Dosen Pembimbing :
Ir. Triwilaswandio W.P., M.Sc
Imam Baihaqi, S.T., M.T
i
TUGAS AKHIR -MN 141581
Dosen Pembimbing :
i
FINAL PROJECT -MN 141581
Supervisors :
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Tugas akhir ini berisi tentang analisa risiko
terjadinya kerusakan kapal pada proses penurunan dengan metode airbag.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir, yaitu :
1. Bapak Ir. Triwilaswandio W.P., M.Sc dan Bapak Imam Baihaqi, S.T., M.T selaku dosen
pembimbing yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan ilmu dan arahan dalam
pengerjaan tugas akhir ini.
2. Bapak Dr. Ir. Heri Supomo, M.Sc yang telah membantu penulis, memberikan ilmu dan
masukan untuk terselesaikannya tugas akhir ini.
3. Dosen-dosen Jurusan Teknik Perkapalan khususnya bidang industri perkapalan yang
telah turut membantu dalam memberikan ilmu dan bimbingannya selama di bangku
perkuliahan.
4. Ir. Wasis Dwi Aryawan, M.Sc., Ph.D selaku ketua Jurusan Teknik Perkapalan yang
telah memberikan motivasi dan inspirasi hingga terselesaikannya tugas akhir ini.
5. Bapak Daniel selaku pemilik salah satu perusahaan airbag di Indonesia yang telah
memberikan bimbingan dan inspirasi di dalam mengerjakan tugas akhir ini.
6. Orang tua dan keluarga yang senantiasa memberikan doa dan semangat kepada penulis
untuk dapat menyelesaikan tugas akhir.
7. Norberta Yekti Setya Nastiti yang senantiasa tiada lelah memberikan moral dan
motivasi sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.
8. Seluruh teman-teman P52-Forecastle yang saling mendukung dan memberikan
semangat untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
9. Teman-teman kontrakan seperjuangan yang selalu memberikan penulis semangat dan
memberikan inspirasi bagi penulis.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Dalam penyusunan laporan Tugas Akhir ini, penulis masih merasa ada banyak
kekurangan pada materi maupun penulisan. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat
diharapkan dalam rangka perbaikan untuk penulis. Penulis juga berharap semoga laporan tugas
akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan referensi kepada pembaca maupun penulis sendiri
untuk kebutuhan penelitian yang akan datang.
Penulis
v
ANALISA RISIKO TERJADINYA KERUSAKAN KAPAL PADA
PROSES PENURUNAN DENGAN METODE AIRBAG
ABSTRAK
Penurunan kapal dengan metode airbag memiliki potensi risiko yang besar terhadap
dampak pada kerusakan kapal. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih adanya
kecelakaan penurunan kapal dengan metode airbag. Sehingga sampai saat ini belum ada
badan asuransi yang berani menanggung risiko pada peluncuran kapal menggunakan airbag.
Oleh karena itu pada tugas akhir ini dilakukan analisa risiko kerusakan kapal pada proses
peluncuran dengan metode airbag. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses
perhitungan yang benar, risiko-risiko apa saja yang dapat terjadi dan apa rekomendasi
preventif (pencegahan) yang diberikan agar risiko tersebut berkurang atau bahkan hilang pada
proses peluncuran kapal dengan metode airbag. Metode yang digunakan dalam menganalisa
risiko kejadian didapatkan berdasarkan dari beberapa langkah pengerjaan. Pertama, adalah
mengidentifikasi faktor-faktor risiko. Kedua, mengidentifikasi bahaya sehingga dampak risiko
dapat diketahui. Ketiga, melakukan evaluasi risiko berdasarkan penilaian kuantitatif pada
tingkat probabilitas dan tingkat keparahan. Terakhir, hasil dari penilaian risiko dimitigasi
dengan memisahkan mana risiko yang dapat diterima dan mana risiko yang harus diberikan
tindakan. Pada proses identifikasi akar permasalahan (root cause) dilakukan dengan bantuan
Fault Tree Analysis, dimana identifikasi dilakukan dengan diawali asumsi kegagalan
peluncuran (top event) kemudian penyebab kegagalan dirinci hingga sampai pada suatu
kegagalan dasar. Rekomendasi preventif diberikan berdasarkan dari akar permasalahan yang
muncul. Pada proses perhitungan digunakan kapal kontainer 100 TEUs sebagai referensi
kapal yang akan diluncurkan dengan metode airbag. Dengan berat peluncuran 1156.94 ton
dibutuhkan airbag sebanyak 20 buah dengan diameter 1 meter dan bearing capacity sebesar
16.66 ton/m. Kapasitas winch yang dibutuhkan untuk menahan kapal tersebut adalah 795.4 kN.
Gaya angkat buritan terjadi setelah langkah 7 dan terapung bebas setelah langkah 8.
Sedangkan pada identifikasi risiko dilakukan berdasarkan periode peluncuran. Untuk periode
1 pada kondisi kritis kapal bisa anjlok, untuk periode 2 kapal membentur landasan atau badan
kapal bisa patah sedangkan untuk periode 3 pada kondisi kritis kapal bisa karam atau kapal
bisa mengalami dropping. Dari hasil identifikasi akar permasalahan yang dilakukan dengan
Fault Tree Analysis, didapatkan 11 rekomendasi preventif yang harus dilakukan pada proses
penurunan kapal dengan metode airbag.
ABSTRACT
Ship’s launching with airbags method has a big risk potential to cause damages to the
ship itself. That fact can be proven with so many accidents while the ship is undergoing the
process of ship launching with airbags method. So that, until now there hasn’t been any
insurance firm that brave enough to guarantee the risk ship launching with airbags. Therefore,
in this final project has a goal to analyze the risk ship’s damage due to launching with airbag
method. And also to find out how to calculate the process correctly, what are the risks that can
occure and to give preventive recommendations to decrease even depive the risks. The method
that has been used to analyze the risks can be obtained based on work steps. Firstly, identify
the factors of risk. Secondly, identify hazard so that the impact can be discovered. Thirdly,
evaluate the risks based on quantitative assessment at level of probabilities and severities. In
the end, the result of risk assesments have to be mitigated and divided which risks can be
allowed and which risks shall be prevented. The identification process of root causes can be
done with Fault Tree Analysis method, where identification process started with assumption of
launching failure, and then the failure causes sorted until the root causes. Preventive
recommendation given based on root cause that occurs. The launching calculation process is
using container ship 100 TEUs as a reference. With weight of launching 1156.94 ton, needed
20 pcs airbag to launch that ship. The diameter of airbag is 1 m with bearing capacity 16.66
ton/m. The capacity of winch which is needed to hold the ship is 795.4 kN. Stern lift force
happened after step 7th and free floating phase happened after step 8th. Meanwhile, the risk
identification has been done based on launching period. For first period, critical condition can
cause ship plummet from airbag to the ground, for second period the ship hits rampway or
causing fracture to the hull, and for third period the ship can be sinkimg or dropping. From
root cause identification results that has been done with Fault Tree Analysis, obtained 11
preventive recommendation that shall be done to ship’s launcing with airbags method.
vii
DAFTAR ISI
viii
Hazard and Operability Study (HAZOPS) ......................................................... 33
Risk Based Inspection (RBI)............................................................................... 33
What if / Check List ............................................................................................ 33
Failure Modes and Effect Analysis (FMEA) ...................................................... 34
Fault Tree Analysis (FTA) ................................................................................. 34
Event Tree Analysis (ETA) ................................................................................. 34
Action Error Area (AEA) ................................................................................... 34
Job Hazard Analysis (JHA) ................................................................................ 34
II.6 Metode Identifikasi Risiko dengan Fault Tree Analysis (FTA) ................................ 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................. 39
III.1 Tahap Persiapan ......................................................................................................... 39
Identifikasi dan Perumusan Masalah .................................................................. 39
Studi Penelitian ................................................................................................... 39
III.2 Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data................................................................ 40
III.3 Tahap Analisa dan Pembahasan................................................................................. 40
III.4 Tahap Penarikan Kesimpulan .................................................................................... 40
III.5 Flow Chart Metodologi Penelitian ............................................................................ 41
Tahap Persiapan.................................................................................................. 42
Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data ........................................................ 43
Tahap Analisis dan Pembahasan ........................................................................ 44
Tahap Penarikan Kesimpulan ............................................................................. 44
BAB IV PERHITUNGAN DAN IDENTIFIKASI RISIKO PELUNCURAN KAPAL
DENGAN AIRBAG .................................................................................................................. 47
IV.1 Informasi Teknis Airbag ............................................................................................ 47
Data Spesifikasi Airbag ...................................................................................... 47
Daya Tampung Maksimal Airbag dalam Menahan Beban ................................ 51
IV.2 Informasi Teknis yang Harus Dipenuhi Di dalam Peluncuran Menggunakan
Airbag ................................................................................................................................... 52
Pengaturan Pemasangan Airbag ......................................................................... 53
Alat Bantu Peluncuran Kapal Menggunakan Airbag ......................................... 54
IV.3 Perhitungan Peluncuran Kapal Kontainer .................................................................. 56
Gambar Konstruksi Kapal Kontainer 100 TEUs ................................................ 57
Membuat Model Linesplan di Maxsurf .............................................................. 59
Menghitung Luas CSA Kapal Kontainer 100 TEUs .......................................... 65
Perhitungan Peluncuran Kontainer 100 TEUs dengan Airbag ........................... 67
IV.4 Identifikasi Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag ....................... 75
Kondisi Landasan ............................................................................................... 77
Water Level (Kedalaman Air Diujung Landasan) .............................................. 79
ix
Holding System (Sistem Penahan Kapal) ........................................................... 82
IV.5 Penilaian Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag .......................... 83
Identifikasi Bahaya ............................................................................................. 83
Evaluasi Risiko ................................................................................................... 85
BAB V ANALISA RISIKO PENURUNAN KAPAL MENGGUNAKAN AIRBAG ........ 91
V.1 Analisa Risiko Penurunan Kapal dengan Metode Airbag ......................................... 91
Simulasi Kondisi Kemungkinan Airbag Mengalami Pecah ............................... 91
Analisa Risiko Penurunan Kapal Pada Saat Airbag Pecah................................. 99
Identifikasi Risiko dengan FTA ....................................................................... 109
V.2 Rekomendasi Preventif Risiko ................................................................................. 114
Periode 1 ........................................................................................................... 114
Periode 2 ........................................................................................................... 117
Periode 3 ........................................................................................................... 119
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 123
VI.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 123
VI.2 Saran ........................................................................................................................ 124
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 125
LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Skema landasan peluncuran kapal ......................................................................... 8
Gambar II.2. Panjang kontak antara airbag dan alas kapal (Ld) .............................................. 10
Gambar II.3 Airbag yang mendapat tekanan ............................................................................ 11
Gambar II.4 Struktur airbag ..................................................................................................... 12
Gambar II.5 Uji kompresi airbag ............................................................................................. 16
Gambar II.6 Hasil uji kompresi pada airbag QG6 (ø1.2m) ..................................................... 17
Gambar II.7 Hasil uji bearing capacity pada airbag QG6 (ø1.2m) ......................................... 18
Gambar II.8 Contoh kurva bonjean .......................................................................................... 21
Gambar II.9 Kurva bonjean dalam kapal mengalami trim ....................................................... 21
Gambar II.10. Gambaran gaya yang bekerja pada proses peluncuran ..................................... 24
Gambar II.11. Proses manajemen risiko ................................................................................... 30
Gambar II.12 Contoh penggunaan FTA ................................................................................... 38
Gambar III.1 Flow chart tugas akhir ........................................................................................ 41
Gambar III.2 Flow chart tahap persiapan................................................................................. 42
Gambar III.3 Flow chart tahap pengumpulan dan pengolahan data ........................................ 43
Gambar III.4 Flow chart analisa dan pembahasan ................................................................... 44
Gambar III.5 Flow chart penarikan kesimpulan ...................................................................... 44
Gambar IV.1 Beban maksimum airbag ................................................................................... 52
Gambar IV.2 Penyusunan airbag metode cross over ............................................................... 54
Gambar IV.3 Penyusunan airbag metode 2 baris..................................................................... 54
Gambar IV.4 Contoh penggunaan winch pada peluncuran kapal ............................................ 55
Gambar IV.5 General arrangement kontainer 100 TEUs ........................................................ 57
Gambar IV.6 Construction profile kapal kontainer 100 TEUs ................................................ 58
Gambar IV.7 Midship Section kapal kontainer 100 TEUs ....................................................... 59
Gambar IV.8 Sample design yang dipilih ................................................................................. 60
Gambar IV.9 Data kurva hidrostatik sample design................................................................. 61
Gambar IV.10 Tampilan window Frame of Reference Maxsurf .............................................. 62
Gambar IV.11 Tampilan kurva hidrostatik baru ...................................................................... 63
Gambar IV.12 Tampilan window Grid Space pada Maxsurf ................................................... 64
Gambar IV.13 Tampilan Space Stations .................................................................................. 64
Gambar IV.14 Tampilan body plan pada Maxsurf ................................................................... 65
Gambar IV.15 Tampilan window luas station 9 dan 10 pada autocad ..................................... 65
xi
Gambar IV.16 Kurva bonjean kontainer 100 TEUs ................................................................. 67
Gambar IV.17 Gaya-gaya yang bekerja pada periode 1........................................................... 70
Gambar IV.18 Gaya yang bekerja pada periode 2.................................................................... 71
Gambar IV.19 Gaya yang bekerja pada awal periode 3 ........................................................... 72
Gambar IV.20 Gaya-gaya yang bekerja pada periode 3 ........................................................... 73
Gambar IV.21 Kuva peluncuran kontainer 100 TEUs ............................................................. 75
Gambar IV.22 Kondisi landasan tidak sesuai standard ........................................................... 78
Gambar IV.23 Haluan kapal menghantam landasan ................................................................ 79
Gambar IV.24 Bagian haluan terangkat ................................................................................... 80
Gambar IV.25 Haluan kapal menghantam landasan ................................................................ 81
Gambar IV.26 Bekas benturan haluan kapal dengan landasan ................................................ 81
Gambar IV.27 Sistem penahan kapal yang buruk .................................................................... 82
Gambar V.1 Simulasi pada kondisi 1 ....................................................................................... 92
Gambar V.2 Simulasi pada kondisi 2 ....................................................................................... 95
Gambar V.3 Simulasi pada kondisi 3 ....................................................................................... 97
Gambar V.4 Ilustrasi airbag pecah pada sistem pemasangan airbag selebar kapal .............. 101
Gambar V.5 Airbag pecah pada kapal yang belum diluncurkan ............................................ 103
Gambar V.6 Airbag pecah saat kapal diluncurkan ................................................................. 104
Gambar V.7 Kapal mengalami jungkit ................................................................................... 105
Gambar V.8 Kapal dropping (haluan menghantam landasan) ............................................... 106
Gambar V.9 Sistem pemasangan cross over (airbag pecah berurutan) ................................. 107
Gambar V.10 Sistem pemasangan cross over (airbag pecah satu sisi kapal) ........................ 107
Gambar V.11 Seluruh airbag pecah pada salah satu bagian sisi kapal .................................. 108
Gambar V.12 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA .................... 110
Gambar V.13 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA (lanjutan
periode 2) ................................................................................................................................ 112
Gambar V.14 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA (lanjutan
periode 3) ................................................................................................................................ 113
xii
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Model dan tipe daripada airbag ............................................................................... 12
Tabel II.2 Requirements material karet .................................................................................... 13
Tabel II.3 Parameter performa airbag ...................................................................................... 15
Tabel II.4 Istilah dan simbol dalam Fault Tree Analysis ......................................................... 37
Tabel IV.1 Spesifikasi airbag 3 lapisan (layers) ...................................................................... 48
Tabel IV.2 Spesifikasi airbag dengan 5 lapisan (layers) ......................................................... 49
Tabel IV.3 Spesifikasi airbag dengan 6 lapisan (layers) ......................................................... 50
Tabel IV.4 Spesifikasi airbag dengan 7 lapisan (layers) ......................................................... 51
Tabel IV.5 Jarak minimum antar airbag .................................................................................. 53
Tabel IV.6 Data yang diperlukan untuk perhitungan ............................................................... 56
Tabel IV.7 Ukuran utama kontainer 100 TEUs ........................................................................ 68
Tabel IV.8 Berat peluncuran .................................................................................................... 68
Tabel IV.9 Spesifikasi airbag yang digunakan ........................................................................ 69
Tabel IV.10 Identifikasi risiko pada peluncuran kapal menggunakan airbag ......................... 76
Tabel IV.11 Identifikasi bahaya ............................................................................................... 83
Tabel IV.12 Deskripsi tingkat probabilitas............................................................................... 85
Tabel IV.13 Kriteria tingkat probabilitas ................................................................................. 86
Tabel IV.14 Tingkat severity (keparahan) ................................................................................ 86
Tabel IV.15 Penilaian masing-masing risiko ........................................................................... 87
Tabel IV.16 Peta risiko probabilitas dan severity kejadian ...................................................... 88
Tabel IV.17 Manajemen risiko yang dilakukan ....................................................................... 89
Tabel V.1 Distribusi beban airbag pada kondisi 1 ................................................................... 94
Tabel V.2 Distribusi beban airbag pada kondisi 2 ................................................................... 96
Tabel V.3 Distribusi beban airbag pada kondisi 3 ................................................................... 98
Tabel V.4 Rekomendasi preventif pada periode 1 ................................................................. 114
Tabel V.5 Rekomendasi preventif pada periode 2 ................................................................. 117
Tabel V.6 Rekomendasi preventif pada periode 3 ................................................................. 119
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Peluncuran kapal adalah langkah menurunkan kapal dari landasan peluncuran dengan
menggunakan gaya berat kapal atau dengan menggunakan gaya dorong tambahan. Tahapan ini
juga termasuk dalam proses pembangunan kapal. Dengan demikian seiring perkembangan ilmu
dan teknologi sekarang, galangan kapal telah menggunakan beberapa metode peluncuran kapal
yang tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangannya tersendiri.
Metode peluncuran yang semakin sering digunakan di dunia perkapalan saat ini adalah
fasilitas ship airbags atau peluncuran kapal dengan menggunakan kantung udara. Peluncuran
kapal dengan menggunakan teknologi tersebut memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh
metode-metode peluncuran kapal yang lain. Kelebihan yang sangat mendorong galangan kapal
untuk mengaplikasikannya adalah fasilitas ini sangat hemat waktu, hemat beban kerja, fleksibel,
mobilitas tinggi, tidak membutuhkan banyak perawatan dan tidak banyak asset yang tertanam
pada galangan serta lebih ramah lingkungan.
Airbags System ini pertama kali dikembangkan oleh bidang militer angkatan laut
sebagai alat apung transportasi dan lifting peralatan berat. Airbag adalah balon bertekanan
udara yang memiliki tekanan kerja tertentu untuk mengangkat beban yang disesuaikan dengan
tekanan kerja menurut standar dan regulasi yang ada.
Fasilitas ship airbags ini adalah peluncuran yang sangat mudah, sederhana, dan dapat
menghemat waktu dan biaya. Tetapi apakah risiko penggunaan fasilitas airbag ini belum dapat
ditentukan hingga sekarang. Bagaimana peluncuran kapal yang baik dan tidak baik.
Presentase kegagalan peluncuran kapal pasti ada pada fasilitas peluncuran kapal dengan
menggukan system kantung udara ini, meskipun dapat dikatakan bahwa metode peluncuran ini
lebih aman dari metode peluncuran lainnya. Sebagai contoh kasus adalah terbaliknya Kapal
Patroli Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) yang diduga akibat dari ketidakhati-hatian
petugas di salah satu galangan kapal yang ada di Indonesia saat meluncurkan kapal dengan
menggunakan airbag system. Hal tersebut tentunya akan sangat merugikan banyak pihak,
bukan hanya pihak galangan namun pihak owner juga merasakan kerugian akibat dari
terbaliknya kapal tersebut karena kapal yang dibangun akan semakin memakan banyak waktu.
Ditambah lagi belum adanya pihak asuransi di Indonesia yang mau menanggung risiko dari
peluncuran kapal dengan metode airbag ini. Kebanyakan dari perusahaan asuransi di Indonesia
1
hanya mampu menanggung risiko kerusakan badan kapal dan menjamin muatan yang dibawa
kapal. Oleh karena itu perlunya memperhitungkan faktor apa saja dan seberapa besar risiko
kegagalan yang dapat terjadi apabila menggunakan sistem peluncuran kantung udara.
Pada tugas akhir ini ada beberapa batasan masalah, yaitu sebagai berikut :
1. Tugas akhir ini hanya fokus pada risiko yang dapat menyebabkan kerusakan pada kapal.
2. Pembahasan terbatas pada masalah operasional saja.
2
3. Proses perhitungan peluncuran kapal dengan metode airbag dilakukan berdasarkan
pendekatan fisika dan rules yang ada.
I.6 Hipotesis
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi detail latar belakang dilakukannya penelitian tugas akhir ini,
perumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, tujuan dilakukannya penelitian, batasan
masalah yang menyangkut pembatasan serta asumsi yang diberikan, manfaat penelitian baik
bagi pihak perusahaan maupun bagi penelitian, hipotesis awal dari penelitian dan sistematika
dalam penulisan laporan dalam tugas akhir.
Pada bab ini berisi tentang berbagai referensi terkait proses peluncuran kapal
menggunakan metode airbag, teori tentang manajemen risiko dan analisa risiko dan metode
penilaian serta mitigasi risiko yang digunakan. Landasan teori yang digunakan untuk membantu
pemahaman dalam pengolahan dan analisa data juga dicantumkan dalam tinjauan pustaka.
Pada bab ini berisi tentang langkah-langkah yang dilakukan dalam mengerjakan tugas
akhir, mulai dari tahap persiapan sampai ke penarikan kesimpulan. Dalam bab ini juga terdapat
rencana tahapan penelitian atau kerangka pengerjaan dari tugas akhir yang ditampilkan dalam
bentuk flow chart atau diagram alir.
3
BAB IV PERHITUNGAN DAN IDENTIFIKASI RISIKO PELUNCURAN KAPAL
DENGAN AIRBAG
Pada bab ini berisi data-data yang berkaitan dengan objek penelitian yang diolah
menggunakan metode tertentu yang sesuai dengan topik pembahasan tugas akhir. Dalam bab
ini berisi perhitungan peluncuran kapal menggunakan airbag, identifikasi variabel risiko,
pengolahan data menggunakan metode FTA pada proses maupun komponen yang berisiko.
Pada bab ini berisi mengenai analisa risiko terhadap hasil pengolahan data yang telah
didapatkan dan dioleh sebelumnya. Analisa risiko ini dilakukan secara detail dan sistemastis
mengenai hasil dari data yang yang sudah dikumpulkan dan dilakukan pengolahan.
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan yang ditarik dari hasil analisa dan pembahasan.
Dimana kesimpulan diharapkan dapat menjawab tujuan permasalahan yang dicantumkan pada
bab pendahuluan pada penelitian ini. Selain itu pada bab ini juga berisi saran yang dapat
diberikan pada penelitian berikutnya supaya lebih berkembang.
Lembar Judul
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
Abstrak
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Batasan Masalah
1.6 Hipotesis
1.7 Sistematika Laporan
4
1.8 Sistematika Penulisan
Bab II TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Metode Penurunan Kapal
3.2 Regulasi Penurunan Kapal dengan Menggunakan Airbag
3.3 Perhitungan Peluncuran Menggunakan Airbag
3.4 Risiko dan Manajemen Risiko
Bab III Metodologi Penelitian
3.1 Tahap Persiapan
3.2 Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data
3.3 Tahap Analisa dan Pembahasan
3.4 Tahap Penarikan Kesimpulan
3.5 Flow Chart Metodologi Penelitian
Bab IV PERHITUNGAN DAN IDENTIFIKASI RISIKO PELUNCURAN KAPAL
DENGAN AIRBAG
4.1 Informasi Teknis Airbag
4.2 Informasi Teknis yang Harus Dipenuhi Di dalam Peluncuran Menggunakan
Airbag
4.3 Perhitungan Peluncuran Kapal yang Diteliti
4.4 Identifikasi Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag
4.5 Penilaian Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag
Bab V ANALISA RISIKO PENURUNAN KAPAL MENGGUNAKAN AIRBAG
5.1 Analisa Risiko Penurunan Kapal dengan Metode Airbag
5.2 Rekomendasi Preventif Risiko
Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
5
Halaman ini sengaja dikosongkan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Metode Penurunan Kapal
7
Metode Penurunan Kapal dengan Menggunakan Airbag
Airbags telah digunakan sejak 21 Januari 1981 pertama kali oleh perusahaan dok dan
galangan kapal China yang berhasil meluncurkan kapal 60 DWT. Sampai saat ini,
pengembangan teknologi airbags telah mencapai 15 kali dari teknologi airbags yang pertama
kali digunakan dan telah mampu meluncurkan kapal dengan bobot 1.000 DWT - 55.000 DWT
(Sitepu & Firu, 2012). Selain itu untuk meluncurkan kapal dari landasan dok menggunakan
airbag dibutuhkan alat-alat bantu seperti tugboat, compressor, alat-alat angkat seperti crane,
forklift, winch dan lain lain. Gambar II.1 adalah bagaimana gambaran daripada landasan
peluncuran kapal menggunakan airbag.
8
penurunan struktur tanah maka landasan tersebut dapat digunakan atau dilakukannya
pengecoran dengan cemen concrete.
Untuk kemiringan sudut landasan rampway (α) umum digunakan untuk peluncuran
2.3o-2.6o (tan α > koefisien gaya gesek statis), dengan panjang water edge ke ujung rampway
(Lwe) bawah garis air 6-8 m, sebagai tempat untuk peletakan airbag posisi pertama. Leveling
kanan dan kiri secara melintang tidak lebih dari 8 cm (Sitepu & Firu, 2012).
Ship airbag adalah balon bertekanan udara yang mempunyai tekanan kerja tertentu
untuk mengangkat beban yang disesuaikan dengan tekanan kerja menurut standart dan regulasi
yang ada. Airbag terbuat dari bahan karet jenis rubber-elastomers, tahan gesek, tahan panas
dengan cycles kelelahan lebih panjang dikombinasi dengan fiber/serat nylon. Kuat tekanan
(tensile strength) pada karet ini antara 21-30 KN/helai (Haryani, 2013).
Kebutuhan penggunaan airbag untuk berbagai tipe kapal berbeda-beda. Perbedaan
penggunaan airbag untuk tipe-tipe kapal sangat dipengaruhi oleh berat kapal, panjang lunas,
bentuk alas kapal dan panjang kontak antara airbag dengan alas kapal. Untuk kapal-kapal
konvensional, jumlah airbag dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
୕ଡ଼ୋ
ൌ ͳ
େଡ଼ୖଡ଼ୈ
ͳ Persamaan (II.1)
Dimana,
N = Jumlah airbag
K1 = Nilai Konstanta 1.2~1.3
N1 = Tambahan jumlah airbag yang dibutuhkan, biasanya 2-4
Q = Berat kapal yang akan dinaikkan (ton)
G = Akselerasi gravitasi (m/s2)
CB = Koefisien blok kapal
R = Kekuatan bantalan airbag per satuan meter panjang dari airbag (kN/m)
LD = Panjang kontak antara airbag dengan alas lambung kapal pada parallel middle
body (m).
9
Gambar II.2. Panjang kontak antara airbag dan alas kapal (Ld)
(ISO 14409, 2011)
Jarak sumbu antar airbag diperhitungkan untuk mendapatkan kekuatan memanjang
kapal dan untuk menghindari overlapping dari putaran airbag. Sesuai pada regulasi CB/T 3795-
1996 Shipbuilding Industry Standard, PRC, jarak sumbu antar airbag adalah 2.85 < L/N-1 < 6
m seperti pada persamaan berikut :
ିଵ
Persamaan (II.2)
ୈ
ିଵ
ଶ
ͲǤͷ Persamaan (II.3)
Dimana,
L = Panjang Lunas Kapal (m)
N = Jumlah Airbag (pcs)
D = Diameter Airbag (m)
Fleksibilitas airbag terhadap landasan rampway merupakan kemampuan rolling airbag
berdasarkan tekanan kerja airbag yang digunakan (CB/T, 1998). Berdasarkan Shipbuilding
Industry Standard, PRC, nilai fleksibilitas airbag dapat ditentukan dengan menggunakan
berikut :
FA = P x Sa Persamaan (II.4)
Dimana,
FA = Fleksibilitas airbag
P = Tekanan kerja airbag
Sa = Kontak area airbag dengan landasan dok
Sa = 3.14 x 0.5 x (D1-D2)
D1 = Diameter airbag
10
D2 = Working height maksimal airbag saat menopang kapal
Untuk saat ini regulasi yang mengatur peluncuran kapal menggunakan airbag terdapat
pada ISO 14409:2011. Pada peraturan tersebut dibahas definisi, klasifikasi, bahan dan ukuran
(dimensi), item pengujian dan metode untuk airbag yang akan digunakan untuk keperluan
peluncuran kapal. Standar Internasional ini dibuat untuk mengatur desain, manufaktur,
pengujian dan airbag yang boleh digunakan.
Klasifikasi Airbag
Klasifikasi atau spesifikasi daripada airbag yang berada di lapangan tentunya berbeda-
beda tergantung dari kebutuhan kapal. Klasifikasi ini dapat dibedakan menjadi beberapa bagian
11
seperti tipe atau model airbag seperti apa dan berapakah dimensi ukuran yang dibutuhkan untuk
kapal tersebut.
2.2.1.1 Tipe dan Model
Airbag dikategorikan menjadi 2 tipe yang berbeda berdasarkan dari daya tampung
kekuatan daripada airbag itu sendiri. Untuk lebih jelas dapat dilihat Tabel II.1:
Tipe Model
QP3 Airbag biasa dengan 3 pelapisan dari susunan kord
QP QP4 Airbag biasa dengan 4 pelapisan dari susunan kord
QP5 Airbag biasa dengan 5 pelapisan dari susunan kord
QG QG6 Airbag dengan daya kekuatan yang tinggi dengan 6 pelapisan
12
Keterangan :
1. Mulut Airbag
2. Kepala Airbag
3. Badan Airbag
Untuk ukuran diameter airbag (D) yang tersedia bermacam-macam yaitu 0.8 m, 1.0 m,
1.2 m, 1.5 m, 1.8 m, dan sebagainya tergantung kebutuhan. Begitu juga dengan panjang airbag
(L) dipertimbangkan berdasarkan dari lebar kapal yang akan diluncurkan, hingga saat ini di
lapangan untuk panjang airbag sudah ada yang mencapai sekitar 20 meter.
Material Airbag
Sebelum airbag diproduksi, bahan material baik lapisan luar ataupun dalam harus diuji
terlebih dahulu berdasarkan Tabel II.2. Tabel II.2 merupakan standar klasifikasi atau spesifikasi
yang terdapat pada Standard Internasional ISO 14409:2011. Untuk sementara hanya satu
sampel material yang diperlukan untuk pengujian nomor 1 sampai 3, untuk pengujian yang
lainnya yaitu dari nomor 4 sampai 9 dilaksanakan setiap 1 tahun sekali (annually). Jika sampel
pertama tidak memenuhi kriteria atau persyaratan, maka harus digunakan 2 sampel tambahan
yang akan diujikan. Jika kedua sampel tersebut dapat memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan maka material tersebut dianggap berhasil melewati pengujian. Jika tidak, maka
material tersebut dianggap gagal dalam pengujian dan harus menggunakan material lain untuk
dilakukan pengujian ulang. Berikut ini adalah Tabel II.2 yaitu persyaratan material karet
daripada airbag beserta item-item pengujiannya.
13
Tabel. II.2 menjelaskan bahwa item-item apa saja yang perlu diujikan pada material
airbag yang akan digunakan. Pengujian ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa airbag
tersebut aman untuk digunakan jika sudah mencapai dari harga yang disyaratkan. Untuk
pengujian kuat tarik, material ini setidaknya dapat mencapai minimal 18 Mpa dengan besaran
elongation minimal 4 kali dari panjang sebelumnya. Lalu untuk kekerasan pada material harus
berada diantara 600-700 sehingga material tersebut diharapkan tidak terlalu keras dan juga tidak
terlalu lembek. Sedangkan untuk besaran tear strength (tahan sobekan) setidaknya harus
mencapai harga minimal 400 N/cm.
Setelah dilakukan semua pengujian material dilakukan pengkondisian airbag yang
dilakukan pada Tabel II.2 poin 5 s/d 8. Pada suhu yang dikondisikan sebesar 700 C ± 10 C dalam
jangka waktu 22 jam untuk pemuaian material tidak boleh lebih dari 30%. Sedangkan untuk
jangka waktu 96 jam dengan kondisi suhu yang sama ketahanan dari pertambahan panjang atau
batas elongation saat ingin putus besarannya harus lebih dari 80 % dengan perubahan kekerasan
(hardness) tidak lebih dari 80. Pengujian dilanjutkan dengan memberikan konsentrasi ozon
sesuai dengan Tabel II.2 poin 9 pada suhu yang dikondisikan 400 dalam jangka waktu 96 jam
material tersebut tidak boleh terdapat crack.
Selain persyaratan pada Tabel II.2 permukaan daripada airbag juga harus lembut
(smooth) dan licin tanpa adanya cacat seperti crack, delaminasi ataupun lubang (bocor).
Standard dan metode pengujian pada airbag mengacu pada peraturan ISO – 14409. Pada
ISO – 14409 disebutkan bahwa kondisi pengujian airbag harus dilakukan pada temperature
(suhu) antara 100 – 350 C tidak kurang dan tidak lebih agar hasil yang didapat lebih akurat
karena sesuai dengan kondisi saat meluncurkan kapal menggunakan airbag. Pengujian ini
biasanya dilakukan 1 tahun sekali atau sebelum akan digunakan, untuk mengetahui kondisi
airbag itu sendiri. Media yang digunakan untuk pengujian adalah udara dan air yang mana
dibutuhkan untuk pengujian ketahanan ledakan (bursting test). Untuk peralatan pengujian
termasuk alat pengukur tekanan (pressure gauge) dan mesin pengujian (testing machine)
semuanya sudah dalam kondisi dikalibrasi.
Pengujian airbag harus dilakukan pada ukuran penuh airbag. Jika airbag yang ingin
diuji sangat besar sehingga tidak bisa dipasang pada mesin uji, maka pengujian dapat dilakukan
pada airbag yang sudah diskala dari ukuran sesungguhnya. Namun pada airbag yang akan
diskala untuk diameternya tidak boleh kurang dari setengah diameter airbag sesungguhnya, dan
untuk panjangnya tidak boleh kurang dari 3 kali besar diameter airbag yang akan diuji.
14
Adapun parameter performa airbag yang digunakan sebagai acuan pengujian dapat
dilihat pada Tabel II.3 :
Tekanan
Bearing capacity
Internal Tekanan minimum
Diameter Ph (setelah
Tipe pressure Kerja, Pe ledakan (burst
(m) mengalami
(kPa) (kPa) pressure)
deformasi 70%)
(kPa)
Tabel II.3 merupakan suatu parameter yang digunakan untuk pengujian airbag. Untuk
penjelasan tipe airbag dapat dilihat kembali pada Tabel II.1. Pada table II.3 parameter
spesifikasi yang diberikan adalah diameter, tekanan awal (initial pressure), tekanan kerja
airbag, daya tampung maksimal (bearing capacity) yang harus dicapai dan minimum tekanan
(burst pressure) yang harus dicapai airbag pada saat airbag pecah/meledak.
Sebagai contoh penjelasan untuk airbag yang memiliki tingkat pelapisan 3 layer (QP3)
dengan diameter 1 m pada saat mencapai tekanan kerja (P e) 100 kPa harus dapat mencapai
15
besaran bearing capacity (Ph) 110 kN/m setelah airbag ditekan hingga mengalami deformasi
diameter airbag sebesar 70%. Selain itu pada proses pengujian ledakan (bursting testing)
dengan air, airbag tersebut harus mampu menampu tekanan hingga 300 kPa atau lebih sesaat
sebelum terjadi ledakan.
Pada Gambar II.5 dapat dilihat bahwa proses dimana kondisi airbag sebelum dan
setelah dilakukan kompresi pada mesin uji/kompres. Pada saat airbag mulai dikompresi
maka akan terjadi deformasi diameter karena tekanan yang diterima oleh airbag tersebut.
Tentunya pada proses tersebut ada tahapan-tahapannya.
16
kerja ini harus sama dari tekanan kerja yang ada pada Tabel II.3 dengan margin yang
diberikan ± 5 %. Jika tidak, maka airbag tersebut tidak sesuai standard spesifikasi.
Gambar II.5 merupakan contoh hasil dari pengujian kompresi pada airbag bertipe QG6
dengan diameter 1.2 m. Pada Gambar II.5 Y adalah tekanan yang dihasilkan (kPa), X adalah
presentase deformasi airbag (%), 1 adalah besaran internal pressure airbag sebelum diuji
kompresi dan 2 adalah besaran rated working pressure (tekanan kerja) yang dicapai pada
saat terjadi deformasi sebesar 70%.
17
୦ ൌ ଵ ൈ ଵ Persamaan (II.5)
Dimana,
Bearing capacity yang harus dicapai harus sama atau lebih dengan yang terdapat
pada Tabel II.3. Jika tidak maka airbag tersebut tidak lolos inspeksi atau tidak layak
digunakan.
Gambar II.7 Hasil uji bearing capacity pada airbag QG6 (ø1.2m)
(ISO 14409, 2011)
Gambar II.7 merupakan contoh kurva dari hasil pengujian bearing capacity pada
airbag bertipe QG6 dengan diameter 1.2 m. Y adalah besaran bearing capacity dalam
kN/m, X adalah deformasi ukuran dalam persen (%) dan 1 adalah besaran bearing
capacity yang dicapai airbag QG6 pada deformasi 70%.
18
D. Uji Kerapatan (Gastightness Test)
Pada proses pengujian ini dilakukan tanpa dilakukan kompresi ataupun pembebanan
pada airbag. Cukup hanya mengisi airbag dengan udara hingga mencapai tekanan kerja Pe
(rated working pressure) dan biarkan hingga 1 jam. Setelah 1 jam, catat internal pressure
airbag tersebut. Tekanan yang hilang tidak boleh lebih kurang dari 5% tekanan kerja Pe.
Maintenance Airbag
Maintenance airbag yang dimaksud bukan hanya maintenance yang dilakukan pada saat
penyimpanan. Pada peraturan ISO – 14409 juga dijelaskan bahwa pada proses pengiriman tidak
boleh dilakukan dengan asal-asalan.
A. Proses Pengiriman
Pada proses pengiriman, airbag harus dalam kondisi tidak terisi udara dan dilipat
kemudian ditumpuk satu per satu. Untuk perjalanan pendek airbag bisa langsung disimpan
dan pengangkatan langsung dengan bantuan crane. Sedangkan untuk perjalanan jauh airbag
harus dipersiapkan dengan baik. Airbag dibersihkan dan diberikan talc powder (bubuk
talek) yang fungsinya untuk melindungi kondisi airbag dari segala kemungkinan yang dapat
mengurangi kualitas airbag. Pada kontainer penyimpanan harus ada ventilasi udara.
B. Penyimpanan (Storage)
Ketika airbag tidak akan digunakan pada periode waktu yang lama, maka airbag
tersebut harus dikosongkan dari udara, dibersihkan, diberikan talc powder baik pada bagian
luar ataupun dalam airbag. Selain itu juga pada tempat penyimpanan airbag harus kering,
terdapat ventilasi udara dan terhindari dari sinar matahari langsung. Airbag yang disimpan
harus bebas dari segala bentuk pembebanan yang dapat menyebabkan deformasi pada
airbag dalam jangka waktu yang lama. Selain itu juga airbag yang disimpan harus terhindar
dari sumber panas, hal-hal yang bersifat asam (acid) atau bahan organik yang dapat merusak
airbag.
19
Sehingga benefit yang didapatkan dapat lebih besar dibandingkan dengan menggunakan
metode peluncuran lainnya.
Peluncuran kapal adalah menurunkan kapal dari landasan peluncur ke air yang
disebabkan oleh gaya berat kapal pada bidang miring (Cahyo, 2014). Tahap-tahap yang
dilakukan dalam peluncuran kapal adalah sebagai berikut :
1. Perhitungan peluncuran
2. Perencanaan perlengkapan peluncuran
3. Pemasangan perlengkapan peluncuran
4. Pelaksanaan peluncuran.
Untuk meluncurkan kapal dengan metode airbag tentunya dibutuhkan airbag dan winch
sebagai alat bantu untuk menjaga kesimbangan daripada kapal. Kedua item tersebut wajib
dilengkapi sebelum meluncurkan kapal dari landasan. Pada umumnya terutama untuk metode
airbag kapal diluncurkan dengan cara peluncuran memanjang.
Langkah awal dari perhitungan peluncuran adalah menghitung berat dan letak titik berat
kapal yang akan diluncurkan. Dengan menghitung komponen-komponen berat satu per satu dan
menghitung momen sehingga letak titik berat kapal saat diluncurkan dapat ditentukan. Berat
ballast, berat orang-orang dan berat peralatan peluncuran harus diperhitungkan dalam berat
peluncuran. Selanjutnya menentukan letak titik berat kapal secara memanjang (LCG) dan letak
titik berat secara vertical (KG). Perhitungan peluncuran dilakukan berdasarkan beberapa
langkah peluncuran. Hal ini dimaksudkan agar volume displasemen dan letak titik gaya angkat
memanjang kapal (LCB) pada bermacam-macam keadaan sarat air dapat ditentukan. Semuanya
itu dapat ditampilkan dengan gambar kurva bonjean (bonjean curves) (Cahyo, 2014).
Kurva Bonjean
Kurva bonjean adalah lengkungan yang menunjukkan luas station sebagai fungsi sarat.
Bentuk lengkungan bonjean yang dihasilkan tergantung dari bentuk gading-gading kapal.
Lengkung ini pertama kali diperkenalkan pertama kali oleh sarjana Perancis pada abad ke
sembilan belas (Cahyo, 2014). Pembuatan lengkung bonjean yang paling umum adalah dengan
membuat berdasarkan potongan memanjang kapal. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah
menggambarkan garis dasar, linggi haluan, linggi buritan, garis di tepi kapal, letak station dan
garis air. Pada tiap station digambarkannya lengkung bonjean yang merupakan luasan kapal
tiap station.
20
Gambar II.8 Contoh kurva bonjean
(Cahyo, 2014)
Gambar II.8 merupakan contoh dari gambar kurva bonjean kapal. Garis merah
merupakan letak station kapal, hijau merupakan sarat kapal dari berbagai kondisi, dan biru
adalah garis lengkung kapal dan lengkung station (luasan tiap station kapal). Gambar kurva
bonjean perlu dilengkapi dengan skala sarat di AP dan FP. Selain itu untuk mendapatkan
gambar bonjean yang benar, ujung-ujung lengkung bonjean pada garis geladak di tepi kapal
dapat dikoreksi dengan garis selaras. Kurva bonjean memiliki keuntungan dalam hal
menentukan luasan station dari berbagai macam kondisi garis air baik itu pada kondisi even
keel (sarat depan dan belakang sama) ataupun trim (ada selisih antara sarat depan dengan sarat
belakang) dengan sangat mudah. Selain luas tiap station diketahui maka volume displasemen
dan titik gaya angkat memanjang kapal (LCB) juga dapat ditentukan.
Gambar II.9 merupakan contoh kondisi kapal yang sedang mengalami trim haluan. Pada
saat terjadinya trim yang perlu dilakukan adalah mengukur besaran sarat pada buritan dan
21
haluan kapal dan dikalikan dengan skala pada gambar. Kemudian tarik garis air antara sarat
belakang dan depan kapal. Sehingga didapatkan garis air pada saat kondisi trim. Harga luas dari
tiap station dapat diperoleh dengan mengukur garis horizontal. Garis horizontal ini diperoleh
dari perpotongan antara garis air dengan garis tegak station dan garis air dengan garis lengkung
bonjean. Besaran garis horizontal dikalikan dengan skala gambar yang memanjang kapal maka
didapatkan besaran asli luasan tiap station dari kapal.
Pada peluncuran kapal menggunakan airbag juga dibutuhkan adanya perhitungan teknis
demi memastikan bahwa kapal tersebut dapat diluncurkan dengan aman. Referensi standard
yang digunakan untuk perhitungan peluncuran ini mengacu pada peraturan yang terdapat di
CB/T 3837-1998. Sebelum masuk ke perhitungan pada standard tersebut dijelaskan bahwa
perlu adanya persiapan sebelum melakukan peluncuran. Dimana komponen yang perlu
diperhatikan dalam hal ini dibagi menjadi 4 yaitu, kapal yang akan diluncurkan, kondisi
landasan, airbag dan alat bantu tarik (winch) untuk memastikan bahwa peluncuran kapal dapat
berjalan dengan aman. Berikut ini akan dijelaskan ke 4 komponen tersebut :
1. Kapal
x Semua pekerjaan kapal dibawah garis air harus selesai, terutama peralatan-peralatan,
katup-katup dan lainnya yang berhubungan dengan instalasi bukaan pada bagian bawah
air. Seluruh instalasi statusnya telah disetujui oleh pihak yang dapat dipercaya.
x Semua sisa-sisa gerinda dan las-lasan pada bagian bawah kapal ataupun tonjolan
(appendages) dipastikan sudah halus dan tidak kasar.
x Segala bentuk las-lasan pada kulit pelat (las-lasan baru pada kapal yang direparasi)
harus melewati inspeksi dan pengujian yang ketat.
x Ukuran utama kapal harus diukur dan tanda pada loadline juga harus diperiksa dengan
ketat.
x Semua pengerjaan pengecatan pada kulit pelat harus sudah selesai.
2. Landasan
x Landasan yang akan ditempati oleh airbag harus benar-benar bersih dan terhindar dari
benda-benda tajam seperti paku-paku besi.
x Levelling pada kapal tidak boleh lebih besar dari 80 mm (dari kiri ke kanan ataupun
sebaliknya)
22
x Ketahanan pada landasan setidaknya lebih besar 2 kali lipat dibandingan dengan
working pressure pada airbag.
x Panjang landasan harus diperpanjang hingga beberapa meter setelah menyentuh air.
3. Airbag
x Jumlah akan kebutuhan akan airbag harus dihitung dengan menggunakan rumus :
୕ଡ଼ୋ
ൌ ͳ
େଡ଼ୖଡ଼ୈ
ͳ Persamaan (II.6)
x Untuk jarak antar airbag tidak boleh melebihi dari 6 m. Atau dapat diperiksa dengan
menggunakan rumus :
ିଵ
Persamaan (II.7)
ୈ
ିଵ
ଶ
ͲǤͷ Persamaan (II.8)
4. Winch
x Pada umumnya yang memiliki tingkat perputaran rendah yang dipilih yakni sekitar 9-
13 m/min
x Gaya dorong kapal dan ketahanan tarik daripada winch dapat dihitung dengan rumus :
ൌ Ǥ Ǥ Ƚ െ ɊǤ ǤǤ
Ƚ Persamaan (II.9)
23
Gambar II.10. Gambaran gaya yang bekerja pada proses peluncuran
(CB/T, 1998)
Gambar II.10 menunjukan gaya-gaya yang dihasilkan pada proses peluncuran kapal
menggunakan airbag. Kapal meluncur dikarenakan adanya berat dari kapal itu sendiri sehingga
menghasilkan gaya dorong sebesar Fc (kN) yang dipengaruhi oleh adanya kemiringan dari
landasan (α). Berat daripada peluncuran kapal dinotasikan dengan simbol Q yang jika dikalikan
dengan gaya gravitasi (g) maka akan dihasilkan besaran gaya berat dari kapal itu sendiri. Pada
peluncuran kapal menggunakan airbag diperlukan alat bantu winch sebesar F (kN) untuk
memastikan bahwa kapal dapat meluncur dengan aman. Besaran F dipengaruhi dari sudut yang
dihasilkan oleh arah tali dengan landasan (β).
x Pada kasus ini ketahanan tarik daripada kawat winch tidak boleh kurang dari yang
diperhitungkan. Berikut ini adalah tegangan minimal yang harus dimiliki oleh kawat
winch :
Ǥୡ
ୡǤୡ୭ୱஒ
Persamaan (II.11)
Dimana,
F = Tegangan kawat winch, kN
Fc = Gaya dorong kapal, kN
K = Faktor keamanan, K= 1.2 - 1.5.
Nc = Jumlah kawat winch
β = Sudut yg dihasilkan antara gaya tarik winch dengan landasan, (0)
β ≥ 60
24
II.4 Risiko dan Manajemen Risiko
Pengertian Risiko
Risiko memiliki banyak pengertian, salah satu ahli risiko mendefiniskan bahwa risiko
didefinisikan sebagai probabilitas kejadian yang menyebabkan kerugian dan potensi besarnya
kejadian (Muhlbauer, 2004). Berdasarkan definisi tersebut, risiko meningkat ketika salah satu
dari probabilitas kejadian kerugian meningkat atau ketika besarnya potensi kehilangan
(penyebab kejadian) meningkat. Definisi dari risiko ditunjukan dengan hubungan matematika
seperti di bawah ini :
Pendapat mengenai pengertian risiko juga dikemukan oleh (Alijoyo, 2016) risiko
merupakan kesempatan akan terjadinya sesuatu yang akan membawa dampak dan tujuan (event
likelihood). Dalam pengertian tersebut, risiko seringkali dikaitkan dengan sebuah peristiwa dan
konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi karenanya (event consequence). Risiko diukur
dengan kombinasi dari konsekuensi dari suatu peristiwa dan berbagai kemungkinan yang akan
terjadi karena peristiwa tersebut. Risiko dapat membawa dampak yang positif atau dampak
negatif.
Masih mengutip dari Djojosoedarso, kondisi yang tidak pasti itu disebabkan oleh, antara
lain :
25
1. Tenggang waktu antara perencanaan suatu kegiatan sampai kegiatan itu berakhir atau
menghasilkan, dimana makin panjang tenggang waktunya makin besar
ketidakpastiannya.
2. Keterbatasan informasi yang tersedia diperlukan dalam penyusunan rencana.
3. Keterbatasan pengetahuan/ kemampuan/ teknik pengambilan keputusan dari
perencanaan.
a. Risiko finansial
Risiko finansial ini meliputi beberapa risiko yaitu sebagai berikut :
9 Risiko keuangan: fluktuasi target keuangan atau ukuran moneter perusahaan karena
gejolak berbagai variable makro.
9 Risiko lekuiditas: ada dua pengertian lekuiditas, pengertian pertama adalah
ketidakpastian atau kemungkinan perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban
pembayaran jangka pendek atau pengeluaran tidak terduga. Pengertian kedua adalah
kemungkinan penjualan suatu aset perusahaan dengan diskon yang tinggi karena sulit
mencari pembeli.
9 Risiko kredit: risiko bahwa debitur atau pembeli secara kredit tidak dapat membayar
hutang dan memenuhi kewajiban seperti yang tertera dalam kesepakatan.
9 Risiko permodalan: risiko yang dihadapi perusahaan berupa kemungkinan tidak dapat
menutupi kerugian.
9 Risiko pasar: berkaitan dengan potensi penyimpanan hasil keuangan karena pergerakan
variabel pasar selama periode likuidasi dan perusahaan harus secara rutin melakukan
penyesuaian terhadap pasar (mark to market). Risiko pasar dapat dibedakan menjadi 4
tipe yaitu risiko suku bunga, risiko nilai tukar, risiko komuditas dan risiko ekuitas.
b. Risiko operasional
Risiko operasional berkaitan dengan potensi penyimpangan dari hasil yang diharapkan
karena tidak berfungsinya suatu sistem, SDM, teknologi atau faktor lainnya. Risiko operasional
dibedakan menjadi 5 yaitu :
9 Risiko produktivitas: berkaitan dengan penyimpangan hasil atau tingkat produktivitas
yang diharapkan karena adanya penyimpangan dari variabel yang mempengaruhi
produktivitas, termasuk di dalamnya adalah teknologi, peralatan material dan SDM.
26
9 Risiko teknologi: potensi penyimpangan hasil karena terjadinya teknologi yang
digunakan tidak lagi sesuai kondisi.
9 Risiko inovasi: potensi penyimpangan hasil karena terjadinya pembaharuan,
moderenisasi atau tranformasi dalam beberapa aspek bisnis.
9 Risiko sistem: merupakan bagian dari risiko proses yaitu penyimpangan hasil karena
adanya cacat atau ketidaksesuaian sistem dalam operasi perusahaan.
9 Risiko proses: risiko mengenai potensi penyimpangan dari hasil yang diharapkan dari
proses karena adanya penyimpangan atau kesalahan dalam kombinasi sumber daya
(SDM, keahlian, metode, peralatan, teknologi dan material) dan karena perubahan
lingkungan.
c. Risiko strategis
Risiko strategis adalah risiko yang dapat mempengaruhi eksposur korporat dan eksposur
strategis sebagai akibat keputusan strategis yang tidak sesuai dengan lingkungan eksternal dan
internal usaha. Risiko strategis dapat dibedakan menjadi :
9 Risiko usaha adalah potensi penyimpangan hasil korporat (nilai perusahaan dan
kekayaan pemegang saham) dan hasil keuangan karena perusahaan memasuki suatu
bisnis tertentu dengan lingkungan industri yang khas dan menggunakan teknologi
tertentu.
9 Risiko transaksi strategis adalah potensi penyimpangan hasil korporat maupun strategis
sebagai akibat perusahaan melakukan transaksi strategis.
9 Risiko hubungan investor adalah risiko yang berhubungan dengan potensi
penyimpangan hasil dari eksposur keuangan karena ketidaksempurnaan dalam
membina hubungan dengan investor, baik pemegang saham maupun kreditur.
d. Risiko eksternalitas
Risiko eksternalitas adalah potensi penyimpangan hasil pada eksposur korporat dan
strategis dan bisa berdampak pada potensi penutupan usaha karena pengaruh dari faktor
eksternal. Yang termasuk faktor eksternal, antara lain reputasi, lingkungan, sosial dan hukum.
9 Risiko reputasi adalah potensi hilangnya atau hancurnya reputasi perusahaan karena
penerimaan lingkungan eksternal rendah bahkan hilang.
9 Risiko lingkungan adalah potensi penyimpangan hasil bahkan potensi penutupan
perusahaan karena ketidakmampuan perusahaan dalam mengelola polusi dan
dampaknya yang ditimbulkan oleh perusahaan.
9 Risiko sosial adalah potensi penyimpangan hasil karena tidak akrabnya perusahaan
dengan lingkungan tempat perusahaan berada.
27
9 Risiko hukum adalah kemungkinan penyimpangan karena perusahaan tidak memenuhi
peraturan yang berlaku.
28
a. Risiko intern yaitu risiko yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri, seperti
kerusakan aktiva karena ulah karyawan sendiri, kecelakaan kerja, kesalahan manajemen
dan sebagainya.
b. Risiko ekstern yaitu risiko yang berasal luar perusahaan, seperti risiko pencurian,
penipuan, persaingan, fluktuasi harga, perubahan kebijakan pemerintah dan sebagainya.
Cara lain mengklasifikasikan risiko adalah sejauh mana ketidakpastian berubah karena
perubahan waktu. Risiko stastis, mungkin sifatnya murni atau spekulatif, asalnya dari
masyarakat yang tidak berubah yang berada dalam keseimbangan stabil. Contoh risiko murni
statis adalah ketidakpastian dari terjadinya sambaran petir, angin topan dan kematian secara
acak (secara random). Menjalankan bisnis dalam ekonomi stabil adalah contoh risiko spekulasi
statis. Sebaliknya, risiko dinamis adalah timbul karena terjadi perubahan dalam masyarakat.
Risiko dinamis mungkin murni mungkin juga spekulatif. Contoh sumber risiko dinamis adalah
urbanisasi, perkembangan teknologi yang komplek dan perubahan undang-undang atau
perubahan pemerintah.
Manajemen Risiko
Manajemen risiko memiliki berbagai pengertian dan definisi yang didasarkan dari
berbagai pendapat dari para ahli. Seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu ahli, menurut
Basyaib (2007) menajamen risiko dalam pengertian luas adalah seni pembuatan keputusan
dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Manajemen risiko adalah bagian penting atau
titik sentral manajemen strategis suatu organisasi. Manajemen risiko merupakan sebuah
pendekatan proaktif, bukan reaktif. Manajemen risiko merupakan proses preventif yang
dirancang untuk memastikan bahwa risiko dikurangi dan bahwa konsekuensi negatif karena
peristiwa yang tidak diinginkan diperkecil.
Untuk menerapkan manajemen risiko yang baik salah satu referensi yang dapat
digunakan adalah ISO 31000. Langkah-langkah untuk menerapkan manajemen risiko sesuai
dengan ISO 31000 dijelaskan pada flowchart pada Gambar II.6 :
29
Establish The Context
Analyze Risk
Evaluate Risk
Treat Risk
30
timbul dan kemudian dari hasil identifikasi ini digunakan sebagai dasar untuk melakukan
analisis lebih lanjut.
x Analyze Risk (Menganalisa Risiko)
Pada tahap ini merupakan proses untuk membandingkan risiko dan melakukan
perhitungan level dari risiko. Level dari risiko ini didapat dari sebab, konsekuensi dan
kemungkinan tingkat risiko. Untuk setiap konsekuensi positif dan negatif dari risiko serta
kemungkinan kejadian dari risiko akan dilakukan pengukuran. Risiko dapat dianalisa dengan
menggunakan penaksiran terhadap peluang terjadinya dan konsekuensi jika terjadi. Jika
peluang (likelihood) dan dampak (consequence) telah diidentifikasi, maka dilakukan evaluasi
dan memprioritaskan risiko yang paling signifikan untuk di atasi terlebih dahulu.
x Evaluate Risk (Mengevalusi Risiko)
Tujuan dari evaluasi risiko adalah untuk membantu dalam membuat keputusan pada
hasil analisa risiko tentang risiko mana yang perlu dilakukan penanggulangan dan prioritas
untuk dilakukan implementasi penanggulangan. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan
perkiraan level risiko terhadap kriteria ketetapan pendahuluan dan mempertimbangkan
keseimbangan antara potensi keuntungan dan hasil yang merugikan.
Hasil dari evaluasi risiko juga perlu mempertimbangkan tujuan dari organisasi dan
kesempatan yang mungkin muncul. Jika risiko ada pada kategori low, maka risiko tersebut
dapat diterima dan dilakukan penanggulangan secara minimal.
x Treat Risk (Memperlakukan risiko)
Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah prioritas dan menangani risiko-risiko yang
telah teridentifikasi. Penanggulangan risiko dilakukan dengan memilih satu atau lebih pilihan
untuk modifikasi risiko dan mengimplementasikan pilihan penanggulangan tersebut. Berikut
adalah beberapa pilihan dalam penanggulangan risiko :
a. Transfer : salah satu penanggulangan risiko dengan mentranfer risiko ke pihak lain
(seperti kontrak dan badan pembiayaan risiko)
b. Avoid : salah satu penanggulangan risiko dengan cara menghindari dengan memutuskan
untuk tidak memulai atau meneruskan aktivitas yang memberikan risiko.
Penanggulangan ini mengahpus segala hal yang berpotensi sebgai sumber risiko.
c. Mitigate : salah satu penanggulangan risiko dengan mengurangi kemungkinan peluang
(likelihood) dan dampak (consequence) dari risiko.
d. Accept : salah satu penanggulangan terhadap risiko dengan menerima risiko yang ada
dan menahan risiko dengan memberikan keputusan.
31
Pada penelitian ini penanggulangan risiko dilakukan dengan mitigasi atau dengan
mengurangi tingkat kejadian dan dampak dari risiko yang ada.
x Communicate and Consult (komunikasi dan konsultasi)
Untuk setiap langkah-langkah manajemen risiko mulai dari establish risk hingga treat
risk maka haruslah dilakukan komunikasi dan konsultasi. Komunikasi dan konsultasi dilakukan
dengan stakeholder internal maupun eksternal sehingga sesuai pada masing-masing tahap dari
proses manajemen risiko dan memperhatikan proses secara keseluruhan.
x Monitoring and Review (pengawasan dan peninjauan)
Pengawasan dan peninjauan setiap kegiatan manajemen risiko diperlukan untuk
memonitor efektivitas semua langkah dan proses manajemen risiko. Hal ini penting untuk
peningkatan terus menerus. Risiko dan efektivitas dari pengukuran perlu dimonitor untuk
meyakinkan perubahan keadaan tanpa merubah prioritas.
a. Perusahaan memiliki ukuran kuat sebagai landasan dalam mengambil setiap keputusan,
sehingga para manajer menjadi lebih berhati-hati (prudent) dan selalu menempatkan
ukuran-ukuran dalam berbagai keputusan.
b. Mampu memberikan arah bagi suatu perusahaan dalam melihat pengaruh pengaruh
yang mungkin timbul baik secara jangka pendek dan jangka panjang.
c. Mendorong para manajer dalam mengambil keputusan untuk selalu menghindari risiko
dan menghindari dari pengaruh terjadinya kerugian khususnya kerugian dari segi
finansial.
d. Memungkinkan perusahaan memperoleh risiko kerugian yang minimum.
e. Dengan adanya konsep manajemen risiko (risk management concept) yang dirancang
secara detail artinya perusahaan telah membangun arah dan mekanisme secara
suistainable (berkelanjutan).
Merupakan identifikasi sistematik dari bahaya potensial di tempat kerja agar dapat
dikendalikan, dianalisa dan direkam. Tahapan dari JSA yaitu mengidentifikasi potensi bahaya
yang ada pada setiap tahapan pekerjaan, menentukan alat atau langkah yang diperlukan untuk
setiap potensi bahaya yang diidentifikasi, dan merekomendasikan cara paling aman untuk
melakukan pekerjaan yang berisiko. JSA dilakukan secara kualitatif.
32
Hazard and Operability Study (HAZOPS)
Merupakan metode kualitatif yang banyak digunakan oleh industri proses untuk
mengidentifikasi bahaya pada tahap desain rekayasa. Tujuannya untuk menganalisis sistem per
bagian dan menjelaskan bagaiman kondisi ideal suatu sistem bekerja (Wachyudi, 2010).
HAZOPS digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dari operasional proses yang dapat
mempengaruhi efisiensi produksi dan keselamtan. HAZOPS merupakan metode identifikasi
risiko yang berfokus pada analisis terstruktur mengenai operasi yang berlangsung. Dengan
menggunakan HAZOPS, setiap tahapan proses harus dipelajari untuk mengidentifikasi semua
penyimpangan dari kondisi operasi yang normal, mendeskripsikan bagaimana bisa terjadi dan
menentukan perbaikan dari penyimpangan yang ada. Dengan melihat kompleksitas proses yang
harus diidentifikasi, metode HAZOPS ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang ahli di
bidangnya.
Risk Based Inspection merupakan metode identifikasi bahaya yang berfokus pada
penilaian risiko yang berkaitan dengan pengoperasian mesin atau peralatan. RBI memastikan
bahwa peralatan harus dalam kondisi prima saat digunakan, sehingga tidak mengakibatkan
kerusakan. Setelah RBI dilaksanakan, maka dapat dijadikan dasar untuk merencanakan jadwal
inspeksi dan pemeliharaan peralatan. Pendekatan RBI dilakukan dengan cara kualitatif dengan
menyediakan dasar analisis untuk memprioritaskan program inspeksi berdasarkan risiko. RBI
sangat cocok untuk memperhitungkan kerugian dalam hal finansial (biaya) dengan
pertimbangan peralatan mana saja yang mengalami kerusakan.
Dalam metode ini, setiap proses dipelajari melalui pendekatan brainstorming untuk
memformulasikan setiap pertanyaan meliputi kejadian yang akan menimbulkan konsekuensi
yang tidak diinginkan. Masing-masing pertanyaan dibagi ke dalam tahapan operasi, teknik,
pemeliharaan dan inspeksi. Setiap pertanyaan tersebut harus mempertimbangkan skenario
terjadinya insiden, identifikasi konsekuensi, penilaian kualitatif untuk menentukan tingkat
keparahan konsekuensi, kemungkinan dari semua risiko yang ada dan pembuatan rekomendasi
untuk mengurangi bahaya. Metode what if / checklist dapat digunakan untuk mengidentifikasi
bahaya potensial dari setiap tahapan proses. Metode ini akan efektif apabila dilakukan oleh tim
yang berpengalaman untuk evaluasi suatu proses. Metode what if / checklist merupakan metode
identifikasi bahaya secarah kualitatif yang tertua di dunia.
33
Failure Modes and Effect Analysis (FMEA)
Fault Tree Analysis (FTA) merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk
memprediksi atau sebagai alat investigasi setelah terjadinya kecelakaan dengan melakukan
analisis proses kejadian. FTA merupakan metode yang paling efektif dalam menemukan inti
permasalahan karena dapat menentukan bahwa kerugian yang ditimbulkan tidak berasal dari
satu kegagalan. FTA juga merupakan kerangka berpikir terbalik di mana evaluasi berawal dari
insiden kemudian dikaji penyebabnya.
Event Tree Analysis (ETA) adalah metode yang menunjukkan dampak yang mungkin
terjadi dengan diawali oleh identifikasi pemicu kejadian dan proses dalam setiap tahapan yang
menimbulkan kecelakaan (kebalikan dari metode FTA). Dalam melakukan ETA, perlu untuk
mengetahui pemicu dari kejadian dan fungsi sistem keselamtan atau prosesdu gawat darurat
yang tersedia untuk menentukan langkah perbaikan terhadap dampak yang ditimbulkan.
AEA digunakan untuk menganalisis tindakan kesalahan yang dapat terjadi. Tujuan utam
dari melakukan AEA adalah untuk mengidentifikasi kesalahan manusia selama operasi kritis
dan mengurangi risiko ke tingkat yang dapat diterima melalui tindakan pengurangan risiko. Hal
ini dicapai dengan mengidentifikasi mode kegagalan manusia dalam prosedur, penyebab,
konsekuensi, risiko dan kebutuhan untuk pengurangan risiko.
JHA adalah teknik yang berfokus pada tahapan pekerjaan sebagai cara untuk
mengidentifikasi bahaya sebelum suatu kejadian yang tidak diinginkan muncul. Metode ini
lebih fokus pada interaksi antara pekerja, tugas/pekerjaan, alat dan lingkungan. Setelah
34
diketahui bahaya yang tidak bisa dihilangkan, maka dilakukan usaha untuk menghilangkan atau
mengurangi risiko bahaya ke tingkat level yang bisa diterima. (Foster, 2004)
JHA dapat diterapkan dalam berbagai macam jenis pekerjaan, namun terdapat beberapa
prioritas pekerjaan yang perlu dilakukan JHA, antara lain :
Berdasarkan penjelasan yang terdapat pada sub bab II.5, untuk metode identifikasi
risiko yang digunakan pada penelitian tugas akhir ini adalah Fault Tree Analysis (FTA). Metode
FTA dianggap paling efektif dalam mengidentifikasi risiko pada penelitian tugas akhir ini.
Pertimbangan tersebut dilakukan berdasarkan dari tujuan penelitian yang sudah ditentukan
sebelumnya yaitu mengidentifikasi risiko-risiko apa saja yang dapat menyebabkan kerusakan
kapal pada proses peluncuran dengan metode airbag. Pada intinya kemungkinan insiden yang
terjadi sudah ditentukan, lalu dicari penyebab-penyebabnya mengapa insiden tersebut dapat
terjadi. Oleh karena itu FTA dipilih dan dianggap metode yang paling cocok untuk
mengidentifikasi risiko kejadian pada penelitian tugas akhir ini.
Fault Tree Analysis adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi risiko
yang berperan terhadap terjadinya suatu kegagalan. Metode ini dilakukan dengan pendekatan
yang bersifat top down, yang diawali dengan asumsi kegagalan atau kerugian dari kejadian
puncak (top event) kemudian merinci sebab-sebab mengapa top event terjadi sampai pada suatu
kegagalan dasar (root cause). FTA merupakan teknik untuk mengidentifikasi kegagalan
(failure) dari suatu sistem yang berorientasi pada fungsi atau lebih dikenal dengan top down
approach karena analisa ini berawal dari sistem level (top) dan meneruskannya ke bawah
(Priyanti, 2000).
Fault Tree Analysis merupakan metode yang efektif dalam menemukan inti
permasalahan karena memastikan bahwa suatu kejadian yang tidak diinginkan atau kerugian
35
yang ditimbulkan tidak berasal pada satu titik penyebab kegagalan. Fault Tree Analysis
mengidentifikasi hubungan antara faktor penyebab dan ditampilkan dalam bentuk pohon
kesalahan yang melibatkan gerbang logika sederhana. FTA adalah sebuah teknik untuk
menghubungkan beberapa rangkaian kejadian yang menghasilkan sebuah kejadian lain, metode
ini menggunakan pendekatan deduktif yang mencari penyebab dari sebuah kejadian. Metode
ini dipakai untuk investigasi kecelakaan kerja itu sendiri. Fault Tree Analysis juga dapat
didefinisikan sebagai analytical tool yang menerjemahkan secara grafik kombinasi-kombinasi
dari kesalahan yang menyebabkan kegagalan dari sistem. Teknik ini berguna mendeskripsikan
dan menilai kejadian di dalam sistem (Foster, 2004).
Menurut Priyanti (2000) terdapat 4 tahapan untuk melakukan analisa dengan Fault Tree
Analysis, yaitu sebagai berikut :
1. Mendefinisikan masalah dan kondisi batas dari suatu sistem yang ditinjau
2. Penggambaran model grafis FTA
3. Mencari minimal cut set dari analisa FTA
4. Melakukan analisa kuantitatif dari FTA
Langkah pertama diatas bertujuan untuk mencari top event yang merupakan dari definisi
kegagalan suatu sistem yang ditentukan terlebih dahulu dalam menentukan sebuah model
grafis. Model grafis FTA memuat beberapa simbol yaitu simbol kejadian, simbol gerbang dan
simbol transfer. Simbol kejadian adalah simbol yang berisi kejadian pada sistem yang
digambarkan dengan bentuk persegi, lingkaran dan lainnya yang mempunyai arti masing-
masing. Contoh dari simbol kejadian adalah intermediate event dan basic event. Sedangkan
simbol gerbang menyatakan hubungan kejadian input yang mengarah pada kejadian output.
Hubungan tersebut dimulai dari top event sampai ke event yang paling mendasar. Contoh dari
simbol gerbang adalah AND dan OR lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel II.3. Berikut ini
adalah Tabel II.3 adalah istilah-istilah dalam metode Fault Tree Analysis :
36
Tabel II.4 Istilah dan simbol dalam Fault Tree Analysis
(Haris, 2016)
Manfaat dari metode fault tree analysis adalah :
1. Dapat menentukan faktor penyebab yang kemungkinan besar menimbulkan
kegagalan
2. Menemukan tahapan kejadian yang kemungkinan besar sebagai penyebab
kegagalan
3. Menganalisa kemungkinan sumber-sumber risiko sebelum kegagalan timbul.
4. Menginvestigasi suatu kegagalan.
37
Contoh penggunaan fault tree analysis secara sederhana dapat digambarkan pada
skema Gambar II.12 :
38
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Tahap pertama adalah tahap persiapan yang meliputi kegiatan identifikasi dan
perumusan masalah, serta studi penelitian yang terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan.
Tahapan kedua adalah pengumpulan dan pengolahan data yang meliputi kegiatan identifikasi
informasi teknis airbag yang tersedia dan komponen peluncuran yang berisiko, kejadian pada
proses peluncuran kapal dengan airbag yang berisiko, identifikasi variabel risiko pada proses
penurunan kapal tersebut, selanjutnya dilakukan pengolahan data. Tahapan ketiga adalah
analisa dan pembahasan yang meliputi kegiatan analisa hasil dari tahap kedua dan dilakukan
pembahasan lebih lanjut yaitu adalah analisa risiko pada proses peluncuran kapal menggunakan
airbag. Tahap terakhir yaitu tahap empat yang merupakan penarikan kesimpulan dan saran,
pada tahap ini meliputi kegiatan penarikan kesimpulan sesuai dengan tujuan awal dan saran
dari hasil penelitian.
Pada tahap ini dilakukan identifikasi yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami
pokok permasalahan yang dijadikan objek penelitian yaitu analisa risiko penurunan kapal
dengan metode airbag. Pada tahap ini juga ditetapkan tujuan dari penelitian.
Studi Penelitian
39
memahami langkah-langkah dalam melakukan analisa manajemen risiko peluncuran kapal
dengan metode airbag.
Tahap pengumpulan dan pengolahan data ini sangat penting untuk dilakukan karena
berkaitan dengan kelanjutan daripada penelitian. Pada tahap ini dilakukannya pengumpulan
data yang dibutuhkan untuk mendukung proses penelitian. Untuk data apa saja yang diperlukan
dan bagaimana mengolah data yang ada akan dijelaskan di dalam flow chart tahap pengumpulan
dan pengolahan data.
Pada tahap ini adalah dilakukannya analisa dari hasil yang didapatkan pada pengolahan
data yaitu penilaian risiko dan memberikan suatu rekomendasi solusi agar risiko tersebut tidak
terjadi lagi atau setidaknya dapat mengurangi dampak yang diakibatkannya. Penyusunan
rekomendasi solusi ini dilakukan dengan diskusi dengan pihak-pihak yang dianggap expert
dibidangnya.
Tahap penarikan kesimpulan dan saran adalah tahapan terakhir dalam penelitian tugas
akhir ini. Kesimpulan yang ditarik nantinya dapat menjawab tujuan dari penelitian tugas akhir
ini. Sedangkan saran diberikan untuk perbaikan penelitian selanjutnya.
Berikut adalah Gambar 3.1 merupakan diagram atau flowchart metodologi penelitian
yang dilakukan dalam pengerjaan tugas akhir ini.
40
III.5 Flow Chart Metodologi Penelitian
Berikut merupakan flow chart yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini :
Mulai
Identifikasi Masalah
Perumusan Masalah
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
SELESAI
Pada Gambar III.1 merupakan flow chart metodologi tugas akhir yang dilakukan, ada
empat tahapan dalam flow chart. Pertama adalah tahap persiapan yaitu meliputi perumusan
masalah hingga studi penelitian, kedua adalah tahap pengumpulan dan pengolahan data terkait
dengan informasi spesifikasi airbag yang tersedia, metode dan perhitungan peluncuran dengan
menggunakan airbag hingga identifikasi risiko yang dapat terjadi dengan menggunakan metode
FTA. Ketiga adalah tahap analisa dan pembahasan dimana hasil dari pengolahan data akan
41
dilakukan analisa lebih lanjut. Terakhir adalah tahap penarikan kesimpulan, dimana hasil dari
analisa dibuat suatu kesimpulan sehingga dapat menjawab setiap rumusan masalah yang telah
ditetapkan pada bab sebelumnya.
Untuk lebih memahami empat tahapan tersebut maka perlu dijelaskan sebagai berikut:
Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan tahap awal metodologi yang harus dilakukan sebelum
melakukan penelitian lebih lanjut. Untuk lebih jelas Gambar 3.2 menjelaskan secara detil
bagaimana tahap persiapan yang harus dilakukan.
Gambar III.2 merupakan flow chart pada tahap persiapan, pada tahap ini telah
ditetapkan beberapa rumusan masalah dan tujuan. Kemudian dilakukan studi penelitian yang
terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka merupakan kegiatan untuk
mengumpulkan literatur yang terkait penelitian meliputi: pembahasan penelitian terdahulu yang
sudah dilakukan yang terkait penelitian tugas akhir ini, metode penurunan kapal menggunakan
42
airbag, regulasi-regulasi yang mengatur, dan menggunakan metode penilaian dan mitgasi risiko
apa.
Sedangkan untuk studi lapangan dilakukan dibeberapa perusahaan baik galangan kapal
ataupun perusahaan airbag yang ada di sekitar Surabaya. Untuk studi lapangan ini bermaksud
untuk memenuhi segala kebutuhan akan data yang akan digunakan di dalam pengerjaan tugas
akhir ini. Data yang dibutuhkan meliputi perhitungan peluncuran kapal dengan menggunakan
metode airbag, data kegagalan maupun kesuksesan di dalam meluncurkan kapal menggunakan
airbag, informasi teknis, dan standart regulasi yang mengatur.
Berikut ini adalah flow chart daripada tahap pengumpulan dan pengolahan data :
Pada Gambar III.3 dapat dilihat bahwa pada proses pengumpulan data diperoleh
beberapa data meliputi : spesifikasi airbag yang tersedia pada galangan kapal yang diteliti,
fasilitas-fasilitas pendukung apa saja yang diperlukan di dalam meluncurkan kapal dengan
menggunakan metode airbag, informasi ketahanan beban dan tekanan airbag yang tersedia
sesuai dengan spesifikasi, identifikasi risiko-risiko apa saja yang dapat terjadi di dalam proses
meluncurkan kapal menggunakan airbag, informasi tentang mitigasi risiko dengan
menggunakan metode FTA (Fault Tree Analysis). Dalam proses mengumpulkan data dapat
dilakukan dengan wawancara kepada beberapa orang yang dianggap ahli dibidangnya ataupun
dengan mencari dokumen yang telah ada.
43
Setelah proses pengumpulan data dilakukan dapat dilanjutkan dengan mengolah data
yang ada, kegiatan-kegiatan ini meliputi: mengidentifikasi risiko berdasarkan fasilitas
pendukung yang tersedia di galangan dan kondisi airbag serta tempat peluncuran rampway,
melakukan evaluasi risiko dengan tujuan dapat dilakukannya rekomendasi solusi.
Pada tahap analisis dan pembahasan ini merupakan lanjutan dari tahap pengolahan data.
Berikut gambaran kegiatan dalam tahap analisa dan pembahasan :
Dari Gambar III.4 dapat dilihat tahapan kegiatan pada analisa dan pembahasan antara
lain menyusun masing-masing tingkat risiko yang dapat terjadi, menyusun rekomendasi risiko
dan menuliskan rekomendasi tindakan control atau pengendalian risiko.
44
Pada tahap penarikan kesimpulan ini merupakan hasil dari segala proses yang
dilakukan. Pada tahap ini risiko yang telah diidentifikasi diberikan tindakan preventif apa yang
harus diambil dalam mencegah ataupun mengurangi dampak daripada risiko. Selain itu juga
disisipkan saran yang berkaitan dengan pengembangan dari penelitian ini untuk diteliti lebih
lanjut. Setelah semua itu didapatkan dapat dilakukannya pembuatan laporan untuk hasil dari
penelitian dan juga sebagai bukti fisik bahwa penelitian ini telah dilakukan.
45
Halaman ini sengaja dikosongkan
46
BAB IV
PERHITUNGAN DAN IDENTIFIKASI RISIKO PELUNCURAN
KAPAL DENGAN AIRBAG
IV.1 Informasi Teknis Airbag
Informasi teknis daripada airbag yang akan digunakan sangat penting peranannya. Pada
peluncuran kapal dengan metode airbag diperlukan informasi teknis airbag yang tepat agar
proses peluncuran dapat berjalan dengan lancar. Dari informasi teknis tersebut dapat diketahui
berapa jumlah airbag yang dibutuhkan untuk menurunkan kapal. Setelah jumlah airbag yang
dibutuhkan diketahui, maka jarak antar airbag dapat ditentukan dengan membagi besaran
panjang lunas kapal dengan jumlah airbag yang dihasilkan dari proses perhitungan. Oleh
karena itu diperlukan data informasi teknis airbag yang akan digunakan dengan akurat. Jika
perlu dilakukan kembali pengujian sebelum menggunakan airbag tersebut demi memastikan
bahwa spesifikasi yang terdapat pada informasi teknis sesuai dengan yang diberikan.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa jarak antar airbag tidak boleh
melebihi 6 meter (Persamaan II.6). Jika jarak antar airbag yang dihasilkan lebih dari 6 meter
maka perlu mengganti airbag yang akan digunakan dan dilakukan perhitungan kembali. Hal
tersebut bisa terjadi karena dipilihnya spesifikasi airbag yang melebihi dari kapasitas beban
yang diberikan oleh kapal, sehingga jumlah airbag yang dibutuhkan sedikit sehingga
menghasilkan perhitungan jarak antar airbag yang besar.
Terdapat bermacam-macam spesifikasi teknik dari airbag yang berada dipasaran.
Namun untuk airbag yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi lahan dan kapasitas
yang ada di galangan tersebut. Hal ini berkaitan dengan efisiensi di dalam penggunaan airbag.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya spesifikasi airbag dapat dibedakan berdasarkan dari
jumlah lapisan kulit yang digunakan (Tabel II.1). Jumlah daripada lapisan yang digunakan
mulai dari 3 lapisan hingga 6 atau lebih tergantung dari kebutuhan kekuatan yang dibutuhkan.
Berikut ini adalah Tabel IV.1 s/d Tabel IV.4 daftar data spesifikasi airbag yang ada di
salah satu perusahaan airbag Indonesia. Data spesifikasi airbag dapat dijadikan sebagai acuan
dalam menghitungkan peluncuran kapal menggunakan airbag. Data ini berupa besaran
diameter airbag, tekanan kerja (working pressure), working height dan ketahanan (bearing
capacity) daripada airbag tersebut.
47
Tabel IV.1 Spesifikasi airbag 3 lapisan (layers)
Working Height Jaminan Daya Tahan Airbag Per Satuan Panjang
Diameter Tekanan Kerja
(H) kN/m t/m 1b/ft
0.5 m (1.64 ft) 61.31 6.25 4200
D= 0.8m 0.13 Mpa (18.85 0.4 m (1.312 ft) 81.72 8.33 5599
(D= 2.62 ft) psi) 0.3 m (0.984 ft ) 102.22 10.42 7004
0.2 m (0.656 ft) 122.63 12.5 8402
0.6 m (1.968 ft) 62.88 6.41 4308
0.5 m (1.64 ft) 78.58 8.01 5384
D= 1.0 m 0.1 Mpa (14.50
0.4 m (1.312 ft) 94.27 9.61 6459
(D= 3.28 ft) psi)
0.3 m (0.984 ft ) 110.07 11.22 7541
0.2 m (0.656 ft) 125.76 12.82 8617
0.7 m (2.296 ft) 70.73 7.21 4846
0.6 m (1.968 ft) 84.86 8.65 5814
D= 1.2 m ( 0.09 Mpa (13.05 0.5 m (1.64 ft) 98.98 10.09 6782
D= 4.92 ft) psi) 0.4 m (1.312 ft) 113.21 11.54 7756
0.3 m (0.984 ft ) 127.33 12.98 8724
0.2 m (0.656 ft) 141.46 14.42 9692
0.9 m (2.952 ft) 66.02 6.73 4523
0.8 m (2.624 ft) 77.01 7.85 5276
0.7 m (2.296 ft) 88 8.97 6029
D= 1.5 m 0.07 Mpa (10.15 0.6 m (1.968 ft) 98.98 10.09 6782
(D= 4.92 ft) psi) 0.5 m (1.64 ft) 110.07 11.22 7541
0.4 m (1.312 ft) 121.06 12.34 8294
0.3 m (0.984 ft ) 132.04 13.46 9047
0.2 m (0.656 ft) 143.03 14.58 9800
1.1 m (3.608 ft) 61.61 6.28 4221
1.0 m (3.28 ft) 70.34 7.17 4819
0.9 m (2.952 ft) 79.26 8.08 5431
0.8 m (2.624 ft) 88 8.97 6029
D= 1.8 m 0.06 Mpa (8.70 0.7 m (2.296 ft) 96.82 9.87 6634
(D= 5.90 ft) psi) 0.6 m (1.968 ft) 105.56 10.76 7232
0.5 m (1.64 ft) 114.38 11.66 7837
0.4 m (1.312 ft) 123.21 12.56 8442
0.3 m (0.984 ft ) 132.04 13.46 9047
0.2 m (0.656 ft) 140.77 14.35 9645
1.2 m (3.936 ft) 62.88 6.41 4308
1.1 m (3.608 ft) 70.73 7.21 4846
1.0 m (3.28 ft) 78.58 8.01 5384
0.9 m (2.952 ft) 86.43 8.81 5921
0.8 m (2.624 ft) 94.27 9.61 6549
D= 2.0 m ( 0.05 Mpa (7.25
0.7 m (2.296 ft) 102.12 10.41 6997
D= 6.59 ft) psi)
0.6 m (1.968 ft) 110.07 11.22 7541
0.5 m (1.64 ft) 117.92 12.02 8079
0.4 m (1.312 ft) 125.76 12.82 8617
0.3 m (0.984 ft ) 133.61 13.62 9154
0.2 m (0.656 ft) 141.46 14.42 9692
48
Tabel IV.2 Spesifikasi airbag dengan 5 lapisan (layers)
Working Height Jaminan Daya Tahan Airbag Per Satuan Panjang
Diameter Tekanan Kerja
(H) kN/m t/m 1b/ft
0.5 m (1.64 ft) 98.98 10.09 6782
D= 0.8m 0.21 Mpa (30.46 0.4 m (1.312 ft) 132.04 13.46 9047
(D= 2.62 ft) psi) 0.3 m (0.984 ft ) 165 16.82 11305
0.2 m (0.656 ft) 198.06 20.19 13570
0.6 m (1.968 ft) 106.93 10.9 7326
0.5 m (1.64 ft) 133.61 13.62 9154
D= 1.0 m 0.17 Mpa (24.66
0.4 m (1.312 ft) 160.3 16.34 10983
(D= 3.28 ft) psi)
0.3 m (0.984 ft ) 187.08 19.07 12818
0.2 m (0.656 ft) 213.86 21.8 14652
0.7 m (2.296 ft) 110.07 11.22 7541
0.6 m (1.968 ft) 132.04 13.46 9047
D= 1.2 m ( 0.5 m (1.64 ft) 154.02 15.7 10552
0.14 Mpa (20.31)
D= 4.92 ft) 0.4 m (1.312 ft) 175.99 17.94 12058
0.3 m (0.984 ft ) 198.06 20.19 13570
0.2 m (0.656 ft) 220.04 22.43 15076
0.9 m (2.952 ft) 99.08 10.58 7111
0.8 m (2.624 ft) 121.06 12.34 8294
0.7 m (2.296 ft) 138.32 14.1 9477
D= 1.5 m 0.11 Mpa (15.95 0.6 m (1.968 ft) 155.59 15.86 10660
(D= 4.92 ft) psi) 0.5 m (1.64 ft) 172.85 17.62 11843
0.4 m (1.312 ft) 190.22 19.39 13033
0.3 m (0.984 ft ) 207.48 21.15 14216
0.2 m (0.656 ft) 224.75 22.91 15398
1.1 m (3.608 ft) 99.08 10.1 6788
1.0 m (3.28 ft) 113.21 11.54 7756
0.9 m (2.952 ft) 127.33 12.98 8724
0.8 m (2.624 ft) 141.46 14.42 9692
D= 1.8 m 0.09 Mpa (13.05 0.7 m (2.296 ft) 155.59 15.86 10660
(D= 5.90 ft) psi) 0.6 m (1.968 ft) 169.71 17.3 11628
0.5 m (1.64 ft) 183.94 18.75 12602
0.4 m (1.312 ft) 198.06 20.19 13570
0.3 m (0.984 ft ) 212.19 21.63 14538
0.2 m (0.656 ft) 226.32 23.07 15506
1.2 m (3.936 ft) 100.65 10.26 6896
1.1 m (3.608 ft) 113.21 11.54 7756
1.0 m (3.28 ft) 125.76 12.82 8617
0.9 m (2.952 ft) 138.32 14.1 9477
0.8 m (2.624 ft) 150.88 15.38 10337
D= 2.0 m ( 0.08 Mpa (11.60
0.7 m (2.296 ft) 163.43 16.66 11198
D= 6.59 ft) psi)
0.6 m (1.968 ft) 175.99 17.94 12058
0.5 m (1.64 ft) 188.55 19.22 12918
0.4 m (1.312 ft) 201.2 20.51 13785
0.3 m (0.984 ft ) 213.76 21.79 14646
0.2 m (0.656 ft) 226.51 23.09 15519
49
Tabel IV.3 Spesifikasi airbag dengan 6 lapisan (layers)
Working Height Jaminan Daya Tahan Airbag Per Satuan Panjang
Diameter Tekanan Kerja
(H) kN/m t/m 1b/ft
0.5 m (1.64 ft) 117.92 12.02 8079
D= 0.8m 0.21 Mpa (30.46 0.4 m (1.312 ft) 157.16 16.02 10768
(D= 2.62 ft) psi) 0.3 m (0.984 ft ) 196.49 20.03 13463
0.2 m (0.656 ft) 235.73 24.03 16151
0.6 m (1.968 ft) 125.76 12.82 8617
0.5 m (1.64 ft) 157.16 16.02 10768
D= 1.0 m 0.17 Mpa (24.66
0.4 m (1.312 ft) 188.65 19.23 12925
(D= 3.28 ft) psi)
0.3 m (0.984 ft ) 220.04 22.43 15076
0.2 m (0.656 ft) 251.53 25.64 17233
0.7 m (2.296 ft) 133.61 13.62 9154
0.6 m (1.968 ft) 160.3 16.34 10983
D= 1.2 m ( 0.5 m (1.64 ft) 187.08 19.07 12818
0.14 Mpa (20.31)
D= 4.92 ft) 0.4 m (1.312 ft) 213.76 21.79 14646
0.3 m (0.984 ft ) 240.44 24.51 16474
0.2 m (0.656 ft) 267.22 27.24 18309
0.9 m (2.952 ft) 122.63 12.5 8402
0.8 m (2.624 ft) 143.03 14.58 9800
0.7 m (2.296 ft) 163.43 16.66 11198
D= 1.5 m 0.11 Mpa (15.95 0.6 m (1.968 ft) 183.94 18.75 12602
(D= 4.92 ft) psi) 0.5 m (1.64 ft) 204.34 20.83 14000
0.4 m (1.312 ft) 224.75 22.91 15398
0.3 m (0.984 ft ) 245.15 24.99 16797
0.2 m (0.656 ft) 267.81 27.3 18349
1.1 m (3.608 ft) 120.96 12.33 8287
1.0 m (3.28 ft) 138.22 14.09 9470
0.9 m (2.952 ft) 155.59 15.86 10660
0.8 m (2.624 ft) 172.85 17.62 11843
D= 1.8 m 0.09 Mpa (13.05 0.7 m (2.296 ft) 190.22 19.39 13033
(D= 5.90 ft) psi) 0.6 m (1.968 ft) 207.48 21.15 14216
0.5 m (1.64 ft) 224.75 22.91 15398
0.4 m (1.312 ft) 242.01 24.67 16581
0.3 m (0.984 ft ) 259.38 26.44 17771
0.2 m (0.656 ft) 276.64 28.2 18954
1.2 m (3.936 ft) 125.76 12.82 8617
1.1 m (3.608 ft) 141.46 14.42 9692
1.0 m (3.28 ft) 157.16 16.02 10768
0.9 m (2.952 ft) 172.85 17.62 11843
0.8 m (2.624 ft) 188.64 19.23 12925
D= 2.0 m ( 0.08 Mpa (11.60
0.7 m (2.296 ft) 204.34 20.83 14000
D= 6.59 ft) psi)
0.6 m (1.968 ft) 220.04 22.43 15076
0.5 m (1.64 ft) 235.73 24.03 16151
0.4 m (1.312 ft) 251.43 25.63 17227
0.3 m (0.984 ft ) 267.13 27.23 18302
0.2 m (0.656 ft) 282.92 28.84 19384
50
Tabel IV.4 Spesifikasi airbag dengan 7 lapisan (layers)
Working Height Jaminan Daya Tahan Airbag Per Satuan Panjang
Diameter Tekanan Kerja
(H) kN/m t/m 1b/ft
0.9 m (2.952 ft) 132.63 13.53 9092
0.8 m (2.624 ft) 153 15.6 10483
0.7 m (2.296 ft) 173.4 17.6 11827
D= 1.5 m 0.163 Mpa (23.63 0.6 m (1.968 ft) 193.9 19.7 13238
(D= 4.92 ft) psi) 0.5 m (1.64 ft) 214.3 21.8 14649
0.4 m (1.312 ft) 234.75 23.9 16060
0.3 m (0.984 ft ) 255.15 26.03 17492
0.2 m (0.656 ft) 277.81 28.34 19044
1.1 m (3.608 ft) 130.5 13.31 8944
1.0 m (3.28 ft) 148 15.1 10147
0.9 m (2.952 ft) 165.3 16.86 11329
0.8 m (2.624 ft) 182.5 18.62 12512
D= 1.8 m 0.14 Mpa (15.95 0.7 m (2.296 ft) 200.1 20.41 13715
(D= 5.90 ft) psi) 0.6 m (1.968 ft) 217.3 22.17 14898
0.5 m (1.64 ft) 234.5 23.92 16074
0.4 m (1.312 ft) 252 25.71 17277
0.3 m (0.984 ft ) 269.3 27.47 18459
0.2 m (0.656 ft) 286.5 29.23 19642
(Hage, 2014)
Pada Tabel IV.1 s/d Tabel IV.4 dijelaskan bagaimana spesifikasi airbag yang ada
dipasaran. Dimulai dari airbag yang hanya memiliki 3 lapisan hingga pada airbag yang
memiliki 7 lapisan atau dapat disebut sebagai airbag yang memiliki daya kekuatan tinggi ( high
bearing capacity). Pada Tabel IV.1 hingga Tabel IV.4 terdapat penjelasan besaran diameter,
tekanan kerja, working height dan daya kekuatan yang dapat ditampung airbag. Diameter
airbag tentunya akan sangat memengaruhi kekuatan airbag yang dihasilkan, contoh saja dapat
dilihat pada Tabel IV.4 (airbag dengan 7 lapisan). Pada working height sama-sama 0.9 meter
bearing capacity yang dihasilkan airbag yang berdiameter 1.5 meter adalah 13.53 ton/m
sedangkan untuk airbag yang berdiameter 1.8 meter adalah 16.86 ton/m. Begitu juga pada
working height 0.8 meter dan seterusnya, airbag yang berdiameter 1.8 meter akan selalu lebih
besar bearing capacitynya dibandingkan dengan airbag yang berdiameter 1.5 meter.
51
Gambar IV.1 Beban maksimum airbag
( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016)
Pada Gambar IV.1 dijelaskan bahwa airbag yang sedang menopang beban maksimal.
Untuk memperoleh berapa beban atau gaya maksimal yang dapat diterima airbag dapat
dihitung dengan rumus :
Dimana,
52
Pengaturan Pemasangan Airbag
Pengaturan susunan dari airbag sangat penting untuk dilakukan untuk alasan safety baik
untuk launching bangunan baru ataupun untuk kapal pada saat docking. Semua kondisi
termasuk dari dimensi kapal, penyebaran berat, kondisi tempat peluncuran kapal dan water
level dijadikan pertimbangan untuk menentukan bagaimana penyusunan airbag nantinya.
Untuk pemasangan airbag dapat disesuaikan berdasarkan panjang dan lebar kapal.
A. Panjang Kapal
Semua kantung udara (airbag) harus diletakan pada pusat kapal. Airbag yang
dipasangkan pada kapal makin banyak maka peluncuran kapalpun akan lebih aman dan safety.
Maksimal dari jarak antar airbag tidak boleh melebihi dari 6 meter. Jarak minimal antar airbag
dapat ditentukan berdasarkan diameter airbag yang digunakan. Berikut adalah tabel dari jarak
minimum antar airbag berdasarkan dari diameter airbag yang digunakan :
53
Sangat tidak disarankan menyusun airbag menjadi 3 baris karena akan membahayakan
kapal pada saat peluncuran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat ilustrasi gambar dibawah
ini :
Selain 3 faktor diatas juga perlu diperhatikannya pendistribusian beban kapal. Perlu
diketahui pada bagian pada badan kapal yang mana yang memiliki beban yang paling berat, hal
tersebut untuk menentukan seberapa banyak airbag harus dipasang. Untuk pada bagian kapal
yang lebih berat diperlukan jumlah airbag yang lebih banyak juga. Selain itu juga water level
atau tinggi rendahnya permukaan air laut juga dapat mempengaruhi dalam hal penyusunan dan
jarak antar airbag.
Alat bantu yang harus dipenuhi di dalam peluncuran airbag yang setidaknya tersedia
yaitu winch, rigging (kawat baja) dan airbag sendiri. Untuk kapasitas winch ditentukan
berdasarkan berat peluncuran dan besaran sudut kemiringan landasan. Untuk gaya gesek yang
dihasilkan dari hasil perputaran airbag yang bersentuhan dengan landasan dipengaruhi oleh
54
situasi daripada kondisi landasan peluncuran dan gaya tekan yang diperoleh airbag (bearing
force). Biasanya pada peluncuran kapal menggunakan airbag untuk besaran gaya gesek
diestimasi sekitar 0.006 s/d 0.01. Untuk menyukseskan meluncurkan kapal dengan metode
airbag hal-hal yang harus terpenuhi adalah :
Pada Gambar IV.4 adalah contoh penggunaan winch pada peluncuran kapal
menggunakan airbag yang benar. Dengan menggunakan kombinasi 4 tali kawat yang mana
sudah sesuai dengan standar dimana tali kawat baja tersebut harus mampu untuk menahan
tegangan yang dihasilkan oleh winch dan kapal yang akan diluncurkan. Semakin banyak
55
kombinasi yang digunakan maka akan semakin sedikit tegangan yang dihasilkan, karena
tegangan tadi yang dibagi merata kepada tiap kawat baja yang ada.
Dalam kasus kali ini penulis memilih untuk meneliti kapal container 100 TEUs. Alasan
mengapa penulis memilih kapal tersebut adalah karena kapal ini masih dalam tahap desain dan
memiliki gambar konstruksi yang lengkap yaitu berupa general arrangement, construction
profile dan midship section. Walaupun ada sedikit kekurangan yaitu gambar lines plan, namun
lines plan tersebut dapat dimodelkan dengan bantuan suatu software permodelan Maxsurf.
Data-data yang diperlukan di dalam perhitungan peluncuran kapal menggunakan airbag
seperti ukuran utama, displasemen kapal, dan daya mesin dapat diperoleh dari data yang
dicantumkan pada gambar construction profile ataupun general arrangement. Namun untuk
data CSA (curved section area) dan titik berat kapal dapat diperoleh dari Maxsurf setelah
dibuatnya model kapal container tersebut. Untuk data-data diatas sudah cukup untuk
melakukan perhitungan peluncuran kapal container menggunakan airbag. Hasil akhir daripada
proses perhitungan ini adalah berupa gambar Kurva Bonjean dan Kurva Peluncuran.
Berikut ini adalah Tabel IV.6 yaitu input data yang dibutuhkan sebelum melakukan
perhitungan peluncuran kapal dengan metode airbag.
56
distribusi beban, titik berat LCG dan VCG, dan koefisien blok (CB) pada kapal itu sendiri.
Sedangkan untuk kondisi landasan yang perlu diketahui adalah kemiringan, panjang, lebar,
bearing capability (ketahanan landasan), keofisien gaya gesek, kapan terjadi air pasang, water
level (kedalaman air). Selanjutnya untuk pemilihan airbag, spesifikasinya harus bisa
menyesuaikan dengan yang dibutuhkan pada proses peluncuran. Jumlah airbag yang digunakan
tergantung dari spesifikasi airbag yang telah dipilih lalu dihitung dengan Persamaan (II.1).
Spesifikasi airbag termasuk pada initial pressure dan performa dari pada airbag itu sendiri.
Performa yang dimaksudkan disini adalah besaran maksimum bearing capacity (ketahanan)
daripada airbag.
Pada gambar rencana umum Gambar IV.5 dijelaskan bahwa kapal memiliki panjang
Loa sebesar 74.05 m, Lpp 69.2 m, lebar (B) 17.2 m, tinggi (H) 4.9 m, dan sarat (T) 3.7 m serta
57
kecepatan kapal yang dapat mencapai 12 knots. Jika diteliti lebih lanjut kapal ini memiliki
bentuk badan yang sangat gemuk dapat dilihat dari hasil B/H atau perbandingan antara lebar
kapal dengan tinggi kapal yang mana memiliki harga yang cukup besar. Jika dilihat dari kondisi
kapal, kapal ini sangat cocok diluncurkan dengan menggunakan metode airbag karena
memiliki perbandingan lebar yang cukup besar dibandingkan dengan tingginya. Risiko yang
kemungkinan terjadipun dapat dikatakan sedikit.
4.3.1.2 Construction profile
Berikut ini adalah gambar kontruksi profil daripada kapal container 100 TEUs :
Dari Gambar IV.6 construction profile tersebut penulis mendapatkan data tambahan
berupa daya mesin kapal sebesar 2 x 1400 HP, koefisien blok kapal sebesar 0.78, displasemen
kapal sebesar 3327 ton dan notasi dari kapal tersebut.
4.3.1.3 Midship Section
Berikut ini adalah gambar midship section daripada kapal container 100 TEUs :
58
Gambar IV.7 Midship Section kapal kontainer 100 TEUs
Dari Gambar IV.7 midship section penulis mengetahui detail ukuran pelat-pelat apa saja
dan berapa ukurannya yang digunakan dalam pembangunan kapal tersebut. Selain itu gambar
dari midship section sendiri dapat membantu penulis dalam permodelan bentuk di Maxsurf
sehingga ada acuan akan seperti apa model yang dibuat nanti.
Dalam perhitungan peluncuran kapal dengan metode apapun dibutuhkan data kapal
yang sangat vital yaitu besaran luas penampang pada kapal per station atau dapat disebut
dengan CSA (Curve Sectional Area). Mengapa hal tersebut sangat vital, karena tanpa adanya
data tersebut penulis tidak dapat menentukan bagaimana gaya angkat yang dihasilkan oleh
kapal tersebut. Karena data CSA pada kapal ini tidak ada penulis harus memodelkan kapal ini
di Maxsurf.
Hal pertama yang harus dilakukan dalam memodelkan kapal di Maxsurf adalah
menentukan pemilihan sample design yang sudah ada. Karena kapal ini container maka sample
design yang harus dipilih juga harus container. Sample design yang dipilih adalah
‘Containership.msd’ yang digunakan sebagai desain awal dari model kapal ini.
59
Gambar IV.8 Sample design yang dipilih
Pada Gambar IV.8 dapat dilihat bahwa terdapat sample design dari beberapa jenis kapal.
Sample design merupakan salah satu fitur yang dimiliki langsung oleh software Maxsurf untuk
memudahkan pengguna yang ingin membuat suatu design kapal. Untuk sample design yang
dipilih oleh penulis tentunya containership karena data kapal yang didapatkan merupakan kapal
jenis kontainer. Setelah sample design dipilih maka spesifikasi yang didapatkan belum pasti
sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu perlu dilakukannya perubahan spesifikasi dari
kapal sesuai dengan yang dibutuhkan.
Mengubah spesifikasi kapal hingga dapat sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan
dilakukan dengan berbagai cara. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan sarat
yang sama dengan kapal yang ingin dihitung. Selanjutnya menyesuaikan panjang, tinggi dan
lebar kapal melalui control point yang terdapat pada software Maxsurf. Setiap tahap perubahan
yang dilakukan perlu dilakukan pengecekan pada perintah calculate of hydrostatic. Item-item
yang perlu diperhatikan kesamaannya adalah koefisien blok kapal (CB), LWL (length water
line), Lpp (length between perpendicular), Loa (length overall), sarat, tinggi, lebar, dan volume
displasemen kapal.
Dari sample design yang telah dipilih didapatkan data yang sangat berbeda dengan data
kapal yang dibutuhkan. Berikut ini adalah data dari sample design.
60
Gambar IV.9 Data kurva hidrostatik sample design
Dapat dilihat dari gambar IV.9 bahwa displasemen kapal dari sample design yang
dipilih memiliki displasemen kapal sebesar 34676 ton sedangkan displasemen yang dibutuhkan
adalah sekitar 3400 ton. Selain itu CB (Coefisien Block) pada sample design masih 0.511
sedangkan CB yang dibutuhkan adalah sekitar 0.78. Untuk memperbesar besaran CB yang
harus dilakukan adalah dengan cara memperbesar luas penampang daripada kapal. Selain itu
Lwl, lebar kapal, tinggi dan sarat kapal pada Maxsurf juga masih berbeda. Hal pertama yang
harus dilakukan adalah mengubah besaran sarat dengan sarat yang dibutuhkan. Sarat bisa
diubah dengan cara mengakses Data, lalu pilih Frame Of Reference setelah itu ubah DWL
dengan besaran 3700 mm. Berikut ini adalah Gambar IV.10.
61
Gambar IV.10 Tampilan window Frame of Reference Maxsurf
Setelah mengubah sarat menjadi ke sarat yang dibutuhkan pada Gambar IV.10 pilih Set
to DWL lalu klik OK. Hal ini dilakukan untuk acuan dalam mengubah model kapal untuk
dijadikan model yang dibutuhkan. Setelah sarat diubah maka panjang, lebar dan tinggi kapal
serta CB dapat diubah secara manual dengan cara menarik control point yang ada lalu ditarik
sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Setelah itu kurva hidrostatik kapal yang baru dapat
dilihat dengan cara mengakses data, lalu ke calculate hydrostatic maka akan muncul tampilan
data kurva hidrostatik kapal yang baru.
Berikut ini adalah Gambar IV.11 yaitu besaran kurva hidrostatik setelah dilakukan
perubahan.
62
Gambar IV.11 Tampilan kurva hidrostatik baru
Pada permodelan di Maxsurf hal terpenting yang harus diperhatikan adalah besaran CB,
dimana sebisa mungkin besaran CB harus setidaknya sama dengan yang ada pada gambar
konstruksi. Pada Gambar IV.11 bahwa besaran CB sudah mencapai 0.781 dimana yang
dibutuhkan adalah sebesar 0.78. Hal ini sudah dapat dianggap bahwa model kapal yang baru
sudah pantas untuk dijadikan acuan di dalam menentukan besaran CSA.
Setelah perubahan model dilakukan maka untuk berapa station yang dibutuhkan kapal
tersebut dapat ditentukan. Untuk mengubah station dapat mengakses data lalu pilih grid spacing
maka akan muncul tampilan sebagai berikut.
63
Gambar IV.12 Tampilan window Grid Space pada Maxsurf
Gambar IV.12 adalah tampilan window dari grid space yang terdapat pada software
Maxsurf. Untuk mengubah berapa station yang dibutuhkan pada tampilan diatas dapat dipilih
space. Setelah itu dapat ditentukan berapa banyak station yang ingin digunakan. Berikut ini
adalah Gambar IV.13 yaitu contoh tampilan dari space station.
Setelah tampilan space stations muncul (Gambar IV.13) maka dapat dilakukan
perubahan jumlah station sesuai dengan yang diinginkan. Untuk kasus ini penulis memutuskan
untuk membuat 20 station lalu dibagi dengan panjang kapal pada model yang baru dengan
memilih evenly along the length of the model. Setelah itu dapat dihitung langsung CSA per
station dengan mengexport gambar body plan dari Maxsurf ke autocad. Berikut ini adalah
tampilan body plan dari maksurf setelah dilakukan pembagian station.
64
Gambar IV.14 Tampilan body plan pada Maxsurf
Pada gambar IV.14 dapat dilihat bahwa garis yang berwarna kuning adalah garis DWL
atau sarat, sedangkan untuk garis yang berwarna hijau muda adalah station kapal. Setelah itu
gambar dari Maxsurf dapat di export ke autocad untuk dicari luasan penampang tiap stationnya.
Setelah permodelan pada Maxsurf selesai maka proses perhitungan CSA sudah dapat
dilakukan. Body plan yang telah di export ke autocad di pecah setiap stationnya agar lebih
mudah dan akurat di dalam menghitung luas. Berikut ini adalah contoh gambar untuk
perhitungan luas penampang pada masing-masing station.
66
Gambar IV.16 Kurva bonjean kontainer 100 TEUs
Cara menghitung besaran luas untuk tiap wl (water line) yang ingin diketahui dapat
dengan mengukur jarak dari garis station yang lurus dengan yang melengkung (biru) dan
dikalikan skala yang dapat dilihat pada Gambar IV.16. Hal ini diperlukan untuk selanjutnya
dihitung volumenya untuk kebutuhan perhitungan gaya angkat pada kapal ditiap masing-
masing station. Untuk garis miring bidang gambar merupakan garis daripada langkah-langkah
peluncuran.
68
yang digunakan dipilih airbag yang memiliki diameter 1 m dengan spesifikasi yang dapat
dilihat pada Tabel 4.9.
1. Periode I : Periode dimana kapal mulai bergerak di atas landasan luncur hingga
kapal mulai menyentuh permukaan air.
2. Periode II : Tahap peluncuran yang dimulai dari akhir periode I sampai kapal mulai
mengapung di air karena gaya apung kapal tersebut dan tambahan gaya angkat yang
diberikan oleh airbag (mendapat gaya tekan ke atas).
3. Periode III : Tahap peluncuran dimulai dari akhir periode II sampai kapal
meninggalkan landasan luncur dan terapung bebas (tidak menyentuh landasan).
Pada periode 1 yang perlu dilakukan adalah menganalisa gaya-gaya apa saja yang dapat
terjadi pada kapal saat masih berada diatas airbag. Berikut ini adalah gambaran gaya-gaya yang
bekerja pada kapal saat masih berada diatas landasan.
69
Gambar IV.17 Gaya-gaya yang bekerja pada periode 1
Gambar IV.17 menjelaskan bahwa pada periode 1 dapat ditentukan bahwa besaran gaya
yang dihasilkan oleh kapal (F1) sebesar berat peluncuran dikalikan sin α (sudut kemiringan
landasan terhadap garis air). Selain itu juga pada peluncuran airbag terdapat gaya gesek sebesar
(F2), walaupun gaya gesek yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan peluncuran
slipway hal ini juga masih harus dihitung besarnya. Untuk kemiringan landasan diambil sebesar
20. Untuk F1 didapatkan hasil perhitungan 49.2 ton dan F3 didapatkan hasil 23.54 ton.
Sedangkan untuk kapasitas winch minimal harus sama dengan F1+F3 yang mana kapasitas
minimal setidaknya harus dapat menahan 72.75 ton atau 712.92 kN.
Pada periode II, gaya apung telah terjadi pada kapal. Reaksi landasan yang tersebar
hanya di lihat resultannya saja. Untuk menghitung besar dan letak resultan ini, maka digunakan
persamaan keseimbangan sebagai berikut :
DL + PL + R = 0 Persamaan (IV.2)
DLlSD + PLlSP + RlSR = 0 Persamaan (IV.3)
x Keseimbangan gaya : Pada Persamaan (IV.2 )
x Keseimbangan momen terhadap ujung depan airbag : Pada Persamaan (IV.3)
Dimana :
DL = gaya apung
PL = gaya berat
lSD = lengan DL terhadap ujung haluan airbag
lSP = lengan PL terhadap ujung haluan airbag
R = resultan reaksi landasan
lSR = lengan R terhadap ujung haluan airbag
Lengan-lengan dapat dihitung dengan rumus berikut:
70
" SP LS L A x P dengan x = jarak titik berat dari AP Persamaan (IV.4)
P
DL dan xD dihitung dengan bantuan kurva Bonjean atau cara lain. Sarat buritan dapat
dihitung dengan rumus berikut :
TA (m s ) tan T Persamaan (IV.6)
Dimana :
m = jarak dari AP ke badan kapal yang paling dulu menyentuh air
s = langkah kapal
Langkah 0 adalah kedudukan kapal pada saat badan kapal pertama kali menyentuh air.
Selanjutnya langkah dihitung dari langkah 0 ke kedudukan kapal pada suatu saat. Jadi ada dua
persamaan dengan dua yang tidak diketahui, sehingga besar dan letak resultan dapat dihitung.
Setelah itu maka besar intensitas beban di ujung-ujung airbag dapat dihitung dengan rumus qH
dan qB di atas. Dapat terjadi bahwa diukur dari ujung airbag, letak resultan kurang dari 1/3
panjang airbag. Dalam hal ini beban tersebar dalam bentuk segitiga yang panjangnya 3 kali
jarak resultan ke ujung airbag dan luas segitiga sama dengan besar resultan. Berikut ini adalah
gaya-gaya yang bekerja pada periode 2.
Dari Gambar IV .18 dapat dilihat bahwa terhadap ujung haluan airbag, gaya berat
memutar kapal berlawanan arah dengan jarum jam dan gaya apung memutar kapal searah
dengan jarum jam. Jika momen gaya apung terhadap ujung darat airbag sudah sama besar
dengan momen gaya berat terhadap titik yang sama, maka buritan kapal mulai terangkat dan
reaksi landasan terpusat di ujung darat airbag. Saat ini disebut angkat buritan atau sternlift.
71
Pada saat itu besar reaksi landasan sama dengan selisih DL dan PL dan akan terpusat di ujung
haluan airbag, hingga lR = 0. Namun disamping itu juga masih ada gaya angkat tambahan dari
airbag yang membantu kapal agar tetap seimbang.
Pada kapal yang bagian buritannya kurus sekali atau jika sudut kemiringan landasan
terlalu kecil, dapat terjadi bahwa sampai titik berat kapal melewati ujung landasan, angkat
buritan belum terjadi.
Persamaan keseimbangan menjadi:
x Keseimbangan gaya :
x Keseimbangan momen terhadap ujung landasan :
Lengan-lengan dapat dihitung dengan rumus berikut:
h
" TD ms O xD
tan T Persamaan (IV.7)
h
" TP ms O xP Persamaan (IV.8)
tan T
Dimana :
h = besaran working height airbag
λ = panjang landasan yang berada di dalam air
Dari Gambar IV.19 terlihat bahwa terhadap ujung landasan, gaya berat memutar kapal
berlawanan arah dengan jarum jam dan gaya apung memutar kapal searah dengan jarum jam.
Jika momen gaya apung terhadap ujung landasan lebih kecil dari momen gaya berat terhadap
titik yang sama, maka kapal akan berputar berlawanan arah dengan jarum jam. Kejadian ini
disebut jungkit atau tipping. Pada saat itu besar reaksi landasan sama dengan selisih D L dan PL
72
dan akan terpusat di ujung landasan. Reaksi terpusat ini dapat merusakkan landasan, airbag
maupun dasar kapal dan karenanya sebisa mungkin dihindari dan gaya angkat dari airbag
sangat membantu dalam hal terhindarnya dari masalah tersebut. Kalau tidak dapat dihindari,
jungkit hanya boleh terjadi untuk jarak yang sangat pendek. Setelah jungkit terjadi, gaya apung
dan momennya akan terus bertambah (karena kapal masih akan terus bergerak), sehingga kapal
akan berputar searah jarum jam dan duduk lagi di landasan sehingga reaksi landasan akan
tersebar lagi. Setelah ini biasanya angkat buritan akan terjadi.
Setelah kapal mengalami stern lift dan dianggap bahwa kapal masih duduk di landasan,
maka didapatkan bahwa momen gaya apung terhadap ujung darat airbag lebih besar dari
momen gaya berat terhadap titik yang sama, berarti kapal tidak mungkin masih duduk di
landasan. Ini berarti bahwa sarat belakang T A akan lebih kecil dari s.tan E tetapi tidak tahu
berapa besarnya.
73
Ax By C 0 dan koordinat sumbu putar adalah (x1,y1) maka jarak sumbu ke bidang
yang melalui TA2 adalah H 2 D 2 J 2 dan persamaan garis dapat ditentukan, demikian juga
dengan TF2.Prosedur ini dapat diulang untuk mencari T F3.
x Untuk masing-masing sarat dihitung gaya apung dan momen gaya apung terhadap ujung
darat airbag, dan karena garis air yang diambil bukan garis air keadaan setimbang, maka
jumlah gaya dan jumlah momen tidak sama dengan nol. Maka:
R.lR DL .lSD PL .lSP res Persamaan (IV.10)
x Untuk tiap Ta akan ada sisa, jadi :
Untuk TA1 ada sisa res 1
Untuk TA2 ada sisa res 2
Untuk TA3 ada sisa res 3
Kemudian buat grafik dengan res sebagai absis dan T A sebagai koordinat. Kalau ketiga
titik dihubungkan, garis hubung akan memotong sumbu tegak pada T A yang dicari. Dapat juga
dipakai interpolasi kuadrat dari tiga titik
( x x2 )( x x3 ) ( x x1 )( x x3 ) ( x x1 )( x x2 )
y y1 y2 y3
( x1 x2 )( x1 x3 ) ( x2 x1 )( x2 x3 ) ( x3 x1 )( x3 x2 ) Persamaan (IV.11)
x Langkah-langkah di atas diulang untuk beberapa langkah s sampai DL = PL atau kapal
sudah terapung bebas
Jika airbag bagian haluan sudah sampai pada ujung landasan dan DL masih lebih kecil
dari PL, maka kapal akan menekan airbag dengan tekanan maksimal. Jika bagian badan kapal
di sebelah depan masih panjang, maka waktu jatuh bagian ini akan membentur ujung landasan
dan mungkin mengalami kerusakan pada bagian bawah kapal. (Untuk perhitungan lengkapnya
dapat dilihat di lampiran).
Setelah semua perhitungan peluncuran selesai baik dari periode 1 hingga periode 3
maka kurva peluncuran dapat dibuat dengan skala yang diinginkan. Dalam menggunakan skala
74
penulis harus memperhatikan luas bidang kertas sehingga gambar dari kurva peluncuran dapat
pas di bidang kertas tersebut. Berikut ini adalah gambar kurva peluncuran dari kapal container
100 TEUs.
Pada Gambar IV.21 dapat dilihat bahwa kapal container tersebut memperoleh gaya
angkat buritan (sternlift) yang terjadi pada akhir langkah 7 dan terapung bebas (free floating)
tidak lama setelah itu yaitu terjadi pada akhir langkah 8. Hal ini dapat terjadi karena pada proses
peluncuran kapal mendapatkan gaya angkat tambahan dari airbag yang masing-masing airbag
memberikan gaya angkat sebesar 10.589 ton atau sekitar 103.86 N untuk satu airbag. Tidak
seperti peluncuran slipway yang menggunakan sepatu luncur yang mana justru memberikan
tambahan beban lebih besar dibandingkan dengan airbag.
(untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada sheet lampiran perhitungan peluncuran kapal
container 100 TEUs)
Tidak hanya pada peluncuran airbag, pada peluncuran dengan metode lainnya pun
masih terdapat risiko-risiko penyebab gagalnya kapal meluncur dengan mulus. Bahkan hal
75
tersebut dapat berdampak buruk pada kapal, seperti terjadi kerusakan pada badan kapal akibat
dari benturan yang terjadi. Kebanyakan orang menilai bahwa metode peluncuran kapal dengan
metode airbag adalah metode yang paling aman dibandingkan dengan metode peluncuran
lainnya. Dengan pernyataan ini banyak galangan di Indonesia maupun di dunia yang kurang
mengutamakan faktor keamanan dengan analisis dan perhitungan yang matang karena
mengganggap dengan menggunakan airbag kapal pasti akan meluncur dengan aman. Tentu hal
tersebut salah besar, karena dalam meluncurkan kapal dengan menggunakan airbag juga perlu
dilakukan analisis dan perhitungan yang tepat sehingga kapal dapat meluncur dengan mulus
dan aman.
Pada identifikasi risiko yang dilakukan pada proses peluncuran kapal menggunakan
airbag dibagi menjadi 2 berdasarkan risiko yang tidak dapat dikendalikan (uncontrollable risk)
dan risiko yang masih dapat dikendalikan (controllable risk). Uncontrollable risk lebih
mengacu kepada kondisi alam. Dimana apakah saat meluncurkan kapal kondisi alam ikut
mendukung proses peluncuran kapal atau justru mengganggu proses tersebut. Sedangkan untuk
risiko yang dapat dikendalikan berhubungan dengan kondisi peralatan dan faktor manusia itu
sendiri (human error). Faktor manusia yang dimaksud adalah kemampuan daripada operator
peluncuran. Semakin bagus kemampuan yang dimiliki operator peluncuran maka semakin kecil
kemungkinan terjadinya kesalahan operasional. Untuk lebih detailnya risiko apa saja yang bisa
terjadi dapat dilihat pada Tabel IV.10.
Uncontrollable
Controllable Risk
Risk
Kondisi
Kondisi Alam Operator Kapal Airbag Winch
Landasan
Masih Tidak
Tingkat Alat bantu
Stabilitas terdapat mampu
Angin kencang keahlian winch tidak
kapal buruk sampah menahan
rendah tersedia
(tajam) beban
Adanya under Kemiringan
Kurang Kapasitas
Kedalaman air spesification landasan Terkena
pengalama winch tidak
kurang pada proses tidak benda tajam
n memenuhi
pembangunan smooth
76
Uncontrollable
Controllable Risk
Risk
Kondisi
Kondisi Alam Operator Kapal Airbag Winch
Landasan
Pemakaian
airbag telah
Landasan
melewati
Terjadi tsunami peluncuran
umur (batas
berlumpur
waktu
pemakaian)
Pada Tabel IV.10 dapat dilihat bahwa faktor risiko dibagi menjadi dua yaitu
uncontrollable risk dan controllable risk. Pada faktor risiko yang tidak bisa dikendalikan yaitu
kondisi alam dibagi menjadi terjadinya angin kencang, kedalaman air di ujung landasan serta
faktor bencana alam yang dibagi menjadi 2 yaitu terjadinya gempa bumi dan tsunami. Untuk
controllable risk dibagi berdasarkan operator peluncuran, kondisi kapal, kondisi landasan,
airbag dan faktor alat bantu winch.
Untuk semua kemungkinan risiko yang dapat terjadi pada Tabel IV.10, salah satu
perusahaan galangan di China sudah melakukan sebuah penelitian kegagalan peluncuran kapal
dengan airbag yang disebabkan oleh 3 faktor yaitu kondisi landasan, kedalaman air (water
level) dan kondisi alat bantu winch. Untuk lebih jelasnya bagaimana hasil dari penelitian
galangan tersebut akan dijelaskan lebih detail sebagai berikut.
Kondisi Landasan
Secara teknis meluncurkan kapal dengan menggunakan metode airbag sangat sederhana
namun masih membutuhkan persiapan yang cukup matang. Kondisi landasan biasanya yang
paling sering diabaikan pada setiap proses peluncuran kapal. Karena dianggap tidak penting
dan dalam kondisi apapun airbag akan menopang kapal dan kapal akan meluncur dengan
sempurna. Semua anggapan seperti harus dibuang jauh-jauh karena akan membahayakan kapal
pada akhirnya dan kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Berikut ini adalah contoh peluncuran
kapal dengan menggunakan metode airbag dengan kondisi landasan yang buruk.
77
Gambar IV.22 Kondisi landasan tidak sesuai standard
( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016)
Dapat dilihat pada Gambar IV.22 merupakan salah satu contoh dari kondisi landasan
peluncuran kapal menggunakan airbag yang buruk. Pada ujung landasan terlihat bahwa sudut
kemiringan yang dihasilkan terhadap bidang air tiba-tiba curam. Hal-hal seperti ini seharusnya
perlu dihindari di dalam meluncurkan kapal dengan metode apapun karena akan menghasilkan
bending moment yang cukup besar pada kapal dan dampaknya kapal akan mengalami defleksi
atau paling parah kapal tersebut dapat patah.
Selain kemungkinan terjadinya defleksi pada kapal juga dapat terjadinya hantaman yang
cukup keras pada bagian haluan kapal. Hal ini dapat terjadi karena kapal akan mengalami
jungkit yang disebabkan oleh kondisi landasan yang curam sehingga kapal membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk mendapatkan gaya angkat buritan. Namun dalam periode yang
bersamaan kapal akan mendapatkan gaya angkat drastis yang membuat bagian daripada haluan
kapal dropping dengan sangat cepat dan menghantam landasan dengan keras.
78
Gambar IV.23 Haluan kapal menghantam landasan
( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016)
Pada Gambar IV.23 dapat dilihat bahwa bagian haluan kapal menghantam ujung
landasan dengan cukup keras. Kemungkinan yang dapat terjadi terhadap kejadian ini adalah
terjadinya defleksi yang cukup signifikan pada bagian haluan kapal atau kemungkinan terburuk
yang dapat terjadi adalah terjadinya kebocoran yang mengakibatkan kapal kandas. Oleh karena
itu diperlukannya analisis dan perhitungan yang matang sebelum meluncurkan kapal agar hal-
hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.
Selain kondisi pada ujung landasan yang tidak smooth juga perlu diperhatikan
kebersihan dari landasan. Seperti yang sudah dijelaskan pada standard CB/T bahwa kondisi
landasan pada proses persiapan harus bersih dari sisa-sisa pelat pembangunan kapal terutama
yang tajam seperti paku-paku baja, bebatuan ataupun hal-hal lainnya yang diperkirakan dapat
mengganggu kelancaran peluncuran. Karena peluncuran ini menggunakan airbag, dan airbag
terbuat dari bahan karet sehingga rentan pada benda-benda yang tajam yang dapat membuat
airbag tersebut bocor.
Kedalam air diujung landasan juga sangat penting diperhatikan karena berhubungan
dengan kebutuhan sarat kapal dan gaya angkat yang dibutuhkan pada kapal. Jika peluncuran
kapal dilaksanakan pada saat kurangnya kebutuhan kedalaman air (surut) ada dua fenomena
yang kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
79
1. Bagian buritan kapal turun dengan sangat cepat dan tidak kunjung mendapatkan gaya
angkat mengakibatkan semua beban kapal berpindah dan terpusat ke bagian buritan
kapal sehingga haluan kapal terangkat dan hanya airbag bagian buritan kapal yang
menopang kapal. Hal ini dapat mengakibatkan airbag tersebut pecah sebelum seluruh
badan kapal menyentuh air dan badan kapal bagian buritan menghantam landasan
dengan keras.
2. Saat haluan kapal terangkat dan proses peluncuran kapal masih terus berjalan otomatis
bagian haluan kapal tidak lagi ditopang oleh airbag. Pada saat bagian haluan kapal
mendapatkan kembali bebannya maka terjadi peristiwa dropping pada haluan kapal
yang menghantam dengan sangat keras. Haluan kapal akan menghantam langsung
landasan dikarenakan airbag yang tertinggal sebelumnya. Hal ini hampir sama dengan
apa yang dapat terjadi pada faktor kondisi landasan. Namun pada kasus ini lebih parah
karena bagian haluan kapal langsung menghantam landasan melainkan tidak
menghantam airbag terlebih dahulu.
80
Gambar IV.25 Haluan kapal menghantam landasan
( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016)
81
Holding System (Sistem Penahan Kapal)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelum bahwa alat bantu penahan pada peluncuran kapal
menggunakan metode airbag sangat penting peranannya. Hal ini diperlukan untuk menjaga
kecepatan kapal dan keseimbangan kapal agar dapat meluncur dengan aman. Oleh karena itu
diperlukan perhitungan yang tepat seberapa besar kekuatan dari alat bantu tersebut untuk
menahan kapal. Untuk perhitungan dapat digunakan standard dari CB/T pada formula (II.9).
Kekuatan dari alat bantu penahan ini tentunya harus lebih besar dari gaya yang dihasilkan kapal
pada saat dihitung. Biasanya yang terjadi di lapangan kekuatan maksimal yang harus diperoleh
dari alat bantu penahan (winch) diberikan faktor pengali keamanan sebesar 1.5-2 dari hasil
perhitungan. Berikut ini adalah contoh gambar dari sistem penahan kapal yang buruk.
82
IV.5 Penilaian Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag
Identifikasi Bahaya
Pada proses identifikasi bahaya (hazard), metode what if analysis digunakan untuk
membantu mengidentifkasi dampak yang dihasilkan daripada risiko yang terjadi. Pada what if
analysis, proses analisa yang dilakukan adalah bagaimana jika suatu risiko tersebut benar-benar
terjadi dan apa dampak kerugian yang akan diterima jika risiko tersebut terjadi.
Pada Kondisi
NO What if ? Dampak
Ekstrem
83
Pada Kondisi
NO What if ? Dampak
Ekstrem
Kapal anjlok,
Operator kurang Terjadi kesalahan operasional pada
6 kapal dropping,
pengalaman proses persiapan dan peluncuran kapal
kapal karam
Pelaksanaan Kapal anjlok,
Terjadi kesalahan operasional pada
7 peluncuran tidak kapal dropping,
proses persiapan dan peluncuran kapal
sesuai standar SOP kapal karam
Badan kapal tidak bisa mengapung
8 Stabilitas kapal buruk Kapal karam
dengan baik di atas garis air
Adanya under
Kondisi kapal tidak sesuai standar
spesification pada
9 sehingga kualitasnya diragukan Kapal karam
proses pembangunan
terutama pada kemampuan stabilitas
kapal
Kondisi landasan Kapal anjlok,
10 masih terdapat Airbag pecah kapal dropping,
sampah (benda tajam) kapal karam
Badan kapal pada bagian belakang
Kemiringan landasan
tidak langsung menyentuh air di ujung Badan kapal
tidak smooth (ada
11 landasan, sehingga tumpuan beban patah, kapal
bagian yang terjal
terpusat hanya pada bagian tengah dan dropping
pada ujung landasan)
depan kapal
Terlalu cepat mendapat gaya angkat Kapal dropping,
Panjang landasan
12 buritan atau proses kapal jungkit ke menghantam
tercelup kurang
dropping dengan cepat landasan
Kapal tidak
bertumpu
Menghambat laju airbag di landasan,
Landasan peluncuran dengan airbag,
13 disebabkan oleh gaya gesek yang
berlumpur membentur
dihasilkan cukup besar.
landasan, atau
kapal anjlok
Kapal anjlok,
Airbag tidak mampu
14 Airbag pecah kapal anjlok,
menahan beban
kapal karam
Kapal anjlok,
Airbag terkena benda
15 Airbag pecah kapal anjlok,
tajam
kapal karam
Kapal anjlok,
Tidak melakukan
16 Airbag pecah kapal anjlok,
maintenance airbag
kapal karam
Pemakaian airbag
Kapal anjlok,
telah melewati umur
17 Airbag pecah kapal anjlok,
(batas waktu
kapal karam
pemakaian)
Alat bantu winch
18 Kapal meluncur dengan sendirinya. Kapal anjlok
tidak tersedia
84
Pada Kondisi
NO What if ? Dampak
Ekstrem
Winch
Kapal meluncur dengan sendirinya
Kapasitas winch tidak menghantam
19 beserta winch yang terbawa oleh
memenuhi kapal, kapal
kapal.
anjlok
Pada Tabel IV.11 dapat dilihat bahwa setiap kemungkinan risiko diidentifikasi
dampaknya dengan bantuan what if analysis. Contoh identifikasi pada nomor 2 yaitu bagaimana
jika kedalaman air di ujung landasan kurang dari yang seharusnya, maka dampak akan terjadi
adalah butuh waktu yang lama untuk mencapai gaya angkat buritan (stern lift) sehingga
kemungkinan kapal mengalami jungkit semakin besar. Pada kondisi ekstrem yang bisa terjadi
pada peristiwa tersebut adalah badan kapal bisa patah atau kapal mengalami dropping sehingga
menghantam landasan peluncuran.
Evaluasi Risiko
Pada proses evaluasi risiko hal pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi
tingkat probabilitas (kemungkinan terjadinya risiko) dan tingkat keparahan (severity) yang
dihasilkan. Untuk faktor yang digunakan dalam menentukan tingkat keparahan yang dihasilkan
dapat mengacu pada Tabel IV.11. Sedangkan untuk tingkat probabilitas kejadian dapat
ditentukan berdasarkan persentase kemungkinan kejadian yang dibagi menjadi 4
tingkatan/level. Berikut ini adalah deskripsi yang diberikan pada tiap level tingkat probabilitas.
85
Pada Tabel IV.12 dijelaskan bahwa tingkat probabilitas level 1 kriteria yang diberikan
adalah sangat kecil dengan probabillitas kejadian risiko tersebut 0 s/d 10 %. Sedangkan untuk
level 4 kriteria tingkat probabilitas yang diberikan adalah besar, dengan probabilitas kejadian
(kemungkinan kejadian) 51% s/d 90%. Dengan kata lain pada tingkat probabilitas level 4
kemungkinan risiko hampir pasti terjadi.
Pada Tabel IV.13 adalah dijelaskan bagaimana kriteria tingkat probabilitas yang
diberikan. Pada rating/level 1 probabilitas risiko sangat tidak mungkin terjadi, pada rating 2
kecil kemungkinan terjadi, pada rating 3 kemungkinan terjadi dan untuk rating 4 probabilitas
risiko yang terjadi besar (hampir pasti terjadi).
86
Tabel IV.14 merupakan penjelasan tentang kriteria tingkat keparahan. Pada rating/level
1 dampak kerusakan kapal yang dihasilkan sangat kecil, pada rating 2 dampak kerusakan kapal
yang dihasilkan cukup parah, pada rating 3 kerusakan kapal yang terjadi parah dan pada rating
4 kerusakan kapal yang terjadi sangat parah sehingga masuk dalam kriteria/kategori
katastropik.
87
Probabilitas Severity Level
Kode Risk event
(P) (S) Risiko
Tidak melakukan
A16 2 4 8
maintenance airbag
Pemakaian airbag telah
A17 melewati umur (batas 4 3 12
waktu pemakaian)
Alat bantu winch tidak
A18 1 4 4
tersedia
Kapasitas winch tidak
A19 3 4 12
memenuhi
Pada Tabel IV.15 tiap kemungkinan risiko yang dapat terjadi (risk event) diberikan kode
dimulai dari A1 s/d A19. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya level risiko didapatkan dari
hasil perkalian probabilitas dengan severity. Pada Tabel IV.15 dihasilkan A9, A17 dan A19
memiliki nilai level risiko yang paling tinggi dengan nilai 12. Risiko tersebut adalah adanya
under specification pada proses pembangunan kapal, pemakaian airbag yang telah melewati
umur (batas waktu pemakaian) dan kapasitas winch yang tidak memenuhi (dengan yang
dibutuhkan).
Setelah penilaian risiko maka hasilnya dapat disajikan dengan tampilan matriks/peta
risiko dengan tujuan pembacaan yang lebih mudah dan sederhana. Dari hasil penilaian risiko,
berikut ini adalah peta risiko yang dihasilkan.
3-
A13 A6 A9, A19
Probabiltas Moderat
88
Keterangan:
Tabel IV.16 merupakan peta risiko yang dihasilkan dari perkalian antara probabilitas
dan severity risiko. Pada Tabel IV.16 tidak ada satupun risiko yang masuk dalam kategori risiko
rendah. Untuk katergori risiko menengah terdapat satu yaitu kejadian A18, sedangkan untuk
kategori risiko tinggi terdapat 15 risk event yaitu A13, A6, A1, A2, A3, A5, A7, A10, A11, A12
, A4, A8, A14, A15, dan A16. Lalu pada kategori risiko ekstrem terdapat 3 risk event yaitu A17,
A9 dan A19. Untuk keterangan deskripsi risk event dapat dilihat pada Tabel IV.15.
Selanjutnya menentukan risk acceptable (risiko mana yang dapat diterima atau tidak).
Pendeskripsian risk acceptable ini dilakukan berdasarkan perolehan nilai yang didapat pada
Tabel IV.15. Berikut ini adalah untuk penjelasan lebih detailnya.
Pada Tabel IV.17 dijelaskan bahwa untuk nilai level risiko antara 1 s/d 2 maka risiko
tersebut masih dapat diterima dengan manajemen yang dilakukan adalah melakukan
pengendalian yang cukup. Sedangkan pada level risiko 3 s/d 4 dan 6 s/d 9 perlu dilakukan
pemantauan dengan manajemen risiko diberikam tindakan preventif (pencegahan). Hal ini juga
berlaku untuk level risiko 12 s/d 16 yang mana risiko yang dapat terjadi tidak dapat diterima
89
sehingga dilakukan tindakan pencegahan agar dampak yang dihasilkan berkurang atau bahkan
hilang. Jika dilihat pada Tabel IV.16 risk event yang dihasilkan semuanya harus diberikan
tindakan pencegahan karena tidak ada satupun yang menghasilkan level risiko diantara 1 s/d 2.
90
BAB V
ANALISA RISIKO PENURUNAN KAPAL MENGGUNAKAN
AIRBAG
V.1 Analisa Risiko Penurunan Kapal dengan Metode Airbag
Pada setiap peristiwa yang terjadi tentunya memiliki suatu risiko yang dapat
mengakibatkan sebuah kejadian yang tidak diharapkan. Hal ini juga berlaku pada peluncuran
kapal yang menggunakan metode airbag. Walaupun hingga saat ini peluncuran kapal
menggunakan airbag dianggap yang paling aman dibandingkan dengan metode lainnya, namun
hal tersebut tidak akan terjadi jika tidak didukung dengan proses perhitungan dan persiapan
yang tepat. Karena faktanya hingga sekarang ini masih banyak galangan di Indonesia yang
masih kurang memperhatikan hal tersebut. Hal tersebut terbukti dengan masih adanya
kecelakaan yang terjadi pada proses menurunkan kapal dengan menggunakan airbag sehingga
mengakibatkan kerusakan pada kapal. Oleh karena itu diperlukan identifikasi risiko apa saja
yang dapat menyebabkan kerusakan kapal pada proses menurunkan ke laut. Setelah itu hasil
dari identifikasi risiko dianalisa dan diberikan suatu rekomendasi preventif agar dampak
daripada risiko dapat berkurang ataupun hilang.
Simulasi kondisi dimana airbag bisa mengalami pecah ini dilakukan berdasarkan
asumsi dengan hasil perhitungan peluncuran kapal kontainer 100 TEUs yang sudah dilakukan
sebagai acuan. Untuk simulasi ini dilakukan dengan 3 pengkondisian peluncuran. Kondisi
pertama adalah kondisi dimana kapal belum diluncurkan dan jumlah airbag yang dibutuhkan
disesuaikan dengan rule yang ada, sedangkan kondisi kedua adalah kondisi dimana kapal
mengalami tipping di ujung landasan dan yang terakhir adalah kondisi ketiga yaitu kondisi
dimana penggunaan airbag dilakukan dengan memaksimalkan jarak antar airbag yaitu 6 meter
(memangkas penggunaan airbag). Dari hasil perhitungan nanti akan didapatkan distribusi
beban masing-masing yang ditampung airbag lalu dibandingkan dengan besaran maksimal
bearing capacity airbag. Jika besaran distribusi beban yang diterima airbag lebih besar dari
bearing capacity (daya tampung maksimal airbag) maka otomatis airbag tersebut akan
mengalami pecah. Berikut ini adalah hasil dari simulasi yang dilakukan.
91
A. Kondisi 1
Simulasi yang dilakukan pada kondisi ini dilakukan pada saat kapal belum
diluncurkan dengan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan (sesuai peraturan yang
ada).
Pada Gambar V.1 dapat dilihat kondisi peluncuran kapal metode airbag yang
menyesuaikan peraturan/rule. P merupakan beban peluncuran yang diasumsikan
memiliki berat 1200 ton dengan airbag yang dibutuhkan 21 buah (acuan
perhitungan peluncuran kontainer 100 TEUs). Untuk panjang yang ditumpu airbag
diberikan simbol S. Sedangkan untuk penamaan airbag yang diberikan ada ax.
Sebagai contoh a1 adalah penamaan airbag untuk airbag pada posisi 1 dan begitu
seterusnya. Dan untuk panjang kontak antara airbag dengan lunas kapal diberikan
simbol Bx, sebagai contoh B21 adalah besaran panjang kontak antara airbag nomor
21 dengan lunas kapal dan begitu seterusnya. Selanjutnya jarak antar airbag
disimbolkan sebagai r dan panjang kapal yang ditampung untuk masing-masing
airbag disimbolkan sebagai x. Karena pemasangan tiap airbag dilakukan dengan
jarak yang sama maka x = r. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari perhitungan
yang dilakukan.
92
x P = 1200 ton
x S = 60 m
x N = 21 buah
x Bearing capacity (qbc): 16.6 ton/m (dari Tabel IV.9)
Dimana,
P = berat peluncuran (ton)
S = panjang kapal yang ditumpu airbag (m)
N = jumlah airbag yang digunakan
ୗ
ൌ ିଵ (m) Persamaan (V.1)
x r=3m
x x=r=3m
Dimana,
r = jarak antar airbag (m)
x = panjang kapal yang ditumpu masing-masing airbag (m)
Untuk menghitung distribusi beban rata-rata yang diterima tiap airbag secara
memanjang (q) kapal dapat dihitung dengan rumus :
ൌ ୗ (ton/m) Persamaan (V.2)
x q = 20 ton/m
Setelah itu distribusi beban rata-rata sesungguhnya yang diterima tiap airbag
(q1) dapat dihtung dengan persamaan :
భ
ଵ ൌ (ton/m) Persamaan (V.4)
Dimana,
93
Pada kondisi dimana q1 < qbc, airbag tidak pecah. Sedangkan pada kondisi
dimana q1 > qbc, maka airbag pecah. Untuk lebih jelasnya bagaimana kondisi
airbag yang menumpu kapal pada kondisi 1 dapat dilihat pada Tabel V.1.
Pada Tabel V.1 dapat dilihat bahwa kondisi airbag yang dipasangkan pada
kondisi tidak ada yang mengalami pecah. Hal ini dikarenakan proses perhitungan
jumlah akan airbag dilakukan berdasarkan rule yang ada, sehingga kondisi masing-
masing airbag yang menumpu kapal semuanya aman (tidak pecah).
B. Kondisi 2
Simulasi yang dilakukan pada kondisi 2 ini mengumpamakan dimana kapal
mengalami jungkit di ujung landasan. Pada kondisi 2 ini, kondisi pemasangan dan
jumlah airbag yang digunakan masih mengacu pada kondisi 1. Berikut ini adalah
gambaran yang diberikan pada kejadian kondisi 2.
94
Gambar V.2 Simulasi pada kondisi 2
Pada Gambar V.2 dapat dilihat kapal mengalami jungkit pada ujung landasan yang
mengakibatkan beban terpusat pada airbag yang menumpu di ujung landasan.
Untuk airbag yang sudah meninggalkan landasan (terapung di air) kondisinya dapat
diabaikan. Kondisi airbag yang perlu diperhatikan adalah yang menumpu kapal di
ujung landasan karena kapal belum mendapatkan gaya angkat buritan. Pada Gambar
V.2 jumlah airbag yang menumpu kapal di ujung landasan hanya ada 3 buah yaitu
a8, a9 dan a10. Oleh karena itu perlu diperhitungkan berapa distribusi beban yang
didapatkan dari ketiga airbag tersebut dan apa yang akan terjadi pada ketiga airbag
tersebut (pecah atau tidak pecah) sesuai yang digambarkan pada kondisi 2.
Proses perhitungan yang dilakukan sama dengan yang dilakukan pada kondisi 1,
perbedaan hanya terletak pada beban peluncuran yang dipengaruhi oleh kemiringan
landasan (α) dan panjang yang ditumpu airbag (S) dihitung pada airbag yang
menumpu di ujung landasan saja. Untuk badan kapal yang masuk ke dalam air tidak
diperhitungkan sebagai panjang yang ditumpu karena kondisi kapal belum
mengalami gaya buritan (stern lift). Berikut ini adalah perhitungan yang didapatkan
pada kondisi 2.
x α = 20
x P = 1200 ton
x P cos α = 1188 ton
x x=3m
x S=6m
95
ୡ୭ୱ ఈ
x q= ୗ
= 198 ton/m
x P1 = q . x = 594 ton
x qbc = 16.6 ton
భ
ଵ ൌ (ton/m) Persamaan (V.4)
Dimana,
B = panjang kontak antara airbag a8, a9 dan a10 dengan lunas kapal
Berikut ini adalah perhitungan detail q1 (ton/m) yang dihasilkan pada kondisi 2 :
Pada Tabel V.2 bahwa pada kondisi 2 (kapal mengalami jungkit) untuk kondisi
airbag yang menumpu kapal di ujung landasan semuanya pecah. Hal ini
dikarenakan distribusi beban yang diterima oleh masing-masing airbag (q1) lebih
besar dari bearing capacity (beban maksimal) yang mampu ditampung airbag (q1 >
qbc). Dari hasil perhitungan (Tabel V.2) q1 yang dihasilkan untuk masing-masing
airbag sangat besar yaitu 47.14 ton/m dan berbanding jauh dengan kapasitas daya
tampungnya yang maksimal hanya mampu menampung 16.6 ton/m untuk airbag
yang digunakan. Kondisi tersebut (q1 yang dihasilkan sangat besar) diakibatkan
karena pada kondisi 2 diasumsikan bahwa kapal belum mendpatkan gaya angkat
buritan sehingga besaran (panjang) yang ditumpu hanya terpusat pada airbag di
ujung landasan. Selanjutnya untuk kondisi airbag yang sudah masuk ke air dan yang
masih tertinggal namun tidak menumpu kapal diabaikan.
C. Kondisi 3
Pada kondisi 3 ini penggunaan airbag pada kondisi 1 yang tadinya menggunakan
21 buah airbag dipangkas menjadi hanya 11 airbag. Hal tersebut tentunya akan
mempengaruhi jarak antar airbag yang semakin bertambah (semakin renggang)
dengan pertimbangan jarak antar airbag tidak melebihi 6 meter (Persamaan II.6).
Berikut ini adalah gambaran yang terjadi pada kondisi 3.
96
Gambar V.3 Simulasi pada kondisi 3
x P = 1200 ton
x S = 60 m
x N = 11 buah
x Bearing capacity (qbc): 16.6 ton/m (dari Tabel IV.9)
Dimana,
P = berat peluncuran (ton)
S = panjang kapal yang ditumpu airbag (m)
N = jumlah airbag yang digunakan
ୗ
ൌ
ିଵ
(m) Persamaan (V.1)
x r=6m
x x=r=6m
Dimana,
r = jarak antar airbag (m)
97
x = panjang kapal yang ditumpu masing-masing airbag (m)
Untuk menghitung distribusi beban rata-rata yang diterima tiap airbag secara
memanjang (q) kapal dapat dihitung dengan rumus :
ൌ (ton/m) Persamaan (V.2)
ୗ
x q = 20 ton/m
Setelah itu distribusi beban rata-rata sesungguhnya yang diterima tiap airbag
(q1) dapat dihtung dengan persamaan :
భ
ଵ ൌ (ton/m) Persamaan (V.4)
Dimana,
Pada Tabel V.3 dapat dilihat bahwa airbag pada posisi no 1 (ujung belakang
kapal) dan posisi no 11 (ujung depan kapal) yaitu a1 dan a11 mengalami pecah. Hal
ini dikarenakan besar q1 yang dihasilkan masing-masing airbag tersebut lebih besar
98
dari qbc dengan masing-masing 23.3 ton/m dan 25.26 ton/m. Besaran q1 pada a1 dan
a11 bisa saja diperkecil dengan merapatkan jarak antar airbag yang berada diujung
depan dan belakang namun juga harus memperhatikan besaran q1 yang berubah atau
semakin besar pada bagian tengah agar tidak melebihi qbc (daya tampung maksimal
airbag). Karena jika dilihat pada Tabel V.3 besaran q1 yang dihasilkan pada tengah
kapal juga sudah mulai kritis (mendekati qbc) yaitu sudah menyentuh angka 9.52
ton/m. Cara paling ampuhnya adalah menambah jumlah airbag pada ujung depan
dan belakang agar q1 yang dihasilkan semakin rendah dan airbag tidak pecah.
Simulasi yang dilakukan pada kondisi 1, 2 dan 3 hanyalah merupakan contoh gambaran
yang ditentukan oleh penulis, yang mana contoh gambaran yang tersebut dapat dimodifikasi
sesuai dengan kejadian yang ingin ditentukan. Dengan simulasi yang diberikan maka segala
kemungkinan airbag pecah atau tidak, dapat dihitung dengan pendekatan fisika dan rules yang
ada. Dengan kata lain, segala kondisi peluncuran dapat dihitung kemungkinan pecahnya airbag.
Tentunya sebelum itu, harus diketahui lebih dulu berapa besaran kapasitas daya tamping
(bearing capacity) dari airbag yang digunakan.
Pada saat melakukan peluncuran kapal menggunakan airbag segala kemungkinan yang
tidak diinginkan bisa saja terjadi. Seperti airbag yang menumpu kapal mengalami pecah
sehingga dapat mengakibatkan kerusakan pada kapal. Ada beberapa hal yang menyebabkan
mengapa airbag yang menumpu pada proses peluncuran dapat pecah. Menurut (Hage, 2014),
hal-hal yang dapat menyebabkan airbag pecah adalah :
1. Terkena benda tajam.
2. Tidak mampu menahan beban.
Pada peluncuran kapal menggunakan metode airbag sangat perlu sekali memperhatikan
kondisi landasan yang mana sudah dijelaskan pada sub bab IV.4.1. Karena airbag terbuat dari
karet seperti ban kendaraan yang digunakan sehari-hari sehingga rentan sekali dengan benda-
benda tajam. Oleh karena itu diperlukan untuk memastikan bahwa landasan peluncuran bersih
atau terbebas dari benda-benda tajam yang dapat membahayakan airbag dan kapal.
Selain itu juga diperlukan perhitungan berapa jumlah airbag yang dibutuhkan pada
peluncuran kapal menggunakan metode airbag. Pada Persamaan (II.1) dijelaskan bagaimana
cara menghitung jumlah airbag yang dibutuhkan. Persamaan (II.1) merupakan standar yang
tercantum pada ISO 14409. Untuk jarak antar airbag dapat menyesuaikan dengan hasil
99
perhitungan jumlah airbag dengan panjang lunas kapal dan tidak boleh melebihi dari 6 m yang
diatur pada peraturan CB/T pada Persamaan (II.2). Jika proses perhitungan dilakukan dengan
tepat maka dapat dipastikan bahwa airbag dapat menahan beban yang diberikan. Walaupun
kenyataan di lapangan jumlah airbag yang digunakan lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah airbag yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan oleh pihak yang melaksanakan peluncuran
untuk meningkatkan keamanan proses peluncuran kapal dengan airbag.
Analisa risiko yang dilakukan pada kemungkinan terjadinya airbag pecah dibagi
berdasarkan sistem pemasangan airbag pada saat peluncuran. Sistem pemasangan airbag yang
paling sering dipakai di lapangan saat ini adalah sistem pemasangan airbag selebar kapal dan
sistem pemasangan airbag dengan metode cross over.
V.1.1.2 Pada Sistem Pemasangan Airbag Selebar Kapal (Linear Arrangement).
Peluncuran kapal dengan metode airbag sistem pemasangan airbag selebar kapal
penuh paling sering dilakukan di lapangan. Selain karena perhitungan pada ISO 14409 mengacu
pada sistem pemasangan ini, sistem pada pemasangan ini juga dianggap yang paling mudah
dibandingkan dengan sistem pemasangan airbag yang lainnya seperti sistem pemasangan
airbag dengan metode zig-zag atau cross over. Tentunya untuk sistem pemasangan tersebut
diperlukan metode perhitungan yang berbeda.
Pada peluncuran kapal menggunakan metode airbag kemungkinan terjadinya airbag
mengalami pecah bisa saja terjadi. Hal ini tentunya dapat berakibat fatal pada kapal yang akan
diluncurkan. Walaupun keadaan di lapangan biasanya jarak antar airbag yang digunakan adalah
2 meter, sehingga jika hanya 1 airbag yang pecah tidak terlalu mempengaruhi kondisi
peluncuran atau tidak menimbulkan masalah yang besar (Hage, 2014). Yang menjadi masalah
adalah jika airbag yang pecah ada 2 atau lebih secara berurutan yang mana dapat
membahayakan kesalamatan kapal itu sendiri.
Untuk melakukan analisa bagian mana airbag yang rentan pecah dapat mengacu pada
rumus :
ൌ Persamaan (V.5)
Dimana P adalah beban yang diterima airbag, F gaya yang diberikan oleh kapal kepada
airbag dan A luasan kontak antara airbag dengan lunas kapal. Karena distribusi beban kapal
yang tidak merata maka pembebanan yang diberikan kapal kepada airbag pun berbeda-beda.
Untuk bagian tengah kapal dianggap memiliki distribusi beban yang lebih baik dibandingkan
dengan bagian belakang dan depan kapal, karena pada bagian tengah kapal memiliki konstruksi
yang mirip dan luas penampang yang besar sehingga dapat mengurangi beban yang diterima
100
oleh airbag. Sedangkan pada bagian belakang kapal rata-rata memiliki konsentrasi beban
paling tinggi jika dibandingkan dengan bagian tengah ataupun depan. Karena kebanyakan kapal
yang dibangun, dalam meletakkan sistem permesinannya diletakan pada bagian belakang kapal
dan terdapat konstruksi yang lebih berat jika dibandingkan dengan konstruksi yang terdapat
pada bagian tengah ataupun depan kapal. Ditambah dengan luas penampang yang lebih kecil
pada bagian belakang kapal yang tentunya akan menambah beban yang diterima airbag yang
menumpu pada bagian belakang kapal. Hal ini dapat dibuktikan dengan Persamaan (V.5),
apabila luas penampang (kontak) antar airbag dengan kapal semakin kecil dan berat yang
diberikan kapal lebih besar, maka beban yang diterima oleh airbag akan jauh semakin besar
sehingga kemungkinan terjadinya airbag pecah juga semakin tinggi. Jadi dapat dikatakan
bahwa pembebanan yang diterima airbag pada bagian belakang kapal adalah yang paling kritis
jika dibandingkan dengan bagian lainnya. Fakta ini juga berlaku untuk peluncuran kapal dengan
metode airbag pada sistem peletakkan airbag cross over.
Selanjutnya apa yang akan terjadi pada proses peluncuran kapal jika airbag yang
digunakan benar-benar pecah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jika hanya satu
airbag yang pecah tidak akan berdampak besar pada peluncuran karena airbag yang lain masih
dapat menampung gaya yang diberikan kapal. Namun hal tersebut belum tentu berlaku jika
airbag yang pecah dua atau lebih.
Gambar V.4 Ilustrasi airbag pecah pada sistem pemasangan airbag selebar kapal
Pada Gambar V.4 dapat dilihat ilustrasi pemasangan airbag selebar kapal yang
mengalami pecahnya 2 airbag pada posisi bagian kapal. Jika pecahnya airbag terjadi pada saat
kapal belum mulai diluncurkan ada 2 hal kemungkinan penyebab mengapa hal tersebut dapat
terjadi. Pertama kondisi airbag yang memang sudah waktunya diganti namun tetap dipaksa
untuk digunakan pada peluncuran (over used) dan yang kedua airbag tidak mampu menahan
101
beban yang diberikan oleh kapal. Namun pada kondisi ini tidak akan berakibat fatal pada kapal
karena masih ada alat bantu penahan (winch) yang menjaga keseimbangan kapal. Lain hal jika
semua airbag yang menumpu kapal pecah dan balok-balok yang menumpu kapal sudah dilepas
sehingga dapat dipastikan kapal akan anjlok dan menghantam landasan dengan cukup keras.
Airbag yang pecah akan berakibat fatal pada kapal jika terjadi pada saat kapal sudah
dalam proses peluncuran. Karena pada saat ini gaya dan momen yang dihasilkan oleh kapal
mulai bekerja. Jika pada proses peluncuran kapal, airbag pada bagian belakang pecah 2 atau
lebih maka distribusi beban pada bagian belakang akan semakin bertambah sehingga titik berat
kapal juga akan pindah lebih ke belakang mengakibatkan momen gaya berat yang dihasilkan
kapal pada bagian belakang terhadap ujung landasan akan semakin besar. Hal tersebut
menyebabkan terangkatnya badan kapal pada bagian haluan, pada kondisi ini dapat dikatakan
bahwa kapal sedang mengalami jungkit (tipping). Pada saat kondisi ini, hal yang tidak
diinginkan bisa saja terjadi, karena pada bagian haluan kapal sudah tidak ditumpu lagi oleh
airbag. Tersisa hanya airbag pada bagian tengah ke belakang yang tidak pecah yang menumpu
kapal.
Pada saat momen gaya berat pada haluan kapal kembali, maka kapal akan mengalami
dropping dan haluan kapal menghantam landasan yang mengakibatkan rusaknya badan kapal
pada bagian haluan. Namun hal ini bisa tidak terjadi apabila momen gaya berat pada haluan
kapal kembali dengan cepat. Untuk lebih jelasnya peristiwa risiko-risiko yang kemungkinan
dapat terjadi, dapat dibagi berdasarkan per periode peluncuran.
a. Periode 1
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa periode 1 adalah peristiwa dimana
saat kapal mulai bergerak hingga menyentuh air. Pada saat ini analisa risiko dampak
dari kemungkinan airbag pecah dapat dimulai pada saat kapal pertama kali dipasang
airbag. Sebelum kapal diluncurkan (masih dalam keadaan diam) jika ada airbag yang
pecah dan selagi airbag yang lainnya (yang tidak pecah) mampu menahan beban kapal
tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena pada saat ini kapal masih ditahan oleh alat
bantu winch yang menahan dan menjaga keseimbangan dari kapal itu sendiri. Lain hal
jika semua airbag pecah, maka sudah dapat dipastikan kapal akan anjlok dan
menghantam landasan.
102
Gambar V.5 Airbag pecah pada kapal yang belum diluncurkan
Gambar V.5 menjelaskan bagaimana kondisi kapal jika ada beberapa airbag yang
pecah pada bagian belakang. Kondisi masih dapat terkendali karena keseimbangan
kapal masih dapat dipertahankan berkat bantuan winch yang memiliki kapasitas
kekuatan untuk menahan kapal, dengan pengecualian airbag yang tersisa masih dapat
menampung beban yang diberikan oleh kapal. Sehingga dapat dilakukan pemasangan
ulang.
Dampak yang ditimbulkan akan parah jika airbag pecah pada saat kapal sudah mulai
meluncur, karena peranan winch pada saat ini sudah tidak ada. Dengan kata lain kapal
akan meluncur bebas dikarenakan kemiringan landasan dan berat dari kapal itu sendiri.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kemungkinan terbesar bagian airbag yang
pecah adalah pada bagian airbag yang menumpu bagian belakang kapal. Jika hal
tersebut terjadi, maka kemungkinan kapal akan mengalami jungkit. Kemungkinan
terburuk yang bisa terjadi pada saat ini adalah terbenturnya bagian belakang kapal
terhadap landasan (terjadinya gesekan antara badan kapal bagian belakang dengan
landasan peluncuran), hal ini dikarenakan kapal sama sekali belum menyentuh air
(semua badan kapal masih berada di atas landasan). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
Gambar V.5.
103
Gambar V.6 Airbag pecah saat kapal diluncurkan
Gambar V.6 merupakan gambaran yang menjelaskan situasi dimana airbag pecah
pada saat kapal sudah mulai diluncurkan. Jika airbag pecah pada bagian belakang kapal
melebihi 2, kemungkinan terjadinya tipping pada kapal semakin besar. Hal ini
diakibatkan karena semakin renggangnya jarak antar airbag. Berdasarkan ISO 14409
jarak antar airbag tidak boleh melebihi dari 6 meter (Persamaan II.6).
Selain itu jika airbag yang menumpu belakang pecah, tentunya akan mengganggu
kelancaran laju airbag yang tersisa. Ada 2 kemungkinan kemungkinan yang dapat
terjadi yaitu pertama, airbag yang tersisa dapat melewati airbag yang pecah yang
mengakibatkan adanya lompatan dari airbag tersebut sehingga dapat membahayakan
kapal. Kedua, airbag yang tersisa tidak bisa melewati airbag yang pecah (tersangkut)
sehingga kapal terus terseret ke belakang karena kemiringan dan berat dari kapal itu
sendiri. Hal ini sangat membahayakan, dapat dibayangkan betapa parahnya kerusakan
kapal yang diakibatkan jika peristiwa tersebut benar-benar terjadi.
b. Periode 2
Jika peristiwa jungkit berlanjut namun kapal belum mendapatkan gaya angkat
buritan, maka badan kapal hanya bertumpu pada ujung landasan sehingga airbag yang
menumpu kapal hanya tersisa pada bagian belakang kapal (yang belum pecah) dan
ujung landasan (Gambar V.7). Periode 2 adalah peristiwa saat kapal menyentuh air
hingga kapal mendapatkan gaya angkat buritan (stern lift). Jadi pada saat kapal masih
dalam keadaan jungkit dengan kondisi belum mendapatkan gaya angkat buritan
kemungkinan yang dapat terjadi adalah pecahnya airbag yang lain (masih menumpu
kapal) dapat dilihat pada Gambar V.2. Hal ini disebabkan karena beban kapal yang
terpusat ke ujung landasan, mengakibatkan bertambahnya beban yang diterima oleh
104
airbag (overload) sehingga airbag tersebut pecah. Selanjutnya kapal anjlok dan
mengakibatkan kerusakan pada lunas kapal.
Pada Gambar V.7 dijelaskan bahwa selain kemungkinan terjadinya airbag yang
tersisa juga ikut pecah, ada hal lain yang berhubungan langsung dengan kapal. Pada saat
tipping dan kapal hanya bertumpu pada ujung landasan sehingga gaya reaksi terpusat
pada bagian kapal yang menumpu ujung landasan. Hal ini akan menghasilkan momen
berat terhadap ujung landasan (Pa) dan momen gaya angkat terhadap ujung landasan
(Db). Momen-momen tersebut dihasilkan karena adanya berat peluncuran (P) dan gaya
angkat yang terjadi karena sebagian badan kapal pada bagian belakang yang sudah
masuk ke dalam air (D). Tipping dapat terjadi karena momen Pa > momen Db. Dapat
dilihat pada Gambar IV.7 bahwa momen yang dihasilkan Pa dan Db saling berlawanan
arah. Hal tersebut dapat mengakibatkan defleksi pada badan kapal sehingga bisa terjadi
bending. Pada kondisi ekstrem, hal yang mungkin terjadi adalah badan kapal patah.
Agar kondisi tipping pada periode 2 tidak terjadi, maka Db ≥ Pa. Hal tersebut dapat
diwujudkan dengan ditambahkannya besaran kemiringan landasan agar momen gaya
angkat terjadi pada waktu yang singkat.
c. Periode 3
Periode 3 adalah peristiwa dimana kapal mulai mendapatkan gaya angkat buritan
hingga kapal terapung bebas (free floating). Jika kapal mengalami jungkit dan beban
kapal hanya bertumpu pada ujung landasan, sedangkan kondisi airbag yang masih
mampu menahan beban kapal dan kapal tidak patah maka proses peluncuran akan
berlanjut kepada masa dimana kapal akan mendapatkan gaya angkat buritan. Jika proses
tersebut terjadi dengan begitu cepat, maka kapal akan mengalami dropping dan haluan
105
kapal akan menghantam landasan. Walaupun masih adanya kemungkinan dimana kapal
tidak langsung menghantam landasan melainkan menghantam airbag yang tadinya
tertinggal, namun hal tersebut tidak bisa dipastikan jika kapal menghantam airbag
dengan sangat keras. Airbag bisa pecah dan haluan kapal akan tetap menghantam
landasan yang mana dapat mengakibatkan kerusakan pada badan haluan kapal.
Gambar V.8 merupakan gambaran saat kapal mengalami dropping. Dropping kapal
dapat terjadi jika berat peluncuran (P) lebih besar dari gaya angkat (D) (P > D) pada
kondisi dimana kapal seharusnya sudah terapung bebas (free floating). Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya masih ada kemungkinan bahwa haluan kapal menghantam
airbag terlebih dahulu sebelum menghantam landasan. Jadi dapat dikatakan bahwa pada
kejadian tersebut kapal diselamatkan oleh airbag yang masih tertinggal di landasan.
Namun akan berbeda jika situasinya seluruh airbag sudah meninggalkan landasan
peluncuran sehingga pada saat terjadinya dropping, haluan kapal langsung menghantam
ujung landasan dan menyebabkan kerusakan hingga kebocoran pada haluan kapal.
Untuk peluncuran kapal menggunakan metode airbag pada sistem pemasangan cross
over atau zig-zag, dalam melakukan analisa bagian airbag mana yang rentan pecah tidak
terlepas dengan menggunakan Persamaan V.1. Persamaan V.1 berlaku untuk semua
pembebanan yang diberikan pada airbag. Bagian mana yang memiliki konsentrasi beban tinggi
dan luas penampang kecil, maka pada daerah itulah airbag rawan akan pecah. Jadi dapat
dikatakan bahwa untuk sistem pemasangan airbag dengan metode cross over, bagian belakang
kapal masih dianggap paling rawan akan terjadinya suatu airbag pecah.
Faktor yang menyebabkan sistem pemasangan airbag dengan metode cross over
biasanya dipilih karena lebar kapal yang terlalu besar dan tidak tersedianya panjang airbag
106
yang mampu menampung satu lebar penuh kapal. Pada sistem pemasangan ini sulit untuk
diidentifikasi dan dianggap lebih berbahaya jika dibandingkan dengan sistem pemasangan
airbag selebar kapal. Hal tersebut dikarenakan memang belum ada standar kalsifikasi yang
meneliti pada sistem pemasangan airbag dengan metode cross over. Termasuk dengan berapa
jumlah airbag yang digunakan dan spesifikasi airbag yang seperti apa yang dibutuhkan untuk
meluncurkan sebuah kapal.
Gambar V.9 merupakan sebuah ilustrasi gambar dimana airbag pecah pada bagian
belakang kapal secara berurutan pada sistem pemasangan airbag dengan metode cross over.
Pada kasus ini dampak yang akan terjadi pada periode 1, 2 dan 3 tidak akan jauh berbeda pada
analisa yang dilakukan pada sistem pemasangan airbag dengan metode selebar kapal. Yaitu
kapal dapat mengalami jungkit dan berujung dengan dropping pada haluan kapal. Namun akan
berbeda kasusnya jika airbag yang pecah hanya pada satu sisi kapal.
Gambar V.10 Sistem pemasangan cross over (airbag pecah satu sisi kapal)
107
Gambar V.10 merupakan ilustrasi airbag pecah pada salah satu bagian sisi kapal pada
sistem pemasangan airbag dengan metode cross over. Jika airbag yang pecah hanya satu tidak
akan berdampak besar pada proses peluncuran karena masih ada airbag lainnya yang mampu
menahan beban kapal. Akan jadi masalah jika airbag yang pecah ada 2 atau lebih pada satu
bagian sisi kapal yang sama. Karena pada saat itu akan terjadi ketidakseimbangan pada kapal
dan distribusi beban kapal akan bertambah pada bagian airbag yang pecah sehingga titik berat
kapal juga pindah dan berpusat pada bagian airbag yang pecah. Ditambah dengan jumlah
airbag yang berkurang, maka kondisi paling ekstrem yang dapat terjadi adalah semua airbag
pada satu bagian sisi kapal tersebut pecah dan membuat kapal oleng atau anjlok juga pada
bagian tersebut. Namun dampak yang ditimbulkan pada peristiwa tersebut dapat berkurang
apabila terdapat tambahan winch yang menahan pada kedua sisi kapal. Sehingga apabila
peristiwa tersebut terjadi proses peluncuran dapat dihentikan sementara berkat bantuan dari
winch yang menahan bagian sisi-sisi kapal.
A. Periode 1
Jika pada kondisi ekstrem airbag yang menumpu salah satu bagian sisi kapal semua
pecah, dapat dipastikan bahwa kapal tersebut oleng dan anjlok ke bagian samping
airbag yang pecah. Selanjutnya pada bagian tersebut akan menghantam landasan yang
mana akan menyebabkan kerusakan pada badan kapal.
Gambar V.11 Seluruh airbag pecah pada salah satu bagian sisi kapal
Pada Gambar V.11 adalah gambaran yang terjadi pada kapal jika seluruh airbag
pecah pada salah satu bagian kapal. Jika hal tersebut terjadi, otomatis tidak ada lagi yang
108
menumpu kapal pada bagian airbag yang pecah. Sehingga kapal anjlok ke arah bagian
tersebut dan menyebabkan kerusakan pada badan kapal yang menghantam landasan.
B. Periode 2 dan 3
Khusus untuk analisa risiko yang dapat terjadi pada periode 2 dan 3 tidak dapat
dilanjutkan lagi, karena pada kasus ini diasumsikan bahwa semua airbag pada bagian
salah satu sisi kapal pecah. Sehingga analisa yang dilakukan cukup hanya pada periode
1. Selain itu diperlukan simulasi langsung untuk dapat menentukan kira-kira berapa
maksimal jumlah airbag yang boleh pecah khusus pada sistem pemasangan airbag ini
agar mendapatkan hasil yang akurat.
Dalam kasus ini diumpamakan kemungkinan terjadinya kerusakan kapal pada proses
peluncuran dengan metode airbag sebagai dampak yang dihasilkan dari risiko yang terjadi.
Dari suatu rangkaian itu semua penyebab-penyebab risiko dapat diketahui sampai ke akar
permasalahan atau awal penyebab kenapa risiko tersebut dapat terjadi. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, pada proses identifikasi akar-akar permasalahan yang dianggap sebagai
penyebab terjadinya risiko tersebut dibagi berdasarkan periode-periode peluncuran. Dengan
kata lain identifikasi akar permasalahan dibagi atas periode 1, 2 dan 3. Jadi pada tiap periode
dilakukan analisa dan dicari penyebab permasalahan mengapa risiko tersebut dapat terjadi.
Penyebab permasalahan tadi terus dicari hingga tidak bisa dilanjutkan lagi atau yang biasa
disebut dengan akar permasalahan. Dari akar permasalahan tersebut maka tindakan preventif
(pencegahan) dapat diberikan agar dampak daripada risiko terus berkurang atau hilang. Berikut
ini adalah hasil analisa risiko yang dilakukan dengan metode Fault Tree Analysis :
109
Kemungkinan Terjadinya
Kerusakan Kapal Pada Peluncuran
dengan Metode Airbag
Tidak
Perhitungan Menghitung
Teknis yang Berapa Jumlah Kurangnya
Kurang Tepat Airbag yang Pengawasan
Dibutuhkan Pada Proses
Pembangunan
Gambar V.12 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA
110
Pada Gambar V.12 dijelaskan bahwa pada peristiwa kemungkinan terjadinya kerusakan
kapal pada peluncuran menggunakan airbag dibagi berdasarkan periode peluncuran yaitu
periode 1, 2 dan 3. Dapat dilihat pada Gambar V.12 peristiwa yang dapat menyebabkan
kerusakan kapal pada periode 1 adalah kapal anjlok. Hal yang menyebabkan kapal anjlok ada
4 hal yaitu seluruh airbag yang menumpu kapal pecah, alat bantu peluncuran (winch) tidak
memadai, faktor alam, atau human error. Selanjutnya hal yang menyebabkan airbag tersebut
pecah ada 2 kemungkinan yaitu airbag tersebut terkena benda tajam atau airbag tersebut tidak
mampu menahan beban yang diberikan oleh kapal seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Sedangkan untuk alat bantu peluncuran yang kurang memadai kemungkinan penyebabnya
terbagi menjadi 2 yaitu kapasitas winch yang digunakan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan
atau memang alat bantu peluncuran (winch) tidak tersedia. Identifikasi risiko tersebut terus
dilakukan hingga penyebab kegagalan tidak bisa diidentifikasi lagi apa penyebabnya atau bisa
disebut dengan akar permasalahan. Pada periode 1 akar permasalahan yang dihasilkan adalah :
111
kapal menyentuh air ada yang masuk ke dalam badan kapal sehingga kapal tersebut tenggelam.
Dari kedua penyebab utama tersebut dihasilkan 3 akar permasalahan yaitu :
1. Perhitungan stabilitas kapal yang tidak tepat
2. Kurangnya pengawasan pada proses pembangunan kapal
3. Pelaksanaan peluncuran tidak sesuai dengan standar SOP
4. Terjadinya tsunami
Sedangkan pada kapal dropping dilanjutkan pada bagan B.
Tidak Mampu
Kondisi
Menahan
Airbag Sudah
Kondisi Terkena Beban Kapal
Tidak Layak
Landasan Benda Tajam Pakai Kapal Mengalami
Buruk Jungkit / Tipping
Landasan Masih
Terdapat Sampah Jumlah Airbag Perubahan
Bekas yang Terpasang Spesifikasi
Kedalaman Air
Pembangunan Kurang Airbag yang
(Water Level)
(Pelat,Paku Besi) Digunakan
Diujung
(Tidak Sesuai
Landasan
Perhitungan)
Kurang
Tidak
Menghitung
Perhitungan
Berapa Jumlah
Teknis yang
Airbag yang
Kurang Tepat
Dibutuhkan
Gambar V.13 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA (lanjutan
periode 2)
Gambar V.13 merupakan rangkaian peristiwa kegagalan peluncuran yang terjadi pada
periode 2. Pada periode 2 kemungkinan kegagalan peluncuran yang terjadi terbagi menjadi 2
112
yaitu terjadi benturan antara kapal dengan landasan atau kapal badan patah. Pada kejadian yang
menyebabkan badan kapal patah bisa diakibatkan karena kapal mengalami jungkit, yang mana
jungkit tersebut juga dapat diakibatkan karena terdapat airbag yang pecah. Sehingga akar
permasalahan yang dihasilkan pada peristiwa badan kapal patah sama dengan terjadinya
benturan antara kapal dengan landasan dengan tambahan kedalaman air di ujung landasan yang
kurang.
Kapal Mengalami
Airbag Pecah
Jungkit / Tipping
Tidak Mampu
Kondisi Kapal Tidak
Menahan
Airbag Sudah Kunjung
Kondisi Terkena Beban Kapal
Tidak Layak Mendapat Gaya
Landasan Benda Tajam Pakai Angkat Buritan
Buruk
Tidak
Menghitung
Perhitungan
Berapa Jumlah
Teknis yang
Airbag yang
Kurang Tepat
Dibutuhkan
Gambar V.14 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA (lanjutan
periode 3)
Selanjutnya pada Gambar V.14 merupakan peristiwa lanjutan yang menyebabkan kapal
bisa mengalami dropping pada periode 3. Dapat dilihat pada Gambar V.14 bahwa akar
permasalahan yang dihasilkan sama dengan akar permasalahan yang dihasilkan pada peristiwa
113
kegagalan yang terjadi pada periode 2. Hal ini disebabkan karena peristiwa kegagalan dapat
disatukan dalam satu rangkaian peristiwa.
Rekomendasi preventif ini adalah sebuah tindakan pencegahan yang dapat mengurangi
atau bahkan menghilangkan semua kemungkinan risiko yang dapat terjadi dengan melihat akar
permasalahan dari risiko yang ditimbulkan. Pada gambar rangkaian pohon analisa risiko yang
terdapat pada Gambar V.12, V.13 dan V.14 dapat diketahui akar-akar permasalahan dari setiap
risiko yang dapat terjadi. Perumpamaan yang diberikan pada analisa risiko yang dilakukan
adalah kemungkinan terjadinya kerusakan kapal pada peluncuran dengan metode airbag.
Selanjutnya analisa tersebut diteliti pada tiap-tiap peristiwa risiko yang dapat terjadi pada tiap
periode peluncuran yaitu, periode 1, 2 dan 3. Dengan rekomendasi preventif yang diberikan
sebagai berikut :
Periode 1
Periode 1
No Kegagalan
Akar Permasalahan Tindakan Preventif
Peluncuran
114
Periode 1
No Kegagalan
Akar Permasalahan Tindakan Preventif
Peluncuran
115
Periode 1
No Kegagalan
Akar Permasalahan Tindakan Preventif
Peluncuran
Pada Tabel V.4 dijelaskan bahwa kemungkinan kegagalan peluncuran yang dapat
terjadi pada periode 1 yaitu kapal mengalami anjlok. Hal tersebut dapat terjadi apabila pada
kondisi ekstrem seluruh airbag yang menumpu kapal pecah, sehingga dapat dipastikan kapal
jatuh ke landasan tanpa adanya tumpuan lagi. Walaupun masih adanya alat penahan winch tidak
akan membantu apabila semua airbag mengalami pecah. Oleh karena itu pada Tabel V.4 setiap
akar permasalahan yang ditemukan diberikan rekomendasi preventif (pencegahan) dengan
tujuan risiko yang ditimbulkan berkurang atau bahkan hilang. Seperti contoh pada akar
permasalahan tidak memperhitungkan kapasitas winch yang dibutuhkan, tentunya hal tersebut
dapat membahayakan kapal. Dalam menentukan kapasitas winch yang dibutuhkan tidak ada
istilah memperkirakan, melainkan kapasitas winch yang dibutuhkan tersebut harus dihitung
sehingga winch tersebut jelas dapat menahan gaya yang diberikan pada kapal. Maka oleh karena
itu rekomendasi preventif yang diberikan pada akar permasalahan tersebut adalah menghitung
kapasitas winch yang dibutuhkan dengan menyesuaikan berat peluncuran. Selain itu juga masih
ada risiko yang sifatnya tidak bisa dikendalikan seperti faktor alam atau terjadinya bencana
alam yang harus diberikan juga tindakan preventifnya agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak
116
terjadi. Sedangkan untuk faktor kesalahan manusia (human error) dibagi menjadi 3 hal yaitu,
tingkat keahlian operator yang rendah, pihak operasional lalai dalam melaksanakan tugasnya
dan yang terakhir adalah operator peluncuran kurang berpengalaman dalam meluncurkan kapal
menggunakan airbag.
Periode 2
Untuk rekomendasi preventif yang diberikan pada setiap akar permasalahan yang dapat
terjadi pada periode 2 dapat dilihat pada Tabel V.5, sebagai berikut :
Terjadi
Benturan Menghitung jumlah airbag yang
1
dengan Perhitungan jumlah airbag dibutuhkan dengan tepat sesuai
Landasan yang dibutuhkan tidak tepat dengan spesifikasi airbag yang
digunakan
117
Periode 2
No Kegagalan
Akar Permasalahan Tindakan Preventif
Peluncuran
118
Periode 2
No Kegagalan
Akar Permasalahan Tindakan Preventif
Peluncuran
Pada Tabel V.5 dijelaskan bahwa tragedi kegagalan peluncuran yang dapat terjadi pada
periode 2 ada dua jenis kegagalan yaitu terjadinya benturan kapal dengan landasan atau badan
kapal mengalami defleksi yang pada kondisi ekstrem dapat patah. Pada terjadinya benturan
kapal dengan akar permasalahan yang dihasilkan ada 5 yang masing-masing akar
permasalahannya diberikan rekomendasi preventif. Sedangkan pada peristiwa badan kapal
patah akar permasalahan yang dihasilkan sama dengan terjadinya benturan kapal dengan
landasan dengan tambahan satu akar permasalahan, yaitu kedalaman air di ujung landasan
kurang.
Periode 3
Untuk rekomendasi preventif yang diberikan pada setiap akar permasalahan yang dapat
terjadi pada periode 3 dapat dilihat pada Tabel V.6, sebagai berikut :
119
Periode 3
No Kegagalan
Akar Permasalahan Tindakan Preventif
Peluncuran
120
Periode 3
No Kegagalan
Akar Permasalahan Tindakan Preventif
Peluncuran
Tabel V.6 menjelaskan bahwa pada periode 3 tragedi kegagalan peluncuran yang dapat
terjadi adalah kapal karam atau kapal mengalami dropping. Pada tragedi kapal karam dihasilkan
4 akar permasalahan dengan rekomendasi yang diberikan adalah :
1. Melakukan atau meminta bantuan pihak expert dalam menghitung stabilitas kapal
sehingga dihasilkan perhitungan yang tepat.
2. Membentuk atau memanggil tim pengawas yang dapat dipercaya di dalam
mengawasi kapal dari proses mulai dibangun hingga kapal selesai dibangun.
3. Perlu adanya pengawasan pada saat proses persiapan peluncuran.
4. Hindari lokasi peluncuran yang dekat dengan lempeng gunung (yang rawan terjadi
tsunami)
121
Halaman ini sengaja dikosongkan
122
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
1. Untuk menurunkan kapal kontainer 100 TEUs yang memiliki berat peluncuran
sebesar 1156.94 ton dibutuhkan sekitar 20 airbag dengan diameter 1 m yang
memiliki bearing capacity maksimal sebesar 16.66 ton/m. Kapasitas winch yang
dibutuhkan untuk menahan kapal sebelum kapal tersebut diluncurkan adalah
sebesar 795.40 kN dengan kemiringan landasan 20. Setelah dilakukan perhitungan
berdasarkan data yang didapatkan menghasilkan bahwa kapal kontainer tersebut
mengalami gaya angkat buritan (stern lift) pada akhir langkah 7 dan terapung bebas
(free floating) pada akhir langkah 8. Hal tersebut bisa cepat terjadi dikarenakan
adanya bantuan gaya angkat yang diberikan oleh masing-masing airbag sebesar
10.6 ton.
2. Identifikasi risiko dihasilkan berdasarkan dari analisa yang dilakukan per periode
peluncuran. Pada kondisi kritis untuk periode 1, kemungkinan risiko yang dapat
terjadi adalah kapal bisa mengalami anjlok. Sedangkan untuk periode 2 pada
kondisi kritis badan kapal bisa mengalami benturan dengan landasan atau badan
kapal patah. Lalu untuk periode 3, kemungkinan risiko yang dapat terjadi pada
kondisi kritis kapal bisa mengalami dropping atau kapal karam.
3. Setelah akar permasalahan dari setiap identifikasi risiko didapatkan, maka
rekomendasi preventif yang diberikan khusus untuk kemungkinan terjadinya
kerusakan kapal pada proses penurunan dengan metode airbag adalah :
a. Kondisi landasan dipastikan bersih dan terbebas dari sampah bekas
pembangunan terutama benda-benda yang tajam.
b. Kemiringan landasan harus smooth tidak ada bagian yang terjal.
c. Tersedia alat bantu winch sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan untuk
menahan kapal jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
d. Membentuk tim khusus untuk melakukan analisis dan perhitungan dalam
meluncurkan kapal menggunakan airbag.
e. Melakukan perhitungan berapa jumlah airbag yang dibutuhkan dengan tepat.
f. Menggunakan airbag dengan spesifikasi yang sesuai dengan perhitungan.
123
g. Melakukan maintenance yang benar pada airbag.
h. Operator peluncuran harus memiliki standar sertifikasi
i. Perlu adanya pengawasan pada saat peluncuran kapal menggunakan airbag.
j. Jika memungkinkan, gunakan jasa operator yang sudah memiliki banyak
pengalaman dalam meluncurkan kapal menggunakan airbag.
k. Landasan peluncuran harus dilapisi cement dengan menyesuaikan kekuatan
yang dibutuhkan.
VI.2 Saran
Proses perhitungan dan analisa risiko dilakukan dengan cara pendekatan fisika dan
expert judgement, dimana hasil yang didapatkan tentunya tidak begitu akurat. Maka diperlukan
penelitian lebih lanjut seperti melakukan simulasi langsung di lapangan untuk menghasilkan
hasil perhitungan dan analisa risiko yang lebih tepat dan juga akurat.
124
DAFTAR PUSTAKA
Cahyo, I. D. (2014). Fungsi Kurva Bonjean Pada Peluncuran Kapal Secara End Launching.
METANA, 25-33.
CB/T. (1998). Technological Requirements for Ship Upgrading or Launching Relying on Air-
Bags. Tianjin: China Shipbuilding Industry Technology Research.
Hage, D. T. (2014). Inteso Marine Rubber Airbag Bearing Capacity. In Bearing Rubber Airbag
Capacity. Sidoarjo: PT. Inti Teknika Solusi.
Haris, M. (2016, 12 24). Kajian Manajemen Fault Tree Analysis. Diambil dari Kajian
Manajemen Fault Tree Analysis Web Site: http://muh-
haris.blogspot.co.id/2015/10/kajian-manajemen-fault-tree-analysis-fta.html
Haryani, A. O. (2013). Analisa Teknis dan Ekonomis Airbag System Untuk Meningkatkan
Produktivitas Reparasi Kapal. Jurnal Tugas Akhir Teknik Perkapalan ITS.
ISO 14409. (2011). Ship and Marine Technology - Ship Launching Air Bags. Switzerland:
International Standard.
125
Qingdao Eversafe Marine Engineering. (2016, 12 22). Qingdao Eversafe Marine Engineering
Co.,Ltd. Diambil dari Qingdao Eversafe Marine Engineering Co.,Ltd Web Site:
http://www.eversafe-marine.com/technology.aspx?cid=71
SAI GLOBAL. (2004). Risk Management Guidelines Companion to AS/NZS 4360. Sidney:
Standard Australia International Ltd & Standards New Zealand.
Siahaan, H. (2009). Manajemen Risiko pada Perusahaan dan Birokrasi. Jakarta: PT. Gramedia.
Silalahi, F. (1997). Manajemen Risiko dan Asuransi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sitepu, H. G., & Firu, L. A. (2012). Kajian Penggunaan Fasilitas Dok Sistem Airbags di PT.
Dok dan Perkapalan Kodja Bahari Galangan II, Jakarta. Jurnal Riset dan Teknologi
Kelautan (JRTK), 181-192.
Wachyudi, Y. (2010). Identifikasi Bahaya, Analisis, dan Pengendalian Risiko dalam Tahap
Desain Proses Produksi Minyak & Gas di Kapal Floating Production Storage &
Offloading (FPSO) untuk Proyek Petronas Bukit Tua Tahun 2010. Depok: Universitas
Indonesia.
126
LAMPIRAN
WL/ST 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0.000 6.858 10.461 12.117 13.009 13.543 13.873 14.1880 14.1800 14.1760
2 0 3.914 18.501 24.640 27.436 28.948 29.858 30.419 30.9550 30.9470 30.9310
3 0 13.967 32.771 40.391 43.792 45.603 46.690 47.355 47.9940 47.9860 47.9620
3.7 2.944 23.436 43.788 51.965 55.577 57.483 58.625 59.322 59.9920 59.9840 59.9570
4.9 20.967 44.429 65.608 74.096 77.821 79.773 80.941 81.667 82.3370 82.3290 82.3020
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14.0360 14.0460 13.9020 13.6920 13.3870 12.8130 11.2170 8.305 5.872 0.263
30.7740 30.7220 30.4860 30.1530 29.6890 28.8540 26.3890 21.135 15.464 3.225
47.8050 47.7330 47.4660 47.0910 46.5710 45.6280 42.7410 35.600 26.726 8.564
59.8020 59.7250 59.4510 59.0650 58.5310 57.6120 54.5110 46.446 35.515 13.666
82.1470 82.0700 81.7960 81.4100 80.8760 79.9310 76.7400 67.989 53.767 25.472
Penentuan Langkah Peluncuran
LANGKAH PELUNCURAN
2) Lwl x 100 = 36
Skala x
Point 1 = skala x/skala y
3) Point 1 x point 2 Point 2 = (Lwlx100)/skala x
= 288 Point 3 = Point 3 x tan a
Berikut ini adalah data ukuran utama kapal yang didapatkan dari optimasi software
Maxsurf :
Lpp = 69.22 m
LCB from AP = 33.2 m
LCF from AP = 32.5 m
Maka,
LCB from (Didepan
midship = -1.41 midship)
LCF from midship (Didepan
= -2.11 midship)
= 2.11 (Dibelakang midship)
PERHITUNGAN BERAT KAPAL KOSONG
∑ l h = ( l1 x h1)+(l2 x h2)
∑ l h = (6.92 x 2.20) + (13.84 x 2.20)
= 45.685 m2
maka :
E = 69.22 x (17.20 + 3.70) + 0.85 x 69.22 x (4.90 - 3.70) + 0.85 x 45.685
= 1556.135
1,36
*) Wst’ = K . E (ton) Nilai K : lihat di tabel 4.1 (Practical Ship Design (Watson) hal 85)
Untuk container, yaitu :
K = Kmean ± K range dimana, K mean = 0.036
dimana, K range = + 0.003
K = 0.039
Wst' = 0.039 x 1556.135^1.36 Tabel nilai K untuk Tanker :
= 855.557 ton
sehingga didapat :
Wdh = 0.039 x 706.04 x 1.36(1 + 0.5 x (0.784 - 0.7)) + 0.000
= 39.028 ton
3. Airbag
a. Panjang Kapal yang Ditumpu Airbag/Panjang Lunas (S)
S = 60.00 m Lpp = 69.22 m
Keterangan :
O: Panjang landasan dibawah garis air
D: Sudut kemiringan landasan terhadap air
H : Kedalaman air pada ujung landasan
Diameter Working Pressure Working Height Bearing Capacity per unit length
(m) (Mpa) (m) kN/m t/m 1b/ft
0.60 62.88 8.33 4308.00
0.50 78.58 10.41 5384.00
1.00 0.1 (14.5 psi) 0.40 94.27 12.49 6459.00
0.30 110.07 14.58 7541.00
0.20 125.76 16.66 8617.00
N = [K1 Q.g/Cb.R.Ld] + N1
K1 = 1.2 - .1.3
Q= 1156.94 ton
2
g= 9.80 m/s
Cb = 0.78
R= 94.27 kN/m
Ld = 12.60 m
N1 = 1 ~ 4
N= 18.91
N= 19
j. Volume Airbag
2 2
V= 1/4 ∏ D x L + 2(1/3x1/4 ∏ D x 0.866D)
D= 1.00 m
L= 12.60 m
V= 10.34 m2
PERHITUNGAN PELUNCURAN
PERIODE I
Periode ini dimulai pada saat kapal dilepas dan berakhir pada saat menyentuh air
(Garis AP base line menyentuh permukaan air)
F3 = Pf cosa
F1 = P sin a
a
F2 = P cos a
a P
Keterangan :
P = Berat peluncuran
= 1156.939 ton
a = Sudut kemiringan landasan
= 2 derajat
F3 = 0.0300 x 1156.01
= 34.73 ton
Karena F1 > F3 maka kapal dapat bergerak meluncur sehingga memenuhi persyaratan.
[MEMENUHI]
b. Pembebanan pada Periode I
Pembebanan rata-rata yang bekerja pada landasan untuk tiap meter ( q ) :
q= P/S
dimana,
P = Berat peluncuran
= 1156.939 ton
S = Panjang yang ditumpu airbag
= 60.000 m
maka, q = 1156.939/60.000
q= 19.2823 ton/m
Pembebanan pada landasan dapat digambarkan sebagai trapesium dengan
panjang S dan sisi-sisi sejajar qd dan qb.
qd
qb
midship
LCG
X
S
Keterangan :
X = Jarak titik berat bidang beban terhadap ujung belakang bidang beban
= [ S/2 - LCG ] LCG = -5.5076 m
[60.000/2 - (-5.508)]
= 24.49 m
F= P. sin a + f. P cos a
F= 81.16 ton
= 795.40 kN
Perhitungan Periode 2
LUAS STATION DARI KURVA BONJEAN [mm]
langkah 0 langkah 1 langkah 2 langkah 3 langkah 4 langkah 5 langkah 6 langkah 7 langkah 8 langkah 9 langkah 10
AP
st 1 0.0120 0.0173 0.0202 0.0214 0.1058 0.4184 0.8995 1.5937 2.4988 3.6196
st 2 0.732 1.516 2.423 3.455 4.700 6.119 7.707 9.361 11.081
st 3 0.603 1.830 3.139 4.515 6.057 7.749 9.592 11.481 13.416
st 4 1.432 2.917 4.443 6.097 7.890 9.830 11.817 13.848
st 5 0.773 2.349 3.951 5.651 7.474 9.447 11.477 13.558
st 6 1.630 3.274 4.994 6.814 8.785 10.828 12.932
st 7 0.835 2.506 4.231 6.037 7.981 10.012 12.119
st 8 1.706 3.443 5.243 7.161 9.175 11.279
st 9 0.850 2.566 4.330 6.192 8.149 10.212
st 10 1.704 3.440 5.255 7.152 9.165
st 11 0.839 2.535 4.292 6.123 8.070
st 12 1.687 3.416 5.202 7.085
st 13 0.832 2.519 4.251 6.064
st 14 1.644 3.320 5.069
st 15 0.799 2.412 4.078
st 16 1.520 3.077
st 17 0.647 1.963
st 18 0.917
st 19 0.315
FP
LUAS STATION DIKALI SKALA [m]
skala : 1 cm = 10 m2
skala : 1 mm = 2 m2
langkah 0 langkah 1 langkah 2 langkah 3 langkah 4 langkah 5 langkah 6 langkah 7 langkah 8 langkah 9 langkah 10
AP
st 1 0.024 0.0346 0.0404 0.0428 0.2116 0.8368 1.799 3.1874 4.9976 7.2392
st 2 1.4636 3.0328 4.846 6.9108 9.3998 12.2386 15.414 18.7218 22.1628
st 3 1.2056 3.6592 6.2774 9.0306 12.1132 15.4976 19.1834 22.9616 26.8314
st 4 0 2.863 5.8346 8.8866 12.1946 15.7794 19.6598 23.6332 27.6956
st 5 1.5454 4.6984 7.901 11.3026 14.9472 18.8944 22.9538 27.1156
st 6 0 3.2596 6.5486 9.9876 13.6284 17.5708 21.655 25.864
st 7 1.6696 5.0128 8.4612 12.073 15.961 20.0236 24.2386
st 8 0 3.4118 6.8854 10.4862 14.322 18.3494 22.5578
st 9 1.7006 5.1328 8.6604 12.3846 16.297 20.4246
st 10 0 3.4084 6.8798 10.5092 14.3036 18.3296
st 11 1.6788 5.0694 8.5846 12.2466 16.1392
st 12 0 3.3736 6.831 10.4034 14.1692
st 13 1.6634 5.0376 8.5012 12.1278
st 14 0 3.2876 6.6394 10.1376
st 15 1.5972 4.8246 8.156
st 16 0 3.0396 6.1548
st 17 1.2938 3.9268
st 18 0 1.8344
st 19 0.6298
FP 0
DISPLACEMENT TIAP LANGKAH (periode 2)
jarak station = 3.6 m masa jenis air = 1.025 ton/m3
jarak langkah = 7.2 m kemiringan = 2 °
volume airbag 20.679 41.359 62.038 82.717 103.397 124.076 144.755 165.435 186.114 206.793
disp. Airbag 21.196 42.393 63.589 84.785 105.982 127.178 148.374 169.571 190.767 211.963
disp. Kapal [ton] 0.1152 9.7 40.31 96.719 180.739 297.479 447.243 632.847 848.565 1088.707
LCB kapal dr AP 0.00 8.76 11.72 14.42 16.92 19.20 21.39 23.49 25.47 27.15
disp. Total [ton] 21.31153293 52.095 103.898 181.504 286.720 424.657 595.617 802.417 1039.332 1300.670
LCB total dr AP 0.000 8.759 11.718 14.417 16.918 19.205 21.389 23.485 25.470 27.153
Perhitungan Periode 3 Iterasi 1
LUAS STATION DARI KURVA BONJEAN [mm] LUAS STATION DIKALI SKALA [m]
skala : 1 mm = 2 m2
langkah 8 langkah 9 langkah 10 langkah 8 langkah 9 langkah 10
2.5
AP 0.0000 0.0000 0.0000 AP 0 0 0
st 1 0.4433 0.9823 1.7020 st 1 0.8865 1.9645 3.404
st 2 9.8385 12.0093 14.3765 st 2 19.677 24.0185 28.753
st 3 13.2855 16.0430 18.9748 st 3 26.571 32.086 37.9495
st 4 13.7940 16.8313 20.0413 st 4 27.588 33.6625 40.0825
st 5 13.1938 16.3915 19.7635 st 5 26.3875 32.783 39.527
st 6 12.0998 15.4038 18.8765 st 6 24.1995 30.8075 37.753
st 7 10.7508 14.1308 17.6675 st 7 21.5015 28.2615 35.335
st 8 9.3433 12.8080 16.4150 st 8 18.6865 25.616 32.83
st 9 7.6943 11.1760 14.7880 st 9 15.3885 22.352 29.576
st 10 6.0705 9.5765 13.1990 st 10 12.141 19.153 26.398
st 11 4.4080 7.9050 11.5088 st 11 8.816 15.81 23.0175
st 12 2.8388 6.3795 10.0078 st 12 5.6775 12.759 20.0155
st 13 1.2525 4.7983 8.4150 st 13 2.505 9.5965 16.83
st 14 0.0000 3.2445 6.8348 st 14 0 6.489 13.6695
st 15 0.0000 1.7345 5.2823 st 15 0 3.469 10.5645
st 16 0.0000 0.2973 3.6990 st 16 0 0.5945 7.398
st 17 0.0000 0.0000 2.0515 st 17 0 0 4.103
st 18 0.0000 0.0000 0.0000 st 18 0 0 0
st 19 0.0000 0.0000 0.0000 st 19 0 0 0
FP 0.0000 0.0000 0.0000 FP 0 0 0
DISPLACEMENT TIAP LANGKAH (periode 3 iterasi 1)
jarak station = 3.6 m masa jenis air = 1.025 ton/m3
jarak langkah = 7.2 m kemiringan = 2 °
s 7.200 14.400 21.600 28.800 36.000 43.200 50.400 57.600 64.800 72.000
jarak gaya angkat ke ujung depan airbag [m] [3] d 67.200 58.441 55.482 52.783 50.282 47.995 45.811 43.715 41.730 40.047
jarak gaya angkat ke ujung landasan = λ - (∆s + hs/tanα) + LCB dr AP [8] b -10.600 -12.159 -7.918 -3.417 1.282 6.195 11.211 16.315 21.530 27.047
gaya angkat [ton] [9] γ.Vx 42.508 94.488 167.487 266.289 392.702 551.835 743.991 971.988 1,230.099 1,512.634
momen gaya angkat = γ.Vx * d [10] γ.Vx.d 1,432.135 3,044.471 5,828.085 9,580.264 14,416.928 20,381.475 27,286.057 35,077.633 43,371.065 52,088.245
momen terhadap ujung landasan [ton.m] [11] γ.Vx.b -450.583 -1,148.888 -1,326.124 -910.014 503.521 3,418.674 8,341.191 15,857.930 26,483.733 40,912.553
gaya berat [ton] P 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939
momen G dr ujung blkng airbag P.c 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568
jarak LCG ke ujung landasan= λ - (s + hs/tanα) + LCG dr AP a 39.316 32.116 24.916 17.716 10.516 3.316 -3.884 -11.084 -18.284 -25.484
momen berat thdp ujung landasan [12] P.a -45,486.179 -37,156.217 -28,826.255 -20,496.293 -12,166.331 -3,836.369 4,493.593 12,823.556 21,153.518 29,483.480
cek tipping tipping no no no no no no tipping tipping tipping tipping
cek Sternlift sternlift no no no no no no no sternlift sternlift sternlift
sarat buritan Ta 0.251 0.503 0.754 1.006 1.257 1.509 1.760 2.011 2.263 2.514
Tf -2.263 -2.011 -1.760 -1.509 -1.257 -1.006 -0.754 -0.503 -0.251 0.000
panjang yang ditumpu airbag di atas landasan Lλλ / S' 60.000 58.609 51.409 44.209 37.009 29.809 22.509 15.409 8.209 1.009
resultan (ton) R 1,114.431 1,062.452 989.452 890.650 764.237 605.104 412.948 184.951 -73.160 -355.694
keseimbangan thdp ujung depan airbag Lsr 29.748 29.686 29.063 28.074 26.389 23.472 17.674 -2.666 120.101 49.210
Lλ
λ /3 20.000 19.536 17.136 14.736 12.336 9.936 7.503 5.136 2.736 0.336
2Lλ
λ /3 40.000 39.073 34.273 29.473 24.673 19.873 15.006 10.273 5.473 0.673
Lλ
λ /2 30 29.30456201 25.704562 22.104562 18.504562 14.904562 11.254562 7.70456201 4.10456201 0.50456201
tekanan pada ujung belakang traplesium qf 19.041 17.420 11.703 3.824 0.000 0.000 0.000 -46.251 0.000 0.000
tekanan pada ujung depan traplesium qa 18.106 18.836 26.791 36.469 47.975 63.659 56.939 0.000 0.436 4.920
tekanan rata2 q 18.574 18.128 19.247 20.146 23.988 31.829 28.470 -23.125 0.218 2.460
PERIODE 3
langkah 8 langkah 9 langkah 10
l a ngka h = s [m] 57.60 64.80 72.00
s a ra t buri ta n a wa l = Tb0 [m] 2.01 2.26 2.51
s a ra t ha l ua n a wa l =ta nα.Lpp-Tb = Td0 [m] -0.50 -0.25 0.00
di s pl a cement = [ton] 971.99 1230.10 1512.63
ja ra k AP ke LCB = xV [m] 23.49 25.47 27.15
l enga n V thdp ujung s epa tu = 43.71 41.73 40.05
momen V = 42490.41 51331.73 60576.79
momen G = -34584.57 -34584.57 -34584.57
Σ momen = 7905.84 16747.16 25992.22
persamaan garis
β A -0.03 -0.03 -0.03
B -1.00 -1.00 -1.00
Tb0 = C 2.01 2.26 2.51
Ls + Lb = x1 67.20 67.20 67.20
-hs = z1 -0.30 -0.30 -0.30
ja ri 2 puta r = (A.x1+B.Z1+C)/s qrt(A^2+b^2) r [m] -0.04 0.22 0.47
iterasi 1
s a ra t buri ta n 1 = 2/3 Tb0 = Tb1 [m] 1.34 1.51 1.68
ta n α (Tb1,-hs ) tan α 1 -0.02 -0.03 -0.03
s l ope ga ri s Tb1 dg pus a t puta r = α 1 [rad] -0.02 -0.03 -0.03
ja ra k Tb1 ke s umbu puta r = d1 [m] 67.22 67.22 67.23
s udut d denga n bi da ng a i r = γ 1 [rad] 0.00 0.00 0.01
s l ope bi da ng a i r yg mel a l ui Tb1 da n Td1 = ϕ 1[rad] -0.02 -0.02 -0.02
tan ϕ 1 -0.02 -0.02 -0.02
Td1 [m] -0.46 -0.20 0.06
ga ya a ngka t [ton] V1 [ton] 937.29 1287.30 1706.44
LCB dr AP = l SV1 [m] 21.68 24.40 26.96
l enga n V = LCB dr ujung s epa tu = [m] 45.52 42.80 40.24
momen V = [ton.m] 42662.28 55098.40 68667.34
momen G = [ton.m] -34584.57 -34584.57 -34584.57
Σ momen = [ton.m] 8077.72 20513.84 34082.77
iterasi 2
mengguna ka n metode newton ra phs on Tb2 [m] 0.85 1.51 1.69
ta n α (Tb1,-hs ) tan α 2 -0.02 -0.03 -0.03
s l ope ga ri s Tb1 dg pus a t puta r = α 2 [rad] -0.02 -0.03 -0.03
ja ra k Tb1 ke s umbu puta r = d2 [m] 67.21 67.22 67.23
s udut d denga n bi da ng a i r = γ 2 [rad] 0.00 0.00 0.01
s l ope bi da ng a i r yg mel a l ui Tb1 da n Td1 = ϕ 2[rad] -0.02 -0.02 -0.02
tan ϕ 2 -0.02 -0.02 -0.02
Td2 [m] -0.42 -0.20 0.06
ga ya a ngka t [ton] V2 [ton] 1071.15 1244.08 1494.60
LCB dr AP = l SV2 [m] 22.08 24.33 27.18
l enga n V = LCB dr ujung s epa tu = [m] 45.12 42.87 40.02
momen V = [ton.m] 48330.13 53328.90 59814.86
momen G = [ton.m] -34584.57 -34584.57 -34584.57
Σ momen = [ton.m] 13745.56 20744.33 25230.29
iterasi 3
mengguna ka n metode newton ra phs on Tb3 [m] 2.04 1.78 1.72
ta n α (Tb1,-hs ) tan α 3 -0.03 -0.03 -0.03
s l ope ga ri s Tb1 dg pus a t puta r = α 3 [rad] -0.03 -0.03 -0.03
ja ra k Tb1 ke s umbu puta r = d3 [m] 67.24 67.23 67.23
s udut d denga n bi da ng a i r = γ 3 [rad] 0.00 0.00 0.01
s l ope bi da ng a i r yg mel a l ui Tb1 da n Td1 = ϕ 3[rad] -0.04 -0.03 -0.02
tan ϕ 3 -0.04 -0.03 -0.02
Td3 [m] -0.50 -0.22 0.06
ga ya a ngka t [ton] V3 [ton] 939.33 1269.68 1585.47
LCB dr AP = l SV3 [m] 21.22 24.86 27.13
l enga n V = LCB dr ujung s epa tu = [m] 45.98 42.34 40.07
momen V = [ton.m] 43185.80 53764.28 63531.95
momen G = [ton.m] -34584.57 -34584.57 -34584.57
Σ momen = [ton.m] 8601.23 19179.72 28947.38
gaya angkat [ton] [9] γ .Vx 42.508 94.488 167.487 266.289 392.702 551.835 743.991 939.327 1,269.677 1,585.468
momen gaya angkat = γ.Vx * d [10] γ .Vx.d 1,432.135 3,044.471 5,828.085 9,580.264 14,416.928 20,381.475 27,286.057 35,077.633 43,371.065 52,088.245
momen terhadap ujung landas an [ton.m] [11] γ .Vx.b -450.583 -1,148.888 -1,326.124 -910.014 503.521 3,418.674 8,341.191 15,857.930 26,483.733 40,912.553
gaya berat [ton] P 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939
momen G dr ujung blkng airbag P.c 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568
jarak LCG ke ujung landas an= λ - (s + hs /tanα) + LCG dr AP a 39.316 32.116 24.916 17.716 10.516 3.316 -3.884 -11.084 -18.284 -25.484
momen berat thdp ujung landas an [12] P.a -45,486.179 -37,156.217 -28,826.255 -20,496.293 -12,166.331 -3,836.369 4,493.593 12,823.556 21,153.518 29,483.480
cek tipping tipping no no no no no no tipping tipping tipping tipping
cek Sternlift sternlift no no no no no no no sternlift sternlift sternlift
s arat buritan Ta 0.251 0.503 0.754 1.006 1.257 1.509 1.760 2.039 1.779 1.717
Tf -2.263 -2.011 -1.760 -1.509 -1.257 -1.006 -0.754 -0.505 -0.217 0.057
panjang yang ditumpu airbag di atas landas an Lλ
λ / S' 60.000 58.609 51.409 44.209 37.009 29.809 22.509 15.409 8.209 1.009
res ultan (ton) R 1,114.431 1,062.452 989.452 890.650 764.237 605.104 412.948 184.951 -73.160 -355.694
kes eimbangan thdp ujung depan airbag Lsr 29.748 29.686 29.063 28.074 26.389 23.472 17.674 -2.666 120.101 49.210
Lλ
λ /3 20.000 19.536 17.136 14.736 12.336 9.936 7.503 5.136 2.736 0.336
2Lλ
λ /3 40.000 39.073 34.273 29.473 24.673 19.873 15.006 10.273 5.473 0.673
Lλ
λ /2 30.000 29.305 25.705 22.105 18.505 14.905 11.255 7.705 4.105 0.505
tekanan pada ujung belakang traples ium qf 19.041 17.420 11.703 3.824 0.000 0.000 0.000 -46.251 0.000 0.000
tekanan pada ujung depan traples ium qa 18.106 18.836 26.791 36.469 47.975 63.659 56.939 0.000 0.436 4.920
tekanan rata2 q 18.574 18.128 19.247 20.146 23.988 31.829 28.470 -23.125 0.218 2.460
q max 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
LAMPIRAN D : Kurva Peluncuran Kontainer 100 TEUs
LAMPIRAN E : Biodata Penulis
BIODATA PENULIS
Selama menjalani perkuliahan penulis pernah melakukan kerja praktek (on job training)
di perusahaan galangan kapal PT. LMI (Lamongan Marine Industry) dan PT. Biro Klasifikasi
Indonesia (Persero) Cabang Utama Samarinda. Selain aktif dalam dunia perkuliahan, penulis
juga aktif dalam beberapa kegiatan organisai dan kepanitiaan khususnya di bidang UKM (Unit
Kegiatan Mahasiswa) yaitu PSM ITS (Paduan Suara Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh
Nopember). Dari serangkaian kegiatan UKM yang diikuti penulis mengikuti lomba baik di
tingkat nasional ataupun Internasional. Di tingkat nasional penulis meraih juara 2 pada
kompetisi yang diadakan di ITB (Institut Teknologi Bandung) yaitu Festival Paduan Suara ITB
XXIV pada kategori mixed choir dan menjadi finalis pada kategori lagu daerah tahun 2015.
Sedangkan di tingkat Internasional penulis meraih prestasi sebagai finalis di kompetisi 54 th
International Choral Singing Competition Seghizzi yang dilaksanakan di Gorizia, Italia pada
kategori renaissance dan music of 20th century tahun 2015. Pada perkuliahan penulis juga
mengikuti berbagai pelatihan yang menunjang kebutuhan akademik antara lain training
kepribadian, latihan alam 2014, MAXSURF training, marine coating system dan pelatihan
dasar manajemen proyek yang diikuti pada tahun 2016. Selain itu penulis juga mengikuti
pelatihan untuk pembentukan soft skill seperti LKKM Pra-TD yang diadakan oleh FTK ITS.
Email : krisnawisnawa@yahoo.co.id