Anda di halaman 1dari 22

Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp.

X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
Proses Pewarnaan Kain Ulos Sebagai Sumber Belajar IPA Berbasis Etnosains
Disubmit Tanggal Bulan Tahun, Direvisi Tanggal Bulan Tahun, Diterima Tanggal Bulan Tahun
[Times New Roman, Ukuran Font 10, 1 Spasi]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi etnosains yang terkandung dalam proses pewarnaan kain tenun
Ulos yang akan digunakan sebagai sumber belajar IPA SMP. Etnosains adalah kegiatan mengkonversi sains asli
yang terkandung pada suatu kelompok masyarakat dengan sains ilmiah. Metode penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif melalui proses reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan
verifikasi. Lokasi penelitian dilakukan di Galeri Ulos Batak By. Manjunjung Hutabarat, Jl. Mayjend. Y Samosir
No, 76, Desa Partalijulu, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Instrumen yang
digunakan adalah lembar observasi, pedoman wawancara, dan angket. Pengumpulan data melalui observasi
partisipatif, wawancara mendalam, dokumentasi dan angket. Untuk menguji keabsahan data menggunakan
teknik triangulasi (sumber, teknik, dan waktu). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada proses
pewarnaan benang secara alami dalam pembuatan kain Ulos meliputi tahap persiapan bahan (tumbuhan), tahap
pengolahan tumbuhan, tahap pelarutan pewarna alami, tahap pencelupan, tahap pengeringan, tahap fiksasi, tahap
pencucian dan pengeringan akhir. Adapun konsep IPA yang sesuai dengan proses pewarnaan kain ulos yaitu
klasifikasi tumbuhan, tekanan zat padat, perpindahan kalor, perubahan fisika, energi dalam sistem kehidupan,
pemisahan campuran, titik didih, suhu dan perubahannya, perubahan kimia, unsur, senyawa, campuran. Dapat
diambil kesimpulan bahwa proses pembuatan kain tenun Ulos dapat dijadikan tema dalam pembelajaran IPA di
SMP.

Kata Kunci: Etnosains, Kain tenun Ulos, IPA SMP

PENDAHULUAN
Sains adalah pembelajaran yang berhubungan dengan alam, kehidupan manusia, dan objek
dengan tinjauan luas. Sains terdiri dari kumpulan konsep, prinsip, hukum, dan teori yang
terbentuk melalui kajian ilmiah dan keterampilan proses (Puspasari dkk., 2019). Melalui
pembelajaran sains siswa mendapat pengelaman belajar secara langsung yang melibatkan
kehidupan sehari-harinya.
Sains melibatkan pendekatan konstruktivis yang didukung dengan kurikulum pendidikan.
Ini menjadi salah satu tren dalam kurikulum pendidikan di dunia (Gunduz & Hursen, 2015).
Pendekatan ini dimulai dari ide-ide siswa yang mendukung perkembangan pemikiran (Bada &
Olusegun, 2016). Oleh karena itu kreativitas dalam pembelajaran sains perlu ditonjolkan
(McCauley et al., 2018). Dalam proses pembelajaran IPA kreativitas tidak hanya di perlukan
oleh siswa saja tetapi juga diperlukan pendidiknya. Pendidik terus-menerus menghadapi
tantangan bagaimana cara mengajar materi dalam sains sehingga siswa dapat mudah
memahaminya (Mutonyi, 2016). Selain itu, kebutuhan akan pembelajaran IPA yang efektif
telah ditingkatkan dengan upaya reformasi saat ini yang mengharuskan pendidik IPA
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang berbeda (Dogan et al., 2015).
Menurut Kind and Osborne, (2017) pendidikan sains telah mengalami kemunduran
sehingga menyebabkan adanya kesenjangan antara tujuan pendidikan sains dengan
kenyataannya di kelas/di sekolah. Sehingga pada kenyataannya pembelajaran IPA di sekolah
masih cenderung lebih memfokuskan pada bentuk formulasi dari pada menekankan aspek
1
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
alam itu sendiri. Pembelajaran sains lebih identik dengan kegiatan membaca, mengingat dan
menghafal materi pelajaran (Wahyuni, 2015). Sains sendiri seharusnya bukan sebagai hafalan,
mendukung kreativitas (Maksić & Spasenović, 2018; Ulger, 2019). Kegiatan pembelajaran
IPA seharusnya dilaksanakan secara kontekstual sehingga lebih bermakna dan memberikan
pengalaman langsung pada siswa (Parmin & Fibriana, 2019; Putri & Aznam, 2019).
Untuk mengimplementasikan pembelajaran konstekstual dapat dilakukan dengan
memasukkan program pembelajaran berbasis budaya lokal (Risdianto et al., 2020). Menurut
Nguyen and Truong (2016) Kebudayaan adalah serangkaian nilai, kepercayaan, dan norma
prilaku yang umumnya dipertahankan dan dimiliki secara turun-temurun oleh suatu kelompok
masyarakat. Dengan kata lain, kearifan lokal merupakan representasi atau cerminan dari
budaya yang lebih luas, dimana kearifan lokal diartikan sebagai falsasah hidup yang tertanam
dalam hati masyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk kearifan praktis, cara hidup dan adat
istiadat (Eko & Putranto, 2019). Maka dari itu, pembelajaran dengan menggunakan budaya
lokal yang diterapkan pada pembelajara IPA disebut dengan etnosains (Sarwi et al., 2020).
Menurut Sudarmin (2014) etnosains merupakan sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh
suatu suku bangsa atau kelompok masyarakat. Etnosains merupakan kegiatan mengkonversi
pengetahuan asli yang terdiri dari sains asli atau kebudayaan lokal suatu masyarakat dan
berasal dari kepercayaan turun-temurun dengan sains ilmiah (Novitasari dkk., 2017).
Etnosains akan memudahkan siswa dalam menggali fakta dan fenomena budaya yang ada di
masyarakat dan dapat diintegrasikan dengan pengetahuain ilmiah (Wati et al., 2021). Menurut
Ogawa (dalam Snively et al., 2001) bahwa setiap budaya memiliki ilmunya masing-maisng
dan mengacu pada ilmu tersebut sebagai sains asli. Sains asli tersebut terdiri dari seluruh
pengetahuan yang berhubungan dengan fakta pada masyarakat, yang berasal dari keyakinan
yang diwariskan secara turun-temurun (Rahayu & Sudarmin, 2015).
Kegiatan telaah sains asli dan sains ilmiah menghasilkan temuan konsep-konsep sains
yang dapat digunakan sebagai sumber belajar. Konsep ini menjadi lebih dekat dengan siswa.
Proses pembelajaran di sekolah melibatkan beberapa komponen yang saling berinteraksi yaitu
pendidik, siswa, dan sumber belajar (Samsinar, 2019). Menurut Cahyani (2019) sumber
belajar adalah semua sumber yang digunakan oleh siswa untuk mempermudah siswa dalam
mencapai tujuan belajar atau kompetensi tertentu. Saat ini sumber belajar dapat berupa audio,
vidio, gambar, teks, aktivitas makhluk hidup dan lain-lain (Shu et al., 2017). Aktivitas
manusia dapat digunakan sebagai sumber belajar, misalnya seperti kebudayaan masyarakat
suku Batak dalam melakukan pembuatan kain tenun Ulos terutama dalam proses pewarnaan
kain tenun yang dilakukan secara alami.

2
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
Sumatera Utara merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak suku-
suku di dalamnya, salah satu yang terbesar adalah suku Batak (Jiniputri et al., 2022). Batak
merupakan suku di Sumatera Utara yang memiliki banyak warisan budaya salah satunya yaitu
kain tenun Ulos (Zulkifli & Ridwan, 2019). Ulos merupakan identitas budaya masyarakat
suku Batak yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Batak sejak lahir (Nugroho et al.,
2021).
Menurut orang-orang suku Batak kain tenun Ulos adalah kain atau selendang yang
memiliki makna-makna dan filosofi khusus, serta merupakan salah satu benda yang dinilai
sakral dan sangat penting terutama dalam upacara-upacara adat suku Batak (Abdillah &
Irwansyah, 2019). Pembuatan kain tenun Ulos dibuat secara tradisional yang diwariskan
secara turun temurun, proses pembuatan kain Ulos dilakukan dengan menggunakan teknik
menenun, dimana benang diikat dan dicelupkan ke dalam pewarna sebelum di tenun (Jiniputri
et al., 2022). Proses pewarnaan benang dalam pembuatan kain tenun Ulos dilakukan secara
alami. Pewarna alami adalah pewarna yang diperoleh dari tumbuhan dan hewan dengan atau
tanpa pengolahan kimia serta tidak memiliki efek merugikan bagi kesehatan manusia (Naveed
et al., 2020).
Berdasarkan penyebaran angket respon siswa kelas VII, VIII dan IX di salah satu SMP
yang terletak di Sumatera Utara bahwa banyak siswa yang mengenal dan mengetahui kain
tenun Ulos. Dari informasi yang diperoleh bahwa kain tenun Ulos belum pernah
diimplementasikan ke dalam pembelajaran IPA. Selain itu, dari informasi yang diperoleh
melalui wawancara dengan guru IPA di SMP tersebut bahwa belum pernah menerapkan
pembelajaran IPA berbasis kearifan lokal berpendekatakan etnosains, selama ini pembelajaran
dilakukan hanya dengan memanfaatkan buku paket IPA saja dan menjawab soal yang
bersumber dari buku tersebut.
Menurut Hadi dkk, (2019) terdapat banyak keanekaragaman budaya Indonesia yang
belum dieksplorasi sebagai sumber belajar IPA untuk SMP, hal tersebut diakibatkan karena
kurangnya wawasan dan pengetahuan yang dimiliki oleh guru. Sehingga banyak siswa yang
belum mengetahui adanya konsep-konsep IPA yang terkandung dalam proses pembuatan
produk-produk yang terdapat di masyarakat, bahkan sering dijumpai siswa dalam kehidupan
sehari-hari seperti proses pewarnaan benang dalam pembuatan kain tenun Ulos. Menurut
(Fasasi, 2017) terdapat tantangan utama dalam pelaksanaan pembelajaran sains berpendekatan
etnosains yaitu bagaimana guru dapat memungkinkan semua siswa untuk mempelajari sains
secara bersamaan dengan menyelaraskan ide dan pemikiran siswa. selain itu, guru juga perlu
memulai pembelajaran dengan menentukan pengetahuan awal yang dimiliki siswa dari
budaya mereka masing-masing. Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Sudarmin (2014)
3
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
bahwa guru yang bijaksana harus dapat melibatkan kearifan budaya lokal terutama
kebudayaan daerah setempat dalam proses pembelajaran IPA atau pembelajaran lainnya.
Pada artikel-artikel di jurnal belum ada yang membahas mengenai proses pewarnaan kain
tenun Ulos dalam pembelajaran IPA, hal tersebut dilandasi bahwa berdasarkan pencarian di
website Google Scholar dengan kata kunci indetifikasi+etnosains+kain tenun Ulo+IPA belum
ditemukan. Padahal jika dilihat dari sebagian besar masyarakat Sumatera Utara sangat
mengenal dan mengetahui kain tenun Ulos. Mengingat adanya konsep-konsep IPA yang
terkandung pada proses pewarnaan benang secara alami dalam pembuatan kain tenun Ulos,
serta belum banyak penelitian pendidikan IPA yang mengambil topik ini. Maka, peneliti
bermaksud melakukan penelitian dengan judul ”Identifikasi Etnosains pada Proses Pewarnaan
Kain Tenun Ulos Sebagai Sumber Belajar IPA SMP”. Tujuan dari penelitian adalah
mengidentifikasi konsep-konsep IPA yang ditemukan pada proses pewarnaan benang dengan
bahan-bahan alam dalam pembuatan kain tenun Ulos.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.
Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai penyelidikan tentang fenomena, biasanya dikemas
secara mendalam dan holistik, melalui proses pengumpulan data naratif sebanyak-banyaknya
dan menggunakan desain penelitian yang fleksibel (Moser & Korstjens, 2017). Tujuan dari
penelitian deskriptif kualitatif adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang pengalaman,
peristiwa dan interaksi suatu fenomena dari sudut pandang orang dalam (Bradshaw et al.,
2017).
Penelitian ini dilakukan di salah satu tempat produksi kain tenun Ulos tradisional galeri
Ulos Batak By. Manjunjung Hutabarat, Jl. Mayjend. Y Samosir No. 76, Desa Partalijulu,
Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Subjek yang
dilibatkan dalam penelitian ini adalah ahli materi yaitu dua dosen pembimbing, partonun
(penenun kain tenun Ulos) dan siswa. Objek dalam penelitian ini adalah proses pewarnaan
benang secara alami dalam pembuatan kain tenun Ulos. Fokus penelitian ini adalah untuk
menganalisis muatan etnosains yang terdapat pada proses pewarnaan benang dalam
pembuatan kain tenun Ulos.
Data penelitian dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview),
observasi partisipatif, dokumentasi dan angket. Peneliti melalukan observasi langsung dalam
dalam proses pewarnaan benang dari awal hingga selesai. Agar mendapatkan informasi yang
lebih lengkap, peneliti melakukan wawancara dengan pengrajin kain tenun Ulos dan juga
sekaligus pemilik produksi kain tenun Ulos tersebut. Teknik angket dilakukan untuk

4
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
mengetahui respon siswa apakah dalam pembelajaran siswa pernah melaksanakan
pembelajaran berbasis etnosains pada kain tenun Ulos atau belum.
Proses analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan proses
analisis data secara deskriptif kualitatif dengan mengikuti model dari Miles dan Hubermen
yang dikutip dari Shidiq dan Choiri, (2019) melalui proses reduksi data, penyajian data,
penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Reduksi data adalah proses merangkum data yang
sebelumnya sudah di peroleh melalui wawancara dan observasi. Setelah dirangkum, data di
sajikan dalam bentuk tabel dan deskripsi. Selanjutnya dapat dilakukan penarikan kesimpulan
dan verifikasi, kesimpulan berupa penemuan baru yang sebelumnya belum pernah ditemukan.
Dalam menguji keabsahan data pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi.
Teknik triangulasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas keabsahan penelitian dengan
menggunakan beberapa pendekatan, salah satunya triangulasi sumber (Korstjens & Moser,
2017). Triangulasi sumber dilakukan untuk menguji keabsahan data yang diperoleh melalui
wawancara dan observasi dengan sumber lain seperti artikel jurnal atau website. Hasil akhir
dari penelitian ini yaitu diperolehnya konsep-konsep sains yang ditemukan dari proses
pewarnaan kain tenun Ulos yang dapat digunakan sebagai sumber belajar IPA.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil observasi partisipatif, wawancara mendalam dan dokumentasi yang
telah dilakukan maka ditemukan sains asli yang pada masyarakat dalam proses pewarnaan
benang secara alami dalam pembuatan kain tenun Ulos. Sains asli yang diperoleh tersebut
kemudian di transformasikan dengan metode ilmiah sehingga menghasilkan konsep-konsep
IPA SMP yang relevan dalam tahapan pewarnaan benang secara alami pada pembuatan kain
tenun Ulos.
Tabel 1. Hubungan sains asli masyarakat, penjelasan ilmiah, dan muatan konsep IPA dalam
tahapan pewarnaan benang secara alami pada pembuatan kain tenun Ulos.
No Tahapan Sains Asli Masyarakat Penjelasan Ilmiah Konsep IPA
Pewarnaan SMP yang
Relevan
1. Tahap Tumbuhan yang Nama ilmiah tumbuhan Klasifikasi
mempersiapkan digunakan yaitu kulit yang digunakan sebagai tumbuhan
bahan kayu mahoni, buah pewarna alami:
(tumbuhan) jalawe, hunik (kunyit),  Nama ilmiah
bulung hatapang (daun tumbuhan mahoni
ketapang), boang adalah S, macrophylla
narara (kulit bawang tergolong dalam famili
merah), kayu jati, pohon Meliaceae.
tingi, dan salaon  Tumbuhan kunyit
(Indigofera). memiliki nama ilmiah
Curcuma longa,
tergolong dalam famili
Zingiberaceae.
5
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
No Tahapan Sains Asli Masyarakat Penjelasan Ilmiah Konsep IPA
Pewarnaan SMP yang
Relevan
 Tumbuhan ketapang
memiliki nama ilmiah
Terminalia catappa
tergolong dalam famili
Combretaceae.
 Bawang merah
memiliki nama ilmiah
Allium cepa L.
termasuk famili
Liliaceae.
 Tumbuhan jati
memiliki nama ilmiah
Tectona grandis L.F
tergolong dalam famili
Lamiacae.
 Nama ilmiah
tumbuhan salaon
adalah Indigofera
tinctoria tergolong
dalam famili
Fabaceae.
2. Tahap pencucian Bonang (benang) dicuci Membersihkan benang Molekul, asam
benang dan menggunakan air sumur dengan menggunakan dan basa
tumbuhan dan sabun untuk sabun akan
menghilangkan debu menghilangkan kotoran
dan kotoran yang pada benang. Karena
menempel pada benang. molekul dalam sabun
Tumbuhan yang akan yang memiliki sifat
diolah juga dibersihkan hidrofobik (sifat fisik
menggunakan air sumur dari suatu molekul)
untuk menghilangkan dimana molekul pada
kotoran. kotoran dikelilingi dan
diikat. Proses tersebut
dinamakan emulsifikasi
dimana terbentuknya
emulsi diantara molekul
sabun dengan kotoran,
sehingga membuat
molekul pada kotoran
akan keluar saat
pembilasan dengan air
dan membuat kain
berubah menjadi bersih
(Fauzi dkk., 2019).
Bahan yang
mengandung hidrofobik
dapat digunakan untuk
mengangkat minyak
melalui air.
3. Tahap Tumbuhan seperti daun Proses memperkecil Tekanan zat padat
memperkecil ketapang, kulit mahoni ukuran bahan dilakukan ekstraksi
ukuran tumbuhan dirajang terlebih dahulu dengan menggunakan
menggunakan piso pisau, karena pisau
6
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
No Tahapan Sains Asli Masyarakat Penjelasan Ilmiah Konsep IPA
Pewarnaan SMP yang
Relevan
(pisau) guna memiliki bagian yang
memudahkan warna tajam pada sisinya
pada tumbuhan keluar digunakan untuk
pada saat di rebus. memberikan tekanan
sehingga memudahkan
pisau untuk memotong
bahan tumbuhan.
Ukuran bahan yang
kecil akan memudahkan
pada saat proses
ekstraksi. karena
semakin kecil ukuran
bahan maka semakin
luas bidang kontak
antara bahan dengan
pelarut menarik
senyawa aktif (ekstrak
warna) pada bahan (Aji,
2018).
4. Tahap Tumbuhan seperti kulit Proses pengeringan Perpindahan kalor
pengeringan boang narara (bawang tumbuhan Perubahan fisika
tumbuhan merah) dijemur di memanfaatkan energi Energi matahari
bawah terik matahari sinar matahari, dengan
untuk mengurangi kadar tujuan untuk
air pada kulit bawang. mengurangi kadar air
pada tumbuhan. Proses
pengeringan beda
dengan memanfaatkan
sinar matahari termasuk
peristiwa perpindahan
kalor secara radiasi.
5. Tahap Kunyit ditumbuk sampai Proses menghaluskan Tekanan zat padat
menghaluskan halus terlebih dahulu kunyit dilakukan dengan Ekstraksi
kunyit menggunakan lumpang menggunakan alat
agar memudahkan penumbuk dari kayu
kunyit mengeluarkan (lumpang), bagian yang
warna. tumpul pada alat
penumbuk tersebut
dapat menghaluskan
kunyit. Ukuran kunyit
yang semakin halus
akan mempermudah
proses ekstraksi. Karena
semakin kecil atau halus
ukuran kunyit maka
semakin luas bidang
kontak antara kunyit
dengan air (pelarut)
menarik ekstrak warna
yang terkandung dalam
kunyit (Aji, 2018).
6. Tahap perebusan Proses perebusan Proses perebusan Suhu dan
tumbuhan dilakukan untuk tumbuhan bertujuan perubahannya

7
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
No Tahapan Sains Asli Masyarakat Penjelasan Ilmiah Konsep IPA
Pewarnaan SMP yang
Relevan
mengeluarkan warna untuk melarutkan Perpindahan kalor
yang terkandung pada ekstrak warna yang Ekstraksi
bahan (tumbuhan). terkandung dalam Titik didih
Proses perebusan tumbuhan dengan
dilakukan dengan menggunakan air
menggunakan panci dan sebagai pelarut. Pada
kompor gas. saat proses perebusan,
kalor berpindah dari api
menuju panci sehingga
membuat suhu pada air
menjadi tinggi hingga
mencapai titik didihnya.
Kalor dari api berpindah
ke ekstrak cairan
pewarna dan terjadi
penguapan.
7. Tahap Warna tumbuhan hail Pemisahan campuran Filtrasi
penyaringan perebusan disaring antara ekstrak warna
menggunakan saringan (cairan) dengan
(alat penyaring) untuk ampasnya (padatan)
memisahkan cairan disebut dengan filtrasi
warna dengan
ampasnya.
8. Tahap Pencelupan dilakukan Tumbuhan-tumbuhan Zat aditif
pencelupan untuk memberikan yang digunakan sebagai (pewarna alami)
benang warna pada benang, pewarna alami Unsur dan
dengan merendam mengandung zat-zat senyawa
benang pada cairan yang dapat Konsentrasi
warna tumbuhan. Warna menghasilkan warna larutan dan
yang dihasilkan pada Daun ketapang molekul.
tumbuhan yaitu: daun mengandung senyawa Struktur dan
ketapang (coklat), kayu tanin yang dapat fungsi tumbuhan.
jati (coklat), salaon dimanfaatkan sebagai Suhu dan
(biru), kunyit (kuning), pewarna alami perubahannya.
bawang merah (coklat), (Aprilia & Perubahan warna.
biji mahoni (coklat Hendrawan, 2020).
kemerahan), kayu tingi Tumbuhan mahoni
(coklat tua), buah jalawe mengandung senyawa
(kuning). Pencelupan tanin dan flavonoid
dilakukan di dalam yang menghasilkan
ember, dari cairan warna warna coklat (Laili &
masih dalam keadaan Suganda, 2015).
panas sampai cairan Tumbuhan Indigofera
warna menjadi dingin mengandung senyawa
indigo dan glukosa
indikan (indoxyl--D-
glucoside) (Ariyanti &
Asbur, 2018).
Kunyit menghasilkan
warna kuning karena
mengandung pigmen
Kurkuminoid
(Kusbiantoro &
8
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
No Tahapan Sains Asli Masyarakat Penjelasan Ilmiah Konsep IPA
Pewarnaan SMP yang
Relevan
Purwaningrum, 2018).
Proses pencelupan
dilakukan pada saat
cairan ekstrak warna
bersuhu tinggi sampai
cairan bersuhu rendah,
terjadi perubahan suhu
pada cairan ekstrak
warna ketika
pencelupan.
Terjadi perubahan
warna pada benang
saat proses
pencelupan. Serat
benang bersifat
amfoten yaitu dapat
bereaksi dengan
larutan asam basa.
Perubahan warna pada
benang tersebut
karena adanya reaksi
antara senyawa yang
terkandung pada
cairan ekstrak warna
(tanin, kurkumin,
indigo, brazilin,
flavonoid) dengan
serat benang.
9. Tahap Benang dikeringkan Proses pengeringan Perubahan fisika
pengeringan dengan menjemur benang dilakukan guna Energi angin
benang di jomuran untuk mengurangi kadar
(jemuran). Benang tidak air yang terkandung
boleh dijemur di bawah dalam benang setelah
terik sinar matahari, proses pencelupan.
tetapi hanya dengan di Proses pengeringan
angin-anginkan saja. tersebut termasuk dalam
Karena jika benang peristiwa perubahan
dijemur di bawah terik fisika.
sinar matahari akan Pada proses pengeringan
merusak warna pada benang dilakukan
benang. dengan memanfaatkan
energi angin.
10. Tahap fiksasi Berdasarkan Penguncian warna atau Konsentrasi
pengetahuan asli fiksasi merupakan larutan dan
masyarakat penguncian proses pencelupan yang molekul
warna bertujuan itu bertujuan untuk Ion, unsur,
mengikat dan mengikat zat warna senyawa dan
menguatkan warna pada yang masuk ke dalam campuran.
benang agar tidak serat benang agar warna
luntur, proses yang dihasilkan tidak
penguncian warna mudah pudar atau
dilakukan dengan luntur. Fiksasi dilakukan
menggunakan tawas, dengan menambahkan
9
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
No Tahapan Sains Asli Masyarakat Penjelasan Ilmiah Konsep IPA
Pewarnaan SMP yang
Relevan
tunjung dan kapur. bahan yang
mengandung ion logam,
diantaranya:
 Tunjung/fero sulfat
(FeSO4) senyawa besi
(II) sulfat ini berbentuk
serbuk kristal dan
berwarna biru-hijau.
Senyawa ini larut dalam
air dan membentuk
Fe(H2O)62+ penambahan
tunjung (FeSO4) pada
proses fiksasi benang
dapat mengubah warna
hasil celupan (Amalia &
Akhtamimi, 2016).
 Tawas Al2(SO4)3 adalah
senyawa aluminum
sulfat berbentuk kristal
dan tidak berwarna.
Senyawa ini larut dalam
air. Penambahan
senyawa tawas pada
proses fiksasi dapat
menguatkan warna lebih
kuat dari pada fiksator
lain dan tidak
mengubah warna yang
dihasilkan (Amalia &
Akhtamimi, 2016).
Tawas mempunyai sifat
alkali basa yang
menghasilkan fiksasi
pada benang yang lebih
merata (Angendari,
2014).
 Kapur tohor (Ca(OH)2)
merupakan senyawa
kimia kalsium
hidroksida berbentuk
bubuk atau kristal dan
berwarna putih. Sama
dengan tawas, kapur
sirih juga tidak
mengubah warna
benang hasil celupan
tetapi hanya
menguatkan warna pada
benang.
11. Tahap pencucian Pencucian dilakukan Membersihkan benang Molekul asam
benang untuk menghilangkan dengan menggunakan dan basa
warna yang tidak sabun akan dapat
menyatu pada benang. menghilangkan warna

10
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
No Tahapan Sains Asli Masyarakat Penjelasan Ilmiah Konsep IPA
Pewarnaan SMP yang
Relevan
Pencucian dilakukan yang tidak menyatu
dengan menggunakan pada benang. Karena
air dan sabun. molekul dalam sabun
yang memiliki sifat
hidrofobik (sifat fisik
dari suatu molekul)
dimana molekul pada
kotoran dikelilingi dan
diikat. Proses tersebut
dinamakan emulsifikasi
dinama terbentuknya
emulsi diantara molekul
sabun dengan kotoran,
sehingga membuat
molekul pada kotoran
akan keluar saat
pembilasan dengan air
dan membuat kain
menjadi bersih (Fauzi
dkk., 2019). Bahan yang
mengandung molekul
hidurofobik dapat
digunakan untuk
mengangkat minyak
melalui air.
12. Tahap Benang dikeringkan Proses pengeringan  Perubahan fisika
pengeringan dengan menjemur benang dengan  Energi angin
benang di jemuran. memanfaatkan energi
Benang tidak boleh angin. Proses
dijemur di bawah terik pengeringan benang
sinar matahari karena dilakukan guna
dapat merusak warna mengurangi kadar air
pada benang. yang terkandung dalam
Penjemuran benang benang setelah melewati
hanya dilakukan dengan proses pencelupan.
mengangin-anginkan Proses pengeringan
benang saja. tersebut termasuk dalam
peristiwa perubahan
fisika.

Agar diperoleh hasil penelitian yang valid, maka peneliti melakukan validasi melalui
proses triangulasi data dengan melibatkan dosen pembimbing sebagai ahli. Data yang
diperoleh melalui observasi partisipatif dan wawancara mendalam dengan pengrajin kain
tenun Ulos kemudian dibandingkan dengan sumber lainnya seperti artikel jurnal. Berdasarkan
data yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data bahwa dalam proses pewarnaan benang
secara alami dalam pembuatan kain tenun Ulos terkandung konsep-konsep IPA SMP yang
dapat digunakan sebagai sumber belajar.

11
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
Dalam proses pengumpulan bahan, tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna alami
dapat diimplementasikan dalam pembelajaran IPA SMP pada materi klasifikasi tumbuhan.
Tumbuhan-tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna alami dalam pewarnaan benang dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Nama bahan tumbuhan yang digunakan untuk pewarna alami serta warna yang
dihasilkan.

Gambar Tumbuhan Keterangan Warna yang


Dihasilkan
Ketapang (Terminalia cattapa) Coklat
atau dikenal sebagai pohon
almond India dari famili
Combretaceae adalah tanaman
yang banyak tersebar luas di
Daun ketapang (Terminalia negara-negara baik yang beriklim
cattapa) tropis maupun subtropis
Sumber: Dokumentasi pribadi (Kinoshita et al., 2007)

Bawang merah atau Allium cepa Coklat


L. merupakan tubuhan yang
tergolong dalam famili Liliaceae.
Bawang merah termasuk
tumbuhan berumbi, berbiji tunggal
dan memiliki akar serabut.
Kulit bawang merah (Allium cepa
L.)
Sumber: Dokumentasi pribadi
Kunyit atau Curcuma longa Kuning
adalah tumbuhan yang tergolong
dalam famili Zingiberaceae.
tumbuhan ini dapat hidup baik di
dataran rendah maupun dataran
tinggi.

Kunyit (Curcuma longa)


Sumber: Dokumentasi pribadi

Jalawe atau Terminalia Bellerica Kuning


adalah tumbuhan yang tergolong
dalam famili Combretaceae.
Jalawe merupakan tumbuhan
berjenis pohon dengan tinggi
mencapai 50 cm, habitat dari
Buah jalawe (Terminalia Bellerica)
tumbuhan ini yaitu di daerah
Sumber: Dokumentasi probadi
dataran tinggi (Indrayani dkk.,
2020)

Pohon jati atau Tectona grandis Coklat


L.F merupakan tumbuhan yang
tergolong dalam famili lamiaceae.
Pohon jati adalah tumbuhan yang
Kulit dapat hidup baik di dataran rendah
poho jati (Tectona grandis L.F) maupun dataran tinggi.
Sumber: Dokumentasi pribadi
12
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X

Gambar Tumbuhan Keterangan Warna yang


Dihasilkan

Pohon mahoni atau S. Coklat


macrophylla merupakan tumbuhan
yang termasuk dalam famili
Meliaceae. Pohon mahoni adalah
tumbuhan yang habitatnya
Kulit kayu mahoni (S.
didaerah beriklim tropis (Azzahra,
macrophylla)
2018).
Sumber: Dokumentasi probadi
Salaon atau Indigofera tinctoria Biru
adalah tumbuhan yang tergolong
dalam famili Fabaceae. Indigofera
tinctoria termasuk kelompok
tumbuhan polong. Tumbuhan ini
Tumbuhan salaon (Indigofera dikenal sebagai penghasil warna
Tinctoria) indigo alami, dengan habitat di
Sumber: daerah yang beriklim tropis
https://www.yayasanlosari.org/si- (Hariri, 2016).
biru-cantuk-yang-populer

Sains asli masyarakat pada proses pencucian bonang (benang) sebelum digunakan dalam
pewarnaan, benang dicuci menggunakan air dan sabun untuk menghilangkan sebu dan
kotoran yang menempel pada benang. Menurut sains ilmiah membersihkan benang dengan
menggunakan sabun aka menghilangkan kotoran pada benang karena molekul dalam sabun
yang memiliki sifat hidrofobik (sifat fisik dari suatu molekul) dimana molekul pada kotoran
dikelilingi dan diikat. Proses tersebut dinamakan emulsifikasi dimana terbentuknya emulsi
diantara molekul sabun dengan kotoran, sehingga membuat molekul pada kotoran akan keluar
saat pembilasan dengan air dan membuat kain menjadi bersih (Fauzi dkk., 2019) bahan yang
mengandung molekul hidrofobik dapat digunakan untuk mengangkat minyak melalui air.
Dalam proses memperkecil ukuran bahan dengan merajang tumbuhan menggunakan
pisau dapat dieksplorasi dalam pembelajaran IPA SMP yaitu tentang materi tekanan zat padat
dan ekstraksi. Berdasarkan sains ilmiah proses memperkecil ukuran bahan dilakukan dengan
menggunakan pisau, karena pisau memiliki bagian yang tajam pada sisinya digunakan untuk
memberikan tekanan sehingga memudahkan pisau untuk memotong bahan tumbuhan. Ukuran
bahan yang kecil akan memudahkan pada saat proses ekstraksi. Karena semakin kecil ukuran
bahan maka semakin luas bidang kontak antara bahan dengan pelarut menarik senyawa aktif
(ekstrak warna) pada bahan (Aji, 2018).
Pada proses pengeringan bahan tumbuhan untuk mengurangi kadar air pada tumbuhan
dapat dieksplorasi dalam pembelajaran IPA SMP yaitu tentang materi perpindahan kalor,
perubahan fisika dan energi matahari. Dalam tahap pengeringan bahan seperti bawang merah
dengan memanfaatkan terik sinar matahari untuk mengurangi kadar air. Proses pengeringan

13
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
benda dengan memanfaatkan sinar matahari termasuk peristiwa perpindahan kalor secara
radiasi. Proses pengeringan bahan (tumbuhan) yang bertujuan untuk mengurangi kadar air
yang terkandung dalam bahan (tumbuhan) termasuk dalam perubahan fisika.
Pengetahuan asli masyarakat tentang menghaluskan kunyit menggunakan lumpang. Sains
ilmiah yang terkandung dalam tahap menghaluskan kunyit adalah proses menghaluskan
kunyit dilakukan dengan menggunakan alat penumbuk dari kayu (lumpang), bagian yang
tumpul pada alat penumbuk tersebut dapat menghaluskan kunyit. Ukuran kunyit yang
semakin halus akan mempermudah proses ekstraksi. Karena semakin kecil atau semakin halus
ukuran kunyit maka semakin luas bidang kontak antara kunyit dengan air (pelarut) menarik
ekstrak rana yang terkandung dalam kunyit (Aji, 2018).
Pada tahap merebus tumbuhan untuk melarutkan ekstrak warna yang terkandung pada
tumbuhan dapat dieksplorasi dalam pembelajaran IPA SMP yaitu tentang materi suhu dan
perubahannya, titik didih perpindahan kalor, dan esktraksi. Sains ilmiah yang terkandung
dalam proses perebusan terlarutnya ekstrak warna yang terkandung dalam tumbuhan dengan
menggunakan air sebagai pelarut. Pada saat proses perebusan, kalor berpindah dari api
menuju panci sehingga membuat suhu pada air menjadi tinggi hingga mencapai titik didihnya.
Kalor dari api berpindah ke ekstrak cairan pewarna dan terjadi penguapan. Pengetahuan asli
masyarakat tentang proses penyaringan ekstrak warna dengan ampasnya menggunakan
saringan. Pemisahan ekstrak warna (cairan) dengan ampasnya (padatan) menggunakan
metode filtrasi.
Pengetahuan asli pada masyarakat tentang proses pencelupan benang ke dalam ekstrak
warna, dilakukan dari cairan warna dalam keadaan panas sampai menjadi dingin. Sains ilmiah
yang terkandung dalam proses ini yaitu Penggunaan zat aditif sebagai pewarna alami dalam
pembuatan kain tenun Ulos dengan memanfaatkan banyak jenis tumbuhan. Tumbuhan-
tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pewarna dapat menghasilkan warna karena
terkandung senyawa-senyawa kimia seperti tanin, flavonoid, indigo, dan curcumin. Tanin
merupakan senyawa organik kompleks dengan kristal bertekstur amorf, dan larut dalam air
membentuk cairan berwarna (Pasaribu & Winarni, 2020). Flavonoid adalah senyawa turunan
fenilalanin dan ester aetat koenzim A dan banyak terkandung oleh kelompok tumbuhan yang
mempunyai bunga berwana kuning (isofavon), kuning tua (flavonol), merah dan biru
(antosianin) jika diekstraksi (Sanda & Liliana, 2021). Indigo atau indogotin adalah pigmen
berwarna biru yang dapat dihasilkan melalui proses fermentasi tanaman yang mengandung
molekul prekursor yang sesuai, seperti indican, isatin A dan isatin B (Rajan & Cindrella,
2019). Curcumin adalah senyawa bioaktif yang terkenal dan merupakan komponen utama
pewarna pada kunyit (Ma et al., 2020). Perubahan suhu yang terjadi pada cairan ekstrak warna
14
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
tumbuhan karena pencelupan dilakukan pada saat cairan bersuhu tinggi sampai bersuhu
rendah. Selain itu, terdapat perubahan kimia pada proses ini karena berubahnya warna pada
benang ketika sebelum dan sesudah pencelupan.
Pengetahuan budaya asli masyarakat tentang pengeringan benang dengan menjemurnya
di jomuran, dengan mengangin-anginkan saja atau tidak dibawah terik sinar matahari karena
jika dijemur di bawah sinar matahari akan merusak warna pada benang. Berdasarkan sains
ilmiah pemanfaatan energi angin dalam proses pengeringan dapat dieksplorasi dalam
pembelajaran IPA SMP pada materi energi dalam sistem kehidupan. Selain itu, terjadinya
perubahan fisika karena proses pengeringan dilakukan guna mengurangi kadar air yang
terkandung dalam benang.
Tahap penguncian warna atau fiksasi untuk mengikat warna agar warna tidak luntur.
Berdasarkan sains ilmiah proses fiksasi menggunakan larutan tambahan berupa senyawa-
wanywa logam yang berfungsi menguatkan warna pada benang. Senyawa yang dimaksud
yaitu tunjung (FeSo4), tawas Al2(SO4)3 dan kapur Ca(OH)2. Tunjung atau dalam bahasa ilmiah
Fero sulfat (FeSO4) adalah senyawa besi (II) sulfat berbentuk serbuk kristal dan berwarna biru
hijau, penambahan tunjung dalam proses fiksasi akan mempengaruhi warna hasil celupan
(Amalia & Akhtamimi, 2016). Tawas Al2(SO4)3 adalah senyawa aluminium sulfat berbentuk
kristal dan tidak berwarna, tawas memiliki sifat alkali basa sehingga proses fiksasi dengan
tawas dapat lebih menguatkan warna pada benang dan dibanding dengan fiksator lainnya.
Fiksator tawas tidak akan mempengaruhi warna hasil celupan. Sedangkan kapur tohor (Ca
(OH)2) merupakan senyawa kimia kalsium hidroksida berbentuk bubuk atau kristal dan
berwarna putih. Ketiga fiksator ini adalah senyawa sering digunakan sebagai senyawa fiksasi
karena aman digunakan.pernyataan di atas sesuai dengan pendapat Safapour et al., (2019)
bahwa sebagian besar pewarna alami umumnya menunjukkan afinitas yang sangat rendah
terhadap serat tekstil dan memiliki sifat ketahanan luntur yang buruk, maka dari itu perlu
penggunaan bahan logam seperti tawas, tunjung dan kapor tohor sebagai bahan fiksator.
Sains asli budaya masyarakat tentang proses pencucian dan pengeringan benang setelah
proses penguncian, pencucian dilakukan menggunakan air dan sabun untuk menghilangkan
warna yang tidak menyatu pada benang. Sedangkan pengeringan dilakukan menjemur benang
di jomuran dan hanya diangin-anginkan saja atau tidak dijemur di bawah terik sinar matahari.
Selain itu, pengeringan dilakukan agar benang tidak basah pada saat ditenun. Sains ilmiah
yang terkandung pada proses ini Selain itu, pemanfaatan energi angin dalam pengeringan
guna mengurangi kadar air pada benang sehingga adanya perubahan wujud zat yang terjadi
pada benang dari basah menjadi kering. Hubungan sains asli dan sains ilmiah yang

15
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
terkandung dalam proses pencucian dan pengeringan benang dapat dieksplorasi dalam
pembelajaran IPA SMP pada materi perubahan fisika dan energi angin.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan secara umum proses pewarnaan kain tenun
Ulos terdiri dari delapan tahap. yaitu tahap persiapan bahan (benang dan tumbuhan), tahap
pengolahan tumbuhan, tahap pelarutan pewarna alami atau ekstraksi warna pada tumbuhan,
tahap pencelupan, tahap pengeringan, tahap fiksasi, tahap pencucian dan tahap pengeringan
akhir. Dari proses pewarnaan benang tersebut mengandung konsep-konsep IPA SMP, yaitu:
Klasifikasi tumbuhan, tekanan zat padat, perpindahan kalor, perubahan fisika, energi dalam
sistem kehidupan (energi angin dan energi matahari), pemisahan campuran (filtrasi, ekstraksi
dan dekantasi), titik didih, suhu dan perubahannya, perubahan kimia (pembentukan endapan
dan perubahan warna), unsur, senyawa dan campuran. Konsep-konsep IPA yang terkandung
dalam proses pewarnaan benang secara alami dapat digunakan sebagai sumber belajar IPA
SMP berbasis etnosains. Sehingga proses pembuatan kain tenun Ulos dapat dijadikan tema
dalam pembelajaran IPA di SMP. Masih terdapat banyak keanekaragaman budaya Indonesia
lainnya yang dapat dieksplorasi sebagai sumber belajar IPA.

DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, E. A., & Irwansyah. (2019). Perancangan infografis pengenalan kain Batak Toba.
Jurnal FSD, 1(1), 169–182.
https://e-journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/FSD/article/view/714/1012

Aji, P. D. T. (2018). Pengaruh ukuran partikel simplisia terhadap kadar genistein pada
ekstraksi tempe. Skripsi, 10(1), 10. https://repository.usd.ac.id/23907/13/148114111_full
edit.pdf

Amalia, R., & Akhtamimi, I. (2016). Studi pengaruh jenis dan konsentrasi zat fiksasi terhadap
kualitas warna kain Batik dengan pewarna alam limbah kulit buah rambutan (Nephelium
lapaceum). Jurnal Dinamika Kerajinan Dan Batik: Majalah Ilmiah, 33(2), 85.
https://doi.org/10.22322/dkb.v33i2.1474

Angendari, M. D. (2014). Pengaruh jumlah tawas terhadap pewarnaan kain katun


menggunakan ekstrak kulit bawang merah. Seminar Nasional 2014, 85.
https://journal.uny.ac.id/index.php/ptbb/article/view/33165

Aprilia, D., & Hendrawan, A. (2020). Pemanfaatan daun ketapang ( ficus lyrata ) sebagai
pewarna alam dengan teknik ikat celup pada produk fashion. Jurnal E-Proceeding of Art
16
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
& Design, 7(2), 2803.
https://openlibrarypublications.telkomuniversity.ac.id/index.php/artdesign/article/view/
12504

Ariyanti, M., & Asbur, Y. (2018). Tanaman tarum (indigofera tinctoria linn) sebagai
penghasil zat pewarna. Jurnal Hutan Pulau-Pulau Kecil, 2(1), 112–114.
https://doi.org/10.30598/jhppk.2018.2.1.109

Azzahra, R. M. I. (2018). Analisis morfofisiologis mahoni ( Swietenia macrophylla King.).


Skripsi, 3.

Bada, & Olusegun, S. (2016). Constructivism: A paradigm for teaching and learning. Arts
and Social Sciences Journal, 7(4), 66–70. https://doi.org/10.4172/2151-6200.1000200

Bradshaw, C., Atkinson, S., & Doody, O. (2017). Employing a qualitative description
approach in health care research. Global Qualitative Nursing Research, 4.
https://doi.org/10.1177/2333393617742282

Cahyani, A. (2019). Pengembangan media dan sumber belajar teori dan prosedur (A. Averoez
(ed.); 1st ed.). Penerbit Laksita Indonesia dan PIU IUN Antasari. https://idr.uin-
antasari.ac.id/16140/1/Ani Cahyadi Pengembangan Media %28book%29.pdf

Dogan, S., Pringle, R., & Mesa, J. (2016). The impacts of professional learning communities
on science teachers’ knowledge, practice and student learning: a review. Professional
Development in Education, 42(4), 569–588.
https://doi.org/10.1080/19415257.2015.1065899

Eko, B. S., & Putranto, H. (2019). The Role of Intercultural Competence and Local Wisdom
in Building Intercultural and Inter-religious Tolerance. Journal of Intercultural
Communication Research, 48(4), 341–369.
https://doi.org/10.1080/17475759.2019.1639535

Fasasi, R. A. (2017). Effects of ethnoscience instruction, school location, and parental


educational status on learners’ attitude towards science. International Journal of Science
Education, 39(5), 548–564. https://doi.org/10.1080/09500693.2017.1296599

Fauzi, I. G., Ananda, R., Gultom, M. D. P., & Sari, I. N. (2019). Industri sabun. Jurnal
Industri Sabun, 4. https://doi.org/10.31227/osf.io/etbhx

17
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
Gunduz, N., & Hursen, C. (2015). Constructivism in teaching and learning; content analysis
evaluation. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 191(392), 526–533.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.04.640

Hadi, W. P., Sari, F. P., Sugiarto, A., Mawaddah, W., & Arifin, S. (2019). Terasi Madura:
kajian etnosains dalam pembelajaran IPA untuk menumbuhkan nilai kearifan lokal dan
karakter siswa. Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, 10(1), 45–55.
https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/quantum/article/download/5877/pdf

Hariri, M. R. (2016). Keragaman genetik tarum (Indigofera tinctoria L.) di Pulau Jawa dan
Madura sebagai pewarna alami batik berdasarkan Inter-simple Sequnce repeats. Skripi, 4.

Indrayani, L., Triwiswara, M., Andriyati, W., & Nuraini, E. (2020). Peningkatan kualitas
batik Eco-Fashion dengan pewarna alami jalawe ( Terminalia bellirica ) menggunakan
iradiasi berkas Elektron Quality enhancement of Eco-Fashion batik with beleric
myrobalan ( Terminalia bellirica ) Natural Dyes using Electron Beam Irra. 16(2), 91–
100. http://dx.doi.org/10.17146/jair.2020.16.2.5964

Jiniputri, A. R., Panggabean, R., & Widiawati, D. (2022). Preservation of traditional ikat Ulos
by motif design development and natural dye utilization in Muara district, North
Tapanuli. Proceedings of the ICON ARCCADE 2021: The 2nd International Conference
on Art, Craft, Culture and Design (ICON-ARCCADE 2021), 625, 95–103.
https://doi.org/10.2991/assehr.k.211228.012

Kind, P., & Osborne, J. (2017). Styles of scientific reasoning: A cultural rationale for science
education? Science Education, 101(1), 8–31. https://doi.org/10.1002/sce.21251

Kinoshita, S., Inoue, Y., Nakama, S., Ichiba, T., & Aniya, Y. (2007). Antioxidant and
hepatoprotective actions of medicinal herb, Terminalia catappa L. from Okinawa Island
and its tannin corilagin. Phytomedicine, 14(11), 755–762.
https://doi.org/10.1016/j.phymed.2006.12.012

Korstjens, I., & Moser, A. (2017). Series: Practical guidance to qualitative research. Part 4:
Trustworthiness and publishing. European Journal of General Practice, 24(1), 120–124.
https://doi.org/10.1080/13814788.2017.1375092

Kusbiantoro, D., & Purwaningrum, Y. (2018). Pemanfaatan kandungan metabolit sekunder


pada tanaman kunyit dalam mendukung peningkatan pendapatan masyarakat Utilization

18
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
of secondary metabolite in the turmeric plant to increase community income. Jurnal
Kultiivasi, 17(1), 544–549. https://doi.org/10.24198/kultivasi.v17i1.15669

Laili, M., & Suganda, L. (2015). Proses ekstraksi zat warna alami dari limbah kayu mahoni
(Swietenia Marophylla) menggunakan metode solvent-extraction. Skripsi, 1–41.
https://repository.its.ac.id/62693/

Ma, X., Wei, Y., Wang, S., Zuo, X., & Shen, B. (2020). Sustainable ultrasound-assisted
ultralow liquor ratio dyeing of cotton fabric with natural turmeric dye. Textile Research
Journal, 90(5–6), 685–694. https://doi.org/10.1177/0040517519878793

Maksić, S. B., & Spasenović, V. Z. (2018). Educational science students’ implicit theories of
creativity. Creativity Research Journal, 30(3), 287–294.
https://doi.org/10.1080/10400419.2018.1488200

McCauley, V., Martins Gomes, D., & Davison, K. G. (2018). Constructivism in the third
space: challenging pedagogical perceptions of science outreach and science education.
International Journal of Science Education, Part B: Communication and Public
Engagement, 8(2), 115–134. https://doi.org/10.1080/21548455.2017.1409444

Moser, A., & Korstjens, I. (2017). Series: Practical guidance to qualitative research. part 1:
Introduction. European Journal of General Practice, 23(1), 271–273.
https://doi.org/10.1080/13814788.2017.1375093

Mutonyi, H. (2016). Stories, proverbs, and anecdotes as scaffolds for learning science
concepts. Journal of Research in Science Teaching, 53(6), 943–971.
https://doi.org/10.1002/tea.21255

Naveed, R., Bhatti, I. A., Adeel, S., Ashar, A., Sohail, I., Khan, M. U. H., Masood, N., Iqbal,
M., & Nazir, A. (2020). Microwave assisted extraction and dyeing of cotton fabric with
mixed natural dye from pomegranate rind (Punica granatum L.) and turmeric rhizome
(Curcuma longa L.). Journal of Natural Fibers, 19(1), 248–255.
https://doi.org/10.1080/15440478.2020.1738309

Nguyen, M., & Truong, M. (2016). The effect of culture on enterprise’s perception of
corporate social responsibility: The Case of Vietnam. Procedia CIRP, 40, 680–686.
https://doi.org/10.1016/j.procir.2016.01.154

Novitasari, L., Agustina, P. A., Sukesti, R., Nazri, M. F., & Handhika, J. (2017). Fisika,
19
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
etnosains, dan kearifan lokal dalam pembelajaran sains. Seminar Nasional Pendidikan
Fisika III 2017, 1, 81–88. http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/snpf

Nugroho, C., Nurhayati, I. K., Nasionalita, K., & Malau, R. M. U. (2021). Weaving and
cultural identity of Batak Toba women. Journal of Asian and African Studies, 56(6),
1165–1177. https://doi.org/10.1177/0021909620958032

Parmin, P., & Fibriana, F. (2019). Prospective teachers’ scientific literacy through
ethnoscience learning integrated with the indigenous knowledge of people in the frontier,
outermost, and least developed regions. Jurnal Penelitian Dan Pembelajaran IPA, 5(2),
142. https://doi.org/10.30870/jppi.v5i2.6257

Pasaribu, G., & Winarni, I. (2020). Study on East Sumba-originated natural pigments for
coloring woven fabrics. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering,
935(1), 1–10. https://doi.org/10.1088/1757-899X/935/1/012039

Puspasari, A., Susilowati, I., Kurniawati, L., Utami, R. R., Gunawan, I., & Sayekti, I. C.
(2019). Implementasi etnosains dalam pembelajaran IPA di SD Muhammadiyah alam
surya mentari Surakarta. SEJ (Science Education Journal), 3(1), 25–31.
https://doi.org/10.21070/sej.v3i1.2426

Putri, A. S., & Aznam, N. (2019). The effect of the science web module integrated on batik’s
local potential towards students’ critical thinking and problem solving (thinking skill).
Journal of Science Learning, 2(3), 92–96. https://doi.org/10.17509/jsl.v2i3.16843

Rahayu, W. E., & Sudarmin. (2015). Pengembangan modul IPA terpadu berbasis etnosains
tema energi dalam kehidupan untuk menanamkan jiwa konservasi siswa. Unnes Science
Education Journal, 4(2), 920–926. https://doi.org/10.15294/usej.v4i2.7943

Rajan, A. K., & Cindrella, L. (2019). Studies on new natural dye sensitizers from Indigofera
tinctoria in dye-sensitized solar cells. Optical Materials, 88(September 2018), 39–47.
https://doi.org/10.1016/j.optmat.2018.11.016

Risdianto, E., Dinissjah, M. J., Nirwana, & Kristiawan, M. (2020). The effect of Ethno
science-based direct instruction learning model in physics learning on students’ critical
thinking skill. Universal Journal of Educational Research, 8(2), 611–615.
https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080233

Safapour, S., Sadeghi-Kiakhani, M., & Doustmohammadi, S. (2019). Chitosan-cyanuric


20
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
chloride hybrid as an efficient novel bio-mordant for improvement of cochineal natural
dye absorption on wool yarns. Journal of the Textile Institute, 110(1), 81–88.
https://doi.org/10.1080/00405000.2018.1503384

Samsinar. (2019). Urgensi learning resources (sumber belajar) dalam meningkatkan


pembelajaran. Jurnal Kependidikan, 13(02), 194–205. https://jurnal.iain-bone.ac.id

Sanda, B., & Liliana, I. (2021). Natural dye extraction and dyeing of different fibers: a
review. Innovative and Emerging Technologies for Textile Dyeing and Finishing, 113–
135. https://doi.org/10.1002/9781119710288.ch4

Sarwi, S., Yusnitasari, A., & Isnaeni, W. (2020). Concept mastery of ethnoscience-based
integrated science and elementary students’ life skills using guided inquiry. International
Conference on Science and Education and Technology (ISET), 443, 517.
https://doi.org/10.2991/assehr.k.200620.103

Shidiq, U., & Choiri, M. M. (2019). Metode penelitian kualitatif di bidang pendidikan. In A.
Mujahidin (Ed.), Journal of Chemical Information and Modeling. CV. NATA KARYA.
http://repository.iainponorogo.ac.id/484/1/METODE PENELITIAN KUALITATIF DI
BIDANG PENDIDIKAN.pdf

Shu, J., Shen, X., Liu, H., Yi, B., & Zhang, Z. (2017). A content-based recommendation
algorithm for learning resources. Multimedia Systems, 24(2), 163–173.
https://doi.org/10.1007/s00530-017-0539-8

Snively, G., Corsiglia, J., & Cobern, W. W. (2001). Discovering indigenous science:
Implications for science education. Science Education, 85(1), 6–34.
https://doi.org/10.1002/1098-237X(200101)85:1<6::AID-SCE3>3.0.CO;2-R

Sudarmin. (2014). Pendidikan karakter, etnosains, dan kearifan lokal. In Parmin (Ed.),
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahun Alam, UNNES (1st ed.). Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.
https://mipa.unnes.ac.id

Ulger, K. (2019). Comparing the effects of art education and science education on creative
thinking in high school students. Arts Education Policy Review, 120(2), 57–79.
https://doi.org/10.1080/10632913.2017.1334612

Wahyuni, S. (2015). Pengembangan petunjuk praktikum IPA untuk meningkatkan


21
Journal Name, Vol.X, No.X, 20XX, pp. X-X
e-ISSN XXXX-XXXX. DOI. 10.52889/X.vXiX.X
kemampuan berpikir kritis siswa SMP. Jurnal Pengajaran Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam, 6(1), 196. https://doi.org/10.18269/jpmipa.v20i2.585

Wati, E., Yuberti, Saregar, A., Fasa, M. I., & Aziz, A. (2021). Literature research:
ethnoscience in science learning. IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, 1796(1). https://doi.org/10.1088/1742-6596/1796/1/012087

Zulkifli, & Ridwan, M. (2019). Revitalization of the traditional values lost due to the
commodification of art/crafts: a case study of Bataknese traditional Ulos. Asian
Ethnicity, 20(4), 541–554. https://doi.org/10.1080/14631369.2019.1608812

22

Anda mungkin juga menyukai