Anda di halaman 1dari 13

1.

(adam) apa yang menyebabkan keluhan sering lemas pada 2 minggu terakhir dan tidak
reda walau sudah istirahat?
Jawab :
Pasien merasa lemas meski sudah beristirahat salah satu penyebabnya adalah
mengalami gangguan pada sistem imunnya. Sistem imun sangat penting dan
bertanggung jawab atas kekebalan tubuh yang dimiliki pasien.
Pembagian sistem imun:
Pada pasien di skenario kemungkinan disebabkan gangguan sistem regulasi sel T dan
fungsi sel B, yang dapat dinduksi oleh berbagai hal. Defesiensi sel T penekan
menyebabkan sel B menjadi hiperaktif karena tiadanya pengendalian oleh sel T
penekan, atau aktivitas berlebihan melalui pembentukan B-cell-growth- faktor
(BCGF) sehinhha aktivasi sel T dan B autoreaktif yang menyimpang menyebabkan
produksi autoantibodi  antibody menyerang organ dan jaringan tubuh 
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan  inflamasi  system
hematologic  menekan proliferasi sel progenitor eritroid  kegagalan sumsum
tulang menghasilkan eritrosit  penurunan kadar Hb  anemia  merasa lelah,
lemas, letih meskipun sudah istirahat cukup

Sumber:
Eryati, D. (2006). Imunologi dan Infeksi.
Ratnadi, P. C., Suega, K., & Rena, N. M. R. A. HUBUNGAN ANTARA KADAR
HEMOGLOBIN DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT PASIEN
SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS DI RSUP SANGLAH.

2. (cike) mengapa setiap di bawah terik matahari timbul ruam pada kedua pipi?
Sinar matahari memancarkan sinar ultraviolet yang dapat merangsang hormon
estrogen yang cukup banyak sehingga terjadi reaksi autoimun dan juga dapat
mengubah struktur dari DNA sehingga memicu terciptanya autoantibodi 
Hipersensitivitas imun  Inflamasi (diinduksi sitokin dan prostaglandin yang
dihasilkan sinar UV)  Melalui pembuluh darah menyerang organ tubuh  Di kulit
menyebabkan ruam kemerahan/butterfly rash

Sumber:
M Syamsul, A. S., & Talista, A. Immunologi.

3. (meivyta) apakah terdapat hubungan antara sariawan, rambut rontok, badan hangat hilang
timbul serta nyeri jari tangan dengan keluhan pasien?
SUMBER: Calgaryguide
4. (gatra) mengapa dokter melakukan px imunologi untuk menegakkan dx?
Sinar matahari memancarkan sinar ultraviolet yang dapat merangsang hormon
estrogen yang Diagnosis SLE ditegakkan tidak hanya berdasarkan manifestasi klinis
saja, namun juga didukung dengan pemeriksaan laboratorium.
 Banyaknya teknik laboratorium terkait uji Immunoassay yang digunakan
secara rutin dalam laboratorium klinis. Peningkatan yang nyata dicapai dalam
bidang pengembangan. Immunoassay untuk keperluan diagnosa penyakit
dengan diagnosa penunjang dari laboratorium. Immunoassay merupakan
pemeriksaan metode bioanalitik untuk mengukur secara kuantitatif analitik
tergantung pada reaksi derajat imunitas atau kadar antibodi dan antigen dalam
cairan tubuh atau serum seseorang.
 mmunoassay dapat dibagi menjadi 2 kelompok menurut jenisnya, yaitu:
a. Imunoassay tak berlabel terdiri dari beberapa teknik yaitu uji
presipitasi, uji aglutinasi,uji hemaglutinasi, lisis imun, fiksasi
komplemen, uji netralisasi
b. Immunoassay berlabel, terdiri dari beberapa teknik yaitu Assay
berlabel fluoresens (Fluorescent Immunoassay atau FIA), Assay
berlabel radioisotop (Radioimmunoassay atau RIA), Assay berlabel
luminescent (Luminescent Immunoassay atau LIA), Assay berlabel
enzim (Enzyme Immunoassay atau EIA), Immunochromatographic
Assay atau ICA, Uji imunoperoksidase.
 Prinsip dari Immunoassay adalah reaksi ikatan spesifik antibodi-antigen
membentuk kompleks antigen-antibodi yang bereaksi dengan konsentrasi
tepat. Komponen penting dalam Immunoassay yang perlu diperhatikan
meliputi spesifitas antibodi, valensi antibodi, aviditas antibodi, dan ukuran
kuantitas reaksi Ag-Ab.
Sumber:
M Syamsul, A. S., & Talista, A. Immunologi..

5. (resti) bagaimana px penunjang yang harus dilakukan agar mengetahui dx dari kasus dan
menyingkirkan dd? (normal range px juga)
Jawab :
Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
6. Foto polos thorax
 pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
 Setiap 3-6 bulan bila stabil
 Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan
untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.

a. Pemeriksaan laboratorium dasar


- Pemeriksaan perifer lengkap dan LED
- Pemeriksaan urin lengkap
- Kimia darah
b. Pemeriksaan autoantibodi

c. Pemeriksaan komplemen
 Pemeriksaan kadar komplemen C3 dan C4
d. Pemeriksaan penapisan penyakit komorbid


e. Pemeriksaan penunjang lain
 Foto polos thorax dan EKG

Sumber:
Indonesia, P. R. (2011). Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus
sistemik. Jakarta: IRA.
6. (fitri) apa dx yang dapat disimpulkan dari kasus beserta kriteria dx kasus dan dd? Jelaskan
Hidralazine prokalinamid
Dari skenario pasien
- Lemas  gangguan hematologi yaitu anemia
- Tidak tahan dibawah matahari  Fotosensitifitas
- Kemerahan kedua pipi  Ruam malar
- Nyeri jari jari tangan  Arthritis
Akan tetapi pada skenario belum dilakukan pemeriksaan ANA dimana pemeriksaan
ANA merupakan GOLD STANDAR untuk menegakkan diagnosis penyakit autoimun
salah satunya SLE

Dd
- Penyakit imun lain
 Rheumatoid arthritis (RA) dapat hadir dengan beberapa manifestasi ekstra-
artikular selain arthritis inflamasi polyarticular klasik dan mungkin sulit
dibedakan dari SLE. ANA positif, Anti-Ro, dan Anti-La juga dapat dilihat pada
RA, meskipun autoantibodi dan hipokomplemenemia spesifik SLE lainnya jarang
terjadi. SLE dapat dikaitkan dengan faktor rheumatoid positif, tetapi Anti-CCP
negatif pada SLE
 Penyakit Behcet hadir dengan ulkus aphthous, uveitis, dan arthralgia tetapi tidak
memiliki fitur sistemik dan serologis lainnya dari SLE.
 Penyakit Behcet hadir dengan ulkus aphthous, uveitis, dan arthralgia tetapi tidak
memiliki fitur sistemik dan serologis lainnya dari SLE.
 ITP

- Infeksi
 Endokarditis menular ditandai dengan demam, emboli arteri, arthralgia, mialgia,
dan murmur jantung; mungkin bingung dengan manifestasi jantung SLE tetapi
dapat dibedakan dengan tidak adanya autoantibodi terkait SLE spesifik dan kultur
darah positif.
 Beberapa infeksi virus dapat meniru SLE. Infeksi parvovirus B19 dapat
menyebabkan demam, ruam, radang sendi, dan sitopenias. ANA dan faktor
rheumatoid telah dilaporkan. Hepatitis B dan C dapat dikaitkan dengan
arthralgia / arthritis inflamasi dan ANA positif dan faktor rheumatoid. Infeksi
virus CMV dan EBV dapat menyebabkan demam, kelelahan, cytopenias, dan
transaminitis. HIV dapat menyebabkan demam, kelelahan, ulkus oral, dan
cytopenias. Autoantibodi yang lebih spesifik dan manifestasi sistemik SLE tidak
ada pada infeksi virus ini. Selanjutnya, serologi virus positif dapat membantu
membuat diagnosis yang tepat.
- Keganasan
 Limfoma, terutama limfoma non-Hodgkins, dapat hadir dengan kelelahan,
penurunan berat badan, demam, arthralgia, cytopenia, limfadenopati, dan ANA
positif. Autoantibodi terkait SLE yang lebih spesifik tidak ada. Pada pasien usia
lanjut yang menunjukkan gejala seperti lupus, keganasan harus dikesampingkan
dengan skrining kanker.
Sumber:
Justiz Vaillant AA, Goyal A, Varacallo M. Lupus eritematosus sistemik. [Diperbarui 2023
Agustus 4]. Dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls;
2023 Januari-. Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535405
7. (mbak fitria) apa patogenesis dari kasus di skenario?
SUMBER: ABBAS, Calgaryguide

8. (wildan) apa penyebab dan faktor risiko dari kasus?


 Etiologi dan faktor risiko
Disebabkan interaksi antara factor genetic dan factor lingkungan
2. Genetik
o Hubungan kekeluargaan.
Anggota keluarga mempunyai risiko lebih tinggi untuk perkembangan
SLE, dan sampai 20% dari saudara sepupu tingkat pertama yang tidak
terjangkiti mungkin mempunyai autoantibodi. Terdapat kepekaan tinggi di
antarakembar monozigot (25%) dibandingkan dengan kembar dizigot (1%
sampai 3%).
o Hubungan dengan HLA.
Nilai risiko relative (odds ratio) dari individu dengan HLA -DR2 atau
HLA-DR3 adalah 2 sampai 5. Gen yang terlibat alel HLA- DRB1,IRF5,
STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8
o Gen-gen lain
Defisiensi genetik protein komplemen dari jalur klasik, terutama Clq, C2
atau C4, ditemukan pada sekitar 10% penderita SLE.. Defisiensi
komplemen dapat menyebabkan cacat dari daya penyingkiran kompleks
imun dan sel yang mengalami apoptosis, serta kegagalan toleransi sel B.
3. Faktor-faktor lingkungan.
o Sinar ultraviolet (UV), pajanan sinar matahari, menyebabkan munculnya
lesi SLE. Landasan mekanisme dari pengaruh ini adalah sinar UV yang
menyebabkan apoptosis sel tuan rumah, yang mengakibatkan peningkatan
beban fragmen inti sel dan reaksi inflamasi terhadap produk dari sel yang
mati.
o Mengisap sigaret telah ditunjukkan berhubungan dengan perkembangan
SLE. Walaupun mekanismenya belum diketahui,mengisap tembakau dapat
memodulasi produksi auto antibodi.
o Hormon seks diduga memberikan pengaruh penting terhadap
perkembangan penyakit, karena SLE 10 kali lebih sering pada wanita
selama masa reproduksi daripada pria pada usia yang sama, tetapi hanya 2
sampai 3 kali lebih sering pada wanita selama masa kanak-kanak atau
setelah usia 65 tahun. Walaupun demikian, penggunaan obat kontrasepsi
oral yang mengandungi estrogen dan progesteron dosis tinggi tidak
memengaruhi frekuensi atau keparahan ruam penyakit, yang
menggambarkan bahwa faktor selain hormon yang mungkin menentukan
peningkatan risiko penyakit pada wanita.
o Obat-obatan seperti prokainamid dan hidralazin dapat menyebabkan
penyakit mirip SLE, walaupun biasanya tidak menyebabkan
glomerulonefritis. Obat-obat ini menyebabkan demetilasi DNA, yang
dapat memengaruhi pemaparan berbagai gen yang terlibat pada
perkembangan autoimunitas, atau kemampuan DNA mengaktifkan sel tuan
rumah.
Sumber:
Kumar, V., Abbas, A., & Aster, J. C. (Eds.). (2017). Robbins basic pathology e-
book. Elsevier Health Sciences.

9. (dellia) apa tindakan yang harus dilakukan pada kasus di skenario?


- Edukasi dan konseling
- Program rehabilitasi
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain
- Pengobatan medikamentosa
a. OAINS
b. Anti malaria
c. Steroid
d. Imunosupresan / Sitotoksik
e. Terapi lain
Terapi Lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE
mencakup:
o Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5
hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik,
nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang
refrakter dengan terapi konvensional.
o Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan
lupus serberitis.
o Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
o Danazol pada trombositopenia refrakter.
o Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring eff
ect pada SLE ringan
o Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang
refrakter dengan obat lainnya.
o Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE
yang berat.
o Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas
stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat
ini belum tersedia di Indonesia)
o Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan
CD40 (CD40LmAb)
o Dialisis, transplantasi autologus stem-cell
Sumber:
Indonesia, P. R. (2011). Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus
sistemik. Jakarta: IRA.

Anda mungkin juga menyukai