Anda di halaman 1dari 21

AKUNTANSI PERBANKAN & LPD

NAMA KELOMPOK 4 :

1. NI KOMANG AYU LAKSMI NARISWARI (2102622010306/07)


2. NI KADEK LISTYA DEWI (2102622010307/08)
3. NI KADEK AYU SUANDEWI (2102622010308/09)
4. IDA AYU PUTU WIDIANTARI (2102622010309/10)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR

DENPASAR

2024
Cpmk 7

1.1 Mampu mengkaji konsep dan prinsip- prinsip Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP) bank
Bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa tabungan,
deposito dan giro yang kemudian dana tersebut dikelola oleh bank yaitu disalurkan
kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Penyaluran kredit ini diantaranya terhadap sektor ekonomi produktif seperti sektor
pertanian, industri dan perdagangan, serta terhadap sektor konsumtif. Tetapi dalam
kegiatannya menyalurkan kredit dengan tujuan memperoleh keuntungan, bank setelah
menyalurkan kredit dihadapkan dengan kredit bermasalah.
Salah satu penyebab terjadinya krisis perbankan adalah ketidakmampuan pihak
pengelola bank dalam melakukan evaluasi dan analisis risiko portofolio aktiva produktif.
Aktiva produktif merupakan aset yang ditanamkan untuk menghasilkan bunga atau
pendapatan dan salah satunya adalah kredit yang diberikan (Haryono, 2008). Bank
Indonesia telah mensyaratkan bank untuk membentuk penyisihan dari sebagian aktiva
produktif yang dimiliki. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari risiko kerugian
yang timbul di masa mendatang karena bank tidak dapat memperoleh kembali sebagian
atau sepenuhnya jumlah aktiva produktif.
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) merupakan Cadangan yang
dibentuk dengan cara membebani laba rugi tahun berjalan, dengan maksud untuk
menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dan tidak diterimanya kembali
sebagian atau seluruh aktiva produktif (maksimum 1,25% ATMR/Aset Tertimbang
Menurut Risiko). Penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dapat diperhitungkan
sebagai komponen modal pelengkap adalah maksimum persentase tertentu.( Kasmir,
2003). Penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) merupakan salah satu akun
dalam perbankan yang memiliki kecenderungan manipulasi yang cukup besar. Nilai
penyisihan penghapusan aktiva produktif(PPAP) mengukur tingkat efisiensi dan biaya
bank dalam membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) untuk
menutup kemungkinan risiko yang terjadi karena tidak tertagihnya fasilitas kredit atau
bentuk investasi aktiva produktif lain.
Semakin besar PPAP berarti semakin besar estimasi terhadap timbulnya pembiayaan
yang bermasalah sekalipun di pihak lain hal ini mencerminkan kemampuan bank untuk
menanggulangi kemungkinan tersebut. Pada awalnya semua pembiayaan adalah
pembiayaan lancar, maka PPAP dihitung sebagai persentase tertentu terhadap total
pembiayaan. Kemudian kalau pembiayaan berkembang sehingga ada yang kurang lancar,
maka terhadap yang kurang lancar tersebut perlu disisihkan PPAP yang lebih besar,
begitu seterusnya hingga untuk pembiayaan yang sudah digolongkan sebagai pembiayaan
macet, PPAP yang disisihkan adalah sebesar 100% dari jumlah debet yang macet (Dunil,
2005).
Dalam membentuk PPAP, bank akan memperhitungkan setiap jenis aktiva produktif
bank yang masih outstanding dari yang berkualitas lancar sampai yang macet, yang
didasarkan pada kriteria:
1. Ketepatan pembayaran kembali pokok dan bunga serta kemampuan peminjam yang
ditinjau dari keadaan usaha yang bersangkutan untuk kredit yang diberikan.
2. Tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yang ditanamkan, untuk surat
berharga
Aktiva produktif adalah penanaman dana bank baik dalam rupiah maupun valuta
asing (valas) dalam bentuk:
1. Kredit.
2. Surat berharga,
3. Penentuan dana antar bank
4. Penyertaan,
5. Termasuk komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif.

1.2 Menghitung PPAP Bank

A. Metode Penentuan Besar Cadangan Penyisihan Aktiva Produktif

Penentuan Penyisihan Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan Taswan (2003) Pengakuan


penyisihan aktiva produktif dengan menggunakan metode cadangan akan membawa
konsekuensi pada penentuan besarnya penyisihan dan cadangan yang akan disajikan dalam
neraca maupun laporan L/R. Untuk menentukan besarnya cadangan, ada dua pendekatan :

1. Pendekatan Rugi Laba


Dalam pendekatan ini yang ditentukan terlebih dahulu adalah besarnya
penghapusan/ penyisihan penghapusan aktiva produktif yang akan disajikan dalam
laporan rugi/laba, sedangkan besarnya cadangan penyisihan ditentukan kemudian.
Penentuan besarnya cadangan penghapusan dapat dilakukan secara intuisi atau
persentase tertentu dari debet aktiva produktif

2. Pendekatan Neraca
Dalam pendekatan ini yang ditentukan terlebih dahulu adalah besarnya
cadangan penghapusan aktiva produktif yang disajikan di neraca. Sedangkan besarnya
cadangan penghapusan yang disajikan di laporan rugi/laba ditentukan kemudian.
Pengenalan PPAP dan CKPN Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998, pembentukan atau penyisihan dana
itu disebut dengan istilah PPAP atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.
Dalam PPAP,menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia no. 31/148/KEP/DIR
tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.

B. Penentuan Tingkat PPAP

1) Cadangan Umum PPAP

Cadangan umum PPAP ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 1% dari aktiva


produktif yang digolongkan lancar, tidak termasuk SBI dan Surat Utang Pemerintah
(SUN). Kredit Kategori Lancar < 1%

2) Cadangan Khusus PPAP :


Cadangan khusus PPAP yang ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar:
a. 5% x (Kredit Kategori Dalam PerhatianKhusus)
b. 15% x (Kredit Kategori Kurang Lancar- Nilai Agunan)
c. 50% x (Kredit Kategori Diragukan-Nilai Agunan)
d. 100% x (Kredit Kategori Macet - NilaiAgunan)
Perlu diketahui bahwa agunan yang digunakan sebagai pengurang dalam
pembentukan PPAP adalah sebagai berikut:

Agunan 1:

Giro, deposito, tabungan, dan setoran jaminan dalam mata uang rupiah dan valuta
asing yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan. Untuk agunan ini stinggi-
tingginya sebesar 100% yang dapat digunakan sebagai pengurang.

Agunan 2:
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Pemerintah. Untuk nilai agunan ini
setinggi-tingginya 100% yang dapat digunakan sebagai pengurang.

Agunan 3:

Surat berharga yang aktif diperdagangkan di pasar modal. Untuk agunan surat
berharga yang dapat digunakan setinggi-tingginya 100%. Surat berharga dinilai dengan
menggunakan nilai pasar yang tercatat di Bursa Efek.

Agunan 4:

Tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara, dan kapal laut. Untuk agunan ini, untuk
penilaian yang dilakukan:

- Belum melampau 6 bulan sebesar 70%.


- Antara 6 bulan sampai dengan 18 bulan sebesar 50%
- Untuk 18 bulan sampai dengan 30 bulan sebesar 30%.
- Untuk penilaian yang dilakukan setelah 30 bulan sebesar 0%.

Tanah dinilai berdasarkan nilai pasar. Rumah tinggal dinilai berdasarkan nilai pasar
dan kalkulasi biaya. Sedangkan gedung, pesawat udara, dan kapal laut dinilai berdasarkan
nilai pasar, kalkulasi biaya, dan kapitalisasi pendapatan.

Contoh Kasus 1

Bank ABCD pada tanggal 31 Desember 2019 memiliki saldo-saldo seperti tampak pada
neraca sederhana.

Misalnya kita ingin menentukan PPAP untuk kredit yang diberikan, maka kita harus melihat
sisi debet (saldo terakhir pelaporan) kredit yang diberikan. Dalam neraca sebesar Rp
11.242.000.000
PT Bank ABCD
Neraca
per 31 Desember 2019

Aktiva Pasiva
Aktiva Lancar Kewajiban
Kas 400.000.000 Giro 700.000.000
Giro 600.000.000 SB diterbitkan 450.000.000
Bank Lain 450.000.000 Tabungan 2.000.500.000
PPAP -RBL 30.000.000 Deposito 8.000.000.000
Sekuritas Jangka Pendek 1.500.000.000 Pinjaman Diterima 4.000.000.000
PPAP-SJP 100.000.000 Kewajiban lainnya 500.000.000
Kredit di berikan 11.242.000.000 Total Kewajiban 15.650.500.000
PPAP-Kredit diberikan 545.000.000
Penyertaan 4.000.000.000 Modal
PPAP-Penyertaan 447.000.000 Modal 2.176.500.000
Total Aktiva Lancar 17.070.000.000
Aktiva Tetap
Aktiva Tetap 1.000.000.000
Akumulasi Penyusutan 243.000.000
Total Aktiva 17.872.000.000 Total Pasiva 17.827.000.000

Untuk dapat menentukan PPAP akhir tahun 2019, perlu diketahui kualitas kreditnya
dan bobot agunan yang digunakan dalam perhitungan.

Bila kita perhatikan saldo penyisihan penghapusan kredit yang diberikan yang telah dibentuk
tahun sebesar Rp 545.000.000.

Sedangkan pada akhir tahun 2019 PPAP yang harus dibentuk sebesar Rp 1.209.700.000.

Dengan demikian yang perlu ditambahkan sebesar:

= Rp 1.209.700.000 Rp 545.000.000

= Rp 664.700.000

Dan pencatatan jurnal umum transaksi yang diperlukan pada saat pembentukan PPAP adalah:

Tanggal 31/12/2019:
[Debit] Biaya Penyisihan Penghapusan Rp 664.700.000

[Kredit] Penyisihan Penghapusan Rp 664.700.000

Dengan demikian saldo Penyisihan Penghapusan Kredit pada tanggal 31 Desember 2019 jika
ditampilkan dalam Laporan Keuangan Bank adalah sebesar Rp 1.209.700.000.

C. Penghapus-bukuan Kredit Macet

Kredit yang telah digolongkan dalam kolektibilitas macet pada waktunya atas.
pertimbangan tertentu dapat dihapusbukukan. Pengertian penghapusbukuan adalah kredit
macet dan bunganya yang dikeluarkan dari neraca bank. Namun demikian kredit tetap ditagih
terus sampai dengan lunas. Nilai Pokok Kredit dan bunga yang macet dan harus
dihapusbukukan selanjutnya dibebankan kepada rekening penyisihan penghapusan kredit.

Perhatikan contoh pencatatan aktiva produktif bermasalah berikut ini:

Kredit macet atas nama PT Jaya Usaha Utama sebesar Rp 300.000.000 dan tunggakan bunga
Rp 30.000.000 dihapusbukukan.

Pencatatan jurnal transaksi ini adalah sebagai berikut:

[Debit] Penyisihan Penghapusan Kredit Rp 330.000.000

[Kredit] Kredit yang diberikan Rp 300.000.000

[Kredit] Pendapatan Bunga akan diterima Rp 30.000.000

Bila kemudian kredit tersebut dilunasi, maka bank harus membukukan kembali kredit
tersebut ke dalam rekening efektif, yaitu seperti berikut:

[Debit] Kredit yang diberikan Rp 300.000.000

[Debit] Pendapatan Bunga Akan Diterima Rp 30.000.000

[Kredit] Penyisihan Penghapusan Kredit Rp 330.000.000

Selanjutnya bank mencatat pelunasannya dengan jurnal sebagai berikut:

[Debit] Kas/Giro Rp 330.000.000

[Kredit] Kredit yang diberikan Rp 300.000.000

[Kredit] Pendapatan Bunga yang Akan Diterima Rp 30.000.000


Bagaimana dengan pencatatan pembentukan PPAP yang lain, seperti:

 Penempatan pada bank lain,

 Penyertaan, dan

 Surat berharga

Untuk melakukan pencatatan jurnal pembentukan PPAP pada prinsipnya sama dengan
pencatatan pada PPAP untuk kredit yang diberikan. Yaitu mencatat jurnal pembentukan
PPAP sebegai berikut:

1 Pencatatan jurnal penempatan pada bank lain:

[Debit] Biaya Penyisihan Penempatan pada Bank Lain Rp xxx

[Kredit Penyisihan Penempatan pada Bank Lain Rp xxx

2 Pencatatan jurnal umum untuk surat berharga:

[Debit] Biaya Penurunan Nilai Surat Berharga Rp xxx

[Kredit] Penyisihan Penurunan Nilai Surat Berharga Rp xxx

3 Pencatatan Jurnal umum untuk pencatatan PPAP - penyertaan:

[Debit] Biaya Penyisihan Penurunan Nilai Penyertaan Rp xxx

[Kredit] Penyisihan Penurunan Nilai Penyertaan Rp xxx

1.3 Menganalisis PPAP Bank untuk pengambilan keputusan

Tujuan awal penggunaan PPAP adalah sebagai alat penerapan prinsip kehati-
hatian(prudential banking). Pada dasamya, perubahan jumlah PPAP dapat menimbulkan
risiko kerugian bagi bank apabila prediksinya meleset. Hal inidikarenakan aktiva yang
sebenarnya produktif menjadi bersifat tidak produktif karena sebagai akibat dimasukkan.
kedalam cadangan. Selain itu para pengguna laporan keuanganeksternal dan investor akan
mengalami kesulitanuntuk mengukur kinerja bank yang sebenarnya.PPAP dibentuk sebagai
salah satu akunkontra aset. PPAP menunjukkan jumlah kerugianyang diperkirakan atas saldo
pinjaman yangbelum diselesaikan. PAP menjadi isu yang menarik karena dijadikan dasar
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggantian manajemen. PPAP juga dapat
dijadikan tolak ukur dalam menilai kinerja bank dengan melihat kualitas aktiva produktif
yang dimiliki bank tersebut. Nilai PPAP yang tinggi berarti risiko yang melekat. pada aset-
aset produktif bank semakin tinggi. Kebijakan besaran penyisihan penghapusan aktiva
produktif merupakan keputusan yang memerlukan subjectives judgments dan complex
judgments (Beattie, 1995). Oleh karena itu, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi
pelaporan jumlah nilai PPAP dalam perbankan, khususnya perbankan syariah dalam
penelitian ini. Bank syariah menggunakan mekanisme pembiayaan dan investasi yang
berbeda dari bank konvensional (Yaya, dkk., 2009). Hal tersebut berdampak pada jenis aset
yang digunakan untuk tiap kredit/pembiayaan. Penelitian ini menggunakan variabel TL yang
mencerminkan total pembiayaan dan NPF yang mencerminkan risiko kredit, yang mengacu
pada penelitian yang dilakukan oleh Taktak (2010) karena dalam penelitian tersebut
menggunakan bank syariah sebagai objek penelitiannya
KESIMPULAN

Bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa tabungan, deposito
dan giro yang kemudian dana tersebut dikelola oleh bank yaitu disalurkan kembali kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dengan tujuan memperoleh keuntungan. Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) merupakan Cadangan yang dibentuk dengan cara
membebani laba rugi tahun berjalan, dengan maksud untuk menampung kerugian yang
mungkin timbul sebagai akibat dan tidak diterimanya kembali sebagian atau seluruh aktiva
produktif (maksimum 1,25% ATMR/Aset Tertimbang Menurut Risiko). Aktiva produktif
adalah penanaman dana bank baik dalam rupiah maupun valuta asing (valas) dalam bentuk:
Kredit.,Surat berharga,, Penentuan dana antar bank, Penyertaan,Termasuk komitmen dan
kontinjensi pada transaksi rekening administrative.

Penentuan Penyisihan Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan Taswan (2003) Pengakuan


penyisihan aktiva produktif dengan menggunakan metode cadangan akan membawa
konsekuensi pada penentuan besarnya penyisihan dan cadangan yang akan disajikan dalam
neraca maupun laporan L/R. Untuk menentukan besarnya cadangan, ada dua pendekatan
yaitu Pendekatan Rugi Laba dan Pendekatan Neraca. Tujuan awal penggunaan PPAP adalah
sebagai alat penerapan prinsip kehati- hatian(prudential banking). Pada dasarnya, perubahan
jumlah PPAP dapat menimbulkan risiko kerugian bagi bank apabila prediksinya meleset.
PPAP menunjukkan jumlah kerugian yang diperkirakan atas saldo pinjaman yang belum
diselesaikan. PAP menjadi isu yang menarik karena dijadikan dasar pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan penggantian manajemen. PPAP juga dapat dijadikan tolak ukur dalam
menilai kinerja bank dengan melihat kualitas aktiva produktif yang dimiliki bank tersebut.
Nilai PPAP yang tinggi berarti risiko yang melekat. pada aset-aset produktif bank semakin
tinggi. Kebijakan besaran penyisihan penghapusan aktiva produktif merupakan keputusan
yang memerlukan subjectives judgments dan complex judgments (Beattie, 1995).
DAFTAR PUSTAKA

https://manajemenkeuangan.net/aktiva-produktif-adalah/

http://unibba.ac.id/ejournal/index.php/akurat/article/view/95/94

https://www.google.com/url
Cpmk 8

2.1 Sejarah Keberadaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Tri Hita Karana, dan
Catur Purusa Artha

Lembaga Perkreditan Desa di Bali merupakan lembaga keuangan mikro yang paling
sukses di Indonesia. Keberhasilan program ini karena dukungann penuh dari Pemerintah
Provinsi Bali dan kuatnya kesatuan masyarakat adat di Bali.

Sejarah LPD sendiri dimulai dari 1985, dengan dicetuskannya sebuah pilot project
dengan jangka waktu tiga tahun, sejak Maret 1985 hingga Maret 1988. Pada saat itu sebagai
langkah awal, Pemerintah Provinsi Bali mendirikan 161buah LPD dengan modal awal Rp. 2
juta. Tahun 1986 pemerintah provinsi menerbitkan peraturan terkait desa adat yang
memberikan kewenangan kepada desa adat untuk melakukan pengelolaan aset melalui
organisasi sendiri.

Upaya Bank Indonesia (BI) untuk mendorong LPD berubah menjadi BPR mendapat
penolakan dari masyarakat di Bali, di samping itu BI juga mempertimbangkan banyaknya
jumlah LPD yang mesti diawasi, sehingga akhirnya BI memberikan persetujuan dengan
memutuskan bahwa LPD merupakan lembaga keuangan non bank yang khusus beroperasi di
wilayah Bali. Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang LKM (Lembaga Keuangan
Mikro), Keberadaan LPD diakui sebagai sebuah lembaga keuangan berbasis adat, sehingga
tidak dimasukkan sebagai LKM yang diatur dalam peraturan tersebut. Saat ini peraturan yang
mengatur tentang LPD adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 8 Tahun 2002 dan
mengalami perubahan melalui Perda Nomer 3 Tahun 2007.

Pengelolaan LPD sepenuhnya dilakukan oleh desa adat dengan pembinaan dan
pengawasan dilakukan oleh pemerintah provinsi dan BPD. Dalam suatu wilayah desa di
Provinsi Bali terdapat dua sistem pemerintahan yang berbeda dan kadang saling tumpang
tindih. Pemerintahan formal yang berada dalam struktur adalah desa dinas dengan dikepalai
oleh seorang kepala desa dan desa adat yang dikepalai oleh seorang bendesa adat dengan
dibantu oleh prajuru adat.

Masing-masing jenis pemerintahan mempunyai perangkat sendiri, di mana bendesa


adat dipilih oleh paruman desa yakni sebuah musyarawah tingkat desa. Bendesa sebagai
seorang chairman dalam mengelola LPD atau manajer melalui musyawarah desa, dengan
organisasi yang terpisah dari kepengurusan bendesa, namun bertanggung jawab langsung
kepada paruman adat. Bendesa bertugas sebagai pengawas internal dalam pengelolaan LPD.

Simpanan dan pinjaman LPD hanya diperbolehkan kepada anggota desa adat. Jumlah
simpanan baik tabungan maupun deposito tidak dibatasi, namun biasanya jumlah pinjaman
disesuiakan dengan likuiditas LPD dan adanya collateral atau jaminan. Dana yang dihimpun
oleh LPD boleh berasal dari lembaga keuangan lain namun jumlahnya dibatasi.

PENGELOLAAN INTERNAL LPD

Secara prinsip, aturan tentang pengurus dan pengawas internal tidak berbeda dari
Perda No. 8/2002, bahwa pengurus terdiri dari ketua, tata usaha atau administrasi dan kasir.
Dengan demikian, akan memungkinkan ketua untuk mengatur, mengkoordinasikan dan
mengontrol setiap aktivitas unit. Staf LPD juga dilibatkan dalam merancang aktivitas dan
rencana anggaran yang berasal dari rencana dalam setiap unit, termasuk dalam keputusan
pemberian kredit. Karena itu, setiap staf mengetahui rencana kerja dan tujuannya. Rencana
tersebut harus diajukan ke prajuru adat melalui Bendesa Adat (sekaligus ketua pengawas
internal) untuk dimintakan persetujuan dan pengesahannya.

Tim pengelola berasal dari desa adat di lingkungan LPD, diseleksi dari krama desa
dan dipilih melalui paruman desa atau rapat untuk masa jabatan empat tahun dan bisa dipilih
kembali tanpa batasan waktu apabila bisa menunjukkan kinerja yang baik. Pengurus LPD
biasanya didampingi dua sampai tiga staf yang bertanggung jawab dalam memungut
tabungan atau kredit. Perekrutan karyawan tergantng pada skala bisnisnya sedangkan seleksi
karyawan didasarkan atas kecerdasan dan karakter calon. Seluruh proses seleksi dilakukan
oleh Bendesa Adat yang selanjutnya akan diuji kembali oleh Pembina Lembaga Perkreditan
Desa Kabupaten (PLPDK) yang meliputi motivasi, keinginan untuk melayani LPD, dan
pengetahuan umum.

TRI HITA KARANA

Dalam sebuah organisasi, lingkungan kerja, dan budaya yang menyenangkan


mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kinerja karyawan yang paling produktif.
Untuk memaksimalkan kinerja, sebuah organisasi pada dasarnya juga harus memiliki
pandangan bahwa kinerjanya dipengaruhi oleh nilai-nilai baik yang berasal dari kekuatan diri,
lingkungan kerja, serta hubungan antar sesama pegawai. Oleh karena itu, pengaruh budaya
lokal yang merupakan budaya yang sudah diketahui dan selalu dijalankan oleh semua orang
yang ada di daerah tersebut sangatlah penting. Sebuah filsafah kultur Bali, Tri Hita Karana
yang menenkankan pada teori keseimbangan menyatakan bahwa masyarakat Hindu
cenderung memahami diri dan lingkungannya sebagai sebuah sistem yang dikendalikan oleh
nilai keseimbangan, dan diwujudkan dalam bentuk perilaku. Budaya Tri Hita Karana
merupakan kearifan lokal Bali yang digunakan sebagai landasan individu dalam setiap
aktivitasnya, khususnya pada masyarakat desa adat yang merupakan pemilik LPD.

Tri Hita Karana memiliki konsep bahwa hubungan harmonis merupakan hal yang
penting dalam menjalankan suatu kegiatan atau organisasi. Keyakinan atas keharmonisan
telah menjadi tuntutan masyarakat Hindu Bali untuk berperilaku yang melahirkan berbagai
tindakan nyata yakni (a) keselarasan hubungan antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang disebut Parahyangan, (b) Keselarasan hubungan dengan
sesama manusia dikenal dengan Pawongan, (c) keselarasan hubungan manusia dengan alam
sekitar yang dikenal dengan istilah Palemahan. Inti dari ajaran Tri Hita Karana adalah
kerjasama dan keselarasan yang baik dari semua komponen yang berhubungan dengan suatu
kegiatan atau organisasi.

Kinerja yang baik mengindikasikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat desa adat
selaku sumber dan tujuan atas aliran dana yang dihimpun oleh LPD mengalami proses yang
baik. Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daeraj Provinsi Bali Nomor 8
Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa dalam bagian keenam pasal 22 ayat (2)
tentang penilaian kesehatan LPD menyatakan bahwa faktor penilaian kesehatan LPD
didasarkan lima aspek yang dinamakan analisis CAMEL yaitu sebagai berikut :

1. Kecukupan Modal (Capital), penilaian modal didasarkan pada nilai rasio kecukupan
modal (capital adequacy ratio, disingkat CAR).
2. Kualitas aktiva produktif, aktiva merupakan sumber daya yang dikuasai oleh
perubahan sebagai akibat dari peristiwa masa lalu yang memberikan manfaat ekonomi
di masa depan.
3. Manajemen, diartikan sebagai ilmu dan seni perencanaan, pengkoordinasian, dan
pengawasan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4. Laba, penilaian atas kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba melalui
penggunaan aset yang dimiliki perusahaan.
5. Likuiditas, mencerminkan kemampuan dalam memenuhi semua permintaan dana oleh
nasabah seperti memenuhi permintaan kredit tanpa ada penundaan dan kewajiban
yang telah jatuh tempo.

CATUR PURUSA ARTHA

Masyarakat Bali yang mayoritas menganut agama Hindu memiliki beberapa konsep
yang diguakan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Salah satu konsep yang ada ialah Catur
Purusa Artha. Catur Purusa Artha adalah empat dasar dan tujuan hidup menurut kitab suci
agama Hindu (Weda). Catur Purusa Artha disebut sebagai dasar bagi umat manusia yang
beragama Hindu karena setiap manusia dalam hidupnya patut melandasi pikiran dan
perilakunya dari ajaran ini. Tujuan keberadaan LPD adalah mewujudkan kesejahteraan
masyarakat desa adat yang dilaksanakan berdasarkan prinsip keseimbangan yang sesuai
dengan ajaran agama. Keseimbangan yang dimaksud adalah antar komponen di catur purusa
artha, yaitu dharma, artha, kama, dan moksa.

Salah satu nilai budaya yang mejadi pedoman dalam etika dan berperilaku dalam
ajaran agama Hindu di Bali adalah catur purusa artha. Catur purusa artha sangat berkaitan
dengan keberadaan sumber daya di LPD. Nilai budaya diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari diantaranya dharma (kebenaran dan kebaikan), artha (pertanggung jawaban
sumber dan penggunaan harta), kama (keinginan untuk mewujudkan kepuasan dan
kesejahteraan bersama), dan moksa (kebebasan dari kebodohan, kebebasan keterikatan
duniawi).
Budaya yang positif dan kuat dapat menghasilkan kinerja dan pencapaian yang
cemerlang bagi seorang individu, sedangkan budaya yang negatif dan lemah dapat
menurunkan motivasi seorang individu dalam hal kinerja dan prestasinya. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari budaya dan kinerja
organisasi mendapatkan hasil bahwa budaya berpengaruh positif signifikan pada kinerja
perusahaan. Tri Hita Karana dan Catur Purusa Artha dengan Lembaga Perkreditan Desa
(LPD) di Provinsi Bali sangat berkaitan erat, karena nilai-nilai yang terkandung dalam Tri
Hita Karana dan Catur Purusa Artha menjadi dasar atau landasan dalam proses
berlangsungnya Lembaga Perkreditan Desa (LPD) serta dikarenakan dalam dalam pelayanan
pada LPD pentingnya adanya hubungan baik dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa), dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan serta pentingnya individu
berperilaku berdasarkan bagian Catur Purusa Artha agar Lembaga Perkredian Desa terhindar
dari masalah yang dapat merusak nama baik LPD.

2.2 Konsep LPD Sebagai Lembaga Keuangan Komunitas Desa

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan lembaga keuangan milik desa


pakraman. LPD merupakan Lembaga Keuangan Komunitas (LKK), yang dibentuk dan
dikelola oleh kesatuan masyarakat hukum adat di Bali, melayani transaksi keuangan internal
desa pakraman, terhadap warga desa pakraman, di dalam wilayah desa pakraman.

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) adalah lembaga ekonomi desa yang dipergunakan
untuk penitipan dan penukaran uang di pedesaan. Pada dasarnya LPD berfungsi sebagai
pengumpulan dana, pemberi kredit, dan menjadi perantara di dalam lalu lintas pembayaran
pada umumnya dan merupakan sumber pembiayaan pembangunan di wilayah desa adat yang
ada di Bali. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007, LPD merupakan
badan usaha keuangan milik desa yang melaksanakan kegiatan usaha dilingkungan desa dan
untuk penduduk desa. Menurut keputusan Gubernur Bali Nomor 3 Tahun 2003, LPD
merupakan Lembaga Perkreditan Desa di Desa berpendudukan dalam wilayah Provinsi Bali.

Peranan LPD ini semakin berkembang dan bidang usaha pun semakin luas, sejalan
dengan kemajuan peradaban, teknologi informasi dan globalisasi perekonomian, karena LPD
merupakan perusahaan yang dinamis sehingga mendorong pertumbuhan perekonomian,
sehingga usaha LPD bukan saja sebagai penyimpanan dan pemberian kredit, tetapi juga
sebagai alat lalu lintas pembayaran, stabilitas dan pembayaran, stabilitas dinamisator
pertumbuhan perekonomian suatu desa. Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa LPD
adalah suatu lembaga perantaran dalam proses peredaran uang, maupun sebagai sumber
pembiayaan pembangunan di wilayah desa adat yang ada di Bali pada umumnya. LPD diatur
berdasarkan Pasal 18 UUD NRI 1945. Landasan hukum LPD adalah Undang-Undang
Pemerintahan Daerah dan produk legislasi daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi
Bali dan Kabupaten/Kota di Bali. Dasar hukum operasional LPD adalah hukum adat, yaitu
hukum yang dibentuk oleh komunitas masyarakat hukum adat di Bali. LPD bukan lembaga
keuangan umum, melainkan Lembaga Keuangan Komunitas yang dibangun dalam upaya
pengembangan fungsi- fungsi sosio-ideologis, sosio-kultural, dan sosio-religius kehidupan
masyarakat adat di Bali. LPD merupakan gantungan nyawa keuangan negara melalui
pariwisata. Pendapatan Negara bergantung kepada pariwisata Bali, pariwisata Bali
bergantung kepada kebudayaan Bali, kebudayaan Bali bergantung kepada kesatuan
masyarakat hukum adat, dan kesatuan masyarakat hukum adat bergantung kepada LPD.
Biaya pemeliharaan kebudayaan Bali selama ini ditanggung penuh oleh masyarakat
desa pakraman. Beban biaya itu dicoba dipecahkan dengan membentuk LPD. Sistem hukum
perbankan hanya mengatur bank, suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
sedangkan LPD tidak menghimpun dana masyarakat, melainkan hanya dana warga
komunitas kesatuan masyarakat hukum adat. LPD memiliki karakter yang sangat berbeda
dengan bank, baik dari segi landasan konstitusional, dasar hukum, kepemilikan, permodalan,
layan jasa simpan-pinjam, visi, fungsi dan tujuan kegiatan usahanya. Sebagai penanda sifat
khas itu dan sebagai pembeda LPD dengan LPD pada umumnya, penamaan LPD perlu
disesuaikan dengan sifat khas itu. Berdasarkan konsepsi dasar itu, LPD seharusnya bermama
Lembaga Perkreditan Desa-Desa Pakraman disingkat LPD-DP. Disamping sebagai lembaga
keuangan komunitas, berdasarkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 dan Permendagri
Nomor 52 Tahun 2007, LPD juga merupakan LEMBAGA ADAT yang menjalankan fungsi
keuangan pada desa pakraman. Sistem hukum perbankan belum menyediakan ketentuan
tentang LEMBAGA KEUANGAN MILIK KOMUNITAS, melainkan baru menyediakan
ketentuan tentang LEMBAGA KEUANGAN MILIK ORANG PERSEORANGAN

Fungsi LPD didirikan sesuai Perda Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 menyebutkan dalam
pasal 3 bahwa :

1. LPD adalah salah satu lembaga desa yang merupakan unit operasional sertaberfungsi
sebagai wadah kekayaan desa yang berupa uang atau surat-suratberharga lainnya.
2. Pendayagunaan LPD diarahkan kepada usaha-usaha peningkatan taraf hidup
penduduk desa untuk menunjang pembangunan.

Tujuan LPD sesuai dengan Perda Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 disebutkan dalam
pasal 4 bahwa tujuan LPD didirikan adalah :

1. Mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan yang terarah


serta penyaluran modal kerja yang efektif.
2. Memberantas ijon, gadai gelap dan lain-lain yang dapat dipersamakan dengan itu di
pedesaan.
3. Menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi warga desa dan tenagakerja
di pedesaan.
4. Meningkatkan daya beli atau lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di desa.

Sedangkan untuk pencapaian tujuan disebut di atas maka bidang usaha yang dilaksanakan
seperti tertuang pada Perda Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 adalah:

1. Menerima/menghimpun dana dari penduduk desa dalam bentuk tabungan dan deposit
2. Memberikan pinjaman untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif pad sektor
pertanian, industri/kerajinan kecil, perdagangan dan usaha-usaha lain yang dipandang
perlu.
3. Usaha-usaha lain yang bersifat pengerahan dana desa.
4. Penyertaan modal pada unsur-unsur lainnya.
5. Menerima pinjaman-pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan.

Keberadaan LPD di masyarakat desa pakraman telah banyak mengalami peningkatan


yang pesat. Lembaga keuangan LPD tersebut mampu meningkatkan potensi masyarakat desa
pakraman, dan membantu masyarakat desa pakraman dalam kehidupannya didalam
masyarakat desa pakraman. LPD tidak saja memerankan fungsinya sebagai lembaga
keuangan yang melayani transaksi keuangan masyarakat desa tetapi telah pula menjadi solusi
atas keterbatasan akses dana bagi masyarakat pedesaan yang nota bene merupakan kelompok
masyarakat dengan kemampuan ekonomi terbatas.

2.3 Keberadaan Lembaga Perkreditan Desa Di Bali

Sejarah Keberadaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Keberadaan LPD di Bali


sesungguhnya terproses dari sebuah kesadaran dan kemauan bersama dari masyarakat adat
Bali yang telah lama ada dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum
Republik Indonesia ini didirikan. Kesadaran dan kemauan bersama itu terwadahi melalui
organisasi komunitas berbasis wilayah yakni Desa Adat (kini Desa Pakraman), Banjar Adat
(kini Banjar Pakraman). Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali adalah lembaga keuangan
desa yang dimiliki oleh Desa Adat. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan buah
pikiran Gubernur Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Gagasan mendirikan LPD diilhami
keberadan Lumbung Pitih Nagari (LPN) yang merupakan lembaga simpan pinjam untuk
masyarakat adat yang sukses di Padang Sumatera Barat. Dengan mengadopsi konsep sekaa
dan desa adat yang telah tumbuh sejak lama di dalam masyarakat Bali, Gubernur Bali
kemudian meluncurkan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Tujuan LPD yakni membantu
desa adat dan krama desa adat dalam pembangunan adat, budaya dan agama. Keuntungan
LPD direncanakan untuk membangun kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali, baik untuk
pembangunan fisik maupun nonfisik. Sebagai langkah awal dibuatlah pilot project satu LPD
di tiap-tiap kabupaten. Kala itu, dasar hukum pembentukan LPD hanyalah Surat Keputusan
(SK) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 972 tahun 1984, tanggal 19 Nopember
1984. Sebagai Implementasi dari Kebijakan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali tersebut di
atas, maka secara resmi LPD beroperasi mulai 1 Maret 1985. Di setiap kabupaten didirikan
sebuah LPD. Di Kabupaten Badung, LPD yang pertama kali berdiri yakni LPD Desa Adat
Lukluk, Mengwi pada 7 Maret 1985. Di Kecamatan Kuta, desa adat yang pertama kali
mendirikan LPD yakni Legian. LPD Desa Adat Kedonganan merupakan LPD kedua yang
berdiri di Kecamatan Kuta setelah LPD Desa Adat Legian. Integrasi LPD di dalam kehidupan
dan hukum adat telah menjadi sebuah kerangka yang sangat kuat untuk mengembangkan
hubungan pelanggan dan mengelola resiko. Oleh karena itu lembaga ini sudah menerapkan
aturan, norma dannilai yang diyakini bersama. LPD di Bali sudah ada sejak tahun 1984,
perkembangan LPD di Bali sangat pesat sehingga masyarakat Desa Adat Kuta berkeinginan
mendirikan LPD. LPD Bali beroperasi tanggal 25 Nopember 1995 dengan berpedoman
kepada Perda Prop. Dati I Bali No. 2 Th 1988 dan Keputusan Gubernur KDH Tk I Bali No
619 Th 1995. Pada awal operasi LPD Desa Adat Kuta memiliki modal awal sebesar Rp.
31.600.000 yang berasal dari Desa Adat Kuta sebesar Rp. 25.000.0000, dari bantuan APBD
Pemda Tk I Bali Rp 5.000.000, dan bantuan dari APBD Pemda Tk II Badung sebesar Rp.
1.600.000. Kantor LPD yang berlokasi di Pasar Seni I Kuta diresmikan oleh Bapak Gubernur
Bali pada tanggal 12 Januari 1996 di dukung sepenuhnya oleh 13 Banjar yang ada di Desa
Adat Kuta. Pada awalnya kantor LPD ditunjang dengan peralatan yang sederhana dengan 3
Pengurus dan 3 Pegawai. Berkat semangat dan perjuangan Prejuru Desa Adat Kuta dan
Pengurus LPD, menyakinkan masyarakat desa dan mempromosikan LPD ke masing-masing
banjar Se-Desa Adat Kuta. Melalui semangat pengabdian, dukungan dan partisipasi
masyarakat akhirnya LPD Desa Adat Kuta dari bulan kebulan dan dari tahun ke tahun
mengalami kemajuan dan peningkatan yang pesat. Hal ini tidak terlepas dari kerjasama yang
baik diantara, Pengurus Desa, Kelihan Banjar, Pengurus LPD dan Krama Desa Adat Kuta.
Bali ternyata telah membuktikan dirinya memegang peranan yang sangat penting, tidak hanya
dalam pada ajaran agama Hindu. Sebagai desa yang mempunyai otonomi untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri berlandaskan awig-awig, perlu adanya usaha-usaha untuk
meningkatkan kemandirian dalam mengelola keuangan dan harta kekayaan milik desa
sehingga mampu menatap perkembangan dan kemajuan pembangunan. Untuk melestarikan
dan meningkatkan kemandirian kehidupan Bali dengan segala aspeknya perlu adanya upaya-
upaya untuk memperkuat Keuangan Desa Adat sebagai sarana penunjang melalui mendirikan
suatu Badan Usaha Milik Desa Adat berupa Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang bergerak
dalam usaha simpan pinjam dengan modal swadaya masyarakat (krama Desa) sendiri.

Lembaga keuangan binaan BPD Bali ini dikelola sepenuhnya oleh, dari, dan untuk
desa adat. Karena itu, pemberian kredit pun hanya diperuntukkan buat krama desa adat
setempat, dan umumnya tanpa agunan. PENGAWASAN LPD BALI Lembaga Perkreditan
Desa (LPD), atau "Dewan kredit desa", adalah bank-bank kecil yang dimulai oleh Pemerintah
Daerah Bali di era tahun '80-an dengan sasaran untuk menyediakan satu altematif dari
praktek rentenir dan untuk menciptakan dan membantu perkembangan pertumbuhan ekonomi
di tingkatan pedesaan. Dengan modal awal dan bimbingan teknis dari Pemda Bali Perantara
keuangan mikro ini mempunyai karakteristik dan disain yang khusus, mereka dimiliki oleh
Desa Adat. Pemerintah Daerah Bali yang menyediakan modal dan menjadi penyelenggara
kunci dari sistim dan laba ditahan adalah sumber daya utama dari modal ekuitas dan
kepemilikan secara de facto. LPD hanya diijinkan untuk beroperasi di wilayah desanya
sendiri dan diciptakan oleh Peraturan Daerah (Provinsi). Yakni sebuah Peraturan Daerah
(Provinsi) yang ditetapkan oleh DPRD, bukan Pemerintah Daerah. Otoritas pengawasan
didelegasikan kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD Bali), yang telah memulai
mengembangkan suatu unit pengawasan LPD yang terpisah, di bawah mana tugas
pengawasan akan dilaksanakan oleh unit di tingkat Kantor Cabang Penilaian atas pelaksanaan
pengawasan intern LPD Pengawasan di tingkat LPD dimulai dari peran Prajuru Desa, banyak
diantaranya mengunjungi LPD setiap hari, berpartisipasi dalam persetujuan kredit, dan juga
menyelesaikan fungsi dasar kontrol dan pelaksanaan fungsi management dari waktu ke
waktu. Namun demikian, masalah yang dilaporkan adalah bahwa dewan pengawas internal
pada umumnya tidak mempunyai latar belakang yang sesuai dan atau tidak cukup dilatih
untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan secara baik. Dewan Pengawas internal dari
satu LPD dengan tegas meminta lebih banyak dukungan dan satu instruksi panduan untuk
lebih baik mempersiapkan diri mereka untuk menyelesaikan kewajiban mereka. Sistem
Pengawasan Dan Bimbingan LPD berbeda dari lembaga keuangan Mikro lain yang
dikendalikan oleh pemerintah provinsi seperti badan kredit kecamatan (BKK) di jawa tengah
atau kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) dijwa timur karena kepemilikan dan
pengorganisasiannya dipengarui oleh adat istiadat masyarakat Bali. Keputusan Gubernur No.
344/1993 juga menyebutkan fungsi Bank BPD Bali. Dalam pasal 2 keputusan tersebut
(pemerintah Bali, 1993b) dinyatakan bahwa Bank BPD Bali memiliki 3 fungsi berkenaan
dengan LPD. Pertama, memberikan bimbingan teknis dalam dua cara yaitu melalui
bimbingan pasif, dan melalui bimbingan aktif yang dilakukan dengan kunjungan langsung
kelokasi LPD. Kedua, Bank BPD Bali memiliki tugas untuk mengelola koordinasi dengan
organisasi lain yang terlibat didalam proses bimbingan dan pengawasan LPD.Ketiga, Bank
BPD Bali harus menyiapkan laporan Evaluasi triwulan tentang kinerja keuangan dan
kesehatan LPD kepada gubernur. Tata Kelola Lembaga Perkreditan Desa Organisasi dan
perencanaan Berdasarkan PERDA Provinsi Bali No.8/2002, setiap LPD dikelola oleh sebuah
komite (ketua, kasir dan petugas administrasi). Deskripsi manajemen inti dapat dijelaskan
bahwa ketua bertugas mengordinasi kegiatan operasional harian LPD, pembuatan perjanjian
kontrak dengan nasabah, bertanggung jawab pada desa adat melalui pemimpinnya (Dewan
Pengawas LPD), menyusun rencana kegiatan dan anggaran, dan memformulasikan kebijakan
LPD. Petugas administrasi melakukan tugas-tugas administrasi, baik administasi umum
maupun tata buku, bertanggung jawab kepada ketua LPD, menyusun laporan neraca dan
laporan pendapatan, serta mengelola arsip. Sedangkan kasir adalah mencatat aliran dana. Staf
LPD membantu ketua melaksanakan tugasnya dan terlibat dalam pembuatan kegiatan dan
rencana anggaran dalam keputusan pemberian kredit. Dalam mengelola LPD, tim manajemen
juga memantau perubahan situasi makroekonomi, melakukan rapat formal triwulanan untuk
evaluasi internal yang melibatkan semua staf. Staf pengumpul kredit diberi pengarahan harian
mengenai tugas mereka oleh ketua LPD sebelum mereka mulai bekerja Evaluasi internal LPD
dilakukan oleh Dewan pengawas. Hal ini membenarkan pendapat bahwa struktur organisasi
LPD mampu mengimplementasikan kebijakan dan strategi LPD untuk mencapai tujuannya.
KESIMPULAN

Tri Hita Karana dan Catur Purusa Artha dengan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di
Provinsi Bali sangat berkaitan erat, karena nilai-nilai yang terkandung menjadi dasar dalam
proses berlangsungnya Lembaga Perkreditan Desa (LPD) serta dikarenakan dalam dalam
pelayanan pada LPD pentingnya adanya hubungan baik dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa), dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan serta pentingnya
individu berperilaku berdasarkan bagian Catur Purusa Artha agar Lembaga Perkredian Desa
terhindar dari masalah yang dapat merusak nama baik LPD.

Keberadaan LPD di masyarakat desa pakraman telah banyak mengalami peningkatan


yang pesat. Lembaga keuangan LPD tersebut mampu meningkatkan potensi masyarakat desa
pakraman, dan membantu masyarakat desa pakraman dalam kehidupannya didalam
masyarakat desa pakraman. LPD tidak saja memerankan fungsinya sebagai lembaga
keuangan yang melayani transaksi keuangan masyarakat desa tetapi telah pula menjadi solusi
atas keterbatasan akses dana bagi masyarakat pedesaan yang nota bene merupakan kelompok
masyarakat dengan kemampuan ekonomi terbatas.

Tata Kelola Lembaga Perkreditan Desa Organisasi dan perencanaan Berdasarkan


PERDA Provinsi Bali No.8/2002, setiap LPD dikelola oleh sebuah komite (ketua, kasir dan
petugas administrasi). Deskripsi manajemen inti dapat dijelaskan bahwa ketua bertugas
mengordinasi kegiatan operasional harian LPD, pembuatan perjanjian kontrak dengan
nasabah, bertanggung jawab pada desa adat melalui pemimpinnya (Dewan Pengawas LPD),
menyusun rencana kegiatan dan anggaran, dan memformulasikan kebijakan LPD.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/545414241/06-KEBERADAAN-LEMBAGA-
PERKREDITAN-DESA-LPD

Anda mungkin juga menyukai