Anda di halaman 1dari 10

SOCIAL MOVEMENT MPBI DIY DALAM PERJUANGAN

UPAH LAYAK BURUH DI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sektor perburuhan dalam sejarah panjangnya tidak pernah terlepas dari

gejolak-gejolak antara buruh dengan perusahaan maupun pemerintah. Hal itulah

yang seiring perkembangan waktu membuat sektor perburuhan itu berkembang

dan berada pada situasi sosial-ekonomi yang cukup stabil, dimana sudah terdapat

banyak regulasi-regulasi yang mengatur kesejahteraan buruh. Tetapi, sisi lain dari

regulasi yang sudah mapan tersebut, pro-kontra atas regulasi yang mengatur

sektor perburuhan masih dapat kita temukan, seperti demonstrasi oleh buruh dan

gugatan-gugatan terhadap kebijakan yang merugikan buruh. Adanya pro-kontra

ini menjadi gejolak baru yang akan terus direproduksi di setiap zamannya.

Pada dasarnya, konflik yang terjadi antara kedua kelas yakni kelas buruh

dan kelas pemodal adalah disebabkan oleh kepentingan kedua kelas tersebut yang

saling bertolak belakang. Buruh sebagai kelas proletar kepentingannya adalah

mendapatkan upah sebesar-besarnya dari hasil bekerja kepada pemodal dan kelas

pemodal yang memiliki kepentingan untuk meraup untung sebesar-besarnya dari

hasil kerja buruh. Tak luput juga para pengusaha ini mengabaikan hak-hak para
buruhnya. Sehingga dengan kepentingan yang saling bertolak belakang ini

membuat konflik diantara keduanya akan selalu ada.

Posisi buruh dalam dinamikanya sendiri selalu dalam posisi yang tidak

berdaya, mengingat dalam dunia yang kapitalistik ini pemilik modal adalah yang

memiliki kuasa atas apa yang ada di dunia ini. Sering kali gejolak yang mucul

didasari atas bagaimana pemilik modal yang sewenang-wenang dalam bertindak

untuk mencapai kepentingannya. Kondisi demikian juga didukung dengan sikap

negara yang lebih menjadi perpanjangan tangan dari pemodal, di mana seharusnya

menjadi penengah antara buruh dan pemodal. Sehingga dalam sejarahnya buruh

menjadi kaum yang ditindas oleh pemodal. Sekalipun dengan kondisi yang

timpang tersebut, bukan tanpa adanya perlawanan dari buruh itu sendiri terhadap

penindasan yang mereka dapatkan. Dalam kurun waktu semenjak Revolusi

Industri di Inggris, sudah banyak perlawanan dari buruh dalam menuntut keadilan

dan hak-haknya yang diabaikan. Perlawanan-perlawanan buruh atas ketidakadilan

tersebut berupa sebuah gerakan buruh yang bermunculan di berbagai tempat dan

kondisi lokalitas masing-masing.

Selain itu, dalam kerangka yang lebih luas dan melihat kondisi modern ini,

ketertidasan yang dialami buruh merupakan dampak dari adanya intervensi pasar

yang kian kuat dalam mencengkram negara akibat derasnya laju neoliberalisasi.

Pasar internasional yang didalamnya terdapat, Trans National Corporation

(TNC), Multi National Corporation (MNC), World Trade Organization (WTO)

dan World Bank yang ada dibalik dari ketertindasan buruh (Zuhdan, Muhammad).

Intervensi pasar yang cukup masif ini manjadikan lawan buruh tak hanya sebatas
perusahaan dan negara saja, serta bukan lagi pada hubungan produksi antara

buruh dan majikan saja. Akan tetapi, tentang bagaimana buruh yang dijadikan

komoditas pasar yang dalam artiannya, ia tidak memiliki kuasa atas dirinya

sendiri. Dengan demikian, pihak yang berkuasa akan semakin sewenang-wenang

terhadap yang lemah. Sehingga peran gerakan sosial cukup penting bagi

perlawanan kaum buruh. Gerakan sosial akan menjadi kekuatan politik bagi buruh

dalam perlawanannya terhadap ketidakadilan dan mewujudkan perubahan yang

lebih baik bagi buruh. Gerakan ini akan menyuarakan keresahan para buruh,

keresahan atau isu yang seringkali disuarakan adalah permasalahan upah murah

yang didapat buruh, sehingga mereka menuntut upah yang layak bagi buruh. Isu

upah layak/kenaikan upah merupakan isu strategis yang akan selalu digaungkan

oleh gerakan buruh.

Gerakan buruh dalam proses menyuarakan ketidakadilan dan hak-hak

buruh tersebut secara kolektif dimotori oleh serikat-serikat buruh yang kemudian

melakukan berbagai macam aksi dan advokasi menyuarakan keresahan yang

berupa ketidakadilan terhadap buruh. Adapun aksi dan advokasi yang dilakukan

oleh serikat buruh baik itu dengan bentuk aksi turun ke jalan maupun dengan

bentuk perundingan atau audiensi dengan perusahaan dan pemangku kebijakan.

Karena adanya serikat buruh itu sendiri ditujukan sebagai penguat nilai tawar dan

politik buruh dalam hubungan industrial antara buruh dan pengusaha. Serikat

buruh akan berperan sebagai perwakilan dari buruh dalam perundingannya

dengan perusahaan terkait hubungan industrial, memastikan kesejahteraan buruh,

dan mereka menjadi penekan dan memengaruhi parlemen (Zulkarnain Ibrahim,


2016:154). Pada prakteknya juga serikat buruh yang satu dengan lainnya melalui

kesadaran kelas yang sama bersatu membentuk sebuah aliansi terutama dalam

menanggapi dan mengadvokasi isu yang tidak terbatas pada lingkup satu

perusahaan saja, seperti isu-isu mengenai kebijakan atau regulasi yang

dikeluarkan pemerintah.

Peran serikat buruh sangatlah penting dalam memobilisir buruh-buruh

ketika para buruh termarjinalkan oleh kekuasaan. Sehingga dengan itu para buruh

yang dimobilisir oleh serikat buruh akan melakukan tindakan kolektif

menyuarakan keresahannya. Struktur serikat buruh pada umumnya terdiri dari

para buruh perusahaan dimana serikat itu berada. Tetapi terdapat pula serikat

buruh yang juga bisa diisi oleh selain buruh.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara umum bukanlah kawasan

industri, melainkan daerah yang identik dengan pariwisata dan pendidikan,

ditambah juga predikatnya sebagai Daerah Istimewa. Tetapi, sekalipun bukan

merupakan kawasan industri, terdapat beberapa pabrik dan perusahaan yang

beroperasi di DIY. Jika dibandingkan dengan Kabupaten Bekasi, Kabupaten

Karawang dan, Kota Surabaya yang merupakan daerah kawasan industri, upah

minimum di DIY tergolong rendah, bahkan pernah menjadi Upah Minimum

Provinsi (UMP) terendah se-Indonesia, di mana sekarang menjadi kedua dari

bawah setelah Jawa Tengah. UMP yang rendah ini oleh aktivis perburuhan sejak

paska reformasi 98 selalu disuarakan untuk adanya perbaikan sistem penetapan

UMP, agar dapat menghasilkan penetapan UMP yang layak bagi buruh di DIY.
Berbagai advokasi kebijakan tersebut telah dilakukan oleh aktivis

perburuhan hingga hari ini menjadi sebuah kerja kolektif oleh sebuah gerakan

buruh di DIY. Gerakan buruh yang merupakan gerakan sosial dalam hal ini sektor

perburuhan menjadi basis perjuangannya. Ada beberapa gerakan buruh yang eksis

di DIY, salah satu yang cukup vokal dalam menyuarakan isu perburuhan yaitu,

Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) yang

merupakan sebuah aliansi dari beberapa serikat buruh, federasi dan konfederasi

serikat buruh di DIY. Strategi yang dilakukan oleh MPBI DIY sejauh ini cukup

variatif mulai dari aksi jalanan, audiensi, hingga penyadaran massa melalui

diskusi isu-isu perburuhan. Eksistensi MPBI DIY ini tak lain menjadi suara-suara

sumbang atas ketidakadilan yang terjadi pada buruh di DIY (Dinta).

Permasalahan upah menjadi salah satu isu strategis bagi perjuangan buruh

melalui gerakan buruh. Sebab setiap tahunnya upah minimum ditetapkan oleh

pemangku kebijakan berdasar regulasi yang berlaku. Namun demikan, upah buruh

selalu tidak berpihak kepada buruh itu sendiri, sekalipun selalu naik dari tahun ke

tahun upah minimum yang ditetapkan. Kenaikan upah minimum di DIY baik

provinsi maupun kota/kabupaten di dalamnya tidak pernah mencapai 10% yang

mana setiap tahunnya juga upah minimum tersebut tidak mencapai angka KHL.

Oleh karena itu, terjadi ketimpangan antara pengeluaran buruh dalam satu

bulan dengan upah minimum yang ditetapkan, hal itu lantas mengakibatkan defisit

ekonomi bagi buruh. Untuk tahun 2024 sendiri, UMP yang ditetapkan pada bulan

November adalah Rp 2.125.897. Sedangkan nominal KHL yang didapatkan

melalui survey ada pada angka Rp 3.169.966 untuk Kabupaten Gunungkidul yang
merupakan nominal terendah, dan Rp 4.131.970 untuk Kota Yogyakarta sebagai

perolehan KHL tertinggi di DIY (SBY).

Gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum buruh itu merupakan sebuah

bentuk perlawanan dari kelas buruh terhadap ketidakadilan yang menimpanya.

Gerakan buruh di DIY yang dalam penelitian ini adalah MPBI DIY, memiliki

beberapa metode dan bentuk aksi dalam memperjuangkan upah layak bagi buruh

di DIY. Sejak tahun 2020 MPBI DIY telah berkali-kali melakukan aksi jalanan di

DIY terutama yang paling besar adalah ketika Aksi Penolakan UU Cipta Kerja di

DPRD DIY dan Kantor Gubernur DIY pada 8 Oktober 2020. Juga aksi rutin

sebelum penetapan UMP DIY setiap tahunnya dengan tuntutan kenaikan UMP

sesuai KHL, yang mana MPBI DIY sebelum penetapan UMP telah melakukan

Survey KHL. Tak luput juga mereka melakukan audiensi-audiensi dengan para

pemangku kebijakan terkait upah minimum yang layak dan kebijakan-kebijakan

ketenagakerjaan lainnya. MPBI DIY juga berhasil menempatkan anggotanya

untuk duduk di Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan

Kabupaten/Kota di DIY, meskipun belum memberikan dampak yang signifikan

dalam kebijakan pengupahan di DIY lantaran Dewan Pengupahan dalam

fungsinya sudah mulai dihilangkan.

Tak hanya metode yang bersifat penyampaian aspirasi dan advokasi,

MPBI DIY juga melakukan pendidikan dan penjelasan atas perjuangannya

terhadap upah layak, terbukti mereka juga memberikan pelatihan dan pendidikan

tentang perburuhan kepada buruh itu sendiri sehingga mampu memperkuat

basisnya yakni serikat buruh di tingkatan perusahaan. MPBI DIY sebagai gerakan
sosial tidak menutup diri hanya pada buruh, mereka juga memberikan pendidikan

kepada mahasiswa-mahasiswa yang tertarik terhadap dunia perburuhan, sehingga

didalam MPBI DIY terdapat Sekolah Buruh Yogyakarta (SBY) yang berisikan

mahasiswa.

Sebagai sebuah gerakan sosial penting bagi MPBI DIY memiliki sebuah

tujuan, adapun tujuannya adalah kesejahteraan buruh salah satunya adalah melalui

upah yang layak dengan standar kelayakan upah adalah KHL. Dengan begitu

buruh dapat sejahtera sehingga dapat menekan angka ketimpangan yang tinggi di

DIY.

Melalui tujuan yang dimiliki tersebut kemudian diturunkan menjadi

sebuah aksi-aksi dengan disesuaikan pada konteks permasalahan yang dihadapi.

Seperti halnya ketika akan adanya penetapan upah minimum di tahun yang akan

datang, mereka akan memersiapkan agenda guna menyambut itu. Adapun agenda

yang dipersiapkan sesuai dengan tujuan utama mereka yakni, perubahan

kesejahteraan sosial ekonomi buruh melalui kenaikan upah minimum yang layak.

Dalam konteks menyambut penetapan upah minimum, MPBI DIY akan

melakukan survey KHL untuk menemukan besaran kebutuhan buruh dalam satu

bulan yang mana itu akan menjadi acuan mereka seberapa besar upah yang layak

bagi buruh di DIY. Hasil survey tersebut yang nantinya akan mereka

kampanyekan, baik itu melalui media massa, media sosial, maupun aksi jalanan.

Proses menuju perubahan sosial berupa upah minimum sesuai Kebutuhan

Hidup Layak yang dilakukan oleh MPBI DIY ini menarik untuk dilihat proses dan
dampaknya. Hal itu bisa menjadi gambaran bagi gerakan sosial lain dalam

melakukan perubahan sosial terutama gerakan buruh lain dan ditempat lain.

Melalui pendekatan Teori Gerakan Sosial atau Social Movement Sidney Tarrow,

penelitian ini coba melihat proses-proses gerakan buruh melakukan perlawanan

terhadap Politik Upah Murah yang terjadi di DIY.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan penjelasan di atas maka rumusan

masalahnya adalah berikut:

1. Sebagai sebuah gerakan sosial, apa yang dilakukan oleh MPBI DIY dalam

melakukan perubahan sosial?

2. Apa dampak MPBI DIY terhadap pengupahan di Daerah Istimewa

Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Menjelaskan kerja-kerja perubahan sosial yang dilakukan oleh MPBI

DIY sebagai gerakan sosial dalam mewujudkan upah layak bagi

buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Mengetahui secara objektif dampak gerakan sosial yang dibangun

MPBI DIY terhadap kebijakan pengupahan di Daerah Istimewa

Yogyakarta.
D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih terutama

pada kajian tentang gerakan sosial yang eksis di masyarakat. Dengan

menyajikan data dan fakta atas perjuangan upah layak bagi buruh

yang dilakukan oleh sebuah gerakan sosial. Serta dapat menjadi

referensi untuk penelitian selanjutnya.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi

bagi gerakan sosial lainnya dalam melakukan perubahan sosial dan

menjadi refleksi bagi objek penelitian sehingga kedepannya apa yang

dicita-citakan segera terwujud, yakni sistem pengupahan yang mampu

menghasilkan upah layak bagi buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Teriring dengan itu, penelitian ini diharapkan mampu membangun

wacana perburuhan yang lebih masif lagi terutama di kalangan

mahasiswa, karena mahasiswa/pemuda adalah satu-satunya tenaga

yang tersedia ketika buruh dan tani belum menemukan teman. Serta

menjadi koleksi bacaan dan referensi bagi UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta dalam topik yang berkaitan.

E. Tinjauan Pustaka

Guna menghasilkan sebuah penelitian yang komprehensif dalam lingkup

permasalahan yang dipilih, peneliti membaca penelitian-penelitian dan karya


ilmiah, sebentuk skripsi maupun jurnal sebelumnya yang memiliki beberapa

kesamaan tetapi dengan fokus pembahasan yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai