Anda di halaman 1dari 10

BAB V

TIPOLOGI SIKAP BERAGAMA MASYARAKAT


LINGKUNGAN GETAP KELURAHAN CAKRANEGARA
SELATAN BARU

5.1. Sikap Beragama

Sikap beragama masyarakat menjadi penting untuk dikaji

dalam kaitannya dengan penelitian ini karena sikap

keberagamaan tersebut menentukan bagaimana masyarakat

menyikapi perkawinan antar etnis yang berbeda agama baik itu

menimbulkan penerimaan maupun penolakan. Dalam penelitian

ini, sikap bergama yang dikaji terbatas pada agama yang dianut

oleh pelaku-pelaku pernikahan antar etnis dan agama yaitu agama

Hindu dan agama Islam.

Sikap keberagamaan masyarakat berasal dari ajaran-ajaran

agama yang dianutnya yang disertai dengan penafsiran-penafsiran

yang tidak bersifat tunggal sehingga menimbulkan sikap

keberagamaan yang berbeda-beda yang untuk keperluan ini

dikerangkakan sesuai dengan teori yang dipergunakan menjadi

tiga, yaitu: inklusif, ekslusif dan plural. Untuk membangun

pemahaman akan hal itu, perlu diperhatikan secara normatif

ajaran-ajaran agama Hindu dan Islam tentang sikap

keberagamaan.
Agama Hindu seringkali dipahami sebagai agama yang

inklusif atau bahkan plural. Hal ini bahkan dinyatakan secara

literal dalam ayat-ayat kitab suci Hindu seperti misalnya adagium

dalam Rg Weda ekam sat viprah bahuda wadanti atau seperti

sloka Bhagawad Gita 4:11 :

Ye yatha mam prapadyante


Tams tathai’va bhajamy aham
Mama vartma ‘nuvartante
Manusyah Partha Sarvasah

Artinya :

Apa pun jalan yang ditempuh manusia untuk mendekati-


Ku, Aku akan menerimanya. Manusia dari segala penjuru
mengikuti jalan-Ku, oh Partha (Radhakrishnan, 2009:189).

Dalam penelitian ini inklusivisme berarti sikap umat Hindu

dan Islam di Cakranegara dalam memandang perbedaan-

perbedaan yang ada pada diri mereka sebagai sesuatu yang

masing-masing diyakini kebenarannya sehingga timbul sifat

toleransi dan integrasi diantara mereka. Namun demikian, sikap

beragama yang cenderung ekslusif juga muncul dari penasiran-

penafsiran tertentu terhadap ajaran Hindu. Gejala-gejala

ekslusifisme dalam Hinduisme dapat dilihat seperti fenomena-

fenomena pemurnian agama Hindu yang terjadi di India seperti

gerakan Arya Samaj maupun Brahma Samaj yang sedikit banyak

pemikirannya juga sampai ke Hindu di Indonesia.

Terdapat banyak perbedaan dalam penafsiran terhadap

sikap beragama bagi umat Islam. Sebagian mau menerima sikap

38
keberagamaan yang inklusif dan plural, sedangkan sebagian lagi

menentang sifat keberagamaan tersebut bahkan memandang

pluralisme sebagai sesuatu yang diharamkan karena dapat

merusak aqidah Islam. Sikap ekslusif ini bahkan cenderung untuk

mengemuka dalam trend beragama umat Islam Indonesia saat ini

yang cenderung dapat dilihat sedikit banyak dipengaruhi oleh

faktor politik baik global, regional maupun nasional.

5.2. Tipologi Inklusif

Pemahaman agama Hindu secara inklusif ini dapat

ditemukan hampir merata pada masyarakat Hindu di lokasi

penelitian seperti dalam petikan wawancara berikut ini:

“Tuhan itu kan sebenarnya hanya satu, tunggal. Kita


manusia saja yang menyebutnya dengan banyak nama.
Berbaktinya juga dengan banyak cara. Lain-lain. Tapi
sebenarnya tujuannya satu.”(Wawancara dengan Gusti
Lanang Asra, 3 Juni 2017)

Seperti diketahui bahwa keyakinan dan praktek keagamaan

dalam Hindu sangat bervariasi bahkan terkadang bertentangan

satu sama lainnya sehingga Hindu sering diibaratkan sebagai

hutan belantara filsafat dan ritual yang membingungkan bagi

penganut agama lain yang terbiasa dengan filsafat dan ritual

agama mereka yang cenderung bersifat monolitik.

Berkaitan dengan perkawinan antar etnis, informan

menanggapi hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak bertentangan

39
dengan esensi agama Hindu seperti dalam petikan wawancara

berikut:

“Ya kan pada dasarnya sama saja, (orang yang pindah)


agama itu Cuma seperti orang ganti baju saja. Ganti cara,
ganti nama. Jadi tidak meninggalkan Tuhan.” (Wawancara
dengan I Wayan Dresta a.k.a Bencol, 7 Juni 2017)

Inklusivisme pada umat Islam di lokasi penelitian

cenderung lebih mengkedepankan alasan-alasan sosio-historis

yang dilandaskan pada ajaran-ajaran agama yang memang dapat

ditafsirkan sebagai bentuk inklusififtas umat Islam seperti

misalnya ungkapan la kum dinukum wal yadiin yang berarti

“untukku agamaku dan untukmu agamaku” yang sangat sering

dilontarkan oleh informan-informan dalam penelitian ini sebagai

dasar dari sikap inklusif mereka.

“Kita kan Islam, orang Sasak dan orang Bali yang Hindu
dari dulu sudah hidup berdampingan dari dulu. Saling
menghormati. Saling menghargai. Agama kita kan sama
dengan agama mereka, sama-sama nyembah Tuhan. Jadi
tidak ada masalah.” (Wawancara dengan Amaq Sahka,
tanggal 5 Juni 2017)

Sudut pandang sosio-hostoris ditunjukkan dengan adanya

bukti-bukti kesejarahan yang menunjukkan perilaku inklusif

masing-masing pemeluk agama seperti adanya budaya saling

kunjung mengunjungi bila ada kematian antar warga walaupun

berbeda agama yang di lokasi lain di sekitar lokasi penelitian

mulai memudar karena adanya paradigma keberagamaan yang

lebih eksklusif akhir-akhir ini. Beberapa informan yang beragama

40
Islam menyayangkan berkembangnya paradigma keberagamaan

ini dan mengatakan bahwa hal-hal tersebut terjadi karena generasi

muda tidak mengetahui sejarah hubungan orang Bali dan Orang

Sasak.

“Contohnya di Karang Taliwang (kampung Islam), itu salah


kalau bermusuhan dengan Tohpati, karena tidak tahu
sejarahnya. Orang-orang muda sekarang sudah tidak tahu.
Dulu itu tanahnya Anak Agung (Raja Bali di Lombok)
terus dia (nenek moyang orang Kr. Taliwang) sering mikat
burung kolo (perkutut) di tanah itu. Makanya disuruh dia
sama Anak Agung, tinggal sudah di sana. Terus dia buat
repoq (gubug) di tanah itu. Nah, waktu Anak Agung
meninggal dikasih lah dia tanah itu. Untuk kamu sama
keturunan kamu. Jadi dia beranak beranak jadi kampung.
Sampai sekarang.”(Wawancara dengan Lalu Nujum, 21
Juni 2017)

Tentang pernikahan antar etnis yang berbeda agama

pendapat informan dari suku Sasak beragama Islam tidak jauh

berbeda secara esensi dengan keterangan dari informan dari Suku

Bali yang beragama Hindu seperti petikan wawancara berikut:

“Itu dah susah kalau sudah namanya saling jatuh cinta. Kita
disini kan bergaul bebas sama orang lain suku agama, jadi
tidak bisa dicegah itu terjadi. Namanya jodoh, memang
begitu. Jadi kadang-kadang dia ikut agama kita, kadang-
kadang dari kita yang ikut (Hindu). Sebenarnya kan
namanya agama dia sama-sama baik, agama apa pun.”
(Wawancara dengan Rus, 4 Juli 2017).

5.3. Tipologi Ekslusif

Pendapat tentang sikap keberagamaan ini sangat beragam

pada informan yang diwawancarai pada penelitian ini. Sebagai

contoh, dapat dilihat dari petikan wawancara berikut:

41
“Menurut saya, kebenaran itu mutlak hanya bisa didapat
dari Islam saja. (Ajaran) dalam agama lain bisa saja
keliatan baik di dunia, tapi Islam itu selamat dunia wal
akherat” (Wawancara dengan informan Mansur, 12 Maret
2017)

Pandangan informan di atas mencerminkan sikap

keberagamaan yang eksklusif yang tidak mau mengakui

kebenaran dalam agama lain dan kebenaran satu-satunya hanya

bisa didapat dari ajaran agama yang dianutnya. Pandangan

keberagamaan seperti ini biasanya berlanjut dalam perilaku sosial

masyarakat di lokasi penelitian dimana orang-orang yang

memiliki sikap keberagamaan eksklusif cenderung membatasi

pergaulan dengan masyarakat yang beragama lain dan sangat

menentang perkawinan antar agama kecuali dengan satu syarat,

calon pengantin yang tidak beragama Islam harus masuk agama

Islam. Mereka lebih mementingkan tindakan pencegahan agar

interaksi semacam perkawinan antar agama tersebut tidak terjadi

dengan melakukan tindakan yang keras dan tegas di awal-awal

fase pergaulan anak muda seperti misalnya melarang anak-

anaknya bergaul terlau dekat, menjadi sahabat, apalagi

berpacaran dengan orang non muslim. Peneliti menengarai bahwa

masyarakat yang cenderung bersifat ekslusif ini adalah

masyarakat kelompok umur yang lebih muda dan memiliki

pengalaman bekerja atau belajar di luar daerah atau luar negeri.

42
Tanggapan informan dengan tipologi ekslusif terhadap

pernikahan antar etnis-antar agama dapat kita lihat seperti petikan

wawancara berikut ini:

“Tidak bisa begitu. Kalau dia ikut agama lain berarti keluar,
itu yang disebut murtad. Dia keluar dari Islam, neraka dia.
Kalau yang perempuan tidak ikut yang laki (masuk Islam)
tidak bisa karena dia (lelaki) itu imam, harus diturut sama
istrinya. Kalau dia laki-laki tidak mau (ikut Islam),
makanya tidak bisa dia jadi imam istrinya. Jadi tidak sah
juga karena tidak boleh menurut agama Islam (perempuan
muslim menikah dengan laki-laki non muslim) .”
(Wawancara dengan Mansur, 12 Maret 2017)”

Dengan demikian, tipologi eksklusif menuntut bahwa

pernikahan mutlak dilakukan dalam agama Islam. Agama laki-

laki atau perempuan Muslim harus dipertahankan, sedangkan

pasangannya harus bersedia mengikuti agama Islam karena tidak

ada keselamatan di luar Islam. Selain itu, tipologi eksklusif

menganggap bahwa keberagamaan seseorang tidak semata

merupakan tanggungjawab pribadi namun juga tanggung jawab

sosial sehingga pasangan yang berbeda agama wajib untuk

diingatkan agar tidak tergoda untuk berpindah agama.

Jumlah penduduk di lokasi penelitian yang memiliki

tipologi eksklusif tidaklah banyak dan rata-rata adalah penduduk

pendatang atau orang lokal yang sudah pernah mendapat

pengalaman tinggal atau belajar di luar daerah. Mereka merasa

pemahaman Islam di tempat tinggalnya masih perlu perbaikan

dan itu menurut mereka termasuk sikap toleran terhadap

43
pernikahan beda agama. Menurut observasi peneliti, karena

kalangan ini masih minoritas dan masih tergolong berusia muda,

maka usaha perubahan ke arah pemahaman agama seperti mereka

tidak dapat dilakukan secara cepat dan masif, namun masukan-

masukan mereka sebagai bahan pertimbangan tidak serta merta

juga ditolak oleh masyarakat. Hal demikian berarti bahwa sikap

dalam menanggapi perkawinan beda agama mulai juga

mempertimbangkan hal-hal yang bersifat ekslusif yaitu

mempertahankan agama yang dianut.

5.4. Tipologi Plural

Menerima keberbedaan dalam beragama sebenarnya sudah

dilakukan secara merata sejak jaman dahulu oleh masyarakat

Hindu dan Islam dari Suku Bali dan Sasak di Pulau Lombok

terutama di bagian Barat. Hal ini dapat ditemui dengan adanya

lokasi persembahyangan yang digunakan bersama oleh umat

Islam, dalam hal ini Wetu telu, dengan umat Hindu Bali seperti di

Pura Lingsar, Perbersihan Suranadi dan beberapa lokasi lain.

Walaupun tempat persembahyangannya berada di lokasi yang

sama, pemahaman mereka tentang yang disembah adalah berbeda

tapi tetap menjaga rasa toleransi dan saling menghormati.

“ Menurut orang Bali, Hindu yang benar. Menurut orang


Sasak Islam yang benar. Tapi tidak perlu diperdebatkan,
itu kan kepercayaan orang. Tinggal saling menghormati
saja supaya sama-sama enak hidupnya. Karena ini kan

44
menyangkut keoercayaan, kepercayaan tidak bisa
dipaksakan. Tidak Boleh. Kepercayaan itu semua baik,
memaksakan kepercayaan itulah yang tidak
baik”(Wawancara dengan I Made Wijaya, tanggal 12 Juni
2017)
Penerimaan masyarakat dengan tipologi keberagamaan

yang plural terhadap pernikahan beda agama dapat dilihat dari

petikan wawancara sebagai berikut:

“Itu kan berdasar persetujuan masing-masing pasangan


yang menikah beda agama. Apa salah satu ikut yang lain,
atau tetap masing-masing dengan agamanya. Tidak tahu
caranya di administrasi (pernikahan) karena harus sama
agamanya. Tapi itu kan urusan masing-
masing.”(Wawancara dengan Arsya Sega, 6 Juli 2017)

5.5. Tipologi Keberagamaan yang Dominan di Lingkungan


Getap
Dalam penelitian ini, dari wawancara dan observasi yang

dilakukan di lokasi penelitian didapati bahwa tipologi

keberagamaan yang inklusif adalah tipologi yang dominan

sehingga pernikahan antar etnis berbeda agama dapat diterima

oleh masyarakat. Tipologi ini berasal dari keyakinan kuat

masyarakat terhadap tradisi dan penghormatan terhadap pesan-

pesan dari pendahulum mereka untuk selalu mejaga kerukunan

antar etnis dan antar umat beragama di dalam limgkungan yang

menjadi tempat tinggal bersama.

Perkembangan tipologi-tipologi yang lain, walaupun

demikian, tidak dapat diabaikan sebagai faktor yang dapat

45
merubah pola dalam sistem tersebut. Penguatan tipologi ekslusif

terutama semakin dapat dirasakan dalam hal-hal yang

bersangkutan dengan unsur agama dan keberagamaan dalam

masyarakat. Penguatan ini cenderung pada awalnya bersifat

intern umat beragama namun pada saatnya akan memberikan

pengaruh pada pola hubungan antar komponen dalam masyarakat

yang tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan tuntutan

perubahan sebagai sebuah bentuk dari fungsi adaptasi yang

dijalankan oleh sistem. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa

pernikahan antar etnis berbeda agama bila disikapi secara ekslusif

tidak akan dapat diterima karena secara normatif bertentangan

dengan ajaran agama yang dianut oleh masyarakat dan juga

alasan pasal undang-undang perkawinan yang hanya menerima

perkawinan dalam satu agama akan mengemuka sebagai alasan

penolakan. Belum lagi bila dipertimbangkan faktor eksternal

dimana penerimaan terhadap pernikahan antar etnis berbeda

agama bukanlah suatu hal yang dapat diterima secara umum di

wilayah yang lebih besar sehingga menimbulkan keunikan

terhadap sistem di Lingkungan Getap. Semua hal tersebut tentu

akan tergantung dari penerimaan masyarakat Lingkungan Getap

itu sendiri terhadap keunikan yang dimilikinya.

46

Anda mungkin juga menyukai