Anda di halaman 1dari 6

ABSTRAK

Indonesia menjadi salah satu negara yang gigih dalam memberantas penyalahgunaan
dan peredaran Narkotika yang semakin marak dan sulit dikontrol di kalangan masyarakat.
Tidak lain dalam institusi TNI sekalipun banyak ditemui anggota prajurit TNI yang terlibat
dalam penyalahgunaan narkotika, sebagai contohnya kasus-kasus perkara pidana Narkotika
yang disidangkan di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. Bahkan internal dari TNI yang
mengatur Oditur Militer dalam mengeksekusi terdakwa sesuai perintah putusan sampai saat
ini belum memiliki regulasi khusus untuk melaksanakan rehabilitasi medis maupun
rehabilitasi sosial di rumah sakit yang dikhususkan untuk prajurit TNI aktif. Tujuan dibuatnya
penelitian ini untuk mengidentifikasi jalan apa yang dapat dilakukan agar perintah putusan
pengadilan untuk melakukan rehabilitasi medis dan sosial tersebut dapat terealisasikan di
lingkungan institusi TNI dan sesuai dengan peraturan Undang-Undang.

Penelitian ini menggunakan metode hukum normative dengan dasar kajian hukum
positif. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa Undang-Undang dan
putusan pengadilan, bahan hukum sekunder berupa jurnal, buku-buku, skripsi, dan lain
sebagainya. Dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue
approach) dan pendekatan kasus (case approach) digunakan dalam penelitian ini.

Rehabilitasi medis dan sosial harus terdakwa (prajurit TNI yang terdakwa) laksanakan
berdasarkan perintah dari beberapa putusan tingkat kasasi dalam amar putusannya, hal ini
merupakan Langkah bertahap atau upaya baru di lingkungan peradilan militer. Akan tetapi,
dalam pelaksanaan eksekusi masih ditemui beberapa kendala. Dengan demikian, regulasi
khusus di internal institusi TNI untuk menetapkan rehabilitasi medis dan sosial terhadap
prajurit TNI yang terlibat penyalahgunaan/pecandu narkotika perlu dibuat. Institusi TNI dan
rumah sakit pemerintah dan/atau seluruh rumah sakit milik TNI yang dilengkapi dengan unit
rehabilitasi medis dan sosial juga perlu melakukan kerja sama.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan kejahatan dalam masyarakat modern merupakan fenomena yang


selalu dibicarakan karena selalu merasuk dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak
dapat dipungkiri bahwa kejahatan selalu terjadi di tempat dimana masyarakat
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Kejahatan dalam hal ini merupakan a
universal phenomenom.1 Salah satu kejahatan fenomena global yang terjadi
diberbagai belahan dunia adalah peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Khususnya
dilingkup global seperti ASEAN, di Asia Tenggara pada tahun 1972 bahaya ancaman
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya mulai disadari keberadaannya.
Dengan demikian, muncullah kebijakan penanggulangan narkotika dan obat-obatan
berbahaya ditingkat regional Asia Tenggara yang disepakati dalam ASEAN Drugs
Experts Meeting on the Prevention and Control of Drug Abuse yang dilaksanakan di
Manila, Filiphina. Terdapat sebuah deklarasi regional yang menyepakati beberapa hal
pada saat dilakukannya pertemuan ASEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention
and Control of Drug Abuse pada tahun 1976.

Kesepakatan pertama yang ditemukan adalah, kesamaan cara pandang dan


pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan narkoba. ASEAN Senior Officials
on Drug Matters (ASOD) juga mengeluarkan sebuah Kerjasama ASEAN dalam upaya
memberantas dan menanggulangi penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan
berbahaya. Kerja sama ASOD ini dibentuk pada saat pertemuan ASEAN Ministerial
Meeting (AMM) setelah penandatanganan ASEAN Declaration of Principels to
Combat the Abuse of Narcotics Drugs. Kedua, kesamaan peraturan
perundangundangan dlam bidang nakoba. Ketiga, dibentuknya badan koordinasi di
tingkat nasional. Keempat, ASEAN melakukan kerja sama negara-negara secara
bilateral, regional, dan internasional.2

1
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana
(Semarang: Ananta, 1994), hlm 2.
2
Devi Anggraini, Kebijakan Asean dalam Menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika dan Obat-Obatan
Berbahaya di Asia Tenggara. Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3.,2016, hlm 45-46.
Dampak penyalahgunaan narkotika terhadap kondisi sosial yang diungkapkan
menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) adalah terganggunya
hubungan dengan keluarga, teman dan orang-irang disekelilingnya. Tidak jarnag
pengguna narkoba secara tidak sadar sering melakukan perbuatan yang dapat
mengganggu ketertiban umum, menghindari kontak dengan orang lain, selalu merasa
dikucilkan atau menghindari hal-hal positif, mengabaikan norma dan nilai masyarakat
yang ada, melakukan hubungan seks bebas, bahkan hingga melakukan tindak
kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual.3

Pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran narkotika masih terus


dilakukan oleh pemerintah Indonesia karena telah menerobos berbagai lapisan
masyarakat di Indonesia. Berita di media mengenai kejahatan narkotika di Indonesia
hampir setiap hari dapat ditemui, sehingga pemerintah menyikapi kejahatan tersebut
dengan mengkategorikannya sebagai kejahatan extra ordinary crime yang
membutuhkan penanganan khusus dan berkelanjutan. Penegak hukum dengan
kemampuan yang mumpuni sangat dibutuhkan dalam upaya mencegah, memerangi
peredaran dan penyalahgunaan narkotika di seluruh wilayah Indonesia. Kejahtan
narkotika dilakukan oleh perorangan atau Bersama-sama dengan sindikat yang
terorganisasi disertai modus operandi baru, sehingga hal tersebut diperlukan untuk
mencegah dan menaggunlanginya. Badan Nasional Narkotika (BNN) merupakan
Lembaga penegak hukum khusus yang saat ini dibentuk dan bertanggung jawab
penuh kepada pemerintah dalam penangan penyalahgunaan dan peredaran narkotika
di Indonesia.

Militer merupakan salah satu aspek yang ikut berupaya dalam menangani
banyaknya kasus narkotika di lingkungan TNI yang saat ini menggerus pertahanan
negara. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satau organisasi yang
berperan sebagai alat pertahakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki
kewajiban untuk melaksanakan kebijabakn pertahanan negara untuk menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan
bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang,
serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional internasional. 4
3
UNODC (1995). The Social Impact of Drug Abuse. World Summit for Social Development, Copenhagen.
www.unodc.org/pdf/technical_series_1995-03-01_1.pdf, diakses tanggal 17 Agustus 2017
4
Markas Besar TNI AD, 2005, Kultur Prajurit TNI Angkatan Darat Jakarta: CV, Lavita Graha dalam Sri Hartati dan H.
Hudali Mukti, Peranan Ankum dalam Proses Pemberhentian Prajurit TNI AD secara Administrasi (Studi di Hukum Kodam
VI/Mlw), Jurnal Yuriska, Vol.7 No.1,2015, hlm 52.
Permasalahan yang dapat menghambat pelaksanaan kewajiban kedinasan masih
sering ditemui di lingkungan institusi TNI. Oknum prajurit TNI yang melakukan
pelanggaran hukum baik tindak pidana maupun pelanggaran disiplin menjadi salah
satu penghambat pelaksanaan kewajiban para prajurit TNI.

Di lingkungan militer, terdapat ketentuan hukum yang secara tegas mengatur


prajurit TNI mengenai Tindakan apa saja yang merupakan pelanggaran, kejahatan
atau larangan yang dapat menghambat penegakan hukum negara. Hukum pidana
militer juga mengatur mengenai pemberian ancaman sanksi pidana terhadap
pelanggarannya. Tidak hanya tunduk kepada peraturan kemiliteran, prjurit TNI juga
harus tunduk kepada aturan-aturan yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia
secara umum.5 Oditurat Militer melimpahkan semua perkara tindak pidana umum dan
tindak pidana militer yang dilakukan oknum prajurit TNI ke Pengadilan Militer
setelah dinyatakan lengkap dan memenuhi persyaratan formil. Setelah itu Pengadilan
Militer melakukan persidangan dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

TNI, Polri dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) telah melakukan
operasi gabungan dan melaksanakan sweeping ke tempat-tempat hiburan malam
secara rutin untuk mengantisipasi maraknya kejahatan tersebut. Oknum prajurit TNI
aktif tidak sedikit ditemukan saat dilaksanakannya operasi tersebutdan dinyatakan
positif mengonsumsi narkotika setelah dilakukan tes awal uji narkotika. Pengadilan
militer dibeberapa wilayah Indonesia juga telah banyak menyidangkan oknum prajurit
TNI selaku terdakwa dalam perkara tindak pidana narkotika. Berdasarkan data dari
Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI jumlah narkotika tahun 2014 sebanyak 115
kasus dan tahun 2016 menjadi 215 kasus atau ada kenaikan 53,48% selama 2 tahun.

Dalam amar putusan yang ditemukan dalam beberapa putusan mengenai


narkotika pada tingkat kasasi (yurex juris) bahwa terdakwa (prajurit TNI yang
didakwa) diperintahkan untuk melaksanakan rehabilitasi medis dan sosial di rumah
sakit yang dirujuk. Beberapa putusan diantaranya adalah Putusan Kasasi pada
Mahkamah Agung RI, yaitu Nomor 3 K/MIL/2012, Nomor 25 K/MIL/2015, dan
Nomor 88 K/MIL/2015. Perwujudan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Peraturan Pemerintah dan Surat Edaran MAhkamah Agung (SEMA) yang

5
Tumbur Palti D. Hutapea, Eksistensi Bantuan Hukum terhadap Prajurit TNI sebagai Pelaku Tindak Pidana dan
Praktiknya, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.5 No.3, November 2016, hlm 373.
mengatur tentang kejahatan narkotika telah dituangkan dalam pertimbangan putusdan
kasasi diatas. Internal TNI yang mengatur Oditurat Militer selaku Lembaga untuk
mengeksekusi terdakwa sesuai perintah putusan untuk melaksanakan rehabilitasi
medis dan sosial dirumah sakit yang ditunjuk belum diatur regulasi khususnya sampai
saat ini. Tempat rehabilitasi medis dan sosial khusus bagi prajurit TNI aktif sampai
saat ini belum ada peraturan yang mengatur untuk menunjuk rumah sakit milik
pemerintah ataupun rumah sakit milik kedinasan di institusi TNI. Hal ini tentunya
membuat Oditur Militer selaku eksekutor merasa terhambat dalam melaksanakan
eksekusi sesuai perintah putusan dimaksud.

Hal terssebut menjadi hambatan dan kendala dalam penegakan hukum di


lingkungan TNI, dapat dikatakan bahwa putusan pengadilan tentang pelaksanaan
rehabilitasi atas oknum anggota TNI yang terjerat kejahatan tindak pidana narkotika
adalah non ekskutable atau tidak dpat dieksekusi atau dilaksanakan. Hal tersebut
terjadi karena adanya factor internal TNI sendiri yang cenderung intoleran terhadap
anggota yang terjerat kejahatan narkotika, yang apabila terjerat kasus kejahatan
narkotika tersebut, seketika akan di non-aktifkan dari kesatuannya. Dengan demikian
praktis putusan rehabilitasi hanya dpat dilakukan terhadap sipil, karena militer akan
kembali pada status sipilnya apabila telah di-non aktifkan.

Sehingga, permasalahan tersebut harus segera ditindak lanjuti atau direspon


secara terbuka oleh pihak-pihak terkait dengan pelaksanaan putusan rehabilitasi
dilingkungan TNI, khususnya oleh internal TNI sendiri. Bentuk atau posisi konkrit
dari respon tersebut adalah adanya landasan hukum khusus untuk melakukan
rehabilitasi di lingkungan TNI agar di kemudian hari tidak perlu mengorbankan status
tugas aktif prajurit TNI yang terlibat tindak pidana narkotika.

Di sisi lain, tampaknya sulit untuk menunjuk rumah sakit tertentu yang
terdapat bukti penyalahgunaan narkoba sebagai tempat rehabilitasi medis dan sosial
bagi prajurit TNI berdasarkan rancangan peraturan/perintah ini (ius constituendum).
Terdapat pernyataan yang kontradiktif dari Panglima TNI yang menyangkal adanya
rehabilitasi medis dan sosial di institusi TNI. Hal ini sebagai pelaksanaan putusan
pengadilan yang mewajibkan prajurit TNI aktif mengenakan Rehabilitasi Medis dan
Sosial yang disediakan di rumah sakit yang ditunjuk.
Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan penelitian untuk mencari solusi
agar putusan pengadilan yang memerintahkan rehabilitasi medis dan sosial dapat
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di lingkungan institusi
TNI. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini mengidentifikasi inisiatif yang dapat
memastikan bahwa perintah pengadilan mengenai pelaksanaan rehabilitasi medis dan
sosial dilaksanakan di lingkungan kelembagaan TNI dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan tentang rehabilitasi medis dan sosial bagi seseorang
penyalahguna narkotika baik dilingkungan sipil maupun di lingkungan TNI?
2. Apa saja kendala eksekusi atas adanya putusan pengadilan tentang rehabilitasi
medis dan sosial bagi TNI penyalahguna narkotika?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana kedepan terhadap anggota TNI berkaitan
dengan implementasi rehabilitasi medis dan sosial?

C. Tujuan Penelitian
1.

Anda mungkin juga menyukai