Anda di halaman 1dari 4

Tugas Desain Berkelanjutan

Ilham Muazd Barokah (206012310029)


Resume Film Dokumenter “The True Cost”
Film dokumenter yang diprakarsai oleh Andrew Morgan ini membuka fakta-fakta dibalik produksi fast fashion
yang dikenakan banyak orang. Sedari awal, dinyatakan bahwa film dokumenter ini menceritakan tentang pakaian,
orang-orang yang memproduksi pakaian tersebut, dan dampaknya bagi dunia kita. Dibalik itu, kisah sebenarnya
ialah kisah tentang keserakahan dan ketakutan, serta kekuatan dan kemiskinan. Mengapa demikian? Sebab dibalik
pakaian-pakaian itu ada kerja jari-jari lentik masyarakat dunia ketiga yang tak sepadan dengan upah yang
diperolehnya, tak ubah seperti perbudakan di masa lalu. Ada konstruksi sosial yang dikacaukan sebab keserakahan
perusahaan, mereka menempatkan keuntungan diatas segalanya tanpa peduli risiko kesehatan dan kesejahteraan
yang dihadapi para pekerja dan lingkungan sekitarnya, di belahan dunia lain pun hanya melahirkan konsumerisme
yang menempatkan kebahagiaan tanpa peduli terhadap sesamanya. Terlebih ada perusakan lingkungan yang tak
sebanding dengan pemenuhan keserakahan mereka.

Film dokumenter ini menggambarkan tiga belas lokasi, diantaranya pabrik-pabrik (garmen) di Bangladesh,
Kamboja, Tiongkok dan India, juga pertanian kapas di Texas, tempat-tempat fast fashion berlangsung secara
simultan seperti Amerika dan Perancis, pun menangkap gambaran pertemuan puncak tanggung jawab sosial di
Kopenhagen. Adapaun di antara para peserta dalam film dokumenter adalah Lucy Siegle (jurnalis, penyiar dan
penulis yang berbasis di Inggris), Stella McCartney (perancang busana dan aktivis hak-hak binatang), Livia Firth
(direktur kreatif konsultan merek keberlanjutan Eco-Age), Safia Minney (pendiri perusahaan pakaian
perdagangan adil People Tree), Richard D. Wolff, John Hilary (badan amal War on Want dan aktivis lingkungan
Vandana Shiva), Rick Ridgeway (Aktivis lingkungan, Patagonia), Benjamin Powell (direktur Free Market
Institute), Orsola De Castro (perancang busana) dan Larhea Pepper (petani kapas organik).

Tahun 1960-an produksi pakaian di Amerika sebesar 95 % dibuat oleh mereka sendiri, namun hari ini mereka
hanya membuat 3 % pakaian mereka sendiri, dan 97 % dialihkan ke negara-negara berkembang. Dari sini sistem
rekayasa dunia ketiga dimulai, yang mana peralihan produksi pakaian ke negara-negara berkembang itu
dimaksudkan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang serendah-rendahnya. John
Hilary menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan fashion besar dapat menghendaki di mana sebuah produk
dibuat, dan mereka dapat beralih jika produsen lain membuatnya dengan harga lebih rendah untuk meminimalkan
biaya dan memaksimalkan keuntungan. Keserakahan yang tampak ini menjelma menjadi sebuah sistem ekonomi
di negara-negara berkembang.

Dampaknya? Pekerja-pekerja pakaian di garmen diterangkan merupakan pekerja dengan bayaran terendah di
dunia, mereka dipaksa tunduk pada kondisi kerja yang penuh dengan risiko, seperti digambarkan pada tragedi
Rana Plaza 2013 di Bangladesh, menewaskan 1.129 pekerja dan banyak lagi yang terluka dalam runtuhnya sebuah
bangunan pabrik, jelas hal tersebut menunjukkan ketidakamanan namun para pekerja dipaksa masuk Kembali,
didorong oleh sebuah sistem yang telah mengkerangkeng.

Tak hanya itu, sekali dua kali penuntutan terhadap hak-hak para pekerja pun sering kali tidak diindahkan oleh
Perusahaan ataupun pemerintahan. Shima, seorang pekerja garmen Bangladesh di Dhaka hanyalah salah satu
contoh, yang menyatakan bahwa mereka dipukuli oleh manajer mereka karena menuntut kondisi kerja yang lebih
baik. Demikian pula, film ini menunjukkan pekerja garmen Kamboja ditembak, terluka, atau ditangkap oleh polisi
selama protes untuk kenaikan upah minimum. Morgan menjelaskan bahwa pemerintah Kamboja, seperti negara-
negara berkembang lainnya, sangat membutuhkan bisnis. Oleh karena itu, untuk mengurangi peluang pengecer
internasional untuk merelokasi produksi ke negara-negara berbiaya rendah lainnya, pemerintah menahan upah
dan menghindari penegakan hukum ketenagakerjaan setempat. Miris bukan? Namun itulah sistem ekonomi yang
dibangun atas kapitalisme, mereka pun berdalih, salah satunya Powell, menyatakan bahwa industry fashion
tersebut adalah tempat yang dipilih orang untuk bekerja dari serangkaian pilihan lain yang buruk. Pada akhirnya,
dengan cara-cara yang demikian, bagaimanapun dalihnya, yang tercipta hanyalah pemiskinan massal ratusan
orang di seluruh dunia dan seperti yang dinyatakan Firth, satu-satunya yang semakin kaya adalah pemilik
perusahaan besar dan merek fast fashion.

Rantai permasalahan tak berhenti disitu, keberadaan pabrik-pabrik garmen di negara-negara berkembang pun
melahirkan konsumerisme, yang mana sekarang dunia mengkonsumsi sekitar 80 miliar potong pakaian baru
setiap tahun, 400% lebih banyak dari jumlah konsumsi pakaian pada 1990-an, konsekuensinya jumlah pakaian
dan tekstil yang dibuang telah meningkat selama 10 tahun, menjadi ancama bagi atmosfer kita. Morgan membahas
bahwa rata-rata orang Amerika sekarang menghasilkan 82 pon (37 kg) limbah tekstil setiap tahun, menambahkan
hingga lebih dari 11 juta ton limbah tekstil dari AS saja. Selain itu, seperti yang dinyatakan oleh perancang busana
etis Orsela de Castro, orang mungkin berpikir bahwa mereka mengimbangi jumlah pakaian murah dengan
menyumbang untuk amal. Namun, hanya 10% persen dari pakaian yang disumbangkan didaur ulang atau didaur
ulang atau pergi ke toko barang bekas. Sisanya pergi ke tempat pembuangan sampah. Sebagian besar limbah ini
tidak dapat terurai secara hayati, yang berarti bahwa mereka duduk di tempat pembuangan sampah selama 200
tahun atau lebih, melepaskan gas berbahaya ke atmosfer. Selain itu, badan amal tidak dapat menjual sebagian
besar pakaian yang disumbangkan di toko barang bekas lokal mereka, sehingga mereka mengirimkannya ke
negara-negara dunia ketiga. Akibatnya, ketika kita melewati pakaian kita lebih cepat dan lebih cepat, lebih banyak
yang dibuang ke negara-negara berkembang seperti Haiti, melemahkan industri pakaian lokal mereka dan
mencemari tanah dan air.

Rick Ridgeway memberikan pernyataan menarik untuk menyikapi konsumerisme yang ada, bahwa pantogiania
tidak menyukai istilah konsumen, tetapi lebih mengindahkan istilah pelanggan, untuk mendorong kesadaran
kolektif bahwa pengurangan pembelian fast fashion para pelanggan merupakan solusi mendasar bagi mata rantai
permasalahan yang menyebabkan turunnya kesehatan dan berlangsung dari tahun ke tahun. Dia menegaskan
bahaya bagi dunia ini, ketika bisnis melalui periklanan menarik masyakat ke dalam keyakinan bahwa kebahagiaan
didasarkan pada hal-hal yang dapat anda bawa ke dalam hidup anda, Rick mengajak untuk memikirkan Kembali
keyakinan tersebut. Demikian pula, perancang busana Stella McCartney, menggarisbawahi bahwa industri mode
perlu mempertanyakan dan menantang cara operasinya dengan cara yang tidak berbahaya bagi planet ini.

Selain itu, film dokumenter ini menunjukkan, bahwa industri garmen adalah industri paling berpolusi kedua di
dunia, setelah industri minyak. Demikian pula, Mike Schragger, pendiri Akademi Mode Berkelanjutan,
menunjukkan bahwa banyak sumber daya yang kita gunakan untuk membuat pakaian kita tidak diperhitungkan
dalam biaya produksi pakaian itu. Seperti kapas yang mewakili hampir setengah dari total serat yang digunakan
untuk membuat pakaian saat ini. Ketika konsumsi pakaian meningkat, pabrik kapas direkayasa ulang untuk
mengimbangi kecepatan ini. Larhea Pepper, seorang petani kapas organik di Texas, menggarisbawahi bahwa
dalam 10 tahun terakhir lebih dari 80% kapas telah dimodifikasi secara genetik, menggunakan sejumlah besar air
serta bahan kimia seperti pestisida dan insektisida. Bahan kimia ini memiliki dampak baik pada tanah dan
kesehatan manusia. Selain itu, orang tidak mendapatkan hubungan langsung dengan pakaian seperti yang mereka
lakukan dengan makanan organik. Namun, kulit adalah organ terbesar pada tubuh dan bahan kimia ini dilewatkan
ke aliran darah orang-orang yang mengenakan pakaian ini. Oleh karena itu, kita harus mulai melihat masalah dari
perspektif yang lebih luas.

Begitupun ditampilkan daerah Kanpur, India, terletak di sepanjang sungan gangga yang merupakan Sungai paling
suci di dunia, dan memiliki fungsi strategis bagi 800 umat hindu namun harus dicemari oleh pabrik kulit untuk
keperluan fashion, menyebabkan 50 juta liter air limbah beracun dengan bahan kimia tinggi setiap hari mencemari
Sungai gangga dan mengalir ke pertanian lokal dan bahkan air minum bagi penduduk. Orang-orang yang berada
di daerah tersebut berada dalam cengkraman polusi yang sangat tinggi, lingkungan terkontaminasi, tanah
terkontaminasi, satu-satunya sumber air minum pun terkontaminasi, bahkan hasil budidaya pertanian, sayur-
sayuran dan salad pun terkontaminasi. Kesehatan Masyarakat yang terkena imbasnya, Masyarakat mengidap
berabagai jenis penyakit kulit, bahkan mati rasa di anggota badan tertentu, banyak Masyarakat yang menderita
penyakit perut, mungkin juga mereka menderita kanker.

Masih di India, film ini selanjutnya juga menyoroti penanaman kapas rekayasa genetika dan monopoli
penggunaannya oleh perusahaan benih, menyebabkan bunuh diri di kalangan petani yang kehilangan tanah
mereka ke perusahaan-perusahaan ini karena mereka tidak dapat membayar harga benih. Vandana Shiva, seorang
aktivis lingkungan di India, menjelaskan proses ini dalam film dokumenter tersebut. Semakin banyak kita
menggunakan bahan kimia seperti pupuk atau pestisida, semakin kita perlu menggunakannya karena kita telah
mencemari tanah. Pada akhirnya, para petani masuk ke kedalaman yang lebih dalam karena mereka tidak mampu
membayar biaya tinggi benih dan bahan kimia ini, karena mereka harus terus membeli lebih banyak. Beberapa
akhirnya kehilangan tanah mereka dan bunuh diri. Morgan menyatakan bahwa dalam 16 tahun terakhir telah
terjadi lebih dari 250.000 kasus bunuh diri petani yang tercatat di India.

Dari beragam sekelumit penerangan fakta-fakta dibalik produksi fast fashion diatas, Andrew Morgan dengan
tegas menyatakan di akhir film bahwa kita perlu bersama-sama kita mulai membuat perubahan nyata ketika kita
ingat bahwa semua yang kita kenakan disentuh oleh tangan manusia. Dalam mitos semua tantangan yang kita
hadapi saat ini dan semua masalah yang terasa lebih besar dari kita dan di luar kendali kita, mungkin kita bisa
mulai di sini dengan pakaian.

Tanggapan Terkait Film Dokumenter “The True Cost”

Tak akan banyak tanggapan terkait serangkaian fenomena diatas, sebab hal-hal demikian merupakan keniscayaan
dari pada penundukkan negara-negara berkembang pasca Perang Dunia ke-2 dan Perang Dingin melalui alat
imprealisasi baru yang disebut Ideologi Kapitalisme. Pun sebagaimana seorang futurolog telah memberikan
pendapatnya, Francis Fukuyama dalam buku The End of History, bahwa kemenangan kapitalisme sebagai
ideologi akan secara dominan mengatur kehidupan bernegara. Artinya beragam persoalan diatas berakar dari
konstruksi ideologi yang dipegang, maka kapitalisme-materalisme menghendaki sistem ekonomi sebagaimana
melahirkan fakta-fakta dengan beragam kerusakan diatas. Keserakahan dan Ketakutan, Kekuasaan dan
Kemiskinan.

Lantas bagaimana dengan kita? Sebagai putra-putri Bangsa Indonesia, sejarah telah menunjukkan bagaimana
gigihnya Ir. Soekarno untuk tidak berpangku tangan kepada orang-orang Asing, melalui konsep trisakti yang
digagasnya, yakni Berdikari dalam Ekonomi, Berdaulat dalam Politik dan Berkepribadian dalam Budaya. Maka
Kembali pada nilai-nilai kebangsaan merupakan hal utama dalam menyikapi fenomena sebagaimana
tergambarkan dalam film documenter ‘The True Cost’, berpegang teguh-berkomitmen pada ideologi bangsa dan
mengejawantahkannya dalam kehidupan pribadi, berbangsa, dan bernegara serta kehidupan Masyarakat dunia
adalah Solusi mendasar untuk menjawab persoalan diatas. Karena sebagaimana di akhir film dokumenter tersebut
diungkapkan pernyataan terkenal Martin Luther King Jr. di gereja Broolyn yang mengatakan “apa yang
dibutuhkan Amerika adalah revolusi nilai-nilai yang diperlukan untuk berhenti memperlakukan orang dengan
cara yang hanya demi keuntungan tetapi memperlakukan orang dengan cara yang nyata dan manusiawi.” Hal
tersebut tentu senada dengan pernyataan Soekarno dalam Buku Dibalik Bendera Revolusi, yakni kita berkehendak
untuk membebaskan Eropa Barat dan Amerika dari keterjajahannya, karena mereka menghendaki perbudakan
pada negara-negara Asia-Afrika.

Anda mungkin juga menyukai