Anda di halaman 1dari 145

TUGAS AKHIR – ME234802

PENILAIAN RISIKO TUBRUKAN KAPAL DI ALUR


PELAYARAN BARAT SURABAYA MENGGUNAKAN
PENDEKATAN GINI COEFFICIENT

FEBRO HELIOS JAVANICA


NRP. 5019201122

DOSEN PEMBIMBING:
A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D.
NIP 197505102000031001
Fadilla Indrayuni Prastyasari, S.T., M.SC., PH.D.
NIP. 199504122019032022

Program Sarjana
Departemen Teknik Sistem Perkapalan
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2024

i
ii
TUGAS AKHIR – ME234802

PENILAIAN RISIKO TUBRUKAN KAPAL DI ALUR


PELAYARAN BARAT SURABAYA MENGGUNAKAN
PENDEKATAN GINI COEFFICIENT

FEBRO HELIOS JAVANICA


NRP. 5019201122

DOSEN PEMBIMBING:

DOSEN PEMBIMBING:
A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D.
NIP 197505102000031001
Fadilla Indrayuni Prastyasari, S.T., M.SC., PH.D.
NIP. 199504122019032022

Program Sarjana
Departemen Teknik Sistem Perkapalan
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2024

iii
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

iv
FINAL PROJECT – ME234802

SHIP COLLISION RISK ASSESSMENT IN THE SURABAYA


WEST ACCESS CHANNEL USING THE GINI COEFFICIENT
APPROACH

FEBRO HELIOS JAVANICA


NRP. 5019201122

ADVISOR:
A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D.
NIP 197505102000031001
Fadilla Indrayuni Prastyasari, S.T., M.SC., PH.D.
NIP. 199504122019032022

Bachelor of Degree Program


Department of Marine Engineering
Faculty of Marine Engineering
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2024

v
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

vi
LEMBAR PENGESAHAN

PENILAIAN RISIKO TUBRUKAN KAPAL DI ALUR PELAYARAN BARAT SURABAYA


MENGGUNAKAN PENDEKATAN GINI COEFFICIENT

TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
Memperoleh gelar Sarjana Teknik pada
Program Studi S-1 Teknik Sistem Perkapalan
Departemen Teknik Sistem Perkapalan
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : FEBRO HELIOS JAVANICA


NRP. 5019201122

Disetujui oleh Kepala Departemen Teknik Sistem Perkapalan

Tanda tangan :
Kepala Departemen : Beny Cahyono, S.T., M.T., Ph. D
NIP : 197903192008011008
Tanggal : 7 Februari 2024

SURABAYA
FEBRUARI 2024

i
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

ii
LEMBAR PENGESAHAN

PENILAIAN RISIKO TUBRUKAN KAPAL DI ALUR PELAYARAN BARAT SURABAYA


MENGGUNAKAN PENDEKATAN GINI COEFFICIENT

PROPOSAL TUGAS AKHIR


Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
Memperoleh gelar Sarjana Teknik pada
Program Studi S-1 Teknik Sistem Perkapalan
Departemen Teknik Sistem Perkapalan
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : FEBRO HELIOS JAVANICA


NRP. 5019201122

Disetujui oleh Tim Penguji Tugas Akhir

1. A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D. Pembimbing


2. Fadilla Indrayuni Prastyasari, S.T., M.SC., Ph.D. Ko-Pembimbing
3. Prof. Dr. Ketut Buda Artana, S.T., M.Sc. Penguji
4. Raja Oloan Saut Gurning, S.T., M.Sc., Ph.D. Penguji
5. Dhimas Widhi Handani, S.T., M.Sc. Ph.D. Penguji
6. Dr. Emmy Pratiwi, S.T. Penguji
7. Taufik Fajar Nugroho, S.T., M.Sc. Penguji

SURABAYA
FEBRUARI 2024

iii
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

iv
PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama Mahasiswa/NRP : Febro Helios Javanica / 5019201122
Departemen : Teknik Sistem Perkapalan
Dosen Pembimbing : A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D.

Dengan ini menyatakan bahwa Tugas Akhir dengan judul “PENILAIAN RISIKO TUBRUKAN KAPAL
DI ALUR PELAYARAN BARAT SURABAYA MENGGUNAKAN PENDEKATAN GINI
COEFFICIENT” adalah hasil karya sendiri, bersifat orisinal, dan ditulis dengan mengikuti kaidah penulisan
ilmiah.
Bilamana di kemudian hari ditemukan ketidaksesuaian dengan persyaratan ini, maka saya bersedia
menerima sangsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Surabaya, 20 Januari 2024

Mengetahui,

Dosen Pembimbing Mahasiswa

(A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D.) (Febro Helios Javanica)
NIP. 197505102000031001 NRP. 5019201122

v
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

vi
STATEMENT OF ORIGINALITY

The undersign below:


Name of student /NRP : Febro Helios Javanica / 5019201122
Department : Teknik Sistem Perkapalan
Advisor : A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D.

Hereby declare that Final Project with the titte “ASSESSMENT OF SHIP COLLISION RISK IN THE
SURABAYA WEST ACCESS CHANNEL USING THE GINI COEFFICIENT APPROACH” is the result
of my own work, is original, and is written by following the rules of scientific writing.
If in the future there is a discrepancy with this statement, then I am willing to accept sanctions in accordance
with the provisions that apply at Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Surabaya, 20 January 2024

Acknowledged,

Advisor Student

(A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D.) (Febro Helios Javanica)
NIP. 197505102000031001 NRP. 5019201122

vii
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

viii
PENILAIAN RISIKO TUBRUKAN KAPAL DI ALUR PELAYARAN BARAT SURABAYA
MENGGUNAKAN PENDEKATAN GINI COEFFICIENT

Nama Mahasiswa / NRP : Febro Helios Javanica / 5019201122


Departemen : Teknik Sistem Perkapalan FTK – ITS
Nama Pembimbing : A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D.

Abstrak

Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, Jawa Timur sebagai pelabuhan tersibuk kedua di Indonesia menjadi
pusat utama aktivitas perdagangan dan perekonomian di kawasan timur Indonesia. Hal ini menuntut
terciptanya alur pelayaran yang efisien sebagai pintu masuk dan keluar pelabuhan. Sebuah pendekatan baru
dikenalkan untuk mengukur frekuensi tabrakan kapal di APBS, yaitu pendekatan Gini coefficient berbasis
data Automatic Identification System (AIS). Data AIS kemudian diolah untuk diambil data-data Course
Over Ground-nya (COG), lalu nilai COG tersebut akan dihitung dalam rumus Gini coefficient sebagai
pendekatan untuk mengukur ketersebaran dari nilai COG yang ada, kemudian, pengelompokan nilai Gini
Coefficient menggunakan Hierarchial Clustering menghasilkan klaster pertama yang terdiri dari leg
1,2,3,4, dan 6, klaster kedua terdiri dari leg 8 dan leg 7, klaster ketiga yang terdiri dari leg 5 dan 10, sebagai
yang paling akhir, klaster keempat diisi dengan leg 9. Klasterisasi tersebut kemudian divalidasi
kedekatannya dengan cophenetic correlation yang bernilai 0.90484, nilai tersebut dapat diartikan bahwa
hubungan antar tiap klaster sangatlah baik. Langkah selanjutnya adalah melakukan karakterisasi yang
menghasilkan level risiko “extremely remote” pada klaster 1,2, dan 4, namun pada klaster 3 memiliki level
risiko “remote”, penilaian tersebut menggunakan frekuensi indeks dari IMO. Pada penelitian ini, dipilihlah
software IWRAP sebagai alat bantu perhitungan frekuensi kecelakaan kapal. Setelah semua perhitungan
dilakukan, dibuatlah daerah-daerah di APBS menjadi beberapa bagian tertentu dan ditandai sesuai dengan
warna tingkat risikonya yang menghasilkan perbedaan, pada leg 4 perhitungan menggunakan IWRAP
memiliki level risiko “remote” sementara pada karakterisasi perhitungan menggunakan koefisien Gini,
level risiko yang berada pada level “remote” berada pada leg 10 dan leg 5. Rekomendasi berupa
pengurangan frekuensi tubrukan kapal melalui variable geometris dan juga nilai probabilitas kausalitas
yang ada pada Alur Pleayaran Barat Surabaya harus diberikan apabila nilai frekuensi tubrukan kapal
melebihi standar UK HSE.

Kata Kunci: AIS, COG, Cophenetic correlation, Gini coefficient, Hierarchial Clustering.

ix
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

x
ASSESSMENT OF SHIP COLLISION RISK IN SURABAYA WESTERN ACCESS CHANNEL
UTILIZING THE GINI COEFFICIENT APPROACH

Nama Mahasiswa / NRP : Febro Helios Javanica / 5019201122


Department : Department of Marine Engineering– ITS
Advisor : A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D.

Abstract

The Tanjung Perak Port in Surabaya, East Java, as the second busiest port in Indonesia, serves as a primary
hub for trade and economic activities in the eastern region. The demand for efficient navigation routes as
entry and exit points necessitates innovative approaches. A novel methodology employing the Gini
coefficient based on Automatic Identification System (AIS) data was introduced to assess ship collision
frequencies in the port area. AIS data was processed to extract Course Over Ground (COG) values, which
were then subjected to Gini coefficient calculations, measuring the dispersion of COG values. Hierarchical
clustering grouped COG values into four clusters: the first comprised legs 1, 2, 3, 4, and 6, the second
included legs 8 and 7, the third involved legs 5 and 10, and the fourth comprised leg 9. Cluster proximity
validation, indicated by a cophenetic correlation of 0.90484, signified excellent relationships between
clusters. Subsequent risk characterization classified clusters 1, 2, and 4 as "extremely remote" risk levels,
while cluster 3 was deemed "remote," based on IMO frequency index assessments. IWRAP software
facilitated accident frequency calculations, revealing discrepancies in risk levels across different areas in
the port. Notably, while IWRAP assigned a "remote" risk level to leg 4, the Gini coefficient characterization
indicated "remote" risk levels for legs 10 and 5. Recommendations for reducing ship collision frequency
through variable geometry and causal probability values in the Western Shipping Lane of Surabaya should
be provided if the ship collision frequency exceeds UK HSE standards.

Keywords: AIS, COG, Cophenetic Correlation, Gini coefficient, Hierarchial Clustering.

xi
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

xii
KATA PENGANTAR

Terimakasih kepada semesta yang selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan tugas
akhir dengan judul “PENILAIAN RISIKO TUBRUKAN KAPAL DI ALUR PELAYARAN
BARAT SURABAYA MENGGUNAKAN PENDEKATAN GINI COEFFICIENT”. Tugas akhir
ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi kesarjanaan S-1 di Departemen Teknik
Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya tugas
akhir ini, yaitu:
1. A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D. selaku dosen pembimbing pertama yang telah
menghabituasi penulis dalam lingkungan laboratorium, memberikan arahan, kritik, dan juga saran
yang membangun sehingga peulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan maksimal.
2. Fadilla Indrayuni Prastyasari, S.T., M.Sc., Ph.D. selaku dosen pembimbing kedua yang
konsisten memberikan arahan, kritik, saran, dan acapkali dukungan berupa konsumsi yang
membangun untuk mengembangkan pola pikir sehingga dapat menghasilkan tugas akhir
yang maksimal.
3. Drs. Seto Wardono selaku papa yang membentuk mental penulis menjadi seperti sekarang
dan juga donatur utama bagi penulis yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan
dalam bentuk apapun, kasih sayang, serta pengorbanan untuk penulis sehingga dapat
menyelesaikan tugas akhir ini.
4. Dra. Ery Tri Poernamawati selaku mama yang selalu menjaga kesehatan penulis dan juga
donator utama bagi penulis yang senantiasa memberi anjuran tata cara hidup, kasih sayang,
serta pengorbanan untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Sito Fossy Biosa S.Sn., M.Sn. sebagai kakak yang selalu memberikan bahan bakar untuk
berkompetisi sehingga penulis enggan berhenti berusaha.
6. Prof. Dr. Ketut Buda Artana, S.T., M. Sc., A.A.B. Dinariyana Dwi P., S.T., MES., Ph.D.,
Raja Oloan Saut Gurning, S.T., M.Sc., Ph.D., Dr. Eng. Dhimas Widhi Handani, S.T.,
M.Sc., Dr. Emmy Pratiwi, S.T., Taufik Fajar Nugroho, S.T., M.Sc. selaku dosen di lab
RAMS yang memberikan pengalaman belajar dan juga motivasi bagi penulis.
7. Dea Saraswati yang sudah mengajarkan metode hierarchial clustering pada penulis.
8. Galang, Maul, dan semua kawan-kawan di laboratorium RAMS yang juga memberikan
dukungan dan bantuan selama proses penyelesaian tugas akhir ini.
9. Seorang perempuan yang bernama Lintang Ayu Trahhutami Wahyusiwi.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih terdapat kekurangan, oleh
karena itu saran dan kritik sangat diharapkan sebagai bahan penyempurnaan laporan selanjutnya.
Surabaya, Januari 2024

Penulis

xiii
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

xiv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................iii


APPROVAL SHEET ........................................................ Error! Bookmark not defined.
PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................................................... v
STATEMENT OF ORIGINALITY ..................................................................................vii
Abstrak ............................................................................................................................ ix
Abstract ............................................................................................................................ xi
KATA PENGANTAR ......................................................................................................xiii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ...........................................................................................................xvii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xix
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2
1.4 Batasan Masalah........................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3
BAB 2 DASAR TEORI ...................................................................................................... 5
2.1 State-of-The-Art of Risk Assesment of Ship Collision. ............................... 5
2.2 Automatic Identification System (AIS)........................................................ 9
2.3 Alur Pelayaran Barat Surabaya .................................................................. 10
2.4 Pengetahuan Umum Tentang Kecelakaan Kapal ....................................... 12
2.4.1 Kecelakaan Transportasi Laut.......................................................... 12
2.5 Dasar Teori Risiko ..................................................................................... 13
2.5.1 Penilaian Risiko Tubrukan Kapal .................................................... 14
2.6 Metode-Metode untuk Menghitung Frekuensi Tubrukan kapal ................. 14
2.6.1 Gini Coefficient ................................................................................ 14
2.6.2 Quantitative Risk Assesment ............................................................ 15
2.6.3 Metode IWRAP untuk Menghitung Frekuensi Tubrukan Kapal ..... 15
2.7 Risk Representation ................................................................................... 16
2.8 Hierarchial Cluestering .............................................................................. 17
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 19
3.1 Diagram Alur Penelitian............................................................................. 19
3.2 Pengambilan Data Raw AIS Message ........................................................ 20
3.3 Pemrosesan Data Raw AIS Message ......................................................... 21
3.4 Pemetaan Densitas dan Penentuan Leg ...................................................... 22
3.5 Gini Coefficient .......................................................................................... 23
3.6 Hierarchial Clustering ................................................................................ 24
3.7 Cophenetic Corellation............................................................................... 25
3.8 Karakterisasi ............................................................................................... 26
3.9 Detail Langkah Perhitungan Frekuensi Menggunakan Software IWRAP . 26
3.10 Perbandingan Metode koefisien Gini dengan IWRAP............................... 31
3.11 Rekomendasi Mitigasi ................................................................................ 31
3.12 Jadwal Penelitian ........................................ Error! Bookmark not defined.
BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 33
4.1 Pengambilan Data ...................................................................................... 33
4.2 Perhitungan Frekuensi Menggunakan IWRAP .......................................... 36
4.3 Pemrosesan Data ........................................................................................ 37
4.3.1 Filtrasi dan Konversi Data ............................................................... 38
4.3.2 Pengurutan DataFrame .................................................................... 38

xv
4.3.3 Interpolasi Data ................................................................................ 38
4.3.4 Pembagian Leg ................................................................................. 41
4.3.5 Perhitungan Koefisien Gini .............................................................. 43
4.3.6 Hierarchial Clustering ...................................................................... 45
4.3.7 Karakterisasi Level Risiko ............................................................... 48
4.3.8 Rekomendasi .................................................................................... 51
4.4 Perbandingan Risiko IWRAP dengan Koefisien Gini................................ 52
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 55
5.1 Kesimpulan................................................................................................. 55
5.2 Saran .......................................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 57
LAMPIRAN ...................................................................................................................... 59

xvi
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Arus Lalu Lintas Kapal Pada APBS.......................................................................................... 11


Tabel 2. 2 Initial Ranking of Accident Scenarios ....................................................................................... 17
Tabel 3. 1 Informasi yang dibawa oleh AIS message ................................................................................ 22
Tabel 3. 2 Jadwal Penelitian ........................................................................ Error! Bookmark not defined.
Tabel 4. 1 Nilai Frekuensi Pada Setiap Jenis Tubrukan Kapal .................................................................. 36
Tabel 4. 2 Karakterisasi Level Risiko berdasarkan Klasterisasi Koefisien Gini. ....................................... 48

xvii
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

xviii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Alur Lalu Lintas Kapal di Selat Madura ................................................................................ 1


Gambar 2. 1 Tipe Tubrukan Kapal ............................................................................................................. 5
Gambar 2. 2 Alur Pelayaran Barat Surabaya ............................................................................................ 11
Gambar 2 3 Acceptance criteria for individual risk based (UK HSE, no date) ......................................... 16
Gambar 3. 1 Alur Penelitian ....................................................................................................................... 19
Gambar 3. 2 NMEA Message dari raw AIS data ...................................................................................... 21
Gambar 3. 3 Density Plot untuk interval 1 Tahun beserta leg yang telah ditentukan ................................ 23
Gambar 3. 4 Menu Leg Editor tab General pada IWRAP ......................................................................... 27
Gambar 3. 5 Menu Leg Editor tab distribution pada IWRAP .................................................................... 28
Gambar 3. 6 Menu Leg Editor tab causation factor pada IWRAP ............................................................ 29
Gambar 3. 7 Menu Leg Editor tab traffic pada IWRAP............................................................................. 30
Gambar 3. 8 Menu Leg Editor tab drifting pada IWRAP .......................................................................... 30
Gambar 4. 1 AIS Raw Messages yang Terkompilasi dalam File Teks ...................................................... 34
Gambar 4. 2 Data Sebaran Waktu yang Terekam dalam Raw AIS Message ............................................. 35
Gambar 4. 3 Leg yang Telah Dibuat Berdasarkan Density Plot................................................................. 36
Gambar 4. 4 Hasil Perhitungan Frekuensi pada Tipe Tubrukan Overtaking ............................................. 37
Gambar 4. 5 Hasil Plot Area Menggunakan Python .................................................................................. 38
Gambar 4. 6 Kode yang Digunakan untuk Perumusan Interpolasi ............................................................ 39
Gambar 4. 7 Data CSV yang catatan waktunya tidak lengkap ................................................................... 40
Gambar 4. 8 Hasil Interpolasi pada 1 Minggu pertama di Bulan Agustus ................................................. 40
Gambar 4. 9 Kode untuk Melakukan Pemetaan Area ................................................................................ 41
Gambar 4. 10 Plot Leg 1 Menggunakan Python......................................................................................... 41
Gambar 4. 11 Kode yang Digunakan untuk Memfilter Data Interpolasi berdasarkan Leg yang Sudah
Dipetakan. .................................................................................................................................................. 42
Gambar 4. 12 Kode untuk Perhitungan Gini yang Efisien. ........................................................................ 43
Gambar 4. 13 Kode Perhitungan Koefisien Gini untuk Seluruh Leg yang Sudah Dibagi.......................... 44
Gambar 4. 14 Nilai Koefisien Gini Pada Setiap Leg. ................................................................................. 45
Gambar 4. 15 Pustaka untuk Melakukan Hierarchia; Clustering menggunakan Python ........................... 45
Gambar 4. 16 Kode untuk melakukan Hierarchial Clustering ................................................................... 46
Gambar 4. 17 Dendogram dari Hierarchial Clustering berdasarkan Nilai COG Kapal Pada Setiap Leg. . 47
Gambar 4. 18 Distribusi Frekuensi COG dari Kapal pada Klaster Pertama .............................................. 48
Gambar 4. 19 Distribusi Frekuensi COG dari Kapal pada Klaster Kedua ................................................. 49
Gambar 4. 20 Distribusi Frekuensi COG dari Kapal pada Klaster Ketiga ................................................. 50
Gambar 4. 21 Distribusi Frekuensi COG dari Kapal pada Klaster Ketiga ................................................. 51
Gambar 4. 22 Plot Warna Berdasarkan Level Risiko yang Dihitung Menggunakan IWRAP ................... 52
Gambar 4. 23 Plot Warna Berdasarkan Level Risiko yang Dihitung Menggunakan Koefisien Gini ........ 52

xix
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

xx
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelabuhan Tanjung perak, Surabaya, Jawa Timur, memiliki peranan yang besar dalam aktifitas
ekspor impor dan perdagangan nasional jalur laut. Pelabuhan Tanjung Perak sebagai pelabuhan tersibuk
kedua yang ada di Indonesia memberikan gambaran bahwa pusat aktifitas perdagangan dan perekonomian
bertumpu pada laut, khususnya yang menopang kawasan timur Indonesia. Terdapat setidaknya 30 rute
pelayaran peti kemas domestik dari dan ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, dengan adanya 11
perusahaan pelayaran yang berpusat di Surabaya, menurut Arfian (2017). Banyaknya aktifitas perdagangan
dan perekonomian yang berputar di Tanjung Perak mengharuskan terciptanya alur pelayaran yang
merupakan salah satu hal penting sebagai akses keluar dan masuk pelabuhan.
Penyelenggaraan alur pelayaran di Indonesia menjadi tanggung jawab dari pemerintah yang harus
dilakukan dengan baik sebagai upaya untuk mendukung kelancaran dan efektifitas operasional pelabuhan
secara menyeluruh. Alur Pelayaran Barat Surabaya merupakan alur vital bagi lalu lintas Pelabuhan Tanjung
Perak Surabaya serta pelabuhan lain disekitarnya, yang dikenal dengan sebutan Greater Surabaya. Menurut
catatan Pelindo III, jumlah kapal yang melalui Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) selama tahun 2016
sebanyak 1.105 unit atau setara dengan total bobot kapal yang mencapai lebih dari 27 juta gros ton. Pada
tahun 2017 tercatat meningkat dengan jumlah kapal sebanyak 2.857 unit atau setara dengan lebih dari 53
juta gros ton bobot kapal. Sehingga mencatatkan peningkatan 158,5% year on year (yoy) untuk arus kapal
dan 96,3% (yoy) untuk bobot kapal.

Gambar 1. 1 Alur Lalu Lintas Kapal di Selat Madura


Sumber: (marinetraffic.com, 2023)

Pada Gambar 1.1 diatas merupakan ilustrasi dari padatnya aktifitas perdagangan yang ada dari
ataupun menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dengan terdapat setidaknya 30 rute pelayaran (Pelindo
III, 2016). Berdasarkan penjelasan Kepala Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak, Capt. Hari
Setyobudi, MM. pada 26 April 2017, Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) merupakan alur pelayaran
yang menghubungkan kapal-kapal yang akan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak dari Laut Utara Jawa.
Adanya APBS tidak serta-merta dapat mengeliminasi adanya risiko tubrukan kapal. Melansir dari
(Kompas.com, 2021) kecelakaan kapal terjadi di APBS pada Sabtu 23 Januari 2021. Berdasarkan informasi
yang dihimpun dari Direktorat Polair Polda Jawa Timur, kecelakaan terjadi antara Kapal Motor (KM) Tanto
Bersinar dengan Tug Boat (TB) Mitra Jaya XIX yang sedang menggandeng kapal tongkang (TK) Makmur
Abadi V. Dinyatakan bahwa sebanyak 5 orang ABK hilang. Kecelakaan lain yang menimpa Kapal Motor
Wihan Sejahtera, merupakan dampak dari ramainya lalu lintas pelayaran Alur Pelayaran Barat Surabaya
(APBS) menyebabkan adanya tumpahan minyak yang mencemari laut. Kemudian, pada tanggal 6

1
Desember 2021 sekitar pukul 05.07 WIB di perairan sekitar Buoy 5 Alur Pelayaran Barat Surbaya juga
terjadi tubrukan kapal antara TSHD HAM 311 dan MT Crane Vesta (Mahkamah Pelayaran, 2023).
Sejak tahun 1967, pemberlakuan rute kapal telah banyak diterapkan di perairan yang sibuk. Sebagai
langkah pengendalian yang efektif, rute kapal berkontribusi secara signifikan dalam meningkatkan
keselamatan navigasi dan meningkatkan efisiensi lalu lintas laut. Namun, rute kapal tidak dapat sepenuhnya
menghilangkan konflik lalu lintas laut dan tabrakan kapal. Sebagai contoh, pemberlakuan rute kapal dapat
menyebabkan lalu lintas berkumpul di Area Kewaspadaan / Precautionary Area (PA) di mana kepadatan
dan kompleksitas lalu lintas dapat meningkat (Li et al., 2015); masih ada beberapa kapal yang
menyeberangi zona pemisahan lalu lintas atau garis pemisahan karena beberapa alasan. Dengan
meningkatnya perdagangan dan jumlah kapal di dunia, kepadatan lalu lintas meningkat seiring dengan
risikonya (Zhang et al., 2021). Penentuan rute kapal dan skema pemisahan lalu lintas dirumuskan setelah
melakukan survei laut yang luas dan berkonsultasi dengan kapten kapal yang mengenal daerah tersebut,
serta berbagai spesialis kelautan di daratan (Qu et al., 2011). Namun, penilaian subjektif dari para ahli gagal
memberi peringatan secara kualitatif kepada kapal-kapal yang datang mengenai rute mana yang memiliki
risiko tinggi atau memberi saran kepada otoritas administratif tentang tempat di mana langkah-langkah
pengurangan risiko harus dilakukan. Oleh karena itu, masalah risiko tabrakan kapal tetap menjadi isu serius
yang menarik perhatian luas dari semua pihak. Oleh karena itu, penting untuk menyajikan suatu pendekatan
untuk menilai secara kuantitatif risiko tabrakan kapal di daerah rute kapal guna mendukung penilaian-
penilaian tersebut (Li et al., 2015).
Dalam Penelitian ini, sebuah metode koefisien Gini berbasis data AIS diusulkan sebagai perspektif
baru untuk mengkuantifikasi risiko tabrakan di perairan pelayaran kapal. Data AIS yang digunakan berupa
data Course Over Ground (COG). Menurut hemat saya COG adalah arah sebenarnya dari kemajuan sebuah
kapal, antara dua titik, mengenai permukaan bumi. Menurut penelitian dari (Lin dkk, 2023), COG dapat
merepresentasikan ketertiban di alur pelayaran dan juga dapat digunakan untuk memperkirakan adanya
potensi tubrukan kapal. Dibandingkan dengan metode lain dan dimensi lainnya (misalnya jarak, aliran,
kepadatan, dll.), metode ini memiliki keunggulan kesederhanaan, akurasi, dan kekokohan dalam
mengevaluasi risiko tabrakan kapal dari data AIS secara keseluruhan dalam area tertentu, tanpa
mempertimbangkan perbedaan antara periode yang berbeda Lin, dkk. (2023). Pada penelitian yang
dilakukan oleh (Okunev, 1989), Okunev secara empiris membandingkan model Extended Mean Gini
(EMG) dengan model varian rata-rata terkait pembentukan garis depan efisien, harga aset modal, kinerja
portofolio, dan perencanaan pertanian dalam kondisi ketidakpastian Hasil utama dari penelitian tersebut
adalah bahwa koefisien Gini yang diperluas merupakan alternatif yang layak untuk sebagai ukuran risiko.

1.2 Rumusan Masalah

Tugas akhir ini memiliki beberapa rumusan masalah yang meliputi:


1. Bagaimana kerangka kerja untuk menilai risiko tubrukan kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya
dengan pendekatan Gini coefficient menggunakan data COG-AIS?
2. Bagaimana cara mengelompokkan tingkatan risiko tubrukan kapal di Alur Pelayaran Barat
Surabaya dengan menggunakan metode Hierarchial clustering?
3. Bagaimana cara memvalidasi risiko tubrukan kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya dengan
IWRAP?
4. Apa saja rekomendasi yang dapat diberikan apabila frekuensi tubrukan kapal di Alur Pelayaran
Barat Surabaya melebihi batas standar UK HSE?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari tugas akhir ini adalah:


1. Mengetahui cara untuk menilai risiko tubrukan kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya dengan
pendekatan Gini coefficient menggunakan data COG-AIS.

2
2. Menampilkan cara untuk mengelompokkan tingkatan risiko tubrukan kapal di Alur Pelayaran
Barat Surabaya dengan metode Hierarchial clustering.
3. Menunjukkan cara memvalidasi risiko kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya dengan IWRAP.
4. Memberikan rekomendasi mitigasi yang dapat diberikan apabila frekuensi tubrukan kapal di
Alur Pelayaran Barat Surabaya melebihi batas standar UK HSE.

1.4 Batasan Masalah

1. Penelitian ini menggunakan data AIS di APBS pada bulan Agustus 2023.

1.5 Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini akan ada beberapa manfaat yang dapat diberikan seperti berikut:
1. Manfaat pada disiplin ilmu adalah menyediakan pendekatan baru untuk mengevaluasi risiko
kecelakaan kapal pada rute kapal dan juga ekspansi dari kegunaan koefisien Gini untuk
penelitian serupa.
2. Hasil perhitungan dapat digunakan sebagai informasi tambahan bagi pihak-pihak yang ikut andil
dalam pemanduan lalu lintas dan operasional pelayaran di perairan APBS.
3. Penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi dan buah pikir untuk penelitian-penilitan
selanjutnya serta menjadi contoh untuk melakukan evaluasi risiko yang serupa di rute pelayaran
yang lain.

3
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

4
BAB 2

DASAR TEORI

2.1 State-of-The-Art of Risk Assesment of Ship Collision.

Penelitian tentang kecelakaan maritim telah dilakukan selama beberapa dekade serta dalam
cakupan yang luas karena dampak serius yang ditimbulkannya. Banyak peneliti yang telah menganalisis
kecelakaan yang terjadi dalam transportasi maritim. Apabila dikerucutkan, kecelakaan kapal, khususnya
tubrukan merupakan salah satu yang paling sering dibahas dikarenakan banyak faktor dengan kompleksitas
tinggi yang dapat menyebabkan kejadian ini. (Prastyasari dan Shinoda, 2021).
Tubrukan kapal adalah benturan atau tumbukan antara dua buah kapal yang bergerak dan dapat
menimbulkan bahaya keselamatan nyawa manusia yang ada di dalam kapal (injuries fatalities), kerusakan
lingkungan (pollutions), dan kerugian akibat kerusakan muatan yang diangkut kapal (Kristiansen, 2005).
Tubrukan antara dua kapal merupakan salah satu jenis kecelakaan kapal yang seringkali terjadi. Tubrukan
ini membawa risiko tinggi dan dapat mengakibatkan kerugian, tergantung pada bagian kapal yang terlibat
dalam tubrukan. Sebagai contoh, ketika sebuah kapal menabrak dari sisi bow, energi tubrukan tersebut akan
diserap oleh sekat tubrukan kapal. Pada kondisi tersebut, peluang kapal tenggelam cenderung lebih kecil.
Akan tetapi pada saat tubrukan terjadi di sisi samping kapal, risiko kehilangan stabilitas akan meningkat
secara signifikan, bahkan dapat menyebabkan kapal tenggelam. Berdasarkan Regulations for Preventing
Collisions at Sea (COLREG), terdapat 3 tipe tubrukan antar kapal yang mungkin terjadi:

Gambar 2. 1 Tipe Tubrukan Kapal


(Sumber: Yu Dong dan M. Frangopol, 2015)

5
a. Head-on collision
Yaitu keadaan dimana tubrukan terjadi ketika dua kapal mendekat dengan posisi saling
berhadapan dalam arah yang berlawanan sehingga tubrukan terjadi di bagian haluan kapal.
Kejadian ini sering terjadi di tempat yang lalu lintas pelayarannya padat. Head-on collision
dapat memiliki konsekuensi serius karena energi kinetik kedua kapal akan bertemu secara
langsung. Dalam kasus head-on collision, dampak terjadi di bagian bow (haluan) kedua kapal.
Kecepatan yang relatif tinggi antara kedua kapal dapat menghasilkan kerusakan besar, serta
memiliki kemungkinan menyebabkan keretakan, kerusakan struktural, atau bahkan
tenggelamnya kapal apabila tidak ditangani dengan cepat dan efektif.
b. Crossing collision
Yaitu tubrukan yang terjadi ketika dua atau lebih kapal bertemu pada sebuah persimpangan pada
waktu yang sama, sehingga salah satu kapal menubruk kapal lain di bagian midship-nya. Untuk
menghindari tubrukan dapat dilakukan dengan melakukan perubahan kecepatan, arah, atau
tindakan lain yang diperlukan untuk memastikan keselamatan kedua kapal dan mencegah
potensi risiko tubrukan di laut. Selain itu pencegahan crossing collision dapat dilakukan dengan
cara salah satu kapal harus memberi tanda pada kapal lain untuk lewat terlebih dahulu.
c. Overtaking collision
Yaitu keadaan dimana kapal berjalan berdekatan pada arah yang sama namun dalam kecepatan
berbeda dengan maksud untuk menyalip. Kapal yang memiliki kecepatan lebih tinggi
seharusnya memberikan cukup ruang dan memastikan bahwa overtaking dilakukan dengan
memperhatikan faktor keselamatan. Kapal yang kecepatannya lebih lambat juga memiliki
kewajiban untuk mempertahankan lajur dan kecepatan, serta memberikan ruang agar overtaking
dapat dilakukan tanpa risiko tubrukan. Kapal yang akan melakukan overtaking harus
mempertimbangkan kondisi cuaca, jarak pandang, dan faktor-faktor navigasi lainnya untuk
menghindari situasi yang berpotensi berbahaya. Komunikasi antara kapal yang melakukan
overtaking dan kapal yang dilampaui juga merupakan salah satu faktor penting untuk
memastikan keselamatan pelayaran.
Pendekatan kuantitatif diperlukan dalam melakukan penilaian risiko kecelakaan kapal pada Area
Pelayaran Bersama (APBS). Kepentingan penelitian semacam ini terhadap keselamatan lalu lintas maritim
memunculkan berbagai pendekatan kuantitatif yang telah diusulkan untuk mengevaluasi risiko kecelakaan
kapal di jalur pelayaran. Mulanya, Fujii dan Shiobara memulai upaya ini pada tahun 1997 dengan
melakukan penelitian mendalam terkait analisis lalu lintas maritim. Mereka menyajikan suatu kerangka
kerja di mana jumlah tabrakan (Ncol) dalam suatu interval waktu (T) di dalam area jalur perairan (S), saat
kedua kapal berlayar dengan lintasan acak, memiliki korelasi dengan diameter tabrakan geometris. Rumus
matematis yang dihasilkan dari penelitian ini menjadi sebuah landasan penting untuk penilaian risiko
kecelakaan kapal di APBS serta dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan
metodologi penelitian selanjutnya. Pendekatan kuantitatif semacam ini menjadi dasar penting untuk
meningkatkan pemahaman terhadap faktor-faktor risiko dan perbaikan keselamatan lalu lintas maritim
secara keseluruhan. Perumusan dari jumlah tabrakan dan dapat dituliskan sebagai berikut.

(2.1)

Dimana 𝜌1 dan 𝜌2 mewakili kepadatan lalu lintas dari masing-masing kapal yang dapat diestimasi
dengan Persamaan 2.2, P adalah faktor probabilitas, D adalah diameter tabrakan geometris, dan 𝑉1 serta 𝑉2
menggambarkan kecepatan masing-masing kapal.

6
(2.2)

𝑄 adalah volume lalu lintas yang diamati, 𝑊 adalah lebar saluran, dan 𝑉 adalah kecepatan sebuah
kapal.
Seiring berjalannya waktu, penelitian dalam kajian risiko semakin berkembang pesat, khususnya
dalam mengadopsi pendekatan kualitatif. Sebagai ilustrasi, metode-metode seperti Distance to the Closest
Point of Approach (DCPA) dan Time to the Closest Point of Approach (TCPA) telah menjadi pelopor dalam
upaya pemahaman dan penilaian risiko di lingkungan maritim. Metode DCPA dan TCPA berfokus pada
elemen-elemen kritis dalam mengukur risiko tabrakan kapal. Distance to the Closest Point of Approach
(DCPA) mengukur jarak terdekat antara dua kapal yang bergerak, sementara Time to the Closest Point of
Approach (TCPA) memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk mencapai titik terdekat tersebut. Kedua
metode ini memberikan gambaran yang sangat berharga tentang potensi risiko tabrakan dan memungkinkan
perbandingan kualitatif terhadap skenario berbeda. Pendekatan kualitatif semacam ini memiliki keunggulan
dalam memberikan perspektif yang mendalam terhadap aspek-aspek penting dari risiko kapal. Dengan
menggunakan teknik-teknik ini, penelitian risiko dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap
perbaikan kebijakan keselamatan maritim dan pengembangan strategi pencegahan yang lebih efektif. Oleh
karena itu, evolusi terus-menerus dalam pendekatan kualitatif menjadi kunci untuk meningkatkan
pemahaman dan manajemen risiko di sektor maritim. (Prastyasari dan Shinoda, 2021), mengambil
pendekatan untuk mengevaluasi risiko tabrakan kapal di kanal, dengan berfokus pada analisis kecelakaan
near-miss di area skema pemisahan lalu lintas Selat Sunda. Dalam penelitiannya, mereka melakukan
perhitungan dengan mengidentifikasi jumlah titik posisi kapal di area target dan mengevaluasi kasus-kasus
yang dapat dikategorikan sebagai kecelakaan near-miss. Proses ini didasarkan pada ambang batas Distance
to the Closest Point of Approach (DCPA) dan Time to the Closest Point of Approach (TCPA) yang diambil
dari penelitian sebelumnya. Melalui penyesuaian ambang batas ini, penelitian tersebut memadukan konsep
DCPA dan TCPA untuk konteks Selat Sunda, memberikan wawasan yang lebih akurat tentang risiko
tabrakan kapal di wilayah tersebut. Selain itu, terdapat bentuk pengembangan dalam ilmu penilaian risiko
tabrakan kapal, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan berbasis data Automatic Identification
System (AIS). Pendekatan ini memanfaatkan data AIS untuk mendapatkan informasi yang lebih real-time
dan terinci mengenai pergerakan kapal di perairan tertentu. Dengan demikian, penelitian yang berbasis AIS
dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami dan memitigasi risiko tabrakan kapal,
sejalan dengan kemajuan teknologi dan metode penelitian dalam bidang ini. (Qu, dkk., 2011) membuktikan
bahwa pemanfaatan data Automatic Identification System (AIS) memberikan kontribusi signifikan dalam
analisis risiko tabrakan kapal. Dalam penelitian tersebut, mereka menggunakan data AIS untuk menghitung
tiga indeks risiko tabrakan kapal yang penting, yakni indeks dispersi kecepatan, derajat percepatan dan
perlambatan, serta jumlah tumpang tindih domain kapal. Pendekatan ini memungkinkan pembentukan
empat segmen pelayaran di Selat Singapura yang memiliki tingkat risiko tabrakan kapal yang tinggi. Indeks
dispersi kecepatan memberikan gambaran tentang sejauh mana kecepatan kapal tersebar di sekitar posisi
yang dilaporkan. Derajat percepatan dan perlambatan mengukur tingkat perubahan kecepatan kapal,
sementara jumlah tumpang tindih domain kapal menunjukkan sejauh mana kapal-kapal tersebut berpotensi
bersinggungan dalam suatu wilayah tertentu. Penggunaan data AIS dalam perhitungan indeks risiko
tabrakan ini memungkinkan penilaian risiko yang lebih akurat dan kuantitatif di Selat Singapura. Dengan
demikian, penelitian ini memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan metode analisis risiko
tabrakan kapal yang dapat diaplikasikan dalam perairan yang padat lalu lintas. (Wu, dkk., 2016)
menunjukkan penerapan data Automatic Identification System (AIS) dalam memahami frekuensi berbagai
jenis konflik kapal di jalur penting di Texas Selatan. Dengan menggunakan data AIS, penelitian tersebut
mencoba merefleksikan dan mengevaluasi risiko tabrakan kapal di jalur tersebut melalui analisis frekuensi
konflik yang terjadi. Selain pendekatan menggunakan data AIS, beberapa metode lain juga digunakan untuk
menilai risiko tabrakan kapal, seperti metode jaringan Bayesian, comprehensive safety evaluation method,
metode analisis hierarkis, serta metode-metode lainnya. Metode-metode ini menyajikan pendekatan yang
beragam dalam mengevaluasi dan mengukur risiko tabrakan kapal dengan mempertimbangkan berbagai
faktor yang relevan. Kontribusi positif dari metode-metode tersebut menghasilkan penelitian lebih lanjut
dalam bidang penilaian risiko tabrakan kapal. Dengan adanya pendekatan yang beragam, para peneliti dapat

7
memilih metode yang paling sesuai dengan tujuan penelitian dan karakteristik wilayah pelayaran tertentu.
Dengan demikian, penelitian ini menegaskan bahwa integrasi data AIS dan metode penilaian risiko yang
beragam dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam terkait risiko tabrakan kapal di jalur
pelayaran yang penting.
(Lou dan Shin, 2019) melakukan tinjauan literatur komprehensif tentang penelitian kecelakaan laut.
Dalam pengkajian mereka, sebanyak 572 artikel yang dipublikasikan dalam 125 jurnal antara tahun 1965
hingga 2014 dianalisis secara teliti. Temuan mereka mengungkapkan dinamika perkembangan penelitian
kecelakaan maritim selama setengah abad terakhir. Dalam rentang waktu tersebut, terjadi pergeseran fokus
penelitian yang signifikan. Awalnya, penelitian cenderung terpusat pada aspek arsitektur kapal, namun
seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran menuju penelitian yang lebih mendalam terhadap faktor
kesalahan manusia. Mereka menyimpulkan bahwa penelitian kecelakaan laut memiliki kecenderungan
untuk terus berkembang dengan memasukkan aspek-aspek sosial-ekonomi sebagai variabel yang
signifikan. Mereka juga mencermati bahwa paradigma penelitian kecelakaan laut di masa depan
kemungkinan akan bersifat multidisiplin atau menggabungkan berbagai disiplin ilmu. Penggunaan berbagai
sumber data dan penerapan metode penelitian yang lebih canggih juga dianggap sebagai tren mendatang.
Tinjauan literatur ini tidak hanya merefleksikan sejarah penelitian kecelakaan laut, tetapi juga memberikan
landasan bagi pengembangan metodologi penelitian di masa depan. (Wang, dkk., 2021) bertujuan untuk
merinci dan memahami hubungan antara tingkat keparahan kecelakaan maritim dengan berbagai faktor
yang memengaruhinya. Mereka mencapai tujuan ini dengan menganalisis laporan investigasi kecelakaan
yang terjadi di seluruh dunia dalam rentang waktu dari tahun 2014 hingga 2019. Temuan signifikan dari
penelitian ini memberikan wawasan terkait dengan faktor-faktor yang dapat memperburuk keparahan
kecelakaan maritim. Menurut hasil penelitian, pelaut yang memiliki pengetahuan teoritis yang kurang
memadai dan pengalaman laut yang terbatas cenderung lebih sering terlibat dalam kecelakaan dengan
konsekuensi serius. Temuan ini mencerminkan pentingnya pendidikan dan pengalaman dalam
meningkatkan keselamatan pelayaran. Oleh karena itu, penelitian ini memberikan dasar yang kokoh untuk
pengembangan program pelatihan dan pendidikan yang lebih efektif di dalam industri maritim. Pemakaian
metodologi dan analisis gabungan yang baru menunjukkan upaya untuk menjembatani celah pengetahuan
dan meningkatkan keakuratan analisis kecelakaan.
Frekuensi merupakan elemen kritis dalam perhitungan nilai risiko tubrukan kapal karena
menggambarkan seberapa sering suatu peristiwa terjadi dalam suatu interval waktu tertentu. Oleh karena
itu, analisis nilai frekuensi menjadi aspek yang sangat relevan dalam penelitian ini, sebab informasi tersebut
memberikan wawasan mendalam terkait potensi terjadinya tubrukan kapal. Dengan memahami seberapa
sering tubrukan dapat terjadi, pengambilan keputusan terkait keselamatan pelayaran dapat dilakukan
dengan lebih tepat. Sejumlah metodologi telah dikembangkan untuk menghitung frekuensi tubrukan kapal,
di antaranya adalah Quantitative Risk Assessment (QRA) dan pendekatan Gini coefficient. Pendekatan QRA
memungkinkan analisis yang lebih terperinci dengan memasukkan berbagai parameter dan variabel yang
dapat memengaruhi frekuensi tubrukan. Sementara itu, pendekatan Gini coefficient memberikan gambaran
distribusi frekuensi tubrukan secara keseluruhan, membantu identifikasi pola atau konsentrasi risiko
tertentu. Dengan menggabungkan hasil dari berbagai metodologi ini, penelitian tentang frekuensi tubrukan
kapal menjadi landasan yang kokoh untuk menyusun strategi pencegahan dan mitigasi risiko di perairan
laut. Informasi tentang frekuensi memberikan dasar yang kuat bagi stakeholder maritim dalam mengambil
langkah-langkah yang efektif untuk meningkatkan keselamatan perjalanan kapal dan mengurangi risiko
tubrukan.
Koefisien Gini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ekonom Italia bernama Corrado Gini,
(Gini, C., 1921). pada tahun 1912 dan sering digunakan untuk mengukur ketidaksetaraan pendapatan,
kekayaan, atau peluang, (Ceriani, L., 2012). Koefisien Gini memiliki rentang nilai [0, 1], dan nilai yang
lebih mendekati 0 menunjukkan distribusi yang lebih merata; sebaliknya, nilai yang mendekati 1
menunjukkan distribusi yang lebih tidak merata. Berdasarkan penelitian (Lin, dkk., 2023) koefisien Gini
muncul sebagai sarana yang berguna untuk memahami tata tertib lalu lintas kapal di rute pelayaran yang
mencerminkan tingkat risiko tabrakan kapal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin kecil
koefisien Gini, semakin kacau lalu lintas kapal, dan risiko tabrakan menjadi lebih tinggi. Sebaliknya,
semakin besar koefisien Gini, semakin teratur lalu lintas kapal, dan risiko tabrakan cenderung lebih rendah.
Selain pendekatan koefisien Gini, terdapat juga metode lain yang dapat digunakan untuk menganalisis

8
frekuensi tabrakan, yaitu Quantitative Risk Assessment (QRA) dengan memanfaatkan model Computerised
Risk Assessment of Shipping Hazards (CRASH) yang dikembangkan oleh Det Norske Veritas. Metode ini
memberikan estimasi numerik terkait probabilitas dan/atau konsekuensi yang terkait dengan risiko tabrakan
kapal. Gabungan dari analisis koefisien Gini dan metode QRA memberikan landasan yang lebih
komprehensif untuk memahami dan mengelola risiko tabrakan kapal. Dengan menggunakan pendekatan
ini, para ahli dan praktisi maritim dapat membuat keputusan yang informasional dan strategis untuk
meningkatkan keselamatan lalu lintas kapal di rute pelayaran.

2.2 Automatic Identification System (AIS)

Berbagai fungsi AIS dalam keselamatan navigasi telah memberikan dampak besar pada industri
maritim. Data AIS memiliki beberapa keunggulan karena di dalamnya terdapat beberapa hal seperti: posisi
kapal yang akurat, pembaruan otomatis dan cepat, kualitas yang baik dalam cuaca buruk, pelacakan kapal
yang andal tanpa efek bayangan, COG, dan lain sebagainya, (Lin, dkk. 2006). Dalam beberapa tahun
terakhir, kemajuan teknologi telah membuka peluang baru dalam pemantauan dan pengumpulan data posisi
kapal. Ketersediaan data Automatic Identification System (AIS) menjadi pendorong utama untuk mengatasi
kekurangan data posisi kapal. AIS menjadi instrumen yang sangat efektif dalam mendapatkan pemahaman
yang lebih baik tentang pergerakan kapal di seluruh dunia. AIS berfungsi sebagai sistem komunikasi
otomatis yang memungkinkan pertukaran data statis dan dinamis secara terus-menerus antara kapal-kapal
yang dilengkapi AIS dan stasiun pantai. Data statis mencakup informasi tentang identitas kapal, seperti
nama, jenis, ukuran, kecepatan maksimum, dan tujuan, sementara data dinamis mencakup informasi real-
time seperti posisi, kecepatan, dan arah kapal. Dengan menggunakan AIS, pihak-pihak yang memiliki
kepentingan dapat mengakses informasi yang akurat dan terkini mengenai lalu lintas kapal di suatu wilayah
perairan. Data yang diperoleh dari AIS memberikan gambaran yang lebih lengkap dan detail tentang
aktivitas kapal, memungkinkan pengawasan yang lebih baik terhadap navigasi, pengelolaan risiko, dan
keselamatan maritim secara umum. Oleh karena itu, pemanfaatan AIS menjadi kunci penting dalam
pengembangan sistem pemantauan dan manajemen lalu lintas kapal di era modern ini.
Menurut International Convention for the Safety of Life At Sea (SOLAS), kapal yang memiliki
bobot kotor sebesar 300 GT atau lebih dan melakukan pelayaran internasional, kapal dengan bobot kotor
sebesar 500 GT atau lebih yang melakukan pelayaran non-internasional, serta semua kapal penumpang,
diwajibkan untuk dilengkapi dengan Automatic Identification System (AIS). Penerapan AIS pada kapal-
kapal ini memberikan peran krusial dalam meningkatkan keamanan pelayaran dan memfasilitasi
pengawasan serta pelacakan kapal di seluruh dunia. Dengan data AIS yang dihasilkan oleh kapal-kapal
yang memenuhi persyaratan SOLAS, dapat dilakukan analisis yang mendalam berdasarkan domain kapal.
Domain kapal ini mencakup informasi terkait posisi, kecepatan, dan arah kapal, memberikan gambaran
holistik tentang aktivitas kapal di perairan tertentu. Dengan memanfaatkan data AIS dan menganalisis
domain kapal, pihak berkepentingan dapat mengamati dan memahami secara lebih baik pola lalu lintas
maritim, memonitor kepatuhan terhadap regulasi SOLAS, dan mengidentifikasi potensi risiko atau konflik
di perairan tertentu. Dengan adanya peraturan SOLAS dan pemanfaatan teknologi AIS, tercipta suatu
kerangka kerja yang kuat untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan kapal, melindungi lingkungan
laut, serta memastikan pelayaran yang aman dan efisien di tingkat global. ( Qu, dkk., 2011) memberikan
kontribusi signifikan dengan menambahkan dua indeks, yakni indeks dispersi kecepatan dan derajat
percepatan dan perlambatan, untuk mengukur secara kuantitatif risiko tabrakan di Selat Singapura.
Penelitian ini memberikan landasan penting dalam pengembangan metode evaluasi risiko maritim yang
lebih canggih. (Li, dkk., 2015) menggunakan teknik konflik lalu lintas navigasi untuk menyelidiki
keselamatan lalu lintas di daerah pencegahan rute kapal. (Cucinotta, dkk., 2017) menggunakan model
IWRAP untuk menghitung frekuensi tabrakan kapal di Selat Messina. (Zhang, dkk., 2019) menggunakan
pasangan asal-ke-tujuan untuk menghitung dan menampilkan area titik panas dan distribusi geografis
kecelakaan kapal di Pelabuhan Singapura. Pendekatan metodologis lainnya meliputi model jaringan saraf
konvulsional (Zhang, dkk., 2020), dinamika molekuler (Liu, dkk., 2020), jaringan generatif musuh
kondisional berurutan (Gao dan Shi, 2020), dan sebagainya. Meskipun metode-metode ini telah

9
memberikan peningkatan substansial dalam penilaian risiko tabrakan kapal di tingkat regional, harapannya
adalah terus ada kontribusi baru, terutama yang berkaitan dengan dampak sosial-ekonomi dan lingkungan
dari kecelakaan kapal. Dengan demikian, pemahaman dan manajemen risiko tabrakan kapal dapat terus
berkembang untuk mencapai standar yang lebih tinggi.
Dalam penelitian ini, penerapan Automatic Identification System (AIS) menjadi suatu hal penting
untuk menggali data Course Over Ground (COG) yang nantinya akan diolah menggunakan koefisien Gini.
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai sebaran nilai COG, di mana koefisien Gini
berperan sebagai indikator diversifikasi dari data tersebut. Pemilihan dalam menggunakan koefisien Gini
sebagai alat analisis didasarkan pada kemampuannya yang telah terbukti dalam memberikan informasi
tentang sejauh mana variasi atau ketidakseimbangan dalam distribusi data. Pendekatan ini dipilih dengan
mempertimbangkan keuntungan dari sederhana, akurasi, dan ketangguhannya apabila dibandingkan dengan
metode analisis lainnya. Kesederhanaan mempermudah interpretasi hasil dan implementasi praktis dalam
manajemen keselamatan dan pembuatan kebijakan. Tingkat akurasi yang tinggi dari koefisien Gini juga
memvalidasi bahwa hasil analisis mencerminkan kondisi sebenarnya dari data COG kapal. Dengan
pemanfaatan metode ini, diharapkan manajemen keselamatan dan kebijakan dapat memanfaatkan informasi
yang lebih tepat dan efektif dalam menjaga keselamatan pelayaran. Keberlanjutan pendekatan ini dapat
memberikan kontribusi nyata terhadap perbaikan strategi dan tindakan preventif untuk mengelola risiko
kecelakaan kapal dengan lebih efisien. (Lin, dkk., 2023).

2.3 Alur Pelayaran Barat Surabaya

Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya memainkan peran sentral sebagai salah satu pintu gerbang
utama untuk arus perdagangan di wilayah Indonesia bagian timur. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi
dan perdagangan yang pesat, peran Pelabuhan Tanjung Perak semakin meningkat dan menjadi landasan
yang mendukung konektivitas antar-pulau dan antar-negara. Tingginya aktivitas perdagangan di Pelabuhan
Tanjung Perak tercermin dalam peningkatan jumlah kapal yang datang untuk melakukan bongkar muat dan
pertukaran barang. Kedatangan kapal-kapal ini tidak hanya mencerminkan potensi perdagangan yang kian
berkembang, tetapi juga menunjukkan kebutuhan akan fasilitas pelabuhan yang efisien dan mampu
menangani volume barang yang meningkat. Dengan infrastruktur yang memadai dan layanan yang efektif,
Pelabuhan Tanjung Perak terus berperan sebagai poros penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi,
distribusi barang, dan konektivitas regional di Indonesia.
Dalam mengantisipasi pertumbuhan yang pesat, PT. Pelindo III (Persero), yang bertindak sebagai
pengelola pelabuhan, telah melaksanakan serangkaian investasi dan perbaikan pada infrastruktur dan
peralatan bongkar muat. Upaya ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa fasilitas pelabuhan dapat
menangani lonjakan aktivitas dan volume barang yang semakin meningkat. Selain itu, mereka juga
mengambil langkah signifikan dengan melebarkan Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) agar mampu
mengakomodasi pertumbuhan lalu lintas kapal yang semakin besar. Sebelum melebarkan APBS,
panjangnya adalah sebesar 43,6 km dengan lebar 150 meter dan kedalaman -9 meter Low Water Spring
(LWS). Namun, dengan perluasan ini, lebar APBS diperluas menjadi 150 meter sementara kedalaman
mencapai -13 meter Low Water Spring (LWS). Langkah ini tidak hanya meningkatkan kapasitas alur
pelayaran, tetapi juga memberikan akses yang lebih aman dan efisien bagi kapal-kapal yang semakin besar
dan kompleks. Dengan demikian, investasi dan perluasan ini menegaskan komitmen PT. Pelindo III dalam
menjaga daya saing dan kesiapan infrastruktur pelabuhan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan
perdagangan di kawasan tersebut.

10
Gambar 2. 2 Alur Pelayaran Barat Surabaya
(Sumber: Google Earth, 2023)
Padatnya Alur Pelayaran Barat Surabaya menciptakan potensi risiko terjadinya tubrukan kapal.
Analisis annual report PT. Pelindo III (Persero) mengungkapkan bahwa jumlah kapal yang berada atau
melintasi Alur Pelayaran Barat Surabaya terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, sesuai dengan data
yang tercantum pada tabel di bawah ini. Peningkatan yang konsisten dalam jumlah kapal yang
menggunakan alur pelayaran ini menciptakan tuntutan yang lebih besar terhadap pengelolaan lalu lintas
maritim dan keselamatan kapal di wilayah tersebut. Dalam menghadapi dinamika ini, perhatian lebih lanjut
terhadap strategi pengaturan lalu lintas, implementasi teknologi pemantauan, dan peningkatan infrastruktur
pelabuhan diperlukan untuk memastikan kelancaran dan keamanan operasional kapal-kapal yang
menggunakan jalur ini. Tabel berikut memberikan gambaran tentang tren pertumbuhan lalu lintas kapal,
yang dapat menjadi faktor penentu dalam mengevaluasi risiko tabrakan dan menjaga keamanan navigasi di
Alur Pelayaran Barat Surabaya.
Tabel 2. 1 Arus Lalu Lintas Kapal Pada APBS
(Sumber : Annual Report PT. Pelindo III, 2013)
Tahun Pelabuhan Tanjung Perak Gresik Jumlah
2010 14197 unit 5650 unit 19847 unit
2011 14117 unit 5625 unit 19742 unit
2012 14773 unit 5851 unit 20624 unit
2013 16798 unit 7295 unit 24093 unit

Alur Pelayaran Barat Surabaya diperkuat dengan adanya sarana bantu navigasi pelayaran, di
antaranya adalah buoy. Sarana bantu pelayaran merupakan peralatan atau sistem yang ditempatkan di luar
kapal dan dirancang untuk meningkatkan keselamatan serta efisiensi dalam navigasi kapal dan/atau lintas
kapal. Menara suar, rambu suar, pelampung suar, tanda siang (day mark), rambu radio (radio beacon),
rambu radar, dan berbagai sarana lainnya termasuk dalam kategori ini. Keberadaan sarana-sarana tersebut
memainkan peran krusial dalam menjaga ketertiban Alur Pelayaran Barat Surabaya, dengan tujuan utama
untuk meminimalkan potensi terjadinya tubrukan kapal di wilayah tersebut. Sarana bantu navigasi seperti
buoy tidak hanya berfungsi sebagai panduan visual bagi kapal yang melintas, tetapi juga sebagai penanda
untuk batas alur pelayaran yang harus diikuti. Menara suar, misalnya, memberikan pemandu visual yang

11
sangat diperlukan, terutama pada malam hari atau kondisi cuaca buruk. Selain itu, rambu radar dan rambu
radio menjadi bagian yang penting dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh kapal untuk
memastikan navigasi yang aman dan efektif. Dengan demikian, investasi dalam sarana bantu navigasi
pelayaran tidak hanya berkontribusi pada keselamatan kapal dan pelayaran, tetapi juga menjadi aspek kritis
dalam menjaga ketertiban dan kelancaran Alur Pelayaran Barat Surabaya. Upaya ini sejalan dengan
komitmen untuk menciptakan lingkungan maritim yang aman dan efisien di wilayah tersebut.

2.4 Pengetahuan Umum Tentang Kecelakaan Kapal

Indonesia, sebagai wilayah yang memiliki potensi pada industri Maritim, mencakup sektor-sektor
yang beragam seperti Jasa Transportasi Laut, Perikanan, Penyeberangan, Energi dan Sumber Daya Mineral,
Sumber Hayati Laut, Migas, dan Pariwisata Laut. Keberagaman ini menciptakan kebutuhan yang besar
akan fasilitas khusus, khususnya kapal, untuk menjalankan operasional masing-masing sektor. Namun,
disayangkan, pertumbuhan intensif dalam penggunaan kapal untuk mendukung aktivitas ini juga diiringi
oleh peningkatan insiden kecelakaan kapal. Dengan adanya berbagai sektor Maritim yang berkembang,
keterlibatan kapal dalam operasional harian menjadi semakin kompleks. Fasilitas seperti kapal transportasi
laut, kapal perikanan, kapal penyeberangan, kapal energi, dan kapal pariwisata laut semuanya berkontribusi
pada meningkatnya aktivitas di perairan Indonesia. Namun, perlu diakui bahwa pertumbuhan ini juga
membawa tantangan baru dalam menjaga keamanan dan keselamatan pelayaran. Penting untuk mengenali
bahwa peningkatan kecelakaan kapal mungkin terkait dengan meningkatnya aktivitas maritim secara
keseluruhan. Oleh karena itu, upaya yang berkelanjutan dalam meningkatkan regulasi keselamatan,
meningkatkan pemantauan lalu lintas maritim, dan meningkatkan kapasitas pelatihan dan keterampilan
nelayan serta pelaut dapat berperan penting dalam mengurangi risiko dan meningkatkan keselamatan di
perairan Indonesia.

2.4.1 Kecelakaan Transportasi Laut

Seperti yang diketahui, transportasi kelautan membawa potensi risiko kecelakaan yang signifikan.
Regulasi pemeriksaan kecelakaan kapal, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 1
tahun 1998, telah mengelompokkan pemeriksaan kecelakaan kapal ke dalam beberapa kategori.
Pembagian kategori pemeriksaan kecelakaan kapal ini memberikan kerangka kerja yang komprehensif
untuk mengatasi berbagai aspek keselamatan dan risiko yang terkait dengan transportasi kelautan.
Regulasi ini menciptakan landasan hukum yang diperlukan untuk melibatkan otoritas maritim dalam
penyelidikan dan pencegahan kecelakaan kapal. Dengan mendefinisikan kriteria dan prosedur untuk
setiap kategori insiden, regulasi tersebut membantu dalam menilai penyebab, dampak, dan tanggapan
yang diperlukan untuk meminimalkan risiko dan menjaga keselamatan di laut. Oleh karena itu,
pemahaman yang mendalam terhadap regulasi pemeriksaan kecelakaan kapal menjadi kunci untuk
menciptakan lingkungan maritim yang lebih aman dan efisien. Upaya berkelanjutan dalam penegakan
dan pembaruan regulasi ini dapat menjadi langkah proaktif dalam mengatasi potensi risiko dan
meningkatkan standar keselamatan dalam sektor transportasi kelautan di Indonesia, kategori
kecelakaan kapal yang kerap terjadi antara lain:

• Kapal tenggelam
Kapal dapat tenggelam sebagai akibat dari berbagai faktor, termasuk kecelakaan,
kerusakan struktural, cuaca buruk, atau faktor alam lainnya. Proses tenggelamnya kapal
dapat berlangsung secara perlahan atau cepat, tergantung pada seberapa besar kerusakan
yang dialami dan bagaimana respons awak kapal atau penumpang terhadap situasi tersebut.

• Kapal terbakar
Kebakaran pada kapal dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk korsleting
listrik, kegagalan peralatan, kebocoran bahan bakar yang terjadi bersamaan dengan sumber
api, tindak kejahatan, atau faktor cuaca ekstrem. Kejadian ini dapat mengancam
keselamatan awak kapal, penumpang, dan bahkan dapat berdampak pada lingkungan laut.

12
• Kapal tubrukan
Kapal tubrukan adalah kejadian di mana dua atau lebih kapal bertabrakan atau
bersentuhan secara fisik di perairan. Tubrukan kapal dapat terjadi karena berbagai alasan,
termasuk kesalahan manusia, navigasi yang tidak tepat, kondisi cuaca buruk, atau
kegagalan peralatan. Kejadian ini dapat menyebabkan kerusakan pada kapal, korban jiwa,
kerusakan lingkungan, dan dapat mengakibatkan konsekuensi serius

• Kecelakaan kapal yang menyebabkan jiwa manusia terancam dan kerugian harta benda
Kecelakaan kapal yang menyebabkan jiwa manusia terancam dan kerugian harta
benda dapat dikategorikan sebagai insiden maritim serius. Insiden semacam ini mencakup
situasi di mana keselamatan manusia dan integritas kapal atau harta benda menjadi sangat
terancam. Contoh-contoh kecelakaan kapal seperti ini melibatkan risiko nyata terhadap
kehidupan manusia dan dapat merugikan secara signifikan dari segi finansial atau
lingkungan.

• Kapal kandas
Kapal kandas adalah keadaan di mana sebuah kapal atau perahu terdampar atau
terdorong ke daratan, karang, atau permukaan air dangkal. Kondisi ini bisa terjadi akibat
kesalahan navigasi, cuaca buruk, kerusakan peralatan, atau faktor lain yang menyebabkan
kapal tidak dapat melanjutkan perjalanan di perairan yang cukup dalam.

2.5 Dasar Teori Risiko

Penilaian risiko, atau risk assessment, merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai
apakah suatu kegiatan atau proses memunculkan risiko yang dapat diterima atau tidak. Definisi dari
penilaian risiko melibatkan serangkaian proses yang mencakup identifikasi potensi kerusakan, estimasi
risiko dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kemungkinan terjadinya, paparan, konsekuensi,
serta penilaian tingkat keamanan dan ketidakpastian. Proses penilaian risiko berfokus pada
mengidentifikasi segala kemungkinan bahaya dan dampaknya yang dapat membahayakan kesehatan
manusia, lingkungan, proses produksi, atau peralatan yang terkait dengan aktivitas manusia dan teknologi.
Langkah pertama dalam risk assessment adalah mengidentifikasi dan mengevaluasi bahaya serta dampak
yang mungkin timbul dari bahaya tersebut. Langkah ini melibatkan penentuan siapa saja atau apa saja yang
dapat terkena dampak. langkah berikutnya adalah menentukan frekuensi kejadian atau probabilitas
terjadinya bahaya tersebut. Seberapa sering kejadian tersebut dapat terjadi merupakan faktor penting karena
risiko diartikan sebagai kombinasi dari konsekuensi dan probabilitas. Langkah terakhir dalam proses
penilaian risiko adalah melakukan evaluasi risiko secara menyeluruh, yang melibatkan pemahaman
mendalam terhadap tingkat risiko yang dihadapi serta pertimbangan atas tingkat keamanan yang dapat
diterima. Proses ini memberikan dasar yang kokoh untuk pengambilan keputusan terkait pengelolaan risiko,
termasuk langkah-langkah pencegahan dan mitigasi yang mungkin diperlukan untuk mengurangi risiko
menjadi tingkat yang dapat diterima. Definisi risiko secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
Risk = (event likelihood) × (event consequence) (2.3)

Risiko, pada dasarnya, dapat didefinisikan sebagai probabilitas terjadinya suatu kejadian yang
berpotensi menyebabkan kerugian, terutama kerugian yang bersifat serius. Dengan mengacu pada konsep
ini, dapat diartikan bahwa semakin tinggi risiko, semakin besar pula probabilitas terjadinya suatu kejadian
yang dapat berakibat kerugian. Dalam konteks tugas akhir ini, akan difokuskan pada pembahasan tingkat
frekuensi tubrukan kapal yang dianggap dapat diterima sesuai dengan kriteria standar penerimaan, yakni
satu kejadian setiap tahunnya. Dengan kata lain, jika frekuensi tubrukan kapal mencapai satu kejadian
dalam setahun, hal ini dianggap sebagai batas penerimaan risiko. Setiap kejadian tubrukan kapal di atas
standar penerimaan tersebut dapat dianggap sebagai peningkatan risiko yang dapat menimbulkan
konsekuensi serius. Oleh karena itu, analisis dan evaluasi risiko yang cermat perlu dilakukan untuk
memahami dan mengelola probabilitas terjadinya tubrukan kapal sehingga tetap berada dalam batas standar
penerimaan risiko yang telah ditetapkan.

13
2.5.1 Penilaian Risiko Tubrukan Kapal

Tubrukan kapal merupakan benturan atau tumbukan antara dua buah kapal yang bergerak dan dapat
menimbulkan bahaya keselamatan nyawa manusia yang ada di dalam kapal (injuries fatalities),
kerusakan lingkungan (pollutions), dan kerugian akibat kerusakan muatan yang diangkut (Kristiansen,
2005). Dalam konteks ini, tubrukan kapal bukan hanya sekadar suatu kejadian fisik, tetapi juga
memiliki dampak yang luas dan kompleks terhadap berbagai aspek, termasuk lingkungan, sosial, dan
ekonomi. Dampak dari tubrukan kapal tidak hanya terbatas pada tingkat individu atau kapal tersebut,
tetapi juga dapat merembet ke lingkungan sekitarnya. Dari segi lingkungan, tumpahan bahan bakar
atau muatan yang merugikan dapat menyebabkan polusi dan merusak ekosistem laut. Secara sosial,
kecelakaan ini dapat menimbulkan dampak psikologis pada awak kapal dan masyarakat setempat.
Sementara itu, dari aspek ekonomi, kerugian finansial dapat timbul akibat kerusakan pada kapal,
muatan, dan fasilitas pelabuhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perhitungan yang cermat dan terukur
terkait kemungkinan terjadinya tubrukan kapal. Analisis ini akan melibatkan faktor-faktor seperti
kondisi navigasi, volume lalu lintas kapal, dan kondisi lingkungan perairan. Dengan melakukan
perhitungan ini, kita dapat mengidentifikasi potensi risiko dan mengimplementasikan langkah-langkah
pencegahan atau mitigasi yang tepat untuk meminimalkan dampak negatif dari tubrukan kapal. Risiko
tubrukan kapal dapat dihitung dengan formula:
R = λcol × C (2.4)

Dimana,
λcol = Frekuensi terjadinya tubrukan (frequency)
C = Konsekuensi yang ditimbulkan dari tubrukan (concequences)
Untuk menentukan nilai λcol, dapat dilakukan dengan pendekatan yang dilakukan oleh Fujii &
Macduff yaitu:

λcol = Na × Pc (2.5)

Dimana,
Na = Angka kandidat kapal yang terlibat dalam tubrukan atau berpotensi mengalami kandas.
Pc = Peluang kegagalan (causation factor) untuk menghindar dari tubrukan kapal.

2.6 Metode-Metode untuk Menghitung Frekuensi Tubrukan kapal

2.6.1 Gini Coefficient

Koefisien Gini adalah pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengukur inkonsistensi.
Koefisien ini dikembangkan oleh ahli statistic Italia Corrado Gini (1884-1965) dan dinamai
berdasarkan namanya. Pendekatan ini acapkali digunakan sebagai metode penilaian penimpangan
pendapatan, namun juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan dari jenis distribusi apapun
(Hasell J, 2023). Koefisien Gini, dengan nilai yang berkisar antara 0 hingga 1, memberikan indikasi
sejauh mana persebaran data dalam suatu sistem. Semakin mendekati nilai 0, persebaran data dianggap
semakin merata, sementara mendekati nilai 1 menandakan distribusi yang tidak merata. Dalam konteks
lalu lintas kapal pada alur pelayaran, penelitian (Lin Q, dkk., 2023) menunjukkan bahwa koefisien
Gini dapat digunakan untuk menganalisis keteraturan atau kacauan dalam pola lalu lintas kapal.
Penting untuk mencatat bahwa keteraturan atau ketidakaturan lalu lintas kapal dapat menjadi faktor
yang signifikan dalam risiko kecelakaan kapal. Jika nilai Gini kecil, menunjukkan keteraturan yang
rendah, maka dapat diartikan bahwa lalu lintas kapal kurang teratur dan mungkin cenderung "tidak

14
karuan". Dalam konteks ini, risiko tubrukan kapal cenderung meningkat karena kurangnya keteraturan
dan prediktabilitas dalam alur pelayaran. Sebaliknya, jika nilai Gini mendekati 1, menandakan
keteraturan yang tinggi dalam lalu lintas kapal, hal tersebut dapat mencerminkan struktur lalu lintas
kapal yang lebih terorganisir dan dapat membantu mengurangi risiko tubrukan. Oleh karena itu,
koefisien Gini dapat menjadi alat yang berguna dalam pemahaman dan evaluasi risiko kecelakaan
kapal terkait dengan pola lalu lintas kapal pada suatu alur pelayaran.
2.6.2 Quantitative Risk Assesment

Quantitative Risk Assessment (QRA) merupakan metode analisis risiko yang memberikan
estimasi numerik terkait probabilitas dan/atau konsekuensi suatu peristiwa, sering kali dikaitkan
dengan tingkat ketidakpastian. Di berbagai industri, istilah QRA sering digantikan dengan nama lain
sesuai konteksnya. Sebagai contoh, dalam industri nuklir di Amerika Serikat dan industri luar angkasa,
istilah Probability Risk Analysis (PRA) sering digunakan. Di industri nuklir Eropa, istilah Probability
Safety Analysis (PSA) sering dipakai sebagai sinonim untuk QRA. Sedangkan, dalam konteks industri
maritim, QRA sering disebut sebagai Formal Safety Assessment (FSA). Penggunaan nama alternatif
ini mencerminkan aplikasi dan fokus yang berbeda dari QRA dalam setiap industri. Meskipun
istilahnya bervariasi, tujuan umumnya tetap sama, yaitu memberikan pendekatan sistematis dan
kuantitatif untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengelola risiko dalam suatu sistem atau
kegiatan. Keberagaman istilah ini mencerminkan adaptasi konsep QRA dalam berbagai konteks
industri yang memiliki karakteristik dan kebutuhan spesifik. (Arfian, 2015).
(Mujeeb-Ahmed, dkk. 2021) dalam penelitiannya, menyatakan bahwa Quantitative Risk
Assessment (QRA) memberikan visi komprehensif terkait frekuensi dan konsekuensi yang diantisipasi
dari tabrakan selama masa operasional sebuah platform, yang kemudian digunakan untuk
mengestimasi biaya perbaikan kerusakan. Namun, studi QRA sering dihadapkan pada tantangan
signifikan terkait implementasi ketidakpastian yang bervariasi ke dalam model tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk menghadapi tantangan tersebut dengan memperkenalkan dan mendemonstrasikan
suatu model QRA yang tidak hanya canggih, tetapi juga efisien, khususnya untuk tabrakan antara kapal
Offshore Support Vessel (OSV) dan platform lepas pantai tipe jaket. Dalam kerangka penelitian ini,
serangkaian lima puluh skenario tabrakan dipilih dengan menggunakan teknik sampel probabilistik.
Pendekatan ini memungkinkan penanganan berbagai variabilitas dan ketidakpastian yang terkait
dengan parameter-parameter tabrakan. Selanjutnya, analisis gerakan kapal dilakukan untuk
mengevaluasi karakteristik beban tabrakan yang mungkin terjadi pada platform lepas pantai. Melalui
pendekatan ini, penelitian ini tidak hanya berusaha untuk menyajikan suatu model QRA yang lebih
efisien, tetapi juga mempertimbangkan dengan seksama tingkat ketidakpastian yang mungkin muncul
dalam peristiwa tabrakan kapal di sekitar platform lepas pantai tipe jaket. Implementasi sampel
probabilistik menjadi kunci dalam menjembatani kesenjangan antara model dan realitas operasional,
serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang risiko yang terkait dengan tabrakan kapal
di lingkungan lepas pantai.

2.6.3 Metode IWRAP untuk Menghitung Frekuensi Tubrukan Kapal

IWRAP, singkatan dari IALA-Waterway Risk Assessment Program, merupakan alat


pemodelan yang digunakan untuk melakukan penilaian risiko dalam konteks lalu lintas pelayaran.
Estimasi frekuensi tubrukan dan grounding dalam IWRAP bergantung pada informasi lalu lintas
pelayaran dan geometri rute. Proses perhitungan frekuensi tubrukan atau grounding didasarkan pada
konsep formula yang telah dirumuskan oleh Fujii. Prosedur awal dalam perhitungan ini melibatkan
penambahan geometric number tubrukan atau grounding, disimbolkan dengan NG, yang selanjutnya
dikalikan dengan faktor penyebab terjadinya tubrukan atau grounding, disimbolkan dengan Pc.
Pendekatan ini memungkinkan penilaian risiko yang lebih terinci dan berbasis data, menggabungkan
informasi lalu lintas pelayaran dengan karakteristik geometris rute. Dengan demikian, IWRAP
menjadi suatu solusi integral untuk membantu memahami dan mengelola risiko tubrukan dan
grounding dalam navigasi perairan. Sehingga, frekuensi terjadinya tubrukan dirumuskan dengan,

15
Λcol = Pc × NG (2.6)

NG (Geometric Number) dapat diartikan sebagai jumlah kandidat kapal yang memiliki potensi
terlibat dalam suatu tubrukan di area tertentu, sesuai dengan model yang diterapkan untuk masing-masing
jenis tubrukan. Sementara itu, Pc (Causation Factor) adalah nilai yang mencerminkan besar peluang
terjadinya tubrukan. Sebagai langkah awal, dilakukan pengelompokan data berdasarkan beberapa kriteria
seperti jenis kapal, ukuran, kondisi muat atau ballast, keberadaan bulbous bow, dan faktor-faktor lain yang
relevan. Proses pengelompokan ini bertujuan untuk menyusun kategori-kategori kapal yang memiliki
karakteristik serupa yang kemudian dapat diintegrasikan ke dalam model untuk menghitung NG dan Pc.
Dengan demikian, pengelompokan data tersebut menjadi langkah penting dalam mengkustomisasi
penilaian risiko tubrukan berdasarkan karakteristik khusus dari setiap kelompok kapal. Hal ini
memungkinkan untuk mendekati risiko secara lebih akurat dan kontekstual sesuai dengan jenis tubrukan
dan situasi pelayaran yang spesifik.

2.7 Risk Representation

Dalam mengembangkan strategi untuk mengurangi frekuensi tabrakan di suatu area navigasi,
penting untuk memiliki acuan (benchmark) yang dapat menjadi referensi. Acuan ini akan membantu dalam
menilai apakah suatu area harus diprioritaskan untuk mengurangi frekuensi tabrakan atau apakah
pertimbangan tambahan perlu diperhatikan ketika merancang jalur dan titik navigasi. Acuan yang
digunakan untuk mengklasifikasikan frekuensi ke dalam berbagai tingkatan didasarkan pada konsep "As
Low As Reasonably Practicable (ALARP)" yang dijelaskan dalam "ALARP Demonstration" yang
dipublikasikan oleh "The UK Health and Safety Executive". Demonstrasi ALARP ini bergantung pada nilai
frekuensi sebagai dasar utama, seiring diterapkan pada metode umum yaitu "Quantitative Risk Assessment
(QRA)". Satuan frekuensi dalam QRA biasanya diukur dalam jumlah kematian per-tahun. Dengan mengacu
pada rentang nilai frekuensi yang ditetapkan dalam ALARP, pihak-pihak yang berkepentingan dapat
menilai tingkat risiko suatu area dan mengidentifikasi langkah-langkah konkret yang perlu diambil untuk
meminimalkan risiko tersebut. Dengan demikian, penerapan acuan ini memberikan kerangka kerja yang
konsisten dan objektif dalam upaya mengelola risiko tabrakan di lokasi spesifik. Frekuensi yang akan
diukur dalam IWRAP dan koefisien Gini diukur dalam jumlah insiden per-tahun dan oleh karena itu acuan
yang dirujuk untuk menunjukkan level risiko “Tabel 2.2” situasi ALARP adalah seperti yang ditunjukkan
dalam "Tabel 2.3"

Gambar 2 3 Acceptance criteria for individual risk based (UK HSE, no date)

16
Tabel 2. 2 Initial Ranking of Accident Scenarios
Sumber: imorules.com (2023)
FREQUENCY INDEX

FI FREQUENCY DEFINITION F (per ship year)

Likely to occur once per month on


7 Frequent 10
one ship

Likely to occur once per year in a


5 Reasonably fleet of 10 ships, i.e. likely to occur a 0.1
Probable few times during the ship's life

Likely to occur once per year in a


fleet of 1,000 ships, i.e. likely to
3 Remote 1,E-03
occur in the total life of several
similar ships

Likely to occur once in the lifetime


1 Extremely Remote (20 years) of a world fleet of 5,000 1,E-05
ships

2.8 Hierarchial Cluestering

Metode pengelompokan hierarki bekerja dengan mengelompokkan objek data ke dalam hierarki
atau "pohon/tree" cluster. Metode ini dapat mewakili objek data dalam bentuk hierarki yang berguna untuk
peringkasan dan visualisasi data (Sa’Adah U., dkk. 2023). Algorit=ma hierarchial clustering tidak
memerlukan jumlah K-cluser sebagai input yang berarti memungkinkan pengelompokkan tanpa harus
menentukan jumlah cluster terlebih dulu (Sa’Adah U., dkk. 2023). metode ini telah sangat banyak
digunakan di berbagai bidang, seperti transportasi udara, ekstraksi rute maritim, hingga astronomi. Seperti
pada (Hwang T., dkk. 2021) yang meneliti tentang cara untuk mengidentifikasi dan menyistematisasi
skenario situasi navigasi objektif untuk validasi algoritma penghindaran tabrakan kapal otonom. Dalam
penelitian tersebut, melakukan pendekatan berbasis data yang digunakan untuk mengumpulkan data AIS
selama 12 bulan di laut barat Korea, untuk mengekstraksi lintasan kapal, dan untuk mengelompokkan data
secara hierarkis berdasarkan situasi navigasi. Lebih dari itu, pada beberapa penelitian mengenai penilaian
risiko tubrukan kapal, didapati banyak perkembangan terbaru. Seperti pada penelitian milik (Martignoni
M., dkk. 2023) berfokus pada teknologi baru yang sedang muncul, mengidentifikasi tren utama saat ini,
serta membahas pandangan dan tantangan di masa depan. Tinjauan ini mengungkapkan beragam metode
yang luas dan beragam, termasuk machine learning, hierarchial clustering, swarm intelligence algorithms
dan lebih banyak lagi.
Metode pengelompokan hierarki secara algoritmik, dibagi menjadi dua, yaitu metode
Agglomerative Nesting (AGNES) dan metode Divisive Analysis (DIANA) (Wijuniamurti S., dkk. 2021).
Pada penelitian kali ini, yang akan digunakan untuk melakukan pengelompokan secara hierarkis terhadap
nilai COG koefisien Gini adalah metode AGNES.

17
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

18
BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Diagram Alur Penelitian

Gambar 3. 1 Alur Penelitian

19
Gambar 3. 1 Alur Penelitian (Lanjutan)

Dalam penelitian ini, diajukan suatu langkah kerja yang terstruktur dan tergambar pada gambar 3.1
untuk mengevaluasi nilai risiko tubrukan kapal pada Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). Untuk
menjalankan evaluasi ini, langkah pertama melibatkan pengumpulan data Course Over Ground (COG),
yang kemudian akan diinput dalam pendekatan koefisien Gini. Selanjutnya, data tersebut akan
dikelompokkan menggunakan metode hierarki clustering untuk membentuk kelompok-kelompok yang
homogen berdasarkan karakteristik COG mereka.

Pendekatan ini memungkinkan pengelompokan yang efektif dan representatif dari data COG,
sehingga setiap kelompok dapat diidentifikasi dan dikarakterisasi dengan mudah. Dengan demikian,
analisis risiko tubrukan kapal dapat dilakukan dengan lebih terperinci dan kontekstual, memungkinkan
peneliti untuk memahami pola perilaku kapal dan faktor-faktor risiko yang mungkin mempengaruhi setiap
kelompok. Langkah-langkah tersebut menciptakan dasar metodologis yang kokoh untuk mengevaluasi
risiko tabrakan kapal dengan pendekatan yang lebih terfokus dan efektif.

3.2 Pengambilan Data Raw AIS Message

Pengambilan data, yang juga dapat diartikan sebagai pengumpulan data, dilakukan melalui
perolehan data AIS yang diperoleh dari penyedia data, yaitu AISITS. Sebagai sebuah perusahaan startup
di bidang teknologi, khususnya AIS, AISITS memiliki jangkauan yang luas di Indonesia. Perusahaan ini
memiliki kemampuan untuk menerima data AIS dari kapal-kapal dengan cakupan sekitar 40-50 km, kurang
lebih. Meskipun demikian, dalam operasionalnya, seringkali mengalami ketidakstabilan dalam penerimaan
data, (Prastyasari dan Shinoda, 2021).
Data AIS mentah dengan ekstensi NMEA diambil dari server AISITS. Rentang waktu pengambilan
data mencakup periode bulan 1 Agustus 2023 hingga 30 September 2023. Dengan memanfaatkan data AIS
yang terkumpul selama periode tersebut, penelitian ini dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam
terkait perilaku kapal dan variabilitas lalu lintas maritim di Alur Pelayaran Barat Surabaya. Meskipun
menghadapi beberapa tantangan teknis, penggunaan data AISITS menjadi landasan yang penting dalam
analisis risiko tubrukan kapal.

20
Gambar 3. 2 NMEA Message dari raw AIS data
Sumber: (Prastyasari dan Shinoda, 2021)
Data AIS ditransmisikan melalui pesan terenkripsi yang mengikuti protokol National Marine
Electronics Association (NMEA) 0183 dan 2000. Pada Gambar 3.2, dapat ditemukan contoh data AIS
mentah yang terdiri dari pesan-pesan tersebut. Sayangnya, informasi yang terdapat dalam pesan-pesan
tersebut tidak dapat dengan mudah terbaca tanpa proses dekripsi. Oleh karena itu, langkah-langkah dekripsi
data AIS perlu diterapkan agar informasi yang terkandung di dalamnya dapat diinterpretasikan dengan
benar. Proses ini menjadi kunci dalam menemukan detail seperti identitas kapal, posisi, kecepatan, dan arah
kapal yang kemudian menjadi elemen penting dalam analisis risiko tubrukan kapal.

3.3 Pemrosesan Data Raw AIS Message

Raw AIS message data perlu menjalani proses dekripsi awal menggunakan modul Python yang
dikenal sebagai "pyais". Setelah proses dekripsi selesai, data yang telah diolah disimpan dalam format
comma separated file (.csv). File tersebut dilengkapi dengan beragam informasi penting seperti timestamp,
MMSI (Maritime Mobile Service Identity), nama kapal, dimensi, posisi, arah, Course Over Ground (COG),
Speed Over Ground (SOG), Rate Of Turn (ROT), dan informasi lainnya yang relevan.
Bagian kritis dari pesan AIS terletak di bagian akhir, yang menyimpan data statis dan dinamis
mengenai kapal-kapal tersebut. Payload data awalnya dienkripsi dengan menggunakan ASCII payload
armouring sehingga diubah menjadi bilangan biner 6-bit. Setelah itu, semua bilangan 6-bit tersebut
digabungkan menjadi pesan muatan biner utuh. Penting untuk mencatat bahwa pesan muatan ini harus
dipecah menjadi bagian-bagian kecil untuk mengekstrak informasi rinci tentang kapal-kapal yang
bersangkutan. Inilah langkah yang esensial dalam proses pengolahan data AIS yang memungkinkan analisis
lebih lanjut terhadap risiko tubrukan kapal.

21
Tabel 3. 1 Informasi yang dibawa oleh AIS message
Sumber: (Prastyasari dan Shinoda, 2021)
Static Data Dynamic Data Voyage-related Data Safety-related
Data
Maritime Timestamp in Ship’s draught Short safety-
Mobile Service coordinated universal related

Identity (MMSI) time (UTC) message

Name and call Ship’s position in Type of hazardous Cargo


sign longitude and latitude (if any)

IMO number Course over ground Destination and ETA


(COG)
Length and breadth Speed over ground (SOG) Route plan
Type of ship Heading
Location of Navigational status
electronic position
fixing
system (EPFS)
Rate of turn (ROT)

Nomor MMSI, yang merupakan identifikasi unik kapal dalam format 30 bit, terdapat pada bit ke-8
dalam pesan AIS. Kecepatan kapal (SOG) diwakili oleh 10 bit dan berada pada posisi bit ke-50. Demikian
pula, arah kapal (heading) diungkapkan dalam 9 bit yang terletak pada bit ke-128, dan seterusnya. Informasi
ini membentuk bagian kritis dari data AIS yang diuraikan dalam dokumen resmi International Maritime
Organization (IMO) A 29/Res.1106. Tabel 3.1 memberikan deskripsi singkat tentang berbagai informasi
yang dibawa oleh AIS, memudahkan penafsiran dan analisis data yang diterima.

3.4 Pemetaan Densitas dan Penentuan Leg

Frekuensi tubrukan kapal dapat dihasilkan setelah melalui tahap mendefinisikan leg, dimana leg
merupakan segment perjalanan yang dapat didefinisikan berdasarkan plot kepadatan data yang telah
diimpor. Dalam proses ini, pilihan jatuh pada penggunaan perangkat lunak IALA-Waterway Risk
Assessment Program (IWRAP) sebagai alat bantu yang efektif untuk memetakan kepadatan kapal pada
Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). IWRAP membantu dalam mengidentifikasi area-area yang
mungkin memiliki risiko tinggi terjadinya tubrukan, memungkinkan analisis risiko yang lebih mendalam
dengan merinci karakteristik dan pola pergerakan kapal di wilayah tersebut.
Langkah awal dalam analisis ini melibatkan filtrasi data dari impor data yang terfokus pada tiga
bulan dengan jumlah perjalanan terbanyak dalam setahun. Selanjutnya, plot kepadatan dipilih dari periode
tersebut, yang menampilkan distribusi kapal selama tiga bulan yang memiliki jumlah perjalanan terbanyak.
Berdasarkan plot kepadatan ini, definisi leg dibuat dengan memperhitungkan panjang, lebar, dan perluasan
yang sesuai dengan karakteristik plot kepadatan tersebut. Dengan demikian, langkah-langkah ini
memungkinkan penentuan leg yang akurat untuk digunakan dalam analisis risiko tubrukan kapal pada Alur
Pelayaran Barat Surabaya (APBS).

22
Gambar 3. 3 Density Plot untuk interval 1 Tahun beserta leg yang telah ditentukan
Sumber: (Suwardana, 2023)
Gambar di atas merupakan contoh hasil dari pemetaan densitas kapal di Selat Sunda Selama 1
Tahun beserta leg yang sudah ditentukan (Suwardana, 2023).

3.5 Gini Coefficient

Koefisien Gini adalah ukuran statistik yang digunakan untuk mengukur ketidaksetaraan distribusi
suatu variabel. Koefisien Gini umumnya digunakan dalam konteks ekonomi dan sosial untuk mengevaluasi
ketidaksetaraan pendapatan atau kekayaan di antara populasi. Koefisien Gini memiliki nilai antara 0 dan 1,
di mana 0 mengindikasikan distribusi yang sempurna setara, sementara 1 menunjukkan distribusi yang
sangat tidak setara.
Pengukuran ini dihitung dengan menggambar kurva Lorenz, yang membandingkan distribusi
kumulatif variabel tertentu dengan distribusi kumulatif yang sempurna setara. Koefisien Gini kemudian
dihitung sebagai rasio luas area di bawah kurva Lorenz terhadap luas total area segitiga yang terbentuk oleh
garis distribusi sempurna setara. Dalam konteks penelitian risiko tabrakan kapal yang disebutkan
sebelumnya, koefisien Gini digunakan untuk menganalisis keteraturan lalu lintas kapal pada alur pelayaran
dan dapat memberikan indikasi tentang tingkat risiko tabrakan kapal di suatu wilayah perairan. Rumus
perhitungan koefisien Gini untuk COG kapal dalam situasi berkolompok adalah sebagai berikut:

∑𝑛 𝑛
𝑖=1 ∑𝑗=1|𝑥𝑖−𝑥𝑗| (3.1)
Gini = 2𝑛 ∑𝑛
𝑖=1 𝑥𝑖

Di mana |𝑥𝑖 − 𝑥𝑗| merupakan nilai mutlak dari selisih antara setiap pasang jarak sampel.
Dalam konteks aplikasi koefisien Gini pada Course Over Ground (COG) kapal di Alur Pelayaran
Barat Surabaya (APBS), konsepnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Jika distribusi COG dari semua kapal
di APBS homogen atau seragam, hal ini menunjukkan bahwa alur pelayaran memiliki tingkat keteraturan
yang baik. Dalam situasi ini, nilai koefisien Gini akan cenderung lebih besar. Sebaliknya, jika COG kapal
terdistribusi secara lebih merata, menunjukkan ketidakaturan dalam alur pelayaran, maka nilai koefisien
Gini akan cenderung lebih kecil (Lin Q, dkk., 2023). Dengan demikian, pengukuran ini memberikan
gambaran tentang tingkat keteraturan atau ketidakteraturan alur pelayaran kapal di APBS berdasarkan
distribusi COG mereka.

23
Dengan menerapkan metode koefisien Gini seperti yang diuraikan pada Bagian 2.6.1, perhitungan
koefisien Gini dilakukan untuk setiap kelompok Course Over Ground (COG) kapal dalam segmen (leg)
yang telah ditentukan di Alur Pelayaran Barat Surabaya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan
Persamaan (3.1). Data yang digunakan berasal dari perairan jalur pelayaran kapal-kapal selama periode tiga
bulan yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, analisis koefisien Gini membantu dalam
memahami distribusi COG kapal dan tingkat keteraturan atau ketidakaturan alur pelayaran di wilayah
APBS selama periode waktu yang spesifik.

3.6 Hierarchial Clustering

Dalam mengimplementasikan metode ini untuk mengelompokkan koefisien Gini dari Course Over
Ground (COG) di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS), langkah-langkah spesifik yang harus diikuti
adalah sebagai berikut (Lin Q, dkk. 2023):
Set data contoh D = {x1, x2, . . . , xm}, dan fungsi metrik jarak pengelompokan davg ;
(1) Kelompokkan semua titik sampel dalam set data D ke dalam kategori terpisah;
(2) Hitung jarak davg antara setiap dua kelas dan temukan dua kelompok Ci dan Cj dengan jarak
terkecil;
(3) Gabungkan kelompok kelas Ci dan Cj menjadi satu kelompok kelas;
(4) Ulangi langkah-langkah (2) dan (3) sampai semua sampel dikelompokkan menjadi satu
kategori.
Kuncinya adalah menghitung jarak antar kelompok. Ada tiga cara dalam menghitung jarak ini
yaitu, jarak minimun dmin, jarak maksimum dmax, dan juga jarak rata-rata davg:
1. Jarak Minimum (dmin): Dalam perhitungan jarak minimum antara dua kelompok, langkah-
langkahnya melibatkan pencarian jarak terkecil antara setiap pasangan titik dalam kedua
kelompok tersebut, yaitu Ci dan Cj. Proses ini melibatkan perbandingan antara setiap titik
dalam Ci dengan setiap titik dalam Cj, dan jarak terkecil dari seluruh pasangan titik akan
diambil sebagai jarak minimum antara kedua kelompok tersebut. Dengan demikian, metode ini
memungkinkan untuk mengidentifikasi titik-titik yang memiliki jarak terdekat antar-kelompok,
memberikan gambaran yang lebih akurat tentang keterkaitan atau jarak antara dua kelompok
COG kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya.
2. Jarak Maksimum (dmax): Dalam perhitungan jarak maksimum antara dua kelompok, tahap
pertamanya melibatkan pencarian jarak terbesar antara setiap pasangan titik dalam kedua
kelompok tersebut, yakni Ci dan Cj. Prosedur ini mencakup perbandingan antara setiap titik
dalam Ci dengan setiap titik dalam Cj, dan jarak terbesar dari seluruh pasangan titik akan
diambil sebagai jarak maksimum antara kedua kelompok tersebut. Pendekatan ini memberikan
informasi mengenai titik-titik yang memiliki jarak terjauh antar-kelompok, yang dapat
mencerminkan variasi atau sebaran maksimal dari COG kapal di Alur Pelayaran Barat
Surabaya. Dengan demikian, perhitungan jarak maksimum ini dapat memberikan gambaran
yang lebih lengkap tentang hubungan spasial antara dua kelompok COG kapal.
3. Jarak Rata-rata (davg): Penghitungan jarak rata-rata antara dua kelompok, Ci dan Cj,
melibatkan proses perhitungan rata-rata dari semua jarak antara setiap pasangan titik dalam Ci
dan Cj. Secara spesifik, setiap pasangan titik dalam Ci akan dihubungkan dengan setiap
pasangan titik dalam Cj, dan jarak antar-titik tersebut akan dihitung. Kemudian, rata-rata dari
semua jarak ini diambil sebagai jarak rata-rata antara Ci dan Cj. Pendekatan ini memberikan
informasi tentang seberapa dekat atau jauh secara keseluruhan titik-titik antar-kelompok,
memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang hubungan spasial antara COG kapal di
Alur Pelayaran Barat Surabaya. Dengan demikian, perhitungan jarak rata-rata dapat
memberikan pandangan yang lebih komprehensif tentang distribusi spasial COG kapal di
wilayah tersebut.

24
Dari 3 cara untuk menghitung jarak tiap kelompok tersebut, dipilih jarak rata-rata dalam penelitian
ini. Dengan mengikuti rumus:

1 (3.2)
davg(Ci,Cj) = |𝐶𝑖||𝐶𝑗| ∑𝑥∈𝐶𝑖 ∑𝑧∈𝐶𝑗 𝑑𝑖𝑠(𝑥, 𝑧)

Pada persamaan di atas, dis(x,z) merupakan jarak Euclidean antara sample x dan z.

3.7 Cophenetic Corellation

Penemuan koefisien korelasi kofenetik oleh (Sokal dan Rohlf, 1969) telah membawa dampak
signifikan dalam studi fenetik numerik. Koefisien ini menjadi landasan esensial dalam penelitian yang
berkaitan dengan pengelompokan organisme berdasarkan karakteristik fenetik mereka. Koefisien korelasi
kofenetik bukan hanya sekadar alat pengukur tingkat kesesuaian klasifikasi dengan satu set data, tetapi juga
telah menjadi kriteria utama untuk mengevaluasi efisiensi berbagai teknik pengelompokan.
Dalam konteks penelitian taksonomi, koefisien korelasi kofenetik memberikan ukuran sejauh mana
hubungan filogenetik antarorganisme tercermin dalam pengelompokan taksonomis. Selain itu, dalam
bidang ekologi, koefisien ini digunakan untuk mengelompokkan komunitas organisme berdasarkan
karakteristik fenetik mereka, memberikan wawasan yang lebih baik tentang struktur ekosistem.
Keberhasilan koefisien korelasi kofenetik sebagai alat penelitian juga tercermin dalam
kemampuannya menjadi kriteria untuk mengevaluasi efisiensi berbagai teknik pengelompokan. Peneliti
dapat memilih teknik yang paling sesuai dengan data dan tujuan penelitian mereka, memberikan
fleksibilitas dan validitas analisis.Dengan berbagai kontribusi dan aplikasi yang terus berkembang,
koefisien korelasi kofenetik tetap menjadi salah satu instrumen utama dalam dunia penelitian biologi dan
taksonomi..
Algoritma pengelompokan hierarkis yang telah diuraikan pada Bagian 3.3 diimplementasikan
secara praktis untuk mengklasifikasikan koefisien Gini dari Course Over Ground (COG) dalam
pengelompokan 1°. Pada tahap ini, cophenetic correlation coefficient digunakan sebagai metrik evaluasi
untuk menggambarkan tingkat kepercayaan terhadap hasil pengelompokan yang dihasilkan oleh algoritma
tersebut.
Penggunaan cophenetic correlation coefficient menjadi krusial dalam menilai keakuratan dan
kehandalan pengelompokan hierarkis. Koefisien ini mengukur sejauh mana hubungan antarobjek dalam
dendrogram mencerminkan jarak sebenarnya antarobjek dalam data awal. Dengan kata lain, cophenetic
correlation coefficient memberikan gambaran sejauh mana pengelompokan hierarkis mencerminkan
struktur sebenarnya dari data COG.
Hasil dari cophenetic correlation coefficient dapat memberikan pandangan yang lebih jelas
terhadap kevalidan dan ketepatan hasil pengelompokan. Sebuah nilai yang tinggi menunjukkan bahwa
dendrogram yang dihasilkan oleh algoritma secara efektif mencerminkan struktur data COG, sementara
nilai rendah dapat menandakan adanya potensi ketidakakuratan atau bias dalam pengelompokan. Dengan
pendekatan ini, penelitian dapat memperoleh kepercayaan yang lebih tinggi terhadap hasil klasifikasi dan
interpretasi data COG dalam konteks evaluasi risiko tabrakan kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya.
Rumus dari cophenetic correlation coefficient adalah:

∑𝑖<𝑗(𝑥(𝑖,𝑗)−𝑥)(𝑡(𝑖,𝑗)−𝑡) (3.3)
c=
√[∑𝑖<𝑗(𝑥(𝑖,𝑗)−𝑥)2 ][∑𝑖<𝑗(𝑡(𝑖,𝑗)−𝑡)2 ]

25
3.8 Karakterisasi

Berdasarkan hasil hierarchial clustering, sejumlah kelompok akan dihasilkan dengan nilai
koefisien Gini yang berdekatan. Selanjutnya, dari setiap kelompok yang terbentuk, nilai koefisien Gini akan
diurutkan mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar. Kelompok dengan nilai yang mendekati 0 akan
menunjukkan risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Proses pengkarakterisasian
ini menjadi esensial untuk memahami dan membandingkan risiko tabrakan kapal di Alur Pelayaran Barat
Surabaya.
Langkah selanjutnya melibatkan pembandingan hasil karakterisasi ini dengan temuan dan
interpretasi dari jurnal-jurnal terkait. Dengan membandingkan hasil analisis risiko tabrakan kapal
berdasarkan koefisien Gini dengan temuan studi-studi sebelumnya, penelitian ini dapat memberikan
kontribusi pada pemahaman lebih lanjut mengenai faktor-faktor risiko yang memengaruhi Alur Pelayaran
Barat Surabaya. Hasil ini diharapkan dapat memberikan pandangan yang lebih komprehensif dalam upaya
meningkatkan keselamatan pelayaran dan mengurangi risiko tabrakan kapal di wilayah tersebut.

3.9 Detail Langkah Perhitungan Frekuensi Menggunakan Software IWRAP

Analisis Frekuensi dan Analisis Konsekuensi menjadi langkah kritis dalam mengevaluasi risiko
tabrakan kapal. Dua jenis analisis tersebut dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif
tentang probabilitas dan dampak potensial dari berbagai skenario. Dalam rangka mencapai tujuan ini,
variasi dilakukan pada setiap skenario untuk menghasilkan sejumlah hasil yang beragam, yang selanjutnya
akan dinilai.
Dalam lingkup skripsi ini, metode IWRAP digunakan sebagai alat untuk melakukan perhitungan
yang mendetail. Tiga skenario utama yang dieksplorasi adalah head-on situation, crossing situation, dan
overtaking situation. Melalui analisis ini, diperoleh informasi berharga tentang perilaku dan kemungkinan
interaksi antar kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya.
Data kedatangan kapal menjadi landasan utama dalam analisis ini. Kapal-kapal dikategorikan
berdasarkan jenis dan panjangnya untuk mengidentifikasi pola dan karakteristik masing-masing kelompok.
Pendekatan ini memberikan dasar yang solid untuk memahami distribusi kapal dan melihat bagaimana
situasi berpotensi memicu risiko tabrakan kapal. Dengan demikian, studi ini tidak hanya memberikan
gambaran mengenai frekuensi kejadian, tetapi juga menyajikan pemahaman mendalam tentang
konsekuensi yang mungkin timbul. Analisis ini menjadi dasar untuk merumuskan rekomendasi dan strategi
pengelolaan risiko guna meningkatkan keselamatan pelayaran di Alur Pelayaran Barat Surabaya.
Setelah mengumpulkan dan membahas data pada sebelumnya, langkah selanjutnya adalah
pengolahan dan interpretasi data tersebut menggunakan program khusus, yaitu IWRAP MK II. Program ini
memiliki kemampuan untuk menghitung frekuensi tubrukan kapal di berbagai bagian yang telah ditentukan
sebelumnya. Data yang sudah dikelompokkan berdasarkan jenis dan panjang kapal menjadi dasar utama
untuk menentukan probabilitas terjadinya tubrukan pada setiap kategori kapal, khususnya dalam rentang
panjang tertentu.
Penggunaan leg (garis) dan WAY POINT (titik) pada IWRAP digunakan untuk menetapkan area di
mana kemungkinan tubrukan akan dihitung. Pendekatan ini memungkinkan evaluasi yang lebih terfokus
pada segmen tertentu dalam Alur Pelayaran Barat Surabaya. Sebagai hasilnya, kita dapat memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang potensi risiko tabrakan kapal di area tersebut, memungkinkan
pengembangan strategi pengelolaan risiko yang lebih presisi dan efektif. Dengan menggunakan IWRAP
MK II, data yang telah diolah memberikan gambaran yang lebih kaya dan terinci tentang frekuensi tubrukan
kapal, membantu pihak berwenang dan pemangku kepentingan untuk mengambil keputusan yang lebih
informasional dan berbasis bukti.
Setelah merancang leg, langkah selanjutnya adalah melakukan beberapa pengaturan terkait
pembuatan leg menggunakan menu editor yang sudah tersedia. Menu editor ini memberikan fasilitas untuk

26
menyesuaikan parameter dan karakteristik dari leg yang telah dibuat. Dengan menggunakan menu editor,
pengguna dapat dengan mudah mengakses dan mengubah konfigurasi leg sesuai dengan kebutuhan dan
tujuan spesifik yang ingin dicapai.
Menu editor memungkinkan pengguna untuk menentukan panjang, lebar, dan orientasi leg, serta
parameter lainnya yang relevan dengan perancangan leg. Pengaturan ini memberikan fleksibilitas kepada
pengguna untuk menyesuaikan detail leg sesuai dengan kondisi geografis dan navigasi di Alur Pelayaran
Barat Surabaya. Selain itu, menu editor juga memfasilitasi pengguna untuk melakukan penyesuaian pada
WAY POINT (titik) dan parameter lain yang dapat memengaruhi hasil analisis dan evaluasi risiko tubrukan
kapal.
Dengan adanya menu editor, proses pembuatan dan penyesuaian leg menjadi lebih intuitif dan
efisien. Hal ini memberikan kontrol yang lebih besar kepada pengguna dalam merinci aspek-aspek kritis
yang terlibat dalam analisis risiko tabrakan kapal, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih akurat dan
relevan dengan konteks Alur Pelayaran Barat Surabaya. Berikut merupakan beberapa opsi pengaturan
antara lain yaitu:
a. Bagian "General" pada menu editor memiliki fungsi utama untuk melakukan modifikasi
terhadap aspek-aspek umum pada leg, sehingga memungkinkan pengguna untuk melakukan
penyesuaian berbagai parameter secara menyeluruh. Di dalam bagian ini, pengguna dapat
mengubah beberapa elemen kunci, seperti mengganti nama leg, menyesuaikan lebar dari alur
pelayaran, menentukan sudut yang digunakan, dan berbagai pengaturan umum lainnya. Dengan
demikian, bagian "General" memberikan fleksibilitas bagi pengguna untuk mengonfigurasi leg
sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi tertentu yang diinginkan.
2Melalui bagian "General" ini, pengguna dapat dengan mudah menyesuaikan karakteristik
umum dari leg tanpa harus terjebak dalam detail teknis yang lebih mendalam. Pengaturan
seperti lebar alur dan sudut navigasi merupakan elemen-elemen krusial dalam perancangan leg,
dan bagian "General" menyediakan wadah yang cocok untuk melakukan pengelolaan
parameter-parameter tersebut. Dengan cara ini, pengguna dapat lebih efisien dalam mengatur
elemen-elemen esensial yang memengaruhi hasil analisis dan evaluasi risiko tubrukan kapal di
Alur Pelayaran Barat Surabaya.

Gambar 3. 4 Menu Leg Editor tab General pada IWRAP

Pada Gambar 3.5, terlihat tampilan tab general dalam menu leg editor, yang memberikan
pengguna opsi untuk melakukan penyesuaian model pada perangkat lunak. Bagian ini
memungkinkan pengguna untuk mengonfigurasi berbagai parameter yang berpengaruh pada
pemodelan alur pelayaran kapal di dalam software. Salah satu parameter yang dapat

27
disesuaikan adalah nilai maximum width, yang diatur agar sesuai dengan lebar Alur Pelayaran
Barat Surabaya (APBS).
Tahap penyesuaian nilai maximum width menjadi langkah penting, karena lebar APBS
memiliki dampak langsung terhadap karakteristik alur pelayaran. Dengan menyelaraskan
model software dengan lebar yang sebenarnya dari APBS, analisis dan evaluasi risiko
tubrukan kapal dapat memberikan hasil yang lebih akurat dan relevan. Pengguna dapat
memastikan bahwa parameter ini disetel sesuai dengan keadaan sebenarnya, memungkinkan
perangkat lunak untuk memberikan simulasi yang lebih representatif dan dapat diandalkan
terkait kemungkinan tubrukan kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya.
b. Pada tab distribution, pengguna memiliki akses ke berbagai jenis distribusi yang dapat
diterapkan dalam pemodelan alur pelayaran kapal. Jenis-jenis distribusi yang tersedia meliputi
distribusi normal, gumbel, weibull, uniform, beta, dan upnormal. Setiap distribusi memiliki
karakteristik dan pola tertentu yang dapat disesuaikan dengan kondisi dan variabilitas data yang
dimiliki.
Pilihan distribusi menjadi penting karena dapat memengaruhi hasil analisis frekuensi tubrukan
kapal. Pengguna dapat memilih distribusi yang paling sesuai dengan data dan situasi tertentu.
Sebagai contoh, distribusi normal dapat digunakan untuk menggambarkan pola distribusi data
yang simetris, sementara distribusi weibull mungkin lebih sesuai untuk mengatasi asimetri
dalam data.
Dengan memberikan opsi distribusi yang beragam, perangkat lunak memungkinkan pengguna
untuk menyesuaikan model dengan karakteristik unik dari Alur Pelayaran Barat Surabaya.
Pilihan distribusi yang tepat dapat meningkatkan akurasi dan validitas hasil analisis yang
dilakukan dalam konteks risiko tubrukan kapal.

Gambar 3. 5 Menu Leg Editor tab distribution pada IWRAP

Gambar 3.4 menampilkan nilai dari tab distribution pada perangkat lunak IWRAP. Dalam
konteks ini, nilai mean (rata-rata) mencerminkan posisi di mana sebagian besar kapal melintas
pada alur, sementara standard deviation (deviasi standar) mengindikasikan posisi terjauh di
mana kapal dapat melintas dari rata-rata posisi kapal melintas pada alur. Dalam penelitian ini,
pendekatan yang digunakan adalah menggunakan deviasi standar sebesar 200 meter dengan
nilai mean sekitar 0 pada kedua sisi kurva distribusi.
Penentuan nilai deviasi standar dan mean ini menjadi krusial karena akan memengaruhi pola
distribusi kapal pada alur pelayaran. Dengan memilih deviasi standar sebesar 200 meter,
penelitian ini mengasumsikan bahwa variasi posisi kapal tidak melebihi batas tersebut,
memberikan gambaran yang realistis terhadap pergerakan kapal di Alur Pelayaran Barat

28
Surabaya. Melalui konfigurasi ini, analisis frekuensi tubrukan kapal dapat lebih tepat
menggambarkan skenario-skenario potensial yang dapat terjadi di wilayah tersebut.Causation
Factor, IWRAP merokomendasikan besaran dari nilai causation factor (Pc) untuk setiap model
tubrukan yang terjadi. Pada penelitian kali ini digunakan nilai causation factor sesuai dengan nilai
yang sudah ada pada IWRAP.

Gambar 3. 6 Menu Leg Editor tab causation factor pada IWRAP

c. Tab Traffic pada IWRAP menyediakan pengaturan untuk memodifikasi input data kapal yang
terkait dengan setiap leg. Pengguna dapat mengubah berbagai aspek, termasuk data kapal
berdasarkan jenisnya pada setiap pembagian panjang. Selain itu, pengguna juga dapat
menyesuaikan kecepatan kapal sesuai dengan data yang tersedia.
Pada tahap ini, parameter kecepatan kapal menjadi kritis karena akan memengaruhi hasil
analisis frekuensi tubrukan kapal. Penyesuaian kecepatan kapal dapat dilakukan untuk
menggambarkan kondisi lalu lintas yang lebih realistis di Alur Pelayaran Barat Surabaya.
Dengan mempertimbangkan data kapal dan mengatur kecepatan kapal sesuai dengan keadaan
sebenarnya, analisis yang dihasilkan oleh IWRAP dapat memberikan gambaran yang akurat
terhadap kemungkinan tubrukan kapal di wilayah tersebut.
Tingkat akurasi dan keandalan hasil analisis sangat bergantung pada sejauh mana parameter-
parameter seperti kecepatan kapal dapat mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan. Oleh
karena itu, pengaturan yang cermat pada tab Traffic akan memberikan kontribusi penting dalam
menjaga validitas analisis frekuensi tubrukan kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya.

29
Gambar 3. 7 Menu Leg Editor tab traffic pada IWRAP

Tab Drifting dalam IWRAP memberikan pengguna opsi untuk menambahkan analisis terkait
drifting dalam perhitungan frekuensi tubrukan. Dalam penelitian ini, penulis memutuskan
untuk tidak menggunakan atau melakukan perubahan apa pun pada tab ini. Hal ini disebabkan
oleh jenis skenario yang dipilih tidak melibatkan opsi drifting dalam simulasi.
Pengabaian terhadap opsi drifting tersebut dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari
pengaturan analisis yang disesuaikan dengan kondisi spesifik dari Alur Pelayaran Barat
Surabaya. Meskipun drifting dapat menjadi faktor penting dalam beberapa situasi, keputusan
untuk tidak mengimplementasikannya pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh
pertimbangan keandalan dan relevansi terhadap skenario yang sedang dianalisis.
Dengan mengabaikan opsi drifting pada tab ini, penulis dapat memusatkan analisis pada faktor-
faktor lain yang lebih signifikan dalam mengevaluasi frekuensi tubrukan kapal di Alur
Pelayaran Barat Surabaya. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dan penyesuaian yang dapat
dilakukan oleh pengguna sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi analisis yang diinginkan.

Gambar 3. 8 Menu Leg Editor tab drifting pada IWRAP

30
3.10 Perbandingan Metode koefisien Gini dengan IWRAP

Setelah melaksanakan evaluasi risiko tubrukan kapal menggunakan metode koefisien Gini, langkah
berikutnya adalah membandingkan risiko tubrukan kapal berdasarkan frekuensinya dengan menggunakan
IWRAP. Setelah memperoleh nilai frekuensi tubrukan kapal pada setiap leg melalui simulasi IWRAP,
langkah selanjutnya adalah karakterisasi hasil tersebut berdasarkan tingkat risikonya. Hasil karakterisasi
tersebut kemudian akan dibandingkan dengan hasil karakterisasi yang didapatkan melalui metode koefisien
Gini.
Proses perbandingan ini memberikan wawasan yang lebih komprehensif terkait risiko tubrukan
kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya. Metode koefisien Gini, yang berfokus pada diversifikasi dan
keteraturan alur kapal, dapat diintegrasikan dengan IWRAP yang mengevaluasi frekuensi tubrukan secara
lebih rinci. Hasil perbandingan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang sejauh
mana karakteristik alur pelayaran dan frekuensi tubrukan saling berkaitan, serta memberikan pandangan
menyeluruh terhadap risiko keseluruhan yang terkait dengan navigasi kapal di wilayah tersebut.

3.11 Rekomendasi Mitigasi

Analisis risiko tubrukan kapal dan kapal kandas merupakan langkah krusial dalam memastikan
keselamatan dan keamanan di sekitar Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). Jika hasil analisis
menunjukkan bahwa nilai frekuensi melebihi batas yang dapat diterima, terutama ketika karakterisasi nilai
Gini Coefficient-COG mencapai tingkat Medium Risk hingga High Risk, langkah-langkah mitigasi perlu
segera diambil. Rekomendasi mitigasi ini menjadi kunci untuk mengurangi risiko tubrukan kapal dan
meningkatkan keselamatan pelayaran di wilayah tersebut.
Setelah hasil analisis dicocokkan dengan standar yang dipilih, seperti menggunakan IMO
Frequency Index, daerah-daerah (leg) di APBS diberi penanda sesuai dengan warna yang mencerminkan
tingkat frekuensinya. Warna-warna tersebut memberikan gambaran visual yang jelas tentang tingkat risiko
di setiap area. Rekomendasi mitigasi kemudian dapat difokuskan pada daerah-daerah dengan tingkat
frekuensi tubrukan yang tinggi, yang ditunjukkan oleh warna yang sesuai.
Rekomendasi mitigasi dapat mencakup perubahan pada regulasi lalu lintas kapal, peningkatan
pengawasan dan patroli di daerah berisiko tinggi, serta kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran
kapal terkait pencegahan tubrukan. Selain itu, peningkatan infrastruktur navigasi, seperti pemasangan lebih
banyak rambu suar dan navigasi, juga dapat menjadi bagian dari rekomendasi tersebut.
Pentingnya rekomendasi mitigasi tidak hanya berkaitan dengan aspek keselamatan, tetapi juga
dampaknya terhadap efisiensi lalu lintas kapal dan keberlanjutan lingkungan. Dengan mengambil langkah-
langkah yang tepat, APBS dapat menjadi zona pelayaran yang lebih aman, efisien, dan berkelanjutan, yang
memberikan manfaat jangka panjang bagi seluruh industri dan masyarakat yang terlibat.

31
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

32
BAB 4

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengambilan Data

Pengumpulan data menjadi tonggak penting dalam menjalankan penelitian ini, di mana
ketersediaan data menjadi esensial untuk melakukan analisis frekuensi menggunakan Gini Coefficient dan
IWRAP. Sebelum memasuki tahap analisis, langkah awal yang dilakukan adalah memastikan data yang
memadai dan representatif untuk mewakili lalu lintas yang dievaluasi. Jumlah data dalam data frame
mencerminkan keragaman dan intensitas lalu lintas kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). Data
ini mencakup berbagai variabel yang relevan, seperti Course Over Ground (COG), jenis kapal, dimensi
kapal, dan lainnya, yang kemudian akan digunakan dalam analisis untuk mengevaluasi risiko tubrukan
kapal. Pentingnya pengambilan data yang tepat adalah agar hasil analisis dapat memberikan gambaran yang
akurat dan representatif tentang situasi lalu lintas kapal di wilayah tersebut. Selain itu, ketelitian dan
kelengkapan data juga menjadi kunci untuk memastikan validitas hasil analisis dan rekomendasi mitigasi
yang kemudian dihasilkan.Proses pengumpulan data ini juga melibatkan pemahaman mendalam tentang
karakteristik lalu lintas kapal di APBS, sehingga data yang diambil dapat mencerminkan kondisi
sebenarnya di lapangan. Dengan demikian, analisis risiko yang dilakukan dapat memberikan kontribusi
positif dalam pengembangan strategi keselamatan pelayaran yang lebih efektif di wilayah tersebut.
Raw AIS Message menjadi poin awal dan inti dari penelitian ini. Raw AIS message adalah rekaman
data utama yang akan menjadi fokus analisis dalam proyek ini. Data yang telah dijelaskan sebelumnya
merupakan hasil rekaman khusus yang ditransmisikan oleh seluruh kapal di wilayah tertentu dan diterima
oleh layanan VTS (Vessel Traffic Services). Jumlah data yang terekam mencakup semua set data yang
relevan mulai dari bulan Agustus hingga September, yang dianggap mewakili periode observasi yang
signifikan.
Raw AIS message diambil secara langsung dari server yang berlokasi di laboratorium RAMS
(Reliability, Availability, Management, and Safety Laboratory). Raw message yang diambil telah
dikompilasi dalam sebuah file teks yang mencatat informasi selama rentang waktu tertentu. Semua
informasi dienkripsi dalam set data paket NMEA, dan setiap dataset memiliki timestamp yang
menunjukkan kapan catatan tersebut ditransmisikan secara spesifik.
Isi dari file teks tersebut diatur dalam baris terpisah untuk setiap pesan mentah AIS. Sebagai contoh,
file teks yang merekam data pada tanggal 1 Agustus 2023 dapat dilihat dalam Gambar 4.1. Struktur ini
memungkinkan peneliti untuk dengan mudah mengakses, memahami, dan menganalisis data secara
terperinci, membentuk dasar untuk penelitian lebih lanjut terkait dengan evaluasi risiko tubrukan kapal di
Alur Pelayaran Barat Surabaya.menunjukkan kapan catatan tersebut ditransmisikan secara spesifik. Isi file
teks tersebut dicantumkan dalam baris yang berbeda untuk setiap pesan mentah AIS, sebagai contoh untuk
file teks pada tanggal 1 Agustus 2023 seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.

33
Gambar 4. 1 AIS Raw Messages yang Terkompilasi dalam File Teks
Setiap detiknya, terlihat bahwa data dari masing-masing kapal terekam dalam set data paket ini.
Namun, perlu dicatat bahwa jumlah data yang terekam setiap harinya bervariasi, dan terdapat beberapa periode
waktu di mana layanan VTS tidak dapat merekam data sama sekali. Fenomena ini mencerminkan dinamika
lalu lintas kapal yang tidak selalu konsisten, dan kondisi tertentu mungkin mempengaruhi ketersediaan data.
Variabilitas harian dalam jumlah data mencerminkan fluktuasi aktivitas pelayaran kapal, yang dapat
dipengaruhi oleh faktor seperti kondisi cuaca, waktu tertentu dalam sehari, atau peristiwa khusus. Selain itu,
ketidaktersediaan data pada beberapa waktu tertentu dapat disebabkan oleh berbagai faktor teknis atau
operasional yang memengaruhi fungsi VTS. Memahami pola dan variabilitas dalam pengumpulan data ini
akan menjadi kunci dalam interpretasi hasil analisis nantinya. Oleh karena itu, peneliti perlu
mempertimbangkan perbedaan dalam ketersediaan data untuk memastikan analisis yang akurat dan dapat
diandalkan dalam mengukur risiko tubrukan kapal di wilayah Alur Pelayaran Barat Surabaya.

34
Gambar 4. 2 Data Sebaran Waktu yang Terekam dalam Raw AIS Message
Telah dikonfirmasi oleh pengembang AIS ITS bahwa periode waktu yang ditandai dengan warna
merah, menunjukkan kesalahan teknis dalam pencatatan data. Beberapa masalah teknis yang teridentifikasi
mencakup matinya server AIS ITS akibat gangguan pada kabel atau pemadaman listrik (blackout). Selain
itu, beberapa kendala terkait ketidaklengkapan data yang belum berhasil dipahami juga menjadi faktor
penyebab ketidakrekaman data pada periode tersebut.
Gangguan pada server AIS ITS, baik karena masalah infrastruktur seperti kabel atau gangguan daya
listrik, dapat menyebabkan ketidaktersediaan layanan dan, akibatnya, kehilangan data. Kendala terkait
ketidaklengkapan data mencerminkan tantangan dalam pemahaman terhadap beberapa aspek data yang
mungkin belum sepenuhnya terkumpul atau direkam dengan baik.
Pemahaman atas sumber potensial ketidaklengkapan data ini menjadi kunci dalam
menginterpretasikan hasil analisis. Dengan mengidentifikasi dan memahami kendala-kendala tersebut,
peneliti dapat merancang strategi yang efektif untuk menanggulangi atau mengkoreksi masalah tersebut
dalam analisis risiko tubrukan kapal yang lebih lanjut..

35
4.2 Perhitungan Frekuensi Menggunakan IWRAP

Sebelum metahuman perhitungan frekuensi, yang terlebih dahulu wajib dilakukan adalah
membagi leg berdasarkan density plot.

Gambar 4. 3 Leg yang Telah Dibuat Berdasarkan Density Plot


Leg penting untuk dibuat guna perhitungan frekuensi dapat dilakukan, karena pada IWRAP
frekuensi tubrukan kapal akan dihitung dalam beberapa jenis tubrukan, faktor penentu dari
tubrukan yang akan dihitung salah satunya adalah leg yang dibuat. Pertimbangan dalam
pembuatan leg di antaranya adalah density plot, lebar alur yang juga menentukan lebar leg
maksimal, Lalu lintas eksisting kapal pada alur pelayaran, dan lain-lain.
Setelah berhasil membagi leg berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah
disebutkan pada paragraf di atas, maka sleanjutnya dilakukanlah perhitungan frekuensi dengan
hasil sebagai berikut.
Tabel 4. 1 Nilai Frekuensi Pada Setiap Jenis Tubrukan Kapal

Collision Type Frequency Value Unit


Overtaking 1.13E-03 Incident/Year
HeadOn 6.68E-03 Incident/Year
Crossing 7.29E-05 Incident/Year
Merging 1.83E-08 Incident/Year
Bend 4.45E-05 Incident/Year
Total Collisions 7.82E-03 Incident/Year

Pada tipe tubrukan kapal Overtaking dihasilkan nilai sebesar 0.001131, sementara untuk
tipe tubrukan HeadOn yaitu 0.006676, tipe tubrukan Crossing memiliki nilai frekuensi sebesar
7.29E-05, Merging bernilai 1.83E-08,dan yang terakhir adalah tipe tubrukan Bend dengan nilai
frekuensi sebesar 4.45E-05. Total frekuensi dari seluruh tipe tubrukan adalah sebesar 0.007819
kecelakaan per tahunnya.

36
Perhitungan yang dilakukan menggsunakan Gini Coefficient nantinya akan mengacu pada
tiap leg, maka dari itu dibutuhkan hasil perhitungan frekuensi tubrukan kapal pada setiap leg-nya
dengan hasil seperti yang tertera di bawah.

Gambar 4. 4 Hasil Perhitungan Frekuensi pada Tipe Tubrukan Overtaking


Seperti yang sudah dijelaskan pada subbab 2.1 bahwa tipe tubrukan Overtaking merupakan
keadaan dimana kapal berjalan berdekatan pada arah yang sama namun dalam kecepatan berbeda dengan
maksud untuk menyalip. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa nilai frekuensi tubrukan kapal yang berada pada
leg 6 merupakan nilai frekuensi terbesar apabila dibandingkan dengan leg lainnya.

4.3 Pemrosesan Data

Pada tahap ini Raw AIS Message data diolah dan difilter agar hasil perhitungan yang akan diproses
dalam software IWRAP maupun sebagai input koefisien Gini menghasilkan nilai yang akurat.

37
Gambar 4. 5 Hasil Plot Area Menggunakan Python
Plot area menggunakan pemrograman penting dikarenakan data yang akan diolah nanti
harus dipetakan terlebih dahulu. Kumpulan titik yang berwarna merah menandakan bahwa data
tersebut merupakan semua data CSV (Comma Separated Value) yang berhasil dibaca, sementara
area berwarna hitam merupakan data yang telah dipilih berdasarkan leg yang telah ditentukan pada
IWRAP berdasarkan pemetaan densitas.

4.3.1 Filtrasi dan Konversi Data


Pemrosesan data menggunakan perangkat lunak Python. Hal pertama yang menjadi
syarat dalam pemrosesan data ini adalah menghapus baris data yang mengandung nilai NaN
(Not a Number) dari DataFrame menggunakan modul “pandas” dengan fungsi ‘dropna()’.
Kemudian nilai-nilai pada setiap kolom yang ada dalam DataFrame haruslah dikonversi agar
dapat dibaca oleh Python. Nilai yang dibutuhkan dalam pemrosesan ini adalah mmsi, COG,
latitude, dan longitude. 4 nilai tersebut kemudian dikonversi menjadi ‘kelas’ ‘int’ yang
membuat Python membaca data pada kolom yang dimaksud menjadi bilangan bulat, serta
‘kelas’ ‘float’ yang akan dibaca sebagai bilangan decimal dalam software Python.

4.3.2 Pengurutan DataFrame


Data yang digunakanlah haruslah urut berdasarkan waktu dan juga mmsi Kode
“ais_19_juli.sort_values(by=['timestamp', 'mmsi'], inplace=True)” digunakan untuk mengurutkan
DataFrame ais_19_juli berdasarkan kolom 'timestamp' dan 'mmsi'. Ini akan mengurutkan data
berdasarkan kolom timestamp secara utama dan mmsi secara sekunder. Dengan penjelasan argument
sebagai berikut:
• by=['timestamp', 'mmsi']: Menentukan kolom-kolom yang digunakan untuk
mengurutkan data. Urutan pengurutan akan dimulai dari kolom pertama dalam daftar
('timestamp'), dan jika ada nilai yang sama dalam kolom timestamp, urutan akan
ditentukan oleh kolom kedua dalam daftar ('mmsi').
• inplace=True: Argumen ini mengindikasikan bahwa perubahan harus dilakukan
langsung pada DataFrame yang ada (ais_19_juli) tanpa perlu menyimpan hasilnya ke
variabel baru. Jika inplace diatur ke True, DataFrame akan dimodifikasi secara
langsung, dan tidak perlu menugaskan hasilnya ke variabel lain.
Jadi, setelah menjalankan kode ini, DataFrame ais_19_juli akan diurutkan berdasarkan kolom
'timestamp' secara utama dan 'mmsi' secara sekunder, dan perubahan tersebut diterapkan pada
DataFrame itu sendiri.

4.3.3 Interpolasi Data

38
Gambar 4. 6 Kode yang Digunakan untuk Perumusan Interpolasi
Interpolasi data diperlukan karena seringkali didapati adanya catatan waktu yang tidak
terekam. Catatan waktu yang lengkap pada setiap kapal sangatlah diperlukan agar perhitungan
koefisien Gini menjadi akurat, sebab saat melakukan perhitungan menggunakan koefisien Gini akan
dibandingkan nilai COG setiap kapal pada waktu yang sama. Batasan dilakukan apabila selisih dari
nilai COG 2 dan COG 1 lebih dari 180° sebagai berikut.
COG = COG1 – Weight * (COG1 + 360 – COG2) (4.1)

Apabila selisihnya kurang dari -180° maka dapat dirumuskan seperti di bawah.

COG = COG1 + Weight * (COG1 + 360 – COG2) (4.2)

Weight merupakan variable yang digunakan sebagai faktor bobot untuk menghitung titik-titik
interpolasi di anatara dua titik awal. Pada setiap iterasi loop, ‘weight’ dihitung dengan rumus:

𝑖 (4.3)
Weight =
𝑛𝑢𝑚_𝑝𝑜𝑖𝑛𝑡𝑠 +1

• i adalah nomor iterasi saat ini dalam loop


• num_points adalah jumlah titik interpolasi yang diinginkan
Weight berkisar antara 0 (pada iterasi pertama) hingga 1 (pada iterasi terakhir), dan nilainya
digunakan untuk menghitung titik-titik interpolasi di antara dua titik awal (lon1, lat1) dan (lon2, lat2)
dengan memberikan bobot yang sesuai kepada koordinat-kordinat tersebut.
Dengan kata lain, semakin besar nilai weight, semakin dekat titik interpolasi dengan titik akhir
(lon2, lat2). Nilai weight memberikan kontribusi terhadap seberapa jauh atau dekat suatu titik
interpolasi dengan titik akhir dalam rentang 0 hingga 1.

39
Gambar 4. 7 Data CSV yang catatan waktunya tidak lengkap
Dapat dilihat pada gambar bahwa terjadi inkonsistensi catatan data. Pada pukul 00:00
terdapat 6 mmsi, namun pada 00:01 hanya ada 2 mmsi, melihat dari informasi tersebut kita
dapat menyimpulkan ada 4 kapal yang tidak tercatat (apabila acuan kita adalah data pada
00:00) maka saat dibandingkan jumlah kapal akan tidak konsisten pada setiap satuan
waktunya. Hal tersebut akan menjadikan hasil perhitungan dengan Gini Coefficient menjadi
kurang akurat.

Gambar 4. 8 Hasil Interpolasi pada 1 Minggu pertama di Bulan Agustus

40
Waktu yang dipilih untuk mengisi nilai-nilai yang kosong agar sama rata adalah 10
detik. Pada gambar 4.10 akan dengan jelas terlihat pada kolom timestamp bahwa waktu akan
berurutan dengan selang 10 detik.
Seperti yang sudah ditampilkan pada gambar 4.7 bahwa sebelumnya data-data kapal
yang terkam dalam CSV akan dibatasi pada leg-leg tertentu. Maka dari itu hasil interpolasi
yang ditampilkan di atas juga merupakan interpolasi dari sample leg 1 untuk setiap kapal yang
berada pada area tersebut.

4.3.4 Pembagian Leg

Gambar 4. 9 Kode untuk Melakukan Pemetaan Area

Perancangan suatu kode untuk membuat objek Polygon dengan menggunakan koordinat
sebagai titik-titik sudut. Objek Polygon ini mewakili suatu poligon di dalam bidang geometri. Pada
kasus ini, poligon dibentuk oleh empat titik yang masing-masing diberi label sebagai LEG 1.1, LEG
1.2, LEG 1.3, dan LEG 1.4. Koordinat ini menggambarkan sudut-sudut yang membentuk poligon di
peta, di mana setiap sudut diwakili oleh pasangan nilai longitude dan latitude.

Gambar 4. 10 Plot Leg 1 Menggunakan Python

Setelah objek Polygon dibuat, koordinat eksterior dari poligon tersebut diambil menggunakan
metode .exterior.xy. Koordinat ini kemudian diplot menggunakan fungsi plt.plot() dari modul

41
Matplotlib dengan warna garis yang diatur menjadi hitam ('black'). Hasilnya adalah penggambaran
grafis dari poligon yang dibentuk oleh koordinat sudut LEG 1.1 hingga LEG 1.4. Visualisasi ini dapat
digunakan, misalnya, untuk menunjukkan batas wilayah atau area tertentu di peta.

Gambar 4. 11 Kode yang Digunakan untuk Memfilter Data Interpolasi berdasarkan Leg yang
Sudah Dipetakan.
Kode tersebut membaca data dari file CSV yang disimpan dalam blok-blok kecil dengan
ukuran 10000 baris pada setiap blok menggunakan pustaka pandas. Setiap blok data diubah menjadi
GeoDataFrame menggunakan pustaka GeoPandas, dengan menambahkan kolom geometri
berdasarkan koordinat lintang dan bujur. Selanjutnya, kolom baru 'berada_dalam_LEG1' dihasilkan
dengan menggunakan metode within dari GeoPandas, yang menunjukkan apakah setiap titik dalam
blok tersebut berada dalam wilayah geometri yang telah ditentukan sebelumnya (dalam hal ini,
inside_LEG1, yang merupakan suatu area polygon).
Data yang hanya berada dalam wilayah LEG1 kemudian diambil dari setiap blok, dan kolom
'berada_dalam_LEG1' serta kolom geometri dihapus dari hasil akhir. Setiap hasil blok diakumulasi
dalam bentuk daftar. Setelah semua blok telah diproses, hasil blok-blok tersebut digabungkan menjadi
satu DataFrame tunggal, yaitu final_result_LEG1.
Secara keseluruhan, kode ini dirancang untuk membaca data dalam jumlah besar secara efisien
dan mengekstrak informasi yang relevan, dalam hal ini, data yang terletak dalam wilayah LEG1.
Pendekatan ini memungkinkan pemrosesan data yang besar dalam blok-blok kecil untuk mengurangi
kebutuhan memori dan memfasilitasi analisis lebih lanjut pada data yang spesifik ke wilayah tertentu.

42
4.3.5 Perhitungan Koefisien Gini

Gambar 4. 12 Kode untuk Perhitungan Gini yang Efisien.

Fungsi Gini_coefficient_optimized di atas diimplementasikan untuk menghitung koefisien Gini


dari sebuah distribusi data, diwakili oleh array cog (course over ground). Koefisien Gini digunakan dalam
ekonomi dan statistika untuk mengukur ketidaksetaraan distribusi. Dalam konteks fungsi ini, distribusi
adalah distribusi data dari nilai-nilai COG.
Fungsi ini mengoptimalkan perhitungan Gini coefficient dengan menggunakan operasi vektorisasi
dari NumPy. Pertama, array cog diubah menjadi NumPy array untuk kemudian diurutkan secara ascending.
Setelah itu, dilakukan perhitungan Gini coefficient secara efisien dengan memanfaatkan operasi vektorisasi.
Terdapat juga penanganan kasus khusus ketika seluruh nilai dalam array cog adalah 0, di mana fungsi akan
mengembalikan NaN untuk menghindari pembagian oleh nol.
Dalam analisis lebih mendalam, metode perhitungan Gini coefficient yang dioptimalkan seperti ini
dapat meningkatkan kinerja perhitungan pada dataset yang besar, mengurangi waktu eksekusi dan
kebutuhan memori. Penerapan operasi vektorisasi dari NumPy memungkinkan kode untuk menangani
sejumlah besar data secara efisien, sesuai dengan kebutuhan pengolahan data besar dalam banyak aplikasi
ilmu data dan analisis statistika. Pemahaman mengenai distribusi dan ketidaksetaraan dalam data COG
dapat memberikan wawasan lebih lanjut terhadap dinamika pergerakan dan distribusi data tersebut.

43
Gambar 4. 13 Kode Perhitungan Koefisien Gini untuk Seluruh Leg yang Sudah Dibagi.

Kode di atas bertujuan untuk menganalisis dataset dari sepuluh jalur perjalanan (LEG) yang
disimpan dalam file CSV. Setiap dataset direpresentasikan oleh sebuah DataFrame dalam Python
menggunakan pustaka pandas. Struktur data yang dihasilkan, datasets, menggabungkan sepuluh DataFrame
yang dibaca dari sepuluh file CSV yang berbeda, diindeks dengan kunci yang mengidentifikasi setiap LEG.
Pertama-tama, kode melakukan iterasi melalui setiap dataset untuk menjalankan beberapa operasi
analisis. Untuk setiap dataset, terlebih dahulu, tipe data kolom 'timestamp' diperiksa dan diubah menjadi
format datetime jika diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penghitungan frekuensi setiap timestamp dalam
dataset untuk menemukan timestamp-timestamp yang memiliki lebih dari satu baris data.
Selanjutnya, untuk setiap timestamp yang memiliki lebih dari satu baris data, nilai-nilai koefisien
Gini dari kolom 'cog [deg]' dihitung menggunakan fungsi Gini_coefficient_optimized yang telah
dioptimalkan sebelumnya. Hasilnya disimpan dalam bentuk daftar untuk kemudian dihitung rata-ratanya.
Kemudian, hasil analisis untuk setiap LEG, termasuk nilai rata-rata koefisien Gini, disimpan dalam
bentuk DataFrame result_df. DataFrame ini dapat digunakan untuk menyajikan dan membandingkan
ketidaksetaraan distribusi arah COG (Course Over Ground) pada setiap perjalanan. Pendekatan ini dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang variasi dan pola arah perjalanan kapal pada setiap LEG,
dengan fokus pada timestamp-timestamp di mana terdapat lebih dari satu data posisi yang dicatat.

44
KOEFISIEN GINI
1.0 0.90194 0.91584 0.91226 0.90048 0.90774 0.88759 0.88195
0.83861 0.85249 0.82950
0.9
NILAI KOEFISIEN GINI

0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

LEG

Gambar 4. 14 Nilai Koefisien Gini Pada Setiap Leg.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada subbab 2.6.1 bahwa rentang nilai dari
koefisien Gini adalah 0 hingga 1, dengan penjelasan bahwa semakin dekat nilai Gini terhadap 0 berarti
semakin rata persebaran dalam data tersebut, sebaliknya apabila nilai Gini mendekati angka 1
mengindikasikan bahwa distribusi dari suatu data tidak merata. Berdasarkan gambar 4. 14 yang merupakan
hasil perhitungan dari proses sebelumnya didapati nilai koefisien Gini yang mendekati nilai 1, berarti dapat
disimpulkan bahwa risiko tabrakan kapal tergolong rendah.
Nilai tertinggi terletak pada leg 10 yaitu sebesar 0,17050, disusul dengan leg 5 dengan nilai sebesar
0.16139, setelahnya adalah leg 9 dengan koefisien Gini sebesar 0.14751, pada leg 7 memiliki koefisien
Gini sebesar 0.11241, berikutnya pada leg 1 nilai koefisien Gini yang didapat adalah 0.09806, leg 6 bernilai
0.09226, 3 leg terakhir yaitu leg 2,3, dan 4 yang secara berturut-turut memiliki nilai koefisien Gini yaitu
0.08416, 0.08774, dan 0.09952. Setelah mendapatkan semua nilai dari koefisien Gini seperti saat ini,
selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan pengelompokan secara hierarkis.

4.3.6 Hierarchial Clustering

Gambar 4. 15 Pustaka untuk Melakukan Hierarchia; Clustering menggunakan Python

Kode tersebut ditujukan untuk melakukan analisis klaster hierarki pada data posisi kapal dengan
menggunakan beberapa pustaka analisis data populer di Python. Pertama-tama, data posisi kapal dibaca
dari file CSV menggunakan pustaka Pandas, yang memberikan kemampuan untuk menyimpan dan

45
memanipulasi data tabular. Selanjutnya, pustaka NumPy digunakan untuk operasi matematika dan
manipulasi array.
Setelah itu, analisis klaster hierarki dilakukan menggunakan pustaka SciPy. Fungsi-fungsi seperti
linkage, dendrogram, dan cophenet digunakan untuk menghitung matriks linkage, membuat dendrogram,
dan mengukur korelasi cophenetic. Langkah-langkah ini memberikan pemahaman tentang sejauh mana
dendrogram mencerminkan struktur hierarki dalam data posisi kapal. SMatplotlib digunakan untuk
membuat plot dendrogram guna visualisasi hasil analisis klaster hierarki. Dengan demikian, visualisasi ini
dapat memberikan pandangan yang jelas terhadap struktur hubungan dan kemiripan antar posisi kapal, yang
dapat memberikan wawasan tambahan kepada peneliti dalam memahami pola pergerakan kapal dalam data
yang diberikan.
Secara keseluruhan, penggunaan pustaka-pustaka ini dalam kombinasi memungkinkan penelitian
yang komprehensif terhadap data posisi kapal, dari pembacaan awal hingga analisis klaster hierarki dan
visualisasi hasilnya. Pendekatan ini dapat menjadi kontribusi yang berharga dalam pemahaman dinamika
pergerakan kapal dan pola distribusi dalam konteks dataset yang diberikan.

Gambar 4. 16 Kode untuk melakukan Hierarchial Clustering

Kode tersebut bertujuan untuk melakukan analisis klaster hierarki pada data hasil rata-rata koefisien
Gini dari sepuluh jalur perjalanan (LEG) kapal. Langkah pertama melibatkan perhitungan matriks linkage
menggunakan metode average linkage dan metrik Euclidean pada data Gini menggunakan fungsi linkage
dari pustaka SciPy. Proses ini menghasilkan struktur hirarki yang mencerminkan tingkat kemiripan antar
data Gini.
Selanjutnya, matriks jarak pairwise dihitung menggunakan fungsi pdist dari SciPy dengan metrik
Euclidean. Ini berguna untuk mengukur jarak antara semua pasangan data, yang diperlukan dalam
perhitungan korelasi cophenetic. Cophenetic correlation coefficient dihitung menggunakan fungsi
cophenet, yang menyediakan nilai yang mencerminkan sejauh mana dendrogram mencerminkan hubungan
antar data sesuai dengan matriks jarak.
Hasil analisis klaster hierarki divisualisasikan dalam bentuk dendrogram menggunakan fungsi
dendrogram dari pustaka SciPy dan Matplotlib. Dendrogram memberikan gambaran visual tentang tingkat
kemiripan antar jalur perjalanan kapal dalam hal distribusi koefisien Gini mereka. Nama setiap LEG
ditampilkan di samping dendrogram untuk membantu interpretasi.

46
Selain itu, cophenetic correlation coefficient dicetak untuk memberikan ukuran numerik tentang
sejauh mana dendrogram merepresentasikan hubungan antar data. Didapatkan nilai sebesar 0.90484, nilai
tersebut dapat diartikan bahwa struktur hierarki dendrogram secara konsisten mencerminkan jarak antar
data sesuai dengan matriks jarak.
Dengan mengintegrasikan langkah-langkah ini, penelitian dapat mendapatkan wawasan yang lebih
dalam tentang pola pergerakan kapal dan kemiripan distribusi koefisien Gini di antara berbagai LEG.
Analisis klaster hierarki dan visualisasinya dapat menjadi alat yang berguna dalam penelitian ini, membantu
dalam pemahaman terhadap struktur data dan variabilitas koefisien Gini pada konteks dataset yang
diberikan.

Gambar 4. 17 Dendogram dari Hierarchial Clustering berdasarkan Nilai COG Kapal Pada Setiap Leg.

Dalam gambar 4.17, kita dapat memerhatikan hasil klasterisasi yang dihasilkan menggunakan
metode hierarki klaster. Hasilnya memperlihatkan pembentukan beberapa klaster yang mencerminkan
hubungan hierarki antar leg. Klaster pertama terdiri dari leg 3 hingga leg 1, menunjukkan adanya kesamaan
yang kuat di antara ketiga leg tersebut. Sementara itu, klaster kedua terdiri dari leg 4 dan leg 1,
mengindikasikan kemiripan karakteristik di antara kedua leg tersebut. Klaster ketiga menarik perhatian
dengan menggabungkan leg 10 dan leg 5. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedua leg tersebut memiliki
propertis atau atribut yang serupa, yang menyebabkan pengelompokan dalam klaster yang sama. Terakhir,
klaster keempat hanya berisikan leg 9, menunjukkan bahwa leg ini memiliki perbedaan yang signifikan
dengan leg lainnya, sehingga terisolasi dalam klaster tersendiri.
Penggunaan metode hierarki klaster memungkinkan kita untuk memahami struktur hierarki dalam
data, di mana pembentukan klaster dilakukan berdasarkan tingkat kemiripan antar elemen. Dengan
demikian, analisis klaster ini dapat memberikan wawasan mendalam tentang hubungan dan karakteristik
yang mungkin tidak terlihat secara langsung melalui observasi individual.

47
4.3.7 Karakterisasi Level Risiko

Setelah melakukan proses hierarchial clustering yang dapat dilakukan selanjutnya


adalah melakukan karakterisasi level risiko berdasarkan klaster-klaster yang sudah dibagi.
Tabel 4. 2 Karakterisasi Level Risiko berdasarkan Klasterisasi Koefisien Gini.

Klaster Leg Gini Coefficient Level Risiko


3 9.12E-01
2 9.16E-01
K1 6 9.08E-01 Extremely Remote
4 9.00E-01
1 9.02E-01
8 8.82E-01
K2 Extremely Remote
7 8.88E-01
10 8.29E-01
K3 Remote
5 8.39E-01
K4 9 8.52E-01 Extremely Remote

Penilaian level risiko pada table 4.2 dilakukan dengan melihat referensi pada jurnal milik
(Lin, 2023) dan penyebutan level risiko berdasarkan indeks frekuensi yang diterbitkan oleh (IMO,
2023). Dengan menggunakan range nilai koefisien Gini yang sama (0,85-1) maka dapat disimpulkan
klister 1, klister 2, dan juga klister 4 berada pada level risiko “extremely remote”, sementara klaster 3
yang memiliki nilai di bawah 0,85 dapat dikategorikan dalam level risiko ”remote”.

Gambar 4. 18 Distribusi Frekuensi COG dari Kapal pada Klaster Pertama

Grafik yang tergambar pada gambar di atas memberikan gambaran persebaran yang tampak
merata, dan ini bisa diartikan bahwa proses plotting tidak melibatkan penyaringan interval terlebih
dahulu. Sebagai akibatnya, sejumlah besar Course Over Ground (COG) yang mungkin tidak terlalu
esensial tetap terhitung dalam frekuensi. Dengan kata lain, grafik mencakup berbagai variasi arah
kapal tanpa memfilter interval tertentu.

48
Namun, jika kita memilih untuk mengabaikan grafik-grafik dengan frekuensi rendah, yang
biasanya menciptakan lembah-lembah pada grafik, kita dapat melihat pola yang sangat teratur. Pola
ini mengindikasikan bahwa hampir semua kapal mengikuti arah utama alur, yang mungkin
mencerminkan adanya jalur navigasi utama atau pola arus yang mendominasi daerah tersebut.
Keputusan untuk mengabaikan grafik dengan nilai frekuensi rendah bisa memberikan perspektif
yang lebih jelas tentang tren umum dan arah dominan dalam pergerakan kapal. Dengan demikian,
analisis yang lebih terfokus pada grafik-gafik dengan frekuensi tinggi dapat memberikan wawasan
yang lebih tajam terkait perilaku keseluruhan dari kapal-kapal yang tercatat dalam data Course
Over Ground tersebut.

Gambar 4. 19 Distribusi Frekuensi COG dari Kapal pada Klaster Kedua

Berdasarkan perbandingan dengan klaster pertama, terdapat perbedaan karakteristik pada


data Course Over Ground (COG) yang termasuk dalam klaster kedua, khususnya untuk leg7 dan
leg8. Pada grafik COG klaster ini, terlihat bahwa persebaran COG cenderung kurang teratur
dibandingkan dengan klaster pertama. Meskipun begitu, penting untuk dicatat bahwa grafik COG
pada klaster ini tetap memperlihatkan tingkat risiko yang dapat dikategorikan sebagai "extremely
remote."

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa meskipun terdapat ketidakteraturan dalam


persebaran COG, perubahan deviasi pada grafik tersebut relatif kecil. Hal ini menyiratkan bahwa
pergerakan kapal pada leg7 dan leg8 cenderung stabil dan konsisten, bahkan jika terdapat variasi
dalam arah COG. Sebagai akibatnya, tingkat risiko dikategorikan sebagai "extremely remote"
menandakan bahwa kemungkinan terjadinya kecelakaan kapal di klaster ini sangat rendah.
Meskipun persebaran kurang teratur, kestabilan dan deviasi yang kecil memberikan indikasi bahwa
navigasi pada leg7 dan leg8 cenderung aman.

49
Gambar 4. 20 Distribusi Frekuensi COG dari Kapal pada Klaster Ketiga

Klaster ketiga menjadi fokus perhatian karena menunjukkan perubahan deviasi yang paling
signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa area ini menjadi tempat melintasnya kapal-kapal dengan Course
Over Ground (COG) yang tidak teratur, menunjukkan kecenderungan untuk bergerak menuju segala arah.
Analisis perhitungan nilai koefisien Gini turut menegaskan temuan ini, dengan hasil yang memungkinkan
kategorisasi klaster 3 pada tingkatan "remote" berdasarkan frekuensi indeks yang dipilih.
Berdasarkan penilaian koefisien Gini, tingkat ketidakteraturan dan variasi COG di klaster ini
tampak cukup tinggi, menciptakan suatu pola yang tidak terduga dalam navigasi kapal. Meskipun terdapat
ketidakpastian dalam arah pergerakan kapal, kategorisasi sebagai "remote" menunjukkan bahwa, meskipun
ada ketidakteraturan, risiko kecelakaan masih tetap pada tingkat yang dapat dikelola. Analisis ini
memberikan wawasan mendalam tentang dinamika navigasi di klaster ketiga, memungkinkan perencanaan
dan implementasi langkah-langkah keselamatan yang sesuai untuk mengurangi potensi risiko tabrakan
kapal di area ini.

50
Gambar 4. 21 Distribusi Frekuensi COG dari Kapal pada Klaster Ketiga
Klaster keempat menunjukkan pola yang hampir serupa dengan klaster ketiga, dimana
kapal-kapal berada pada ujung alur, mengindikasikan pergerakan kapal yang cenderung lebih acak.
Kesinambungan dengan bentuk grafik Course Over Ground (COG) di atas menunjukkan bahwa
klaster 4 memiliki standar deviasi yang cukup besar. Meninjau hasil perhitungan nilai koefisien
Gini, klaster 4 dapat ditempatkan pada level risiko "extremely remote," meskipun nilai COG-nya
hampir menyentuh batas nilai 0,85 yang menjadi batas level risiko yang telah disebutkan.

Dengan nilai standar deviasi yang signifikan, grafik COG pada klaster ini menunjukkan
bahwa kapal-kapal dalam area ini cenderung memiliki variasi yang tinggi dalam arah pergerakan
mereka. Meskipun pergerakan kapal bersifat lebih acak, kategorisasi pada tingkatan risiko
"extremely remote" mengindikasikan bahwa meskipun terdapat ketidakteraturan, potensi risiko
kecelakaan tetap sangat rendah. Analisis ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang
kompleksitas dan variasi navigasi di klaster keempat, memungkinkan upaya keselamatan yang
lebih terarah dan tepat guna untuk meminimalkan potensi risiko di dalamnya.

4.3.8 Rekomendasi

Dalam pengestimasian nilai causation probability (Pc) dapat dibagi menjadi berbagai cara.
(Kujala et al., 2009) menyatakan bahwa pengestimasian causation probability dapat dibagi menjadi
dua cara yaitu pendekatan skenario dan pendekatan sintetik. Pengambil keputusan direkomendasikan
untuk tidak hanya mengurangi frekuensi tubrukan kapal melalui variable geometris, akan tetapi juga
nilai probabilitas kausalitas yang ada pada Alur Pleayaran Barat Surabaya. Pada konsepnya, nilai Pc
akan bergantung kepada karakteristik, kondisi, dan budaya di masing masing perairan, sehingga nilai
Pc pada masing masing area perairan memiliki nilai yang berbeda.

51
4.4 Perbandingan Risiko IWRAP dengan Koefisien Gini

Gambar 4. 22 Plot Warna Berdasarkan Level Risiko yang Dihitung Menggunakan IWRAP

Dalam proses perhitungan frekuensi menggunakan IWRAP (IALA Waterway Risk Assessment
Programme), hasil menunjukkan bahwa hanya leg 4 yang dikelompokkan pada level risiko "remote." Nilai
frekuensi tabrakan pada leg 4 sekitar 1 × 10-5, mencerminkan risiko yang relatif rendah. Di sisi lain, leg-leg
lainnya menunjukkan nilai frekuensi tabrakan yang jauh lebih tinggi, berkisar sekitar 1 × 10-3, sehingga
dapat dikategorikan dalam level risiko "extremely remote". Penting untuk memahami bahwa perbedaan
signifikan dalam frekuensi tabrakan antara leg 4 dan leg-leg lainnya dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
seperti kepadatan lalu lintas, karakteristik geografis, atau struktur alur pelayaran di setiap leg. Hasil ini
memberikan pandangan yang mendalam tentang potensi risiko di masing-masing leg, memungkinkan
penilaian risiko yang lebih cermat dan perencanaan tindakan keselamatan yang sesuai.

Selain itu, kategori risiko yang ditentukan oleh IWRAP memberikan landasan yang kuat sebagai
pembanding dari penentuan level risiko tubrukan kapal berdasarkan perhitungan dengan koefisien Gini
dengan hasil seperti di bawah.

Gambar 4. 23 Plot Warna Berdasarkan Level Risiko yang Dihitung Menggunakan Koefisien Gini

Perbandingan antara hasil plot warna level risiko berdasarkan perhitungan menggunakan
koefisien Gini dan hasil dari perhitungan IWRAP memberikan pemahaman yang lebih mendalam

52
tentang tingkat risiko di setiap leg. Meskipun kedua metode ini memberikan 2 level risiko yang
hampir mirip, terdapat sedikit perbedaan hasil pada pemetaan levelnya.
Dalam plot warna berdasarkan koefisien Gini, leg 10 dan leg 5 menunjukkan level risiko
"remote," ditandai dengan warna kuning. Namun, hasil yang berbeda terlihat ketika menggunakan
IWRAP, di mana hanya leg 4 yang terkategori sebagai level risiko "remote." Fenomena ini
menggambarkan perbedaan sensitivitas dan aspek yang diperhitungkan oleh kedua metode tersebut
dalam mengevaluasi risiko navigasi. Selanjutnya, pada plot perhitungan Gini (selain leg 10 dan leg
5) tergolong dalam level risiko "extremely remote," ditandai dengan warna hijau. Dalam hal ini,
perbedaan hasil antara kedua metode menunjukkan kompleksitas dan variasi dalam interpretasi
risiko, serta bagaimana faktor-faktor tertentu dapat mempengaruhi penilaian risiko. Ditinjau dari
kesamaan mayoritas level risiko pada semua area yang dibandingkan, koefisien Gini dapat
digunakan untuk menganalisis risiko tubrukan kapal.
Analisis ini menyimpulkan bahwa, berdasarkan serangkaian kalkulasi yang telah
dilakukan, proses mitigasi mungkin tidak perlu dilakukan pada saat ini. Hal ini dikarenakan tingkat
bahaya yang diukur oleh kedua metode masih belum mencapai level "reasonably probable"
berdasarkan indeks frekuensi IMO. Namun, perlu diperhatikan bahwa evaluasi risiko yang
komprehensif harus mempertimbangkan seluruh konteks, termasuk karakteristik alur pelayaran,
jenis kapal yang sering melintas, dan kondisi lingkungan maritim. Kesimpulan ini dapat menjadi
dasar untuk perencanaan tindakan keselamatan yang proporsional dan efektif guna mengelola
risiko navigasi di area tersebut.

53
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

54
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah melakukan perhitungan dengan menggunakan koefisien Gini untuk menilai risiko tubrukan
kapal di APBS, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Proses untuk melakukan analisis risiko tubrukan kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya dengan
pendekatan koefisien Gini menggunakan data AIS adalah sebagai berikut.
a. Pengambilan data raw AIS message melalui serves AIS ITS
b. Pre-processing data yang dilakukan dengan cara decode data mentah AIS, kemudian
melakukan interpolasi data agar data pada timestamp yang hilang dapat dipehui, selanjutnya
pembagian leg berdasarkan density plot yang ada pada IWRAP dilakukan dengan syntax yang
dibangun menggunakan python.
c. Perhitungan koefisien Gini menggunakan python sehingga nilai Gini pada setiap leg.
d. Klastering terhadap 10 koefisien Gini pada setiap leg dilakukan untuk menemukan klaster-
klaster yang jarak nilainya berdekatan, sehingga stiap klaster dapat dikelompokkan dalam level
risiko yang sama.
e. Karakterisasi level risiko berdasarkan indeks frekuensi IMO dengan bantuan validasi dari
grafik hasil plot derajat COG terhadap kemunculan frekuensinya.
f. Perbandingan hasil analisis risiko pada setiap area anatara perhitungan IWRAP dengan
koefisien Gini.
2. Proses pengelompokan menggunakan metode hierarchial clustering dilakukan melalui pencarian
jarak yang paling dekat antara setiap klaster, memanfaatkan rumus jarak dengan metode
pengukuran jarak euclidean. Dalam konteks ini, pendekatan yang diterapkan adalah menggunakan
rumus jarak "davg" yang mengacu pada rata-rata jarak antar elemen dalam dua klaster yang hendak
digabungkan. Langkah-langkahnya diimplementasikan secara iteratif melalui suatu fungsi looping
dalam bahasa pemrograman Python. Proses ini berlanjut terus-menerus hingga terbentuknya klaster
terakhir yang mencakup keseluruhan data. Dalam setiap iterasi, klaster yang memiliki jarak paling
dekat dihitung, dan kemudian digabungkan untuk membentuk klaster yang lebih besar.
3. Hasil perbandingan level risiko antara kalkulasi IWRAP dengan koefisien Gini secara umum
mengeluarkan hasil yang sama, namun pada leg 4 perhitungan menggunakan IWRAP memiliki
level risiko “remote” sementara pada karakterisasi perhitungan menggunakan koefisien Gini, level
risiko yang berada pada level “remote” berada pada leg 10 dan leg 5.
4. Level risiko tubrukan kapal hasil analisis dengan menggunakan IWRAP maupun koefisien Gini
tidak melebihi batas standar frekuensi indeks oleh IMO maka tidak perlu dilakukan mitigasi pada
penelitian ini.

5.2 Saran

Setelah penelitian ini dilakukan, ada beberapa hal yang dapat diterapkan bagi penelitian
selanjutnya dengan topik yang sama, yaitu penilaian risiko tubrukan kapal dengan offshore
platform menggunakan koefisien Gini. Validasi dalam penelitian lanjutin juga perlu
dipertimbangkan dan lebih dikaji lagi, baik pada saat karakterisasi maupun validasi pada frekuensi
koefisien Gini.

55
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

56
DAFTAR PUSTAKA

Arfian, Z. 2017. Ship Collision Risk Assesment Due to Offshore Platform Installation Near Surabaya West
Access Channel (SWAC). Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Surabaya.
Ceyhun, G. C. 2014. ‘The Impact of Shipping Accidents on Marine Environment: A Study of Turkish Seas’,
European Scientific Journal
C. Gini, Measurement of inequality of incomes, Econ. J. 31 (1921) 124–125.
Cucinotta, F., Guglielmino, E., Sfravara, F., 2017. Frequency of ship collisions in the strait of messina
through regulatory and environmental constraints assessment. journal of navigation.
Farris, J.S. 1969. “The Cophenetic Correlation Coefficient”
Gao, M., Shi, G.-Y., 2020. Ship collision avoidance anthropomorphic decision-making for structured
learning based on ais with seq-cgan. Ocean Engineering.
Hasell, J. 2023. "Measuring inequality: What is the Gini coefficient?". Published online at
OurWorldInData.org. Retrieved from: 'https://ourworldindata.org/what-is-the-Gini-coefficient”
[Online Resource]
Hwang, T. & Youn, Ik-Hyun. (2021). Navigation Situation Clustering Model of Human-Operated Ships
for Maritime Autonomous Surface Ship Collision Avoidance Tests. Journal of Marine Science and
Engineering.
IMO (no date) ‘AIS transponders’. Available at:
http://www.imo.org/en/OurWork/Safety/Navigation/Pages/AIS.aspx. (Diakses: 10 Agustus 2023).
Kristiansen, Svein. 2005. Maritime Transportastion : Safety Management and Risk Analysis. DNV
Technica.
Kristiansen, Maritime Transportation: Safety Management and Risk Analysis. 2013
L. Ceriani, P. Verme, The origins of the Gini index: extracts from Variabilità e Mutabilità (1912) by
Corrado Gini, J. Econ. Inequal. 10 (2012) 421–443.
Li, S., Zhou, J., Zhang, Y., 2015. Research of vessel traffic safety in ship routeing precautionary areas based
on navigational traffic conflict technique. Journal of Navigation 68.
Lin, dkk. 2023. Evaluation of Ship Collision Risk in Ships’ Routeing Waters: A Gini Coefficient Approach
Using AIS Data. Elsevier B. V.
Liu, Z., Wu, Z., Zheng, Z., 2020. A molecular dynamics approach for modeling the geographical
distribution of ship collision risk. Ocean Engineering.
Lou dan Shin, 2019. melakukan tinjauan literatur yang komprehensif tentang penelitian kecelakaan laut,
termasuk menganalisis 572 artikel yang diterbitkan dalam 125 jurnal antara tahun 1965 hingga
2014. Mereka menemukan bahwa fokus utama penelitian kecelakaan
Mahkamah Pelayaran, 2023. Sidang Pembacaan Keputusan Mahkamah Pelayaran tentang kasus
Kecelakaan Kapal tubrukan antara TSHD HAM 311 dan MT Crane Vesta pada tanggal 06
Desember 2021 sekira pukul 05.07 WIB di perairan sekitar Buoy 5 Alur Pelayaran Barat Surabaya
pada koordinat 06° 52.04’ S / 112° 44.53’ T. Dapat diakses melalui:
https://mahpel.dephub.go.id/web/listberita/s?y=&q=&c=sidang. (Diakses: 11 Agustus 2023).
Marino, M., Cavallaro, L., Castro, E., Musumeci, R. E., Martignoni, M., Roman, F., & Foti, E. 2023. New
frontiers in the risk assessment of ship collision. www.elsevier.com/locate/oceaneng.
Mujeeb-Ahmed, M.P., & Paik, J. K. 2021. Quantitative collision risk assessment of a fixed-type offshore
platform with an offshore supply vessel. https://doi.org/10.1016/j.istruc.2020.06.026
Ning, J., Chen, H., Li, T., LiI, W., Li, C., 2020. COLREGs-compliant unmanned surface vehicles collision
avoidance based on multi-objective genetic algorithm. IEEE Access

57
Okunev, J. U., 1989. An Analysis Of The Extended Mean Gini Coefficient As An Alternative Measure Of
Risk In Investment Decision Making Under Uncertainty. The Australian National University.
Australia.
Prastyasari dan Shinoda. 2021. “Safety Assessment Framework Of Traffic Separation Scheme As Collision
Risk Control Option”. Kyushu University
Sokal, R.R. dan Rohlf, F.J 1962. The comparison of dendrograms by objective methods.
Suwardana. 2023. Consideration of Routeing Measures For Maritime Traffic Lane Design on The
Connection of Sunda Strait And Java Sea.ITS.
Wang, dkk. 2021. Collision-avoidance navigation systems for Maritime Autonomous Surface Ships: A state
of the art survey. Elsevier B. V.
Wijuniamurti S., dkk. 2021. PPT UB
Qu, X., Meng, Q., Suyi, L., 2011. Ship collision risk assessment for the singapore strait. Accident Analysis
& Prevention.
X. Wu, A.L. Mehta, V.A. Zaloom, B.N. Craig, Analysis of waterway transportation in Southeast Texas
waterway based on AIS data, Ocean Eng. 121 (2016) 196–209
Dong, Y., Frangopol, D.M. 2015. Probabilistic ship collision risk and sustainability assessment considering
risk attitudes. Elsevier
Zhang, L., Meng, Q., Fang Fwa, T., 2019. Big ais data based spatial-temporal analyses of ship traffic in
singapore port waters. Transportation Research Part E: Logistics and Transportation Review.
Zhang, W., Feng, X., Goerlandt, F., Liu, Q., 2020. Towards a convolutional neural network model for
classifying regional ship collision risk levels for waterway risk analysis. Reliability Engineering &
System Safety.
Zhang, X., Wang, C., Jiang, L., An, L., Yang, R., 2021. Collision-avoidance navigation systems for
maritime autonomous surface ships: A state of the art survey. Ocean Engineering.

58
LAMPIRAN

Lampiran 1. Pengolahan Awal Data AIS


Data Raw AIS Message

59
Data Raw AIS Message yang Sudah Diterjemahkan

60
Syntax untuk Membaca Data CSV dan Merubah Format Waktu Menjadi Timestamp

61
Syntax untuk Mengambil Sampel “mmsi” pada Data CSV Bulan Agustus

62
Syntax untuk Menginterpolasi Sampel “mmsi” pada Data CSV Bulan Agustus

63
Syntax untuk Memunculkan Hasil Interpolasi Sampel “mmsi” pada Data CSV Bulan Agustus

64
Syntax untuk Menggabungkan Data Hasil Interpolasi Sampel “mmsi” dengan Data Sebelum
diinterpolasi

65
Syntax untuk Menginterpolasi Semua Data pada Data CSV Bulan Agustus

66
67
68
Syntax untuk Menggabungkan serta Menyimpan Data Hasil Interpolasi dengan Data Sebelum
diinterpolasi

69
Lampiran 2 Syntax untuk Melakukan Analisis Risiko Menggunakan Koefisien Gini
Pustaka-Pustaka yang Digunakan

70
Syntax untuk Memfilter dan Menyimpan Data CSV hasil interpolasi ke Dalam Leg 1

71
72
Syntax untuk Memfilter dan Menyimpan Data CSV hasil interpolasi ke Dalam Leg 2

73
74
Syntax untuk Memfilter dan Menyimpan Data CSV hasil interpolasi ke Dalam Leg 3

75
76
Syntax untuk Memfilter dan Menyimpan Data CSV hasil interpolasi ke Dalam Leg 4

77
78
Syntax untuk Memfilter dan Menyimpan Data CSV hasil interpolasi ke Dalam Leg 5

79
80
Syntax untuk Memfilter dan Menyimpan Data CSV hasil interpolasi ke Dalam Leg 6

81
82
Syntax untuk Memfilter dan Menyimpan Data CSV hasil interpolasi ke Dalam Leg 7

83
84
Syntax untuk Memfilter dan Menyimpan Data CSV hasil interpolasi ke Dalam Leg 8

85
86
Syntax untuk Memfilter dan Menyimpan Data CSV hasil interpolasi ke Dalam Leg 9

87
88
Syntax untuk Memfilter dan Menyimpan Data CSV hasil interpolasi ke Dalam Leg 10S

89
90
Syntax untuk Melihat Bentuk Dataset

91
Syntax untuk Membuat Fungsi Rumus Gini Secara Manual

92
Syntax untuk Membuat Fungsi Rumus Gini yang Lebih Efisien

93
Syntax untuk Menghitung Koefisien Gini pada Seluruh Leg

94
S

95
Syntax untuk Menampilkan Hasil Perhitungan Koefisien Gini pada Seluruh Leg

96
Syntax untuk Melakukan Klasterisasi Pada Semua Leg

97
98
Hasil dari Hierarchial Clustering dan Juga Nilai Cophenetic Corellation Coefficient

99
Lampiran 3 Karakterisasi Level Risiko Koefisien Gini Menggunakan Plot Diagram COG terhadap
Frekuensi
Syntax yang Digunakan untuk Memunculkan Plot

100
101
102
103
104
105
106
107
108
Hasil Karakterisasi Menggunakan Koefisien Gini

109
Lampiran 4 Perhitungan Frekuensi Menggunakan IWRAP
Time Distribution

110
Head On Collision Frequency IWRAP

111
Overtaking Collision Frequency IWRAP

112
Crossing Collision Frequency IWRAP

113
Crossing Collision Frequency IWRAP

114
Bending Collision Frequency IWRAP

115
Totza Collison Frequency IWRAP

116
Hasil Plot Frekuensi Tubrukan Menggunakan IWRAP

117
(Halaman ini senagaja dikosongkan)

118
BIODATA PENULIS

Penulis lahir di Probolinggo, Jawa Timur pada tanggal 9 Februari 2002


dengan nama Febro Helios Javanica yang merupakan anak terakhir dari 2
bersaudara. Penulis menempuh jenjang Pendidikan mulai dari SDN
Sukabumi X Probolinggo (2008 – 2014), SMPN 1 Probolinggo (2014 –
2017), dan SMAN 1 Probolinggo (2017 – 2020). Setelah lulus dari bangku
SMA, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Departemen Teknik Sistem
Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember melalui jalur penerimaan SNMPT pada tahun 2020. Selama
menempuh masa studi, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi baik
di bidang akademik maupun non akademik. Dalam bidang akademik, penulis
memiliki minat pada manajemen risiko, keandalan, keselamatan, dan bisnis
maritim. Dalam bidang non akademik penulis aktif menjadi salah satu bagian
dari tim robotika di ITS yaitu Barunastra.

Febro Helios Javanica


Departemen Teknik Sistem Perkapalan FTK-ITS
fjavanica@gmail.com

119

Anda mungkin juga menyukai