Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KELOMPOK 5 PEMBELAJARAN ETNOPEDAGOGIK

Etnopedagogik dalam Etnis Muna dan Buton

OLEH

KELOMPOK 5:

1. Devi Esti Yanti (A1N120009) 8. Fetrin (A1N120045)

2. Fanisun (A1N120011) 9. La Ode Maulijun (A1N120055)

3. Firda Anggaraindy (A1N120013) 10 Mukmin Saleh (A1N120060)

4.Hasrianti Nurhasanah (A1N120015) 11. Raudatul Zannah (A1N120065)

5.Peti Putriani (A1N120021) 12. Sarni Bansi (A1N120069)

6.Tanti Meylani (A1N120029) 13. Bahasli (A1N120083)

7.Alung Candra Saputra(A1N120033) 14. Jasmawati (A1N120093)


15. Yuningtias (A1N120109)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia
yang berpikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka
mempertahankan hidup dalam penghidupan manusia yang mengembangkan tugas
dari sang khalik untuk beribada. Pendidikan adalah sebuah pandangan atau rangkaian
pendapat tentang pendidikan yang disajikan dalam sebuah sistem konsep. Pendidikan
sebagai sistem mengandung arti suatu kelompok tertentu setidaknya memiliki
hubungan khusus secara timbal balik dan memiliki informasi (Suyadi. 2013: 3).
Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang
dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (nilai dan norma
masyarakat) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya, bagaimanapun
peradabaan suatu masyarakat, didalamnya terjadi suatu proses pendidikan sebagai
usaha manusia untuk melestarikan dan mengembangkan hidupnya (Anwar dkk. 2014:
27). Pendidikan adalah upaya sadar yang diarahkan untuk mencapai perbaikan di
segala aspek kehidupan manusia (Rohman, 3013: 8). Pendidikan harus dilihat di
dalam cakupan pengertian yang luas. Pedidikan juga bukan merupakan suatu proses
yang netral sehingga terbebas dari nilai-nilai dan ideologi. Djahiri menyatakan bahwa
pendidikan adalah merupakan upaya yang terorganisir, terencana dan berlangung
kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) kearah membina manusia/anaka didik
menjai insan paripurna, dewasa dan berbudaya (Hafid, 2014: 56-57).
Pelestarian nilai-nilai kearifan lokal kini menjadi isu utama pendidikan, selain
menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa juga dapat
memperkokoh jati diri mereka. Pada sisi lain salah satu hakekat pembelajaran sejarah
adalah untuk memperkuat memori peristiwa yang mengandung nilai-nilai
pembelajaran dan jati diri setiap anak bangsa (Nawili, 2015: 14).
Arus globalisasi yang semakin hari semakin kencang, mengakibatkan
pudarnya budaya masyarakat dan kebudayaan lokal, sehingga kebudayaan lokal yang
merupakan warisan leluhur terkikis oleh budaya asing dan terlupakan oleh
pewarisnya, bahkan banyak remaja yang tidak mengenali budaya daerahnya. Mereka
cenderung lebih bangga dengan karya-karya asing dan gaya hidup western
dibandingkan dengan budaya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut maka Ningsi dan
Darnawati (2018: 2) bahwa untuk melestarikan sutu budaya lokal agar diingat selalu
maka harus dimulai dari lembaga keluarga yang merupakan lembaga pendidikan
pertama dan utama yang perlu mendapatkan perhatian. Sebab lingkungan keluarga
sebagai jembatan antara individu dan kebudayaannya, agar nilai-nilai, norma-norma,
adat-istiadat, tetap terjaga dan tetap langgeng dan dianut oleh generasi ke generasi,
melalui keluarga.
Sehingga dengan melalui etnopedagogik diharapkan dapat memperkenalkan
budaya lokal dari etnis masing-masing. Karena etnopedagogik adalah praktek
pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah seperti pengobatan, seni bela
diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, pemerintah, sistem penaggalan, dan lain-
lain (Nawili, 2015: 14). Etnopedagogoi memandang pengetahuan atau kearifan lokal
sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi
kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep keperayaan,
dan presepsi masyarakat ihwal dunia akhirat, menyelesaikan masalah, dan
memalidasi informasi. Kearifan lokal adalah bagaimana pengetahuan dihasilkan,
simpan, diterapkan, dikelolah dan diwriskan. Etnopedagogi merupakan praktik
pendidikan berbasis kearifan lokal dan bersumber dari nilai-nilai kultural suatu etnis
dan menjadi standar perilaku (Salam, 2017: 18). Maka dalam sub-bab selanjutnya
akan dibahas mengenai etnopedagogi dalam etnis Muna dan Buton. Yang dimana
etnis muna dan buton adalah etnis yang ada di sulawesi tenggara yang mendiami
pulau Muna dan pulau Buton.
B. Tujuan
Berdasarkan uraian pada latar belakang sebelumnya, maka tujuan yang dapat
dirumuskan adalah untuk:
1. Mendeskripsikan etnopedagogik dalam etnis muna.
2. Mendeskripsikan etnopedagogik dalam etnis buton.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Pustaka
1. Konsep Etnopedagogik
Secara etmologi kata etnopedagogik terdiri dari dua suku kata, yaitu ento (dari
kata etnik) artinya suku bangsa dan pedagogi artinya ilmu pendidikan. Pedagogi
berarti sesuatu yang bernilai pendidikan. Maka etnopedagogi berarti nilai-nilai
pendidikan yang ada pada setiap suku bangsa. Dapat pula di artikan sebagai
pendidikan berbasis nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu suku bangsa. Dalam
pengertian yang umum, istilah etnopedagogi identik dengan lokal genius
(kecerdasaan lokal) atau dalam pemaknaan kekinian identik dengan istilah local
wisdom (kearfan lokal). Dengan perkataan lain bahwa etnopedagogi adalah praktek
pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah seperti pengobatan, seni bela
diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, pemerintahan, sistem penanggalan, dan
lain-lain. Etnopedagogi memandang kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan
keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Untuk
merumuskan model pengintegrasian nilai kearifan lokal dalam pembelajaran tentunya
basisnya pada etnopegagiek itu sendiri yaitu nilai-nilai lokal mengandung nasehat dan
pembelajaran hidup bagi masyarakatnya (Hak, 2020: 284).
Menurut Rustam (2014) memandang bahwa etnopedagogik merupakan
praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dan bersumber dari nilai-nilai kultural
suatu etnis dan menjadi standar perilaku. Dengan demikian sebetulnya konsep
etnopedagogik ini sejalan dengan arah dan hakekat keberadaan kurikulum 2013 yang
lebih menfokuskan pada penguatan karakter/moralitas peserta didik.
Menurut Nawili (2015: 14) etnopeagogik adalah praktek pendidikan berbasis
kearifan lokal dalam berbagai ranah seperti pengobatan, seni bela diri, lingkungan
hidup, pertanian, ekonomi, pemerintah, sistem penaggalan, dan lain-lain. Dengan
demikian ruangligkup etnopedagogiek ini cukup luas yaitu meliputi segala
pengatahuan leluhur suatu etnik tentang berbagai hal aspek untuk menjadi bekal dan
panduan dalam kehidupan mereka.
Etnopedagogik memandang pengetahuan atau kearifan lokal (local nowledge,
local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan
demi kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, Hafid dkk (2015) menegaskan bahwa
etnopedagogi mengangkat nilai- nilai kearifan lokal sebagai bagian penting dalam
proses pendidikan, sebagai bagian dari proses pembudayaan. Selain itu, dalam
ekskalasi interaksi sosial yang semakin dinamis karena berbagai isu yang akan
menjadi pemicu munculnya konflik, juga menempatkan etnopedagogi sebagai model
pembelajaran berbasis perbedaan dalam upaya menemukan upaya penyatuan dalam
perbedaan itu sendiri.
Menurut Muzakkir (2021: 34) Pembelajaran yang mampu melibatkan
etnopedagogik akan mampu menjadi benteng dan jati diri setiap peserta didik dalam
menyelami revolusi industry, serta perkembangan teknologi yang sangat pesat dapat
menggeser kearifan lokal dalam masyarakat. Pergeseran ini terjadi karena tidak
adanya batasan yang jelas antara budaya lokal dan budaya asing. Kondisi ini jelas
menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia perlu menerapkan pembelajaran yang
berorientasi pada kearifan lokal.
Menurut Lingard (2010: 20) etnopedagogik adalah sebuah pendekatan dalam
pendidikan yang berbasis budaya, etnopedagogi bertujuan untuk menguji dimensi
pedagogi melalui perspektif sosiologi pedagogi sehingga etnopedagogi dapat
ditempatkan sebagai bagian dari disiplin pedagogik.
Menurut Alexander (2016) bahwa terdapat hubungan yang erat antara
pedagogik dan kehidupan sosial budaya masyarakat. Apa yang dikemukakan oleh
Alexander merepresentasikan deûnisi pedagogi secara lebih luas berdasarkan pada
aspek budaya melampaui konteks pembelajaran di dalam kelas (beyond the
classrooms).
Menurut Suratno (2010) bahwa Pemanfaatan etnopedagogik dalam
pembelajaran secara lebih strategis dapat dilakukan dengan cara pendidikan berbasis
nilai budaya bagi pengajaran dan pembelajaran dalam konteks teaching as cultural
activity dan the culture of teaching. Etnopedagogik adalah praktek pendidikan yang
berbasis kerifan lokal dalam berbagai aspek kehidupan. Lebih lanjut Etnopedagogik
memandang pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan ketrampilan
yang dapat di kembangkan sebagai sebuah pendekatan, etnopedagogik menawarkan
sebuah rekonstruksi sosial serta budaya melalui pendidikan, khususnya dalam
kegiatan pembelajaran, dengan menekankan pada aspek-aspek budaya lokal
(Alwasilah. 2009).

2. Etnopedagogik dalam Etnis Muna dan Buton


a. Etnopedagogik Dalam Etnis Muna
Menurut Pendais (2020: 287) bahwa suku Muna memiliki banyak kearifan
yang memiliki unsur nasehat dan pendidikan. Nilai tersebut tidak hanya menjadi
konsep pengetahuan dan nilai semata, akan tetapi cukup banyak menjadi landasan
prilaku. Karena itu, semakin pudar pemahaman dan internalisasi nilai-nilai kearifan
tersebut maka semakin jauh dari identitas dan jati diri yang diajarkan oleh leluhurnya.
Sehingga dalam penelitannya Pendais (2020: 288) merumuskan beberapa contoh
etnopedagogik yang ada dalam etnis muna yaitu:
1) Pertama, Katangari (nasehat). Dalam bahasa muna mengandung muatan nasehat
dan pesan yang memiliki fungsi dan makna bagi kehidupan masyarakat. Setiap
generasi pada suku ini pasi mendapatkan proses katangari (nasehat) baik secara
formal maupun informal. Formal dalam artian budaya melalui ritual khusus sesuai
siklus hidup manusia. Menurut tokoh muna La Waweha (2017) sejak dalam perut
ibunya bagi orang muna sudah harus diberikan nasehatnasehat. Memberikan
perlakuan khusus dan bisikan pada bai yang masih berada dalam kandungan.
Selanjutnya saat lahir dan saat anak tersebut diaqiqah. Proses sunat/khitan bagi
anak baik laki-laki maupun perempuan wajib diberikan “toba” yaitu suatu subtansi
nasehat untuk merefleksikan hakekat dirinya sebagai manusia dan tujuan
hidupnya. Hal lain yang diberikan dalam toba ini adalah prinsip-prinsip dalam
bersikap dan bertutur kata baik pada sanga pencipta, pada kedua orang tua, pada
saudara yang lebih tua, pada sauadara yang lebih muda, bahkan pada sesama
makhluk yang lain.
2) Kedua, Falia (Pantangan). Sama dengan suku lainya, setiap kelompok masyarakat
ada pantangannya. Tetapi bagi Orang Muna falia suatu tata nilai yang dibuat untuk
mengaja tubuh/fisik manusia, menjaga hubunga sosial manusia, menjaga prilaku,
menjaga tutur kata dan lain-lain yang dilengkapi dengan rumor akibat/dampak jika
falia tersebut dilanggar. Jaman dulu orang muna sangat memegang teguh konsep
falia ini. Takut melanggarnya karena akan berdampak buruk bagi dirinya. Tetapi
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, aspek-aspek ilmiah suatu
pantangan mulai dipertanyakan, sehingga banyak dari nilai budaya ini saat ini
telah mengalami pergeseran yang dalam sejarah disebut dengan perubahan secara
regressif. Karena itu falia harus direkonstruksi dan direvitalisasi pada siswa
khususnya diwilayah masyarakat Muna.
3) Ketiga, Pokadulu. Istilah pokadulu dapat dimaknai dengan gotong royong.
Pokadulu dilakukan dengan tujuan agar dalam setiap pekerjaan tidak terlalu berat,
menguji kesetiaan dan kepeduliaan teman atau tetangga, dan adanya tenggang rasa
dalam kehidupan mereka. Pokadulu sudah menjadi kebiasaan masyarakat muna
sejak masa kerajaan. Beberapa pekerjaan yang dilakukan dengan cara pokadulu
misalnya pekerjaan “degalu” yaitu berkebun mulai membuka lahan sampai panen,
bidang sosial seperti pokadulu membangun rumah, pindah rumah, membangun
bantea (tenda) untuk perkwaninan dan acara-acara lainnya, bahkan dalam bidang
pendidikan dilakukan dengan cara memberikan apa yang dimiliki untuk membantu
anak dari kerabat yang sedang menempu pendidikan.
b. Etnopedagogik Dalam Etnis Buton
Menurut Sahlan (2012: 316) dalam penelitiannya bahwa etnopedagogik dalam
etnis Buton salah satunya yaitu:
Kabanti merupakan salah satu jenis kesusasteraan Buton berbentuk puisi.
Kesusastraan jenis ini telah dikenal oleh masyarakat Buton sejak masa Kerajaan
Buton. Oleh karena itu, kesusastraan jenis kabanti merupakan kesusastraan
masyarakat Buton yang paling tua. Kabanti berkembang pesat setelah masuknya
agama Islam di Kerajaan Buton. Masuknya ajaran agama Islam sanggup mengubah
dan mewarnai perkembangan sastra masyarakat Buton.
Petuah-petuah tentang nilai-nilai dan falsafah hidup disampaikan melalui
kabanti, yang pada prinsipnya merupakan hasil pengolahan secara bebas dari
kesusastraan bentuk prosa. Sejak zaman itu, kabanti tidak saja berkembang secara
lisan, tetapi juga berkembang secara tulisan. Dari segi bentuknya, kesusastraan jenis
kabanti dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu pantun dan syair. Kabanti
yang tergolong kelompok pantun pada umumnya bentuknya pendek-pendek, kadang-
kadang terdiri atas sampiran dan isi, dan kadang-kadang pula hanya berupa isi saja.
Syair bentuknya panjang-panjang, dan merupakan hasil pengolahan secara bebas dari
kesusastraan bentuk prosa. Biasanya terdiri atas 8 sampai 12 suku kata, antaranya
memakai 4 tekanan, biasanya terdiri atas 3 sampai 4 perkataan (Niampe, 2000: 2).
Sehingga kabanti merupakan karya sastra bentuk puisi. Puisi sebagai salah satu
bentuk karya sastra tidak hanya sebagai sistem norma, melainkan terdiri dari
beberapa lapis norma yang menuangkan pengalaman universal dan pengalaman
individu melalui ungkapan bahasa.
Kabanti pada dasarnya berisi ajaran tentang kehidupan yang ideal. Hal ini
dimaksudkan agar masyarakat Buton memahami eksistensi dirinya baik sebagai
pemerintah maupun sebagai masyarakat. Jika dirangkum nilai-nilai kearifan lokal
pada ketiga kabanti, maka cakupan nilai meliputi: (a) ketakwaan, (b) budi pekerti, (c)
toleran terhadap keberagaman, (d) tolong-menolong, (e) kasih sayang, (f) ikhlas/rela
berkorban, (g) saling menghargai, (h) pantang menyerah, (i) kebersamaan, (j) kreatif
dan inovatif, dan (k) bela negara.
Oleh karena itu etnopedagogik dalam etnis buton pada kabanti sangat relevan
dengan pilar pendidikan yakni menanamkan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kearifan
lokal dalam kabanti dapat diimplementasikan dalam pendidikan karena semua nilai-
nilai luhur yang dianalisis mengandung nilai-nilai dalam pendidikan yang
berdasarkan pada etnis buton.

B. Potensi, Peluang, Kendala dan Tantangan


1. Etnopedagogik dalam etnis muna
Potensi etnopedagogik dalam etnis muna pada etnopedagogi Falia
(Pantangan) salah satunya yaitu untuk mengingatkan masyarakat muna pada hal-hal
yang tabu, serta mengindari kemungkinan timbulnya petaka, misalanya benda yang
tidak boleh di sentuh, dimakan, atau di dekati. Hal ini karena masyarakat Muna
sepenuhnya memilki aktifitas keseharian berupa kegiatan perladangan, seperti
pembukaan lahan baru, berekebun, menanam, dan memanen hasil ladang, dengan
sistem berladang berpindah-pindah.
Peluang etnopedagogik dalam etnis muna yaitu kehidupan pada masyarakat
muna dapat mengontrol tindakan manusia sebagai pengelola alam agar tetap menjaga
lingkungan dengan baik serta menjaga hubungan manusia dengan sesama.
Kendala etnopedagogik dalam etnis muna yaitu terdapat sistem kepercayaan di
masyarakat lokal atau tradisional, dan masyarakat modern tentunya memiliki sistem
kepercayaan yang berbeda-beda. Dimana masyarakat tradisional masih menganut
pola perilaku yang berdasarkan pada adat istiadat lama, yaitu aturan yg sudah mantap
dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan
manusia dalam kehidupan sosial. Sedangkan masyarakat modern menagnut pola
perilaku yang sudah banyak terpengaruh budaya dari luar.
Tantangan etnopedagogik dalam etnis muna yaitu tantangan dalam menjaga
agar etnopedagogik dalam etnis muna tetap dilestarikan dan dijalankan agar diingat
dan diterapkan dalam pendidikan para generasi-generasi selanjutnya dalam etnis
muna.
2. Etnopedagogik dalam Etnis Buton
Potensi etnopedagogik dalam etnis buton yaitu pada aspek norma tercakup
pada tiga pilar norma yaitu; norma hukum, norma sosial, dan norma adat-istiadat.
Masing-masing norma tersebut memiliki peranan penting dalam tata kehidupan
masyarakat, karena dapat menjadi pedoman bersikap dan berperilaku. Norma-norma
hukum, sosial, dan adat-istiadat menjadi acuan masyarakat Buton dalam memberikan
sanksi atau hukum. Pada aspek norma hukum menjadi acuan penerapan hukum,
norma sosial menjadi acuan memberikan sanksi sosial terhadap pelanggaran susila,
dan aspek norma adat-istiadat menjadi acuan penerapan sanksi terhadap pelanggaran
adat masyarakat Buton. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran norma tidak pandang
bulu dalam arti telah diterapkan pada siapa saja, baik pejabat maupun masyarakat
biasa.
Peluang etnopedagogik dalam etnis buton yaitu kearifan lokal pada
masyarakat Buton sangat relevan dengan pilar pendidikan karakter yakni
menanamkan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kearifan lokal dalam kabanti dapat
diimplementasikan dalam pendidikan karakter, karena semua nilai-nilai luhur yang
dianalisis mengandung nilai-nilai karakter. Karena pendidikan karakter menjadi
target kurikulum, maka perlu kolaborasi antara nilai-nilai kearifan lokal dengan
materi pendidikan karakter. Jadi, upaya guru adalah menggunakan momen budaya
masyarakat untuk mempercepat pemahaman siswa, sehingga kemerosotan moral
generasi muda yang mulai tampak saat ini dapat diminimalisir. Di samping itu, siswa
mengenal nilai-nilai luhur masyarakat secara dini, sehingga diharapkan menjadi
penangkal (filter) dari berbagai dampak pengaruh budaya asing. Dengan pemahaman
dini, siswa diharapkan dapat memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal sebagai landasan
untuk mengembangkan kemajuan ilmu dan teknologi yang inovatif dan kreatif
sebagai bentuk local genius mereka.
Tantangan etnopedagogik dalam etnis buton yaitu dalam masyarakat Buton
mempelajari masalah ketuhanan sebagai konsepsi dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat yang selalu menyadari eksistensi diri sebagai hamba Allah, akan selalu
mengarahkan kepada sifat-sifat merendah, selalu bersyukur, dan bertawakal kepada
Maha Pencipta. Artinya, kehidupan bermasyarakat dibalut dengan nilai-nilai
keimanan kepada Allah dengan kesadaran sebagai hamba. Olehnya itu, dalam tatanan
kehidupan masyarakat Buton berjalan pada nilai-nilai ke-Islaman serta norma-norma
adat.
C. Upaya Strategi dan Kebijakan untuk Mencapai Tujuan
Etnopedagogik dalam etnis muna dan buton
Upaya etnis muna yaitu dengan mempunyai persepsi mengenai alam harus di
jaga keseimbangan nya sehingga keduanya bisa saling harmonis. Oleh sebab itu,
manusia harus bisa menjaga diri, dan peduli terhadap lingkungan alam sebagai tempat
mereka mengolah sumber daya alam untuk kehidupan mereka. Jika alam tidak
terpelihara dengan baik, maka akan mengganggu kehidupan masyarakatnya karena
tidak adanya keseimbangan tersebut. Untuk menjaga keharmonisan antara alam
sebagai sumber kehidupan dengan manusia sebagai pengelola alam, maka dibutuhkan
aturan yang mengikat masyarakatnya agar menjaga lingkungan. Lingkungan yang
terjaga dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa memberikan sumber kesuburan
dalam hal perladangan atau lahan yang diolah, dijauhi dari berbagai hama penyakit,
serta aman dari gangguan-gangguan seperti hewan-hewan liar yang dapat merusak
usaha perladangan. Oleh sebab itu, masyarakat Muna yang memiliki kepercayaan
akan adanya kekuatan alam yang tidak terlihat namun sangat mempengaruhi usaha
para petani, maka mereka diatur melalui pemali atau pantang-larang yang menjaga
keseimbangan tersebut. Alam memberikan sumber rezeki, maka manusia harus
menjaganya karena adanya kesepakatan antara manusia dengan alam melalui sebuah
ritual. Maka dari kesepakatan melalui ritual tersebut, masyarakat Muna menjalankan
pamali dengan istilah falia.
Kebijakan untuk mencapai tujuan Etnopedagogik dalam etnis muna salah
satu jenis folklor Muna yang luput dari perhatian masyarakat masa kini adalah falia
(tabu). Falia mengandung nilainilai pendidikan yang bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat pendukungnya. Faliaini merupakan pandangan dan pedoman hidup
sehari-hari masyarakat dalam kehidupan sosial bermasyarat agar tercipta kehidupan
yang baik dan bermartabat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat disimpulkan berdasarkan pembahasan pada sub bab sebelumnya bahwa


terdapat banyak etnopedagogik yang ada dalam etnis muna maupun buton yang
sekarang masi sering di implementasikan oleh masyarakat lokal setempat, yaitu
sebagai berikut :
Etnopedagogik Dalam Etnis Muna
Menurut Pendais (2020: 287) bahwa suku Muna memiliki banyak kearifan
yang memiliki unsur nasehat dan pendidikan. Nilai tersebut tidak hanya menjadi
konsep pengetahuan dan nilai semata, akan tetapi cukup banyak menjadi landasan
prilaku. Karena itu, semakin pudar pemahaman dan internalisasi nilai-nilai kearifan
tersebut maka semakin jauh dari identitas dan jati diri yang diajarkan oleh leluhurnya.
Sehingga dalam penelitannya Pendais (2020: 288) merumuskan beberapa contoh
etnopedagogik yang ada dalam etnis muna yaitu:
4) Pertama, Katangari (nasehat). Dalam bahasa muna mengandung muatan nasehat
dan pesan yang memiliki fungsi dan makna bagi kehidupan masyarakat. Setiap
generasi pada suku ini pasi mendapatkan proses katangari (nasehat) baik secara
formal maupun informal. Formal dalam artian budaya melalui ritual khusus sesuai
siklus hidup manusia. Menurut tokoh muna La Waweha (2017) sejak dalam perut
ibunya bagi orang muna sudah harus diberikan nasehatnasehat. Memberikan
perlakuan khusus dan bisikan pada bai yang masih berada dalam kandungan.
Selanjutnya saat lahir dan saat anak tersebut diaqiqah. Proses sunat/khitan bagi
anak baik laki-laki maupun perempuan wajib diberikan “toba” yaitu suatu subtansi
nasehat untuk merefleksikan hakekat dirinya sebagai manusia dan tujuan
hidupnya. Hal lain yang diberikan dalam toba ini adalah prinsip-prinsip dalam
bersikap dan bertutur kata baik pada sanga pencipta, pada kedua orang tua, pada
saudara yang lebih tua, pada sauadara yang lebih muda, bahkan pada sesama
makhluk yang lain.
5) Kedua, Falia (Pantangan). Sama dengan suku lainya, setiap kelompok masyarakat
ada pantangannya. Tetapi bagi Orang Muna falia suatu tata nilai yang dibuat untuk
mengaja tubuh/fisik manusia, menjaga hubunga sosial manusia, menjaga prilaku,
menjaga tutur kata dan lain-lain yang dilengkapi dengan rumor akibat/dampak jika
falia tersebut dilanggar. Jaman dulu orang muna sangat memegang teguh konsep
falia ini. Takut melanggarnya karena akan berdampak buruk bagi dirinya. Tetapi
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, aspek-aspek ilmiah suatu
pantangan mulai dipertanyakan, sehingga banyak dari nilai budaya ini saat ini
telah mengalami pergeseran yang dalam sejarah disebut dengan perubahan secara
regressif. Karena itu falia harus direkonstruksi dan direvitalisasi pada siswa
khususnya diwilayah masyarakat Muna.
6) Ketiga, Pokadulu. Istilah pokadulu dapat dimaknai dengan gotong royong.
Pokadulu dilakukan dengan tujuan agar dalam setiap pekerjaan tidak terlalu berat,
menguji kesetiaan dan kepeduliaan teman atau tetangga, dan adanya tenggang rasa
dalam kehidupan mereka. Pokadulu sudah menjadi kebiasaan masyarakat muna
sejak masa kerajaan. Beberapa pekerjaan yang dilakukan dengan cara pokadulu
misalnya pekerjaan “degalu” yaitu berkebun mulai membuka lahan sampai panen,
bidang sosial seperti pokadulu membangun rumah, pindah rumah, membangun
bantea (tenda) untuk perkwaninan dan acara-acara lainnya, bahkan dalam bidang
pendidikan dilakukan dengan cara memberikan apa yang dimiliki untuk membantu
anak dari kerabat yang sedang menempu pendidikan.
b. Etnopedagogik Dalam Etnis Buton
Menurut Sahlan (2012: 316) dalam penelitiannya bahwa etnopedagogik dalam
etnis Buton salah satunya yaitu:
Kabanti merupakan salah satu jenis kesusasteraan Buton berbentuk puisi.
Kesusastraan jenis ini telah dikenal oleh masyarakat Buton sejak masa Kerajaan
Buton. Oleh karena itu, kesusastraan jenis kabanti merupakan kesusastraan
masyarakat Buton yang paling tua. Kabanti berkembang pesat setelah masuknya
agama Islam di Kerajaan Buton. Masuknya ajaran agama Islam sanggup mengubah
dan mewarnai perkembangan sastra masyarakat Buton.
Petuah-petuah tentang nilai-nilai dan falsafah hidup disampaikan melalui
kabanti, yang pada prinsipnya merupakan hasil pengolahan secara bebas dari
kesusastraan bentuk prosa. Sejak zaman itu, kabanti tidak saja berkembang secara
lisan, tetapi juga berkembang secara tulisan. Dari segi bentuknya, kesusastraan jenis
kabanti dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu pantun dan syair. Kabanti
yang tergolong kelompok pantun pada umumnya bentuknya pendek-pendek, kadang-
kadang terdiri atas sampiran dan isi, dan kadang-kadang pula hanya berupa isi saja.
Syair bentuknya panjang-panjang, dan merupakan hasil pengolahan secara bebas dari
kesusastraan bentuk prosa. Biasanya terdiri atas 8 sampai 12 suku kata, antaranya
memakai 4 tekanan, biasanya terdiri atas 3 sampai 4 perkataan (Niampe, 2000: 2).
Sehingga kabanti merupakan karya sastra bentuk puisi. Puisi sebagai salah satu
bentuk karya sastra tidak hanya sebagai sistem norma, melainkan terdiri dari
beberapa lapis norma yang menuangkan pengalaman universal dan pengalaman
individu melalui ungkapan bahasa.
Kabanti pada dasarnya berisi ajaran tentang kehidupan yang ideal. Hal ini
dimaksudkan agar masyarakat Buton memahami eksistensi dirinya baik sebagai
pemerintah maupun sebagai masyarakat. Jika dirangkum nilai-nilai kearifan lokal
pada ketiga kabanti, maka cakupan nilai meliputi: (a) ketakwaan, (b) budi pekerti, (c)
toleran terhadap keberagaman, (d) tolong-menolong, (e) kasih sayang, (f) ikhlas/rela
berkorban, (g) saling menghargai, (h) pantang menyerah, (i) kebersamaan, (j) kreatif
dan inovatif, dan (k) bela negara.
Oleh karena itu etnopedagogik dalam etnis buton pada kabanti sangat relevan
dengan pilar pendidikan yakni menanamkan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kearifan
lokal dalam kabanti dapat diimplementasikan dalam pendidikan karena semua nilai-
nilai luhur yang dianalisis mengandung nilai-nilai dalam pendidikan yang
berdasarkan pada etnis buton.

B. Saran
Berdasarkan pegertian dan deskripsi materi tentang etnopedagogik dalam
etnis muna dan buton, semoga pembaca dapat memproleh informasi, tidak lupa
memberikan koreksi dan kritikan yang membangun terhadap kelompok 5, sehingga
kami dapat mengembangkan lebih jauh lagi tentang materi yang akan di tulis
nantinya.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, R. 2016. Culture and Pedagogy: International Comparisons in Primary


Education. London: Blackwell.
Alwasilan. A. 2009. Etnopedagogik: Landasan praktek Pendidikan dan pendidikan
guru, Kiblat Buku Utama. Bandung.
Hafid, Anwar dkk. 2014. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan. Alfabeta : Bandung
Hafid, Anwar. et. al. 2015. An Analysis of Kalosora Function as Ethnopedagogy Media in
Nation Character Building In Shoutheast Sulawesi. International Research Journal of
Emerging Trends in Multidiciplinary. Vol I.
Pendais Hak. 2020. Etnopedagogik Pada Masyarakat Suku Muna, Tolaki, Dan Bajo
Di Sulawesi Tenggara (Strategi Pengintegrasian Kearifan Lokal Dalam
Pembelajaran Sejarah Untuk Penguatan Karater Siswa. Seminar Nasional
Sejarah ke 4 Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang. Hal 280-
298.
Lingard, B. 2010. Towards a Sociology of Pedagogies. Paper presented at 2nd
International Seminar 2010, Journal Practice Pedagogic in Global Education
Perspective. PGSD UPI, Bandung (Vol. 2. No 3. 17 May 2010). Hal 20.
Nawili. 2015. Kajian Kearifan Local Kelompok Budaya Dani Lembah Baliem
Wamena Papua. Jurnal: Pendidikan Nasional Nusantara Indonesia. Vol. 1.
No.1. Halaman 14.
Nawili. 2015. Kajian Kearifan Local Kelompok Budaya Dani Lembah Baliem
Wamena Papua. Jurnal: Pendidikan Nasional Nusantara Indonesia. (Vol. 1.
No.1). Hal 14.
Niampe, La. 2000. Kabanti Oni Wolio: Puisi Berbahasa Wolio. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Ningsi dan Darnawati. 2018. Sejarah Etnopedagogi Pada Masyarakat Moronene Di
Kelurahan Taubonto Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana. Jurnal
Penelitian Pendidikan Sejarah. Volume 4 No. 3, Agustus, Hal 1-8.
Rohman, Arif. 2013. Memahami Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aswaja.
Rustam. 2014. Kajian Kearifan Lokal untuk Membangun Karakter, Jakarta: Ciputat.
Sahlan. 2012. Kearifan Lokal Pada Kabanti Masyarakat Buton Dan Relevansinya
Dengan Pendidikan Karakter. Vol.14 No.2 Tahun 2012. Hal 312-325.
Salam, Burhanuddin. 2017. Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Suratno. T. 2010. Belajar dan memimpin belajar: Analisis budaya belajar komunitas
guru SD Jakarta. Makalah disajikan pada kogres guru Indonesia. Sampoerna
School Of Education. Jakarta.
Suyadi. 2013. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai