Anda di halaman 1dari 12

Abstrak

Eksplorasi matematika sebagai aktivitas manusia memicu kebutuhan untuk meneliti


etnomatematika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi etnomatematika dalam
pembuatan alat tangkap ikan tradisional masyarakat Kabupaten Bintan yang dinamakan Bubu.
Metode penelitian ini adalah etnografi dengan observasi langsung, interview, dan dokumentasi.
Peneliti bertindak sebagai instrumen utama. Data dianalisis dengan teknik analisis Spradley yang
membagi wilayah analisis menjadi empat meliputi analisis domain, analisis taksonomi, analisis
komponensial, dan analisis tema budaya. Untuk tiap analisisnya dilakukan reduksi data, penyajian
data, dan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya sejumlah aktivitas matematis
dalam merancang, menghitung, dan mengukur dimensi panjang dalam pembuatan Bubu. Dalam
aktivitas-aktifitas tersebut terdapat konsep matematika diantaranya bangun ruang, jaring-jaring
bangun ruang, kurva, bilangan ganjil, barisan dan atributnya, simetri bilateral, sumbu simetri,
bilangan figuratif, kekongruenan bangun datar, serta pengukuran panjang dengan menggunakan
satuan ukur tidak baku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuat Bubu telah memiliki
pengetahuan geometris melalui konsep simetris yang menjadi dasar dari dua aktivitas seperti
menghitung dan mengukur serupa dengan hasil penelitian etnomatematika pada masyarakat
Eskimo Yupiaq di Alaska dan penduduk pulau keturunan Carolina di Micronesia. Hasil penelitian
ini dapat berelasi dalam Pendidikan Matematika karena berkontribusi untuk menciptakan pola
pembelajaran matematika dengan memanfaatkan fenomena sehari-hari untuk penguasaan
matematika secara lebih formal.

PENDAHULUAN

Budaya merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang memiliki keterkaitan dengan
kehidupan lampau hingga sekarang, dan teorinya akan terus berkembang seiring dengan perubahan
zaman (Aprianti et al., 2022; Fuady, 2022; dan Iman, 2018) dan bukan hanya produk karya
manusia melainkan ide atau gagasan yang terkandung dalam pikiran manusia. Unsur budaya yang
dapat ditemukan di semua bangsa secara universal terdiri dari unsur bahasa, sistem pengetahuan,
sistem organisasi sosial, sistem peralatan dan teknologi hidup, sistem mata pencaharian, sistem
keagamaan, dan seni (Setiaji, 2022; Bestari et al., 2023)

Budaya dan matematika erat kaitannya (Martyanti & Suhartini, 2018), dan perkembangannya
berdampak pada perkembangan pengetahuan matematika (Wulandari & Puspadewi, 2016).
Misalnya, munculnya sistem pengukuran pada masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai besar
di mana sebagian besar penduduknya bercocok tanam. Munculnya sistem pengukuran ini
dilatarbelakangi oleh kebutuhan pengukuran bidang lahan pertanian yang dimiliki (Martyanti &
Suhartini, 2018). Integrasi matematika dan budaya dalam pendidikan dimaksudkan untuk
menumbuhkan kemampuan mengembangkan warisan budaya sesuai konteks saat ini dengan
menggunakan dasar keterampilan berpikir kreatif matematis yang bercirikan logis, rasional, dan
imajinatif, disertai dengan rasa estetika (Wulandari & Puspadewi, 2016).

Menurut James dan James, matematika dalam konteks formal sains diartikan sebagai ilmu yang
menjelaskan bentuk dan dimensi, struktur, konsep, dan logika yang erat kaitannya satu sama lain
(Rahmah, 2018). Matematika didasarkan pada hasil yang dibentuk sendiri. Selain itu, pemikiran
manusia, yang berkaitan erat dengan aktivitas berpikir, mengeluarkan ide, pengolahan, penalaran,
dan logika, dapat membentuk matematika itu sendiri (Siagian, 2016). Berdasarkan hubungan ini,
matematika, perilaku, dan budaya saling terkait. Singkatnya, matematika dan budaya memiliki
hubungan yang erat. Hubungan ini dijelaskan sebagai matematika yang tumbuh, berkembang,
dipengaruhi, dan diintegrasikan ke dalam aspek kehidupan budaya manusia, termasuk sejarah,
lingkungan, masyarakat, dan geografi (Rosa et al., 2016)

Salah satu konsep yang mengkaji hubungan antara matematika dan budaya adalah
etnomatematika. Beberapa definisi mengarah pada satu poin, yang menjelaskan bahwa
etnomatematika adalah pola atau cara menggabungkan banyak ide dan teknik yang dilakukan,
dilatih, dan dikembangkan oleh sekelompok orang tertentu (Rosa et al., 2016) dan didefinisikan
sebagai cara khusus yang digunakan oleh kelompok budaya atau masyarakat tertentu dalam
aktivitas matematika. Aktivitas matematika yang dimaksud adalah suatu kegiatan yang di
dalamnya terdapat proses abstraksi dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam
matematika atau sebaliknya, meliputi kegiatan pengelompokan, penhitungan, pengukuran,
perancangan bangunan atau alat, pembuatan pola, penhitungan, penentuan lokasi, bermain, dan
menjelaskan (Martyanti & Suhartini, 2018).

Etnomatematika membawa hubungan antara matematika dan budaya ke permukaan dan telah
membuat kemajuan yang signifikan sebagai studi khusus. Pertama, etnomatematika bertujuan
untuk mengubah cara pandang yang memandang matematika sebagai disiplin ilmu formal yang
tidak ada hubungannya dengan manusia kehidupan di dunia nyata siswa (Rosa & Orey, 2011).
Perspektif ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa matematika jarang diajarkan di sekolah
secara baik dan kontekstual, sehingga dirasakan sangat sulit bagi siswa dan tidak bermakna sama
sekali (Febrian, 2016). Dengan adanya etnomatematika, kesempatan untuk mendidik kembali
masyarakat dengan cara yang lebih baik adalah mungkin. Dengan menekankan hubungan antara
matematika dan budaya melalui eksplorasi, kemungkinan orang menyadari bahwa mereka
memiliki kecerdasan yang terkait erat dengan matematika dalam kehidupan sehari-hari menjadi
sangat kuat. Kedua, beberapa peneliti etnomatematis percaya bahwa itu memainkan peran penting
dalam pendidikan matematika. Belajar dengan menggunakan etnomatematika akan menambah
wawasan tentang keberadaan matematika dalam unsur-unsur budaya yang dimiliki dan
meningkatkan rasa ingin tahu sehingga termotivasi untuk belajar (Fajriyah, 2018; Rahayu et al.,
2018). Ketiga, etnomatematika dapat memberikan pembelajaran matematika yang bermakna
karena diajarkan secara kontekstual melalui budaya. Etnomatematika dapat menjadi fenomena
didaktik dalam proses pembelajaran yang membantu siswa memahami matematika dengan lebih
baik.

Atas dasar itu, etnomatematika masih terus dilakukan dan dikembangkan oleh beberapa peneliti,
khususnya di Indonesia, dengan karakteristik budaya yang plural. Beberapa penelitian telah
mengeksplorasi etnomatematika di beberapa kelompok masyarakat budaya di beberapa wilayah
Indonesia. Sejumlah penelitian tersebut antara lain penelitian tentang sistem kalender Bali
(Suarjana et al., 2014), tentang masyarakat Sunda (Abdullah, 2017), yang berisi konsep
matematika, dan tentang penciptaan batik (Risdiyanti & Prahmana, 2018), yang mengungkapkan
beberapa pola geometris yang dikembangkan oleh pengrajin. Selanjutnya, salah satu
etnomatematika maju dalam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah adanya
etnomodeling yang berkembang pada masyarakat Yogyakarta terkait sistem Pranatamangsa dan
upacara kelahiran dan kematian (Prahmana et al., 2021)

Selain itu, beberapa penelitian yang dilakukan pada masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai
Musi berkaitan dengan proses penangkapan ikan tradisional (Malalina et al., 2020). Studi lain
membahas bagaimana masyarakat lokal Kokas, Kabupaten Fakfak, menggunakan Sero sebagai
perangkap ikan (Ubayanti et al., 2016). Namun, hasil penelitian tersebut menggambarkan aspek
matematika yang masih terbatas, terutama dalam menelusuri aspek aktivitas matematika yang
perlu dilakukan secara lebih mendalam untuk mendapatkan gambaran yang lebih holistik. Namun,
studi ini telah menyediakan jalan untuk eksplorasi subjek serupa dengan latar belakang budaya
dan karakteristik masyarakat yang berbeda. Dengan demikian, seiring dengan fakta mengingat
terbatasnya jumlah kajian etnomatematis di Kepulauan Riau, seperti penelitian etnomatematis
dalam pembuatan Layang-layang Wau di Kabupaten Lingga (Febrian, 2016) dan Tanjak Melayu
di Kota Tanjungpinang (Febrian et al., 2022), serta mempertimbangkan karakteristik geografisnya
berupa pulau-pulau dan keragaman pola budaya, Penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan.
Salah satu ciri khas nusantara adalah memiliki potensi maritim yang sangat baik. Masyarakat
dominan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, sehingga kelompok masyarakat ini dapat
menjadi kelompok sumber untuk eksplorasi etnomatematis selanjutnya. Dalam menjalankan
aktivitasnya, nelayan pesisir umumnya menggunakan perangkap ikan yang masih cenderung
tradisional dengan teknik pembuatannya yang unik dan taktis. Ada perangkap ikan bernama Bubu
di daerah Kijang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Bubu adalah salah satu etnomatematis
potensial Subjek karena hampir semua masyarakat di Kepulauan Riau, khususnya Kijang,
mengenal perangkap ikan tradisional ini. Oleh karena itu, penelitian ini mengidentifikasi
etnomatematika dalam pembuatan Bubu dan membahas bagaimana kegiatan dan konsep
matematika berakar dalam proses tersebut.

METODE

Penelitian ini menerapkan metode etnografi untuk mengetahui bagaimana aktivitas matematika
dan konsep matematika digunakan dalam pembuatan perangkap ikan asli Bubu di daerah Kijang,
Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Etnografi cocok digunakan sebagai metode penelitian karena
mengikuti tujuannya untuk mengidentifikasi dan menjelaskan etnomatematika dalam praktik
kehidupan masyarakat, yang meliputi eksplorasi beberapa ide, metode, dan teknik (Ascher &
D'Ambrosio, 1994; Rosa et al., 2016). Etnografi memiliki beberapa langkah, termasuk identifikasi
budaya, mendefinisikan pertanyaan penelitian, tinjauan literatur, mendapatkan masuk,
memperoleh informan, pengumpulan data observasi partisipan, analisis dan interpretasi data, dan
laporan etnografi

Menurut jenis penelitian ini, instrumen penelitian utama adalah peneliti itu sendiri (instrumen
manusia). Dalam hal ini, peneliti bertindak sebagai pengumpul data, dan perannya tidak dapat
digantikan, sehingga peran peneliti adalah elemen penting. Peneliti, sebagai instrumen utama, juga
didukung oleh instrumen lain, yaitu lembar observasi, pedoman wawancara, dan rekaman video.
Instrumen pendukung tersebut masing-masing berakar pada teknik observasi langsung,
wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini dilakukan selama beberapa bulan untuk mendapatkan
informasi terkait etnomatematika manufaktur Bubu, tepatnya pada bulan Januari hingga Juli 2021.
Subjek penelitian diambil dengan menggunakan teknik snowball sampling, dimana ukuran sampel
awal kecil, kemudian berkembang seiring dengan meningkatnya minat terhadap kedalaman data
yang tidak dapat diperoleh hanya dengan jumlah sampel sebelumnya. Jika data perlu diperbaiki,
peneliti akan mencari informan lain untuk melengkapi data. Dalam penelitian ini, lima pembuat
Bubu menjadi informan atau sumber data setelah teknik tersebut dilakukan untuk mendapatkan
data yang valid. Informan yang dipilih dengan cermat adalah lima nelayan di daerah Kijang,
Kabupaten Bintan, yang sehari-hari bekerja untuk menangkap ikan menggunakan perangkap ikan
Bubu.

Data yang terkumpul dianalisis menggunakan teknik analisis data untuk penelitian etnografi
berdasarkan Spradley, yang membagi area analisis menjadi empat, yaitu: analisis domain, analisis
taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema budaya (Spradley, 2016). Setiap analisis
melakukan beberapa proses, antara lain reduksi data, penyajian, dan kesimpulan. Data dari
beberapa teknik pengumpulan dibandingkan konsistensinya dengan teknik triangulasi. Akhirnya,
rangkaian metode ilmiah ini dilakukan untuk menjawab rumusan masalah etnomatematika dalam
pembuatan perangkap ikan, termasuk praktik matematika dan konsep matematika. Tabel 1 berikut
adalah tabel rekapitulasi yang memberikan gambaran tentang bagaimana penelitian ini dilakukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep matematika banyak digunakan dalam pembuatan Bubu. Dalam konteks yang sederhana,
dapat dilihat dari perkembangan saat ini yang bervariasi dari segi bentuk seperti sangkar, silindris,
segitiga, persegi panjang, dan setengah lingkaran (Banurea & Tobing, 2019). Berdasarkan
wawancara dengan Pembuat perangkap ikan, ditetapkan bahwa Bubu merupakan salah satu
perangkap ikan asli yang terbuat dari kawat besi yang telah diwariskan secara turun temurun. Bubu
menyerupai wadah dengan satu pintu sebagai jebakan. Pintu jebakan unik karena mengikuti model
struktur Bubu. Itu terbuat dari kawat besi, yang dibentuk menjadi parabola di bagian dalam.
Biasanya, perangkap ditempatkan di dasar laut selama musim hujan timur. Di dalam, umpan
ditempatkan sehingga ikan yang melihat umpan tertarik untuk memasuki perangkap. Jika ikan
sudah masuk perangkap, ia tidak bisa keluar lagi karena terperangkap. Bubu dapat diambil setelah
seminggu Bubu ditempatkan di dasar laut.

Selanjutnya, penelitian ini mengeksplorasi bentuk dan desain Bubu. Peneliti melakukan
pengamatan langsung dan wawancara dengan pembuat Bubu mengenai proses pembuatan untuk
menemukan potensi ide, pemikiran, strategi, atau teknik yang muncul. Proses ini diikuti dengan
mengidentifikasi potensi kegiatan dan konsep matematika yang berakar pada pembuatan Bubu.

Desain Konstruksi Bubu

Bubu, yang dibangun menggunakan kawat besi, adalah perangkap ikan yang menyerupai
kombinasi beberapa bentuk, seperti prisma trapesium dan prisma segitiga sama kaki. Secara
umum, pembuat Bubu menamai bagian-bagian Bubu. Diantaranya adalah kepala atau bagian
runcing yang menyerupai segitiga sama kaki (di satu sisi jaring kawat) atau prisma segitiga sama
kaki jika dilihat secara keseluruhan. Bagian lainnya disebut tubuh, yang merupakan bagian tengah
Bubu yang dibuat dalam bentuk berbentuk kubus. Bagian terakhir adalah dua kaki dalam bentuk
prisma segitiga kanan. Konstruk Bubu dibangun dengan terlebih dahulu membuat bagian-bagian
samping dari bentuk ruang seperti kisi-kisi spasial yang terdiri dari 4 pasang sisi kongruen,
termasuk dua sisi segi enam, yang merupakan kombinasi dari dua jajaran genjang kongruen, dua
sisi persegi panjang untuk bagian samping, dan empat sisi lainnya dari persegi panjang, masing-
masing dua di kepala dan dua lainnya di kaki. Pintu masuk ikan di tengah dari bawah menyerupai
parabola sebagai jalur ikan menuju perangkap. Teknik untuk membuat sisi-sisi ini dengan
mengukurnya dijelaskan di bagian selanjutnya. Perhatikan gambar-gambar Bubu berikut ini.

Untuk membuat konstruksi Bubu, digunakan bahan dasar sederhana, terdiri dari wire netting
berupa jaring lubang dan kawat tebal, yang berfungsi untuk merekatkan beberapa area samping
perangkap dari wire net dan memperkuat Bubu. Umumnya, kawat penghubung berfungsi seperti
tepi dalam bentuk ruang. Secara keseluruhan, dimensi Bubu diukur sedemikian rupa sehingga
bentuk Bubu secara simetris dilihat dari berbagai sisi. Ini karena pembuat Bubu ingin Bubu
seimbang dan kaku. Berdasarkan hasil wawancara mengenai alasan pemilihan bentuk struktur
Bubu menyerupai kombinasi struktur ruang, diyakini bahwa Bubu ketika diletakkan di dasar laut
akan mampu melawan arus karena bentuk kepala yang runcing atau segitiga sehingga arus tidak
dapat dengan mudah membawanya pergi.
Untuk membentuk seluruh bentuk Bubu,

pembuat pertama-tama membuat bagian jaringnya, yaitu sisi-sisinya, dalam bentuk beberapa
gambar dua dimensi, termasuk segi enam, kombinasi dari dua jajaran genjang kongruen (lihat
Gambar 3 di bawah). Beberapa sisi persegi panjang dibuat sebagai bagian lain dari jaringnya untuk
melengkapi keseluruhan konstruksi.

Untuk membuat beberapa figur dua dimensi yang berfungsi sebagai sisi trap, pembuat trap
menggunakan lubang atau lingkaran pada wire net sebagai satu kesatuan untuk mengukur dimensi
panjang dan lebar kawat, yang kemudian menjadi sisi-sisi trap. Pengukuran panjang dilakukan
dengan menghitung jumlah lingkaran secara horizontal dan vertikal, tergantung pada bagian
bidang mana dimensi yang akan diukur. Proses ini ditunjukkan pada Gambar 4 berikut.

Dengan memanfaatkan lubang di jaring kawat sebagai satuan pengukuran panjang, pembuat
perangkap dapat memutuskan ukuran atau dimensi apa dari setiap gambar dua dimensi yang
bertindak sebagai sisi perangkap. Lubang yang digunakan sebagai unit pengukuran non-standar
disebut mata oleh perancang perangkap. Secara umum, dimensi Bubu yang dibangun memiliki
dimensi tebal 15 mata, lebar 35 mata, dan tinggi 21 mata. Ukuran diperoleh dari beberapa dimensi
sisi perangkap yang ditunjukkan pada Gambar 5 di bawah ini

Selanjutnya, semua figur dua dimensi pada sisi perangkap direkatkan satu sama lain menggunakan
kawat tebal yang dimensinya mengikuti panjang masing-masing figur dua dimensi. Kabel-kabel
ini berfungsi seperti tepi figur tiga dimensi yang tidak melingkar dan berperan dalam menjaga
integritas bentuk trap dan memperkuat struktur trap agar bentuknya tetap bertahan pada arus dasar
laut. Peletakan kawat juga dilakukan di tepi perangkap dan area samping. Ini diatur sedemikian
rupa sehingga pasangan kawat membentuk beberapa bentuk persegi panjang kongruen, segitiga
siku-siku kongruen, dan trapesium siku-siku kongruen dengan strategi penempatan kawat, yang
akan dijelaskan nanti. Penempatan kawat ditunjukkan pada Gambar 6 berikut

Sementara itu, bagian bawah tengah membentuk semacam pintu masuk atau pintu. Pintu masuk
ini berfungsi sebagai jalan perangkap ikan yang dirancang dalam bentuk parabola yang terbuka ke
bawah dengan dimensi lebar maksimum 15 mata, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7 di
bawah ini
Hal yang menarik dari menentukan dimensi perangkap ditinjau dari panjang, lebar, dan ketebalan
adalah penggunaan angka mata ganjil, atau hasil pengukuran panjang dan penentuan jumlah
lubang adalah angka ganjil. Alasan khusus pabrikan untuk menentukan dimensi ini terkait dengan
peletakan kawat tebal sebagai penyangga untuk sisi perangkap yang merupakan pusat atau
patokan. Kawat tebal dipasang tepat dalam konfigurasi vertikal lubang kawat. Sebuah kawat tebal
dimasukkan ke dalam lubang vertikal dan diikat pada posisi itu secara vertikal sehingga menjadi
kuat dan menahan sisi-sisi di tengah. Dengan demikian, posisinya di tengah membuat area kiri dan
kanan seimbang. Tindakan penyeimbangan ini melalui penempatan taktis mengingatkan fungsi
serupa dari kawat ke sumbu simetri pesawat. Pembuat berpendapat bahwa, dengan posisi kawat di
tengah, ada area kiri dan kanan di bagian depan dan belakang perangkap sehingga kiri dan kanan
seimbang. Jenis simetri ini dikenal sebagai simetri bilateral, dan reflektif, dengan tolok ukur kiri-
kanan dari sumbu simetri. Selain itu, ini menunjukkan konsep keseimbangan melalui jarak atau
jumlah lubang yang sama mengenai sumbu simetri atau lubang di kawat tengah. Kabel
diilustrasikan pada Gambar 8 di bawah ini.

Karakter taktis kabel diulang untuk menempatkan kawat vertikal lain di sisi perangkap. Jadi,
dengan lebar perangkap 35 mata, kawat tebal pusat berada di lubang 18. Terdapat 17 lubang di
sebelah kiri dan 17 lubang di sebelah kanan kawat pemandu di sisi tersebut, sehingga pembuatnya
dapat memasang kembali kawat secara vertikal pada kolom urutan lubang kesembilan, delapan
lubang dari kawat patokan di tengah (sumbu simetri) dan pada lubang 27, yaitu delapan lubang di
sebelah kanan kawat patokan. Si If seen closer to the determination of the hole for installing the
thick wire, it follows the particular mathematical concepts. The process is similar to determining
the middle part of the sequence or the median of a sequence with an odd number of components.
Finding the median, or middle part, of several segments of a sequence is similar to finding the
quartiles of the sequence. This technique is similar to the technique of determining symmetry in
figurative numbers in ancient Greece, precisely at the time of Pythagoras, around 6000 to 5000
BC. A figurative number is a geometric form of a number that can give birth to the concept of
symmetry in the context of its use in ancient Greece. The technique is presented in Figure 10
below.

Gambar di atas menunjukkan angka figuratif Yunani yang terdiri dari beberapa sumbu simetri.
Kelompok angka figuratif mewakili angka ganjil yang disebut "laki-laki" atau "ditentukan" karena
memiliki susunan persegi dengan empat sumbu simetri. Jika dilihat dengan seksama, simetri
vertikal yang terletak tepat di tengah kolom susunan titik relevan dengan penentuan lubang pada
penempatan kawat tebal dalam pembuatan Bubu dimana jumlah angka ganjil merupakan ukuran
panjang dimensi perangkap. Selain angka figuratif, strategi menempatkan kawat tebal tepat di
lubang tengah menyerupai tata letak geometris yang digunakan untuk mengeksplorasi aturan dan
pola dalam angka (Lipka et al., 2019). Pada Gambar 11 di bawah ini, karakteristik simetri
digunakan dalam kelompok tata letak geometris sebagai dasar garis bilangan, konsep bilangan
bulat positif dan negatif, dan konsep jarak dari titik awal nol

Dengan demikian, dalam proses penentuan, pembuat dengan cepat menunjuk ke lubang tempat
kawat dipasang sambil menginformasikan nomor seri lubang sebagai tanda bahwa pembuat dapat
dengan mudah menemukan lubang patokan berdasarkan lubang referensi tengah (sumbu simetri).
Pada saat yang sama, penulis tampaknya memahami hubungan antara beberapa konsep, yang
dikenal secara formal dalam matematika sebagai sumbu simetri bilateral dan karakter kesetaraan
jarak kiri dan tepat, juga dikenal sebagai karakter refleksi, hubungan bilangan ganjil dan figuratif,
dan hubungannya dengan sifat simetri dan tata letak geometris. Akhirnya, hasil penelitian
ditangkap pada Tabel 2 berikut. Tabel ini memberikan gambaran tentang bagaimana tujuan studi
etnomatematika tercapai

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa aktivitas matematis dan beberapa konsep
matematika yang berakar pada aktivitas merancang dan membuat perangkap ikan. Dalam
menentukan desain Bubu, perancang memilih bentuk gabungan dari beberapa bentuk dan bagian-
bagiannya dengan mempertimbangkan beberapa aspek, seperti keseimbangan dan simetri. Hal ini
bertujuan untuk menghasilkan konstruksi Bubu yang kokoh, kuat, dan tahan terhadap guncangan
dan arus saat ditempatkan di dasar air. Pemahaman primitif ini menunjukkan bahwa, secara alami,
manusia dapat menghubungkan struktur atau desain dengan hubungannya dengan karakteristik
keseimbangan dan simetri. Seperti yang disampaikan Euclid dalam "The Elements," unsur-unsur
bentuk dan konstruksi, serta simetri, menggambarkan hubungan yang melahirkan konsep
keseimbangan karena sifat simetri dapat diterapkan dalam berbagai bidang, struktur, atau bentuk.
(Heath, 1956

Sementara itu, dalam mengukur dimensi perangkap, terdapat kegiatan pengukuran dengan
menggunakan lubang kawat sebagai satuan pengukuran. Dalam hal ini, panjang perangkap dipilih
dalam jumlah ganjil dengan beberapa pertimbangan, seperti keseimbangan perangkap dan alasan
teknis pemasangan kawat tebal sebagai penguat konstruksi perangkap. Jika dilihat lebih jauh,
pemilihan lubang angka ganjil dalam konteks pemasangan kawat pada wire mesh berupa lubang
memberikan gambaran pemikiran yang menghubungkan karakter ganjil dalam konteks angka dan
sifat simetris seperti karakter angka figuratif di Yunani kuno dan juga layout geometris sebagai
strategi penanaman konsep angka ganjil dengan bantuan sumbu simetri (Lipka et al., 2019). Selain
itu, memahami simetri juga terkait dengan strategi pemasangan lubang untuk pemasangan kabel,
mirip dengan menemukan suku tengah dari urutan dengan jumlah suku ganjil. Strategi
pengulangan proses juga menggambarkan bahwa, secara alami, perancang perangkap memiliki
pemahaman yang mirip dengan menentukan lokasi kuartil dalam urutan sebagai kelanjutan dari
penentuan jangka menengah.

Dengan apa yang telah ditemukan dalam proses pembuatan trap, terutama pada bagian pengukuran
serta pemasangan kawat tebal, perancang dikatakan telah memiliki sense geometris melalui konsep
simetri dalam melihat beberapa hal sekaligus, yaitu mengukur dimensi panjang, membuat
perhitungan, dan juga memiliki rasa angka, terutama angka ganjil. Ini mengikuti penjelasan bahwa
simetri terkait erat dengan pemahaman seseorang tentang pengukuran panjang, dimensi, dan angka
(Lipka et al., 2019). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa simetri adalah konsep
sentral dominan yang ditemukan dalam praktik matematika pembuatan perangkap, yang
merupakan dasar dari dua kegiatan terkait, yaitu menghitung dan mengukur. Ini mendukung
argumen bahwa simetri adalah konsep matematika sentral yang merupakan awal dari berbagai
praktik matematika (Constant, 2016). Selain itu, hasil penelitian menunjukkan kecenderungan
yang sama terhadap hubungan simetri dan pengukuran yang digunakan dalam aktivitas sehari-hari
antara masyarakat Kijang, Kabupaten Bintan, dan masyarakat Eskimo Yupiaq di Alaska dan
penduduk Kepulauan Carolinian di Mikronesia (Lipka et al., 2019). Mereka menerapkan prinsip-
prinsip matematika dasar yang berkaitan dengan simetri dan pengukuran dalam pembuatan alat
untuk mendukung kegiatan sehari-hari

Selain konsep simetri, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran panjang juga merupakan
aspek dominan dalam pembuatan perangkap. Hasil ini mirip dengan studi etnomatematis
sebelumnya di mana pengukuran panjang adalah aspek dominan (Embong et al., 2010; Febrian,
2016; Utami et al., 2021; Febrian et al., 2022). Penelitian ini memberikan temuan detail yang
konsisten dengan penelitian etnomatematis tentang pancing bagi penduduk Sungai Musi dan
Perangkap Ikan Sero di Fakfak (Malalina et al., 2020; Ubayanti et al., 2016). Hal ini menandakan
bahwa pengukuran khususnya dimensi panjang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
aktivitas manusia sehari-hari

Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa aktivitas dan konsep
matematika ada dalam kehidupan masyarakat. Fenomena sehari-hari dapat berisi aktivitas dan
konsep matematika yang mungkin tidak kita sadari telah kita terapkan atau miliki. Ini
menunjukkan bahwa manusia secara alami intelektual mengenai hal-hal matematika. Mengetahui
hal ini memungkinkan untuk mengubah pola pengajaran matematika dengan memanfaatkan
fenomena sehari-hari. Artinya, penguasaan matematika secara lebih formal dapat didukung oleh
fenomena kehidupan sehari-hari yang menjadi titik awal pembelajarannya (Febrian et al., 2022).
Oleh karena itu, etnomatematika merupakan studi potensial untuk pendidikan matematika. Hal ini
dibuktikan dengan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa mengintegrasikan kajian
etnomatematik dalam proses pembelajaran matematika dapat memudahkan siswa dalam
mengekspresikan ide, minat, pemahaman, dan kreativitas (D'Ambrosio, 1999; Freudhental, 2006;
D'Ambrosio, 2007

KESIMPULAN

Hasil penelitian tentang Bubu menunjukkan bahwa beberapa aktivitas dan konsep matematika
berakar pada pembuatan Bubu. Ada kegiatan matematika dalam merancang, menghitung, dan
mengukur dimensi panjang. Dalam kegiatan tersebut, terdapat beberapa konsep matematika, antara
lain angka tiga dimensi, jaring angka tiga dimensi, kurva, angka ganjil, urutan dengan atributnya,
simetri bilateral, sumbu simetri, angka figuratif, kesesuaian angka bidang, dan pengukuran panjang
dengan satuan yang tidak terstandarisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuat Bubu
sudah memiliki indera geometris melalui konsep simetris yang menjadi dasar bagi dua kegiatan
seperti menghitung dan mengukur, mirip dengan hasil penelitian etnomatematis pada
Komunitas Eskimo Yupiaq di Alaska dan Kepulauan Carolina di Mikronesia. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa pengukuran panjang merupakan aspek dominan dalam
pembuatan perangkap. Hal ini menandakan bahwa pengukuran khususnya dimensi panjang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas manusia sehari-hari
Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa aktivitas dan konsep
matematika ada dalam kehidupan masyarakat. Fenomena sehari-hari dapat berisi aktivitas dan
konsep matematika yang mungkin tidak kita sadari telah kita terapkan atau miliki. Ini
menunjukkan bahwa manusia secara alami intelektual dalam hal matematika. Mengetahui hal ini
memungkinkan untuk mengubah pola pengajaran matematika dengan memanfaatkan fenomena
sehari-hari. Artinya, penguasaan matematika secara lebih formal dapat didukung oleh fenomena
kehidupan sehari-hari yang menjadi titik awal pembelajarannya. Oleh karena itu, etnomatematika
merupakan studi potensial untuk pendidikan matematika. Namun demikian, penelitian lebih lanjut
perlu dilakukan untuk menguji potensi pendidikan pendidikan matematika

Anda mungkin juga menyukai