Anda di halaman 1dari 3

Mata Kuliah : Sejarah Diplomasi Korea

Dosen Pengampu : Dr. Rostineu


Nama : Santi Marcella Agustina
NPM : 2106741883
Program Studi : Cina

Ujian Tengah Semester


Pemerintah pusat menjadi aktor yang mewakili negara untuk mencapai kepentingan
nasional. Peran aktor dalam diplomasi negara memiliki pengaruh besar terhadap pandangan
masyarakat di negara tersebut. Dalam konteks diplomasi dan praktik hubungan internasional,
Korea Selatan khususnya pada masa pemerintahan awal Republik Korea, pemerintah pusat
menjadi satu-satunya pemegang kendali. Pada tahun 1950 hingga 1953 Korea Selatan
menghadapi Perang Korea yang menyebabkan sikap heterogen masyarakat Korea Selatan itu
sendiri terhadap kendali dari pemerintah.

Rhee Syngman adalah Presiden pertama Korea Selatan setelah kemerdekaan dari
Jepang. Dia menjabat dari 1948 hingga 1960. Selama masa pemerintahannya, Korea Selatan
menghadapi Perang Korea melawan Korea Utara yang mendapat dukungan dari Tiongkok
dan Uni Soviet. Sikap atau respon masyarakat Korea Selatan terhadap program-program
diplomasi Rhee Syngman adalah bercampur. Di satu sisi, dia dianggap sebagai tokoh penting
dalam mempertahankan kemerdekaan Korea Selatan, menghadapi ancaman komunis, dan
menghadapi agresi Korea Utara. Namun, pada saat yang sama, pemerintahan nya juga
diwarnai oleh otoritarianisme dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.

Salah satu program diplomasi yang signifikan yang dikenal dengan kebijakan "Jilseo
Oejon" ( 질 서 재 건 ) adalah kebijakan yang dipromosikan oleh Presiden Rhee Syngman
dalam upayanya untuk menjaga dan membangun kembali ketertiban dan stabilitas di Korea
Selatan setelah Perang Korea. Istilah ini secara harfiah diterjemahkan sebagai "Rekonstruksi
Ketertiban."

Kebijakan ini mencakup berbagai aspek, termasuk:


1. Pemberantasan Korupsi dan Kebijakan Rekonstruksi: Rhee Syngman berusaha untuk
membersihkan pemerintahan dari korupsi dan melakukan reorganisasi administratif
untuk membangun kembali negara yang hancur akibat perang.
2. Pemulihan Ekonomi: Program-program pemulihan ekonomi digalakkan untuk
memperbaiki infrastruktur dan industri yang rusak akibat perang.
3. Penguatan Ketahanan Militer: Korea Selatan memperkuat angkatan bersenjatanya
sebagai respons terhadap ancaman dari Korea Utara. Rhee Syngman ingin
memastikan bahwa Korea Selatan memiliki kemampuan pertahanan yang kuat.

Kebijakan "Jilseo Oejon" merupakan bagian dari upaya Rhee Syngman untuk
membangun kembali negara dan stabilitas pasca-Perang Korea. Masyarakat Korea Selatan
menyikapi program ini dengan dukungan terhadap upaya Rhee Syngman untuk menciptakan
Angkatan Bersenjata Republik Korea yang kuat. Masyarakat Korea Selatan pada masa itu
merespons positif, mereka melihat kebijakan ini sebagai ekspresi dari tekad untuk tidak
bergantung pada negara-negara asing, terutama setelah pengalaman kolonialisme Jepang dan
pengaruh asing sebelumnya. Masyarakat melihat keberanian Rhee Syngman sebagai
pemimpin yang berani dan tegas dalam menjaga kedaulatan negara untuk menghadapi Korea
Utara dan pasukan komunis. Kebijakan ini mencerminkan semangat nasionalisme dan
kemandirian dalam urusan luar negeri serta pertahanan nasional.

Meskipun dalam beberapa aspek kebijakan ini mendapat dukungan, namun ada juga
kritik dan kontroversi terutama dalam hal pemberantasan korupsi dan otoriterisme
pemerintahannya. Beberapa tindakan diplomatik Rhee Syngman, terutama dalam hal
perselisihan perbatasan dengan Korea Utara, memicu kontroversi dan ketegangan dalam
masyarakat Korea Selatan. Beberapa anggota masyarakat merasa bahwa pendekatan ini telah
memperburuk ketegangan antara kedua Korea.

Rhee Syngman mengambil tindakan yang kontroversial, yaitu mengklaim pulau-pulau


kecil, termasuk Pulau Yeonpyeong, sebagai bagian dari wilayah Korea Selatan. Klaim ini
menyulut ketegangan dengan Korea Utara yang juga menganggap pulau-pulau ini sebagai
bagian dari wilayah mereka. Tindakan diplomatik Rhee Syngman ini memicu ketegangan
dalam masyarakat Korea Selatan yang kemudian situasi ini dikenal sebagai "Krisis Pulau
Yeonpyeong" pada tahun 1950. Pada tanggal 25 Juni 1950, Korea Utara menyerang Pulau
Yeonpyeong dan mengakibatkan bentrokan antara pasukan Korea Selatan dan Korea Utara
yang memicu pertempuran hingga menyebabkan kerusakan dan kerugian, serta korban jiwa
di antara warga sipil di pulau tersebut.
Secara keseluruhan, sikap masyarakat Korea Selatan terhadap kebijakan "Jilseo
Oejon" ( 질 서 재 건 ) tidak homogen, dan ada spektrum pendapat dalam masyarakat.
Meskipun tindakan diplomatik Rhee Syngman terkait dengan perselisihan perbatasan ini
memunculkan ketegangan dalam masyarakat Korea Selatan dan berkontribusi pada
perkembangan Perang Korea yang melibatkan banyak negara hingga memiliki dampak besar
pada sejarah Korea Selatan. Namun, dalam konteks sejarah Korea Selatan dan tantangan yang
mereka hadapi, banyak warga merasa bahwa kemandirian adalah hal yang sangat penting
dalam menjaga integritas negara mereka.

Daftar Referensi

Fields, David P. 2019. Foreign friends: Syngman Rhee, American exceptionalism, and the
division of Korea. Amerika Serikat: The University Press of Kentucky. Diakses 17
Oktober 2023 dari https://emas2.ui.ac.id/mod/resource/view.php?id=2217468
Wahyuningtyas, Agustin S. 2013. Korea Selatan Pada Masa Pemerintahan Syngman Rhee
(1948-1960). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses 18 Oktober 2023
dari https//eprints.uny.ac.id/21174/

Anda mungkin juga menyukai