Anda di halaman 1dari 41

PENERAPAN TERAPI MUSIK KLASIK UNTUK MENURUNKAN

GEJALA HALUSINASI PENDENGARAN di RUMAH SAKIT JIWA


TAMPAN PROVINSI RIAU

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH DESKRIPTIF

NAMA : M. AZIS AZHARI


NIM : P032114401065

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES RIAU
PRODI D-III KEPERAWATAN
PEKANBARU
2024
PENERAPAN TERAPI MUSIK KLASIK UNTUK MENURUNKAN
GEJALA HALUSINASI PENDENGARAN di RUMAH SAKIT JIWA
TAMPAN PROVINSI RIAU

Proposal Karya Tulis Ilmiah Deskriptif disusun Sebagai Salah Satu Syarat
Menyelesaikan Program Pendidikan diploma III Keperawatan

NAMA : M. AZIS AZHARI


NIM : P032114401065

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES RIAU
PRODI D-III KEPERAWATAN
PEKANBARU
2024
LEMBAR PERSETUJUAN

Proposal Karya Tulis Ilmiah oleh M. Azis Azhari NIM

P032114401065 dengan judul “Penerapan Terapi Musik Klasik Untuk

Menurunkan Gejala Halusinasi Pendengaran” telah diperiksa dan disetujui

untuk diujikan seminar proposal Program Studi Diploma Tiga

Keperawatan, Jurusan Keperawatan Kemenkes Poltekkes Riau.

Pekanbaru, Maret 2024

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Ns. Sri Novita Yuliet., M.Kep., Sp. Kom Hj. Rusherina, S.Pd, S.Kep, M.Kes
NIP. 198607122008122002 NIP. 196504241988032002
HALAMAN PENGESAHAN

Proposal Karya Tulis Ilmiah oleh M. Azis Azhari NIM

P032114401065 dengan judul “Penerapan Terapi Musik Klasik Untuk

Menurunkan Gejala Halusinasi Pendengaran” telah dipertahankan di depan tim

penguji Program Studi Diploma Tiga Keperawatan, Jurusan Keperawatan

Kemenkes Poltekkes Riau pada tanggal………. dan disetujui untuk penelitian.

Tim Penguji

Penguji Ketua Ns. Sri Novita Yuliet., ( )

M.Kep., Sp. Kom

Penguji Anggota 1 Ns. Erni Forwaty, S.Kep, ( )

M.Kep

Penguji Anggota 2 Ns. Melly, SST., M. Kes ( )

Mengetahui Ketua

Jurusan Keperawatan

Politeknik Kesehatan Kemenkes Riau

Hj. Rusherina, S.Pd, S.Kep, M.Kes


NIP. 196504241988032002
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

rakhmatNya penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan

baik. Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

memenuhi Tugas Akhir dan sebagai salah satu persyaratan dalam

menempuh Ujian Akhir Program Studi Diploma III Keperawatan Jurusan

Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Riau.

Atas terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini, penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Bapak Husnan, S.Kp, MKM selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes

Riau.

2. Ibu Rusherina, S.Pd, S.Kep, M.Kes selaku Ketua Jurusan Keperawatan

Politeknik Kesehatan Kemenkes Riau dan Dosen Pembimbing 2.

3. Ibu Idayanti, S.Pd, M.Kes selaku Ketua Program Studi Diploma III

Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Riau.

4. Ibu Ns. Sri Novita Yuliet., M.Kep., Sp. Kom Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan masukan, arahan, dan meluangkan waktunya membimbing

dalam penyelesaian Proposal Karya Tulis Ilmiah ini.

5. Ibu Ns. Erni Forwaty, S.Kep., M.Kep selaku Dosen Penguji I dalam Ujian

Proposal Karya Tulis Ilmiah.

6. Ibu Melly., SST., M.Kes selaku Dosen Penguji II dalam Ujian Proposal

Karya Tulis Ilmiah.

7. Pimpinan Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau yang telah memberi izin

lahan untuk Pra-Penelitian Proposal Karya Tulis Ilmiah.


Penulis berharap semoga Proposal Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat

bagi semua pihak yang membutuhkan.

Pekanbaru, Maret 2024

Penulis
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Standar Operasional Prosedur

Lampiran 2 Skala Ukur AHRS


DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel Definisi Operasional 3.1


DAFTAR GAMBAR

Halaman
DAFTAR SINGKATAN
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : M. Azis Azhari


NIM : P032114401065
Program Studi : DIII Keperawatan
Institusi : Poltekkes Kemenkes Riau
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Proposal Karya Tulis Ilmiah

yang saya tulis ini adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan bukan

merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui

sebagai hasil tulisan satu pikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Proposal Karya

Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Pekanbaru, Maret 2024

Pembuat Pernyataan

M. Azis Azhari
NIM. P032114401065
Mengetahui:

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Ns. Sri Novita Yuliet., M. Kep., Sp.Kom Hj. Rusherina, S.Pd, S.Kep, M.Kes
NIP. 198607122008122002 NIP. 196504241988032002
Lembar Persetujuan Responden (Informed Consent)

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Mahasiswa Prodi DIII


Keperawatan Jurusan Keperawatan Kemenkes Poltekkes Riau :
Nama : M. Azis Azhari
NIM : P032114401065
Bermaksud melakukan penelitian dengan Judul “Penerapan Terapi Musik Klasik
Untuk Menurunkan Gejala Halusinasi Pendengaran”. Untuk terlaksananya
kegiatan tersebut, saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi responden
penelitian dan bersedia mengisi kuesioner. Apabila Bapak/Ibu berkenan, saya
memohon Bapak/Ibu untuk terlebih dahulu bersedia menandatangani lembar
persetujuan menjadi responden (informed consent).
Demikianlah permohonan saya, atas perhatian dan kerjasamanya saya

ucapkan terima kasih.

Peneliti

M. Azis Azhari

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Alamat :
Menyatakan bersedia menjadi responden penelitian dan bersedia mengisi

kuesioner penelitian

Pekanbaru, Maret 2024

Responden

( )
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah ketika orang dalam keadaan sehat dan bisa

merasakan kebahagiaan dalam menghadapi tantangan hidup, bersikap positif

terhadap diri sendiri maupun orang lain dan bisa menerima orang lain sebagai

mestinya (WHO,2018). Selain itu kesehatan jiwa adalah dimana kondisi

seseorang individu berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga

menyadari kemampuan sendiri, mampu mengatasi tekanan, bekerja secara

produktif, dan memberikan kontribusi untuk komunitasnya, namun jika kondisi

perkembangan individu tersebut tidak sesuai maka disebut gangguan jiwa (UU,

No. 28 Tahun 2014)

Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang orang yang

mengalami gangguan pada jiwa, pikiran, prilaku dan perasaan yang mencakup

pada bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna dan bisa

juga mengakibatkan penderita dan hambatan dalam menjalankan manfaatnya

(Larasati, 2022). ODGJ akan mengalami perubahan perilaku yang menghambat

dan menjalankan fungsi orang sebagai manusia (Fairuzahida, 2018). Salah satu

orang dengan gangguan jiwa paling banyak mengalami perubahan persepsi

sensori atau halusinasi, dimana halusinasi tersebut dapat didefenisikan sebagai

gangguan orientasi realita yang ditandai dengan seseorang memberikan tanggapan

atau penilaian tanpa adanya stimulus yang diterima oleh panca indra, dan

merupakan suatu dampak dari gangguan persepsi (Diah & Nur, 2022)
Gangguan jiwa ditemukan di semua negara termasuk Indonesia

sendiri, pada wanita dan pria, pada manusia tahap kehidupan, orang miskin

maupun orang kaya baik di pedesaan maupun di perkotaan mulai dari yang ringan

sampai yang berat. Hal tersebut menunjukkan masalah gangguan jiwa di dunia

memang sudah menjadi masalah yang sangat serius dan menjadi masalah global.

Prevelensi gangguan jiwa berat mempengaruhi lebih dari 21 juta jiwa di dunia dan

sering terjadi terhadap laki-laki (12 juta), dibandingkan perempuan (9 juta)

(WHO, 2016) (Dalam Estika, 2021). Menurut WHO (2022) Terdapat 300 juta

jiwa diseluruh dunia mengalami gangguan jiwa seperti depresi, bipolar dan

demensia. Di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018)

terdapat peningkatan signifikan dibanding dari Riskesdes 2013, data naik dari

1,7% menjadi 7% dari 300 ribu sampel rumah tangga (1,2 juta jiwa) di 34

Provinsi 316 Kabupaten dan 98 Kota. Angka kejadian skizofrenia di Rumah Sakit

Jiwa Tampan Pekanbaru Provinsi Riau bulan Januari-Desember 2020 dengan

jumlah 1.848 menurut data rekam medik yang ada di Rumah Sakit Jiwa Tampan

Pekanbaru Provinsi Riau. Berdasarkan data sekunder yang didapat melalui data

pasien rawat inap penderita skizofrenia 4 bulan terakhir 2020 yaitu dari bulan

September-Desember dengan jumlah 450 penderita, dan data penunjang lainnya

(Chairil & Intan, 2021).

Halusinasi merupakan suatu persepsi panca indra tanpa adanya

stimulus eksternal. Apabila halusinasi sudah melekat, pasien akan merasa sangat

ketakutan, panik dan tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan yang

dialaminya (Hafizudin, 2021) (dalam Delajaniarti 2022). Menurut Sutejo (2018),

sekitar 70% halusinasi yang dialami pasien gangguan jiwa adalah halusinasi
pendengaran, 20% adalah halusinasi penglihatan. Pasien dengan halusinasi

pendengaran biasa mendengar suara-suara atau bisikan, apabila tidak ditangani

dengan baik dapat berisiko terhadap keamanan diri pasien sendiri, orang lain dan

lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan halusinasi pendengaran sering berisi

bisikan-bisikan perintah melukai dirinya sendiri maupun orang lain (Rrogers &

Birchwood, 2018 dalam Delajaniarti, 2022)

Penyebab terjadinya halusinasi muncul dari beberapa faktor yaitu

dengan skizofrenia, demensia dan depresi berat dengan gejala psikosis. Adapun

penyebab halusinasi pendengaran adalah bisa terjadi karena mendengar suara-

suara yang tidak didengar orang lain, suara itu bisa berupa suara ajakan, suara

marah, percakapan, tawa, bahkan suara langkah kaki seseorang. Misalnya, pasien

seolah mendengar seseorang sedang berjalan di loteng, padahal tidak ada siapa-

siapa di loteng. Kondisi tersebut biasanya terjadi pada pasien dengan skizofrenia,

gangguan bipolar atau demensia

Dampak yang terjadi apabila pasien halusinasi tidak segera ditangani

yaitu munculnya histeris, rasa lemah, dan tidak mampu mencapai tujuan,

ketakutan yang berlebihan, pikiran yang buruk dan dapat melakukan tindak

kekerasan (Nugroho, 2017 dalam Jundan Setyowati, 2019). Akibatnya akan

menyebabkan timbul respon maladatif seperti mencederai diri sendiri, orang lain,

dan lingkungan, prilaku kekerasan hingga bunuh diri (Keliat, 2011 dalam Jundan

Setyowati, 2019)

Untuk meminimalkan gejala dan dampak pada penderita halusinasi

diberikan pendekatan dan penatalaksanaan berupa terapi farmakologi dan non

farmakologi dimana tujuan terapi farmakologi ialah untuk pengobatan antispikosis


sedangkan untuk terapi non farmakologi mengarah pada strategi pelaksanaan

dengan pendekatan yang diberikan berupa terapi musik klasik.

Terapi musik klasik dapat diterapkan kepada pasien dengan halusinasi

dimana ketika menggunakan terapi musik tersebut penderita akan berfokus

terhadap suara musik yang diberikan, efek terapi musik klasik tersebut dapat

membuat penderita melawan bisikan-bisikan yang mempengaruhi penderita.

Salah satu psikoterapi yang efektif adalah dengan terapi musik klasik

dimana terapi musik merupakan salah satu bentuk dari teknik relaksasi yang

tujuannya untuk memberikan rasa tenang, membantu mengendalikan emosi serta

membantu menyembuhkan berbagai gangguan jiwa dan gangguan psikologis.

Terapi musik klasik bertujuan untuk memberikan relaksasi terhadap pikiran dan

tubuh pasien yang mengalami halusinasi, terapi ini dapat dipelajari dan

diaplikasikan untuk menurunkan tanda dan gejala serta menimbulkan efek

nyaman dan aman bagi pasien (Purnama, 2016 dalam Yanti, Dian Angri, et,al,

2020)

Didukung dari penelitian Yuniartika, Catur Novita Santi, Nurazizah

(2019) yang berjudul penurunan pada pasien skizofrenia menggunakan terapi

musik klasik di Rumah Sakit Jiwa yang memiliki hasil didapatkan hasil bahwa

pasien Skizofrenia yang mengalami kecemasan mendapatkan terapi musik klasik,

dari rata-rata skor 18.05 ke skor 10.32 dengan selisih rata-rata 7.73 yaitu dari

cemas ringan menjadi tidak cemas.

Hasil penelitian Noviati Susilawati Barus, Deborah Siregar (2019)

yang berjudul aktivitas terapi musik terhadap halusinasi pendengaran pada pasien
skizofrenia yang memiliki hasil terapi musik dapat menurunkan halusinasi

pendengaran, memberikan rasa nyaman dan menjadikan pasien tenang.

Berdasarkan survei, penulis mendapat data di ruang Kuantan RSJ

Tampan Pekanbaru dari tahun 2023, didapatkan data pasien dengan prilaku

kekerasan berjumlah 10 orang (10,9%), pasien dengan halusinai sebanyak 74

orang (81,3%), pasien dengan harga diri rendah sebayak 2 orang (2,2%), pasien

dengan isolasi sosial berjumlah 3 orang (3,3%), pasien dengan defisit perawatan

diri sebayak 7 orang ( 7,7%), dan pasien dengan RBD berjumlah 5 orang (5,5%).

Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa gangguan jiwa dengan

halusinasi menepati jumlah sebanyak 81,3%,

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk membuat

Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Penerapan Terapi Musik Klasik Untuk

Menurunkan Gejala Halusinasi Pendengaran di RSJ Tampan Provinsi

Riau”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka, penliti dapat merumuskan

masalah “Bagaimanakah Penerapan Terapi Musik Klasik Untuk Menurunkan

Gejala Halusinasi Pendengaran di RSJ Tampan Provinsi Riau”.


1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Mendeskripsikan penerapan terapi musik klasik untuk menurunkan gejala

halusinasi pada pasien dengan gangguan persepsi sensori (halusinasi

pendengaran) di RSJ Tampan Pekanbaru.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mendiskripsikan gejala halusinasi pada pasien dengan halusinasi

pendengaran sebelum melakukan penerapan terapi musik klasik di RSJ

Tampan Pekanbaru.

2. Mendeskripsikan gejala halusinasi pada pasien dengan halusinasi

pendengaran setelah melakukan penerapan terapi musik klasik di RSJ

Tampan Pekanbaru.

3. Mendeskripsikan efektifitas penerapan terapi musik kalsik untuk

menurunkan gejala halusinasi pada pasien dengan gangguan halusinasi

pendengaran di RSJ Tampan Pekanbaru.

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat Teoritis

Adapun manfaat dari studi kasus ini adalah untuk meningkatkan

pengetahuan pembaca dalam penerapan terapi musik klasik untuk mengontrol

suara-suara bisikan pada pasien jiwa dengan halusinasi pendengaran di RSJ

Tampan Pekanbaru.
1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Penulis

Hasil karya tulis ilmiah ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman terhadap penulis tentang pengaruh penerapan terapi musik

terhadap penurunan gejala halusinasi pendengaran, sehingga dapat di

rekomendasikan sebagai salah satu terapi non farmakologi pada pasien

penderita halusinasi pendengaran.

2. Bagi Institusi

Dapat diginakan sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan

asuhan keperawatan tentang penerapan terapi musik klasik untuk

menurunkan gejala halusinasi pendengaran.

3. Bagi Keluarga/ Pasien

Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan pengetahuan

tentang cara merawat dan mengatasi gangguan halusinasi pendengaran

dengan menggunakan terapi musik klasik guna untuk menurunkan tingkat

halusinasi pasien.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Skizofrenia

2.1.1 Definisi Skizofrenia

Skizofrenia merupakan penyakit kronis, parah, dan melumpuhkan

gangguan otak yang ditandai dengan pikiran kacau, waham, delusi, RPK dan

prilaku aneh dan katonik (Made et al. 2023). Skizofrenia merupakan gangguan

jiwa yang dapat mengakibatkan berakhir dengan hilangnya nyawa diri sendiri

atau orang lain bisa tidak segera diatasi. Dalam penanganan penyakit ini perlu

dilakukan adalah dengan terapi, rehabilitas dan juga konseling. Upaya terbesar

untuk penanganan penyakit gangguan jiwa terletak pada keluarga dan

masyarakat, dalam hal ini terapi terbaik adalah bentuk dukungan keluarga dalam

mencegah kambuhnya penyakit skizofrenia (Achmad, Syamsul Arifin 2022).

2.1.2 Etiologi Skizofrenia

Skizofrenia memiliki tanda dan gejala antara lain (Afifah, 2021)

mengatakan bahwa penyebab dari skizofrenia, antara lain :

1. Faktor Alami/Biologis

1) Ibu penderita skizofrenia yang melahirkan bayi laki-laki

2) Memiliki hipotesis pada hormon dopamin

3) Infeksi

4) Kelainan struktur otak

5) Hipotesis pada serotonin


2. Faktor Keturunan/Genetik

Menurut para ilmuan skizofrenia di turunkan 1% dari masyarakat umum,

namun 10% yang mempunyai hubungan paling dekat seperti orang tua, kakak

perempuan dan laki-laki yang memiliki riwayat skizofrenia.

2.1.3 Macam-macam Skizofrenia

1. Skizofrenia Simplek

Sering timbul pertama kali pada pubertus, gejala utama berupa

gangguan proses berfikir yang suka ditemukan, waham dan halusinasi

yang jarang di dapat, jenis ini timbulnya berlahan dan sering timbul pada

masa remaja.

2. Skizofrenia Hebefrenia

Permulaannya berlahan-lahan dan sering terjadi pada masa remaja

atau antara umur 15-25 tahun. Gejala yang mencolok ialah gangguan

proses berfikir, gangguan persoonaliti, gangguan psikomotor seperti

neulogisme atau perilaku kekanak-kanakan dan juga sering terjadi waham

dan halusinasi.

3. Skizofrenia Katatonia

Timbulanya pertama kali pada umur 15-30 tahun dan biasanya

sering didahului oleh stres emosional, mungkin terjadi gaduh gelisah

katatonik atau stupor katatonik

4. Skizofrenia Paranoid

Gejala yang mencolok ialah waham primer, disertai dengan waham

skunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya

gangguan proses fikir, gangguan efek emosi dan kemauan.


5. Episode Skizofrenia

Gejala ini sering timbul mendadak sekali dan pasien dalam

keadaan mimpi, kesadarannya mungkin berkabut, dalam keadaan tersebut

timbul perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah,

semuanya seakan-akan mempunyai suatu arti yang khusus baginya.

6. Skizofrenia Residual

Keadaan skizofrenia dengan gejala primernya bleuler, tetapi tidak

jelas adanya gejala-gejala skunder, keadaan ini sering muncul ketika sudah

beberapa kali serangan skizofrenia.

2.1.4 Gejala Skizofrenia


Menurut (Modiska, 2019) gejala skizofrenia terbagi menjadi 2

yaitu:

1. Gejala primer

1) Gangguan proses pikiran atau bentuk, langkah dan isi pikiran. Pada

skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran yang

terganggu terutama ialah asosiasi, kadang-kadang satu idea belum selesai

diutarakan, sudah timbul idea lain.

2) Gangguan kemauan banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai

kelemahan kemauan mereka tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat

bertindak dalam suatu keadaan. Mereka selalu memberikan alasan,

meskipun alasan itu tidak jelas atau tepat atau mereka menganggap hal itu

biasa saja dan tidak perlu diterangkan.

3) Gejala psikomotor gejala ini juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau

gangguan perbuatan kelompok gejala ini oleh Bleuker dimasukkan ke


dalam kelompok gejala skizofrenia yang sekunder sebab didapati juga

pada penyakit lain.

2. Gejala sekunder

1) Waham

Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali. Waham di

bagi menjadi 2 kelompok yaitu : waham primer timbul secara tidak logis

sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari luar dan waham sekunder

biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara bagi

penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain.

2) Halusinasi

Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran

dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada

keadaan lain. Paling sering pada skizofrenia ialah halusinasi pendengaran

(aditif atau akustik). Kadang-kadang terdapat halusinasi penciuman

(olfaktorius), halusinasi cita rasa (gustatorik) atau halusinasi sentuhan

(taktil). Halusinasi penglihatan agak jarang pada skizofrenia, lebih sering

pada psikosa akut yang berhubungan dengan sindroma otak organik.

2.2 Konsep Dasar Halusinasi

2.2.1 Definisi Halusinasi

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien

mengalami perububahan persepsi sensori , merasakan sensasi palsu berupa suara,

penglihatan, pengecapan, perabaan dan penciuman. Klien merasakan stimulus

yang sebetulnya tidak ada (Damayanti,2012 dalam Maria Nikosia Tagu, 2020).
Halusinasi pendengaran merupakan halusinasi yang terjadi ketika klien

mendengar suara-suara, halusinasi ini sudah melebur dan pasien merasa sangat

ketakutan, panik dan tidak bisa membedakan antara khayalan yang di alaminya

(Hafizudin,2022 dalam Delajaniarti, 2022).

Dari beberapa pengertian yang sudah ditemukan penulis menyimpulkan

halusinasi itu adalah persepsi klien yang salah melalui panca indra terhadap

stimulus atau rangsangan yang nyata. Sedangkan halusinasi pendengaran adalah

kondisi dimana pasien mendengar suara, terutama suara-suara bisikan yang

memerintahnya untuk melakukan sesuatu.

2.2.2 Etiologi Halusinasi


Faktor predisposisi klien halusinasi menurut (Oktiviani, 2020) :

1. Faktor Predisposisi

1) Faktor Perkembangan

Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya

kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu

mandiri sejak kecil, mudah frustasi dan hilang percaya diri.

2) Faktor sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungan sejak bayi

akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada

lingkungan

3) Biologi

Faktor biologis mempunyai pengaruguh terhadap terjadinya

ganguan jiwa. Adanya stres yang yang berlebihan dialami seseorang

maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang bersifat

halusinogen neurokimia.
4) Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah

terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini tidak berpengaruh

pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat

demi masa depannya, klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari

dari alam nyata menuju alam khayal.

5) Sosial Budaya

Meliputi klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan

klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat

membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-oalah ia

merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial,

kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.

2. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh

individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan yang memerlukan

energi ekstra untuk menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari

lingkungan, misalnya partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak

diajak komunikasi, objek yang ada dalam lingkungan dan juga suasana

sepi atau terisolasi, sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal

tersebut dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang meransang tubuh

mengeluarkan zat halusinogenik. Penyebab Halusinasi dapat dilihat dari

lima dimensi (Oktiviani, 2020) yaitu :

1) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti

kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam panas, asumsi

alkohol yang berlebihan dan kesulitan tidur yang lama.

2) Dimensi Emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar masalah yang tidak

dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari

halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.

3) Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu

dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego.

Pada awalnya halusinasi adalah usaha dari ego diri sendiri untuk

melawan inpuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang

menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian

klien dan tidak jarang akan mengontrol semua prilaku klien

4) Dimensi Sosial

klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata

sangat membahayakan, sehingga pasien asyik dengan halusinasinya,

seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi akan interaksi

sosialnya.

5) Dimensi Spiritual

Secara spiritual klien dengan halusinasi mulai dengan

kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah

dan jarang berupaya secara spiritual untuk mensucikan diri. Saat

bangun tidur klien merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.
2.2.3 Rentang Respon
Halusinasi merupakan salah satu respon maldaptive individual yang

berbeda rentang respon neurobiologi dalan ini merupakan persepsi maldaptive.

Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan

menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui

panca indra (pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan,dan perabaan)

klien haalusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun stimulus

tersebut tidak ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang

karena suatu hal kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang

diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien mengalami jika interprestasi

stimulus yang dilakukan terhadap stimulus panca indra tidak sesuai stimulus

yang di terimanya, tentang respon sebagai berikut (Pardede, 2021).

2.2.4 Jenis-jenis Halusinasi

Jenis halusinasi menurut Yosep dalam Delajaniarti (2022)

1. Halusinasi Pendengaran

Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara atau

bisikan, yang biasanya mendengar suara orang yang memerintahkannya

serta orang yang sedang membicarakan hal sedang dipikirkannya untuk

melakukan sesuatu

2. Halusinasi Penglihatan

Stimulus visual dalam bentuk seperti pancaran cahaya, panorama

yang luas, bayangan yanag menakutkan,gambaran geometrik dan juga

gambar kartun

3. Halusinasi Penghidu (penciuman)


Gangguan stimulus pada penghidu, ditandai dengan adanya bau

amis, busuk, darah, dan bau menjijikkan, terkadang bisa juga merasakan

bau harum

4. Halusinasi Peraba

Gangguan stimulus ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak

enak tanpa ada stimulus yang terlihat, sensasi merasakan sensasi listrik

datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

5. Halusinasi Pengecap

Gangguan stimulus ditandai dengan merasakan sesuatu yang amis

seperti darah dan juga bisa merasan seuatu yang busuk dan menjijikkan.

2.2.5 Tanda dan Gejala Halusinasi


Menurut Yuanita (2019) tanda dan gejala halusinasi terdiri dari :

1. Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindar diri dari

orang lain

2. Tersenyum sendiri, tertawa sendiri

3. Duduk terpakau (berkhayal)

4. Berbicara sendiri

5. Memandang satu arah, menggerakkan bibir tanpa suara, penngerakan

mata yang cepat, dan respone verbal yang lambat

6. Menyerang, sulit berhubungan dengan orang lain

7. Tiba-tiba marah, curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain

dan lingkungan)

8. Gelisah, ekspresi muka tegang, dan mudah tersinggun

9. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah


2.2.6 Fase-fase Halusinasi
Halusinasi terbagi atas beberapa fase (Oktiviani, 2020)

1. Fase Pertama/sleep disorder

Pada fase ini klien merasa bayak masalah, ingin menghindar dari

lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya bayak masalah.

Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi

misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dikhianati kekasih, masalah

di kampus, dst. Masalah terasa menekan karena terakumulasi

sedangkan suport sistim kurang dan persepsi terhadap masalah sangat

buruk. Sulit tidur berlangsung trus-menerus sehingga terbiasa

menghayal.

2. Fase Kedua/Comforting

Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan

cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba

memuatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan

bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat dia kontrol bila

kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien

merasa nyaman dengan halusinasinya

3. Fase Ketiga/Condemning

Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami

bias. Klien klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan

mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang

dipersepsikan klien mulai menarik diri dari oranng lain, dengan

intensitas waktu yang lama.

4. Fase Keempat/Controlling Severe Level of Anxiety


Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang

datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir,

dari sinilah di mulai fase gangguan psikotik.

5. Fase Ke lima/Conquering Panic Level of Anxiety

Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai merasa terancam

dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti

ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi

dapat berlangsung selama minimal empat jam atau seharian bila klien

tidak mendapatkan komunikasi terapeutik/ terjadi gangguan psikotik

berat.

2.2.7 Mekanisme Koping

Menurut Stuart dalam Irwan, Farhanah (2020) perilaku yang mewakili

upaya untuk melindungi melindungi Pasien dari pengalaman yang menakutkan

berhubungan dengan respone neurobiologis maladaptif meliputi : regresi,

berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi

ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas sehari-hari. Proyeksi,

sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi dan menarik diri.

2.2.8 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan medis menurut Stuart dalam Irwan, Farhanah (2020) :

1) Pemberian obat-obatan dan tindakan lain merupakan

penatalaksanaan pada klien skizofrenia yang mengalami halusinasi.

Psikofarmakologis, obat anti psikosis adalah obat yang lazim

digunakan pada gejala psikosis pada klien skizofrenia.


2) Terapi kejang listrik, merupakan pengobatan untuk menimbulkan

kejang grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik

melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua temples, pada

pasien skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika

dapat diberikan terapi neuroleptika oral atau injeksi dosis terapi

kejang listrik 4-5 joule/detik.

1. Penatalaksanaan Keperawatan

1) Mengajarkan Strategi Pelaksanaan kepada pasien halusinasi

2) Strategi pelaksanaan 1 : Mengenal masalah dalam merawat klien

dan mengontrol mengontrol halusinasinya dengan cara

menghardik.

3) Strategi pelaksanaan 2 : Melatih pasien halusinasi dengan cara

minum obat secara teratur.

4) Strategi pelaksanaan 3 : melatih klien halusinasi dengan cara

berbincang-bincang.

5) Strategi pelaksanaan 4 : Melatih memanfaatkan fasilitas kesehatan

dan follow up.

6) Psikoterapi dan rehabilitas, psikoterapi suportif individual atau

kelompok yang sangat membantu karena klien kembali

kemasyarakat, selain itu terapi kerja juga sangat baik untuk

mendorong klien bergaul dengan orang lain. Tujuanannya agar

klien tidak mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan

yanng kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan

bersama seperti terapi modalisasi yaitu terapi musik.


2.3 Konsep Terapi Non Farmakologi

2.3.1 Definisi Terapi Musik Klasik

Terapi musik klasik merupakan terapi yang dilakukan dengan

menggunakan musik klasik dan aktivitas musik untuk memfasilitasi proses terapi

dalam menggunakan musik klasik dalam membantu kliennya. Sebagaimana

halnya terapi yang merupakan upaya yang dirancang untuk membantu klien

konteks fisik dan mental, terapi musik mendorong klien untuk berinteraksi,

improvisasi, mendengarkan atau aktif bermain musik (Change et al., 2021).

World Federation of Music Therapy menjelaskan bahwa terapi musik sebagai

penggunaan profesional dari musik dan elemennya sebagai salah satu intervensi

dalam bidang kesehatan, pendekatan dan lingkungan sehari-hari dengan

individu, kelompok, keluarga, dan komunitas yang mencoba untuk melakukan

optimalisasi kualitas hidupnya dan meningkatkan kesehatan fisik, sosial,

komunikatif, emosional, dan kondisi spritualnya.(Change et al., 2021).

2.3.2 Tujuan Terapi Musik Klasik

Adapun tujuan dari terapi musik adalah memberikan rasa tenang,

membantu mengendalikan emosi, memberikan relaksasi pada tubuh dan pikiran

penderita sehingga berpengaruh terhadap pengembangan diri dan

menyembuhkan gangguan psikososialnya.

2.3.3 Manfaat terapi Musik Klasik

Manfaat dari terapi musik adalah sebagai sarana peneymbuhan, dalam

terapi yang telah diungkapkan dalam berbagai penelitian dan berbagai literatur.
Terapi musik sendiri dianggap sebagai sesuatu yang spesial dan sebagai metode

terapi, dikarenakan adanya pendapat yang menjelaskan bahwa terapi musik

merupakan bahasa universal yang memfasilitasi belajar, membangun hubungan,

self-expression,dan komunikasi (Change et al., 2021). Do (2012) menjelaskan

bahwa muisk bersifat universal. Musik akan menyediakan jembatan alami antara

individu dengan individu yang lain, dengan lingkungan, memfasilitasi hubungan

belajar, self-expression, dan komunikasi. Musik menangkap dan membantu

memelihara perhantian. Musik juga sangat memotivasi dan digunakan sebagai

natural reinforcer untuk respon yang diinginkan (Change et al., 2021).

Alasan universalitas dari musik inilah selanjutnya banyak digunakan

sebagai pijakan dalam berbagai penelitian yang mengguakan musik sebagai

media utama terapi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Havlat (2006) yang

menggunakan musik sebagai sarana terapi untuk mengembangkan kemampuan

komunikasi verbal dan non-verbal anak autis. Penelitian ini menggunakan terapi

musik karena menganggap musik adalah aspek universal pengganti bahasa yang

dapat digunakan untuk membangun komunikasi dengan penderita halusinasi

(Halvet, 2006). Penelitian lain yang dilakukan oleh Gelardina 48 Buletin

Psikologi Frizt juga menunjukkan bahwa aspek wajah yang dapat dikenali

secara universal seperti pada ekspresi wajah dan emosional prosody (Change et

al., 2021).
BAB 3
METODE STUDI KASUS

3.1 Rancangan Studi Kasus

Desain karya tulis ilmiah ini menggunakan desain studi kasus (casestudy).

Subyek dalam penerapan berjumlah 2 pasien dengan kriteria pasien bersedia

menjadi subyek, pasien dengan masalah keperawatan utama halusinasi

pedengaran, pasien tidak memiliki kecacatan dalam berbicara dan mendengar,

pasien menyukai musik klasik . Pada studi kasus ini penulis akan menggambarkan

bagaimana Penerapan Musik Klasik pada Pasien Halusinasi Pendengaran.

3.2 Subyek Studi Kasus

Subyek adalah bagian klausa yang menandai apa yang dibicarakan oleh

pembicara. Subyek yang digunakan pada studi kasus ini adalah 2 orang dewasa di

wilayah Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau, yang memiliki karakteristik

sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi :

3.2.1 Kriteria Inklusi

1. Klien yang dengan halusinasi pendengaran

2. Responden kooperatif

3. Klien yang dirawat diruang Kuantan

3.2.2 Kriteria Eksklusi

1. Klien dengan gangguan jiwa berat yang mengalami cacat fisik yang

dapat mengganggu proses penelitian

2. Klien yang tidak kooperatif dan mengamuk

3. Klien yang tidak diruang Kuantan


3.3 Fokus Studi

Fokus studi penelitian ini adalah penurunan gejala halusinasi pada pasien

dengan gangguan persepsi sensori (halusinasi pendengaran) setelah diberikan

intervensi keperawatan dengan terapi musik.

3.4 Definisi Operasional

No. Variabel Penelitian Definisi Operasional Skala Ukur

1. Definisi Halusinasi Halusinasi adalah salah satu Dengan

gejala gangguan jiwa dimana menggunakan

klien mengalami perubahan Auditory

persepsi sensori , merasakan Hallucination

sensasi palsu berupa suara, Rating Scale

penglihatan, pengecapan, (AHRS)

perabaan dan penciuman.

Klien merasakan stimulus

yang sebetulnya tidak ada

(Damayanti,2012 dalam

Maria Nikosia Tagu, 2020).

2. Terapi Musik Terapi musik merupakan Dilakukan selama

Klasik terapi yang dilakukan dengan 15 menit dalam 1

menggunakan musik dan hari

aktivitas musik untuk

memfasilitasi proses terapi


dalam menggunakan musik

dalam membantu kliennya.

Sebagaimana halnya terapi

yang merupakan upaya yang

dirancang untuk membantu

klien konteks fisik dan

mental, terapi musik

mendorong klien untuk

berintraksi, improvisasi,

mendengarkan atau aktif

bermain musik (Change et al.,

2021)

3.5 Instrumen Studi Kasus


Instrumen studi kasus ini adalah:

a. Peneliti sendiri, peneliti dapat memperoleh informasi-informasi yang diteliti.

b. Speaker

c. Standar Operasional Prosedur (SOP).

3.6 Pengumpulan Data


Meneliti mengumpulkan data pasien dengan halusinasi pendengaran yang

kooperatif dirungan kuantan dan memilih yang sesuai dengan kriteria subjek yang

ditetapkan dengan cara :

a. Wawancara
Penulis melakukan wawancara pada subjek penelitian untuk

pengambilan data menggunakan formulir pengkajian jiwa dengan teknik

Tanya jawab.

b. Observasi
Metode pengumpulan data yang dilakukan dengan mengamati dan

mencatat gejala halusinasi pasien dengan formulir Auditory Hallucination

Rating Scale (AHRS) yang dilakukan sebelum dan sesudah terapi musik

diberikan.

c. Dokumentasi

3.7 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di RSJ Tampan Pekanbaru tepatnya di ruangan

Kuantan yang dimulai sejak bulan April-Mei 2024.

3.8 Analisis Data dan Penyajian Data


Analisis data dilakukan dengan melakukan perbandingan respon dua subjek

sebelum dan setelah diberikan terapi musik dengan observasi dan wawancara

menggunakan lembar pre test dan post test.

Data disajikan secara tekstural berdasarkan fakta yang didapat dan berbentuk

narasi.

3.9 Etika Penelitian


Etika penelitian merupakan norma untuk berperilaku menghormati

privasi dan hak objek penelitian. Etika yang mendasari studi kasus ini

terdiri dari

a. Inform consent

Informed consent merupakan lembar persetujuan yang berguna untuk

mendapatkan persetujuan antara peneliti dengan responden. Inform

consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dan memiliki

maksud agar subjek mengerti maksud dan tujuan peneliti.

b. Anonymity (tanpa nama)

Peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data

dengan tujuan agar kerahasiaan responden dapat terjaga. Akan tetapi

penulis perlu mencantumkan inisial nama dari responden untuk

dicantumkan di lembar penelitian.

c. Confidentiality (kerahasiaan)

Semua informasi yang telah didapatkan dan dikumpulkan akan

dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang

akan dilaporkan pada hasil penelitian.

d. Justice (keadilan)

Pada etika studi kasus Justice ini penulis perlakuan yang adil seadil-

adilnya terhadap kedua responden dengan memberikan perlakuan yang

sama dan seimbang.

e. Beneficience (Berbuat Baik)

Pada etika studi kasus beneficience ini penulis memperlakukan

kedua responden dengan baik , dengan tidak merugikan pasien.


DAFTAR PUSTAKA

Andreani, I. (2022). KEPERAWATAN BENGKULU TAHUN 2022.

Armasnyah, Y. A. (n.d.). Pengaruh Terapi Musik Klasik terhadap Respon Fisiologis


pada Pasien yang Mengalami Kecemasan Praoperatif Ortopedi.

Change, G., Cimino, M., York, N., Alifah, U., Mayssara A. Abo Hassanin Supervised,
A., Chinatown, Y., Staff, C., & Change, G. (2021). PEMBERIAN TERAPI
MUSIK, PSIKORELIGIUS, DAN AKTIVITAS KELOMPOK (TAK) DALAM
PENURUNAN HALUSINASI PENDENGARAN PADA PASIEN
SKIZOFRENIA. Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, 3(2),
6.

Herawati, Y. A. dan N. (2021). Perbedaan Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pasien


Skizofrenia Melalui Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Persepsi. Jurnal
Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Volume 9 N(2),
Hal 445-452.

Irwan, F., Putra Hulu, E., Warman Manalu, L., Sitanggang, R., & Febrian Putra Waruwu,
J. (n.d.). Asuhan keperawatan Jiwa Dengan Masalah Halusinasi.

Kurniawan, R. S. (2018). Efektifitas Terapi Musik Klasik “Mozart-Concerto in C Major


No.21, Kv.467” Untuk Mengurangi Perilaku Hiperaktif Siswa Autis. Jurnal Widia
Ortodidaktika, 7(7), 706–715.

Livana, Rihadini, Kandar, Suerni, T., Sujarwo, Maya, A., & Nugroho, A. (2020).
Peningkatan Kemampuan Mengontrol Halusinasi Melalui Terapi Generalis
Halusinasi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Jiwa, 2(1), 1–8.

Mister, Nugroho, A. P., & dkk. (2022). Studi Kasus Halusinasi Pendengaran pada Pasien
Schizofrenia. Jurnal Keperawatan Notokusumo, 10(1), 21.

Modiska, F. F. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Skizofrenia Simplek


Dengan Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Studi Di ruang Kenari
Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Karya Tulis Ilmiah, 4(1), 97.

Moekroni, R., & Analia. (2016). Pengaruh Pemberian Terapi Musik Klasik dalam
Menurunkan Tingkat Kecemasan Ibu Hamil Menjelang Persalinan. Jurnal Majority,
5, 1–11.

Napitupulu, M., & Sutriningsih. (2019). Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Lansia
Penderita Insomnia. Jurnal Kesehatan Ilmiah Indonesia, 4(2), 70–75.

Patimah, S. (2021). Aplikasi Terapi Bercakap - Cakap Pada Tn. N dengan Gangguan
Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Jampang Kulon. Jurnal Lentera, 4(1),
6–10. https://doi.org/10.37150/jl.v4i1.1382

Simanjuntak, M. R., Tampubolon, R. F., Manurung, Y., Sibagariang, E. E., & Gultom, D.
(2022). Pemanfaatan Terapi Musik Klasik Dalam Upaya Menurunkan Tingkat
Stress Kerja Guru Sd Selama Pandemi Covid-19. Jurnal Kedokteran STM (Sains
Dan Teknologi Medik), 5(1), 29–36. https://doi.org/10.30743/stm.v5i1.225
Suhermi; Rahmawati Ramli; Hasriani Caing. (2021). DOI:
http://dx.doi.org/10.33846/sf12114 Pengaruh Terapi. 12(4), 54–57.

Tagu, M. N. (2021). EFEKTIFITAS TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP PASIEN


HALUSINASI PENDENGARAN PADA Nn. Y. L DI KELURAHAN NAIMATA
KECAMATAN OEBOBO KOTA KUPANG. Angewandte Chemie International
Edition, 6(11), 951–952.

Yuniartika, W., Santi, C. N., & Azizah S, N. (2019). Penurunan Kecemasan pada Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menggunakan Terapi Musik. Jurnal Penelitian
Dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, 6(1), 26–30.
https://doi.org/10.32699/ppkm.v6i1.496

Anda mungkin juga menyukai