Pendahuluan
Tenggelam merupakan penyebab kematian paling banyak karena kecelakaan
di Eropa. Durasi hipoksia setelah pasien tenggelam merupakan faktor penting yang
menentukan prognosis pasien. Oleh karena itu, fungsi oksigenasi, ventilasi dan perfusi
harus segera dikembalikan sesegera mungkin, Resusitasi segera di lokasi kejadian
merupakan hal yang penting bagi kelangsungan hidup dan perbaikan neurologis
pasien. Pasien dengan sirkulasi dan nafas spontan ketika tiba di rumah sakit memiliki
prognosis lebih baik. Penelitian tentang kasus tenggelam amat terbatas jika
dibandingkan dengan penelitian mengenai henti jantung primer, padahal diperlukan
penelitian yang lebih lanjut mengenai kasus ini. Tuntunan ini dibuat untuk para tenaga
medis profesional dan responden yang memiliki kepedulian terhadap korban-korban
kasus tenggelam, seperti lifeguard.
Epidemiologi
World Health Organization (WHO) memperkirakan ada sekitar 450.000
kematian akibat tenggelam tiap tahunnya. Ada sekitar 1,3 juta tahun kehidupan yang
hilang karena kematian dini dan kecacatan yang diakibatkan oleh tenggelam, sekitar
97% kematian akibat tenggelam terjadi di negera berkembang. Pada tahun 2006,
sekitar 312 kematian akibat tenggelam terjadi di Inggris dan sebanyak 3852 di
Amerika Serikat. Kematian akibat tenggelam lebih sering terjadi pada laki-laki muda
dan merupakan penyebab pertama kematian akibat kecelakaan di Eropa. Faktor-
faktor yang berkaitan dengan tenggelam (seperti bunuh diri, alcohol,dan
penyalahgunaan obat-obatan) bervariasi di tiap-tiap negara.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan korban tenggelam terdiri atas
(i) Pertolongan di air,
(ii) Bantuan hidup dasar,
(iii) Bantuan hidup lanjutan, dan
(iv) Pertolongan post-resusitasi.
Bantuan pernafasan.
Meminimalkan hipoksemia.
Tekanan ventilasi positif
Berikan oksigen sebagai tambahan bantuan nafas.
Berikan lima ventilasi awal sesegera mungkin.
Bantuan pernafasan dapat dimulai pada saat korban berada di tempat yang dangkal,
di mana keselamatan penolong tidak terancam.
Mouth-to-nose ventilation dapat digunakan sebagai alternatif jika mouth-to-mouth
ventilation tidak dapat dilakukan.
Jika korban berada di tempat yang dalam, buka jalan nafas korban dan jika tidak ada
nafas spontan, mulai lakukan bantuan pernafasan jika penolong terlatih untuk
melakukannya.
Resusitasi dalam air dapat dilakukan, tetapi idealnya dilakukan dengan bantuan
pelampung atau alat lain yang bisa membantu korban agar mengapung.
Berikan bantuan nafas selama sekitar satu menit.
Jika nafas belum juga spontan, dan korban berjarak < 5 menit dari daratan, lanjutkan
bantuan nafas sambil menyeret korban.
Jika korban berjarak > 5 menit dari daratan, berikan bantuan nafas selama 1 menit
lalu bawa korban ke daratan secepat mungkin tanpa berusaha member bantuan
ventilasi lagi.
Kompresi Dada.
korban harus diletakkan di permukaan yang keras sebab kompresi tidak akan efektif
dilakukan dalam air.
Pastikan bahwa korban dalam keadaan tidak sadar dan bernafas tidak normal, lalu
lakukan 30 kompresi dada.
Lanjutkan RKP dengan rasio 30 kompresi dan 2 ventilasi.
Menghentikan resusitasi
Lanjutkan resusitasi kecuali ada bukti jelas bahwa usaha resusitasi yang dilakukan
sia-sia (cedera masif, rigor mortis, pembusukan) atau evakuasi ke fasilitas medis
secara tepat waktu tidak mungkin dilakukan.
Post-resuscitation Care
Air laut (asin) dan air tawar.
Perbedaan antara tenggelam di air laut dan air tawar telah menjadi perhatian
sejak dulu. Data-data yang berasal dari percobaan pada hewan dan kasus-kasus yang
terjadi pada manusia menunjukkan bahwa tanpa memperhatiakn tonisitas cairan yang
terinhalasi, proses patofisiologi utama tenggelam adalah hipoksemia, akibat disfungsi
surfaktan, kolaps alveolar, atelektasis, dan intrapulmonary shunting. Gangguan
elektrolit jarang memiliki relevansi klinik dan biasanya tidak memerlukan
penatalaksanaan.
Cedera Paru.
Korban tenggelam memiliki resiko mengalami acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Meskipun tidak ada penelitian spesifik mengenai ARDS pada
korban tenggelam, namun sangat beralasan melakukan usaha pencegahan dan
melindungi ventilasi pasien agar tidak mengalami ARDS. Derajat cedera paru
bervariasi mulai dari yang paling ringan yang dapat sembuh sendiri hingga hipoksemia
yang sulit disembuhkan.Pada kasus yang berat, oksigenasi membran ekstrakorporeal
cukup berhasil dilakukan, meskipun penatalaksanaan ini belum diujicobakan secara
formal dalam bentuk penelitian.
Pneumonia
umum terjadi pada korban tenggelam. Antibiotik profilaktik tidak terbukti
bermanfaat, meski demikian, penggunaannya bisa dipertimbangkan pada kasus
tenggelam dalam air yang terkontaminasi misalnya pada tempat pembuangan
kotoran. Berikan antibiotic spectrum luas jika terdapat tanda-tanda infeksi.
Follow-up.
Aritmia dapat menyebabkan penurunan kesadaran yang cepat
Lakukan anamnesis secara cermat untuk mengidentifikasi adanya gejala sinkop
aritmia.
Tidak ditemukannya kerusakan struktur jantung pada pemeriksaan post-mortem tidak
menyingkirkan kemungkinan kematian terjadi akibat henti jantung yang tiba-tiba.
Analisis genetik post-mortem sangat membantu dalam kasus semacam ini dan
sebaiknya dilakukan jika tidak yakin akan penyebab kematian korban tenggelam.
RINGKASAN