Anda di halaman 1dari 74

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN RESPIROTURIUS

ASUHAN KEPERAWATAN TUBERKULOSIS PARU


Dosen : Insana Maria, BSN
Tujuan Instruksional Umum:
Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pasien dengan penyakit Tuberkulosis Paru
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa memahami pengertian dari penyakit Tuberkulosis Paru
2. Mahasiswa memahami penyebab dari penyakit Tuberkulosis Paru
3. Mahasiswa memahami tanda dan gejala dari penyakit Tuberkulosis Paru
4. Mahasiswa memahami pemeriksaan penunjang dari penyakit Tuberkulosis Paru
5. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan penyakit Tuberkulosis Paru
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit Tuberkulosis
Paru
7. Mahasiswa mampu membuat perencana keperawatan pada pasien dengan penyakit Tuberkulosis Paru

1. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular, sebagian besar kuman TB menyerang paru
yang disebut dengan TB paru (Price et al, 2005; Sujadi et al, 2007). TB dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya seperti kulit, otak, tulang, usus, ginjal, saluran pencernaan, dan kelenjar limfe yang sering disebut
sebagai TB ekstra paru (Tobing Tl, 2009: Teo EY, Txe CW, 2011 ).
Pembagian tuberkulosis (Nurarif, 2013):
1. Pembagian secara patologis
a. Tuberkulosis primer (childhood tuberkulosis)
b. Tuberkulosis post-primer (adult tuberkulosis)
2. Pembagian secara aktivitas radiologis yaitu tuberkulosis paru (Koch pulmonum), non aktif dan
quiescent (bentuk aktif yang menyembuh)
3. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
a. Tuberkulosis minimal
b. Moderately advanced tuberkulosis
c. Far advanced tuberkulosis
Klasifikasi menurut American Thoracic Society (Nurarif, 2013):
1. Kategori 0: tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes tubekulin negatif
2. Katergori 1: terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi, riwayat kontak positif, tes
Tuberkulin nagatif.
3. Kategori 2: terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberkulin positif, radiologis dan sputum
nagatif.
4. Kategori 4: Terinfeksi tuberkulosis dan sakit
Klasifikasi diindonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan makrobiologis
(Nurarif, 2013):
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam:
a. Tuberkulosis tersangka yang diobati: sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif
b. Tuberkulosis tersangka yang tidak diobati: sputum BTA negatif, dan tanda-tanda lain juga
meragukan.
Klasfikasi menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori, yaitu (Nurarif, 2013) :
1. Kategori 1,ditujukan terhadap
a. Kasus baru dengan sputum positif
b. Kasus baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori 2, ditujukan terhadap
a. Kasus kambuh
b. Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori 3, ditujukan terhadap
a. Kasus BTA nagatif degan kelainan paru yang luas
b. Kasus TB ekstra paru selain ari yang disebut dalam kategori 1
4. Kategori 4, ditujukan terhadap TB kronik

2. Etiologi
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa.
Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultra violet.
Ada dua macam Mycobacterium tuberculosayaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada
dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah
(droplet) di udara yang berasaldari penderita TB terbuka dan orang rentan terinfeksi TB bila menghirup
bercak ini. Perjalanan TB setelah infeksi melalui udara (Nurarif, 2013).

3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik dan gejala
sistemik (Mandal dkk, 2004).
1. Gejala respiratorik, meliputi :
a. Batuk lebih dari 3 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak napas.
d. Nyeri dada
2. Gejala sistemik, meliputi :
a. Demam selama lebih dari 3 minggu
b. Gejala sistemik lain.
Gejala sistemik lain ialah berkeringat dimalam hari tanpa aktivitas, anoreksia, penurunan berat badan
serta malaise.

4. Patofisiologi dan Web of Caution


Individu rentan yang menghirup basil tuberkulosis dan menjadi terinfeksi. Bakteri dipindahkan
melalui jalan nafas ke alveoli, tempat di mana mereka terkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri.
Basil juga dipindahkan melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang,
korteks serebri), dan area paru-paru lainnya (lobus atas)(Smeltzer,2001).
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan
magrofag) menelan banyak bakteri; limfosit spesifik-tuberkulosis melisis (menghancurkan) basil dan
jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan
bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan (Smeltzer,2001).
Massa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih
hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh magrofag yang membentuk dinding protektif. Granulomas
diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon.
Bahan (bakteri dan magrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat
mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan
penyakit aktif (Smeltzer,2001).
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan
atau respon yang inadekuat dari respon sistem imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi
ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan seperti
keju ke dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit
lebih jauh. Tuberkel yang memecah menyembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi
menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut, pembentukan
tuberkel, dan selanjutnya (Smeltzer,2001).
Kecuali proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat mengarah ke bawah ke
hilum paru-paru dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses mungkin berkepanjangan dan
ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang
diperbaharui. Hanya sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif
(Smeltzer,2001).

5. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis, hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari
tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif.Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan
lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang (Depkes RI, 2000).
1. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB positif
2. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB maka pemeriksaan dahak SPS diulangi
Apabila fasilitas memungkinkan maka dilakukan pemeriksaan lain misalnya biakan. Bila ketiga
spemen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau
Amoksisilin) selama 1-2 minggu bila tidak ada perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan TB,
ulangi pemeriksaan dahak SPS.
1. Kalau hasil SPS positif diagnosis sebagai penderita TB BTA positif
2. Kalau hasil SPS tetap negatif lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB
3. Bila hasil rontgen mendukung TB didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif
4. Bila hasil rantgen tidak di dukung TB penderita tersebut bukan TB
5. UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen dada (Depkes
RI, 2000).
Tersangka Penderita TB
(Suspek TB)

Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA


+++ + -- - --
++ -

Periksa Rontgen Beri Antibiotik


Dada Spektrum Luas

Tidak Ada
Ada
Perbaikan
Hasil Hasil Tidak Perbaikan
Mendukung TB Mendukung
TB
Ulangi Periksa Hasil BTA
Dahak SPS - - -

Penderita TB
BTA Positif
Hasil BTA
+++ Periksa Rontgen
++ - Dada
+--

Hasil Rontgen
Neg
Hasil
Mendukung TB
Bukan TB
Penyakit Lain

TB BTA Neg
Rontgen Pos

Bagan 2. Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru pada Orang Dewasa


Menurut referensi lain, pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah (Aditama, 2005):
1. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis).
2. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB, yaitu :
a. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah.
b. Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular).
c. Adanya kavitas, tunggal atau ganda.
d. Kelainan bilateral, terutama dilapangan atas paru
e. Adanya kalsifikasi.
f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
g. Bayangan milier.
3. Pemeriksaan sputum BTA.
Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitif
karena hanya 30 – 70 % pasien TB yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
4. Tes PAP (Peroksidase anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap hasil TB.
5. Tes Mantoux/Tuberkulin
a. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm,uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosa.
b. Pembengkakan (Indurasi) : 3–9mm,uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mikobakterium atipik atau setelah
vaksinasi BCG.
c. Pembengkakan (Indurasi) : ≥ 10mm,uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosa.

6. Penatalaksanaan Medis, (Price et al, 2005)


1. Obat anti TB (OAT)
OAT harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang bersifat bakterisid dengan atau
tanpa obat ketiga.
Maka pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu :
a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan populasi kuman yang membelah
dengan cepat.
b. Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka pendek atau kegiatan
bakteriostatik pada pengobatan konvensional.
OAT yang biasa digunakan antara lain isoniazid (INH), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan
streptomisin (S) yang bersifaat baakterisid dan etambutol (E) yang bersifat bakteriosattik.
Tabel 1. Panduan OAT pada TB paru (WHO 1993)
Panduan Klasifikasi dan Fase
Fase awal
OAT Tipe penderita lanjutan
Katagori 1  BTA (+) baru 2HRZS(E) 4RH
 Sakit berat : BTA 2RHZS(E) 4R3H3
(-) luar paru

Katagori 2 Pengobatan ulang : 2RHZES/1RHZE 5RHE


 Kambuh BTA (+) 2RHZES/1RHZE 5R3H3E3
 Gagal
 TB paru BTA (-)
Katagori 3  TB luar paru 2RHZ 4RH
2RHZ/2R3H3Z3 4R3H3
Keterangan :
2HRZ = tiap hari selama 2 bulan
4RH = tiap hari selama 4 bulan
4H3R3 =3 kali seminggu selama 4 bulan
Tabel 2.Dosis obat antituberkulosis
DOSIS
Obat
Setiap hari Dua kali/minggu Tiga kali/minggu
Isoniazid 5 mg/kg 15 mg/kg 15 mg/kg
Maks. 300 mg Maks. 900 mg Maks. 900 mg

Rifampisisn 10 mg/kg 10 mg/kg 10 mg/kg


Maks. 600 mg Maks. 600 mg Maks. 600 mg

Pirazinamid 15 – 30 mg/kg 50 – 70 mg/kg 50 – 70 mg/kg


Maks. 2 gram Maks.4 g Maks.3 g

Etambutol 15 – 30 mg/kg 50 mg/kg 25 - 30 mg/kg


Maks. 2,5 g
Streptimisin 15 mg/kg 25 – 30 mg/kg 25 – 30 mg/kg
Maks. 1 g Maks. 1,5 g Maks. 1,5 g

2. Pembedahan pada TB paru


Peranan pembedahan dengan adanya OAT yang poten telah berkurang. Indikasi pembedahan
dibedakan menjadi indikasi mutlak dan indikasi relatif.
Indikasi mutlak pembedahan adalah :
1) Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi sputum tetap positif.
2) Pasien batuk darah masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
3) Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif.
Indikasi relatif pembedahan adalah :
1) Pasien dengan sputum negatif dan batuk-batuk darah berulang.
2) Kerusakan 1 paru atau lobus dengan keluhan.
3) Sisa kavitas yang menetap.

3. Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS)


Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah nama untuk suatu strategi yang
dilaksanakan dipelayanan kesehatan dasar di dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB.

7. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji


Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah :
1) Aktivitas / istirahat;
Gejala :
a. Kelelahan umum dan kelemahan
b. Dispnea saat kerja maupun istirahat
c. Kesulitan tidur pada malam hari atau demam pada malam hari, menggigil atau berkeringat.
d. Mimpi buruk
Tanda :
a. Takikardia, takipnea/dispnea pada saat kerja
b. Kelelahan otot, nyeri.
2) Sirkulasi
Gejala :Palpitasi
Tanda :
a. Takikardia, disritmia
b. Adanya S3 dan S4, bunyi gallop (gagal jantung akibat effusi)
c. Nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal.
d. Tanda homman (bunyi rendah denyut jantung akibat adanya udara dalam mediastinum)
e. TD; hipertensi / hipotensi
f. Distensi vena jugularis
3) Integritas ego
Gejala :
Gejala-gejala stres yang berhubungan dengan lamanya perjalanan penyakit, masalah keuangan,
perasaan tidak berdaya/putus asa, menurunnya produktivitas.
Tanda :
a. Menyangkal (khususnya pada tahap dini)
b. Ansietas, ketakutan, gelisah, iritabel.
c. Perhatian menurun, perubahan mental (tahap lanjut)
4) Makanan dan cairan.
Gejala :
a. Kehilngan nafsu makan
b. Penurunan berat badan
Tanda :
a. Turgor kulit buruk, kering, bersisik.
b. Kehilangan massa otot, kehilangan lemak subkutan
5) Nyeri dan kenyamanan.
Gejala :
a. Nyeri dada meningkat karena pernapasan, batuk berulang
b. Nyeri tajam/menusuk diperberat oleh napas dalam, mungkin menyebar kebahu, leher atau abdomen.
Tanda :
Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
6) Pernapasan.
Gejala :
a. Batuk (produktif atau tidak produktif)
b. Napas pendek
c. Riwayat terpajan tuberkulosis dengan individu terinfeksi
Tanda :
a. Peningkatan frekuensi pernapasan
b. Peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, leher, retraksi interkostal,
ekspirasi abdominal kuat.
c. Pengembangan dada tidak simetris
d. Perkusi pekak dan penurunan fremitus, pada pneumotoraks perkusi hiperresonan diatas area yang
terlibat.
e. Bunyi napas menurun/tidak ada secara bilateral atau unilateral.
f. Bunyi napas tubuler atau pektoral diatas lesi.
g. Crackels diatas apeks paru selama inspirasi cepat setelah batuk pendek (crakles posttussive)
h. Karakteristik sputum hijau purulen, mukoid kuning atau bercak darah.
i. Deviasi trakeal.
7) Keamanan
Gejala :
Kondisi penurunan imunitas secara umum memudahkan infeksi sekunder.
Tanda :
Demam ringan atau demam akut.
8) Interaksi sosial
Gejala :
a. Perasaan terisolasi/penolakan karena penyakit menular
b. Perubahan aktivitas sehari-hari karena perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
9) Penyuluhan / pembelajaran.
Gejala :
a. Riwayat keluarga TB
b. Ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk
c. Gagal untuk membaik/kambuhnya TB
d. Tidak berpartisipasi dalam terapi

8. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges dkk (2000) dan Carpenito (2000), yaitu:
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar kapiler, kavitas.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, obstruksi
mekanis inflamasi.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah dan intake yang tidak adekuat.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak napas, nyeri dada.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan droplet nuklei, penurunan pertahanan dan penekanan proses
inflamasi.
6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, aturan tindakan, dan pencegahan
berhubungan dengan kurang terpajan/salah interpretasi informasi, keterbatasan kognitif, tidak
adekuat/tidak lengkap informasi yang ada.
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan serta adanya kelemahan secara umum.
1. Fokus Intervensi
Menurut Doenges dkk. (2000), yaitu:
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kavitas, kerusakan membran alveolar kapiler.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pasien menunjukkan
fungsi pernapasan normal.
Kriteria hasil:
1) Pola pernapasan dalam batas normal.
2) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan GDA normal.
Rencana tindakan :
1) Kaji fungsi pernapasan, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan dan kelemahan.
Rasional: TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronkopneumonia sampai
inflamasi difusi luas, nekrosis, efusi pleura dan fibrosis luas.
2) Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran. Catat sianosis dan/atau perubahan pada warna kulit,
termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasional: akumulasi sekret jalan napas dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan.
3) Tingkatkan tirah baring/batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan.
Rasional: menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan pernapasan.
4) Dorong bernapas bibir selama ekshalasi.
Rasional: untuk mencegah kolaps/penyempitan jalan napas, sehingga membantu menyebarkan udara
melalui paru dan menurunkan napas pendek.
Kolaborasi:
5) Awasi seri GDA/nadi oksimetri.
Rasional: penurunan kandungan oksigen atau peningkatan karbondioksida menunjukkan kebutuhan untuk
program terapi.
6) Berikan oksigen.
Rasional: untuk memperbaiki hipoksemia.
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental/sekret darah, obstruksi
mekanis inflamasi.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pasien dapat
mempertahankan jalan napas.
Kriteria hasil:
1) Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
2) Menunjukkan adanya perubahan perilaku untuk memperbaiki atau mempertahankan jalan napas.
Rencana Tindakan:
1) Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot aksesoris).
Rasional: penurunan bunyi napas dapat menentukan atelektasis, ronkhi dan mengi menunjukkan
akumulasi sekret/ ketidakmampuan untuk membersihkan jalan napas yang dapat menimbulkan
penggunaan alat aksesori pernapasan dan peningkatan kerja pernapasan.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa (batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, batuk
darah).
Rasional: pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal, sputum berdarah diakibatkan oleh kerusakan (kavitas
paru atau luka bronkial).
3) Berikan posisi semi fowler tinggi, bantu pasien untuk batuk dan latihan napas dalam.
Rasional: posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan upaya penurunan, ventilasi maksimal
membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke dalam nalan napas besar untuk disalurkan.
4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakhea, penghisapan sesuai keperluan.
Rasional: mencegah obstruksi/aspirasi, penghisapan dapat diperlukan bila pasien tidak mampu
mengeluarkan.
5) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari, kecuali kontraindikasi.
Rasional: pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret, membuatnya mudah
dikeluarkan.
Kolaboratif:
6) Lembabkan udara/oksigen dengan inspirasi.
Rasional: mencegah pengeringan membran mukosa, membantu pengenceran sekret.
7) Berikan obat-obatan sesuai indikasi :
a) Agen mukolitik, asetilsistein (mukosa).
Rasional: menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret memudahkan pembersihan.
b) Bronkodilator, contoh: okstrifillin (choledyl), teofilin (theo-dur).
Rasional: meningkatkan ukuran lumen percabangan trakheobronkial, menurunkan tahanan udara.
c) Kortikosteroid (prednison).
Rasional: berguna pada adanya keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila respon inflamasi
mengancam hidup.
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah dan intake yang tidak adekuat.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Berat badan normal/meningkat.
2) Nafsu makan meningkat.
3) Perubahan perilaku/pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang tepat.
Rencana Tindakan :
1) Catat status nutrisi, turgor kulit, berat badan.
Rasional: berguna dalam mendefinisikan derajat/luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
2) Pastikan pola diet biasa pasien yang disukai dan tidak disukai.
Rasional: membantu dalam mengidentifikasikan kebutuhan/ kekuatan khusus. Pertimbangkan keinginan
individu untuk memperbaiki masukan diet.
3) Awasi masukan/ pengeluaran dan berat badan secara periodik.
Rasional: berguna untuk mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
4) Selidiki anoreksia, mual, muntah.
Rasional: dapat mempengaruhi pilihan dan mengidentifikasi area pemecahan masalah dan meningkatkan
pemasukan penggunaan nutrisi.
5) Dorong dan berikan istirahat sering.
Rasional: membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam.
6) Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
Rasional: menurunkan rasa tak enak karena sisa sputum atau obat untuk pengobatan respirasi merangsang
pusat muntah.
7) Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Rasional: memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu/kebutuhan energi dari
makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster.
Kolaboratif
8) Rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
Rasional: memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat unutk kebutuhan
metabolik diet.
1. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak napas, nyeri dada dan batuk yang terus-menerus.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan kebutuhan tidur pasien
terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Melaporakan dapat beristirahat dengan cukup.
2) Menggambarkan faktor menghambat tidur.
Rencana tindakan :
1) Berikan kesempatan untuk istirahat, tidur nyenyak dan turunkan aktifitas.
Rasional: aktivitas fisik yang lama mengakibatkan kelelahan yang dapat meningkatkan kebingungan.
2) Lengkapi jadwal tidur secara teratrur, katakan pada pasien bahwa pada saat ini adalah waktu untuk
tidur
Rasional: untuk mempertahankan kestabilan fisik.
3) Turunkan jumlah minum pada sore hari, anjurkan untuk berkemih sebelum tidur.
Rasional: menurunkan kebutuhan bangun untuk pergi ke kamar mandi/berkemihg pada malam hari
1. Resiko infeksi berhubungan dengan droplet nuklei, penurunan pertahanan dan penekanan proses
inflamasi.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapakan tidak terjadi infeksi.
Kriteria evaluasi :
1) Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah resiko penyebaran infeksi.
2) Menunjukkan perubahan pola hidup.
Rencana tindakan :
1) Kaji patologi penyakit.
Rasional: membantu pasien untuk menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah
pengaktifan berulang atau komplikasi.
2) Identifikasi orang lain yang beresiko.
Rasional: orang terpajan ini perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran/terjadinya infeksi.
3) Anjurkan pasien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan pada tisu dan menghindari meludah. Kaji
pembuangan tisu sekali pakai dan teknik mencuci tangan yang tepat.
Rasional: perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi.
4) Kaji tindakan kontrol infeksi sementara.
Rasional: dapat membantu, menurunkan rasa terisolasi pasien dan membuang stigma sosial berhubungan
dengan penyakit menular.
5) Awasi suhu sesuai tindakan.
Rasional: reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.
6) Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
Rasional: resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
7) Kaji pentingnya mengikuti kultur ulang secara periodik terhadap sputum untuk lamanya terapi.
Rasional: alat dalam pengawasan efek dan keefektifan obat dan respon pasien terhadap terapi.
Kolaboratif :
8) Berikan agen antiinfeksi sesuai indikasi.
Rasional: untuk mengurang resiko infeksi.
9) Awasi pemeriksaan sputum.
Rasional: pasien yang mengalami 3 usapan negatif perlu 3-5 bulan. Perlu mentaati program pengobatan.
10) Awasi pemeriksaan SGOT/SGPT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase/Serum Glutamic
Piruvic Transaminase).
Rasional: efek merugikan terapi obat termasuk hepatitis.
1. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, aturan tindakan, dan pencegahan
berhubungan dengan kurang terpajan/salah interpretasi informasi, keterbatasan kognitif, tidak
adekuat/tidak lengkap.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pasien mengerti tentang
kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
Kriteria hasil :
1) Menyatakan pemahaman proses penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan.
2) Melakukan perilaku/perubahan pola hidup untuk memperbaiki kesehatan umum dan menurunkan
resiko pengaktifan ulang TB.
Rencana tindakan :
1) Kaji kemampuan pasien untuk belajar.
Rasional: belajar bergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.
2) Identifikasi gejala yang harus dilaporkan ke perawat.
Rasional: dapat meningkatkan kemajuan atau pengaktifan ulang penyakit atau efek obat yang
memerlukan evaluasi lanjut.
3) Berikan instruksi dan informasi tertulis khusus pada pasien untuk rujukan contoh jadwal obat.
Rasional: informasi tertulis menurunkan hambatan pasien untuk mengingat sejumlah besar informasi,
pengulangan menguatkan belajar.
4) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan takut masalah.
Rasional: memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi peningkatan orientasi.
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan serta adanya kelemahan secara umum.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pasien dapat melakukan
peningkatan toleransi aktivitas.
Kriteria hasil :
a) Pasien dapat melakukan aktivitasnya.
b) ADL di bantu sebagian kecil.
Rencana tindakan :
1) Pantau respon fisik, contoh palpitasi, takikardi, gelisah.
Rasional: membantu menentukan derajat cemas sesuai status jantung.
2) Berikan tindakan kenyamanan.
Rasional: membantu perhatian mengarahkan kembali dan meningkatkan kemampuan koping.
3) Koordinasi waktu istirahat dan aktivitas saat senggang.
Rasional: memberikan rasa kontrol pasien untuk menangani beberapa aspek pengobatan.
4) Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi.
Rasional: memberikan arti penghilangan respon ansietas.
5) Anjurkan pasien untuk menghabiskan porsi makan.
Rasional: menambah energi dalam beraktivitas.

Daftar Pustaka

Ackley BJ, Ladwig GB. Nursing Diagnosis Handbook. An Evidance-Based Guide to Planning Care.
Ninth Edition. United States of Amerika: Elsevier, 2011.

Aditama TY. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Edisi V. IDI, 2005.

Bickley LS, Szilagy P: Guide to physical examination, ed 10, Philadelphia, Lippincont, Williams and
Wilkins, 2009.

Clark AP, Giuliano K, Chen HM: Pulse oximetry revised, Clin Nurse Spec 20 (6): 268-272, 2006.

Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis cetakan kedelapan, 2002.

Donahue M:”Spare the cough, spoil the airway”: back to the basic in airwayclearance, Pediatr Nurs 28
(2): 119, 2002.

Dongoes. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3, 2000.

Fauci A, Braunwald E, Kasper DL et al: Harinson’s principles of internal medicine, ed 17, New York :
McGraw-Hill, 2008.

Genc A, Yildirim Y, Gnerli A: RReseaching of the effectiveness of deep breathing and incentive
spirometry in postoperative early stage, Fizyoterapi Rehabill 15 (1), 2004.

Main E, Prasad A, Schans C: Conventional chest physiotherapy compared to other airway clearance
techniques for cystic fibrosis, Cochrane Database Syst Rev, (1): CD002011, 2005.

Mandal BK.,Wilkins EGL., Dunbar EM., Mayon-White RT. 2004. Lecture Notes: Penyakit Infeksi Edisi
Keenam. Jakarta: Erlangga.

Nielsen KG, Holte K, Kehlet H: Effects of posture on postoperative pulmonary function, Acta
AnaesthesiolScand 47(10):1270, 2003.

Nurarif AH, Hardhi K. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc.
Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction, 2013.

Price, Sylvia A, Lorraine MW. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC, 2005.

Soejadi TB, Desy AA, Suprapto. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kasus tuberkulosis
paru. Jurnal Ilmiah PANNMED 2007; 2(1): 13-19.

Smeltzer SC, Brenda GB. Keperawatan Medikal-Bedah edisi 8 vol.1. Jakarta: EGC, 2001.

Teo EY, Txe CW. Renal tuberkulosis. N ENGL J MED 2011; 365(12): e26.
ASUHAN KEPERAWATAN PPOK (COPD)
Dosen : Insana Maria, BSN,.M.Kep

Tujuan Instruksional Umum:


Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pasien dengan penyakit PPOK (COPD)
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa memahami pengertian dari penyakit PPOK (COPD)
2. Mahasiswa memahami penyebab dari penyakit PPOK (COPD)
3. Mahasiswa memahami tanda dan gejala dari penyakit PPOK (COPD)
4. Mahasiswa memahami pemeriksaan penunjang dari penyakit PPOK (COPD)
5. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan penyakit PPOK (COPD)
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit PPOK (COPD)
7. Mahasiswa mampu membuat perencana keperawatan pada pasien dengan penyakit PPOK (COPD)
8. Mahasiswa mampu melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit PPOK
(COPD)

A. DEFINISI
PPOK adalah sekresi mukoid bronchial yang bertambah secara menetap disertai dengan
kecenderungan terjadinya infeksi yang berulang dan penyempitan saluran nafas , batuk produktif selama
3 bulan, dalam jangka waktu 2 tahun berturut-turut (Ovedoff, 2002). Sedangkan menurut Price & Wilson
(2005), COPD adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai dengan obstruksi aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Menurut Carpenito (1999) COPD atau yang lebih dikenal dengan PPOM merupakan suatu kumpulan
penyakit paru yang menyebabkan obstruksi jalan napas, termasuk bronchitis, empisema, bronkietaksis
dan asma. PPOM paling sering diakibatkan dari iritasi oleh iritan kimia (industri dan tembakau), polusi
udara, atau infeksi saluran pernapasan kambuh.
B. KLASIFIKASI
Menurut Alsagaff & Mukty (2006), COPD dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Asma Bronkhial: dikarakteristikkan oleh konstruksi yang dapat pulih dari otot halus bronkhial,
hipersekresi mukoid, dan inflamasi, cuaca dingin, latihan, obat, kimia dan infeksi.
2. Bronkitis kronis: ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak
sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun.
Gejala ini perlu dibedakan dari tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial.
3. Emfisema: suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal
saluran udara sebelah distal bronkus terminal, disertai kerusakan dinding alveolus.
C. ETIOLOGI
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya COPD (Mansjoer, 1999) adalah :
1. Kebiasaan merokok
Menurut buku report of the WHO expert comitte on smoking control, rokok adalah penyebab utama
timbulnya COPD. Secara fisiologis rokok berhubungan langsung dengan hiperplasia kelenjar mukosa
bronkus dan metaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan
bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton & Doouglas merokok menimbulkan pula inhibisi aktivitas
sel rambut getar, makrofage alveolar dan surfaktan.
a. Riwayat Perokok :
1. Perokok Aktif
2. Perokok Pasif
3. Bekas Perokok
b. Derajat berat merokok
( Indeks Brinkman = Jumlah rata-2 batang rokok /hr X lama merokok /th):
1. Ringan : 0 - 200
2. Sedang : 200 - 600
3. Berat : > 600
2. Polusi udara
Polusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis adalah zat pereduksi seperti O2, zat-zat
pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon, aldehid dan ozon.
a. Polusi di dalam ruangan : - asap rokok
- asap kompor
b. Polusi di luar ruangan : - Gas buang kendaranan bermotor
- Debu jalanan
c. Polusi tempat kerja ( bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

3. Riwayat infeksi saluran nafas.


Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita bronchitis koronis hampir selalu
menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi
bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan
infeksi sekunder oleh bakteri.
4. Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin.

D. PATOFISIOLOGI
Walaupun COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali memberikan kelainan fisiologis
yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh
secret yang berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal, akibatnya otot-otot polos pada
bronkus dan bronkiolus berkontraksi, sehingga menyebabkan hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mucus dan
akhirnya terjadi edema dan inflamasi. Penyempitan saluran pernapasan terutama disebabkan elastisitas
paru-paru yang berkurang. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-
tanda obstruksi. Gangguan ventilasi yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas mengakibatkan
hiperventilasi (napas lambat dan dangkal) sehingga terjadai retensi CO2 (CO2 tertahan) dan
menyebabkan hiperkapnia (CO2 di dalam darah/cairan tubuh lainnya meningkat).
Pada orang noirmal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan
berkurang, sehingga saluran-saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita COPD
saluran saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya
saluran pernapasan menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi
yang tidak seimbang. Tergantung dari kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak
ada, tetapi perfusi baik, sehingga penyebaran pernapasan udara maupun aliran darah ke alveoli, antara
alveoli dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama). Timbul hipoksia dan sesak napas, lebih jauh
lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.
Perjalanan klinis penderita PPOK terbentang mulai dari pink puffers sampai blue bloaters adalah
timbulnya dispnea tanpa disertai batuk dan produksi sputum yang berarti. Biasanya dispnea mulai timbul
antara usia 30 sampai 40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit lanjut, pasien mungkin
begitu kehabisan napas sehingga tidak dapat makan lagi dan tubuhnya tampak kurus tak berotot. Pada
perjalanan penyakit lebih lanjut, pink puffers dapat berlanjut menjadi bronktis kronis sekunder. Dada
pasien berbentuk tong, diafragma terletak rendah dan bergerak tak lancar. Polisitemia dan sianosis jarang
ditemukan, sedangkan kor pulmonal (penyakit jantung akibat hipertensi pulmonal dan penyakit paru)
jarang ditemukan sebelum penyakit sampai pada tahap terakhir. Gangguan keseimbangan ventilasi dan
perfusi minimal, sehingga dengan hiperventilasi penderita pink puffers biasanya dapat mempertahankan
gas-gas darah dalam batas normal sampai penyakit ini mencapai tahap lanjut. Paru biasanya membesar
sekali sehingga kapasitas paru total dan volume residu sangat meningkat.
Pada keadaan PPOK ekstrim yang lain didapatkan pasien-pasien blue bloaters (bronchitis tanpa
bukti-bukti emfisema obstuktif yang jelas). Pasien ini biasanya menderita batuk produktif dan berulang
kali mengalami infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak
gangguan fungsi. Akan tetapi, akhrnya timbul gejala dipsnea pada waktu pasien melakukan kegiatan fisik.
Pasien-pasien ini memperlihatkan gejala berkurangnya dorongan untuk bernapas; mengalami
hipoventilasi dan menjadi hipoksia dan hiperkapnia. Rasio ventilasi/perfusi juga tampak sangat
berkurang. Hipoksia yang kronik merangsang ginjal untuk memproduksi eritrropoetin, yang akan
merangsang peningkatan pembentukan sel-sel darah merah, sehingga terjadi polisitemia sekunder. Kadar
hemoglobin dapat mencapai 20gram/ 100 ml atau lebih, dan sianosis mudah tampak karena Hb dapat
tereduksi mudah mencapai kadar 5 gram/100ml walaupun hanya sebagian kecil Hb sirkulasi yang berada
dalam bentuk Hb tereduksi. Pasien-pasien ini tidak mengalami dispnea sewaktu istirahat sehingga mereka
tampak sehat. Biasanya berat tubuh tidak banyak menurun dan bentuk tubuh normal. Kapasitas paru total
normal dan diafrgma berada pada posisi normal. Kematian biasanya terjadi akibat kor pulmonal atau
akibat kegagalan pernapasan.
Perjalanan klinis PPOK yang khas berlangsung lama, dimulai pada usia 20-30 tahun dengan
batuk “merokok”, atau “pagi” disertai pembentukan sedikit sputum mukoid. Infeksi pernapasan ringan
cenderung berlangsung lebih lama dari biasanya pada pasien-pasien ini. Meskipun mungkin terdapat
penurunan toleransi terhadap kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini tidak diketahui karena berlangsung
dalam jangka waktu lama. Akhirnya, serangan bronchitis akut makin sering timbul terutama pada musim
dingin dan kemampuan kerja pasien berkurang, sehingga waktu mencapai usia 50-60an pasien mungkin
harus berhenti bekerja. Pada pasien dengan tipe emfisema tosa yang mencolok perjalanan klinis
tampaknya tidak begitu lama yaitu tanpa riwayat batuk produktif dan dalam beberapa tahun timbul
dipsnea yang membuat pasien menjadi sangat lemah. Bila timbul hiperkapnia, hipoksemia dank or
pulmonal prognosisnya buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa tahun sesudah timbul penyakit.
Gabungan gagal napas dan gagal jantung yang dipercepat oleh pneumonia merupakan penyebab kematian
yang lazim.
E. TANDA DAN GEJALA
Berdasarkan Brunner & Suddarth (2005) adalah sebagai berikut :
1. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
2. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak.
3. Dispnea.
4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
5. Anoreksia.
6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
7. Takikardia, berkeringat.
8. Hipoksia, sesak dalam dada.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Anamnesa ( Keluhan )
a. Umumnya dijumpai pada usia tua ( > 45 th )
b. Riwayat PEROKOK / bekas PEROKOK
c. Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja ( waktu lama )
d. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
e. Ada faktor predisposisi pada masa bayi / anak ( BBLR, infeksi nafas berulang, lingkungan asap
rokok )
f. Batuk berulang dengan / tanpa dahak
g. Sesak dengan / tanpa bunyi mengi
h. Sesak nafas bila aktivitas berat
2. Pemeriksaan fisik :
a. Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter anteroposterior dada
meningkat).
b. Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
c. Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak
jantung berkurang.
d. Suara nafas berkurang.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-garis
yang pararel keluar dari hilus menuju ke apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
b. Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi dengan gambaran diafragma
yang rendah yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan
corakan kedistal.
4. Tes fungsi paru :
Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan penyebab dispnea, untuk
menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstimulasi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.

G. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Menurut Doenges (2000 :) pengkajian dasar PPOK antara lain
Aktivitas / istirahat
Gejala : Keletihan, kelelahan, malaise, Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
karena sulit bernafas, Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi tubuh
tinggi, Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda : Keletihan, Gelisah, insomnia, Kelelahan umum atau kehilangan massa otot
Sirkulasi
Gejala: Pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda : Peningkatan tekanan darah, Peningkatan frekuensi jantung atau, takikardia berat, disritmia,
Distensi vena leher,Edema tidak berhubungan dengan penyakit jantung, Bunyi jantung redup,
Integritas ego
Gejala : Peningkatan faktor resiko, Perubahan pola hidup,
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang
Makanan dan cairan
Gejala : Mual atau muntah, Anoreksia, Penurunan berat badan
Tanda : Turgor kulit buruk, Edema, Berkeringat, Penurunan massa otot,

Higiene
Gejala : Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan melakukan aktivitas
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.
Pernapasan
Gejala : Napas pendek, rasa dada tertekan, Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari,
Riwayat pneumonia berulang, Faktor keluarga dan keturunan, Penggunaan oksigen pada
malam hari atau terus menerus
Tanda : Pernafasan cepat atau lambat, ekspirasi memanjang dengan, mendengkur, Adanya
penggunaan otot bantu pernapasan, Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi, Perkusi
hipersonan, Kesulitan bicara, Warna pucat dan sianosis bibir dan dasar kuku, Terdapat jari
tabuh (clupping finger)
Keamanan
Gejala : Riwayat reaksi alergi, sensitif terhadap faktor lingkungan, Adanya atau berulangnya infeksi
Tanda : Kemerahan atau berkeringat
Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
Interaksi sosial
Gejala : Hubungan ketergantungan, Kurang sistem pendukung, Kegagalan, dukungan orang
terdekat, Penyakit lama
Tanda : Keterbatasan mobilitas fisik, Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain
Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala : Penyalahgunaan obat pernafasan, Kesulitan menghentikan rokok, Penggunaan alkohol secara
teratur

Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan produksi secret, sekresi
tertahan, tebal dan kental.
Tujuan
Ventilasi/oksigenisasi adekuat untuk kebutuhan individu.
Kriteria hasil
Mempertahankan jalan napas paten dan bunyi napas bersih/jelas.
Intervensi.
a. Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
Rasional : takipnea dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
Pernapasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang disbanding inspirasi.
b. kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk dan sandaran
tempat tidur.
Rasional : peninggian kepala tempat tidur mempermudah pernapasan dan menggunakan gravitasi.
Namun pasien dengan distress berat akan mencari posisi yang lebih mudahdah untuk bernapas.
Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal dan lain-lain membantu menurunkan kelemahan otot dan
dapat sebagai alat ekspansi dada.
c. Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas misalnya : mengi, krokels dan ronki..
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tidak
dimanifestasikan dengan adanya bunyi napas adventisius, misalnya : penyebaran, krekels basah
(bronchitis), bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), atau tidak adanya bunyi napas
(asma berat).
d. Catat adanya /derajat disepnea, misalnya : keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas, distress
pernapasan, dan penggunaan obat bantu.
Rasional : Disungsi pernapasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses kronis selain
proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, misalnya infeksi dan reaksi alergi.
e. Dorong/bantu latihan napas abdomen atau bibir.
Rasional ; Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan
menurunkan jebakan udara.
f. Observasi karakteristik batuk, misalnya : menetap, batuk pendek, basah, bantu tindakan untuk
memperbaiki keefektifan jalan napas.
Rasional : batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau
kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk paling tinggi atau kepala dibawah setelah perkusi
dada.
g. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan
Rasional : Hidrasi membantu menurunkan kekentalan secret, mempermudah pengeluaran.
Penggunaan air hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan
distensi gaster dan tekanan pada diafragma.
h. Bronkodilator, misalnya, β-agonis, efinefrin (adrenalin, vavonefrin), albuterol (proventil, ventolin),
terbutalin (brethine, brethaire), isoeetrain (brokosol, bronkometer).
Rasional : Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti local, menurunkan spasme jalan napas,
mengi dan produksi mukosa. Obat-obatan mungkin per oral, injeksi atau inhalasi. dapat
meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada diafragma.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi jalan
napas oleh sekret, spasme bronkus).
Tujuan
Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk keperluan tubuh.
Kriteria hasil
Tanpa terapi oksigen, SaO2 95 % dank lien tidan mengalami sesak napas.
Tanda-tanda vital dalam batas normal
Tidak ada tanda-tanda sianosis.
Intervensi.
a. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat pengguanaan otot aksesorius, napas bibir,
ketidakmampuan bicara/berbincang.
Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan/atau koronisnya proses penyakit.
b. Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
Rasional : Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku)atau sentral (terlihat sekitar bibir atau danun
telinga), kebu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
c. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas.
Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai dengan kebutuhan/toleransi individu.
Rasional : pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan laithan napas untuk
menurunkan kolaps jalan napas, dispnea dan kerja napas.
d. Dorong mengeluarkan sputum, pengisapan bila diindikasikan.
Rasional : kental tebal dan banyak sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan
napas kecil, dan pengisapan dibuthkan bila batuk tak efektif.
e. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan/atau bunyi tambahan.
Rasional ; bunyi napas mingkin redup karena penurrunan aliran udara atau area konsolidasi. Adanya
mengi mengindikasikan spasme bronkus/tertahannya sekret. Krekles basah menyebar menunjukan
cairan pada interstisial/dekompensasi jantung.
f. Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung.
Rasional : takikardi, disiretmia dan perubahan tekanan darah dapat menunjuak efek hipoksemia
sistemik pada fungsi jantung.
g. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
Rasional : dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia. Catatan ; emfisema koronis,
mengatur pernapasan pasien ditentikan oleh kadar CO2 dan mungkin dikkeluarkan dengan
peningkatan PaO2 berlebihan.

3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada selaput paru-paru.
Tujuan :
Rasa nyeri berkurang sampai hilang.
Kriteria hasil :
- Klien mengatakan rasa nyeri berkurang/hilang.
- Ekspresi wajah rileks.
Intervensi.
a. Tentukan karakteristik nyeri, miaalnya ; tajam, konsisten, di tusuk, selidiki perubahan
karakter/intensitasnyeri/lokasi..
Rasional : Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat pneumonia, juga dapat timbul komplikasi
seperti perikarditis dan endokarditis.
b. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : Perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri.
c. Berikan tindakan nyaman, misalnya ; pijatan punggung, perubahan posisi, musik
tenang/perbincangan, relaksasi/latihan napas.
Rasional : Tindakan non-analgetik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesic.
d. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
Rasional : Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan memberan
mukosa, potensial ketidaknyamanan umum..
e. Berikan analgesic dan antitusif sesuai indikasi.
Rasional : Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif/proksimal atau menurunkan
mukosa berlebihan, meningkatkan kenyamanan/istirahat umum.

4. Kurang pengetahuan mengenai proses dan prognosis penyakit berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan :
Klien mengerti tentang penyakit, perawatan dan program pengobatannya..
Kriteria hasil :
- Klien memahami proses penyakit dan kebutuhan pengobatan.
- Melakukan perilaku/perubahan pada hidup untuk memperbaiki kesehatan umum dan
menurunkan resiko pengaktifan ulang COPD.
- Mengidentifikasi gejala yang menerlukan evaluasi intervensi.
Intervensi.
a. Jelaskan/kuatkan penjelasan proses penyakit individu. Dorong pasien/orang terdekat untuk
menanyakan pertanyaan.
Rasional : menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana
pengobatan.
b. Instruksikan/kuatkan rasional untuk latihan napas, batuk efektif, dan latihan kondisi umum.
Rasional : Napas bibir dan napas abdominalis/diafragmatik menguatkan otot pernapasan, membantu
meinimalkan kolaps jalan napas kecil, dan memberikan indivisu arti untuk mengontrol dispnea.
Latihan kondisi umum meningkatkan toleransi aktivitas, kekuatan otot, dan rasa sehat.
c. Diskusikan obat pernapasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan/
Rasional : Pasien ii sering mendapatkan obat pernapasan banyak
sekaligus yang mempunyai efek samping hamper sama dan potensial interaksi obat. Penting bagi
pasien memahami perbedaan antara efek samping menganggu (obat dilanjutkan) dan efek samping
merugikan (obat mungkin dihentikan/diganti).
d. diskusikan factor individu yang menigkatkan kondisi, misalnya ; udara terlalu kering, angina,
lingkungan dan suhu ekstrem, serbuk, asap tembakau, seprai aerosol, polusi udara. Dorong
pasien/orang terdekat untuk mencari cara mengontrol faktor ini dan sekitar rumah.
Rasional : factor lingkungan ini dapat menimbulkan/meningkatkan iritasi bronchial menimbulkan
peningkatan produksi sekret dan menjadi hambatan jalan napas.
e. Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan menghentikan merokok pada pasien dan/atau orang
terdekat.
Rasional : Penghentian merokok dapat memperlambat/menghambat kemajuan COPD. Namun
meskipun pasien ingin menghentikan merokok, diperlukan kelompok pendukung dan pengawas
medis. Catatan : penelitian menunjukan bahwa rokok “ side-streams “ atau “second hand’ dapat
terganggu seperti halnya merokok nyata.
f. diskusikan tentang pentingnya mengikuti perawatan medik, foto dada periodik, dan culture sputum.
Rasional : Pengawasan proses penyakit untuk membuat program, tetapi untuk memenuhi perubahan
kebutuhan dan dapat membantu mencegah komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatn Medikal-Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC.

Mansjoer Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. 2006. Jakarta:
EGC.
ASUHAN KEPERAWATAN ASTHMA
Dosen : Sri Rahmawati,Skep,.Ns
Tujuan Instruksional Umum:
Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pasien dengan penyakit Asthma
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa memahami pengertian dari penyakit Asthma
2. Mahasiswa memahami penyebab dari penyakit Asthma
3. Mahasiswa memahami tanda dan gejala dari penyakit Asthma
4. Mahasiswa memahami pemeriksaan penunjang dari penyakit Asthma
5. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan penyakit Asthma
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit Asthma
7. Mahasiswa mampu membuat perencana keperawatan pada pasien dengan penyakit Asthma
8. Mahasiswa mampu melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Asthma

A. DEFINISI
Asma merupakan suatu keadaan gangguan atau kerusakan bronkus yang ditandai dengan spasme
bronkus yang reversibel (spasme dan kontriksi yang lama pada jalan nafas).
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea dan bronkus
berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu, dan dimanifestasikan dengan penyempitan
jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi.

B. KLASIFIKASI ASMA
1. Mid Intermiten
Yaitu kurang dari 2 kali seminggu dan hanya dalam waktu yang pendek; tanpa gejala, diantara
serangan-serangan pada waktu malam kurang dari 2 kali sebulan. Fungsi paru-paru FEV dan PEF
diperkirakan lebih dari 80%.
2. Mid Persistent
Yaitu serangan lebih ringan tetapi tidak setiap hari, serangan pada waktu malam timbul lebih dari 2
kali sebulan. Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan sebesar 80%.
3. Moderat Persistent
Yaitu serangan timbul setiap hari dan memerlukan penggunaan bronkodilator serangan timbul 2 kali
atau lebih dalam seminggu dan pada waktu malam timbul gejala berat setiap minggu. Fungsi paru-
paru FEV atau PEF diperkirakan 60-80%.
4. Severe Persistent
Yaitu gejala muncul terus menerus dengan aktivitas yang terbatas, peningkatan frekuensi serangan
dan peningkatan frekuensi gejala pada waktu malam.

C. PATOFISIOLOGI
Asma adalah obstruksi jalan napas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh satu atau lebh dari
yang berikut ini :
1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan napas.
2. Pembengkakan membran yang melapisi bronki
3. Pengisian bronki dengan bronkus yang kental
Selain itu, otot-otot bronkial dan kelenjar mukosa membesar; sputum yag kental banyak
dihasilkan dan alveoli mejadi hiperinflamasi, dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru.
Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa yang paling diketahui adalah
keterlibatan sistem imunologis dan saraf otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun buruk terhadap lingkungan mereka.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel dalam mast dalam paru. Pemajanan ulang
terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast
(disebut mediator) seperti histamine, bradikinin, prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang
bekerja lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan
kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membrane mukosa dan pembentukan
mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal dari
sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang
oleh faktor seperti infeksi, latihan, cuaca dingin, merokok, emosi, polutan, dan jumlah asetilkolin yang
dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokontriksi juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah
terhadap respon parasimpatis.
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejalanya adalah :
1. Pernafasan cepat dan dalam
2. Gelisah
3. Otot-otot bantu pernafasan akan bekerja dengan keras
4. Batuk, sesak nafas, wheezing dan nyeri dada
Pada serangan asma yang berat, gejala yang timbul beberapa macam,
yaitu:
1. Kontraksi otot-otot bantu pernafasan
2. Sianosis
3. Gangguan kesadaran
4. Klien tampak letih
5. Hipersensitif bronchus
6. Takikardi

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Test Fungsi paru ( spirometri)
Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi jalan napas
akut. Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas darah (respirasi asidosis) ,
mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan akan membutuhkan ventilasi mekanis, adalah
criteria lain yang menandakan kebutuhan akan perawatan di rumah sakit. Meskipun kebanyakan pasien
tidak membutuhkan ventilasi mekanis, tindakan ini digunakan bila pasien dalam keadaan gagal napas atau
pada mereka yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya bernapas atau mereka yang kondisinya
tidak berespons terhadap pengobatan awal.
2. Pemeriksaan gas darah arteri
Dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan maneuver fungsi pernapasan karena obstruksi
berat atau keletihan, atau bila pasien tidak berespon terhadap tindakan. Respirasi alkalosis (CO2 rendah)
adalah temuan yang paling umum pada pasien asmatik. Peningkatan PCO2 (ke kadar normal atau kadar
yang menandakan respirasi asidosis) seringkali merupakan tanda bahaya serangan gagal napas. Adanya
hipoksia berat, PaO2 < 60 mmHg serta nilai pH darah rendah.
3. Arus puncak ekspirasi
APE mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter dan merupakan data yang objektif
dalam menentukan derajat beratnya penyakit. Dinyatakan dalam presentase dari nilai dungaan atau nilai
tertinggi yang pernah dicapai. Apabila kedua nilai itu tidak diketahui dilihat nilai mutlak saat
pemeriksaan.
4. Pemeriksaan foto thoraks
Pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal-hal yang ikut memperburuk atau
komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat penangan seperti atelektasis, pneumonia, dan
pneumothoraks. Pada serangan asma berat gambaran radiologis thoraks memperlihatkan suatu
hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan diagfragma yang menurun. Semua gambaran ini akan hilang
seiring dengan hilangnya serangan asma tersebut.
5. Elektrokardiografi
Tanda-tanda abnormalitas sementara dan refersible setelah terjadi perbaikanklinis adalah
gelombang P meninggi ( P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa aritmea supraventrikuler, tanda-tanda
hipertrofi ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan.

F. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : Pada klien dengan Asma gejala yang dapat ditimbulkan antara lain keletihan, kelelahan,
malaise, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit berafas,
ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi tinggi, dispnoe pada saat istirahat atau
respon terhadap aktivatas/latihan.
Tanda : Tanda-tandanya antara lain keletahan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa
otot.
2. Sirkulasi
Gejala : Gejala yang ditimbulkan antara lain pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda : Tanda-tandanya antara lain peningkatan TD, peningakatan frekuensi jantung/takikardi
berat,disritmia,distensi vena leher,odema dependan,tidak berhubungan dangan penyakit
jantung, bunnyi jantung redup (berkaitan dengan peningkatan diameter AP dada), warna
kulit/membran mukosa normal/abu-abu(sianosis), kaku tubuh,sianosis perifer,pucat dapat
menunjukkan anemia.
3. Makanan/cairan
Gejala : Mual,muntah,nafsu makan buruk/anoreksia,kemampuan untuk makan menurun karena distress
pernafasan, penurunan BB menetap (emfisema), peningkatan BB menunjukan
edema(bronkitis).
Tand : turgor kulit buruk, adema dependen, berkeringat.
4. Pernafasan
Gejala : nafas pendek,dispnoe, dada terasa tertekan,sesak nafas berulang,riwayat pneumonia
berulang,terpajan polusi atau debu/asap, faktor keluarga/keturunan. Tanda :pernafasan
cepat/lambat, penggunaan otot bantu pernafasan, nafas bibir, barrel chest, gerakan diafragma
minimal, bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi, crackles atau ronchi, hiperesonan atau
pekak pada paru, sianosis bibir dan pada dasar kuku.
5. Higiene
Gejala : Penurunan kemampuan beraktivitas,
Tanda : kebersihan buruk, bau badan.
6. Keamanan
Gejala : riwayat reaksi alergi / sensitif terhadap zat/faktor lingkungan, adanya infeksi,
kemerahan/berkeringat. 7
Seksualitas
Gejala : Penurunan libido

8. Interaksi sosial
Gejala : hubungan ketergantungan , kurang sistem pendukung, penyakit lama/ketidkmampuan
membaik.
Tanda : Ketidakmampuan mempertahankan suara, keterbatasan mobilitas fisik, kelainan hubungan
dengan anggota keluarga lain (Doenges, Marilynn. 2000:152).
Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan secret
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan bernapas
3. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan regumen pengobatan (Doenges,2003)
Intervensi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sekret.
a. Tujuan: jalan nafas kembali efektif
b. Kriteria hasil: dapat mendemontrasikan batuk efektif dapat menyatakan strategi untuk menurunkan
kekentalan sekret
c. Intervensi 1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, mis; mengi, krekels, ronki. R:
beberapa derajat spasme bronkus terjadi sumbatan di jalan nafas 2) Kaji/pantau frekuensi pernafasan.
R: takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat di temukan pada penerimaan atau selama
stres 3) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman mis : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada
sandaran tempat tidur. R: peninggian kepal memudahkan untuk bernafas 4) Dorong/bantu latihan
nafas abdomen/bibir R: memberikan cara kepada pasien untk memgontrol dan mengatasi dispnea 5)
Observasi karakteristik batuk mis : menetap, batuk pendek, basah R; batuk pendek, basah biasanya
sekret ikut keluar bersama batuk 6) Lakukan tindakan suction R: untuk mengangkat ssekret dari jalan
pernafasan 7) Koaborasi dengan doter R: untuk pemberian obat
2. Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas.
a. Tujuan: pola nafas pasien menjadi efektif
b. Kriteria hasil: · Dada tidak ada gangguan pengembangan · Pernafasan menjadi normal 18-24
x/menit
c. Intervensi 1) Monitor frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan R: dispnea dan terjadi
peningkatan kerja nafas, kedalaman pernafasan bervariasai 2) Tinggikan kepala dan bantu mengubah
posisi R: dududk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan 3) Observasi pola
batuk dan karakter sekret R: menegtahui batuk keribg atau basah serta warna dari sekret itu 4)
Berikan pasien latihan nafas dalam atau batuk efektif R: dapat meningkatkan sekret di mana ada
gangguan ventilasi sitambah ketidaknyamana bernafas 5) Berikan O2 tambahan R: memaksimalkan
bernafas dan menurunkan kerja nafas 6) Bantu fisioterapi dada R: memudahkan upaya bernafas dalm
dan meningkatkan draenase sekret
3. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2,
a. Tujuan: pertukaran gas menjadi efektif
b. Kriteria Hasil: Menunjukkan perbaikan vertilasi dan oksigen jaringan adekuat dalam rentang
c. Intervensi: 1) Kaji TTV R: perubahan TD terjadi dengan beratnya hipoksemia dan asidosis 2) Kaji
tingkat kesadaran/ perubahan mental R: hipoksemia sistemik dapat ditunjukkan pertama kali oleh
gelisah dan peka rangsang 3) Observasi adanya sianosis R: Menunjukkanhipoksemia sistemik 4)
Tinggikan kepala tempat tidur sesui kebutuhan pasien R: meningkatkan ekspansi dada serta membuat
mudah bernafas 5) Awasi BGA (blood gas analysis) R: untuk mengetahui saturasi oksigen dalam
darah 6) Berikan O2 sesui indikasi R: memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran gas
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan regumen pengobatan
a. Tujuan: pasien paham kondisi, tindakan yang akan dilakukan
b. Kriteria hasil: · Penampilan releks saat di lakukan pengobatan · Berpartisipasi dalam program
pengobatan
c. Intervensi 1) Kaji TTV (Vital Signs) R: untuk mengetahui TTV(Vital Signs) pasien 2) Jelaskan
kepada pasien sebelum melakukan tindakan R: agar pasien tahu tentang tindakan yang dilakukan
perawat kepadanya 3) Berikan informasi dalam bentuk tertulis maupun verbal R: kelemahan dan
depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk menangkap informasi 4) Tekankan perlunya
melanjutkan pengobatan selama periode R: penghentian dini pengobatan dapat menyebabkan
kekambuhan pada asma 5) Tekankan pentingnya melanjutkan intervensi medi R: dapat mencegah
terjadi komplikasi (Doenges,2003)
Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk
membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 1997). Beberapa
pedoman dalam pelaksanaan implementasi keperawatan (Kozier et al,. 1995) adalah: 1) Berdasarkan
respons klien. 2)Berdasarkan ilmu pengetahuan, hasil penelitian keperawatan, standar pelayanan
professional, hukum dan kode etik keperawatan. 3) Berdasarkan penggunaan sumber-sumber yang
tersedia. 4)Sesuai dengan tanggung jawab dan tanggung gugat profesi keperawatan. 5) Mengerti dengan
jelas pesanan-pesanan yang ada dalam rencana intervensi keperawatan. 6) Harus dapat menciptakan
adaptasi dengan klien sebagai individu dalam upaya meningkatkan peran serta untuk merawat diri sendiri
(Self Care). 7) Menekankan pada aspek pencegahan dan upaya peningkatan status kesehatan. 8) Dapat
menjaga rasa aman, harga diri dan melindungi klien. 9) Memberikan pendidikan, dukungan dan bantuan.
10) Bersifat holistik.11) Kerjasama dengan profesi lain. 12) Melakukan dokumentasi

Evaluasi
Menurut Craven dan Hirnle (2000) Evaluasi didefenisikan sebagai keputusan dari efektifitas
asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon prilaku
klien yang tampil. Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi: 1) Masalah teratasi;
jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan. 2)
Masalah sebagian teratasi;jika klien menunjukkan perubahan sebahagian dari kriteria hasil yang telah
ditetapkan. 3) Masalah tidak teratasi; jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali
yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan dan atau bahkan timbul masalah/
diagnosa keperawatan baru.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikasi Bedah. Edisi 8. Volume 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC,
2002.

Campbell, Salvaggio. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jakarta: EGC, 2008.

Hodder R, Lougheed D, Rowe BH, FitzGerald JM, Kaplan AG, et al. Management of acute asthma in
adults in the emergency department: nonventilatory management CMAJ, 2010; 82(2).

Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis. Edisi VI Vol I. Jakarta: EGC, 2001.

Morris MJ, Moserifor Z. Asthma. Medscape, 2012.

Smeltzer, Suzanne, dkk. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta: EGC, 2002.

Doenges, M.E, Marry F. MandAlice, C.G..Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC, 2000.
ASUHAN KEPERAWATAN BRONKITIS
(Insana Maria, BSN,.M.Kep)

Tujuan Instruksional Umum:


Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pasien dengan penyakit Bronkitis
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa memahami pengertian dari penyakit Bronkitis
2. Mahasiswa memahami penyebab dari penyakit Bronkitis
3. Mahasiswa memahami tanda dan gejala dari penyakit Bronkitis
4. Mahasiswa memahami pemeriksaan penunjang dari penyakit Bronkitis
5. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan penyakit Bronkitis
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit Bronkitis
7. Mahasiswa mampu membuat perencana keperawatan pada pasien dengan penyakit Bronkitis
8. Mahasiswa mampu melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
Bronkitis

A. DEIFINISI
Bronchitis adalah suatu peradangan bronchioles, bronchus, dan trachea oleh berbagai sebab.
Bronchitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti rhinovirus, Respiratory Syncitial Virus
(RSV), virus influenza, virus para influenza, dan Coxsackie virus. Bronchitis adalah suatu peradangan
pada bronchus yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme baik virus, bakteri, maupun
parasit. Ada 2 jenis bronchitis yaitu bronchitis akut dan kronik (Muttaqin, 2008).
Bronchitis adalah peradangan dari satu atau lebih bronchus. Bronchitis akut adalah serangan
bronchitis dengan perjalanan penyakit yang singkat dan berat, disebabkan oleh karena terkena dingin,
penghirupan bahan-bahan iritan, atau oleh infeksi akut, dan ditandai dengan demam, nyeri dada (terutama
disaat batuk), dyspnea, dan batuk. Bronchitis kronik adalah bentuk peradangan yang lama dan
berkesinambungan akibat serangan berulang bronchitis akut atau penyakitpenyakit umum kronis, dan
ditandai dengan batuk, ekspektorasi, dan perubahan sekunder jaringan paru.

B. ETIOLOGI
Bronchitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti rhinovirus, Respiratory Syncitial
Virus (RSV), virus influenza, virus par influenza, dan Coxsackie virus. Bronchitis adalah suatu
peradangan pada bronchus yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme baik virus, bakteri,
maupun parasit. Sedangkan pada bronchitis kronik dan batuk berulang adalah sebagai berikut :
1. spesifik
Penyebab spsesifik bronchitis kronis adalah asma, infeksi kronik saluran napas bagian atas
(misalnya sinobronchitis). Infeksi, misalnya bertambahnya kontak dengan virus, infeksi mycoplasma,
chlamydia, pertusis, tuberkulosis, fungi/jamur, penyakit paru yang telah ada misalnya bronchiectasis,
sindrom aspirasi, penekanan pada saluran napas, benda asing, kelainan jantung bawaan, kelainan sillia
primer, defisiensi imunologis, kekurangan anfa-1-antitripsin, fibrosis kistik, psikis.

2. Non spesifik
Penyebab non spsesifik bronchitis kronis adalah Asap rokok, Polusi udara. (Muttaqin, 2008).

C. PATOFISIOLOGI
Asap mengiritasi jalan napas, mengakibatkan hipersekresi lender dan inflamasi. Karena iritasi
yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel globet meningkat jumlahnya,
fungsi sillia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan dan akibatnya bronchioles menjadi
menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronchioles dapat menjadi rusak dan
membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar, yang berperan penting dalam
menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien
kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronchial lebih lanjut terjadi
sebagai akibat perubahan fibrotic yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya, mungkin terjadi
perubahan paru yang irreversible, kemungkinan mengakibatkan emphysema dan bronchiectasis (Smeltzer
& Bare, 2001).

D. MANIFESTASI KLINIS
Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah tanda dini dari bronchitis kronis.
Batuk mungkin dapat diperburuk oleh cuaca yang dingin, lembab, dan iritan paru. Pasien biasanya
mempunyai riwayat merokok dan sering mengalami infeksi pernapasan (Smeltzer dkk, 2001).

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tes diagnostik yang dilakukan pada klien bronkhitis kronik adalah meliputi rontgen thoraks,
analisa sputum, tes fungsi paru dan pemeriksaan kadar gas darah arteri.
1. Pemeriksaan fungsi paru
Respirasi (Pernapasan / ventilasi) dalam praktek klinik bermakna sebagai suatu siklus inspirasi dan
ekspirasi. Frekuensi pernapasan orang dewasa normal berkisar 12 - 16 kali permenit yang
mengangkut kurang lebih 5 liter udara masuk dan keluar paru. Volume yang lebih rendah dari kisaran
normal seringkali menunjukkan malfungsi sistem paru. Volume dan kapasitas paru diukur dengan alat
berupa spirometer atau spirometri.
Udara yang keluar dan masuk saluran pernapasan saat inspirasi dan ekspirasi sebanyak 500 ml
disebut dengan volume tidal, sedang volume tidal pada tiap orang sangat bervariasi tergantung pada
saat pengukurannya. Rata-rata orang dewasa 70% (350 ml) dari volume tidal secara nyata dapat
masuk sampai ke bronkiolus, duktus alveolus, kantong alveoli dan alveoli yang aktif dalam proses
pertukaran gas.
2. Analisa gas darah
Gas darah arteri memungkinkan utnuk pengukuran pH (dan juga keseimbangan asam basa),
oksigenasi, kadar karbondioksida, kadar bikarbonat, saturasi oksigen, dan kelebihan atau kekurangan
basa. Pemeriksaan gas darah arteri dan pH sudah secara luas digunakan sebagai pegangan dalam
penatalaksanaan pasien-pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah juga
dapat menggambarkan hasil berbagai tindakan penunjang yang dilakukan, tetapi kita tidak dapat
menegakkan suatu diagnosa hanya dari penilaian analisa gas darah dan keseimbangan asam basa saja,
kita harus menghubungkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan data-data laboratorium
lainnya.
Ukuran-ukuran dalam analisa gas darah:
- PH normal 7,35-7,45
- Pa CO2 normal 35-45 mmHg
- Pa O2 normal 80-100 mmHg
- Total CO2 dalam plasma normal 24-31 mEq/l
- HCO3 normal 21-30 mEq/l
- Base Ekses normal -2,4 s.d +2,3
- Saturasi O2 lebih dari 90%.
3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto thoraks posterior-anterior dilakukan untuk menilai derajat progresivitas penyakit
yang berpengaruh menjadi penyakit paru obstruktif menahun.
4. Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya perubahan pada peningkatan eosinofil
(berdasarkan pada hasil hitung jenis darah). Sputum diperiksa secara makroskopis untuk diagnosis
banding dengan tuberculosis paru. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan
menimbulkan sputum sangat berbau, pada kasus yang sudah berat, misalnya pada saccular type
bronchitis, sputum jumlahnya banyak sekali, puruen, dan apabila ditampung beberapa lama, tampak
terpisah menjadi 3 bagian
- Lapisan teratas agak keruh
- Lapisan tengah jernih, terdiri atas saliva (ludah)
- Lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak (celluler
debris) (mutaqin, 2008).

F. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian Doengoes (2000)
1. Aktivitas/ IstirahatGejala : keletihan,kelelahan,malaise. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari karena sulit bernafas.ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.Tanda : Keletihan. Gelisah,
insomnia. kelemahan umum/kehilangan massa otot.
2. Sirkulasi Gejala : Pembengkakan pada ekstermitas bawah.Tanda : Peningkatan TD, peningkatan
frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena leher (penyakit berat). Edema dependen,
tidak berhubungan dengan penyakit jantung. Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan
peningkatan diameter AP dada. Warna kulit/membrane mukosa: normal atau abu-abu/sianosis; kuku
tabuh dan sianosis perifer. Pucat dapat menunjukan anemia.
3. Integritas EgoGejala: peningkatan faktor risiko, Perubahan pola hidup Tanda : ansietas, ketakutan,
peka ransang
4. Makanan/cairan Gejala : mual/muntah. Nafsu makan buruk/anoreksia. Ketidakmampuan untuk
makan karena distress pernapasan. Penurunan berat badan menetap, peningkatan berat badan
menunjukan edema(bronchitis) Tanda : Tugor kulit buruk. Edema dependen. Berkeringat. Penurunan
berat badan, penurunan masa otot/lemak subkutanPalpitasi abdominal dapat menyatakan
hepatomegali (bronchitis)
5. Hygiene Gejala : penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas
sehari-hari Tanda : kebersihan buruk, bau badan
6. Pernafasa Gejala : Napas pendek (timbulnya tersembunyi dengan dipsnea) Tanda :pernafasan
biasanya cepat, fase ekspirasi memanjang dengan mendengkur, penggunaan otot bantu pernafasan,
bunyi nafas rongki, mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan selama inspirasi berlanjut sampai
penurunan atau tidak adanya bunyi nafas.
7. Keamanan Gejala: riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap suatu zat, adanya atau berulangnya
infeksi.
8. Interaksi social Gejala: kurang sistem pendukung, kegagalan dukungan dari pasangan atau orang
terdekat, penyakit lama atau ketidakmampuan membaik. Tanda: ketidakmampuan untuk
mempertahankan suara karena distres pernafasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan
dengan anggota keluarga

Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi secret
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya inflamasi parenkim.
Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b/d ketidaksamaan ventilasi-perfusi. Tujuan: Menunjukkan perbaikan
ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres
pernapasan.
Intervensi:
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot aksesori, napas bibir, ketidak
mampuan bicara/berbincang.
R/ Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas.
Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai kebutuhan/toleransi individu.
R/ Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk
menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
3) Berikan bronkodilator sesuai yang diharuskan. Dapat diberikan peroral, IV, rektal, atau inhalasi.
Berikan bronkodilator oral atau IV pada waktu yang berselingan dengan tindakan nebuliser, inhaler
dosis terukur, atau IPPB untuk memperpanjang keefektifan obat. Observasi efek samping: takikardia,
disritmia, eksitasi SSP, mual dan muntah.
R/ Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa bronkial dan
spasme muskular. Karena efek samping dapat terjadi pada tindakan ini, dosis obat disesuaikan dengan
cermat untuk setiap pasien, sesuai dengan toleransi dan respons klinisnya.
4) Evaluasi efektivitas tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB. Kaji penurunan sesak
napas, penurunan mengi atau krekels, kelonggaran sekresi, penurunan ansietas. Pastikan bahwa
tindakan diberikan sebelum makan untuk menghindari mual dan untuk mengurangi keletihan yang
menyertai aktivitas makan.
R/ Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodilator nebulisasi biasanya digunakan
untuk mengendalikan bronkokonstriksi. Pemberian tindakan yang tidak tepat akan mengurangi
keefektifannya. Aerolisasi memudahkan klirens bronkial, membantu mengendalikan proses inflamasi,
dan memperbaiki fungsi ventilasi.
5) Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk yang
efektif.
R/ Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas & membersihkan jalan napas dari
sputum. Perbaikan pertukaran gas.
6) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
R/ Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d bronkokonstriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak
efektif, dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan: Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/ jelas.
Intervensi:
1) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat.
Anjurkan masukan cairan antara, sebagai pengganti makan.
R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran. Penggunaan cairan
hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster
dan tekanan pada diafragma.
2) Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk.
R/ Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa
menyebabkan sesak napas dan keletihan.
3) Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebuliser ultranik, humidifier aerosol ruangan.
R/ Kelembaban menurunkan kekentalan sekret mempermudah pengeluaran dan dapat membantu
menurunkan/mencegah pembentukan mukosa tebal pada bronkus.
4) Bantu pengobatan pernapasan, mis: IPPB, fisioterapi dada.
R/ Drainase postural dan perkusi bagian penting untuk membuang banyaknya sekresi/kental dan
memperbaiki ventilasi pada segmen dasar paru.
5) Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera:
peningkatan sputum, perubahan dalam warna sputum, peningkatan kekentalan sputum, peningkatan
napas pendek, rasa sesak di dada, keletihan, peningkatan batuk.
R/ Infeksi pernapasan minor yang tidak memberikan konsekuensi pada individu dengan paru-paru
yang normal dapat menyebabkan gangguan fatal. Pengenalan diri sangat penting.
6) Berikan antibiotik sesuai resep dokter.R/ Antibiotik untuk mencegah atau mengatasi infeksi.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia, mual/muntah, dispnea, kelemahan.
Tujuan: Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan
berat yang tepat.
Intervensi:
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat
badan dan ukuran tubuh.
R/ Pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum, dan obat.
2) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu.
R/ Rasa tak enak, bau dan penampilan adalah pencegah utama terhadap napsu makan dan dapat
membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan napas.
3) Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi
sering.
R/ Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk
meningkatkan masukan kalori total.
4) Konsultasikan dengan ahli gizi/nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah di
cerna, secara nutrisi seimbang, mis: tambahan oral/selang, nutrisi parenteral.
R/ Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi/kebutuhan individu untuk
memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/penggunaan energi.
5) Kaji pemeriksaan laboratorium, mis: albumin serum, transferin, profil asam amino, besi,
pemeriksaan keseimbangan nitrogen, glukosa, pemeriksaan fungsi hati, elektrolit. Berikan
vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi.
R/ Mengevaluasi/mengatasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
6) Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
R/ Menurunkan dispnea dan meningkatkan energi untuk makan meningkatkan masukan.
4. Defisit perawatan diri b/d keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi
ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri.
Intervensi:
1) Ajarkan klien untuk mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas (mis: berjalan,
membungkuk).
R/ Akan memungkinkan klien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan
atau dispnea selama aktivitas.
2) Berikan dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan, dan minum cairan.
Bahas tentang tindakan penghematan energi.
R/ Sejalan dengan teratasinya kondisi, klien mampu melakukan lebih banyak namun perlu didorong
untuk menghindari peningkatan ketergantungan.
3) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan.
R/ Memberikan dorongan untuk terlibat dalam perawatan dirinya, membangun harga diri dan
menyiapkan klien untuk mengatasinya di rumah.
5. Koping individu tidak efektif b/d kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan
ketidakmampuan untuk bekerja.
Tujuan: Mendapatkan mekanisme koping yang efektif dan ikut serta dalam program rehabilisasi paru.
Intervensi:
1) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada klien.
R/ Suatu perasaan harapan atau memberikan klien sesuatu yang dapat dikerjakan dan bukan sikap
yang merasa kalah tidak berdaya.
2) Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala.
R/ Aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan klien menjadi
terkondisi
3) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi klien.
R/ Relaksasi mengurangi stress dan ansietas serta membantu klien untuk mengatasi
ketidakmampuannya
4) Daftarkan klien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.
R/ Program rehabilitasi paru telah menunjukkan dapat meningkatkan perbaikan subjektif status dan
harga diri pasien juga meningkatkan toleransi latihan serta mengurangi hospitalisasi.
5) Sarankan konseling vokasional untuk menggali kesempatan alternatif pekerjaan (jika
memungkinkan).
R/ Modifikasi pekerjaan mungkin harus dibuat dan sumber-sumber yang sesuai digunakan untuk
mencapai tujuan ini.
6. Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai penyakit yang dideritanya.
Tujuan: Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi:
1) Bantu klien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Ajarkan klien
tentang penyakit dan perawatannya.
R/ Klien harus mengetahui bahwa ada rencana dan metode dimana ia memainkan peranan yang besar,
pasien harus mengetahui apa yang diperkirakan. Mengajarkan klien tentang kondisinya adalah salah
satu aspek yang paling penting dari perawatannya; tindakan ini akan menyiapkan klien untuk hidup
dalam dan mengatasi kondisi serta memperbaiki kualitas hidup.
2) Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok, berikan informasi tentang sumber-sumber
kelompok.
R/ Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghilangkan mekanisme proteksi
paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun.
Evaluasi
1. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang
normal dan bebas gejala distres pernapasan.
2. Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/ jelas
3. Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan berat
yang tepat.
4. Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri.
5. Mendapatkan mekanisme koping yang efektif dan ikut serta dalam program rehabilisasi paru.
6. Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin A. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika,
2008

Smeltzer, Suzanne, dkk. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta: EGC, 2001.

Doenges, M.E, Marry F. MandAlice, C.G..Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC, 2000.
ASUHAN KEPERAWATAN EMFISEMA
Dosen : Sri Rahmawati, Skep,.Ns
Tujuan Instruksional Umum:
Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pasien dengan penyakit Emfisema
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa memahami pengertian dari penyakit Emfisema
2. Mahasiswa memahami penyebab dari penyakit Emfisema
3. Mahasiswa memahami tanda dan gejala dari penyakit Emfisema
4. Mahasiswa memahami pemeriksaan penunjang dari penyakit Emfisema
5. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan penyakit Emfisema
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit Emfisema
7. Mahasiswa mampu membuat perencana keperawatan pada pasien dengan penyakit Emfisema
8. Mahasiswa mampu melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
Emfisema

1. Teori Emfisema
A. Definisi
Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The
American Thorack society 1962).
Klasifikasi Emfisema
Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari
emfisema yaitu:
1. CLE (emfisema sentrilobular)
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding
mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus
alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas
paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan
dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A. Price 1995).
2. PLE (emfisema panlobular)
Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari
bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai
gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil
penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis
kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim alfa
1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk
perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan cherniack, 1983).
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak.Biasanya bula
timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus
melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus..
Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat
menghalangi keluarnya udara.

B. Etiologi
1. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya adalah atopi
yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya
hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1
anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya
tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak.
Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitits kronik dan emfisema paru. Secara patologis
rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran
pernapasan.
4. Infeksi
Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanyapun lebih berat. Infeksi
pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus
influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5. Polusi
Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah
merokok resiko akan lebih tinggi.
6. Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan social ekonomi rendah, mungkin kerena
perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.

C. Manifestasi Klinis
1. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru menyebabkan dada mengembang.
2. Penurunan pertukaran gas akibat rusaknya dinding alveolus, sehingga kecepatan difusi oksigen dan
karbon dioksida berkurang yang menimbulkan hipoksia dan hiperkapnia.
3. Takipnu (peningkatan kecepatan pernapasan) akibat hipoksia dan hiperkapnia. Karena peningkatan
kecepatan pernapasan pada penyakit ini efektif, maka sebagian besar individu yang mengidap
emfisema tidak memperlihatkan perubahan yang bermakna dalam gas darah arteri sampai penyakit
tahap lanjut pada saat kecepatan pernapasan tidak dapat mengatasi hipoksia dan hiperkapnia.
Akhirnya, semua nilai gas darah memburuk dan timbul hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis. Susunan
saraf pusat dapat tertekan akibat tingginya kadar karbon dioksida (narkosis karbon dioksida).
4. Suatu perbedaan kunci antara emfisema dan bronkitis kronik adalah pada emfisema tidak terjadi
pembentukan mucus.

D. Patofisiologi
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini
disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa
1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru
dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim
proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan
menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.Sumber
elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase
bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator
terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara
elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema.
Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru
keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang
menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan
berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup.Pada pasien emfisema saluran nafas
tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding
alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada
kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga
penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul
hipoksia dan sesak nafas.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksan radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan
penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada
emfisema paru, yaitu :
a. Gambaran defisiensi arteri overinflasi Terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang
terlihat konkaf. Oligoemia penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan
kedistal.
b. corakan paru yang bertambah. Sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan
blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
2. Pemeriksaan fungsi paru.
Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3. Analisis Gas Darah
Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru.
Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS
rendah. Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.

2. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
Gejala: Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
karena sulit bernapas, ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi,
dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda: Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa otot.
2. Sirkulasi
Gejala: Pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda: Peningkatan TD, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena
leher (penyakit berat), edema dependen, bunyi jantung redup, warna kulit/membran mukosa:
normal atau abu-abu/ sianosis; kuku tabuh dan sianosis perifer, pucat dapat menunjukkan anemia.
3. Integritas ego
Gejala: Peningkatan faktor resiko, perubahan pola hidup.
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
4. Makanan/cairan
Gejala: Mual/muntah, napsu makan buruk/anoreksia, ketidakmampuan untuk makan karena
distres pernapasan, penurunan berat badan menetap.
Tanda: Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat, penurunan berat badan, penurunan
massa otot/lemak subkutan.
5. Higiene
Gejala: Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
Tanda: Kebersihan buruk, bau badan.
6. Pernapasan
Gejala: Napas pendek khususnya pada kerja, “lapar udara” kronis, batuk menetap dengan
produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut
tiap tahun sedikitnya 2 tahun, episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap
dini meskipun dapat menjadi produktif, riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi
kimia/iritan pernapasan dalam jangka panjang, faktor keluarga dan keturunan, mis: defisiensi
alfa-antitripsin, penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.
Tanda: Pernapasan: biasanya cepat, dapat lambat; fase ekspirasi memanjang dengan mendengkur,
napas bibir, penggunaan otot bantu pernapasan, dada: dapat terlihat hiperinflasi dengan
peninggian diameter AP (bentuk-barrel); gerakan diafragma minimal, bunyi napas: mungkin
redup dengan ekspirasi mengi, perkusi: hipersonan pada area paru, kesulitan bicara kalimat atau
lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus, warna: “pink puffer” karena warna kulit normal meskipun
pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernapasan cepat, tabuh pada jari-jari.
7. Keamanan
Gejala: Riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/faktor lingkungan, adanya/berulangnya
infeksi.
8. Seksualitas
Gejala: Penurunan libido.
9. Interaksi social
Gejala: Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, kegagalan dukungan dari/terhadap
pasangan/orang terdekat, penyakit lama atau ketidakmampuan membaik.
Tanda: Ketidakmampuan untuk membuat/mempertahankan suara karena distres pernapasan,
keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
10. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Penggunaan/penyalahgunaan obat pernapasan, kesulitan menghentikan merokok,
penggunaan alkohol secara teratur, kegagalan untuk membaik.
Pertimbangan: DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 5,9 hari.
Rencana pemulangan: Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri,
perawatan rumah/mempertahankan tugas rumah, perubahan pengobatan/program terapeutik.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b/d ketidaksamaan ventilasi-perfusi.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d peningkatan produksi lendir.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia.
4. Defisit perawatan diri b/d keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi
ventilasi dan oksigenasi.
5. Kecemasan b/d perubahan status kesehatan.
6. Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai penyakit yang dideritanya.

C. Intervensi
1. Gangguan pertukaran gas b/d ketidaksamaan ventilasi-perfusi.
Tujuan: Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam
rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan.
Intervensi:
a) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot aksesori, napas bibir, ketidak
mampuan bicara/berbincang.
R/ Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit.
b) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas.
Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai kebutuhan/toleransi individu.
R/ Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk
menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
c) Berikan bronkodilator sesuai yang diharuskan. Dapat diberikan peroral, IV, rektal, atau inhalasi.
Berikan bronkodilator oral atau IV pada waktu yang berselingan dengan tindakan nebuliser,
inhaler dosis terukur, atau IPPB untuk memperpanjang keefektifan obat. Observasi efek samping:
takikardia, disritmia, eksitasi SSP, mual dan muntah.
R/ Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa bronkial dan
spasme muskular. Karena efek samping dapat terjadi pada tindakan ini, dosis obat disesuaikan
dengan cermat untuk setiap pasien, sesuai dengan toleransi dan respons klinisnya.
d) Evaluasi efektivitas tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB. Kaji penurunan sesak
napas, penurunan mengi atau krekels, kelonggaran sekresi, penurunan ansietas. Pastikan bahwa
tindakan diberikan sebelum makan untuk menghindari mual dan untuk mengurangi keletihan
yang menyertai aktivitas makan.
R/ Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodilator nebulisasi biasanya digunakan
untuk mengendalikan bronkokonstriksi. Pemberian tindakan yang tidak tepat akan mengurangi
keefektifannya. Aerolisasi memudahkan klirens bronkial, membantu mengendalikan proses
inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi.
e) Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk yang
efektif.
R/ Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas & membersihkan jalan napas
dari sputum. Perbaikan pertukaran gas.
f) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
R/ Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d peningkatan produksi lendir.
Tujuan: Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/ jelas.
Intervensi:
a) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat.
Anjurkan masukan cairan antara, sebagai pengganti makan.
R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran. Penggunaan
cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan
distensi gaster dan tekanan pada diafragma.
b) Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk.
R/ Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa
menyebabkan sesak napas dan keletihan.
c) Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebuliser ultranik, humidifier aerosol ruangan.
R/ Kelembaban menurunkan kekentalan sekret mempermudah pengeluaran dan dapat membantu
menurunkan/mencegah pembentukan mukosa tebal pada bronkus.
d) Bantu pengobatan pernapasan, mis: IPPB, fisioterapi dada.
R/ Drainase postural dan perkusi bagian penting untuk membuang banyaknya sekresi/kental dan
memperbaiki ventilasi pada segmen dasar paru.
e) Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera:
peningkatan sputum, perubahan dalam warna sputum, peningkatan kekentalan sputum,
peningkatan napas pendek, rasa sesak di dada, keletihan, peningkatan batuk.
R/ Infeksi pernapasan minor yang tidak memberikan konsekuensi pada individu dengan paru-paru
yang normal dapat menyebabkan gangguan fatal. Pengenalan diri sangat penting
f) Berikan antibiotik sesuai resep dokter.
R/ Antibiotik untuk mencegah atau mengatasi infeksi.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia.
Tujuan: Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan
berat yang tepat.
Intervensi:
a) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat
badan dan ukuran tubuh.
R/ Pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum, dan obat.
b) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu.
R/ Rasa tak enak, bau dan penampilan adalah pencegah utama terhadap napsu makan dan dapat
membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan napas.
c) Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil
tapi sering.
R/ Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan
meningkatkan masukan kalori total.
d) Konsultasikan dengan ahli gizi/nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah
di cerna, secara nutrisi seimbang, mis: tambahan oral/selang, nutrisi parenteral.
R/ Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi/kebutuhan individu untuk
memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/penggunaan energi.
e) Kaji pemeriksaan laboratorium, mis: albumin serum, transferin, profil asam amino, besi,
pemeriksaan keseimbangan nitrogen, glukosa, pemeriksaan fungsi hati, elektrolit. Berikan
vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi.
R/ Mengevaluasi/mengatasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
4. Defisit perawatan diri b/d keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi
ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri.
Intervensi:
a) Ajarkan klien untuk mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas (mis: berjalan,
membungkuk).
R/ Akan memungkinkan klien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan
atau dispnea selama aktivitas.
b) Berikan dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan, dan minum cairan.
Bahas tentang tindakan penghematan energi.
R/ Sejalan dengan teratasinya kondisi, klien mampu melakukan lebih banyak namun perlu
didorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan.
c) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan.
R/ Memberikan dorongan untuk terlibat dalam perawatan dirinya, membangun harga diri dan
menyiapkan klien untuk mengatasinya di rumah.
5. Kecemasan b/d perubahan status kesehatan.
Tujuan: Mendapatkan mekanisme koping yang efektif dan ikut serta dalam program rehabilisasi paru.
Intervensi:
a) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada klien.
R/ Suatu perasaan harapan atau memberikan klien sesuatu yang dapat dikerjakan dan bukan sikap
yang merasa kalah tidak berdaya.
b) Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala.
R/ Aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan klien
menjadi terkondisi.
c) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi klien.
R/ Relaksasi mengurangi stress dan ansietas serta membantu klien untuk mengatasi
ketidakmampuannya.
d) Daftarkan klien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.
R/ Program rehabilitasi paru telah menunjukkan dapat meningkatkan perbaikan subjektif status
dan harga diri pasien juga meningkatkan toleransi latihan serta mengurangi hospitalisasi.
e) Sarankan konseling vokasional untuk menggali kesempatan alternatif pekerjaan (jika
memungkinkan).
f) R/ Modifikasi pekerjaan mungkin harus dibuat dan sumber-sumber yang sesuai digunakan untuk
mencapai tujuan ini.
6. Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai penyakit yang dideritanya.
Tujuan: Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
ntervensi:
a) Bantu klien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Ajarkan klien
tentang penyakit dan perawatannya.
R/ Klien harus mengetahui bahwa ada rencana dan metode dimana ia memainkan peranan yang
besar, pasien harus mengetahui apa yang diperkirakan. Mengajarkan klien tentang kondisinya
adalah salah satu aspek yang paling penting dari perawatannya; tindakan ini akan menyiapkan
klien untuk hidup dalam dan mengatasi kondisi serta memperbaiki kualitas hidup.
b) Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok, berikan informasi tentang sumber-sumber
kelompok.
R/ Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghilangkan mekanisme
proteksi paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun.
D. Evaluasi
1. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang
normal dan bebas gejala distres pernapasan.
2. Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/ jelas.
3. Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan berat
yang tepat.
4. Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri.
5. Mendapatkan mekanisme koping yang efektif dan ikut serta dalam program rehabilisasi paru.
6. Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Baughman,D.C & Hackley,J.C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.
Mills,John & Luce,John M.1993. Gawat Darurat Paru-Paru. Jakarta : EGC
Perhimpunan Dokter Sepesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor Kepela : Prof.Dr.H.Slamet
Suryono Spd,KE
Soemarto,R.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya : RSUD Dr.Soetom
ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMONIA
Dosen : Insana Maria,SBN,.M.Kep

Tujuan Instruksional Umum:


Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pasien dengan penyakit Pneumonia
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa memahami pengertian dari penyakit Pneumonia
2. Mahasiswa memahami penyebab dari penyakit Pneumonia
3. Mahasiswa memahami tanda dan gejala dari penyakit Pneumonia
4. Mahasiswa memahami pemeriksaan penunjang dari penyakit Pneumonia
5. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan penyakit Pneumonia
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit Pneumonia
7. Mahasiswa mampu membuat perencana keperawatan pada pasien dengan penyakit Pneumonia
8. Mahasiswa mampu melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
Pneumonia

A. Pengertian
Pneumonia adalah suatu proses peradangan di mana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisian
rongga alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas tidak dapat berlangsung pada daerah yang mengalami
konsolidasi dan darah dialirkan ke sekitar alveoli yang tidak berfungsi. Hipoksemia dapat terjadi
tergantung banyaknya jaringan paru-paru yang sakit.
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru, dengan beberapa atau seluruh alveoli terisi
cairan dan sel-sel darah, seperti yang diperlihatkan gambar 1. Jenis pneumonia yang umum adalah
pneumonia bakterial, yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan
infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlobang-lobang sehingga cairan
bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian,
alveoli yang terinfeksi secara progresif terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi menyebar melalui
perluasan bakteri atau virus dari alveolus ke alveolus. Akhirnya, daerah luas pada paru, kadang-kadang
seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi “berkonsolidasi”, yang berarti bahwa paru terisi cairan dan
sisa-sisa sel.

Gambar 1. Pneumonia

Pada pneumonia, fungsi pertukaran udara paru berubah dalam berbagai stadium penyakit yang
berbeda-beda. Pada stadium awal, proses pneumonia dapat dilokalisasikan dengan baik hanya pada satu
paru, disertai dengan penurunan ventilasi alveolus, sedangkan aliran darah yang melalui paru tetap
normal. Ini mengakibatkan dua kelainan utama paru: (1) penurunan luas permukaan total membran
pernapasan dan (2) menurunnya rasio ventilasi-perfusi. Kedua efek ini menyebabkan hipoksemia
(oksigen darah rendah) dan hiperkapnia (karbon dioksida darah tinggi).
Pneumonia merupakan bagian dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bawah yang banyak
menimbulkan kematian, hingga berperan besar dalam tingginya angka kematian. Pneumonia di negara
berkembang disebabkan terutama oleh bakteri. Pneumonia sering terjadi pada anak usia 2 bulan – 5 tahun,
pada usia di bawah 2 bulan pneumonia berat ditandai dengan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali/menit
juga disertai penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Pada usia 2 bulan sampai kurang
dari 1 tahun, frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali/menit dan pada usia 1 tahun sampai kurang dari 5
tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali/menit. Pneumonia berat ditandai dengan adanya gejala
seperti anak tidak bisa minum atau menetek, selalu memuntahkan semuanya, kejang, dan terdapat tarikan
dinding dada ke dalam dan suara nafas bunyi krekels (suara nafas tambahan pada paru) saat inspirasi.

B. Etiologi, Faktor Risiko, Manifestasi Klinis


Jenis Etiologi Faktor Resiko Manifestasi klinis
Pneumonia
Sindroma  Streptococcus  Sickle cell disease  Onset mendadak
Tipikal pneumonia jenis  Hipogammaglobulinemia dingin, menggigil,
pneumonia tanpa  Multiple myeloma dan demam (39-40
o
penyulit C)
 Streptococcus  Nyeri dada pleuritis
pneumonia dengan  Batuk produktif,
penyulit sputum hijau,
purulen, dan
mungkin
mengandung bercak
darah, serta hidung
kemerahan
 Retraksi interkostal,
penggunaan otot
aksesorius, dan bisa
timbul sianosis
Sindrom  Haemophilus  Usia tua  Onset bertahap
Atipikal influenzae  COPD dalam 3-5 hari
 Staphylococcus  Flu  Malaise, nyeri
aureus kepala, nyeri
 Mycoplasma  Anak-anak tenggorokan, dan
pneumonia  Dewasa muda batuk kering
 Virus patogen  Nyeri dada karena
batuk
Aspirasi  Aspirasi basil gram  Kondisi lemah karena  Anaerobik
negatif : Klebsiela, konsumsi alkohol campuran: mulanya
Pseudomonas,  Perawatan (misalnya infeksi onset perlahan
Enterobacter, nosokomial)  Demam rendah, dan
Escherichia  Gangguan kesadaran batuk
proteus, dan basil  Produksi
gram positif : sputum/bau busuk
Staphylococcus  Foto dada: jaringan
 Aspirasi asam interstitial yang
lambung terkena tergantung
bagian yang terkena
di paru-parunya
 Infeksi gram negatif
atau positif
 Gambaran klinik
mungkin sama
dengan pneumonia
klasik
 Distress respirasi
mendadak, dispnea
berat, sianosis,
batuk, hipoksemia,
dan diikuti tanda
infeksi sekunder
Hematogen ¤ Terjadi bila kuman ¤ Kateter IV yang terinfeksi ¤ Gejala pulmonal
patogen menyebar ¤ Endokarditis timbul minimal
ke paru-paru ¤ Drug abuse dibanding gejala
melalui aliran ¤ Abses intra abdomen septikemia
darah: ¤ Pyelonefritis ¤ Batuk nonproduktif
Staphylococcus, ¤ Empyema kandung kemih dan nyeri pleuritik
E.coli, dan anaerob sama dengan yang
enterik terjadi pada emboli
paru-paru

C. Patofisiologi
Inhalasi Mikroba dengan jalan
 Melalui udara
 Aspirasi organisme dari naso faring
 Hematogen
 Nyeri dada
Reaksi inflamasi hebat  Panas dan demam
 Anoreksia nausea vomit

Nyeri pleuritis Membran paru-paru meradang dan berlubang

Hepatitis merah Red Blood Count (RBC), White Blood Count


(WBC), dan cairan keluar masuk alveoli

Sekresi,Edema, dan  Dispanea


prochospasme  Sianosis
 Batuk

Partial oclusi
Hepatitis merah diakibatkan perembesan eritrosit dan beberapa leukosit dari kapiler paru-paru.
Perembesan tersebut membuat aliran darah
Daerah menurun,
paru menjadi alveoli
padat dipenuhi dengan leukosit dan eritrosit
(konsolidasi)
(jumlah eritrosit relatif sedikit). Leukosit lalu melakukan fagositosis Pneumococcus dan sewaktu resolusi
berlangsung makrofag masuk ke dalam alveoli dan menelan leukosit beserta Pneumococcus. Paru-paru
masuk ke dalam tahap Luashepatisasi
permukaan abu-abu dan tampak berwarna abu-abu kekuningan.
Penurunan ratio Secara perlahan sel
darah merah yang membran
mati danrespirasi
eksudat fibrin dibuang dari alveoli sehingga terjadi pemulihan sempurna.
ventilasi-perfusi
Paru-paru kembali menjadi normal tanpa kehilangan kemampuan dalam pertukaran gas.

Faktor Predisposisi :
a. Polusi udara
b. Infeksi saluran nafas bagian atas.Kapasitas difusi menurun
c. Immobilitas yang lama
d. Therapy immuno suptesif (kortikosteroid, kemoterapi)
Hipoksemia
e. Malnutrisi, dehidrasi
f. Penyakit kronis :DM, COPD, penyakit jantung
g. Aspirasi
h. Tidak imunisasi DPT (difteri dan pertusis) dan measles. (sofyani 2000)
Faktor yang memudahkan :
a. Fisiologik : morbili, varicella.
b. Imunologik : Hypoanaglobulinemia
c. Anatomik : palatoschisis
d. Umur : umur makin muda banyak.

D. Pemeriksan Diagnostik
Diagnostik pneumonia ditegakkan dengan pengumpulan riwayat kesehatan (terutama infeksi saluran
pernapasan yang baru saja dialami), pemeriksaan dada, rontgen dada, kultur darah (invasi aliran darah,
yang disebut bakteremia, sering terjadi), dan pemeriksaan sputum.
Diagnosis studi:
1. Chest X-ray: teridentifikasi adanya penyebaran (misal: lobus dan bronkhial); dapat juga
menunjukkan multipel abses/infiltrat, empiema (Staphylococcus); penyebaran atau lokasi infiltrasi
(bakterial); atau penyebaran/extensive nodul infiltrat (sering kali viral), pada pneumonia
mycoplasma chest x-ray mungkin bersih.
2. Analisis gas darah (Analysis Blood Gasses-ABGs) dan Pulse Oximetry:: abnormalitas mungkin
timbul tergantung dari luasnya kerusakan paru-paru
3. Pewarnaan Gram/Culture Sputum dan Darah: didapatkan dengan rieedle biopsy, aspirasi
transtrakheal, fiberoptic bronchoscopy, atau biopsi paru-paru terbuka untuk mengeluarkan organisme
penyebab. Lebih dari satu tipe organisme yang dapat ditemukan, seperti Diplococcus pneumoniae,
Staphylococcus aureus, A. Hemolytic streptococcus, dan Hemophilus influenzae.
4. Periksa Darah Lengkap (Complete Blood Count-CBC): leukositosis biasanya timbul meskipun nilai
pemeriksaan darah putih (white blood count-WBC) rendah pada infeksi virus.
5. Tes serologi: membantu dalam membedakan diagnosis pada organisme secara spesifik.
6. LED: meningkat
7. Pemeriksaan Fungsi Paru-paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar): tekanan
saluran udara meningkat dan kapasitas pemenuhan udara menurun, hipoksemia.
8. Elektrolit: sodium dan klorida mungkin rendah.
9. Bilirubin mungkin meningkat

E. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada klien adalah sebagai berikut:
Konsolidasi atau area yang menebal dalam paru-paru yang akan tampak pada rontgen dada
mencakup area bercak atau keseluruhan lobus (pneumonia lobaris). Pada pemeriksaan fisik,
temuan akan beragam tergantung pada keparahan pneumonia. Temuan tersebut dapat mencakup
bunyi napas bronkovesikular atau bronkial, krekles, peningkatan fremitus, egofoni positif, dan
pekak pada perkusi.
Pengobatan pneumonia termasuk pemberian antibiotik yang sesuai seperti yang ditetapkan
oleh hasil pewarnaan Gram. Penisilin G merupakan antibiotik pilihan untuk infeksi oleh S.
pneumonia. Medikasi efektif lainnya termasuk eritromisin, klindamisin, sefalosporin generasi
kedua dan ketiga, penisilin lainnya, dan trimetoprimsulfametoksazol (Bactrim).
Pneumonia mikoplasma memberikan respons terhadap eritromisin, tetrasiklin, dan derivat
tertrasiklin (doksisiklin). Pneumonia tipikal lainnya mempunyai penyebab virus, dan
kebanyakan tidak memberikan respons terhadap antimikrobial. Pneumocystis carinii
memberikan respons terhadap pentamidin dan trimetoprim-sulfametoksazol (Bactrim, TMP-
SMZ). Inhalasi lembab, hangat sangat membantu dalam menghilangkan iritasi bronkial.
2) Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada klien dengan pneumonia adalah sebagai berikut:
1. Pertahankan suhu tubuh dalam batas normal melalui pemberian kompres.
2. Latihan bentuk efektif dan fisiotheraphy paru.
3. Pemberian oksigenasi (oksigen 1-2 liter/menit).
4. Mempertahankan kebutuhan cairan (IVFD dektrose 10% : NaCl 0,9%).
5. Pemberian nutrisi, apabila ringan tidak perlu diberikan antibiotik, tetapi apabila penyakit
berat dapat dirawat inap, maka perlu pemberian antibiotik berdasarkan usia, keadaan umum,
kemungkinan penyebab, seperti pemberian Ampisilin dan Kloramfenikol.
Pasien menjalani tirah baring sampai infeksi menunjukkan tanda-tanda penyembuhan. Jika
dirawat di rumah sakit, pasien diamati dengan cermat dan secara kontinu sampai kondisi
klinis membaik.

F. Asuhan Keperawatan
a) Pengkajian
1) Riwayat Kesehatan
Kajian berfokus kepada manifestasi klinik keluhan utama, kejadian yang membuat
kondisi sekarang ini, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, dan riwayat
psikososial. Riwayat kesehatan dimulai dari biografi pasien. Aspek yang sangat erat
hubungannya dengan gangguan sistem pernapasan adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan
(terutama gambaran kondisi tempat kerja), dan tempat tinggal.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada pasien yang mengalami gangguan siklus O 2 dan
CO2 antara lain batuk, peningkatan produksi sputum, dispnea, hemoptisis, wheezing, stridor,
dan nyeri dada.
o Batuk (Cough)
Batuk merupakan gejala utama pada pasien dengan gangguan sistem pernapasan.
Tanyakan berapa lama pasien mengalami batuk (misal: satu minggu, tiga bulan).
Tanyakan juga bagaimana hal tersebut timbul dengan waktu yang spesifik (misal: pada
malam hari, ketika bangun tidur) atau hubungannya dengan aktivitas fisik. Tentukan batuk
tersebut apakah produktif atau nonproduktif dan berdahak atau kering.
o Peningkatan produksi sputum
Sputum merupakan suatu substansi yang keluar bersama dengan batuk atau bersihan
tenggorokan. Namun produksi sputum akibat batuk adalah tidak normal. Tanyakan dan
catat warna, konsistensi, bau, dan jumlah dari sputum karena hal-hal tersebut dapat
menunjukkan keadaan dari proses patologik. Jika terjadi infeksi, sputum dapat berwarna
kuning atau hijau, putih atau kelabu, dan jernih.
o Dispnea
Dispnea merupakan suatu persepsi kesulitan bernapas/napas pendek dan merupakan
perasaan subjektif pasien. Perawat mengkaji tentang kemampuan pasien saat melakukan
aktivitas.
o Hemoptisis
Hemoptisis adalah darah yang keluar dari mulut saat batuk. Perawat mengkaji
apakah darah tersebut berasal dari paru-paru, perdarahan hidung, atau perut. Darah yang
berasal dari paru-paru biasanya berwarna merah terang karena darah dalam paru-paru
distimulasi segera oleh refleks batuk.
o Chest pain
Nyeri dada (Chest pain) dapat berhubungan dengan masalah jantung dan paru-paru.
Gambaran yang lengkap dari nyeri dada dapat menolong perawat untuk membedakan
nyeri pada pleura, muskuloskeletal, kardik, dan gastrointestinal. Paru-paru tidak
mempunyai saraf yang sensitif terhadap nyeri. Oleh karena perasaan nyeri murni bersifat
subjektif, maka perawat harus menganalisis nyeri yang ditimbulkan dan berhubungan
dengan masalah.
3) Riwayat kesehatan masa lalu
Predileksi penyakit saluran pernapasan lain seperti ISPA, influenza sering terjadi dalam
rentang waktu 3-14 hari sebelum diketahui adanya penyakit Pneumonia. Penyakit paru,
jantung serta kelainan organ vital bawaan dapat memperberat klinis penderita.
4) Kajian Sistem (Head to Toe)
a. Inspeksi
Prosedur inspeksi yang dilakukan oleh perawat adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan dada dimulai dari dada posterior dan pasien harus dalam keadaan duduk.
2) Dada diobservasi dengan membandingkan satu sisi dengan yang lainnya.
3) Tindakan dilakukan dari atas sampai bawah.
4) Inspeksi dada posterior terhadap warna kulit dan kondisinya (skar, lesi, dan massa)
dan gangguan tulang belakang (kifosis, skoliosis, dan lordosis).
5) Catat jumlah, irama, kedalaman pernapasan, dan kesimetrisan pergerakan dada.
6) Observasi tipe pernapasan seperti: pernapasan hidung atau pernapasan diafragma serta
penggunaan otot bantu pernapasan.
7) Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I) dan fase ekspirasi (E).
Rasio pada fase ini normalnya adalah 1 : 2.
8) Kaji konfigurasi dada dan bandingkan diameter anteroposterior (AP) dengan diameter
lateral/transversal (T). Rasio normal berkisar antara 1 : 2 sampai 5 : 7, tergantung
dari kondisi cairan tubuh pasien.
9) Kelainan pada bentuk dada:
Barrel chest
Timbul akibat terjadinya overinflation paru-paru. Terdapat peningkatan diameter
AP : T (1 : 1), sering terjadi pada pasien emfisema.
Funnel chest (pectus excavatum)
Timbul jika terjadi depresi pada bagian bawah dari sternum. Hal ini akan menekan
jantung dan pembuluh darah besar yang mengakibatkan murmur.
Pigeon chest (pectus carinatum)
Timbul sebagai akibat dari ketidaktepatan sternum yang mengakibatkan terjadi
peningkatan diameter AP. Terjadi pada pasien dengan kifoskoliosis berat.
Kyphoscoliosis (kifoskoliosis)
Terlihat dengan adanya elevasi skapula yang akan mengganggu pergerakan paru-
paru. Kelainan ini dapat timbul pada pasien dengan osteoporosis dan kelainan
muskuloskeletal lain yang mempengaruhi thoraks.
Kifosis : meningkatnya kelengkungan normal columna vertebrae thoracalis
menyebabkan pasien tampak bongkok.
Skoliosis :melengkungnya vertebrae thoracalis ke samping, disertai rotasi
vertebral.
10) Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan pergerakan atau tidak adekuatnya
ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada paru-paru atau pleura.
11) Observasi retraksi abnormal ruang interkostal selama inspirasi, yang dapat
mengindikasikan obstruksi jalan napas.
b. Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan mengobservasi
abnormalitas, mengidentifikasi keadaan kulit, dan mengetahui vocal/tactile premitus
(vibrasi). Perlu dikaji juga kelembutan kulit terutama jika pasien mengeluh nyeri.
Perhatikan adanya getaran dinding dada yang dihasilkan ketika berbicara (vocal premitus).
c. Perkusi
Perawat melakukan perkusi untuk mengkaji resonansi pulmoner, organ yang ada
disekitarnya, dan pengembangan (ekskursi) diafragma. Jenis suara perkusi ada 2 jenis
yaitu:
1) Suara perkusi normal
 Resonan (sonor) : dihasilkan pada jaringan paru-paru, normal umumnya
bergaung dan bernada rendah.
 Dullness : dihasilkan di atas bagian jantung atau paru-paru.
 Tympany : dihasilkan di atas perut yang berisi udara umumnya
bersifat musikal.
2) Suara perkusi abnormal
 Hiperresonan : bergaung lebih rendah dibandingkan dengan resonan
dan timbul pada bagian paru-paru yang abnormal berisi udara.
 Flatness : nadanya lebih tinggi dari dullness dan dapat didengar pada
perkusi daerah paha, di mana seluruh areanya berisi jaringan.
d. Auskultasi
Auskultasi merupakan pengkajian yang sangat bermakna mencakup mendengarkan
suara napas normal dan suara tambahan (abnormal). Suara napas normal dihasilkan dari
getaran udara ketika melalui jalan napas dari laring ke alveoli dan bersifat bersih.
1) Jenis suara napas normal adalah:
 Bronkhial : sering juga disebut ‘tubular sound’ karena suara ini dihasilkan
oleh udara yang melalui tube (pipa), suaranya terdengar keras, nyaring, dengan
hembusan yang lembut. Fase ekspirasinya lebih panjang daripada inspirasi dan
tidak ada jeda diantara kedua fase tersebut. Normal terdengar keras di atas
trakhea atau daerah lekuk suprasternal.
 Bronkovesikular : merupakan gabungan dari suara napas bronkhial dan
vesikular. Suaranya terdengar nyaring dengan intensitas sedang. Inspirasi sama
panjang dengan ekspirasi. Suara ini terdengar di daerah dada di mana bronkhus
tertutup oleh dinding dada.
 Vesikular : terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi. Inspirasi lebih
panjang dari ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti tiupan.
2) Jenis suara napas tambahan adalah:
 Wheezing : terdengar selama inspirasi dan ekspirasi, dengan karakter suiara
nyaring, musikal, suara terus-menerus yang disebabkan aliran udara melalui jalan
napas yang menyempit.
 Ronchi : terdengar selama fase inspirasi dan ekspirasi, karakter suara terdengar
perlahan, nyaring, dan suara mengorok terus-menerus. Berhubungan dengan
sekresi kental dan peningkatan produksi sputum.
 Pleural friction rub : terdengar saat inspirasi dan ekspirasi. Karakter suara
kasar, berciut, dan suara seperti gesekan akibat dari inflamasi pada daerah pleura.
Sering kali pasien mengalami nyeri saat bernapas dalam.
 Crackles, dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
 Fine crackles : setiap fase lebih sering terdengar saat inspirasi.
Karakter suara meletup, terpatah-patah akibat udara melewati daerah yang
lembab di alveoli atau bronkhiolus. Suara seperti rambut yang digesekkan.
 Coarse crackles : lebih menonjol saat ekspirasi. Karakter suara lemah,
kasar, suara gesekan terpotong akibat terdapatnya cairan atau sekresi pada
jalan napas yang besar. Mungkin akan berubah ketika pasien batuk.
5) Pemeriksaan diagnostik :
o Foto toraks :
Pada foto toraks, broncho pneumonia terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau
beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau
beberapa lobus.
o Laboratorium :
 Gambaran darah tepi menunjukan leukositosis, dapat mencapai 15.000-40.000 /mm3
dengan pergeseran ke kiri. Kuman penyebab dapat dibiakan dari usapan
tenggorokan, dan mungkin juga dari darah.
 Urin biasa berwarna lebih tua, mungkin terdapat albumia uria ringan karena suhu
yang naik & sedikit torak halin.
 AGD dapat menunjukan asidosis metabolic dengan atau tanpa retensi CO 2.
6) Pengkajian psikososial
Pengkajian psikososial meliputi kajian tentang aspek kebiasaan hidup pasien yang secara
signofikan berpengaruh terhadap fungsi respirasi. Beberapa kondisi respiratori timbul akibat
stres. Penyakit pernapasan kronis dapat menyebabkan perubahan dalam peran keluarga dan
hubungan dengan orang lain, isolasi sosial, masalah keuangan, pekerjaan, atau
ketidakmampuan. Dengan mendiskusikan mekanisme pengobatan, perawat dapat mengkaji
reaksi pasien terhadap masalah stres psikososial dan mencari jalan keluarnya.

b) Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi sputum
2) Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan penurunan jaringan efektif paru
3) Hipertermi berhubungan dengan reaksi sistematis:Bakterimia/Viremia.
c) Intervensi dan Implementasi
Intervensi adalah Penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk
menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,1994:20).
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan (Effendi,1995:40).
Menurut Doengoes,1999 Intrevensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada klien
dengan pneumonia,meliputi :
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi sputum.
Intervensi Rasional
1) Monitor frekuensi/Kedalaman 1) Takipnae, pernapasan dangkal dan gerakan
pernapasan dan gerakan pernapasan dada tidak simetris sering terjadi karena
ketidak nyamanan gerakan dinding dada
2) Bantu klien latihan napas sering. dan/atau cairan paru
Tunjukkan/Bantu klien mempelajari
melakukan batuk,misal:menekan 2) Napas dalam memudahkan ekspansi
dada dan batuk efektif sementara maksimum paru-paru/jalan napas lebih
posisi duduk tinggi. kecil.

3) Penghisapan sesuai indikasi

3) Merangsang batuk atau pembersihan jalan


napas secara mekanik pada klien yang
tidak mampu melakukan karena batuk
tidak efektif atau Penurunan tingkat
kesadaran.
4) Berikan Cairan sedikitnya 2500 ml
(Kecuali Kontraindikasi). Berikan
air hangat daripada air dingin. 4) Cairan (Khususnya yang hangat
memobilisasi dan mengeluarkan sekret).
5) Kolaborasi untuk pemberian cairan
tambahan,misal:IV , Oksigen
humidifikasi dan ruangan
humidifikasi 5) Cairan diperlukan untuk mengganti
kehilangan (termasuk yang tidak
tampak)dan mobilisasi sekret

2) Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan penurunan jaringan efektif paru


Intervensi Rasional
1) Monitor frekuensi, kedalaman dan 1) Manisfestasi distres pernapasan tergantung
kemudahan bernapas pada/indikasi derajat ketelibatan paru atau
status kesehatan

2) Observasi warna kulit, membran 2) Sianosis kuku merupakan vasokintriksi atau


mukosa, dan kuku, catat adanya respon tubuh terhadap
sianosis perifer (kuku) atau sianosis demam/mengiggil.Sianosis daun telinga,
sentral (Subkumoral). membran mukosa dan kulit sekitar mulut
menunjukkan hiposekmia sistemik

Kolaborasi dengan team medis untuk 3) Tujuan terapi oksigen adalah


terapi Oksigen dengan mempertahankan PaO2 diatas 60
benar,misal :dengan nasal prong ,masker, mmHg.Oksigen diberikan dengan metoda
masker venturi yang memberikan pengiriman tepat dalam
batas toleransi

3) Hipertermi yang berhubungan dengan reaksi Sistematis: Bakterimia/Viremia.


INTERVENSI RASIONAL
1) Kaji saat timbulnya demam 1) Mengindentifikasi pola demam

2) Berikan Kompres Dingin 2) Konduksi suhu membantu


d) menurunkan suhu tubuh.
Evaluasi
3) Berikan kebutuhan cairan ekstra 3) Peningkatan suhu tubuh
mengakibatkan penguapan cairan
tubuh meningkat, sehingga perlu
diimbangi dengan cairan yang
banyak.

4) Berikan cairan intravena RL 0,5 4) Pemberian cairan sangat penting


dan pemberian antipiretik bagi klien dengan suhu tinggi.
Keperawatan
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi
keperawatan ditetapkan (Brooker,Cristine.2001).
Evaluasi yang Diharapkan pada Klien dengan pneumonia adalah :
1) Menunjukkan pola napas efektif dengan ferkuensi dan kedalaman rentang normal dan paru
jelas/bersih.
2) Menunjukkan ventilasi adekuat/oksigenasi dalam rentang normal
3) Menunjukkan Suhu dalam retang normal 36,5 °C.- 37,5 °C,

DAFTAR PUSTAKA

Asih & Effendy. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:
Penerbit EGC, 2004.

Somantri, Irman. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta:
Salemba Medika, 2008

Guyton and hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC, 2007
.
Brunner and Suddart. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner& Suddart Vol 1. Jakarta: EGC,
2002

Saroso, Sulianti. Pneumonia. www.infeksi.com/articles.php. Diunduh pada hari senin, 25 Juli 2011

Muttaqin, Arif. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba
Medika, 2008

Djojodibroto, Darmanto. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC, 2009

Doengoes, Marlyn E. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: Penerbit, EGC, 1999.
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA TORAKS
Dosen : Rusdi,SST,.M.Mkes
Tujuan Instruksional Umum:
Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pasien dengan penyakit Trauma Toraks
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa memahami pengertian dari penyakit Trauma Toraks
2. Mahasiswa memahami penyebab dari penyakit Trauma Toraks
3. Mahasiswa memahami tanda dan gejala dari penyakit Trauma Toraks
4. Mahasiswa memahami pemeriksaan penunjang dari penyakit Trauma Toraks
5. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan penyakit Trauma Toraks
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit Trauma Toraks
Mahasiswa mampu membuat perencana keperawatan pada pasien dengan penyakit Trauma Toraks
7. Mahasiswa mampu melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Trauma
Toraks

A. DEFINISI
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau organ intra toraks, baik
karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam. Memahami kinematis dari trauma akan
meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David, 2005).
Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen yang dibatasi
oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah leher dapat diraba incisura jugularis. Otot-otot yang
melapisi dinding dada yaitu: m.latissimus dorsi, m.trapezius, m.rhomboideus mayor dan minor,
m.serratus anterior, dan m.intercostalis. Tulang dinding dada terdiri dari sternum, vertebra torakalis, iga
dan skapula. Organ yang terletak di dalam rongga toraks : paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung,
pembuluh darah besar, saraf dan sistem limfatik (Kukuh, 2002)

B. ETIOLOGI
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam. Penyebab
trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma
akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang,
berputar dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap
karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma
tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi
rendah, berenergi sedang dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma
toraks oleh karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per
detik. Penyebab trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru bisa
menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada scuba) (David.A, 2005; Sjamsoehidajat, 2003).

C. GANGGUAN ANATOMI DAN FISIOLOGI AKIBAT TRAUMA TORAKS


Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen biomekanika yang dapat menerangkan
terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres. Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang
terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika jaringan kulit terpisah dan stres merupakan tempat benturan
pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak bergerak. Kerusakan
anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab
terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel.
Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi,
pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan
pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung (ATLS, 2004; Kukuh, 2002).
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat menganggu fungsi
fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan
kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan
dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah
satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah (ATLS,
2004; Kukuh, 2002; David.A, 2005)

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
2. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
3. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
4. Dyspnea, takipnea
5. Takikardi
6. Tekanan darah menurun.
7. Gelisah dan agitasi
8. Kemungkinan cyanosis.
9. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
10. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Radiologi : foto thorax (AP).
2. Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
3. torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
4. Hemoglobin : mungkin menurun.
5. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
6. Pa O2 normal / menurun.
7. Saturasi O2 menurun (biasanya).
8. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan.

F. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Aktivitas / istirahat
Gejala : dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat
Sirkulasi
Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical berpindah,tanda Homman ; TD :
hipotensi/hipertensi ; DVJ
Integritas ego
Tanda : ketakutan atau gelisah
Makanan dan cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajamdan nyeri, menusuk-nusuk
yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinanmenyebar ke leher, bahu
dan abdomen.Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,
mengkerutkanwajah
Pernapasan
Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit parukronis,
inflamasi,/infeksi paaru, penyakit interstitial menyebar, keganasan ;pneumothoraks spontan
sebelumnya, PPOM.
Tanda : Takipnea peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun atau tak ada ;fremitus menurun ;
perkusi dada hipersonan ; gerakkkan dada tidak sama ;kulit pucat, sian osis, berkeringat,
krepitasi subkutan ; mental ansietas,bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi
mekanik tekanan positif
keamanan
Geajala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk kkeganasan
Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedahintratorakal/biopsy paru

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena
trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
- Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
- Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
- Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :
a. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang
sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Rasional : Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang
tidak sakit.
b. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress
fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
c. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
Rasional : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
d. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
Rasional : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana teraupetik.
e. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih
lambat dan dalam.
Rasional : Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai
ketakutan/ansietas.
f. Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
Rasional : Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan
ekspansi paru optimum/drainase cairan.
g. Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
rasional : Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke
area pleural.
h. Observasi gelembung udara botol penempung.
Rasional : gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja
yang diharapkan. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural
menurun. Tidak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang
buntu.
i. Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau
menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
rasional b: osisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan
negative yang diinginkan.

2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk
sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
 Menunjukkan batuk yang efektif.
 Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
 Klien nyaman.
Intervensi :
a. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal.
pernapasan.
Rasional : Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana teraupetik.
b. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
Rasional : Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
 tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
 luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
Rasional : mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan
yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
Rasional : mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
Rasional : suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan
plester kertas.
Rasional : tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya
infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
Rasional : agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal
lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
Rasional : balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka,
agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko
terjadi infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Commite On Trauma (2004). ATLS 7th edition ; 4 ; 111-142
David A Fullerton, Frederick L.Grover (2005) , Pathophysiology and initial management of Thorac
Injury In Thoracic Surgery, 1523-1534

ASUHAN KEPERAWATAN KANKER PARU


Dosen : Rusdi, SST,.M.Mkes
Tujuan Instruksional Umum:
Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pasien dengan penyakit Kanker Paru
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa memahami pengertian dari penyakit Kanker Paru
2. Mahasiswa memahami penyebab dari penyakit Kanker Paru
3. Mahasiswa memahami tanda dan gejala dari penyakit Kanker Paru
4. Mahasiswa memahami pemeriksaan penunjang dari penyakit Kanker Paru
5. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan penyakit Kanker Paru
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit Kanker Paru
7. Mahasiswa mampu membuat perencana keperawatan pada pasien dengan penyakit Kanker Paru
8. Mahasiswa mampu melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Kanker
Paru

a. Pengertian
Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang
cepat dan terarah. Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan ketrampilan dan sarana yang tidak
sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerja sama
yang erat dan terpadu antara ahli paru dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli
radiologi terapi dan ahli bedah toraks, ahli rehabilitasi medik dan ahli-ahli lainnya
Penyakit kanker paru-paru adalah sebuah bentuk perkembangan sell yang sangat cepat (abnormal)
didalam jaringan paru yang disebabkan oleh perubahan bentuk jaringan sell atau ekspansi dari sell itu
sendiri. Jika dibiarkan pertumbuhan yang abnormal ini dapat menyebar ke organ lain, baik yang dekat
dengan paru maupun yang jauh misalnya tulang, hati, atau otak.

b. Etiologi
1. Merokok
Merokok diestimasikan 90% menyebabkan kanker paru-paru pada pria, dan sekitar 70% pada wanita.
Di negara-negara industri, sekitar 56% - 80% merokok menyebabkan penyakit pernafasan kronis dan
sekitar 22% penyakit kardiovaskular. Indonesia menduduki peringkat ke-4 jumlah perokok terbanyak
di dunia dengan jumlah sekitar 141 juta orang. Diperkirakan, konsumsi rokok Indonesia setiap tahun
mencapai 199 miliar batang rokok. Akibatnya adalah kematian sebanyak 5 juta orang pertahunnya.
Kasus kanker paru baik di Amerika ataupun negara-negara industri lainnya sekitar 90% berhubungan
dengan merokok. Data RSUP Persahabatan Jakarta menunjukkan bahwa 24,5% perempuan dan
83,6% pria pasien kanker paru adalah perokok.
a. Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia, banyak yang telah diidentifikasi sebagai
penyebab kanker.
b. Orang yang merokok lebih dari satu pak rokok per hari memiliki 20-25 kali lebih besar risiko
terkena kanker paru-paru daripada orang yang tidak pernah merokok.
c. Setelah seseorang berhenti merokok, risiko nya untuk kanker paru-paru berkurang secara
bertahap. Sekitar 15 tahun setelah berhenti, risiko untuk kanker paru-paru menurun dengan
tingkat seseorang yang tidak pernah merokok.
d. Cigar dan merokok pipa meningkatkan risiko kanker paru-paru, tetapi tidak sebanyak merokok.
Sekitar 90% kanker paru-paru timbul akibat penggunaan tembakau. Risiko kanker paru-paru
berkembang adalah berkaitan dengan faktor-faktor berikut: Jumlah rokok yang diisap, Usia di
mana seseorang mulai merokok, Berapa lama seseorang merokok (atau pernah merokok
sebelum keluar).
Penyebab lain kanker paru termasuk sebagai berikut:
1) Merokok pasif, atau asap bekas, menyajikan lain risiko untuk kanker paru-paru. Sebuah
kematian diperkirakan 3.000 kanker paru-paru terjadi setiap tahun di Amerika Serikat yang
dapat diatribusikan pada perokok pasif.
2) Sebagian besar karsinogen dalam asap tembakau (rokok) ditemukan pada fase tar seperti PAH
dan fenol aromatik Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang
merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru – paru. Kadar
tar dalam tembakau antara 0.5-35 mg/ batang. Tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat
menimbulkan kanker pada jalan nafas dan paru-paru.
2. Polusi udara
Polusi dari kendaraan bermotor, pabrik, dan sumber lain mungkin meningkatkan risiko kanker paru-
paru. Gas yang paling berbahaya bagi paru-paru adalah SO2 dan NO2. Kalau unsur ini diisap, maka
berbagai keluhan di paru-paru akan timbul dengan nama CNSRD (chronic non spesific respiratory
disease) seperti asma dan bronkhitis. Kenaikan konsentrasi gas SO2 dan NO2 dikaitkan dengan
adanya gangguan fungsi paru.
a. Pengaruh pencemaran akibat oksida sulfur adalah meningkatnya tingkat morbiditas, insidensi
penyakit pernapasan, seperti bronchitis, emphysema dan penurunan kesehatan umum.
Konsentrasi SO2 0,04 ppm dengan partikulat 169 µg/m3 menimbulkan peningkatan yang tinggi
dalam kematian akibat bronchitis dan kanker paru-paru.
b. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya sistem pernapasan dan dapat menjadi
emfisema, bila kondisinya kronis dapat berpotensi menjadi bronkhitis serta akan terjadi
penimbunan NO2 dan dapat merupakan sumber karsinogenik.
3. Akibat Kerja
a. Pemaparan asbes meningkatkan resiko kanker paru-paru sembilan kali. Kombinasi dari paparan
asbes dan merokok meningkatkan resiko untuk sebanyak 50 kali. Kanker lain dikenal sebagai
mesothelioma (suatu jenis kanker pada lapisan rongga dada yang disebut pleura atau lapisan
rongga perut disebut peritoneum) juga sangat terkait dengan paparan asbes.
b. Pekerjaan tertentu dimana paparan arsenik,, kromium nikel, hidrokarbon aromatik, dan eter
terjadi dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru.
c. Penyakit Paru Kerja Akibat Pajanan Cat Semprot. Cat semprot mengubah substansi menjadi
aerosol, yaitu kumpulan partikel halus berupa cair atau padat, sehingga karena ukurannya yang
kecil akan mudah terhisap, selanjutnya merupakan pajanan potensial khususnya terhadap
kesehatan paru. Pigmen dalam cat berguna untuk mewarnai dan meningkatkan ketahanan cat.
Banyak jenis pigmen merupakan bahan berbahaya yaitu Chromium dan Cadmium Memberikan
warna hijau, kuning, dan oranye dapat menyebabkan kanker paru dan iritasi kulit, hidung, dan
saluran nafas atas.
4. Penyakit Paru,
Penyakit paru seperti tuberkulosis (TBC) dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), juga membuat
risiko untuk kanker paru-paru. Seseorang dengan PPOK memiliki risiko empat sampai enam kali lebih
besar terkena kanker paru-paru bahkan ketika pengaruh merokok dikecualikan.

5. Radiasi
a. Radon pose eksposure risiko lain merupakan produk sampingan dari radium alami, yang
merupakan produk uranium.
b. Radon hadir di udara indoor dan outdoor.
c. Risiko kanker paru meningkat dengan paparan jangka panjang yang signifikan untuk radon,
meskipun tidak ada yang tahu risiko yang tepat. Sebuah% 12 diperkirakan kematian akibat kanker
paru-paru timbul gas radon, atau sekitar 21.000 kematian paru-paru terkait kanker setiap tahun di
US Radon gas adalah penyebab utama kedua kanker paru-paru di Amerika Serikat setelah
merokok. Seperti dengan paparan asbes, merokok.
6. Genetik.
Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru, yakni
a. Proton oncogen
b. Tumor suppressor gene
c. Gene encoding enzyme.
7. Diet
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, selenium dan vitamin A menyebabkan
tingginya resiko terkena kanker paru.

c. Patofisiologi
Awalnya menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi
sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan
metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan
displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta
dan korpus vertebra. Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi
ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Gejala-
gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin. Wheezing unilateral
dapat terdengan pada auskultasi. Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan
adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur – struktur terdekat
seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka.
Jenis histologis
Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi histologis menurut WHO
tahun 1999, tetapi untuk kebutuhan klinis cukup jika hanya dapat diketahui :
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)
3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4. Karsinoma sel besar (large Cell carcinoma)
Ada pengklasifikasian dari penyakit kanker paru-paru, Ini dilihat dari tingkat penyebarannya baik
dijaringan paru itu sendiri maupun terhadap organ tubuh lainnya. Namun pada dasarnya penyakit kanker
paru-paru terbagi dalam dua kriteria berdasarkan level penyebarannya
1. Kanker paru-paru primer
 Small Cell Lung Cancer (SCLC)
SCLC adalah jenis sell yang kecil-kecil (banyak) dimana memiliki daya pertumbuhan yang
sangat cepat hingga membesar. Biasanya disebut "oat cell carcinomas" (karsinoma sel gandum).
Type ini sangat erat kaitannya dengan perokok, Penanganan cukup berespon baik melalui
tindakan chemotherapy and radiation therapy.
Kejadian kanker paru jenis SCLC ini hanya sekitar 20 % dari total kejadian kanker paru. Namun
jenis ini berkembang sangat cepat dan agresif. Apabila tidak segera mendapat perlakuan maka
hanya dapat bertahan 2 sampai 4 bulan.
 Non Small Cell Lung Cancer
Sedangkan NSCLC adalah merupakan pertumbuhan sell tunggal, tetapi seringkali menyerang
lebih dari satu daerah di paru-paru. Misalnya Adenoma, Hamartoma kondromatous dan Sarkoma.
80 % dari total kejadian kanker paru adalah jenis NSCLC. Secara garis besar dibagi menjadi 3
yaitu:
a. Adenocarsinoma, jenis ini adalah yang paling banyak ditemukan (40%).
b. Karsinoma Sel Sekuamosa, banyaknya kasus sekitar 20 – 30 %.
c. Karsinoma Sel Besar, banyaknya kasus sekitar 10 – 15 %.
b. Sebagian besar pasien yang didiagnosa dengan NSCLC (70 – 80 %) sudah dalam stadium
lanjut III – IV.
2. Kanker paru-paru sekunder
Merupakan penyakit kanker paru yang timbul sebagai dampak penyebaran kanker dari
bagian organ tubuh lainnya, yang paling sering adalah kanker payudara dan kanker usus (perut).
Kanker menyebar melalui darah, sistem limpa atau karena kedekatan organ.
Berbagai keterbatasan sering menyebabkan dokter specialis Patologi Anatomi mengalami
kesulitan menetapkan jenis sitologi/histologis yang tepat. Karena itu, untuk kepentingan
pemilihan jenis terapi, minimal harus ditetapkan, apakah termasuk kanker paru karsinoma sel
kecil (KPKSK atau small cell lung cancer, SCLC) atau kanker paru jenis karsinoma bukan sel
kecil (KPKBSK, nonsmall cell lung cancer, NSCLC)

d. Manifestasi Klinik Penyakit Kanker Paru

Gejala kanker paru-paru tergantung kepada jenis, lokasi dan cara penyebarannya:
 Biasanya gejala utama adalah batuk yang menetap. Penderita bronkitis kronis yang menderita
kanker paru-paru seringkali menyadari bahwa batuknya semakin memburuk.
 Dahak bisa mengandung darah. Jika kanker tumbuh ke dalam pembuluh darah dibawahnya, bisa
menyebabkan perdarahan hebat.
 Kanker bisa menyebabkan bunyi mengi karena terjadi penyempitan saluran udara di dalam atau
di sekitar tempat tumbuhnya kanker. Penyumbatan bronkus bisa menyebabkan kolaps pada
bagian paru-paru yang merupakan percabangan dari bronkus tersebut, keadaan ini disebut
atelektasis Akibat lainnya adalah pneumonia dengan gejala berupa batuk, demam, nyrei dada dan
sesak nafas.
Jika tumor tumbuh ke dalam dinding dada, bisa menyebabkan nyeri dada yang menetap. Gejala
yang timbul kemudian adalah hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan dan kelemahan.
Kanker paru seringkali menyebabkan penimbunan cairan di sekitar paru-paru (efusi pleura), sehingga
penderita mengalami sesak nafas.
Jika kanker menyebar di dalam paru-paru, bisa terjadi sesak nafas yang hebat, kadar oksigen
darah yang rendah dan gagal jantung. Kanker bisa tumbuh ke dalam saraf tertentu di leher,
menyebabkan terjadinya sindroma Horner, yang terdiri dari:
 penutupan kelopak mata
 pupil yang kecil
 mata cekung
 berkurangnya keringat di salah satu sisi wajah.
Kanker di puncak paru-paru bisa tumbuh ke dalam saraf yang menuju ke lengan sehingga lengan
terasa nyeri, mati rasa dan lemah. Kerusakan juga bisa terjadi pada saraf pita suara sehingga suara
penderita menjadi serak. Kanker bisa tumbuh secara langsung ke dalam kerongkongan, atau tumbuh di
dekat kerongkongan dan menekannya, sehingga terjadi gangguan menelan. Kadang terbentuk saluran
abnormal (fistula) diantara kerongkongan dan bronki, menyebabkan batuk hebat selama proses menelan
berlangsung, karena makanan dan cairan masuk ke dalam paru-paru.
Kanker paru-paru bisa tumbuh ke dalam jantung dan menyebabkan:
 irama jantung yang abnormal
 pembesaran jantung
 penimbunan cairan di kantong perikardial.
Kanker juga bisa tumbuh di sekitar vena kava superior. Penyumbatan vena ini menyebabkan darah
mengalir kembali ke atas, yaitu ke dalam vena lainnya dari bagian tubuh sebelah atas:
 vena di dinding dada akan membesar
 wajah, leher dan dinding dada sebelah atas (termasuk payudara) akan membengkak dan tampak
berwarna keunguan.
Keadaan ini juga menyebabkan sesak nafas, sakit kepala, gangguan penglihatan, pusing dan perasaan
mengantuk. Gejala tersebut biasanya akan memburuk jika penderita membungkuk ke depan atau
berbaring. Kanker paru-paru juga bisa menyebar melalui aliran darah menuju ke hati, otak, kelenjar
adrenal dan tulang. Hal ini bisa terjadi pada stadium awal, terutama pada karsinoma sel kecil. Gejalanya
berupa gagal hati, kebingungan, kejang dan nyeri tulang; yang bisa timbul sebelum terjadinya berbagai
kelainan paru-paru, sehingga diagnosis dini sulit ditegakkan.
Beberapa kanker paru-paru menimbulkan efek di tempat yang jauh dari paru-paru, seperti kelainan
metabolik, kelainan saraf dan kelainan otot (sindroma paraneoplastik). Sindroma ini tidak berhubungan
dengan ukuran maupun lokasi dari kanker dan tidak selalu menunjukkan bahwa kanker telah menyebar
keluar dada; sindroma ini disebabkan oleh bahan yang dikeluarkan oleh kanker. Gejalanya bisa
merupakan petanda awal dari kanker atau merupakan petunjuk awal bahwa kanker telah kembali, setelah
dilakukannya pengobatan.
Salah satu contoh dari sindroma paraneoplastik adalah sindroma Eaton-Lambert, yang ditandai dengan
kelemahan otot yang luar biasa. Contoh lainnya adalah kelemahan otot dan rasa sakit karena peradangan
(polimiositis), yang bisa disertai dengan peradangan kulit (dermatomiositis).
Beberapa kanker paru-paru melepaskan hormon atau bahan yang menyerupai hormon, sehingga
terjadi kadar hormon yang tinggi. Karsinoma sel kecil menghasilkan kortikotropin (menyebabkan
sindroma Cushing) atau hormon antidiuretik (menyebabkan penimbunan cairan dan kadar natrium yang
rendah di dalam darah). Pembentukan hormon yang berlebihan juga bisa menyebabkan sindroma
karsinoid, yaitu berupa kemerahan, bunyi nafas mengi, diare dan kelainan katup jantung. Karsinoma sel
skuamosa melepaskan bahan menyerupai hormon yang menyebabkan kadar kalsium darah sangat tinggi.
Sindroma hormonal lainnya yang berhubungan dengan kanker paru-paru adalah:
 pembesaran payudara pada pria (ginekomastia)
 kelebihan hormon tiroid (hipertiroidisme)
 perubahan kulit (kulit di ketiak menjadi lebih gelap).
Kanker paru-paru juga bisa menyebabkan perubahan bentuk jari tangan dan jari kaki dan perubahan pada
ujung tulang-tulang panjang, yang bisa terlihat pada rontgen.
Komplikasi pada penyakit kanker paru meliputi :
1. Hiperkalsemia : Peningkatan kadar kalsium dalam darah
2. Efusi Pleura : Adanya cairan dalam rongga dada
3. Pneumonia : Adanya udara / gas dalam rongga dada
4. Metastese Otak : Penyebaran kanker pada cel-cel otak
5. KompresiMedula Spinalis : Penekanan pada medula spinalis

e. Penderajatan (Staging) Kanker Paru


Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International System For Lung Cancer 1997,
berdasarkan sistem TNM. Pengertian T adalah tumor yang dikategorikan atas Tx, To s/d T4, N untuk
keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, No s/d N3, sedangkan M adalah
menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh.
Penderajatan Internasional Kanker Paru Berdasarkan Sistem TNM
Stage TNM
occult carcinoma : Tx N0 M0
0 : Tis N0 M0
IA : T1 N0 M0
IB : T2 N0 M0
IIA : T1 N1 M0
IIB : T2 N1 M0
IIIA : T3 N0 M0
T3 N2 M0
IIIB : seberang T N3 M0
T4 sebarang N M0
IV : sebarangT sebarangN sebarangT

KETERANGAN
T Tumor Primer
To Tidak ada bukti ada tumor primer. Tumor primer sulit dinilai,
atau tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada
sekret bronkopulmoner tetapi tidak
tampak secara radilogis atau bronkoskopik.
Tx Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari
penemuan sel tumor ganas padasekret bronkopulmoner tetapi
tidak tampak secara radilogis atau bronkoskopik.
Tis Karsinoma in situ T1 Tumor dengan garis Tengah terbesar
tidak melebihi 3 cm, dikelilingi oleh jaringan paru atau pleura
viseral dan secara bronkoskopik invasi tidak lebih proksimal
daribronkus lobus (belum sampai ke bronkuslobus (belum
sampai ke bronkus utama). Tumor supervisial sebarang ukuran
dengankomponen
invasif terbatas pada dinding bronkus yang
meluas ke proksimal bronkus utama
T2 Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut :
 Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm
 Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal
dari karina mengenai pleura
Viseral
 Berhubungan dengan atelektasis atau
pneumonitis obstruktif yang meluas ke daerah hilus,tetapi
belum mengenai seluruh paru.
T3 Tumor sebarang ukuran, dengan perluasan
langsung pada dinding dada (termasuk tumor sulkus superior),
diafragma, pleura mediastinum atau tumor dalam bronkus
utamayang jaraknya kurang dari 2 cm sebelah distal karina atau
tumor yang berhubungan
dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif
seluruh paru.
T4 Tumor sebarang ukuran yang mengenai mediastinum atau
jantung, pembuluh besar, trakea, esofagus, korpus vertebra,
karina, tumor yang disertai dengan efusi pleura ganas atau
satelit tumor nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan
tumor primer.
N Kelenjar getah bening regional (KGB)
Nx Kelenjar getah bening tak dapat dinilai
No Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening
N1 Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial dan/atau
hilus ipsilateral, termasuk perluasan tumor secara langsung
N2 Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral
dan/atau KGB subkarina
N3 Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB
skalenus / supraklavila ipsilateral / kontralateral
M Metastasis (anak sebar) jauh.
Mx Metastasis tak dapat dinilai
Mo Tak ditemukan metastasis jauh
M1 Ditemukan metastasis jauh. “Metastastic tumor nodule”(s)
ipsilateral di luar lobus tumor primerm dianggap sebagai M1

f. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


1) Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang didapat sangat
bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di
perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih
bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan
memberikan hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk
penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor diluar paru. Metastasis ke organ lain
juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian
tekanan intrakranial dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang.

2) Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak dibutuhkan untuk
menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta penentuan stadium penyakit berdasarkan
sistem TNM. Jenis pemeriksaan Radiologis yaitu:
a. Foto toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan ukuran
tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai
identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke
dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan
KGB untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja. Kewaspadaan dokter
terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita penyakit paru dengan gambaran
yang tidak khas untuk keganasan penting diingatkan.
Seorang penderita yang tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis
penyakit paru, harus disertai difollowup yang teliti. Pemberian OAT yang tidak menunjukan
perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker
paru, tetapi lain masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian
antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor dibalik
pneumonia tersebut Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti
dengan pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan ulangan
foto toraks agar bila ada tumor primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila
cairan bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
b. CT-Scan toraks
Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada foto
toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat.
Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila
terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak
masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh
lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stage juga
lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya
mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
c. Pemeriksaan radiologik lain :
Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah
terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya Brain-
CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak, bone scan dan/atau bone
survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat
melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga perut.
3) Pemeriksaan khusus
a. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat dihandalkan untuk
dapat mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada
tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti terlihat kelainan mukosa
tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah berdarah. Tampakan
yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan
atau kerokan bronkus.
b. Biopsi aspirasi jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena amat mudah
berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum,
karena bilasan dan biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.
c. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada posisi jam 1 bila tumor
ada dikanan, akan memberikan informasi ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi dan informasi
metastasis KGB subkarina atau paratrakeal.

d. Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)


Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk fluoroskopik maka biopsi paru
lewat bronkus (TBLB) harus dilakukan.
e. Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)
Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB dengan bantuan flouroscopic
angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2 cm dan terletak di sentral dapat dilakukan TTB
dengan tuntunan CT-scan.
f. Biopsi lain
Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB atau teraba masa yang dapat
terlihat superfisial. Biopsi KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB supraklavikula, leher
atau aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di paru belum diketahui. Biopsi
Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB suparaklavikula dan cara lain tidak
menghasilkan informasi tentang jenis sel kanker. Punksi dan biopsi pleura harus dilakukan jika ada
efusi pleura.
g. Torakoskopi medik
Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru, pleura viseralis, pleura parietal dan
mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi.
h. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah. Kekurangan
pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk kering dan tehnik pengumpulan dan
pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk
merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan. Semua bahan yang diambil dengan
pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan
sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus,
lalu difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus
difiksasi dalamformalin 4% (PDPI, 2003).
4) Pemeriksaan lain
a. Petanda Tumor
Petanda tumor yang telah, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.
b. Pemeriksaan biologi molekuler
Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin berkembang, cara paling sederhana dapat menilai
ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti protein p53, bcl2, dan
lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah menentukan prognosis penyakit.

g. Cara Pencegahan
Prinsip upaya pencegahan lebih baik dari sebatas pengoobatan. Terdapat 4 Tingkatan
pencegahan dalam epideemiologi penyakit kanker paru, yaitu :
1. Pencegahan Primordial
Berupa upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit
kanker paru tidak dapat berkembang karena tidak adanya peluang dan dukungan dari kebiasaan,
gaya hidup maupun kondisi lain yang merupakan faktor resiko untuk munculnya penyakit
kanker paru. Misalnya : menciptakan prakondisi dimana masyarakat merasa bahwa merokok itu
merupakan statu kebiasaan yang tidak baik dan masyarakat mampu bersikap positif untuk tidak
merokok.
Penelitian tentang rokok mengatakan bahwa lebih dari 63 jenis bahan yang dikandung asap
rokok itu bersifat karsinogenesis. Secara epidemiologik juga terlihat kaitan kuat antara
kebiasaan merokok dengan insidens kanker paru, maka tidak dapat disangkal lagi
menghindarkan asap rokok adalah kunci keberhasilan pencegahan yang dapat dilakukan.
Keterkaitan rokok dengan kasus kanker paru diperkuat dengan data bahwa risiko seorang
perempuan perokok pasif akan terkena kanker paru lebih tinggi daripada mereka yang tidak
terpajan kepada asap rokok. Dengan dasar penemuan di atas adalah wajar bahwa pencegahan
utama kanker paru berupa upaya memberantas kebiasaan merokok. Menghentikan seorang
perokok aktif adalah sekaligus menyelamatkan lebih dari seorang perokok pasif.
2. Pencegahan Tingkat Pertama
Pencegahan tingkat pertama yang dapat dilakukan antara lain:
a) Promosi Kesehatan Masyarakat
 Kampanye kesadaran masyarakat
 Promosi kesehatan
 Pendidikan Kesehatan Masyarakat
b) Pencegahan Khusus :
 Pencegahan keterpaparan
 Pemberian kemopreventif
3. Pencegahan Tingkat Kedua
a) Diagnosis Dini : misalnya dengan Screening.
b) Pengobatan : misalnya dengan Kemotherapi atau Pembedahan.
4. Pencegahan Tingkat Ketiga
Pencegahan tingkat ketiga dapat dilakukan dengan cara rehabilitasi.
h. Cara Pengobatan
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi). Kenyataanya
pada saatpemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada jenis histologis, derajat dan tampilan
penderita sajatetapi juga kondisi non-medisseperti fasiliti yang dimilikirumah sakit dan ekonomi
penderita jugamerupakan faktor yang amat menentukan.
Menurut Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia penatalaksanaan/pengobatan utama penyakit
kanker meliputi empat macam yaitu pembedahan, radioterapi, kemoterapi dan hormoterapi. Pembedaha
dilakukan untuk mengambil ‘massa kanker‘ dan memperbaiki komplikas yang mungkin terjadi.
Sementara tindakan radioterapi dilakukan dengan sina ionisasi untuk menghancurkan kanker. Kemoterapi
dilakukan untu membunuh sel kanker dengan obat anti-kanker (sitostatika). Sedangkan hormonterapi
dilakukan untuk mengubah lingkungan hidup kanker sehingga pertumbuhan sel-selnya terganggu dan
akhirnya mati sendiri.

1. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II. Pembedahan
juga merupakan bagian dari “combine modality therapy”, misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk
KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi bedah,
seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror berat. Prinsip pembedahan adalah sedapat
mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun
pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk
lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan
bronkus bebas tumor. KGB mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara
patologi anatomis.
2. Kemoterapi
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor,untuk menangani
pasiendengan tumor paru sel kecil atau dengan metastatis luas,dan untuk melengkapi bedahatau
terapi radiasi. Kombinasi dua atau lebih pengobatan mungkin lebihmenguntungkan disbanding
pemberian dosis tunggal. Sejumlah besar pengobatan bekerja terhadap kanker paru. Berbagai agens
pengkelat,platinum analogus,mitomisin C,vinka alkaloid dan etoposid (V-16) digunakan. Pilihan
agens tergantung pada pertumbuhan sel tumor dan fase spesifik siklus sel yang dipengaruhi obat.
Agens initoksik dan mempunyai batas keamanan yang sempit.Kemoterapi memberikan peredaan,
terutama nyeri,tetapi kemoterapi tidak menyembuhkan dan jarang dapat memperpanjang hidup.
Kemoterapi bermanfaatdalam mengurangi gejala ± gejal tekanan dari kanker paru dan dalam
mengobatimetastatis otak,medulla spinalis dan pericardium.
Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) dan
beberapa tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif untuk kanker paru karsinoma bukan sel
kecil (KPKBSK) stage lanjut. Tujuan pemberian kemoterapi paliatif adalah mengurangi atau
menghilangkan gejala yang diakibatkan oleh perkembangan sel kanker tersebut sehingga diharapkan
akan dapat meningkatkan kualiti hidup penderita. Tetapi akhir-akhir ini berbagai penelitian telah
memperlihatkan manfaat kemoterapi untuk KPKBSK sebagai upaya memperbaiki prognosis, baik 3
sebagai modaliti tunggal maupun bersama modaliti lain, yaitu radioterapi dan/atau pembedahan.
Indikasi pemberian kemoterapi pada kanker paru ialah:
1. Penderita kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) tanpa atau dengan gejala.
2. Penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) yang inoperabel (stage IIIB
& IV), jika memenuhi syarat dapat dikombinasi dengan radioterapi, secara konkuren, sekuensial
atau alternating kemoradioterapi.
3. Kemoterapi adjuvan yaitu kemoterapi pada penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel
kecil (KPKBSK) stage I, II dan III yang telah dibedah.
4. Kemoterapi neoadjuvan yaitu kemoterapi pada penderita stage IIIA dan beberapa kasus stage
IIIB yang akan menjalani pembedahan. Dalam hal ini kemoterapi merupakan bagian terapi
multimodaliti.
Penderita yang akan mendapat kemoterapi terlebih dahulu harus menjalani pemeriksaan dan
penilaian, sehingga terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Diagnosis histologis telah dipastikan
Pemilihan obat yang digunakan tergantung pada jenis histologis. Oleh karena itu diagnosis
histologis perlu ditegakkan. Untuk kepentingan itu dianjurkan menggunakan klasifikasi histologis
menurut WHO tahun 1997. Apabila ahli patologi sulit menentukan jenis yang pasti, maka bagi
kepentingan kemoterapi minimal harus dibedakan antara:
 Jenis karsinoma sel kecil
o Jenis karsinoma bukan sel kecil, yaitu karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma dan
karsinoma sel besar
2. Tampilan/performance status menurut skala Karnofsky minimal 60 - 70 atau skala WHO
3. Pemeriksaan darah perifer untuk pemberian siklus pertama :
 Leukosit > 4.000/mm3
 Trombosit > 100.000/mm3
 Hemoglobin > 10 g%. Bila perlu, transfusi darah diberikan sebelum pemberian obat.
Sedangkan untuk pemberian siklus berikutnya, jika nilai-nilai di atas itu lebih rendah maka
beberapa jenis obat masih dapat diberikan dengan penyesuaian dosis.
4. Sebaiknya faal hati dalam batas normal
5. Faal ginjal dalam batas normal, terutama bila akan digunakan obat yang nefrotoksik. Untuk
pemberian kemoterapi yang mengandung sisplatin, creatinine clearance harus lebih besar
daripada 70 ml/menit. Apabila nilai ini lebih kecil, sedangkan kreatinin normal dan penderita tua
sebaiknya digunakan karboplatin.
Penelitian di Asia , MTTH penderita limited stage (LD-SCLC) yang mendapat kemoradioterapi 14,2
bulan (95% CI, 10,96 – 17,44) dan meningkat menjadi 16,9 bulan (95% CI, 11,83 – 21,97) pada yang
mendapat tambahan PCI. Angka MTTH lebih rendah yaitu 8,17 bulan (95%CI, 5,44 – 10,89) pada
pasien extensive disease (ED_SCLC) yang mendapat kemoradioterapi. Penelitian tentang pemberian
kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada karsinoma sel kecil/ limited stage mendapatkan
perbedaan hasil mengenai pengaruh terhadap ketahanan hidup. Tetapi insidens relaps tumor tersebut
berkurang. Di RS Persahabatan, Jakarta kemoterapi pada KPKSK dilakukan dengan paduan obat
siklofosfamid + vinkristin + adriamisin menurut anjuran UICC atau sisplatin + etoposid. Jumlah
penderita jenis ini tidak begitu banyak, lagipula yang mampu menyediakan obat masih amat terbatas.
Karena itu, hasil pengobatan masih belum dapat dinilai secara cermat. Tetapi terlihat 70% penderita
mengalami respons subjektif yang cukup nyata. Tampilan membaik pada 71,4% dan 14,3%
mengalami kenaikan berat badan. Efek samping berupa gangguan hemopoetik dan gejala
gastrointestinal terlihat pada semua kasus, 57% tidak mengalami kerontokan rambut dan respons
objektif terlihat pada 70% (ED-SCLC). Dua puluh lima persen penderita hidup sampai 15 bulan dan
masa tengah tahan hidup 2-5 bulan.

a. Terapi radiasi
Terapi radiasi dapat menyembuhkan pasien dalam presenyasi yangkesil. Terapi radiasi ini
sangat bermanfaat dalam pengendalian neoplasma yang tidak dapat direseksi tetapi responsive
terhadap radiasi. Tumor sel kecil dan efidermoid biasanya sensitive terhadap radiasi. Radiasi daapat
juga digunakan untuk mengurangiukuran tumor yang tidak dapat dioperasi menjadi dapat dioperasi
atau radiasi dapatdigunakan sebagai pengobatan paliatif untuk menghilangkan tekanan tumor
padastruktur vital. Terapi radiasi dapat mengendalikan metastasis medulla spinalis dankompresi vena
kava superior. Juga radiasi otak profilaktik digunakan padda pasientertentu untuk mengatasi
metastasis mikroskopik ke otak. Radiasi dapat membantumenghilangkan batuk, nyeri dada, dispnoe,
hemoptitis, dan nyeri tulang dan hepar.Hilangnnya gejala-gejala dapat berlangsung dari bebrapa minggu
sampai beberapa bulan dan penting dalam meningkatkan kualitas hidup yang masih tersisa.-Terapi radiasi.Terapi
radiasi biasanya adalah toksik bagi jaringan normal di dalam bidang radiasi.Komplikasi radiasi
termasuk esofagitis,pneumonitis,dan radiasi fibrosis paru,yangdapat merusak kapasitas ventilasi dan
difusi serta secara signifikan mengurangiketersediaan paru. Radiasai juga dapat mempengaruhi
jantung.Status nutrisi dan tampilan psikologis pasien dipantau sepanjang pengobatan,sejalandengan
tanda ± tanda anemia dan infeksi.
b. Pengobatan lain
Pengobatan lain yang dapat dilakukan kepada penderita kanker paru adalah Imunoterapi,
Hormonoterapi dan Terapi Gen. Namun untuk ketiga pengobatan ini masih dalam tahap ujicoba dan
belum dipakai secara luas di Indonesia.
c. Rehabilitasi
Penderita kanker yang menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau karena pengobatan
kanker, perlu direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk dan/atau fungsi organ yang cacat itu supaya
penderita dapat hidup dengan layak dan wajar di masyarakat. Ada bermacam-macam rehabilitasi yang
perlu dilakukan seperti rehabilitasi mental, rehabilitasi pekerjaan, rehabilitasi sosial dan lain-lain.
i. Penatalaksanaan Pada Keadaan Khusus
1. Efusi Pleura Ganas (EPG)
Rongga pleura pada orang sehat berisi sekitar 20 ml cairan. Efusi pleura (Cairan pleura) normal
ini biasanya bersih tidak berwarna, mengandung < 1,5 gr protein/ 100 ml dan 1.500 sel/ microliter.
Efusi pleura dapat terjadi pada penyakit tumor ganas intratoraks, organ ekstratoraks maupun
keganasan sistemik. Seperti pada penderita efusi pleura lain, EPG memberikan gejala sesak napas,
napas pendek, batuk, nyeri dada dan isi dada terasa penuh. Gejala ini sangat bergantung pada jumlah
cairan dalam rongga pleura. Pada pemeriksaan fisik ditemukan gerakan diafragma berkurang dan
deviasi trakea dan/atau jantung kearah kontralateral, fremitus melemah, perkusi redup dan suara
napas melemah pada sisi toraks yang sakit.
Pada kanker paru, infiltrasi pleura oleh sel tumor dapat terjadi sekunder akibat perluasan
langsung (infiltrasi), terutama tumor jenis adenokarsinoma yang letaknya perifer. Dapat juga terjadi
akibat metastasis ke pembuluh darah dan getah bening. Bila efuasi pleura terjadi akibat metastasis,
cairan pleuranya banyak mengandung sel tumor ganas sehingga pemeriksaan sitologi cairan pleura
dapat diharapkan memberi hasil positif.Efusi pleura ganas mempunyai 2 aspek penting dalam
penatalaksaannya yaltu pengobatan lokal dan pengobatan kausal. Pengobatan kausal disesuaikan
dengan stage dan jenis tumor. Tidak jarang tumor primer sulit diternukan, maka aspek pengobatan
lokal menjadi pilihan dengan tujuan untuk mengurangi sesak napas yang sangat mengganggu,
terutama bila produksi cairan berlebihan dan cepat.
Tindakan yang dapat dilakukan antara lain, punksi pleura, pemasangan WSD dan pleurodesis
untuk mengurangi produksi cairan. Zat-zat yang dapat dipakal, antara lain talk, tetrasikiin,
mitomisin-C, adriamisin dan bleomisin. Bila tumor primer berasal dari paru dan dari cairan pleura
diternukan sel ganas maka EPG termasuk T4, tetapi bila diternukan sel ganas pada biopsi pleura
termasuk stage IV. Bila setelah dilakukan berbagai pemeriksaan tumor primer paru tidak diternukan,
dan tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat dibuktikan, maka EPG dianggap berasal dari paru.
Apabila tumor primer diternukan di luar paru, maka EPG ini termasuk gejala sisternik tumor tersebut
dan pengobatan disesuaikan dengan penatalaksanaan untuk pengobatan kanker primernya.
2. Sindrom Vena Kava Superior (SVSC)
Sindrom vena kava superior muncul bila terjadi gangguan aliran oleh berbagai sebab, di
antaranya tumor paru dan tumor mediastinum. Gangguan ini pada penderita kanker paru muncul
akibat penekanan atau invasi massa ke vena cava superior, sehingga menimbulkan gejala SVKS.
Keluhan yang ditimbulkan tergantung berat ringannya gangguan, sakit kepala, sesak napas, batuk,
sinkope, sakit menelan, dan batuk darah. Pada keadaan berat selain gejala sesak napas yang hebat
dapat dilihat pembengkakan leher dan lengan kanan disertai pelebaran vena-vena subkutan leher dan
dada. Keadaan ini kadang-kadang memerlukan tindakan emergensi untuk mengatasi
keluhan.penatalaksanaan kanker paru pada kasus SVSC adalah bila keadaan umurn penderita baik
(PS > 50) maka harus dilakukan prosedur diagnostik untuk mendapatkan jenis sel kanker. Narnun
tindakan radiasi cito harus segera diberikanbila keluhan sesak napas sangat berat dan setelah gejala
berkurang, prosedur diagnostik harus dilakukan. Tindakan radioterapi selanjutnya tergantung dari
kondisi berikut ini:
 Bila belum ada hasil pemeriksaan patotogi anatomi : radiasi 2-3 Gy perfraksi, dengan penilaian
klinis setiap hari. Tindakan bedah harus dipikirkan bila respons tidak mernuaskan.
 Bila hasil patologi anatomi sudah ada: Untuk keadaan gawat darurat penyinaran dapat diberikan
dengan dosis 3 Gy/fraksi. Bila tidak gawat darurat, dosis radiasi berdasarkan staging penyakit.
Untuk stage IV, dosis 3 Gy/fraksi sampai 10 kali atau Dosis 4 Gy/fraksi sampai 5 kali.
3. Obstruksi Bronkus
Obstruksi terjadi karena tumor intrabronkial menyumbat langsung atau tumor diluar bronkus
menekan bronkus sehingga terjadi sumbatan. Sumbatan intrabronkial dapat parsial atau total dan
kadang-kadang diperlukan tindakan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita. Keluhan sesak
napas disertai napas berbunyi dapat terjadi pada obstruksi yang hebat. Keluhan akan bertambah bila
disertai “mucus plug”. Pada pemeriksaan jasmani akan ditemukan bunyi napas melemah pada sisi
paru yang sakit, dan dapat dijumpai pula bunyi napas patologis, misalnya mengi pada ekspirasi dan
inspirasi, suara ekspirasi memanjang atau stidor bila sumbatan pada jalan napas yang
besar.Penatalaksanaannya dengan melakukan bronchial toilet bila terdapat mucus plug.
Bronkoskopi lase diikuti pemasangan stent dapat dilakukan bila tebal sumbatan intrabronkial
nnasih dapat diketahui. Hal Inl diperlukan agar komplikasi tindakan laser tidak terjadi dan juga
dibutuhkan untuk mengetahui ukuran stent yang diperlukan. Bila sumbatan disebabkan oleh
penekanan massa ekstrabronkial, atau sumbatan intrabronkial tidak dapat diatasi dengan bronkoskopi
laser dan pemasangan stent maka tindakan bedah perlu dipikirkan. Pada keadaan tertentu dapat
diberikan radiasi endobronkial (brachytherapy) pada batas proksimal dan distal 3 cm dari
penyempitan, dosis : (5 - 8 Gy) 1 cm dari sumbu sumber radio aktif. Apabila radiasi endobronkial
tidak dapat dikerjakan, maka dapat diberikan radiasi ekstemal di daerah bronkus yang menyempit
dan daerah mukosa dengan dosis 3-4 Gy/fraksi subjek.
4. Batuk Darah (Hemoptasis)
Hemoptisis pada kanker paru juga terkadang memerlukan segera karena dapat mengancam
nyawa. Pada batuk darah masif harus dilakukan segera tindakan bronkoskopi, selain untuk
membuang bekuan darah ( stool cell), tindakan ini juga perlu untuk mengetahui sumber perdarahan
yang bermanfaat bila diperlukan pembedahan untuk mengatasinya. Radiasi adalah salah satu
noninvasiv untuk batuk darah.Target volume dan dosis seperti pada obstruksi bronkus

j. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Kanker Paru


1. Pengkajian
Preoperasi
1) Aktivitas/ istirahat.
Gejala : Kelemahan, ketidakmampuan mempertahankan kebiasaan rutin,
dispnea karena aktivitas
Tanda : Kelesuan( biasanya tahap lanjut)
2) Sirkulasi.
Gejala : JVD (obstruksi vena kava).
Bunyi jantung : gesekan pericardial (menunjukkan efusi), Takikardi/ disritmia, jari tabuh.
3) Integritas ego
Gejala : Perasaan taku, takut hasil pembedahan, menolak kondisi yang berat/ potensi keganasan
Tanda : Kegelisahan, insomnia, pertanyaan yang diulang – ulang.
4) Eliminasi
Gejala : Diare yang hilang timbul (karsinoma sel kecil), peningkatan frekuensi/ jumlah urine
(ketidakseimbangan hormonal, tumor epidermoid)
5) Makanan/ cairan
Gejala : Penurunan berat badan, nafsu makan buruk, penurunan masukan
makanan, kesulitan menelan, haus/ peningkatan masukan cairan.
Tanda : Kurus, atau penampilan kurang berbobot (tahap lanjut)
Edema wajah/ leher, dada punggung (obstruksi vena kava), edema wajah/periorbital
(ketidakseimbangan hormonal, karsinoma sel kecil)
Glukosa dalam urine (ketidakseimbangan hormonal, tumor epidermoid).
6) Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri dada (tidak biasanya ada pada tahap dini dan tidak selalu
pada tahap lanjut) dimana dapat/ tidak dapat dipengaruhi oleh perubahan posisi.
Nyeri bahu/ tangan (khususnya pada sel besar atau adenokarsinoma)
Nyeri abdomen hilang timbul.
7) Pernafasan.
Gejala : Batuk ringan atau perubahan pola batuk dari biasanya dan atau
produksi sputum.
Nafas pendek
Pekerja yang terpajan polutan, debu industri
Serak, paralysis pita suara.
Riwayat merokok
Tanda : Dispnea, meningkat dengan kerja
Peningkatan fremitus taktil (menunjukkan konsolidasi)
Krekels/ mengi pada inspirasi atau ekspirasi (gangguan aliran udara), krekels/ mengi menetap;
pentimpangan trakea ( area yang mengalami lesi).
Hemoptisis.
8) Keamanan.
Tanda : Demam mungkin ada (sel besar atau karsinoma)
Kemerahan, kulit pucat (ketidakseimbangan hormonal, karsinoma sel kecil)
9) Seksualitas.
Tanda : Ginekomastia (perubahan hormone neoplastik, karsinoma sel besar)
Amenorea/ impotent (ketidakseimbangan hormonal, karsinoma sel kecil)
10) Penyuluhan
Gejala : Faktor resiko keluarga, kanker(khususnya paru), tuberculosis
Kegagalan untuk membaik.

Pascaoperasi (Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, 1999).


 Karakteristik dan kedalaman pernafasan dan warna kulit pasien.
 Frekuensi dan irama jantung.
 Pemeriksaan laboratorium yang terkait (GDA. Elektolit serum, Hb dan Ht).
 Pemantauan tekanan vena sentral.
 Status nutrisi.
 Status mobilisasi ekstremitas khususnya ekstremitas atas di sisi yang di operasi.
 Kondisi dan karakteristik water seal drainase.
1) Aktivitas atau istirahat.
Gejala : Perubahan aktivitas, frekuensi tidur berkurang.
2) Sirkulasi
Tanda : denyut nadi cepat, tekanan darah tinggi.
3) Eliminasi.
Gejala : menurunnya frekuensi eliminasi BAB
Tanda : Kateter urinarius terpasang/ tidak, karakteristik urine
Bisng usus, samara atau jelas.
4) Makanan dan cairan
Gejala: Mual atau muntah
5) Neurosensori
Gejala : Gangguan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anastesi.
6) Nyeri dan ketidaknyamanan
Gejala : Keluhan nyeri, karakteristik nyeri
Nyeri, ketidaknyamanan dari berbagai sumber misalnya insisi
Atau efek – efek anastesi.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Preoperasi
a) Kerusakan pertukaran gas
Dapat dihubungkan :
Hipoventilasi.
Kriteria hasil :
 Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisi adekuat dengan GDA dalam rentang
normal dan bebas gejala distress pernafasan.
 Berpartisipasi dalam program pengobatan, dalam kemampuan/ situasi.
Intervensi
a) Kaji status pernafasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi atau upaya pernafasan atau
perubahan pola nafas.
Rasional : Dispnea merupakan mekanisme kompensasi adanya tahanan jalan nafas.
b) Catat ada atau tidak adanya bunyi tambahan dan adanya bunyi tambahan, misalnya krekels,
mengi.
Rasional : Bunyi nafas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang sakit.Krekels
adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai akibat peningkatan permeabilitas
membrane alveolar-kapiler. Mengi adalah bukti adanya tahanan atau penyempitan jalan nafas
sehubungan dengan mukus/ edema serta tumor.
c) Kaji adanmya sianosis
Rasional : Penurunan oksigenasi bermakna terjadi sebelum sianosis. Sianosis sentral dari “organ”
hangat contoh, lidah, bibir dan daun telinga adalah paling indikatif.
d) Kolaborasi pemberian oksigen lembab sesuai indikasi
Rasional : Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran.
e) Awasi atau gambarkan seri GDA.
Rasional : Menunjukkan ventilasi atau oksigenasi. Digunakan sebagai dasar evaluasi keefktifan
terapi atau indikator kebutuhan perubahan terapi.

b) Bersihan jalan nafas tidak efektif


Dapat dihubungkan :
 Kehilangan fungsi silia jalan nafas
 Peningkatan jumlah/ viskositas sekret paru.
 Meningkatnya tahanan jalan nafas
Kriteria hasil :
 Menyatakan/ menunjukkan hilangnya dispnea.
 Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih
 Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.
 Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/ mempertahankan bersiahn jalan nafas.
Intervensi :
a) Catat perubahan upaya dan pola bernafas.
Rasional : Penggunaan otot interkostal/ abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan peningkatan
upaya bernafas.
b) Observasi penurunan ekspensi dinding dada dan adanya.
Rasional : Ekspansi dad terbatas atau tidak sama sehubungan dengan akumulasi cairan, edema,
dan sekret dalam seksi lobus.
c) Catat karakteristik batuk (misalnya, menetap, efektif, tak efektif), juga produksi dan karakteristik
sputum.
Rasional : Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/ etiologi gagal
perbafasan. Sputum bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, dan/ atau puulen.
d) Pertahankan posisi tubuh/ kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai kebutuhan.
Rasional : Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan nafas pasein dipengaruhi.
e) Kolaborasi pemberian bronkodilator, contoh aminofilin, albuterol dll. Awasi untuk efek samping
merugikan dari obat, contoh takikardi, hipertensi, tremor, insomnia.
Rasional : Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan viskositas sekret,
memperbaiki ventilasi, dan memudahkan pembuangan sekret. Memerlukan perubahan dosis/
pilihan obat.

c) Ketakutan/Anxietas.
Dapat dihubungkan :
Krisis situasi
Ancaman untuk/ perubahan status kesehatan, takut mati.
Faktor psikologis.
Kriteria hasil :
 Menyatakan kesadaran terhadap ansietas dan cara sehat untuk mengatasinya.
 Mengakui dan mendiskusikan takut.
 Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatangani.
 Menunjukkan pemecahan masalah dan pengunaan sumber efektif.
Intervensi :
a) Observasi peningkatan gelisah, emosi labil.
Rasional : Memburuknya penyakit dapat menyebabkan atau meningkatkan ansietas.
b) Pertahankan lingkungan tenang dengan sedikit rangsangan.
Rasional : Menurunkan ansietas dengan meningkatkan relaksasi dan penghematan energi.
c) Tunjukkan/ Bantu dengan teknik relaksasi, meditasi, bimbingan imajinasi.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk pasien menangani ansietasnya sendiri dan merasa
terkontrol.
d) Identifikasi perspsi klien terhadap ancaman yang ada oleh situasi.
Rasional : Membantu pengenalan ansietas/ takut dan mengidentifikasi tindakan yang dapat
membantu untuk individu.
e) Dorong pasien untuk mengakui dan menyatakan perasaan.
Rasional : Langkah awal dalam mengatasi perasaan adalah terhadap identifikasi dan ekspresi.
Mendorong penerimaan situasi dan kemampuan diri untuk mengatasi.

d) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, tindakan, prognosis.


Dapat dihubungkan :
 Kurang informasi.
 Kesalahan interpretasi informasi.
 Kurang mengingat.
Kriteria hasil :
 Menjelaskan hubungan antara proses penyakit dan terapi.
 Menggambarkan/ menyatakan diet, obat, dan program aktivitas.
 Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang memerlukan perhatian medik.
 Membuat perencanaan untuk perawatan lanjut.
Intervensi
a) Dorong belajar untuk memenuhi kebutuhan pasien. Berikan informasi dalam cara yang jelas/
ringkas.
Rasional : Sembuh dari gangguan gagal paru dapat sangat menghambat lingkup perhatian
pasien, konsentrasi dan energi untuk penerimaan informasi/ tugas baru.
b) Berikan informasi verbal dan tertulis tentang obat
Rasional : Pemberian instruksi penggunaan obat yang aman memmampukan pasien untuk
mengikuti dengan tepat program pengobatan.
c) Kaji konseling nutrisi tentang rencana makan; kebutuhan makanan kalori tinggi.
Rasional : Pasien dengan masalah pernafasan berat biasanya mengalami penurunan berat
badan dan anoreksia sehingga memerlukan peningkatan nutrisi untuk menyembuhan.
d) Berikan pedoman untuk aktivitas.
Rasional : Pasien harus menghindari untuk terlalu lelah dan mengimbangi periode
istirahatdan aktivitas untuk meningkatkan regangan/ stamina dan mencegah konsumsi/
kebutuhan oksigen berlebihan.

b. Pascaoperasi
a) Kerusakan pertukaran gas.
Dapat dihubungkan :
 Pengangkatan jaringan paru
 Gangguan suplai oksigen
 Penurunan kapasitas pembawa oksigen darah (kehilangan darah).
Kriteria hasil :
 Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam
rentang normal.
 Bebas gejala distress pernafasan.
Intervensi
a) Catat frekuensi, kedalaman dan kemudahan pernafasan. Observasi penggunaan otot bantu,
nafas bibir, perubahan kulit/ membran mukosa.
Rasional : Pernafasan meningkat sebagai akibat nyeri atau sebagai mekanisme kompensasi
awal terhadap hilangnya jaringan paru.
b) Auskultasi paru untuk gerakan udara dan bunyi nafas tak normal.
Rasional : Konsolidasi dan kurangnya gerakan udara pada sisi yang dioperasi normal pada
pasien pneumonoktomi. Namun, pasien lubektomi harus menunjukkan aliran udara normal
pada lobus yang masih ada.
c) Pertahankan kepatenan jalan nafas pasien dengan memberikan posisi, penghisapan, dan
penggunaan alat
Rasional : Obstruksi jalan nafas mempengaruhi ventilasi, menggangu pertukaran gas.
d) Ubah posisi dengan sering, letakkan pasien pada posisi duduk juga telentang sampai posisi
miring.
Rasional : Memaksimalkan ekspansi paru dan drainase sekret.
Dorong/ bantu dengan latihan nafas dalam dan nafas bibir dengan tepat.
Rasional : Meningkatkan ventilasi maksimal dan oksigenasi dan menurunkan/ mencegah
atelektasis.

b) Bersihan jalan nafas tidak efektif


Dapat dihubungkan :
 Peningkatan jumlah/ viskositas sekret
 Keterbatasan gerakan dada/ nyeri.
 Kelemahan/ kelelahan.
Kriteria hasil :
 Menunjukkan patensi jalan nafas, dengan cairan sekret mudah dikeluarkan, bunyi nafas jelas,
dan pernafasan tak bising.

Intervensi
a) Auskultasi dada untuk karakteristik bunyi nafas dan adanya sekret.
Rasional : Pernafasan bising, ronki, dan mengi menunjukkan tertahannya sekret dan/ atau
obstruiksi jalan nafas.
b) Bantu pasien dengan/ instruksikan untuk nafas dalam efektif dan batuk dengan posisi duduk
tinggi dan menekan daerah insisi.
Rasional : Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal dan penekanan
menmguatkan upaya batuk untuk memobilisasi dan membuang sekret. Penekanan dilakukan
oleh perawat.
c) Observasi jumlah dan karakter sputum/ aspirasi sekret.
Rasional : Peningkatan jumlah sekret tak berwarna / berair awalnya normal dan harus
menurun sesuai kemajuan penyembuhan.
d) Dorong masukan cairan per oral (sedikitnya 2500 ml/hari) dalam toleransi jantung.
Rasional : Hidrasi adekuat untuk mempertahankan sekret hilang/ peningkatan pengeluaran.
e) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, dan/ atau analgetik sesuai indikasi.
Rasional : Menghilangkan spasme bronkus untuk memperbaiki aliran udara, mengencerkan
dan menurunkan viskositas sekret.

c) Nyeri (akut)
Dapat dihubungkan :
 Insisi bedah, trauma jaringan, dan gangguan saraf internal.
 Adanya selang dada.
 Invasi kanker ke pleura, dinding dada
Kriteria hasil :
 Melaporkan neyri hilang/ terkontrol.
 Tampak rileks dan tidur/ istirahat dengan baik.
 Berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan/ dibutuhkan.
Intervensi
a) Tanyakan pasien tentang nyeri. Tentukan karakteristik nyeri. Buat rentang intensitas pada skala 0
– 10.
Rasional : Membantu dalam evaluasi gejala nyeri karena kanker. Penggunaan skala rentang
membantu pasien dalam mengkaji tingkat nyeri dan memberikan alat untuk evaluasi keefktifan
analgesic, meningkatkan kontrol nyeri.
b) Kaji pernyataan verbal dan non-verbal nyeri pasien.
Rasional : Ketidaklsesuaian antar petunjuk verbal/ non verbal dapat memberikan petunjuk derajat
nyeri, kebutuhan/ keefketifan intervensi.
c) Catat kemungkinan penyebab nyeri patofisologi dan psikologi.
Rasional : Insisi posterolateral lebih tidak nyaman untuk pasien dari pada insisi anterolateral.
Selain itu takut, distress, ansietas dan kehilangan sesuai diagnosa kanker dapat mengganggu
kemampuan mengatasinya.
d) Dorong menyatakan perasaan tentangnyeri.
Rasional : Takut/ masalah dapat meningkatkan tegangan otot dan menurunkan ambang persepsi
nyeri.
e) Berikan tindakan kenyamanan. Dorong dan ajarkan penggunaan teknik relaksasi
Rasional : Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian.
d) Anxietas.
Dapat dihubungkan:
 Krisis situasi
 Ancaman/ perubahan status kesehatan
 Adanya ancman kematian.
Kriteria hasil :
 Mengakui dan mendiskusikan takut/ masalah
 Menunjukkan rentang perasaan yang tepat dan penampilan wajah tampak rileks/ istirahat
 Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi
Intervensi
a) Evaluasi tingkat pemahaman pasien/ orang terdekat tentang diagnosa.
Rasional : Pasien dan orang terdekat mendengar dan mengasimilasi informasi baru yang meliputi
perubahan ada gambaran diri dan pola hidup. Pemahaman persepsi ini melibatkan susunan
tekanan perawatan individu dan memberikan informasi yang perlu untuk memilih intervensi yang
tepat.
b) Akui rasa takut/ masalah pasien dan dorong mengekspresikan perasaan
Rasional : Dukungan memampukan pasien mulai membuka atau menerima kenyataan kanker dan
pengobatannya.
c) Terima penyangkalan pasien tetapi jangan dikuatkan.
Rasional : Bila penyangkalan ekstreim atau ansietas mempengaruhi kemajuan penyembuhan,
menghadapi isu pasien perlu dijelaskan dan diberikan cara penyelesaiannya
d) Berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab dengan jujur. Yakinkan bahwa pasien dan pemberi
perawatan mempunyai pemahaman yang sama.
Rasional : Membuat kepercayaan dan menurunkan kesalahan persepsi/ salah interpretasi terhadap
informasi.
e) Libatkan pasien/ orang terdekat dalam perencanaan perawatan. Berikan waktu untuk menyiapkan
peristiwa/ pengobatan.
Rasional : Dapat membantu memperbaiki beberapa perasaan kontrol/ kemandirian pada pasien
yang merasa tek berdaya dalam menerima pengobatan dan diagnosa.
f) Berikan kenyamanan fiik pasien
Rasional : Ini sulit untuk menerima dengan isu emosi bila pengalaman ekstrem/ ketidaknyamanan
fisik menetap.

e) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, tindakan, prognosis.


Dapat dihubungkan :
 Kurang atau tidak mengenal informasi/ sumber
 Salah interperatasi informasi.
 Kurang mengingat
Kriteria hasil :
 Menyatakan pemahaman seluk beluk diagnosa, program pengobatan.
 Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alas an tindakan tersebut.
 Berpartisipasi dalam proses belajar.
 Melakukan perubahan pola hidup.
Intervensi
a) Diskusikan diagnosa, rencana/ terapi sasat ini dan hasil yang diharapkan.
Rasional : Memberikan informasi khusus individu, membuat pengetahuan untuk belajar
lanjut tentang manajemen di rumah. Radiasi dan kemoterapi dapat menyertai intervensi
bedah dan informasi penting untuk memampukan pasien/ orang terdekat untuk membuat
keputusan berdasarkan informasi.
b) Kuatkan penjelasan ahli bedah tentang prosedur pembedahan dengan memberikan diagram
yang tepat. Masukkan informasi ini dalam diskusi tentang harapan jangka pendek/ panjang
dari penyembuhan.
Rasional : Lamanya rehabilitasi dan prognosis tergantung pada tipe pembedahan, kondisi
preoperasi, dan lamanya/ derajat komplikasi.
c) Diskusikan perlunya perencanaan untuk mengevaluasi perawatan saat pulang.
Rasional : Pengkajian evaluasi status pernafasan dan kesehatan umum penting sekali untuk
meyakinkan penyembuhan optimal. Juga memberikan kesempatan untuk merujuk masalah/
pertanyaan pada waktu yang sedikit stres.

DAFTAR PUSTAKA
Long, Barbara C, (1996), Perawatan Medikal Bedah; Suatu Pendekatan Proses Holistik, Yayasan
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran, Bandung.
Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Underwood, J.C.E, (1999), Patologi Umum dan Sistematik, Edisi 2, EGC, Jakarta.
Arisandi, Defa. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kanker Paru. Sekolah Tinggi Ilmu
Keperawatan Muhammadiyah. Pontianak
Anwar J, Elisna S, Ahmad H. Kemoterapi Kanker Paru .Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan, Jakarta
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Mata Kuliah : Keperawatan Medikal bedah I

Materi : Askep TBC dan Pneumonia

Semester : III

Capaian Pembelajaran :

1. Mahasiswa memahami pengertian dari penyakit TBC dan Pneumonia


2. Mahasiswa memahami penyebab dari penyakit TBC dan Pneumonia
3. Mahasiswa memahami tanda dan gejala dari penyakit TBC dan Pneumonia
4. Mahasiswa memahami pemeriksaan penunjang dari penyakit TBC dan Pneumonia
5. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan penyakit TBC dan Pneumonia
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit TBC dan
Pneumonia
7. Mahasiswa mampu membuat perencana keperawatan pada pasien dengan penyakit TBC dan
Pneumonia
8. Mahasiswa mampu melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit TBC
dan Pneumonia

N Minggu TUJUAN Bahan Kajian METODE Kriteria BOBO Standar


O Ke Penilaian T Kompetensi
(Kemampuan (Materi Ajar) (Bentuk (Indikator) NILAI Profesional
Hari/ yg Diharapkan) Pembelajar
Tanggal an) (%)

1. II 1. Memhami 1. Review Persentasi 1. Kehadi Kehadir 1. Melaksan


pengertian Anatomi ran an = akan
A:24/09/2 2. Memaham dan tidak 10% tindakan
014 i penyebab patofisolog Kelompok kurang Tugas = pengobat
(09.40- 3. Memaham i dari 20% an
11.20) i tanda dan pernapasan 75%. sebagai
gejala 2. Pengertian 2. Kehadi UTS = hasil
B:26/09/2 4. Memaham penyakit ran 35% kolaboras
i TBC dan 75% - i
014
pemerikas Pneumonia 85% UAS = 2. Mengkon
(09.40- aan 3. Penyebab wajib sultasikan
11.20) 35%
penunjang penyakit menger penangan
5. Melaksana TBC dan jakan an pasien
C:23/09/2 kan Pneumonia tugas terhadap
014 pengkajian 4. Tanda dan 3. Mahasi tim
(11.50- keperawat gelaja swa kesehatan
13.30) an penyakit sesuai lain.
6. Merumusk TBC dan kelomp 3. Melaksan
an Pneumonia ok akan
diagnosa 5. Pemeriksaa wajib asuhan
keperawat n persent keperawa
an penunjang asi tan
7. Membuat 6. Pengkajian materi dengan
perencana keperawata yang gangguan
an n pasien telah di pemenuh
keperawat 7. Merumusk tentuka an
an an n kebutuha
8. Melaksana diagnosa n oksigen
kan keperawata 4. Melaksan
evaluasi n akan
keperawat 8. Membuat asuhan
an rencana keperawa
keperawata tan pada
n pasien
9. Evaluasi pre dan
keperawata post
n operasi

Dosen,

Insana Maria, BSN,.M.Kep

NIK. 19820908 201010 2 018

Anda mungkin juga menyukai