesama mereka yang nonreligius. Kesehatan dan religiositas, yang keduanya dinikmati oleh orang-
orang religius yang aktif, adalah peramal terbaik akan kebahagiaan di dalam diri orang-orang usia
lanjut. Orang-orang dengan iman yang dalam dan keterlibatan dalam komunitas iman pulih

Anda mungkin juga menyukai