Anda di halaman 1dari 7

Analisa Hubungan Internasional

Review Film “Thirteen Days”

Sinopsis Film

Thirteen Days merupakan sebuah film yang berlatarkan kondisi pada masa perang
dingin, tepatnya dimulai saat isu mengenai penyelundupan rudal dan hulu ledak nuklir oleh
Rusia ke Kuba perlahan sampai ke “telinga “ Amerika Serikat. Pada bulan Okteber 1962 ini
lebih dikenal sebagai sebagai The Cuban Missile Crisis. Presiden Kennedy menemukan foto
yang diambil oleh satelit mata-mata Amerika Serikat. Di dalam foto itu tergambar bahwa
adanya aktivitas pengangkutan benda berbentuk roket yang sedang dalam perjalanan ke kuba.
Amerika memastikan bahwa senjata itu adalah senjata misil balistik berhulu ledak nuklir
terbaru buatan Uni Soviet dengan tipe SS20. Menurut perhitungan, misil tersebut mampu
membunuh 80 juta orang Amerika, dan diperkirakan bahwa misil tersebut akan dapat dibuat
beroperasi dalam 10 sampai 14 hari. Untuk menghadapi ancaman ini, Presiden Kennedy
mulai membuat Komite Eksekutif khusus (Ex-Comm) terdiri dari pejabat pemerintah senior.
Presiden Kennedy yang telah membuat perjanjian pertemuan dengan Dubes Uni
Soviet pun memanfaatkan pertemuan ini untuk memastikan keberadaan misil-misil tersebut.
Sayangnya Pertemuan antara F. Kennedy dengan Dubes Dobrynin ini tidak menimbulkan
kesepakatan yang pasti. Kennedy mengatakan bahwa posisi misil di Kuba ini dapat
mengancam keamanan nasional Amerika Serikat. Namun, Dubes Dobrynin mengatakan
bahwa peletakan rudal itu bukan bermaksud untuk menyerang tapi dalam posisi Defensif
(bertahan) sesuai pernyataan pers Pimpinannya pada tanggal 13 September yakni PM Nikita
Khruschev. Namun, Presiden Kennedy dan Sekretaris Ken O’Donnell menyadari bahwa
Dubes Dobrynin berbohong kepada mereka karena mereka melihat dokumen misil yang
berada dalam tas Dubes Dobrynin. Menyadari hal tersebut mereka pun kembali mengadakan
pertemuan untuk menanggapi masalah ini.
Rapat khusus ini berhasil memutuskan beberapa sikap AS terhadap Uni Soviet yang
mungkin mereka ambil. Beberapa opsi tersebut antara lain:
1. Opsi pertama adalah melalui jalur diplomasi untuk meminta mereka
memindahkan misil-misil mereka dari Kuba namun banyak anggota Ex-Comm
yang sangsi dengan opsi ini.
2. Jalur kedua adalah dengan meminta Uni Soviet memindahkan misilnya dengan
cara paksa melalui serangan udara dengan resiko mendapat kecaman dari dunia
internasional.
3. Opsi terakhir adalah dengan melakukan blokade.

Karena ketiga opsi ini Ex-comm pun berubah menjadi dua kubu yaitu kubu Kennedy
dan Kubu militer. Kubu militer percaya bahwa jalan terbaik adalah melalui serangan udara.
Menurut mereka lebih baik bila AS menyerang terlebih dahulu dibanding apabila mereka
diserang Uni Soviet terlebih dahulu. Mereka berencana untuk menjatuhkan Fidel Castro agar
Amerika benar-benar aman dan Uni Soviet kehilangan salah satu sekutunya.
Sebaliknya, kubu Kennedy percaya bahwa jalan terbaik adalah melalui blokade. Hal
ini memang terlihat lemah dan memerlukan waktu. Kennedy khawatir apabila Amerika
menyerang maka Uni Soviet akan membalas dengan menyerang Berlin (Jerman Barat) yang
merupakan anggota NATO yang merupakan aliansi militer dengan prinsip collective security.
Dengan demikian, berarti apabila satu negara yang merupakan anggota diserang maka negara
lain yang merupakan anggota akan membantu negara yang diserang. Apabila hal ini terjadi
maka akan tercipta Perang Dunia III.
Akhirnya Kennedy mengambil beberapa keputusan yang telah dipertimbangkannya
bersama beberapa petinggi yang menolak melakukan invasi ke Kuba, termasuk dua orang
kepercayaannya, Kenny dan Bobby, diantaranya:

1. Untuk menghentikan pembangunan ofensif yang diupayakan Soviet di Kuba,


dilaksanakan karantina ketat kepada semua peralatan militer Kuba. Kapal dari
manapun menuju Kuba bila diketahui bermuatan senjata akan dipaksa berputar
kembali.
2. Pengintaian terhadap Kuba dan pembangunan militernya ditingkatkan. Bila
persiapan militer berlanjut tindakan lebih lanjut akan ditempuh. Seluruh angkatan
bersenjata bersiap menghadapi segala kemungkinan.
3. Menjadi kewajiban AS untuk menganggap peluncuran rudal dari Kuba terhadap
negara barat manapun sebagai serangan Soviet terhadap AS. Hal ini akan
mengakibatkan serangan balasan terhadap Uni Soviet.

Blokade yang dilakukan Amerika Serikat gagal karena kapal USSR berhasil masuk
dan mengecoh blokade tersebut. Pemerintah Amerika Serikat membawa permasalahan ini ke
depan Dewan Keamanan PBB dan melalui perwakilannya pemerintah Amerika Serikat
menuntut jawaban kepada pemerintah Uni Soviet tentang peletakan rudal nuklir di Kuba.
Pada saat itu pemerintah Soviet tidak memberikan jawabannya dan menyangkal tuduhan
Amerika Serikat tentang misil-misil yang ada di Kuba. Namun, pemerintah Amerika Serikat
memberikan bukti-bukti kedepan Dewan Keamanan PBB berupa foto-foto tentang kegiatan
peletakan rudal nuklir di Kuba tersebut.
Uni Soviet mengirimkan pesan melalui John A. Scali, seorang reporter dengan ABC
News, yang dihubungi oleh "utusan" Uni Soviet Aleksandr Fomin yang merupakan agen
rahasia Uni Soviet dan mantan teman perang PM Uni Soviet, Nikita Khruschev. Melalui
metode komunikasi ini Uni Soviet menawarkan untuk menarik misil dengan imbalan jaminan
publik dari AS yang tidak akan pernah menyerang Kuba. Kemudian Uni Soviet menawarkan
kesepakatan yang melibatkan penghapusan rudal Jupiter AS dari Turki. Setelah banyak
pertimbangan dengan Komite Eksekutif Dewan Keamanan Nasional, Kennedy diam-diam
setuju untuk menghapus semua misil Jupiter dari Italia selatan dan di Turki, yang terakhir di
perbatasan Uni Soviet, dalam pertukaran untuk Khrushchev dengan menghapus semua rudal
di Kuba. Lepas pantai Kuba, kapal Soviet berbalik dari garis karantina. Selama krisis nuklir
Quba terjadi pemerintah USSR dan juga Amerika Serikat mencoba pendekatan diplomasi
untuk mencegahnya perang yang bisa pecah sewaktu-waktu.
Malamnya Robert “Bobby” F. Kennedy yang memiliki jabatan sebagai attorney
general (jaksa agung) pada masa itu diminta untuk mewakili Amerika Serikat dalam
pertemuannya dengan duta besar Uni Soviet. Dalam pertemuan ini Bobby Kennedy
menawarkan solusi agar misil-misil Uni Soviet ditarik dari Kuba dan kapal-kapal pengangkut
misil yang berusaha memasuki perairan wilayah karantina ditarik mundur dengan syarat
Amerika Serikat membongkar misil Jupiter di Turki milik mereka. Namun Amerika meminta
agar kesepakatan ini tidak disebarluaskan dalam bentuk apa pun. Pada akhirnya Uni Soviet
pun sejutu dengan solusi ini. Dengan demikian, Perang Dunia II pun berhasil dielakan.

Analisis Kasus

Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)

Teori Pilihan Rasional menurut James S. Coleman adalah teori yang memusatkan
perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau
mempunyai maksud. Artinya actor tersebut mempunyai tujuan dan tindakan yang tertuju pada
upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Aktor juga dipandang mempunyai pilihan atau nilai
serta keperluan.
Substansi dasar dari teori pilihan rasional ini adalah :

 Tindakan manusia (human action) pada dasar adalah “instrumen” (dalam arti:
alat bantu), agar perilaku manusia dapat dijelaskan sebagai usaha untuk
mencapai suatu tujuan.
 Para aktor merumuskan perilakunya melalui perhitungan rasional mengenai
aksi mana yang akan memaksimalkan keuntungannya.
 Proses-proses sosial berskala besar termasuk hal-hal seperti ratings, institusi
dan praktik-praktik merupakan hasil dari kalkulasi seperti itu. Mungkin akibat
pilihan kedua, pilihan ketiga atau pilihan ke-N perlu dilacak.1

Dalam kasus krisis misil Kuba ini, Uni Soviet dan Amerika Serikat dianggap
mengambil keputusan yang rasional. Beberapa orang menganggap bahwa Uni Soviet
menempatkan misil-misilnya di Kuba karena Uni Soviet ingin melindungi Kuba yang
berideologi sosialis. Pada saat itu AS merasa terancam dengan kepemimpinan Castro di Kuba
dan bermaksud untuk menumbangkan kekuasaan Castro. AS melalui CIA melatih 1000 lebih
pasukan Kuba yang diasingkan Castro untuk melakukan serangan di Bay of Pigs dengan
tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Fidel Castro. Namun serangan ini gagal total.
Castro yang merasa cepat atau lambat AS akan kembali menjatuhkan kekuasaannya dan
meminta perlindungan Uni Soviet.

Amerika Serikat menempatkan 15 misilnya di Turki yang berbatasan dengan Uni


Soviet. Sedangkan upaya blokade yang dilakukan Amerika Serikat juga dianggap pilihan
yang paling rasional yang dapat AS ambil. Hal ini dikarenakan pilihan tersebut dianggap
pilihan yang paling aman. Pilihan lainnya dianggap dapat merugikan Amerika Serikat dan
mungkin berkibat pecahnya Perang Dunia III.

Game Theory

“Chicken” adalah nama permainan berbahaya di kalangan remaja nakal di kota-kota


besar Amerika Serikat. Pelaku permainan ini adalah dua pemimpin geng yang bermusuhan
dan bermaksud menunjukkan siapa yang lebih jantan dan siapa yang pengecut dengan cara
mengendarai mobil dengan kencang dari arah berlawanan untuk saling menubrukkan
mobilnya. Kejantanan atau kepengecutan diukur dari keberanian mengambil resiko akibat
tubrukan.

1
Miriam Budiardjo.1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama:Jakarta. Hlm. 93-94
Ada dua pilihan bagi pemimpin geng tersebut yaitu tetap mengarahkan mobilnya
sehingga tubrukan terjadi dan gengsinya meningkat atau menghindarkan diri dengan akibat
kehilangan muka karena dianggap pengecut. Keduanya tentu berharap masing-masing
menghindar sehingga selamat. Tetapi masing-masing tidak mengetahui apa yang diputuskan
oleh lawannya.2

Dalam film Thirteen Days ini game theory dapat dilihat dari pengambilan keputusan
strategi-strategi kedua negara tersebut. Uni Soviet pada awalnya melakukan provokasi
dengan meletakkan misil-misilnya di Kuba. Amerika pun berusaha menggertak dengan
mencoba memblokade Uni Soviet. Walaupun saat itu blokade tidak efektif dan situasi
semakin memanas, akhirnya Uni Soviet sepakat untuk menarik misilnya. Apabila saat itu Uni
Soviet tetap mempertahankan misil-misilnya di Kuba, maka kemungkinan besar
keputusannya tersebut berakhir dengan Perang Dunia III.

Rational Actor Model, Organizational Model dan Bureaucratic Polity Model

Rational Actor Model merupakan model yang berusaha menemukan opsi-opsi yang
rasional dengan aktor utama Presiden dan penasihat-penasihat kuncinya (key advisor), beserta
orang-orang terdekatnya. Sedangkan Organizational Model merupakan model yang berisi
bahwa dalam setiap struktur (hirarkis) atau departemen selalu ada Standard Operational
Procedure (SOP). Dimana, tidak perlu menunggu perintah dari Presiden, karena sudah ada
SOP yang jelas dalam susunan atau struktur pemerintahan. SOP tersebut dihasilkan dari
preseden-preseden yang ada sebelumnya.

Dalam film “Thirteen Days”, Organizational Model digambarkan dalam situasi yang
terjadi di dalam Departemen Pertahanan (Ministry of Defence). Dimana sewaktu kapal perang
Uni Soviet telah diperintahkan untuk mundur oleh Angkatan Laut AS, kapal tersebut tidak
memedulikannya ataupun menggubrisnya. Maka, berdasarkan aturan yang ada di dalam
satuan Angkatan Laut, Laksamana memerintahkan anak buahnya (Kapten kapal Pierce)
untuk menembakkan meriam tanda peringatan bagi kapal Soviet tersebut. Aturan ini telah
lama digunakan oleh para Angkatan Laut berdasrkan aturan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Kemudian model yang terakhir, yaitu Bureaucratic Polity Model, yang mana
dalam proses pengambilan keputusan ada pengaruh dari berbagai aktor/pihak 3. Seperti
2
Mohtar Mas’oed.1990. Ilmu Hubungan Internasional.LP3ES: Jakarta. Hlm. 297
3
Theory. International Organization, Vol. 41, No. 3. (Summer, 1987), pp. 335-370.
Zehfuss, Maja, 2002, “Constructivism in International Relations : The Politics of Reality”, Cambridge University Press, Cet. I.
Kongres, suara sipil, angkatan bersenjata, pers ataupun media, forum PBB, dan lain
sebagainya.

Namun, yang menarik perhatian di sini adalah, bahwa fokus analisa kebijakan luar
negeri dalam film Thirteen Days menampilkan Rational and Phsychological Aspect of
Foreign Policy. Salah satu aspek pembuatan kebijakan luar negeri yang berupa permasalahan
Rasional dan Psikologis si pembuat keputusan (decision maker).

Presiden John F. Kennedy merupakan tokoh yang sangat halus. Kebijakan Luar
Negeri yang ia putuskan dibuat dengan sangat hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Sedangkan
Uni Soviet merupakan negara yang memiliki karakter keras. Sehingga kongres Amerika
berpendapat bahwa langkah terbaik untuk merespon tindakan Uni Soviet adalah dengan
kekuatan (force). Rapat kongres yang dilakukan untuk pencapaian keputusan secara dominan
menginginkan invasi ke Kuba, sebagai ultimatum untuk melucuti senjata rudal-rudal tersebut.

Presiden Kennedy, dalam pencapaian keputusan lebih menyukai jalan-jalan yang


damai dan tidak tergesa-gesa. Di sinilah aspek rasionalitas yang dikedepankan oleh Kennedy.
Dalam rapat Kongres AS kemudian diklarifikasikan pilihan-pilihan atau opsi-opsi yang
bersifat rasional (Clarify rational choices)4. Opsi-opsi tersebut antara lain ada tiga,
yaitu: Pertama, dengan melakukan langkah serta pendekatan diplomatik (negosiasi).
Kedua, langkah yang bisa dilakukan adalah dengan serangan udara terhadap Soviet, sampai
mereka menyerah. Sedangkan yang ketiga adalah serangan udara (air strike) diikuti dengan
invasi Kuba.

Kongres kemudian “membumikan” pilihan-pilihan tersebut. Opsi pertama (negosiasi)


mustahil untuk dilakukan mengingat karakter negara Uni Soviet. Hal ini seperti yang
digambarkan dalam pembicaraan antara Presiden John Kennedy dengan utusan PM
Khruschev dari Kremlin. Kennedy menanyakan permasalahan mengenai rudal tersebut.
Sedangkan utusan dari Uni Soviet malah menanggapi pertanyaan Kennedy dengan
mengatakan bahwa PM Khruschev telah menyatakan tidak ada unsur offensif dari
pemasangan rudal tersebut di wilayah Kuba. Yang ada hanyalah upaya defensif. Hal ini jelas-
jelas seperti “menampar” wajah Kennedy.

Kemudian, pilihan yang kedua adalah mengenai serangan udara (air strike).Kennedy
mengungkapkan bahwa ada 3 preferensi yang bisa diambil dari pilihan tersebut.
4
S. Smith.( Introduction: diversity and disciplinarity in international relations theory. In T. Dunne, M. Kurki, S. Smith, &
(Eds.), International relation theories: discipline and diversity, Second Ed. New York: Oxford University Press 2010). Hal. 178.
Pertama, serangan udara yang terbatas terhadap rudal. Kemudian yang kedua adalah
serangan udara terhadap pertahanan udara Uni Soviet. Bila kedua serangan tersebut tidak
berhasil, barulah mereka akan mengadakan invasi ke Kuba.

Namun, menurut salah satu penasihat angkatan bersenjata, kedua serangan itu akan
membawa risiko bila tidak langsung diikuti dengan invasi. Di sinilah terdapat aspek
rasionalitas yang amat besar dalam pencapaian keputusan Kongres AS terhadap misil Kuba.
Akhirnya, Kongres mencoba mengeksplorasi kembali pilihan-pilihan lain yang dianggap
mampu membawa risiko paling kecil. Dengan pengajuan saran terhadap Menteri Pertahanan
AS dari Pentagon, maka jalan yang ditempuh adalah dengan cara Blokade. Meskipun
membutuhkan waktu yang lebih lama, namun respon dengan jalan blokade diharapkan
membawa dampak risiko yang sekecil-kecilnya.

Teori Konstruktivisme

Di samping adanya bentuk-bentuk dari berbagai model dalam pembuatan keputusan


serta adanya aspek rasional dan psikologis dalam proses pembuatan keputusan(decision
maker), Krisis Misil Kuba juga sangat diwarnai dengan situasi krisis Perang Dingin. Perang
Dingin yang merupakan permasalahan ideologi antara AS, yang bersifat Demokratis dengan
Soviet yang bersifat Komunis, turut mewarnai perseteruan antara AS dengan Uni Soviet
dalam kasus misil Kuba .

Analisa Konstruktivisme, memberikan gambaran baru terhadap fenomena krisis misil


di Kuba, Situasi di anatara kedua negara, Soviet dan Amerika Serikat, yang terjadi patut
dicermati sebagai faktor utama yang membentuk pola interaksi antar antara kedua negara..
Konsep understanding seperti yang disampaikan oleh Fierke memberikan perspektif terhadap
suatu masalah yang lebih menyeluruh dan kualitatif.

Konstruktivisme lebih condong melihat fenomena misil di Kuba antara Uni Soviet
dan Amerika Serikat merupakan sebuah persaingan dua ideologi besar yang ada di dunia.
perbedaan ideologi dimana Uni Soviet merupakan sosialis komunis, dan Amerika Serikat
yang merupakan liberalis kapitalis5. Persaingan ideologi ini lah yang menjadi faktor utama,
karena perbedaan konteks politik yang berlaku, sejarah, dan budaya dikedua negara maka
akan cenderung menyerang satu dan yang lainnya.

5
Stelle,Brent J.2007. Liberal - Idealism : A constructivist critique. International Studies Review (2007) 9, 23–52.

Anda mungkin juga menyukai