Anda di halaman 1dari 21

TUGAS SEJARAH LOKAL SULAWESI TENGGARA

“MASUKNYA AGAMA ISLAM”

OLEH

TANTI MEYLANI
(A1N1202029)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2023
A. Latar Belakang Penulisan
Islam merupakan agama universal, yang diturunkan oleh Allah guna
memberikan petunjuk dan rahmat bagi umat manusia untuk menjalankan fungsinya
dalam kehidupan guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Dalam perspektif Islam, peranan manusia tidak lain adalah sebagai khalifatullah
(wakil Allah) di muka bumi yang bertugas untuk mewujudkan pesan Islam yaitu
rahmatan lil’alamin dan Abdullah yang senantiasa harus beribadah kepada-Nya, yang
dalam arti luas identik dengan aktivitas batin dan aktivitas fisik manusia dalam
rangka berhubungan dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam
semesta.
Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur segala aspek dalam
kehidupan manusia, baik aspek ibadah (hubungan manusia dengan Allah SWT)
maupun aspek muamalah (hubungan manusia dengan sesama manusia). Allah SWT
telah berfirman dalam al-Qur‟an bahwasannya agama Islam itu adalah agama yang
sempurna. Allah telah melimpahkan karunia nikmat-Nya secara tuntas ke dalamnya.
Islam dijadikan sebagai agama yang berlaku untuk semua umat manusia. Pernyataan
tersebut sesuai dengan segala waktu dan tempat, serta untuk semua umat manusia
dalam segala ras dan generasinya.
Agama Islam merupakan salah satu agama terbesar yang dianut oleh umat
Islam di dunia, salah satu ajarannya ialah untuk menjamin kebahagiaan hidup
pemeluknya di dunia dan di akhirat yang termaktub dalam Alquran dan
Hadith.Penyebaran Islam berlangsung sangat cepat dalam lingkungan masyarakat
Nusantara. Agama Islam diperkenalkan dengan tidak membedakan status sosial
dalam masyarakat. Daerah-daerah di sekitar pesisir pantai umumnya lebih cepat
menerima agama Islam, terutama yang menjadi jalur pelayaran di masa silam. Agama
yang dibawa oleh para pedagang Arab ini lebih mudah diterima di kalangan
masyarakat Nusantara. Setelah agama Islam diterima oleh masyarakat tempat mereka
melakukan perdagangan, para pedagang tersebut mulai mempelajari kultur
masyarakat agar Agama Islam lebih cepat berkembang di lingkungan masyarakat
lokal tersebut. Terkadang konsep kawin-mawin mereka lakukan agar agama Islam
dapat lebih populer.
Buton merupakan salah satu daerah yang terletak di salah satu jalur lintas
dagang dari Jawa ke Maluku atau sebaliknya. Dengan demikian, Buton-pun termasuk
yang menerima dampak Islamisasi di Nusantara. Islam sudah ada di Buton sejak
tahun 933 H atau 1527 M, yaitu sebelum kedatangan Abdul Wahid, tokoh yang
dianggap sebagai penyebar Islam di lingkungan masyarakat ini. Abdul Wahid
mengislamkan Buton pada tahun 948 H atau 1541 M. Dalam salah naskah kanturuna
mohelana dijelaskan bahwa ada pertemuan antara Turki, Kompeni, Buton, Bone, dan
Ternate pada 1 Muharam 872 H atau 1467 M. Jika pencatatan 1 Muharram 872
Hijriah dalam sejarah itu dapat dijadikan pegangan dalam menelusuri masuknya
Islam di Buton, maka sudah pasti Abdul Wahid bukan orang Islam pertama yang
menginjakkan kakinya di Buton.
Menurut Razak (2022: 56) Salah satu tradisi masyarakat setempat mengatakan
bahwa Islam masuk di Lasalimu dibawa oleh Sultan Ternate, Baabullah. Mengenai
hal ini dapat dijelaskan bahwa Baabullah hanya mengembangkan Islam saja, sebab
Islam sudah ada di Buton beberapa lamanya sebelum kedatangan Baabullah di Buton
dengan maksud melakukan pengembangan Islam pada tahun 1580. Keterangan
mengenai tahun tersebut ditunjang dengan tulisan Ligtvoet (1878: 31) yang
menjelaskan bahwa “Het eerste, dat ons omtrent de geschiedenis Van Boeton
bekendis, is de verovering van dat rijk en den invoering van den Islam aldaar door de
vorst van Ternate Baabullah in 1580, enz.” Masih berkaitan dengan kedatangan
Baabullah tersebut, perlu dicatat bahwa ada sumber yang mengatakan bahwa Buton
diislamkan melalui Ternate oleh Baabullah. Menurut penulis, sumber ini kurang bisa
dibenarkan sebab kedatangan Baabullah di Buton adalah dalam tahun 1580,
sedangkan masyarakat Buton sudah memeluk Islam sejak 948 H atau 1541 M. Kalau
dikatakan bahwa penganjur Islam, Syaikh Abdul Wahid bin Syarif, sehingga pada
bagian pembahasan akan dibahas mengenai proses masuknya agama islam di Buton.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah proses masuknya agama Islam di Buton?

C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan proses masuknya agama Islam di Buton.

D. Manfaat
1. Untuk mengetahui tentang proses masuknya agama Islam di Buton.
E. Pembahasan Masalah
1. Proses Masuknya Agama Islam di Buton
Menurut Alifuddin (2020: 2) secara historis agama islam masuk pada awal
abad ke-16, pada umumnya perubahan penting memang telah terjadi dalam
kehidupan orang Buton setelah mereka menerima Islam sebagai agama resmi. Bagi
orang Buton, Islam adalah sebuah realitas yang tak terelakkan, sejarah orang Buton
sebagai masyarakat yang beragama Islam berlangsung hingga saat ini. Fakta sejarah
tersebut semakin dikukuhkan dengan fakta kuantitatif umat Islam di wilayah ini, yaitu
98,04 % dari jumlah penduduk di Buton. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa
Islam telah menjadi ciri masyarakat Buton. Oleh karena itu, kehadiran Islam sejak
awal yang hingga kini telah berusia kurang lebih empat abad, tidak dapat disangkal
telah memainkan peran penting dalam sejarah Buton, sekaligus dapat dikatakan
sebagai salah satu penentu dalam proses evolusi sistem sosial budaya Buton.

a. Akar Historis Islam di Buton


Menurut Alifuddin (2020: 4) Bila dibanding dengan daerah-daerah timur
Indonesia, seperti Maluku dan Ternate, dapat dinyatakan, bahwa kedatangan Islam di
Buton atau secara lebih umum di Sulawesi-Tenggara agak telat atau terlambat. Hal
ini karena kerajaan Buton barulah dikenal sebagai kerajaan Islam dan berubah nama
menjadi Kesultanan Buton pada awal abad ke-16. Selama menyangkut pengaitan
Islam dengan masyarakat Buton, maka hingga kini data sejarah yang dirujuk dan
disepakati oleh seluruh tokoh adat dan ahli sejarah masih menggunakan data yang
mengacu pada pelantikan La Kilaponto sebagai sultan pertama di Buton dengan gelar
Sultan Qaimuddin, yang terjadi pada th. 948 H atau 1542 M.4 Dengan demikian
dapat dikatakan, bahwa tahun 948 H. yang dinisbahkan dengan keberadaan Islam di
Buton merupakan satusatunya data tertulis yang diperoleh oleh sejarawan Buton,
demikian pula oleh para tokoh adat di daerah ini. Namun demikian, sejauh
menyangkut kapan awal mula Islam bersentuhan dengan penduduk di wilayah ini
tidak ada data akurat yang dapat dipegang secara pasti dan meyakinkan, sehingga
pengaitan antara Islam dengan masyarakat Buton atau awal mula keberadaan Islam di
wilayah ini seluruhnya masih merupakan spekulasi para sejarawan dan tokoh-tokoh
adat yang melakukan analisa terhadap sejumlah gejala yang mereka tangkap dan
temukan.
Menurut Alifuddin (2020: 6) bahwa awal kedatangan Islam di daerah ini
dapat dibedakan atas dua pandangan, yaitu pandangan yang merujuk pada mitos
eksistensi kerajaan Buton yang disebutkan sebagai sebuah tempat atau wilayah yang
diwasiatkan oleh Nabi Muhammad dan pandangan yang mengacu pada analisis
rasional berdasarkan gejala-gejala yang terjadi pada akhir abad ke-15. Mite tentang
nama Buton yang disebut-sebut oleh sebagian masyarakat sebagai pulau wasiat Nabi
Muhammad SAW.
Analisis Zahari dalam Alifuddin (2020: 2) secara tersirat mengakui, bahwa
Islam telah berada di Buton sebelum Abdul Wahid datang, namun berbeda dengan
masa setelah kedatangan Abdul Wahid, Islam masih dianut secara sporadis oleh
masyarakat setempat. Argumen ini dapat dibenarkan bila merujuk pada kenyataan
sejarah sebagaimana yang dilukiskan oleh para sejarawan, misalnya Nourduyn
menyebutkan dalam Alifuddin (2020: 5) :
“Faktor yang telah menentukan penyebaran agama Islam di Indonesia, di pandang
dari sudut sejarah dan geografi, menurut pandangan yang berlaku, adalah
perdagangan luar negeri dan perdagangan antar Indonesia. Orang-orang yang
pertama-pertama membawakan agama ini ke pelbagai daerah di Indonesia adalah
saudagar-saudagar, mula-mula orang India dan orang Iran, kemudian orang Melayu
dan orang Jawa”.
Alasan utama yang umumnya diajukan bagi pandangan ini adalah kenyataan,
bahwa agama Islam pertama-tama telah menanamkan pengaruhnya di daerah-daerah
di mana pusat perdagangan terletak sepanjang jalan perniagaan besar di seluruh
Nusantara (yakni) Sumatera, Malaka, Jawa Timur dan kepulauan Maluku dan dari
sini barulah ke tempat-tempat yang lain.” Beranjak dari pendangan Nourduyn, maka
asumsi yang menyebutkan, bahwa Islam telah berada di Buton sebelum th. 948 H,
paling tidak dapat dibenarkan dengan dua alasan. Pertama, secara historis dan
kultural masyarakat Buton adalah etnik yang berbudaya maritim dan memiliki
kebiasaan merantau serta berdagang, sehingga tidak menutup kemungkinan di antara
mereka telah ada yang menjalin hubungan erat dan rapat dengan para saudagar-
saudagar muslim yang mengembangkan agama Islam melalui jalur perdagangan.
Kedua, bahwa ditinjau dari sudut pandang geografis, letak Buton yang berada sebagai
jalur lalu-lintas perdagangan yang menghubungkan Jawa, Makassar dan Maluku,
menjadikan wilayah ini berpotensi untuk disinggahi oleh para pedagang atau
saudagar yang bertujuan ke Maluku. Dalam kondisi tersebut, adalah tidak mustahil
untuk menyatakan, bahwa para saudagar-saudagar tersebut dalam perjalanannya
menuju ke Maluku, singgah di wilayah ini sekaligus memperkenalkan Islam atau
bahkan kawin mawin dengan penduduk lokal.
Oleh karena itu, dugaan yang menyebutkan bahwa sebelum Abdul Wahid
mengislamkan Raja La Kilaponto telah ada atau telah tersebar agama Islam walaupun
dalam skala yang sangat terbatas dapat dibenarkan, meskipun para sejarawan dalam
hal ini “kesulitan” untuk menemukan data-data konkrit dan akurat. Walau demikian
perlu ditegaskan, bahwa sejarah bukanlah sekedar masalah kepastian yang dapat
dibuktikan dengan sumber-sumber yang jelas, melainkan juga masalah fairness atau
kewajaran yang disandarkan pada penafsiran terhadap sumber-sumber yang ada.
12Selain itu secara konsepsional pola penyebaran Islam yang didahului oleh rakyat
biasa merupakan pola penyebaran yang diakui memiliki pijakan historis. Sejalan
dengan pandangan tersebut J.P. Williams menyebutkan, setidaknya ada empat bentuk
atau tingkat penerimaan suatu agama dalam suatu komunitas, yaitu : (1) Tingkat
rahasia, yaitu seseorang yang memegang ajaran agama yang dianut dan diyakininya
itu untuk dirinya sendiri dan tidak untuk didiskusikan dengan atau dinyatakan kepada
orang lain; (2) Tingkat privat atau pribadi, yakni dia mendiskusikan dengan atau
menambah atau menyebarkan pengetahuan dan keyakinan keagamaannya dari dan
kepada sejumlah orang tertentu yang digolongkan sebagai orang yang secara pribadi
amat dekat hubungannya dengan dirinya; (3) Tingkat dominasi, yakni individu yang
memiliki keyakinan keagamaan sama dengan yang dimiliki oleh individu-individu
lainnya dalam suatu kelompok besar, dan karena itu bukan merupakan suatu yang
rahasia atau yang privat; dan (4) Tingkat masyarakat, yakni individu yang
mempunyai keyakinan keagamaan sama dengan keyakinan keagamaan dari warga
masyarakat tersebut.
Sehingga merujuk pada perspektif Williams dalam Alifuddin (2020: 7) bahwa
seperti yang dikutip di atas, terutama poin 1 dan 2, maka sangat memungkinkan Islam
telah menapakkan kakinya di bumi Buton sebelum tahun 948 H., meskipun Islam
yang dianut tersebut baru sebatas tingkat rahasia dan atau sebagai agama privat.
Demikian pula bila berpijak pada argumen “kewajaran” seperti yang dikemukakan
oleh Taufik Abdullah, tampaknya bukti-bukti kehadiran Islam di Buton sebagai
agama rakyat, sebelum secara resmi dideklarasikan oleh raja Buton dapat diterima
secara rasional.
Dalam kaitan ini LaOde Bosa dalam Alifuddin (2020: 8) menulis sebagai
berikut:
“Berangkat dari pelabuhan Adonara mengikuti tiupan awal angin Timur biasanya
minggu pertama dari bulan April setiap tahun. Mereka kena pulau Batu Atas…Di
pulau itu Syekh Abdul Wahid bertemu dengan gurunya yang baru tiba pula di pulau
itu dari Ternate. Gurunya yaitu Imam Pase (dari Sumatera) memerintahkan sang
muridnya yaitu Syekh Abdul Wahid, agar jangan dahulu ke Johor, melainkan singgah
dahulu di Buton, pulau yang tampak di sebelah utara sana, karena penting sekali
wajib untuk memenuhi panggilan kerinduan seorang raja di sana yang kaumnya
sangat merindukan datangnya Islam. Raja itu sudah lama iman, hanya saja belum
resmi imanya, maka dengan patuh Syekh Abdul Wahid berlayar menuju utara Buton
dan berlabuh di pantai Burangasi- Buton bagian selatan dekat Matana Sangia.”
Tulisan Bosa seperti yang dikutip di atas, secara eksplisit menggambarkan,
bahwa sebelum Abdul Wahid menapakkan kakinya ke tanah Buton masyarakat
daerah tersebut telah mengenal Islam atau boleh jadi telah menganut Islam, namun
seperti apa yang dikatakan Bosa, keberislaman mereka belum resmi dalam arti
mereka belum paham benar tentang ajaran Islam sehingga butuh seorang guru agama
yang dapat mengajarkan Islam secara lengkap kepada mereka.Selain, argumen-
argumen yang dikemukakan oleh para sejarawan lokal yang meyakini, bahwa
pengaruh Islam telah hadir di tanah Buton jauh sebelum Sultan Morhum masuk
Islam, yang kemudian dikenal sebagai tonggak awal berdirinya pengaruh Islam pada
kerajaan Buton.
Dugaan tentang kehadiran Islam di Buton sebelum 948 H. juga diperkuat oleh
keterangan yang tertulis dalam manuskrip Wan Muhammad Sagir dalam Alifuddin
(2020: 10) , yang menyebutkan bahwa suatu masa di bagian Timur Buton pernah ada
seorang ulama yang bertujuan menyiarkan Islam, ulama tersebut berasal dari Pattani
yang datang ke Buton tahun 815 H/1412 M., hanya saja waktu itu Islam belum
diterima di wilayah ini. 16 Data yang bersumber dari manuskrip Wan Muhammad
Sagir, seperti yang dikutip di atas paling tidak dapat dijadikan sandaran argumen
untuk menguatkan pernyataan yang menyebutkan, bahwa Islam telah berada di tanah
Buton sebelum agama ini secara resmi dan diformalkan oleh lembaga kesultanan
sebagai agama negeri. Beranjak dari deskripsi tentang kedatangan Islam di Buton
seperti yang digambarkan, dan bila ditilik dari berbagai perspektif teoretis tentang
Islamisasi Nusantara yang dikemukakan oleh para ahli, dapat dinyatakan, bahwa
sekalipun secara formal Islamisasi di Buton baru terjadi pada tahun 948 H, namun
benih-benih Islam telah hadir di dalam masyarakat Buton sebelum pihak kerajaan
mengakuinya secara resmi.
Selain itu menurut hasil penelitian Haeruddin (2020: 4) dalam Halidi Sadi
(2000) bahwa Ada beberapa versi tradisi lokal mengenai masuknya Islam ke Buton.
Pertama, Islam masuk kira-kira pada tahun 1540. Tradisi lokal menyebutkan bahwa
pembawa Islam ke Butun ialah Syekh Abdul Wahid, putra Syekh Sulaiman keturunan
Arab yang beristeri puteri Sultan Johor. Sekembali dari Ternate melalui Adonara
menuju Johor, Syekh Adul Wahid berpapasan dengan gurunya Imam Pasai bernama
Ahmad bin Qois Al Aidrus di perairan Flores (dekat Pulau Batuatas). Sang guru
menugaskan muridnya untuk tidak segera kembali ke Johor melainkan terlebih
dahulu menuju ke utara ke negeri Butun. Berbeloklah perahu yang ditumpangi Syekh
Abdul Wahid ke utara dan berlabuh di Burangasi, di Rampea bagian selatan pulau
Butun. Kehadirannya menimbulkan kecurigaan penduduk sekitar pantai yang selalu
bersiaga menghadapi segala kemungkinan datangnya pasukan La Bolontio pemimpin
bajak laut dari Tobelo. Untuk sementara waktu mereka tidak diperbolehkan mendarat
(Abubakar, 1980: 24 dalam Haeruddin, 2020: 5).
Lebih lanjut lagi Haeruddin (2020: 7) dala penelitiannya menjelaskan bahwa
agama islam masuk di Buton dibawa oleh Syekh Abdul Wahid anak dari Syekh
Sulaiman dari Johor. Syekh Abdul Wahid datang ke Buton Bersama isterinya dari
Adonara beserta ketiga anaknya masing-masing Bernama Jamaluddin atau dikenal
dengan Lebe Pangulu, dan kedua puterinya yang masing-masng Bernama Nyai Fula
yang kemudia dikenal dengan julukan Wadidi I Lampenano dan Nyai Hiba atau
terkenal dengan sebutan Wa Didi I Daoa. Julukan Wadidi I Lampenano karena
diperistri oleh Sangia I Lampenano, sedangkan julukan Wa Didi I Daoa karena
diperisteri oleh Sapati I Tapi-tapi. Dalam Riwayat lain kemudian, dikisahkan lagi
bahwa Syekh Abdul Wahid meninggalkan Adonara dengan tujuan Kembali ke Johor,
namun setelah sampai di Batuatas, yaitu sebuah pulau yang ada di sebelah selatan
pulau Buton, beliau bertemu dengan gurunya yakni Imam Pasai Bernama Ahmad Bin
Qois Al Aidrus yang datang dari Ternate hendak kembali ke negeri Pasai. Dalam
pertemuan dengan gurunya, Syekh Abdul Wahid diamanahkan oleh gurunya agar
menunda perjalanannya kemabli ke Johor, karena hendak singgah dahulu di negeri
Buton, karena diperoleh berita bahwa raja negeri itu telah lama berkehendak
memeluk agama Islam. Lalu Amanah tersebut ditunaikan Syekh Abdul Wahid
dengan mengarahkan perahu yang ditumpanginya dan mendarat di pantai Burangasi
yakni di Rampea dekat tanjung Matana Sangia sebelah selatan pulau Buton.
Kehadiran Syekh Abdul Wahid di Rampea menimbulkan kecurigaan warga
yangmelihatnya, mereka dianggap penyusup pasukan Labolontio (Bajak Laut
Tobelo). Namun alangkah terkejut dan tercengangnya masyarakat yang menjaga
pantai Rampea menyaksikan perlakuan orang-orang yang ada dalam perahu tersebut.
Disaksikan bahwa pada saat fajar menyingsing dini hari dan matahari akan terbenam
seorang diantara mereka di atas perahu meraung-raung bagai tingkah laku menangis
beriba-iba, dan disaksikan pula setelah itu beranjak seorang berdiri di depan beberapa
yang lainnya, membungkuk, menundukkan kepala mereka mengenai geladak perahu
dan berakhir dengan menoleh ke kanan dan ke kiri lalu bertadah tangan kemudian
bersalam-salaman.
Tingkah laku mereka sangat asing bagi penjaga pantai dan penduduk yang
melihatnya, sehingga oleh penduduk merea dianggap orang gila. Berselang beberapa
lama kemudia Syekh Abdul Wahid dan rombongannya digiring untuk diperhadapkan
dengan tokoh adat Burangasi. Namun Syekh Abdul Wahid menolak, karena masih
banyak masyarakat yang memelihara babi. Disebutkan bahwa Syekh Abdul Wahid
meminta agar semua peliharaan berupa babi dibunuh jika masyarakat menghendaki
dirinya masuk ke perkampungan mereka dan menghadap pemuka adat. Lalu
permintaan Syekh Abdul Wahid dipenuhi oleh penduduk dengan cara-cara damai
yang dilakukan oleh sang Syekh. Peristiwa inilah yang menyebabkan masyaraat
Burangasi pindah dari kapung Bente menuju Kampung Liwu.
Kedatangan Syekh Abdul Wahid di Burangasi melakukan misi utama adalah
mengislamkan penduduk Burangasi dan Buton pada umumnya. Langkah awal yang
dilakukannya adalah melakukan penyunatan baik laki-laki mapun perempuan. Bagi
masyarakat Burangasi sampai hari ini masih meyakini bawa pisau yang dipakai
Syekh Abdul Wahid untuk menyunat penduduk Burangasi kala itu masih tersimpan
rapi. Dalam tradisi di Burangasi bahwa benda peninggalan Syekh Abdul Wahid
tersebut menjadi simbol keberasan adat dibawah penguasaan Parabela. Jika terjadi
pergantian Parabela, maka perangkat alat Sunat tersebut akan diserahkan kepada
Parabela yang baru, dan begitu seterusnya.
Setelah beberapa lama Syekh Abdul Wahid memperkenalkan Islam di
Burangasi, lalu beliau melanjutkan perjalanan menuju suatu daerah yang bernama
Wawoangi. Konon kepergian beliau ke Wawoangi, setelah melihat sinar yang
menjulang tinggi di sebuah gunung di tempat itu. Dari situlah kemudian Syekh Abdul
Wahid berkeinginan untuk membangun masjid pertama di Wawoangi. Berdasarkan
informsasi yang dihimpun, diketahui bahwa Syekh Abdul Wahid selama berada di
Wawoangi mengajarkan shalat kepada penduduk setempat. Mesjid yang dibangunnya
dijadikan sebagai tempat untuk mengajarkan Islam. Sampai berapa lama Syekh
Abdul Wahid di Wawoangi tidak ditemukan sumber yang jelas. Namun diberitakan
bahwa, setelah Raja Mulae mendapatkan laporan bahwa ada seorang asing di
Wawoangi sedang mengajarkan agama baru, maka raja mengirim utusannya untuk
meminta Syekh Abdul Wahid menghadap raja. Sejak itulah Syekh Abdul Wahid
pergi meninggalkan Wawoangi menuju pusat pemerintahan kerajaan Wolio untuk
menghadap Paduka Raja.
b. Asal-Usul Syekh Abdul Wahid Sebagai Pembawa Islam Di Buton
Berdasarkan yang dikutip dari Haeruddin (2020: 10) bahwa Syekh Abdul
Wahid merupakan sosok yang sangat melegenda dalam ingatan masyarakat Buton.
Syekh Abdul Wahid dikenal sebagai pembawa Islam pertama di pulau Buton. Tidak
hanya mengajarkan Islam, namun beliau juga diyakini sebagai orang yang
mengislamkan Raja Buton Lakilaponto dan menobatkan Lakilaponto sebagai Sultan
Pertama Buton, yang bergelar Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis atau Murhum.
Sumber-sumber tertulis maupun informasi lokal secara lisan sangat terbatas
yang mengabarkan sosok Syekh Abdul Wahid, termasuk asal usulnya. Berdasarkan
sumber yang lazim diberitakan di Buton, bahwa pembawa islam di Buton adalah
Syekh Abdul Wahid, Ayahnya bernama Syekh Sulaiman dan ibunya adalah puteri
Sultan Johor. Diberitakan di Buton bahwa Syekh Abdul Wahid adalah turunan Arab
yang menetap tinggal di Johor. Adapun silsilah Syekh Abdul Wahid dapat disebutkan
sebagai berikut; Abdul Wahid bin Sulaiman bin Muhammad Aidrus bin Umardilar
bin Arifbillah Ma’rufil Quzkhi bin Abubakar ibn Salim bin Syaid Salim bin Ali Ridla
bin Musa Al Qaadim bin Muhammad Bakir bin Zainal Abidin bin Saidina Husein bin
Saidina Ali. Informasi tersebut di atas memperlihatkan bahwa Syekh Abdul Wahid
adalah garis turunan Saidina Ali, Khalifah keempat setelah Usman Bin Afan.
Kenyataan ini tentu semakin menguatkan bahwa Syekh Abdul Wahid adalah turunan
arab bahkan turunan Khalifah yang senantiasa memegang mandat untuk menyiarkan
Islam ke seluruh pelosok dunia.
Selain itu, ada kisah lain yang berasal dari sumber Melayu yang mengatakan
bahwa pada tahun 1564, seorang bernama Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
alPatani mengadakan perjalanan dari Patani ke Butun untuk menyiarkan Islam agar
penduduknya memeluk Islam. Kaum muslim Patani adalah orang-orang Melayu baik
secara etnis maupun budaya. Oleh sebab itu, setiap pembicaraan mengenai sejarah
Islam di dunia Melayu secara keseluruhan tidak mungkin tanpa membahas kaum
muslim di Patani. Peralihan keyakinan penduduk wilayah Patani Siam Selatan kepada
Islam terjadi dalam abad ke-14 hingga abad ke-I6. Kesultanan Patani adalah sebuah
kerajaan yang cukup banyak penduduknya dan makmur di Semenanjung Tanah
Melayu sampai ia jatuh ke tangan kekuasaan Thai pada tahun 1786 (Azra, 1994:
258). (Haeruddin, 2020: 11).
Syaikh Abdul Wahid pertama datang di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
periode kedua datang pada tahun 945 H/1540 M. Kehadiran Syaikh Abdul Wahid
pada tahun 933 H/1526 M, belum menyiarkan langsung ajaran agama Islam, tetapi
kehadiranya yang pertama baru pada tahap penjejakan, kemudian pada tahap kedua
baru mulai memperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat pada tahun 945
H/1540 M. Selain itu masih ada beberapa ulama sufi yang datang ke Buton untuk
menyebarkan agama Islam di Buton diantaranya, Firus Muhammad, Said Raba, Said
Alwi, Abdullah (Mojina Kalau), dan Haji Sulaiman (Haji Pada). Agama Islam yang
masuk di Buton disebabkan karena pulau ini berada di jalur lalu lintas perdagangan
antara Makassar dan Maluku, sehingga menjadikannya bersentuhan dengan
pedagang-pedagang muslim. Kemudian dalam perkembangannya datanglah seorang
mubaligh yang berasal dari semenanjung melayu bernama Syaikh Abdul Wahid,
beliaulah yang menyebarkan Islam di Buton. Syaikh Abdul Wahid adalah termasuk
salah seorang ulama sufi yang berhasil mengislamkan kerajaan Buton sekitar
pertegahan abad ke-16 M. Ketika bertepatan dengan masa pemerintahan Raja Buton
VI Lakilaponto, sistem pemerintahan kerajaan Buton pra-Islam yaitu kesultanan.
Dengan keberhasilan misi islamisasi Abdul Wahid di Buton juga memungkinkannya
untuk datang membawa ajaran agama Islam di Muna (Haeruddin, 2020: 12).
Para penyebar Islam di masa lalu adalah merupakan ciri khas yang melekat
pada diri mereka, karena mereka memiliki tanggung jawab moral yang tinggi
terhadap usaha penyebarluasan ajaran Islam ketika itu, apalagi kalau misi di suatu
daerah itu telah berhasil. Masuknya Lakilaponto memeluk Islam menandakan babak
baru dalam sejarah sistem sosial dan budaya masyarakat Buton. Perpindahan agama
yang dilakukan oleh Lakilaponto paling tidak dapat di tinjau dari dua sudut pandang.
Pertama sudut pandang yang bersifat politisi atau yang berkaitan dengan
kondisi sosial politik nusantara pada saat itu, dan kedua adalah faktor yang berasal
dari kesadaran sang raja sendiri. Dalam kurun waktu tertentu maka menyusulah
penyebar Islam yang lain yaitu Firus Muhammad. Seorang ulama Islam kedua yang
datang di Buton sesudah Abdul Wahid, kehadiranya cukup mengembirakan karena
dia datang membantu sultan Dayanu Ikhsanuddin, menyusun naskah kitab undang-
undang Martabat Tujuh, yang isinya bukan hanya menyangkut sistem dan susunan
pemerintahan kesultanan, tetapi juga berkaitan dengan segala tatanan kehidupan
sosial kemasyarakatan, dalam bentuk moralitas Islam yang bernafaskan ajaran dan
paham kesufian (tasawuf). Dan kandungan ajaran dari Martabat Tujuh inilah yang
diajarkan oleh firus Muhammad ketika datang di Buton, dan berbagai ajaran
moralitas kehidupan Islami yang di pegang teguh oleh masyarakat Buton memiliki
ikatan pertalian yang cukup kuat.
Metode Penyiaran Islam Syekh Abdul Wahid Agama Islam yang dibawa oleh
Syekh Abdul Wahid pada mulanya dianggap ajaran baru yang sudah barang tentu
bertentangan dengan kepercayaan dan keyakinan masyarakat kala itu. Oleh sebab itu
didalam menyiarkan agama Islam Seorang Syekh Abdul Wahid harus memikirkan
sedetail mungkin strategi atau cara yang paling tepat yang harus diambil agar misi
penyiaran Islam yang diembannya berhasil yakni masyarakat mau menerima dan
masuk agama Islam. Oleh karena itu Syekh Abdul Wahid tidak hanya membutuhkan
metode yang teat untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat, akan tetapi juga
perlu kharisma dan kepercayaan masyarakat kepada orang yang membawa ajaran
tersebut. Karena beliau merupakan sosok yang sangat bijksana dan memiliki
khrisama sebagai Ulama yang sangat dihormati dan disegani, sehingga penyebaran
Islam di Burangasi dan di Buton umumnya diterima dengan baik oleh masyarakat
Buton Ketika itu. Berbeda dengan daerah-daerah lain di Nusantara, Islam
diperkenalkan oleh para saudagar atau pedagang yang singgah untuk menjajakan
dagangannya di sana. Di selasela berdagang mereka menyempatkan diri untuk
mengajarkan Islam kepada penduduk. Kenyataan itu tidak kita jumpai di Buton. Di
Buton sendiri, Syekh Abdul Wahid datang tidak untuk tujuan berdagang, malainkan
hanya untuk meyiarkan dan mengislamkan masyarakat Buton.
Kemudian berdasarkan yang dikutip dari Haeruddin (2020: 13) ada beberapa
upaya yang dilakukan oleh para penyebar Islam dalam mengembangkan agama Islam
di Buton yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Penyiaran islam dengan metode kawalimbobha, yakni kata kawalimbobha tidak
ditemukan dalam kosakata Bahasa Ciacia. Kecuali kata Bhobha yang berarti
mulut. Namun di kalangan masyarakat Burangasi terutama mendefinisikan kata
kawalimhbobha dengan istilah dari mulut ke mulut. Oleh karena itu, dalam
hubungannya dengan penyiaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Abdul Wahid,
masyarakat burangasi akrab menyebutkan dengan penyiaran Islam dari mulut ke
mulut. Kenyataan ini ada benarnya, mengingat masyarakat Burangasi ketika itu
tidak bisa membaca dan menulis, mereka hanya mengandalkan daya ingat atau
hafalan. Disamping itu Syekh Abdul Wahid dalam mengenalkan Islam kepada
masyarakat Burangasi dilakukannya dengan mengunjungi masyarakat dari rumah
ke rumah. Adapun hal-hal yang diajarkan Syekh Abdul Wahid di Burangasi
adalah; mengucapkan dua kalimat Syahadat sebagai tanda sahnya masuk dan
memeluk agama Islam, mengajarkan shalat lima waktu, mengajarkan puasa,
mengajarkan penguburan mayat, dan sunatan.
2. Pengenalan islam melalui istana, yakni salah satu upaya yang dilakukan penyebar
Islam di Buton dalam mengembangkan agama Islam adalah mereka memasuki raja
ke Istana untuk memberikan pencerahan agama, karena di Buton model
penyebarannya adalah dari atas ke bawah. Ketika raja sudah masuk Islam maka
seluruh masyarakat masuk Islam, ketundukkan dan kepatuhan kepada raja pada
waktu itu sangat kental sekali. Ketika Syekh Abdul Wahid tiba di Buton maka dia
menetap tinggal di Burangasi selama satu tahun dan dia juga berhasil
mengislamkan beberapa tokoh masyarakat yang ada di sekitar itu. Kemudian ia
melanjutkan perjalanannya ke keraton Wolio dalam rangka melanjutkan misi Islam
yang dibawahnya, dengan mendekati raja tersebut maka dia pun berhasil
melangsungkan proses islamisasi pada tingkat bawah (masyarakat). Para ulama
dalam mengembangkan dakwah Islam mereka sangat memperhatikan adat
kebiasaan masyarakatnya.
3. Menyiarkan islam dengan cara dialog, yakni masuknya atau diterimannya agama
Islam oleh para raja adalah diawali dengan dialog atau usaha diplomasi dari para
ulama pengemban Islam di Buton. Sebelum raja Lakilaponto masuk Islam, maka
proses tanya jawab selalu berlangsung antara Abdul Wahid dengan raja, sehingga
raja menjadi terpesona dengan ahlak dan prilaku yang dipertontonkan kepada raja
waktu itu sehingga tidak segan-segan langsung masuk Islam. Dalam konteks
diplomasi, ketika Syekh Abdul Wahid bertemu dengan raja Lakilaponto, maka raja
Lakilaponto terpesona dengan tutur kata, akhlak, serta prilaku Syekh tersebut,
yang sangat terpesona adalah ketika pada waktu shalat subuh seringkali dia
membaca surah Ar-Rahman pada rakaat pertama dan surat AlGhasiyah pada rakaat
kedua dengan suara yang merdu dan memukau hati raja.
4. Metode kesaktian, yakni ilmu-ilmu kesaktian para ulama selalu lebih unggul dari
ilmu para raja, dan orang-orang kharismatik lainya di kalangan kerajaan oleh
karena itu, para raja selalu mengaku kalah dan setelah itu ia masuk Islam. Artinya,
para raja rela menjadi pengikut (masuk Islam) dan ingin berguru tentang berbagai
hal kepada ulama tersebut. Hal ini dapat dilihat misalnya ketika haji pada datang di
daerah Wabula maka kesaktian yang dipertontongkan adalah ia merokok di dasar
laut tapi apinya tidak mati atau ia juga mampu salat di atas alang- alang.
Kehebatan ilmu inilah yang kemudian menarik simpati dari masyarakat untuk
masuk Islam.
F. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa proses masuknya agama islam di Buton yaitu
dengan cara seperti yang dikutib dari Alifuddin (2020: 2) secara historis agama islam
masuk pada awal abad ke-16, pada umumnya perubahan penting memang telah
terjadi dalam kehidupan orang Buton setelah mereka menerima Islam sebagai agama
resmi. Bagi orang Buton, Islam adalah sebuah realitas yang tak terelakkan, sejarah
orang Buton sebagai masyarakat yang beragama Islam berlangsung hingga saat ini.
Fakta sejarah tersebut semakin dikukuhkan dengan fakta kuantitatif umat Islam di
wilayah ini, yaitu 98,04 % dari jumlah penduduk di Buton, kemudian mengisahkan
juga penyebar agama islam di buton yaitu Syekh Abdul Wahid yang tiba di pusat
kerajaan Buton, dan sekaligus dapat meyakinkan Raja Mulae untuk menerima Islam.
Raja Mulae kemudian meminta kepada Syekh Abdul Wahid agar Buton diIslamkan
dan Buton dijadikan sebagai Negeri Kesultanan. Atas permintaan tersebut, Syekh
Abdul Wahid berangkat menuju ke Khalifahan Arab dengan tujuan meminta restu
agar Buton dijadikan sebagai negeri kesultanan, selain itu berdasarkan yang dikutip
dari Haeruddin (2020: 13) ada beberapa upaya yang dilakukan oleh para penyebar
Islam dalam mengembangkan agama Islam di Buton yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Penyiaran Islam dengan metode Kawalimbobha, yakni kata Kawalimbobha tidak
ditemukan dalam kosakata Bahasa Ciacia. Kecuali kata Bhobha yang berarti
mulut. Namun di kalangan masyarakat Burangasi terutama mendefinisikan kata
kawalimhbobha dengan istilah dari mulut ke mulut. Oleh karena itu, dalam
hubungannya dengan penyiaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Abdul Wahid,
masyarakat burangasi akrab menyebutkan dengan penyiaran Islam dari mulut ke
mulut. Kenyataan ini ada benarnya, mengingat masyarakat Burangasi ketika itu
tidak bisa membaca dan menulis, mereka hanya mengandalkan daya ingat atau
hafalan. Disamping itu Syekh Abdul Wahid dalam mengenalkan Islam kepada
masyarakat Burangasi dilakukannya dengan mengunjungi masyarakat dari rumah
ke rumah. Adapun hal-hal yang diajarkan Syekh Abdul Wahid di Burangasi
adalah; mengucapkan dua kalimat Syahadat sebagai tanda sahnya masuk dan
memeluk agama Islam, mengajarkan shalat lima waktu, mengajarkan puasa,
mengajarkan penguburan mayat, dan sunatan.
2. Pengenalan islam melalui sstana, yakni salah satu upaya yang dilakukan penyebar
Islam di Buton dalam mengembangkan agama Islam adalah mereka memasuki raja
ke Istana untuk memberikan pencerahan agama, karena di Buton model
penyebarannya adalah dari atas ke bawah. Ketika raja sudah masuk Islam maka
seluruh masyarakat masuk Islam, ketundukkan dan kepatuhan kepada raja pada
waktu itu sangat kental sekali. Ketika Syekh Abdul Wahid tiba di Buton maka dia
menetap tinggal di Burangasi selama satu tahun dan dia juga berhasil
mengislamkan beberapa tokoh masyarakat yang ada di sekitar itu. Kemudian ia
melanjutkan perjalanannya ke keraton Wolio dalam rangka melanjutkan misi Islam
yang dibawahnya, dengan mendekati raja tersebut maka dia pun berhasil
melangsungkan proses islamisasi pada tingkat bawah (masyarakat). Para ulama
dalam mengembangkan dakwah Islam mereka sangat memperhatikan adat
kebiasaan masyarakatnya.
3. Menyiarkan islam dengan cara dialog, yakni masuknya atau diterimannya agama
Islam oleh para raja adalah diawali dengan dialog atau usaha diplomasi dari para
ulama pengemban Islam di Buton. Sebelum raja Lakilaponto masuk Islam, maka
proses tanya jawab selalu berlangsung antara Abdul Wahid dengan raja, sehingga
raja menjadi terpesona dengan ahlak dan prilaku yang dipertontonkan kepada raja
waktu itu sehingga tidak segan-segan langsung masuk Islam. Dalam konteks
diplomasi, ketika Syekh Abdul Wahid bertemu dengan raja Lakilaponto, maka raja
Lakilaponto terpesona dengan tutur kata, akhlak, serta prilaku Syekh tersebut,
yang sangat terpesona adalah ketika pada waktu shalat subuh seringkali dia
membaca surah Ar-Rahman pada rakaat pertama dan surat AlGhasiyah pada rakaat
kedua dengan suara yang merdu dan memukau hati raja.
4. Metode kesaktian, yakni ilmu-ilmu kesaktian para ulama selalu lebih unggul dari
ilmu para raja, dan orang-orang kharismatik lainya di kalangan kerajaan oleh
karena itu, para raja selalu mengaku kalah dan setelah itu ia masuk Islam. Artinya,
para raja rela menjadi pengikut (masuk Islam) dan ingin berguru tentang berbagai
hal kepada ulama tersebut. Hal ini dapat dilihat misalnya ketika haji pada datang di
daerah Wabula maka kesaktian yang dipertontongkan adalah ia merokok di dasar
laut tapi apinya tidak mati atau ia juga mampu salat di atas alang- alang.
Kehebatan ilmu inilah yang kemudian menarik simpati dari masyarakat untuk
masuk Islam.

G. Saran
Berdasarkan pegertian dan deskripsi materi tentang masuknya agama islam di
Buton, semoga pembaca dapat memproleh informasi, tidak lupa memberikan koreksi
dan kritikan yang membangun terhadap penulis, sehingga penulis dapat
mengembangkan lebih jauh lagi tentang materi yang akan di tulis nantinya.
DAFTAR PUSTAKA

Alifuddin, Muhammad. 2020. Transformasi Islam dalam Sistem Sosial Budaya


Orang Buton Tinjauan Historis. Jurnal Syariah STAIN. 1-23.
Haeruddin. 2020. Syekh Abdul Wahid Pembawa Islam di Pulau Buton. Jurnal Sejarah
Fkip Unidayan Baubau. 1-17.
Ligtvoet, A. 1878. Beschrijving en Geschiedenis van Buton, BKI Vol 26. S-
Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Razak, Rahim, Abd. 2022. Kesultanan Islam Buton (Tinjauan Historis). Jurnal Al
Urwatul Wutska. 55-65.

Anda mungkin juga menyukai