Anda di halaman 1dari 54

1

2
3
4
5
6
RINGKASAN
Wayang beber Pacitan merupakan salah satu jenis seni rupa tradisi dan
sekaligus seni pertunjukan tradisi asli Indonesia. Wayang beber berupa lukisan di
atas gulungan kertas atau kain yang memuat beberapa adegan digambar secara
berurutan sesuai dengan alur cerita. Secara historis wayang beber Pacitan terdapat
di desa Gedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan dipercaya sudah ada
sejak jaman Majapahit [9]. Dharsono (2015) mengatakan wayang beber diciptakan
pada jaman Majapahit awal abad ke-16, sebelum pusat kebudayaan pindak ke
Demak, Jawa Tengah tahun 1522 Masehi [2].
Wayang beber Pacitan terdiri atas enam gulungan, dan setiap gulungan
memuat empat adegan (jagong), sehingga semuanya ada 24 jagong. Setiap jagong
dilukis berbeda-beda sesuai dengan alur ceritanya. Secara umum setiap jagong
menampilkan gambar tokoh, flora dan fauna serta senjata seperti keris, tombak, dan
pedang,
Seperti jenis wayang lainnya, wayang beber Pacitan memiliki beberapa
tokoh penting diantaranya Tawang Alun. Tokoh Tawang Alun sebagai seorang abdi
(punakawan) dari seorang ksatria bernama Jaka Kembang Kuning. Meskipun
sebagai abdi namun Tawang Alun memiliki karakter kuat dan berjiwa pahlawan.
Hal tersebut ditunjukkan dengan keberaniannya maju perang melawan musuh yang
akan mengganggu keselamatan jiwa majikannya.
Wayang beber Pacitan bagi masyarakat pendukungnya sebagai tontonan
dan sekaligus tuntunan. Sebagai tontonan karena bentuk visualnya berupa lukisan
rumit yang artistik dan memiliki nilai estetik yang tinggi. Selain itu, wayang beber
Pacitan sebagai tuntunan karena isi ceritanya mengandung nilai-nilai ajaran moral
bagi masyarakat pendukungnya.
Tujuan penelitian tentang “Tokoh Tawang Alun pada Wayang Beber
Pacitan Jagong Ke Tiga belas dan Relevansinya dengan Nilai-nilai Pendidikan
Karakter” ini adalah untuk (1) mengidentifikasi tanda-tanda (ikon, indeks, simbol)
yang terdapat dalam jagong ke-13 wayang beber Pacitan melalui pendekatan
semiotik, (2) menganalisis karakter tokoh Tawang Alun yang terdapat pada jagong
ke-13 dan relevansinya dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Penelitian ini penting untuk dilakukan. Pertama, penelitian ini mendukung
upaya untuk melestarikan wayang beber Pacitan sebagai salah satu budaya
Nusantara. Kedua, penelitian ini mendukung upaya untuk merevitalisasi aset
budaya Nusantara wayang beber Pacitan. Keberlanjutan eksistensi wayang beber
Pacitan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah maupun masyarakat.
Keberadaan wayang beber Pacitan saat ini kondisinya sangat memprihatinkan
karena sudah mulai ditinggalkan oleh para pendukungnya dan jarang dipentaskan
di tempat umum. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan sebagai upaya
untuk melestarikan dan mengembangkan wayang beber.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Teknik
pengumpulan data yang akan digunakan adalah; observasi, wawancara, dan analisis
dokumen. Observasi dilakukan untuk mengetahui secara rinci unsur-unsur visual
wayang beber Pacitan. Wawancara dilakukan kepada dalang wayang beber Pacitan
terkait dengan eksistensi wayang beber Pacitan sekarang ini. Analisis dokumen
dilakukan untuk mendapatkan data-data secara tersurat terkait dengan wayang

7
beber Pacitan. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling.
Analisis data yang digunakan adalah analisis model interaktif, dengan tiga tahapan
yakni; reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Validitas data
menggunakan triangulasi sumber.
Target luaran penelitian ini adalah publikasi artikel ilmiah yang
direncanakan dimuat di Jurnal ber-ISSN yakni jurnal CAKRA penerbit Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pariwisata dan Budaya (PUSPARI) LPPM UNS.

8
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
BAB 2 METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Lokasi Penelitian
B. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
C. Teknik Sampling
D. Teknik Analisis
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian dan Pembahasan
B. Status Luaran Penelitian
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

9
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia kaya akan seni tradisi salah satunya adalah kesenian wayang.
Wayang sebagai seni pertunjukan kebudayaan Jawa sering diartikan sebagai
“bayangan” atau samar-samar yang dapat bergerak sesuai lakon yang dihidupkan
oleh seorang dalang. Bayangan itu juga dipahami sebagai gambaran perwatakan
dan karakter manusia sebagai gambaran kehidupan berdasarkan isi cerita.
Dalam setiap pertunjukan sering kali diberikan berbagai nasihat atau ajaran-
ajaran luhur dan penting tentang kehidupan dan cara menyikapinya sehingga makna
yang tersirat dan tersurat dalam setiap lakon dapat diambil teladan dan hikmahnya.
Dengan demikian, peranan wayang sebagai falsafah manusia Jawa karena isinya
mengandung ajaran-ajaran budi pekerti.
Wayang sarat dengan ajaran moral dan etika. Nilai-nilai tersebut menyangkut
dengan nilai kehidupan manusia seperti kepahlawanan, kesetiaan, cinta kasih,
pengorbanan, politik, kekuasaan, keserakahan, kejujuran, dan lain-lain [11].
Salah satu jenis wayang yang terdapat di Indonesia adalah wayang beber. Jenis
wayang ini berupa lukisan di atas gulungan kertas atau kain yang digambari
beberapa adegan, dan cara mempertunjukkan gulungan dibentangkan
(dibeber:Jawa), kemudian dalang menuturkan isi cerita pada lukisan tersebut,
sehingga disebut wayang beber.
Wayang beber sebagai karya seni rupa tradisi secara visual berupa susunan
elemen-elemen visual seperti titik, garis, bidang, warna, dan tekstur sebagai hasil
ekspresi seniman yang membentuk simbol-simbol yang mengandung makna
tertentu. Wayang beber Pacitan sebagai karya seni rupa Nusantara berfungsi
sebagai tontonan dan tuntunan, karena bentuknya mengandung nilai-nilai estetik
yang menarik untuk dilihat atau ditonton, dan isi ceritanya mengandung pesan-
pesan moral dan pendidikan budi pekerti kepada manusia. Nilai-nilai pendidikan
dalam wayang beber tidak hanya terdapat pada isi cerita, cara pentas atau
pertunjukan dan instrumennya saja, namun juga pada perwujudan bentuk visualnya.

10
Setiap tokoh merupakan gambaran watak manusia. Sebagian besar dasar watak
dilukiskan pada wujud raut muka, yaitu pada bentuk dan warna, ada pula yang
dilukiskan pada posisi ukuran dan bentuk tubuh. Perwujudan raut muka yang
mengekspresikan watak terdapat pada bentuk mata, hidung, mulut, dan warna
roman muka dan posisi sikap wajah [8].
Bagaimana karakter tokoh Tawang Alun, dan relevansinya dengan nilai-nilai
pendidikan karakter, hal ini menarik dan perlu diteliti. Mengingat keberadaan
wayang beber Pacitan saat ini kondisinya hampir punah dan mulai ditinggalkan oleh
para pendukungnya.

B. Perumusan Masalah
Uraian pada latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahannya
sebagai berikut; Bagaimana karakter tokoh Tawang Alun pada Wayang Beber
Pacitan Jagong Ke Tiga Belas dan relevansinya dengan nilai-nilai pendidikan
karakter?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan penelitian tentang “Karakter Tokoh Tawang Alun pada Wayang Beber
Pacitan Jagong Ke Tiga Belas dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai Pendidikan
Karakter” adalah untuk:
1) mengidentifikasi tanda-tanda (ikon, indeks, simbol) yang terdapat dalam
jagong ke-13 wayang beber Pacitan melalui pendekatan semiotik,
2) menganalisis karakter tokoh Tawang Alun yang terdapat pada jagong ke-13
dan relevansinya dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Manfaat penelitian antara lain; pertama, penelitian ini untuk mendukung
pelestarian budaya lokal seni tradisi dalam hal ini wayang beber. Kedua, penelitian
ini juga untuk mendukung upaya pengembangan kreativitas masyarakat berbasis
kearifan lokal seperti pengembangan bentuk wayang beber yang diaplikasikan
kedalam berbagai media sebagai barang-barang cenderamata. Ketiga, wayang
beber dapat digunakan sebagai materi mustan lokal pada pelajaran seni budaya di
sekolah ditingkat SD, SMP maupun SMA.

11
BAB 2
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Pacitan yang
merupakan daerah asal wayang beber Pacitan merupakan karya seni rupa tradisi
yang penting untuk dilestarikan dan dikembangkan sebagai identitas budaya daerah
dan aset budaya bangsa.

B. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data


Sumber data dalam penelitian ini berupa informan, wayang beber Pacitan
khususnya jagong ke-13, dan arsip atau dokumen terkait. Informan yang
diwawancarai antara lain Bapak Rudy dalang wayang beber Pacitan dan Bapak
Pujianto pelukis wayang beber Pacitan. Selain itu, untuk mendapatkan data wayang
beber Pacitan jagong ke-13 dikumpulkan dengan menggunakan metode
pengamatan lapangan (observasi), serta untuk menambah kelengkapan data
dilakukan analisis dokumen.

C. Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, sampel penelitian
diambil berdasarkan tujuan atau purpose tertentu, yakni tokoh Tawang Alun pada
Wayang beber Pacitan jagong ke-13. Hal ini terkait dengan permasalahan yang
diteliti yaitu karkter tokoh Tawang Alun dan relevansinya dengan nilai-nilai
pendidikan karakter. Sedangkan penentuan key informant berproses menggelinding
seperti bola salju atau snowball dari orang kunci pertama yaitu Bapak Rudy
Prasetyo sebagai dalang wayang beber Pacitan, kemudian merekomendasikan
orang-orang kunci berikutnya yang mengusai permasalahan tentang wayang beber
Pacitan yaitu Bapak Pujiyanto selaku seniman lukis wayang beber Pacitan.

12
D. Teknik Analisis
Dalam penelitian ini data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis
model interaktif [13]. Teknik analisis model interaktif terdiri atas tiga komponen,
yakni reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data merupakan
proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data kasar yang ada
dalam catatan lapangan. Data lapangan direduksi dan dipilih hal yang menonjol.
Dengan melakukan reduksi data, diperoleh data akurat, peneliti dapat mengecek
apakah ada data penelitian yang sama dengan yang diperoleh sebelumnya, sehingga
dapat menghindari adanya kerancuan dalam proses analisis. Sajian data merupakan
suatu susunan informasi dalam bentuk klasifikasi atau kategorisasi berupa display
tabel, matriks, gambar atau skema yang menjadi dasar penarikan kesimpulan
penelitian tentang karakter tokoh Tawang Alun pada jagong ke-13. Penarikan
kesimpulan merupakan suatu pengorganisasian data yang telah terkumpul sehingga
dapat dibuat suatu kesimpulan akhir penelitian. Bagan analisis model interaktif
sebagai berikut.

Pengumpulan
Data
Sajian Data

Reduksi Data

Penyimpulan/
Verifikasi

Gambar 1. Analisis model interaktif

13
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Gambaran umum tentang Kabupaten Pacitan dan eksistensi wayang beber
Pacitan saat ini.

1. Letak dan Kondisi Geografis


Kabupaten Pacitan merupakan salah satu Kabupaten dari 38 Kabupaten di
Propinsi Jawa Timur bagian sebelah selatan Barat Daya yakni terletak di pantai
selatan Jawa dan memiliki karakteristik wilayah yang sebagian besar (85% dari luas
wilayah) berupa perbukitan serta merupakan kawasan ekokarst. Kabupaten Pacitan
berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogyakarta
merupakan pintu gerbang bagian barat dari Jawa Timur dengan kondisi fisik
pegunungan kapur selatan yang membujur dari Gunung Kidul ke timur sampai
Kabupaten Trenggalek menghadap ke Samudera Indonesia.
Wilayah administrasi Kabupaten Pacitan setelah diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ditindaklanjuti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, maka di
Kabupaten Pacitan telah terjadi pemekaran wilayah terutama di desa berjumlah 7
(tujuh) desa. Hal ini mengakibatkan perubahan wilayah administrasi Kabupaten
Pacitan dari sebelumnya 12 Kecamatan, 5 kelurahan dan 159 desa menjadi 12
kecamatan, 5 kelurahan dan 166 desa (total 171 Desa/Kelurahan).
Ditinjau dari letak geografisnya, Kabupaten Pacitan berada antara 110º 55’-111º
25’ Bujur Timur dan 7º 55’ - 8º 17’ Lintang Selatandengan batas-batas
administrasinya sebagai berikut:
Sebelah Timur : Kabupaten Trenggalek.
Sebelah Selatan : Samudera Indonesia.
Sebelah Barat : Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Sebelah Utara : Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Wonogiri[16]

14
Gambar 2. Peta Wilayah Kabupaten Pacitan
(Sumber: Google map, diunduh oleh: Margana, 2021)

Ketinggian Wilayah Kabupaten Pacitan jika diukur dari permukaan laut dapat
dirinci sebagai berikut:
1. Ketinggian 0 – 25 m, seluas 37,76 km atau 2,62 % luas wilayah.
2. Ketinggian 25 – 100 m, seluas 38 km atau 2,67 % luas wilayah.
3. Ketinggian 100 – 500 m, seluas 747,75 km atau 52,68 % luas wilayah.
4. Ketinggian 500 – 1000 m, seluas 517,13 km atau 36,43 % luas wilayah.
5. Ketinggian 1000 m, seluas 79,40 km atau 5,59 % luas wilayah.

Ditinjau dari sudut geografisnya wilayah Kabupaten Pacitan seluas 1.389,8716


Km² atau 138.987,16 ha yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain;
tanah ladang: 21,51% atau 29.890,58 ha, (2) pemukiman penduduk: 02,27% atau
3.153,33 ha, (3) hutan: 58,56% atau 81.397 ha, sawah: 09,36% atau 13.014,26 ha,
pesisir dan tanah kosong: 08,29% atau 11.530,99 ha[16].

2. Tinjauan Historis Kabupaten Pacitan dan Perkembangannya


Sejarah terbentuknya Kabupaten Pacitan tidak bisa dilepaskan dari babad
Pacitan, karena di dalam babad Pacitan diketahui sejarah terjadinya Kabupaten
Pacitan dan juga memuat hari jadi Pacitan yang setiap tahun dirayakan oleh segenap
warga masyarakat Pacitan tepatnya setiap tanggal 19 Februari.

15
Mengenai hari jadi Kabupaten Pacitan banyak dokumen yang dapat dijadikan
sebagai rujukan seperti sambutan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Pacitan dalam
memperingati Hari Jadi kabupaten Pacitan tahun 1995 yang mengatakan bahwa hari
Jadi atau kelahiran Kabupaten Pacitan bertepatan dengan dibentuknya Monco
Negoro dalam wilayah Kerajaan Mataram oleh Susuhunan Paku Buwono II pada
saat beliau meresmikan Kraton Surakarta Hadiningrat yakni jatuh pada tanggal 17
Syuro 1670 Jawa (Saka)/17 Muharam 1158 Hijriyah atau 19 Februari 1745 Masehi
[16].
Menurut babad Pacitan disebutkan bahwa sejarah Pacitan tidak terlepas dari
sejarah keberadaan daerah lain seperti daerah Trenggalek, Ponorogo, Mojokerto,
dan Demak karena di dalam babad Pacitan disebutkan bahwa daerah-daerah
tersebut memiliki andil besar terbentuknya Kabupaten Pacitan. Oleh karena itu,
Kabupaten Pacitan memiliki kedekatan sosio-historis dengan daerah-daerah
tersebut. Disamping itu, sejarah Pacitan juga tidak bisa dilepaskan dengan Batara
Katong, seorang Adipati Ponorogo putra Prabu Brawijaya V raja Majapahit sekitar
tahun 1480-an.
Ditinjau dari sisi sosio-historis, dalam Babad Pacitan dikisahkan bahwa peran
Batara Katong yang pada waktu itu sebagai Adipati Ponorogo membuka daerah
baru yang kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya antara lain Ki Ageng
Petung, Ki Ageng Posong dan Syekh Maulana Maghribi menjadi cikal bakal
terbentuknya Kabupaten Pacitan. Selain memiliki peran dalam terbentuknya
Kabupaten Pacitan, Batara Katong sebagai keturunan Raja Majapahit yang
berkedudukan di Mojokerto, juga memiliki peran dalam terbentuknya Kabupaten
Trenggalek yang terletak di sebelah timur Wengker.
Secara ideologis, Kesultanan Demak memiliki peran yang besar dalam
persebaran ideologi agama Islam di Pacitan, karena Batara Katong semasa berguru
di Kesultanan Demak berdakwah di wilayah Ponorogo, sedangkan murid-muridnya
ditunjuk dakwah Islam di daerah lain seperti Trenggalek, dan Pacitan. Kedua aspek
tersebut mengokohkan proses terbentuknya Pacitan sebagai wilayah baru yang
terletak di pesisir selatan Jawa Timur yang semula hanya berupa hutan.

16
Wilayah Pacitan semula hanya hutan belantara.Hal ini dibuktikan dengan
kondisi wilayah yang hutan, dan tidak ada bekas perkampungan. Jika ada itupun
hanya satu sampai dua rumah saja, selain itu hanya berupa hutan tak terjamah oleh
manusia ataupun oleh tokoh-tokoh kerajaan yang berkuasa pada waktu itu.
Biasanya yang menjadi penghuni di wilayah ini pra-babad Pacitan adalah para
pendatang dari daerah lain. Selain itu, mereka adalah para sesepuh yang
menggunakan hutan belantara tersebut untuk melakukan ritual semedi. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya tanda-tanda ditemukannya tempat untuk semedi di
wilayah tersebut sebelum babad tanah Pacitan. Bakhan tanda-tanda bukti tersebut
masih ada sampai sekarang seperti ruang pertapaan (semedi) di dalam goa Tabuhan,
Kecamatan Punung.
Dalam Babad Pacitan disebutkan bahwa menurut sejarahnya, Batara Katong
berupaya membuka hutan belantara dengan murid-muridnya, kemudian daerah
tersebut menjadi cikal bakal terbentuknya Pacitan yang sekarang menjadi
Kabupaten Pacitan. Munculnya Pacitan bukan bagian dari ekspansi kekuasaan
Kerajaan Majapahit, tetapi keberadaan Pacitan adalah murni dari babad alas atau
dibukanya wilayah baru yang berupa hutan belantara yang terletak di pesisir selatan
Jawa. Batara Katong sebagai putra Brawijaya yang pada waktu itu sebagai Adipati
di wilayah Ponorogo yang sekarang menjadi Kabupaten Ponorogo. Wilayah
Kabupaten Ponorogo terletak di selatan Gunung Wilis dan bagian barat Gunung
Lawu, utara Pacitan. Jadi, menurut sejarah asal mula terbentuknya wilayah Pacitan
tidak terlepas dari peran Batara Katong. Seperti yang ditulis Gondowardojo dalam
bukunya Babad Patjitan [3] yang mengatakan:
Ing sarisakipoen karaton Madjapahit, inggih poenika nalika taoen Walandi
1483 oetawi ing taoen Djawi 1400, putranipoen praboe Brawidjaja ingkang
wekasan, anama Batara Katong, mandjing agami Islam, sarta soedjoed dateng
Soeltan Bintara ing Demak. Dene Batara Katong waoe pangkatipoen adipati
ing Panaraga. Menggah watesipoen tanah Panaraga, ingkang ler lepen Asin,
ingkang kidoel, saganten Indi, ingkang kilen redi Lawoe lan ingkang wetan redi
Wilis.
(Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit, yaitu tahun 1483 atau 1400 tahun Jawa,
putra terakhir Prabu Brawijaya yaitu Batara Katong masuk agama Islam dan
sujud kepada Sultan Bintara di Demak. Batara Katong berpangkat Adipati di

17
Ponorogo dengan batas wilayah sebelah utara sungai Asin, sebelah selatan
samudera India, sebelah barat gunung Lawu, dan sebelah timur gunung Wilis).

Batara Katong adalah putra bungsu Raja Brawijaya V dari kerajaan Majapahit,
hasil perkawinannya denga Putri Campa, salah satu selir Prabu Brawijaya V. Batara
Katong adalah adik Lembu Kenongo yang pada akhirnya kelak mendirikan
kesultanan Demak dan berganti nama menjadi Raden Patah. Kerajaan Majapahit
sendiri pada waktu itu memang sedang mengalami kemunduran yang sebelumnya
kita ketahui Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan adidaya dan sempat memiliki
kekuasaan sampai di semenanjung Malaka. Dikarenakan mulai redupnya kekuasaan
Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai
Raden Patah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro dan Lembu Kanigoro atau
Batara Katong muda mengikut jejak kakaknya untuk berguru di bawah bimbingan
Wali Songo di Demak. Ketika Batara Katong berguru atau menimba ilmu
keislaman di Kesultanan Demak, beliau didaulat untuk menyelidiki, membuka
lahan serta menyebarkan Islam di daerah Wengker yang pada akhirnya Batoro
Katong menjadi Bupati pertama Ponorogo. Pada saat itu di Wengker terdapat
kesenian barongan, kemudian oleh Batara Katong diganti nama Reog. Kesenian
reog tersebut digunakan sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah
Wengker oleh Batara Katong (http://pacitanku.com/sejarah-pacitan-dan
perkembangannya/diakses 21 Nopember 2021)
Gondowardojo dalam bukunya berjudul Babad Patjitan [3] mengatakan bahwa
nama Patjitan poenika kapendet saking pamedalipoen siti, sadaja sarwa sakedhik,
mboten noewoeki katedha, namoeng tjekap kangge patjitan kemawon.
Nama Pacitan berasal dari kata “Pacitan” yang berarti camilan, sedap-sedapan,
tambul, yaitu makanan kecil yang tidak sampai mengenyangkan. Hal ini disebabkan
wilayah Pacitan merupakan daerah minus, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
pangan warganya tidak sampai mengenyangkan atau tidak cukup kenyang.
Sementara itu ada pula yang berpendapat bahwa nama Pacitan berasal dari “Pace”
yaitu buah mengkudu (bentis:Jawa) yang memberi kekuatan. Pendapat ini berasal
dari legenda yang bersumber pada Perang Mengkubumen atau Perang Palihan

18
Nagari (1746 – 1755) yakni ketika Pangeran Mangkubumi dalam peperangannya
ketika itu sampai di daerah Pacitan. Dalam suatu pertempuran ia kalah terpaksa
melarikan diri ke dalam hutan dengan keadaan tubuh sangat lemah. Berkat
pertolongan abdinya bernama Setraketipa yang memberikan buah pace masak
kemudian menjadikan kekuatan Mangkubumi pulih kembali. Akan tetapi
nampaknya nama Pacitan yang menggambarkan kondisi daerah Pacitan yang minus
itulah yang lebih kuat. Hal ini terkait dengan masa pemerintahan Sultan Agung
(1613-1645) nama tersebut telah muncul dalam babad Momana [15].

3. Kondisi Demografi
Dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan di setiap daerah sangat
dibutuhkan data tentang kependudukan. Menurut hasil registrasi penduduk tahun
2014, jumlah penduduk Kabupaten Pacitan sebesar 599.476 jiwa, terdiri dari laki-
laki sebesar 298.315 jiwa (49,76 persen) dan perempuan sebesar 301.161 jiwa
(50,24 persen) dengan rasio jenis kelamin sebesar 99.05 persen. Hal ini berarti
bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 99-100 penduduk laki-laki.
Sedangkan menurut hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), jumlah penduduk
Kabupaten Pacitan sebesar 540.881 jiwa.
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari laki-laki sebesar
264.112 jiwa (48,83 persen) dan perempuan sebesar 276.769 jiwa (51,17 persen)
dengan rasio jenis kelamin sebesar 95,43 persen. Hal ini berarti bahwa setiap 100
penduduk perempuan terdapat 95-96 penduduk laki-laki. Kepadatan penduduk
Kabupaten Pacitan tahun 2014 sebesar 431 Jiwa/Km2. Kepadatan penduduk paling
tinggi adalah Kecamatan Pacitan sebagai ibukota kabupaten yang mencapai 993
Jiwa/Km2, hal ini sangat jauh bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk
kecamatan lainnya yang hanya berkisar antara 241-538 Jiwa/Km2. Berdasarkan
komposisi umurnya, penduduk Kabupaten Pacitan sebanyak 402.271 jiwa berada
pada usia produktif yaitu berusia 15-64 tahun atau sebesar 67,10 persen [16].
Penduduk Kabupaten Pacitan yang tersebar di duabelas kecamatan menurut
Profil Statistik Kabupaten Pacitan 2014 memiliki latar belakang pekerjaan yang

19
bermacam-macam antara lain; petani, pedagang, peternak, nelayan, pedagang,
penjual jasa, pengusaha, PNS dan lain-lain.

4. Lingkungan Alam, Fisik, dan Kondisi Kabupaten Pacitan


Pacitan merupakan salah satu dari 38 Kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang
terletak di bagian Selatan barat daya. Kabupaten Pacitan terletak di antara dengan
luas wilayah 1.389,8716 Km² atau 138.987,16 Ha. Luas tersebut sebagian besar
berupa perbukitan yaitu kurang lebih 85 %, gunung-gunung kecil lebih kurang 300
buah menyebar diseluruh wilayah Kabupaten Pacitan dan jurang terjal yang
termasuk dalam deretan Pegunungan Seribu yang membujur sepanjang selatan
Pulau Jawa, sedang selebihnya merupakan dataran rendah.
Kabupaten Pacitan dikenal dengan sebutan seribu goa karena di wilayah
kabupaten Pacitan terdapat banyak goa yang indah antara lain; Goa Gong
merupakan goa terindah di Asia Tenggara, Goa Tabuhan, Goa Kalak, Goa Luweng
Jaran, dan lain-lain. Disebut Goa Tabuhan karena batu-batu didalamnya jika
dipukul dapat berbunyi seperti alat musik gamelan. Pada hari-hari tertentu didalam
goa Tabuhan diadakan pertunjukan musik gamelan dengan memanfaatkan batu-
batu tersebut yang dilengkapi alat instrumen gamelan seperti kendang. Melihat
letak dan kondisi geografis wilayah kabupaten Pacitan yang berbukit-bukit
bebatuan, maka tidak menutup kemungkinan ditemukan goa baru.
Dari aspek topografi menunjukkan bentang daratannya bervariasi dengan
kemiringan sebagai berikut :
1. Datar (kelas kelerengan 0-5%) dengan luas 55,59 Km² atau 4%
dari luas wilayah Kabupaten Pacitan.
2. Berombak (kelas kelerengan 6-10%) dengan luas 138,99 Km² atau 10%
dari luas wilayah Kabupaten Pacitan.
3. Bergelombang (kelas kelerengan 11-30%) dengan luas 333,57 Km² 24%
dari luas wilayah Kabupaten Pacitan.
4. Berbukit (kelas kelerangan 31-50%) dengan luas 722,73 Km² atau 52%
dari luas wilayah di Kabupaten Pacitan.
5. Bergunung (kelas kelerengan > 52%) dengan luas 138,99 Km² atau 10%

20
dari luas wilayah di Kabupaten Pacitan.
Ditinjau dari struktur dan jenis tanah terdiri dari Assosiasi Litosol Mediteran
Merah, Aluvial kelabu endapan liat, Litosol campuran Tuf dengan Vulkan serta
komplek Litosol Kemerahan yang ternyata di dalamnya banyak mengandung
potensi bahan galian mineral. Kabupaten Pacitan disamping merupakan daerah
pegunungan yang terletak pada ujung timur Pegunungan Seribu, juga berada pada
bagian selatan Pulau Jawa dengan rentangan sekitar 80 km dan lebar 25 km[17].
Tanah Pegunungan Seribu memiliki ciri khas yang tanahnya didominasi oleh
endapan gamping bercampur koral dari kala Milosen (dimulai sekitar 21.000.000-
10.000.000 tahun silam). Endapan itu kemudian mengalami pengangkatan pada
kala Holosen, yaitu lapisan geologi yang paling muda dan paling singkat (sekitar
500.000 tahun silam-sekarang). Gejala-gejala kehidupan manusia muncul di
permukaan bumi pada kala Plestosen, yaitu sekitar 1.000.000 tahun Sebelum
Masehi. Endapan-endapan itu kemudian tererosi oleh sungai maupun perembesan-
perembesan air hingga membentuk suatu pemandangan karst yang meliputi ribuan
bukit kecil. Ciri-ciri pegunungan karst ialah berupa bukit-bukit berbentuk kerucut
atau setengah bulatan. Bersamaan dengan kala geologis tersebut, yakni pada zaman
kwarter awal telah muncul di muka bumi ini jenis manusia pertama: Homo Sapiens,
yang karena kelebihannya dalam menggunakan otak atau akal, secara berangsur-
angsur kemudian menguasai alam sebagaimana tampak dari tahap-tahap
perkembangan sosial dan kebudayaan yaitu dari hidup mengembara (nomaden)
sebagai pengumpul makanan, menjadi setengah pengembara/menetap dengan
kehidupan berburu, kemudian menetap dengan kehidupan penghasil makanan.
Adapun tingkat kebudayaannya yaitu dari zaman batu tua (Palaeolithicum), zaman
batu madia (messolithicum), dan zaman neolithicum atau batu muda[17].

5. Sistem Nilai Kemasyarakatan


5.1 Jenis dan Sistem Kepercayaan
Berdasarkan kepercayaan dan agama yang dianut, masyarakat Kabupaten
Pacitan sebagian besar beragama Islam abangan yaitu mereka yang mengatakan
dirinya pemeluk agama Islam, tetapi tidak mengikuti ajaran Islam. Golongan

21
abangan pada umumnya masih melakukan upacara-upacara seperti slametan yang
dilengkapi sesaji, misalnya selamatan kematian, bersih desa, khitanan, pernikahan,
dan lain-lain [4]. Selain itu, masyarakat Kabupaten Pacitan sebagian besar masih
mempercayai animisme dinamisme.
5.2 Sistem Bahasa dan Sistem Pengetahuan
Masyarakat Kabupaten Pacitan mayoritas suku Jawa, sehingga dalam
berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa dikenal
beberapa jenis tingkatan antara lain; bahasa Jawa ngoko, kromo, kromo inggil.
Penggunaan bahasa tersebut disesuaikan dengan lawan bicara, dan
mempertimbangkan situasi dan kondisi. Misalnya bahasa Jawa ngoko digunakan
kepada sesama teman sebaya, sedangkan kromo untuk orang yang lebih tua untuk
penghormatan, misalnya dengan ayah dan ibu. Sedangkan kromo inggil dipakai
komunikasi kepada seseorang yang dihormati dan memiliki kedudukan jabatan
tertentu misalnyaguru, Camat, kepada desa, dan lain-lain.

6. Kondisi Sosial, Jenis Seni dan Budaya


Penduduk Kabupaten Pacitan mayoritas suku Jawa, dan sebagian berasal dari
beberapa suku disekitar Jawa dan luar Jawa. Kehidupan masyarakat Kabupaten
Pacitan tidak terpengaruh oleh keberadaan suku, ekonomi dan strata sosial lainnya,
semua beraktivitas masing-masing tidak membedakan suku, agama dan lain-lain.
Masyarakat atau penduduk Kabupaten Pacitan hidup harmonis saling toleran dan
saling menghormati. Penduduk Kabupaten Pacitan gemar bergotong royong
merupakan adat-istiadat yang terus dijunjung dan dilestarikan oleh masyarakat
Pacitan.
Sebagian besar penduduk Kabupaten Pacitan beragama Islam yaitu sebesar
99,85%, penduduk yang beragama Kristen 0,09% dan Katolik 0,05%. Sedangkan
sisanya 0,01% beragama Hindu, Budha, dan Konghucu. Hal ini sebanding dengan
jumlah tempat peribadatan yang ada, jumlah masjid, langgar, dan mushola sejumlah
99,84%, gereja 0,16%. Wihara dan pura di Kabupaten Pacitan belum ada.
Kehidupan beragama di Kabupaten Pacitan sangat menghormati perbedaan.
Mayoritasn dan minoritas beragama tidak mempengaruhi masyarakat dalam

22
menjalankan ibadah masing-masing (http://pacitankab.go.id/kondisi-
sosial/diunduh 9 Agustus oleh Margana).
Terkait dengan masalah kesejahteraan sosial dari tahun ketahun menunjukkan
data yang menggembirakan. Hal ini dibuktikan bahwa pada tahun 2014-2017 di
Kabupaten Pacitan sudah tidak ada balita yang terlantar. Demikian pula anak
terlantar, lanjut usia terlantar menunjukkan penurunan. Pembangunan di bidang
kesehatan, menunjukkan derajat kesehatan penduduk semakin meningkat. Hal
tersebut didukung dengan semakin dilengkapi fasilitas kesehatan seperti Rumah
Sakit Umum, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, dokter dan sejumlah posyandu
mengalami penambahan.
Pembangunan di bidang pendidikan secara signifikan di Kabupaten Pacitan
secara umum mengalami peningkatan. Pemerintah Daerah maupun pemeritah pusat
terus menerus meningkatkan sarana dan prasarana, serta tenaga guru untuk
mendukung terpenuhinya pendidikan yang layak bagi setiap penduduk terkait
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Jumlah sekolah di Kabupaten Pacitan
tidak semua mengalami penambahan hanya pada jenjang pendidikan tertentu
seperti penambahan pada jenjang Taman Kanak-kanak. Meski demikian secara
umum jumlah kelas dan guru mengalami penambahan.
Pembangunan yang gencar dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten
Pacitan menunjukkan hal yang sangat positif, namun disisi lain juga memberi
dampak yang kurang baik diantaranya bencana alam. Kondisi letak geografis yang
berupa bukit lembah gunung dan pantai, Kabupaten Pacitan rawan akan bencana
alam. Berdasarkan data Badan penanggulanan Bencana Daerah, jumlah bencana
alam di Kabupaten Pacitan sebanyak 700 peristiwa meliputi bencana tanah longsor,
tanah ambles, banjir, angin topan, kebakaran, dan pohon tumbang. Bencana alam
banyak terjadi di Kecamatan Arjosari dan Tegalombo, dengan kerugian terbesar di
Kecamatan Tulakan sebesar 1,65 milyar rupiah. (http://pacitankab.go.id/kondisi-
sosial/diunduh 9 Agustus 2021 oleh Margana).
Ditinjau dari seni budaya, Kabupaten Pacitan memiliki keragaman jenis
kesenian yang memiliki keunikan tersendiri, antara lain; upacara adat Ceprotan,
upacara adat Jangkrik Genggong, upacara adat Baritan, tari Kethek Ogleng,

23
Wayang Beber, dan lain-lain. Jenis-jenis kesenian tersebut diselenggarakan secara
berkala dan sering dipertunjukkan pada event-event tertentu misalnya untuk
memeriahkan peringatan hari jadi Kabupaten Pacitan. Meskipun Pemerintah
Kabupaten Pacitan belum punya gedung kesenian khusus, namun untuk menjaga
dan memelihara kekayaan seni dan budaya daerah, pemerintah Daerah Pacitan telah
melakukan berbagai event budaya.
Kabupaten Pacitan telah berpartisipasi mengikuti beberapa kali gelar seni
budaya di luar daerah. Di bidang kebudayaan yang dimiliki diintegrasikan dengan
potensi pariwisata yang ada di wilayah Kabupaten Pacitan, sebagai tujuan wisata
lokal, regional, nasional maupun internasional. Jenis-jenis kesenian dan budaya
yang terdapat di Kabupaten Pacitan dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Jenis Kesenian dan Kepurbakalaan di Kabupaten Pacitan
No Kesenian Jenis Jumlah
A Seni Tradisional Daerah
1. Seni Pertunjukan Rakyat Wayang orang 1 group
Ketoprak 1 group
Sandiwara 1 group
Jaranan 28 group
Tradisional / modern 12 group
2. Sanggar seni Tari 6 buah
Karawitan 4 buah
Rupa/lukis 3 buah
Etnik 1 buah
Modeling dan dekorasi 1 buah
Rias pengantin 38 buah
3. Seni Pedalangan Wayang kulit 115 orang
Wayang beber 1 orang
Waranggono/sinden 28 orang
4. Musik tradisional Oglor 41 group
Slawatan 27 group
Hadrah 8 group
Campursari 5 group
B Seni Unggulan
Upacara adat 9 kelompok
Tari ketek ogleng 1 kelompok
Tari eklek 1 kelompok
Tari sentewere 1 kelompok
C Kesenian Nasional
Orkes melayu 6 group

24
Orkes keroncong 5 group
Band 24 group
D Kepurbakalaan
Bangunan museum 1 buah
Situs/prasejarah 360 lokasi

Sumber:[17]

7. Wayang Beber Pacitan


Khusus jenis kesenian tradisi wayang beber yang terdapat di Pacitan diuraikan
sebagai berikut.
Wayang Beber adalah salah satu jenis wayang yang terdapat di Indonesia.
Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran-lembaran (beberan) yang di
dalamnya digambarkan sebuah jagong dalam cerita yang menampilkan tokoh-
tokoh dan didukung oleh penggambaran suasana sesuai dengan alur cerita.
Pertunjukan wayang beber yang berupa gulungan kertas/kain yang menampilkan
lukisan dengan cara dibentangkan (dibeber:Jawa). Oleh karena itu disebut wayang
beber. Cerita (lakon) wayang beber Pacitan bersumber dari cerita Panji. Hal ini
berbeda dengan lakon wayang kulit yang bersumber dari Mahabarata dan
Ramayana. Cerita Panji mengisahkan kehidupan romantika yang dialami antara
Dewi Sekartaji dan Panji Asmarabangun. Jenis wayang ini muncul dan berkembang
di Jawa pada masa pra Islam yakni pada masa kerajaan Majapahit. Gambar-gambar
tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain atau kertas, kemudian disusun
jagong demi jagong berurutan sesuai dengan urutan cerita. Wayang beber Pacitan
mengambil cerita Panji yang divisualisasikan kedalam lukisan diatas kertas yang
terdiri atas 6 gulungan, dan setiap gulungan terdiri atas 4 jagong sehingga
jumlahnya 24 jagong. Meskipun sudah langka dan hampir punah, namun di daerah-
daerah tertentu di Pulau Jawa kadang-kadang masih dijumpai pertunjukan wayang
beber untuk keperluan kegiatan tertentu, misalnya peringatan hari jadi Kabupaten
Pacitan tahun 2017, maupun dua seniman yang masih melukis wayang beber yaitu
Pujiyanto (Sragen), dan Mbak Ning (Solo).

25
Kapan munculnya wayang beber hingga sekarang belum ada sumber yang
dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun demikian, setidaknya ada tiga penjelasan
atau tulisan yang memiliki dasar tersendiri, antara lain:
1. Wayang Beber mulai ada sejak tahun 1283 dengan kisah andalan Panji
Asmara Bangun;
2. Wayang Beber mulai ada sejak tahun (1727-1749), diyakini sebagai
peninggalan Paku Bowono II.
3. Wayang Beber mulai ada sejak tahun 1416 Zaman Majapahit dalam bahasan
yang lain tersebut pula tahun 1361 Masehi atau tahun 1283 Saka
(http://jogja.tribunnews.com/2011/01/07wayangbeber-tinggal-dua-buah-di-dunia).
Tidak mudah untuk menetapkan kepastian tanggal diciptakannya Wayang
Beber yang pertama kali di Jawa atau di Pacitan khususnya. Pada gulungan pertama
jagong 4 terdapat sengkalan memet yang dilukiskan dalam bentuk gambar seorang
laki-laki dan perempuan sedang melakukan hubungan badan dengan cara yang
‘tidak biasa’, dilakukan di sebuah tempat yang agak tertutup di tengah-tengah
keramaian orang melakukan jual-beli. Gambar tersebut merupakan sengkalan
memet itu dibaca “gawe srabi jinamah ingwong” oleh kerabat Mangkunegaran saat
kesenian Wayang Beber digelar di Pura Mangkunegaran tahun 1930-an. “Gawe
srabi jinamah ing wong” = 1614 çaka, dipercaya sebagai awal mula munculnya
kesenian wayang beber.

Gambar 3. Wayang Beber Pacitan jagong 4 merupakan Sengkalan memet


dibaca “gawe srabi jinamah ingwong” bermakna tahun 1614.
(Sumber: Koleksi Mbah Mardi Repro foto: Margana, 2021)

26
Bila angka tahun seperti yang dimaksudkan dalam sengkalan itu benar yaitu
1614 çaka atau Jawa, ini berarti terjadi pada zaman Susuhunan Amangkurat II
berkuasa di Kartasura. Menurut RM Sayid [10] seperti dikutip Petrus Suwaryadi
(1982: 38), Wayang Beber Pacitan dibuat atas perintah Sunan Amangkurat II,
dengan mengambil cerita “Jaka Kembang Kuning”. Kemudian pada zaman PB II,
Wayang Beber kembali dilukis tetapi lebih sederhana dengan tetap mengacu pada
bentuk lama, dengan lakon “Remeng Mangunjaya” yaitu berisi sayembara
“melewati jembatan satu batang rotan” dengan diberi sengkalan “sirna obah
wahyuning ratu” atau tahun 1660. Mengapa wayang beber sampai di Pacitan,
diduga terjadi pada saat Geger Pacinan di Kartasura pada 1743 di mana banyak
koleksi kerajaan termasuk wayang beber yang hilang atau ke luar istana. Jika
dirunut hal tersebut keberadaan wayang beber di Gedompol Pacitan jauh sebelum
Sunan Amangkurat II berkuasa di Kartasura pada abad ke-17 atau sebelum wayang
beber yang sekarang tersimpan di Gedompol dengan sengkalan “gawe srabi
jinamah ingwong” (1614). Namun kapan munculnya wayang beber sulit dipastikan
tahunnya. Inilah salah satu persoalan folklore yang sulit dicari ketepatan waktu
historisnya.
Awal munculnya wayang berupa wayang batu (wayang watu:Jawa) pada abad
ke-9 yaitu wayang yang terukir pada dinding relief candi, kemudian berkembang
menjadi wayang rontal yaitu wayang yang dilukis atau digambar pada daun tal. Hal
ini tertulis pada Serat Sastramiruda yang memuat sengkalan Gambaring Wayang
Wolu yang berarti 861 atau 939 Masehi.

Gambar 4. Wayang Batu yang terukir pada Relief Candi


(Sumber: http://waybemetro.file.wordpress.com/2012/04/wayang-watu-jpg
Diunduh oleh: Margana, 15 Juni 2021)

Selanjutnya pada jaman Kerajaan Jenggala tahun 1223 M muncul wayang


beber yang digambar di atas daun siwalan (rontal) bentuknya masih sederhana.

27
Gambar 5. Wayang Rontal yang digambar pada Daun Tal
(Sumber: http://waybemetro.file.wordpress.com/2012/04/rontal-jpg
Diunduh oleh: Margana, 15 Juni 2021)

Pada masa Prabu Suryahamiluhur menjadi raja Jenggala wayang beber mulai
digambar di atas kertas yang terbuat dari kayu. Selanjutnya pada masa Jaka Susuruh
menjadi raja Majapahit di Jawa Timur pada tahun 1316 M, gulungan kertas wayang
tersebut diberi tongkat kayu pada setiap ujungnya. Tongkat kayu tersebut berfungsi
untuk menggulung dan membentangkan wayang beber ketika dipertunjukkan.
Karena jenis wayang ini cara mempertunjukkan dengan dibentang (dibeber), maka
wayang ini disebut wayang beber. Kata beber mengandung pengertian
membentangkan atau membeberkan.
Sajid dalam bukunya “Bauwarna Kawruh Wajang” yang menyatakan sebagai
berikut.
wajang beber iku ija kena diarani gambar wajang kang ginawe sangka
daluwang utawa mori, ginambaran wajang miturut apa lakone. Jaiku
gegambaran tjaritane lelakoning wajang, mung padha kawudjudake sak
pedjagong utawa sak adegan, dene kang kawitan disik dewe diarani
sakdjedjeran, dadi ing dalem saklakon ija nganti ana antarane nembelas
adegan kabage papat, ing dalem patang adegan digulung dadi sakgulung,
dadi saklakon ana patang gulung, diwadahi peti dawa jaiku kang minangka
dadi kotake wajang Beber iku mau[10].

Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V (abad 14 M), sang raja


memerintahkan anaknya bernama Raden Sungging Prabangkara untuk membuat
wayang beber baru dengan menggunakan warna, sebagai penyempurnaan wayang
beber asli yang hanya hitam dan putih. Hasil karya wayang beber yang diciptakan
setiap tokoh dibedakan, sehingga dapat dengan jelas perbedaan antara raja dengan

28
para punggawa maupun abdi dalem. Raja Brawijaya juga memerintahkan anaknya
untuk membuat tiga set cerita yaitu cerita ‘Panji di Jenggala’, cerita ‘Jaka Karebet
di Majapahit’ dan cerita ‘Damarwulan’. Bentuk wayang yang diciptakan mirip
dengan wayang beber di Bali sekarang. Perkembangan selanjutnya ketika agama
Islam masuk ke tanah Jawa yaitu pada masa Kerajaan Demak tahun 1518 M (abad
16), mulai terjadi perubahan dalam penggambaran bentuk wayang yang semula
tokoh wayang digambar ‘methok’(dua mata terlihat) diubah menjadi gambar
kesamping (wawancara dengan Suyanto, 2021).
Gambar-gambar yang ada di dalam wayang beber masih melukiskan karakter
dengan bentuk asli tubuh manusia. Menggambar manusia atau makhluk hidup
secara nyata dilarang oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, bentuk-bentuk alam
dimodifikasi atau diolah dengan cara digubah, distilasi sehingga menjadi bentuk
yang lebih indah dan tidak menampilkan bentuk yang realis. Hasil modifikasi
tersebut dapat dilihat dan dinikmati keindahannya seperti wayang kulit sekarang.
Pada masa kerjaan Demak, pertunjukan wayang beber mulai tergeser dengan
hadirnya wayang kulit. Dalam perkembangan selanjutnya wayang kulit digunakan
sebagai sarana penyebaran agama Islam di Jawa. Perubahan bentuk wayang yang
diprakarsai oleh para Wali, yaitu dengan melakukan stilasi dan distorsi sehingga
bentuk wayang yang semula realistis menjadi simbolik. Proporsi tubuh dan wajah
wayang, tidak lagi menurut anatomi tubuh dan wajah manusia sewajarnya.Bentuk-
bentuk simbolik pewayangan yang tercipta pada zaman Kesultanan Demak itulah
yang menjadi model pertama (prototype) bentuk-bentuk wayang seperti sekarang.
Ketika masa Kerajaan Kartasura tahun 1690 M di bawah pemerintahan
Mangkurat II, wayang beber dihidupkan kembali dengan lakon Joko Kembang
Kuning. Cerita tersebut digambarkan kedalam enam gulungan kertas. Selain itu
pada masa Raja Pakubuwana II di Kartasura, juga dibuat wayang beber dengan
siklus panji dengan lakon Jaka Kembang Kuning dan juga Remeng Mangunjaya
yang selesai dibuat pada tahun 1735 M. Kemudian ketika masa pemerintahan Paku
Buwana II, terdapat pemberontakan Cina pada saat itu Keraton yang berada di
Kartasura dapat dikuasai oleh musuh. Ketika dilakukan evakuasi, anggota kerajaan
membawa semua benda-benda pusaka termasuk perlengkapan wayang beber Joko

29
Kembang kuning. Sebagian dari wayang beber ini menghilang di daerah
Gunungkidul, Wonosari dan sebagian lagi berada di Dusun Karangtalun, Pacitan
yang hingga saat ini wayang beber masih dipegang oleh generasi ke generasi secara
turun-menurun.
Hingga saat ini sejarah munculnya wayang beber belum ada yang menemukan
secara pasti. Menurut Kitab Sastromirudo, wayang beber dibuat pada tahun 1283,
dengan condro sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo (1283).
Kemudian dilanjutkan oleh Putra Prabu Bhre Wijaya, Raden Sungging
Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber.
Sejarah kelahiran wayang beber tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
kerajaan Majapahit di abad 14, ketika dipimpin oleh Raden Jaka Susuruh yang
bergelar Prabu Bratana. Seperti yang tertulis didalam buku Serat Sastramiruda
sebagai berikut:
Raden Jaka Susuruh jumeneng ratu, jujuluk Prabu Bratana. Angadhaton
nagara in Majapahit, Mangun wayang purwa papane daluwang ginulung
dadi sagulung sarta kawuwuhan ricikane kaaran Wayang Beber. Yen kagem
Karaton gamelane lestari gamelan pawayangan salendro. Dene Wayang
Beber ingkang linakokake dhalang, tabuhane rebab. Perlune ginawe
murwakala yen ana wong kena ngila-ila, pangupadrawa anandhang mala
cintaka, kayata: bocah ontang-anting sapanunggalane (halm.159).

Pendapat tersebut menggambarkan bahwa wayang beber muncul pertama kali


pada masa Majapahit yang pada waktu itu dipimpin Raden Jaka Susuruh.
Pertunjukan wayang beber jika dipergelarkan di lingkungan keraton menggunakan
gamelan slendro, sedangkan jika dipergelarkan di luar keraton hanya menggunakan
rebab (jenis alat instrumen gamelan jawa yang cara memainkannya dengan
digesek). Pertunjukan wayang beber berfungsi untuk upacara ruwatan
(murwokolo:Jawa) yaitu upacara adat bersifat sakral yang bertujuan untuk ngluwari
agar seseorang terhindar dari marabahaya, misalnya bocah ontang-anting yaitu
anak tunggal yang tidak punya saudara kandung. Menurut kepercayaan masyarakat
Jawa ada beberapa orang yang memiliki nasib buruk atau membawa sial, antara
lain; bocah ontang-anting (anak tunggal), bocah kembar (dua anak lahir dalam satu
kandungan), kedono-kedini, serimpi, pendhowo, dan lain-lain masih banyak lagi

30
yang termasuk kelompok orang bernasib buruk atau membawa sial. Mereka yang
termasuk golongan atau kelompok yang memiliki nasib sial seperti tersebut diatas
menurut kepercayaan masyarakat Jawa harus diruwat. Upacara ruwatan termasuk
jenis upacara adat yang bersifat sakral dengan menggunakan persyaratan-
persyaratan khusus atau kelengkapan upacara berupa sesaji (sajen:Jawa). Sesaji
tersebut diberikan kepada Batara Kala yakni tokoh pewayangan yang berhati jahat
dan kesukaannya makan orang-orang yang bernasib buruk seperti tersebut di atas.
Oleh karena itu, sesaji yang disiapkan tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.
Hingga sekarang upacara adat ruwatan (murwokolo) masih banyak dilakukan oleh
masyarakat Jawa. Bahkan di daerah-daerah tertentu di wilayah Solo dan Jogja
masih dijumpai ruwatan massal yakni upacara ruwatan yang diikuti oleh banyak
orang yang sama-sama memiliki nasib buruk. Mereka percaya bahwa untuk
menghilangkan (ngluwari:Jawa) nasib buruk dalam dirinya harus diruwat.
Di dalam Serat Sastramiruda dijelaskan pula bahwa bentuk wayang beber sudah
seperti yang dijumpai sekarang, yakni digambar atau dilukis di atas kertas atau kain.
Jika tidak dimainkan lukisan digulung, sedangkan ketika dimainkan atau
dipertunjukkan gulungan tersebut dibentangkan (dibeber:Jawa). Oleh karena itu,
jenis wayang ini disebut wayang beber. Setelah selesai dipertunjukkan, wayang
digulung kembali dan disimpan di dalam kotak.
Perkembangan selanjutnya ketika Majapahit diperintah Prabu Brawijaya pada
tahun 1378, bentuk wayang beber mengalami perubahan dan penyempurnaan. Pada
masa pemerintahan Brawijaya, wayang beber mendapatkan perhatian yang cukup
besar diantaranya Sang Raja memerintahkan kepada anaknya yang pandai melukis
yaitu Raden Sungging Prabangkara untuk menyempurnakan bentuk visual wayang
beber. Wayang beber yang semula hanya hitam putih kemudian diberi warna oleh
Sungging Prabangkara, sehingga bentuk visual wayang beber menjadi lebih
menarik dan penuh warna. Proses penyempurnaan wayang beber ini diperkirakan
terjadi tahun 1378 Masehi.
Wayang beber yang mengambil cerita Panji diperkirakan baru muncul pada
zaman Mataram (Islam), tepatnya pada masa pemerintahan Kasunanan Kartasura
pada waktu pemerintahan Amangkurat II (1677-1703). Hal itu juga disebutkan

31
dalam salah satu tembang Kinanthi yang ada di Serat Centhini. Wayang beber di
zaman Mataram Kartasura di buat dari kertas lokal, yakni kertas Jawa (daluwang)
dari Ponorogo. Cerita yang ditampilkan antara lain Jaka Kembang Kuning, salah
satu episode cerita Panji. Kemudian pada masa pemerintahan Amangkurat III atau
Sunan Mas, dilakukan penyempurnaan lagi terhadap lukisan wayang beber.Wajah
dan pakaian yang dikenakan tokoh-tokoh utama, seperti Panji Asmarabangun dan
Dewi Candrakirana dibuat lebih cantik.
Pada masa Islam yaitu Sunan Kalijaga bentuk wayang beber dimodifikasi
menjadi wayang kulit dengan bentuk-bentuk yang bersifat ornamentik seperti
sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup
seperti manusia dan hewan. Wayang hasil modifikasi berupa wayang kulit tersebut
oleh para wali kemudian digunakan untuk berdakwah yaitu memperkenalkan dan
menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sedangkan wayang beber yang
asli sampai sekarang disimpan oleh seorang keturunan dalang wayang beber asli di
Dusun Karangtalun, Desa Gedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan.
Hingga saat ini wayang beber asli disimpan dan dirawat dengan baik, karena
menurut kepercayaan mereka wayang beber Pacitan sebagai warisan leluhur yang
memiliki kekuatan magis dan bertuah. Oleh masyarakat Desa Gedompol wayang
beber disakralkan. Meskipun saat ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan,
namun wayang beber yang asli masih dapat dilihat dan dinikmati keindahannya.
Wayang Beber yang berada di Dusun Karangtalun, Desa Gedompol, Kecamatan
Donorojo, Kabupaten Pacitan merupakan salah satu dari dua jenis wayang beber
asli yang terdapat di Indonesia. Wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara
turun-temurun dipercaya memelihara dan tidak akan dipegang oleh orang dari
keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat luhur
yang harus dipelihara.
Wayang beber memuat cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji Asmorobangun
dengan Putri Jenggolo Dewi Sekartaji. Semula cerita Panji yang berlatar Kerajaan
Kediri di sekitar abad XII tersebut berkembang di daerah Jawa Timur. Cerita itu
terus berkembang sehingga mempengaruhi kebudayaan dari ujung Jawa Timur
hingga Jawa Barat.

32
Seiring dengan perkembangan jaman, wayang beber mulai terpinggirkan oleh
kesenian lain terutama munculnya wayang kulit. Jenis wayang ini mulai
berkembang diakhir masa Majapahit ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam
pertama di Jawa yaitu Kerajaan Demak. Wayang kulit oleh para wali digunakan
sebagai media dakwah agama islam pada waktu itu. Hal ini menggeser keberadaan
wayang beber. Bahkan wayang kulit semakin dikenal masyarakat dan digemari
hingga sekarang.
Meskipun di daerah-daerah tertentu masih dipentaskan, namun wayang beber
popularitasnya kalah jauh dibanding dengan wayang kulit, karena wayang kulit
mudah dijumpai dan sering dipentaskan terutama didaerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Kemunduran wayang beber patut disesalkan karena jenis pertunjukan ini
sarat dengan kearifan lokal masyarakat Jawa.
Bentuk visual wajah wayang beber digambar ‘methok’ yaitu terlihat kedua
matanya sehingga terlihat semi realis, sedangkan wayang kulit dibuat menyamping
serta bentuknya digayakan (stilasi) untuk menghindari bentuk yang realis, karena
Islam mengharamkan menggambar makhluk yang bernyawa.
Wayang beber Pacitan yang asli dilukis di atas kertas (daluwang:Jawa) yang
terbuat dari kulit kayu khusus yang telah diolah sedemikian rupa, sehingga dapat
dilukisi wayang beber. Wayang beber Pacitan terdiri atas 6 gulungan dan setiap
gulungan berisi 4 jagong. Bentuk visual setiap jagong berbeda-beda, hal ini
disesuaikan dengan isi cerita setiap jagong dalam mendukung alur cerita secara
keseluruhan. Wayang beber yang asli sampai sekarang masih tersimpan di rumah
Mbah Mardi (alm.), dalang keturunan yang ke-13.
Dalam penelitian ini bentuk visual wayang beber Pacitan jagong ke-13
dianalisis menggunakan teori semiotika karya seni, dengan pertimbangan bahwa
semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Wayang beber sebagai
karya seni lukis terdiri atas sekumpulan tanda dan simbol yang mengandung makna
tertentu. Tanda-tanda dan simbol-simbol yang membentuk wayang beber
diungkapkan melalui elemen-elemen visual seperti titik, garis, bidang, bentuk,
warna, dan tekstur.

33
Secara teknik ditampilkan bentuk visual wayang beber Pacitan jagong ke-
13, kemudian dikaji dan dianalisis bentuk visual serta nilai-nilai tuntunan dari isi
ceritanya, didukung dengan wawancara kepada narasumber dilakukan secara
terbuka dan mendalam untuk mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan penelitian.
Bentuk visual wayang beber Pcitan jagong ke-13 yang terlihat secara kasat
mata (jiwo katon) tersebut tercermin karakter dari seorang tokoh. Jagong ke-13
terdiri atas tokoh utama dan tokoh pendukung isi cerita. Dalam analisis setiap tokoh
pendukung akan dideskripsikan secara sekilas sesuai kebutuhan, sedangkan tokoh
utama dalam jagong ke-13 dideskripsikan secara rinci dan dilengkapi dengan
bentuk visual secara detil.

7.1 Deskripsi Wayang Beber Pacitan Jagong Ketigabelas


Pada jagong ke-13 menampilkan adegan Tawang Alun yang terluka parah
karena kena sabetan pedang ketika perang tanding melawan Kebo Lorodan sedang
mendapatkan perawatan di rumah Nyi Tumenggung Kalamisani. Terlihat Nala
Derma sedang memegangi Tawang Alun yang bersandar ditubuhnya. Di belakang
Nyi Kalamisani terlihat Dewi Sekartaji dan dua dayang-dayang yang sedang
bercakap-cakap. Dikisahkan untuk mendapatkan Dewi Sekartaji, Prabu Brawijaya
mengadakan perang tanding antara pihak Jaka Kembang Kuning yang diwakili
Tawang Alun melawan Prabu Klana yang diwakili Kebo Lorodan. Pada perang
tanding tersebut dimenangkan oleh Kebo Lorodan dan Tawang Alun luka parah
terkena senjata milik Kebo Lorodan.

34
Dewi
Sekartaji Nala Derma

Nyi
Tumenggung Tawang
Kalamisani Alun: Tokoh
utama

Gambar 6.Jagong ke-13 Adegan di Paluhamba


(Sumber: Koleksi Mbah Mardi Repro Foto: Margana, 2021)

Visualisasi tokoh pada jagong ke-13 ini dapat dikelompokkan menjadi dua
yakni kelompok sisi kiri dan kelompok sisi kanan, keduanya dalam posisi saling
berhadapan. Tokoh yang terletak di sisi sebelah kiri adalah Nyi Tumenggung
Kalamisani, Dewi Sekartaji, dan dua dayang-dayang yang sedang bercakap-cakap.
Di sisi kanan ditampilkan dua tokoh yaitu; Ki Tawang Alun dan Nala Derma.
Elemen-elemen visual jagong ke-13 terdiri atas titik, garis, bidang, warna,
dan tekstur. Elemen-elemen visual pada jagong ke-13 tersebut disusun dengan
kaidah seni seperti perbandingan, keseimbangan, keselarasan, keharmonian, dan
kesatuan, sehingga tercipta sebuah karya seni lukis yang indah.
Elemen garis terlihat pada batas akhir warna, bidang, dan bentuk. Penerapan
garis yang terdapat pada jagong ke-13 digunakan untuk membentuk ikon figur
tokoh, flora, dan bentuk-bentuk bagian bangunan. Dalam jagong ke-13 elemen
garis membentuk objek lukisan yang menggambarkan suasana di rumah
Paluhamba yang dirundung kesedihan karena Tawang Alun terluka dala perang
tanding. Garis yang dipakai pada bentuk visual wayang beber bermacam-macam,
antara lain; garis lurus, vertikal, lengkung, dan garis patah-patah. Penggunaan

35
beragam garis tersebut disesuaikan dengan kebutuhan seniman dalam
mengekspresikan ide atau gagasannya.
Penerapan bidang pada jagong ke-13 bervariasi, ada yang sempit, rumit,
dan ada pula bidang yang luas. Penerapan bidang lebih banyak dipengaruhi oleh isi
dan setting ceritera. Dalam jagong ke-13, kehadiran bidang diterapkan pada back
ground berupa bidang-bidang segitiga yang menggambarkan korden atau hiasan-
hiasan untuk menambah suasana di dalam rumah. Elemen bidang disesuaikan
dengan isi cerita pada jagong tersebut. Bidang-bidang pada wayang beber Pacitan
memberi kesan datar. Hal ini sesuai dengan ciri khas bentuk dekoratif yang bersifat
datar dan tidak muncul kesan ruang tiga dimensi.
Jagong ke-13 dalam wayang beber Pacitan menampilkan beberapa figur,
antara lain; Tawang Alun, Nala Derma, Nyi Kalamisani, Dewi Sekartaji, dan
dayang-dayang. Bentuk-bentuk tersebut diungkapkan melalui beberapa pengolahan
bentuk antara lain dengan cara penggayaan atau stilasi, dan deformasi, sehingga
tercipta bentuk yang ekspresif dekoratif. Isen-isen pada jagong ke-13 berupa hiasan
bermotif flora ditampilkan dengan bentuk stilasi, sosok figur tokoh wayang
merupakan deformasi bentuk yang mengarah sedikit ke surealistis, tercipta susunan
yang indah. Objek wayang merupakan deformasi bentuk dari keadaan manusia,
alam dan lingkungannya.
Dalam jagong ke-13 karya wayang beber dapat dijumpai beragam warna
dengan kualitas yang bermacam-macam. Elemen warna pada setiap jagong ke-13
didominasi oleh warna kuning pucat, merah, hitam, dan hijau. Warna-warna
tersebut dibuat dengan menerapkan teknik sungging yaitu perubahan warna secara
gradatif, sehingga muncul susunan warna gelap ke terang atau sebaliknya.
Semua elemen tersebut disusun dengan mempertimbangkan hukum-hukum
atau kaidah seni seperti keseimbangan, keselarasan, harmoni, dan kaidah seni
lainnya, sehingga tercipta satu kesatuan yang harmonis dan selaras. Perpaduan garis
panjang, pendek, lurus dan lengkung, vertikal dan horisontal tercipta sebuah
komposisi yang harmonis. Demikian juga penyusunan atau pengaturan warna
dengan mempertimbangkan prinsip keselarasan dan keseimbangan, tercipta
komposisi warna yang memiliki satu kesatuan yang harmonis. Hal ini didukung

36
dengan penggunaan warna gradasi yang dapat menghasilkan komposisi yang
selaras, seimbang, dan tidak ada warna yang sangat dominan dalam jagong ke-13.
Hal ini menunjukkan bahwa prinsip keselarasan dan keseimbangan benar-benar
diterapkan dalam pewarnaan pada wayang beber.
Wayang beber Pacitan sebagai karya lukis terdiri atas elemen-elemen visual
berupa titik, garis, bidang, warna, dan tekstur yang disusun dengan
mempertimbangkan keseimbangan, keselarasan, keharmonian, serta kaidah-kaidah
seni lainnya sehingga tercipta karya wayang beber yang mengandung nilai artistik
dan estetik. Bentuk visual wayang beber berupa karya lukis dibentang dan dibeber
pada saat pertunjukan wayang beber berlangsung. Pada saat dipentaskan, wayang
beber berfungsi sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan
moral bagi penonton, serta media hiburan bagi penonton. Melalui tutur
(antawecana) pada saat dalang mempergelarkan wayang beber diharapkan
masyarakat (penonton) mendapatkan pencerahan hidup dan sekaligus mendapatkan
hiburan. Oleh karena itu, melalui pergelaran wayang beber yang menampilkan
bentuk visual berupa karya seni lukis yang mengandung nilai keindahan dapat
digunakan sebagai tontonan dan sarana hiburan bagi penonton.

7.2 Analisis Sintaksis Wayang Beber Pacitan Jagong Ketigabelas


Bentuk visual jagong ke-13 terdiri atas elemen-elemen visual berupa titik,
garis, bidang, warna, dan tekstur yang disusun menggunakan kaidah-kaidah seni
seperti perbandingan, keseimbangan, keselarasan, dan kesatuan, sehingga tercipta
sebuah karya lukis wayang beber yang artistik dan estetik. Penggambaran tokoh-
tokoh pada jagong ke-13 dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sisi kiri
dan kanan. Pada bagian kiri ditampilkan; Nyi Menggung Kalamisani dengan posisi
longok (kepala melihat ke depan) sedang memberi perawatan kepada Tawang Alun.
Bentuk mata gabahan (bentuknya menyerupai biji padi). Badan ramping
mengenakan kain untuk membalut tubuh dari bagian dada hingga kebawah,
bersumping bunga dan daun di atas telinga. Di belakangnya ditampilkan Dewi
Sekartaji posisi kepala luruh, mata gabahan, rambut terurai kebawah, tubuh tanpa
baju hanya mengenakan kain untuk menutupi bagian dada ke bawah. Di sisi

37
belakang tergambarkan dua dayang-dayang (ampil-ampil, emban: Jawa) berdiri
terlihat sedang bercakap-cakap.
Tokoh dalam jagong ke-13 dapat dikelompokkan 2 kelompok yaitu tokoh
utama dan tokoh pendukung. Tokoh utama dalam jagong ke-13 adalah Tawang
Alun dengan ciri visual sebagai berikut.

Hidung bulat
terong Mata
terpejam
Mulut terkatup

Gambar 7. Ciri Visual Tawang Alun Tokoh Utama jagong ke-13


(Sumber: Koleksi Mbah Mardi Repro Foto: Margana, 2021)

Tawang Alun termasuk tokoh yang terletak di sebelah kanan bersama Nala
Derma. Tawang Alun posisi terlentang tubuhnya disandarkan di badan Nala Derma.
Posisi kepala langak (ndhengangak:Jawa), mata rembesan posisi terpejam, bentuk
hidung bulat mirip buah terong, mulut tertutup. Badan tanpa busana atau telanjang
dada, memakai kain untuk membalut di bagian pinggang ke bawah. Dibelakang
Tawang Alun ditampilkan Nala Derma dengan posisi memegang tubuh Tawang
Alun. Nala Derma posisi kepala langak, mata rembesan, hidung pesek
(gumpes:Jawa), mulut gugut, telanjang dada tidak mengenakan baju, hanya
mengenakan kain untuk menutupi bagian pinggang ke bawah. Semua tokoh pada
jagong ke-13 digambar relatif sama besar.
Latar belakang (back ground) pada jagong ke-13 ditampilkan ragam hias
(ornamen) bermotif dedaunan, pohon, dan bunga, serta bagian dari rumah digambar
dengan cara distilasi, sehingga tercipta bentuk yang artistik dan estetis.

38
7.3 Analisis Semantik Wayang Beber Pacitan Jagong Ketigabelas
Pada tahap ini adalah tahap analisis semantik (semantik semiosis) yaitu
tahap konotasi atau interpretasi. Dalam tahap ini makna tanda dikonotasikan atau
diinterpertasikan berdasarkan denotasi/makna primer (Iswidayati, 2006: 46). Pada
tahap ini diuraikan terkait dengan elemen-elemen visual dan penerapan kaidah seni
pada jagong ke-13 yang menampilkan tokoh utama yaitu Tawang Alun adalah
sebagai berikut.
Tawang Alun sebagai tokoh utama dalam jagong ke-13 kalah perang
tanding melawan Kebo Lorodan dengan kondisi luka parah karena kena senjata
Kebo Lorodan. Mulut Tawang Alun terkatup secara konotatif mempresentasikan
rasa sakit yang diderita. Mata terpejam menggambarkan sedang menahan rasa sakit
yang tak terhingga. Posisi tubuh terkulai dipangkuan Nala Derma secara konotatif
menggambarkan tubuh yang lemah dan tidak berdaya.

Mata terpejam :
menahan sakit

Mulut terkatup :
menahan sakit

Tubuh terkulai: tak


memiliki kekuatan

Gambar 8. Ciri Visual dan Karakter Tawang Alun


(Sumber: Koleksi Mbah Mardi Repro Foto: Margana, 2021)

Latar belakang (back ground) pada jagong ke-13 ini didominasi oleh warna
merah tua, kuning pucat, hijau, dan hitam. Hal ini memancarkan kesan agung dan
magis. Kehadiran warna-warna tersebut dapat berfungsi untuk menonjolkan objek
yang berwarna kuning pucat menjadi terang. Secara umum objek tokoh pada

39
jagong ke-13 berwarna kuning terang dan warna busana cenderung gelap tidak
banyak motif, sehingga perbedaan dengan latar belakang terlihat sangat jelas.
Penerapan warna kuning merah, biru, hitam, dan hijau yang terdapat pada bagian-
bagian tertentu berfungsi untuk mempertegas garis-garis ornamen untuk
memberikan kesan rumit. Pewarnaan pada jagong ke-13 menggunakan teknik
sungging menghasilkan susunan warna yang gradatif.
Visualisasi jagong ke-13 secara keseluruhan menerapkan komposisi
asimetris yaitu peletakan kelompok para tokoh wayang antara kelompok yang satu
dan yang lain ditata tidak sama, namun tetap memberikan kesan seimbang.
Analisis semantik ini peneliti menggunakan matrik denotasi dan konotasi
untuk memperjelas masing-masing makna yang terdapat dalam jagong ke-13 dalam
wayang beber ini dan dapat dilihat pada tabel 3.2 sebagai berikut.
Tabel 3.2 Makna Denotasi dan Konotasi Tokoh-tokoh pada Jagong Ke-13.
Gambar Jagong Ke-13 Denotasi Konotasi 1 Konotasi 2

Tawang Alun Posisi kepala Menahan sakit Makna konotasi


langak menggambarkan isi
cerita pada jagong
ke-13 yang
menceritakan
Tawang Alun luka
parah terkena
sabetan pedang
ketika perang
tanding melawan
Kebo Lorodan.

Mata tertutup Menahan sakit Menahan sakit

Mulut tertutup Menahan sakit Diam, dan


menahan sakit

B. Status Luaran Penelitian


No Luaran Penelitian Status
1 Publikasi artikel jurnal Mandiri Draf artikel

40
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

Cerita (lakon) dalam pertunjukan wayang beber Pacitan jagong ke-13 berisi
tentang kisah kekalahan Tawang Alun dalam perang tanding melawan Patih Kebo
Lorodan. Dalam cerita tersebut Tawang Alun mewakili Kembang Kuning,
sedangkan Kebo Lorodan mewakili raja Klana. Pada perang tersebut boleh
dikatakan tidak seimbang karena Tawang Alun sebagai abdi (punakawan) melawan
Kebo Lorodan seorang patih. Pada perang tanding tersebut terkena Tawang Alun
terkena senjata pedang Kebo Lorodan sehingga terluka parah, akhirnya perang
dimenangkan Kebo Lorodan. Tawang Alun sebagai seorang tokoh yang dengan
ikhlas maju perang mewakili majikannya menunjukkan sikap seorang punakawan
yang setia terhadap rajanya.
Sepenggal kisah cerita dalam jagong ke-13 tersebut dapat disimpulkan bahwa
pada cerita wayang beber pacitan memuat nilai-nilai kearifan lokal. Tawang Alun
sebagai seorang tokoh Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam cerita
wayang beber antara lain; kesetiaan seseorang kepada rajanya, tanggung jawab
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, serta bekerja secara ikhlas tanpa
pamrih.
Penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu wayang beber dapat digali
dan diteliti lebih dalam, sehingga akan semakin jelas pesan-pesan yang
disampaikan baik melalui isi ceritanya maupun bentuk visual wayang beber secara
kasat mata.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadi, Agus. 2016. Kriya Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta Identifikasi
Pola, Aneka Tatahan dan Sunggingannya. Surakarta: ISI Surakarta.

2. Dharsono. 2015. Estetika Nusantara. Surakarta: ISI Press.

3. Gandawardaja. 1935. Babad Patjitan. Batavia: Balai Poestaka

4. Geertz, C. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pustaka


Jaya: Jakarta.

5. Hadiprayitno, Kasidi. 2004. Teori Estetika untuk Pedalangan. Yogyakarta:


Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta.

6. Haryanto, S. 1992. Bayang-bayang Adiluhung. Dahara Prize: Semarang.

7. Iswidayati. 2006. Pendekatan Semiotik Seni Lukis Jepang Periode 80-90an.


Kajian Estetiks Tradisional Jepang Wabi Sabi. Semarang: UNNES

8. Mulyono, Sri. 1982. Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya.


Jakarta: Gunung Agung.

9. Rustopo. 2012. Seni Pewayangan Kita. Surakarta: ISI Press.

10. Sajid, Raden Mas. 1958. Bauwarna Wajang Cet ke-1. Jogjakarta: Pertjetakan
Republik Indonesia.

11. Soekatno. 2009. Mengenal Wayang Kulit Purwa. Semarang: Aneka Ilmu.

12. Soetarno, Sunardi, Sudarsono. 2007. Estetika pedalangan.Surakarta:CV.Adji.

13. Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfa Beta.

14. Suharyono, Bagyo. 2008.Wayang Beber Wonosari. Wonogiri: Bina Citra


Media.

15. Tim Perumus Hari Jadi Kabupaten Pacitan. 1994. Hari Jadi Kabupaten Pacitan
dalam Perspektif Sejarah Indonesia. Tidak diterbitkan.

16. -------. 2015. Pacitan dalam Angka. Bappeda Kabupaten Pacitan.

17. -------. 2016. Profil Ekonomi Daerah. Bappeda Kabupaten Pacitan.

42
LAMPIRAN
Karakter Tokoh Tawang Alun pada Wayang Beber Pacitan Jagong Ke -13
dan Relevansinya dengan Nilai Pendidikan Karakter

Margana1, Esterica Yunianti2, Agus Razikin3


1,2 Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS Surakarta
3Politeknik Pratama Mulia

Margana email: marganacokro@gmail.com HP. 089509889378

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter tokoh Tawang Alun Wayang
Beber Pacitan jagong ke-13 yang dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan
data yang digunakan antara lain observasi, wawancara, dan analisis dokumen.
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Analisis data
menggunakan metode analisis interaktif, validitas data menggunakan triangulasi.

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Tawang Alun sebagai tokoh utama pada
jagong ke-13 wayang beber Pacitan memiliki beberapa karakter antara lain; setia
pada atasan, tanggung jawab, berjiwa pengabdian yang tulus ikhlas.

Kata kunci: Wayang beber, jagong, karakter

Pendahuluan
Negara Indonesia dikaruniai beragam jenis wayang diantaranya wayang
beber. Jenis wayang ini berbeda dengan wayang pada umumnya, karena wayang
beber berupa lukisan di atas kertas atau kain. Cara memainkan jenis wayang ini
yaitu lukisan dibentang (dibeber), kemudian dalang menceritakan isi lukisan
tersebut seuai dengan adegan. Setelah selesai dipentaskan, wayang digulung.
Di Indonesia terdapat 2 jenis wayang beber, yaitu wayang beber Pacitan dan
wayang beber Wonosari. Kedua jenis wayang beber tersebut berbeda, baik bentuk
atau corak maupun isi ceritanya. Kedua jenis wayang beber tersebut kondisinya
sudah rusak dan tidak memungkinkan lagi untuk dipentaskan. Oleh karena itu,

43
untuk keperluan pementasan maka dibuat duplikasinya. Wayang beber yang asli
menjadi pepundhen dan dikeramatkan oleh masyarakat pendukungnya.
Secara fisik wayang beber berupa lukisan di atas kertas atau kain terdiri
atas susunan elemen-elemen visual seperti titik, garis, bidang, warna, tekstur yang
diolah menjadi sebuah lukisan yang menggambarkan suatu adegan (jagong) tertentu
seperti suasana di dalam kerajaan, halaman istana, suasana pasar, medan
peperangan, dan lain-lain. Pada lukisan tersebut ditampilkan beteng, pohon, bagian
bangunan keraton, dan lain-lain untuk mendukung isi cerita. Gaya visual wayang
beber Pacitan cenderung ekspresif dekoratif dengan menerapkan pewarnaan teknik
sungging dan mengolah bentuk melalui penggayaan atau stilasi.
Wayang beber Pacitan terdiri atas 24 adegan yang merupakan rangkaian
untuk mendukung isi cerita. Oleh karena itu, setiap adegan saling sambung-
menyambung dan merupakan bagian tak terpisahkan antara adegan satu dengan
yang lain. Dari sekian adegan tersebut ada satu adegan yang menarik untuk diteliti
dan dibahas yaitu adegan ke tigabelas. Pada jagong ke tigabelas menampilkan tokoh
Tawang Alun yaitu seorang abdi (punakawan) yang luka parah terkena sabetan
pedang ketika perang tanding melawan seorang patih Lorodan.

Metode Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk deskriptif kualitatif yang berusaha
mendeskripsikan gejala atau fenomena permasalahan dalam objek penelitian.
Kegiatan penelitian dilakukan di dusun Karangtalun, Desa Gedompol, kabupaten
Pacitan. Data diperoleh melalui beberapa teknik yaitu; pengamatan, interview, dan
analisis dokumen. Pengamatan atau observasi dilakukan pada bentuk visual wayang
beber jagong ke tigabelas, terutama tokoh utama pada jagong tersebut yaitu Tawang
Alun. Interview atau wawancara dilakukan dengan Bapak Rudy sebagai dalang
wayang beber Pacitan dan Bapak Pujiyanto seniman lukis wayang beber Pacitan.
Analisis dokumen dilakukan dengan mengamati wayang beber sebagai dokumen
khususnya tokoh utama pada jagong ke tigabelas yaitu Tawang Alun. Teknik
analisis data menggunakan model interaktif yang terdiri atas tiga komponen, yakni
reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan [3].

44
Tinjauan literatur
Sebagai karya seni rupa tradisi, wayang beber memiliki keunikan tersendiri
dibandingkan dengan jenis wayang lainnya. Hal ini ditunjukkan dari bentuk visual
wayang beber Pacitan berupa lukisan sebagai alat peraga ketika wayang beber
dipentaskan. Kapan munculnya wayang beber hingga sekarang belum ada sumber
yang dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun demikian, setidaknya ada tiga
penjelasan atau tulisan yang memiliki dasar tersendiri, antara lain: (1) Wayang
Beber mulai ada sejak tahun 1283 dengan kisah andalan Panji Asmara Bangun; (2)
Wayang Beber mulai ada sejak tahun (1727-1749), diyakini sebagai peninggalan
Paku Bowono II, (3) Wayang Beber mulai ada sejak tahun 1416 Zaman Majapahit
dalam bahasan yang lain tersebut pula tahun 1361 Masehi atau tahun 1283 Saka
(http://jogja.tribunnews.com/2011/01/07wayangbeber-tinggal-dua-buah-di-dunia).
Secara historis wayang beber Pacitan terdapat di desa Gedompol,
Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan dipercaya sudah ada sejak jaman
Majapahit [4]. Dharsono (2015) mengatakan wayang beber diciptakan pada jaman
Majapahit awal abad ke-16, sebelum pusat kebudayaan pindak ke Demak, Jawa
Tengah tahun 1522 Masehi [1].
Wayang beber yang mengambil cerita Panji diperkirakan baru muncul pada
zaman Mataram (Islam), tepatnya pada masa pemerintahan Kasunanan Kartasura
pada waktu pemerintahan Amangkurat II (1677-1703). Hal itu juga disebutkan
dalam salah satu tembang Kinanthi yang ada di Serat Centhini. Wayang beber di
zaman Mataram Kartasura di buat dari kertas lokal, yakni kertas Jawa (daluwang)
dari Ponorogo. Cerita yang ditampilkan antara lain Jaka Kembang Kuning, salah
satu episode cerita Panji. Kemudian pada masa pemerintahan Amangkurat III atau
Sunan Mas, dilakukan penyempurnaan lagi terhadap lukisan wayang beber.Wajah
dan pakaian yang dikenakan tokoh-tokoh utama, seperti Panji Asmarabangun dan
Dewi Candrakirana dibuat lebih cantik.
Pada masa Islam yaitu Sunan Kalijaga bentuk wayang beber dimodifikasi
menjadi wayang kulit dengan bentuk-bentuk yang bersifat ornamentik seperti
sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup
seperti manusia dan hewan. Wayang hasil modifikasi berupa wayang kulit tersebut

45
oleh para wali kemudian digunakan untuk berdakwah yaitu memperkenalkan dan
menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sedangkan wayang beber yang
asli sampai sekarang disimpan oleh seorang keturunan dalang wayang beber asli di
Dusun Karangtalun, Desa Gedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan.
Hingga saat ini wayang beber asli disimpan dan dirawat dengan baik, karena
menurut kepercayaan mereka wayang beber Pacitan sebagai warisan leluhur yang
memiliki kekuatan magis dan bertuah. Oleh masyarakat Desa Gedompol wayang
beber disakralkan. Meskipun saat ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan,
namun wayang beber yang asli masih dapat dilihat dan dinikmati keindahannya [5].
Wayang Beber yang berada di Dusun Karangtalun, Desa Gedompol,
Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan merupakan salah satu dari dua jenis
wayang beber asli yang terdapat di Indonesia. Wayang ini dipegang oleh seseorang
yang secara turun-temurun dipercaya memelihara dan tidak akan dipegang oleh
orang dari keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat
luhur yang harus dipelihara.
Wayang beber memuat cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji Asmorobangun
dengan Putri Jenggolo Dewi Sekartaji. Semula cerita Panji yang berlatar Kerajaan
Kediri di sekitar abad XII tersebut berkembang di daerah Jawa Timur. Cerita itu
terus berkembang sehingga mempengaruhi kebudayaan dari ujung Jawa Timur
hingga Jawa Barat.
Seiring dengan perkembangan jaman, wayang beber mulai terpinggirkan
oleh kesenian lain terutama munculnya wayang kulit. Jenis wayang ini mulai
berkembang diakhir masa Majapahit ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam
pertama di Jawa yaitu Kerajaan Demak. Wayang kulit oleh para wali digunakan
sebagai media dakwah agama islam pada waktu itu. Hal ini menggeser keberadaan
wayang beber. Bahkan wayang kulit semakin dikenal masyarakat dan digemari
hingga sekarang.
Meskipun di daerah-daerah tertentu masih dipentaskan, namun wayang
beber popularitasnya kalah jauh dibanding dengan wayang kulit, karena wayang
kulit mudah dijumpai dan sering dipentaskan terutama didaerah Jawa Tengah dan

46
Jawa Timur. Kemunduran wayang beber patut disesalkan karena jenis pertunjukan
ini sarat dengan kearifan lokal masyarakat Jawa.

Bentuk visual wajah wayang beber digambar ‘methok’ yaitu terlihat kedua
matanya sehingga terlihat semi realis, sedangkan wayang kulit dibuat menyamping
serta bentuknya digayakan (stilasi) untuk menghindari bentuk yang realis, karena
Islam mengharamkan menggambar makhluk yang bernyawa.

1. Deskripsi Wayang Beber Pacitan Jagong Ketigabelas


Pada jagong ke-13 menampilkan adegan Tawang Alun yang terluka parah
karena kena sabetan pedang ketika perang tanding melawan Kebo Lorodan sedang
mendapatkan perawatan di rumah Nyi Tumenggung Kalamisani. Terlihat Nala
Derma sedang memegangi Tawang Alun yang bersandar ditubuhnya. Di belakang
Nyi Kalamisani terlihat Dewi Sekartaji dan dua dayang-dayang yang sedang
bercakap-cakap. Dikisahkan untuk mendapatkan Dewi Sekartaji, Prabu Brawijaya
mengadakan perang tanding antara pihak Jaka Kembang Kuning yang diwakili
Tawang Alun melawan Prabu Klana yang diwakili Kebo Lorodan. Pada perang
tanding tersebut dimenangkan oleh Kebo Lorodan dan Tawang Alun luka parah
terkena senjata milik Kebo Lorodan.

Dewi
Sekartaji Nala Derma

Nyi
Tumenggung Tawang Alun:
Kalamisani Tokoh utama

Gambar 1: Jagong ke-13 Tawang Alun sedang dirawat

47
(Sumber: Koleksi Mbah Mardi Repro Foto: Margana, 2021)

Visualisasi tokoh pada jagong ke-13 ini dapat dikelompokkan menjadi dua
yakni kelompok sisi kiri dan kelompok sisi kanan, keduanya dalam posisi saling
berhadapan. Tokoh yang terletak di sisi sebelah kiri adalah Nyi Tumenggung
Kalamisani, Dewi Sekartaji, dan dua dayang-dayang yang sedang bercakap-cakap.
Di sisi kanan ditampilkan dua tokoh yaitu; Ki Tawang Alun dan Nala Derma.
Elemen-elemen visual jagong ke-13 terdiri atas titik, garis, bidang, warna,
dan tekstur. Elemen-elemen visual pada jagong ke-13 tersebut disusun dengan
kaidah seni seperti perbandingan, keseimbangan, keselarasan, keharmonian, dan
kesatuan, sehingga tercipta sebuah karya seni lukis yang indah.
Elemen garis terlihat pada batas akhir warna, bidang, dan bentuk. Penerapan
garis yang terdapat pada jagong ke-13 digunakan untuk membentuk ikon figur
tokoh, flora, dan bentuk-bentuk bagian bangunan. Dalam jagong ke-13 elemen
garis membentuk objek lukisan yang menggambarkan suasana di rumah
Paluhamba yang dirundung kesedihan karena Tawang Alun terluka dala perang
tanding. Garis yang dipakai pada bentuk visual wayang beber bermacam-macam,
antara lain; garis lurus, vertikal, lengkung, dan garis patah-patah. Penggunaan
beragam garis tersebut disesuaikan dengan kebutuhan seniman dalam
mengekspresikan ide atau gagasannya.
Penerapan bidang pada jagong ke-13 bervariasi, ada yang sempit, rumit,
dan ada pula bidang yang luas. Penerapan bidang lebih banyak dipengaruhi oleh isi
dan setting ceritera. Dalam jagong ke-13, kehadiran bidang diterapkan pada back
ground berupa bidang-bidang segitiga yang menggambarkan korden atau hiasan-
hiasan untuk menambah suasana di dalam rumah. Elemen bidang disesuaikan
dengan isi cerita pada jagong tersebut. Bidang-bidang pada wayang beber Pacitan
memberi kesan datar. Hal ini sesuai dengan ciri khas bentuk dekoratif yang bersifat
datar dan tidak muncul kesan ruang tiga dimensi.
Jagong ke-13 dalam wayang beber Pacitan menampilkan beberapa figur,
antara lain; Tawang Alun, Nala Derma, Nyi Kalamisani, Dewi Sekartaji, dan
dayang-dayang. Bentuk-bentuk tersebut diungkapkan melalui beberapa pengolahan

48
bentuk antara lain dengan cara penggayaan atau stilasi, dan deformasi, sehingga
tercipta bentuk yang ekspresif dekoratif. Isen-isen pada jagong ke-13 berupa hiasan
bermotif flora ditampilkan dengan bentuk stilasi, sosok figur tokoh wayang
merupakan deformasi bentuk yang mengarah sedikit ke surealistis, tercipta susunan
yang indah. Objek wayang merupakan deformasi bentuk dari keadaan manusia,
alam dan lingkungannya.
Dalam jagong ke-13 karya wayang beber dapat dijumpai beragam warna
dengan kualitas yang bermacam-macam. Elemen warna pada setiap jagong ke-13
didominasi oleh warna kuning pucat, merah, hitam, dan hijau. Warna-warna
tersebut dibuat dengan menerapkan teknik sungging yaitu perubahan warna secara
gradatif, sehingga muncul susunan warna gelap ke terang atau sebaliknya.
Semua elemen tersebut disusun dengan mempertimbangkan hukum-hukum
atau kaidah seni seperti keseimbangan, keselarasan, harmoni, dan kaidah seni
lainnya, sehingga tercipta satu kesatuan yang harmonis dan selaras. Perpaduan garis
panjang, pendek, lurus dan lengkung, vertikal dan horisontal tercipta sebuah
komposisi yang harmonis. Demikian juga penyusunan atau pengaturan warna
dengan mempertimbangkan prinsip keselarasan dan keseimbangan, tercipta
komposisi warna yang memiliki satu kesatuan yang harmonis. Hal ini didukung
dengan penggunaan warna gradasi yang dapat menghasilkan komposisi yang
selaras, seimbang, dan tidak ada warna yang sangat dominan dalam jagong ke-13.
Hal ini menunjukkan bahwa prinsip keselarasan dan keseimbangan benar-benar
diterapkan dalam pewarnaan pada wayang beber.
Wayang beber Pacitan sebagai karya lukis terdiri atas elemen-elemen visual
berupa titik, garis, bidang, warna, dan tekstur yang disusun dengan
mempertimbangkan keseimbangan, keselarasan, keharmonian, serta kaidah-kaidah
seni lainnya sehingga tercipta karya wayang beber yang mengandung nilai artistik
dan estetik. Bentuk visual wayang beber berupa karya lukis dibentang dan dibeber
pada saat pertunjukan wayang beber berlangsung. Pada saat dipentaskan, wayang
beber berfungsi sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan
moral bagi penonton, serta media hiburan bagi penonton. Melalui tutur
(antawecana) pada saat dalang mempergelarkan wayang beber diharapkan

49
masyarakat (penonton) mendapatkan pencerahan hidup dan sekaligus mendapatkan
hiburan. Oleh karena itu, melalui pergelaran wayang beber yang menampilkan
bentuk visual berupa karya seni lukis yang mengandung nilai keindahan dapat
digunakan sebagai tontonan dan sarana hiburan bagi penonton.

2. Analisis Sintaksis Wayang Beber Pacitan Jagong Ketigabelas

Bentuk visual jagong ke-13 terdiri atas elemen-elemen visual berupa titik,
garis, bidang, warna, dan tekstur yang disusun menggunakan kaidah-kaidah seni
seperti perbandingan, keseimbangan, keselarasan, dan kesatuan, sehingga tercipta
sebuah karya lukis wayang beber yang artistik dan estetik. Penggambaran tokoh-
tokoh pada jagong ke-13 dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sisi kiri
dan kanan. Pada bagian kiri ditampilkan; Nyi Menggung Kalamisani dengan posisi
longok (kepala melihat ke depan) sedang memberi perawatan kepada Tawang Alun.
Bentuk mata gabahan (bentuknya menyerupai biji padi). Badan ramping
mengenakan kain untuk membalut tubuh dari bagian dada hingga kebawah,
bersumping bunga dan daun di atas telinga. Di belakangnya ditampilkan Dewi
Sekartaji posisi kepala luruh, mata gabahan, rambut terurai kebawah, tubuh tanpa
baju hanya mengenakan kain untuk menutupi bagian dada ke bawah. Di sisi
belakang tergambarkan dua dayang-dayang (ampil-ampil, emban: Jawa) berdiri
terlihat sedang bercakap-cakap.
Tokoh dalam jagong ke-13 dapat dikelompokkan 2 kelompok yaitu tokoh
utama dan tokoh pendukung. Tokoh utama dalam jagong ke-13 adalah Tawang
Alun dengan ciri visual sebagai berikut.

50
Hidung bulat
terong Mata
terpejam
Mulut terkatup

Gambar 2: Ciri Visual Tawang Alun Tokoh Utama jagong ke-13


(Sumber: Koleksi Mbah Mardi Repro Foto: Margana, 2021)

Tawang Alun termasuk tokoh yang terletak di sebelah kanan bersama Nala
Derma. Tawang Alun posisi terlentang tubuhnya disandarkan di badan Nala Derma.
Posisi kepala langak (ndhengangak:Jawa), mata rembesan posisi terpejam, bentuk
hidung bulat mirip buah terong, mulut tertutup. Badan tanpa busana atau telanjang
dada, memakai kain untuk membalut di bagian pinggang ke bawah. Dibelakang
Tawang Alun ditampilkan Nala Derma dengan posisi memegang tubuh Tawang
Alun. Nala Derma posisi kepala langak, mata rembesan, hidung pesek
(gumpes:Jawa), mulut gugut, telanjang dada tidak mengenakan baju, hanya
mengenakan kain untuk menutupi bagian pinggang ke bawah. Semua tokoh pada
jagong ke-13 digambar relatif sama besar.
Latar belakang (back ground) pada jagong ke-13 ditampilkan ragam hias
(ornamen) bermotif dedaunan, pohon, dan bunga, serta bagian dari rumah digambar
dengan cara distilasi, sehingga tercipta bentuk yang artistik dan estetis.

3. Analisis Semantik Wayang Beber Pacitan Jagong Ketigabelas


Pada tahap ini adalah tahap analisis semantik (semantik semiosis) yaitu
tahap konotasi atau interpretasi. Dalam tahap ini makna tanda dikonotasikan atau

51
diinterpertasikan berdasarkan denotasi/makna primer (Iswidayati, 2006: 46). Pada
tahap ini diuraikan terkait dengan elemen-elemen visual dan penerapan kaidah seni
pada jagong ke-13 yang menampilkan tokoh utama yaitu Tawang Alun adalah
sebagai berikut.

Tawang Alun sebagai tokoh utama dalam jagong ke-13 kalah perang
tanding melawan Kebo Lorodan dengan kondisi luka parah karena kena senjata
Kebo Lorodan. Mulut Tawang Alun terkatup secara konotatif mempresentasikan
rasa sakit yang diderita. Mata terpejam menggambarkan sedang menahan rasa sakit
yang tak terhingga. Posisi tubuh terkulai dipangkuan Nala Derma secara konotatif
menggambarkan tubuh yang lemah dan tidak berdaya.

Mata terpejam :
menahan sakit
Mulut terkatup :
menahan sakit

Tubuh terkulai: tak


memiliki kekuatan

Gambar 3: Ciri Visual dan Karakter Tawang Alun


(Sumber: Koleksi Mbah Mardi Repro Foto: Margana, 2021)

Latar belakang (back ground) pada jagong ke-13 ini didominasi oleh warna
merah tua, kuning pucat, hijau, dan hitam. Hal ini memancarkan kesan agung dan
magis. Kehadiran warna-warna tersebut dapat berfungsi untuk menonjolkan objek
yang berwarna kuning pucat menjadi terang. Secara umum objek tokoh pada
jagong ke-13 berwarna kuning terang dan warna busana cenderung gelap tidak

52
banyak motif, sehingga perbedaan dengan latar belakang terlihat sangat jelas.
Penerapan warna kuning merah, biru, hitam, dan hijau yang terdapat pada bagian-
bagian tertentu berfungsi untuk mempertegas garis-garis ornamen untuk
memberikan kesan rumit. Pewarnaan pada jagong ke-13 menggunakan teknik
sungging menghasilkan susunan warna yang gradatif.
Visualisasi jagong ke-13 secara keseluruhan menerapkan komposisi
asimetris yaitu peletakan kelompok para tokoh wayang antara kelompok yang satu
dan yang lain ditata tidak sama, namun tetap memberikan kesan seimbang.

Simpulan

Cerita (lakon) dalam pertunjukan wayang beber Pacitan jagong ke-13 berisi
tentang kisah kekalahan Tawang Alun dalam perang tanding melawan Patih Kebo
Lorodan. Dalam cerita tersebut Tawang Alun mewakili Kembang Kuning,
sedangkan Kebo Lorodan mewakili raja Klana. Pada perang tersebut boleh
dikatakan tidak seimbang karena Tawang Alun sebagai abdi (punakawan) melawan
Kebo Lorodan seorang patih. Pada perang tanding tersebut terkena Tawang Alun
terkena senjata pedang Kebo Lorodan sehingga terluka parah, akhirnya perang
dimenangkan Kebo Lorodan. Tawang Alun sebagai seorang tokoh yang dengan
ikhlas maju perang mewakili majikannya menunjukkan sikap seorang punakawan
yang setia terhadap rajanya.
Sepenggal kisah cerita dalam jagong ke-13 tersebut dapat disimpulkan bahwa
pada cerita wayang beber pacitan memuat nilai-nilai kearifan lo[al antara lain;
kesetiaan seseorang kepada atasan/pimpinan, tanggung jawab dalam menjalankan
tugas, serta semangat mengabdi atau bekerja secara ikhlas tanpa pamrih.
Karakter tokoh Tawang Alun tersebut sangat relevan dengan nilai-nilai pendidikan
karakter yang dicanangkan oleh pemerintah [6].
Penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu wayang beber dapat digali
dan diteliti lebih dalam, sehingga akan semakin jelas pesan-pesan yang

53
disampaikan baik melalui isi ceritanya maupun bentuk visual wayang beber secara
kasat mata.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dharsono. 2015. Estetika Nusantara. Surakarta: ISI Press.

2. Iswidayati. 2006. Pendekatan Semiotik Seni Lukis Jepang Periode 80-90an.


Kajian Estetiks Tradisional Jepang Wabi Sabi. Semarang: UNNES

3. Miles, Matthew B. dan A.Michael Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif.


Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Terjemahan Tjetjep Rohendi
Rohidi. Jakarta:UI Press.

4. Rustopo. 2012. Seni Pewayangan Kita. Surakarta: ISI Press.

5. Suharyono, Bagyo (2008). “Wayang Beber Wonosari”. Wonogiri: Bina Citra


Media.

6. Zubaedi, 2011. Desain Pendidikan Karakter:Konsepsi dan Aplikasinya dalam


Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.

54

Anda mungkin juga menyukai