Anda di halaman 1dari 7

A world Without Nuclear Weapons

Thomas C schelling 269

Tulisan ini memuat rangkuman yang terdapat dalam Bab 7 dengan sub bagian ke-3, yaitu
A world Without Nuclear Weapons oleh Thomas C schelling. Dalam sub bagian tersebut dikaji
awal mula diadakannya pelucutan senjata nuklir hingga pertanyaan-pertanyaan bagaimana dunia
tanpa nuklir dan seberapa efektif. Dalam sub bagian ini akan membawa pembaca berpikir kritis
mengenai nasib dunia dalam keberadaan senjata nuklir. Selain itu, materi yang dikaji lebih
spesifik pada pertanyaan A world Without Nuclear Weapons karena memikirkan pada aspek
masa depan sehingga bahasannya sangat cukup singkat dan terkerucut namun, penuh dengan
pemikiran-pemikiran Thomas C S yang kritis dan dapat membuat pembaca memahami fenomena
tanpa senjata nuklir dan nasib dunia lewat tulisannya.

Sejak berakhirnya pelucutan senjata umum dan lengkap (GCD) pada tahun 1960-an.
Terdapat diskusi lanjutan mengenai kemungkinan pelucutan senjata nuklir sepenuhnya.
Tujuannya untuk memenuhi atau tampak memenuhi “komitmen” yang dilakukan oleh negara
yang memiliki senjata nuklir resmi dalam perjanjian non-proliferasi (NPT) untuk melakukan
negosiasi tentang langkah-langkah yang efektif berkaitan dengan penghentian perlombaan
senjata nuklir, pelucutan senjata nuklir dan perjanjian GCD dibawah kendali internasional yang
ketat dan efektif. Hal tesebut dilakukan untuk memperbaharui dan memperkuat traktat itu sendiri
dengan menghilangkan keberatan yang sering disuarakan oleh negara non-nuklir mengenai
diskriminasi yang tidak dapat diiterima. Tujuan lainnya adalah untuk meredam hulu ledak nuklir
pada kedua negara adidaya pada masa itu, yaitu Amerika Serikat dan Rusia.

Dalam hal ini tidak ada analisis mengenai tujuan akhir pelucutan senjata nuklir. Hampir
semua menge,ikakan bahasa tegas dari kuadrumvirat The Wall Street Journal. Tidak ada jawaban
yang jelas atas pertanyaan mengapa kita menginginkan dunia tanpa senjata nuklir?apakah lebih
aman dibandingkan dengan dunia dengan beberapa senjata nuklir? Adanya pengurangan senjata
nuklir secara drastis itu masuk akal untuk mengurangi ketegangan akan status siaga. Namun,
tetap harus adanya pemeriksaan secara kontinjensi mengenai kevalidan pernyataan dunia akan
lebih aman jika bebas dari nuklir.
Thomas C S membuat anggapan bahwa misal tidak ada senjata nuklir, akan tetapi yang
harus diingat bahwa senjata nuklir itu ditemukan diproduksi ketika sudah tidak ada senjata
nuklir, tidak menutup kemungkinan negara yang mempunyai kekemampuan memproduksi
seperti India akan memilikinya lagi untuk keperluannya Dengan keahlian, personil, laboratorim,
peralatan yang mumpuni. Bisa saja jika besok India memiliki nuklir jika diputuskan seperti itu.
Dalam hal ini India memproduksi senjata nuklir, tergantung pada seberapa siap personelnya dan
pasokannya untuk mobilisasi. Jika dunia tanpa senjata nuklir maka tidak akan ada mobilisasi.
Contoh lain, Swiss memiliki tentara? Tidak juga tetapi bisa saja ada jika diputuskan besok.
Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa jika ada kapabilitas dan sumber daya yang mendukung
maka negara dapat memutuskan memilikinya disaat itu juga.
Kemudian Thomas S mempertanyakan apakah pemerintah dapat menyembunyikan fisil
tingkat senjata dari kemungkinan pemeriksaan verifikasi , Thomas juga berasumsi hanya rasa
takut pelapor yang mungkin dapat melakukannya. Pemerintah yang bertanggungjawab akan
memastikan bahan fisil tersedia dalam krisis internasional dan harus memastikan bahwa
pemerintah yang bertanggungjawab lainnya akan melakukan hal yang sama. Selain itu,
pemerintah harus mempertimbangkan pemerintah lainnya akan memobilisasi pamgkalan senjata
nuklir mereka segera setelah perang meletus atau segera setelah perang muncul. Thomas S
memprediksi kemungkinan akan ada rasa panik dan adanya upaya untuk memperoleh senjata
nuklir secepat mungkin. Lalu yang akan terjadi adalah yang pertama memperoleh senjata akan
menggunakannya untuk menggangu basis mobilisasi nuklir musuh. Ini dilakukan tentunya untuk
kepentingan pertahanan diri dan hal buruk lainnya bisa saja terjadi. Namun, hal yang lebuh buruk
adalah ketika terjadi perang.

Thomas S di dalam sub bagian ini banyak mempertanyakan keefektifan keamanan dunia
jika nuklir tidak ada, seperti pada perang dunia II, terdapat ketakutan pada komunitas senjata
nuklir AS bahwa Jerman mungkin memperoleh kemampuan dalam membuat nuklir atau
memilikinya kemudian menggunakan nuklir tersebut. Lalu timbul pertanyaan akankah negara
perang tanpa menggunakan senjata nuklir? Apakah perang termasuk perlombaan untuk
mendapatkan senjata yang mampu memaksa kemenangan? Lalu dapatkah negara besar
mempertahankan pasukan konvensional yang siap untuk setiap kontingensi tanpa
mempertahankan cadangan nuklir? dan apakah AS dapat berkampanye untuk meninggalkan
perjanjian nol-nuklir? Pertanyaan-pertanyaaan tersebut dilontarkan untuk melihat seberapa siap
negara-negara di dunia tanpa nuklir dan apakah tanpa adanya nuklir menjamin keamanan dunia
dari perang.
Pada intinya Thomas S mengemukakan bahwa “A world Without Nuclear Weapons”
adalah sebuah pertanyaan yang kritis mengenai dunia tanpa nuklir. Namun, sebelum
memutuskan hal tersebut, banyak hal yang harus dipikirkan. Pengurangan senjata nuklir memang
masuk akal untuk meredam ketegangan negara-negara berkonflik terutama pada masa itu saat
kedua negara AS dan Rusia yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Tentunya
pengurangan senjata dapat membantu meminimalisir penggunaan senjata nuklir akan tetapi,
apakah hal tersebut cukup efektif? Mengingat bahwa hal ini tentu harus dilakukan oleh semua
negara untuk menjaga stabilitas dunia. Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang menjamin
semua negara berkomitmen? dan siapa yang menjamin tidak ada yang berkhianat? Semua negara
tentu akan melindungi dan menjaga negaranya dengan sebaik mungkin. Akses dalam
mendapatkan senjata nuklir bisa saja dengan mudah didapatkan terutama pada negara yang
memiliki kapabilitas dalam pembuatannya, sumber daya yang memenuhi dan negara yang
memiliki akses mudah untuk mendapatkannya. Hal tersebut menjadi bahan diskusi yang terdapat
dalam bab tersebut. Tentunya untuk meraih tujuan atas nama tujuan bersama maka perlu adanya
kekompakan dalam perjanjian tersebut, selain itu juga perlu menimbang kembali kebijakan yang
telah dibuat agar tidak adanya penyalahgunaan dan alasan negara-negara lain yang dapat
menghambat komitmen tersebut.
Emerging Multipolary: Why Should We Care?

Barry R. Posen 269

Tulisan ini memuat rangkuman yang terdapat dalam Bab 15 dengan sub bagian ke-5,
yakni Emerging Multipolary: Why Should We Care? oleh Barry R. Posen. Dalam sub bagian ini
dikaji lebih dalam mengenai polaritas kemudian sedikit membahas konsep bipolar, multipolar
dan unipolar. Selain itu, pembahasan dalam sub bagian lebih menekankan pada aspek pentingnya
multipolar. Sehingga pembaca akan lebih kritis dalam melihat ketiga konsep tersebut. Oleh sebab
itu Pembaca akan lebih memikirkan kembali konsepan tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan
yang dilontarkan oleh Barry R. Barry Posen. Kemudian Barry R. Posen juga berpendapat bahwa
politik internasional secara perlahan bergerak dari unipolar ke bipolar dan akibatnya politik
internasional akan lebih kompetitif dan tidak dapat diprediksi.

Struktur kekuatan dunia saat ini tergambar sebagai “unipolar” yang muncul setelah
runtuhnya Uni Soviet. Setelah saat ini kini Amerika Serikat masih menjadi margin superioritas
bagi negara-negara lain baik dari segi militer maupun ekonomi yang mampu mencapai hal
tersebut. Bahkan kemampuan diplomatiknnya dapat mempertahankan kebijakan luar negeri yang
benar-benar mempengaruhi kebijakan global. Hal tersebut menunjukkan bahwa unipolaritas
semakin berkurang yang perlahan-lahan digantikan oleh multipolaritas. Barry R. P juga
menjelaskan mengenai pentingnya polaritas dilihat dari sudut pandang Realisme. Gagasan
polaritas datang dari mazhab realis. Pandangan realis menggambarkan politik internasional
sebagai sistem swadaya. Tanpa kedaulatan untuk mengadili perselisihan dan memaksa
penyelesaian, setiap aktor harus memperhatikan kepentingannya sendiri relatif terhadap
kepentingan orang lain. Semua negara dapat merampas negara lain jika memiliki kekuatan. Jadi
masing-masing meilhat kemampuannya sendiri terhadap yang lain untuk mempertahankan diri.

Keamanan adalah isu utama dalam dunia anarki. Distribusi kekuasaan, kemampuan
menyerang dan bertahan menjadi suatu masalah. Maka para realis memandang struktur kekuatan
dunia telah mengikuti berbagai pola dan pola-pola tersebut memiliki konsekuensinya. Struktur
internasional yang berbeda akan mendorong pola perilaku yang berbeda. Pada masa perang
dingin, untuk pertama kalinya diperlihatkan bagaimana struktur kekuasaan bipolar, yang
mungkin berlangsung selama empat dekade. Kemudian pasca perang dingin struktur unipolar
tidak bertahan lama dan akan memunculkan kembali bipolaritas dengan kebangkitan China.
Namun, Barry R P melihat bisa saja periode multipolaritas akan terjadi sebelum bipolaritas
muncul kembali.

Dalam politik internasional yang berkuasalah yang dapat mengukur kekuatan relatif.
Berikut adalah contoh ukuran polaritas, Uni Soviet hampir tidak mengikuti liga AS dalam hal
kapasitas ekonomi pada masa perang dingin. Hal tersesebut dianggap sebagai tatanan bipolar.
Kemudian AS menjadi negara yang lebih mampu dari negara-negara lain secara ekonomi dalam
sistem internasional menjelang Perang Dunia II. Maka Barry R P memandang periode tersebut
sebagai multipolaritas. Keberadaan dunia bipolar selama perang dingin jarang dipertanyakan.
Ketika masa perang dingin, Uni Soviet menjadi perbincangan karena dapat tetap bertahan selama
itu. Padahal Uni Soviet hanya melampaui AS hanya sebentar pada kekuatan PDBnya dan itu
hanya setengah dari kekuatan PDB AS. Pada kenyataannya Uni Soviet menyuling persentase
lebih dari kapasitas ekonominya menjadi kekuatan militer. Hal ini membuat ekonomi Uni Soviet
merosot tajam, bahkan ekonomi Jepang lebih besar dari Uni Soviet. Hal ini menunjukkan dunia
bipolar namun, posisi Uni Soviet tidak terlalu kuat sehingga pada saat itu runtuh dan terpecah
menjadi beberapa negara bagian di kawasan Eropa meskipun Uni Soviet mampu bertahan cukup
lama dengan memperioritaskan kekuatan militernya. Selain itu, ketimpangan terlihat jelas dalam
dunia multipolar ketika kekuatan ekonomi menjadi potensi perang. Di akhir tahun 1930-an
menunjukkan bahwa AS jauh lebih unggul dari kekuatan besar lainnya. AS menghabiskan
sebagian materinya untuk kekuatan militer dan melibatkan diri dalam hubungan antara kekuatan-
kekuatan besar di Eropa dan Asia. Dalam hal ini AS melakukan mobilisasi untuk perang dengan
kemampuan penyeimbang (AS, Inggris dan Uni Soviet) menciutkan kekuatan poros (Jerman,
Jepang). Distribusi kekuasaan dalam hal tersebut tampak berubah selama beberapa dekade. Ini
menunjukkan bahwa pola politik internasional akan berbeda-beda.

Menurut Barry R P, dengan mengesampingkan faktor strategis seprti geografi dan


teknologi militer, sistem polaritas yang berbeda harus menghasilkan pola perilaku yang berbeda.
Kenneth Waltz tokoh yang terkenal memperjuangkan stabilitas dunia bipolar. Jika terjadi dua
kekuatan dalam sistem bipolar maka akan fokus pada keamanan eksternal dan berjaga-jaga jika
gerakan eksternal meningkatkan kekuatan lainnya. Akhirnya timbul perilaku saling mengawasi
seperti Uni Soviet dan AS pada masa perang dingin dan perilaku tersebut dapat menimbulkan
pemikiran keseimbangan kekuatan dan biaya perang akan lebih dipikirkan karena mereka tidak
terlalu bergantung pada sekutu dan hal tersebut menurut Kenneth Waltz dapat mencegah atau
meminimalisir terjadinya pembelotan oleh sekutu. Fenomena tersebut merupakan bipolar stabil.
Pada nyatanya bipolar adalah sistem yang akan membuat salah satu negara atau kedua negara
menguras energi yang cukup banyak, bahkan hal ini dapat menyebabkan kompleksitas yang
cukup panjang dan menimbulkan terjadinya perang.

Multipolaritas sebenarnya lebih daripada dua struktur kekuasaan (bipolar) karena


distribusi kekuasaan dengan tiga atau lebih akan menghasilkan satu pola perilaku dasar. Dunia
multipolar merupakan dunia yang dicirikan dengan banyaknya pusat kekuatan. Keseimbangan
kemampuan secara keseluruhan dan keseimbangan militer akan lebih mudah diatur secara
signifikan tergantung siapa berpihak pada siapa. Maka ini akan meminimalisir security dillema
( konsep dalam realisme) yang menyebabkan arm rise karena terdapat cara lain yakni
mendapatkan sekutu atau berkoalisi dengan negara lain untuk memperoleh keseimbangan.
Namun, menurut Barry R P yang dikhawatirkan adalah negara-negara maju akan memandang
negara berkembang sebagai sumber ancaman keamanan yang memerlukan intervensi. Meskipun
tidak semua kekuatan besar dalam multipolaritas melakukan hal tersebut mengingat biaya yang
dikeluarkan akan besar jika selalu mengintervensi negara berkembang seperti AS yang
berkomitmen menjaga perdamaian dunia dengan menyebar militernya ke berbagai negara di
dunia. Ini tentu perlu diperhatikan oleh karena itu, negara yang mengatur intervensi negara
berkembang biasanya akan memikirkan ulang biaya dan mencari sekutu dalam hal ini. Selain
adanya bipolar dan multipolaritas. Barry R P juga membahas mengenai unipolaritas, yakni
distribusi kekuasaan pada satu negara dengan insentif untuk mengelola sistem persaingan diantar
negara lain melalui kombinasi pencegahan. Namun, dalam sub bagian ini Barry R P menekannya
pada multipolaritas. Dengan adanya multipolaritas pola politik internasional akan berbeda dan
kemungkinan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai