Anderiasta Tarigan,
Penmasa Ginting, Juneidi Sembiring dkk.
ISBN:
Penulis:
Anderiasta Tarigan,
Penmasa Ginting, Juneidi Sembiring dkk.
Editor:
Laksana Ketaren, Juneidy Tarigan, dkk.
Lay out
Mesarius dkk
Desain sampul:
Setiabudi Sinuhaji, Firdaus Ginting, Penmasa Ginting dkk.
Penerbit:
…………………. PRESS
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
II
KATA PENGANTAR
III
PRAKATA
Buku kecil ini merupakan pokok-pokok gagasan Tetralogi Jalan Baru Karo
Maju (selanjutnya disebut Tetralogi JABU) memuat 4 (empat) buku :
(1) SH4RE – Stakeholder Awareness for Restoration Education memuat konsep,
kebijakan, metode pengukuran dan timeline peta jalan pendidikan kabupaten
karo 2025-2045;
(2) Buku Putih Tranformasi Pembelajaran 2025-2045 – memuat konsep,
kebijakan, metode pengukuran dan time line peningkatan kompetensi, kualitas
proses dan hasil pembelajaran sebagai panduan bagi peserta didik dan pendidik
(Guru dan Tenaga Kependidikan);
(3) Grand Desain Transformasi Manajemen Layanan 2025-2045 - memuat
konsep, kebijakan, metode pengukuran dan time line peningkatan kualitas
pelayanan urusan pendidikan sebagai pedoman bagi Dinas Pendidikan dalam
“melayani lebih sungguh”;
(4) Road Map Revitalisasi Sarana/Prasarana Pendidikan 2025-2045 –
menguraikan kondisi saat ini, rencana pengembangan dan kebutuhan biaya
menyiapkan “sekolah nyaman berorientasi masa depan”.
Masing-masing buku merupakan analisa komprehensif yang disusun secara
berjenjang dalam satu garis pemikiran. Buku (1) memuat 4 (empat) pilar
pembangunan pendidikan secara kolaboratif. Empat pilar tersebut menegaskan
adanya niat dan tindakan berbagi (SH4RE) meliputi : (1) visi bersama (share vision);
(2)kerja bersama (share working); (3) pendanaan bersama (share funding); dan (4)
mengukur capaian kinerja bersama (share performance). Selanjutnya, merujuk
kerangka pemikiran yang dianut (Buku 1) maka diberikan elaborasi lebih lanjut
melalui 3 (tiga) buku berikutnya.Tiga buku memuat tema utama yang menjadi
fondasi pembangunan pendidikan daerah yakni : transformasi pembelajaran,
transformasi manajemen layanan dan revitalisasi sarana/prasarana pendidikan kurun
waktu 2025-2045.
Melalui keberadaan Tetralogi JABU dalam versi ringkasan eksekutif,
kiranya dapat memudahkan para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan
dalam menelaah intisari 4 (empat) buku yang menyertainya. Sebagai dokumen hidup
(living document) buku ini akan senantiasa diperbaharui sesuai perkembangan
lingkungan strategis yang terjadi dan dinamika internal yang dipadu-serasi dengan
kompleksitas persoalan dan dinamika kebijakan. Karakteristik dokumen hidup (living
document) dipilih selaras dengan nature problematika pendidikan yang terus
berkembang seturut harapan dan kenyataan.
Demikian pengantar singkat yang menjelaskan isi naskah secara
keseluruhan. Mudah-mudahan dengan pengantar ini segenap pembaca mampu
“melihat hutan sekaligus jenis pohonnya” agar tidak tersesat di tengah belantara
pendidikan kita yang memang berawan namun membuka kesempatan menyongsong
fajar kebangkitan. Selamat membaca.
IV
DAFTAR ISI
V
BAB 1
Jalan Baru Karo Maju
“Peta Jalan Pendidikan Kabupaten Karo 2025-2045”
A. Prolog
Para pengkaji masa depan (futurist) dan kelompok pemikir yang menekuni
studi masa depan atau skenario transformasi (future studies/foresight), selalu
menarasikan masa depan dalam lintasan yang bergerak melalui 3 (tiga) pilihan jalan.
Pilihan tersebut umumnya terentang mulai dari yang pertama, bernada optimis yang
sering disebut jalan kaum idealis atau utopia, kedua, bernada pesimis yang sering
pula disebut sebagai jalan kaum dystopia, dan ketiga yang lebih realis umumnya
disebut jalan kaum moderat.
Kalangan optimis selalu melihat sisi positif dari
berbagai bonus yang ada saat ini dan cukup menjanjikan
ke depan, mulai dari bonus demografi, bonus teknologi,
bonus sumber daya alam dan bonus kearifan lokal.
Mendayagunakan seluruh bonus tersebut, kaum optimis
meyakini akan lahirnya Asian Renaissance atau
kebangkitan Asia. Fajar kebangkitan ini antara lain
digaungkan oleh Mahatir Muhammad dari Malaysia dalam
bukunya The Asian Renaissance (1996) dan Kishore
Mahbubani melalui bukunya The Asian 21st Century
(2022).
Di Indonesia, optimisme yang sama dilakukan dengan
melalui berbagai publikasi yang menawarkan proposal masa
depan antara lain dari Presiden Joko Widodo menulis Impian
Indonesia 2015-2085; Bappenas menyusun dan
merampungkan kajian tentang Visi Indonesia Emas 2045
pada tahun 2019, sedangkan kajian Lemhanas dipublikasikan
dalam buku yang berjudul Indonesia Menoedjoe 2045: SDM
Unggul adalah Koentji (2020).
Sementara itu, kalangan pesimis cenderung mengingatkan adanya
ancaman dari semua bonus yang tersedia. Bonus demografi dilihat sebagai beban
penghambat pertumbuhan ekonomi (Adioetomo, 2005)1. Bonus teknologi dipandang
sebagai ancaman munculnya kediktatoran teknologi atau berakhirnya privasi dalam
1 Adioetomo, Sri Moertiningsih Setyo, 2005, Bonus Demografi Menjelaskan Hubungan Antara
Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap
Bidang Ekonomi Kependudukan, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
[1]
masyarakat yang senantiasa diawasi (Zuboff, 2019)2. Demikian halnya bonus
sumber daya alam dan kearifan lokal dianggap hanya pelengkap bagi kerakusan
kapitalisme global sebagaimana ulasan Magdoff, Fred, dan John Bellamy Foster
(2018)3. Berbagai kajian yang bernada peringatan dari kalangan dystopia dapat
dirujuk misalnya dalam buku trilogi karya Yuval Noah Harari, mulai dari Sapiens:
The Brief History of Humankind (2011); Homo Deus : The Brief History of Tommorow
(2016); dan 21 Lesson for 21st Century (2018).
Sedangkan kalangan realis atau moderat menempatkan diri sebagai kaum
yang lebih realistis menawarkan jalan tengah. Jalan tengah yang dikemukakan
berupa pendekatan yang mengoptimalkan pemanfaatan surplus sembari mencegah
dampak negatif dari berbagai bonus yang tersedia.
Buku ini hadir sebagai bagian dari penyebaran semangat optimisme sambil
tetap mencermati peringatan dari kalangan pesimis bahwa pendidikan perlu
direstorasi. Restorasi pendidikan diniati sebagai kajian holistik-komprehensif memuat
pandangan yang lebih utuh tentang manusia, perkembangan kebijakan pendidikan
nasional, kondisi empiris seputar pelayanan pendidikan di daerah dan berbagai
peluang yang tersedia di tengah keberkahan demografi, teknologi, sumber daya
maupun kearifan lokal kita.
Buku ini menjadi ajakan dialog sekaligus proposal gerakan bersama untuk
menyiapkan masa depan pendidikan kita sembari mencoba menarik gambaran
pendidikan yang mungkin hadir di masa depan.
B. Konsep dan Kebijakan
2 Zuboff, Shoshana, 2019, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human
Future at the New Frontier of Power, Public Affairs, New York.
3 Magdoff, Fred, dan John Bellamy Foster, 2018, Lingkungan Hidup dan Kapitalisme:
Sebuah Pengantar, Marjin Kiri, Yogyakarta.
[2]
budi pekerti merupakan upaya sadar untuk menjaga keselarasan olah pikir, olah
raga, olah rasa dan olah hati menjelma dalam perbuatan nyata. Hal senada
digaungkan kembali oleh Yudi Latif sebagai pendidikan yang berkebudayaan (2020)
melalui jelajah histori, pendalaman konsepsi dan aktualisasi nilai-nilai pendidikan
asali pribumi yang ditautkan dengan tantangan masa kini.
Tak berlebihan kiranya kearifan bangsa ini disebut Jalan Baru Karo Maju
sekaligus menandai kelahiran kembali (renaissance) sistem pemikiran dan fondasi
peradaban nusantara yang memadukan Empat komponen penyangga keutuhan
manusia (pikiran, raga, hati dan rasa/karsa) dan sekaligus alternatif bagi tiga jalan
pendidikan yang telah dilalui sebelumnya (religi-nusantara, kolonial, industrial). Inilah
JALAN BARU untuk KARO MAJU melahirkan generasi bertalenta global namun
tetap memiliki akar kearifan lokal.
Jalan Baru Karo Maju merupakan bagian dari risalah lokal, kumpulan cerita-
cerita lapangan, unik, otentik dan berakumulasi yang diturunkan secara lisan namun
dapat dikonstruksi sekaligus diabstraksi. Jalan Baru Karo Maju ibarat penggalan bata
untuk membentuk limas besar konsep restorasi pendidikan. Konstruksi realitas
pendidikan sebagaimana dipahami warga dipadankan dengan abstraksi yang sudah
dikenal dalam spektrum ilmu pengetahuan pendidikan untuk melahirkan sebuah
perspektif baru.
Harapannya melalui Jalan Baru Karo Maju ini, mantra sosial “merga
silima, tutur siwaluh, rakut sitelu” yang selama ini hanya dikenal di lingkungan
masyarakat karo dapat lebih diperluas pemaknaannya dan penggunaannya sebagai
tools of analysis.
Kearifan lokal (local genius) yang termanifestasi dalam kredo “merga
silima, tutur siwaluh, rakut sitelu”4 adalah filosofi budaya dan etika kehidupan
masyarakat karo dalam membangun peradabannya. Filsafat dan etika kehidupan ini
mengenal basis lima marga, delapan jalur kekerabatan dan diikat melalui tiga simpul
persaudaraan. Singkat kata, masyarakat karo sangat menganjurkan ko-esksitensi
setiap pikiran, raga, hati dan rasa/ karsa manusia agar menyatu dengan semesta.
Keseimbangan dan harmoni sangat kental dalam filsafat dan etika
kehidupan masyarakat karo. Asal usul (genealogi), kedudukan, peran dan
tanggungjawab sosial dapat ditelusurui melalui kredo “merga silima, tutur siwaluh,
rakut sitelu”. Secara sederhana melalui pengetahuan tentang marga seseorang
dapat ditelusuri asal usul daerah kelahirannya, kedudukannya dalam berhubungan
4 Uraian lebih komprehensif tentang interpretasi atas filsafat, etika kehidupan dan makna
“merga silima tutur siwaluh rakut sitelu” dapat dibaca pada beberapa sumber antara lain :
Singarimbun, Masri, 1975 : Kinship, Descent, and Alliance among the Karo Batak,
California University Press, California; Sitepu, A.G., 1980 : Mengenal seni kerajinan
tradisional Karo, E.Karya, Medan; Prints, Darwan, 2014 : Adat Karo, Bina Media Perintis,
Medan.
[3]
dengan marga lain baik melalui pertalian darah atau perkawinan, termasuk peran
dan tanggung jawabnya terhadap “sangkep nggeluh” yang dimanifestasikan dalam
rakut sitelu (tiga simpul) yakni sukut (senina/sembuyak), kalimbubu, anak beru.
Lima marga (Karo-Karo, Ginting, Tarigan, Perangin-angin, Sembiring)
menjadi basis taksonomi dalam pergaulan. Taksonomi pergaulan dapat bersifat
endogen (dari pertalian darah) atau eksogen (perkawinan). Basis taksonomi ini
mengantarkan semua marga dapat mengalami pergantian peran dan kedudukan
dalam adat karo sehingga mencerminkan adanya siklus demokratis dan bergilir.
Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang
berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan: puang
kalimbubu, kalimbubu, senina, sembuyak, senina sipemeren, senina
sepengalon/sedalanen, anak beru, anak beru menteri.
Arti rakut sitelu adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang
Karo, terdiri dari tiga kelompok, yaitu: kalimbubu, anak beru, suku
(senina/sembuyak). Kalimbubu didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak
beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan sukut (senina/sembuyak)
adalah keluarga satu galur keturunan marga atau keluarga inti. Secara sederhana
model kearifan lokal “merga silima, tutur siwaluh, rakut sitelu” dikonstruksi dalam
menarasikan realitas pendidikan dapat disebut sebagai model “adat pendidikan” dan
“pendidikan beradat”.
Model yang sebangun menjelaskan fenomena pendidikan dimulai dari
abstraksi 5I (Imajinasi, Ideologi, Institusi, Interaksi, Improvisasi), perangkat analisa
8S (standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar penilaian,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana/prasarana), dan kompetensi 3K (Kompetensi Literasi,
Kompetensi Numerasi, Karakter). Inilah alat analisa “adat pendidikan” atau
“pendidikan beradat” sebagai gambaran sebuah pemikiran kosmpolitanisme
(Vertovec and Cohen, 2002).5
Pertanyaan penting yang hendak dijawab adalah bagaimana melakukan
“ekstraksi” agar kearifan lokal ini dapat dijadikan model dalam membangun konsepsi
dan regulasi yang mampu memberi solusi bagi serangkaian problematika pendidikan
kita?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dielaborasi lebih lanjut baku-
kait antara kearifan lokal (local genius) dengan kerangka ilmu (body of knowledge).
Selanjutnya memadukan kearifan lokal dengan kerangka ilmu untuk menerjemahkan
5 Steven Vertovec and Robin Cohen, 2002 : Conceiving Cosmopolitanism, Theory, Context
and Practice, Oxford University Press, Oxford.
[4]
kenyataan pendidikan sehari-hari menjadi konsepsi (konstruksi pemikiran) dan
regulasi (produk hukum) yang mengatur tata kelola layanan pendidikan.
Kearifan lokal selanjutnya dipadankan dengan tiga elemen penting dalam
membangunan kerangka ilmu (body of knowledge)yang dikenal dalam ranah filsafat
ilmu. Tiga elemen penting tersebut meliputi : (1) cara pandang melihat realitas
(ontologi); (2) cara menggapai pengetahuan atas realitas (epistemologis); dan (3)
nilai guna dalam kehidupan (aksiologis). Bahkan dalam hal-hal tertentu kearifan lokal
mampu mengungguli yang dilakukan oleh para ilmuwan. Hanya saja secara
metodologis seringkali kearifan lokal dianggap tidak ilmiah.
Istilah kearifan lokal (local genius) dapat disepadankan dengan
pengetahuan lokal atau pengetahuan pribumi merujuk pandangan Gail McClure
(1989). Menurut McClure (1989) ketika memberikan pengantar pada buku
Indigenous Knowledge Systems : Implications for Agriculture and International
Development, terbitan Iowa State University, bahwa “Indigenous knowledge systems
are learned ways of knowing and looking at the world. They have evolved from years
of experience and trial-and error problem solving by groups of people working to
meet the challenges they faced in their local environments, drawing upon the
resources the have at hand”. Dengan demikian, terminologi kearifan lokal bagi
McClure (1989) lebih tepat disebut sebagai pengetahuan pribumi (indigenous
knowledge).
Hal yang senada dikemukakan juga oleh para penulis dalam buku yang
disunting Siti Syamsiyatun dan Nihayatul Wafiroh (2013) dengan judul Filsafat,
Etika, dan Kearifan Lokal untuk Konstruksi Moral Kebangsaan terbitan
Globethics.net. Bagi para penulis dalam buku tersebut, kearifan lokal disejajarkan
dengan filsafat maupun etika yang telah melembaga di seluruh penjuru nusantara.
Dengan merujuk argumen tersebut maka masyarakat karo sebagai salah satu etnik
yang mendiami bumi nusantara tentunya memiliki pula sebentuk kearifan lokal,
filsafat atau etika yang mendasari cara berpikir, bertindak maupun mengelola hidup
bersama termasuk memaknai pendidikan.
Penegasan yang lebih nyaring disampaikan oleh Kharisma Nugroho, Fred
Carden dan Hans Antlov (2018) melalui hasil riset kerjasama Bappenas, Knowledge
Sector Initiative (KSI) dan Pemerintah Australia yang dibukukan dengan judul
Pentingnya Pengetahuan Lokal ! Kekuasaan, Konteks dan Pembuatan Kebijakan di
Indonesia. Rekomendasi penting tim peneliti adalah penggunaan dan promosi
pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan di Indonesia.
Dengan menampilkan sepuluh studi kasus terkait dengan formulasi
kebijakan publik dari berbagai daerah di Indonesia dapatlah dipahami bahwa
pengetahuan lokal tidak kalah kualitasnya dalam keberhasilan perumusan maupun
pelaksanaan kebijakan publik yang berterima bagi masyarakat yang terkena
[5]
dampak. Artinya, kalimat sederhana Naseem Nicholas Taleb (2010 : 7)6 tampaknya
cukup mewakili kekuatan dan pentingnya pengetahuan lokal dengan menyebut
“masalah pengetahuan adalah banyak buku tentang burung yang ditulis oleh pakar
burung daripada buku tentang burung yang ditulis oleh burung atau buku tentang
pakar burung yang ditulis oleh burung”.
Penegasan yang disarikan dengan merujuk pandangan para ahli dan hasil
riset tersebut adalah pengetahuan lokal (local knowledge) atau kearifan lokal (local
wisdom) memiliki kemampuan yang setara dengan pengetahuan ilmiah apabila
digunakan dalam lapangan kebijakan publik.
Untuk menegaskan hal tersebut, perlu diuraikan bagaimana kearifan lokal
“merga silima, tutur siwaluh, rakut sitelu” menjadi body of knowledge (filosofi, ilmu,
seni dan teknologi) yang relevan dengan tantangan pendidikan saat ini dan masa
depan. Selanjutnya, analisa konseptual ini dipadankan dengan regulasi yang ada
dalam tata kelola pendidikan untuk melihat keselarasan atau bahkan ketimpangan
yang perlu diperbaiki. Dengan demikian akan terdapat kesepadanan antara konsep
dan kebijakan, selanjutnya kebijakan menjadi gerakan. Akhirnya, ketika kebijakan
telah menjadi gerakan seluruh pemangku kepentingan, terwujudlah restorasi
pendidikan.
Filosofi yang dianut kearifan lokal “merga silima, tutur siwaluh, rakut sitelu”
adalah keselarasan (harmoni manusia dan semesta) atau konsep besar
kosmopolitan bahwa dalam masyarakat karo semua adalah keluarga. Dalam konteks
inilah terminologi JABU (keluarga) secara umum mampu merepresentasikan
semangat kebersamaan yang dikenal dalam kearifan lokal masyarakat Karo. Di
dalamnya memuat makna persatuan dalam kepelbagaian.
Sementara itu dalam setiap cabang ilmu pengetahuan seringkali diciptakan
analogi, model atau nama sang penggagas sebagai konsep berpikir dalam
memahami realitas. Sebagai contoh, Hukum Newton tentang gravitasi yang sampai
saat ini cukup dikenal orang awam maupun sebagai mata pelajaran IPA di sekolah.
Hukum ini bukan bicara tentang sosok Newton melainkan gejala alam yang
membuktikan adanya pusat gravitasi di bumi. Bahkan gejala alam itu sudah ada jauh
sebelum Newton lahir. Model ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan alam juga
tidak steril dari praktek “mana suka” atau arbitrary in science.
Contoh lainnya dalam lapangan ilmu sosial, black swan dan The Bed of
Procrustes istilah yang dipopulerkan Naseem Nicholas Taleb, outlier dan tipping
point istilah yang dipopulerkan oleh Malcom Gladweel. Istilah-istilah tersebut
hanyalah metafora menunjukkan fenomena yang unik dalam lapangan ilmu sosial
maupun filosofi. Pesan moralnya adalah akan selalu ada ruang buat pengecualian.
6 Taleb, Naseem, Nicholas, 2010 : The Bed of Procrustes : Philosophical and Practical
aphorism, Random House, New York
[6]
Hal ini menyadarkan kita bahwa dalam khasanah ilmu pengetahuan nama orang,
istilah umum atau bahkan nama peristiwa dijadikan model teori, kerangka konseptual
yang memandu cara pandang seseorang yang menggunakannya.
Hal yang sebangun dapat juga kita gunakan dalam pemodelan kearifan
lokal masyarakat karo melalui “merga silima, tutur siwaluh, rakut sitelu” menjadi
basis “adat pendidikan” untuk menjadikan praksis pendidikan kita sebagai
“pendidikan beradat”. Norma adat tersebut mengatur pola interaksi antara sistem
budaya karo yang dapat disejajarkan dengan alur pikir sistemik input, proses dan
output. Melalui input “merga silima”, berproses dalam tata pergaulan “tutur siwaluh”
maka kohesi adat karo bermuara pada ouput “rakut sitelu”.
Dalam kalimat sederhana dapat ditegaskan bahwa “merga silima” menjadi
masukan dalam proses tata pergaulan kehidupan yang berdialektika melalui “tutur
siwaluh” dan outputnya tercermin pada keakraban “sangkep nggeluh”
(kelengkapan/keutuhan hidup) masyarakat karo sebagai “rakut sitelu”. Sangkep
nggeluh merupakan suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat karo yang secara
garis besar terdiri atas sukut, anak beru, dan kalimbubu.
Pusat dari sangkep nggeluh adalah sukut sebagai pribadi, keluarga, atau
merga tertentu yang dikelilingi, anak beru dan kalimbubu. Artinya dalam setiap
pelaksanaan adat tertentu dalam masyarakat karo, baik perkawinan, kematian,
memasuki rumah baru, atau pesta lainnya (suka maupun duka) sangkep nggeluh
akan segera diketahui apabila sudah jelas siapa sukut dalam acara tersebut.
Sebagai contoh, dalam adat perkawinan, sukut adalah orang yang melakukan
perkawinan dan orangtuanya. Keluarga sukut ini akan dikelilingi senina, anak beru
dan kalimbubu-nya. Inilah sangkep nggeluh dalam adat kehidupan dan kehidupan
beradat di tengah-tengah masyarakat karo yang dikenal juga sebagai “rakut sitelu” –
tiga komponen dalam satu ikatan.
Melalui sangkep nggeluh akan berproses tutur siwaluh yang menentukan
siapa senina, senina sipemeren, senina siparibanen, senina sendalanen, kalimbubu,
puang kalimbubu, anak beru dan anak beru menteri. Dialektika tutur siwaluh pada
gilirannya menentukan merga silima (Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring,
Perangin-angin) berperan dalam kedudukannya masing-masing sebagai senina,
kalimbubu, atau anak beru. Inilah bentuk ko-eksistensi yang harmonis dan
demokratis secara bergilir yang mencerminkan egalitarian dan kosmopolitanisme
dalam masyarakat karo.
Alur pikir ini jika dikonversi dalam menganalisa pendidikan dapat
diilustrasikan bahwa input sistem pendidikan bermula dari 5I (imajinasi, ideologi,
institusi, interaksi dan improvisasi) berproses melalui 8S (standar kompetensi
lulusan, standar proses, standar isi, standar penilaian, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar pembiayaan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan) untuk menghasilkan kinerja terbaik dalam 3K (Kompetensi Literasi,
Kompetensi Numerasi dan Karakter) masing-masing aktor dalam sistem pendidikan.
[7]
Sebagai contoh, mari kita cermati bagaimana 5I berdialektika dengan 8S
menghasilkan 3K dalam sistem pendidikan kita sesuai perjalanan historis bangsa ini,
mulai dari zaman raja-raja yang menganut sistem pendidikan religi-nusantara,
zaman kolonial dan zaman industrial.
Jalan pertama, bermula dari sistem pendidikan religi nusantara yang
dikembangkan pada zaman raja-raja. Imajinasi yang dominan di zaman tersebut
bahwa Raja adalah titisan dewa yang bertugas menjaga keseimbangan semesta.
Dengan konsep imajinasi tersebut maka tak berlebihan kiranya Ideologi yang
diperjuangkan adalah feodalisme yang bercirikan raja tak bisa dibantah, sabda raja
menjadi titah yang harus dilaksanakan, terdapat jarak yang tegas antara warga dan
penguasa. Ideologi feodalisme melahirkan institusi yang ekstraktif dan eksklusif
sehingga kesempatan untuk memperoleh pengajaran hanya ada bagi kalangan
bangsawan dan berlangsung di sekitar istana raja. Pada giliran selanjutnya, model
Interaksi yang tercipta juga menggambarkan dominasi dan eksploitasi oleh
penguasa terhadap warga. Di sekolah-sekolah yang dikelola para raja juga
berlangsung interaksi yang dominatif dan sarat dengan diskriminasi. Akhirnya,
improvisasi yang dilakukan pun sebatas bagaimana mengukuhkan pandangan raja
sebagai pusat kekuasaan dan antikritik.
Jalan kedua, merupakan jalan kolonial yang mewarisi kondisi dari masa-
masa raja-raja nusantara. Penjajah Belanda mempertegas imajinasi feodalisme
dengan pola kolonialisme dan imperialisme yang mempertajam segregasi warga
antara tuan dan budak. Ideologi kolonialisme dan imperialisme berpadu membentuk
berbagai institusi yang sifatnya menindas, mulai dari sekolah, tentara, penjara,
pemerintahan tidak langsung (indirect rule), sampai yang paling halus berupa sastra
eropa untuk mengganti sastra kuno yang dianggap paganisme. Demikian halnya
dengan model interaksi yang terjadi antara penjajah dan pihak terjajah dilakukan
dalam bentuk dominasi, intimidasi maupun eksploitasi sehingga warga menjadi pihak
yang paling menderita. Selanjutnya dengan melakukan improvisasi bahwa warga
negeri terjajah adalah warga kelas dua dilanggengkanlah prektek eksploitasi dan
ekstraksi sumber daya nusantara.
Sekitar awal kemerdekaan 1940-an, muncullah jalan ketiga yang membawa
serta imajinasi industrial yang membutuhkan tenaga kerja guna produksi massal dan
spesialisasi pengetahuan dalam rantai nilai produksi. Imajinasi industrial diperkuat
dengan ideologi kapitalisme memuja pasar sehingga dikenal industri pendidikan.
Dalam masa ini semua program studi atau mata pelajaran yang tidak
relevan dengan industri mulai menemui jalan buntu. Pengembangan teknologi
sebagai hilirisasi ilmu pengetahuan menjadi primadona dan ilmu-ilmu sosial
humaniora mengalami kemandegan kalau bukan harus menjiplak model ilmu
eksakta. Institusi yang ada mulai dari sekolah, pemerintahan, keluarga, bahkan
agama dikelolah secara industrial yang bertumpu pada bagaimana mengolah bahan
baku menjadi komoditi yang siap dipasarkan.
[8]
Pada zaman industrial ini, semua program studi di perguruan tinggi dinilai
dari banyaknya mahasiswa dan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia pada ranah
industri. Semua program studi yang tak layak jual seakan-akan diberikan pilihan
merger atau gulung tikar. Kajian-kajian yang menyoal pendidikan zaman industrial
mulai mendapat istilah-istilah unik, antara lain kapitalisme pendidikan dari Francis
Wahono, McDonalisasi Pendidikan Tinggi dari Heru Nugroho maupun yang paling
hits dari Ki Dharmaningtyas, pendidikan rusak-rusakan.
Model interaksi antara warga sekolah dengan pengelola sekolah pun tak
ubahnya dalam hubungan industrial buruh-majikan atau produsen-konsumen.
Maraklah promosi kelas unggulan siap kerja, kelas eksekutif cepat tamat dan
langsung kerja maupun istilah sejenisnya seakan pendidikan hanyalah mesin
pencetak untuk dibuang ke pasar tenaga kerja. Akhirnya, di ranah improvisasi
dilakukan semacam upaya massif standarisasi pendidikan yang bangga dengan
akreditasi, ujian standar nasional yang bermuara pada “stigmatisasi” lulusan
“original” dan lulusan “massal” untuk mempertahankan nama baik sekolah (lembaga
pendidikan).
Kini di era revolusi industri 4.0 mulailah muncul kesadaran baru dengan
imajinasi baru memilih di simpang jalan menyatunya “manusia dengan mesin” atau
“manusia dengan semesta”. Kelompok pertama merupakan reinkarnasi jalan ketiga
yang mengusung digitalisasi dan internet of things. Bagi kelompok ini manusia dan
mesin bisa dipadukan menjadi manusia super sebagai bagian dari human
enhancement. Sedangkan bagi kelompok kedua, di sinilah jalan keempat bermula
bahwa secara kodrati manusia menyatu dengan semesta.
Jalan keempat mengusung tema utama bahwa manusia tidak mungkin
disamakan dengan mesin karena ia pada hakikatnya merupakan padu serasi raga,
jiwa, rasa dan kehendak/karsa. Empat elemen utama pembentuk manusia
seutuhnya tidak akan dapat dihadirkan melalui mesin-mesin robot atau kecerdasan
buatan tercanggih sekalipun. Bahkan secara teologis khususnya ajaran agama-
agama samawi, manusia pada fitrahnya adalah puncak segala ciptaan sehingga
disebut Imago Dei.
Secara imajinasi, kelompok jalan keeempat menawarkan jalan baru kembali
ke hakikat dasar manusia yang memiliki kepekaan dan berjuang menjaga harmoni
dalam dirinya sendiri, antar sesamanya manusia, antara manusia dengan segenap
penghuni semesta dan sadar ada saat harus kembali kepada sang Khalik. Imajinasi
yang dihadirkan adalah sebentuk keseimbangan kosmos ruang dan waktu,
pendidikan yang holistik menjaga keutuhan segala ciptaan maupun kepentingan
generasi yang akan datang.Melalui corak imajinasi tersebut, ideologi yang diusung
adalah kosmopolitanisme/ide besar menempatkan manusia sederajat. Ide ini mulai
dari gerakan sinisme Yunani Kuno (Diogenes), filsafat stoa termasuk Immanuel Kant
(1724-1804) dalam tulisannya Perpetual Peace (damai tiada henti).
[9]
Dengan imajinasi harmoni manusia dengan semesta dan ideologi
kosmopolitanisme, diharapkan akan lahir institusi yang inklusif-emansipatoris.
Semua intitusi seperti keluarga, sekolah, agama, termasuk pendidikan dan
pemerintahan memberi tempat bagi semua (none left behind) dan sama-sama
berkolaborasi untuk kehidupan bersama yang saling mencerahkan. Demikian pula
model interaksi yang dibangun adalah harmoni antara disrupsi dan ko-eksistensi
antar seluruh pelaku untuk transformasi bersama yang menjamin hadirnya kebaikan
bersama pada setiap level, mulai dari lokal, regional, nasional maupun global. Pada
titik inilah terjadi glokalisasi bertemunya gejala global sekaligus lokal tanpa ada yang
saling menyakiti.
Mungkin sepertinya sebuah utopia namun itulah perjuangan bersama
dengan improvisasi yang dilakukan secara kolaboratif, kreatif dan inovatif bahwa
masa depan jauh lebih baik daripada yang dapat dibayangkan saat ini.
Mengikuti alur pikir dialog kearifan lokal dan kecenderungan global
dirumuskan ajakan membangun gerakan bersama. Gerakan bersama ini disusun
berdasarkan 4 (empat) pilar pembangunan pendidikan Kabupaten Karo secara
kolaboratif sebagaimana ditawarkan oleh UNESCO (2021)7, yakni gerakan Jalan
Baru Karo Maju yang memuat konsep dan kebijakan SH4RE (Stakeholder
Awareness for Restoration Education). Empat pilar tersebut memuat: (1) visi
bersama (share vision); (2) kerja bersama (share working); (3) pendanaan bersama
(share funding), dan (4) mengukur capaian kinerja bersama (share performance).
Keempat pilar restorasi pendidikan tersebut memuat konsep dan kebijakan yang
saat ini dianut dan diasumsikan masih relevan digunakan untuk meneroka masa
depan.
Visi bersama (share vision) memuat konsep manajemen strategis guna
menyiapkan skenario masa depan setelah mencermati kekuatan, kelemahan secara
internal maupun ancaman dan peluang eksternal lingkungan strategik. Secara
kebijakan hal ini dianut dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional maupun secara teknis dijabarkan dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomo 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, serta Tata
Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.
7 Konsep ini diinspirasi dan dikembangkan melalui publikasi UNESCO, 2021, Reimagining
Our Future Together, A new social contract for education, France. Diakses pada alamat
https://doi.org/10.54675/ASRB4722, 20 Desember 2023.
[10]
Kerja bersama (share working) merujuk pada konsep organisasi pembelajar
(learning organization) yang menawarkan orkestrasi seluruh talenta organisasi untuk
memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan organisasi. Secara kebijakan hal ini
didukung melalui terbitnya UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara
yang memperkuat sistem merit dan transformasi manajemen ASN.
Pendanaan bersama (share funding) mengedepankan konsep
penganggaran berbasis kinerja dan kerjasama pemerintah dan swasta dalam
pendanaan pembangunan. Hal ini selaras dengan model desentralisasi fiskal dan
sinergitan hubungan keuangan pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).
Sementara itu dalam konteks kinerja bersama (share performance)
menggunakan konsep Balance Scorecard dari Kaplan dan Norton (1996)8 dan dalam
konteks kebijakan dikuatkan melalui Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014
tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).
C. Metode Pengukuran
8 Kaplan, Robert and David P. Norton, 1996, The Balanced Scorecard : Translating Strategy
Into Action, Harvard Business School Press, Boston, Massachushett.
[11]
Komitmen bersama dan pembagian peran dimanifestasikan melalui adanya
kesediaan berbagi dalam menanggung beban khususnya pendanaan program dan
kegiatan melalui pendanaan bersama (share funding). Inilah ukuran untuk menilai
sejauhmana kontribusi para pemangku kepentingan peduli dalam melakukan
restorasi pendidikan. Semua pihak memberikan dukungan pendanaan sebagai bukti
kebersamaan membangun pendidikan kita.
Akhirnya, semua pekerjaan ini diukur tingkat pencapaian sasarannya dalam
bentuk kinerja yang diperoleh menurut perspektif para pemangku kepentingan,
keuangan, proses bisnis internal dan pertumbuhan dan pembelajaran dalam bentuk
share performance.Secara diagramatis metode pengukuran dapat diringkaskan
sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1 9.
9 Disarikan dari UNESCO, 2021, Reimagining Our Future Together, A new social contract for
education, France. Wilson, I., 2000, From Scenario Thinking to Strategic
Action,www.horizon.unc.edu/projects/seminars/futurizing/action.asp; dan Kaplan, Robert
and David P. Norton, 1996, The Balanced Scorecard : Translating Strategy Into Action,
Harvard Business School Press, Boston, Massachushett.
[12]
berdurasi 20 tahun, 4 (empat) kali Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) atau Rencana Strategis Perangkat Daerah (Renstra PD).
Untuk itu dibutuhkan time line dan tema utama setiap periode lima tahunan
yang menjadi jangkar pemikiran dan tindakan para pemangku kepentingan. Secara
garis besar dalam kurun waktu periode lima tahunan ditetapkan tema utama sebagai
titik tekan untuk menyiapkan fondasi untuk periode berikutnya. Selengkapnya
milestone dalam periode lima tahunan dari 2025-2045 divisualisasikan sebagai
berikut (Gambar 2).
[13]
kehidupan bangsa” menjadi bagian keseharian dan seluruh pemangku
kepentingan memberikan dukungan sebagai tindakan kolaboratif.
▪ Periode 2035-2040 sebagai Tahap III, ditetapkan tema utama adalah
innovation-driven. Tahap III ini sudah dicapai kemandirian dana sehingga
cukup untuk membiayai berbagai inovasi yang dibutuhkan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan baik pada level pemerintah daerah
maupun level satuan pendidikan. Semua inovasi yang relevan dan mampu
melakukan akselerasi pencapaian tujuan dilakukan pada tahap ini.
▪ Periode 2041-2045 sebagai Tahap IV, ditetapkan tema utama co-creation.
Pada tahap ini semua pihak dan aktor yang berasal dari dalam atau dari
luar berinisiatif memajukan pendidikan dan mencipta bersama (co-creation)
hal-hal yang dianggap relevan mempertahankan kualitas yang sudah baik
dan mencari terobosan baru sebagai sumbangan Kabupaten Karo bagi
kemajuan pendidikan nasional maupun global.
[14]
BAB 2
Buku Putih Tranformasi Pembelajaran 2025-2045
A. Prolog
10 Fisipol UGM, 2023, Call for Articles: Triple Disruption dan Transmisi Kekuasaan. Poster.
Bahkan di kalangan UGM, kajian penelitian khusus terkait Megashift dipelopori FISIPOL,
antara lain dibukukan dalam Publikasi UGM, 2021, ILMU SOSIAL POLITIK MASA
DEPAN : MENJAWAB MEGASHIFT? Disunting oleh Poppy S. Winanti, Wawan Mas’udi.
11 Frost and Sullivan, 2021, Global Mega Trends to 2030. Lihat juga ulasan Hosien Ali Taghi
Tehrani, Amir Mahmood zadeh and Kamran
Yeganegi, 2018. Megatrends for higher education in the world till 2020
International Journal of Current Research, vol.10, Issue, 01, pp.64485-64489, January.
available online at http://www.journalcra.com. Diunduh 20 Januari 2023.
[15]
Pokok-pokok penting dari keberadaan Megashift atau Global Megatrends
dapat disebutkan disini, bahwa dunia masa depan mengalami disrupsi besar (great
disruption). Sebagian orang menyebut kondisi ini sebagai “glocalization” bahwa
global dan lokal sudah menyatu dan sulit dibedakan. Kalangan lain khususnya
pemikir masa depan (foresight atau future studies) menyebut zaman ini sebagai
VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) sekaligus BANI (Brittle,
Anxiety, Non-linier, Incomplete).
Dengan konteks sebagaimana digambarkan tersebut, pendidikan perlu
segera meresponnya agar tetap relevan dan mampu membangun peradaban yang
memanusiakan manusia dan merawat semesta bagi generasi berikutnya.
Perkembangan lingkungan strategis inilah mendorong lahirnya kebutuhan pada
satuan pendidikan untuk melakukan transformasi pembelajaran agar tetap relevan
dengan tuntutan perkembangan zaman. Hal yang sebangun perlu juga dilakukan di
level Dinas Pendidikan melalui transformasi manajemen layanan pendidikan yang
berkualitas agar tujuan negara “mencerdaskan kehidupan bangsa” dapat memenuhi
sasarannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Merujuk pandangan Paul Gilding (2012), kerangka kebijakan pendidikan
global yang diluncurkan UNESCO (2021) serta mencermati kondisi VUCA atau BANI
yang berlangsung saat ini, tidaklah berlebihan apabila sebagian kalangan menyebut
pendidikan berada di simpang jalan. Pilihan yang tersedia antara meneruskan jalan
industrial yang saat ini menjadi aliran utama (mainstream) atau melakukan koreksi
melalui restorasi dengan jalan baru yang lebih memanusiakan manusia dan merawat
semesta.
Pandangan yang menawarkan perlunya dilakukan restorasi pendidikan
dengan mengambil inspirasi dari restorasi ekologi dapat dilihat misalnya dari Lisa
A.W.Kensler dan Cynthia L.Uline (2019) dalam tulisan mereka Educational
Restoration : a foundational model inspired by ecological restoration.
Pesannya tegas bahwa restorasi dalam konteks lingkungan ekologis
dengan mengurangi beban alam ini agar kemampuannya dalam memulihkan diri
dapat berjalan dengan optimal dan alamiah. Hal yang sama perlu dilakukan dalam
bidang pendidikan, prasyaratnya dimulai dari seluruh stakeholder pendidikan perlu
mengurangi beban yang sarat dalam dunia pendidikan agar pendidikan memiliki
kapasitas pemulihan secara alamiah menjadikan para pembelajar sebagai manusia
seutuhnya bukan menjadi manusia robotik, manusia ekonomik atau manusia digitalis
yang jauh dari kodrat kemanusiaan.
Selaras dengan konteks di atas, wajar apabila pendidikan menjadi realitas
yang senantiasa dihampiri manusia sepanjang zaman melalui seperangkat filsafat,
sains, seni maupun teknologi yang sering disebut sebagai problematika pendidikan –
education matters. Ketika menyoal pendidikan, pada dasarnya manusia menyoal
dirinya sendiri karena, tidak ada pendidikan tanpa kehadiran manusia di dalamnya.
Manusia (termasuk komunitas masyarakat yang dibentuknya) dan pendidikan adalah
[16]
realitas inter-subjektif, tidak ada bedanya dengan konsep abstrak lainnya, semisal
negara, uang, hak azasi, keadilan, atau perusahaan (Harari: 2014 & 2015).
Bukti-bukti sejarah menunjukkan bentuk pendidikan mulai dari yunani kuno,
zaman imperium Romawi, abad pertengahan sampai modern/post-modern selalu
mendapat panggung untuk dikaji kembali. Uraian lengkap tentang sejarah
perkembangan pendidikan dapat dicermati dari karya Ellwood P. Cubberley (2003)
melalui bukunya The History of Education.
Apabila kita mengikuti uraian Harari (2014) maka pendidikan dapatlah
dipadankan sebagai fiksi “pemikiran dan tindakan untuk merawat hidup bersama dan
kelestarian semesta” dalam suatu komunitas sekolah, masyarakat, daerah, negara-
bangsa, bahkan warga satu dunia. Sebuah realitas intersubjektif yang
memungkinkan manusia dapat bekerjasama dalam jumlah yang sangat besar
melampaui batasan geografis walaupun tanpa saling mengenal. Hanya manusia
(homo sapiens) yang memiliki kemampuan unik membuat narasi fiksi seperti itu
sehingga kerjasama dalam jumlah besar tanpa saling mengenal, menjadi mungkin.
Pandangan senada yang menekankan perlunya restorasi pendidikan
dikemukakan juga oleh Yudi Latif (2020). Yudi Latif mengingatkan agar sekolah tidak
harus mencetak “batu bata” karena lagi laku di pasaran namun hendaknya
mempersiapkan “tanah liat” yang siap menjadi apa saja ketika mereka memasuki
pasar tenaga kerja atau bahkan menciptakan pasarnya sendiri.
B. Konsep dan Kebijakan
[17]
Pengembangan pembelajaran mulai dari pedagogi, kurikulum, asesmen
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut untuk mengembangkan talenta
anak didik kita memiliki kompetensi literasi, numerasi dan karakter yang tangguh dan
solider. Dalam konteks ini profil Pelajar Pancasila menemukan relevansinya.
Konsep pembelajaran yang dikembangkan dapat dirujuk melalui empat
skenario besar sebagaimana digagas UNESCO yang dikenal dengan The Delors
Report (1996) hasil kajian International Commission on Education for the
Twenty-first Century. The Delors Report tersebut mengajukan empat pilar
pendidikan yakni : Learning to Know, Learning to Do, Learning to Be and
Learning to Live Together. Kerangka konsep ini masih relevan dan dapat
dikembangkan sesuai potensi dan kearifan lokal kita.
Pada tataran kebijakan, semua regulasi terkait dengan Standar Nasional
Pendidikan (SNP) sebagaimana dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57
Tahun 2021 berikut perubahannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2022 dijangkarkan dengan empat pilar pendidikan tersebut. Demikian pula dalam
konteks pengembangan masing-masing standar meliputi standar kompetensi
lulusan, standar isi, standar penilaian, standar proses, standar pengelolaan, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana /prasarana dan standar
pembiayaan mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi yang telah ditetapkan.
Di level daerah, regulasi turunan yang memastikan pilar pendidikan dan
standar nasional pendidikan perlu perlu dipadu-serasi melalui produk hukum daerah.
Dalam konteks ini perlu diperkuat kualitas kebijakan publik sektor pendidikan yang
berbasis luas bersifat multi-sektor, multi-disiplin dan multi-aktor (kolaboratif).
Pencermatan lain yang dibutuhkan dalam transformasi pembelajaran
memuat padu-serasi antara konsep dan kebijakan yang terkait dengan
pengembangan kepemimpinan kepala sekolah, peningkatan kompetensi guru,
penguatan model pembelajaran, paedogogi, asesmen kompetensi siswa, iklim
pembelajaran kelas dan satuan pendidikan, serta mendukung penuntasan
pencapaian kompetensi peserta didik (literasi, numerasi dan karakter). Semuanya ini
bermuara pada terbentuknya profil pelajar Pancasila. Terkait dengan kebutuhan
tersebut, konsep kepemimpinan pembelajaran, manajemen pembelajaran (learning
and teaching), filosofi pendidikan dan kompetensi peserta didik perlu dikembangkan
dan diselaraskan dengan perkembangan keadaan.
Sebagai contoh, pada level kepemimpinan Kepala Sekolah, perlu
dikenalkan dan diterapkan konsep kepemimpinan strategis dan/atau kepemimpinan
kolaboratif yang memadukan kekuatan internal dan peluang yang disediakan
lingkungan strategis eksternal. Melalui model kepemimpinan strategis (Morril,
[18]
2010)12 diharapkan model paedagogi, asesmen, kecakapan dasar maupun konten
pembelajaran yang relevan bagi perserta didik kita diajarkan dari sekarang.
Demikian halnya dengan pengembangan kompetensi guru diselaraskan dengan
tingkat kecakapan guru saat ini dikaitkan dengan jenis kecakapan (literasi, numerasi,
dan karakter) yang hendak dibentuk pada masing-masing anak didik kita sehingga
secara paralel guru dan murid saling mengembangkan dirinya (kolaborasi). Model
yang mengganggap “guru paling tahu” dan “siswa tidak tahu apa-apa” sudah saatnya
diakhiri.
Metode mengajar juga yang cenderung dilakukan secara monolog baik itu
ceramah, peragaan alat bantu ataupun pertunjukkan kebolehan guru di hadapan
murid harusnya sudah bergeser menjadi dialog, studi kasus, diskusi terpumpun
maupun interaktif berbantuan teknologi virtual reality ataupun augmented reality.
Bahkan melalui model inilah dirasakan suasana belajar yang melebur (immersed)
seakan murid sudah menyatu dengan konten pembelajaran yang dipelajarinya.
Semua ini dapat dilakukan dengan bantuan teknologi. Pada titik inilah
ketrampilan dasar berupa literasi digital bukan lagi sebuah kemewahan melainkan
kewajiban untuk Kepala Sekolah, Guru, Tenaga Kependidikan maupun anak-anak
didik kita. Digitalisasi pembelajaran yang sudah dimulai melalui infrastruktur yang
tersedia berupa jaringan internet, cromebook maupun Platform Merdeka Mengajar
(PMM), penggunaan belajar.id dioptimalkan penggunaannya di satuan pendidikan.
Demikian pula keberadaan platform Rapor Pendidikan, Asesmen Nasional (AN),
Aplikasi Pemantau Sekolah (APS) (bersama Tanoto Foundation), maupun integrasi
aplikasi MARKAS/ARKAS, SIPLah dengan SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan
Daerah) dan CMS yang telah dirintis bersama PT. Bank Sumut dimanfaatkan secara
optimal untuk mendukung manajemen berbasis sekolah dan transformasi
pembelajaran.
Berdasarkan semua kondisi dan keberadaan sumberdaya pendukung ini
diharapkan kehadiran 4 (empat) skenario masa depan sebagaimana disampaikan
Malbert and Sanvdik (2012) maupun Covey (2019)13 yang meliputi : university and
career readiness (kesiapan berkarir dan memasuki pendidikan tinggi), longitudinal
perspective (perspektif longitudinal yang menjadi ciri pembelajaran holistic), digital
12 Beberapa referensi dapat disebutkan disini, antara lain : Morrill, Richard L., 2010,
Strategic leadership : integrating strategy and leadership in colleges and universities,
Rowman & Littlefield Publishers, Inc, New York. Lihat juga pada uraian Bellanca, James,
and Ron Brandt (eds.), 2019, 21st century skills : rethinking how students learn, Solution
Tree Press, Bloomington.
13 Smith III, Malbert and Todd Sandvik, 2012, Four Global Trends in Education (And Why
They Matter),MetaMetrics Inc, Durham, North Carolina. Lihat juga ulasan Covey, S. R.,
1989, Habit 2: Begin with the end in mind. In The 7 Habits of Highly Effective People (pp.
95-144). New York: Simon and Schuster.
[19]
content (konten digital), dan individualized learning (pembelajaran berdiferensiasi
sesuai fase perkembangan peserta dididik), dapat kita terapkan.
Melalui skenario masa depan pembelajaran yang ditawarkan maka anak-
anak kita hendaknya siap menjadi warga dunia yang bertalenta global. Diberikan
sumber belajar secara digital, sesuai dengan tingkat perkembangan belajar, semakin
terdiferensiasi sesuai bakat dan minat serta mampu melanjutkan ke jenjang lebih
tinggi maupun memiliki kecakapan hidup.
Selain itu, insight dari OECD (2020)14 yang menawarkan 4 (empat) skenario
model sekolah masa depan mulai dari schooling extended, education outsourced,
school as learning hubs, dan learn-as-you-go, menarik untuk dijadikan pilihan.
Pilihan-pilihan yang tersedia sesuai dengan kondisi kita saat ini dapat diarahkan
untuk memperluas sekolah (melebarkan cakrawala dalam arti sekolah multi fungsi).
Dapat juga dilakukan dengan memberikan ruang partisipasi bagi kalangan
professional pihak outsourced. Sekolah juga dapat dijadikan pusat pembelajaran dari
berbagai kalangan (learning hubs). Akhirnya, sekolah juga dapat dimaknai sebagai
sekolah di mana saja dan kapan saja (learn as you go).
C. Metode Pengukuran
14 OECD, 2020, Back to the Future, Four Scenarios for Schooling, Education Research and
Innovation, OECD Publishing, Paris.
[20]
Kinerja bersama yang menandakan pembelajaran berlangsung sesuai
dengan standar nasional maupun pilar pendidikan dalam bentuk share performance,
diukur dengan melibatkan para pemangku kepentingan.
Secara visual metode pengukuran kualitas proses dan hasil pembelajaran
sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3.
SHARE
SHARE VISION SHARE WORKING SHARE FUNDING
PERFORMANCE
Kinerja proses
dan hasil
pembelajaran 4
Padu Serasi Penguatan Integrasi perspektif :
SNP dengan komunitas pendanaan intra penerima
empat pilar belajar dan dan antar sekolah layanan;
pendidikan kemitraan maupun mitra keuangan; proses
UNESCO strategis strategis bisnis internal;
dan pertumbuhan
dan pembelajaran
tim.
[21]
Gambar 4. Milestone Transformasi Pembelajaran 2025-2045
Berdasarkan timeline dan fokus utama transformasi pembelajaran selama kurun
waktu 2025-2045, dapat dijelaskan bahwa :
▪ Periode 2025-2029 sebagai Tahap I, ditetapkan sebagai model Student-
centered Learning.Pada tahapan ini perubahan paradigma pembelajaran
(paradigm shift) sudah terjadi selaras dengan ketersediaan sumber daya
yang ada (sumber daya manusia, modal sarana/prasarana, modal financial
dan ekosistem) untuk mengubah kondisi yang selama ini berpusat pada
guru menjadi berpusat pada murid.
▪ Periode 2030-2034 sebagai Tahap II, ditetapkan tema utama adalahDigital
and Immersed Learning. Pada tahapan ini infrastruktur digital diharapkan
telah dapat dipenuhi pada seluruh satuan pendidikan selaras dengan Road
Map Revitalisasi Sarana/Prasarana Pendidikan (Bagian 4). Berdasarkan
kondisi tersebut digitalisasi pembelajaran dapat dilakukan dengan massif
dan semua anak dapat belajar dan mengalami langsung semua topik
pembelajaran seakan menyatu (immersed) dengan bantuan virtual reality,
augmented reality maupun metaverse yang tersedia bagi pembelajaran.
▪ Periode 2035-2040 sebagai Tahap III, ditetapkan sebagai tahapan Joyfull
Learning. Tahap III ini sudah dicapai kemandirian dana dan ketersediaan
sarana/prasarna digital yang memadai sehingga anak-anak merasakan
pembelajaran sebagai sesuatu yang sangat menyenangkan masuk di dunia
nyata sekaligus dunia maya secara menikmati pembelajaran.
▪ Periode 2041-2045 sebagai Tahap IV, ditetapkan tema utama Accelerated
and Productive Learning.Pada tahap ini semua peserta didik telah mampu
melakukan akselerasi dan produktif menciptakan alat bantu pembelajaran
melalui penggunaan infrastruktur yang tersedia dan fasilitasi guru-guru yang
inspiratif dan professional.
[22]
BAB 3
Grand Desain Transformasi
Manajemen Layanan 2025-2045
A. Prolog
15 Accenture, 2012, Delivering Public Service for the Future: Navigating the Shifts,
http://www.accenture.com/deliveringpublicserviceforthefuture, unduh 20 Januari 2023
[24]
saatnya model pelayanan publik kita bergerak dari “legacy ways” menuju
‘’epiphany’’. Legacy ways merujuk pada cara-cara usang yang diwariskan secara
turun-temurun dalam birokrasi. Secara empiris hal ini tergambar dalam ungkapan
“dari dulu pun begininya masak kita ubah, nanti salah”. Kalimat ini secara tersirat
menunjukkan ketidakmampuan belajar dan keengganan untuk berubah. Sementara
epiphany lebih merujuk pada “kondisi tercerahkan” selalu mencari jalan baru untuk
menghindari jalan buntu. Ungkapan yang sederhana yang sering diungkapn
kelompok ini dalam pemberian layanan “pasti ada jalan lain untuk memperbaiki
layanan kita, mudah-mudahan semua layanan kita memenuhi harapan warga”.
B. Konsep dan Kebijakan
Berdasarkan latar belakang perlunya transformasi pelayanan publik dalam
sektor pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, maka konsep terkait dengan
fungsi utama manajemen maupun konteks pelayanan publik yang berkualitas
menjadi jangkar perumusan model.
Konsep yang terkait erat dengan manajemen adalah kepemimpinan.
Selaras dengan hal tersebut, maka kepemimpinan strategis dan kolaboratif semakin
dibutuhkan dalam melakukan transformasi manajemen pelayanan. Demikian halnya
dalam menjalankan manajemen, konsep manajemen strategis, manajemen
perubahan, manajemen mutu total maupun manajemen pelayanan yang better,
cheaper dan faster semakin menemukan relevansinya.
Penguatan kualitas manajemen pelayanan publik sebagaimana pandangan
Hodgkinson et.al (2017) 16 menarik untuk dicermati. Hasil kajian Hodgkinson dkk.
(2017) mempertegas bahwa kerangka kerja jaringan dalam pelayanan publik
semakin menemukan relevansinya. Pelayanan yang dilakukan pemerintah perlu
lebih inklusif dengan membangun jaringan dengan berbagai pemangku kepentingan.
Hal lain yang menarik dicermati dalam merancang
manajemen pelayanan masa depan adalah konsep Human
Geography yang ditawarkan Parag Khana (2021) dalam bukunya
Move : The Forces Uprooting Us menjelaskan ada 4 (empat)
konsep geografi, natural geography, political geography,
functional geography, dan human geography. Dalam buku
tersebut Khana menegaskan bahwa tahap berikutnya dari
peradabanan umat manusia adalah mobile dan sustainable.
16 Hodgkinson, I., Hannibal, C., Keating, B., Chester-Buxton, R. and Bateman, N., 2017,
Towards a public service management: Past, present, and future directions, Journal
ofService Management, 28 (5), 998-1023.
[25]
Konteks ini membutuhkan model pelayanan publik yang kongruen dan relevan.
Maknanya adalah generasi kita di masa depan merupakan warga dunia yang dapat
bergerak ke mana saja dan merindukan keberlanjutan antar generasi.
Kebijakan pada sisi lain, mulai dari UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, UU Nomor 20 Tahun
20023 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah serta turunannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah
sampai dengan Peraturan Menteri terkait dijadikan rujukan dalam menata ulang
manajemen layanan.
C. Metode Pengukuran
SHARE
SHARE VISION SHARE WORKING SHARE FUNDING
PERFORMANCE
Kinerja proses dan
Target SPM, SDG Penguatan hasil 4 perspektif :
komunitas Integrasi pendanaan
dan best practice penerima layanan;
dalam penjaminan
dalam negeri, Asia pelayanan dan mutu layanan
keuangan; proses
dan dunia. kultur pelayanan bisnis internal;dan
pembelajaran tim.
[26]
Layanan
Layanan
pendidikan
pendidikan berkelas
berbasis inovasi dunia
Layanan interaktif
pendidikan (2035-2040)
(2041-2045)
berbasis kinerja
digital
Layanan (2030-2034)
pendidikan
berbasis
Standar
Pelayanan
Minimal
(SPM)
(2025-2029)
Gambar 6. Milestone Transformasi Manajemen Layanan 2025-2045
[28]
B. Konsep dan Kebijakan
17 Mirchandani, N., & Wright, S., 2019, Future Schools (1st ed.). RIBA Publishing. Retrieved
from https://www.perlego.com/book/1520741/future-schools-innovative-design-for-existing-
and-new-buildings-pdf (Original work published 2019).
18 Hille, R.Thomas, 2011, Modern Schools: A Century of Design for Education, John Wiley &
Sons, England.
[29]
Melalui berbagai regulasi tersebut secara
yuridis desain unik dan kreatif sekolah-sekolah kita
dan multifungsi dengan seluruh ekosistem sekolah
telah dibuka dan diberi ruang. Tidak terdapat
batasan yang kaku dalam membangun sarana dan
prasarana sekolah yang sesuai dengan semangat
zaman dan kebutuhan anak-anak kita yang butuh
ruang kreasi, rekreasi, kolaborasi maupun imajinasi.
Kelak kita dapat berharap sekolah-sekolah kita menjadi ruang publik
mengajarkan kehidupan bagi anak-anak didik kita sebagai mahkluk sosial yang
peduli sesama, peduli lingkungan dan memiliki kepekaan estetik. Melalui desain
sekolah yang memberikan suasana yang aman dan menyenangkan, anak-anak kita
dapat mengembangkan mimpinya menjadi ahli filsafat, ahli ilmu pengetahuan yang
murni atau praktis bahkan penemu-penemu teknologi sejak usia dini.
Dalam konteks ini juga, persoalan yang selama ini terkait dengan sengketa
lahan sekolah, asset sekolah yang terbengkalai, lingkungan sekolah yang kumuh
akan menjadi cerita lama. Semua akan berubah seiring dengan desain sekolah
masa depan menjadi kerinduan berlama-lama di sekolah karena telah mampu
memberikan keteduhan, kedamaian, dan suasana yang saling menghangatkan.
Sekolah sebagai social hub dapat menjadi kenyataan dengan segala fasilitasnya
member tempat untuk berdiskusi, merancang masa depan bahkan memberikan
ruang untuk warga melaksanakan aktivitas sosial.
Desain sekolah masa depan tidak berlebihan rasanya ketika kita bermimpi
sejak saat ini, akan kerap menjadi tempat penyelenggaraan konferensi, muktamar
komunitas, temu para petinggi Negara karena memang kelasnya bukan lagi sebatas
tembok bata melainkan memadukan desain rumah adat Karo dengan museum Kairo.
Semua ini bukan mimpi melainkan imajinasi merenda asa anak-anak bangsa yang
memang berhak mendapatkan pelayanan terbaik dari Negara. Kelak dengan desain
sekolah mereka yang memang mendunia, percaya diri tumbuh, semangat belajar
yang tumbuh dan mereka melangkah mantap mengarungi samudera masa depan
yang sangat tidak pasti. Inilah ikhtiar kita bersama dan dimulai dari sekarang.
Sebuah cerita menarik mungkin dapat dipelajari dari sejarah
Candi Borobudur atau rumah adat Karo. Dulu nenek
moyang kita mungkin tak pernah terpikir Candi Borobudur
akan menjadi salah satu kebanggan arsitektur dunia karena
mereka membangunnya dengan hati. Demikian juga rumah
adat Karo tak pernah menggunakan paku hanya menata
balok dan ikatan kayu ditutupi “ ijuk” secukupnya. Namun semangat kolaborasi dan
kesatuan hati mampu menjadi fondasinya. Kini kedua arsitektur kultural ini dapat
menjadi inspirasi bagi anak-anak kita bahwa mereka telah kita hantarkan menjadi
warga global namun tetap memiliki kearifan lokal.
[30]
C. Metode Pengukuran
SHARE
SHARE VISION SHARE WORKING SHARE FUNDING
PERFORMANCE
Ketersediaan
desain, Terbangunnya
Komitmen perhitungan biaya sarana dan
Integrasi pendanaan
menyiapkan desain prasarana sekolah
sekolah masa depan dan daftar APBD dan non APBD
aman dan
nominatif lokasi menyenangkan
prioritas
[31]
Gambar 8. Milestone Revitalisasi Sarana dan Prasarana Sekolah 2025-2045
Berdasarkan timeline dan fokus utama revitalisasi sarana dan prasarana
sekolah, selama kurun waktu 2025-2045, dapat dilihat bahwa :
▪ Periode 2025-2029 sebagai Tahap I, ditetapkan sebagai tahap inisiasi dan
penyiapan desain dan penentuan lokasi prioritas yang dapat dilakukan
revitalisasi. Pada tahapan ini semua sekolah yang layak direvitalisasi dipilih
dan disiapkan desain unik dan modern.
▪ Periode 2030-2034 sebagai Tahap II, ditetapkan tema utama adalah
sekolah desain modern pada lokasi prioritas. Pada tahapan ini beberapa
sekolah sudah menggunakan desain modern khususnya pada lokasi
prioritas yang terpilih yang memenuhi kriteria teknis, yuridis, lingkungan
maupun anggaran. Berdasarkan kondisi tersebut sudah dimulai revitalisasi
sekolah yang berorientasi masa depan.
▪ Periode 2035-2040 sebagai Tahap III, ditetapkan sebagai tahapan
akselerasi dan ketuntasan. Tahap III ini diharapkan semua yang telah
memiliki desain pada seluruh lokasi dapat dituntaskan pembangunannya
sebagai sekolah modern dan berdesain unik.
▪ Periode 2041-2045 sebagai Tahap IV, ditetapkan sebagai tahapan sekolah
modern, aman dan menyenangkan. Pada tahap ini diharapkan semua
sekolah telah memiliki keunikan masing-masing selaras dengan desain
sekolah yang modern dan multi fungsi merujuk best practice internasional.
[32]
DAFTAR PUSTAKA
Accenture, 2012, Delivering Public Service for the Future: Navigating the Shifts,
http://www.accenture.com/deliveringpublicserviceforthefuture, unduh 20
Januari 2023
Adioetomo, Sri Moertiningsih Setyo, 2005, Bonus Demografi Menjelaskan Hubungan
Antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ekonomi Kependudukan, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Bellanca, James, and Ron Brandt (eds.), 2019, 21st century skills : rethinking how
students learn, Solution Tree Press, Bloomington.
Covey, S. R., 1989, Habit 2: Begin with the end in mind. In The 7 Habits of Highly
Effective People (pp. 95-144). New York: Simon and Schuster.
Fisipol UGM, 2023, Call for Articles: Triple Disruption dan Transmisi Kekuasaan.
Poster.
Frost and Sullivan, 2021, Global Mega Trends to 2030
Hille, R.Thomas, 2011, Modern Schools: A Century of Design for Education, John
Wiley & Sons, England.
Hodgkinson, I., Hannibal, C., Keating, B., Chester-Buxton, R. and Bateman, N.,
2017, Towards a public service management: Past, present, and future
directions, Journal ofService Management, 28 (5), 998-1023.
Hosien Ali Taghi Tehrani, Amir Mahmood zadeh and Kamran
Yeganegi, 2018. Megatrends for higher education in the world till 2020
International Journal of Current Research, vol.10, Issue, 01, pp.64485-64489,
January. available online at http://www.journalcra.com. Diunduh 20 Januari
2023.
Kaplan, Robert and David P. Norton, 1996, The Balanced Scorecard : Translating
Strategy Into Action, Harvard Business School Press, Boston,
Massachushett.
Magdoff, Fred, dan John Bellamy Foster, 2018, Lingkungan Hidup dan Kapitalisme:
Sebuah Pengantar, Marjin Kiri, Yogyakarta.
Mirchandani, N., & Wright, S., 2019, Future Schools (1st ed.). RIBA Publishing.
Retrieved from https://www.perlego.com/book/1520741/future-schools-
innovative-design-for-existing-and-new-buildings-pdf (Original work published
2019).
Morrill, Richard L., 2010, Strategic leadership : integrating strategy and leadership in
colleges and universities, Rowman & Littlefield Publishers, Inc, New York.
OECD, 2020, Back to the Future, Four Scenarios for Schooling, Education Research
and Innovation, OECD Publishing, Paris.
Prints, Darwan, 2014 : Adat Karo, Bina Media Perintis, Medan.
Singarimbun, Masri, 1975 : Kinship, Descent, and Alliance among the Karo Batak,
California University Press, California.
[33]
Sitepu, A.G., 1980 : Mengenal seni kerajinan tradisional Karo, E.Karya, Medan.
Steven Vertovec and Robin Cohen, 2002 : Conceiving Cosmopolitanism, Theory,
Context and Practice, Oxford University Press, Oxford.
Smith III, Malbert and Todd Sandvik, 2012, Four Global Trends in Education (And
Why They Matter),MetaMetrics Inc, Durham, North Carolina.
Taleb, Naseem, Nicholas, 2010 : The Bed of Procrustes : Philosophical and Practical
aphorism, Random House, New York
UGM, 2021, ILMU SOSIAL POLITIK MASA DEPAN : MENJAWAB MEGASHIFT?
Disunting oleh Poppy S. Winanti, Wawan Mas’udi.
UNESCO, 2021, Reimagining Our Future Together, A new social contract for
education, France. Diakses pada alamat https://doi.org/10.54675/ASRB4722,
20 Desember 2023.
Wilson, I., 2000, From Scenario Thinking to Strategic
Action,www.horizon.unc.edu/projects/seminars/futurizing/action.asp.
Zuboff, Shoshana, 2019, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human
Future at the New Frontier of Power, Public Affairs, New York.
[34]