Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

PADA KORBAN TENGGELAM (DROWING)

DISUSUN OLEH KELOMPOK I

JURUSAN KESEHATAN PRODI KEPERAWATAN


POLITEKNIK NEGERI NUSA UTARA
2024
A. Latar Belakang
Tenggelam (drowning) merupakan cedera oleh
karena perendaman

(submersion/immersion) yang dapat mengakibatkan kematian dalam


waktu kurang dari 24 jam. Apabila korban mampu selamat dalam
waktu kurang dari 24
jam maka disebut dengan istilah near drowning. Dalam sepuluh tahun
terakhir, lebih dari 50.000 orang meninggal akibat tenggelam di
Amerika Serikat, dan merupakan penyebab kematian terbanyak ke-4
akibat kecelakaan secara umum (BMJ, 2004) dalam (Utara &
Kumaat, 2014).

Kegawatdaruratan pada korban tenggelam terkait erat dengan


masalah pernapasan dan kardiovaskuler yang penanganannya
memerlukan penyokong kehidupan jantung dasar dengan menunjang
respirasi dan sirkulasi korban dari luar melalui resusitasi, dan
mencegah insufisiensi. Penanganan kegawatdaruratan korban
tenggelam sebaiknya memastikan terlebih dahulu kesadaran, system
pernapasan, denyut nadi, dan proses observasi dan interaksi yang
konstan dengan korban. Korban tenggelam merupakan salah satu
kegawatdaruratan yang perlu penanganan segera (Novita, 2009)
dalam (Utara & Kumaat, 2014).

Berdasarkan data statistik yang diambil dari halaman website e-


medicine, golongan lelaki adalah tiga kali lebih sering mati akibat
tenggelam berbanding

golongan wanita. Kita juga tidak banyak mendengar berita tentang


anak yang tenggelam di kolam renang sesuai dengan keadaan
sosial ekonomi di Indonesia
tetapi mengingat keadaan Indonesia yang dikelilingi air, baik lautan,
danau maupun sungai, tidak mustahil jika banyak terjadi kecelakaan
dalam air seperti hanyut dan tenggelam yang belum diberitahukan
dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Hampir setiap saat,
terutama pada saat musim liburan, di objek wisata laut. Banyak
terjadi kasus wisatawan yang tenggelam, karena akibat air pasang
atau kecerobohan diri wisatawan tersebut. Selain itu, kasus tenggelam
yang lainnya adalah akibat buruknya transportasi laut di
Indonesia (Utara &

Kumaat, 2014).
Di Indonesia angka korban meninggal tenggelam akibat bencana alam menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) sebanyak 44 orang selama tahun 2013, angka itu relatif sedikit
dibandingkan dengan korban meninggal tenggelam di laut menurut Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT) pada tahun 2013 sebanyak 65 korban jiwa, sementara korban meninggal akibat
tenggelam di kota Manado, sesuai data Tim Badan Sar Manado angka kematian korban tenggelam
tahun 2013 sebanyak 12 orang (Utara & Kumaat, 2014).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu tenggelam?
2. Apa saja penyebab tenggelam?
3. Apa saja klasifikasi tenggelam?
4. Bagaimana patofisiologi tenggelam?

5. Apa saja tanda dan gejala pada pasien tenggelam?


6. Bagaimana Penatalaksanaan pada pasien tenggelam?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien tenggelam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar tenggelam
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan teoritis pada pasien tenggelam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian

Drowning atau tenggelam didefinisikan sebagai masuknya cairan yang cukup


banyak ke dalam saluran nafas atau paru-paru. Dalam
kasus tenggelam, terendamnya seluruh tubuh dalam cairan yang tidak diperlukan (Budianto,
1997) dalam (Putra, 2014). Sedangkan WHO mengungkapkan bahwa tenggelam merupakan
suatu proses kejadian gangguan pernapasan akibat perendaman (submersion) atau pencelupan
(immersion) dalam cairan. Proses kejadian tenggelam diawali dengan gangguan pernapasan
baik karena jalan nafas seseorang berada di bawah permukaan cairan (submersion)
ataupun air hanya menutupi

bagian wajahnya saja (immersion) (Szpilman dkk, 2012) dalam (Putra, 2014).

Tenggelam adalah kematian akibat asfiksia yang terjadi dalam 24 jam setelah peristiwa
tenggelam di air, sedangkan hampir tenggelam adalah korban masih dalam keadaan hidup lebih
dari 24 jam setelah peristiwa tenggelam di air. Jadi tenggelam merupakan suatu keadaan fatal,
sedangkan hampir tenggelam munngkin dapat berakibat fatal. Sedangkan WHO mendefinisikan
sebagai proses gangguan pernapasan akibat tenggelam dalam cairan (Dzulfikar, 2012) dalam
(Rahardiantomo, 2016).

Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam cairan dan cairan
tersebut terhisap masuk ke jalan napas sampai alveoli paru-
paru. Pada umumnya tenggelam merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung maupun
karena ada faktor-faktor lain seperti korban dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat,
atau bisa saja dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan (Wilianto, 2012).
2. Etiologi

Tenggelam disebabkan oleh ketidakmampuan diri untuk memosisikan mulut dan


hidung di atas permukaan air, dan menahan napas

ketika berada di dalam air untuk jangka waktu tertentu. Pada kondisi ini, air
dapat masuk ke saluran pernapasan sehingga pasokan oksigen menjadi terhenti, yang berakibat
pada kerusakan atau terganggunya sistem tubuh. Kasus-kasus tenggelam dapat dipicu oleh
sejumlah faktor, seperti:

a. Tidak bisa berenang.

b. Mengalami serangan panik saat berada di dalam air.

c. Terjatuh atau terpeleset ke dalam tempat penampungan air atau tempat pembuangan yang
terisi air.
d. Mengonsumsi alkohol sebelum berenang atau berlayar.

e. Menderita penyakit yang kambuh ketika berada di dalam air, seperti serangan jantung,
epilepsi, atau gegar otak.
f. Tidak mengawasi dan menjaga bayi atau anak-anak ketika berada di tempat yang rawan
terjadi tenggelam, seperti bak mandi, kolam ikan, kolam renang, tempat penampungan air,
sungai, danau, atau laut.

g. Musibah alam, seperti banjir atau tsunami.

h. Melakukan tindakan bunuh diri

3. Klasifikasi

Berdasarkan temperature air, klasifikasi dibagi menjadi tiga, yaitu (Putu & Pontisomaya,
2016) :

a. Tenggelam di air hangat, bila temperature air >20°C

b. Tenggelam di air dingin, bila temperature air 5-20°C

c. Tenggelam di air sangat dingin, bila temperature air <20°C Berdasarkan


osmolaritas air klasifikasi dibagian menjadi dua yaitu

a. Tenggelam di air tawar


b. Tenggelam di air laut
Kejadian tenggelam atau submersed accident dapat memberikan dua hasil:

1) Immersion syndrome merupakan kematian mendadak setelah kontak dengan air dingin,
2) Submersed injury, yaitu dapat menyebabkan kematian 24 jam setelah kejadian
tenggelam, survival, atau pulihnya keadaan setelah kejadian tenggelam.
4. Patofisiologi

Proses tenggelam diawali ketika jalan nafas berada di bawah permukaan air. Awalnya,
seseorang yang tenggelam akan berusaha untuk menahan nafas, sebagai usaha proteksi dari
aspirasi. Usaha volunter ini biasanya bertahan selama 30 detik sampai 1 menit dan selanjutnya
diikuti oleh inspirasi involunter (Schmidt & Sempsrott, 2015). Hal ini menyebabkan air masuk
jalan nafas yang diikuti dengan laringospasme, kemudian terjadi hipoksia, yang menyebabkan
apnea, penurunan kesadaran, lalu relaksasi laring dan airpun masuk ke dalam paru-paru dalam
jumlah banyak sehingga terjadi asfiksia dan kematian (Putu & Pontisomaya, 2016).
Perubahan hemodinamik pada korban tenggelam diawali pada saat korban mengalami
hipoksia. Pada keadaan penurunan transpor oksigen, terjadi peningkatan kompensasi ambilan
oksigen untuk menyokong metabolisme aerob. Oleh karena itu, sel harus bekerja secara anaerob
untuk menghasilkan ATP (adenosine triphospate), yang mengakibatkan pembentukan laktat dan
H+ , yang disebut dengan asidosis laktat dalam (Putu & Pontisomaya, 2016).
Pada keadaan hipoksia, denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena jantung memompa
lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen. Hal ini menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen otot jantung, sedangkan ketersediaan oksigen selama hipoksia menurun,
sehingga dapat terjadi iskemia jantung dan angina. Pada keadaan hipoksia, denyut nadi dan
tekanan darah meningkat karena jantung memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak
oksigen. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen otot jantung, sedangkan
ketersediaan oksigen selama hipoksia menurun, sehingga dapat terjadi iskemia jantung dan
angina. Hipotermia juga kerap terjadi pada kasus tenggelam, terutama kasus tenggelam pada air
dingin, yang akan mempercepat proses hipotermia. Setiap penurunan 10C dari suhu inti tubuh,
akan menyebabkan penurunan aliran darah ke otak hingga 6-7%. Keadaan hipoksia, asidosis
laktat dan hipotermia akan menyebabkan disfungsi kardiovaskular, yaitu diantaranya gangguan
ritme jantung, gagal jantung hingga henti jantung.

Pada korban tenggelam di air dingin, akan terjadi refleks menyelam, yang ditandai
dengan bradikardia, penurunan curah jantung, vasokonstriksi pembuluh darah, peningkatan
tekanan darah dan penurunan aliran darah pada pembuluh darah perifer. Refleks menyelam
adalah pola respirasi, jantung dan respon vaskuler yang dipicu oleh penahanan nafas saat
tenggelam. Respon bradikardia timbul akibat 5 kondisi apnea dan kontak langsung dari wajah
dan seluruh tubuh dengan air dingin. Respon bradikardia oleh karena kondisi apnea, bervariasi
pada sebagian individu, dimana penurunan nadi umumnya berkisar antara 15% sampai 40%.
Bradikardia dapat dicegah dengan premedikasi dengan atropin. Peningkatan tekanan darah juga
bervariasi pada sebagian individu.
Refleks menyelam berpotensi untuk menyimpan oksigen dan memperpanjang onset untuk
terjadinya kerusakan hipoksia yang serius dengan beberapa cara. Vasokonstriksi pada pembuluh
darah dihubungkan dengan proses redistribusi aliran darah, yang dapat menyimpan oksigen
untuk organ vital, seperti jantung dan otak. Bradikardia dapat menurunkan kebutuhan oksigen
pada miokardium dan meningkatkan perfusi koroner. Oleh karena itu, refleks menyelam
dianggap sebagai mekanisme pertahanan yang penting. Akan tetapi, refleks menyelam juga dapat
menimbulkan efek negatif. Pada individu dengan kondisi apnea obstruktif, respon bradikardia
terkadang diikuti dengan henti jantung. Terlebih lagi, peningkatan tekanan darah yang dihasilkan
dari aktivasi sistem simpatis dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Pada orang tua, tenggelam menyebabkan peningkatan isi sekuncup tanpa peningkatan detak
jantung, yang menghasilkan peningkatan tekanan darah. Fenomena ini terkait penurunan
adaptibilitas dari sistem saraf otonom pada umur tua. Perubahanperubahan tersebut
menyebabkan respon pada peningkatan volume sirkulasi darah (Putu & Pontisomaya, 2016).
5. Manifestasi

Tanda dan gejala yang sering muncul ialah tanda dan gejala sistem kardiorespiratori dan
neurologi. Distres respiratori awalnya tidak terlihat, hanya terlihat adanya perpanjangan nilai
RR tanpa hipoksemia. Pasien yang lebih parah biasanya menunjukkan tanda hipoksemia,
retraksi dinding dada, dan suara paru abnormal. Manifestasi neurologi yang muncul seperti
penurunan kesadaran, pasien mulai meracau, iskemik-hipoksia pada sistem saraf pusat sehingga
menunjukkan tanda peningkatan ICP.
Sedangkan menurut sumber lain, manifestasi drowningyang muncul antara lain :

1) Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan dangkal sampai apneu.
2) Syanosis

3) Peningkatan edema paru

4) Kolaps sirkulasi

5) Hipoksemia

6) Asidosis

7) Timbulnya hiperkapnia
8) Lunglai

9) Postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi

10) Koma dengan cedera otak yang irreversible

6. Pencegahan

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan pencegahan yang dilakukan sebelum terjadinya


patogenik. Tujuannya adalah untuk mencegah penyakit dan trauma. Secara umum,
pencegahan primer meliputi promosi

kesehatan (health promotion) dan perlindugan khusus (specific protection). Promosi


kesehatan dapat dilakukan melalui beberapa cara,
antara lain pendidikan kesehatan, peningkatan gizi yang tepat, pengawasan pertumbuhan
individu, konseling pernikahan, dan pemeriksaan kesehatan berkala. Perlindungan khusus
dilakukan melalui upaya imunisasi, hygiene personal, sanitasi lingkungan, perlindungan
bahaya penyakit kerja, avoidment allergic, dan nutrisi khusus (mis, nutrisi untuk ibu hamil,
nutrisi untuk bayi), dan lainnya. Pencegahan primer pada pasien tengelam, meliputi :
1. Dengan menutup akses ke tempat yang berisi air rapat-rapat. Bisa dengan menggunakan
pintu yang terkunci atau pagar yang tidak mudah dilewati, khususnya oleh anak-anak.
2. Selalu berikan pengawasan kepada anak-anak ketika berada di lokasi- lokasi yang rawan
terjadi tenggelam, seperti bak mandi, kolam renang, kolam ikan, danau, sungai, dan laut.
3. Jangan mengonsumsi minuman beralkohol sebelum berenang, memancing, berlayar,
atau melaut.
4. Beri tahu dokter jika sedang mengonsumsi obat-obat penenang ketika harus bekerja atau
beraktivitas di lokasi yang rawan terjadi tenggelam.
5. Mempelajari dan memahami teknik melakukan CPR dengan tepat, agar dapat
memberikan pertolongan pada orang yang tenggelam.

b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang dilakukan pada fase awal patogenik yang bertujuan untuk
mendeteksi dan melakukan intervensi segera guna menghentikan penyakit pada tahap dini, mencegah penyebaran
penyakit, menurunkan intensitas penyakit atau mencegah komplikasi, serta mempersingkat fase ketidak mampuan.
Pencegahan sekunder dilakukan melalui diagnosis dini/penaganan segera, seperti penemuan kasus, survei penapisan,
pemeriksaan selektif. Pencegahan sekunder pada pasien tenggelam, meliputi :

1. Lihat algoritma tatalaksana korban tenggelam

2. Bila korban yang bisa bernapas, berikan O2 sungkup muka 15 L/m

3. Bila korban mengalami perburukan atau tidak bernapas adekuat, lakukan intubasi dini dan ventilasi mekanik. Pasang
akses perifer untuk pemberian obat dan berikan infus kritaloid cepat

4. Bila korban mengalami henti jantung (cardiac arrest) biasanya sistol


atau pulseless electrical activity (PEA), lakukan CPR, berikan adrenalin 1 mg (0,01 mg/kg), lakukan shock bila

terindikasi
c. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier terdiri atas atau upaya mencegah atau membatasi ketidak
mampuan serta membantu memulihkan klien yang tidak mampu agar dapat berfungsi secara
optimal. Langkah pencegahan ini antara lain dilakukan melalui upaya pembatasan
ketidakmampuan (disability limitation) dan rehabilitasi. Untuk pembatasan
ketidakmampuan, langkah yang biasa diambil adalah pelatihan tentang cara perawatan diri
dan penyediaan fasilitas. Untuk rehabilitas, upaya yang dilakukan antara lain pendidikan
khusus yang disesuaikan dengan kondisi klien yang rehabilitasi, penempatan klien sesuai
dengan dengan keadaannya (selective places), terapi kerja, dan pembentukan kelompok
khusus bagi klien yang memiliki kondisi yang sama.

1. Saat korban masuk unit gawat darurat:


a. Evaluasi patensi jalan napas, berikan oksigenasi, hemodinamik stabil
b. Pasang NGT, selimut untuk mencegah hipotermia
c. Anamnesis: tindakan resusitasi, riwayat penyakit sebelumnya
d. Foto toraks
e. Analisis gas darah: asidosis metabolik
2. Pemeriksaan toksikologi serta CT kepala dan leher dilakukan bila pasien tetap tidak
sadar

3. Korban yang pO2 arteri bagus tanpa terapi dan tidak ada kelainan lain dapat dipulangkan
4. Korban dirawat bila termasuk kategori derajat 2-6. Pada korban derajat 2 yang
perbaikan setelah 6-8 jam, dapat dipulangkan. Bila ada perburukan maka korban dirawat
di ruang intermediet.

5. Pada korban derajat 3-6 yang umumnya memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik di
rawat di unit perawatan intensif (ICU)
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan di tempat kejadian
Berdasarkan AHA Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care 2010 RJP pada pertolongan korban near drowning siklus A-B-C tetap
dipertahankan oleh karena sifat hipoksia dari arrest yang terjadi sehingga apabila korban
hanya mengalami henti nafas dapat segera merespon tindakan yang diberikan. Indikasi
penghentian RJP adalah apabila pasien sadar atau dapat bernafas spontan, pasien meninggal
atau penolong mengalami kelelahan (Lavonas et al., 2015)
Korban terlebih dahulu dikeluarkan dari air secara hati-hati dengan praduga cedera
servikal. Para penolong tidak boleh mengansumsikan bahwa korban tidak dapat ditolong
kecuali korban sudah meninggal beberapa saat lalu. Panggil bantuan dan defribilator (AED)
jika ada, buka baju pasien, lakukan pengecekan CAB (circulation, airway, breathing)
kemudian segera lakukan RJP. Jika pasien mengalami penurunan status mental, periksa jalur
napas dari benda-benda asing dengan manuver finger-sweep. Sesaat setelah AED datang,
segera pasang alat tersebut dengan mengeringkan badan pasien terlebih dahulu. Usahakan
pemasangan tidak mengganggu atau mengganggu kompresi seminimal mungkin. Setelah
pemberian kejutan, periksa kembali nadi dan pernapasan. Jika nadi dan pernapasan
kembali, posisikan pasien ke recovery position. Jika ritme unshockable, RJP terus dilakukan
hingga bantuan datang atau ritme shockable (Kleinman et al., 2015)
Korban dapat muntah saat dilakukannya kompresi dada. Jika muntah, miringkan
tubuh korban dan bersihkan muntahannya dengan menggunakan jari, pakaian atau disedot
(suction). Jika curiga cedera spinal, korban digulingkan sedemikian rupa sehingga kepala,
leher dan badan berputar sebagai sebuah unit untuk melindungi cedera spinal.
(Affzalurahman putranda, 2017).
b. Penanganan di Rumah Sakit
Menurut Bierens (2014) dalam (Affzalurahman putranda, 2017) Sesampainya di
IGD, pasien segera dioksigenasi untuk mencegah hipoksia. Penanganan pada korban
tenggelam pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat kelompok berdasarkan pada
kondisi korban saat sampai di IGD.

Tabel 2.1

Ket: SaO2=saturasi O2, PaO2=konsntrasi O2, ICU= intensive care unit, IPPV,
EKG=elektrokardiogram

Sumber: Bierens (2014) dalam (Affzalurahman putranda, 2017)

Pasien yang masuk ke dalam kelompok 1 dapat dipulangkan jika dalam 6 jam
pertama setelah kedatangan pasien tidak mengalami demam, batuk, gejala gangguan
pernapasan, adanya krepitasi di paru, PaO2 normal pada pemberian oksigen 21% dan
hasil rontgen normal.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian

a. Identitas Klien : meliputi nama, umur, pekerjaan, jenis kelamin, alamat

b. Keluhan Utama : Kaji hal yang dirasakan klien saat itu, biasanya klien

mengeluh sesak nafas


c. Riwayat Penyakit Sekarang : Bagaimana awal mula klien dibawa ke pelayanan
kesehatan sampai munculnya keluhan yang dirasakan klien
d. Riwayat Penyakit Dahulu : Kaji apakah sebelumnya klien pernah
tenggelam, dan kaji apakah klien mempunyai penyakit asma

e. Primary Survey

1) Airway : Kaji adanya sumbatan jalan nafas akibat paru-paru yang terisi cairan.
Manajemen : Kontrol servikal, bebaskan jalan nafas

2) Breathing : Periksa adanya peningkatan frekuensi nafas, nafas dangkal

dan cepat, klien sulit bernafas. Manajemen : Berikan bantuan ventilasi


3) Circulation : Kaji penurunan curah jantung. Manajemen : Lakukan kompresi dada
4) Disability : Cek kesadaran klien, apakah terjadi penurunan kesadaran. Manajemen : Kaji
GCS, periksa pupil dan gerakan ektremitas

5) Exposure : Kaji apakah terdapat jejas.


f. Pengkajian Fisik

1) Keadaan Umum : Klien biasanya tampak lemah, pucat, sesak, dan kesulitan
bernafas.

2) Pemeriksaan per – system B1-B6 :


B1 : Klien mengeluh sesak dan sulit bernafas, pernafasan cepat dan dangkal, RR
meningkat
B2 : Tekanan darah klien menurun, klien tampak pucat, sianosis dan nadi meningkat
(takikardi)
B3 : Klien mengalami penurunan kesadaran, GCS menurun B4 : Tidak
ditemukan kelainan
B5 : Tidak ditemukan kelainan

B6 : Kaji adanya fraktur karena terbentur benda keras

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan supresi reflek batuk
sekunder akibat aspirasi air ke dalam paru
b. Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan hipoksia akibat
penurunan kadar oksigen dalam tubuh
c. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan refraktori dan kebocoran
interstitial pulmonal / alveolar pada status cedera kapiler paru
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan kurangnya suplai
oksigen
e. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan peningkatan kerja ventrikel

3. Intervensi Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai