Anda di halaman 1dari 5

Kondisi Tenaga Kerja Di Indonesia

Bab I
A. Latar Belakang
Permasalahan tenaga kerja di Indonesia semakin berat. Bagaimana tidak berat, angka pengangguran saja
sudah mencapai 38,3 juta jiwa. Dari angka itu tercatat 8,1 juta yang menganggur total atau tidak bekerja sama
sekali dan tidak memiliki penghasilan. Sementara yang 30,2 juta, itu setengah menganggur, atau mereka yang
bekerja di bawah 35 jam. Bahkan, bila ada buruh yang dibayar UMR, meski bekerja selama 40 jam, tak cukup
untuk memenuhi standar hidupnya.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan
ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan
kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan
pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama
kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat
pembangunan dalam jangka panjang.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan
potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong
peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Bab II
A. Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia
1. Pengangguran dan pendidikan rendah
Masalah di atas pada akhirnya tali temali menghadirkan implikasi buruk dalam pembangunan hukum di
Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh keempat masalah di atas dapatlah disimpulkan bahwa akar dari semua
masalah itu adalah karena ketidakjelasan politik ketenagakerjaan nasional. Sekalipun dasar-dasar konstitusi
UUD 45 khususnya pasal 27 dan pasal 34 telah memberikan amanat yang cukup jelas bagaimana seharusnya
negara memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari
jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang
efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan
terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain: perusahaan yang menutup/mengurangi
bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat
inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dll.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450
ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5.78 juta)
adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin
mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.
Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per
minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada
jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah.
Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang
harus segera dituntaskan.
Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya dipengaruhi oleh besarnya
angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi
oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang hanya
berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.

Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan
kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta orang. Sekitar 44,33
persen kesempatan kerja ini berada disektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih
tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.
Dan selama hampir 25 tahun lebih pemerintah Indonesia percaya, dengan jenis investor ini, sampai kemudian
disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah jenis industri yang paling gemar
melakukan relokasi. Pemindahan lokasi industri ke negara yang menawarkan upah buruh yang lebih kecil,
peraturan yang longgar, dan buruh yang melimpah. Mereka diberikan gelar industri tanpa kaki (foot loose
industries), karena kemudahan mereka melangkah dari satu negara ke negara lainnya.
Indonesia yang mendapat era reformasi tahun 1998 secara ambisius meratifikasisemua konvensi dasar ILO (a
basic human rights conventions) yaitu; kebebasan berserikat dan berunding, larangan kerja paksa, penghapusan
diskriminasi kerja, batas minimum usia kerja anak, larangan bekerja di tempat terburuk. Ditambah dengan
kebijakan demokratisasi baru dibidang politik, telah membuat investor tanpa kaki ini kuatir bahwa demokratisasi
baru selalu diikuti dengan diperkenalkannya
Undang-undang baru yang melindungi dan menambah kesejahteraan buruh. Bila ini yang terjadi maka
konsekuensinya akan ada peningkatan biaya tambahan (labor cost maupun overheadcost). Bagi perusahaan
yang masih bisa mentolerir kenaikan biaya operasional ini, mereka akan mencoba terus bertahan, tetapi akan
lain halnya kepada perusahaan yang keunggulan komparatifnya hanya mengandalkan upah murah dan
longgarnya peraturan, mereka akan segera angkat kaki ke negara yang menawarkan fasilitas bisnis yang lebih
buruk.
Itulah sebabnya sejak tahun 1999-2002 diperkirakan jutaan buruh telah kehilangan pekerjaan karena
perusahaannya bangkrut atau re-lokasi ke Cina, Kamboja atau Vietnam. Jenis indusri seperti ini sudah lama
hilang dari negara-negara industri maju, karena sistem perlindungan hukum dan kuatnya serikat buruh telah
membuat industri ini hengkang ke negara lain.
Investor yang datang ke sektor ini adalah investor yang berbisnis dengan memanfaatkan potensi sumber daya
alam kita, bukan karena sumber daya manusia yang melimpah. Industri ini juga tidak mengenal re-Iokasi (kecuali
kaJau sudah habis masa eksplorasi). Karena tidak di semua tempat ada tersedia sumber daya alam yang
melimpah. Mengandalkan terus-menerus industri ke sektor padat karya manufaktur, akanhanya membuat buruh
Indonesia seperti hidup seperti dalam ancaman bom waktu.
Rentannya hubungan kerja akibat buruknya kondisi kerja, upah rendah. PHK semenamena dan perlindungan
hukum yang tidak memadai, sebenarnya adalah sebuah awal munculnya rasa ketidakadilan dan potensi
munculnya kekerasan. Usaha keras dan pembenahan radikal harus dilakukan untuk menambah percepatan
investor baru. Saya sangat sedih mendengar berita tentang minimnya atase perdagangan Indonesia yang
mempromosikan potensi keunggulan ekonomi kita. Indonesia dengan penduduk 210 juta Singapura, dengan
penduduk 4 juta memiliki 125 atase perdagangan, Thailand dengan penduduk 60 juta punya 75 atase, Malaysia
80, Philippine 45. Bagaimana mungkin negara lain tahu ada potensi kita bila tenaga yang mempromosikannya
hanya 25 orang.
Potensi investasi di banyak negara berkembang juga dapat kita temukan di web-site khusus mereka, yang
disediakan untuk menarik investor asing potensial. Di dalam situs itu bisa ditemukan (bahkan infofmasi setiap
daerah) potensi bisnis apa yang layak dikembangkan. Indonesia sejauh yang saya ketahui tidak punya situs
informasi secanggih itu. Selain itu, poIitik nasional kita juga tidak memiIiki komitmen sungguh-sungguh untuk
meningkatkan kualitas SDM, terbukti dengan minimnya alokasi dana APBN yang disepakati politisi dan
pemerintah untuk anggaran pendidikan. Rasio anggaran pendidikan Indonesia untuk untuk pendidikan hanya
1.6% dari PDB. Sementara itu Thailand 3,6. Singapura 2.3 dan India 3.3. Itu sebabnya banyak sekolah SD yang
tidak mempunyai guru atau hanya mempunyai 1 atau 2 orang guru yang mengajar semua kelas 1 sampai kelas
6.

2. Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah


Dalam kamus modern serikat buruh, hanya ada dua cara melindungi buruh yaitu; Pertama, melalui undangundang perburuhan. MeIalui undang-undang buruh akan terlindungi secara hukum, mulai dari jaminan negara
memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan dan keselamatan kerja dan upah
layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun.
Kedua, melalui serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus, tetapi buruh tetap memerlukan
kehadiran serikat buruh untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB ). PKB adalah sebuah dokumen
perjanjian bersama antara majikan dan buruh yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hanya
melalui serikat buruhlah bukan melalui LSM ataupun partai politik bisa berunding untuk mendapatkan hakhak tambahan (di luar ketentuan UU) untuk menambah kesejahteraan mereka.
3. Penurunan Pekerja Sektor Formal
Jumlah orang yang bekerja di sektor formal terus mengalami penurunan semenjak tahun 2000 dan terus turun
hingga lebih dari 1 juta lapangan kerja yang hilang di tahun 2003. Kondisi ini terutama terlihat sekali pada
kelompok pekerja kasar. Di lain pihak, pekerja di sektor informal menunjukkan gejala yang terus meningkat.
Pada tahun 2003 terdapat peningkatan sekitar 400.000pekerja. Jumlah pekerja di sektor pertanian, dimana
kebanyakan berada pada sektor informal, juga kembali meningkat dari 40 persen pada tahun 1997 menjadi
sekitar 46,3 persen pada tahun 2003. Kecenderungan ini merupakan gambaran bahwa pekerjaan yang lebih
produktif, dengan sistem jaminan socials yang memadai sedang mengalami penurunan, digantikan dengan
pekerjaan yang kurang produktif dan tanpa proteksi sosial.
Penciptaan lapangan kerja yang mengecewakan saat ini amat berbeda jauh dengan pengalaman Indonesia di
masa lalu. Sebelum krisis pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh ekspor dengan investasi tinggi merupakan
sumber utama penyerapan tenaga kerja. Antara tahun 1990 hingga 1995, industri berorientasi ekspor beserta
berbagai industri pendukungnya diperkirakan telah menyediakan separuh dari total pekerjaan yang ada.
B. Solusi masalah ketenagakerjaan di Indonesia
Secara umum kita dapat mengatasi berbagai masalah ketenagakerjaan melalui berbagai upaya praktis seperti
berikut:
1. Mendorong Investasi
Mengharapkan investasi dari luar negeri kenyataannya belum menunjukkan hasil yang berarti selama tahun
2006 lalu. Para investor asing mungkin masih menunggu adanya perbaikan iklim investasi dan beberapa
peraturan yang menyangkut aspek perburuhan. Kalau upaya terobosan lain tidak dilakukan, khawatir masalah
pengangguran ini akan bertambah terus pada tahun-tahun mendatang.
Hasil survei menunjukkan bahwa selain stabilitas makroekonomi, investor juga menyoroti masalah kebijakan
yang tidak pasti dan korupsi. Selain itu regulasi masalah tenaga kerja juga seringkali menjadi perhatian utama.
Peningkatan investasi membutuhkan serangkaian reformasi struktural, termasuk menurunkan tingkat korupsi,
memperbaiki sistem dan administrasi perpajakan, mendorong terciptanya kepastian hukum serta menyediakan
infrastruktur yang memadai. Sudah barang tentu reformasi semacam ini membutuhkan waktu yang cukup
panjang agar dapat memberikan hasil yang optimal. Namun demikian, dengan memperkenalkan kebijakankebijakan yang kredibel serta mengambil langkah-langkah yang menunjukkan komitmen pada reformasi, akan
mendorong kepercayaan dan meningkatkan investasi secara lebih cepat.
Hal ini dapat dilihat dari catatan Badan Pusat Statistk tahun 2005, bahwa setiap 1% kenaikan pertumbuhan
ekonomi dari kontribusi UMKM akan mampu diserap sekitar 512 ribu angkatan kerja baru. Oleh karena itu, maka
kita harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi oleh UMKM. Bagaimana mendorong
investasi di sektor UMKM dan pada sektor mana saja yang perlu mendapatkan perhatian. Dari data BPS
tersebut terungkap bahwa beberapa sektor yang memberikan kontribusi besar dalam pembentukan PDB yang
pertanian, khususnya sub-sektor agribisnis dan agroindustri, seperti minyak nilam, industri olahan dari produk
kelapa, seperti sabut kelapa, tempurung kelapa, VCO Virgin Coconut Oil, dan berbagai produk kelapa lainnya.

Beberapa produk perikanan dan kelautan juga sangat potensial untuk dikembangkan seperti udang, ikan kerapu
dan rumput laut dan beberapa jenis budidaya perikanan dan kelautan lainnya. Sektor industri manufaktur dan
kerajinan, khususnya untuk industri penunjang - supporting industries seperti komponen otomotif, elektronika,
furnitur, garmen dan produk alas kaki juga memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan dan penyerapan
tenaga kerja. Penulis juga mencermati banyak sekali produkproduk IT dan industri manufaktur yang sangat
dibutuhkan, baik untuk pasar domestik, maupun untuk pasar ekspor. Di samping kedua sektor tersebut, sector
jasa keuangan, persewaan, jasa konsultasi bisnis dan jasa lainnya juga memiliki prospek baik untuk
dikembangkan.
2. Memperbaiki daya saing
Daya saing ekspor Indonesia bergantung pada kebijakan perdagangan yang terus menjaga keterbukaan,
disamping menciptakan fasilitasi bagi pembentukan struktur ekspor yang sesuai dengan ketatnya kompetisi
dunia. Dalam jangka pendek, Indonesia dapat mendorong ekspor dengan mengurangi berbagai biaya yang
terkait dengan ekspor itu sendiri serta meningkatkan akses kepada pasar internasional. Kebijakan yang dapat
dipakai untuk mengontrol biaya-biaya tersebut diantaranya i) Menjaga kestabilan dan daya saing nilai tukar ii)
Memastikan peningkatan tingkat upah yang moderat sejalan dengan peningkatan produktifitas iii) Akselerasi
proses restitusi PPn dan restitusi bea masuk impor bagi para eksportir dan iv) Meningkatkan kemampuan
fasilitas pelabuhan dan bandara dan infrastruktur jalan untuk mengurangi biaya transportasi.
Selanjutnya, pemerintah dapat berupaya lebih keras lagi dalam menegosiasikan akses yang lebih besar ke pasar
internasional pada pembicaraan perdagangan multilateral Putaran Doha terbaru. Karena Indonesia telah
mempunyai kebijakan rezim perdagangan yang sangat terbuka, pemerintah dapat meminta pemotongan bea
masuk dan pembebasan atas berbagai pengenaan bea masuk bukan ad-valorem oleh negara-negara maju,
dengan dampak yang kecil bagi kebijakan proteksi Indonesia sendiri.
Hal yang juga harus menjadi perhatian bagi Indonesia adalah penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi
oleh buruh migran, baik di dalam maupun diluar negeri. Meski buruh migran harus dilihat sebagai solusi
sementara untuk mengatasi persoalan pengangguran, Indonesia masih dapat melakukan banyak hal dalam
meningkatkan akses lapangan pekerjaan di luar negeri bagi warga negaranya. Lebih khusus lagi pemerintah
dapat menggunakan forum Putaran Doha untuk meminta akses yang lebih baik bagi pekerja Indonesia di luar
negeri. Di saat bersamaan pemerintah juga harus berusaha meningkatkan kesejahteraan pekerja migran
tersebut.
3. Meningkatkan Fleksibilitas tenaga kerja
Indonesia memiliki aturan ketenagakerjaan yang paling kaku serta menimbulkan biaya paling tinggi di Asia Timur.
Sebagai contoh, biaya untuk mengeluarkan pekerja sangatlah tinggi; pesangon yang harus dibayarkan mencapai
9 bulan gaji. Tentunya kebijakan pasar tenaga kerja harus berimbang antara penciptaan pasar tenaga kerja yang
fleksibel dengan kebutuhan untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi tenaga kerja.
Memang akan sulit menjaga keseimbangan antara keinginan pengusaha dengan pekerja, namun perundangundangan ketenagakerjaan yang barubaru ini disahkan2, memberi kemungkinan untuk terciptanya consensus
diantara pengusaha dan serikat pekerja.
Meski demikian, beberapa undang-undang yang belum disetujui dapat berpotensi meningkatkan biaya usaha
yang tidak perlu. Padahal pemberian perlindungan bagi hak-hak pekerja dapat ditempuh dengan cara lain.
Misalnya, ketimbang membatasi atau melarang outsourcing, pemerintah dapat menempuh jalan lain dengan cara
menegakkan hak-hak pekerja pada perusahaan-perusahaan yang menjadi sub-kontraktor. Tidak adanya
kejelasan mengenai Rencana Undang-Undang Sistem Kesejahteraan Sosial yang akan disahkan, juga
menambah tingkat ketidakpastian bagi investor. Hal ini dapat berpengaruh buruk pada keputusan untuk
mempekerjakan tenaga kerja baru di tingkat perusahaan. Oleh karena itu, pelaksanaan berbagai peraturan
perburuhan dan RUU Perlindungan sosial memerlukan persiapan yang matang dan melibatkan masyarakat

secara luas. Langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan fleksibilitas tenaga
kerja antara lain:
Menyelesaikan pelaksanaan perundang-undangan tenaga kerja dan berkonsentrasi pada dua isu utama yang
mendapat perhatian para pengusaha yaitu: i) keleluasaan dalam mempekerjakan pekerja kontrak dan ii)
keleluasaan dalam melakukan outsourcing, dengan menekankan para sub-kontraktor untuk memenuhi hak-hak
pekerja mereka.
Menciptakan peradilan tenaga kerja, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perselisihan hubungan
industrial. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penyelesaian perselisihan tenaga kerja.
Membentuk tim ahli dalam menentukan tingkat upah minimum. Pemerintah pusat dapat menjalankan
kewenangan untuk membatasi peningkatan upah minimum di daerah.
Jika diperlukan, merevisi Undang-undang mengenai Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional yang baru disahkan
dan membentuk komisi tingkat tinggi yang bertugas mendesain sistem kesejahteraan nasional. Sistem ini harus
dapat dilaksanakan dan mendukung penciptaan lapangan pekerjaan.
4. Peningkatan Keahlian Pekerja
Pemerintah seharusnya dapat meningkatkan kemampuan angkatan kerja. Lemahnya kemampuan pekerja
Indonesia dirasakan sebagai kendala utama bagi investor. Rendahnya keahlian ini akan mempersempit ruang
bagi kebijakan Indonesia untuk meningkatkan struktur produksinya. Walaupun pada saat sebelum krisis
pendidikan di Indonesia mencapai kemajuan yang luar biasa, dalam segi kuantitas, kualitas pendidikan masih
tertinggal dibandingkan dengan negara-negara pesaing lainnya. Pemerintah harus lebih menekankan
pencapaian tujuan di bidang pendidikan formal dengan mereformasi sistem pendidikan, sesuai dengan prinsip
dan manfaat dari proses desentralisasi.
Di lain pihak sektor swasta juga dapat berperan dalam peningkatan mutu pendidikan dan meningkatkan keahlian
angkatan kerja. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia belum menunjukkan partisipasi yang cukup
aktif dibandingkan dengan negara- negara lain. Hanya sekitar 23 persen perusahaan di Indonesia yang
menawarkan pelatihan formal kepada pekerja mereka dibandingkan dengan 42 persen di Malaysia dan 69
persen di China. Pengurangan pajak yang dikenakan pada biaya pelatihan merupakan salah satu langkah
pemerintah untuk meningkatkan kualitas angkatan kerja.
Bab III
Kesimpulan
Kondisi ketenagakerjaan di indonesia amatlah kurang dari harapan. Angka pengangguran masih sangat tinggi,
kualitas pekerja yang kurang memadai dan berbagai factor lain yang turut memburuk kondisi tenaga kerja di
Indonesia. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan ketenagakerjaan Indonesia belumlah cukup untuk
mengentaskan para pekerja dari kemiskinan.
Saran
Pemerintah dilarang mengambil keuntungan apapun dari Jamsostek, bahkan sebaliknya. Pemerintah yang
bertanggungjawab, harus memberikan kontribusi setiap tahun, sehingga buruh bisa hidup layak. Pemerintah
harus segera merubah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga buruh korban PHK danburuh pensiunan
akan mendapat tunjangan layak dari Jamsostek. Sistem Jaminan sosial ketenagakerjaan yang baik akan
mengurangi kriminalitas sosial. Diberikan jaminan penegakan hukum dan kepastian berusaha terhadap investor,
sehingga investor tidak bingung terhadap banyaknya prosedur tidak resmi dalam proses pengurusan usaha,
dan biaya-biaya yang tidak tercatat. Faktor inilah membuat pengusaha enggan berusaha di Indonesi sehingga
menyulitkan dalam menyalurka tenaga kerja

http://bayumusty.blogspot.com/2011/12/kondisi-tenaga-kerja-di-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai