Anda di halaman 1dari 4

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341654259

Kisah To Kill a Mockingbird dan Bias Rasa Keadilan Masyarakat

Article · May 2020

CITATIONS READS
0 3,687

1 author:

Ariehta Eleison Sembiring


TRIFIDA at Law
28 PUBLICATIONS 1 CITATION

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ariehta Eleison Sembiring on 26 May 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Kisah ‘To Kill a Mockingbird’ dan Bias “Rasa Keadilan Masyarakat”

Pada berita kita temukan aparat kepolisian menindak tegas pelaku sejumlah perbuatan,
beberapa yang paling kontroversial ialah, kasus prank Bandung, kasus perundungan di Sulawesi Selatan,
dan kasus pemidanaan atas sejumlah orang yang tidak menaati social-distancing di Riau. Keseluruhaan
perbuatan tersebut tidak satupun kita setujui. Pasalnya, kesulitan akibat pandemi hari-hari ini tidak
seyogyanya ditambah dengan perilaku semborono semacam itu. Apalagi, perbuatan tersebut sama-
sekali minus justifikasi moral-etis.
Dalam kasus-kasus tersebut, penindakan terhadap para pelaku perbuatan tidak dapat
dipisahkan dari kehendak sosial yang menginginkan perbuatan tersebut diganjar hukuman. Pada
keadaan demikian, apa yang menyimpang bagi masyarakat dapat menambah daftar perbuatan yang
harus ditindak (malum prohibitum, perbuatan yang jahat bukan karena jahat pada dirinya sendiri).
Kesampingkan dulu persoalan apa dasar hukum untuk menjerat perbuatan memberi kardus berisi
sampah kepada transpuan (waria), mengingat elemen konstitutif dari penegakan hukum tidak jarang
dikonstruksikan dari persepsi sosial bahwa perbuatan tersebut ialah jahat.
Mengapa dikatakan kesampingkan dulu persoalan dasar hukum tersebut? Alasannya, hukum,
dalam arti normatif, selalu memiliki pasal-pasalnya untuk mendera perbuatan apapun, katakanlah
dengan dalil ‘perbuatan tidak menyenangkan melawan hukum. Aturan ini membentangkan jaring yang
amat lebar untuk menjerat banyak perbuatan, termasuk menjerat perbuatan prank. Tentu saja,
utamanya pembuktian diaksentuasikan pada perasaan korban. Sisanya, sedapat mungkin penegakan
hukum mampu “memenuhi” “rasa keadilan masyarakat.”
Di sini persoalannya. Pertanggung-jawaban penegakan hukum terhadap keadilan masyarakat
sangat problematik. Bias dan disparitas hampir-hampir susah dipisahkan dari itikad baik teleologi
penegakan hukum berbasis ‘memenuhi keadilan masyarakat’ itu, apakah tujuannya untuk menciptakan
keadilan atau justru demi menjalankan fungsinya secara populer (untuk apresiasi sosial). Terkait hal ini,
pelajaran dapat dipetik dari Amerika Serikat. Ketika terjadi kejahatan melibatkan kekerasan, persepsi
sosial mencurigai orang kulit hitam dan hispanik sebagai pelaku potensial. Tidak heran penjara di sana
dipenuhi dua kelompok masyarakat ini. Alhasil muncul ekses. Pemidanaan menjadi tidak tepat sasaran,
boros dan sia-sia, serta memunculkan ketidakadilan yang disproporsional. Tidak tepat sasaran karena
yang dipidana bukanlah pelaku yang sebenarnya atau pelakunya memanglah pelaku sebenarnya namun
penjara tidak menjadi ganjaran yang bermanfaat (disproporsional). Boros dan sia-sia karena penegakan
hukum tidak sukses mencapai tujuannya yang hakiki dan jatuh semata untuk memberikan deterrent
effect (efek jera).
Sedikit mengenai tujuan hakiki pemidanaan, menurut hemat penulis, tiada lain ialah untuk
memulihkan relasi pelaku dan korban yang rusak menjadi relasi harmonis atau serendah-rendahnya
iman yakni untuk mengedukasi pelaku tentang adanya alternatif paradigma dalam merespons realitas
tertentu selain dengan perbuatan melanggar hukum yang ia lakukan. Menurut hemat penulis lagi,
mengejar horizon keadilan tidak akan pernah berhasil jika dilakukan secara disproporsional. Justru,
disproporsionalitas dalam menjalankan kebijakan pemidanaan potensial memunculkan ketidakadilan
baru. Bayangkan, untuk menindak orang yang ngeyel dan masih nongkrong ketika penjarakan sosial
diterapkan, misalnya, akan membutuhkan Kepolisian (menjadi penyelidik-penyidik), Kejaksaan (menjadi
penuntut), dan Pengadilan (menjadi majelis hakim yang setidaknya butuh tiga hakim). Seluruh lembaga
penegakan hukum pidana dikerahkan. Sementara, negara lain, sebutlah India, melakukan langkah yang
lebih proporsional dan toh tepat guna.

‘To Kill a Mockingbird’ Mengajarkan Banyak Hal


Novel karya Harper Lee ini (Harper Lee, 1960: et al) menceritakan bagaimana Atticus Finch,
seorang pengacara berkulit putih, membela Tom Robinson, seorang kulit hitam yang dituduh
memerkosa seorang wanita kulit putih. Mayoritas warga kota Maycomb, Alabama, tempat Atticus
tinggal, mendesak Atticus untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai pengacara Tom, dikarenakan
warga yakin Tom adalah pelakunya, layak dihukum, dan tidak layak untuk berada di lingkungan mereka.
Atticus bahkan mengalami persekusi karena ngotot tetap ingin membela. Persoalan ternyata Tom
bukanlah pelakunya kalah penting dari “rasa keadilan masyarakat” itu sendiri.
Novel yang telah diadaptasi menjadi sebuah film ini menyiratkan suatu hal: bahwa langkah
pemidanaan seyogyanya dilakukan sangat hati-hati, selain tidak bisa semata disandarkan pada dalih
demi keadilan masyarakat. Inilah mengapa pemidanaan sering kita dengar sebagai upaya terakhir
(ultimum remedium) mengingat jikalau menjadi upaya pertama (primum remedium) maka pemidanaan
akan dioperasikan dengan paradigma pembuktian yang sederhana demi tujuan yang sederhana pula
(tujuan populer).
Selain itu, penegakan hukum yang tidak diarahkan untuk memulihkan hubungan interpersonal
dan sosial yang rusak justru senantiasa mempreservasi kerusakan tersebut, jika tidak ingin dikatakan
memperluas kerusakan interrelasi. Dalam konteks ‘To Kill a Mockingbird’, preservasi hubungan yang
rusak itu tergambar dari terjaganya bias persepsi sosial terhadap warganegara kulit hitam dan
keturunan hispanik yang masih terjadi di Amerika sampai saat ini. Menurut hemat penulis, sebenarnya
sepersekian persen dari aksi menggerus diskriminasi ras dapat dikontribusikan oleh penegakan hukum
pidana seandainya saja penegakan hukum pidana itu dimaksudkan untuk mengupayakan tujuan-tujuan
restoratif.

Rasa Keadilan Masyarakat: Panem et Circenses


Penindakan terhadap satu perbuatan menyimpang (dan “menyimpang”) tidak jarang
dipengaruhi oleh “rasa keadilan masyarakat.” Menjelaskan mengapa hal demikian terjadi akan
didahului dengan menjelaskan mengapa kata menyimpang dan rasa keadilan masyarakat diberi
tanda kutip. Menyimpang dengan tanda kutip merujuk pada perbuatan yang mana
kualifikasinya sangat cair dan tentatif, dalam artian pada suatu waktu dapat dikatakan
‘melenceng’ namun lain waktu dikatakan ‘tidak melenceng’ atau setidaknya ‘tidak terlalu
penting untuk dirisaukan.’ Misalnya, larangan dan penindakan terhadap tempat makan di bulan
puasa. Pada bulan puasa tertentu, protes sosial begitu masif mendesak penutupan tempat
makan, namun di bulan puasa lainnya tidak terlalu dipersoalkan.
Sementara itu, rasa keadilan masyarakat diberi tanda kutip berdasarkan hemat penulis
bahwa keadilan itu senantiasa adil, tanpa menyoal predikatnya. Bahwa apa yang adil pada
individu probabel untuk adil bagi sekelompok individu di luar diri individu itu sendiri
(masyarakat). Bahwa dengan demikian, apa yang dituntut secara kolektif tidak lantas menjadi
keadilan (+ masyarakat). Pada tataran inilah hukum harus dioperasikan, menghindari apa yang
dikatakan Jeremy Bentham sebagai tirani mayoritas. Terlebih garis embarkasi antara keadilan
masyarakat dan tirani mayoritas hampir sukar ditarik, maka ‘keadilan’ tidak boleh diserahkan
pada persepsi kuantitatif.
Rasa keadilan masyarakat terdengar tidak terlalu kental nuansa keadilannya, justru
kental nuansa populernya. Mempertimbangkan popularitas dari suatu kasus tentu merupakan
langkah yang sangat tepat untuk memarketingkan brand institusi penegak hukum. Fokusnya
juga tidak terlampau luas, cukup dengan membaca berita tentang arah opini masyarakat.
Jangan terlalu berharap ada diskursus tujuan pemidanaan dari mengapa kasus tersebut harus
diselesaikan secara pidana. Penindakan dengan basis popular tersebut rentan jatuh sebagai
pertunjukan semata, yang kerap dilakukan ketika suatu negara atau masyarakat tengah
menghadapi krisis. Sebagaimana yang disampaikan Puitik Satir jaman Romawi, Juvenal, panem
et circenses alias roti dan sirkus. Roti dan sirkus adalah apa yang dibutuhkan masyarakat, maka
berikan dua hal tersebut, dan masyarakat akan lupa pada keperihan utama yang dihadapi.
Sejarah sudah memberikan begitu banyak contoh kasus di mana rasa keadilan
masyarakat sering deviatif dan mengorbankan kebenaran (pada gilirannya mengorbankan
keadilan juga). Terlebih, jika keadilan masyarakat itu dipuaskan dengan asupan berupa
penegakan hukum pidana (penghukuman) maka akan semakin buramlah ujung ceritanya. Untuk
konteks Indonesia, pengkisahaan ‘To Kill a Mockingbird’ perlu menjadi refleksi bagi penegak hukum.
Misalnya, kasus perundungan di Sulawesi Selatan. Apabila refleksi mendahului penegakan hukum, maka
penegak hukum Kepolisian akan menempuh cara mediatif dengan memperingatkan orang tua pelaku
untuk mendisiplinkan anaknya dan mengupayakan perdamaian antara pelaku dan korban (tidak sedikit-
sedikit ditangkap dan diproses). Absennya refleksi hanya mengantarkan penegakan hukum pidana pada
gerbang inkarkerasi yang tidak proporsional, yang apabila ditinjau dari kacamata utilitarianisme maka
penegakan hukuman menjadi tidak jelas juntrungannya (pointless punishment).

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai