Anda di halaman 1dari 3

Era Detente 1963-1978: Momentum Pemulihan Hubungan Negara

Adidaya Selama Perang Dingin

P
erang Dingin, dikatakan oleh sebagian besar kalangan akademisi dan pakar
sejarah sebagai sebuah perang yang tidak melibatkan perang secara langsung
antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Namun masing-masing pihak memiliki
senjata nuklir yang dapat menyebabkan kehancuran besar. Perang yang
berlangsung selama empat dekade lamanya tersebut telah menyebabkan dunia
terfragmentasi ke dalam dua blok yang dikomandoi oleh negara super power.
Kendati demikian ada sejumlah negara yang memutuskan untuk bersikap netral.
Amerika Serikat membentuk aliansi militer NATO pada tahun 1949, sedangkan Uni
Sovyet juga membentuk Pakta Warsawa pada 1955. Sejak 1947 sampai 1989,
dengan diakhiri runtuhnya Tembok Berlin, Perang Dingin mengalami masa puncak
yang terjadi tahun 1947-1963, ketika ketegangan antara Uni Sovyet dan Amerika
Serikat meningkat, susah diredam. Menurut Nye (2009) dalam bukunya yang
berjudul Understanding International Conflicts menjelaskan penyebab Perang Dingin
menjadi peristiwa yang begitu luar biasa dampaknya meluas ke seluruh penjuru
dunia ialah bahwa ada periode ketegangan yang berlarut-larut dan tidak berakhir
dalam perang antara dua negara kompetitor.
Mulai tahun 1963, kekuatan raksasa Amerika Serikat dan Uni Sovyet mulai melunak.
Kedua negara mulai mempertimbangkan untuk menempuh jalur damai dan
berkomunikasi demi menurunkan ketegangan dengan collective security di tengah
Krisis Kuba yang berpotensi memicu Perang Dunia III (Gunawan, 2016). Pada 20
Juni 1963, Amerika Serikat dan Uni Sovyet sepakat untuk membentuk jalur khusus
bagi kedua negara sebagai sarana berkomunikasi. Perwakilan Amerika Serikat dan
Uni Sovyet menandatangani nota kesepakatan Direct Communication Line di Jenewa,
Swiss. Jalur komunikasi khusus ini kemudian disebut Red Telephone, yang
sebenarnya tidak menggunakan telepon berwarna merah, melainkan komunikasi
antara kepala negara dengan menggunakan telegram. Perjanjian ini dilatarbelakangi
atas potensi perang besar, di mana Amerika Serikat telah mengetahui bahwa Uni
Sovyet tengah membangun kekuatan militer berupa pangkalan militer di Kuba yang
bisa meluncurkan rudal kapan pun, seperti diketahui jarak antara Kuba dan
Amerika Serikat tidak begitu jauh, sehingga memudahkan mobilitas Uni Sovyet
untuk menyerang Amerika Serikat jika mulai mengusik kepentingan Uni Sovyet di
sana (Kuba). Sedangkan Amerika Serikat saat itu juga tengah mempersiapkan
senjata dan perisai untuk menghalau serangan rudal Uni Sovyet. Dengan
komunikasi ini, diharapkan perang nuklir tidak terjadi, namun dengan syarat
apabila pemimpin Uni Sovyet Nikita Khruschev menyetujui agar negaranya tidak
melanjutkan aktivitas pembangunan nuklir di Kuba, dan Amerika Serikat
diharapkan menghargai komunikasi yang baik ini dengan tidak mengusik
kemerdekaan Kuba (Gunawan, 2016).
Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy berharap Red Telephone ini bisa
mengurangi ketegangan dan menghindari kesalahpahaman komunikasi yang dapat
memicu perang nuklir (Gunawan, 2016). Untuk itu, dibutuhkan jalur komunikasi
yang bisa menyampaikan pesan lebih cepat ketika situasi dalam kondisi darurat.
Red Telephone pada akhirnya mulai diterapkan, Presiden Kennedy awalnya
menyampaikan pesan ke petugas hot line via telepon, pesan itu kemudian ditulis
dan disampaikan melalui telegraf dari Gedung Putih ke Istana Kremlin. Pada
penerapannya, komunikasi Red Telephone hapir tidak pernah membicarakan
potensi perang nuklir. Dan beberapa tahun ke depan, penggunaannya lebih canggih
berkat adanya inovasi teknologi, sehinggah mengubah komunikasi yang semula
menggunakan telegraf, menjadi komunikasi via faksimile dan e-mail. Belajar dari
Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962, sebagai akibat dari Perang Dingin yang terjadi
Amerika Serikat dan Uni Sovyet, hampir menyebabkan Perang Dunia III pecah.
Krisis Rudal Kuba terjadi setelah terungkap fakta bahwa Amerika Serikat telah
mensponsori sebuah serangan ke Teluk Babi di Kuba (Axelrod, 2009). Meskipun
gagal, penyerbuan ini telah menimbulkan kemarahan Uni Sovyet, sebagai pemimpin
komunis dunia, termasuk rakyat Kuba sendiri yang berhaluan komunis. Kemarahan
Uni Sovyet ini berbuah pengiriman kapal selam nuklir milik Uni Sovyet secara
rahasia memasukki wilayah teritorial Kuba sebagai persiapan untuk menyerang
Amerika Serikat. Negosiasi di antara dua negara yang saling bermusuhan ini terjadi
dengan alot, tidak menemui titik terang apalagi perdamaian. Hal ini dikatakan alot,
karena keduabelah pihak merasa siap untuk berperang dan tidak mau mengurangi
tuntutannya (Axelrod, 2009). Akibatnya usaha untuk membentuk collective
security saat Krisis Rudal Kuba sulit dicapai. Pasca Krisis Rudal Kuba, harapan
untuk menjalin komunikasi baik anatara keduabelah pihak yang saling berseteru ini
diharapkan kembali pulih dan menghasilkan kemajuan perdamaian, melalui Red
Telephone.
Membahas mengenai koeksistensi dan detente menurut Kegley (1997), persaingan
yang terus-menerus antara dua negara super power membuat soal koeksistensi dan
non-koeksistensi menjadi pilihan. Dalam situasi seperti itu, menemukan cara
bagaimana koeksistensi menjadi mendesak. Usaha untuk damai ibarat mimpi yang
utopis, karena mustahil diwujudkan di antara dua negara yang saling berseteru ini.
Mereka juga menggunakan teknologi termasuk nuklir di dalamnya, sebagai alat
untuk menggertak musuh (deterrance). Dunia berada di dalam bayang-bayang
perang nuklir, antara AS-Uni Sovyet tidak akan ada yang mau mengalah kecuali
salah satu dari mereka kalah pada satu peristiwa. Detente hadir, sebagai upaya
meredam tingkat penggunaan senjata yang mengancam sekuritas global oleh Uni
Sovyet, Amerika Serikat dan Tiongkok sebagai negara komunis pendukung Uni
Sovyet (Black, 2010). Hubungan Uni Sovyet-Amerika Serikat sempat mengalami
perjalanan drmatis dengan terpilihnya Richard Nixon (Kegley, 1997). Didampingi
penasehat keamanannya, Henry A. Kissinger, Presiden Nixon berusaha menempuh
pendekatan baru terhadap Uni Sovyet tahun 1969. Pendekatan tersebut disebut
Detente atau peredaan ketegangan. Uni Sovyet ternyata demikian, menempuh
pendekatan yang sama dengan Amerika Serikat yaitu Detente. Sebagai sebuah
strategi politik luar negeri Amerika Serikat, Detente dijelaskan Kissinger sebagai
upaya menciptakan kepentingan tertentu dalam kerja sama dan pembatasan,
sebuah lingkungan di mana kompetitor dapat meregulasi dan menghambat
perbedaan di antara mereka dan akhirnya melangkah dari kompetisi menuju kerja
sama (Kegley, 1997). Selama Detente, beragam upaya dilakukan untuk meredakan
Perang Dingin dengan mengurangi, membatasi bahkwan memusnahkan senjata
nuklir (Black, 2010). Salah satu wujud upaya Detente ini adalah Perjanjian Non-
proliferasi Nuklir, isi perjanjian tersebut mengandung kesepakatan untuk tidak
menjual senjata nuklir atau memberikan informasi kepada negara-negara non-
nuklir. Perjanjian ini dilakukan pada tahun 1968, menjembatani Uni Sovyet,
Amerika Serikat dan Inggris (Black, 2010). Contoh upaya lainnya adalah
perundingan Amerika Serikat dan Uni Sovyet yang menghasilkan Strategic Arms
Limitation Talks (SALT) atau perundingan pembatasan senjataan strategis yang
meliputi SALT I dan SALT II. Perundingan SALT I berlangsung pada 17 November
1969 di Helsinki, Finlandia (Black, 2010).
Meski Detente sudah terpelihara secara terus-menerus dan digunakan oleh Amerika
Serikat dan Uni Sovyet sebagai strategi alternatif ke pengembalian strategi
menghancurkan musuh negara, dan penahanan, yang berarti mencegah perluasan
negara musuh, akhirnya pada akhir tahun 1970-an Detente mulai memudar (Black,
2010). Detente terpaksa dibubarkan secara resmi atas kebijakan Presiden AS
Jimmy Charter setelah Uni Sovyet terbukti turut ikut campur di Afghanistan. Di
samping Detente mulai memudar akhir tahun 1970-an hubungan antar-negara di
dunia mulai membaik dan ketegangan yang berhubungan dengan pihak yang
bertikai disebut Detente. Detente membawa kemajuan selama Perang Dingin dalam
hubungan internasional, antara lain pada tahun 1971 persoalan Berlin Barat dapat
diselesaikan di meja perundingan, Inggris mulai bergabung dengan European
Economic Community (EEC) dan negara Barat mulai menjalin dengan negeri
komunis, Tiongkok tahun 1973. Usaha meredakan Perang Dingin, tiap negara
terutama negara besar berinisiatif untuk mengurangi ketegangan melalui kerja
sama bilateral. Seperti pada tahun 1972 Presiden Amerika Serikat Richard Nixon
mengunjungi Tiongkok untuk menjalin hubungan diplomatik. Berbicara terkait pola
diplomasi bilateral, perlu diketahui cara membedakan antara pola diplomasi
bilateral dan multilateral. Cara yang paling memudahkan untuk membedakan kedua
pola diplomasi tersebut adalah dengan melihat pengelompokkan berdasarkan
kuantitas negara peserta (menjalin kerja sama) (Salamah, 2016). Kerja sama
bilateral seperti contoh RRT-AS, dilakukan oleh dua negara saja, jika multilateral
dilakukan dengan jumlah negara peserta lebih dari satu.
Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis terkait analisis Perang Dingin tahun
1963-1978 menunjukkan bahwa hubungan dua negara adidaya mengalami pasang
surut, meski condong ke menyurutnya hubungan mereka akibat persaingan nuklir
yang sulit dihentikan. Setidaknya kedua negara adidaya tersebut telah meredam
ketegangan dengan mengguakan strategi politik luar negeri Detente. Sebelumnya
negosiasi antara AS-Uni Sovyet tahun 1947-1967 sedang berada di puncaknya alias
alot untuk dicapai kesepakatan. Alotnya negosiasi ini memberikan kesadaran
terhadap Amerika Serikat terutama kepada pemimpinnya, Presiden John F. Kennedy.
Ia menyadari bahwa tidak adanya komunikasi antara Uni Sovyet dan negaranya
dikhawatirkan akan menimbulkan Perang Dunia III. Melalui Red Telephone,
Amerika Serikat beritikad baik mengurangi ketegangan dengan memperbaiki
hubungan yang telah lebih dari satu dekade terblokade oleh Uni Sovyet. Uni Sovyet
memang menutup hubungan diplomatiknya dengan Amerika Serikat, karena
menganggap AS sebagai rival terbesar dan mengancam hegemoni Uni Sovyet
menguasai dunia. Nyatanya, diplomasi lewat Red Telephone, tidak selalu berjalan
lancar. Ada syarat yang harus dipenuhi oleh kedua negara sebagai pertimbangan
dalam berkompromi (negosiasi). Komunikasi lewat Red Telephone dapat dikatakan
sebagai upaya collective security, mengapa, karena landasan Amerika Serikat
menginginkan berkomunikasi dengan Uni Sovyet khawatir bisa menimbulkan
perang nuklir di kawasan Amerika Tengah. Kehadiran Tiongkok yang berasosiasi
dengan Uni Sovyet serta Inggris bersedia mengadakan Detente untuk meredakan
ketegangan pasca Krisis Rudal Kuba. Detente berhasil menyerukan gencatan senjata
dan kesepakatan pembatasan senjata nuklir yang dimiliki negara nukilir maupun
non-nuklir . Selain itu, Detente juga dianggap berhasil memantik negara dunia
ketiga memanfaatkan momen mencairnya ketegangan ini dengan mendesak PBB
untuk segera mematenkan kesepakatan perihal senjata nuklir, demi menghindari
kontak senjata nuklir apabila intensitas atau kemanan global sudah tidak kondusif
lagi, susah dipertahankan. Detente juga berhasil membuka hubungan diplomatik
dengan negara yang awalnya tertutup akibat pertentangan ideologi dan bertolak
belakang haluannya dengan lawan, seperti kunjungan Presiden Nixon ke Tiongkok.
Walau dalam perjalanan dinamika Perang Dingin, Detente yang memberikan
kemajuan dalam bidang hubungan internasional, Presiden Jimmy Charter secara
resmi mengakhiri kebijakan Detente akhir tahun 1970-an.

------------------------
Semangat Belajar Tanpa Batas

Anda mungkin juga menyukai