Anda di halaman 1dari 7

Latar Belakang

Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki berbagai objek wisata baik itu
wisata alam maupun wisata buatan yang patut untuk dikunjungi. Pariwisata adalah sektor
yang membutuhkan perhatian terkait keamanan dalam bekerja, khususnya keamanan tour
guides dalam bekerja dan juga wisatawan. Tempat wisata sangat identik dengan bersenang-
senang, namun kegiatan wisata ini juga tentunya memiliki berbagai macam risiko, salah
satunya adalah risiko kejadian gawat atau kecelakaan yang menimpa pelaku pariwisata baik
itu pekerja maupun wisatawan. Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja, dimana saja
dan menimpa siapa saja termasuk para pekerja meskipun mereka tidak menginginkannya. Di
bidang pariwisata, kecelakaan banyak terjadi di perjalanan wisata dan di lokasi objek wisata
atau pada saat berlangsung atraksi wisata.

Isi

Berdasarkan dari topik kuliah yang telah dijelaskan, kejadian gawat darurat yang
dapat terjadi pada daerah wisata yaitu drowning dan snakebite.

1. Drowning
Tenggelam merupakan suatu istilah gangguan paru yang disertai dengan
hilangnya fungsi pernapasan oleh karena bagian jalan napas maupun jalan fungsional
(bronkus respiratorius dan alveolus) terisi air. Keadaan ini menyebabkan kedua
bagian di atas tidak bekerja (Pudjiadi, AH. dkk., 2013).
Tenggelam merupakan penyebab utama ke-3 kematian karena cedera yang
tidak disengaja, terhitung 7% dari semua kematian yang terkait dengan cedera.
Menurut WHO, 0,7% penyebab kematian di dunia atau lebih dari 500.000 kematian
setiap tahunnya disebabkan oleh tenggelam. Lebih dari setengah kematian terjadi di
bawah usia 25 tahun, dengan usia di bawah 5 tahun berisiko tinggi (WHO, 2014)
Beberapa istilah dalam tenggelam atau drowning, yaitu (Pudjiadi, AH. dkk.,
2013). :
1. Wet drowning
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah
korban tenggelam.
2. Dry drowning
Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernapasan karena
kematian disebabkan oleh spasme laring.
3. Secondary drowning
Secondary drowning dapat menimbulkan beberapa gejala beberapa hari
setelah korban tenggelam. Korban dapat hidup setelah tenggelam dan
meninggal beberapa saat kemudian atau beberapa hari kemudian akibat
komplikasi.
4. Immersion syndrome
Pada kondisi ini korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air
dingin akibat reflek vagal.

Adapun beberapa risiko yang dapat mempengaruhi tenggelam yaitu : 1) Umur, umur
meruakan faktor risiko utama terjadiya tenggelam. Hal ini berhubungan dengan adanya
pengawasan. Pada umumnya, anak berumur kurang dari 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi
untuk tenggelam karena sebab ini. 2) Jenis Kelamin, laki-laki memiliki risiko tenggelam dua
kali lipat lebih besar dibanding perempuan. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan laki-laki
untuk terpapar dengan air sendirian seperti berenang sendirian ataupun berlayar. 3) Akses ke
air, pekerjaan seseorang seperti memancing dan anak-anak yang tinggal dekat sumber air
yang terbuka seperti kolam ataupun saluran irigasi berisiko lebih tinggi untuk tenggelam. 4)
Pendidikan yang rendah dan penduduk yang sering berpindah-pindah, terutama di negara
dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. 5) Transportasi air yang terlalu padat tanpa
dilengkapi peralatan penyelamat diri. 6) Penderita epilepsi. 7) Turis yang tidak terbiasa
dengan lingkungan air (Pudjiadi, AH. dkk., 2013).

Manifestasi klinis pada kasus drowning, korban dapat diklasifikasikan menjadi 4


kelompok berikut berdasarkan gejala yang ada, yaitu (Pudjiadi, AH. dkk., 2013) :

 Asimtomatik
 Gejala ringan
o Perubahan tanda-tanda vital (misalnya hipotermia, takikardia,
bradikardia)
o Penampilan cemas
o Takipnea, dispnea atau hipoksia
o Asidosis metabolik
o Perubahan tingkat kesadaran, defisit neurologis
 Gejala kardiovaskular
o Apnea
o Tidak ada detak jantung (55%), takikardia, fibrilasi ventrikel
(29%), bradikardia (16%).
 Jelas mati
o Normotemia dengan tidak adanya detak jantung
o Apnea
o Rigor mortis

Tujuan utama dari diberikannya tatalaksana awal adalah meningkatkan aliran oksigen
ke jaringan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan otak. Beriku dibawah ini tatalaksana
yang diberikan, yaitu, (Pudjiadi, AH. dkk., 2013) :

 Saat tiba di lokasi kejadian segera lakukan resusitasi mulut ke mulut ketika
korban sudah berada di permukaan air. Pada saat ventilasi udara akan mudah
memasuki lambung. Distensi lambung akan meningkatkan risiko terjadinya
regurgitasi dan aspirasi lakukan finger swab jika ditemukan adanya sumbatan
yang terlihat di jalan napas (airway)
 Evaluasi status hemodinamik segera setelah korban keluar dari air. Jika denyut
nadi tidak teraba, segera lakukan kompresi dada.
 Segera persiapkan fasilitas untuk transportasi korban ke RS.

Airway/breathing

Jika terdapat gangguan jalan napas segera berikan suplementasi oksigen. Indikasi
untuk melakukan intubasi endotrakea adalah hilangnya proteksi jalan napas akibat
kehilangan kesadaran, adanya gangguan neurologis, distress pernapasan berat,
hipoksia berat dan gangguan kardiorespirasi dan hipotermia berat (suhu < 30℃).

Sirkulasi Darah

Tujuan awal tata laksana sirkulasi adalah stabilisasi kardiovaskular untuk menjamin
perfusi organ. Jika perfusi yang jelek berlangsung lama dapat dipertimbangkan
pemberian agen inotropik. Dapat pula dilakukan force diuretic jika terjadi
hemoglobinuria.

Neurologis

Manajemen awal neuroogis terdiri dari kombinasi oksigenasi yang adekuat dan
sirkulasi yang stabil. Jika dalam waktu 24 jam, skala koma Glasglow (Glasglow
Coma Scale/GCS) seorang anak tidak mengalami perbaikan maka akan terjadi defisit
neurologis yang berat bahakan kematian.

Pemeriksaan Laboratorium

 Pemeriksaan darah rutin, elektrolit dan gula darah


 Pemeriksaan analisis gas darah untuk menilai derajat asidosis dan hipoksia
serta efektivitas ventilasi
 Pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal
 Pemeriksaan foto dada dilakukan pada semua kasus yang diintubasi untuk
mengecek lokasi pipa endotrakeal, menilai derajat edema paru dan
mengevaluasi kemungkinan barotrauma.

Hipotermia

Pakian basah harus segera disingkirkan untuk menghindari hilangnya panas secara
konduksi. Active external (surface) rewarming dapat diberikan dengan target suhu
tubuh pasien > 30℃, dengan metode penggunaan peralatan pemanas elektrik, botol
panas, memanaskan tempat tidur dan sumber panas radian. Hindari rewarming secara
perifer karena dapat meningkatkan risiko kolaps kardiovaskular.

2. Gigitan Ular / Snakebite


Gigitan ular dapat menjadi masalah kegawatdaruratan medis yang dapat
mengancam hidup manusia, bisa ular mampu mengganggu fungsi pernapasan,
menyebabkan gangguan perdarahanm fungsi ginjal, serta merusak jaringan lokal yang
menyebabkan terjadinya disabilitas permanen dan amputasi (Luman A & Endang.,
2010). Menurut WHO, sekitar 5,4 juta orang mengalami gigitan ular setiap tahunnya,
dan 2,7 juta diantaranya adalah gigitan ular berbisa (WHO, 2019).
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional A
sia tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae, Vip
eridae, dan Colubridae).
- Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini m
eliputi kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut. Bebe
rapa kobra, meninggikan bagian depan tubuhnya dari tanah dan melebar da
n merata dari leher untuk membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra da
pat meludahkan bisanya hingga 1 meter atau lebih terhadap mata korbannya.
- Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang seca
ra normal terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan men
jadi tegang. Ada dijumpai dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan viper
pit (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ khusus untuk mendeteksi korba
n berdarah panas yang terletak diantara hidung dan mata
- Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia
Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis t
riginus. Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pe
rnah dilaporkan menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petani.

Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat mengalami simpt
om dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang diinjeksi. Hal ini diakibatkan dari k
etakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan ular berbisa. Korban cemas dapat hipe
rventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas, spasme tang
an dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat mengalami syok vasovagal setelah gigitan, de
ngan kolaps disertai penurunan denyut jantung yang berat. Tampilan klinis korban gigitan ula
r bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan, dan kuantit
as dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas bergantung pada umur dan ukuran tubuh kor
ban, disertai kondisi komorbiditas Luman A & Endang., 2010).

Berikut dibawah ini manajemen yang dapat diberikan pada pasien yang mengalami
gigitan ular yaitu, (Wintoko, R. dkk., 2020) :

1. Pertolongan pertama
Pertolongan pertama yang direkomendasikan adalah upaya menenangkan korban,
melakukan imobilisasi seluruh tubuh korban dengan membaringkannya dengan
recovery position, dan melakukan imobilisasi pada tangan atau kaki yang terkena
gigitan baik menggunakan sling, splint, maupun metode bandage immobilization
(PBI).

2. Penanganan di Rumah Sakit


Penanganan awal berupa primary survey yang direkomendadikan oleh panduan
Advance Trauma Life Support dengan mempertahankan Airway, Breathing, dan
Circulation serta memperhatikan tanda hemodinamik dan gejala penyebaran bisa ular.
Pemberian profilaksis tetanus, antibiotik, dan analgesic selain NSAID dapat diberikan
mengingat terdapat risiko pendarahan.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dimulai dari area gigitan, dilanjutkan dengan pemeriksaan
fisik secara umum dan spesifik. Pada area gigitan ular dapat ditemukan
pembengkakan, nyeri tekan palpasi, tanda drainase limfonodi, ekimosis dan tanda-
tanda awal nekrosis (melepuh, perubahan warna, dan bau pembusukan)
4. Pemeriksaan penunjang dan uji laboratorium
Dapat dilakukan berupa :
- 20 Minute Whole Blood Clotting Test (20WBCT), jika hasil positif (non-
pembekuan) menunjukkan koagulopati konsumsi parah dan kebutuhan
untuk pengobatan anti bisa ular segera.
- Pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobil/hematokrit, hitung trombosit,
dan hitung sel darah putih dapat dijadikan indikasi dari spesies ulay yang
menggigit
- Pemeriksaan hapusan darah tepi dapat ditemukan eritrosit terfragmentasi
yang menandakan hemolisis mikroangipati
- Pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal juga dapat dijadikan indikasi
spesies ular yang menggigit.
5. Anti Bisa Ular
Pemberian anti bisa ular dilakukan sesegera mungkin jika pasien memenuhi indikasi,
hal ini dikarenakan anti bisa ular memiliki harga yang relatif mahal dan
ketersediaanya terbatas.
6. Terapi tambahan
Pemberian kolinesterase dianjurkan terutama pada kasus keracunan neurotoksik yang
disebabkan gigitan kobra.

Kesimpulan

Tenggelam dan gigitan ular merupakan suatu kasus gawat darurat yang dapat
mengancam nyawa, sehingga memerlukan pertolongan segera di tempat kejadian. Penangana
n yang tepat dan cepat dapat mengurangi risiko kematian pada pasien tenggelam dan gigitan
ular. Untuk itu dibutuhkan program kontrol dan pedoman manajemen tenggelam dan gigitan
ular yang baik untuk menjamin menunjang penatalaksanaan yang tepat, aman, dan efektif seh
ingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat dari tenggelam dan gigitan u
lar di Indonesia.

Referensi :

Luman A & Endang., 2010. Gigitan Ular Berbisa. Fakultas Kedokteran. Universitas
Sumatera Utara.

Pudjiadi, AH. dkk., 2013. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Wintoko, R. dkk., 2020. Manajemen Gigitan Ular. Program Studi Profesi Dokter. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.

World Health Organizatin. 2014. Global Report On Drowning : Preventing a Leading Killer.

World Health Organization. 2019. Factsheet of snakebite envenoming.

Anda mungkin juga menyukai