Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

DISTRIBUSI ZAT TERLARUT ANTARA DUA PELARUT


YANG TIDAK BERCAMPUR

Diajukan untuk Memenuhi Laporan Praktikum Kimia Fisika

Disusun Oleh:
Kelompok II (A1)
Salman Al- Farisi NIM. 220190004
Apryza Mila NIM. 220190008
Suhailah Silalahi NIM. 220190015
Muhammad Al- Aqsha NIM. 220190016
Patricia Laurent Nainggolan NIM. 220190019

LABORATORIUM TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2023
ABSTRAK

Menurut hukum distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur
dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut maka akan terjadi
pembagiankelarutan. Kedua pelarut tersebut umumnya pelarut organik dan air. Perbandingan
konsentrasi solute di dalam kedua pelarut tersebut tetap, dan merupakan suatu tetapan pada
suhu tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi yang
dinyatakan sebagai perbandingan antara fasa organik dan fasa air. Tujuan dari
praktikum ini adalah untuk menentukan konstanta keseimbangan suatu zat terlarut di
dalam dua pelarut yang tidak bercampur dan menentukan derajat disosiasi zat terlarut di
dalam pelarut tersebut. Prosedur kerja yang dilakukan adalah menitrasi CH3COOH awal
dan menitrasi CH3COOH setimbang setelah dikocok di dalam corong pemisah. Hasil dari
praktikum ini adalah volume penitran yang dihabiskan pada CH3COOH awal adalah
11,5 mL untuk konsentrasi 1,15 N dan 16,4 mL untuk konsentrasi 2,4 N. Volume
penitran yang dihabiskan pada saat CH3COOH seimbang adalah 9,25 mL untuk
CH3COOH 1,15 N dan 12,5 mL untuk CH3COOH 2,4 N. Dari keseluruhan maka
didapat tetapan kesetimbangan (k) pada CH3COOH 1,15 N adalah 2,728 dan
tetapan kesetimbangan (k) pada CH3COOH 2,4 N adalah 0,519. Zat terlarut asam
asetat cenderung terdistribusi ke pelarut organik benzena.

Kata Kunci : CH3COOH, distribusi, benzena, pelarut dan terlarut.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum : Distribusi Zat Terlarut antara Dua Pelarut yang
Tidak Bercampur
1.2 Tanggal Praktikum : 03 Oktober 2023
1.3 Pelaksana Praktikum : Kelompok II (A1)
1. Salman Al- Farisi NIM. 220190004
2. Apryza Mila NIM. 220190008
3. Suhailah Silalahi NIM. 220190015
4. Muhammad Al- Aqsha NIM. 220190016
5. Patricia L. Nainggolan NIM. 220190019
1.4 Tujuan Praktikum : Menentukan konstanta kesetimbangan suatu
zat terlarut terhadap dua pelarut yang tidak
bercampur dan menentukan derajat disosiasi
zat terlarut dalam pelarut tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hukum Distribusi


Distribusi adalah metode yang digunakan untuk menetukan aktivitas zat
terlarut dalam suatu pelarut jika aktivitas zat tersebut dalam pelarut lain diketahui,
maka kedua pelarut tidak bercampur sempurna satu sama lain (Soebagio, 2014).
Hukum distribusi atau partisi cukup diketahui berbagai zat- zat tertentu
lebih mudah larut dalam pelarut- pelarut tertentu dibandingkan dengan pelarut-
pelarut yang lain. Jadi, iod jauh lebih larut dalam karbon disulfida, kloroform atau
karbon tetraklorida. Bila cairan- cairan tertentu seperti karbon dan air, eter dan air
dikocok bersama- sama dalam satu bejana dan campuran kemudian dibiarkan
maka kedua cairan akan memisah menjadi dua lapisan, cairan- cairan seperti ini,
dikatakan sebagai zat yang tidak dapat larut (karbon disulfida dan air) atau
setengah campur (eter dan air) bergantung apakah satu kedalam yang lain hampir
terdapat larut atau setengah larut. Jika iod dikocok bersama suatu campuran
karbon disulfida dan air kemudian didiamkan, iod akan dijumpai terbagi dalam
kedua pelarut. Suatu keadaan kesetimbangan terjadi antara larutan ion dalam
karbon disulfida dan larutan iod dalam air (Soebagio, 2014).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan bila suatu zat terlarut
terdistribusi antara dua pelarut yang tidak dapat campur, maka pada suatu
temperatur yang konstan untuk setiap spesies molekul terdapat angka banding
distribusi yang konstan antara kedua pelarut itu dan angka banding distrubusi ini
tidak bergantung pada spesies molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga
angka banding berubah dengan sifat dasar kedua pelarut, sifat dasar zat terlarut
dan temperatur (Svehla, 2014).
Bila dua macam pelarut yang tidak bercampur dimasukkan dalam suatu
wadah atau tempat maka akan terlihat suatu batas. Hal ini antara lain menujukkan
bahwa dua pelarut tersebut tidak bercampur. Jika suatu zat terlarut tersebut dapat
bercampur baik dalam pelarut 1 maupun pelarut 2. Maka akan terjadi pembagian
kelarutan dalam dua pelarut tersebut yang pada suatu saat akan terjadi
kesetimbangan. Dalam keadaaan setimbang berarti zat terlarut dari pelarut yang
satu keluar dan masuk kepelarut yang lain dan sebaliknya. Sehingga banyaknya
zat terlarut dalam pelarut 1 dan 2 pada keadaan setimbang disebut koefisien
distribusi. Koefisien distribusi dinyatakan sebagai rumus berikut:

K= ......................................................................................................(2.1)

Dimana:
K = koefisien distribusi
C1 = konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 1
C2 = konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 2
Harga K akan tetap jika berat molekul zat terlarut dalam pelarut 1 sama
dengan berat molekul dalam pelarut 2. Apabila berat molekul tidak sama, maka
akan terjadi disosiasi zat terlarut atau disosiasi zat terlarut dalam satu pelarut.
Harga konstanta kesetimbangan
K = (C/Cn) x C = 1 mol
Cn = (C/n) mol ...................................................................................................(2.2)
Dengan membuat grafik log C (organik) lawan log C (air) maka akan
didapatkan harga n sebagi slope dan harga n/K sebagai intercept, sehingga harga
K dapat ditentukan:
K = C(air) / (C/n (organik)) ...............................................................................(2.3)
Log K = n log (air) – log C/n (organik)
Log c (organik) = (n log (air) – log n/K)
Log K = n log C (air) – log C (organik) – log n ................................................(2.4)
Pada dua cairan yang tidak bercampur, sebagai contoh minyak dan air
dapat dilihat campuran itu terurai dengan setiap komponennya ada pada bejana
terpisah. Jika tekanan uap kedua komponen murni adalah PA dan PB, maka
tekanan uap total P = Pa + Pb dan campuran mendidih jika P = 1 atm. Adanya
komponen kedua berarti “campuran” mendidih pada temperatur lebih rendah. Jika
kedua campuran itu mendidih sendiri- sendiri karena pendidihan dimulai, jika
tekanan total mencapai 1 atm. Ini merupakan dasar destilasi uap, yang
memungkinkan beberapa senyawa organik yang peka terhadap panas destilasi
pada temperatur yang lebih rendah daripada titik didih normalnya, satu- satunya
penghalang adalah komposisi kondesor sebanding dengan tekanan uap terdestilais
dalam jumlah sedikit (Svehla, 2014).
Faktor- faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi adalah:
1. Temperatur yang digunakan: semakin tinggi suhu maka reaksi akan
semakin cepat sehingga volume titrasi menjadi kecil, akibatnya
berpengaruh pada nilai K.
2. Jenis pelarut: apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah
menguap akan mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh juga
terhadap nilai K.
3. Jenis pelarut: apabila zat yang akan digunakan adalah zat yang mudah
menguap atau higroskopis, maka akan mempengaruhi nilai normalitas
(konsentrasi zat terlarut tersebut) akibatnya akan berpengaruh pada nilai
K.
4. Konsentrasi: makin besar konsentrasi zat terlarut maka semakin besar pula
harga nilai K.
Hukum distribusi dilakukan dalam proses ekstraksi. Distribusi digunakan untuk
menghilangkan atau memisahkna zat terlarut dengan larutan yang pelarut air yang
diekstraksi dengan pelarut lain seperti eter, kloroform, benzena. Jika zat terlarut
terdistribusi diantara dua pelarut yang tidak saling melarutkan dan zat tertentu
tersebut tidak mengalami asosiasi, disosiasi atau reaksi dengan pelarut maka
dimungkinkan untuk menghitung jumlah terlarut yang dapat diambil atau
diekstraksi melalui sekian kali ekstraksi (Mulyani, 2019).

2.2 Ekstraksi
Ekstraksi pelarut atau sering disebut juga ekstraksi air merupakan metode
pemisahan atau pengambilan zat terlarut dalam larutan (biasanya dalam air
dengan menggunakan pelarut organik. Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi
suatu zat terlarut (solute) diantara dua fase cair yang tidak bercampur. Teknik
ekstraksi sangat berguna untuk pemisahan secara cepat dan bersih baik untuk zat
organik maupun zat anorganik. Cara ini juga dapat digunakan untuk analisis
makro maupun mikro. Selain untuk kepentingan analis kimia, ekstraksi juga
banyak digunakan untuk pekerjaan preparatif dalam bidang kimia organik,
biokimia dan anorganik di laboratorium. Alat yang digunakan dapat berupa
corong pemisah, alat ekstraksi Soxhlef dan Counter Current Craig (Arsyad,
2016).
Ekstraksi meliputi distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang tidak
dapat bercampur. Pelarut yang umum dipakai adalah pelarut air dan pelarut
organik antara lain seperti kloroform, eter atau n-heksana, garam organik, asam-
asam dan basa- basa yang dapat larut dalam air serta senyawa- senyawa organik
dapat larut dalam air bisa dipisahkan dengan baik melalui ekstraksi dalam air dari
pelarut- pelarut yang kurang polar (Arsyad, 2016).
Ekstraksi pelarut atau disebut juga merupakan metode pemisahan yang
paling baik dan populer. Alasan utamanya adalah pemisahan ini dapat dilakukan
baik dalam tingkat ataupun tidak.
Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat pelarut dengan
perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur, seperti
benzen, karbon teraklorida atau kloroform. Batasannya adalah zat terlarut dapat
ditransfer pada jumlah yang beda dalam kedua fase pelarut. Prinsip dari ekstraksi
pelarut adalah pemisahan secara komponen dari zat terlarut didalam dua
campuran pelarut yang tidak saling bercampur. Biasanya dipergunakan dalam
kimia organik dan lain- lain.
Jika zat terlarut antara dua cairan tidak saling larut, ada suatu hal atau
hubungan yang tepat antara konsentrasi zat terlarut dalam kedua fasa terlarut pada
keadaan kesetimbangan. Zat tersebut akan terdistribusikan atau terbagi dalam
kedua pelarut tersebut berdasarkan koefisien distribusi.
Menurut Mc Cabe (1999) dalam Muhiedin (2008), ekstraksi dapat
dibedakan menjadi dua cara berdasarkan wujud bahannya, yaitu:
1. Ekstraksi padat cair, digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut dari
campurannya dengan zat padat yang tidak dapat larut.
2. Ekstraksi cair- cair, digunakan untuk memisahkan dua zat cair yang saling
bercampur dengan menggunakan pelarut dapat melarutkan salah satu zat.
Ekstraksi padat cair secara umum terdiri dari maserasi, refluktasi,
sokhletasi, dan perkolasi. Metoda yang digunakan tergantung dengan jenis
senyawa yang kita gunakan. Jika senyawa yang kita ingin saring rentan terhadap
pemanasan maka metoda maserasi dan perkolasi yang kita pilih, jika tahan
terhadap pemanasan maka metoda refluktasi dan sokletasi yang kita gunakan
(Mulyani, 2019).
Pada ekstraksi cair- cair, bahan yang menjadi analit berbentuk cair dengan
pemisahannya menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur sehingga
terjadi distribusi sampel diantara kedua pelarut tersebut. Dan pendistribusian
sampel dalam kedua pelarut tersebut dapat ditentukan dengan perhitungan KD/
koefisien distribusi (Mulyani, 2019).
Didalam suatu proses ekstraksi orang biasanya menghendaki jumlah zat
yang diekstrak dalam fase air sekecil mungkin. Persamaan yang digunakan untuk
menyatakan jumlah zat yang tersisa dalam fase air adalah:

Wn = Wo .................................................................(2.5)
Dimana:
Wn = jumlah zat terlarut
Wo = jumlah zat terlarut mula- mula
V = jumlah volume fase air yang mengandung zat terlarut
S = jumlah pelarut organik yang dipakai
n = jumlah n kali proses
Faktor- faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi adalah:
1. Tipe pesiapan sampel
2. Waktu ekstraksi
3. Kuantitas pelarut
4. Suhu pelarut
5. Tipe pelarut
2.3 Titrasi
Titrasi atau titrimetri mengacu pada analisa kimia kuantitatif yang
dilakukan dengan menetapkan volume suatu larutan yang konsentrasinya
diketahui dengan tepat, yang diperlukan untuk bereaksi secara kuantitatif dengan
larutan dari zat yang akan dianalisis. Larutan dengan konsentrasi yang diketahui
tersebut disebut larutan standar. Bobot zat yang hendak dianalisis dihitung dari
volume larutan standar yang digunakan serta hukum stoikiometri yang diketahui.
Untuk memperoleh larutan standar perlu dilakukan proses standarisasi sebelum
melakukan analisa konsentrasi larutan yang ingin dianalisa. Secara umum larutan
standar ada dua jenis, pertama larutan standar primer yang menjadi acuan dalam
proses standarisasi. Kedua, larutan standar sekunder, yaitu larutan standar yang
akan distandarisasi dan lebih lanjutnya akan digunakan untuk proses analisis
sampel. Standarisasi perlu dilakukan, karena larutan standar sekunder biasanya
bersifat tidak stabil jika disimpan dalam waktu yang lama. Sedangkan larutan
standar primer yang dipilih biasanya memiliki sifat stabil jika disimpan dalam
waktu yang lama, misalnya saja higroskopis sehingga konsentrasinya tidak mudah
berubah (Underwood, 2016).
Setelah proses standarisasi, dilanjutkan dengan proses analisa larutan
sampel. Larutan standar tersebut akan dialirkan dari buret ke larutan sampel yang
biasanya berada di labu erlenmeyer.
Adapun syarat terjadinya reaksi titrasi dengan baik adalah:
1. Reaksinya berlangsung cepat, bila perlu dapat digunakan katalis untuk
mempercepat reaksi.
2. Reaksi berlangsung sederhana dan persamaan stoikiometrinya jelas.
3. Tidak terjadi reaksi sampingan yang dapat mengganggu jalannya reaksi
utama.
4. Harus ada indikator yang dapat menunjukkan kapan titrasi dapat
dihentiksan.
Jenis- jenis titrasi yaitu:
1. Titrasi redoks
Merupakan jenis titrasi dengan reaksi redoks.
2. Titrasi kompleksasi.
Merupakan jenis titrasi dengan reaksi kompleksasi atau pembentukan ion
kompleks, biasanya untuk menganalisa kadar logam pada larutan sampel
yang dapat membentuk kompleks dengan larutan sampel yang biasanya
merupakan ligan.
3. Titrasi asam- basa
Merupakan metode analisis kuantitatif yang berdasarkan reaksi asam-
basa.
4. Titrasi argentometri
Merupakan jenis titrasi yang digunakan khusus untuk reaksi pengendapan.

2.4 Jenis- Jenis Pelarut Kimia


Pelarut adalah sebuah benda cair atau gas yang melarutkan senyawa padat,
cair dan gas yang menghasilkan sebuah larutan. Hal yang perlu diperhatikan dari
ekstraksi adalah senyawa yang memiliki kepolaran yang sama. Terdapat jenis
pelarut yaitu:
1. Pelarut polar.
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, baik untuk mengekstraksi.
Digunakan karena dapat mengekstraksi senyawa yang memiliki polar lebih
rendah, contoh pelarut ini adalah air, etanol, metanol dan asam asetat.
2. Pelarut non polar.
Pelarut sama sekali tidak polar, contohnya adalah heksana dan eter.
3. Pelarut semi polar.
Contohnya adalah aseton, kloroform dan etil asetat.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat- Alat
Adapun peralatan yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
1. Buret 1 buah
2. Corong pemisah 250 ml 2 buah
3. Erlenmeyer 250 ml 2 buah
4. Pipet volume 25 ml 1 buah
5. Pipet volume 10 ml 1 buah
6. Pipet tetes 1 buah
3.1.2 Bahan- Bahan
Adapun bahan- bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
1. Larutan CH3COOH 1,15 N dan 2,4 N 25 ml
2. Larutan NaOH 1 N secukupnya
3. Benzena (C6H6) 25 ml
4. Indikator PP 2 tetes

3.2 Prosedur Kerja


Adapun prosedur kerja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah:
1. 25 ml larutan CH3COOH 1,15 N dimasukkan kedalam corong pemisah.
2. Kedalam corong pemisah tersebut ditambahkan 25 ml benzen.
3. Dikocok selama 20 menit sampai terjadi kesetimbangan lalu dibiarkan
selama 10 menit sampai terjadi pemisahan antara fasa air dan benzen.
4. Dari larutan CH3COOH 1,15 N mula- mula dipipet 10 ml dan
dimasukkan kedalam erlenmeyer, ditambah 2 tetes indikator PP lalu
dititrasi dengan larutan NaOH 1 N sampai titik ekivalen. Sehingga dapat
diketahui konsentrasinya awal dari CH3COOH yang sesungguhnya.
Semua titrasi dilakukan sebanyak 2 kali.
5. Dari corong pemisah, larutan dalam fasa air dipisahkan lalu dipipet 10
ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, ditambah 2 tetes indikator PP
lalu dititrasi dengan larutan NaOH 1N sampai tercapai titik ekivalen,
sehingga diketahui konsentrasinya dalam air setelah kesetimbangannya.
Semua titrasi dilakukan sebanyak 2 kali.
6. Percobaan diulangi dengan konsentrasi CH3COOH yang berbeda.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Adapun hasil yang didapat dari praktikum dapat dilihat pada tabel 4.1
berikut:
Tabel 4.1 Hasil Pengamatan
Konsentrasi Volume NaOH untuk Volume NaOH untuk
sampel titrasi CH3COOH awal titrasi CH3COOH
CH3COOH (N) (mL) akhir (mL)
I II Rata-rata I II Rata-rata
1,15 11,5 11,5 11,5 8,5 10 9,25
2,4 16,4 16,4 16,4 12 13 12,5
Sumber: (Praktikum Kimia Fisika, 2023).

4.2 Pembahasan
Pada percobaan yang telah dilakukan larutan CH3COOH 1,15 N diambil
10 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer dan ditambahkan 2 tetes indikator PP
yang kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 1 N sampai mencapai titik ekivalen
dan dilakukan pengulangan sebanyak dua kali. Pada pengulangan pertama hasil
menghabiskan titran sebanyak 11,5 ml dan begitu juga pada pengulangan kedua
menghabiskan sebanyak 11,5 ml sehingga rata- rata kedua titik ekivalen tersebut
11,5 ml. Penggantian konsentrasi dengan larutan CH3COOH 2,4 N yang dititrasi
dengan NaOH 1 N. Pada pengulangan yang pertama menghabiskan penitran
sebanyak 16,4 ml dan pengulangan kedua yang menghasilkan penitran yang sama
yaitu sebanyak 16,4 ml sehingga rata- rata kedua titik ekivalen tersebut adalah
16,4 ml. Mengapa demikian, rata- rata titik ekivalen pada konsentrasi 1,15 N lebih
rendah atau lebih cepat mencapai titik ekivalen dikarenakan pengaruh dari
konsentrasinya, semakin kecil konsentrasinya suatu larutan maka semakin cepat
mencapai titik ekivalen, lain halnya dengan rata- rata titik ekivalen yang
dihasilkan oleh konsentrasi suatu larutan yaitu 2,4 N dan ternyata semakin tinggi
titik konsentrasi suatu larutan semakin lama titik ekivalen yang tercapai atau
didapat.
Percobaan dilakukan dengan menitrasi hasil ekstraksi berupa air. Pada
percobaan pertama menitrasi hasil ekstraksi pada CH3COOH 1,15 N yang
dihasilkan dari pengocokan antara CH3COOH dengan benzen pada corong
pemisah yang menghasilkan dua lapisan yang terdiri dari benzen dan air. Yang
digunakan adalah lapisan kedua yaitu air karena air memiliki densitas yang lebih
tinggi daripada benzen. Pada CH3COOH 1,15 N dapat menghabiskan volume
penitran sebanyak 8,5 ml dan 10 ml sehingga rata- rata kedua titik ekivalen
tersebut 9,25 ml sedangkan pada CH3COOH 2,4 N menghabiskan volume
penitran sebanyak 12 ml dan 13 ml sehingga rata- rata kedua titik ekivalen
tersebut 12,5 ml. Mengapa demikian, karena pada perlakuan terhadap corong
pemisah sudah adanya titik keseimbangan yang mana konsentrasinya 1,15 N
sehingga lebih cepat mencapai titik ekivalen daripada konsentrasi 2,4 N. Semakin
tinggi konsentrasi semakin lama titik ekivalennya. Sehingga penambahan
kloroform mempengaruhi cepat atau lama tercapainya titik ekivalen.
Percobaan ini didapat dua pelarut yang tidak bercampur yaitu air dan
benzen dan zat terlarutnya adalah CH3COOH dikarenakan perbedaan kepolaran
dan seperti kita ketahui yaitu air dan CH3COOH yang polar dan benzen yang
semipolar. Menurut hukum distribusi Nernst, bila kedua pelarut yang tidak saling
bercampur dimasukkan solute didalam kedua pelarut tersebut maka akan terjadi
pembagian kelarutan. Kedua pelarut tersebut umumnya pelarut pelarut organik
dan air. Perbandingan pada konsentrasi solute didalam dua pelarut tersebut tetap
dan merupakan suatu ketetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut dinamakan
tetapan distribusi atau koefisien distribusi yang dinyatakan sebagai perbandingan
antara fase organik dengan fase air. Prinsip pada titrasi netralisasi yaitu titrasi
asam basa yang melibatkan asam maupun basa sebagai titran. Dalam percobaan
ini digunakan dua larutan yang berbeda yaitu 1,15 N dan 2,4 N.
4.2.1 Gambar Hubungan Log C Benzena dengan Log C Air pada
CH3COOH 1,15 N.
Untuk menghasilkan tetapan kesetimbangan maka dihubungkan antara log
C benzen dengan log C air pada CH3COOH 1,15 N yang dapat ditujukkan pada
gambar 4.1
2.5

2
y = 1.7123x + 0.5406
R² = 0.5479
1.5
Log C Air

0.5

0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Log C Benzen

Gambar 4.1 Hubungan Log C Benzen dengan Log C Air pada CH3COOH 1,15N
Gambar 4.1 merupakan grafik yang didapat dari hubungan log C benzen
dengan log C air pada CH3COOH 1,15 N. Dimana hasil intercept dan slope yang
didapat sebesar 1,0005 dan -0,111. Kemudian hasil dari intercept dan slope
tersebut didapatkan ketetapan kesetimbangan (K) pada CH3COOH dengan
konsentrasi 1,15 N sebesar 2,728. Berdasarkan dari yang dihasilkan dapat dilihat
bahwa lebih kecil dari konstanta dielektrik pada CH3COOH yaitu sebesar 6,2.
Sehingga semakin besar jumlah asam asetat didalam pelarut campuran maka
semakin rendah konstanta dielektrik dari pelarut campuran. Asam asetat dengan
konsentrasi 1,15 N cenderung terdistribusi kedalam pelarut benzen, karena nilai
kesetimbangan (K) yang diperoleh kecil sebesar 2,728 dan juga dikarenakan nilai
konstanta dielektrik benzen yang berdekatan dengan asam asetat yaitu 2,5
sementara untuk air konstanta dielektriknya 8.
4.2.2 Gambar Hubungan Log C Benzena dengan Log C Air pada
CH3COOH 2,4 N.
Untuk menghasilkan tetapan kesetimbangan maka dihubungkan antara log
C benzen dengan log C air pada CH3COOH 2,4 N yang dapat ditujukkan pada
gambar 4.2
2.5

2 y = 1.8094x + 0.0452
R² = 0.9641
1.5
Log C Air

0.5

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
Log C Benzen

Gambar 4.2 Hubungan Log C Benzen dengan Log C Air pada CH3COOH 2,4N
Gambar 4.1 merupakan grafik yang didapat dari hubungan log C benzen
dengan log C air pada CH3COOH 2,4 N. Dimana hasil intercept dan slope yang
didapat sebesar 1,389 dan -0,5. Kemudian hasil dari intercept dan slope tersebut
didapatkan ketetapan kesetimbangan (K) pada CH3COOH dengan konsentrasi 2,4
N sebesar 0,519. Berdasarkan dari yang dihasilkan dapat dilihat bahwa lebih kecil
dari konstanta dielektrik pada CH3COOH yaitu sebesar 6,2. Sehingga semakin
besar jumlah asam asetat didalam pelarut campuran maka semakin rendah
konstanta dielektrik dari pelarut campuran. Asam asetat dengan konsentrasi 2,4 N
cenderung terdistribusi kedalam pelarut benzen, karena nilai kesetimbangan (K)
yang diperoleh kecil sebesar 0,519 dan juga dikarenakan nilai konstanta dielektrik
benzen yang berdekatan dengan asam asetat yaitu 2,5 sementara untuk air
konstanta dielektriknya 8. Pada suatu campuran pelarut tetapan dari elektrik
campuran adalah hasil jumlah dari tetapan dielektrik masing- masing bahan
pelarut yang sudah dikalikan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Zat terlarut adalah CH3COOH dan zat pelarut dalam praktikum adalah
benzen dan air.
2. Volume penitran yang dihasilkan pada CH3COOH awal adalah 11,5 ml
untuk konsentrasi 1,15 N dan 16,4 ml untuk konsentrasi 2,4 N.
3. Volume penitran yang dihabiskan pada saat CH3COOH seimbang adalah
9,25 ml untuk CH3COOH 1,15 N dan 12,5 ml untuk yang 2,4 N.
4. Semakin rendah konsentrasi suatu larutan, maka semakin cepat titik
ekivalennya pada saat titrasi dan begitu sebaliknya semakin tinggi
konsentrasinya suatu larutan, maka semakin lama titik untuk ekivalennya
pada saat titrasi.

5.2 Saran
Sebaiknya sebelum melakukan praktikum terlebih dahulu menggunakan
alat keselamatan kerja seperti masker dan sarung tangan untuk menghindari
kecelakaan saat melaksanakan praktikum. Dan juga melakukan praktikum harus
berhati- hati dalam menggunakan alat dan bahan saat digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, M. N. 2016. Kamus Kimia. Jakarta : Gramedia Pustaka


Basset, J. 2018. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta
Brown, M.D,& Wilson, L.K. 2014. Journal of Physical Chemistry, 321- 335
John Doe dan Jane Smith. 2014. Kimia Fisika, volume 42, halaman 123- 135
Mary Johnson dan Robet. 2015. Jurnal Kimia, volume 28, halaman 567- 580
Michael Green dan Jennifer Clark. 2014. Prosiding Konfersi Kimia Internasional.
Mulyani, Sri dan Hendrawan. 2019. Common Textbook Kimia Fisika II.
Bandung:
JICAIMSTEP
Patel, R.K,& Sharma,S. 2015. Journal of Applied Chemistry
Soebagio. 2014. Kimia Analitik II. Malang : Universitas Negeri Malang Press
Svehla, G. 2014. Buku Teks Analisis Anorganik Kuantitatif Makro dan Semi
Mikro. Jakarta : Kaliman Media Pustaka
Underwood. 2016. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta : Erlangga
Vogel. 2017. Buku Teks Analisis Secara Kualitatif Makro Dan Semimicro. Jakarta
PT. Kaliman Media Pustaka
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN

Reaksi yang terjadi adalah CH3COOH + C6H6 CH3COO + C6H7


1. Pada CH3COOH 1,15 N
n C
Cn = K=
C Cn
1 1,15
= = 0,87
1,15

= 0,87 = 1,32

Pada titrasi pertama Pada titrasi kedua


C benzen = C awal – C akhir C benzen = C awal – C akhir
= 11,5 – 8,5 = 11,5 - 10
=3 = 1,5
Log C benzen = 0,477 Log C benzen = 0,176

C ekstraksi = 11,5 – 9,25


Log C ekstraksi = 2,25
C ekstraksi = 0,35
Tabel pembantu perhitungan regresi linear
No Log C Benzen Log C Air (Yi) (Xi)2 (Yi)2 XiYi
(Xi)
1 0,477 0,929 0,277 0,863 0,443
2 0,176 1 0,030 1 0,176
Σ 0,653 1,929 0,307 1,863 0,619

n ΣXiYi - ΣXiΣYi
Slope (b) = 2
n ΣXi - (ΣXi)2

2 0,619 - (0,653)(1,929)
= 2 0,307 - (0,653)2
1,238 - 1,259
= 0,614 - 0,426

-0,021
= 0,188

= -0,111
ΣYi - b ΣXi
Intercept (a) = n
1,929 -(-0,111)(0,653)
= 2
1,929 -(-0,072)
= 2
2,001
= 2
= 1,0005

Pada grafik dan perhitungan menggunakan regresi linear didapat intercept


sebanyak n/ k adalah 1,0005 dan slope n adalah -0,111 dan untuk mencari log C
organik adalah:
Titrasi pertama Titrasi kedua
n log C akhir n log C akhir
Log C organik = Log C organik =
log n/k log n/k

-0,111 log 8,5 -0,111 log 10


= =
log 1,0005 log 1,0005

= -515,5 = -555
Dengan rata- rata log C organik adalah -535,25 dan rata- rata log C akhir adalah
0,964 maka dapat dicari nilai K
K = n log C akhir – log C organik
= (-0,111) (0,964) – (-535,25)
Log K = 535,14
K = 2,728
2. Pada CH3COOH 2,4 N
n C
Cn = C K = Cn
1 2,4
= = 0,41
2,4

= 0,41 = 5,58

Pada titrasi pertama Pada titrasi kedua


C benzen = C awal – C akhir C benzen = C awal – C akhir
= 16,4 - 12 = 16,4 - 13
= 4,4 = 3,4
Log C benzen = 0,643 Log C benzen = 0,531

C ekstraksi = 16,4 – 12,5


Log C ekstraksi = 3,9
C ekstraksi = 0,591
Tabel pembantu perhitungan regresi linear
No Log C Benzen Log C Air (Yi) (Xi)2 (Yi)2 XiYi
(Xi)
1 0,643 1,079 0,413 1,164 0,693
2 0,531 1,113 0,281 1,238 0,591
Σ 1,174 2,192 0,694 2,402 1,284

n ΣXiYi - ΣXiΣYi
Slope (b) = 2
n ΣXi - (ΣXi)2

2 1,284 - (1,174)(2,192)
= 2 0,694 - (1,174)2

2,568 -2,573
= 1,388 - 1,378

-0,005
= 0,01

= -0,5
ΣYi - b ΣXi
Intercept (a) = n
2,192 -(-0,5)(1,174)
= 2
2,192 -(-0,587)
= 2
2,779
= 2
= 1,389

Pada grafik dan perhitungan menggunakan regresi linear didapat intercept


sebanyak n/ k adalah 1,389 dan slope n adalah -0,5 dan untuk mencari log C
organik adalah:
Titrasi pertama Titrasi kedua
n log C akhir n log C akhir
Log C organik = Log C organik =
log n/k log n/k

-0,5 log 12 -0,5 log 13


= =
log 1,389 log 1,389

= -3,795 = -3,915
Dengan rata- rata log C organik adalah -3,855 dan rata- rata log C akhir adalah
1,096 maka dapat dicari nilai K
K = n log C akhir – log C organik
= (-0,5) (1,096) – (-3,855)
Log K = 3,307
K = 0,519
LAMPIRAN C
GAMBAR GRAFIK

1. Hubungan antara log C benzen dengan C air pada larutan CH3COOH


1,15 N.
2.5

2
y = 1.7123x + 0.5406
R² = 0.5479
1.5
Log C Air

0.5

0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Log C Benzen

2. Hubungan antara log C benzen dengan C air pada larutan CH3COOH


2,4 N.
2.5

2 y = 1.8094x + 0.0452
R² = 0.9641
1.5
Log C Air

0.5

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
Log C Benzen
LAMPIRAN D
GAMBAR ALAT

No. Gambar dan Nama Alat Fungsi Alat


1. Corong Pemisah Untuk memisahkan komponen-
komponen dalam suatu
campuran antara dua fase pelarut
dengan densitas berbeda yang
tak campur.

2. Erlenmeyer Sebagai wadah yang digunakan


untuk melakukan reaksi antara
senyawa kimia yang ingin
diperoleh, dan juga sebagai alat
yang digunakan dalam proses
titrasi untuk menampung larutan
yang akan dititrasi.

3. Buret Meneteskan sejumlah reagencair


dalam eksperimen yang
memerlukan presisi.
4. Pipet Volume Fungsi dari pipet volume ini
adalah untuk mengambil larutan
dalam jumlah tertentu dengan
tepat

5. Pipet Tetes Untuk meneteskan larutan.


LAMPIRAN E
GAMBAR HASIL PRAKTIKUM

Anda mungkin juga menyukai