Anda di halaman 1dari 2

Aktivitas manusia sehari-hari tidak lepas dari perjanjian.

Perjanjian merupakan kesepakatan


antara dua orang atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui oleh mereka. Perjanjian tidak
harus dituang dalam bentuk tertulis, bahkan secara sederhana kegiatan jual beli dapat disebut
dengan perjanjian.

Namun dalam kegiatan bisnis dan utang piutang, perjanjian disajikan dalam bentuk tertulis dan
sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Partner pada Nindyo & Associates, Sarmauli
Simangunsong, mengatakan bahwa perjanjian yang disajikan dalam bentuk tertulis memberikan
banyak manfaat dan tujuan seperti kepastian hukum, meminimalisir konflik, menjadi alat bukti
jika terjadi sengketa, dan memiliki fungsi ekonomis.

“Manfaat perjanjian memberikan fungsi ekonomis kepada para pihak. Misalnya perusahaan
memiliki perjanjian jangka panjang ke perusahaan penyedia jasa. Suatu saat jika perusahaan mau
IPO, perjanjian dengan beberapa pihak tersebut sangat berharga. Karena investor akan melihat
perjanjian-perjanjian perusahaan, oh perjanjiannya bagus,” kata Sarma dalam IG Live
Klinikhukum “Yuk Tanya-Jawab Seputar Hukum Perjanjian”, Jumat (29/5).

Untuk membuat perjanjian, lanjut Sarma, terdapat unsur-unsur yang harus dipahami. Pertama,
unsur essensialia. Unsur essensialia adalah bagian perjanjian yang harus selalu ada di dalam
suatu perjanjian, bagian yang mutlak, di mana tanpa adanya bagian tersebut perjanjian tidak
mungkin ada.

“Unsur esensialia adalah pokok syarat yang tidak bisa diabaikan dalam perjanjian, harus ada
dalam perjanjian jika tidak ada maka perjanjian tidak sah. Misalnya perjanjian jual beli unsur
pokoknya harus ada obyek jual beli, kemudian harus ada harga. Kalau tidak ada obyek
bagaimana mau membuat perjanjian, dan kalau tidak ada harga bagaimana mau membuat jual
beli,” jelas Sarma. (Baca: Mengenal Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian
Bisnis)

Kedua, unsur naturalia. Unsur naturalia adalah bagian perjanjian yang oleh Undang–undang
diatur, tetapi oleh para pihak dapat diganti, sehingga bagian tersebut oleh Undang–undang diatur
dengan hukum yang sifatnya mengatur atau menambah. Dalam konteks ini, unsur naturalia bisa
disebutkan dalam perjanjian, namun jika para pihak memutuskan untuk tudak memasukkan
dalam perjanjian, maka perjanjian tetap mengikat dan tidak akan membatalkan perjanjian.

Ketiga, unsur aksidentalia. Unsur aksidentalia atau unsur pelengkap adalah bagian perjanjian
yang ditambahkan oleh para pihak, sementara Undang – Undang sendiri tidak mengatur tentang
hal tersebut. Jadi hal yang diinginkan tersebut juga tidak mengikat para pihak karena memang
tidak ada dalam Undang – Undang.

“Aksidentalia, unsur pelengkap. Unsur yang disetujui para pihak, bisa diatur atau tidak dalam
perjanjian misalnya tempat melakukan tanda tangan perjanjian dan sebagainya,” ujar Sarma.

Kemudian dalam kerangka perjanjian terbagi atas tiga bagian. Bagian pertama adalah
pembukaan. Pada bagian ini, lanjut Sarma, hal pokok adalah judul perjanjian atau kontrak. Judul
dan isi perjanjian harus sama, lalu ada komparisi yang menerangkan tentang isi, dan juga premis
atau latar belakang kontrak.

“Dalam bagian pembukaan, judul harus sesuai dengan isinya, kalau isinya jual beli judulnya
jangan sewa menyewa. Lalu komparisi, itu isinya apa, menjelaskan para pihak dan para pihak ini
harus dilihat dengan cermat siapa yang boleh melakukan perjanjian, dan ada premis yakni latar
belakang perjanjian,” paparnya.

Setelah bagian pembukaan, perjanjian masuk ke bagian kedua yakni isi perjanjian. Isi perjanjian
ini harus memuat unsur-unsur dalam perjanjian seperti ketentuan pokok, tambahan, atau
formalitas, pemilihan Bahasa dalam kontrak, penyelesaian sengketa dan diakhiri dengan penutup
atau akhir kontrak.

Meski para pihak sudah membuat suatu perjanjian secara tertulis, Sarma mengingatkan bahwa
potensi sengketa atau konflik akan tetap ada. Sengketa yang kerap muncul dalam perjanjian
adalah wan prestasi dimana salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya sesuai isi
perjanjian.

“Saat seseorang tidak bisa menjalankan kewajiban dia memang bisa disebut wanprestasi,
melanggar kewajiban, tapi ada kondisi karena keadaan yang tidak bisa dihindari dan bukan
kesalahan salah satu pihak itu disebut force majeur. Dalam perjanjian biasanya juga diatur
bagaimana prosedur force majeur diakui oleh pihak yang satunya,” pungkasnya.

Anda mungkin juga menyukai