Kumaat, 2014).
Di Indonesia angka korban meninggal tenggelam akibat bencana alam menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) sebanyak 44 orang selama tahun 2013, angka itu relatif sedikit
dibandingkan dengan korban meninggal tenggelam di laut menurut Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT) pada tahun 2013 sebanyak 65 korban jiwa, sementara korban meninggal akibat
tenggelam di kota Manado, sesuai data Tim Badan Sar Manado angka kematian korban tenggelam
tahun 2013 sebanyak 12 orang (Utara & Kumaat, 2014).
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu tenggelam?
2. Apa saja penyebab tenggelam?
3. Apa saja klasifikasi tenggelam?
4. Bagaimana patofisiologi tenggelam?
TINJAUAN PUSTAKA
bagian wajahnya saja (immersion) (Szpilman dkk, 2012) dalam (Putra, 2014).
Tenggelam adalah kematian akibat asfiksia yang terjadi dalam 24 jam setelah peristiwa
tenggelam di air, sedangkan hampir tenggelam adalah korban masih dalam keadaan hidup lebih
dari 24 jam setelah peristiwa tenggelam di air. Jadi tenggelam merupakan suatu keadaan fatal,
sedangkan hampir tenggelam munngkin dapat berakibat fatal. Sedangkan WHO mendefinisikan
sebagai proses gangguan pernapasan akibat tenggelam dalam cairan (Dzulfikar, 2012) dalam
(Rahardiantomo, 2016).
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam cairan dan cairan
tersebut terhisap masuk ke jalan napas sampai alveoli paru-
paru. Pada umumnya tenggelam merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung maupun
karena ada faktor-faktor lain seperti korban dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat,
atau bisa saja dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan (Wilianto, 2012).
2. Etiologi
ketika berada di dalam air untuk jangka waktu tertentu. Pada kondisi ini, air
dapat masuk ke saluran pernapasan sehingga pasokan oksigen menjadi terhenti, yang berakibat
pada kerusakan atau terganggunya sistem tubuh. Kasus-kasus tenggelam dapat dipicu oleh
sejumlah faktor, seperti:
c. Terjatuh atau terpeleset ke dalam tempat penampungan air atau tempat pembuangan yang
terisi air.
d. Mengonsumsi alkohol sebelum berenang atau berlayar.
e. Menderita penyakit yang kambuh ketika berada di dalam air, seperti serangan jantung,
epilepsi, atau gegar otak.
f. Tidak mengawasi dan menjaga bayi atau anak-anak ketika berada di tempat yang rawan
terjadi tenggelam, seperti bak mandi, kolam ikan, kolam renang, tempat penampungan air,
sungai, danau, atau laut.
3. Klasifikasi
Berdasarkan temperature air, klasifikasi dibagi menjadi tiga, yaitu (Putu & Pontisomaya,
2016) :
1) Immersion syndrome merupakan kematian mendadak setelah kontak dengan air dingin,
2) Submersed injury, yaitu dapat menyebabkan kematian 24 jam setelah kejadian
tenggelam, survival, atau pulihnya keadaan setelah kejadian tenggelam.
4. Patofisiologi
Proses tenggelam diawali ketika jalan nafas berada di bawah permukaan air. Awalnya,
seseorang yang tenggelam akan berusaha untuk menahan nafas, sebagai usaha proteksi dari
aspirasi. Usaha volunter ini biasanya bertahan selama 30 detik sampai 1 menit dan selanjutnya
diikuti oleh inspirasi involunter (Schmidt & Sempsrott, 2015). Hal ini menyebabkan air masuk
jalan nafas yang diikuti dengan laringospasme, kemudian terjadi hipoksia, yang menyebabkan
apnea, penurunan kesadaran, lalu relaksasi laring dan airpun masuk ke dalam paru-paru dalam
jumlah banyak sehingga terjadi asfiksia dan kematian (Putu & Pontisomaya, 2016).
Perubahan hemodinamik pada korban tenggelam diawali pada saat korban mengalami
hipoksia. Pada keadaan penurunan transpor oksigen, terjadi peningkatan kompensasi ambilan
oksigen untuk menyokong metabolisme aerob. Oleh karena itu, sel harus bekerja secara anaerob
untuk menghasilkan ATP (adenosine triphospate), yang mengakibatkan pembentukan laktat dan
H+ , yang disebut dengan asidosis laktat dalam (Putu & Pontisomaya, 2016).
Pada keadaan hipoksia, denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena jantung memompa
lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen. Hal ini menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen otot jantung, sedangkan ketersediaan oksigen selama hipoksia menurun,
sehingga dapat terjadi iskemia jantung dan angina. Pada keadaan hipoksia, denyut nadi dan
tekanan darah meningkat karena jantung memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak
oksigen. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen otot jantung, sedangkan
ketersediaan oksigen selama hipoksia menurun, sehingga dapat terjadi iskemia jantung dan
angina. Hipotermia juga kerap terjadi pada kasus tenggelam, terutama kasus tenggelam pada air
dingin, yang akan mempercepat proses hipotermia. Setiap penurunan 10C dari suhu inti tubuh,
akan menyebabkan penurunan aliran darah ke otak hingga 6-7%. Keadaan hipoksia, asidosis
laktat dan hipotermia akan menyebabkan disfungsi kardiovaskular, yaitu diantaranya gangguan
ritme jantung, gagal jantung hingga henti jantung.
Pada korban tenggelam di air dingin, akan terjadi refleks menyelam, yang ditandai
dengan bradikardia, penurunan curah jantung, vasokonstriksi pembuluh darah, peningkatan
tekanan darah dan penurunan aliran darah pada pembuluh darah perifer. Refleks menyelam
adalah pola respirasi, jantung dan respon vaskuler yang dipicu oleh penahanan nafas saat
tenggelam. Respon bradikardia timbul akibat 5 kondisi apnea dan kontak langsung dari wajah
dan seluruh tubuh dengan air dingin. Respon bradikardia oleh karena kondisi apnea, bervariasi
pada sebagian individu, dimana penurunan nadi umumnya berkisar antara 15% sampai 40%.
Bradikardia dapat dicegah dengan premedikasi dengan atropin. Peningkatan tekanan darah juga
bervariasi pada sebagian individu.
Refleks menyelam berpotensi untuk menyimpan oksigen dan memperpanjang onset untuk
terjadinya kerusakan hipoksia yang serius dengan beberapa cara. Vasokonstriksi pada pembuluh
darah dihubungkan dengan proses redistribusi aliran darah, yang dapat menyimpan oksigen
untuk organ vital, seperti jantung dan otak. Bradikardia dapat menurunkan kebutuhan oksigen
pada miokardium dan meningkatkan perfusi koroner. Oleh karena itu, refleks menyelam
dianggap sebagai mekanisme pertahanan yang penting. Akan tetapi, refleks menyelam juga dapat
menimbulkan efek negatif. Pada individu dengan kondisi apnea obstruktif, respon bradikardia
terkadang diikuti dengan henti jantung. Terlebih lagi, peningkatan tekanan darah yang dihasilkan
dari aktivasi sistem simpatis dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Pada orang tua, tenggelam menyebabkan peningkatan isi sekuncup tanpa peningkatan detak
jantung, yang menghasilkan peningkatan tekanan darah. Fenomena ini terkait penurunan
adaptibilitas dari sistem saraf otonom pada umur tua. Perubahanperubahan tersebut
menyebabkan respon pada peningkatan volume sirkulasi darah (Putu & Pontisomaya, 2016).
5. Manifestasi
Tanda dan gejala yang sering muncul ialah tanda dan gejala sistem kardiorespiratori dan
neurologi. Distres respiratori awalnya tidak terlihat, hanya terlihat adanya perpanjangan nilai
RR tanpa hipoksemia. Pasien yang lebih parah biasanya menunjukkan tanda hipoksemia,
retraksi dinding dada, dan suara paru abnormal. Manifestasi neurologi yang muncul seperti
penurunan kesadaran, pasien mulai meracau, iskemik-hipoksia pada sistem saraf pusat sehingga
menunjukkan tanda peningkatan ICP.
Sedangkan menurut sumber lain, manifestasi drowningyang muncul antara lain :
1) Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan dangkal sampai apneu.
2) Syanosis
4) Kolaps sirkulasi
5) Hipoksemia
6) Asidosis
7) Timbulnya hiperkapnia
8) Lunglai
6. Pencegahan
a. Pencegahan primer
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang dilakukan pada fase awal patogenik yang bertujuan untuk
mendeteksi dan melakukan intervensi segera guna menghentikan penyakit pada tahap dini, mencegah penyebaran
penyakit, menurunkan intensitas penyakit atau mencegah komplikasi, serta mempersingkat fase ketidak mampuan.
Pencegahan sekunder dilakukan melalui diagnosis dini/penaganan segera, seperti penemuan kasus, survei penapisan,
pemeriksaan selektif. Pencegahan sekunder pada pasien tenggelam, meliputi :
3. Bila korban mengalami perburukan atau tidak bernapas adekuat, lakukan intubasi dini dan ventilasi mekanik. Pasang
akses perifer untuk pemberian obat dan berikan infus kritaloid cepat
terindikasi
c. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier terdiri atas atau upaya mencegah atau membatasi ketidak
mampuan serta membantu memulihkan klien yang tidak mampu agar dapat berfungsi secara
optimal. Langkah pencegahan ini antara lain dilakukan melalui upaya pembatasan
ketidakmampuan (disability limitation) dan rehabilitasi. Untuk pembatasan
ketidakmampuan, langkah yang biasa diambil adalah pelatihan tentang cara perawatan diri
dan penyediaan fasilitas. Untuk rehabilitas, upaya yang dilakukan antara lain pendidikan
khusus yang disesuaikan dengan kondisi klien yang rehabilitasi, penempatan klien sesuai
dengan dengan keadaannya (selective places), terapi kerja, dan pembentukan kelompok
khusus bagi klien yang memiliki kondisi yang sama.
3. Korban yang pO2 arteri bagus tanpa terapi dan tidak ada kelainan lain dapat dipulangkan
4. Korban dirawat bila termasuk kategori derajat 2-6. Pada korban derajat 2 yang
perbaikan setelah 6-8 jam, dapat dipulangkan. Bila ada perburukan maka korban dirawat
di ruang intermediet.
5. Pada korban derajat 3-6 yang umumnya memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik di
rawat di unit perawatan intensif (ICU)
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan di tempat kejadian
Berdasarkan AHA Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care 2010 RJP pada pertolongan korban near drowning siklus A-B-C tetap
dipertahankan oleh karena sifat hipoksia dari arrest yang terjadi sehingga apabila korban
hanya mengalami henti nafas dapat segera merespon tindakan yang diberikan. Indikasi
penghentian RJP adalah apabila pasien sadar atau dapat bernafas spontan, pasien meninggal
atau penolong mengalami kelelahan (Lavonas et al., 2015)
Korban terlebih dahulu dikeluarkan dari air secara hati-hati dengan praduga cedera
servikal. Para penolong tidak boleh mengansumsikan bahwa korban tidak dapat ditolong
kecuali korban sudah meninggal beberapa saat lalu. Panggil bantuan dan defribilator (AED)
jika ada, buka baju pasien, lakukan pengecekan CAB (circulation, airway, breathing)
kemudian segera lakukan RJP. Jika pasien mengalami penurunan status mental, periksa jalur
napas dari benda-benda asing dengan manuver finger-sweep. Sesaat setelah AED datang,
segera pasang alat tersebut dengan mengeringkan badan pasien terlebih dahulu. Usahakan
pemasangan tidak mengganggu atau mengganggu kompresi seminimal mungkin. Setelah
pemberian kejutan, periksa kembali nadi dan pernapasan. Jika nadi dan pernapasan
kembali, posisikan pasien ke recovery position. Jika ritme unshockable, RJP terus dilakukan
hingga bantuan datang atau ritme shockable (Kleinman et al., 2015)
Korban dapat muntah saat dilakukannya kompresi dada. Jika muntah, miringkan
tubuh korban dan bersihkan muntahannya dengan menggunakan jari, pakaian atau disedot
(suction). Jika curiga cedera spinal, korban digulingkan sedemikian rupa sehingga kepala,
leher dan badan berputar sebagai sebuah unit untuk melindungi cedera spinal.
(Affzalurahman putranda, 2017).
b. Penanganan di Rumah Sakit
Menurut Bierens (2014) dalam (Affzalurahman putranda, 2017) Sesampainya di
IGD, pasien segera dioksigenasi untuk mencegah hipoksia. Penanganan pada korban
tenggelam pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat kelompok berdasarkan pada
kondisi korban saat sampai di IGD.
Tabel 2.1
Ket: SaO2=saturasi O2, PaO2=konsntrasi O2, ICU= intensive care unit, IPPV,
EKG=elektrokardiogram
Pasien yang masuk ke dalam kelompok 1 dapat dipulangkan jika dalam 6 jam
pertama setelah kedatangan pasien tidak mengalami demam, batuk, gejala gangguan
pernapasan, adanya krepitasi di paru, PaO2 normal pada pemberian oksigen 21% dan
hasil rontgen normal.
b. Keluhan Utama : Kaji hal yang dirasakan klien saat itu, biasanya klien
e. Primary Survey
1) Airway : Kaji adanya sumbatan jalan nafas akibat paru-paru yang terisi cairan.
Manajemen : Kontrol servikal, bebaskan jalan nafas
1) Keadaan Umum : Klien biasanya tampak lemah, pucat, sesak, dan kesulitan
bernafas.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan supresi reflek batuk
sekunder akibat aspirasi air ke dalam paru
b. Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan hipoksia akibat
penurunan kadar oksigen dalam tubuh
c. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan refraktori dan kebocoran
interstitial pulmonal / alveolar pada status cedera kapiler paru
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan kurangnya suplai
oksigen
e. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan peningkatan kerja ventrikel
3. Intervensi Keperawatan