Anda di halaman 1dari 3

DONI MULIA PUTRA

220402090019
Pendidikan Bahasa Inggris

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA


Arti pancasila sebagai ideologi terbuka bukan berart pancasila bisa diisi atau disisipi ideologi lain
melainkan pancasila yang fleksibel terbuka mengikuti perkembangan zaman dalam penafsiran,
pengujian dan pengimplementasiannya. Maka sebagai ideologi terbuka pancasila harus memiliki
dimensi, menurut Kaelan (2002) diantaranya:
-Idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersifat sistematis dan bersumber
pada nilai-nilai filosofis. Sehingga memberikan optimisme dalam meraih cita-cita bangsa.
-Normatif, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma.
-Realistis, nilai-nilai Pancasila harus mencerminkan realitas masyatakat Indonesia.
Jadi di samping pancasila memilikinpersamaan di antara ideologi-ideologi besar dunia terdapat
perbedaan yaitu pancasila bersumber dari pemikiran tokoh-tokoh indonesia sendiri dan nilai-nilainya
diserap dari bangsa Indonesia sendiri. Sehingga memiliki tujuan luhur menyejahterakan kehidupan
rakyat Indonesia ke arah yang lebih baik lagi srsuai dengan cita-cita bangsa.Saya sependapat dengan
Mubyarto mengenai pengertian ideologi yakni "Ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan, dan
simbol-simbol sekelompok masyarakat atau suatu bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman
kerja atau perjuangan untuk mencapai tujuan masyarakat atau bangsa itu". Ideologi secara
etimologis, artinya ilmu tentang ide-ide (the science of ideas) atau ajaran tentang pengertian dasar
(Kaelan).
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara, sebab Pancasila adalah rumusan tentang cita-cita
bangsa dan negara, cita-cita berdasarkan kesadaran kebangsaan sekaligus cita-cita penyelenggaraan
pemerintahan negara. Dan sebuah ideologi diarahkan untuk bisa diaktualisasikan secara mendasar
dan nyata/konkrit. Secara potensia, ideologi mempunyai kemungkinan pelaksanaan yang tinggi
sehingga dapat memberi pengaruh positif karena mampu membangkitkan dinamika masyarakat
secara nyata ke arah kemajuan. Jado ideologi dapat pula dikatakan konsep operasional dari suatu
pandangan atau filsafat hidup yang merupakan norma ideal dan melandasi ideologi. Keberagaman
dan perkembangan ideologi sampai saat ini terus berlangsung, bahkan penyebarannya tidak
terbatasi batas-batas ruang. Sehingga tidak menutup kemungkinan masuknya ideologi yang beragam
ke wilayah tertentu, termasuk Indonesia.
1. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
Bagi Joko Siswanto (2015: 49-53) tiga dimensi ini diperlukan untuk memelihara Pancasila sebagai
ideologi yang senantiasa relevan dengan dinamika kehidupan.

a. Dimensi realita, maksudnya adalah nilai-nilai yang dikandung dalam setiap sila Pancasila
merupakan penggalian dari nilai-nilai bangsa.

b. Dimensi idealisma, mengarahkan tujuan dan cita-cita ideal negara Indonesia, sehingga
dalam pemerintahan dan tata negaranya mengarahkan pada ide luhur. Ideologi yang
tangguh akan menggambarkan keselarasan antara dimensi realita dan idealita.

c. Dimensi fleksibilita, terkait dengan dinamisme kehidupan manusia. Hakikatnya, kehidupan


manusia tidaklah stagnant, tetapi dinamis, berkembang dari waktu ke waktu. Ideologi yang
baik adalah ideologi yang kokoh terhadap tantangan dinamika jaman, serta menjamin suatu
ideologi selalu relevan antara realita dan idealita.
Tiga dimensi tersebut merupakan syarat mutlak sebuah ideologi disebut sebagai ideologi terbuka,
dan Pancasila melengkapi tiga syarat tersebut.
Karena pancasila ebagai ideologi terbuka perlu aturan untuk membatasi luasnya pemaknaan
ideologi, perlu menyamakan rumusan istilah ideologi tersebut. Bakry (2010: 177) merumuskan
secara umum ideologi adalah “Kesatuan gagasan-gagasan dasar yang sistematik dan menyeluruh
tentang manusia dan kehidupannya baik individual maupun sosial dalam kehidupan kenegaraan”.

Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan
masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut
adalah kesepakatan kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan
tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of
government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).

Pancasila tidak bisa lagi ditempatkan sebagai ideologi yang dipakai untuk penyalahgunaan
kekuasaan. Kalaupun prinsip hegemoni hendak diberlakukan maka sudah selayaknya status
konsesus untuk kerelaan spontan juga perlu diberikan ruang yang cukup melalui pendidikan.
Dengan ruang seperti ini tidak ada lagi intervensi atas premis Pancasila, tetapi mendorong
munculnya artikulasi yang diperjuangkan sebagai subjek, kesadaran, keyakinan dan tindakan yang
dinampakkan.

2. IDEOLOGI BESAR DI DUNIA


- Liberalisme
Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu dalam segala
bidang. Menurut paham ini, manusia adalah titik pusat, ukuran segala hal, atau dalam istilah filsafat
disebut antroposentris. Bahwa nilai-nilai manusia merupakan pusat untuk berfungsinya alam
semesta dan alam semesta menopang dan secara tahap demi tahap mendukung nilai-nilai itu
(Lorens bagus, 2000: 60). Karena eksistensi individu, masyarakat dapat tersusun dan karena individu
pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat atau negara harus selalu menghormati
dan melindungi kebebasan kemerdekaan individu.
- Kapitalisme
Orientasi kaum kapitalis murni berdasarkan mengejar modal atau uang, bahkan pengejaran
keuntugan ini diselubungi oleh ideologi yang dianggap suci. Kapitalis terus menyebarkan sayap
untuk menguasai modal dan keuntungan, maka pada titik ini posisi kaum buruh kian terjepit.
Penguasaan barang, jasa, modal dan keuntungan yang hanya dimiliki oleh kaum kapitalis,
menyebabkan kaum buruh semakin tersingkir dalam persaingan bebas ekonomi. Maka, tidak ada
jalan lagi kecuali kaum buruh harus merebut alat-alat produksi yang dikuasi oleh kaum pemodal.
Kaum buruh bangkit, merebut pabrik dan modal dari kaum kapitalis. Setelah kaum buruh mampu
bekerja dengan bebas dan kreatif, maka diciptakanlah masyarakat komunis (Magnis Suseno, 2003:
269-270).
- Komunisme
Pemikiran Marx ini di kolaborasi dengan pemikiran Lenin oleh Engels. Engels menyusun sistem
operasional dari pemikiran-pemikiran Marx, meliputi politik, ekonomi, dan sosial. Cita-cita
komunisme adalah kehidupan masyarakat tanpa kelas, yang diharapkan menghadirkan atmosfir
kedamaian, tanpa hak milik. Namun pada praktiknya, kediktaktoran muncul untuk menguasai dan
membentuk kehidupan yang tanpa kelas itu.

3. JALAN TENGAH PANCASILA


- Di antara pertentangan yang sangat tajam antara liberalism-kapitalisme dan sosialisme-
komunisme, para pendiri bangsa ini memberikan jalan alternatif untuk berada di antara dua
titik ekstrim tersebut. Dalam pidatonya, Mr. Soepomo menguraikan adanya cara pandang
ketiga yang disebut cara pandang integralistik, yakni melihat negara sebagai suatu kesatuan
organik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hegel, Adam Muller dan Spinoza. Namun
integralistik dikritik oleh M. Hatta karena ditakutkan akan melahirkan kekuasaan absolut.
- Moralitas Ekonomi Pancasila mencakup ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan sosial. Pelaku-pelaku ekonomi inilah yang secara agregatif menciptakan
masyarakat yang berkeadilan sosial dan besifat sosialistik yaitu adanya perhatian yang besar
pada mereka yang tertinggal (Mubyarto, 1981). Ditambah dengan semangat nasionalistis
dan kesungguhan dalam implementasi, Ekonomi pancasila akan mampu menciutkan
kesenjangan kaya-miskin atau mampu mencapai tujuan pemerataan (Mubyarto, 1986).
- Hubungan antara Pancasila (Negara) dengan agama diletakkan dalam kerangaka
pembedaan (differentiation), bukan pemisahan (sekularisme). Pembadaan agama dan
negara dalam konteks ini diartikan masing-masing mempunyai batas otoritas, tetapi
terhubung dengan ranah kehidupan yang berbeda secara konseptual (tapi bisa saja
terhubung) dalam metode, bentuk pemikiran, wacana dan tindakan. Perihal tersebut
disebut “toleransi kembar” (twin tolerations), yakni situasi ketika institusi agama dan negara
menyadari batas otoritasnya masing-masing (Yudi Latief, 2011).

Anda mungkin juga menyukai