Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR SUPRAKONDILER HUMERUS

Disusun Oleh:

DWI NURUL HIJRAYANTI WIJAYA


144 2022 2091

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) (Rahmat Hidayat, S.Kep.,Ns.,M.Kep)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2023
A. DEFINISI
Fraktur Suprakondiler Humerus adalah fraktur yang terjadi di siku, di bagian
distal humerus, tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini dihubungkan
dengan terjadinya beberapa komplikasi yaitu Volksmann iskemia, malunion, atau
gangguan neurovaskuler.

B. ANATOMI
Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior atau
posterior (gambar 2.1) Diafisis humerus terbagi menjadi dua yakni medial dan
lateral. Troklea terbungkus oleh tulang rawan artikuler di bagian anterior,
posterior, dan inferior yang kemudian membentuk lengkungan kira-kira sebesar
2700.4

Gambar 2.1 A dan B. Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang Humerus
Distal

Gambar 2.2 A dan B. Aliran darah intraoseus bagian dorsal dari tulang humerus
distal kiri.
Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo
distal dari medial head otot Triceps dan bagian distal oleh origo Anconeus.
Brachioradialis dan Ekstensor Carpi Radialis Longus berasal dari
ridgesuprakondiler lateral.Common Extensor mass terdiri dari Extensor Carpi
Radialis Brevis, Extensor Digitorum Communis, dan Extensor Carpi Ulnaris,
dan bagian cephal otot anconeus yang berasal dari lateral epikondilus lateralis,
posterior terhadap lateral kolateral ligamen kompleks.4
Pendekatan posterior paling banyak dilakukan dalam pembedahan distal
humerus, karena aman untuk saraf radialis dan ulnaris (Gambar 2.3). Pada
bagian lateral dari tulang humerus, saraf radialis bercabang menjadi tiga, yaitu
medial head triceps,lower lateral brachial cutaneous nerve, dansambungan saraf
radialis di lengan bawah (posterior interosseous nervedansuperficial cutaneous
nerve). Setelah bercabang,posterior interosseous nerve menembus septum
intermuskularis lateralis (Gambar 2.4)4

Gambar 2.3 Hubungan Struktur Anatomis Pada Ekstrimitas Atas

Gambar 2.4 Tampak Posterior Fokus Pada Humerus Terhadap Sendi Siku
Pada tingkat perlekatan distal daripada korakobrachialis terhadap humerus,
saraf ulnaris berjalan dari kompartemen anterior menuju kompartemen posterior
dari lengan atas dengan menembus septa intermuskularis medial. Saraf berjalan
sepanjang batas anteromedial dari medial head of triceps sepanjang septa
intermuskular medialis.

1. MEKANISME CIDERA
Kemampuan hiperekstensi sendi siku umum terjadi pada masa kanak-
kanak, hal ini dikarenakan kelemahan ligamen yang bersifat fisiologis.
Kemudian, kolum bagian medial dan lateral dari humerus distal dihubungkan
oleh segmen tipis dari tulang antara olecranon pada bagian posterior dan
coronoid pada fosa anterior, yang menyebabkan tingginya resiko terjadinya
fraktur pada daerah tersebut.5

Fraktur suprakondiler humerus sering terjadi akibat hiperekstensi siku


(95%). Jatuh dalam keadaan tangan terentang membentuk hiperekstensi dari
siku, dengan olecranon bertindak sebagai fulcrum pada fossa.5Bagian
anterior dari kapsul secara simultan memberikan gaya regang pada humerus
bagian distal terhadap insersinya. Tekanan ekstensi yang kontinyu akan
mengakibatkan segmen posterior humerus terdesak ke distal dan terpluntir ke
anterior, yang dapat mengakibatkan kerusakan segmen anterior
neurovaskular. Mekanisme ini mengakibatkan kerusakan periosteum
anterior, namun periosteum bagian posterior tetap intak. Arah pergeseran
pada suatu bidang koronal mengindikasikan risiko terhadap struktur jaringan
otot halus. Jika patahan mengarah ke sisi medial, saraf radialis akan berisiko
sedangkan jika mengarah ke sisi lateral, akan menjepit arteri brachialis dan
saraf medianus.6
Tipe yang jarang terjadi (5%) yakni fraktur suprakondiler tipe fleksi,
Yang diakibatkan jatuh dengan posisi siku fleksi. Patahan jenis ini, sangat
menantang untuk direduksi mengingat resiko kerusakan saraf ulnaris. 5

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi Gartland. Terdiri atas:
a. Tipe I
Gartland tipe I dari merupakan fraktur suprakondiler yang tidak
bergeser atau minimal displaced (<2 mm) dan disertai dengan garis anterior
humeral yang utuh dengan atau tanpa adanya bukti cedera pada tulang.
Posterior fat pad sign merupakan satu-satunya bukti adanya fraktur.
Fraktur tipe ini sangat stabil karena periosteum sirkumferensial masih utuh.
b. Tipe II
Gartland tipe II merupakan fraktur suprakondiler disertai pergeseran
(> 2 mm), dan korteks bagian posterior kemungkinan masih utuh dan
berfungsi sebagai engsel. Pada gambaran foto rontgen elbow true lateral,
garis anterior humeral tidak melewati 1/3 tengah dari capitelum. Secara
umum, tidak tampak deformitas rotasional pada posisi foto rontgen AP
karena posterior hinge masih utuh.
c. Tipe III
Gartland tipe III merupakan fraktur suprakondiler, dengan tanpa
adanya kontak pada korteks yang cukup. Biasanya disertai dengan
ekstensi pada bidangsagital dan rotasi pada frontal dan/atau
bidangtransversal. Periosteum mengalami robekan yang luas, sering
disertai dengan kerusakan pada jaringan lunak dan neurovaskular.
Keterlibatan dari kolum medialis menyebabkan malrotasi menjadi lebih
signifikan pada bidang frontal dan diklasifikasikan sebagai tipe III.
Adanya deformitas rotasional yang tampak pada gambaran foto rontgen
posisi AP digolongkan pula sebagai fraktur tipe III.
Modifikasi Klasifikasi Gartland yang dibuat oleh Wilkin, pada fraktur
suprakondiler humerus merupakan jenis klasifikasi yang paling diterima
dan paling banyak digunakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Barton dkk, Nilai Kappa terhadap variabilitas intraobserver dan
interobserver dari klasifikasi ini merupakan yang tertinggi dibanding
klasifikasi yang digunakan sebelumnya11,13. Adapun tambahannya, yakni:
d. Tipe IV
Gartland tipe IV ditandai dengan adanya instabilitas multidireksional.
Hal ini disebabkan terjadinya inkompetensi sirkumferensial dari periosteal
hinge dan terjadinya instabilitas pada fleksi dan ekstensi. Instabilitas
multidireksional ini ditentukan pada saat pasien dalam kondisi teranestesi
saat dilakukan operasi. Instabilitas ini dapat disebabkan oleh cedera yang
terjadi atau bisa juga disebabkan secara iatrogenik, yaitu pada saat kita
mencoba melakukan reduksi.12

3. EVALUASI KLINIS
Penderita anak-anak yang datang dengan fraktur suprakondiler mengeluh
nyeri di sekitar bahu setelah jatuh. Keluhan lainnya adalah bengkak di daerah
bahu atau gerakan aktif bahu yang terbatas atau deformitas yang mungkin
nampak.2,9
Ekstrimitas yang cidera harus diperiksa meliputi pemeriksaan
pembengkakan jaringan lunak, laserasi, abrasi ataupun kerutan pada kulit,
dan penilaian ada atau tidaknya patah pada ekstrimitas tersebut. Kerutan
pada kulit disebabkan karena fragmen proximal daripada fraktur menusuk
otot brachialis dan menyebabkan tertariknya dermis bagian dalam. Hal ini
menandakan terjadinya kerusakan jaringan lunak. Adanya perdarahan pada
luka di daerah terjadinya fraktur, merupakan salah satu indikasi terjadinya
suatu fraktur terbuka.14,15
Penting untuk menilai fungsi neurovaskuler setelah dilakukan
inspeksi.Analisis terkini dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cidera
saraf terjadi sebanyak 11,3% pada pasien dengan fraktur suprakondiler.
Pemeriksaan motorik dan sensorik seharusnya dilakukan pada kasus ini.
Pemeriksaan motorik meliputi jari-jari, pergelangan tangan, dan ekstensi ibu
jari (saraf radialis), fleksi index distal interphalangeal dan fleksi thumb
interphalangeal (AIN), thenar strength (medianus), interossei (saraf ulnaris).
Pemeriksaan sensorik meliputi area sensorik saraf radialis (dorsal first web
space), saraf medianus (palmar finger index), saraf ulnaris (palmar little
finger). Apabila diketahui lebih awal, maka defisit neurologi tersebut bersifat
sementara dan akan membaik dalam 6-12 minggu.
Penilaian status vaskuler juga merupakan hal yang penting. Indikator
klinis adanya perfusi yang cukup di distal meliputi pengisian kapiler yang
normal, suhu, dan warna kulit (pink). Status vaskular dapat dikategorikan
menjadi 3 kategori: kategori I mengindikasikan bahwa tangan mengalami
perfusi yang baik, dan a. radialis teraba, kategori II mengindikasikan bahwa
tangan memiliki perfusi yang baik, namun a.radialis tidak teraba, dan
kategori III menunjukan bahwa tangan mengalami perfusi yang sangat buruk
dan tidak terabanya a. radialis.Prevalensi terjadinya vascular compromise
pada fraktur suprakondiler humerus yang mengalami pergeseran disebutkan
mencapai 20 % dari studi yang dilakukan oleh Pirone dkk, 12 % pada studi
yang dilakukan oleh Shaw dkk, dan 19 % pada studi yang dilakukan oleh
Campbell dkk.
Selesai pemeriksaan, siku yang cidera sebaiknya distabilisasi
0
menggunakan backslab denga posisi fleksi 20-30 untuk mencegah
pergeseranfraktur, mengurangi rasa nyeri, dan mencapai kualitas radiologi
yang baik. Ekstrimitas diposisikan dengan posisi yang nyaman.
C. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi pada siku harus meliputi proyeksi anteroposterior
(AP) dan Lateral. Pada proyeksi true AP, sebaiknya diambil humerus distal
daripada siku, karena lebih akurat dalam mengevaluasi humerus distal dan
meminimalisir kesalahan dalam menentukan angulasi malalignmentpada
humerus distal. Pada proyeksi AP, Sudut Baumann atau disebut juga humeral
capitellar angle adalah penanda penting dalam menilai fraktur suprakondiler
(gambar 2.5). Sudut ini dibentuk oleh perpotongan antara garis pada sumbu
humerus dengan garis yang digambarkan sepanjang lempeng pertumbuhan
kondilus lateral dari siku. Sebaiknya, sudut Baumann pada siku kontralateral
juga diambil sebagai perbandingan. Fragmen distal biasanya berotasi medial
atau internal dan deviasi varus. Kisaran normal sudut ini antara 9-26o.
Penurunan sudut Baumann adalah penanda jika fraktur dalam keadaan varus.
Beberapa penulis tidak mengadvokasi penggunaan sudut Bauman karena
kesulitan dalam mengidentifikasi lempeng pertumbuhan capitellum. Sudut
Baumann merupakan salah satu indikator keberhasilan reduksi yang telah
dikerjakan dan berhubungan dengan carrying angleyang mungkin terjadi. tidak
mengalami perubahan yang signifikan sejak saat awal dilakukan reduksi sampai
hasil akhir, dan tidak dipengaruhi oleh pronasi maupun fleksi dari siku. Formula
yang umum digunakan adalah perubahan 5 derajat dari sudut Baumann
berhubungan dengan perubahan carrying angle sebanyak 2 derajat2,3,5

Gambar 2.5Baumann’s Angle


Sudut humeral ulnar adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan diafisis
humerus dan ulna. Sudut ini berguna untuk menentukan carrying angle
Medial epicondylar epiphyseal angle, adalah alternatif dalam pemeriksaan
AP selain sudut Baumann. Sudut ini dibentuk oleh perpotongan sumbu humerus
dengan garis sepanjang medial epicondylar epiphyseal plate. Baik sudut
Baumann dan medial epicondylar epiphyseal angleberguna untuk menentukan
kecukupan reduksi fraktur suprakondiler.
Web & Shermann menyatakan bahwa tingkat akurasi sudut Baumann
dalam hubungannya dengan carrying angle akan menurun pada anak yang lebih
muda dan pada remaja, sehingga sudut dari Baumann hanya digunakan jika
dibandingkan dengan siku yang normal saja. Oppenheim berpendapat bahwa
humeral – ulnar – wrist angle lebih konsisten dan akurat dalam menentukan
carrying angle. Sedangkan O’brien berpendapat bahwa metaphyseal –
diaphyseal angle lebih akurat jika dibandingkan dengan sudut dari Baumann.

Gambar 2.6 (kiri) Humeral Ulnar Angle; (kanan) Metaphyseal Diaphyseal


Angle Pada proyeksi lateral, sebaiknya humerus diambil sesuai posisi
anatomis dan tidak eksternal rotasi. Pada proyeksi ini, dapat dilihat anterior
humeral lineyaitugaris yang memotong pusat osifikasi capitellum dengan
bagian anterior humerus. Pada fraktur suprakondiler tipe ekstensi, capitellum
terletak posterior dari garis ini. Fat-pad sign, sebagai suatu tanda adanya efusi
intraartikuler dapat juga terlihat dalam proyeksi lateral (gambar 2.8)2,3,5

Pada proyeksi lateral juga ditemukan teardrop atau bayangan radiografis


yang dibentuk oleh batas posterior fossa coronoid pada bagian depan, batas
anterior fossa olecranon pada bagian belakang, dan batas superior pusat
osifikasi capitellar pada bagian bawah. Selain itu ditemukan pula garis coronoid
dan sudut diafisis-condylar. Garis coronoid adalah garis yang bersinggungan
antara anterior prosesus coronoid dengan anterior kondilus lateralis. Sedangkan
nilai normal sudut diafisis condylar adalah 30-45o(gambar 2.7)

Gambar 2.7 (kiri-kanan): Teardrop, Sudut diafisis condylar, Garis anterior


humeral, Garis coronoid

Gambar 2.8Fat Pad Sign


Hasil proyeksi oblique mungkin berguna untuk melihat pergeseran fraktur
yang minimalis. Dapat pula membantu membedakan fraktur suprakondiler
dengan kondilus yang tersembunyi, yang tidak dapat terlihat pada proyeksi AP
dan lateral. Proyeksi oblique tidak rutin dilakukan dalam pemeriksaan cidera
siku.
D. PENATALAKSANAAN
1. Manajemen awal
Fraktur suprakondiler yang mengalami pergeseran memerlukan penanganan
awal berupa pemasangan splint, dengan siku berada dalam posisi yang nyaman, yaitu
20° sampai 40° dalam posisi fleksi dan hindaripemasangan splint yang terlalu
ketat.2,5 Fleksi dan ekstensi yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
gangguan pada aliran vaskular dan menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan kompartemen. Namun, perlu dievaluasi lebih lanjut oleh karena sering terjadi
kekakuan sendi bahu dan kerusakan physis. Adapun pertimbangan penatalaksaan
fraktur suprakondiler adalah bagaimana mencegah kerusakan seperti sindrom
kompartemen dan mengurangi komplikasi seperti cubitus varus dan kekakuan.10
Dameron mencatat, berdasarkan jenis fraktur, terdapat 4 macam penanganan
yakni:
(1) side-arm skin traction, (2) overhead skeletal traction, (3) closed reduction
and casting with or without percutaneous pinning, dan (4) open reduction and
internal fixation.5

a. Penanganan dengan Traksi


Traksi sebagaiterapi definitif bagi fraktur suprakondiler merupakan
salah satu pilihan terapi yang sudah lama digunakan. Kelebihan traksi,
baik skin maupun skeletal traksi diantaranya aman karena jarang terjadi
iskemik Volkmann, hasil yang baik karena jarang terjadi deformitas varus
dan valgus, dapat diaplikasikan untuk fraktur yang baru terjadi maupun
yang sudah beberapa hari, baik stabil maupun tidak stabil.10Namun,
kelemahan penanganan ini adalah lamanya masa perawatan di rumah
sakit yang berkisar antar 14 sampai 20 hari.
Pada penelitian uji klinis acak yang dilakukan oleh Kuzma, yang
membandingkan antara skin traction dengan skeletal traction dalam
menangani fraktur supracondylar humerus, bahwa tidak terdapat
perbedaan signifikan dalam hal gambaran klinis, mobilitas bahu, dan
prevalensi terjadinya deformitas cubitus varus. Namun, skin traction
memiliki kelebihan yakni mudah dan tidak mempersiapkan peralatan
seperti ruang operasi ataupun bius.19 Penelitian yang dilakukan oleh
Gadgil dkk, bahwa skin traction efektif dan aman untuk dilakukan pada
anak dengan umur kurang dari 10 tahun.20
b. Reduksi Tertutup Dengan Penggunaan Casting Dengan atau Tanpa
Fiksasi Pinning Perkutan
Penggunaan casting digunakan untuk patah tulang dengan pergeseran
minimal. Awalnya, reduksi tertutup dan penggunaan casting merupakan
pilihan untuk fraktur yang mengalami pergeseran, karena didapatkan hasil
yang baik pada 90% pasien dan tidak ditemukan masalah vaskularisasi
10
atau malunion. Apabila ditemukan pergeseran fraktur yang sedang
disertai adanya hematom yang terfixir dengan fascia antecubital yang
intak, fleksi siku cenderung akan mengakibatkan iskemik Volkmann.
Menurut Rang, fiksasi casting adalah metode lampau merujuk pada dua
kasus kontraktur Volkmann komplit tipe lambat.10
Reduksi tertutup dan fiksasi pinning merupakan pilihan terapi fraktur
suprakondiler yang paling banyak digunakan. AAOS menyarankan
reduksi tertutup dan fiksasi pinning pada pasien dengan fraktur
suprakondiler humerus tertutup yang mengalami pergeseran (Gartland
tipe II dan III, dan fleksi displaced) dengan kekuatan rekomendasi
sedang. Beberapa penelitian yang menyokong rekomendasi
tersebutmenyebutkan bahwa secara statistik,penanganan dengan fiksasi
pinning lebih baik dibanding penanganan non operatif dalam hal
mencegah cubitus varus dan kehilangan gerakan, namun lebih berisiko
menimbulkan infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Kumar, bahwa
kriteria Flynn (kriteria yang dipakai untuk menilai hasil post reduksi pada
fraktur suprakondiler humerus, yakni kosmetik dan fungsional pada
penggunaan reduksi tertutupdan pinning perkutan pada fraktur
suprakondiler humerus yang mengalami pergeseran adalah sangat baik
sebanyak 202 kasus, baik 68 kasus, cukup 5 kasus dan kurang sejumlah 2
kasus. Kesimpulannya, teknik closed reduction and percutaneous
pinningefektif untuk menangani fraktur suprakondiler humerus yang
21
mengalami pergeseran. Pasien dalam pengaruh anestesi umum, dengan
posisi supinasi, palpasi batas, kemudian cek arah pergeseran tulang.
Lakukan traksi dengan fleksi lengan atas sebesar 100 koreksi pergeseran
lateral. Dorong olecranon ke arah anterior untuk mengoreksi pergeseran
posterior, kemudian fleksi siku sebesar 400 hingga olecranon berada
anterior terhadap epikondilus. Rotasi eksternal pada kedua lengan atas
untuk mengoreksi deformitas rotasi internal. Kedua lengan atas
semestinya rotasi dalam besaran yang sama. Apabila pergeseran ke arah
medial, pronasi lengan bawah untuk mengunci patahan, begitu pula
sebaliknya. Tahan posisi patahan yang telah tereduksi atau cek dengan
menggunakan C-Arm (Gambar 2.8). Masukkan 2 buah K-Wire 1,4mm
menggunakan teknik Judet, dimana satu pin dimasukkan menuju kondilus
lateralis sedangkan pin kedua menuju korteks medialis.10 Selain dalam
posisi supinasi, reduksi tertutup dapat dilakukan dalam posisi pronasi
(gambar 2.9). Gaya gravitasi cenderung mempertahankan posisi pada saat
pin dimasukkan. Kriteria reduksi yang dapat diterima adalah restorasi dari
sudut Baumann (> 10°) pada foto rontgen posisi AP, gambaran
kolummedial dan lateral yang utuh pada foto rontgen posisi oblique, dan
garis anterior humeral melewati 1/3 tengah dari capitelum pada foto
rontgen posisi lateral. Malalignment rotasional dapat mengganggu
stabilitas fraktur, jadi bila terdapat malrotasi, harus dilakukan
pemeriksaan stabilitas reduksi dan kemungkinan penggunaan fiksasi
ketiga dengan pinning. Reduksi dari fraktur diperoleh dengan penggunaan
dua atau tiga Kirschner wire. Dilakukan imobilisasi dengan posisi fleksi
40° sampai 60°, tergantung dari besarnya pembengkakan dan status
vaskular. Jika terdapat celah pada lokasi fraktur atau bila fraktur tidak
bisa direduksi, dan terasa seperti karet saat melakukan reduksi,
kemungkinan terjadi penjepitan pada nervus medianus dan atau arteri
brachialis pada lokasi fraktur dan harus dilakukan reduksi terbuka.

Gambar 2.9 Langkah-Langkah Reduksi Tertutup

Gambar 2.10. Posisi Pronasi Pasien Saat Dilakukan Pinning Perkutan

Penelitian yang dilakukan oleh Swenson, Casiano, dan


Flynndengan menggunakan dua pin menyilang. Penelitian Arino dkk
merekomendasikan penggunaan duapin lateral. Penelitian Foster dan
Paterson menggunakan dua pin lateral divergen. Sementara itu,
penelitian yang dilakukan oleh Skaggs dkk, menggunakan tiga pin
lateral jika fraktur masih tidak stabil dengan dua lateral pin. Berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Haddad dkk dan Shim dkk,
menggunakan dua pin lateral dan satu pin medial. Hal ini juga
diperkuat oleh penelitian hewan yang dilakukan oleh Herzenberg dkk,
yang menemukan bahwa fiksasi pin medial dan lateral lebih stabil
dibanding dengan hanya fiksasi lateral saja, namun tidak
direkomendasikan jika terdapat edema atau cidera pada saraf ulnaris.
Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Skaggs dkk,
yang menemukan bahwa terdapat 4% ulnar nerve palsydengan
penggunaan pin medial. Untuk mencegah komplikasi tersebut,
penelitian yang dilakukan oleh Royce dkk, merekomendasikan fiksasi
menggunakan dua lateral pin jika fraktur stabil setelah dilakukan
reduksi tertutup. Untuk jenis kominutif atau fraktur yang tidak stabil,
bisa digunakan pin medial dan lateral. Untuk mencegah komplikasi
cidera saraf pada saat menggunakan pin medial, dilakukan insisi kecil
pada epikondilus medial, pin di angulasikan kira-kira 400kearah
superiordan 100kearah posterior. Pin harus diteruskan hingga
mencapai korteks agar fiksasinya solid.

Penelitian pada fraktur suprakondiler humerus tertutup tipe fleksi


yang bergeser, yang dilakukan oleh Fowles dan Kassab, mencatat
bahwa umum jika terdapat lesi saraf ulnaris. Sulit pula untuk
dilakukan reduksi dan hasilnya lebih buruk dibanding tipe ekstensi.5

c. Reduksi Terbuka
Indikasi dilakukannya tatalaksana reduksi terbuka adalah pada
fraktur terbuka, gagal setelah reduksi tertutup, dan fraktur yang
berhubungan dengan gangguan vaskularisasi. Pada masa lalu, reduksi
terbuka dikhawatirkan menyebabkan terjadinya kekakuan sendi,
myositis osifikan, jaringan parut yang mengganggu kosmetik dan cedera
neurovaskular iatrogenik. Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan
rendahnya komplikasi yang disebabkan oleh reduksi terbuka. Penelitian
yang dilakukan oleh Weiland dkk, melaporkan bahwa 52 fraktur yang
mengalami pergeseran, yang telah direduksi terbuka melalui pendekatan
lateral, 10% mengalami gangguan pergerakan sendi tingkat sedang,
namun tidak ada infeksi, nonunion, atau myositis osifikan. 2,5
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Fleuriau-Chateau dkk.
melaporkan, 34 kasus fraktur yang ditangani dengan reduksi terbuka
melalui pendekatan anterior, 6% (2) mengalami gangguan pergerakan
sendi yang signifikan, namun tidak ada yang mengalami infeksi,
myositis osifikan, malunion atau Volkmann kontraktur.22 Penelitian
yang dilakukan oleh Reitman dkk. melaporkan 78% (51) dari 65 kasus
yang dilakukan reduksi terbuka (baik melalui lateral atau medial)
mengalami hasil yang memuaskan berdasarkan kriteria yang dibuat oleh
Flynn. Gangguan pergerakan sendi dilaporkan dialami oleh 4 pasien.
Pada studi kontrol acak prospektif terhadap 28 anak-anak,
Kaewpornsawan membandingkan reduksi tertutup dan fiksasi dengan
percutaneus pinning (melalui pendekatan lateral), didapatkan hasil pada
pasien yang dilakukan fiksasi dengan percutaneus pinning menunjukan
tidak ada perbedaan terhadap cubitus varus, cedera neurovaskular, range
of motion, union rate, atau terhadap kriteria Flynn.2,5
Pendekatan anterior memiliki keuntungan, terutama jika berkaitan
dengan neurovaskular, yakni memberikan visualisasi langsung tidak
hanya fragmen fraktur namun juga arteri branchialis dan saraf medianus.
Insisi kecil (5cm) sehingga baik secara kosmetik dibandingkan
pendekatan lateral, dan kontraksi jaringan parut tidak membatasi
ekstensi bahu. Apabila terdapat hematom yang biasanya terbentuk di
daerah cubital, dapat dihilangkan melalui dekompresi anterior.
Keuntungan lainnya, baik epikondilus medialis atau lateralis dapat
dipalpasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya malposisi atau
malrotasi. Pendekatan anterior menunjukkan tingkat kekakuan dan
komplikasi yang rendah, mirip dengan penatalaksanaan tertutup. Cubitus
varus terjadi sebanyak 33%, kebanyakan terjadi oleh karena reduksi
yang tidak adekuat. Jika reduksi baik, maka angka insiden terjadinya
cubitus varus rendah. 2,13,18,24
Pendekatan posterior berhubungan dengan tingginya loss of range
motiondan osteonekrosis yang disebabkan oleh karena kerusakan suplai
arteri posterior menuju trochlea humerus, sehingga tidak
direkomendasikan untuk dilakukan untuk anak kecil. 2,18
Pendekatan medial memiliki keuntungan yakni saraf ulnaris dan
kolum medialis dapat terlihat dengan jelas dan secara kosmetik jaringan
parut akan samar oleh karena terletak di bagian dalam daripada lengan.
Namun, kekurangannya kolum lateralis akan sulit terlihat setelah
reduksi.13

d. Penanganan Berdasarkan Tipe Fraktur


1) Fraktur Tipe I
Fraktur suprakondiler yang nondisplaced atau minimal
displaced (<2 mm) dapat dipasanglong arm cast disertai posisi siku
berada dalam posisi fleksi 60 ° sampai 90 ° selama kurang lebih tiga
minggu. Adanya impaksi di tulang metafisis medial menandakan bahwa
diperlukan reduksi. Sudut Baumann atau sudut epifisis epikondilus
medialis harus diperiksa bilateral. Jika lebih dari 100maka diperlukan
Reduksi tertutup and Percutaneous Pinning (CRPP).9Pemeriksaan foto
rontgen lanjutan dikerjakan pada minggu pertama dan kedua untuk
menilai adanya pergeseran fragmen fraktur.
2) Fraktur Tipe II
Penanganan yang optimal dari fraktur tipe II telah mengalami
pergeseran dari yang sebelumnya menggunakan cast untuk
imobilisasi dibanding saat ini yang lebih banyak menggunakan
intervensi operasi. Fraktur suprakondiler humerus tipe II biasanya
merupakan akibat cidera ekstensi, dengan korteks posterior tetap
intak atau nondisplaced. Setelah dilakukan reduksi tertutup dan
casting dengan bahu dalam keadaan fleksi 90-1000 . Jika reduksi
tertutup fleksi lebih dari 1000maka perlu percutaneous pinning,
dengan imobilisasi fleksi kurang dari 900 Persentase Humerus bagian
distal dalam proses pertumbuhan tulang adalah sebesar 20% dan
memiliki kemampuan remodeling yang kecil. Extremitas atas
mengalami pertumbuhan kira-kira sebesar 10 cm selama tahun
pertama kehidupannya, 6 cm pada tahun kedua, 5 cm pada tahun
ketiganya, 3,5 cm pada tahun keempat dan 3 cm pada tahun
kelimanya. Bayi kurang dari 3 tahun memiliki kemampuan
remodeling yang sangat baik sehingga ahli bedah masih dapat
menerima fraktur tipe II yang nonoperatif dimana capitelum berada
pada bagian depan anterior humeral line namun tidak melewatinya.
Namun, anak dengan usia 8-10 tahun masih memiliki pertumbuhan
sebesar 10 % pada bagian distal humerus, sehingga reduksi yang
adekuat diperlukan untuk mencegah terjadinya malunion.2,9
Beberapa penelitian telah membuktikan bahawa penanganan
awal fraktur tipe II dengan menggunakan teknik reduksi tertutup dan
casting dapat memberikan hasil yang baik. Penelitian yang dilakukan
Hadlow dkk terhadap 48 pasien dengan fraktur tipe II yang dilakukan
fiksasi dengan pinning, 77% ( 34 pasien ) tidak memerlukan
penanganan operasi lanjutan. Namun 23% ( 11 pasien ) dari 48
pasien tersebut mengalami loss reduction setelah dilakukan reduksi
tertutup dan menjalani operasi lanjutan. 2 dari 14 pasien yang
dilakukan follow up, memiliki hasil yang tidak memuaskan ( sesuai
kriteria Flynn dkk ). Pada penelitian retrospektif terhadap 25 pasien
dengan cedera pada siku yang dilakukan reduksi tertutup dan
pemasangan casting. Parikh dkk, melaporkan bahwa 28% (7 pasien)
mengalami loss reduction, 20% (5 pasien) mengalami pembedahan
lanjutan dan 8% ( 2 pasien ) mendapatkan hasil yang tidak
memuaskan (sesuai kriteria Flynn dkk.)2,5 Sebaliknya, pada penelitian
terhadap 69 pasien anak-anak dengan fraktur tipe II yang dilakukan
reduksi tertutup dan fiksasi dengan pinning, tidak terjadi loss
reduction, baik pada secara klinis maupun secara radiologis.
Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa tidak terjadi cubitus
varus, hiperextension, loss of motion, iatrogenic nerve palsy dan
tidak memerlukan operasi lanjutan. Pada penelitian terhadap 191
pasien denga fraktur tipe II yang dilakukan reduksi tertutup dengan
fiksasi dengan pinning, ditemukan 4 pasien (2%) mengalami pin
track infection, 3 diantara 4 pasien tersebut berhasil ditangani dengan
pemberian antibiotik dan pencabutan pin. 1 dari 4 pasien tersebut
dilakukan operasi untuk irigasi dan debridemen. Pada semua kasus
tersebut, tidak ditemukan adanya cedera pada pembuluh darah dan
saraf, loss reduction, delayed union ataupun malunion.2,5,9
Alasan lain mengapa tindakan operasi dihindari pada cedera
seperti ini adalah karena hiperfleksi yang diperlukan untuk menjaga
reduksi pada fraktur tipe II tanpa fiksasi dengan pin akan dapat
memicu terjadinya peningkatan tekanan compartmen. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Mapes dan Hennrikus dengan menggunakan
pemeriksaan Doppler, posisi pronasi dan hiperfleksi ternyata
menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah pada arteri
brachialis. Penulis merekomendasikan posisi fleksi dan pronasi untuk
keamanan vaskuler. Konsep dasar penanganannya adalah, pada
pasien yang memerlukan fleksi siku yang lebih dari 90° untuk
mempertahankan reduksi, reduksi sebaiknya dipertahankan dengan
pinning dan siku diimobilisasi dengan posisi siku dalam posisi yang
tidak terlalu tajam (biasanya 45° sampai 70°).
3) Fraktur Tipe III
Fraktur suprakondilertipe III adalah jenis fraktur yang bergeser
secara komplit. Penatalaksanaan dimulai dengan penilaian fungsi
perfusi dan saraf. Masalah neurovaskular sering terjadi dan
mengakibatkan perubahan tatalaksana fraktur. Jika anak dengan
fraktur pada siku datang ke Unit Gawat Darurat dengan posisi siku
fleksi atau ekstensi yang ekstrem, posisi lengan harus dikoreksi dan
dilakukan fleksi 30° untuk meminimalisasi gangguan pada vaskular
dan tekanan kompartemen. Jika tidak terdapat masalah dalam
neurovascular, fraktur tipe displaced dapat dibidai sementara
menunggu penanganan lebih lanjut. Closed Reduction Percutaneous
Pinning (CRPP) merupakan pilihan penatalaksanaan untuk fraktur
tipe III. Fraktur displaced suprakondiler yang dilakukan reduksi
tertutup dan casting memiliki insiden terjadinya deformitas lebih
tinggi ketimbang reduksi dan pinning. Sama halnya dengan angka
insiden terjadinya iskemik Volkmann, yang lebih tinggi pada
reduksi dan casting dibanding reduksi dan pinning.
Khusus pada fraktur kominutif kolum medial yang mungkin
tidak mengalami pergeseran yang dramatis pada fraktur tipe III, tapi
pada fraktur ini memerlukan reduksi terbuka karena kolaps yang
terjadi pada kolum medial akan menyebabkan terjadinya deformitas
berupa varus pada lengan disertai terjadinya pergeseran yang
minimal pada suprakondiler. De Boeck dkk, merekomendasikan
reduksi tertutup pinning perkutaneous bila fraktur disertai kominutif
pada bagian medialnya, walaupun dengan displaced yang minimal,
hal inibertujuan untuk mencegah terjadinya cubitus varus. Pada
penelitian retrospektif yang dilakukan oleh De Boeck dkk, pada 13
pasien dengan kominutif medial, cubitus varus tidak terjadi pada 6
pasien yang mengalami fraktur kominutif yang dikerjakan reduksi
terbuka dan fiksasi dengan pinning, sedangkan pada 4 dari tujuh
pasien yang tidak dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi dengan
pinning, terjadi cubitus varus.2,5

4) Fraktur Tipe IV
Fraktur tipe IV merupakan fraktur yang tidak stabil dan
biasanya memerlukan penanganan operatif, namun Leitch dkk
menyatakan protokol penanganan yang menggunakan reduksi
tertutup dalam menangani 9 pasien dengan fraktur tipe IV. Teknik
yang mereka rekomendasikan adalah dengan menggunakan
Kirschner wire yang ditempatkan pada bagian distal fragmen.
Kemudian fraktur direduksi pada bidang anteroposterior dan
dipastikan dengan pemeriksaan imaging. Pada saat melakukan
pemeriksaan imaging bagian lateral, jangan melakukan rotasi pada
lengan, tapi alat fluoroskopinya yang diputar pada bagian lateral.
Kemudian dilakukan reduksi pada bidang sagital, dan Kirschner
wire didorong melampaui fragmen fraktur. Pada 9 pasien yang
mereka lakukan dengan teknik tersebut, tidak ada diantara pasien
tersebut yang mengalami cubitus varus, malunion ataupun loss of
motion, dan tidak memerlukan adanya operasi lanjutan. Karena
masih jarangnya terjadi fraktur dengan tipe tesebut, perlunya
tindakan reduksi terbuka maupun kemungkinan komplikasi yang
terjadi belum dapat diprediksi.2
E. KOMPLIKASI
1. Cidera Saraf

Cidera saraf adalah komplikasi yang sering muncul berkaitan dengan


fraktur displaced suprakondiler, dengan prevalensi berkisar antara 5-19%.
Pada tahun 1995, Campbell dkk, menemukan kerusakan saraf medianus
dalam 52% kasus dan kerusakan saraf radialis sebanyak 28%, namun
penelitian yang dilakukan oleh Spinner dan Schreiber melaporkan bahwa
yang paling sering mengalami cedera pada fraktur suprakondiler humerus
tipe ekstension adalah saraf interosseusanterioryang ditandai dengan
paralisisfleksor longus ibu jari dan jari telunjuk tanpa disertai perubahan
sensorik.2,5Kerusakan pada saraf medianus berkaitan dengan pergeseran
fragmen distal ke arah posteromedial yang ditandai dengan sensoric losspada
distribusi persarafan nervus medianus, disertai dengan motoric loss pada
otot-otot yang mendapat inervasi dari saraf medianus. Penyembuhan fungsi
sensorik hingga 6 bulan sedangkan fungsi motorik membaik dalam waktu 7-
12 minggu. Indikasi eksplorasi adalah fungsi saraf terganggu oleh karena
fraktur terbuka, setelah dilakukan reduksi tertutup pinning perkutan.
Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Royce dkk, bahwa dari 143
pasien dengan fraktur suprakondiler, dilaporkan sejumlah 4 kasus dengan
kerusakan saraf setelah fiksasi menggunakan pinning. Sedangkan Lyon dkk
melakukan penelitian terhadap 17 pasien yang diduga mengalami cedera
pada nervus ulnaris yang dicurigai disebabkan oleh pemasangan pin pada
daerah medial. Hasilnya, semua pasien tersebut mengalami pemulihan
komplit dari fungsi sarafnya, walaupun banyak diantara pasien tersebut yang
baru mengalami penyembuhan setelah 4 bulan. Hanya 4 dari 17 pasien yang
dilakukan pencabutan dari pinnya. Penelitian ini menunjukan bahwa
penyembuhan dari cedera pada saraf ulnar dapat terjadi tanpa perlu
melakukan pencabutan pada pin tersebut.Namun, Karakurt dkk melalui studi
ultrasonografi, dengan menghilangkan penyebab terjadinya penekanan
tersebut, yaitu dengan cara mencabut pin yang terletak di bagian medial lebih
awal akan menyebabkan terjadinya penyembuhan yang lebih awal terhadap
sarafyang mengalami cedera tersebut.2,5
2. Cidera Pembuluh Darah
Prevalensi terjadinya insufiensi pembuluh darah berkaitan dengan fraktur
suprakondiler dilaporkan berkisar antara 5-12%. Hilangnya pulsasi arteri
radialisterjadi pada pasien dengan fraktur suprakondiler tipe III sekitar 10% -
20%. Hilangnya pulsasi arteri radialis bukan merupakan suatu
kegawatdaruratan, melainkan urgensi.Hal ini dikarenakan, sirkulasi kolateral
masih dapat memberikan perfusi yang memadai bagi extremitas tersebut.
Bila ada pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan fraktur
suprakondiler yang disertai dengan pergeseran yang berat disertai gangguan
vaskular, dilakukan splinting pada siku dengan posisi siku fleksi 20° -
40°.Shaw dkk, merekomendasikan stabilisasi fraktur sesegera mungkin
dengan reduksi tertutup dan K-wire, apabila terdapat cidera pada pembuluh
darah. Protokol penatalaksanaan ini telah mengembalikan denyutan sebanyak
13 pasien dari total 17 pasien fraktur suprakondiler dengan cidera pembuluh
darah (12% dari 143 fraktur tipe III).2,5
Sabharwal dkk menyatakan bahwa repair awal yang dilakukan pada
arteri dihubungkan dengan tingginya angka kejadian reoklusi simptomatis
dan stenosis residual, dan mereka merekomendasikan untuk dilakukan
periode observasi dan pemeriksaan neurovaskular secara berkala sebelum
dilakukan koreksi yang bersifat invasif. Jika pulsasi sebelum dilakukan
reduksi masih teraba, dan kemudian menghilang setelah dilakukan reduksi
dan fiksasi dengan pinning, maka reduksi terbuka harus segera dilakukan.
Reduksi terbuka melalui pendekatan anterior karena melalui pendekatan
tersebut, kita dapat mengevaluasi struktur vital yang beresiko mengalami
penjeratan diantara fragmen fraktur. Jika arteri berhasil dibebaskan dari
penjeratan diantara fragmen fraktur, spasme yang terjadi pada arteri akan
dapat dikurangi, caranya dengan pemberian lidocaine, pemanasan, dan
dilakukan observasi selama 5-15 menit.2,5
Indikasi dilakukan rekonstuksi vaskuler adalah 1). denyutan tidak teraba
setelah reduksi, dengan tanda-tanda capillary refill time menurun, tekanan
kompartemen meningkat, atau pallor. 2) tidak ada denyutan pada
pemeriksaan Doppler di daerah ekstrimitas noniskemik.24,25

3. Deformitas
Deformitas berupa angulasi pada humerus distal sering terjadi pada pasien
dengan fraktur suprakondiler. Keterbatasan remodeling yang terjadi pada
humerus distal dikarenakan physis bagian distal hanya berkontribusi sebesar
20% terhadap pertumbuhan tulang humerus. 2,5,10
Penyebab yang paling
masuk akal terhadap terjadinya deformitas tersebut pada fraktur
suprakondiler adalah terjadinya malunion dibandingkan dengan terjadinya
growth arrest. Remodeling dapat terjadi pada bagian posterior, namun tidak
dapat terjadi angulasi pada bidang koronal, sehingga mengakibatkan
terjadinya deformitas cubitus varus atau valgus. Deformitas cubitus varus
adalah mengenai kosmetik bukan fungsional atau kecacatan, deformitas yang
terjadi adalah ekstensi daripada siku. Pembedahan seperti tekniklateral
closing-wedge osteotomy, dome rotational osteotomy, dan step-cut lateral
closing-wedge osteotomy juga merupakan suatu indikasi kosmetik. Namun,
osteotomy tersebut berkaitan dengan tingkat komplikasi yang signifikan.
Seperti yang dilaporkan oleh Labelle dkk, yang menyebutkan bahwa 33%
pasien mengalami loss of correction dan atau disertai cidera saraf.
Sedangkan deformitas cubitus valgus menyebabkan kehilangan fungsional
ekstensi dan paralisis saraf tardyulnaris.2,5 Cubitus varus dapat dicegah
dengan menjaga agar garis Bauman tetap utuh saat melakukan reduksi dan
selama masa penyembuhan. Pirone dkk melaporkan terjadinya deformitas
cubitus varus pada 8 ( 8% ) dari 101 pasien yang ditangani dengan
imobilisasi dengan casting dibandingkan dengan 2 ( 2% ) dari 105 pasien
yang ditangani dengan fiksasi menggunakan pin, dengan rentang usia
penderita antara 1,5 tahun sampai 14 tahun ( mean 6,4 th ). Tiga penyebab
utama terjadinya deformitas berupa cubitus varus ataupun cubitus valgus
adalah (1) Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan hasil reduksi tidak
acceptable pada gambaran radiologis, (2) Ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan hasil radiologis yang baik karena kurangnya
pengetahuan terhadap patofisiologi dari fraktur tersebut, (3) Loss of
reduction. Tidaklah sulit untuk menginterpretasikan hasil radiologis dari
lateral view. Interpretasi yang lebih rumit terdapat pada anterior view. Jones
view merupakan pemeriksaan radiologis dari anterior, dengan posisi siku
dalam fleksi maksimal dan kaset diletakan pada bagian posterior dari siku,
dan arah sinar 90 derajat terhadap kaset.
Penanganan terhadap deformitas cubitus varus di masa lalu hanya
berdasarkan pada permasalahan kosmetik saja, namun terdapat beberapa
masalah yang timbul jika cubitus varustersebut tidak ditangani, yaitu dapat
berupa meningkatnya resiko terjadinya fraktur pada condylus lateral, nyeri,
tardy posterolateral rotatory instability, dimana gejala-gejala tersebut
merupakan suatu indikasi untuk dilakukannya operasi rekonstruksi dengan
cara melakukan osteotomy pada suprakondiler humerus.
4. Kekakuan dan Myositis Ossificans
Loss of motion jarang terjadi pada pasien fraktur suprakondiler yang
direduksi secara anatomis. Kehilangan fungsi fleksi dapat terjadi dengan
fragmen distal angulasi ke arah posterior. Henrikson dkk, melaporkan kurang
dari 5% pasien dengan suprakondiler berkaitan dengan kehilangan fungsi
fleksi atau ekstensi mencapai 50jika dibandingkan dengan sisi yang tidak
cidera. Walaupun manipulasi dan terapi fisik dapat memicu terjadinya
myositis ossificans, namun komplikasi tersebut sangat jarang.2,5
5. Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen pada fraktur suprakondiler diperkirakan antara
0,1 % - 0,3 %. Sindrom kompartemen forearm dapat terjadi dengan atau
tanpa cidera arteri brachialis dan teraba atau tidaknya nadi radialis. Diagnosis
sindrom kompartemen berdasarkan lima tanda klasik yakni pain, pallor,
pulselessness, paresthesia, dan paralysis. Selain itu, adanya tahanan terhadap
gerakan pasif jari dan nyeri progresif setelah fraktur.Blakemore dkk
menemukan bahwa prevalensi terjadinya sindrom kompartemenpada forearm
adalah 3 berbanding 33 pada kasus fraktur suprakondiler disertai dengan
fraktur pada radius. Battaglia dkk, menemukan bahwa ambang posisi untuk
dapat terjadinya peningkatan tekanan intrakompartement adalah posisi fleksi
elbow, antara 900– 1200. Hal ini menentukan pentingnya untuk melakukan
imobilisasi pada siku dengan sudut fleksi kurang dari 9023 Skaggs dalam
penelitian yang dilakukannya menunjukan bahwa walaupun arteri radialis
masih teraba dan capillary refill time masih normal, namun jika disertai
terjadinya echimosis dan pembengkakan yang hebat, ancaman terhadap
terjadinya suatu compartment syndrome harus tetap diwaspadai. Perhatian
khusus harus dilakukan pada fraktur suprakondiler yang disertai cedera pada
nervus medianus, karena pada pasien yang mengalami cedera pada nervus
tersebut, pasien tersebut tidak dapat merasakan terjadinya nyeri pada
kompartement bagian volarnya.
6. Infeksi Pin Track
Rerata terjadinya infeksi pin track pada anak-anak yang ditangani
dengan fiksasi menggunakan percutaneus Kirschner wire memiliki rentang
antara 1% - 21%. Rerata terjadinya infeksi pin track yang berhubungan
dengan terjadinya fraktur suprakondiler humerus disebutkan antara 1% -
6,6%. Battle dan Carmichael melakukan penelitian terhadap 202 kasus
fraktur, dimana 92,6% ( 187 ) kasus tersebut merupakan fraktur pada
ektermitas atas, dilaporkan rerata terjadinya infeksi sebesar 7,9% ( 16 dari
202 ). 12 dari 16 kasus yang mengalami infeksi tersebut memerlukan
antibiotik oral dan perawatan terhadap pin tracknya, Satu pasien memerlukan
antibiotik secara intravena, sedangkan 3 pasien sisanya memerlukan tindakan
operasi berupa insisi dan debridement. Gupta dkk melaporkan terjadinya 1
kasus pin track infection dari 150 pasien, dan dapat ditangani dengan
antibiotik oral dan melepas pin tersebut. Pada penelitian yang lebih besar,
Mehlmann dkk menemukan terjadinya 1 kasus pin track infection pada 198
pasien dan berhasil ditangani dengan antibiotik oral sehingga dapat sembuh
tanpa terjadinya sequele.26
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian

a. Anamnesis. Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan


dalam proses keperawatan . Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantung pada tahap ini.
1) Identitas klien, meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor registrasi, tanggal
dan jam masuk rumah sakit (MRS) dan diagnose medis.
2) Riwayat Keperawatan
1. Riwayat penyakit sekarang, meliputi apa yang dirasakan
klien saat pengkajian.
2. Riwayat kesehatan masa lalu, meliputi penyakit yang
diderita, apakah sebelumnya pernah sakit
3. Riwayat kesehatan keluarga, melipti apakah dari keluarga
ada yang pernah menderita penyakit yang sama.
3) Riwayat psikososial dan spritual, meliputi pola interaksi, pola
pertahanan diri, pola kognitif, pola emosi dan nilai kepercayaan klien.
4) Kondisi lingkungan, meliputi bagaimana kondisi lingkungan
yang mendukung kesehatan klien
5) Pola aktivitas sebelum dan di rumah sakit, meliputi pola nutrisi,
pola eliminasi, personal hygine, pola aktivitas sehari-hari, dan
pola aktivitas tidur.
b. Pemeriksaan Fisik. ada dua macam pemeriksaan fisik yaitu
pemeriksaan umum (status general) untuk mendapatkan gambaran
umum dan pemeriksaan setempat (lokal).
1) Keadaan umum : keadaan baik dan buruknya klien. tanda – tanda
yang perlu dicatat adalah sebagai berikut.
a) Kesadaran klien : Apatis, spoor, koma, gelisa, compos mentis
yang bergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, Keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang,
berat dan pada kasus frakltur biasanya akut.
c) Tanda- tanda vital tidak normal karena ada ganguan local, baik
fungsi maupun bentuk.
d) Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental: observasi
penampilan dan tingkah laku klien. Biasanya tidak mengalami
perubahan

2) B1 (Breating). Pada pemeriksaan sistem pernapasan didapatkan


bahwa klien fraktur humerus tidak mengalami kelainan pernapas.
Pada palpasi toraks, didapatkan taktilfremitus seimbang kanan dan
kiri. Pada auskultasi, tidak ditemukan suara napas tambahan.
3) B2 (Blood). Inspeksi tidak ada iktus jantung, pada palpasi :
Nadi mengkat, iktus tidak teraba, Auskultasi : suara S1 dan S2
tunggal, tidak ada mur-mur.
4) B3 ( Brain) : Tingkat kesadaran biasanya komposmentis.
a) Kepala: Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada sakit kepala.
b) Leher : Tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflex menelan ada.
c) Wajah: Wajah terlihat menahan sakit dan tidak ada perubahan
fungsi dan bentuk, Wajah simetris, tidak ada lesi dan edema.
d) Mata: Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi pendarahan).
e) Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
f) Hidung: Tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping
hidung.
g) Mulut dan Faring: Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak
terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

5) B4 (Bladder). Kaji keadaan urine yang meliputiwarna, jumlah dan


karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Biasanya klien pada
fraktur humerus tiidak mengalami kelainan pada sistem ini.

6) B5 (Bowel) Inspeksi abdomen : Bentuk datar, simetris, tidak ada


hernia. Palpasi : Turgor baik, tidak ada defans muscular dan hepar
tidak terabah. Perkusi : Suara timpani, ada pantulan gelombang
cairan. Auskultasi : Peristaltik usus nomal 20 kali/menit.
Inguinal – genitalia–anus : Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran
limfe.
a) Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengonsumsi
nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya, seperti kalsium, zat
besi, protein, vitamin C, dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien dapat
membantu menentukan penyebab masalah musculoskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium dan protein. Kurangnya paparan sinar
matahari merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu, obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
b) Pola eliminasi. Klien fraktur humerus tidak mengalami
gangguan pola eliminasi, tetapi perlu juga dikaji frekuensi,
kosistensi, warna, dan bau feses pada pola eliminasi alvi. Pada
pola eliminasi urine dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan
jumlahnya. Pada kedua pola tersebut juga dikaji adanya
kesulitan atau tidak.
7) B6 (Bone). Adanya fraktur pada humerus akan menganggu secara
lokal, baik fungsi motorik, sensorik, maupun peredaran darah.
a) Look. Pada sistem integument terdapat eritema, suhu disekitar
daerah trauma meningkat, bengkak, edema, dan nyeri tekan.
Perhatikan adanya pembengkakan yang tidak biasa (abnormal).
Perhatikan adanya sindrom kompartemen pada lengan bagian
distal fraktur humerus. Apabila terjadi fraktur terbuka, ada tanda-
tanda trauma jaringan lunak sampai kerusakan intergritas kulit.
Fraktur oblik, spiral, dan bergeser mengakibatkan pemendekan
batang humerus. Kaji adanya tanda cedera dan kemungkinan
keterlibatan berkas neurovascular (saraf dan pembuluh darah)
lengan, seperti bengkak/edema. Lumpuh pergelangan tangan
merupakan petunjuk adanya cedera saraf radialis.
b) Feel. Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada
daerah lengan atas.
c) Move. Setelah dilakukan pemeriksaan feel, pemeriksaan
dilanjutkan dengan menggerakkan ekstermitas, kemudian perawat
mencatat apakah ada keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
rentang gerak ini perlu dilakukan agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya.
d) Pola aktivitas. Karena timbul nyeri, gerak menjadi terbatas. semua
bentuk aktivitas klien menjadi berkurang dan klien memerlukan
banyak bantuan orang lain.
e) Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur merasakan nyeri dan
geraknya terbatas sehingga dapat menganggu pola dan kebutuhan
tidur klien. selain itu, dilakukan pengkajian lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur, dan
penggunaan obat tidur.
PATHWAY
1. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedara fisik

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas


struktur tulang

c. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif


2. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Intervensi Rasional


Keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Nyeri merupakan respon subjektif
pencedera fisik 2. Ajarkan teknik non farmakologi yang
(distraksi relaksasi) jika nyeri dapat dikaji dengan menggunakan
timbul dengan terapi musik klasik skala nyeri
mozart 2. Pendekatan dengan menggunakan
3. Berikan posisi nyaman relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
4. Kolaborasi pemberian analgetik efektif dalam mengurangi nyeri.
untuk mengurangi nyeri dengan 3. Istirahat merelaksasi semua jaringan
dokter dalam pemberian analgetik. sehingga semua akan meningkatkan
kenyamanan.
4. Analgesic memblok lintasan nyeri
sehingga nyeri akan berkurang.
2. Hambatan mobilitas 1. Kaji kemampuan pasien dalam 1. Mengetahui tingkat kemampuan klien
fisik b/d kerusakan mobilisasi dalam melakukan aktivitas.
integritas struktur 2. Atur posisi imobilisasi pada
2. Untuk mempertahankan fleksibilitas
tulang lengan atas.
sendi sesuai kemampuan.
3. Dampingi dan bantu pasien
3. Kemampuan mobilisasi ekstremitas
saat mobilisasi Kolaborasi
dapat ditingkatkan dengan latihan fisik
dengan ahli fisioterapi
dan tim fisisoterapi
untuk melatih fisik klien.
3. Risiko infeksi b/d efek 1. Mendeteksi secara dini gejala-gejala
1. Kaji dan monitor luka operasi
prosedur invasif inflamasi yang mungkin timbul secara
setiap hari
sekunder akibat adanya luka pasca
2. Lakukan perawatan luka secara
operasi
steril.
2. teknik perawatan luka secara steril
3. Pantau/batasi kunjungan. dapat mengurangi kontaminasi kuman.
3. mengurangi risiko kontak infeksi dari
4. Bantu perawatan diri dan
orang lain
keterbatasan aktivitas sesuai
4. menunjukan kemampuan secara umum
toleransi. Bantu program latihan.
kekuatan otot, dan merangsang
5. Berikan antibiotik sesuai
pengembalian system imun.
indikasi.
5. satu atau beberapa agens diberikan
yang bergantung pada sifat pathogen
dan infeksi yang terjadi.
3. Evaluasi

Hasil asuhan keperawatan yang diharapkan adalah nyeri teratasi,


terpenuhinya pergerakan/mobilitas fisik, dan infeksi pascaoperasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Salter RM. Spesific Fracture & Joint Injuries in Children. Textbook of


Disorders & Injuries of the Muskuloskeletal Sytem. 3rd Edition.
Lippincott Wiliams& Wilkins 1999
2. Skaggs DL, Flynn JF: Supracondylar Fracture of the Distal Humerus. In:
Beaty JH, Kasser JR, (editors) Rockwood and Wilkins Fractures in
Children, 7th Edition Vol. 3. Philadelphia, Lippincott William and
Wilkins; 2010. 487-531.
3. Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of Fractures Third Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. 2006
4. Barel DP, Hanel DP. Fractures of The Distal Humerus. In: Wolfe SW,
Hotchkiss RN, Pederson WC, Kozin SH. Green’s Operative Hand
Surgery Sixth Edition. Churcill Livingstone Elsevier. 2010.
5. Beaty JH, Kasser JR.Supracondylar Fracture of the Distal Humerus. In:
Campbell, 11th Edition; 2007.
6. Farnsworth CL, Silva PD,Mubarak SJ. Etiology of supracondylar
humerus fracture. Journalof Pediatric Orthopaedic. 1998;18:38-42
7. Omid R, Paul D, Choi, Skaggs D. Curent concepts review.
Supracondylar Humeral Fractures in Children. Journalof Bone Joint
Surgery America, 2008;90:1121-32
8. Brubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fracture of The
Distal Humerus.

Current Review Musculoskeletal Medicine 2008. 1:190-196


9. Price CT, Flynn JM. Management Of Fractures. In: Morrissy RT,
Weinstein SL. Lovell & Winter’s Pediatric Orthopaedics, 6th Edition.
2006. Vol.2. 33. 1449-1452
10. King Maurice; 1987; Fracture of the Shaft of the Humerus In: Primary
Surgery Volume Two: Trauma; Oxford University Press; UK; p. 233-
235

11. Rang, M. Supracondylar Fractures. In: Children’s Fractures 2nd Edition.


Lippincott Company. 1983. 154-169
12. Gartland JJ. Management of supracondylar fractures humerus in
children. Surgery Gynecology Obstetric. 1959;109(2):145-54
13. Barton KL, Karminsky CK, Green DW, Shean DJ, Skaggs DL.
Reliability of a modified Gartland classification of supracondylar
humerus fractures. Journal of Pediatric Orthopaedic. 2001;21:27-30.
14. Leich KK, Kay RM, Femino JD, Tolo VT,Storer SK, Skagss DL.
Treatment of multidirectionally unstable supracondylar humeral
fractures in children. A modified Gartland type – IV fracture. Journalof
Bone Joint Surgery America .2006. 88. P 980- 985.
15. Murray AW, Robb J. Supracondylar Fractures Of The Humerus in
Children. Elsevier. 2012. 8:119-132
16. Brubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fractures of the
Distal Humerus. Current Review Musculoskeletal Medicine. 2008.
1:190-196
17. Skaggs DL. Elbow fractures in children: Diagnosis and Management.
Journalof America Academy of Orthopaedic Surgery. 1997;5(6);303-12
18. Skaggs D, Pershad J. Pediatric elbow trauma. Pediatric Emergency Care.
1997;13(6);425-34
19. Otsuka NY, Kasser JR. Supracondylar fractures of the humerus in
children. Journal of American Academy of Orthopaedic Surgery.
1997;5(1); 19-26
20. Kuzma J. A Comparison of Skin vs Skeletal Traction in the Management
of Childhood Humeral Supracondylar Fractures: Randomized Clinical
Trial. The International Journal of Orthopaedic Surgery. 2014. Vol 22.
No.1
Available at https://ispub.com/IJOS/22/1/14816

21. Gadgil A, Hayhurst C, Maffulli N, Dwyer JSM. Elevated, Straight-arm


traction for supracondylar fracture of the humerus in children. Journal of
bone and joint surgery. 2005. Vol 87B; 82-87.
22. Bhuyan, BK. Closed Reduction and Percutaneous Pinning in Displaced
Supracondylar Humerus Fractures in Children. Journal of Clinical
Orthopaedic and Trauma. 2012. 89-93.
23. Fleuriau-Chateau P. An Analysis of open reduction of irreducible
supracondylar fractures of the humerus in children. Canadian Journal of
Surgery.1998;41:112-8

24. Santoso M.W.A, Alimsardjono H dan Subagjo; 2002; Anatomi


Bagian I, Penerbit Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga; Surabaya

25. Anonymous. Fraktur Patah Tulang (online).


2009.(http://perawatpskiatri.blogspot.com/search/label).

26. Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi ke 2 EGC : Jakarta.

27. Apley, A. Graham 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur


Sistem Apley. Widya Medika: Jakarta.
28. Mansjoer A 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Medika
Aesculapius FKUI : Jakarta
29. Kenneth J, dkk 2002. Fractures Of The Shaft Of The Humerus In
Chapter 43: Orthopedic;
30. In: Handbook of Fracture second edition. Wolters Klunser
Company : New York.
31. Bernard Bloch ...... 1996. Fraktur dan Dislokasi. Yayasan
essentica Medica : Yogyakarta p.1028-1030
32. Elis Harorld, 2006, Part 3: Upper Limb, The Bones and Joint of the
Upper Limbs; In: Clinical Anatomy Eleventh Edition (e-book);
Blackwell Publishing; Oxford University; p 169-170
33. Holmes E.J and Misra R.R; 2004; Humerus fracture – Shaft
fracture In: AZ of Emergency Radiology (e-book); UK;
Cambridge University Press; p 110-111.

34. Abzug, JM and Herman, MJ. Management of Supracondylar Humerus


Fractures in Children: Current Concepts. Journal of the American of
Orthopaedic Surgeons.2012. Vol 20, No 2, 69-77
35. Bataglia TC, Armstrong DG, Schwend RM. Factor affecting forearm
compartment pressure in children with supracondylar fractures of the
humerus. Journal of Pediatric Orthopaedic 2000;22:431-9.22431 2002
36. Bae DS, Kadiyala RK, Waters PM. Acute compartment syndrome in
children: contemporary diagnosis, treatment, and outcome. Journal of
Pediatric Orthopaedic
.2001;21(5);302-12
37. Mehlman CT, Strub WM, Roy DR. The effect of surgical timing on the
perioperative complication of treatment of supracondylar humeral
fracture in children. Journal of Bone and Joint Surgery American
2001;83;323-7
38. Rasjad C.2007. Pengantar Bedah Ortopedi. PT. Yarsef Watampone :
Jakarta. Hal 380-395. Hermansyah, MD; Fraktur Shaft Humerus (.ppt)
(online) 2009.(http://www.google.com//fraktur-shaft-humerus-
hermansyah-MD.pdf.)

Anda mungkin juga menyukai