Disusun Oleh:
CI LAHAN CI INSTITUSI
B. ANATOMI
Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior atau
posterior (gambar 2.1) Diafisis humerus terbagi menjadi dua yakni medial dan
lateral. Troklea terbungkus oleh tulang rawan artikuler di bagian anterior,
posterior, dan inferior yang kemudian membentuk lengkungan kira-kira sebesar
2700.4
Gambar 2.1 A dan B. Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang Humerus
Distal
Gambar 2.2 A dan B. Aliran darah intraoseus bagian dorsal dari tulang humerus
distal kiri.
Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo
distal dari medial head otot Triceps dan bagian distal oleh origo Anconeus.
Brachioradialis dan Ekstensor Carpi Radialis Longus berasal dari
ridgesuprakondiler lateral.Common Extensor mass terdiri dari Extensor Carpi
Radialis Brevis, Extensor Digitorum Communis, dan Extensor Carpi Ulnaris,
dan bagian cephal otot anconeus yang berasal dari lateral epikondilus lateralis,
posterior terhadap lateral kolateral ligamen kompleks.4
Pendekatan posterior paling banyak dilakukan dalam pembedahan distal
humerus, karena aman untuk saraf radialis dan ulnaris (Gambar 2.3). Pada
bagian lateral dari tulang humerus, saraf radialis bercabang menjadi tiga, yaitu
medial head triceps,lower lateral brachial cutaneous nerve, dansambungan saraf
radialis di lengan bawah (posterior interosseous nervedansuperficial cutaneous
nerve). Setelah bercabang,posterior interosseous nerve menembus septum
intermuskularis lateralis (Gambar 2.4)4
Gambar 2.4 Tampak Posterior Fokus Pada Humerus Terhadap Sendi Siku
Pada tingkat perlekatan distal daripada korakobrachialis terhadap humerus,
saraf ulnaris berjalan dari kompartemen anterior menuju kompartemen posterior
dari lengan atas dengan menembus septa intermuskularis medial. Saraf berjalan
sepanjang batas anteromedial dari medial head of triceps sepanjang septa
intermuskular medialis.
1. MEKANISME CIDERA
Kemampuan hiperekstensi sendi siku umum terjadi pada masa kanak-
kanak, hal ini dikarenakan kelemahan ligamen yang bersifat fisiologis.
Kemudian, kolum bagian medial dan lateral dari humerus distal dihubungkan
oleh segmen tipis dari tulang antara olecranon pada bagian posterior dan
coronoid pada fosa anterior, yang menyebabkan tingginya resiko terjadinya
fraktur pada daerah tersebut.5
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi Gartland. Terdiri atas:
a. Tipe I
Gartland tipe I dari merupakan fraktur suprakondiler yang tidak
bergeser atau minimal displaced (<2 mm) dan disertai dengan garis anterior
humeral yang utuh dengan atau tanpa adanya bukti cedera pada tulang.
Posterior fat pad sign merupakan satu-satunya bukti adanya fraktur.
Fraktur tipe ini sangat stabil karena periosteum sirkumferensial masih utuh.
b. Tipe II
Gartland tipe II merupakan fraktur suprakondiler disertai pergeseran
(> 2 mm), dan korteks bagian posterior kemungkinan masih utuh dan
berfungsi sebagai engsel. Pada gambaran foto rontgen elbow true lateral,
garis anterior humeral tidak melewati 1/3 tengah dari capitelum. Secara
umum, tidak tampak deformitas rotasional pada posisi foto rontgen AP
karena posterior hinge masih utuh.
c. Tipe III
Gartland tipe III merupakan fraktur suprakondiler, dengan tanpa
adanya kontak pada korteks yang cukup. Biasanya disertai dengan
ekstensi pada bidangsagital dan rotasi pada frontal dan/atau
bidangtransversal. Periosteum mengalami robekan yang luas, sering
disertai dengan kerusakan pada jaringan lunak dan neurovaskular.
Keterlibatan dari kolum medialis menyebabkan malrotasi menjadi lebih
signifikan pada bidang frontal dan diklasifikasikan sebagai tipe III.
Adanya deformitas rotasional yang tampak pada gambaran foto rontgen
posisi AP digolongkan pula sebagai fraktur tipe III.
Modifikasi Klasifikasi Gartland yang dibuat oleh Wilkin, pada fraktur
suprakondiler humerus merupakan jenis klasifikasi yang paling diterima
dan paling banyak digunakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Barton dkk, Nilai Kappa terhadap variabilitas intraobserver dan
interobserver dari klasifikasi ini merupakan yang tertinggi dibanding
klasifikasi yang digunakan sebelumnya11,13. Adapun tambahannya, yakni:
d. Tipe IV
Gartland tipe IV ditandai dengan adanya instabilitas multidireksional.
Hal ini disebabkan terjadinya inkompetensi sirkumferensial dari periosteal
hinge dan terjadinya instabilitas pada fleksi dan ekstensi. Instabilitas
multidireksional ini ditentukan pada saat pasien dalam kondisi teranestesi
saat dilakukan operasi. Instabilitas ini dapat disebabkan oleh cedera yang
terjadi atau bisa juga disebabkan secara iatrogenik, yaitu pada saat kita
mencoba melakukan reduksi.12
3. EVALUASI KLINIS
Penderita anak-anak yang datang dengan fraktur suprakondiler mengeluh
nyeri di sekitar bahu setelah jatuh. Keluhan lainnya adalah bengkak di daerah
bahu atau gerakan aktif bahu yang terbatas atau deformitas yang mungkin
nampak.2,9
Ekstrimitas yang cidera harus diperiksa meliputi pemeriksaan
pembengkakan jaringan lunak, laserasi, abrasi ataupun kerutan pada kulit,
dan penilaian ada atau tidaknya patah pada ekstrimitas tersebut. Kerutan
pada kulit disebabkan karena fragmen proximal daripada fraktur menusuk
otot brachialis dan menyebabkan tertariknya dermis bagian dalam. Hal ini
menandakan terjadinya kerusakan jaringan lunak. Adanya perdarahan pada
luka di daerah terjadinya fraktur, merupakan salah satu indikasi terjadinya
suatu fraktur terbuka.14,15
Penting untuk menilai fungsi neurovaskuler setelah dilakukan
inspeksi.Analisis terkini dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cidera
saraf terjadi sebanyak 11,3% pada pasien dengan fraktur suprakondiler.
Pemeriksaan motorik dan sensorik seharusnya dilakukan pada kasus ini.
Pemeriksaan motorik meliputi jari-jari, pergelangan tangan, dan ekstensi ibu
jari (saraf radialis), fleksi index distal interphalangeal dan fleksi thumb
interphalangeal (AIN), thenar strength (medianus), interossei (saraf ulnaris).
Pemeriksaan sensorik meliputi area sensorik saraf radialis (dorsal first web
space), saraf medianus (palmar finger index), saraf ulnaris (palmar little
finger). Apabila diketahui lebih awal, maka defisit neurologi tersebut bersifat
sementara dan akan membaik dalam 6-12 minggu.
Penilaian status vaskuler juga merupakan hal yang penting. Indikator
klinis adanya perfusi yang cukup di distal meliputi pengisian kapiler yang
normal, suhu, dan warna kulit (pink). Status vaskular dapat dikategorikan
menjadi 3 kategori: kategori I mengindikasikan bahwa tangan mengalami
perfusi yang baik, dan a. radialis teraba, kategori II mengindikasikan bahwa
tangan memiliki perfusi yang baik, namun a.radialis tidak teraba, dan
kategori III menunjukan bahwa tangan mengalami perfusi yang sangat buruk
dan tidak terabanya a. radialis.Prevalensi terjadinya vascular compromise
pada fraktur suprakondiler humerus yang mengalami pergeseran disebutkan
mencapai 20 % dari studi yang dilakukan oleh Pirone dkk, 12 % pada studi
yang dilakukan oleh Shaw dkk, dan 19 % pada studi yang dilakukan oleh
Campbell dkk.
Selesai pemeriksaan, siku yang cidera sebaiknya distabilisasi
0
menggunakan backslab denga posisi fleksi 20-30 untuk mencegah
pergeseranfraktur, mengurangi rasa nyeri, dan mencapai kualitas radiologi
yang baik. Ekstrimitas diposisikan dengan posisi yang nyaman.
C. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi pada siku harus meliputi proyeksi anteroposterior
(AP) dan Lateral. Pada proyeksi true AP, sebaiknya diambil humerus distal
daripada siku, karena lebih akurat dalam mengevaluasi humerus distal dan
meminimalisir kesalahan dalam menentukan angulasi malalignmentpada
humerus distal. Pada proyeksi AP, Sudut Baumann atau disebut juga humeral
capitellar angle adalah penanda penting dalam menilai fraktur suprakondiler
(gambar 2.5). Sudut ini dibentuk oleh perpotongan antara garis pada sumbu
humerus dengan garis yang digambarkan sepanjang lempeng pertumbuhan
kondilus lateral dari siku. Sebaiknya, sudut Baumann pada siku kontralateral
juga diambil sebagai perbandingan. Fragmen distal biasanya berotasi medial
atau internal dan deviasi varus. Kisaran normal sudut ini antara 9-26o.
Penurunan sudut Baumann adalah penanda jika fraktur dalam keadaan varus.
Beberapa penulis tidak mengadvokasi penggunaan sudut Bauman karena
kesulitan dalam mengidentifikasi lempeng pertumbuhan capitellum. Sudut
Baumann merupakan salah satu indikator keberhasilan reduksi yang telah
dikerjakan dan berhubungan dengan carrying angleyang mungkin terjadi. tidak
mengalami perubahan yang signifikan sejak saat awal dilakukan reduksi sampai
hasil akhir, dan tidak dipengaruhi oleh pronasi maupun fleksi dari siku. Formula
yang umum digunakan adalah perubahan 5 derajat dari sudut Baumann
berhubungan dengan perubahan carrying angle sebanyak 2 derajat2,3,5
c. Reduksi Terbuka
Indikasi dilakukannya tatalaksana reduksi terbuka adalah pada
fraktur terbuka, gagal setelah reduksi tertutup, dan fraktur yang
berhubungan dengan gangguan vaskularisasi. Pada masa lalu, reduksi
terbuka dikhawatirkan menyebabkan terjadinya kekakuan sendi,
myositis osifikan, jaringan parut yang mengganggu kosmetik dan cedera
neurovaskular iatrogenik. Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan
rendahnya komplikasi yang disebabkan oleh reduksi terbuka. Penelitian
yang dilakukan oleh Weiland dkk, melaporkan bahwa 52 fraktur yang
mengalami pergeseran, yang telah direduksi terbuka melalui pendekatan
lateral, 10% mengalami gangguan pergerakan sendi tingkat sedang,
namun tidak ada infeksi, nonunion, atau myositis osifikan. 2,5
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Fleuriau-Chateau dkk.
melaporkan, 34 kasus fraktur yang ditangani dengan reduksi terbuka
melalui pendekatan anterior, 6% (2) mengalami gangguan pergerakan
sendi yang signifikan, namun tidak ada yang mengalami infeksi,
myositis osifikan, malunion atau Volkmann kontraktur.22 Penelitian
yang dilakukan oleh Reitman dkk. melaporkan 78% (51) dari 65 kasus
yang dilakukan reduksi terbuka (baik melalui lateral atau medial)
mengalami hasil yang memuaskan berdasarkan kriteria yang dibuat oleh
Flynn. Gangguan pergerakan sendi dilaporkan dialami oleh 4 pasien.
Pada studi kontrol acak prospektif terhadap 28 anak-anak,
Kaewpornsawan membandingkan reduksi tertutup dan fiksasi dengan
percutaneus pinning (melalui pendekatan lateral), didapatkan hasil pada
pasien yang dilakukan fiksasi dengan percutaneus pinning menunjukan
tidak ada perbedaan terhadap cubitus varus, cedera neurovaskular, range
of motion, union rate, atau terhadap kriteria Flynn.2,5
Pendekatan anterior memiliki keuntungan, terutama jika berkaitan
dengan neurovaskular, yakni memberikan visualisasi langsung tidak
hanya fragmen fraktur namun juga arteri branchialis dan saraf medianus.
Insisi kecil (5cm) sehingga baik secara kosmetik dibandingkan
pendekatan lateral, dan kontraksi jaringan parut tidak membatasi
ekstensi bahu. Apabila terdapat hematom yang biasanya terbentuk di
daerah cubital, dapat dihilangkan melalui dekompresi anterior.
Keuntungan lainnya, baik epikondilus medialis atau lateralis dapat
dipalpasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya malposisi atau
malrotasi. Pendekatan anterior menunjukkan tingkat kekakuan dan
komplikasi yang rendah, mirip dengan penatalaksanaan tertutup. Cubitus
varus terjadi sebanyak 33%, kebanyakan terjadi oleh karena reduksi
yang tidak adekuat. Jika reduksi baik, maka angka insiden terjadinya
cubitus varus rendah. 2,13,18,24
Pendekatan posterior berhubungan dengan tingginya loss of range
motiondan osteonekrosis yang disebabkan oleh karena kerusakan suplai
arteri posterior menuju trochlea humerus, sehingga tidak
direkomendasikan untuk dilakukan untuk anak kecil. 2,18
Pendekatan medial memiliki keuntungan yakni saraf ulnaris dan
kolum medialis dapat terlihat dengan jelas dan secara kosmetik jaringan
parut akan samar oleh karena terletak di bagian dalam daripada lengan.
Namun, kekurangannya kolum lateralis akan sulit terlihat setelah
reduksi.13
4) Fraktur Tipe IV
Fraktur tipe IV merupakan fraktur yang tidak stabil dan
biasanya memerlukan penanganan operatif, namun Leitch dkk
menyatakan protokol penanganan yang menggunakan reduksi
tertutup dalam menangani 9 pasien dengan fraktur tipe IV. Teknik
yang mereka rekomendasikan adalah dengan menggunakan
Kirschner wire yang ditempatkan pada bagian distal fragmen.
Kemudian fraktur direduksi pada bidang anteroposterior dan
dipastikan dengan pemeriksaan imaging. Pada saat melakukan
pemeriksaan imaging bagian lateral, jangan melakukan rotasi pada
lengan, tapi alat fluoroskopinya yang diputar pada bagian lateral.
Kemudian dilakukan reduksi pada bidang sagital, dan Kirschner
wire didorong melampaui fragmen fraktur. Pada 9 pasien yang
mereka lakukan dengan teknik tersebut, tidak ada diantara pasien
tersebut yang mengalami cubitus varus, malunion ataupun loss of
motion, dan tidak memerlukan adanya operasi lanjutan. Karena
masih jarangnya terjadi fraktur dengan tipe tesebut, perlunya
tindakan reduksi terbuka maupun kemungkinan komplikasi yang
terjadi belum dapat diprediksi.2
E. KOMPLIKASI
1. Cidera Saraf
3. Deformitas
Deformitas berupa angulasi pada humerus distal sering terjadi pada pasien
dengan fraktur suprakondiler. Keterbatasan remodeling yang terjadi pada
humerus distal dikarenakan physis bagian distal hanya berkontribusi sebesar
20% terhadap pertumbuhan tulang humerus. 2,5,10
Penyebab yang paling
masuk akal terhadap terjadinya deformitas tersebut pada fraktur
suprakondiler adalah terjadinya malunion dibandingkan dengan terjadinya
growth arrest. Remodeling dapat terjadi pada bagian posterior, namun tidak
dapat terjadi angulasi pada bidang koronal, sehingga mengakibatkan
terjadinya deformitas cubitus varus atau valgus. Deformitas cubitus varus
adalah mengenai kosmetik bukan fungsional atau kecacatan, deformitas yang
terjadi adalah ekstensi daripada siku. Pembedahan seperti tekniklateral
closing-wedge osteotomy, dome rotational osteotomy, dan step-cut lateral
closing-wedge osteotomy juga merupakan suatu indikasi kosmetik. Namun,
osteotomy tersebut berkaitan dengan tingkat komplikasi yang signifikan.
Seperti yang dilaporkan oleh Labelle dkk, yang menyebutkan bahwa 33%
pasien mengalami loss of correction dan atau disertai cidera saraf.
Sedangkan deformitas cubitus valgus menyebabkan kehilangan fungsional
ekstensi dan paralisis saraf tardyulnaris.2,5 Cubitus varus dapat dicegah
dengan menjaga agar garis Bauman tetap utuh saat melakukan reduksi dan
selama masa penyembuhan. Pirone dkk melaporkan terjadinya deformitas
cubitus varus pada 8 ( 8% ) dari 101 pasien yang ditangani dengan
imobilisasi dengan casting dibandingkan dengan 2 ( 2% ) dari 105 pasien
yang ditangani dengan fiksasi menggunakan pin, dengan rentang usia
penderita antara 1,5 tahun sampai 14 tahun ( mean 6,4 th ). Tiga penyebab
utama terjadinya deformitas berupa cubitus varus ataupun cubitus valgus
adalah (1) Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan hasil reduksi tidak
acceptable pada gambaran radiologis, (2) Ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan hasil radiologis yang baik karena kurangnya
pengetahuan terhadap patofisiologi dari fraktur tersebut, (3) Loss of
reduction. Tidaklah sulit untuk menginterpretasikan hasil radiologis dari
lateral view. Interpretasi yang lebih rumit terdapat pada anterior view. Jones
view merupakan pemeriksaan radiologis dari anterior, dengan posisi siku
dalam fleksi maksimal dan kaset diletakan pada bagian posterior dari siku,
dan arah sinar 90 derajat terhadap kaset.
Penanganan terhadap deformitas cubitus varus di masa lalu hanya
berdasarkan pada permasalahan kosmetik saja, namun terdapat beberapa
masalah yang timbul jika cubitus varustersebut tidak ditangani, yaitu dapat
berupa meningkatnya resiko terjadinya fraktur pada condylus lateral, nyeri,
tardy posterolateral rotatory instability, dimana gejala-gejala tersebut
merupakan suatu indikasi untuk dilakukannya operasi rekonstruksi dengan
cara melakukan osteotomy pada suprakondiler humerus.
4. Kekakuan dan Myositis Ossificans
Loss of motion jarang terjadi pada pasien fraktur suprakondiler yang
direduksi secara anatomis. Kehilangan fungsi fleksi dapat terjadi dengan
fragmen distal angulasi ke arah posterior. Henrikson dkk, melaporkan kurang
dari 5% pasien dengan suprakondiler berkaitan dengan kehilangan fungsi
fleksi atau ekstensi mencapai 50jika dibandingkan dengan sisi yang tidak
cidera. Walaupun manipulasi dan terapi fisik dapat memicu terjadinya
myositis ossificans, namun komplikasi tersebut sangat jarang.2,5
5. Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen pada fraktur suprakondiler diperkirakan antara
0,1 % - 0,3 %. Sindrom kompartemen forearm dapat terjadi dengan atau
tanpa cidera arteri brachialis dan teraba atau tidaknya nadi radialis. Diagnosis
sindrom kompartemen berdasarkan lima tanda klasik yakni pain, pallor,
pulselessness, paresthesia, dan paralysis. Selain itu, adanya tahanan terhadap
gerakan pasif jari dan nyeri progresif setelah fraktur.Blakemore dkk
menemukan bahwa prevalensi terjadinya sindrom kompartemenpada forearm
adalah 3 berbanding 33 pada kasus fraktur suprakondiler disertai dengan
fraktur pada radius. Battaglia dkk, menemukan bahwa ambang posisi untuk
dapat terjadinya peningkatan tekanan intrakompartement adalah posisi fleksi
elbow, antara 900– 1200. Hal ini menentukan pentingnya untuk melakukan
imobilisasi pada siku dengan sudut fleksi kurang dari 9023 Skaggs dalam
penelitian yang dilakukannya menunjukan bahwa walaupun arteri radialis
masih teraba dan capillary refill time masih normal, namun jika disertai
terjadinya echimosis dan pembengkakan yang hebat, ancaman terhadap
terjadinya suatu compartment syndrome harus tetap diwaspadai. Perhatian
khusus harus dilakukan pada fraktur suprakondiler yang disertai cedera pada
nervus medianus, karena pada pasien yang mengalami cedera pada nervus
tersebut, pasien tersebut tidak dapat merasakan terjadinya nyeri pada
kompartement bagian volarnya.
6. Infeksi Pin Track
Rerata terjadinya infeksi pin track pada anak-anak yang ditangani
dengan fiksasi menggunakan percutaneus Kirschner wire memiliki rentang
antara 1% - 21%. Rerata terjadinya infeksi pin track yang berhubungan
dengan terjadinya fraktur suprakondiler humerus disebutkan antara 1% -
6,6%. Battle dan Carmichael melakukan penelitian terhadap 202 kasus
fraktur, dimana 92,6% ( 187 ) kasus tersebut merupakan fraktur pada
ektermitas atas, dilaporkan rerata terjadinya infeksi sebesar 7,9% ( 16 dari
202 ). 12 dari 16 kasus yang mengalami infeksi tersebut memerlukan
antibiotik oral dan perawatan terhadap pin tracknya, Satu pasien memerlukan
antibiotik secara intravena, sedangkan 3 pasien sisanya memerlukan tindakan
operasi berupa insisi dan debridement. Gupta dkk melaporkan terjadinya 1
kasus pin track infection dari 150 pasien, dan dapat ditangani dengan
antibiotik oral dan melepas pin tersebut. Pada penelitian yang lebih besar,
Mehlmann dkk menemukan terjadinya 1 kasus pin track infection pada 198
pasien dan berhasil ditangani dengan antibiotik oral sehingga dapat sembuh
tanpa terjadinya sequele.26
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
26. Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi ke 2 EGC : Jakarta.