1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
masyarakat terhadap pentingnya kualitas kesehatan juga terus meningkat. Hal ini
meningkat. Salah satu dari sarana pelayanan kesehatan yang menjadi rujukan masyarakat
adalah rumah sakit. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 72
tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat. Karena itu, rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan
yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh
lapisan masyarakat, dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan rumah
sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan
Waktu tunggu pelayanan merupakan masalah yang masih banyak dijumpai dalam
ketidakpuasan terhadap pasien (Heru, 2017). Waktu tunggu menjadi salah satu standar
minimal pelayanan farmasi di rumah sakit. Waktu tunggu pelayanan resep adalah
tenggang waktu mulai dari pasien menyerahkan resep sampai pasien menerima obat dari
petugas farmasi.
2
Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya merupakan salah satu rumah sakit milik
mempunyai tenaga sebanyak 31 orang tenaga teknis kefarmasin dan 25 orang apoteker,
dimana resep yang masuk per hari mencapai ratusan lembar di farmasi rawat jalan baik
2. Rumusan Masalah
Berapa rata-rata waktu tunggu pelayanan resep kronis rawat jalan di Instalasi
3. Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan data waktu tunggu pelayanan resep kronis bagi pasien rawat
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Rumah Sakit
Jenis-jenis Rumah Sakit di Indonesia secara umum ada lima, yaitu Rumah Sakit
Umum, Rumah Sakit Khusus atau Spesialis, Rumah Sakit Pendidikan dan Penelitian,
Rumah Sakit Lembaga atau Perusahaan, dan Klinik (Haliman, 2012). Berikut
penjelasan dari lima jenis Rumah Sakit tersebut :
a. Rumah Sakit Umum
4
jam (Ruang gawat darurat). Untuk mengatasi bahaya dalam waktu
secepat-cepatnya dan memberikan pertolongan pertama. Di dalamnya
juga terdapat layanan rawat inap dan perawatan intensif, fasilitas bedah,
ruang bersalin, laboratorium, dan sarana-prasarana lain.
b. Rumah Sakit Khusus atau Spesialis
Rumah sakit ini adalah Rumah Sakit yang didirikan oleh suatu
lembaga atau perusahaan untuk melayani pasien-pasien yang merupakan
anggota lembaga tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 12 Permenkes No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi
dan Perizinan Rumah sakit:
1. Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas)
spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis
lain dan 2 (dua) subspesialis dasar.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik.
5
4. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis
dasar.
3. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi Farmasi Rumah Sakit secara umum dapat diartikan sebagai suatu
departemen atau unit atau bagian dari suatu rumah sakit dibawah pimpinan seorang
apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan
perundang-undangan yang berlaku dan bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri dari pelayanan paripurna mencakup perencanaan,
pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan atau sediaan farmasi,
dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita saat tinggal maupun rawat jalan,
pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan
kesehatan di rumah sakit. Rawat Jalan adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien
yang masuk rumah sakit untuk keperluan observasi, diagnosa, pengobatan, rehabilitasi
medis dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal di ruang inap.
Instalasi rawat jalan bukanlah suatu unit pelayanan rumah sakit yang dapat
bekerja sendiri, melainkan juga mempunyai kaitan dengan sangat erat dengan instalasi
lain di rumah sakit agar dapat memberikan pelayanan kepada pasien dengan baik.
Instalasi atau bagian lain yang mempunyai kaitan erat dengan rawat jalan, antara lain
unit rekam medik, staf medis fungsional, laboratorium, pemeliharaan sarana rumah
sakit, radiologi, logistik, dan keuangan. Agar dapat memberikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada pasien maka dalam melakukan kegiatan pelayanan, unit atau bagian
tersebut harus berkoordinasi dengan baik. Pelayanan rawat jalan adalah pelayanan
pertama dan merupakan pintu gerbang rumah sakit, serta merupakan satu-satunya
bagian dari pelayanan medik yang memberikan kesan pertama bagi pasien sebagai
konsumen (Bustani dkk, 2015).
Menurut surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, terdapat 21
jenis pelayanan rumah sakit yang minimal wajib disediakan oleh rumah sakit, salah
satunya adalah pelayanan farmasi yang meliputi:
1. Waktu Tunggu Pelayanan (obat non racikan dan obat racikan)
2. Tidak adanya kejadian kesalahan pemberian obat
3. Kepuasan pelanggan
6
4. Penulisan resep sesuai formularium
4. Waktu tunggu
Waktu tunggu pelayanan resep merupakan salah satu indikator mutu yang menilai
setiap jenis pelayanan yang diberikan. Waktu tunggu pelayanan resep adalahwaktu tunggu
dihitung mulai pasien membawa resep diserahkan kepada petugas farmasi untuk disiapkan
sampai obat diterima oleh pasien yang disertai pembekalan komunikasi, informasi, dan
edukasi. Waktu tunggu pelayanan resep obat jadi adalah tenggang waktu mulai pasien
menyerahkan resep sampai dengan menerima obat jadi dengan standar waktu yang
ditetapkan yaitu ≤30 menit. Sedangkan, waktu tunggu pelayanan resep obat racikan
adalah tenggang waktu mulai pasien menyerahkan resep sampai dengan menerima obat
racikan dengan standar waktu yang ditetapkan yaitu ≤60 menit.
Ketatnya kompetisi jasa rumah sakit serta banyaknya tuntutan masyarakat akan
pelayanan yang cepat dan bermutu memaksa rumah sakit untuk meningkatkan kualitas
pelayanannya. Waktu tunggu merupakan salah satu komponen yang menyebabkan
ketidakpuasan pasien, yang berdampak pada loyalitas pasien. Waktu tunggu pelayanan
resep adalah tenggang waktu mulai dari pasien menyerahkan resep kepada petugas
farmasi sampai menerima obat dari petugas farmasi. Pelayanan farmasi merupakan
revenue center bagi rumah sakit, sehingga pendapatan rumah sakit dapat ditingkatkan
melalui banyaknya resep yang terlayani mengingat lebih dari 90% pelayanan kesehatan
menggunakan perbekalan farmasi dan 50% pemasukan rumah sakit berasal dari
perbekalanfarmasi (Suryoputro, dkk. 2016).
Menurut penelitian yang dilakukan Widiasari (Wai. 2018), waktu tunggu pelayanan resep
terdiri dari berbagai tahap yaitu:
1. Tahap penghargaan, tahap pembayaran, dan penomoran memakan waktu lebih
dari satu menit karena komputer yang menghargai lambat dalam merespon
disebabkan karena memory server tidak cukup menampung data yang ada.
2. Tahap resep masuk dan tahap pemgecekan dan penyerahan obat memerlukan
waktu lenih dari dua menit, karena tidak ada petugas yang mengambil resep
pada tahap resep masuk dan pada tahap pengecekan, dan penyerahan obat
tidak ada petugas yang mengecek dan menyerahkan obat sebab petugas sudah
sibuk dengan tahap yang lain terlebih pada saat jam-jam puncak dimana
terjadi penumpukan resep.
3. Tahap pengambilan obat paten, tahap pembuatan obat racikan dan tahap etiket
7
dan kemas membutuhkan waktu agak lama jika dibandingkan dengan tahap
yang lainnya karena dibutuhkan waktu untuk mencari dan mengambil obat
paten sedangkan untuk obat racikan diperlukan waktu menghitung,
menimbang dan mengambil obat sesuai dengan dosis yang diperbolehkan,
serta etiket dan kemas membutuhkan ketelitian, khusunya pada obat racikan
agar tepat dosisnya pada setiap kemasan.
Sedangkan, penyebab lamanya waktu pelayanan resep pasien umum menurut Ayuningtyas
(Yulianthy. 2012) dalam penelitiannya yaitu:
a. Adanya komponen delay yang menyebabkan proses menjadi lebih lama.
Delay disebabkan Antara lain karena petugas belum mengerjakan resep karena
mengerjakan kegiatan lain atau mengerjakan resep sebelumnya. Hal ini terlihat
dari hasil penelitiannya, dimana total waktu komponen delay lebih besar dari total
waktu komponen tindakan baik pada resep non racikan maupun resep racikan.
Komponen delay lebih besar daripada komponen tindakan menandakan proses
pelayanan resep kurang efektif.
b. Obat sering kosong sehingga membutuhkan waktu untuk mengambil obat tersebut
di gudang.
c. Program komputer yang belum sempurna, yang mengakibatkan beberapa
pekerjaan dikerjakan secara manual.
8
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di RSUD Majalaya pada bagian instalasi farmasi rawat jalan
lantai 1 dan lantai 2. Pengumpulan data di lakukan secara acak dari tanggal 2 - 14 februari
2023. Dalam menentukan jumlah sampel penelitian menggunakan Tabel Krejcie dan Morgan
dimana dari 150 populasi di ambil sebanyak 108 sampel. Metode penelitian yang digunakan
yaitu dengan melalui pengamatan langsung dan pencatatan waktu tunggu pelayanan resep.
Untuk mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi waktu tunggu pelayanan resep
dilakukan melalui metode wawancara dengan apoteker penanggung jawab di depo farmasi
rawat jalan RSUD Majalaya mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi waktu
tunggu pelayanan resep, serta permasalahan apa yang sering terjadi saat pelayanan resep
sehingga dapat mempengaruhi waktu pelayanan resep kronis. Dalam penelitian ini alat
pengumpulan data yang digunakan adalah jam digital untuk mengetahui waktu tunggu
pelayanan resep kronis.
9
BAB IV
Instalasi farmasi merupakan salah satu bagian penting dari rumah sakit. Instalasi rumah
sakit memiliki tugas utama dalam pengelolaan obat dan BMHP serta pelayanan farmasi
klinis. Salah satu indikator pelayanan dalam bidang farmasi yang tertuang dalam Standar
Pelayanan Minimal (SPM) rumah sakit adalah waktu tunggu (Permenkes No. 129 Tahun
2008). Waktu tunggu pelayanan resep merupakan tenggang waktu mulai pasien menyerahkan
resep kepada petugas farmasi hingga penyerahkan obat kepada pasien. Seperti yang tertuang
pada SPM rumah sakit, standar waktu tunggu pelayanan resep obat jadi (non racikan) adalah
≤30 menit dan waktu tunggu obat racikan adalah ≤60 menit. Alur pelayanan resep di RSUD
Majalaya sudah diatur dalam SOP pelayanan resep rawat jalan terutama resep kronis yang
dijamin BPJS dimulai dari penerimaan resep, pemberian nomor antrian, skrining resep,
penginputan resep, penginputan resep kronis, penyiapan obat, pemberian etiket. Kemudian,
sebelum obat diserahkan, petugas farmasi memeriksa kembali obat dalam resep yang telah
disiapkan. Dari 150 polulasi resep kronis di dapatkan 108 data sebagai berikut ;
10
NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI
1 10:08 0:04 10:12 0:08 10:16 0:06 10:22 0:14
2 10:27 0:05 10:32 0:08 10:35 0:02 10:37 0:10
3 10:29 0:04 10:33 0:07 10:36 0:03 10:39 0:10
RATA
RATA 0:11
Tabel 3, Sabtu 04 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 1
11
NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI
1 10:58 0:15 11:13 0:09 11:22 0:03 11:25 0:27
2 10:59 0:15 11:14 0:08 11:22 0:04 11:26 0:27
3 11:01 0:14 11:15 0:09 11:24 0:04 11:28 0:27
4 11:02 0:14 11:16 0:08 11:24 0:05 11:29 0:27
5 11:09 0:22 11:31 0:11 11:42 0:08 11:50 0:41
6 11:12 0:21 11:33 0:10 11:43 0:08 11:51 0:39
7 11:14 0:20 11:34 0:10 11:44 0:08 11:52 0:38
8 11:15 0:21 11:36 0:11 11:47 0:06 11:53 0:38
9 11:16 0:22 11:38 0:09 11:47 0:06 11:53 0:37
10 11:55 0:17 12:12 0:06 12:18 0:06 12:24 0:29
11 11:58 0:15 12:13 0:05 12:18 0:06 12:24 0:26
12 12:00 0:13 12:13 0:06 12:19 0:06 12:25 0:25
13 12:01 0:13 12:14 0:05 12:19 0:07 12:26 0:25
14 12:50 0:31 13:21 0:07 13:28 0:02 13:30 0:40
15 12:51 0:30 13:21 0:07 13:28 0:04 13:32 0:41
16 12:53 0:29 13:22 0:06 13:28 0:05 13:33 0:40
17 12:54 0:28 13:22 0:06 13:28 0:05 13:33 0:39
RATA
RATA 0:33
Tabel 7, Kamis 09 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 2
12
NO BILL KRONIS PENYIAPAN ETIKET SELSAI
1 9:27 0:24 9:51 0:13 10:04 0:02 10:06 0:39
2 9:38 0:14 9:52 0:12 10:04 0:02 10:06 0:28
3 9:40 0:13 9:53 0:11 10:04 0:05 10:09 0:29
4 10:21 0:16 10:37 0:11 10:48 0:04 10:52 0:31
5 10:25 0:13 10:38 0:10 10:48 0:05 10:53 0:28
6 10:46 0:29 11:15 0:11 11:26 0:03 11:29 0:43
7 10:51 0:26 11:17 0:16 11:33 0:06 11:39 0:48
8 11:03 0:16 11:19 0:14 11:33 0:11 11:44 0:41
9 11:05 0:15 11:20 0:13 11:33 0:15 11:48 0:43
10 11:59 0:30 12:29 0:24 12:53 0:19 13:12 1:13
11 12:02 0:27 12:29 0:24 12:53 0:20 13:13 1:11
RATA
RATA 0:43
Tabel 9, Senin 13 Februari 2023, Farmasi Rawat Jalan 2
Dari data waktu tunggu resep kronis di atas dapat kita lihat bahwa waktu yang
dibutuhkan oleh petugas farmasi untuk menginput 1 resep membutuhkan waktu paling cepat
1 menit dan paling lama adalah 5 menit. Jika kita lihat pula waktu yang dibutuhkan untuk
menginput resep kronis ke aplikasi klem obat bpjs membutuhkan waktu 1 – 3 menit per
resep, jika dilihat dari kecepatan penginputan obat dari satu resep ke resep lainnya maka
tenaga personil sudah sangat baik dan cepat, namun jika dilihat tenggang waktu dari
penginputan obat ke penginputan resep kronis maka didapatkan tenggang waktu yang cukup
lama yaitu antara 6 – 30 menit, dimana resep dikumpulkan terlebih dahulu hingga selsai di
input kemudian sekaligus di input pada aplikasi klem bpjs untuk klem obat krois.
Penumpukan resep ini juga disebabkan karena tenaga personil yang menginput resep terbatas
dimana 1 orang dan maksimal hanya 2 orang yang menginput resep selama depo farmasi
rawat jalan berjalan disetiap harinya, jumlah komputer yang terbatas dan alokasi tenaga yang
tidak merata membuat penumpukan di beberapa titik seperti penumpukan di bagian
penginputan. Penumpukan ini berdampak pada tahapan selanjutnya dalam penyiapan resep
13
dimana penumpukan resep menyebabkan penyiapan menjadi lebih lama dan menyebabkan
waktu tunggu menjadi lebih lama terutama pada jam jam siang dimana semua poli beroprasi
secara bersamaan sehingga pasien yang datang ke farmasi datang secara bersamaan
membawa resep. Pada tahapan selanjutnya yaitu penempelan etiket sekligus pengecekan
dibutuhkan waktu yang relatif cepat yaitu 2 – 5 menit namun, penumpukan antrian obat yang
akan di lakukan pengecekan dan penempelan etiket membuat waktu tunggu menjadi lebih
lama hingga 20 -30 menit hal ini disebabkan karena dalam pengecekan dibutuhkan ketelitian
sehingga obat yang di siapkan benar dan sesuai dengan resep hingga diterima oleh pasien.
Beberapa faktor yang secara teori dapat mempengaruhi waktu tunggu diantaranya ;
1. Jenis Resep
Jenis resep termasuk faktor yang mempengaruhi waktu tunggu pelayanan resep. Waktu
tunggu pelayanan resep racikan cenderung lebih lama dibandingkan dengan resep non
racikan. Hal ini dikarenakan pada pengerjaan resep racikan diperlukan waktu untuk
penginputan resep, menghitung dosis serta perlu dilakukan peracikan pada tahap
pengerjaannya. Namun, beberapa resep obat non racikan juga memerlukan waktu
pengerjaan yang lebih lama, seperti resep non racikan pada pasien dengan penyakit
kronis. Resep ini memerlukan waktu yang lebih lama pada proses penginputan karena
harus di lakukan pengecekan pengunaan lama obatnya dan obat yang diresepkan
cenderung berjumlah banyak.
2. Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM)
Menurut penelitian Siregar (2018) jumlah SDM dalam pelayanan resep sangat
berpengaruh pada waktu tunggu resep. Semakin banyak tenaga yang dimiliki, maka
semakin cepat pelayanan resep yang akan diberikan. Depo farmasi rawat jalan RSUD
Majalaya memiliki 2 orang apoteker dan 6 orang tenaga teknis kefarmasian (TTK) yang
bertugas pada setiap shift terkecuali pada hari Sabtu. Berdasarkan Permenkes RI
Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, SDM Rumah
Sakit Umum kelas B untuk tenaga kefarmasian yang bertugas di rawat jalan terdiri dari
4 (empat) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 8
(delapan) orang tenaga teknis kefarmasian setiap shiftnya. Menurut Permenkes RI
Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,
menjelaskan bahwa penghitungan kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada
pelayanan kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan kefarmasian manajerial
dan pelayanan farmasi klinik dengan aktifitas pengkajian resep, penyerahan obat,
14
pencatatan penggunaan obat, dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker
dengan rasio 1 apoteker untuk 50 pasien.
3. Sarana Dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang kurang memadai menyebabkan pelayanan resep menjadi
lambat. Jumlah komputer yang terbatas membuat pelayanan menjadi tidak efektif,
sehingga saat terjadi error pada komputer atau sistem membuat pelayanan menjadi
terganggu. Dengan jumlah komputer yang terbatas membuat penginputan resep
menjadi menumpuk karena hanya mengandalkan fasilitas yang ada.
Selain dari faktor – faktor tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi dalam
pelayanan resep di RSUD Majalaya yang dapat mempengaruhi waktu pelayanan resep.
Ketidak lengkapan data pasien yang dituliskan pada resep membuat petugas depo farmasi
harus mengkonfirmasi ulang kepada pasien. Penulisan obat yang tidak sesuai dengan
formularium, sehingga membuat petugas harus mengkonfirmasi ulang kepada dokter penulis
resep. Stok obat yang habis juga dapat membuat waktu pelayanan resep menjadi lama.
15
BAB V
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56
Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Siregar, 2018. Waktu Tunggu Pelayanan Resep Rawat Jalan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.
17
PROGRAM PENCEGAHAN PENGENDALIAN
RESISTENSI ANTIMIKROBA (PPRA) DI RUMAH
SAKIT UMUM MAJALAYA
1
TUGAS KHUSUS
PROGRAM PENCEGAHAN PENGENDALIAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA (PPRA)
DI RUMAH SAKIT UMUM MAJALAYA
2
evaluasi secara kualitatif dan kuantitatif penggunaan antibiotik di rumah sakit. Evaluasi
penggunaan antibiotik secara kualitatif dilakukan dengan cara melihat data dari form
penggunaan antibiotik dan rekam medik pasien untuk melihat perjalanan penyakit. Data
yang diperoleh diolah dengan menggunakan alur penilaian menurut Gyssens untuk
menentukan kategori kualitas penggunaan setiap antibiotik yang digunakan (Gyssens, 1992).
Evaluasi secara kuantitas dapat dilakukan dengan menggunakan klasifikasi secara
Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification dan pengukuran jumlah penggunaan
antibiotik dengan Defined Daily Dose (DDD)/100 patient-days (WHO, 2013).
KABUPATEN BANDUNG
3
infeksi yang dibuktikan dengan pemeriksaan
laboratorium (leukosit > 10.000 atau < 3800) dan
febris 37,5 derajat;
4
3. Komite Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA)
Anggota :
1. dr. Rifqy Wahyu Moch Ihsan
4. Samsurahman, Amd. AK
5
4. Tugas Pokok
Tugas Sekretaris
1. Memfasilitasi tugas ketua PPRA
2. Membantu koordinasi
3. Mengagendakan kegiatan komite PPRA
4. Bertanggung jawab kepada ketua komite PPRA dan
berkoordinasi dengan unit terkait lainnya
5. Memberikan masukan pada pedoman maupun kebijakan terkait
PPRA
6
3. Terselenggaranya pelatihan dan pendidikan terkait
resistensi antimikroba.
7
pemilihan antimikroba, rejimen dosis serta terlibat da;am
pengelolaan pasien infeksi melalui kunjungan diruang
warat pasien.
3. Melaksanakan automatic stop order pemberian
antimikroba sesuai dengan indikasinya dan
mendiskusikan ulang dengan DPJP.
4. Memberikan layanan informasi antimikroba kepada tenaga
kesehatan
5. Melaksanakan pemantauan manfaat dan
keamanan antimikroba setelah diberikan kepada
pasien.
6. Menjamin ketersediaan antimikroba untuk profilaksis dan terapi
7. Melakukan evaluasi penggunaan antimikroba secara kuantitatif
B. Dokter
1. Merawat pasien secara etis dan professional.
2. Memberikan antimikroba sesuai dengan PPK dan
Clinical Pathway penyakit infeksi, Formularium rs, dan
PPAB.
3. Mematuhi aturan yang ditertibkan oleh pimpinan rumah
sakit tentang pengendalian resistensi antimikorba
4. Melakukan evaluasi penggunaan antimimikroba secara kualitatif
C. Mikrobiologi Klinik
1. Memberikan pelayanan pemeriksaan mikrobiologi
untuk tujuan diagnosis infeksi yang meliputi uji biakan
mikroba pathogen, uji kepekaan terhadap mikroba,
deteksi antigen dan antibodi.
2. Memberikan konsultasi hasil pengujian atau kelayakan
specimen yang tepat dalam upaya menegakkan diagnosis
serta metode pemeriksaan mikrobiologi yang tepat.
3. Membuat antibogram secara berkala setiap 6-12 bulan dan
8
melakukan upaya peningkatan kualitas dan pemanfaatan
antibiogram dalam penatagunaan antimikroba.
D. Perawat
1. Melakukan penerapan 10 benar sebelum pemberian
antimikroba pertama kali
2. Mengidentifikasi riwayat alergi antimikroba pada pasien secara
akurat
3. Melakukan penanganan specimen klinik dan
menyampaikan informasi tentang hasil mikrobiologi
terbaru kepada dokter secepatnya.
4. Bersama Tim PGA mendiskusikan pergantian rute
pemberian antimikroba IV ke oral dan peluang de-
eskalasi terapi antimikroba dengan farmasi dan DPJP
E. PPI
1. Membuat dan mengevaluasi kebijakan pencegahan dan
pengendalian infeksi
2. Melaksanakan sosialiasi kebijakan pencegahan dan
pengendalian infeksi rumah sakit agar dapat dipahami dan
dilaksanakan oleh petugas kesehatan
3. Terlibat dalam forum kajian pengelolaan penyakit infeksi
secara terintegrasi
4. Mengusulkan kepada direktur penetapan karantina,
penutupan atau isolasi ruangan /unit kerja sebagai hasil
investigasi KLB Infeksi
9
obat haruslah mampu mencakup sebagian besar obat-obatan yang tersedia di
pasaran (WHO, 2020).
Defined Daily Dose (DDD) adalah asumsi dosis rata-rata per hari
penggunaan antibiotik untuk indikasi tertentu pada orang dewasa (Permenkes,
2011 & WHO, 2020). Data yang disajikan dalam DDD hanya memberikan
estimasi penggunaan dan bukan gambaran yang tepat tentang penggunaan aktual.
DDD menyediakan unit tetap pengukuran yang tidak tergantung terhadap harga,
mata uang, ukuran dan kekuatan paket memungkinkan peneliti untuk menilai tren
konsumsi obat dan untuk melakukan perbandingan antara kelompok populasi
(WHO, 2020).
DDD hanya digunakan untuk obat dengan kode ATC, dan tidak digunakan
untuk suatu zat sebelum suatu produk disetujui dan dipasarkan paling tidak satu
satu negara. Prinsip dasar adalah untuk menetapkan hanya satu DDD per rute
administrasi dalam suatu Kode ATC (WHO, 2020). Ketika suatu DDD baru
ditetapkan, berbagai sumber digunakan untuk mendapatkan gambaran umum
terbaik penggunaan aktual atau yang diharapkan dari suatu substansi (WHO,
2020). DDD sering digunakan sebagai indikator untuk penggunaan antibakteri di
rumah sakit, dan telah diputuskan bahwa DDD yang berbeda untuk formulasi oral
dan parenteral bisa menjadi sangat penting dalam beberapa kasus (WHO, 2020).
Angka penggunaan obat yang dinyatakan dalam DDD umumnya dilaporkan dalam
satuan unit yang mengontrol untuk perbedaan ukuran populasi. Ini memberikan
pengukuran paparan atau intensitas terapeutik dalam populasi yang ditentukan,
memungkinkan perbandingan lintas berbagai periode waktu dan kelompok
populasi (WHO, 2020).
Penilaian penggunaan antibiotik di rumah sakit dengan satuan DDD/100 hari
rawat; dan di komunitas dengan satuan DDD/1000 penduduk. Kuantitas
penggunaan antibiotik juga dapat dinyatakan dalam DDD 100 patient-days, dengan
rumus berikut : (Kemenkes RI, 2011)
(jumlah gram AB yang digunakan oleh pasien) 100
10
b. Evaluasi kualitatif
Penilaian kualitas penggunaan antibiotik bertujuan untuk perbaikan
kebijakan atau penerapan program edukasi yang lebih tepat terkait kualitas
penggunaan antibiotik (Kemenkes RI., 2011). Kualitas penggunaan terapi
antibiotik empiris dan profilaksis umumnya dinilai dari data yang tersedia pada
surveilans lokal dan resistensi mikroba serta informasi yang didapatkan pada
epidemiologi infeksi dan organisme penyebab secara lokal. Laboratorium
mikrobiologi memainkan peran utama dalam pengumpulan data, analisis, dan
pelaporan data surveilan dan menyediakan informasi yang digunakan terhadap
pilihan terapi empiris ("well-educated guess") atau profilaksis. Pedoman terapi
empiris dan profilaksis berdasarkan surveilans ini seharusnya tersedia di setiap
fasilitas pelayanan Kesehatan (Gyssens, C.I., 2005).
Untuk mengawasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah sakit maka perlu
dilakukan evaluasi atau audit kualitas penggunaan antibiotik. Audit penggunaan
antibiotik dapat didefinisikan sebagai analisis kesesuaian resep individu dan
merupakan metode lengkap untuk menilai semua aspek terapi (Gyssens, C.I.,
2005).
Metode Gyssens
Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2011 merekomendasikan penggunaan
kriteria Van der Meer-Gyssens dalam mengevaluasi penggunaan antibiotik.
Metode van der Meer-Gyssens merupakan suatu diagram alir yang diadaptasi dari
kriteria Kuinin, et al. Metode ini mengevaluasi seluruh aspek peresepan antibiotik,
seperti: penilaian peresepan, alternatif yang lebih efektif, alternatif yang kurang
toksik, lebih murah, spektrum lebih sempit. Selain itu juga dievaluasi lama
pengobatan dan dosis, interval dan rute pemberian serta waktu pemberian (Gysens,
C.I dan Van der Meer, M.W.J., 2001). Selama prosedur evaluasi, diagram alir
dibaca dari atas ke bawah untuk mengevaluasi setiap parameter yang terkait
dengan proses outcome (Gyssens, C.I., 2005).
11
Gambar 1. Diagram alir untuk mengevaluasi peresepan antibiotik (Van der Meer
and Gyssens, 2001).
12
dapat ditegakkan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila
data lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada
infeksi yang membutuhkan antibiotik?
2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotik, berhenti di kategori V. Bila
antibiotik memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya.
Apakah pemilihan antibiotik sudah tepat?
3. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVa.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
lain yang kurang toksik? Bila ada pilihan antibiotik lain yang kurang toksik,
berhenti di kategori IVb. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di
bawahnya, apakah ada alternatif lebih murah?
4. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah, berhenti di kategori IVc.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
lain yang spektrumnya lebih sempit?
5. Bila ada pilihan antibiotik lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti
di kategori IVd. Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit, lanjutkan
dengan pertanyaan di bawahnya, apakah durasi antibiotik yang diberikan
terlalu panjang?
6. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu panjang, berhenti di kategori IIIa.
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi antibiotik terlalu
singkat?
7. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu singkat, berhenti di kategori IIIb.
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah dosis
antibiotik yang diberikan sudah tepat?
8. Bila dosis pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIa.
Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, apakah interval
antibiotik yang diberikan sudah tepat?
9. Bila interval pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIb.
10. Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah
rute pemberian antibiotik sudah tepat?
11. Bila rute pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIc. Bila
rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya.
12. Bila antibiotik tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, antibiotik
tersebut merupakan kategori 0.
13
DAFTAR PUSAKA
Gyssens, I.C., dan Van der Meers, J.W.M. (2001). Quality of Antibicrobial Drug
Prescription in Hospital, Clinical Microbiology Infection,
Gyssens, I.C. (2005). Audit for Monitoring the Quality of Antimicrobial Prsescription,
Dalam: Antibiotic Policies: Theory and Practice. Penyunting: Ian M. Gould., Jos
W. M. Van der Meer, New York: Kluwer Academic Publishers
PERMENKES RI, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Kementrian
Kesehatan RI, Jakarta
Utami, E.R. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Sainstis. Vol. 1. No.
1 April-September.
14
DISTRIBUSI OBAT DAN PERBEKALAN
FARMASI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
MAJALAYA
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Rumah sakit adalah salah satu sarana penyelenggaraan pelayanan kesehatan, dituntut
untuk mampu memberikan pelayanan yang baik dan bermutu.Untuk dapat terlaksananya
manajemen rumah sakit yang efektif dan efesien diperlukan infrastruktur yang
memadai.Menyadari bahwa rumah sakit merupakan organisasi yang kompleks maka harus
dikelola dengan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan pelayanan yang baik (Arif,
2003).
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Managemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi
manajerial rumah sakit secara keseluruhan karena ketidakefisienan akan memberikan
dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medis maupun secara ekonomis. Tujuan
managemen obat rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan tersedia ketika dibutuhkan,
dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin, dan harga terjangkau untuk mendukung
pelayanan yang bermutu. Masing-masing tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait
sehingga harus dikelola dengan baik agar masing- masing dapat dikelola secara optimal.
(Satibi, 2016). Siklus managemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung managemen
(management support) yaitu organisasi, admnistrasi, keuangan sistem, informasi managemen
(SIM), dan sumber daya manusia (SDM).
Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana, personel,
prosedur, dan jaminan mutu dalam kegiatan penyampaian sediaan obat beserta informasinya
kepada penderita. Sistem distribusi obat mencakup penghataran sediaan obat yang telah
didispensing IFRS ke daerah tempat perawatan penderita dengan keamanan dan ketepatan
obat, ketepatan penderita, ketepatan jadwal, tanggal, waktu, dan metode pemberian dan
ketepatan personel pemberi obat kepada penderita serta keutuhan mutu obat. (Febriawati,
2013). Sistem pendistribusian berdasarkan tempat pelayanan kefarmasian :
A. Desentralisasi
B. Sentralisasi
Sentralisasi merupakan penyimpanan dan pendistribusian semua obat/barang
farmasi dipusatkan pada satu tempat. Seluruh kebutuhan obat/barang farmasi setiap unit
perawatan/pelayanan baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan dasar ruangan
disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut.
Rawat jalan
Rawat Inap
Gudang
Bedah Pusat
Rawat Darurat
Resep individual adalah resep yang ditulis oleh dokter untuk tiap penderita.
Pada sistem ini, kebutuhan barang farmasi individu pasien tidak tersedia di ruang
perawatan, tetapi harus diambil atau ditebus di tempat pelayanan farmasi dengan
membawa resep atau instruksi pengobatan dari dokter. Tempat pelayanan farmasi
tersebut dapat di instalasi farmasi rumah sakit, apotek baik yang ada di dalam maupun
di luar rumah sakit. Waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan obat menjadi lama,
akan tetapi farmasi rumah sakit atau farmasi komunitas terlibat dalam proses review
maupun penyiapan resep. Semua obat yang ditebus tersebut di bawa keruang perawatan
untuk di serahkan kepada perawat untuk di simpan. Biaya pengobatan yang ditanggung
pasien tinggi karena setiap sisa obat yang tidak digunakan tetap harus dibayar.(
Rahmayanti, 2017).
PEMBAHASAN
Distribusi merupakan proses penyerahan obat-obatan mulai dari sediaan disiapkan oleh
instalasi farmasi rumah sakit sampai obat diserahkan kepada petugas kesehatan untuk
diberikan kepada pasien. Distribusi besar sekali peranannya dalam pelaksanaan kesehatan
pasien rumah sakit karena dengan terlaksananya proses disribusi yang baik maka obat-obatan
dan alat kesehatan akan tersampaikan kepada pasien secara tepat waktu dan dapat langsung
digunakan tanpa harus menunggu lama. Oleh karena itu harus terealisasikan dengan
perencanaan manajemen yang matang dalam proses distribusi tersebut (Rusdiana, Saputra, &
Noviyanto, 2015).
Dalam pengaadaan perbekalan farmasi tiap depo memiliki jadwal masing masing dalam
permintaan barang ke gudang farmasi sehingga persediaan/stok obat dan perbekalan farmasi
lainnya selalu dalam keadaan tersedia sehingga pelayanan mendadi efektif dan efesien.
Dengan demikian proses penyerahan obat-obatan mulai dari sediaan disiapkan oleh instalasi
farmasi rumah sakit sampai obat diserahkan kepada petugas kesehatan untuk diberikan
kepada pasien dengan baik dan tidak terjadi hal-hal yang dapat menghabat pelayanan rumah
sakit terhadap pasien dan mutu pelayanan akan menigkat jika rumah sakit memberikan
kepuasan kepada masyarakat.
BAB IV
KESIMPULAN
Alur distribusi perbekalan farmasi yang diterapkan di RSUD Majalaya adalah Alur
Distribusi Desentralisasi dimana distribusi ini merupakan pelayanan yang mempunyai cabang
di dekat unit perawatan atau pelayanan sehingga penyimpanan dan pendistribusian
kebutuhan obat atau barang farmasi unit pelayanan tidak lagi di layani dari pusat pelayanan
farmasi.
DAFTAR PUSTAKA
1
TUGAS KHUSUS
2
f) Atropin sulfat injeksi
Atropin adalah obat untuk menangani denyut jantung lambat (bradikardia).
Obat ini juga dapat digunakan sebelum pemeriksaan mata atau sebagai
pramedikasi sebelum prosedur anestesi.
g) Neostigmin injeksi
Neostigmin merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi kelemahan
otot. Kelemahan otot ini biasanya terjadi pada kondisi miastenia gravis atau
pasca pemberian pelemas otot saat operasi.
h) Ketoprofen supp
Ketoprofen termasuk golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan
umum digunakan untuk meredakan nyeri dan inflamasi. Ketoprofen telah
terbukti untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat, tertutama pada pasien
pasca bedah.
i) Noveron/Atracurium
Obat ini digunakan untuk melemaskan/ relaksasi otot selama operasi serta
digunakan untuk relaksasi otot saat penggunaan ventilator atau mesin
pernapasan.
3
c) Ketorolac injeksi
Ketorolac adalah obat untuk meredakan nyeri sedang hingga berat. Obat ini
sering digunakan setelah operasi atau prosedur medis yang bisa
menyebabkan nyeri.
d) Ephedrin injeksi
Digunakan untuk meningkatkan tekanan darah yang biasanya cenderung
turun ketika pasien diberikan obat anetesi (bius).
e) Ketoprofen supp
Ketoprofen termasuk golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan
umum digunakan untuk meredakan nyeri dan inflamasi. Ketoprofen telah
terbukti untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat, tertutama pada pasien
pasca bedah.
f) Dexamethasone injeksi
Karena penggunaan dexamethasone sebelum operasi bermanfaat untuk
mencegah timbulnya edema (bengkak) pasca bedah dan bila
dikombinasikan dengan anti muntah lain akan lebih efektif untuk mual dan
muntah sampai 24 jam setelah operasi.
g) Asam traneksamat injeksi
Asam traneksamat adalah obat untuk menghentikan perdarahan pada
beberapa kondisi, seperti mimisan yang tidak kunjung berhenti, maupun
perdarahan setelah operasi atau prosedur cabut gigi.
h) Oxytocin injeksi untuk pasien sc
oxytocin digunakan untuk penanganan perdarahan post partum dan induksi
persalinan. Oxytocin bermanfaat dalam persalinan antepartum dan post
partum untuk meningkatkan kontraksi uterus.
i) Metergin injeksi
Methylergometrine adalah obat untuk mencegah dan mengatasi perdarahan
pascapersalinan (postpartum).
4
B. Daftar Obat Yang Sering Digunakan Di Unit Gawat Darurat
1. Omeprazole injeksi
Omeprazole adalah obat untuk mengatasi asam lambung berlebih dan keluhan
yang mengikutinya. Obat ini umumnya digunakan untuk mengatasi
gastroesophageal reflux disease (GERD), sakit maag (gastritis), atau tukak
lambung.
2. Ketorolac injeksi
Ketorolac adalah obat untuk meredakan nyeri sedang hingga berat. Obat ini
sering digunakan setelah operasi atau prosedur medis yang bisa menyebabkan
nyeri.
3. Dexamethasone injeksi
Dexamethasone adalah obat kortikosteroid yang berfungsi mencegah pelepasan
zat yang menyebabkan peradangan dalam tubuh. Obat ini sering digunakan untuk
mengobati berbagai kondisi peradangan seperti alergi.
4. Paracetamol infus
Paracetamol dikenal akan manfaatnya sebagai penurun demam atau antipiretik
dan pereda rasa nyeri atau analgesik. Sebagai obat analgesik, paracetamol bisa
meredakan rasa nyeri ringan hingga sedang di berbagai area tubuh.
5. Ondansetron injeksi
Ondansetron adalah obat yang digunakan untuk mencegah serta mengobati mual
dan muntah.
6. Pamol supp
Pamol adalah salah satu nama dagang (nama paten) dari Paracetamol, obat ini
digunakan untuk membantu mengobati nyeri dan sakit ringan hingga sedang.
Selain itu, obat ini juga digunakan untuk membantu menurunkan demam.
7. Pulmicort nebu
Pulmicort merupakan cairan nebulizer yang mengandung zat aktif Budesonide.
Budesonide adalah obat anti inflamasi jenis kortikosteroid yang digunakan untuk
terapi pada penderita asma dan rhinitis alergi, dapat pula digunakan untuk
mengatasi penyakit kroup (laringotrakeobronkitis) atau infeksi saluran
pernapasan bagian atas yang biasa dialami oleh anak-anak.
5
8. Combivent nebu
Combivent bermanfaat untuk meredakan dan mencegah munculnya gejala sesak
napas atau mengi akibat penyempitan saluran pernapasan.
9. Norephineprine injeksi
Norepinephrine atau noradrenaline adalah obat yang berguna untuk mengobati
tekanan darah rendah (hipotensi), terutama yang sudah mengancam nyawa.
10. Stesolid rectal tube
Diazepam rektal dapat digunakan untuk menghentikan kejang berkepanjangan
ataupun kejang berulang pada anak dengan kondisi kejang demam ataupun
epilepsi.
11. Nicardipine injeksi
Nicardipine efektif untuk menurunkan tekanan darah pada pengidap hipertensi
(tekanan darah tinggi). Tekanan darah yang terkendali dapat meminimalisir
komplikasi, seperti gagal jantung, serangan jantung, gagal ginjal dan stroke.
12. Diphenhydramin injeksi
Diphenhydramine adalah obat antihistamin generasi pertama yang digunakan
dalam tata laksana alergi.
13. Asam traneksamat injeksi
Asam traneksamat adalah obat untuk menghentikan perdarahan pada beberapa
kondisi, seperti mimisan yang tidak kunjung berhenti, perdarahan yang berat saat
menstruasi, maupun perdarahan setelah operasi atau prosedur cabut gigi.
14. Nifedipine injeksi
Nifedipine adalah obat untuk mengatasi hipertensi. Selain itu, obat ini juga dapat
digunakan untuk mengatasi nyeri dada (angina pektoris) akibat penyakit jantung
koroner dan penyempitan pembuluh darah akibat sindrom Raynaud.
15. Betahistin tabelet
Betahistine adalah obat yang digunakan untuk menangani vertigo
6
ALUR STERILISASI DAN ALUR PENGOLAHAN
LIMBAH DI RUMAH SAKIT
Salah satu keberhasilan dalam pelayanan rumah sakit adalah rendahnya angka infeksi
nosokomal atau resiko penularan infeksi yang sering disebut dengan Healthcare Associated
Infections (HAIs). Pusat Sterilisasi (CSSD) merupakan instalasi yang sangat berperan untuk
mencegah terjadinya infeksi dan infeksi Nosokomial di rumah sakit, sehiungga Patient Safety
(Keamanan dan Keselamatan Pasien) dapat diwujudkan. Istilah untuk Pusat Sterilisasi
bervariasi, mulai dari Central Sterile Supply Department (CSSQ) Central Service (CS),
Central Supply (CS), Central Processing Department (CPD) dan lain-lain, namun
kesemuanya mempunyai fungsi utama yang sama yaitu menyiapkan alat-alat bersih dan steril
untuk keperluan perawatan pasien di rumah sakit. Secara lebih rinci fungsi dari pusat
sterilisasi adalah menerima, memproses, memproduksi, mensterilkan, menyimpan serta
mendistribusikan peralatan medis ke berbagai ruangan di rumah sakit untuk kepentingan
perawatan pasien.
2
b. Pengendalian Infeksi Nosokomial Bersama-sama dengan tim pengendali infeksi
nosokomial rumah sakil dapat mengoptimalkan kerjasama dalam memantau
produk-produk yang dihasilkan oleh pusat sterilisasi, memberikan masukan dan
arahan pada pemakai di lapangan dalam mengatasi atau menurunkan angka
kejadian infeksi di rumah sakit.
c. Perkembangan ilmu dan teknologi Dengan semakin berkembangnya ilmu dan
teknologi, maka kompleksitas peralatan medis dan teknis medis memerlukan
prosedur sterilisasi yang optimal sehingga keseluruhan proses menghasilkan
kualitas sterilitas terjamin.
d. Produk-produk yang dihasilkan oleh pusat sterilisasi harus melalui proses yang
ketat sampai menjadi produk yang steril. Setiap proses sterilisasi berjalan selalu
dilengkapi dengan indikator kimia, biologi dan fisika. Secara berkala setiap tiga
bulan dilakukan test mikrobiologi. Diharapkan dengan kontrol yang ketat, produk
yang dihasilkan akan terjamin kualitas sterilitasnya, yang pada akhirnya dapat
menekan angka kejadian infeksi di rumah sakit.
e. Pengelolaan pusat sterilisasi yang profesional, diharapkan mampu menyediakan
produk steril yang dapat dipertanggung jawabkan dengan menekan biaya
operasional seminimal mungkin, mencegah terjadinya duplikasi proses sterilisasi,
dan memperpendek jalur birokrasi. Dengan demikian dapat meningkatkan
kecepatan pelayanan dalam distribusi barang steril.
3. Tingkat desinfeksi
Tingkat desinfeksi atau sterilisasi tergantung pada tujuan penggunaan objek: critical
items (seperti instrumen bedah, yang menghubungi jaringan steril), semicritical items (seperti
endoskopi, yang berhubungan dengan membran mukosa), dan noncritical items (seperti
stetoskop, yang hanya kontak kulit utuh) memerlukan sterilisasi, disinfeksi tingkat tinggi, dan
disinfeksi tingkat rendah. Pembersihan harus selalu mendahului disinfeksi dan sterilisasi
tingkat tinggi.
Sterilisasi merupakan tingkat pemrosesan ulang yang diperlukan saat memproses
peralatan/perangkat medis dengan menghancuran semua bentuk kehidupan mikroba termasuk
bakteri, virus, spora dan jamur. Sedangkan disinfektan menginaktivasi mikroorganisme yang
menghasilkan penyakti, tetapi tidak merusak spora bakteri. Sebelum sterilisasi maupun
3
disinfeksi dilakukan, perlu adaya pembersihan secara menyeluruh pada peralatan/perangkat
sehingga memperoleh hasil yang efektif.
Pengguna harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari metode khusus
ketika memilih proses desinfeksi atau sterilisasi. Kepatuhan terhadap rekomendasi ini harus
meningkatkan desinfeksi dan sterilisasi praktek di fasilitas perawatan kesehatan, sehingga
mengurangi infeksi yang terkait dengan item perawatan pasien yang terkontaminasi.
a. Critical Items
Barang yang terkait dengan risiko tinggi infeksi jika barang tersebut
terkontaminasi dengan mikroorganisme apa pun, termasuk spora bakteri. Dengan
demikian, sterilisasi objek yang masuk jaringan steril atau sistem vaskular sangat
penting, karena kontaminasi mikroba dapat menyebabkan penularan penyakit. Kategori
ini termasuk instrumen bedah, cardiac dan urinary catheters, implan, dan ultrasound-
probes yang digunakan dalam rongga tubuh steril. Item dalam kategori ini harus steril
atau harus disterilkan dengan sterilisasi uap, jika memungkinkan. Jika barang tersebut
sensitif terhadap panas, maka dapat dilakukan dengan Ethylene Oxide (ETO) atau
plasma gas hidrogen peroksida atau dengan sterilisasi kimia cair jika metode lain tidak
sesuai. Ini termasuk ⩾2.4% glutaraldehyde-based formulations, 1.12% glutaraldehyde
dengan 1.93% phenol/phenate, 7.5% stabilized hydrogen peroxide, 7.35% hydrogen
peroxide dengan 0.23% peracetic acid, ⩾0.2% peracetic acid, dan 1.0% hydrogen
peroxide dengan 0.08% peracetic acid. Waktu paparan yang ditunjukkan berada dalam
kisaran 3-12 jam, dengan pengecualian ⩾0,2% paracetic acid (waktu sporicidal 12
menit pada 50-56° C).
Penggunaan cairan kimia steril adalah metode sterilisasi yang dapat diandalkan
jika hanya pembersihan didahului pengobatan, yang menghilangkan bahan organik dan
anorganik, dan jika panduan yang tepat untuk konsentrasi, waktu kontak, suhu, dan pH
diikuti. Keterbatasan lain untuk sterilisasi perangkat dengan sterilisasi kimia cair adalah
bahwa perangkat tidak dapat dibungkus selama pemrosesan dalam cairan kimia steril;
dengan demikian, mempertahankan steril setelah pemrosesan dan selama penyimpanan
tidak mungkin. Selanjutnya, setelah terpapar dengan cairan kimia steril, alat mungkin
memerlukan pembilasan dengan air yang, secara umum, tidak steril. Oleh karena itu,
karena keterbatasan yang melekat pada penggunaan sterilisasi kimia cair dalam
nonautomated reprocessor, penggunaannya harus dibatasi untuk memproses ulang
4
perangkat penting yang sensitif terhadap panas dan tidak sesuai dengan metode
sterilisasi lainnya.
2. Semicritical Items
Merupakan barang yang bersentuhan dengan selaput lendir atau nonintact skin.
Peralatan pernapasan dan anestesi, beberapa endoskopi, laryngoscope blades,
esophageal manometry probes, anorectal manometry catheters, dan diaphragm-fitting
rings dimasukkan dalam kategori ini. Alat medis ini harus bebas dari semua
mikroorganisme (yaitu, mycobacteria, jamur, virus, dan bakteri), meskipun sejumlah
kecil spora bakteri mungkin ada. Secara umum, membran mukosa utuh, seperti paru-
paru atau saluran pencernaan, tahan terhadap infeksi oleh spora bakteri umum tetapi
rentan terhadap organisme lain, seperti bakteri, mikobakteri, dan virus.
Persyaratan minimum untuk barang semikritik adalah disinfeksi tingkat tinggi
menggunakan disinfektan kimia. Glutaraldehid, hidrogen peroksida, ortho-
phthalaldehyde (OPA), asam perasetat dengan hidrogen peroksida, dan klorin telah
dijelaskan oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dan disinfektan
tingkat tinggi yang dapat diandalkan ketika pedoman untuk prosedur kuman yang
efektif adalah diikuti. Waktu paparan untuk sebagian besar disinfektan tingkat tinggi
bervariasi dari 10 hingga 45 menit, pada 20-25°C. Wabah infeksi terus terjadi ketika
disinfektan yang tidak efektif, termasuk iodophor, alkohol, dan glutaraldehid berlebih,
digunakan untuk apa yang disebut disinfeksi tingkat tinggi. Ketika disinfektan dipilih
untuk digunakan dengan item perawatan pasien tertentu, kompatibilitas kimiawi setelah
penggunaan yang diperpanjang dengan item yang akan didesinfeksi juga harus
dipertimbangkan. Sebagai contoh, pengujian kompatibilitas oleh Olympus America dari
7,5% hidrogen peroksida menunjukkan perubahan kosmetik dan fungsional pada
endoskopi yang teruji. Demikian pula, Olympus Amerika tidak mendukung penggunaan
produk yang mengandung hidrogen peroksida dengan asam perasetat, karena kerusakan
kosmetik dan fungsional.
Barang semisitik yang akan memiliki kontak dengan selaput lendir saluran
pernafasan atau saluran cerna harus dibilas dengan air steril, air yang disaring, atau air
keran, diikuti oleh bilas alkohol. Pembilasan alkohol dan forced-air secara nyata
mengurangi kemungkinan kontaminasi instrumen (misalnya endoskopi), kemungkinan
besar dengan menghilangkan lingkungan basah yang mendukung pertumbuhan bakteri.
5
Setelah pembilasan, barang harus dikeringkan dan kemudian disimpan dengan baik
agar terhindar dari kerusakan atau kontaminasi. Tidak ada rekomendasi untuk
menggunakan air steril atau air yang disaring, daripada air keran, untuk membilas
peralatan semikrit yang akan bersentuhan dengan membran mukosa rektum
(misalnya, rectal-probes atau anoscopes) atau vagina (misalnya, vagina-probes).
3. Noncritical Items
Benda yang bersentuhan dengan kulit tetapi bukan selaput lendir. Kulit berfungsi
sebagai penghalang efektif untuk sebagian besar mikroorganisme, oleh karena itu,
sterilitas item yang bersentuhan dengan kulit adalah “tidak kritis.” Contoh barang tidak
penting adalah bedpans, manset tekanan darah, kruk, bed-rails, linen, meja samping
tempat tidur, furnitur pasien, dan lantai. Berbeda dengan kritis dan beberapa item
semikritik, sebagian besar barang yang tidak dapat digunakan kembali dapat
didekontaminasi di mana mereka digunakan dan tidak perlu diangkut ke area
pengolahan pusat.
Hampir tidak ada risiko yang terdokumentasi untuk menularkan agen infeksi
kepada pasien melalui item yang tidak penting ketika itu digunakan sebagai item yang
tidak penting dan tidak tersentuh kulit yang tidak sengaja dan / atau membran mukosa.
Namun, barang-barang ini (misalnya, meja samping tempat tidur atau bed-rails)
berpotensi berkontribusi pada transmisi sekunder, dengan mengkontaminasi tangan
petugas perawatan kesehatan atau dengan kontak dengan peralatan medis yang
kemudian akan bersentuhan dengan pasien. Waktu pemaparan untuk disinfektan ini
adalah 60 detik atau lebih lama.
6
4. Alur sterilisasi
Tujuan dari sterilisasi adalah untuk menyiapkan peralatan perawatan dan kedokteran
dalam keadaan siap pakai, untuk mencegah peralatan rusak, mencegah terjadinya infeksi
silang, menjamin kebersihan alatdan menetapkan produk akhir dinyatakan steril dan aman
digunakan pasien.
7
Sterilisasi dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu :
a. Sterilisasi dengan suhu tinggi seperti sterilisasi uap (steam heat) dan sterilisasi
panas kering (dry heat).
b. Sterilisasi dengan suhu rendah seperti Ethylene oxide, Hydrogen peroxide plasma
sterilization danFormaldehyde atauformalin.
c. Sterilisasi dengan cairan kimia seperti Paracetic acid, Glutaral dehyde dan
Hydrogen peroxide.
d. Sterilisasi dengan radiasi seperti sinar gamma, sinar x dan sinar ultra violet.
Berdasarkan buku pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi di Rumah Sakit Tahun 2009
8
lainnya. Karenanya sistem ventilasi harus didesain sedemikian rupa sehingga
udara di ruang dekontaminasi harus :
Dihisap keluar atau ke sistem sirkulasi udara yang mempunyai filter.
Tekanan udara harus negatif tidak mengkontaminasi udara ruangan lainnya.
Kelembaban udara 35 % - 75 %.
Debu dan serangga adalah pembawa mikroorganisme, sehingga kebersihan
yang dapat dan tidak dapat menyebabkan infeksi dan juga berbahaya.
Di ruang ini dilakukan pemeriksaan linen, dilipat dan dikemas untuk persiapan
sterilisasi. Pada daerah ini sebaiknya ada tempat untuk penyimpanan barang
yang tertutup. Selain linen, pada ruang ini juga dilakukan pula persiapan
untuk bahan seperti kainkasa, kapas dan lain-lainnya.
4) Ruang sterilisasi
Di ruang ini dilakukan proses sterilisasi alat atau bahan. Untuk sterilisasi yang
menggunakan Etilen oksida, sebaiknya dibuatkan ruang khusus yang terpisah
tetapi masih dalam satu unit dengan sterilisasi sentral dan dilengkapi dengan
exhaust.
9
5) Ruang penyimpanan
Ruang ini sebaiknya berada dekat dengan ruang sterilisasi. Apabila digunakan
mesin sterilisasi dua pintu, maka pintu belakang langsung berhubungan dengan
ruang penyimpanan. Di ruang ini penerangan harus memadai. Suhu dan
kelembaban yang direkomendasikan adalah :
Suhu udara antara 180 C - 220 C
Kelembaban udara antara 35 % - 75 %
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit
dalam bentuk padat, cair dan gas. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan adalah
tempat berkumpulnya orang sakit maupun sehat sehingga dapat menjadi tempat sumber
penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan
kesehatan, juga menghasilkan limbah yang dapat menularkan penyakit.
Limbah Rumah Sakit bersifat berbahaya bagi kesehatan lingkungan, dan bagi
masyarakat di lingkungan Rumah Sakit dan sekitar. Limbah Rumah Sakit jika tidak dikelola
dengan baik dan sesuai aturan dapat mencemari lingkungan. Untuk menghindari risiko
tersebut maka diperlukan pengelolaan limbah di rumah sakit.
2. Jenis Limbah
Rumah sakit harus mampu mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan dengan
cara mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) dan daur ulang
limbah (recycle).
a. Limbah Radioaktif
Limbah radio aktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotape
yang berasal dari penggunaan medik atau riset raadionucleida. Limbah ini
10
dapat berasal antara lain dari tindakan kedokteran nuklir, pemeriksaan
radiologi, radioimmunoassay, dan bakteriologis dapat berbentuk padat,
cair, atau gas.
b. Limbah Sangat Infeksius
Limbah insfeksius adalah limbah yang diduga mengandung bahan pathogen
(bakteri, virus, parasit atau jamur) dalam konsentrasi atau jumlah yang
cukup untuk menyebabkan penyakit pada penjamu yang rentan.
c. Limbah Infeklsius
Patologi dan Anatomi; Limbah patologis terdiri dari jaringa, organ, bagian
tubuh, janin manusia dan bangkai hewan, darah dan cairan tubuh (limbah
anatomis) atau subkategori dari limbah insfeksius.
d. Sitotoksis
Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin
terkontaminasi dengan obat sitotoksik selama peracikan,pengangkutan atau
tindakan terapi sitotoksik. Penanganan limbah ini memerlukan absorben
yang tepat dan bahan pembersihnya harus selalu tersedia dalam ruangan
peracikan.
e. Limbah Kimia dan Farmasi
Limbah farmasi mencakup produk farmasi, obat-obatan, vaksin dan serum
yang sudah kadaluwarsa, tidak digunakan, tumpah, dan dibuang dengan
tepat.
11
1. Limbah infeksius; Limbah yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh
masukkan kedalam kantong plastik berwarna kuning, diapers dianggap
limbah infeksius bila bekas pakai pasien infeksi saluran cerna, menstruasi
dan pasien dengan infeksi yang di transmisikan lewat darah atau cairan
tubuh lainnya.
2. Limbah non-infeksius; Limbah yang tidak terkontaminasi darah dan cairan
tubuh, masukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam. Contoh:
sampah rumah tangga, sisa makanan, sampah kantor.
3. Limbah benda tajam; Limbah yang memiliki permukaan tajam, masukkan
kedalam wadah tahan tusuk dan air. Contoh: jarum, spuit, ujung infus,
benda yang berpermukaan tajam.
c) Pengangkutan
Pengangkutan limbah harus menggunakan troli khusus yang kuat, tertutup dan
mudah dibersihkan, tidak boleh tercecer, petugas menggunakan APD ketika
mengangkut limbah. Lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien, bila
tidak memungkinkan atur waktu pengangkutan limbah.
e) Pengolahan limbah
1. Limbah infeksius dimusnahkan dengan insenerator.
2. Limbah non-infeksius dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA).
12
3. Limbah benda tajam dimusnahkan dengan insenerator. Limbah cair dibuang
ke spoelhoek.
4. Limbah feces, urin, darah dibuang ke tempat pembuangan/pojok limbah
(spoelhoek).
h) Limbah B3
Limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya); seperti misalnya : Limbah Cair
Bahan Kimia Radiologi, Oli Bekas, Limbah Lampu TL, Sludge IPAL, Bateria,
13
Cartridge, Limbah Farmasi Kadaluarasa, Kemasan Terkontaminasi, Tabung Freon, dll;
maka dilakukan sbb :
1. Limbah B3 di Unit diambil oleh petugas limbah B3 setiap hari.
2. Disimpan di TPS Khusus Limbah B3
3. Setiap 2 hari sekali diangkut dan dimusnahkan oleh pihak ke-3 berizin
(dilengkapi dengan Manifest).
4. Pemusnahan dilakukan Pihak Ketiga dengan Incinerator dengan suhu diatas
1000oC.
5. Limbah B3 selalu dalam pemantauan.
14
GERAKAN MASYARAKAT CERDAS
MENGGUNAKAN OBAT
(GEMA CERMAT) DENGAN TANYA 5 O
Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan
Obat (GeMa CerMat)
CERDAS TANYA
GUNAKAN OBAT
LIMA O
Minum Obat
Waspada Efek
Minum Obat
Samping...
Sesuai Indikasi...
KENALI OBAT ANDA NAMA OBAT ???
Apa
bedanya ???
OBAT PATEN
Obat Paten = Obat
OBAT GENERIK mujarab ???
NAMA DAGANG®
Nama Generik
PATEN
INFORMASI PADA
KEMASAN OBAT
Baca dan pahami informasi pada
kemasan obat