Anda di halaman 1dari 75

WAKTU TUNGGU RESEP KRONIS DI

FARMASI RAWAT JALAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MAJALAYA

MEGA YANTI SITANGGANG


B 221 036

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
BANDUNG
2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kesehatan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap manusia.

Meningkatnya pengetahuan masyarakat dan taraf hidup masyarakat menjadikan kesadaran

masyarakat terhadap pentingnya kualitas kesehatan juga terus meningkat. Hal ini

menyebabkan kebutuhan masyarakat akan sarana pelayanan kesehatan juga semakin

meningkat. Salah satu dari sarana pelayanan kesehatan yang menjadi rujukan masyarakat

adalah rumah sakit. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 72

tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa

rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat

jalan, dan gawat darurat. Karena itu, rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan

yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh

lapisan masyarakat, dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan rumah

sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan

kesehatan (Kemenkes, 2016).

Waktu tunggu pelayanan merupakan masalah yang masih banyak dijumpai dalam

pelayanan kesehatan, dan salah satu komponen yang potensial menyebabkan

ketidakpuasan, dimana dengan menunggu dalam waktu yang lama menyebabkan

ketidakpuasan terhadap pasien (Heru, 2017). Waktu tunggu menjadi salah satu standar

minimal pelayanan farmasi di rumah sakit. Waktu tunggu pelayanan resep adalah

tenggang waktu mulai dari pasien menyerahkan resep sampai pasien menerima obat dari

petugas farmasi.

2
Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya merupakan salah satu rumah sakit milik

pemerintah yang berada di wilayah Majalaya. Pelayanan kefarmasian di RSUD Majalaya

mempunyai tenaga sebanyak 31 orang tenaga teknis kefarmasin dan 25 orang apoteker,

dimana resep yang masuk per hari mencapai ratusan lembar di farmasi rawat jalan baik

farmasi rawat jalan lantai 1 dan farmasi rawat jalan lantai 2.

2. Rumusan Masalah

Berapa rata-rata waktu tunggu pelayanan resep kronis rawat jalan di Instalasi

Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya

3. Tujuan Penelitian

Untuk mendapatkan data waktu tunggu pelayanan resep kronis bagi pasien rawat

jalan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Rumah Sakit

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan


pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Kemenkes, 2016). Rumah sakit mempunyai
peranan yang penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Di
Indonesia rumah sakit merupakan rujukan pelayanan kesehatan untuk puskesmas
terutama upaya penyembuhan dan pemulihan.
Pasal 4 Undang Undang No 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit menjelaskan
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah
Sakit mempunyai fungsi:
a) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
c) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan,
dan
d) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan
2. Jenis Jenis Rumah Sakit

Jenis-jenis Rumah Sakit di Indonesia secara umum ada lima, yaitu Rumah Sakit
Umum, Rumah Sakit Khusus atau Spesialis, Rumah Sakit Pendidikan dan Penelitian,
Rumah Sakit Lembaga atau Perusahaan, dan Klinik (Haliman, 2012). Berikut
penjelasan dari lima jenis Rumah Sakit tersebut :
a. Rumah Sakit Umum

Rumah Sakit Umum, biasanya Rumah Sakit Umum melayani segala


jenis penyakit umum, memiliki institusi perawatan darurat yang siaga 24

4
jam (Ruang gawat darurat). Untuk mengatasi bahaya dalam waktu
secepat-cepatnya dan memberikan pertolongan pertama. Di dalamnya
juga terdapat layanan rawat inap dan perawatan intensif, fasilitas bedah,
ruang bersalin, laboratorium, dan sarana-prasarana lain.
b. Rumah Sakit Khusus atau Spesialis

Rumah Sakit Khusus atau Spesialis dari namanya sudah tergambar


bahwa Rumah Sakit Khusus atau Rumah Sakit Spesialis hanya melakukan
perawatan kesehatan untuk bidang-bidang tertentu, misalnya, Rumah
Sakit untuk trauma (trauma center), Rumah Sakit untuk Ibu dan Anak,
Rumah Sakit Manula, Rumah Sakit Kanker, Rumah Sakit Jantung,
Rumah Sakit Gigi dan Mulut, Rumah Sakit Mata, Rumah Sakit Jiwa.
c. Rumah Sakit Bersalin, dan lain-lain;

Rumah Sakit Pendidikan dan Penelitian, Rumah Sakit ini berupa


Rumah Sakit Umum yang terkait dengan kegiatan pendidikan dan
penelitian di Fakultas Kedokteran pada suatu Universitas atau Lembaga
Pendidikan Tinggi.
d. Rumah Sakit Lembaga atau Perusahaan

Rumah sakit ini adalah Rumah Sakit yang didirikan oleh suatu
lembaga atau perusahaan untuk melayani pasien-pasien yang merupakan
anggota lembaga tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 12 Permenkes No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi
dan Perizinan Rumah sakit:
1. Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas)
spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis
lain dan 2 (dua) subspesialis dasar.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik.

5
4. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis
dasar.
3. Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Instalasi Farmasi Rumah Sakit secara umum dapat diartikan sebagai suatu
departemen atau unit atau bagian dari suatu rumah sakit dibawah pimpinan seorang
apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan
perundang-undangan yang berlaku dan bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri dari pelayanan paripurna mencakup perencanaan,
pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan atau sediaan farmasi,
dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita saat tinggal maupun rawat jalan,
pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan
kesehatan di rumah sakit. Rawat Jalan adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien
yang masuk rumah sakit untuk keperluan observasi, diagnosa, pengobatan, rehabilitasi
medis dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal di ruang inap.
Instalasi rawat jalan bukanlah suatu unit pelayanan rumah sakit yang dapat
bekerja sendiri, melainkan juga mempunyai kaitan dengan sangat erat dengan instalasi
lain di rumah sakit agar dapat memberikan pelayanan kepada pasien dengan baik.
Instalasi atau bagian lain yang mempunyai kaitan erat dengan rawat jalan, antara lain
unit rekam medik, staf medis fungsional, laboratorium, pemeliharaan sarana rumah
sakit, radiologi, logistik, dan keuangan. Agar dapat memberikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada pasien maka dalam melakukan kegiatan pelayanan, unit atau bagian
tersebut harus berkoordinasi dengan baik. Pelayanan rawat jalan adalah pelayanan
pertama dan merupakan pintu gerbang rumah sakit, serta merupakan satu-satunya
bagian dari pelayanan medik yang memberikan kesan pertama bagi pasien sebagai
konsumen (Bustani dkk, 2015).
Menurut surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, terdapat 21
jenis pelayanan rumah sakit yang minimal wajib disediakan oleh rumah sakit, salah
satunya adalah pelayanan farmasi yang meliputi:
1. Waktu Tunggu Pelayanan (obat non racikan dan obat racikan)
2. Tidak adanya kejadian kesalahan pemberian obat
3. Kepuasan pelanggan

6
4. Penulisan resep sesuai formularium
4. Waktu tunggu

Waktu tunggu pelayanan resep merupakan salah satu indikator mutu yang menilai
setiap jenis pelayanan yang diberikan. Waktu tunggu pelayanan resep adalahwaktu tunggu
dihitung mulai pasien membawa resep diserahkan kepada petugas farmasi untuk disiapkan
sampai obat diterima oleh pasien yang disertai pembekalan komunikasi, informasi, dan
edukasi. Waktu tunggu pelayanan resep obat jadi adalah tenggang waktu mulai pasien
menyerahkan resep sampai dengan menerima obat jadi dengan standar waktu yang
ditetapkan yaitu ≤30 menit. Sedangkan, waktu tunggu pelayanan resep obat racikan
adalah tenggang waktu mulai pasien menyerahkan resep sampai dengan menerima obat
racikan dengan standar waktu yang ditetapkan yaitu ≤60 menit.

Ketatnya kompetisi jasa rumah sakit serta banyaknya tuntutan masyarakat akan
pelayanan yang cepat dan bermutu memaksa rumah sakit untuk meningkatkan kualitas
pelayanannya. Waktu tunggu merupakan salah satu komponen yang menyebabkan
ketidakpuasan pasien, yang berdampak pada loyalitas pasien. Waktu tunggu pelayanan
resep adalah tenggang waktu mulai dari pasien menyerahkan resep kepada petugas
farmasi sampai menerima obat dari petugas farmasi. Pelayanan farmasi merupakan
revenue center bagi rumah sakit, sehingga pendapatan rumah sakit dapat ditingkatkan
melalui banyaknya resep yang terlayani mengingat lebih dari 90% pelayanan kesehatan
menggunakan perbekalan farmasi dan 50% pemasukan rumah sakit berasal dari
perbekalanfarmasi (Suryoputro, dkk. 2016).
Menurut penelitian yang dilakukan Widiasari (Wai. 2018), waktu tunggu pelayanan resep
terdiri dari berbagai tahap yaitu:
1. Tahap penghargaan, tahap pembayaran, dan penomoran memakan waktu lebih
dari satu menit karena komputer yang menghargai lambat dalam merespon
disebabkan karena memory server tidak cukup menampung data yang ada.
2. Tahap resep masuk dan tahap pemgecekan dan penyerahan obat memerlukan
waktu lenih dari dua menit, karena tidak ada petugas yang mengambil resep
pada tahap resep masuk dan pada tahap pengecekan, dan penyerahan obat
tidak ada petugas yang mengecek dan menyerahkan obat sebab petugas sudah
sibuk dengan tahap yang lain terlebih pada saat jam-jam puncak dimana
terjadi penumpukan resep.
3. Tahap pengambilan obat paten, tahap pembuatan obat racikan dan tahap etiket

7
dan kemas membutuhkan waktu agak lama jika dibandingkan dengan tahap
yang lainnya karena dibutuhkan waktu untuk mencari dan mengambil obat
paten sedangkan untuk obat racikan diperlukan waktu menghitung,
menimbang dan mengambil obat sesuai dengan dosis yang diperbolehkan,
serta etiket dan kemas membutuhkan ketelitian, khusunya pada obat racikan
agar tepat dosisnya pada setiap kemasan.
Sedangkan, penyebab lamanya waktu pelayanan resep pasien umum menurut Ayuningtyas
(Yulianthy. 2012) dalam penelitiannya yaitu:
a. Adanya komponen delay yang menyebabkan proses menjadi lebih lama.
Delay disebabkan Antara lain karena petugas belum mengerjakan resep karena
mengerjakan kegiatan lain atau mengerjakan resep sebelumnya. Hal ini terlihat
dari hasil penelitiannya, dimana total waktu komponen delay lebih besar dari total
waktu komponen tindakan baik pada resep non racikan maupun resep racikan.
Komponen delay lebih besar daripada komponen tindakan menandakan proses
pelayanan resep kurang efektif.
b. Obat sering kosong sehingga membutuhkan waktu untuk mengambil obat tersebut
di gudang.
c. Program komputer yang belum sempurna, yang mengakibatkan beberapa
pekerjaan dikerjakan secara manual.

8
BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di RSUD Majalaya pada bagian instalasi farmasi rawat jalan
lantai 1 dan lantai 2. Pengumpulan data di lakukan secara acak dari tanggal 2 - 14 februari
2023. Dalam menentukan jumlah sampel penelitian menggunakan Tabel Krejcie dan Morgan
dimana dari 150 populasi di ambil sebanyak 108 sampel. Metode penelitian yang digunakan
yaitu dengan melalui pengamatan langsung dan pencatatan waktu tunggu pelayanan resep.

Untuk mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi waktu tunggu pelayanan resep
dilakukan melalui metode wawancara dengan apoteker penanggung jawab di depo farmasi
rawat jalan RSUD Majalaya mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi waktu
tunggu pelayanan resep, serta permasalahan apa yang sering terjadi saat pelayanan resep
sehingga dapat mempengaruhi waktu pelayanan resep kronis. Dalam penelitian ini alat
pengumpulan data yang digunakan adalah jam digital untuk mengetahui waktu tunggu
pelayanan resep kronis.

9
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Instalasi farmasi merupakan salah satu bagian penting dari rumah sakit. Instalasi rumah
sakit memiliki tugas utama dalam pengelolaan obat dan BMHP serta pelayanan farmasi
klinis. Salah satu indikator pelayanan dalam bidang farmasi yang tertuang dalam Standar
Pelayanan Minimal (SPM) rumah sakit adalah waktu tunggu (Permenkes No. 129 Tahun
2008). Waktu tunggu pelayanan resep merupakan tenggang waktu mulai pasien menyerahkan
resep kepada petugas farmasi hingga penyerahkan obat kepada pasien. Seperti yang tertuang
pada SPM rumah sakit, standar waktu tunggu pelayanan resep obat jadi (non racikan) adalah
≤30 menit dan waktu tunggu obat racikan adalah ≤60 menit. Alur pelayanan resep di RSUD
Majalaya sudah diatur dalam SOP pelayanan resep rawat jalan terutama resep kronis yang
dijamin BPJS dimulai dari penerimaan resep, pemberian nomor antrian, skrining resep,
penginputan resep, penginputan resep kronis, penyiapan obat, pemberian etiket. Kemudian,
sebelum obat diserahkan, petugas farmasi memeriksa kembali obat dalam resep yang telah
disiapkan. Dari 150 polulasi resep kronis di dapatkan 108 data sebagai berikut ;

NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI


1. 10:03 0:44 10:47 0:16 11:03 0:09 11:12 1:09
2 10:05 0:42 10:47 0:16 11:03 0:11 11:14 1:09
3 11:02 0:12 11:14 0:12 11:26 0:03 11:29 0:27
4 11:03 0:15 11:18 0:01 11:19 0:06 11:25 0:22
5 11:05 0:15 11:20 0:19 11:39 0:06 11:45 0:40
6 11:57 0:33 12:30 0:19 12:49 0:06 12:55 0:58
7 12:01 0:39 12:40 0:10 12:50 0:05 12:55 0:54
8 13:29 0:38 14:07 0:06 14:13 0:07 14:20 0:51
9 13:30 0:39 14:09 0:05 14:14 0:08 14:22 0:52
RATA
RATA 0:49
Tabel 1, Kamis 02 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 1

NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI


1 9:47 0:28 10:15 0:21 10:36 0:09 10:45 0:58
2 9:54 0:13 10:07 0:30 10:37 0:10 10:47 0:53
3 10:02 0:17 10:19 0:19 10:38 0:10 10:48 0:46
4 10:03 0:19 10:22 0:17 10:39 0:12 10:51 0:48
5 10:05 0:19 10:24 0:15 10:39 0:14 10:53 0:48
6 12:24 0:19 12:43 0:39 13:03 0:09 13:12 0:48
7 12:26 0:19 12:45 0:38 13:04 0:10 13:14 0:48
8 12:28 0:19 12:47 0:36 13:04 0:12 13:16 0:48
9 12:28 0:06 12:34 0:38 13:06 0:14 13:20 0:52
10 12:29 0:08 12:37 0:38 13:07 0:15 13:22 0:53
RATA
RATA 0:50
Tabel 2, Jumat 03 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 1

10
NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI
1 10:08 0:04 10:12 0:08 10:16 0:06 10:22 0:14
2 10:27 0:05 10:32 0:08 10:35 0:02 10:37 0:10
3 10:29 0:04 10:33 0:07 10:36 0:03 10:39 0:10
RATA
RATA 0:11
Tabel 3, Sabtu 04 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 1

NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI


1 10:54 0:18 11:12 0:29 11:23 0:03 11:26 0:32
2 10:53 0:17 11:10 0:23 11:16 0:03 11:19 0:26
3 11:17 0:05 11:22 0:32 11:49 0:04 11:53 0:36
4 11:19 0:04 11:23 0:31 11:50 0:03 11:53 0:34
5 11:50 0:14 12:04 0:26 12:16 0:02 12:18 0:28
6 11:50 0:13 12:03 0:27 12:17 0:05 12:22 0:32
7 13:24 0:16 13:40 0:26 13:50 0:04 13:54 0:30
RATA
RATA 0:31
Tabel 4, Senin 06 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 2

NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI


1 9:47 0:28 10:15 0:21 10:36 0:09 10:45 0:58
2 10:53 0:17 11:10 0:23 11:16 0:03 11:19 0:26
3 11:50 0:13 12:03 0:27 12:17 0:05 12:22 0:32
4 12:51 0:30 13:21 0:07 13:28 0:04 13:32 0:41
5 12:53 0:29 13:22 0:06 13:28 0:05 13:33 0:40
RATA
RATA 0:39
Tabel 5, Selasa 07 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 2

NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI


1 9:50 0:10 10:00 0:02 10:02 0:03 10:05 0:15
2 9:53 0:08 10:01 0:03 10:04 0:02 10:06 0:13
3 9:53 0:12 10:05 0:02 10:07 0:02 10:09 0:16
4 9:57 0:16 10:13 0:07 10:20 0:02 10:22 0:25
5 9:59 0:16 10:15 0:05 10:20 0:04 10:24 0:25
6 10:08 0:08 10:16 0:04 10:20 0:06 10:26 0:18
7 10:14 0:23 10:37 0:03 10:40 0:02 10:42 0:28
8 10:16 0:24 10:40 0:02 10:42 0:07 10:49 0:33
9 10:18 0:23 10:41 0:02 10:43 0:07 10:50 0:32
10 10:22 0:21 10:43 0:02 10:45 0:08 10:53 0:31
11 11:25 0:38 12:03 0:18 12:21 0:06 12:27 1:02
12 11:27 0:37 12:04 0:19 12:23 0:05 12:28 1:01
13 11:30 0:34 12:04 0:19 12:23 0:07 12:30 1:00
14 11:31 0:34 12:05 0:19 12:24 0:06 12:30 0:59
15 11:33 0:33 12:06 0:18 12:24 0:07 12:31 0:58
RATA
RATA 0:35
Tabel 6, Rabu 08 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 2

11
NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI
1 10:58 0:15 11:13 0:09 11:22 0:03 11:25 0:27
2 10:59 0:15 11:14 0:08 11:22 0:04 11:26 0:27
3 11:01 0:14 11:15 0:09 11:24 0:04 11:28 0:27
4 11:02 0:14 11:16 0:08 11:24 0:05 11:29 0:27
5 11:09 0:22 11:31 0:11 11:42 0:08 11:50 0:41
6 11:12 0:21 11:33 0:10 11:43 0:08 11:51 0:39
7 11:14 0:20 11:34 0:10 11:44 0:08 11:52 0:38
8 11:15 0:21 11:36 0:11 11:47 0:06 11:53 0:38
9 11:16 0:22 11:38 0:09 11:47 0:06 11:53 0:37
10 11:55 0:17 12:12 0:06 12:18 0:06 12:24 0:29
11 11:58 0:15 12:13 0:05 12:18 0:06 12:24 0:26
12 12:00 0:13 12:13 0:06 12:19 0:06 12:25 0:25
13 12:01 0:13 12:14 0:05 12:19 0:07 12:26 0:25
14 12:50 0:31 13:21 0:07 13:28 0:02 13:30 0:40
15 12:51 0:30 13:21 0:07 13:28 0:04 13:32 0:41
16 12:53 0:29 13:22 0:06 13:28 0:05 13:33 0:40
17 12:54 0:28 13:22 0:06 13:28 0:05 13:33 0:39
RATA
RATA 0:33
Tabel 7, Kamis 09 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 2

NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI


1 8:50 0:32 9:22 0:04 9:26 0:04 9:30 0:40
2 8:52 0:33 9:25 0:05 9:30 0:08 9:38 0:46
3 8:55 0:37 9:32 0:03 9:35 0:05 9:40 0:45
4 8:57 0:36 9:33 0:02 9:35 0:05 9:40 0:43
5 8:59 0:36 9:35 0:02 9:37 0:04 9:41 0:42
6 9:06 0:30 9:36 0:03 9:39 0:03 9:42 0:36
7 9:10 0:28 9:38 0:02 9:40 0:08 9:48 0:38
8 9:13 0:27 9:40 0:05 9:45 0:07 9:52 0:39
9 9:16 0:26 9:42 0:03 9:45 0:08 9:53 0:37
10 9:18 0:25 9:43 0:02 9:45 0:10 9:55 0:37
11 9:43 0:20 10:03 0:16 10:19 0:07 10:26 0:43
12 9:47 0:17 10:04 0:15 10:19 0:08 10:27 0:40
13 9:49 0:16 10:05 0:14 10:19 0:12 10:31 0:42
14 9:51 0:15 10:06 0:15 10:21 0:09 10:30 0:39
15 9:52 0:15 10:07 0:14 10:21 0:14 10:35 0:43
16 9:54 0:14 10:08 0:14 10:22 0:13 10:35 0:41
17 10:39 0:26 11:05 0:27 11:32 0:05 11:37 0:58
18 10:44 0:22 11:06 0:26 11:32 0:07 11:39 0:55
19 10:47 0:20 11:07 0:25 11:32 0:08 11:40 0:53
20 10:49 0:19 11:08 0:24 11:32 0:08 11:40 0:51
21 10:50 0:18 11:08 0:24 11:32 0:10 11:42 0:52
22 10:51 0:18 11:09 0:23 11:32 0:16 11:48 0:57
23 10:53 0:17 11:10 0:38 11:48 0:02 11:50 0:57
24 10:55 0:15 11:10 0:38 11:48 0:07 11:55 1:00
RATA
RATA 0:45
Tabel 8, Jumat 10 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 2

12
NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI
1 9:27 0:24 9:51 0:13 10:04 0:02 10:06 0:39
2 9:38 0:14 9:52 0:12 10:04 0:02 10:06 0:28
3 9:40 0:13 9:53 0:11 10:04 0:05 10:09 0:29
4 10:21 0:16 10:37 0:11 10:48 0:04 10:52 0:31
5 10:25 0:13 10:38 0:10 10:48 0:05 10:53 0:28
6 10:46 0:29 11:15 0:11 11:26 0:03 11:29 0:43
7 10:51 0:26 11:17 0:16 11:33 0:06 11:39 0:48
8 11:03 0:16 11:19 0:14 11:33 0:11 11:44 0:41
9 11:05 0:15 11:20 0:13 11:33 0:15 11:48 0:43
10 11:59 0:30 12:29 0:24 12:53 0:19 13:12 1:13
11 12:02 0:27 12:29 0:24 12:53 0:20 13:13 1:11
RATA
RATA 0:43
Tabel 9, Senin 13 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 2

NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI


1 11:49 0:18 12:07 0:06 12:13 0:08 12:21 0:32
2 11:50 0:18 12:08 0:05 12:13 0:09 12:22 0:32
3 11:51 0:18 12:09 0:04 12:13 0:10 12:23 0:32
4 12:12 0:09 12:21 0:07 12:28 0:03 12:31 0:19
5 12:13 0:09 12:22 0:06 12:28 0:04 12:32 0:19
6 12:14 0:09 12:23 0:05 12:28 0:06 12:34 0:20
7 12:16 0:08 12:24 0:04 12:28 0:08 12:36 0:20
RATA
RATA 0:24
Tabel 10, Selasa 14 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 2

Dari data waktu tunggu resep kronis di atas dapat kita lihat bahwa waktu yang
dibutuhkan oleh petugas farmasi untuk menginput 1 resep membutuhkan waktu paling cepat
1 menit dan paling lama adalah 5 menit. Jika kita lihat pula waktu yang dibutuhkan untuk
menginput resep kronis ke aplikasi klem obat bpjs membutuhkan waktu 1 – 3 menit per
resep, jika dilihat dari kecepatan penginputan obat dari satu resep ke resep lainnya maka
tenaga personil sudah sangat baik dan cepat, namun jika dilihat tenggang waktu dari
penginputan obat ke penginputan resep kronis maka didapatkan tenggang waktu yang cukup
lama yaitu antara 6 – 30 menit, dimana resep dikumpulkan terlebih dahulu hingga selsai di
input kemudian sekaligus di input pada aplikasi klem bpjs untuk klem obat krois.
Penumpukan resep ini juga disebabkan karena tenaga personil yang menginput resep terbatas
dimana 1 orang dan maksimal hanya 2 orang yang menginput resep selama depo farmasi
rawat jalan berjalan disetiap harinya, jumlah komputer yang terbatas dan alokasi tenaga yang
tidak merata membuat penumpukan di beberapa titik seperti penumpukan di bagian
penginputan. Penumpukan ini berdampak pada tahapan selanjutnya dalam penyiapan resep

13
dimana penumpukan resep menyebabkan penyiapan menjadi lebih lama dan menyebabkan
waktu tunggu menjadi lebih lama terutama pada jam jam siang dimana semua poli beroprasi
secara bersamaan sehingga pasien yang datang ke farmasi datang secara bersamaan
membawa resep. Pada tahapan selanjutnya yaitu penempelan etiket sekligus pengecekan
dibutuhkan waktu yang relatif cepat yaitu 2 – 5 menit namun, penumpukan antrian obat yang
akan di lakukan pengecekan dan penempelan etiket membuat waktu tunggu menjadi lebih
lama hingga 20 -30 menit hal ini disebabkan karena dalam pengecekan dibutuhkan ketelitian
sehingga obat yang di siapkan benar dan sesuai dengan resep hingga diterima oleh pasien.
Beberapa faktor yang secara teori dapat mempengaruhi waktu tunggu diantaranya ;

1. Jenis Resep
Jenis resep termasuk faktor yang mempengaruhi waktu tunggu pelayanan resep. Waktu
tunggu pelayanan resep racikan cenderung lebih lama dibandingkan dengan resep non
racikan. Hal ini dikarenakan pada pengerjaan resep racikan diperlukan waktu untuk
penginputan resep, menghitung dosis serta perlu dilakukan peracikan pada tahap
pengerjaannya. Namun, beberapa resep obat non racikan juga memerlukan waktu
pengerjaan yang lebih lama, seperti resep non racikan pada pasien dengan penyakit
kronis. Resep ini memerlukan waktu yang lebih lama pada proses penginputan karena
harus di lakukan pengecekan pengunaan lama obatnya dan obat yang diresepkan
cenderung berjumlah banyak.
2. Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM)
Menurut penelitian Siregar (2018) jumlah SDM dalam pelayanan resep sangat
berpengaruh pada waktu tunggu resep. Semakin banyak tenaga yang dimiliki, maka
semakin cepat pelayanan resep yang akan diberikan. Depo farmasi rawat jalan RSUD
Majalaya memiliki 2 orang apoteker dan 6 orang tenaga teknis kefarmasian (TTK) yang
bertugas pada setiap shift terkecuali pada hari Sabtu. Berdasarkan Permenkes RI
Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, SDM Rumah
Sakit Umum kelas B untuk tenaga kefarmasian yang bertugas di rawat jalan terdiri dari
4 (empat) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 8
(delapan) orang tenaga teknis kefarmasian setiap shiftnya. Menurut Permenkes RI
Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,
menjelaskan bahwa penghitungan kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada
pelayanan kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan kefarmasian manajerial
dan pelayanan farmasi klinik dengan aktifitas pengkajian resep, penyerahan obat,

14
pencatatan penggunaan obat, dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker
dengan rasio 1 apoteker untuk 50 pasien.
3. Sarana Dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang kurang memadai menyebabkan pelayanan resep menjadi
lambat. Jumlah komputer yang terbatas membuat pelayanan menjadi tidak efektif,
sehingga saat terjadi error pada komputer atau sistem membuat pelayanan menjadi
terganggu. Dengan jumlah komputer yang terbatas membuat penginputan resep
menjadi menumpuk karena hanya mengandalkan fasilitas yang ada.
Selain dari faktor – faktor tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi dalam
pelayanan resep di RSUD Majalaya yang dapat mempengaruhi waktu pelayanan resep.
Ketidak lengkapan data pasien yang dituliskan pada resep membuat petugas depo farmasi
harus mengkonfirmasi ulang kepada pasien. Penulisan obat yang tidak sesuai dengan
formularium, sehingga membuat petugas harus mengkonfirmasi ulang kepada dokter penulis
resep. Stok obat yang habis juga dapat membuat waktu pelayanan resep menjadi lama.

15
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rata-rata waktu tunggu


pelayanan resep kronis di farmasi rawat jalan adalah 11- 50 menit. Hasil ini menunjukkan
bahwa waktu tunggu pelayanan resep di depo farmasi rawat jalan RSUD Majalaya belum
memenuhi waktu tunggu pelayanan resep berdasarkan SPM, dimana standar waktu tunggu
pelayanan resep obat jadi (non racikan) adalah ≤30 menit. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi waktu tunggu pelayanan resep di farmasi rawat jalan dalah jenis resep, jumlah
SDM, dan ketersediaan sarana prasarana pendukung pelayanan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56
Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.

Kementrian Kesehatan RI. 2016. Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

Siregar, 2018. Waktu Tunggu Pelayanan Resep Rawat Jalan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.

17
PROGRAM PENCEGAHAN PENGENDALIAN
RESISTENSI ANTIMIKROBA (PPRA) DI RUMAH
SAKIT UMUM MAJALAYA

MEGA YANTI SITANGGANG


B 221 036

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
BANDUNG
2023

1
TUGAS KHUSUS
PROGRAM PENCEGAHAN PENGENDALIAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA (PPRA)
DI RUMAH SAKIT UMUM MAJALAYA

1. Program Pencegahan Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA)


Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting,
khususnya di negara berkembang. Salah satu obat andalan untuk mengatasi masalah tersebut
adalah antimikroba antara lain antibakteri/antibiotik, anti jamur, antivirus, antiprotozoa.
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan
dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap
antibiotik (Utami, 2012).

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi terhadap


antibiotik, sehingga untuk pengobatannya harus menggunakan antibiotik jenis baru yang
memiliki kekuatan lebih tinggi. Resistensi antibiotik juga berakibat pada peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Penggunaan antibiotik jenis baru juga meningkatkan biaya
perawatan yang harus ditanggung oleh pasien. Akibat lainnya adalah perubahan pola kuman
di rumah sakit serta efek toksik yang tinggi (Laras, 2012). Dalam rangka mengendalikan
resistensi mikroba di rumah sakit, perlu dikembangkan Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba di rumah sakit. Pengendalian resistensi antimikroba adalah aktivitas yang
ditujukan untuk mencegah dan atau menurunkan adanya kejadian resistensi mikroba.
Upaya untuk mengurangi resistensi antibiotika ada dua macam yaitu promosi
penggunaan antibiotik secara bijak dan pencegahan penyebaran mikroorganisme resisten
(Yulia, 2017). Indonesia berpartisipasi secara aktif dalam upaya tersebut dengan
dibentuknya Komite Pengendalian Antimikroba (KPRA) oleh Kementerian Kesehatan
(P.M.K.R., 2015). Selain itu, juga ditetapkan Program Pencegahan Pengendalian Resistensi
Antimikroba (PPRA) secara nasional di semua rumah sakit karena berdasarkan beberapa
penelitian tentang kualitas penggunaan antibiotik di berbagai rumah sakit ditemukan 30%
sampai dengan 80% pemberian antibiotik tidak didasarkan pada indikasi (P.M.K, 2011).
Sebagai langkah awal tim PPRA perlu melakukan evaluasi dan pengumpulan data
tentang antibiotik yang sering digunakan dan lama penggunaannya di lingkungan rumah
sakit, baik secara per oral maupun injeksi. Salah satu tugas tim PPRA adalah melakukan

2
evaluasi secara kualitatif dan kuantitatif penggunaan antibiotik di rumah sakit. Evaluasi
penggunaan antibiotik secara kualitatif dilakukan dengan cara melihat data dari form
penggunaan antibiotik dan rekam medik pasien untuk melihat perjalanan penyakit. Data
yang diperoleh diolah dengan menggunakan alur penilaian menurut Gyssens untuk
menentukan kategori kualitas penggunaan setiap antibiotik yang digunakan (Gyssens, 1992).
Evaluasi secara kuantitas dapat dilakukan dengan menggunakan klasifikasi secara
Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification dan pengukuran jumlah penggunaan
antibiotik dengan Defined Daily Dose (DDD)/100 patient-days (WHO, 2013).

2. Surat Keputusan Kebijakan PPRA di RSUD Majalaya

PENETAPAN PROGRAM PENGENDALIAN


RESISTENSI ANTIMIKROBA RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH MAJALAYA

KABUPATEN BANDUNG

A. Pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba

1. RSUD Majalaya membentuk dan menetapkan Tim


Pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
untuk membantu Direktur Rumah Sakit Umum Daerah
Majalaya dalam pelaksanaan program pengendalian
resistensi antimikroba;
2. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba pada
RSUD Majalaya terdiri dari:
a. Peningkatan pemahaman dan kesadaran seluruh staf, pasien
dan keluarga pasien tentang maslah resistensi antimikroba.

b. Pengendalian penggunaan antimikroba terapi dan

profilaksis pembedahan pada seluruh proses asuhan


pasien;
1) Antibiotika profilaksis hanya diberikan 1
jam sebelum pembedahan bersih
2) Antibiotika empiris diberikan hanya untuk pasien

3
infeksi yang dibuktikan dengan pemeriksaan
laboratorium (leukosit > 10.000 atau < 3800) dan
febris 37,5 derajat;

3) Infeksi yang tidak teratasi sesudah pemakaian


antibiotic empiris lebih dari 5 hari, harus
dilakukan kultur.
c. Survailance pola penggunaan antibiotika di Rumah Sakit
diawasinsecara kuantitatif dan kuantitatif pada semua DPJP;

d. Survailance pola resistensi antimikroba;

e. Forum kajian penyakit infeksi terintegrasi.

3. Indikator mutu program pengendalian resistensi


antimikroba pada RSUD Majlaya sesuai dengan peraturan
perundang-undnagan, yaitu:
a. Perbaikan kuantitas penggunaan antimikroba;

b. Perbaikan kuantitas penggunaan antibiotika;

c. Peningkatan mutu penangan kasus infeksi secara


multidisiplin dan terintegrasi;

d. Indicator mutu (a) s/d (d) di atas terintegrasi pada


indicator mutu PMKP.
B. Pelaporan

1. Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi


Antimikroba RSUD Majalaya melaporkan kegiatan
program pengendalian resistensi antimikroba setiap bulan
kepada Direktur;
2. Direktur melaporkan pelaksanaan program pengendalian
resistensi antimikroba secara berkala setiap tahun kepada
menteri Kesehatan melalui Komite Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba dengan tembusan kepada Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kesehatan
Kabupaten bandung.

4
3. Komite Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA)

PEMBENTUKAN KOMITE PROGRAM


PENGENDALIAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA (PPRA)

RUMAH SAKIT UMUM


DAERAH MAJALAYA
PERIODE 2022-2024

Pelindung : dr. Hj. Yuli Irnawaty Mosjasari, MM

Penanggung jawab : 1. dr. Achmad Hanafi, MM

2. dr. Purwitasari, MMRS


Ketua : dr. Aria Purnama, Sp.P
Sekertaris : Annisa Azalia Putri, S.Farm., Apt

Koordinator Bid. Pelatihan dan Edukasi : dr. Ilawati Suwandi

Koordinator Bid. Surveilance dan Penelitian : dr. Luqyani Triandini

Koordinator Bid. Penataguaan Antimikroba : dr. Billy P. Lubis Sp.PA

Anggota :
1. dr. Rifqy Wahyu Moch Ihsan

2. Hj. Dede Rohaeti, S.Kep., Ners

3. Hj. Eliawati, S.Kep., Ners

4. Samsurahman, Amd. AK

5. Risma Aprilianti, S.Farm., Apt

6. Shahnaz Desianti K S.Farm.,Apt

7. Ogi Nurhari S.Farm.,Apt

8. Richeu Dwi S.Farm.,Apt

9. Astri Furiyanti S.Si.,Apt

10. Imas Siti Masriah S.Farm.,Apt

11. Seluruh Kepala KSM

5
4. Tugas Pokok

TUGAS POKOK DAN FUNGSI KOMITE PROGRAM


PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (PPRA)
RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH MAJALAYA
PERIODE 2022-2024

Tugas Ketua KPRA


1. Bertanggung jawab atas :
 Penyelenggaraan dan evaluasi program KPRA
 Penyusunan pedoman KPRA
 Penyusunan dan penetapan serta evaluasi kebijakan KPRA

 Terselenggaranya pertemuan berkala


2. Melaporkan kegiatan komite PPRA kepada Direktur

Tugas Sekretaris
1. Memfasilitasi tugas ketua PPRA
2. Membantu koordinasi
3. Mengagendakan kegiatan komite PPRA
4. Bertanggung jawab kepada ketua komite PPRA dan
berkoordinasi dengan unit terkait lainnya
5. Memberikan masukan pada pedoman maupun kebijakan terkait
PPRA

Tugas Koordinator Bidang Pelatihan dan Edukasi


1. Menyelenggarakan forum kajian setiap sebulan sekali dan
membuat laporannya
2. Menyebarluaskan dan meningkatkan pemahaman dan
kesadaran tentang prinsip pengendalian resistensi
antimikroba, pengunaan antimikroba secara bijak,
ketaatan terhadap pencegahan pengendalian infeksi
melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan

6
3. Terselenggaranya pelatihan dan pendidikan terkait
resistensi antimikroba.

Tugas Koordinator Bidang Surveilains dan Penelitian


1. Melakukan surveillance pola penggunaan antimikroba
2. Melakukan surveillance pola mikroba
penyebab infeksi dan kepekaannya terhadap
antimikroba
3. Terlibat dalam kegiatan monitoring efek samping
obat terutama antimikroba
4. Membantu menyusun laporan kegiatan komite PPRA kepada
Direktur

Tugas Koordinator Tim PGA


1. Memberikan persetujuan untuk pemberian antibiotik golongan
reserve
2. Menelaah tata cara dan pemberian antimikroba kelompok
watch dan reserve dan memberikan reviu prospektif dan
umpan balik kepada DPJP sesuai kebutuhan untuk
menegakkan penggunaan antimikroba secara bijak.
3. Memberikan konsultasi tentang pengelolaan penyakit infeksi
4. Memimpin forum kajian kasus pengelolaan penyakit
infeksi secara terintegrasi

Tugas Anggota Tim PGA


A. Farmasi Klinis
1. Melakukan reviu prosfektif dan umpan balik kepada
DPJP sesuai dengan kebutuhan untuk menegakkan
penggunaan antimikroba secara bijak dan mengkaji resep
antimikroba secara adiministratif, farmasetik, dan klinis
sebelum disiapkan obatnya dan diberikan kepada pasien.
2. Memberikan konsultasi dan rekomendasi dalam

7
pemilihan antimikroba, rejimen dosis serta terlibat da;am
pengelolaan pasien infeksi melalui kunjungan diruang
warat pasien.
3. Melaksanakan automatic stop order pemberian
antimikroba sesuai dengan indikasinya dan
mendiskusikan ulang dengan DPJP.
4. Memberikan layanan informasi antimikroba kepada tenaga
kesehatan
5. Melaksanakan pemantauan manfaat dan
keamanan antimikroba setelah diberikan kepada
pasien.
6. Menjamin ketersediaan antimikroba untuk profilaksis dan terapi
7. Melakukan evaluasi penggunaan antimikroba secara kuantitatif

B. Dokter
1. Merawat pasien secara etis dan professional.
2. Memberikan antimikroba sesuai dengan PPK dan
Clinical Pathway penyakit infeksi, Formularium rs, dan
PPAB.
3. Mematuhi aturan yang ditertibkan oleh pimpinan rumah
sakit tentang pengendalian resistensi antimikorba
4. Melakukan evaluasi penggunaan antimimikroba secara kualitatif

C. Mikrobiologi Klinik
1. Memberikan pelayanan pemeriksaan mikrobiologi
untuk tujuan diagnosis infeksi yang meliputi uji biakan
mikroba pathogen, uji kepekaan terhadap mikroba,
deteksi antigen dan antibodi.
2. Memberikan konsultasi hasil pengujian atau kelayakan
specimen yang tepat dalam upaya menegakkan diagnosis
serta metode pemeriksaan mikrobiologi yang tepat.
3. Membuat antibogram secara berkala setiap 6-12 bulan dan

8
melakukan upaya peningkatan kualitas dan pemanfaatan
antibiogram dalam penatagunaan antimikroba.

D. Perawat
1. Melakukan penerapan 10 benar sebelum pemberian
antimikroba pertama kali
2. Mengidentifikasi riwayat alergi antimikroba pada pasien secara
akurat
3. Melakukan penanganan specimen klinik dan
menyampaikan informasi tentang hasil mikrobiologi
terbaru kepada dokter secepatnya.
4. Bersama Tim PGA mendiskusikan pergantian rute
pemberian antimikroba IV ke oral dan peluang de-
eskalasi terapi antimikroba dengan farmasi dan DPJP
E. PPI
1. Membuat dan mengevaluasi kebijakan pencegahan dan
pengendalian infeksi
2. Melaksanakan sosialiasi kebijakan pencegahan dan
pengendalian infeksi rumah sakit agar dapat dipahami dan
dilaksanakan oleh petugas kesehatan
3. Terlibat dalam forum kajian pengelolaan penyakit infeksi
secara terintegrasi
4. Mengusulkan kepada direktur penetapan karantina,
penutupan atau isolasi ruangan /unit kerja sebagai hasil
investigasi KLB Infeksi

5. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Di RSUD Majalaya


a. Evaluasi kuantitatif
Metode Defined Daily Dose (DDD)
Sistem DDD adalah sebagai sarana memantau penelitian penggunaan obat
dalam meningkatkan kualitas penggunaan obat. Salah satu komponen ini adalah
persentase dan perbandingan dari konsumsi obat tingkat internasional dan level-
level lain atau memfasilitasi perbandingan konsumsi antibiotik antara fasilitas
Kesehatan, kota dan regional. Alat untuk pemantauan dan penelitian penggunaan

9
obat haruslah mampu mencakup sebagian besar obat-obatan yang tersedia di
pasaran (WHO, 2020).
Defined Daily Dose (DDD) adalah asumsi dosis rata-rata per hari
penggunaan antibiotik untuk indikasi tertentu pada orang dewasa (Permenkes,
2011 & WHO, 2020). Data yang disajikan dalam DDD hanya memberikan
estimasi penggunaan dan bukan gambaran yang tepat tentang penggunaan aktual.
DDD menyediakan unit tetap pengukuran yang tidak tergantung terhadap harga,
mata uang, ukuran dan kekuatan paket memungkinkan peneliti untuk menilai tren
konsumsi obat dan untuk melakukan perbandingan antara kelompok populasi
(WHO, 2020).
DDD hanya digunakan untuk obat dengan kode ATC, dan tidak digunakan
untuk suatu zat sebelum suatu produk disetujui dan dipasarkan paling tidak satu
satu negara. Prinsip dasar adalah untuk menetapkan hanya satu DDD per rute
administrasi dalam suatu Kode ATC (WHO, 2020). Ketika suatu DDD baru
ditetapkan, berbagai sumber digunakan untuk mendapatkan gambaran umum
terbaik penggunaan aktual atau yang diharapkan dari suatu substansi (WHO,
2020). DDD sering digunakan sebagai indikator untuk penggunaan antibakteri di
rumah sakit, dan telah diputuskan bahwa DDD yang berbeda untuk formulasi oral
dan parenteral bisa menjadi sangat penting dalam beberapa kasus (WHO, 2020).
Angka penggunaan obat yang dinyatakan dalam DDD umumnya dilaporkan dalam
satuan unit yang mengontrol untuk perbedaan ukuran populasi. Ini memberikan
pengukuran paparan atau intensitas terapeutik dalam populasi yang ditentukan,
memungkinkan perbandingan lintas berbagai periode waktu dan kelompok
populasi (WHO, 2020).
Penilaian penggunaan antibiotik di rumah sakit dengan satuan DDD/100 hari
rawat; dan di komunitas dengan satuan DDD/1000 penduduk. Kuantitas
penggunaan antibiotik juga dapat dinyatakan dalam DDD 100 patient-days, dengan
rumus berikut : (Kemenkes RI, 2011)
(jumlah gram AB yang digunakan oleh pasien) 100

DDD 100 patient = x

days Standar DDD WHO dalam gram (total LOS)

10
b. Evaluasi kualitatif
Penilaian kualitas penggunaan antibiotik bertujuan untuk perbaikan
kebijakan atau penerapan program edukasi yang lebih tepat terkait kualitas
penggunaan antibiotik (Kemenkes RI., 2011). Kualitas penggunaan terapi
antibiotik empiris dan profilaksis umumnya dinilai dari data yang tersedia pada
surveilans lokal dan resistensi mikroba serta informasi yang didapatkan pada
epidemiologi infeksi dan organisme penyebab secara lokal. Laboratorium
mikrobiologi memainkan peran utama dalam pengumpulan data, analisis, dan
pelaporan data surveilan dan menyediakan informasi yang digunakan terhadap
pilihan terapi empiris ("well-educated guess") atau profilaksis. Pedoman terapi
empiris dan profilaksis berdasarkan surveilans ini seharusnya tersedia di setiap
fasilitas pelayanan Kesehatan (Gyssens, C.I., 2005).
Untuk mengawasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah sakit maka perlu
dilakukan evaluasi atau audit kualitas penggunaan antibiotik. Audit penggunaan
antibiotik dapat didefinisikan sebagai analisis kesesuaian resep individu dan
merupakan metode lengkap untuk menilai semua aspek terapi (Gyssens, C.I.,
2005).
Metode Gyssens
Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2011 merekomendasikan penggunaan
kriteria Van der Meer-Gyssens dalam mengevaluasi penggunaan antibiotik.
Metode van der Meer-Gyssens merupakan suatu diagram alir yang diadaptasi dari
kriteria Kuinin, et al. Metode ini mengevaluasi seluruh aspek peresepan antibiotik,
seperti: penilaian peresepan, alternatif yang lebih efektif, alternatif yang kurang
toksik, lebih murah, spektrum lebih sempit. Selain itu juga dievaluasi lama
pengobatan dan dosis, interval dan rute pemberian serta waktu pemberian (Gysens,
C.I dan Van der Meer, M.W.J., 2001). Selama prosedur evaluasi, diagram alir
dibaca dari atas ke bawah untuk mengevaluasi setiap parameter yang terkait
dengan proses outcome (Gyssens, C.I., 2005).

11
Gambar 1. Diagram alir untuk mengevaluasi peresepan antibiotik (Van der Meer
and Gyssens, 2001).

Kualitas penggunaan antibiotik dinilai dengan menggunakan data yang


terdapat pada Rekam Pemberian Antibiotik (RPA), catatan medik pasien dan
kondisi klinis pasien (Kemenkes RI, 2011). Evaluasi dimulai dari kotak yang
paling atas, yaitu dengan melihat apakah data lengkap atau tidak untuk
mengkategorikan penggunaan antibiotik (Gyssens C. I., 2005).
1. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI. Data tidak lengkap adalah
data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada halaman rekam medis yang
hilang sehingga tidak dapat dievaluasi. Pemeriksaan penunjang/laboratorium
tidak harus dilakukan karena mungkin tidak ada biaya, dengan catatan sudah
direncanakan pemeriksaannya untuk mendukung diagnosis. Diagnosis kerja

12
dapat ditegakkan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila
data lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada
infeksi yang membutuhkan antibiotik?
2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotik, berhenti di kategori V. Bila
antibiotik memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya.
Apakah pemilihan antibiotik sudah tepat?
3. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVa.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
lain yang kurang toksik? Bila ada pilihan antibiotik lain yang kurang toksik,
berhenti di kategori IVb. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di
bawahnya, apakah ada alternatif lebih murah?
4. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah, berhenti di kategori IVc.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
lain yang spektrumnya lebih sempit?
5. Bila ada pilihan antibiotik lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti
di kategori IVd. Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit, lanjutkan
dengan pertanyaan di bawahnya, apakah durasi antibiotik yang diberikan
terlalu panjang?
6. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu panjang, berhenti di kategori IIIa.
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi antibiotik terlalu
singkat?
7. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu singkat, berhenti di kategori IIIb.
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah dosis
antibiotik yang diberikan sudah tepat?
8. Bila dosis pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIa.
Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, apakah interval
antibiotik yang diberikan sudah tepat?
9. Bila interval pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIb.
10. Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah
rute pemberian antibiotik sudah tepat?
11. Bila rute pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIc. Bila
rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya.
12. Bila antibiotik tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, antibiotik
tersebut merupakan kategori 0.
13
DAFTAR PUSAKA

Gyssens, I.C., dan Van der Meers, J.W.M. (2001). Quality of Antibicrobial Drug
Prescription in Hospital, Clinical Microbiology Infection,
Gyssens, I.C. (2005). Audit for Monitoring the Quality of Antimicrobial Prsescription,
Dalam: Antibiotic Policies: Theory and Practice. Penyunting: Ian M. Gould., Jos
W. M. Van der Meer, New York: Kluwer Academic Publishers
PERMENKES RI, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Kementrian
Kesehatan RI, Jakarta
Utami, E.R. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Sainstis. Vol. 1. No.
1 April-September.

14
DISTRIBUSI OBAT DAN PERBEKALAN
FARMASI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
MAJALAYA

MEGA YANTI SITANGGANG


B 221 036

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
BANDUNG
2023
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Rumah sakit adalah salah satu sarana penyelenggaraan pelayanan kesehatan, dituntut
untuk mampu memberikan pelayanan yang baik dan bermutu.Untuk dapat terlaksananya
manajemen rumah sakit yang efektif dan efesien diperlukan infrastruktur yang
memadai.Menyadari bahwa rumah sakit merupakan organisasi yang kompleks maka harus
dikelola dengan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan pelayanan yang baik (Arif,
2003).

Pelayanan kefarmasian termasuk pelayanan utama di rumah sakit, hampir seluruh


pelayanan yang diberikan baik pelayanan rawat jalan maupun rawat inap berintervensi
dengan sediaan farmasi. Mengingat obat dan alat kesehatan merupakan salah satu bagian
penting dalam terlaksananya proses kesehatan, maka pada instalasi farmasi rumah sakit
pendistribusian obat dan alat kesehatan perlu dilakukan secara baik dan merata. Hal ini untuk
memenuhi kebutuhan obat-obatan dan alat kesehatan yang diperlukan oleh pasien rumah
sakit serta meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit dalam melakukan pendistribusian
obat-obatan dan alat kesehatan. Dengan demikian proses penyerahan obat-obatan mulai dari
sediaan disiapkan oleh instalasi farmasi rumah sakit sampai obat diserahkan kepada petugas
kesehatan untuk diberikan kepada pasien dengan baik dan tidak terjadi hal-hal yang dapat
menghabat pelayanan rumah sakit terhadap pasien dan mutu pelayanan akan menigkat jika
rumah sakit memberikan kepuasan kepada masyarakat.

2. Rumusan Masalah

1) Ada berapa macam tipe distribusi obat di rumah sakit

2) Tipe distribusi apa yang diberlakukan di RSUD Majalaya

3. Tujuan

Mengetahui sistem distribusi perbekalan farmasi di RSUD Majalaya


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengelolaan Obat Dan Perbekalan Farmasi Di Rumah Sakit

Managemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi
manajerial rumah sakit secara keseluruhan karena ketidakefisienan akan memberikan
dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medis maupun secara ekonomis. Tujuan
managemen obat rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan tersedia ketika dibutuhkan,
dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin, dan harga terjangkau untuk mendukung
pelayanan yang bermutu. Masing-masing tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait
sehingga harus dikelola dengan baik agar masing- masing dapat dikelola secara optimal.
(Satibi, 2016). Siklus managemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung managemen
(management support) yaitu organisasi, admnistrasi, keuangan sistem, informasi managemen
(SIM), dan sumber daya manusia (SDM).

2. Sistem Distribusi Obat

Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana, personel,
prosedur, dan jaminan mutu dalam kegiatan penyampaian sediaan obat beserta informasinya
kepada penderita. Sistem distribusi obat mencakup penghataran sediaan obat yang telah
didispensing IFRS ke daerah tempat perawatan penderita dengan keamanan dan ketepatan
obat, ketepatan penderita, ketepatan jadwal, tanggal, waktu, dan metode pemberian dan
ketepatan personel pemberi obat kepada penderita serta keutuhan mutu obat. (Febriawati,
2013). Sistem pendistribusian berdasarkan tempat pelayanan kefarmasian :

A. Desentralisasi

Merupakan pelayanan yang mempunyai cabang di dekat unit perawatan atau


pelayanan sehingga penyimpanan dan pendistribusian kebutuhan obat atau barang
farmasi unit pelayanan tersebut baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan
dasar ruangan tidak lagi di layani dari pusat pelayanan farmasi (Febriawati, 2013).
Depo Rawat Rawat Jalan
Jalan 1

Depo Rawat Rawat Jalan


Jalan 2
Gudang
Farmasi
Depo Rawat Rawat Inap
Inap

Depo Rawat Rawat Darurat


Darurat

Gambar 1. Alur Distribusi Desentralisasi

B. Sentralisasi
Sentralisasi merupakan penyimpanan dan pendistribusian semua obat/barang
farmasi dipusatkan pada satu tempat. Seluruh kebutuhan obat/barang farmasi setiap unit
perawatan/pelayanan baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan dasar ruangan
disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut.

Rawat jalan

Rawat Inap
Gudang

Bedah Pusat

Rawat Darurat

Gambar 2. Alur Distribusi Sentralisasi

Berdasarkan Sistem distribusi ;


1. Sistem Distribusi Obat Resep Individu

Resep individual adalah resep yang ditulis oleh dokter untuk tiap penderita.
Pada sistem ini, kebutuhan barang farmasi individu pasien tidak tersedia di ruang
perawatan, tetapi harus diambil atau ditebus di tempat pelayanan farmasi dengan
membawa resep atau instruksi pengobatan dari dokter. Tempat pelayanan farmasi
tersebut dapat di instalasi farmasi rumah sakit, apotek baik yang ada di dalam maupun
di luar rumah sakit. Waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan obat menjadi lama,
akan tetapi farmasi rumah sakit atau farmasi komunitas terlibat dalam proses review
maupun penyiapan resep. Semua obat yang ditebus tersebut di bawa keruang perawatan
untuk di serahkan kepada perawat untuk di simpan. Biaya pengobatan yang ditanggung
pasien tinggi karena setiap sisa obat yang tidak digunakan tetap harus dibayar.(
Rahmayanti, 2017).

2. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (Floorstock)


Sistem ini kebutuhan obat atau perbekalan farmasi dalam jumlah besar baik untuk
kebutuhan dasar ruangan maupun kebutuhan individu pasien yang diperoleh dari
tempat pelayanan farmasi baik sentralisasi maupun desentralisasi, disimpan di ruang
perawatan. Kebutuhan obat dasar maupun obat individu langsung dapat dilayani oleh
perawat tanpa harus menebus atau mengambil dulu dari tempat penyimpanan farmasi.
Proses pengolahan inventaris, penyiapan dan peracikan obat/barang farmasi tersebut
serta penyampaiannya pada pasien sepenuhnya menjadi tanggung jawab atau beban
pekerjaan perawat. Pelayanan dengan sistem ini paling cepat, karena semua barang
kebutuhan ada dalam satu ruangan. (Rahmayanti, 2017).
3. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individual Dengan Persediaan
Ruangan.
Rumah sakit menerapkan sistem ini, selain menerapkan sistem distribusi resep
individual, juga menerapkan distribusi persediaan di ruangan yang terbatas. Jenis dan
jumlah obat yang tersedia di ruangan (daerah penderita) ditetapkan oleh PFT ( Panitia
Farmasi Terapi ) dengan masukan dari instalasi farmasi rumah sakit dan dari pelayanan
keperawatan. Sistem kombinasi diadakan untuk mengurangi beban kerja instalasi
farmasi rumah sakit. Obat yang disediakan di ruangan adalah obat yang diperlukan oleh
banyak penderita, setiap hari diperlukan, dan biasanya adalah obat yang harganya
relatif murah mencakup obat resep atau obat bebas (Rahmayanti, 2017).
4. Sistem Distribusi Obat Unit Dosis
Obat dosis unit adalah obat yang di order oleh dokter untuk penderita, terdiri atas
satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan dosis tunggal dalam
jumlah persediaan yang cukup untuk suatu waktu tertentu. Penderita hanya membayar
obat yang dikonsumsi saja. Sistem distribusi obat dosis unit adalah metode dispensing
dan pengendalian obat yang dikoordinasi instalasi farmasi dan rumah sakit. Sistem
dosis unit dapat berbeda dalam bentuk tergantung pada kebutuhan khusus rumah sakit,
unsur khusus berikut adalah dasar dari semua sisem dosis unit yaitu obat dikandung
dalam kemasan unit tunggal, didispensing dalam bentuk siap konsumsi, untuk
kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam persediaan dosis, dihantarkan keruang
perawatan atau tersedia pada ruang perawatan penderita tiap waktu (Khasanah, 2019).
BAB III

PEMBAHASAN

Distribusi merupakan proses penyerahan obat-obatan mulai dari sediaan disiapkan oleh
instalasi farmasi rumah sakit sampai obat diserahkan kepada petugas kesehatan untuk
diberikan kepada pasien. Distribusi besar sekali peranannya dalam pelaksanaan kesehatan
pasien rumah sakit karena dengan terlaksananya proses disribusi yang baik maka obat-obatan
dan alat kesehatan akan tersampaikan kepada pasien secara tepat waktu dan dapat langsung
digunakan tanpa harus menunggu lama. Oleh karena itu harus terealisasikan dengan
perencanaan manajemen yang matang dalam proses distribusi tersebut (Rusdiana, Saputra, &
Noviyanto, 2015).

Berdasarkan tempat pelayanan kefarmasian distribusi yang di anut oleh RSUD


Majalaya adalah distribusi desentralisasi dimana distribusi ini merupakan pelayanan yang
mempunyai cabang di dekat unit perawatan atau pelayanan sehingga penyimpanan dan
pendistribusian kebutuhan obat atau barang farmasi unit pelayanan tersebut baik untuk
kebutuhan individu maupun kebutuhan dasar ruangan tidak lagi di layani dari pusat
pelayanan farmasi. 1. Poli bedah umum
2. Poli kandungan
3. Poli penyakit
dalam
4. Geriatri
Depo Rawat 5. Poli tulang
Jalan 1 6. Poli paru
7.
1. Poli anak
2. Poli tht
3. Poli gigi
Depo Rawat
4. Poli saraf
Jalan 2
5. Poli jantung
Gudang
6. Poli kulit
Farmasi 7. Poli mata
Depo Rawat Rawat Inap 8. Poli jiwa
Inap

Depo Rawat Rawat Darurat


Darurat

Depo Ruang Ruang oprasi


oprasi

Gambar 3. Alur Distribusi Desentralisasi RSUD Majalaya


Jumlah seluruh pegawai yang tersedia di instalasi farmasi berjumlah 56 orang yang
terdiri dari 1 apoteker sebagai kepala instalasi, 24 apoteker dan 31 TTK (Tenaga Teknis
Kefarmasian) dimana masing - masing terbagi di depo farmasi rawat jalan 1 dan 2, farmasi
rawat inap dan gudang farmasi, unit gawat darurat dan ruang oprasi yang tersebar di seluruh
depo rumah sakit umum daerah majalaya.

Dalam pengaadaan perbekalan farmasi tiap depo memiliki jadwal masing masing dalam
permintaan barang ke gudang farmasi sehingga persediaan/stok obat dan perbekalan farmasi
lainnya selalu dalam keadaan tersedia sehingga pelayanan mendadi efektif dan efesien.
Dengan demikian proses penyerahan obat-obatan mulai dari sediaan disiapkan oleh instalasi
farmasi rumah sakit sampai obat diserahkan kepada petugas kesehatan untuk diberikan
kepada pasien dengan baik dan tidak terjadi hal-hal yang dapat menghabat pelayanan rumah
sakit terhadap pasien dan mutu pelayanan akan menigkat jika rumah sakit memberikan
kepuasan kepada masyarakat.
BAB IV

KESIMPULAN

Alur distribusi perbekalan farmasi yang diterapkan di RSUD Majalaya adalah Alur
Distribusi Desentralisasi dimana distribusi ini merupakan pelayanan yang mempunyai cabang
di dekat unit perawatan atau pelayanan sehingga penyimpanan dan pendistribusian
kebutuhan obat atau barang farmasi unit pelayanan tidak lagi di layani dari pusat pelayanan
farmasi.
DAFTAR PUSTAKA

Febriawati, H. (2013). Managemen Logistik Farmasi Rumah Sakit. Yogyakarta:


Gosyen Publishing.

Rahmayanti,Vira.(2017). Gambaran Sistem Distribusi Obat dan BahanMedis


Habis Pakai (BMHP) di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Kota
Tangerang Selatan Tahun 2017. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatuloh. Jurnal Manajemen dan Bisnis Vol. 15, No 2, Tahun 2017

Satibi. (2016). Manajemen Obat di Rumah Sakit. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.
DAFTAR OBAT YANG SERING DIGUNAKAN DI GUNAKAN
DI KAMAR OPRASI DAN UNIT GAWAT DARURAT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MAJALAYA

MEGA YANTI SITANGGANG


B 221 036

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
BANDUNG
2023

1
TUGAS KHUSUS

DAFTAR OBAT YANG SERING DIGUNAKAN DI GUNAKAN DI KAMAR OPRASI


DAN UNIT GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MAJALAYA

A. Daftar Obat Yang Sering Digunakan Di Kamar Oprasi


1. Paket Narkose Umum / Anastesi Umum
Anestesi umum atau biasa disebut bius total adalah prosedur pembiusan yang
membuat pasien menjadi tidak sadar selama operasi berlangsung. Anestesi jenis ini
sering digunakan untuk operasi besar atau operasi yang membutuhkan relaksasi otot.
a) Propofol
Propofol adalah obat bius umum yang digunakan untuk memulai dan
mempertahankan anestesi selama prosedur operasi. Obat ini digunakan
untuk menenangkan, menurunkan kesadaran, dan membius pasien selama
operasi berlangsung. Propofol bekerja dengan cara menurunkan aktivitas
otak dan sistem saraf, sehingga mencegah otak untuk memproses rasa sakit.
b) Fentanyl injeksi
Fentanyl adalah obat pereda nyeri yang sangat kuat, bahkan lebih kuat
dibandingkan morfin dan heroin. Obat ini biasanya digunakan untuk nyeri
akut yang disebabkan oleh trauma besar atau pembedahan.
c) Ondansetron injeksi
Ondansetron adalah obat yang digunakan untuk mencegah serta mengobati
mual dan muntah yang bisa disebabkan oleh efek samping kemoterapi,
radioterapi, atau operasi.
d) Ketorolac injeksi
Ketorolac adalah obat untuk meredakan nyeri sedang hingga berat. Obat ini
sering digunakan setelah operasi atau prosedur medis yang bisa
menyebabkan nyeri.
e) Asam traneksamat injeksi
Asam traneksamat adalah obat untuk menghentikan perdarahan pada
beberapa kondisi, seperti mimisan yang tidak kunjung berhenti, maupun
perdarahan setelah operasi atau prosedur cabut gigi.

2
f) Atropin sulfat injeksi
Atropin adalah obat untuk menangani denyut jantung lambat (bradikardia).
Obat ini juga dapat digunakan sebelum pemeriksaan mata atau sebagai
pramedikasi sebelum prosedur anestesi.
g) Neostigmin injeksi
Neostigmin merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi kelemahan
otot. Kelemahan otot ini biasanya terjadi pada kondisi miastenia gravis atau
pasca pemberian pelemas otot saat operasi.
h) Ketoprofen supp
Ketoprofen termasuk golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan
umum digunakan untuk meredakan nyeri dan inflamasi. Ketoprofen telah
terbukti untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat, tertutama pada pasien
pasca bedah.
i) Noveron/Atracurium
Obat ini digunakan untuk melemaskan/ relaksasi otot selama operasi serta
digunakan untuk relaksasi otot saat penggunaan ventilator atau mesin
pernapasan.

2. Paket Spinal / Anastesi Lokal


Anestesi spinal merupakan jenis anestesi lokal yang dilakukan guna
menghilangkan rasa sakit pada pasien, yang berencana melakukan tindakan operasi
pada bagian bawah pinggang.
a) Regival
Regival mengandung zat aktif Bupivacaine adalah obat untuk
menghilangkan rasa nyeri atau memberi efek mati rasa saat prosedur
operasi, tindakan medis, atau persalinan. Bupivacaine bisa digunakan
sebagai obat bius regional yang akan berefek pada area tubuh tertentu.
Bupivacaine bekerja dengan cara menghambat rangsangan nyeri yang
dikirimkan oleh sel saraf menuju otak, sehingga rasa nyeri hilang untuk
sementara.
b) Ondansetron injeksi
Ondansetron adalah obat yang digunakan untuk mencegah serta mengobati
mual dan muntah yang bisa disebabkan oleh efek samping kemoterapi,
radioterapi, atau operasi.

3
c) Ketorolac injeksi
Ketorolac adalah obat untuk meredakan nyeri sedang hingga berat. Obat ini
sering digunakan setelah operasi atau prosedur medis yang bisa
menyebabkan nyeri.
d) Ephedrin injeksi
Digunakan untuk meningkatkan tekanan darah yang biasanya cenderung
turun ketika pasien diberikan obat anetesi (bius).
e) Ketoprofen supp
Ketoprofen termasuk golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan
umum digunakan untuk meredakan nyeri dan inflamasi. Ketoprofen telah
terbukti untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat, tertutama pada pasien
pasca bedah.
f) Dexamethasone injeksi
Karena penggunaan dexamethasone sebelum operasi bermanfaat untuk
mencegah timbulnya edema (bengkak) pasca bedah dan bila
dikombinasikan dengan anti muntah lain akan lebih efektif untuk mual dan
muntah sampai 24 jam setelah operasi.
g) Asam traneksamat injeksi
Asam traneksamat adalah obat untuk menghentikan perdarahan pada
beberapa kondisi, seperti mimisan yang tidak kunjung berhenti, maupun
perdarahan setelah operasi atau prosedur cabut gigi.
h) Oxytocin injeksi untuk pasien sc
oxytocin digunakan untuk penanganan perdarahan post partum dan induksi
persalinan. Oxytocin bermanfaat dalam persalinan antepartum dan post
partum untuk meningkatkan kontraksi uterus.
i) Metergin injeksi
Methylergometrine adalah obat untuk mencegah dan mengatasi perdarahan
pascapersalinan (postpartum).

4
B. Daftar Obat Yang Sering Digunakan Di Unit Gawat Darurat

1. Omeprazole injeksi
Omeprazole adalah obat untuk mengatasi asam lambung berlebih dan keluhan
yang mengikutinya. Obat ini umumnya digunakan untuk mengatasi
gastroesophageal reflux disease (GERD), sakit maag (gastritis), atau tukak
lambung.
2. Ketorolac injeksi
Ketorolac adalah obat untuk meredakan nyeri sedang hingga berat. Obat ini
sering digunakan setelah operasi atau prosedur medis yang bisa menyebabkan
nyeri.
3. Dexamethasone injeksi
Dexamethasone adalah obat kortikosteroid yang berfungsi mencegah pelepasan
zat yang menyebabkan peradangan dalam tubuh. Obat ini sering digunakan untuk
mengobati berbagai kondisi peradangan seperti alergi.
4. Paracetamol infus
Paracetamol dikenal akan manfaatnya sebagai penurun demam atau antipiretik
dan pereda rasa nyeri atau analgesik. Sebagai obat analgesik, paracetamol bisa
meredakan rasa nyeri ringan hingga sedang di berbagai area tubuh.
5. Ondansetron injeksi
Ondansetron adalah obat yang digunakan untuk mencegah serta mengobati mual
dan muntah.
6. Pamol supp
Pamol adalah salah satu nama dagang (nama paten) dari Paracetamol, obat ini
digunakan untuk membantu mengobati nyeri dan sakit ringan hingga sedang.
Selain itu, obat ini juga digunakan untuk membantu menurunkan demam.
7. Pulmicort nebu
Pulmicort merupakan cairan nebulizer yang mengandung zat aktif Budesonide.
Budesonide adalah obat anti inflamasi jenis kortikosteroid yang digunakan untuk
terapi pada penderita asma dan rhinitis alergi, dapat pula digunakan untuk
mengatasi penyakit kroup (laringotrakeobronkitis) atau infeksi saluran
pernapasan bagian atas yang biasa dialami oleh anak-anak.

5
8. Combivent nebu
Combivent bermanfaat untuk meredakan dan mencegah munculnya gejala sesak
napas atau mengi akibat penyempitan saluran pernapasan.
9. Norephineprine injeksi
Norepinephrine atau noradrenaline adalah obat yang berguna untuk mengobati
tekanan darah rendah (hipotensi), terutama yang sudah mengancam nyawa.
10. Stesolid rectal tube
Diazepam rektal dapat digunakan untuk menghentikan kejang berkepanjangan
ataupun kejang berulang pada anak dengan kondisi kejang demam ataupun
epilepsi.
11. Nicardipine injeksi
Nicardipine efektif untuk menurunkan tekanan darah pada pengidap hipertensi
(tekanan darah tinggi). Tekanan darah yang terkendali dapat meminimalisir
komplikasi, seperti gagal jantung, serangan jantung, gagal ginjal dan stroke.
12. Diphenhydramin injeksi
Diphenhydramine adalah obat antihistamin generasi pertama yang digunakan
dalam tata laksana alergi.
13. Asam traneksamat injeksi
Asam traneksamat adalah obat untuk menghentikan perdarahan pada beberapa
kondisi, seperti mimisan yang tidak kunjung berhenti, perdarahan yang berat saat
menstruasi, maupun perdarahan setelah operasi atau prosedur cabut gigi.
14. Nifedipine injeksi
Nifedipine adalah obat untuk mengatasi hipertensi. Selain itu, obat ini juga dapat
digunakan untuk mengatasi nyeri dada (angina pektoris) akibat penyakit jantung
koroner dan penyempitan pembuluh darah akibat sindrom Raynaud.
15. Betahistin tabelet
Betahistine adalah obat yang digunakan untuk menangani vertigo

6
ALUR STERILISASI DAN ALUR PENGOLAHAN
LIMBAH DI RUMAH SAKIT

MEGA YANTI SITANGGANG


B 221 036

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
BANDUNG
2023
1
TUGAS KHUSUS

A. ALUR STERILISASI DI RUMAH SAKIT

1. Peran Pusat Sterilisasi Di Rumah Sakit

Salah satu keberhasilan dalam pelayanan rumah sakit adalah rendahnya angka infeksi
nosokomal atau resiko penularan infeksi yang sering disebut dengan Healthcare Associated
Infections (HAIs). Pusat Sterilisasi (CSSD) merupakan instalasi yang sangat berperan untuk
mencegah terjadinya infeksi dan infeksi Nosokomial di rumah sakit, sehiungga Patient Safety
(Keamanan dan Keselamatan Pasien) dapat diwujudkan. Istilah untuk Pusat Sterilisasi
bervariasi, mulai dari Central Sterile Supply Department (CSSQ) Central Service (CS),
Central Supply (CS), Central Processing Department (CPD) dan lain-lain, namun
kesemuanya mempunyai fungsi utama yang sama yaitu menyiapkan alat-alat bersih dan steril
untuk keperluan perawatan pasien di rumah sakit. Secara lebih rinci fungsi dari pusat
sterilisasi adalah menerima, memproses, memproduksi, mensterilkan, menyimpan serta
mendistribusikan peralatan medis ke berbagai ruangan di rumah sakit untuk kepentingan
perawatan pasien.

Sterilisasi didefinisikan sebagai upaya untuk membunuh mikroorganisme termasuk


dalam bentuk spora. Desinfeksi merupakan proses untuk merusak organisme yang bersifat
patogen, namun tidak dapat mengeliminasi dalam bentuk spora (Tille, 2017). Dengan
semakin berkembangnya prosedur operasi maupun kompleksitas peralatan medik, maka
diperlukan proses sterilisasi yang tersentralisasi sehingga keseluruhan proses menjadi lebih
efisien, ekonomis dan keamanan pasien semakin terjamin.

2. Instalasi Pusat Sterilisasi


Instalasi Pusat Sterilisasi adalah unit pelayanan non struktural yang berfungsi
memberikan pelayanan sterilisasi yang sesuai standar/ pedoman dan memenuhi kebutuhan
barang steril di rumah sakit. Mengingat peran rumah sakit dan jenis kegiatan serta volume
pekerjaan pada instalasi pusat sterilisasi demikian besar, maka hendaknya rumah sakit
mempunyai pusat sterilisasi yang tersendiri, dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Kecepatan pelayanan Diharapkan pelayanan penyediaan barang-barang steril
yang diberikan oleh pusat sterilisasi menjadi lebih cepat sampai kepada unit
pemakainya, dengan mutu yang dapat dipertanggung jawabkan dan
memperpendek jalur birokrasi yang ada.

2
b. Pengendalian Infeksi Nosokomial Bersama-sama dengan tim pengendali infeksi
nosokomial rumah sakil dapat mengoptimalkan kerjasama dalam memantau
produk-produk yang dihasilkan oleh pusat sterilisasi, memberikan masukan dan
arahan pada pemakai di lapangan dalam mengatasi atau menurunkan angka
kejadian infeksi di rumah sakit.
c. Perkembangan ilmu dan teknologi Dengan semakin berkembangnya ilmu dan
teknologi, maka kompleksitas peralatan medis dan teknis medis memerlukan
prosedur sterilisasi yang optimal sehingga keseluruhan proses menghasilkan
kualitas sterilitas terjamin.
d. Produk-produk yang dihasilkan oleh pusat sterilisasi harus melalui proses yang
ketat sampai menjadi produk yang steril. Setiap proses sterilisasi berjalan selalu
dilengkapi dengan indikator kimia, biologi dan fisika. Secara berkala setiap tiga
bulan dilakukan test mikrobiologi. Diharapkan dengan kontrol yang ketat, produk
yang dihasilkan akan terjamin kualitas sterilitasnya, yang pada akhirnya dapat
menekan angka kejadian infeksi di rumah sakit.
e. Pengelolaan pusat sterilisasi yang profesional, diharapkan mampu menyediakan
produk steril yang dapat dipertanggung jawabkan dengan menekan biaya
operasional seminimal mungkin, mencegah terjadinya duplikasi proses sterilisasi,
dan memperpendek jalur birokrasi. Dengan demikian dapat meningkatkan
kecepatan pelayanan dalam distribusi barang steril.

3. Tingkat desinfeksi

Tingkat desinfeksi atau sterilisasi tergantung pada tujuan penggunaan objek: critical
items (seperti instrumen bedah, yang menghubungi jaringan steril), semicritical items (seperti
endoskopi, yang berhubungan dengan membran mukosa), dan noncritical items (seperti
stetoskop, yang hanya kontak kulit utuh) memerlukan sterilisasi, disinfeksi tingkat tinggi, dan
disinfeksi tingkat rendah. Pembersihan harus selalu mendahului disinfeksi dan sterilisasi
tingkat tinggi.
Sterilisasi merupakan tingkat pemrosesan ulang yang diperlukan saat memproses
peralatan/perangkat medis dengan menghancuran semua bentuk kehidupan mikroba termasuk
bakteri, virus, spora dan jamur. Sedangkan disinfektan menginaktivasi mikroorganisme yang
menghasilkan penyakti, tetapi tidak merusak spora bakteri. Sebelum sterilisasi maupun

3
disinfeksi dilakukan, perlu adaya pembersihan secara menyeluruh pada peralatan/perangkat
sehingga memperoleh hasil yang efektif.
Pengguna harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari metode khusus
ketika memilih proses desinfeksi atau sterilisasi. Kepatuhan terhadap rekomendasi ini harus
meningkatkan desinfeksi dan sterilisasi praktek di fasilitas perawatan kesehatan, sehingga
mengurangi infeksi yang terkait dengan item perawatan pasien yang terkontaminasi.

a. Critical Items
Barang yang terkait dengan risiko tinggi infeksi jika barang tersebut
terkontaminasi dengan mikroorganisme apa pun, termasuk spora bakteri. Dengan
demikian, sterilisasi objek yang masuk jaringan steril atau sistem vaskular sangat
penting, karena kontaminasi mikroba dapat menyebabkan penularan penyakit. Kategori
ini termasuk instrumen bedah, cardiac dan urinary catheters, implan, dan ultrasound-
probes yang digunakan dalam rongga tubuh steril. Item dalam kategori ini harus steril
atau harus disterilkan dengan sterilisasi uap, jika memungkinkan. Jika barang tersebut
sensitif terhadap panas, maka dapat dilakukan dengan Ethylene Oxide (ETO) atau
plasma gas hidrogen peroksida atau dengan sterilisasi kimia cair jika metode lain tidak
sesuai. Ini termasuk ⩾2.4% glutaraldehyde-based formulations, 1.12% glutaraldehyde
dengan 1.93% phenol/phenate, 7.5% stabilized hydrogen peroxide, 7.35% hydrogen
peroxide dengan 0.23% peracetic acid, ⩾0.2% peracetic acid, dan 1.0% hydrogen
peroxide dengan 0.08% peracetic acid. Waktu paparan yang ditunjukkan berada dalam
kisaran 3-12 jam, dengan pengecualian ⩾0,2% paracetic acid (waktu sporicidal 12
menit pada 50-56° C).
Penggunaan cairan kimia steril adalah metode sterilisasi yang dapat diandalkan
jika hanya pembersihan didahului pengobatan, yang menghilangkan bahan organik dan
anorganik, dan jika panduan yang tepat untuk konsentrasi, waktu kontak, suhu, dan pH
diikuti. Keterbatasan lain untuk sterilisasi perangkat dengan sterilisasi kimia cair adalah
bahwa perangkat tidak dapat dibungkus selama pemrosesan dalam cairan kimia steril;
dengan demikian, mempertahankan steril setelah pemrosesan dan selama penyimpanan
tidak mungkin. Selanjutnya, setelah terpapar dengan cairan kimia steril, alat mungkin
memerlukan pembilasan dengan air yang, secara umum, tidak steril. Oleh karena itu,
karena keterbatasan yang melekat pada penggunaan sterilisasi kimia cair dalam
nonautomated reprocessor, penggunaannya harus dibatasi untuk memproses ulang

4
perangkat penting yang sensitif terhadap panas dan tidak sesuai dengan metode
sterilisasi lainnya.

2. Semicritical Items
Merupakan barang yang bersentuhan dengan selaput lendir atau nonintact skin.
Peralatan pernapasan dan anestesi, beberapa endoskopi, laryngoscope blades,
esophageal manometry probes, anorectal manometry catheters, dan diaphragm-fitting
rings dimasukkan dalam kategori ini. Alat medis ini harus bebas dari semua
mikroorganisme (yaitu, mycobacteria, jamur, virus, dan bakteri), meskipun sejumlah
kecil spora bakteri mungkin ada. Secara umum, membran mukosa utuh, seperti paru-
paru atau saluran pencernaan, tahan terhadap infeksi oleh spora bakteri umum tetapi
rentan terhadap organisme lain, seperti bakteri, mikobakteri, dan virus.
Persyaratan minimum untuk barang semikritik adalah disinfeksi tingkat tinggi
menggunakan disinfektan kimia. Glutaraldehid, hidrogen peroksida, ortho-
phthalaldehyde (OPA), asam perasetat dengan hidrogen peroksida, dan klorin telah
dijelaskan oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dan disinfektan
tingkat tinggi yang dapat diandalkan ketika pedoman untuk prosedur kuman yang
efektif adalah diikuti. Waktu paparan untuk sebagian besar disinfektan tingkat tinggi
bervariasi dari 10 hingga 45 menit, pada 20-25°C. Wabah infeksi terus terjadi ketika
disinfektan yang tidak efektif, termasuk iodophor, alkohol, dan glutaraldehid berlebih,
digunakan untuk apa yang disebut disinfeksi tingkat tinggi. Ketika disinfektan dipilih
untuk digunakan dengan item perawatan pasien tertentu, kompatibilitas kimiawi setelah
penggunaan yang diperpanjang dengan item yang akan didesinfeksi juga harus
dipertimbangkan. Sebagai contoh, pengujian kompatibilitas oleh Olympus America dari
7,5% hidrogen peroksida menunjukkan perubahan kosmetik dan fungsional pada
endoskopi yang teruji. Demikian pula, Olympus Amerika tidak mendukung penggunaan
produk yang mengandung hidrogen peroksida dengan asam perasetat, karena kerusakan
kosmetik dan fungsional.
Barang semisitik yang akan memiliki kontak dengan selaput lendir saluran
pernafasan atau saluran cerna harus dibilas dengan air steril, air yang disaring, atau air
keran, diikuti oleh bilas alkohol. Pembilasan alkohol dan forced-air secara nyata
mengurangi kemungkinan kontaminasi instrumen (misalnya endoskopi), kemungkinan
besar dengan menghilangkan lingkungan basah yang mendukung pertumbuhan bakteri.

5
Setelah pembilasan, barang harus dikeringkan dan kemudian disimpan dengan baik
agar terhindar dari kerusakan atau kontaminasi. Tidak ada rekomendasi untuk
menggunakan air steril atau air yang disaring, daripada air keran, untuk membilas
peralatan semikrit yang akan bersentuhan dengan membran mukosa rektum
(misalnya, rectal-probes atau anoscopes) atau vagina (misalnya, vagina-probes).

3. Noncritical Items
Benda yang bersentuhan dengan kulit tetapi bukan selaput lendir. Kulit berfungsi
sebagai penghalang efektif untuk sebagian besar mikroorganisme, oleh karena itu,
sterilitas item yang bersentuhan dengan kulit adalah “tidak kritis.” Contoh barang tidak
penting adalah bedpans, manset tekanan darah, kruk, bed-rails, linen, meja samping
tempat tidur, furnitur pasien, dan lantai. Berbeda dengan kritis dan beberapa item
semikritik, sebagian besar barang yang tidak dapat digunakan kembali dapat
didekontaminasi di mana mereka digunakan dan tidak perlu diangkut ke area
pengolahan pusat.
Hampir tidak ada risiko yang terdokumentasi untuk menularkan agen infeksi
kepada pasien melalui item yang tidak penting ketika itu digunakan sebagai item yang
tidak penting dan tidak tersentuh kulit yang tidak sengaja dan / atau membran mukosa.
Namun, barang-barang ini (misalnya, meja samping tempat tidur atau bed-rails)
berpotensi berkontribusi pada transmisi sekunder, dengan mengkontaminasi tangan
petugas perawatan kesehatan atau dengan kontak dengan peralatan medis yang
kemudian akan bersentuhan dengan pasien. Waktu pemaparan untuk disinfektan ini
adalah 60 detik atau lebih lama.

6
4. Alur sterilisasi

Gambar 1. Alur sterilisasi

5. Sterilisasi rumah sakit

Tujuan dari sterilisasi adalah untuk menyiapkan peralatan perawatan dan kedokteran

dalam keadaan siap pakai, untuk mencegah peralatan rusak, mencegah terjadinya infeksi

silang, menjamin kebersihan alatdan menetapkan produk akhir dinyatakan steril dan aman

digunakan pasien.

7
Sterilisasi dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu :

a. Sterilisasi dengan suhu tinggi seperti sterilisasi uap (steam heat) dan sterilisasi
panas kering (dry heat).

b. Sterilisasi dengan suhu rendah seperti Ethylene oxide, Hydrogen peroxide plasma
sterilization danFormaldehyde atauformalin.

c. Sterilisasi dengan cairan kimia seperti Paracetic acid, Glutaral dehyde dan
Hydrogen peroxide.

d. Sterilisasi dengan radiasi seperti sinar gamma, sinar x dan sinar ultra violet.
Berdasarkan buku pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi di Rumah Sakit Tahun 2009

No Nama Mesin Chamber Volume (Liter) Set)


1 Mesin Steam 800 - 1000 1
2 Mesin Steam 360 - 600 2
3 Mesin Listrik/Dryheat 150 - 180 1
4 Mesin Disinfektan washer 300 - 500 1
5 Set washer Manual Berbagai Tipe/Ukuran 1
6 Mesin Cuci Handschoen Set 250 - 300 1
7 Mesin Pengering Slang Berbagai Tipe/Ukuran 1
8 Mesin Thylene Oxide/Plasma 130 - 400 2
9 Ultra Sonic Washer 40 - 60 1

Gambar 2. Kebutuhan Mesin SterilisasiRumah Sakit Tipe B Plus


atau B Kapasitas Bed 350 - 600 Tempat Tidur

6. Persyaratan Ruangan Sterilisasi Sentral


Pada prinsipnya desain ruang sterilisasi sentral terdiri dari ruang bersih dan ruang kotor
yang di buat sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang dari ruang
kotor ke ruang bersih. Selain itu pembagian ruangan disesuaikan dengan alur kerja. Ruang
sterilisasi sentral dibagi menjadi :
1) Ruang dekontaminasi
Pada ruang ini terjadi proses penerimaan barang kotor, dekontaminasi dan
pembersihan. Ruang dekontaminasi harus direncanakan, dipelihara dan di kontrol
untuk mendukung efisiensi proses dekontaminasi dan untuk melindungi pekerja
dari benda-benda yang dapat menyebabkan infeksi, racun dan hal-hal berbahaya

8
lainnya. Karenanya sistem ventilasi harus didesain sedemikian rupa sehingga
udara di ruang dekontaminasi harus :
 Dihisap keluar atau ke sistem sirkulasi udara yang mempunyai filter.
Tekanan udara harus negatif tidak mengkontaminasi udara ruangan lainnya.

 Pada ruangan dekontaminasi tidak dianjurkan menggunakan kipas angin.

 Suhu dan kelembaban yang direkomendasikan adalah

 Suhu udara antara 180 C - 220 C

 Kelembaban udara 35 % - 75 %.
Debu dan serangga adalah pembawa mikroorganisme, sehingga kebersihan

ruangan dekontaminasi sangatlah penting. alat-alat pembersih harus sesuai

dengan bahan-bahan pembersihnya. Harus ada peraturan tertulis mengenai

prosedur pengumpulan sampah dan transportasinya,pembuangan limbah baik

yang dapat dan tidak dapat menyebabkan infeksi dan juga berbahaya.

2) Ruang pengemasan alat


Di ruang ini dilakukan proses pengemasan alat, untuk alat bongkar pasang
maupun pengemasan dan penyimpanan barang bersih. Pada ruang ini dianjurkan
ada tempat penyimpanan barang tertutup. Suhu dan kelembaban yang
direkomendasikan adalah
 Suhu udara antara 180 C - 220 C

 Kelembaban udara antara 35 % - 75 %

3) Ruang produksi dan prosesing

Di ruang ini dilakukan pemeriksaan linen, dilipat dan dikemas untuk persiapan
sterilisasi. Pada daerah ini sebaiknya ada tempat untuk penyimpanan barang
yang tertutup. Selain linen, pada ruang ini juga dilakukan pula persiapan
untuk bahan seperti kainkasa, kapas dan lain-lainnya.
4) Ruang sterilisasi
Di ruang ini dilakukan proses sterilisasi alat atau bahan. Untuk sterilisasi yang
menggunakan Etilen oksida, sebaiknya dibuatkan ruang khusus yang terpisah
tetapi masih dalam satu unit dengan sterilisasi sentral dan dilengkapi dengan
exhaust.

9
5) Ruang penyimpanan
Ruang ini sebaiknya berada dekat dengan ruang sterilisasi. Apabila digunakan
mesin sterilisasi dua pintu, maka pintu belakang langsung berhubungan dengan
ruang penyimpanan. Di ruang ini penerangan harus memadai. Suhu dan
kelembaban yang direkomendasikan adalah :
 Suhu udara antara 180 C - 220 C
 Kelembaban udara antara 35 % - 75 %

B. ALUR PENGOLAHAN LIMBAH

Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit
dalam bentuk padat, cair dan gas. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan adalah
tempat berkumpulnya orang sakit maupun sehat sehingga dapat menjadi tempat sumber
penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan
kesehatan, juga menghasilkan limbah yang dapat menularkan penyakit.
Limbah Rumah Sakit bersifat berbahaya bagi kesehatan lingkungan, dan bagi
masyarakat di lingkungan Rumah Sakit dan sekitar. Limbah Rumah Sakit jika tidak dikelola
dengan baik dan sesuai aturan dapat mencemari lingkungan. Untuk menghindari risiko
tersebut maka diperlukan pengelolaan limbah di rumah sakit.

1. Tujuan Pengelolaan Limbah


a. Pengelolaan sampah RS dapat sesuai dengan aturan yang berlaku.
b. Melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan masyarakat sekitar
rumah sakit dari penyebaran infeksi dan cidera.
c. Membuang bahan-bahan berbahaya (sitotoksik, radioaktif, gas, limbah
infeksius, limbah kimiawi dan farmasi) dengan aman.
d. Mencegah pencemaran lingkungan di sekitar

2. Jenis Limbah
Rumah sakit harus mampu mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan dengan
cara mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) dan daur ulang
limbah (recycle).
a. Limbah Radioaktif
Limbah radio aktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotape
yang berasal dari penggunaan medik atau riset raadionucleida. Limbah ini

10
dapat berasal antara lain dari tindakan kedokteran nuklir, pemeriksaan
radiologi, radioimmunoassay, dan bakteriologis dapat berbentuk padat,
cair, atau gas.
b. Limbah Sangat Infeksius
Limbah insfeksius adalah limbah yang diduga mengandung bahan pathogen
(bakteri, virus, parasit atau jamur) dalam konsentrasi atau jumlah yang
cukup untuk menyebabkan penyakit pada penjamu yang rentan.
c. Limbah Infeklsius
Patologi dan Anatomi; Limbah patologis terdiri dari jaringa, organ, bagian
tubuh, janin manusia dan bangkai hewan, darah dan cairan tubuh (limbah
anatomis) atau subkategori dari limbah insfeksius.
d. Sitotoksis
Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin
terkontaminasi dengan obat sitotoksik selama peracikan,pengangkutan atau
tindakan terapi sitotoksik. Penanganan limbah ini memerlukan absorben
yang tepat dan bahan pembersihnya harus selalu tersedia dalam ruangan
peracikan.
e. Limbah Kimia dan Farmasi
Limbah farmasi mencakup produk farmasi, obat-obatan, vaksin dan serum
yang sudah kadaluwarsa, tidak digunakan, tumpah, dan dibuang dengan
tepat.

3. Proses Pengelolaan Limbah


Proses pengelolaan limbah dimulai dari identifikasi, pemisahan, labeling,
pengangkutan, penyimpanan hingga pembuangan/pemusnahan.
a) Identifikasi jenis limbah
Secara umum limbah medis dibagi menjadi padat, cair, dan gas. Sedangkan
kategori limbah medis padat terdiridari benda tajam, limbah infeksius, limbah
patologi, limbah sitotoksik, limbah tabung bertekanan, limbah genotoksik, limbah
farmasi, limbah dengan kandungan logam berat, limbah kimia, dan limbah
radioaktif.
b) Pemisahan limbah
Pemisahan limbah dimulai pada awal limbah dihasilkan dengan memisahkan
limbah sesuai dengan jenisnya. Tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, antara lain :

11
1. Limbah infeksius; Limbah yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh
masukkan kedalam kantong plastik berwarna kuning, diapers dianggap
limbah infeksius bila bekas pakai pasien infeksi saluran cerna, menstruasi
dan pasien dengan infeksi yang di transmisikan lewat darah atau cairan
tubuh lainnya.
2. Limbah non-infeksius; Limbah yang tidak terkontaminasi darah dan cairan
tubuh, masukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam. Contoh:
sampah rumah tangga, sisa makanan, sampah kantor.
3. Limbah benda tajam; Limbah yang memiliki permukaan tajam, masukkan
kedalam wadah tahan tusuk dan air. Contoh: jarum, spuit, ujung infus,
benda yang berpermukaan tajam.

c) Pengangkutan
Pengangkutan limbah harus menggunakan troli khusus yang kuat, tertutup dan
mudah dibersihkan, tidak boleh tercecer, petugas menggunakan APD ketika
mengangkut limbah. Lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien, bila
tidak memungkinkan atur waktu pengangkutan limbah.

d) Tempat penampungan limbah sementara


1. Tempat Penampungan Sementara (TPS) limbah sebelum dibawa ke tempat
penampungan akhir pembuangan.
2. Tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat dengan kuat.
3. Beri label pada kantong plastik limbah.
4. Setiap hari limbah diangkat dari TPS minimal 2 kali sehari.
5. Mengangkut limbah harus menggunakan kereta dorong khusus.
6. Kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup limbah tidak boleh
ada yang tercecer.
7. Gunakan APD ketika menangani limbah.
8. TPS harus di area terbuka, terjangkau oleh kendaraan, aman dan selalu
dijaga kebersihannya dan kondisi kering.

e) Pengolahan limbah
1. Limbah infeksius dimusnahkan dengan insenerator.
2. Limbah non-infeksius dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA).

12
3. Limbah benda tajam dimusnahkan dengan insenerator. Limbah cair dibuang
ke spoelhoek.
4. Limbah feces, urin, darah dibuang ke tempat pembuangan/pojok limbah
(spoelhoek).

f) Penanganan Limbah Benda Tajam/ Pecahan Kaca


1. Memperhatikan aspek K3RS (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
2. Tidak boleh menekuk atau mematahkan benda tajam.
3. Tidak boleh meletakkan limbah benda tajam sembarang tempat.
4. Segera membuang limbah benda tajam ke wadah yang tersedia tahan tusuk
dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi.
5. Selalu membuang sendiri oleh si pemakai/pengguna.
6. Tidak boleh menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai (recapping).
7. Wadah khusus benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan.
8. Bila menangani limbah pecahan kaca selalu menggunakan sarung tangan
rumah tangga.
9. Wadah Penampung Limbah Benda Tajam harus : Tahan bocor dan tahan
tusukan, Harus mempunyai pegangan yang dapat dijinjing dengan satu
tangan, Mempunyai penutup yang tidak dapat dibuka lagi, Bentuknya
dirancang agar dapat digunakan dengan satu tangan, Ditutup dan diganti
setelah ¾ bagian terisi dengan limbah; Ditangani bersama limbah medis

g) Pembuangan Benda Tajam


1. Wadah benda tajam merupakan limbah medis dan harus dimasukkan ke
dalam kantong medis sebelum insinerasi.
2. Idealnya semua benda tajam dapat diinsinersi, tetapi bila tidak mungkin
dapat dikubur dan dikapurisasi bersama limbah lain.
3. Apapun metode yang digunakan haruslah tidak memberikan kemungkinan
perlukaan.
4. Pemusnahan dilakukan oleh Pihak Ketiga Berizin.

h) Limbah B3
Limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya); seperti misalnya : Limbah Cair
Bahan Kimia Radiologi, Oli Bekas, Limbah Lampu TL, Sludge IPAL, Bateria,

13
Cartridge, Limbah Farmasi Kadaluarasa, Kemasan Terkontaminasi, Tabung Freon, dll;
maka dilakukan sbb :
1. Limbah B3 di Unit diambil oleh petugas limbah B3 setiap hari.
2. Disimpan di TPS Khusus Limbah B3
3. Setiap 2 hari sekali diangkut dan dimusnahkan oleh pihak ke-3 berizin
(dilengkapi dengan Manifest).
4. Pemusnahan dilakukan Pihak Ketiga dengan Incinerator dengan suhu diatas
1000oC.
5. Limbah B3 selalu dalam pemantauan.

i) Pengelolaan Limbah Cair


Limbah cair harus dikumpulkan dalam kontainer (wadah) yang sesuai dengan
karakteristik bahan kimia dan radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan
penyimpanannya.

1. Saluran pembuangan limbah harus menggunakan sistem saluran tertutp,


kedap air, dan limbah harus mengalir dengan lancar serta terpisah dengan
saluran air hujan.
2. Rumahsakit harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri at
au bersama-sama dengan bangunan disekitarnya yang memenuhi
persyaratan teknis, apabila belum ada atau tidak terjangkau sistem
pengolahan air limbah perkotaan.
3. Perlu dipasang alat pengukur debit limbah cair untuk mengetahui debit
hairan limbah yang dihasilkan.
4. Air limbah dari dapur harus dillengkapi penangkap lemak dan saluran air
limbah harus dilengkapi/ditutup dengan grill.
5. Air limbah yang berasal dari laboratorium dan instalasi medis lain (mis:
hemodialisa, kamar bedah, dll) yang menghasilkan limbah cari harus diolah
di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), yang sesuai dengan regulasi
yang berlaku.
6. Frekuensi pemeriksaan limbah cair terolah (efflunt) dilakukan setiap bulan
sekali untuk swapantau dan minimal 3 bulan sekali uji petik sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

14
GERAKAN MASYARAKAT CERDAS
MENGGUNAKAN OBAT
(GEMA CERMAT) DENGAN TANYA 5 O
Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan
Obat (GeMa CerMat)

CERDAS TANYA
GUNAKAN OBAT
LIMA O

GUNAKAN OBAT Sesuai


- petunjuk -
DENGAN BENAR informasi
4 Obat ini 3 Obat ini
Bagaimana CARA Berapa DOSISnya ?
MENGGUNAKANnya ? 2 Obat ini
Apa INDIKASI/
KHASIATnya ?
5 Obat ini
Apa EFEK 1 Obat ini
SAMPINGnya? TANYA Apa NAMA &
KANDUNGAN
LIMA O nya ?
Minum Obat
Caranya Jangan Salah...
Minum Obat
Sesuai Dosis... Minum Obat
Sesuai Petunjuk...

Minum Obat
Waspada Efek
Minum Obat
Samping...
Sesuai Indikasi...
KENALI OBAT ANDA  NAMA OBAT ???
Apa
bedanya ???
OBAT PATEN
Obat Paten = Obat
OBAT GENERIK mujarab ???

Obat Paten = Obat


OBAT GENERIK BERMERK bermerk ???
Obat Generik =
tidak manjur ???
PENGGOLONGAN OBAT
BERDASARKAN NAMA
MASA PATEN 20 – 40 TAHUN Masa paten habis, pabrik lain boleh memproduksi  obat generik

NAMA DAGANG®
Nama Generik
PATEN
INFORMASI PADA
KEMASAN OBAT
Baca dan pahami informasi pada
kemasan obat

Komposisi Efek Samping HET

Indikasi Kontra Indikasi No. Reg

Dosis dan Kadaluarsa Produsen


cara pakai
BACA DAN PELAJARI INFORMASI PADA
KEMASAN OBAT
• Kandungan obat yang berkhasiat dalam
KOMPOSISI pengobatan

INDIKASI • Manfaat atau khasiat obat

• Takaran dan cara pakai yang dapat memberikan


DOSIS DAN CARA PAKAI efek pengobatan

EFEK SAMPING • Efek dari obat yang merugikan

• Kondisi tertentu yang menyebabkan obat tersebut


KONTRA INDIKASI tidak boleh digunakan
• Waktu (bulan dan tahun) terakhir obat masih
TANGGAL KADALUWARSA dapat digunakan dengan aman
CARA PENGGUNAAN OBAT
ATURAN PAKAI WAKTU MINUM OBAT
Contoh: Obat harus diminum sesuai waktu terapi terbaik.
2 x 1 tablet/kapsul/sendok takar Contoh:
(setiap 12 jam) - Pagi hari, contoh: Vitamin
3x1 tablet/kapsul/sendok takaar - Malam hari, contoh: antikolesterol
(setiap 8 jam) - Sebelum makan, contoh: obat diabetes
- Sesudah makan, contoh: obat penghilang nyeri

HARUS DIPERHATIKAN  Obat diminum jika perlu


 Obat diminum hanya jika dibutuhkan contoh: obat penurun panas
contoh : flu, tidak perlu antibiotik  Obat dalam bentuk tablet/kapsul
 Obat Antibiotik diminum sampai habis diminum dengan air putih.
HARUS DIPERHATIKAN

EFEK SAMPING OBAT


Adalah efek obat yang merugikan dan
KONTRA INDIKASI
tidak diharapkan, yang terjadi karena Adalah kondisi tertentu yang
penggunaan obat pada dosis yang menyebabkan penggunaan obt
dianjurkan. tersebut tidak dianjurkan atau
dilarang karena dapat
meningkatkan risiko terhadap
pasien.
TERIMA KASIH SEMOGA BERMANFAAT 

Anda mungkin juga menyukai