Anda di halaman 1dari 32

Resume Materi Kuliah Keluarga LIKE Langkah Kita

Serial Whatsapp : Orangtua Berkualitas Meski Terbatas


Judul : Menjalin Mesra Sampai Surga
Narasumber : Ustadz Bendri Jaisyurrahman dan Kak Hilman Al Madani
Selasa, 7 April 2020, 20:00-22:00
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah wasyukrulillah wassholatu ‘ala Rasulillah amma ba’du

Syukur Alhamdulillah hari ini sampai juga kita bertemu kembali pada Kuliah Keluarga
LIKE modul kedua dengan tema menjalin mesra sampai surga. Judulnya bombastis sekali.
Mungkin banyak yang bilang “aduh bertahan enggak ada perang aja udah bagus”, “emang
ada ya yang bisa mesra dunia akhirat sampai surga?”

Video yang lagi viral lagu Aisyah istri Rasulullah menggambarkan sedikit tentang rumah
tangga yang mesra sampai surga. Terus bagaimana caranya bisa seperti itu? Ini mungkin
Ustadz Bendri jaisyurrahman pakarnya nanti kasih inspirasi banyak kepada kita. Kalau
ada pertanyaan mengapa penting membahas tentang tema ini? Karena ada pengaruhnya
antara hubungan suami istri dengan kondisi anak.

Contoh, ada anak sakit asma akut diobati beragam cara. Kok enggak sembuh-sembuh?
Diperiksa paru-parunya bagus, cek lain-lainnya enggak ada masalah, lah terus kenapa?
Ternyata psikosomatis, pas diperiksa secara psikologis, ternyata anak ini terdampak dari
konflik orangtua yang sering dilihat hampir setiap hari. Kan itu cuma kasus yang tidak
banyak!

Mari kita lihat data dan fakta di lapangan tentang hubungan rumah tangga. Sebenarnya
menyeramkan sekali, sudah jadi berita publik kalau data perceraian di Indonesia
mencapai 50 kasus per hari atau sekitar 500.000 per tahun. 40% karena selingkuh, 10%
karena KDRT, dan sisanya macam-macam. 50 kasus perhari tidak sedikit, kita ranking
tertinggi se-asia Pasifik.

Bagaimana tidak darurat masalah ini? Pertanyaannya itu yang cerai, bagaimana yang
menahan api dalam sekam? Ada masalah tapi mencoba bertahan, sanggup berapa lama
yang seperti ini?

Kementerian Agama melansir data bahwa perselingkuhan meningkat drastis seiring


berkembangnya media sosial. Selingkuh karena bosen tidak tersampaikan, tidak sesuai
harapan. Lho kok bisa enggak ngomong begini? Bagaimana model komunikasi antara
suami istri sampai hal-hal seperti ini tidak terselesaikan bertahun-tahun?

Lalu kita lihat lagi bahwa 10% perceraian karena alasan KDRT.

Ayah bunda dan teman-teman sekalian, saya sebenarnya bukan psikolog yang fokus
menangani kasus pasutri tapi seringkali ketika menangani kasus anak ujung-ujungnya
banyak kasus pasutri.

Konseling tentang kasus anak kecanduan pornografi dan ternyata oran tuanya masih
utuh. Ketika membahas tentang kondisi anaknya itu suami istri duduk di sofa ruang
konseling yang cukup panjang, duduk dengan kondisi jauh-jauhan di pojok-pojok. Kami
kan para psikolog dilatih untuk membaca bahasa tubuh orang.
Kelihatan lah diusut anaknya hungry happiness dan terlibat pornografi agar ingin
menenangkan diri. Ketika dirumah dia melihat orang tuanya main tonjok-tonjokan,
ditendang, didudukin, sambil dipukul sampai enggak ingat lagi berapa kali kejadiannya.
Kalau lah saya tidak menangani kasus seperti ini, saya pun enggak mau cerita seolah-olah
kalau sumbernya enggak diselesaiin.

Balik lagi kan pertanyaan saya tentang keterikatannya orangtua dengan pengasuhan
sebelumnya? Sekarang anak-anaknya mendapati orang tua yang melakukan KDRT, apa
yang terjadi dengan kondisi psikologisnya nanti? Bagaimana nasib keluarganya sudah
seperti MLM turun-temurun?

Ini belum yang beralasan bosen dengan selingkuh diam-diam. Sekarang saja secara
terang-terangan sudah banyak pasangan suami istri yang bikin grup atau kelompok
tukar-tukaran pasangan dengan alasan yang paling klise adalah enggak cocok.

Ayah Bunda teman-teman sekalian, bicara tentang pernikahan kebayang tidak kita
berada dalam satu tingkatan dalam satu rumah, ketemu lagi ketemu lagi setiap hari dalam
jangka waktu yang lama sekali rasanya, tidak mungkin kalau tidak ada konflik. Apalagi
kalau ayah bunda dan teman-teman sekalian sudah memasuki usia mid-life dan
mengalami krisis paruh baya.

Berapa tahun usia paruh baya? Usia 35-40 potensi konfliknya luar biasa besar. Itu
masalah dulu- dulu yang tidak selesai muncul ke permukaan. Di sini waspada jangan
simpan masalah, duit boleh disimpan tapi masalah harus segera diselesaikan. Sekali lagi,
masalah-masalah yang tak terselesaikan akan muncul ke permukaan saat kita mengalami
krisis paruh baya karena penyusutan hormon-hormon dan pribadi yang retak-retak.
Maka jangan heran kalau kita lihat rumah yang sehari-hari adem ayem dan tenang, eh
tiba-tiba enggak ada angin enggak ada hujan enggak ada apa enggak ada geledek, dan
yang lain, ini tiba-tiba ribut.

Kalau ada yang bilang saya maunya pasangan yang cocok, yang seirama setia sama saya
biar tidak ada masalah, ya mana mungkin bapak ibu. Jangan-jangan tuntutan tentang
kesempurnaan seperti itu yang ada malah menimbulkan konflik berkepanjangan yang
tidak selesai-selesai dalam keluarga.

Ayah bunda teman-teman sekalian membahas tentang perbedaan tidak usah merasa
aneh, sejatinya Allah sudah menciptakan kita berbeda-beda sebagaimana yang
difirmankan dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13

ُ‫يََٰٓأَيُّ َها ٱلنَّاسُ إِنَّا َخلَ ْقنَكم ِمن ذَ َكرُ َوأنثَىُ َو َجعَ ْلنَك ُْم شعوبًا َوقَبَا َٰٓ ِئ َل‬
‫ير‬
ُ ‫ع ِليمُ َخ ِب‬ َُّ ‫ن‬
َ َ‫ٱّلل‬ َُّ ‫ٱّلل أَتْقَىك ُْم ُۚ ِإ‬
َُِّ َ‫ن أ َ ْك َر َمك ُْم ِعن ُد‬
َُّ ‫ارف َٰٓواُ ُۚ ِإ‬
َ ‫ِلتَ َع‬
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayah Bunda teman-teman sekalian, ayat tersebut menjelaskan bahwa kita diciptakan
memang berbeda-beda untuk apa? Untuk saling kenal, untuk saling mengenal. Kalau
sudah mengenal mau apa? Terima diri, terima orang lain, kan sekarang kalau dirinya aja
tidak bisa diterima bagaimana kita bisa terima orang lain. Manfaatkan saling melengkapi,
saling mengisi, saling memberi manfaat.

Nah, tapi bagaimana ceritanya kita bisa bekerjasama kalau kita tidak mengenali dulu
siapa pasangan kita, yang ada malah justru pada heran dengan sikap masing-masing,
stress bahkan bisa sampai frustasi, syukur-syukur tidak sampai cerai, naudzubillah.

Pengalaman saya menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah rumah tangga
banyak yang sudah ampun-ampun dengan sikap pasangannya. Istri bilang “saya heran
kok bisa begitu amat ya kok laki-laki gitu sih”, suami bilang “istri saya itu dulunya baik dan
berperasaan banget, gimana sih sekarang kok aneh banget perempuan kok kayak gini ya”.

Kondisi itu kaku banget, dingin seperti tidak ada perasaan antara suami ke istri dan saling
ungkapan kekecewaan karena banyaknya perbedaan lainnya. Aneh kan? Padahal kita
tahu bahwa kita memang diciptakan berbeda-beda.
Ayah Bunda dan teman-teman sekalian, agar lebih paham mari kita kenali perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, supaya bisa saling mengerti. Laki-laki memiliki massa
otak 1400gram sedangkan perempuan massanya 1240gram, lebih kecil. Tapi, perempuan
mempunyai sel yang lebih rapat pada otaknya dan punya corpus collosum, si penyambung
otak kanan dan kiri, yang tebal bawaan dari lahir.

Walhasil, yang satu kalau berpikir lebih fokus pada satu titik tetapi yang perempuan
berpikir melebar, bahkan yang enggak ada kaitannya dikait-kaitkan. Maklumi memang
begitu bawaannya. Kalau yang satu berusaha mengedepankan logika, yang satu penuh
perasaan.
Laki-laki punya kadar testosteron, dopamin, adrenalin, dan vasopressin lebih banyak
Kalau perempuan lebih didominasi dopamin, serotonin, oksitosin, estrogen, dan
progesteron. Walhasil, kalau laki-laki sukanya kompetisi kalau perempuan sukanya
kerjasama. Laki-laki sukanya kalau kemampuan mereka diakui dan dihargai, perempuan
sukanya perasaan mereka diterima dan dihargai.

Tentang perbedaan ini, seorang pakar konseling keluarga John Gray sampai menulis
buku best seller yang judulnya Men are from Mars Women are from Venus. Kita ini sudah
seperti makhluk asing yang sama-sama ketemu di planet bumi, yang satu mau apa, yang
satu responya kayak gimana. Sekilas, saya sarikan dari buku Dr. Gray ini tentang
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan itu memiliki kebutuhan bicara
yang banyak yaitu 20000 kata perhari. Ingin menasehati, ingin kasih saran meskipun
enggak diminta. Perempuan selalu berusaha mengajak diskusi pasangannya.

Kadang-kadang masalahnya lebar banget, begitu pasangannya kasih solusi to the point,
jadi marah. Kok marah? Karena kebutuhan perempuan bukan dikasih solusi tapi
didengarkan. Beda dengan laki-laki bicaranya irit, sepertiganya perempuan yaitu hanya
7000 kata per hari. Bicara yang penting-penting saja, ini yang kadang bikin salah paham,
karena bicara irit.

Laki-laki kalau kerja atau melakukan sesuatu enggak suka dikomentari. Inginnya apa-apa
dikerjain sendiri, enggak usah dibikin ribet, maklum mental kompetisi. Misalnya istri
bilang “yaaah… ayah kerja dari pagi hasilnya cuman kayak gini” atau “kok bikinnya kayak
gini? Apa gak salah nih?”, tidak ada maksud apapun sih tapi komentar, kritik, dan
semacamnya yang seperti ini buat laki-laki semacam sebuah ancaman. Jatuh harga diri
laki-laki seperti itu. Diberi masukan justru menganggapnya bahwa orang lain mau
mendikte atau mengendalikan dia.

Jika ketemu masalah, laki-laki justru menarik diri dari lingkungannya, menyendiri, diam,
sudah seperti orang kesambet. Sudah pernah lihat? Situasi sudah tenang, baru bisa ambil
keputusan dan dia akan keluar balik lagi ke orang-orang yang dicintai dan dekat
dengannya.

Berarti laki-laki enggak usah dikasih saran atau masukan? Tunggu sampai laki-laki butuh
atau ciptakan kondisi dimana laki-laki Jadi butuh saran, masukan, atau bahkan bantuan.
Laki-laki mau dikasih masukan kalau dia benar-benar butuh. Kalau enggak butuh sama
juga bikin macan ngamuk, berabe urusannya. Bukannya mengatasi masalah tanpa
masalah justru mengatasi masalah dengan menambah masalah, jangan sampai ini terjadi.

Nah, kalau perempuan inginnya kerjasama, jalan sama-sama, kasih kabar terus, sedikit-
sedikit nanya. Beda kan? Perempuan suka ini komentar yang kerjaannya, diakui, dihargai,
benci sekali kalau dibedakan begitu saja merasa diabaikan, ini jadi masalah. Perempuan
akan menganggap bahwa dirinya tertolak dan tidak diterima. Sudah berasa
perbedaannya?
Balik lagi ke soal laki-laki, buat laki-laki kalau dia bilang oke ya oke, kalau dibilang enggak
ada masalah, enggak ada apa-apa ya berarti enggak apa-apa enggak usah dicari-cari.
Misalnya, istri malah kepo “masa sih ayah enggak ada apa-apa? Yang bener dong yah
ngomong apa adanya, entar kalau enggak mau gimana? Blablabla……”, tahu enggak? Ini
yang malah akhirnya jadi ada apa-apa.

Nah, kalau perempuan bilang oke belum tentu oke, kenapa? Ingat, perempuan
kebutuhannya ingin dikenali, ingin dimengerti, jadi dia ingin pasangannya mengenali
atau tahu dengan dirinya sendiri masalah yang dialami. “gausah pake nanya” katanya
“mikir sendiri”, begitu kira-kira.

Nah, masalahnya laki-laki makhluk konkret, kalau bilangnya enggak ada apa-apa maka
dia mikirnya enggak ada apa-apa, dia bukan dukun. Nah, bingung kan? Enggak usah
bingung, cukup mengerti dan paham.

Sekarang soal perasaan dan cinta, laki-laki maunya saling percaya dan saling menghargai.
Lihat di media sosial, para suami jarang mengumbar momen kemesraannya di media
sosial. Ada mungkin satu atau dua tetapi itu hanya yang baru-baru saja. Tetapi, ini bukan
berarti laki-laki tidak cinta dan tidak sayang dengan pasangannya.

Tidak usah berpikir macam-macam juga, misal “waduh jangan-jangan si ayah selingkuh
nih”, hati-hati kalau kejadian beneran gimana? Ingat hukum law of attraction, hukum
tarik menarik, bahwa apa yang kita pikirkan bisa jadi kenyataan.

Nah, kalau perempuan butuh diakui, dianggap, dipedulikan, dimengerti, itulah mengapa
perempuan kalau sedang jatuh cinta ingin semua temannya tahu, kalau perlu orang
sekampung tahu, biar pada mengerti dan biar pada menganggap, kalau perlu ngebantuin.

Lihat yang pasang status tentang hubungannya dan sebar foto-foto di medsos siapa?
Berasa kan perbedaannya? Semua atas dasar kebutuhan cinta, tapi kontur otak membuat
pemenuhan kebutuhannya berbeda.

Ada satu lagi, kalau laki-laki Sukanya fokus pada satu masalah yang dituju dan
menyelesaikan masalah satu persatu, persis seperti ada kotaknya. Ada kotak saat makan,
kotak saat kerja, kotak liburan, dan satu lagi kotak kosong kalau sedang mumet. Pernah
lihat kalau laki-laki sedang mumet bengong saja? Tidak melakukan apa-apa? Itu tandanya
sedang stress, sudah tidak usah ditanya lagi dan cukup ngertiin saja.

Nah, perempuan dengan multitasking-nya semuanya ingin dikerjakan. Semuanya serba


menyambung kemana-mana, tapi pada saat kepentok dan tidak sanggup jadinya bingung
sendiri. Jadi menyalahkan semua orang di sekitarnya, yang tidak pengertian lah katanya,
tidak ada sense-nya lah, dan alasan lainnya.

Ini yang kita bahas baru saja ini baru beberapa, banyak hal lain lagi perbedaan antara
laki-laki dan perempuan yang bisa jadi memicu konflik satu sama lainnya kalau tidak
saling paham dan tidak saling mengerti. Jadi tidak berlebihan kalau Dr. Gray
mengasosiasikan hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah seperti makhluk asing
dari 2 (dua) planet berbeda dan ketemu di bumi. Sampai sini semoga semakin paham dan
bisa saling mengerti bahwa kita memang berbeda diciptakannya. Jadi, hanya butuh saling
paham.

Ayah bunda sekalian, tetapi apa perbedaan ini jadi masalah? Dalam Surat Az-Zukhruf ayat
32 Allah SWT berfirman

ُِ‫شتَه ُْم فِى ْٱل َحيَوة‬ َ ‫ك ُۚ ن َْحنُ َق‬


َ ‫س ْمنَا بَ ْينَهم َّم ِعي‬ َُ ‫ت َر ِب‬َُ ‫أَه ُْم يَ ْقسِمونَُ َر ْح َم‬
‫ضا‬ً ‫ضه ُْم فَ ْوقَُ َب ْعضُ دَ َر َجتُ ِل َيت َّ ِخ ُذَ َب ْعضهم َب ْع‬ َ ‫ٱلدُّ ْن َيا ُۚ َو َرفَ ْعنَا َب ْع‬
َُ‫ك َخيْرُ ِم َّما َي ْج َمعون‬ َُ ‫س ْخ ِريًّا ُۚ َو َر ْح َمتُ َر ِب‬
Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari
apa yang mereka kumpulkan.

Ayah bunda dan teman-teman sekalian, kita tidak mungkin berharap antara kita dengan
pasangan sama serupa. Sebuah analogi, seandainya perkakas hanya ada mur tanpa ada
baut, bagaimana jadinya ya? Tapi untuk memasangkan mur dan baut menjadi presisi
butuh proses kan. Ya itulah yang harus kita jalani.

Konflik bukan untuk disimpan dan dihindari tapi dihadapi, dijadikan ajang latihan dan
dicari jalan keluarnya, lama-lama kita paham polanya. “Oh, ini harus diputar ya?”, “Oh, ini
butuh obeng plus ya?”, dan sebagainya. Ibarat kata latihan berulang-ulang membuat kita
semakin lihai dan terbiasa, practice makes it perfect.

Ayah bunda teman-teman sekalian, hal ini perlu proses panjang yang harus kita jalani
dalam menggenapkan separuh din ini. Masing-masing pasangan memiliki kondisi yang
berbeda tak sama antara satu pasangan dengan pasangan lainnya.

Kalau pasangan lain selalu bergandengan kemana-mana, bukan berarti kita semua harus
ke mana-mana bergandengan juga. Kalau pasangan lain makan malam dengan candle
lights dinner untuk meningkatkan keharmonisannya, bukan berarti kita juga
membutuhkan itu dan harus begitu.

Ingat harmonis artinya selaras, sesuai, rukun, serasi. Sesuai menurut kita belum tentu
sesuai menurut orang lain, atau ibaratnya baju yang serasi untuk orang lain belum tentu
serasi buat kita. Masing-masing beda jadi tak perlu saling membandingkan antara
keluarga kita dengan keluarga orang lain, setiap kita berbeda.

Ayah bunda dan teman-teman sekalian, lalu apa yang harus kita lakukan dalam menjaga
keharmonisan hubungan dalam keluarga?

Pertama, perkuat hubungan dengan pasangan agar ikatan kita tidak rapuh. Seringkali
saya mengulang-ulang penjelasan tentang ini di berbagai tema bahwa tantangan, godaan,
dan permasalahan yang kita hadapi semakin luar biasa. Tetapi, selama ketahanan diri kita
bagus maka tantangan dan permasalahan dari luar tak lagi menjadi ancaman yang luar
biasa bagi kita.
Dalam pernikahan, selama kekuatan hubungan antara suami dan istri bagus maka
permasalahan rumah tangga menjadi hal yang biasa. Istilah dalam bahasa Jawanya awet
rajet, konflik sih ada, tapi cuma bumbu, balik mesra lagi, baik lagi, awet. Ada lah hormon
bonding yang membuat ikatan antara suami dan istri menjadi bagus. Semakin dipupuk
semakin lekat.

Nah, apa pupuk kelekatannya? Kata-kata baik, mesra, sentuhan mesra, tatapan, hubungan
intim, itu semua aktivitas yang memicu oksitosin dan vasopresin. Oksitosin itu hormon
buat wanita, vasopressin itu buat laki-laki, keluar di otak. Hormon ini netral, jadi siapa
yang melakukan dengan siapa tidak peduli siapapun maka akan terjalin kelekatan antara
keduanya.

Naudzubillah, kalau seorang suami berkata-kata mesra atau melakukan hal-hal lainnya,
yang memicu hormon bonding ini keluar, dengan perempuan lain selain mahramnya
maka hormon ini juga akan keluar.

Sekali lagi, ini value netral. Jadi lakukan hal-hal tersebut di atas bersama pasangan secara
konsisten, hadirkan Allah dalam ikatan ini, bukan semata-mata terjalin dengan pasangan.
Semoga ikatan yang terjalin menjadi semakin kuat insyaAllah.

Yang kedua, hadirkan nuansa berbeda dari hal-hal yang rutin. Kebayang enggak kita
setiap hari melakukan hal-hal yang rutin ketemu orang-orang yang sama? Apa rasanya
ya? Bosen wajar, termasuk persoalan cinta dan mesra. Jadi, ada lah hormon cinta
bernama PEA (phenylethylamine natural amphetamine), hormon ini keluar saat orang
jatuh cinta, bikin orang melambung dan menggebu-gebu cintanya.

Nah masalahnya, setelah 18 bulan atau paling lambat 4 tahun, akan timbul kekebalan
dalam tubuh seseorang terhadap rangsangan hormon cinta ini, akhirnya cinta tak lagi
menggebu-gebu. Ada kan di sekeliling kita yang dulunya mesra banget, tiba-tiba hambar
terus selingkuh?

Selingkuh ini sebenarnya terjadi karena kebosanan. Jadi, seseorang butuh menghadirkan
cinta yang menggebu-gebu dan salah satu cara yang salah adalah selingkuh. Karena
dengan selingkuh otak, terstimulasi untuk memunculkan ledakan-ledakan PEA baru.
Agar hal ini tidak terjadi, mari kita buat semacam event kejutan, surprise, yang beda dari
kegiatan harian.

Ayah bunda dan teman-teman sekalian, bisa juga membuka memori romantis masa lalu,
dari foto, video, barang-barang pemberiannya dulu dikasih, yang masih disimpan, yang
akhirnya bisa menghadirkan perasaan saat itu. Ingat, emosi itu tak terbatas ruang dan
waktu, jadi manfaatkan segala macam cara untuk kita bisa memunculkan hal-hal yang
baru dan memunculkan romantisme baru.

Sampaikan harapan dan keinginan kita secara singkat dan jelas atau dengarkanlah dulu.
Nah, kita kan sudah tahu nih karakteristik masing-masing bahwa laki-laki sukanya to the
point, fokus, ringkas, sedangkan perempuan sukanya mengungkapkan segala macam
perasaan dan ingin didengarkan. Susah kalau tidak ada yang mengalah.

Sekarang, mari kita belajar memenuhi kebutuhan pasangan. Silahkan ambil peran, kalau
istri menyampaikan suatu hal ke suami sampaikan to the point, point to point, satu-satu,
poin 1 (satu) selesai baru satu lagi, supaya suami enggak stress, enggak frustasi karena
memikirnya satu-satu.

Nah, saat istri butuh untuk didengarkan, suami belajar mendengar. Ini berat bagi laki-laki
karena tidak biasa, tapi semua itu bisa dipelajari. Kita mencoba lakukan agar masing-
masing kebutuhan terpenuhi dengan saling memahami.
Seandainya terjadi konflik atau masalah apa yang harus kita lakukan? Allah SWT
berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 59

ُ‫ل َوأو ِلى ْٱْل َ ْم ُِر ِمنك ْم‬ َُ ‫ٱلرسو‬ َُّ ُ‫يََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَُ َءا َمن َٰٓواُ أ َ ِطيعوا‬
َّ ُ‫ٱّللَ َوأ َ ِطيعوا‬
ُۚ ‫ل ِإن كنت ُْم‬ ُِ ‫ٱلرسو‬ َُِّ ‫ش ْىءُ فَردُّوهُ ِإلَى‬
َّ ‫ٱّلل َو‬ َ ‫فَإِن تَنَزَ عْت ُْم فِى‬
ُ ً ‫سنُ تَأ ْ ِو‬
‫يل‬ َ ‫ك َخيْرُ َوأ َ ْح‬َُ ‫اخ ُِر ُۚ ذَ ِل‬ ْ ‫ٱّلل َو ْٱل َي ْو ُِم‬
ِ ‫ٱل َء‬ َُِّ ‫تؤْ ِمنونَُ ِب‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.

Jadi, kalau ternyata ada perselisihan atau konflik maka merujuk kepada apa yang
disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Kalau masing-masing merasa sudah benar dan
tidak ada kesepakatan maka sesungguhnya apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasulnya
adalah yang terbaik untuk kita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam yang seorang nabi
pun pernah mengalami konflik dalam keluarga.

Bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyikapinya? Dalam sebuah hadis


yang diriwayatkan oleh Ahmad, Sahabat Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam sedang berada di rumah salah seorang istrinya. Anas berkata,
menurutku adalah Aisyah, lalu salah seorang istri beliau yang lain mengirimkan sepiring
makanan yang diantar utusannya. Namun istri yang bersama beliau membuang piring
yang berada di tangan utusan sehingga pecah terbelah menjadi dua.
Kemudian, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengatakan ibu kalian sedang
cemburu. Lalu, beliau menyatukan dua pecahan piring tersebut dan meletakkan makanan
yang di atasnya, seraya bersabda, “makan lah oleh kalian” maka para sahabat pun
memakannya, sementara beliau tetap memegang piring yang pecah tersebut, sehingga
mereka selesai memakan makanannya. Lalu diberikan kepada Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam sebuah piring yang lain, lalu Beliau pun tinggalkan yang pecah. (H.R.
Ahmad)

Rasulullah menyebut perbuatan Aisyah ini adalah sebagai sebuah bentuk kecemburuan.
Rasulullah berusaha memahami, sekali lagi memahami. Setelah selesai Rasulullah
mengirimkan piring milik Aisyah untuk diberikan kepada istri beliau yang telah
mengirim makanan tadi, sebagai ganti atas piring yang dipecahkan oleh Aisyah
radhyiallahu anha.

Sabda beliau dalam hadis riwayat Tirmidzi, “merusakkan makanan diganti dengan
makanan, bejana diganti dengan bejana, lalu selesailah perkara”. Jadi ayah bunda dan
teman-teman sekalian, selesaikan permasalahan sesuai konteks dan porsinya. Tak perlu
membawa masa lalu atau masalah yang lain, jangan sampai energi kita habis untuk
menutupi perbedaan dan meratapi konflik yang pasti akan selalu ada.

Ayah bunda teman-teman sekalian, supaya hubungan kita tidak rusak, jauhkan diri kita
dari zina. Islam sangat menjaga umatnya dari keburukan tentang zina, bukan sekedar
pelampiasan hasrat sesaat dan selesai. Setelahnya dampaknya sangat panjang.

Satu hal yang mungkin ayah bunda dan teman-teman sudah ketahui bersama, bahwa
secara neurologi, saat seseorang melakukan hubungan seksual, otak mengeluarkan zat
kimiawi bernama oksitosin bagi wanita dan vasopresin bagi laki-laki.
Zat kimiawi ini biasa disebut sebagai bonding chemical atau zat perekat. Sambungan,
sebenarnya zat ini keluar di otak bukan pada saat seseorang melakukan hubungan
seksual saja seperti apa yang kita bahas, tetapi saat ada sentuhan, romantis, pelukan,
bahkan kata-kata baik.

Sehingga, kalau kita lihat suami istri yang dalam keseharian komunikasinya baik, rutin
melakukan hubungan seksual, meskipun mereka dihantam beribu-ribu masalah dan
perbedaan, tetap saja balik lagi hubungannya. Kenapa? Karena hormone bonding-nya tadi
keluar. Karena bonding-nya kuat.

Tetapi kalau satu orang berzina dan kemungkinan besar akan berganti-ganti pasangan
maka sambungan di otak tentang bonding akan absolut tidak jelas. Banyak jalur dan tidak
jelas harus bonding kemana. Begitu putus hubungan dengan yang satu, sesungguhnya
orang tersebut akan mengalami emotional pain atau luka emosinya, luka jiwanya.

Dampaknya jiwa akan resah, gelisah, kemampuan penilaian dan mengambil keputusan
terhadap suatu masalah jadi terganggu, termasuk untuk permasalahan yang sederhana.
Sekarang bayangkan, berapa banyak emotional pain yang ada pada diri ketika zina?
Bagaimana kondisi jiwanya orang-orang yang berganti pasangan?

Oksitosin dan vasopressin, yang merupakan zat perekat, ini lama-lama tidak lagi memiliki
daya rekat. Akibatnya orang tersebut tak mampu menjalin komitmen dan hubungan
jangka panjang di sebuah pernikahan. Dorongan yang timbul hanya lah bagaimana
memuaskan hasrat seksualnya, sudah itu saja, tidak mampu menjalin hubungan.
Naudzubillah.

Sudah tampak marah sekarang kan? Coba bayangkan, bagaimana kalau sosok-sosok
seperti ini berkumpul dalam sebuah mahligai keluarga, bagaimana nasib pasangannya?
Bagaimana nasib keturunannya? Semoga kita selalu Allah lindungi dari hal-hal seperti ini.
Nah sekarang, apa yang dibutuhkan dari masing-masing kita untuk mengubah keadaan?
Ayah bunda dan teman-teman sekalian, kuliah ini tidak akan mengubah apapun tanpa
ada kekuatan dan kemampuan untuk berubah.

Mari kita mengubah keadaan, dimulai dari mengubah diri kita dulu. Tidak ada yang bisa
kita kontrol dan kita ubah selain diri kita sendiri.

Yuk, belajar lagi, latihan lagi tentang mendengar dan memahami. Belajar lagi tentang
bagaimana menyampaikan pesan. Pada saat latihan mungkin kita ada salah-salah tapi
tidak terus-terusan salah, practice make perfect.

Sudah berapa tahun berumah tangga? Sudah berapa lama berlatih? Tanpa latihan tidak
akan ada perbaikan, yang ada mungkin frustasi. Pertanyaannya, berapa lama bisa
bertahan dengan kondisi seperti itu?

Sekarang saatnya berubah. Waktu sangat berharga untuk dibiarkan mengalir begitu saja.
Ayah bunda, semoga Allah melindungi kita dan keluarga kita dari permasalahan dan
perselisihan yang tak sanggup kita jalani. Semoga Allah tetapkan keluarga kita sebagai
salah satu keluarga ahli surga aamiin insyaAllah.
Ayah dan bunda, calon ayah dan bunda yang dimuliakan Allah SWT, alhamdulillah tadi
kita sudah mendapatkan banyak sekali pencerahan dari Kak Hilman Al Madani, psikolog
yang menyampaikan dari sisi psikologi bagaimana sejatinya kita menjalin kemesraan.
Dan itu adalah hal yang sejatinya menjadi impian bagi setiap pasangan, dimana
kemesraan itu sendiri adalah tumbuhnya cinta dan kasih yang membuat kita merasakan
kedekatan, secara psikologis.

Dan sejatinya, kalau ingin membangun kemesraan, kita bisa belajar dari satu ayat di
dalam Al-Quran yang memberi sebuah pemaknaan bagaimana kita menjalin hubungan
dalam suami dan istri.

Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 19 “maka pergaulilah mereka dengan al-
ma’ruf….”. Di sinilah kita mempelajari satu kalimat bahwa dalam suatu hubungan suami
istri, Allah SWT memakai bahasa al-ma’ruf, dimana ini memberi isyarat apa yang akan
kita bahas bagaimana makna al-ma’ruf. Sebab dalam keluarga, ada beberapa catatan
khusus mengenai pola komunikasi yang Allah abadikan dalam Al-Quran.

Jika orangtua kepada anak Allah memakai istilah qaulan sadida dalam surat An-Nisa ayat
9, seperti firman-Nya yang berbunyi

ُ‫عُلَ ْي ِه ْم‬ ِ ً‫ن خ َْل ِف ِه ُْم ذ ِريَّ ُة‬


َ ‫ضعفًا خَاف ْوا‬ ُْ ‫ش الَّ ِذيْنَُ َل ُْو تَ َرك ْوا ِم‬َُ ‫َو ْل َي ْخ‬
‫س ِد ْيدًا‬َ ‫ل‬ ُ ً ‫ّللاَ َو ْل َيق ْول ْوا قَ ْو‬
ُٰ ‫فَ ْل َيتَّقوا‬
Artinya : Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah,
dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.

Jadi, ketika bicara tentang pengasuhan orangtua dengan anak maka kalimatnya qulan
sadida. Sebaliknya ketika berbicara anak kepada orangtua, Allah mengatakan faqula
qaulan karima, maka katakanlah kepada mereka dengan qaulan karima.

Walaupun kalau di ayat yang lain berkaitan juga dengan al-ma’ruf juga dijelaskan di
dalam hubungan khusus bagi orangtua yang kafir atau orangtua yang melakukan maksiat
kepada Allah SWT maka dalam surat Luqman dijelaskan “pergaulilah dengan ma’ruf”.

Tapi khusus suami istri, kalau orangtua kepada anak dengan kalimat qaulan sadida dan
anak kepada oarangtua dengan qaulan karima, sementara suami dan istri dengan qaulan
ma’ruf atau bil ma’ruf. Dan ini suatu pembelajaran bagi kita bagaimana kita mencari
esensi dari kalimat ini.

Al-ma’ruf sendiri di dalam makna yang akan kita telusuri, akan memberikan sebuah
konsekuensi hubungan, dimana al-ma’ruf itu berasal dari kata al-‘urf yang bermakna adat
kebiasaan yang diterima oleh akal sehat manusia.

Artinya al-‘urf ini adalah suatu yang menjadi kebiasaan yang ada di masyarakat yang
sejatinya sesuatu yang dipahami oleh kita sebagai manusia. Dan tentu ‘urf disini adalah
‘urf yang baik atau yang shahih bukan ‘urf yang rusak.

Sehingga, ketika bicara al-ma’ruf, ada sebuah konsekuensi bukan sekedar urusan syariat
tetapi juga urusan yang terkait dengan kebiasaan atau tradisi yang ada di masyarakat.

Inilah yang disampaikan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arabiy-nya “ma’ruf adalah
isim jami’ bagi setiap hal yang dikenal, baik itu berupa keta’atan kepada Allah, bertaqarrub
kepada Allah, dan berbuat baik sesama manusia, dan juga termasuk setiap hal-hal baik
yang dianjurkan agama untuk melakukannya dan menjauhkan diri dari hal-hal buruk.
Ma’ruf merupakan suatu hal yang umum dikenal (ini kata kuncinya), artinya perkara
tersebut sudah lumrah dalam masyarakat, jika mereka lihat maka mereka tidak akan
mengingkari kebaikannya”.

Jadi, dalam konteks hubungan suami istri, inilah kita mendapatkan sebuah gambaran
bahwa bukan sekedar hukum halal dan haram yang menjadi pengikatnya tetapi juga
berkaitan dengan kebaikan yang dilihat sesama masyarakat. Sehingga, kalau berbicara
tentang al-ma’ruf maka kita berbicara tentang bagaimana hukum yang terkait di
masyarakat.

Dalam hal inilah mengapa kalau kita lihat banyak sekali masalah di dalam rumah tangga
yang biasanya karena hanya melihat aspek syariatnya saja. ”yang penting kan halal”, dia
lupa bahwa harus ada aspek kebiasaan yang mungkin berlaku di masyarakat tersebut
menjadi pengikatnya maka wajar kalau ada sedikit perbedaan konteks memahami
hubungan suami istri al-ma’ruf dalam konteks di arab, di barat, bahkan dengan di
Indonesia.

Satu contoh misalnya, seringkali terjadi perdebatan bagaimana hukumnya menyebut


atau menyandingkan nama suami di belakang nama istri. Kalau di dalam adat arab, ketika
ada nama suami di belakang nama istri, itu adalah sesuatu yang lumrah atau ma’ruf
meskipun tidak ada kata binti di tengahnya orang sudah memahami nama laki-laki di
belakang nama seorang wanita itu adalah ayahnya.

Fatimah Abu Bakar, orang memahami bahwa Fatimah binti Abu Bakar walaupun tidak
ada kata binti, mereka ma’ruf. Sehingga, kalau ada penyematan nama laki-laki di belakang
nama wanita akan memberikan dampak kenasaban yang membuat kalau seorang laki-
laki itu bukan suaminya atau bapaknya akan merujuk kepada hal yang haram. Itu kalau
di masyarakat arab.

Sementara di Indonesia ada kebiasaan menyematkan nama suami dan masyarakata kita
punya “urf yang berbeda, dan itulah yang membuat seringkali kita menghakimi. Padahal
sejatinya nama di belakang istri diharamkan kalau disematkan ada kata bintinya tetapi
kalau tidak ada binti, fungsi nama suami dalam hal ini bukan penasaban tetapi li ta’rif
atau memperkenalkan.

Contoh yang sederhana, ketika suatu hari Zainab, salah satu shohabiyah, istri dari
Abdullah bin Mas’ud, mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, mengetuk pintu
rumah Rasul dan bertanya menguncapkan salam “assalamu’alaik yaa Rasulullah”,
kemudian Rasulullah menjawab “wa’alikumusslam”. Kemudian Rasulullah bertanya “man
fi kharij?” (siapa di luar?), dijawab oleh Zainab “ana Zainab”.

Rasulullah bertanya “ayyu Zainab?” (Zainab yang mana? Zainab kan banyak), nah demi
supaya mudah dikenal maka Zainab langsung memperkenalkan dirinya dengan
menyebut Zainab Abdullah bin Mas’ud. Jadi, ketika Zainab menyebutkan Zainab Abdullah
bin Mas’ud, Rasulullah langsung paham kalau ini adalah Zainab istrinya Abdullah bin
Mas’ud, tidak ada binti tetapi langsung li ta’rif atau langsung dikenal. Maka inilah
mengapa hukum di dalam sebuah berkaitan dengan ‘urf di setiap adat berbeda.

Sehingga, mengapa di arab, misalnya menyebut nama seorang bapak mertua tidak perlu
pakai nama bapak, Rasulullah menyebut Abu Bakar cukup dengan nama. Jangan sekali-
kali praktikkan ini di Indonesia, kalau di Indonesia kita menyebut nama mertua dengan
nama langsung bisa jadi tidak akan dapat warisan kalau mereka wafat.

Atau misalnya, orang arab tidak pernah menyebut istrinya dengan panggilan ummi atau
abi karena itu adalah bentuk yang disebut zihar dan itu bagian dari kalimat talak. Karena
ummi dalam Bahasa arab maknanya ibuku, mengapa? Karena mereka biasa menyebut
dengan qunyah contoh Ummu Hasan, Ummu Fatimah, dan lain sebagainya, bukan ummi.

Tapi kalau di Indonesia ada ummi, abi, papa, mama, nah ini ‘urf-nya berbeda. Nah, ‘urf
yang berbeda itulah masyarakat sudah memakluminya dan itu hal-hal yang dibolehkan.
Sekali lagi, kata kunci dalam memahami relasi pasutri yang membuat suatu hubungan itu
menjadi mesra kalau didasari kepada al-ma’ruf.

Dan hubungan pasutri dalm konteks di dalam beberapa pemahaman para ulama, yang
termasuk Muhammad Ali Al Shabuni dalam Shafwah al Tafásir-nya menyebutkan salah
satu kata kuncinya pada gambar slide di atas.

Ada kalimat yang menarik disini “pergaulilah mereka sesuai dengan cara yang Allah
perintahkan berupa kata-kata thoyyib (baik), dan muamalah yang juga baik”. Jadi, disini
ada hal-hal yang berkaitan dengan thoyyib dan ihsan. Jadi, ke-thoyyib-an itu salah satunya
menjadi kata kunci bagaimana menjalin hubungan antara suami dan istri. Dan itulah
mengapa sebagian ulama ada yang menjadikan mengapa hubungan antara pasutri ini
diibaratkan seperti kita memilih makanan. Dalam masalah makanan, Allah berfirman
dalam surat Al-Baqarah ayat 168

َ ‫ل‬
‫ط ِيبًا‬ ُ ِ ‫يَٰٓاَيُّ َها النَّاسُ كل ْوا ِم َّما فِى ْالَ ْر‬
ُ ً ‫ض َحل‬
Artinya : Hai manusia, makanlah dari bumi dengan halal dan thoyyib….

Jadi ada 2 (dua) yaitu halal berkaitan dengan bagaimana pemenuhan dari sisi syariatnya
dan thoyyib berkaitan dengan sisi kesehatan kalau kita mau simpulkan. Jadi, apakah
sebuah makanan itu mempengaruhi diri kita yaitu halal dan thoyyib. Maka hubungan
pasutri mempengaruhi juga dari sisi halal dan thoyyib disini.

Halal dan thoyyib maknanya adalah bukan sekedar halalnya, tetapi thoyyib-nya itulah
yang membentuk perasaan, cinta, kedekatan. Sehingga, jangan sekedar memandang halal
tetapi tidak thoyyib. Sebab kalau kita hubungkan tadi dengan filosofi makanan,
perhatikanlah makanan yang halal tapi tidak thoyyib, jika sering dilakukan maka akan
terjadi efeknya adalah penyakit.

Sederhananya begini saja, contoh ada orang makan mie instan lalu intensitasnya sering,
pertanyaannya halal kah mie instan tersbeut? Kalau ada label MUI-nya halal, masalahnya
thoyyib kah? Ada yang bilang tidak thoyyib, apalagi kalau bertanya dengan dr. Zaidul
Akbar pasti menurutnya tidak thoyyib. Berarti apa yang terjadi kalau makan halal tapi
tidak thoyyib? Maka ujung-ujungnya adalah penyakit.

Nah, begitu juga dengan rumah tangga, halal saja tapi tidak thoyyib maka lama-lama akan
menjadi penyakit. Contohnya begini, suami WA dengan teman perempuannya isinya
sebenarnya tidak ada kemesraan dan hanya hal-hal yang biasa saja, mungkin teman kerja
di kantor, tetapi sering dan itu di malam hari sedang bersama istrinya. Kalau ditanya halal
kah? Iya halal, tetapi thoyyib kah? Tidak thoyyib, ini jadi penyakit. Apa lagi?

Kedua, istri punya harta, punya uang, dan harta istri dikelola oleh istri. Nah tetapi dia
kasih ke keluarganya tidak bicara dan memberi tahu suaminya. Kalau ditanya dari sisi
fiqih yang seperti ini halal kah? Halal. Thoyyib kah? Nah ini tidak thoyyib. Apa yang
terjadi? Suami merasa tidak dihargai dan ujung-ujungnya jadi penyakit.

Nah, maka dalam kata kunci mengapa Allah menyebut al-ma’ruf? Karena kita ingin
menghubungkan antara hubungan suami istri dengan kalimat yang indah yaitu halal dan
thoyyib. Jadi, pertimbangkanlah halalnya yaitu syariatnya mengatakan bagaimana, dan
yang kedua thoyyib yaitu apakah pasangan saya suka atau tidak. Itu saja pertanyaannya.

Itulah mengapa kaitan dengan mencukur jenggotnya saja Rasulullah sampai dari sisi
sunnahnya itu jelas Rasulullah jenggotnya dicukur, tetapi demi kerapihannya Rasulullah
memgambil tangannya Aisyah untuk memegang beberapa banyak yang boleh dicukur
tanpa harus habis dan tetap ada jenggotnya. Itu menunjukkan bahwa pelihara jenggot
saja sunnah tetapi jika membuat istri tidak nyaman karena berantakan malah tidak bagus
dalam relasi hubungannya. Sehingga, ada hal yang thoyyib adalah yang harus
diperhatikan.
Untuk lebih memahami tentang masalah al-ma’ruf ini, yang menjadi kata kunci hubungan
suami istri, maka kita perlu mendalami relasi pasutri dalam Al-Quran. Yang sejatinya
kami kumpulkan dari beberapa ayat yang terdiri dari 5 (lima) relasi.

Dimana dua relasi menunjukkan nanti adalah hubungan superior atau ketidaksetaraan,
dimana ada posisi yang ditinggikan, dan itu berkaitan dengan hukum Allah yang tidak
bisa kita gugat. Namun tiga ayat yang terkait dengan relasi yang berkaitan dengan
kesetaraan yang menunjukkan saling melengkapi dan saling membutuhkan.
Yang pertama adalah Allah menyebutkan relasi pasutri dalam surat An-Nisa ayat 34 yang
sering kita dengar

ُ‫على بَ ْعض‬
َ ‫ضه ُْم‬
َ ‫ّللا بَ ْع‬
ُٰ ‫ل‬ َّ َ‫س ۤا ُِء ِب َما ف‬
َُ ‫ض‬ َ ِ‫ا َ ِلر َجالُ قَ َّوام ْونَُ َعلَى الن‬
Artinya : Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)….

Secara singkat Allah menegaskan lelaki atau suami adalah qowwam bagi perempuan
disebabkan dia dilebihkan sejak lahir atas wanita fitrahnya. Yang kedua, dia memiliki
fungsi penafkahan kepada wanita.

Nah, makna qowwam disini kalau kita menghubungkan itu dalam beberapa Riwayat kami
kumpulkan dari tulisan beberapa para ahli, yang pertama qowwam maknanya qiwam bil
kasrah yaitu makanan yang membuat manusia tegak berdiri.

Ibaratnya seorang suami sebagai qowwam seperti makanan yang sebelumnya badan
lemas jika makan badannya menjadi sehat, menjadi tegak, menjadi bisa menjalankan
tugasnya. Sejatinya, ketika suami menjalankan peran sebagai qowwam maka yang terjadi
adalah dia mampu membuat istri yang sebelumnya lemas dan tidak bergairah menjadi
memiliki gairah.

Yang kedua, makna qowwam adalah dengan bil fathah, yaitu adil dan seimbang. Ini
memberi isyarat bahwa laki-laki sejatinya memiliki fungsi keadilan dan bisa menjalankan
peran di segala bidang.

Dia bisa menjadi seorang suami, sebagai seorang karyawan, sebagai seorang anak,
sebagai seorang ketua RT, juga sebagai seorang teman, atau sebagai ketua DKM masjid,
dan lain sebagaiinya. Dan itulah yang membuat laki-laki diberikan izin untuk bisa
menikah poligami karena sifat qowwam yang dimilikinya.

Selanjutnya juga dijelaskan oleh Abu Bakar Ar-Razi maknanya juga al-qoyyim atau
pemimpin, dimana dia memberikan fungsi sebagai penunjuk atau pengarah dalam hal
iini. Inti dari beberapa pendapat para ahli bahasa, dari definisi qowwam, disini lah laki-
laki memiliki tugas yang berat.

Dia dituntut untuk kuat, tangguh, dan survive, dalam kata lain bahwa dalam hubungan
suami istri agar terjalin kemesraan, jadilah pribadi yang qowwam yaitu yang kuat,
sebagaimana yang kita tahu bahwa rijal dalam bahasa arab jamak dari kata rojul yang
artinya berasal dari kata rijlun yaitu kaki.

Dihubungkannya laki-laki sebagai kaki sebab memang kaki itu fungsinya menopang.
Menopang dalam pengertian dia menjadi penopang badan sehingga tidak mudah roboh.
Disini lah mengapa laki-laki diamanahkan sebagai penopang atau bisa diandalkan,
khususnya wanita.

Dan hal ini dirangkum oleh Al-Muallif dalam Tafsir al-Manar dengan pendapatnya yang
menarik, minimal ada 7 (tujuh) fungsi dari qowwam itu yang dijalankan oleh laki-laki.
“Dari perkara tersebut yang umum dan dikenal, peran laki-laki atas perempuan yakni
melindungi, menjaga, memimpin, memberi kecukupan, mendidik, menata urusan mereka,
dan melakukan perbaikan kondisi mereka”. Inilah yang membuat bagaimana rumah
tangga bisa berjalan ketika laki-laki sungguh-sungguh menjalankan fungsi ke-qowwam-
annya ini, yaitu dia benar-benar kokoh dan teguh sebagai laki-laki yang sejati.

Selanjutnya, kita membahas bagaimana hubungan suami istri dalam surat Al-Baqarah
ayat 223, yang pertama yaitu kalau laki-laki sebagai qowwam berarti perempuan sebagai
yang dipimpin dan harus mengikuti arahan dari seorang suami. Dalam hal inilah
perempuan cenderung lebih pasif. Demikian juga dalam hal ini ketika Allah berfirman

ُ‫س ۤاؤك ُْم َح ْرثُ لَّك ُْم ُۚ فَأْت ْوا َح ْرثَك ُْم اَنٰى ِشئْت ُْم ُۚ َوقَدِم ْوا ِلَ ْنفسِك ْم‬ َ ِ‫ُۚ ن‬
َُ‫ِر ْالمؤْ ِم ِنيْن‬
ُِ ‫ّللاَ َوا ْعلَم َْٰٓوا اَنَّك ُْم ُّملق ْوهُ ُۚ َو َبش‬
ُٰ ‫َواتَّقوا‬
Artinya : Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja
dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan
sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.

Di sinilah peran suami sebagai petani sebagaiman istri sebagai tanah lading. Artinya apa?
Dalam hal ini peran suami lebih dominan untuk mampu membangun yang namanya hasil
yang baik dari ladang tersebut, dimana dia menjalankan fungsi sebagai petani.

Bagi para suami pahamilah petani itu intens dalam berkomunikasi, dalam pengertian
tidak ada hasil yang baik dari sebuah sawah atau ladang kalau petaninya melihat
sawahnya itu seminggu atau dua minggu sekali atau bahkan tiga pekan sekali, lalu sehabis
itu biasanya sawahnya sudah ditumbuhi rumput ilalang.

Itulah mengapa bukan jarak yang menjadi alasan untuk tidak berkomunikasi sementara
sekarang ada teknologi. Kalau ingin menjaga kemesraan maka suami inisiatif menjalin
komunkasi. Jika LDR-an dapat berinteraksi dengan menelepon pasangannya.

Kemudian juga belajar dari petani yaitu melnjaga dan melindungi, khuhusnya dari hama
yang ada di ladang sekitar. Hama-hama ini yang akan merusak bagaimana hasil dari
panen tersebut. Dalam konteksnya, seorang suami juga menjaga dari pengaruh buruk
lingkungan.

Itulah mengapa dalam mencari sebuah tempat tinggal, seorang suami harus memenuhi
kriteria jangan sampai punya tetangga yang buruk. Itulah yang dilakukan oleh Ibrahim
AS ketika meninggalkan istrinya, doanya dalam surat Ibrahim ayat 37

ُ‫ك ْالم َح َّر ِم‬َُ ‫ِي زَ ْرعُ ِع ْن ُدَ َب ْي ِت‬ ُْ ‫ْر ذ‬


ُِ ‫غي‬َ ُ‫ي ِب َواد‬ ُْ ِ‫ن ذ ِريَّت‬ ُْ ‫ي ا َ ْس َك ْنتُ ِم‬
َُْٰٓ ِ‫َربَّنَُا َٰٓ اِن‬
َُ‫ارز ْقه ُْم ِمن‬ ْ ‫ي اِلَ ْي ِه ُْم َو‬ ُ ِ َّ‫ل ا َ ْفـِٕدَُة ً ِمنَُ الن‬
َُْٰٓ ‫اس ت َ ْه ِو‬ ْ َ‫صلو ُة َ ف‬
ُْ ‫اج َع‬ َّ ‫َربَّنَا ِلي ِقيْموا ال‬
َُ‫ت لَ َعلَّه ُْم َي ْشكر ْون‬ ُِ ‫الث َّ َمر‬
Artinya : Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di
lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka
jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki
dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Inilah seorang suami, yaitu Ibrahim AS, yang Ia menjaga dan melindungi keluarganya dari
pengaruh buruk, dicarikan tempat tinggal yang baik. Itu juga yang harus dilakukan oleh
seorang suami untuk menjaga pengaruh buruk seorang istri dari teman-temannya atau
tetangganya yang buruk.

Berikutnya juga makna dari petani adalah sabar memetik panen. Ingat, bagi para laki-laki
wanita sejak awal menikah tidak ada yang mencintai 100% (seratus persen), biasanya
DP-nya terlebih dahulu mungkin 50% (lima puluh persen), dia akan menanti buahnya
dan hasilnya cinta yang tulus yaitu ketika sami sungguh-sungguh menjalankan fungsi
kesabaran, menunjukkan perhatian, memberikan kebutuhan dasar, sebagaimana kita
tahu kebutuhan dasar seorang wanita itu ada 5 (lima) dipahami, dihargai, dicintai, aman,
dan bernilai. Dan inilah mengapa wanita memang salah satunya ingin dimengerti sebagai
seorang wanita dan suami sangat intens dalam melakukan hal ini.
Nah, yang ketiga kita akan bahas bagaimana relasi pasutri di dalam Al-Quran, dan ini akan
membantu kita dalam memahami hubungan yang kita jalin untuk menjalin kemesraan
tersebut. Jika yang pertama dan yang kedua menunjukkan dominasi seorang suami yang
menunjukkan superioritasnya maka yang ketiga Allah menyebutkan relasi yang setara,
dimana Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 187

ُ‫ن ِلبَاسُ لَّك ُْم َوا َ ْنت ُْم ِلبَاسُ لَّه َّن‬
َُّ ‫ه‬
Artinya : Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.

Makna pakaian inilah yang menjadi kata kunci yang begitu luar biasa. Seorang suami dan
istri jika mendalaminya, maka mereka jangan sampai menjadi pakaian yang terkoyak.
Ingat, jika kita menjadi pakaian maka berarti kita menjadi pakaian yang terbaik buat
pasangan kita, yang membuat dia merasa nyaman dengan pakaian ini.

Dalam salah satu tulisannya Dr. Ali Syahwani, salah satu ulama di Mesir. menyebutkan
beberapa makna dari pakaian ini. Mulai dari As-Satr, yaitu menutup aurat salah satunya,
dan ini yang dimaksudkan adalah bagaimana kita tidak mudah mengumbar aurat atau
aib dari pasangan kita. Dan ini menunjukkan kita adalah pakaian yang terkoyak jika kita
melakukan hal buruk tersebut.

Tetapi, apakah boleh menceritakan aib jika ingin untuk memperbaiki? Boleh, bercerita
pada ustadz, bercerita pada konselor juga boleh. Sebagaimana kadang kita harus
membuka aurat di depan dokter yang berhak. Ini menunjukkan bahwa kita melakukan
ini dengan tepat.

Jangan sampai kita buka aurat sembarangan, seperti ketika kita menceritakan aib
pasangan kepada teman yang tidak mengerti ilmunya, berarti kita seperti membuka
aurat di depan tukang bengkel yang tidak mengerti cara mengobati pasangan, nah ini juga
seperti itu.

Kemudian kata beliau pakaian itu juga fungsinya melindungi, artinya dari cuaca panas
dan cuaca dingin maka seorang suami dan istri harus melalukan hal ini. Misalnya,
menutup aib pasangan juga harus memahami bagaimana melindungi supaya jika suami
merasakan kegelisahan karena mungkin di-PHK atau urusan yang lain maka salah
satunya ketika kegelisahan itulah kita memberikan kehangatan dengan memeluknya.
Karena memeluk juga salah satu teknik untuk memberikan ketenangan.

Dalam Al-Quran surat Az-Zumar ayat 23, Allah berfirman

ِ ٰ ‫ث َُّم ت َ ِليْنُ جل ْوده ُْم َوقل ْوبه ُْم اِلى ِذ ْك ُِر‬


ُ‫ّللا‬
Artinya : kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah

Disebutnya kulit pertama kali memberikan isyarat bahwa sebelum hati tenang, pintu
pertama adalah dengan sentuhan kulit. Sehingga, kalau ada perasaan kita yang gelisah,
mungkin dia resah, marah maka berikanlah sentuhan yang banyak. baik dia sebelum
tidur, atau saat sudah tidur, atau kebiasaan-kebiasaan yang di saat kita bersama dengan
dia.

Jadi, jangan menyepelekan seperti menggenggam tangannya, beradu pipi dengannya,


seperti yang dilakukan Bunda Aisyah kepada baginda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
misalnya, atau yang lain seperti mencubit hidungnya. Itu juga salah satu memberikan
ketenangan.

Nah, pakaian juga maknanya meningkatkan citra diri, yaitu efeknya merasakan
ketenangan dan kepantasan yang membuat sesorang kalau memakai pakaian ini dia
merasa berwibawa. Maka jadilah pakaian yang membuat pasangan kita menjadi
berwibawa, karena kita memanyaskan diri, kita membuat dia menjadi berharga dengan
kepintaran dan kecerdasan kita membuat pasangan kita dipuji.

“hebat yaa”, “ siapa dulu istrinya”, “siapa dulu suaminya”, dengan kita berdandan dan
berhias dengan tampilan yang elegan juga dapat memaksimalkan. Jadi, kalau kita
berpakaian juga jangan sampai sembarangan, ingat juga salah satu kebutuhan dari
pasangan kita.

Berikutnya, makna pakaian juga disesusaikan dengan waktu dan tempat, yang maknanya
adalah ada pakaian renang, ada pakaian di kantor, ada pakaian tidur, berarti kalau
sebagai pakaian bagi pasangan maka jangan sampai kita salah memilih lokasi dan tempat.
Kadang kita hanya flat atau datar saja, kita harus tahu kapan kita jadi pakaian renang bagi
pasangan kita, kapan jadi pakaian kantor baginya, artinya menyesuaikan kondisi.

Jangan mentang-mentang misalnya saya ustadz dan setiap istri cerita saya keluar ayat,
akan malas istri untuk bercerita. Karena ketika istri cerita, saya menanggalkan pakaian
ustadz saya dan jadilah pakaian kekasih. Sehingga, ketika istri cerita, saya harus
memahami.

Jangan sampai ketika istri cerita, misalnya karena profesi saya akuntan maka saya jadi
akuntan saat berhadapan dengan kondisi istri yang sedang cerita tersebut, istri cerita
“mas, kayaknya kita liburan nanti jalan-jalan ya?”, langsung kita bilang “de, pengeluaran
bulan kita jebol, kemungkinan aku butuh subsidi dari orangtuamu”, nah ini malah bikin
stress. Padahal kita harus tahu bahwa dia sedang memosisikan sebagai kekasih maka
jadilah kekasih. Ini yang harus kita pahami.

Jadi, kita harus memosisikan diri, dan seorang istri juga ketika seorang suami sedang
bermanja-manja seperti anak, makanya dia disebut bayi gede, dan itulah makna dari
pakaian dan mudah-mudahan bisa kita fungsikan.

Dalam Al-Quran juga suami istri disebutkan dalam surat ‘Abasa ayat 36 sebagai shohibah,

ُ‫اح َبتِهُ َو َبنِ ْي ِه‬


ِ ‫ص‬َ ‫َو‬
Artinya : dan dari istri dan anak-anaknya.

Yaitu shohibah maknanya adalah shohib atau sahabat, istri sebagai sahabat. Di sinilah kita
memahami bahwa bukan sekedar kita sebagai suami istri tetapi Allah sebutkan sebagai
shohibah.

Kalau kita belajar, misalnya mengapa Abu Bakar dan Umar disebut sebagai shohibah atau
sahabat, ini memberi sebuah pengertian bahwa mereka adalah saling mendukung dalam
urusan yang terkait dengan akhirat. Mereka mendukung, misalnya perjalanan dakwah
nabi dan setia kepadanya. Mengapa? Karena suami istri ini teman yang kita jadikan
partner untuk berlomba-lomba atau saling mendukung sampai ke surga.

Sehingga, yang namanya teman ini tentu kita sudah sama-sama pahami, kalau kita
memiliki kawan di dalam sebuah grup ada kebaikannya tentu kita merasa nyaman dan
tentu saja ada keburukannya.

Sehingga, kalau dia (pasangan) punya keburukan, di situlah peran kita untuk bersabar
karena tidak ada yang namanya teman yang sempurna. Dan tugas kita justru melengkapi
dan berusaha menyempurnakannya.

Intinya dari proses bagaimana kita sebagai sahabat ini kita mencoba untuk melalui suka
dan duka bersama-sama. Jangan mau senangnya saja, tapi kita juga harus siap menerima
ketika sulit.

Mengapa demikian? Karena memang esensi dari pernikahan itu adalah ibadah. Dan
ibadah itu 2 (dua) hal yang akan kita dapatkan, yaitu jika senang disyukuri, jika susah
disabari.

Ada kalanya zikir kita itu adalah pertama kali alhamdulillah, masyaAllah, di malam ketiga
berganti la haula walaa quwwata illa billah, astaghfirullah, innalillah dan semisalnya.
Tapi semua itu adalah zikir yang memberi tahu bahwa kita sedang berusaha untuk
memahami pasangan kita dalam usaha melangkah sampai ke surga.

Nah, yang terakhir dan ini salah satu yang menarik dan ini dibahas juga oleh DR. Yusuf
Qardhawi dalam kitab beliau, yaitu mengenai suami dan istri disebut sebagai fungsinya
saling menolong atau auliya, “wal mu’minuna wal mu’minati ba’duhum auliyau ba’dhin”
laki-laki mu’minin dan wanita mu’minat sebagian mereka penolong bagi sebagian yang
lain. Sehingga, kalau kita melihat ada hal-hal yang terkait dengan kekurangan pasangan
maka kita harus menjalankan fungsi sebagai partner yang menolongnya.

Contoh sederhana, saya selalu menghubungkan fungsi penolong ini ketika mendapatkan
pasangan yang mungkin melakukan hal-hal yang buruk dan merugikan kita. Sebagian
besar kita mungkin memosisikan diri selalu sebagai korban, yaitu ketika suami kasar,
suami memukul kita, memang ini zholim sekali. Tetapi ingat salah satu hadis mengatakan

ْ ‫ظا ِل ًما أ َ ُْو َم‬


‫ظلو ًما‬ َُ ‫ا ْنص ُْر أَخ‬
َ ‫َاك‬
Artinya : Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi. (H.R. Bukhari
Muslim)

Ternyata Rasulullah menganjurkan kita untuk menolong juga orang yang berbuat zholim.
Tentu makna berbuat zholim disini bukan berarti kita tolong dengan cara membenarkan
kezholimannya, tetapI maksud dari hadis ini adalah menghentikan kezholimannya.

Mengapa saya sampaikan ini? Agar setiap pasagan ketika mendapatkan kerugian dari
pasangannya, jangan memosisikan diri selalu menjadi korban. Kalau korban pasif
sehingga tidak ada perubahan.

Tetapi kalau kita memosisikan sebagai penolong, kita akan melihat sudut pandang yang
lain, contoh ternyata suami kita yang suka kasar adalah buah dari pola asuhnya di masa
kecil yang akhirnya membuat dia bertindak kasar karena tidak ada yang mengajarkan
kelembutan. Kemudian dia berkata buruk karena tidak ada yang mengajarkan kebaikan.

Jangan-jangan dia selama ini punya masalah tidak pernah disentuh dan tidak pernah
dipeluk. Maka ketika kita sudah membereskan hal ini, kita kembali menarik nafas dan
berusaha untuk menolong. Pasangan saya ini zholim tapi kita berusaha mencari akar
penyebabnya. Inilah fungsi saling menolong.

Dalam konteks rumah tangga pun, kita mencoba memahami bahwa saling tolong
menolong adalah berbagi peran, tidak melulu harus bahwa istri yang memasak, istri yang
di dapur dan mengurus anak, tidak.

Bahwa suaminya pun bersama untuk bisa kadang-kadang kalau istrinya lelah, dia bisa
membantu dalam hal ini mengambil alih mengurus anak, kemudian membiarkan istrinya
memggunakan waktu istirahat, menggunakan waktu me time-nya agar dia tidak emosi
dan sebagainya.

Intinya dalam konsep saling tolong-menolong ini, pahami kekuatan dan kekurangan
masing-masing, sehingga kita bisa menutupi kelemahannya. Kalau memang sama-sama
lemah di satu sisi antara suami dan istri, kita bisa bersama-sama berbicara dan berdiskusi
dengan konselor untuk membantu dalam hal ini. Wallahu’alam bis shawab.
Ayah dan bunda yang dimuliakan Allah SWT, sebagai penutup dari kuliah kita menjalin
mesra sampai surga, maka jangan pernah lupa di sela-sela kesempatan terutama di
waktu-waktu yang mustajab, entah di saat hujan turun, saat tengah malam, bahkan saat
sujud, janganlah pernha lupa untuk mendoakan diri dan keluarga kita.

Dalam hal ini mengharapkan agar Allah memberikan istri dan juga anak yang menjadi
penyejuk hati. Karena itulah doa ini adalah salah satu yang membuat Ibrahim AS
diberikan pertolongan meskipun jarang bertemu dengan istri dan anaknya. Namun
khususnya Ia mendapatkan istri-istri yang sholehah dan menjadi istri-istri yang penyejuk
matanya.

Mengapa? Karena Ia selalu menjaga hubungan dengan Allah dalam hal ini. Sehingga,
kemesaraan dengan pasangan berbanding lurus dengan kemesraan kita dengan Allah.

Semakin mesra dengan Allah, insyaAllah akan semakin membuat pasangan kita mesra.
Semakin jauh dari Allah dan semakin lalai ibadah kepada Allah akan membuat pasangan
kita juga hatinya diputus oleh Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat
63

َُ ‫ض َج ِم ْيعًا َّمُا َٰٓ اَلَّ ْف‬


َُ‫ت َبيْن‬ َ ْ ‫ت َما فِى‬
ُ ِ ‫ال ْر‬ َُ ‫ف َبيْنَُ قل ْو ِب ِه ُْم َل ْوا َ ْنفَ ْق‬ َُ َّ‫َواَل‬
ُ‫ف َب ْينَه ُْم اِنَّهُ َع ِزيْزُ َح ِكيْم‬ َُ َّ‫ّللا اَل‬َُٰ ‫ن‬ َُّ ‫قل ْو ِب ِه ُْم َول ِك‬
Artinya : dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman).
Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu
tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Maka itulah minta agar Allah menyatukan hati kita, khususnya di dunia dengan ikatan
yang kokoh dan di akhirat kita akan jadi pengantin yang bersama lagi di surga, dimana
kita akan mendapatkan hadiah yang luar biasa, yaitu nikmat tiada tara berkumpul
bersama dengan orang-orang yang kita cintai.

Semoga yang hadir dalam kuliah keluarga ini kita semua berharap kita menjadi orang-
orang yang beruntung kita memiliki pasangan yang bukan hanya jodoh di duni tetapi juga
jodoh di akhirat.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Anda mungkin juga menyukai