Oleh:
AFDHALUN NISA’
NIM. 402021038
Oleh:
AFDHALUN NISA’
NIM. 402021038
i
dukungan, bimbingan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama melakukan
penelitian.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih belum sempurna, dari
isi maupun sistematika penulisannya, maka dari itu penulis sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang positif untuk kesempurnaan karya ilmiah akhir ini.
Afdhalun Nisa’
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
AFDHALUN NISA
402021038
Oleh
Pembimbing:
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa Karya Ilmiah Akhir yang
berjudul:
Disusun Oleh
Afdhalun Nisa
402021038
Telah disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Sidang Karya Ilmiah Akhir
Program Studi Profesi Ners Universitas ‘Aisyiyah Bandung dan dinyatakan telah
memenuhi syarat untuk diterima
Bandung, 19 Juli 2022
Penguji I Penguji II
Riandi Alvin, S.Kep., Ners., M.Kep Angga Wilandika, S.Kep., Ners., M.Kep
NPP. 2019310890073 NPP. 2011180886043
Diketahui Oleh
Ketua Program Studi Profesi Ners
Universitas ‘Aisyiyah Bandung
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Apabila suatu saat nanti saya terbukti melakukan plagiatisme, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya
ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan kesadaran sendiri dan tidak dalam
tekanan ataupun paksaan dari pihak manapun demi menegakkan integritas akademik
di institusi ini.
(Afdhalun Nisa)
v
ABSTRAK
Afdhalun Nisa
402021038
Cedera kepala yang terjadi secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala dapat
mengakibatkan luka di kulit kepala, sehingga perlu dilakukan debridement craniotomy
untuk menghentikan pendarahan dan mempercepat penyembuhan luka. Setelah
tindakan operasi, pasien selama di ruang rawat inap, mengeluh mual muntah pasca
operasi (PONV) dan nyeri. Tujuan karya ilmiah akhir ini untuk mendeskripsikan
asuhan keperawatan holistik islami secara komprehensif dengan pendekatan ilmiah
pada Tn. R dengan gangguan sistem persarafan: postoperative hari ke-1 atas indikasi
debridement craniotomy e.c. multiple vulnus + cedera kepala ringan. Metode penelitian
yang digunakan adalah deskriptif dengan pengumpulan data melalui wawancara,
pemeriksaan fisik dan studi literature. Hasil pengkajian menunjukkan adanya keluhan
mual muntah muntah pasca operasi (PONV) dan nyeri pada Tn. R. Diagnosa
keperawatan utama yang muncul pada Tn. R adalah nausea, nyeri akut, ketidakstabilan
kadar glukosa darah dan deficit perawatan diri. Hasil intervensi dan implementasi
setelah diberikan beberapa terapi komplementer dan alternatif antara lain: Pemberian
aromaterapi lavender selama 40 menit mampu mengatasi pada nausea dan pemberian
aromaterapi selama 15 menit dapat menurunkan skala nyeri pada nyeri akut; Pemberian
karbohidrat kompleks dan protein sesuai diet pada ketidakstabilan kadar glukosa darah;
Dukungan keluarga saat pemnuhan kebutuhan perawatan diri pasien pada defisit
keperawatan diri: mandi, toileting, makan. Pada penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa pada pemberian aromaterapi lavender pada pasien post operasi efektif
mengatasi keluhan mual muntah pasca operasi (PONV) dan nyeri. Diharapakan pihak
rumahsakit untuk memberika aromaterapi lavender kepada pasien post operasi yang
mengeluh mual, muntah (PONV) dan nyeri.
vi
ABSTRACT
Afdhalun Nisa
402021038
Head injuries that occur directly or indirectly on the head can result in injuries to the
scalp, so a craniotomy debridement is necessary to stop bleeding and accelerate wound
healing. After the operation, the patient was in the inpatient room, complaining of
postoperative nausea and vomiting (PONV) and pain. The purpose of this final
scientific work is to describe comprehensive Islamic holistic nursing care with a
scientific approach to Mr. R with nervous system disorders: first day of postoperative
on the indication of debridement craniotomy e.c. multiple wounds + minor head injury.
The research method used is descriptive with data collection through interviews,
physical examinations, and literature studies. The results of the study showed
complaints of postoperative nausea and vomiting (PONV) and pain in Mr. R. The main
nursing diagnosis that Mr. R stands for nausea, acute pain, unstable blood glucose
levels, and self-care deficit. The results of the intervention and implementation after
being given several complementary and alternative therapies include: Giving lavender
aromatherapy for 40 minutes can overcome nausea and giving aromatherapy for 15
minutes can reduce pain scale in acute pain; Administration of complex carbohydrates
and protein according to the diet in unstable blood glucose levels; Family support
when meeting the patient's self-care needs in self-care deficits: bathing, toileting,
eating. In this study, it can be concluded that giving lavender aromatherapy to
postoperative patients is effective in overcoming complaints of postoperative nausea
and vomiting (PONV) and pain. It is hoped that the hospital will provide lavender
aromatherapy to postoperative patients who complain of nausea, vomiting (PONV),
and pain.
vii
DAFTAR ISI
viii
M. Pengaruh Anestesi Umum terhadap Post-Operatif Nausea-Vomiting
(PONV) ............................................................................................. 25
II. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Cedera Kepala ...................... 26
A. Pengkajian ......................................................................................... 26
B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan yang Muncul........................ 40
III. Evidence Base Nursing Aromaterapi Lavender Terhadap Mual Muntah 49
BAB III TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN ............................................ 53
A. Laporan Asuhan Keperawatan ................................................................. 53
1. Pengkajian ......................................................................................... 53
PATHWAYS ............................................................................................ 66
2. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan Prioritas .................................. 67
3. Rencana Tindakan Keperawatan ....................................................... 68
4. Implementasi dan Evaluasi ............................................................... 80
B. Pembahasan .............................................................................................. 92
1. Analisis Kondisi Tn. R saat Pre-Operasi........................................... 92
2. Analisis Keperawatan Tn. R saat Post-Operasi................................. 94
3. Hambatan dan Alternatif Penyelesaian Masalah yang Penulis
Lakukan ........................................................................................... 119
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 120
A. Kesimpulan............................................................................................. 120
B. Saran ...................................................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
tiba di rumah sakit sejumlah 10 % dan pasien yang sampai di rumah sakit, 80% di
kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10% termasuk cedera kepala sedang,
dan 10% termasuk cedera kepala berat (Ginting et al., 2020).
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik
Indonesia (2008) dalam (Ristanto, 2017) presentasi kejadian cedera kepala yang
disebabkan oleh jatuh yaitu (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%). Data
Kementerian Kesehatan RI, 2019 dalm Riskesdas 2018 menujukkan total kejadian
cedera kepala di Provinsi Jawa Barat adalah 12,32% dan di Kota Bandung sebanyak
12,06%. Data di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung didapatkan jumlah cedera
kepala ringan tahun 2020 sebanyak 15 kasus dengan jumlah keselurahan sebanyak
50 kasus.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3%-5%
yang memerlukan tindakan operasi, sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis
pasien cedera kepala lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan
cepat (Yasa et al., 2019). Penanganan cedera kepala sangat penting untuk
mendeteksi secara dini ada tidaknya lesi intrakranial yang membutuhkan operasi
dan untuk menangani lesi tersebut timbul, sehingga outcome pasien dapat lebih
baik (Yasa et al., 2019).
McNair & Kuric, 2014 mengatakan kondisi yang mungkin memerlukan
pembedahan anatara lain hematoma subdural dan epidural, fraktur depresi pada
tengkorak, dan benda asing yang menembus. Manajemen bedah saraf umumnya
dilakukan dengan menggunakan anestesia umum. Pasien-pasien dianestesi umum
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami mual dan muntah
dibandingkan dengan pasien yang menggunakan jenis anestesi lain (Islam & Jain,
2004; Indrawati, 2010 dalam Rihiantoro et al., 2018).
Insidensi mual muntah post operasi atau dikenal dengan istilah Post
Operative Nausea And Vomiting (PONV) mencapai 30% dari 100 juta lebih pasien
bedah di seluruh dunia (Sholihah et al, 2015 dalam Rihiantoro et al., 2018). Di
Indonesia insiden terjadinya PONV belum tercatat secara jelas namun terdapat
3
laporan angka kejadian PONV terdapat di dua rumah sakit yang berbeda, yaitu di
RSCM Jakarta, tahun 2013 didapatkan angka kejadian PONV 31% dan di RSUD
Ulin Banjarmasin tahun 2014 sebanyak 27% (Rachmad Try et al., 2018).
Sedangkan insidensi mual pada 2 jam pertama post operasi di PACU (Post
Anesthesia Care Unit) mencapai 20% dan muntah 5%. Sedangkan pada 2 jam
berikutnya sampai 24 jam insidensi mencapai 50% dan muntah 25% (Kovac, 2003;
Silaban, 2015 dalam Rihiantoro et al., 2018).
Terjadinya PONV bila tidak segera mendapat penanganan akan
menyebabkan timbulnya masalah baru. PONV dapat menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, hipertensi vena, perdarahan, ruptur esofageal, dan
dalam keadaan lanjut dapat membuat pasien mengalami dehidrahi berat (Conway,
2009; Supatmi & Agustiningsih, 2015 dalam (Rihiantoro et al., 2018). Selain itu,
PONV juga dapat menyebabkan stress post operasi dan kecenderungan malas
latihan gerak atau ambulasi dini pada pasien (Allen, 2004; Supatmi &
Agustiningsih, 2015 dalam Rihiantoro et al., 2018). Dampak lebih lanjut dari
PONV apabila tidak ditangani maka dapat memperpanjang waktu perawatan,
meningkatkan biaya perawatan dan dapat menyebabkan peningkatan stressor
(Buckle, 2007;Supatmi & Agustiningsih, 2015 dalam Rihiantoro et al., 2018).
Penanganan PONV dapat dilakukan secara farmakologi dengan obat
antiemetik dan non farmakologi (Utomo et al, 2009 dalam Rihiantoro et al., 2018).
Menurut penulis pemberian kombinasi terapi farmakologi dan terapi komplementer
akan memberikan efektifitas yang lebih tinggi bagi pasien. Hal ini juga didukung
oleh Hewitt & Watts, 2009; Supatmi & Agustiningsih, 2015 dalam Rihiantoro et
al., 2018) menyatakan penggunaan terapi komplementer relatif mudah, relatif
murah, efektif mengurangi mual dan muntah, menarik dan dapat diterima pasien.
Tugas seorang perawat adalah membantu memenuhi kebutuhannya
pasiennya secara biopsikospiritual. Pemberian aromaterapi sebagai salah satu
intervensi pada pasien POVN adalah bagian dari penyelenggara praktik
keperawatan dengan memasukkan terapi komplementer dan alternatif dalam
4
penerapan evidence based nursing (EBN) pada Tn. R dengan diannosa medis post
operative hari ke-1 atas indikasi debridement craniotomy e.c. multiple vulnus + ckr.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan karya ilmiah akhir ini adalah untuk melakukan asuhan
keperawatan holistik islami secara komprehensif dengan pendekatan ilmiah.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkaijan pada kasus pada Tn. R dengan gangguan sistem
persarafan: post operative debridement craniotomy e.c. multiple vulnus + ckr
akibat jatuh
b. Mampu merumuskan diagnosis keperawatan pada Tn. R dengan gangguan
sistem persarafan: post operative debridement craniotomy e.c. multiple
vulnus + ckr akibat jatuh
c. Mampu membuat perencanaan pada Tn. R dengan gangguan sistem
persarafan: post operative debridement craniotomy e.c. multiple vulnus +
ckr akibat jatuh
d. Mampu melakukan implementasi pada Tn. R dengan gangguan sistem
persarafan: post operative debridement craniotomy e.c. multiple vulnus +
ckr akibat jatuh
e. Mampu mengevaluasi proses keperawatan pada Tn. R dengan gangguan
sistem persarafan: post operative debridement craniotomy e.c. multiple
vulnus + ckr akibat jatuh
f. Mampu melakukan dokumentasi asuhan keperawatan pada Tn. R dengan
gangguan sistem persarafan: post operative debridement craniotomy e.c.
multiple vulnus + ckr akibat jatuh
6
C. Sistematika Penulisan
Dalam karya ilmiah akhir ini yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada
Tn. R dengan Gangguan Sistem Persarafan: Post Operative Hari Ke-1 atas Indikasi
Debridement Craniotomy e.c. Multiple Vulnus + CKR”, penulis membagi dalam
IV BAB (Alvin, 2021), sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Pada pendahuluan berisi tiga bagian, yaitu latar belakang masalah, tujuan dan
sitematika penulisan. Latar belakangan masalah berisi alasan penulis dalam
pengambilan kasus. Tujuan berisi kemampuan yang yang ingin dicapai penulis
dalam mengelola kasus secara professional. Sistematika penulisan berisi bagian-
bagian dalam penyusunan karya ilmiah akhir.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Tinjauan teorirtis ini dibuat berdasarkan pemikiraan penulis yang disesuaikan
dengan kasus yang didapat di lapangan. Konsep yang dituliskan pada BAB II yakni
mengacu pada literature review.
BAB III LAPORAN KASUS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas dokumentasi laporan kasus mulai dari pengkajian,
perencanaan, pelakasanaan, evaluasi dan catatan perkembangan. Pembahasan
memuat perbandingan antara teori dan kasus yang ditangani di lapangan.
Munculkan kendala, hambatan, dampak dari adanya hambatan dan alternative
solusi penulis pada saat pengkajian, perumusan diagnosis keperawatan,
perencanaan, implementasi dan evaluasi.
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan berisi apakah data yang ditemukan pada kasus sama dengan konsep teori
atau ditemukan penyakit penyerta lainnya. Saran berhubungan dengan kendala dan
hambatan yang dirasakan dan ditemukan pada tiap tahap.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
7
8
Otak merupakan organ paling besar dan paling kompleks pada sistem saraf. Otak
terdiri atas lebih dari 100 miliar neuron dan serabut terkait. Jaringan otak memiliki
konsistensi seperti gelatin. Organ semisolid ini memiliki berat 1.400g (sekitar 3
pon) pada dewasa.
a. Serebrum
Serebrum terbagi oleh suatu lekukan dalam (fisura longitudinalis)
menjadi dua bagian yang disebut hemisfer serebri. Suatu fisura berjalan
transversal memisahkan serebrum dari serebelum. Lapisan paling luar serebrum
disebut sebagai korteks serebri, memiliki tebal 2-5 mm. Langsung di bawah
korteks ini, terdapat traktus asosiasi dengan beragam ketebalan yang terletak di
atas traktus komisura yang disebut sebagai korpus kalosum.
Korteks serebri tersusun atas substansiagrisea (didominasi oleh badan sel
saraf dan dendrit) yang terbentuk dalam kelokan-kelokan, atau girus.
Sekitar75% badan sel saraf otak terletak di korteks. Lekukandangkal di antara
girus (sulkus) membagi korteks serebri menjadi lima lobus: frontalis, parietalis,
oksipitalis, temporalis, dan sentral (insula).
Istilah neokorteks sering digunakan untuk merujuk korteks serebri.
Neokorteks meliputi seluruh korteks serebri kecuali pada bagian olfaktorius dan
daerah hipokampus.
Kedua korteks serebri, kanan dan kiri menginterpretasi data sensoris,
menyimpan memori, mempelajari dan membentuk konsep; akan tetapi tiap
hemisfer mendominasi hemisfer yang lain dalam beberapa fungsi. Sebagai
contoh, pada sebagian besar orang, kortekskirimemiliki dominasi untuk analisis
sistematis, bahasa dan kemampuan berbicara, matematika, abstraksi, serta
penalaran. Kortekskanan memiliki dominasi untuk asimilasi
pengalamansensoris, seperti informasi visual-spasial, dan aktivitas seperti
menari, senam, musik, dan apresiasi seni.
Di lobus frontalis, girus presentralis(korteksmotorik) mengontrol
aktivitas motorik volunter. Kebanyakan serabut S sarafini menyilang ke sisi
9
E. Patofisiologis
Cedera kepela dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi sesesorang.
Sebagian masalahmerupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya
terjadi sekunder akibat cedera. Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan
secepatnya oleh tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan kematian (Lombardo, 2012).
Tepat di atas tengkorak terletak galen aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa,
padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma
eksternal. Di antara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan
membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek,
pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan
18
kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala. Tepat di bawah
galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika.
Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke
dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan
debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak (Lombardo, 2012).
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua
dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut
tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna. Struktur demikian
memungkinkan kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih
ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior,
media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya
salah satu dari arteria-arteria ini, perdarahan arterial yang diakibatkannya, yang
tertimbun dalam ruang epidural, dapat menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila
segera ditemukan dan diobati. Ini merupakan salah satu kedaruratan bedah saraf
yang memerlukan pembedahan segera (Lombardo, 2012).
F. Manajemen Medis
Manajemen medis untuk klien dengan cedera kepala yang parah berfokus
pada mendukung semua sistem organ saat pemulihan dari cedera terus berlangsung.
Hal ini melibatkan (1) dukungan ventilasi, (2) manajemen keseimbangan cairan
dan eliminasi, serta (3) manajemen nutrisi dan fungsi gastrointestinal. Trauma
kepala memengaruhi semua sistem tubuh, sehingga manajemen dampaknya
memerlukan perspektif yang holistic (McNair & Kuric, 2014).
1. Manajemen Awal
Manajemen awal untuk klien dengan cedera kepala adalah sama dengan
manajemen awal untuk klien dengan cedera lainnya, yaitu jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi. Terdapat hubungan yang erat antara fraktur servikal dengan cedera
kepala, sehingga klien harus diimobilisasikan di tempatcedera. Pemeriksaan foto
rontgen terhadap tulang belakang servikal lateral harus dilakukan sebelum kepala
19
intensif (ICU). Setelah klien cukup stabil untuk dipindahkan ke ICU, tim bedah
saraf dan trauma serta staf keperawatan akan mempertahankan pemberian asuhan
yang berkelanjutan.
2. Manajemen Lanjutan
Asuhan yang berkelanjutan untuk mempertahankan perfusi serebral dan
mengurangi TIK adalah fokus dari asuhan kritis. Laju metabolisme serebral
diturunkan dengan pemberian sedatif, agen paralitik, antipiretik, barbiturat, dan
hipotermia. Morfin adalah opioid yang biasa digunakan untuk klien cedera kepala.
Morfin mengurangi nyeri dan dapat diberikan secara intravena. Depresi pernapasan
dikontrol pada klien yang diintubasi dan berventilasi. Agen paralitik dapat
digunakan untuk meningkatkan ventilasi yang adekuat dan harus diberikan bersama
sedatif dan analgesik karena agen paralitik tidak memiliki efek sedatif atau
analgesik.
G. Manajemen Bedah
Kondisi yang mungkin memerlukan pembedahan antara lain hematoma sub
dural dan epidural, fraktur depresi pada tengkorak, dan benda asing yang
menembus. Bekuan epidural dapat dikeluarkan dengan pembedahan melalui lubang
burr atau kraniotomi. Selama pembedahan luka tersebut mungkin harus didrainasi
dan pembuluh yang mengalami perdarahan harus diikat (diligasi). Kulit kepala,
tengkorak, dan otak yang mengalami devitalisasi akan didebridema, serta luka
dibersihkan secara menyeluruh. Kecuali semua benda asing sudah dibuang, abses
otak atau kejang dapat terjadi. Debridema luka tembus atau fraktur depresi pada
tengkorak sering meninggalkan defek kranial tidak sedap dipandang dari segi
kosmetik. Defek tersebut nantinya dapat dikoreksi dengan pembedahan yaitu
dengan kranioplasti(McNair & Kuric, 2014).
Sebelum pembedahan, TIK diturunkan sebanyak mungkin. Data dasar
neurologis didokumentasikan. Persetujuan (informed consent) harus diperoleh dari
keluarga jika pasien tidak sadar atau bingung. Setelah pembedahan, berikan asuhan
21
keperawatan untuk klien sesuai pedoman untuk kraniotomi (McNair & Kuric,
2014).
H. Perawatan Mandiri
Klien dengan kemungkinan cedera kepala atau cedera kepala ringan
sebelumnya dirawat inap untuk observasi selama minimal 6 jam (idealnya selama
48jam) karena adanya risiko perdarahan ekstradural. Jika klien dipulangkan,
berikan instruksi yang jelas untuk membantu pemberi asuhan mengkaji adanya
komplikasi (McNair & Kuric, 2014).
I. Rehabilitasi
Sebagian besar klien yang dirawat di rumah sakit selama lebih dari 48 jam
karena cedera kepala pada akhirnya akan membutuhkan beberapa rehabilitasi.
Klien dengan cedera kepala ringan mungkin dapat terabaikan dalam populasi orang
yang membutuhkan perawatan lanjutan. Cedera kepala ringan dapat menyebabkan
sakit kepala, kesulitan memori, kesulitan melakukan tugas-tugas sederhana, dan
iritabilitas. Manifestasi klinis ini dapat bertahan selama satu bulan atau lebih
(McNair & Kuric, 2014).
Rehabilitasi dapat berlangsung di tempat rawat inap atau rawat jalan, bergantung
pada kondisi klien. Rehabilitasi dapat mencakup fisik, okupasi, terapi bicara dan
kognitif, serta sangat penting dalam mengembalikan klien ke fungsi maksimalnya.
Perawat memainkan peran utama dalam rehabilitasi klien cedera kepala dan dalam
pendidikan orang yang terdekat dengan klien.
J. Modifikasi pada Klien Lansia
Meskipun sebagian besar cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, pada lansia cedera lebih banyak disebabkan karena jatuh.
Diagnosis cedera kepala sering kali lebih sulit pada lansia karena tampilan yang
atipis. Klien-klien ini juga mengalami lebih banyak komplikasi. Klien lansia dapat
kurang mampu menolerir masalah pernapasan atau disritmia jantung. Kehadiran
penyakit kronis seperti penyakit paru obstruktif kronis atau gagal jantung dapat
membuat pengelolaan ventilasi dan keseimbangan cairan lebih sulit dilakukan. Jika
22
dari operasi pada otak.Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk
mengangkat tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat
bekuan darah (hematom), untuk mengontrol perdarahan, aneurisma otak, abses
otak, memperbaiki malformasi arteri vena, mengurangi tekanan intrakranial, atau
biopsi (Gulli. dkk, 2010 dalam Hastuti, 2019).
1. Komplikasi (Gulli. dkk, 2010 dalam Hastuti, 2019)
a. Edema cerebral
b. Perdarahan epidural: Yaitu penimbunan darah dibawah durameter. Terjadi
secara akurat dan biasanya karena perdarahan arteri yang mengancam jiwa.
c. Perdarahan subdural
d. Perdarahan intracranial
e. Hipovolemik syok
f. Hydrocephalus
g. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau diabetes Insipidus)
h. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
i. Infeksi: Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi
j. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan
menutup waktu pembedahan.
2. Penatalaksanaan Keperawatan (Hastuti, 2019)
a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan Craniotomy
b. Mempercepat penyembuhan
c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum
operasi
d. Mempertahankan konsep diri pasien
e. Mempersiapkan pasien pulang
3. Perawatan pasca Pembedahan (Satyanegara, 2010 dalam Hastuti, 2019)
25
Agustiningsih, 2015 dalam Rihiantoro et al., 2018). Selain itu, PONV juga dapat
menyebabkan stress post operasi dan kecenderungan malas latihan gerak atau
ambulasi dini pada pasien (Allen, 2004; Supatmi & Agustiningsih, 2015 dalam
Rihiantoro et al., 2018). Dampak lebih lanjut dari PONV apabila tidak ditangani
maka dapat memperpanjang waktu perawatan, meningkatkan biaya perawatan dan
dapat menyebabkan peningkatan stressor (Buckle, 2007; Supatmi & Agustiningsih,
2015 dalam Rihiantoro et al., 2018). Oleh karena itu perawat harus memahami
dengan benar kondisi mual dan muntah yang dialami pasien dan bagaimana
penangananya untuk mencegah dampak lebih lanjut dari PONV.
Penanganan PONV dapat dilakukan secara farmakologi dengan obat
antiemetik dan non farmakologi (Utomo, Sudirman & Syafi’i, 2009 dalam
Rihiantoro et al., 2018). Obat antiemetik kelas baru untuk pencegahan dan
penanganan mual muntah post operasi adalah antagonis reseptor serotonin (5-HT),
diantaranya ondansetron. Penggunaan antagonis reseptor serotonin masih
menimbulkan efek samping berupa konstipasi, sakit kepala, mengantuk, gangguan
saluran cerna, nyeri dada, dan susah bernafas (Sulistia, 2007; Farid & Ramli, 2005;
Indrawati, 2010 dalam Rihiantoro et al., 2018). Selain itu, menurut Utomo,
Sudirman & Syafi’i ,2009 dalam Rihiantoro et al., 2018 belum ditemukan obat
antiemetik yang efektif yang dapat mencegah mual dan muntah secara total dan
tanpa adanya efek samping.
II. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Cedera Kepala
A. Pengkajian
Pengkajian klien yang mengalami gangguan neurologis sangat menantang.
Gangguan neurologis berkisardari yangsederhanasampaikompleks dan dapat
memiliki konsekuensi yang sangat besar bagi aktivitas sehari-hari dan ketahanan
hidup. Pengkajian neurologis memberikan data dasar yang digunakan untuk
membandingkan pengkajian lanjutan, diagnosis masalah kesehatan yang potensial
dan aktual, mengelola perawatan klien, dan mengevaluasi hasil yang diharapkan.
Oleh karena kompleksitas sistem saraf, pengkajian neurologis bersifat multifaset
27
dan lama. Suatu riwayat yang komprehensif, pemeriksaan neurologis dan studi
neurodiagnostik general maupun spesifik merupakan komponen primer pengkajian
neurologis.
Pengkajian neurologis mencakup penilaian anatomis dan fungsional.
Observasi yang tajam penting karena banyak perubahan neurologis yang terjadi
perlahan-lahan dan ringan. Perawat mengumpulkan data kemampuan klien untuk
berfungi secara psikis (defisit perawatan diri) dan mental (konfusi dan gangguan
pemecahan masalah). Oleh karena banyak gangguan neurologis yang serius,
perawat memberikan dukungan yang terampil, terorientasi pada krisis untuk klien
dan orang yang berpengaruh bagi klien.
1. Riwayat
Riwayat terdiri atas data biografi, keluhan utama, riwayat medis lampau,
riwayat bedah, alergi, riwayat pengobatan, kebiasaan makan, riwayat psikososial,
dan riwayat kesehatan keluarga. Pemeriksaan neurologis detail diindikasikan jika
klien melaporkan perubahan perilaku, gangguan tingkat kesadaran, masalah
tumbuh kembang, perubahan fungsi motorik dan sensorik, infeksi atau trauma. Kaji
masalah neurologis yang dapat terkait masalah lain, seperti alkohol dan
penggunaan obat untuk tujuan rekreasi, dan lesi metastasis.
2. Temuan Pengkajian Fisik Sistem Neurologis Pada Individu Dewasa Yang
Sehat (McNair & Kuric, 2014)
a. Inspeksi
1) Status Mental.
Berorientasi pada orang, tempat, waktu, situasi. Tidak sulit
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi dan yang sudah lama berlalu.
Pemeriksaan serial 7 (menghitung mulai dari angka 100 dikurang 7-ed) ditunda,
efek dan mood sesuai kooperatif, dan menyenangkan. Proses pikir jernih dan
logis. Mendemontrasikan pemecahan masalah yang efektif. Artikulasi
pembicaraan jelas dan lancar.
2) Kepala, Leher, dan Punggung.
28
c. Fungsi Motorik. Kelompok otot simetris. Koorniasi motoric sesuai ROM. Tes
Romberg negative. Tidak terdapat pronator drift. Gaya berjalan halus, stabil.
Mempertahankan keseimbangan saat berjalan pada jari dan tumit. Gerakan
berubah dengan cepat dan maneuver point to point dapat dilakukan tanpa
kesulitan.
d. Fungsi Sensorik. Sensasi pada rabaan ringan, nyeri dan getar intak pada
ekstremitas distal dan badan, leher dan wajah. Indra pada posisi jari dan kaki
intak. Stereognosis dan grafestesia ada bilateral. Diskriminasi dua titik: 2 mm
pada jari telunjuk, dapat membedakan dua titik stimulasi secara simultan.
e. Palpasi
1) Kepala, Leher, dan Punggung. Tengkorak tanpa lesi atau nyeri, lembut dan
kokoh. Lher dan otot paraverbral kokoh, relak dan tidak nyeri. Tidak ada
nyeri dan ketegangan pada prosesus spinosus.
2) Fungsi motoric. Massa otot penuh dan tonus normal. Kekuatan 5/5 bilateral
f. Perkusi
Refleks tendon dalam +2 (pada skala 0 sampai +4) pada bisep, trisep,
peregelangan, lutut, dan pergelangan kaki. Refleks plantar positif bilateral. Refleks
abdomen posistif di empat kuadran
g. Auskultasi
Aliran vascular. Tidak ada atau bruit ada arteri karotis bilateral
1) Pemeriksaan Status Mental
Tingkat kesadaran: Bagian pengkajian yang paling penting. (Tingkat kesadaran
adalah indikator paling sensitive perubahan status neurologis). Kaji
kemampuan klien untuk berespons pada lingkungan. Mulai dengan stimulus
paling tidak invasif, tingkatkan stimulus jika tidak ada respons. Catat respons
terbaik.
30
Tabel 2. 2
Panduan Pengkajian Neurologis
Kategori Daerah pada Sistem Saraf
Kategori Spesifik Teknik Pengkajian Contoh Gangguan
Fungsional yang Terlibat
Kesadaran Respon siaga pada Sistem aktivasi retikulas Apakah klien sadar? Peningkatan: agitasi, mania, insomnia,
(Kesadaran stimulus verbal, (reticular activating system Apakah dapat memusatkan delirium
pada diri dan taktil dan visual [RAS]) perhatian?
lingkungan (mesensefalon, diensefalon) Apakah terdapat respons Penurunan:somnolen,letargi,semikoma,
Kedua hemisfer normal pada stimulus visual koma
dan auditori? Reaksi pada suara
keras, goyangan, tekanan
dalam di atas tulang orbita atau
pada sternum?
Apakah tanda vital, pupil dan
refleks normal?
Kejiwaan Berpikir Hemisfer serebri dengan fungsi Apakah klien berorientasi baik Disorientasi
regional spesifik (orang, tempat, waktu)?
Menilik diri, Lobus frontalis, dengan serabut Apakah klien menyadai Ketidakmampuan mengambil
pengambilan asosiasi menuju area serebrum pengaruh sakit? Apakah tujuan keputusan, tidak perhatian pada
keputusan, lain kongruen dengan kemampuan? pakaian, penampilan, dan kebisaan
perencanaan Bagaimana klien berespons personal
terhadap situasi (kebakaran
rumah)?
Sumber informasi Gangguan-berfungsi tidak kongruen
Kecerdasan biologis dasar Kemampuan berhitung, dengan tingkat pendidikan
(lobus frontalis) teringrasi pengetahuan mengenai
dengan area lain peristiwa sekarang konsisten
dengan tingkat pendidikan?
Memori Siapa presiden Amerika
Serikat?
Baru saja Lobus temporalis dan serabut Demensia
asosiasi ke area lain di korteks
Masa lalu Hipokampus Perubahan pada memori peristiwa
lampau dapat terjadi bersama dengan
34
Bahasa dan Disartria (defek Gangguan otot lidah, palatum, Minta klien mengtkuti frase Bergumam, kelambatan, bicara tidak
Pembicaraan pada artikulasi, faring, atau bibir (dapat saht ("Suse sells seashells by jelas, sengau, ritme pembicaraan
pengucapan, ritme dikarenakan impuls atau the seashore") normal yang terganggu (intoksikasi
pembicaraan) inkoordinasi) pembicaraan); sklerosis lateral
amyotrofik; pseudobulbar palsy,
myastenia gravis, stroke
Apakah suara klien serak, keras
Disfonia (produksi Batang otak, serebelum, atau lembut?
suara abnormal dari penyebab ekstraneural, saraf
laring) kranial V, VII, IX, X, XII Parkinsonisme, distonia
Suara berbisik
Afasia (tidak Banyak penyebab ekstraneural Kompresi saraf laringeus berulang oleh
mampu karsinoma bronkogenik pada bronkus
menggunakan, Gunakan temuan laringoskopi utama kiri
memahami kata- indirek
35
Global (kombinasi)
Stroke
Fungsi Ekspresi (wajah) Saraf kranial VII Simetrisitas senyum, berkerut, Kelemahan wajah perifer (disfungsi
Motorik alis lower motor neuron); kelemahan
separuh wajah Penyebab: Bell's palsy,
tumor batang otak, fraktur tulang
temporalis
Makan Saraf Kranial V, VII, IX, X, Tetanus, spasme otot perifer, sklerosis
(mengunyah, XII Kekuatan otot mastikator lateral amiotropik, tumor medula,
menelan) (pengunyah), refleks muntah, kelumpuhan pseudobulbar dapat
kemampuan menelan disertal dengan disartria
Melibatkan serebelum
Fungsi Melihat Saraf kranial II: optikus, lobus Tajam penglihatan, lapang Lapang pandang: lepasnya refina atau
Sensorik oksipitalis pandang, funduskopi saraf optik -> hilangnya keterlibatan
mata, kiasma optikum -> hemianopsia
homonim
Traktus optikus -> hemianopsia
homonim
Lobus parietalis -> masalah kuadran
(inferior)
Lobus temporalis -> masalah kuadran
superior
38
Mendengar Saraf kranial VIII: bagian Tajam pendengaran, ada tau Dapat memiliki tuli konduski (saraf
koklear, lobus temporalis tidaknya sara yang tidak biasa, OK) atau neural; sindrom Meinere
tes Weber dan Rinne (tinnitus, kehilangan pendengaran,
nistagmus), fraktur dasar tengkorak →
otorea
Disfungsi vaskular batang otak atau
tumor → ↓ pendengaran
Mengecap Saraf kranial VII, IX, lobus Kemampuan untuk Lesi batang otak atau insula →
insular membedakan manis, asin, pengecapan, penyebab ekstraneural,
asam, dan pahit merokok, higienis mulut yang jelek
Aromaterapi Aromaterapi
Observasi Observasi
• Identifikasi pilihan aroma yang disukai dan tidak disukai • Agar selama aromaterapi diberikan pasien merasa nyaman
• Identifikasi tingkat mual muntah alam perasaan sebelum dan • Untuk mengetahui efektiftas dan keberhasilan terapi dengan
sesudah Aromaterapi aroma yang dipilih pasien
• Monitor ketidaknyamanan sebelum dan setelah pemberian • Untuk mengetahui keluhan penyertaa saat pasien mual muntah
(mis. Mual, pusing) • Untuk mencegah komplikasi akibat aromaterapi yang diterima
• Monitor masalah yang terjadi saat pemberian Aromaterapi • Untuk melihat apakah ada pengaruh dan perubahan terhadap
(mis. Dermatitis, kontak, asma) tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aromaterapi pada pasien
• Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah Aromaterapi Terapeutik
Terapeutik
41
Intervensi Alasan
• Pilih minyak asensial yang tepat sesuai dengan indikasi • Adapun beberapa aroma yang dapat menjadi pilihan pasien,
• Lakukan uji kepekaan kulit dengan uji tempel (patch test) anatar lain: peppermint, spearmint, jahe, rose, lavender
dengan larutan 2% pada daerah lipatan lengan atau lipatan ataupun campuran sepert jahe, spearmint dan cardamom
belakang leher (Aromatherapy Scents Used to Treat Postoperative Nausea,
• Berikan minyak esensial dengan metode yang tepat (mis. 2020).
Inhalasi, pemijatan, mandi, uap, atau kompres) • Untuk mengetahui apakah pasien memiliki alergi terhadap
kandungan oil atau dengan aroma pilihannya
• Pasien diberikan aromaterapi menggunakan essential oil
dengan aroma lavender selama 40 menit menggunakan alat
bantu berupa difusser. Aromaterapi menggunakan merupakan
upaya yang praktis dan efektif karena metode terpi ini bekerja
dengan metode inhalasi. Secara farmakologi, wewangian dari
essential oil (EO) dapat mengirimkan efek secara langsung
pada sistem saraf pusat dan sistem endokrin tanpa sadar.
Melalui inhalasi, molekul- molekul volatile minyak esensial
yang melewati reseptor olfaktori di hidung mengenali
karakteristik molekuler tersebut dan mengirimkan sinyal ke
otak melalui saraf olfaktori dan beberapa unsur pokok dari
molekul tersebut masuk ke dalam aliran darah melalui paru-
paru dan berpengaruh secara langsung terhadap saraf-saraf di
otak setelah melewati barier darah di otak. (Rihiantoro et al.,
2018)
Manajemen Mual
• Observasi
• Identifikasi pengalaman mual
• Identifikasi faktor penyebab mual (mis. Pengobatan dan
prosedur)
• Identifikasi antiemetik untuk mencegah mual (kecuali mual
pada kehamilan)
• Monitor mual (mis. Frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan)
• Monitor asupan nutrisi dan kalori
Terapeutik
42
Intervensi Alasan
Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual (mis. Bau tak sedap,
suara, dan rangsangan visual yang tidak menyenangkan)
Manajemen Muntah
Observasi
• Identifikasi karakteristik muntah (mis. Warna, konsistensi,
adanya darah, waktu, frekuensi dan durasi)
• Identifikasi faktor penyebab muntah (mis. Pengobatan, dan
prosedur)
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu
2. Nyeri Akut b.d. Agen Pencedera Fisik: Post Operasi Debridement Craniotomy
Tabel 2. 4
Intervensi Nyeri Akut
Intervensi Alasan
Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
Observasi : Observasi
• Identifikasi lokasi karakteristik dan durasi frekuensi kualitas • Untuk mengetahui lokasi, lamanya serta kualitas nyeri yang
dan intensitas nyeri dirasakan
• Identifikasi skala nyeri • Untuk mengetahui skala nyeri dalam rentang 0 hingga 10
• Identifikasi respon nyeri non verbal • Untuk mengetahui nyeri lain yang dirasakan saat dilakukan
• Identifikasi faktor yang memperberat pemeriksaan fisik
dan memperingan nyeri • Untuk mengetahui penyebab nyeri yang disebabkan pengaruh
• Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri budaya
• Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup • Untuk mengetahui pengaruh nyeri terhadap tingkat psikososial
• Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah dan spiritual pasien
diberikan • Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari terapi yang telah
Terapeutik : diberikan
• Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Terapeutik
seperti aromaterapi lavender • Terapi pemberian aromaterapi lavender diberikan selama 15
• Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri seperti suhu menit dengan menggunakan difusser menjadi tindakan
ruangan pencahayaan dan kebisingan nonfarmakologi yang berguna untuk mengurangi nyeri pasien
43
Intervensi Alasan
• Fasilitasi istirahat dan tidur tanpa menunggu obat. Zat aktif yang terkandung didalam
• Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan aroma terapi lavender akan merangsang hipotalamus untuk
strategi meredakan nyeri memproduksi dan mengeluarkan endorpin proses ini terjadi
Edukasi : pada saat aroma terapi dihisap(Hayati & Hartiti, 2021).
• Jelaskan penyebab periode dan pemicu nyeri • Untuk memberikan rasa nyaman dengan tujuan memperingan
• Jelaskan strategi meredakan nyeri nyeri yang dirasakan
• Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri • Untuk menghindari memperberat rasa nyeri pasien.
• Ajarkan teknik non farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri. • Observasi kembali penyebab dan sumber nyeri secara yakin
Kolaborasi dan pasti.
Kolaborasi pemberian analgesik Edukasi :
• Nyeri yang dirasakan pasien akibat luka insisi operasi
• Dengan distrasi tarik nafas dalam.
• Mengetahui kualitas nyeri secara mandiri
• Mengurangi tingkat ketergantungan dan memonitor nyeri
secara mandiri
Kolaborasi
Untuk mengatasi nyeri dengan cepat
3. Defisit Perawatan Diri: Mandi; Toileting; Makan b.d. Kelemahan Post Operasi Debridement Craniotomy
Tabel 2. 5
Intervensi Defisit Perawatan Diri
Intervensi Alasan
Dukungan Perawatan Diri Dukungan Perawatan Diri
Observasi Observasi
Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, Agar selama perawatan diri, tindakan tidak terkendala karena alat
berhias dan makan yang kurang
Terapeutik Terapeutik
• Sediakan lingkungan yang Terapeutik (mis. Suasana hangat, • Selain memperhatikan kenyamanan pasien, perawat juga
rileks, privasi) menjaga privasi pasien
• Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri • Untuk menjaga pasien dalam pengawasan perawqat sehingga
• Siapkan keperluan pribadi (mis. Partum, sikat gigi dan sabun tidak terjadi hal yg tidak diinginkan.
mandi) • Dalam menyiapkan keperluan pribadi libatkan keluarga
Edukasi sehingga pasien dapat menggunakan alat-alatnya sendiri
44
Intervensi Alasan
Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai Edukasi
kemampuan Untuk mencegah keleahan atau perburukan kondisi setelah
perawatan diri
Perawatan Kuku
Terapeutik Perawatan Kuku
• Rendam kuku dengan air hangat Terapeutik
• Fasilitas pemotongan dan kebersihan kuku, sesuai kebutuhan • Agar kuku lembut saat dipotong
• Bersihkan kuku dengan bahan alami (mis. Air putih, lemon, • Agar selama perawatan kuku, tidak ada hambatan karena
belimbing wuluh) peralatan yang kurang
• Bersihkan bagian bawah kuku dengan alat bantu pembersih • Untuk meminimalkan efek samping dari bahan kimia dan
kuku praktis
• Oleskan minyak zaitun hangat pada kuku • Agar tidak ada sisa kotoran pada bawah kuku dan
• Lembabkan daerah sekitar kuku meminimalisisr terjadinya luka (bila menggunakan alat yang
runcing)
• Agar kuku mendapat nutrisi dan menjadi tidak kering
• Untuk mencegah kekeringan
4. Ketidakstabilan Kadar Glukkosa Darah b.d. Disfungsi Pankreas: Riwayat Diabetes Mellitus Tipe 2
Tabel 2. 6
Intervensi Ketidakstabilan Kadar Glukkosa Darah
Intervensi Alasan
Manajemen Hiperglikemia Manajemen Hiperglikemia
Observasi Observasi
• Monitor kadar glukosa darah, jika perlu • Untuk mengetahui kondisi kadar glukosa dalam darah apakah
• Monitor tanda dan gejala hiperglikema (mis. Poliuria, sudah dalam rentang normal atau meningkat/menurun
Polidipsia, polifagia, kelemahan, malaise, pandangan kabur, • Agar dapat penanganan segera apabila pasien menunjukkan
sakit kepala) tanda dan gejala
Edukasi Edukasi
• Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri • Sebagai upaya pencegahan perburukan dari hiperglikemia
• Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olahraga • Untuk mencegah terjadinya hiperglikemia dan mengontrol gula
Manajemen Hipoglikemia darah
Kolaborasi Manajemen Hipoglikemia
Kolaborasi
45
• Pemberian karbohidrat kompleks dan protein sesuai diet • Pemberian karbohidrat kompleks dan protein sesuai diet
dengan Nutrsionist dengan Nutrsionist
• Anjurkan berdiskusi dengan tim perawatan diabetes tentang • Agar pengobatan dan penangan untuk pasien bisa diberikan
penyesualan program pengobatan dengan tepat
5. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif d.d cedera kepala; hipertensi; post operasi debridement craniotomy
Tabel 2. 7
Intervensi Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
Intervensi Alasan
Pemantauan Tekanan Intrakranial Pemantauan Tekanan Intrakranial
Observasi Observasi
• Monitor peningkatan TD • Untuk memastikan tekanan darah, frekuensi jantung dan irama
• Monitor penurunan frekuensi jantung menunjukkan rentang normal atau tidak
• Monitor ireguleritas irama napas • Untuk mengetahui jika ada penurunan tingkat kesadaran pada
• Monitor penurunan tingkat kesadaran pasien, akan segera dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan diberi
• Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon pupil penangan
• Jika ketidaksimetrisan respon pupil, pasien akan dilakukan
Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial pemeriksaan lebih dalam dan pengkajian focus agar dapat segera
Terapeutik diatasi dengan tindakan yang tepat
Berikan posisi head up 30 derajat
Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
Terapeutik
Posisi head up 30 derajat bertujuan untuk menurunkan tekanan
intrakranial pada pasien cedera kepala. Selain itu posisi tersebut juga
dapat meningkatkan oksigen ke otak. Prosedur kerja pengaturan posisi
head
up 30 derajat adalah sebagai berikut: a. Meletakkan posisi pasien dalam
keadaan terlentang
b. Mengatur posisi kepala lebih tinggi dan tubuh dalam keadaan datar
c. Kaki dalam keadaan lurus dan tidak fleksi
d. Mengatur ketinggian tempat tidur bagian atas setinggi 30 derajat
(Kusuma & Anggraeni, 2019).
46
6. Risiko Infeksi d.d. post operasi debridement craniotomy, riwayat diabetes melitus tipe 2, ketidakadekuatan
pertahanan tubuh sekunder: leukopenia
Tabel 2. 8
Intervensi Risiko Infeksi
Intervensi Alasan
Pencegahan Infeksi Pencegahan Infeksi
Observasi Observasi
Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistematik Untuk mengetahui adanya infeksi
Terapeutik
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien Terapeutik
dan lingkungan pasien • Mencegah invasi patogen pada luka operasi
Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi • Mencegah potensi adanya infeksi
Edukasi Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi Agar pasien ataupun keluarga mengetahui dan segera lapor jika ditemukan
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi tanda dan gejala infeksi seperti kemerahan, bengkak, munculnya cairan pus
Kolaborasi selama perawatan dirumah.
Kolaborasi pemberian antibiotik Pasien disarankan untuk makanan tinggi protein dan vitamin C yang dapat
meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi Satyanegara, 2010
dalam Hastuti, 2019).
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
7. Risiko Jatuh d.d. usia 67 tahun, riwayat jatuh 2 hari yang lalu, kekuatan otot menurun, post operasi
debridement craniotomy; pasca anestesi umum, lingkungann tidak aman: lantai licin
Tabel 2. 9
Intervensi Risiko Jatuh
Intervensi Alasan
Pencegahan Jatuh Pencegahan Jatuh
Observasi Observasi
Hitung risiko jatuh dengan menggunakan skala morse Untuk mengetahui tingkat resiko jatuh pasien sehingga pemantauan
Terapeutik pada pasien bisa disesuaikan
47
Intervensi Alasan
• Pastikan roda tempat tidur dan kursi roda selalu dalam kondisi Terapeutik
terkunci • Agar pasien tidak jatuh karena pergerakkan tempat tidur
• Pasang handrall tempat tidur • Agar pasien tidak jatuh disamping tempat tidur
• Atur tempat tidur mekanis pada posisi terendah • Untuk meminimalisir cedera yang mungkin dialami pasien jika
• Dekatkan bel pemanggil dalam jangkauan pasien terjatuh
Edukasi • Untuk mempermudah pasien menggil perawat saat
Ajarkan cara menggunakan bel pemanggil untuk memanggil membutuhkan pertolongan
perawat Edukasi
Agar pasien tahu cara menggunakan bel dengan tepat dan bijak
Manajemen keselamatan lingkungan
Terapeutik Manajemen Keselamatan Lingkung-an
• Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko Terapeutik
• Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis. Commode • Dekatkan segala kebutuhan pasien dengan pasien, sesuaikan
chair dan pegangan tangan) penerangan dengan kenyamanan pasien serta menyediakan
• Gunakan perangkat pelindung (mis. Pengekangan fisik, rel kursi untuk keluarga agar selalu dekat dengan pasien
samping, pintu terkunci, pagar) • Jika alat bantu tidak tersedia, libatkan keluarga selama pasien
mobilisasi
• Pinggiran tempat tidur harus selalu dinaikkanterutama pada
pasien dengan risiko tinggi jatuh
8. Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual
Tabel 2. 10
Intervensi Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual
Intervensi Alasan
AKSM (Dewi & Aisyah, 2021) AKSM (Dewi & Aisyah, 2021)
• Bimbingan doa • Agar bersama-sama dengan pasien untuk selalu berdoa untuk
• Berikan Psikoreligius: kesembuhan pasien
Terapi Murottal Al-Qur’an • Berikan Psikoreligius:
• Fasilitasi untuk pelaksanaan ibadah Terapi Murottal Al-Qur’an terbukti dapat meningkatkan hormone
• Berikan dukungan spiritual endorphin. Saat mendengar alunan murottal, endorphin yang
• Tingkatkan harapan klien dihasilkan akan ditangkap oleh reseptor di hypothalamus dan
48
Intervensi Alasan
sistem limbik yang berfungsi mengatur emosi (Syamsudin &
Kadir, 2021)
• Agar pasien nisa memenuhi ritual ibadahnya walaupun sedang sakit
Agar pasien bisa terus mampu menguatkan diri dan sealalu memaknai
kondisinya dengan keyakinan yang postif.
49
proses penyulingan berbagai bagian tanaman, bunga, maupun pohon yang masing-
masing mengandung sifat terapi yang berbeda. Salah satu sumber minyak harum yang
digunakan sebagai aromaterapi antara lain berasal dari bunga lavender. Bunga lavender
(Lavandula Angustifolia) berbentuk kecil, berwarna ungu kebiruan, dan tinggi tanaman
mencapai 72 cm berasal dari wilayah selatan Laut Tengah sampai Afrika tropis dan ke
timur sampai India. Lavender termasuk tumbuhan menahun, tumbuhan dari jenis
rumput-rumputan, semak pendek, dan semak kecil. Tanaman ini juga menyebar di
Kepulauan Kanari, Afrika Utara dan Timur, Eropa selatan dan Mediterania, Arabia,
satunya dengan cara inhalasi untuk mendapatkan manfaat langsung kedalam tubuh.
utama yaitu linalool (C10H18O) yang berfungsi sebagai efek sedative. Aromaterapi
relaksasi (Taukhit & Haryono, 2018). Gelombang alpha sangat bermanfaat dalam
kondisi relaks mendorong aliran energi kreativitas dan perasaan segar dan sehat
(Taukhit & Haryono, 2018). Kondisi gelombang alpha ideal untuk perenungan,
50
seseorang.
saraf dan endokrin. Lavender, yang dikenal dengan efek menenangkan dan sedatifnya,
telah terbukti bekerja secara pascasinaks - di mana ia telah diusulkan untuk mengatur
aromaterapi bunga lavender maka aroma yang dikeluarkan akan menstimulasi reseptor
silia saraf olfactorius yang berada di epitel olfactory untuk meneruskan aroma tersebut
sistem limbik. Sistem limbik menerima semua informasi dari sistem pendengaran,
sistem penglihatan, dan sistem penciuman. Limbik adalah struktur bagian dalam dari
otak yang berbentuk seperti cincin yang terletak di bawah korteks serebri. Bagian
terpenting dari sistem limbik yang berhubungan dengan aroma adalah amygdala dan
2019).
51
Tabel 2. 11
Hasil Rekapitulasi Artikel Literature Review
Judul dan
No. Variabel Metodologi Hasil
Peneliti
1 The Use of Aromatherapy, Studi Kasus Aromaterapi untuk pengobatan PONV semakin
Aromatherapy for Lavender, Post- populer di kalangan rumah sakit dan pasien dengan
the Treatment of Operative Nausea semakin banyak bukti keefektifannya. Aromaterapi
Post-Operative Vomiting (PONV) memungkinkan perawat untuk memulai pengobatan
Nausea Vomiting, tanpa perintah dokter dan memungkinkan pasien
(Whitley, 2019). pilihan alternatif dan kekuatan dalam pengambilan
keputusan tentang perawatan mereka.
2 A Randomized Complementary Studi Kasus Penelitian kami mengungkapkan bahwa keparahan
Placebo- Therapies mual dan muntah pasien diubah oleh aromaterapi
Controlled Study Postoperative lavender seperti halnya aromaterapi jahe.
of Aromatherapy Nausea And
for The Treatment Vomiting
of Postoperative Aromatherapy
Nausea and
Vomiting,
(Karaman et al.,
2019)
3 Aromaterapi Aromaterapi, Studi Kasus Aromaterapi bunga lavender (Lavandula
Bunga Lavender Bunga Lavender angustifolia) dari proses penyulingan mengandung
(Lavandula (Lavandula bahan aktif utama yaitu linalool (C10H18O) yang
angustifolia) Angustifolia), memiliki efek sedatif dalam menurunkan risiko
dalam Insomnia, Linalool insomnia
Menurunkan Lavender
Risiko Insomnia,
(Aromatherapy
52
Judul dan
No. Variabel Metodologi Hasil
Peneliti
Scents Used to
Treat
Postoperative
Nausea, 2020)
4 Pemberian Nyeri; Studi Kasus Pemberian terapi aromaterapi lavender yang
Aromaterapi Debridement; dilakukan selama 3 hari dapat menurunkan nyeri
Lavender Aromaterapi pasien ulkus granulosum post op debridement.
Menurunkan Lavender
Intensitas Nyeri
Post Op
Debridement Pada
Pasien Ulkus
Granulosum,
(Hayati & Hartiti,
2021)
5 The Use of Aromatherapy, Systematic Review Aromaterapi merupakan salah satu terapi modalitas
Aromatherapy in Postoperative, yang dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan
Postoperative Nausea, Vomiting, PONV pada pasien bedah dewasa.
Nausea and Surgical Patient,
Vomiting: A PONV
Systematic
Review, (Asay et
al., 2019)
BAB III
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
53
54
− Harga diri: pasien merasa puas dan tidak hal yang membuat
dirinya malu.
− Identitas diri: pasien merupakan seorang laki laki dan
seorang pensiunan guru disalah satu sekolah swasta di Kota
Bandung.
− Ideal diri: Pasien berharap luka di kepala kirinya lekas
sembuh dan segera pulang ke rumah.
− Peran diri: Pasien adalah seorang laki-laki yang memiliki
seorang istri dan empat orang anak laki-laki dan sudah
tidak menjadi tidak menjadi tulang punggung semenjak
pensiun.
b) Status Emosi
Pasien tampak gelisah
2) Data Sosial
Pasien dekat keluarga pasien terutama anak dan cucunya. Pasien
adalah seorang guru ngaji privat yang juga mengajar ngaji di
masjid sekitar lingkungannya. Pasien merupakan salah satu tokoh
masyrakat di area lingkungannya. Pasien juga merupakan kader
Muhammadiyah.
3) Data Spiritual
☑Agama: Islam ☑Baligh/Belum Baligh/Halangan Lain
☑ Ibadah: Mandiri/ Dibantu
Penggunaan Kerudung: Ya/Tidak/Kadang-Kadang*Khusus Wanita
☑Kegiatan Ibadah Lain: Mengaji, Wirit
☑Bersuci: Wudhu /Tayamum ☑/Tidak Tahu
☑Pelaksanaan Shalat: Teratur ☑Tidak Teratur /Tidak Shalat
2) Laboratorium Darah
Tanggal/ Waktu: 28 November 2021/ 21:34:58 wib
Hasil:
Tabel 3. 3
Hasil Laboratorium Darah
Jenis
Hasil Nilai Rujukan Satuan Keterangan
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hematologi 8 Parameter, Hitung Jenis:
Hemoglobin 15,6 Pria: 14-18 gr/dl Normal
Hematokrit 48 Pria: 40-54 % Normal
Leukosit 13.500 4.000-10.000 sel/mm3 Meningkat
Trombosit 228.000 150.000-400.000 sel/mm3 Normal
Eritrosit 5,3 Pria: 4,5-6,0 Juta Sel/m Normal
MCV 89 80-100 fL Normal
MCH 29 27-34 pg Normal
MCHC 33 32-36 % Normal
Hitung Jenis
Basofil - 0-1 %
Eosinofil 2 1-4 % Normal
Netrofil 86 35-70 % Meningkat
Monosit 4 2-10 % Normal
Limfosit 8 20-40 % Menurun
DIABETES
Gula Darah
170 Sampai 160 mg/dl Meningkat
Sewaktu
3) Elektrokardiogram (EKG)
62
PATHWAYS
Gambar 3. 1
Pathway pada Tn. R
67
Tabel 3. 6
Rencana Tindakan Keperawatan pada Tn. R
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
Nausea b.d. efek Setelah dilakukan Manajemen Mual Manajemen Mual
agen farmakologi: tindakan Observasi Observasi
pasca anestes umum keperawatan 3x • Identifikasi pengalaman mual • Agar mengetahui frekuensi dan
atas indikasi 24jam, di-harapkan • Monitor mual (mis. Frekuensi, durasi, tingkat keparahan mual
Postoperative masalah dan tingkat keparahan) • Untut mengetahui frekuensi,
Nausea & Vomiting keperawatan Nausea Terapeutik durasi, dan tingkat keparahan
(PONV) Post pada Tn. R dapat Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual sebelum ataupun sesudah
Operasi teratasi dengan mual (mis. Bau tak sedap, suara, dan diberika terapi
Debridement kriteria hasil: rangsangan visual yang tidak Terapeutik
Craniotomy 1. Tidak ada menyenangkan) Untuk mencegah stimulus-stimulus
muntah yang merangsang resptor mual
2. Tidak ada mual Manajemen Muntah
3. Tidak Observasi Manajemen Muntah
hipersaliva • Identifikasi karakteristik muntah (mis. Observasi
4. Tidak pucat Warna, konsistensi, adanya darah, • Untuk mengantisipasi muntah
5. Rentang waktu, frekuensi dan durasi) termasuk muntah proyektif atau
tekanan darah Kolaborasi muntah biasa
(90-120)/(80- Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu Kolaborasi
Untuk mengatasi mual dengan cepat
60) mmHg
Aromaterapi dan tepat
6. Tidak Diforesis
Observasi
Aromaterapi
Observasi
69
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
• Identifikasi pilihan aroma yang disukai • Agar selama aromaterapi
dan tidak disukai diberikan pasien merasa nyaman
• Identifikasi tingkat mual muntah alam • Untuk mengetahui efektiftas dan
perasaan sebelum dan sesudah keberhasilan terapi dengan aroma
Aromaterapi yang dipilih pasien
• Monitor ketidaknyamanan sebelum dan • Untuk mengetahui keluhan
setelah pemberian (mis. Mual, pusing) penyertaa saat pasien mual
• Monitor masalah yang terjadi saat muntah
pemberian Aromaterapi (mis. • Untuk mencegah komplikasi
Dermatitis, kontak, asma) akibat aromaterapi yang diterima
• Monitor tanda-tanda vital sebelum dan • Untuk melihat apakah ada
sesudah Aromaterapi pengaruh dan perubahan terhadap
Terapeutik tanda-tanda vital sebelum dan
• Pilih minyak asensial yang tepat sesuai sesudah aromaterapi pada pasien
dengan indikasi Terapeutik
• Lakukan uji kepekaan kulit dengan uji • Adapun beberapa aroma yang
tempel (patch test) dengan larutan 2% dapat menjadi pilihan pasien,
pada daerah lipatan lengan atau lipatan anatar lain: peppermint,
belakang leher spearmint, jahe, rose, lavender
• Berikan minyak esensial dengan metode ataupun campuran sepert jahe,
yang tepat (mis. Inhalasi, pemijatan, spearmint dan cardamom
mandi, uap, atau kompres) (Aromatherapy Scents Used to
Treat Postoperative Nausea,
2020).
• Untuk mengetahui apakah pasien
memiliki alergi terhadap
kandungan oil atau dengan aroma
pilihannya
• Pasien diberikan aromaterapi
menggunakan essential oil
dengan aroma lavender selama 40
menit menggunakan alat bantu
70
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
berupa difusser. Aromaterapi
menggunakan merupakan upaya
yang praktis dan efektif karena
metode terpi ini bekerja dengan
metode inhalasi. Secara
farmakologi, wewangian dari
essential oil (EO) dapat
mengirimkan efek secara
langsung pada sistem saraf pusat
dan sistem endokrin tanpa sadar.
Melalui inhalasi, molekul-
molekul volatile minyak esensial
yang melewati reseptor olfaktori
di hidung mengenali karakteristik
molekuler tersebut dan
mengirimkan sinyal ke otak
melalui saraf olfaktori dan
beberapa unsur pokok dari
molekul tersebut masuk ke dalam
aliran darah melalui paru-paru
dan berpengaruh secara langsung
terhadap saraf-saraf di otak
setelah melewati barier darah di
otak. (Rihiantoro et al., 2018)
Manajemen Mual
• Observasi
• Identifikasi pengalaman mual
• Identifikasi faktor penyebab mual
(mis. Pengobatan dan prosedur)
71
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
• Identifikasi antiemetik untuk
mencegah mual (kecuali mual
pada kehamilan)
• Monitor mual (mis. Frekuensi,
durasi, dan tingkat keparahan)
• Monitor asupan nutrisi dan kalori
Terapeutik
Kendalikan faktor lingkungan
penyebab mual (mis. Bau tak sedap,
suara, dan rangsangan visual yang
tidak menyenangkan)
Manajemen Muntah
Observasi
• Identifikasi karakteristik muntah
(mis. Warna, konsistensi, adanya
darah, waktu, frekuensi dan
durasi)
• Identifikasi faktor penyebab
muntah (mis. Pengobatan, dan
prosedur)
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiemetik, jika
perlu
Nyeri Akut b.d. Setelah dilakukan Manajemen Nyeri Observasi
Agen Pencedera tindakan Observasi : • Untuk mengetahui lokasi,
Fisik: Post Operasi keperawatan 3x • Identifikasi lokasi karakteristik dan lamanya serta kualitas nyeri yang
Debridement 24jam, di-harapkan durasi frekuensi kualitas dan intensitas dirasakan
Craniotomy masalah nyeri • Untuk mengetahui skala nyeri
keperawatan Nyeri • Identifikasi skala nyeri dalam rentang 0 hingga 10
Akut pada Tn. R • Identifikasi respon nyeri non verbal
dapat teratasi • Identifikasi faktor yang memperberat
72
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
dengan kriteria dan memperingan nyeri • Untuk mengetahui nyeri lain yang
hasil: • Identifikasi pengaruh budaya terhadap dirasakan saat dilakukan
1. Keluhan nyeri respon nyeri pemeriksaan fisik
berkurang (1-3) • Identifikasi pengaruh nyeri pada • Untuk mengetahui penyebab
2. Tidak ada kualitas hidup nyeri yang disebabkan pengaruh
keluhan • Monitor keberhasilan terapi budaya
penyerta komplementer yang sudah diberikan • Untuk mengetahui pengaruh
3. Tidak gelisah Terapeutik : nyeri terhadap tingkat psikososial
4. Tanda-tanda • Berikan teknik non farmakologis untuk dan spiritual pasien
vital normal: mengurangi rasa nyeri seperti • Untuk mengetahui tingkat
5. TD (90- aromaterapi lavender keberhasilan dari terapi yang
120)/(80-60) • Kontrol lingkungan yang memperberat telah diberikan
rasa nyeri seperti suhu ruangan Terapeutik
mmHg
pencahayaan dan kebisingan • Terapi pemberian aromaterapi
N= 60-100x/
• Fasilitasi istirahat dan tidur lavender diberikan selama 15
mnt
• Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri menit dengan menggunakan
R= 16-20x/ mnt difusser menjadi tindakan
dalam pemilihan strategi meredakan
S= 36,5-37,5 oC nyeri nonfarmakologi yang berguna
Edukasi : untuk mengurangi nyeri pasien
• Jelaskan penyebab periode dan pemicu tanpa menunggu obat. Zat aktif
nyeri yang terkandung didalam aroma
• Jelaskan strategi meredakan nyeri terapi lavender akan merangsang
• Anjurkan memonitor nyeri secara hipotalamus untuk memproduksi
mandiri dan mengeluarkan endorpin
• Ajarkan teknik non farmakologi untuk proses ini terjadi pada saat aroma
mengurangi rasa nyeri. terapi dihisap(Hayati & Hartiti,
Kolaborasi 2021).
Kolaborasi pemberian analgesik • Untuk memberikan rasa nyaman
dengan tujuan memperingan
nyeri yang dirasakan
• Untuk menghindari memperberat
rasa nyeri pasien.
73
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
• Observasi kembali penyebab dan
sumber nyeri secara yakin dan
pasti.
Edukasi :
• Nyeri yang dirasakan pasien
akibat luka insisi operasi
• Dengan distrasi tarik nafas dalam.
• Mengetahui kualitas nyeri secara
mandiri
• Mengurangi tingkat
ketergantungan dan memonitor
nyeri secara mandiri
Kolaborasi
Untuk mengatasi nyeri dengan cepat
Defisit Perawatan Setelah dilakukan Dukungan Perawatan Diri Dukungan Perawatan Diri
Diri: Mandi; tindakan Observasi Observasi
Toileting; Makan keperawatan 3x Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan Agar selama perawatan diri, tindakan
b.d. Kelemahan 24jam, di-harapkan diri, berpakaian, berhias dan makan tidak terkendala karena alat yang
Post Operasi masalah Terapeutik kurang
Debridement keperawatan Defisit • Sediakan lingkungan yang Terapeutik Terapeutik
Craniotomy Perawatan Diri pada (mis. Suasana hangat, rileks, privasi) • Selain memperhatikan
Tn. R dapat teratasi • Dampingi dalam melakukan perawatan kenyamanan pasien, perawat juga
dengan kriteria diri sampai mandiri menjaga privasi pasien
hasil: • Siapkan keperluan pribadi (mis. Partum, • Untuk menjaga pasien dalam
1. Pasien mampu sikat gigi dan sabun mandi) pengawasan perawqat sehingga
makan di Edukasi tidak terjadi hal yg tidak
tempat tidur Anjurkan melakukan perawatan diri secara diinginkan.
2. Muka, badan konsisten sesuai kemampuan • Dalam menyiapkan keperluan
dan kuku pasien pribadi libatkan keluarga
bersih Perawatan Kuku sehingga pasien dapat
Terapeutik menggunakan alat-alatnya sendiri
• Rendam kuku dengan air hangat Edukasi
74
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
3. Mampu • Fasilitas pemotongan dan kebersihan Untuk mencegah keleahan atau
toileting, walau kuku, sesuai kebutuhan perburukan kondisi setelah perawatan
dengan alat • Bersihkan kuku dengan bahan alami diri
bantu missal (mis. Air putih, lemon, belimbing
pispot wuluh) Perawatan Kuku
• Bersihkan bagian bawah kuku dengan Terapeutik
alat bantu pembersih kuku • Agar kuku lembut saat dipotong
• Oleskan minyak zaitun hangat pada • Agar selama perawatan kuku,
kuku tidak ada hambatan karena
• Lembabkan daerah sekitar kuku peralatan yang kurang
• Untuk meminimalkan efek
samping dari bahan kimia dan
praktis
• Agar tidak ada sisa kotoran pada
bawah kuku dan meminimalisisr
terjadinya luka (bila
menggunakan alat yang runcing)
• Agar kuku mendapat nutrisi dan
menjadi tidak kering
• Untuk mencegah kekeringan
Ketidakstabilan Setelah dilakukan Manajemen Hiperglikemia Manajemen Hiperglikemia
Kadar Glukkosa tindakan Observasi Observasi
Darah b.d. keperawatan 3x • Monitor kadar glukosa darah, jika perlu • Untuk mengetahui kondisi kadar
Disfungsi Pankreas: 24jam, di-harapkan • Monitor tanda dan gejala hiperglikema glukosa dalam darah apakah
Riwayat Diabetes masalah (mis. Poliuria, Polidipsia, polifagia, sudah dalam rentang normal atau
Mellitus Tipe 2 keperawatan kelemahan, malaise, pandangan kabur, meningkat/menurun
Ketidakstabilan sakit kepala) • Agar dapat penanganan segera
Kadar Glukkosa Edukasi apabila pasien menunjukkan
Darah pada Tn. R • Anjurkan monitor kadar glukosa darah tanda dan gejala
dapat teratasi secara mandiri Edukasi
dengan kriteria • Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan • Sebagai upaya pencegahan
hasil: olahraga perburukan dari hiperglikemia
75
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
Kadar glukosa Manajemen Hipoglikemia • Untuk mencegah terjadinya
pasien dalam Kolaborasi hiperglikemia dan mengontrol
rentang normal • Pemberian karbohidrat kompleks dan gula darah
protein sesuai diet dengan Nutrsionist Manajemen Hipoglikemia
• Anjurkan berdiskusi dengan tim Kolaborasi
perawatan diabetes tentang penyesualan • Pemberian karbohidrat kompleks
program pengobatan dan protein sesuai diet dengan
Nutrsionist
• Agar pengobatan dan penangan
untuk pasien bisa diberikan
dengan tepat
Risiko Perfusi Setelah dilakukan Pemantauan Tekanan Intrakranial Pemantauan Tekanan Intrakranial
Serebral Tidak tindakan Observasi Observasi
Efektif d.d cedera keperawatan 3x • Monitor peningkatan TD • Untuk memastikan tekanan
kepala; hipertensi; 24jam, di-harapkan • Monitor penurunan frekuensi jantung darah, frekuensi jantung dan
post operasi masalah • Monitor ireguleritas irama napas irama menunjukkan rentang
debridement keperawatan Risiko • Monitor penurunan tingkat kesadaran normal atau tidak
craniotomy Perfusi Serebral • Monitor perlambatan atau • Untuk mengetahui jika ada
Tidak Efektif pada ketidaksimetrisan respon pupil penurunan tingkat kesadaran pada
Tn. R dapat teratasi pasien, akan segera dilakukan
dengan kriteria Manajemen Peningkatan Tekanan pemeriksaan lebih lanjut dan
hasil: Intrakranial diberi penangan
1. Tanda-tanda Terapeutik • Jika ketidaksimetrisan respon
vital normal Berikan posisi head up 30 derajat pupil, pasien akan dilakukan
2. Tidak ada sesak pemeriksaan lebih dalam dan
3. Irama napas pengkajian focus agar dapat
regular segera diatasi dengan tindakan
4. GCS 14-15 yang tepat
5. Pupil mata
isokor Manajemen Peningkatan Tekanan
Intrakranial
Terapeutik
76
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
Posisi head up 30 derajat bertujuan
untuk menurunkan tekanan
intrakranial pada pasien cedera
kepala. Selain itu posisi tersebut juga
dapat meningkatkan oksigen ke otak.
Prosedur kerja pengaturan posisi head
up 30 derajat adalah sebagai berikut:
a. Meletakkan posisi pasien dalam
keadaan terlentang
b. Mengatur posisi kepala lebih tinggi
dan tubuh dalam keadaan datar
c. Kaki dalam keadaan lurus dan tidak
fleksi
d. Mengatur ketinggian tempat tidur
bagian atas setinggi 30 derajat
(Kusuma & Anggraeni, 2019).
Risiko Infeksi d.d. Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi Pencegahan Infeksi
post operasi tindakan Observasi Observasi
debridement keperawatan 3x Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan Untuk mengetahui adanya infeksi
craniotomy,riwayat 24jam, di-harapkan sistematik
diabetes melitus masalah Terapeutik Terapeutik
tipe 2, keperawatan Risiko Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak • Mencegah invasi patogen pada
ketidakadekuatan Infeksi pada Tn. R dengan pasien dan lingkungan pasien luka operasi
pertahanan tubuh dapat teratasi Pertahankan teknik aseptik pada pasien • Mencegah potensi adanya infeksi
sekunder: dengan kriteria berisiko tinggi Edukasi
leukopenia hasil: Edukasi Agar pasien ataupun keluarga
1. Tidak ada Jelaskan tanda dan gejala infeksi mengetahui dan segera lapor jika
kemerahan Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi ditemukan tanda dan gejala infeksi
2. Tidak ada Kolaborasi seperti kemerahan, bengkak,
demam Kolaborasi pemberian antibiotik munculnya cairan pus selama
3. Tidak ada perawatan dirumah.
bengkak
77
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
4. Tidak ada pus Pasien disarankan untuk makanan
tinggi protein dan vitamin C yang
dapat meningkatkan daya tahan tubuh
untuk pencegahan infeksi
Satyanegara, 2010 dalam Hastuti,
2019).
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu
Risiko Jatuh d.d. Setelah dilakukan Pencegahan Jatuh Pencegahan Jatuh
usia 67 tahun, tindakan Observasi Observasi
riwayat jatuh 2 hari keperawatan 3x Hitung risiko jatuh dengan menggunakan Untuk mengetahui tingkat resiko jatuh
yang lalu, kekuatan 24jam, di-harapkan skala morse pasien sehingga pemantauan pada
otot menurun, post masalah Terapeutik pasien bisa disesuaikan
operasi keperawatan Risiko • Pastikan roda tempat tidur dan kursi Terapeutik
debridement Jatuh pada Tn. R roda selalu dalam kondisi terkunci • Agar pasien tidak jatuh karena
craniotomy; pasca dapat teratasi • Pasang handrall tempat tidur pergerakkan tempat tidur
anestesi umum, dengan kriteria • Atur tempat tidur mekanis pada posisi • Agar pasien tidak jatuh
lingkungann tidak hasil: terendah disamping tempat tidur
aman: lantai licin 1. Pasien tidak • Dekatkan bel pemanggil dalam • Untuk meminimalisir cedera yang
mengalami jangkauan pasien mungkin dialami pasien jika
jatuh selama Edukasi terjatuh
perawatan Ajarkan cara menggunakan bel pemanggil • Untuk mempermudah pasien
2. Pasien mampu untuk memanggil perawat menggil perawat saat
memanggil membutuhkan pertolongan
perawat Manajemen keselamatan lingkungan Edukasi
menggunakan Terapeutik Agar pasien tahu cara menggunakan
bel • Modifikasi lingkungan untuk bel dengan tepat dan bijak
3. Lingkungan meminimalkan bahaya dan risiko
aman bagi • Sediakan alat bantu keamanan Manajemen Keselamatan Lingkung-
pasien lingkungan (mis. Commode chair dan an
pegangan tangan) Terapeutik
78
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
• Gunakan perangkat pelindung (mis. • Dekatkan segala kebutuhan
Pengekangan fisik, rel samping, pintu pasien dengan pasien, sesuaikan
terkunci, pagar) penerangan dengan kenyamanan
pasien serta menyediakan kursi
untuk keluarga agar selalu dekat
dengan pasien
• Jika alat bantu tidak tersedia,
libatkan keluarga selama pasien
mobilisasi
• Pinggiran tempat tidur harus
selalu dinaikkanterutama pada
pasien dengan risiko tinggi jatuh
Kesiapan Setelah dilakukan AKSM (Dewi & Aisyah, 2021) AKSM (Dewi & Aisyah, 2021)
Peningkatan tindakan • Bimbingan doa • Agar bersama-sama dengan
Kesejahteraan keperawatan 3x • Berikan Psikoreligius: pasien untuk selalu berdoa untuk
Spiritual 24jam, di-harapkan Terapi Murottal Al-Qur’an kesembuhan pasien
masalah • Fasilitasi untuk pelaksanaan ibadah • Berikan Psikoreligius:
keperawatan • Berikan dukungan spiritual Terapi Murottal Al-Qur’an
Kesiapan • Tingkatkan harapan klien terbukti dapat meningkatkan
Peningkatan hormone endorphin. Saat
Kesejahteraan mendengar alunan murottal,
Spiritual pada Tn. R endorphin yang dihasilkan akan
dapat teratasi ditangkap oleh reseptor di
dengan kriteria hypothalamus dan sistem limbik
hasil: yang berfungsi mengatur emosi
1. Meningkatnya (Syamsudin & Kadir, 2021)
praktik ibadah • Agar pasien nisa memenuhi ritual
ritual ibadahnya walaupun sedang sakit
2. Ketenangan • Agar pasien bisa terus mampu
hati/ menguatkan diri dan sealalu
ketenangan memaknai kondisinya dengan
jiwa keyakinan yang postif.
79
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
3. Pasien memilki
harapan dan
makna positif
4. Kesejahteraan
spiritual:
bersyukur
5. Memilki
ketrampilan
interaksi social
yang baik
6. Pasien mampu
melakukan self-
healing mandiri
80
Tabel 3. 7
Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
Hari/ Implementasi Dan Catatan
Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan
4 instruksi yang diberikan dan dapat O Sudah terpasang tanda risiko tinggi
mengulang jatuh pada bed , mendekatkan bel dan
10. Membantu pasien melakukan menaikkan pinggiran bed
perawatan kuku A Masalah belum teratasi
83
R/ pasien sangat senang karena kukunya P Skoring dengan skala morsep POD2
bersih dan harum. Tangannya juga
11.20
menjadi lembut karena pelembab yang
4 diberikan oleh perawat
11. Menyediakan waslab dan ember
berisi air serta sebelumnya meminta
keluarga membawa alat pribadi
pasien seperti parfum, pelembab,
obat kumur.
R/keluarga pasien mengatakan mampu
melakukan perawatan diri mandi, makan
dan toileting secara mandiri. Anak pasien
mengatakan bahwa sebelumnya sudah
13.00 5 sering melakukannya. Pasien tampak
bersih wangi dan sudah berganti pakaian.
12. Pasien biasa minum Amlodipine
10mg – diberikan kepada pasien
13.50 3
untuk mengontrol tekanan darah Afdhal
Siang Diagnosa 3
1. Memeriksa kadar glukosa darah
84
6. Mengedukasikan pada pasien untuk membawa jeruk yang tidak asam dari
menjaga area luka agar tetap aman rumah
dan tertutup serta menyarankan O Rembesan mulai terlihat namun
pasien dan keluarga mengkonsumsi tidak banyak dan sampai menembus
makanan dari rumah sakit, namun A Masalah belum teratasi
jika ingin tetap membawa dari P Observasi tanda-tanda infeksi
rumah dianjurkan buah yang
mengandung vitamin C Diagnosa 7
18.00 6 R/ pasien dan keluarga paham dengan S Tidak ada keluhan
yang disampaikan perawat, dan keluarga O Skor: 60 (Resiko Tinggi Jatuh)
mengatakan akan membawa jeruk yang A Masalah belum teratasi
tidak asam dari rumah. P Skoring dengan skala morse POD3
7. Memberikan injeksi ceftriaxone 1 gr Libatkan keluarga atau memanggil
perawat setiap pasien mobilisasi di
tempat tidur
Afdhal
20.55 6
Malam Diagnosa 5
1. Memonitor tanda-tanda infeksi S Tidak ada keluhan sakit kepala
O Posisi pasien sudah head up 30o
86
Diagnosa 7
S Tidak ada keluhan
87
14.20 6
89
B. Pembahasan
Asuhan keperawatan Tn. R umur 67 tahun dengan diagnosa medis Post
Operative Debridement Craniotomy e.c. Multiple Vulnus+CKR dilakukan sejak
tanggal 29 November – 1 Desember 2021. Sebelum dilakukan operasi Tn. R, pasien
tidak bertemu dengan peneliti sehingga tidak sempat dilakukan pengkajian pada
fase sebelum operasi. Namun, terdapat data sekunder dari pihak rumah sakit berupa
data penunjang diagnostik yang dilakukaan sebelum pasien dioperasi.
1. Analisis Kondisi Tn. R saat Pre-Operasi
Pemeriksaan penunjang diagnostik dilakukan pada saat pasien masih di
unit gawat darurat dan di ruang rawat inap. Adapun beberapa pemeriksaan
penunjang yang dilakukan yaitu laboratorium imunoserologi lain, laboratorium
darah, hasil elektrokardiogram (EKG), foto thorax dan ct scan kepala.
Pada hasil laboratorium darah menunujukkan adanya peningkatan kadar
leukosit dengan peningkatan neutrophil dan penurunan pada limfosit. Neutrofil dan
limfosit merupakan komponen utama pada leukosit (Wulandari, 2019). Pasien
cedera kepala mengalami inflamasi sistemik yang mengaktifkan beberapa sitokin,
seperti TNF-α, IL-6, dan CD11d (Agustiawan & Al-Fajri, 2021). Peradangan
sistemik akan menyebabkan perubahan leukosit dalam sirkulasi khususnya
neutrofilia dengan limfositopenia relative (Sipahutar, 2021). Selama infeksi akut,
neutrofil merupakan garis depan pertahanan tubuh (Sipahutar, 2021). Pertahanan
antibakteri memerlukan neutrofil dalam jumlah memadai, mekanisme yang efektif
untuk menarik sel-sel ini ke tempat invasi mikroba (kemotaksis), dan kemampuan
neutrofil untuk memakan (fagositosis) dan menghancurkan penyerang (Sipahutar,
2021). Peningkataan produksi sel neutrofil akibat sitokin peradangan, akan
menghasilkan Arginase, Nitric Oxide (NO) dan Reactive Oxygen Species (ROS)
(Sipahutar, 2021). Ketiga senyawa ini akan menekan produksi dan menghambat
fungsi sitotoksik limfosit T dengan hasil akhir penurunan hitung limfosit absolut
(Sipahutar, 2021).
93
penelitiannnya bahwa ada hubungan lama menderita diabetes melitus >5 tahun
sebanyak 61,1% dengan kardiomegali pada penderita Diabetes Melitus tipe II dan
tidak ada hubungan menderita DM tipe II <5 tahun sebanyak 75% dengan yang
tidak kardiomegali pada penderita DM di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung Periode Januari-Desember 2013.
Pada tanggal 29 November 2021 pukul 02.00 pasien sudah mulai puasa
pre-operasi. Operasi berlansung pada pukul 09.10- 09.45. Pasien dioperasi dengan
diagnose pra-bedah scalp avulsion. Scalp Avulsion merupakan traumatis yang
terjadi pada lapisan kulit kepala akibat gaya tangensial dan sulit untuk
direkonstruksi. Pada Tn. R scalp avulsion terjadi akibat kepala terbentur dengan
sudut pagar yang struktur permukaannya tidak mulus hingga meimbulkan cedera
pada kulit kepala yang menembus hingga merobek lapisan pembuluh darah. Oleh
karena itu pasien dilakukan debridement craniotomy.
Tujuan pembedahan ini dilakukan untuk mengangkat bekuan darah
(hematom), untuk mengontrol perdarahan, mengurangi tekanan intracranial dan
menghilangkan semua jaringan yang rusak dari dasar luka untuk mempercepat
penyembuhan luka (Gulli. dkk, 2010 dalam Hastuti, 2019; Manna et al., 2022).
Manna et al., 2022 mengatakan debridement bedah tajam telah terbukti merangsang
angiogenesis dan mengatur ulang waktu yang tepat dari fase reepitelisasi luka
dengan memberikan trauma awal yang terlihat pada fase hemostasis penyembuhan
luka. Pada saat angiogenesis terjadi pertumbuhan pembuluh kapiler yang saling
terhubung membentuk vaskular yang bersifat tetap pada jaringan yang mengalami
perlukaan sehingga peran penting pada proses penghilangan debris, penyediaan
nutrien dan oksigen untuk proses metabolisme selama berlangsungnya proses
perbaikan jaringan pada daerah luka dapat terjadi (Fitrian, 2018).
2. Analisis Keperawatan Tn. R saat Post-Operasi
Saat melakukan pengkajian pada tanggal 29 November 2021, penulis
melakukan anamnesa mengenai identitas dan riwayat kesehatan pada Tn. R. Hasil
95
Craniotomy; (2) Nyeri Akut b.d. Agen Pencedera Fisik: Post Operasi Debridement
Craniotomy; (3) Ketidakstabilan Kadar Glukkosa Darah b.d. Disfungsi Pankreas:
Riwayat Diabetes Mellitus Tipe 2; (4) Defisit Perawatan Diri: Mandi; Toileting;
Makan b.d. Kelemahan Post Operasi Debridement Craniotomy; (5) Risiko Perfusi
Serebral Tidak Efektif d.d Cedera Kepala; Hipertensi; Post Operasi Debridement
Craniotomy; (6) Risiko Infeksi d.d. Post Operasi Debridement Craniotomy,
Riwayat Diabetes Melitus Tipe 2 (7) Risiko Jatuh d.d. Usia 67 Tahun, Riwayat
Jatuh 2 Hari Yang Lalu, Kekuatan Otot Menurun, Post Operasi Debridement
Craniotomy; Pasca Anestesi Umum, Lingkungann Tidak Aman: Lantai Licin; (8)
Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual.
a. Diagnosa Nausea
Masalah keperawatan nausea dapat muncul karena pasien selama
operasi berlangsung menerima induksi anestesi umum. Pasien-pasien dianestesi
umum mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami mual dan muntah
dibandingkan dengan pasien yang menggunakan jenis anestesi lain (Islam &
Jain, 2004; Indrawati, 2010 dalam Rihiantoro et al., 2018). Beberapa medikasi
yang ditermia pasien selama anestesi yaitu: propofol 130 mg, fentanyl 100𝜇m,
atracurium 30mg, dexa I, Tramadol 200 mg, ketorolac dan
isoflurance+N20+O2. Karnina & Ismah, 2021 juga mengatakan bahwa
tramadol menunjukkan peningkatan risiko Post-Operatif Nausea-Vomiting
(PONV) dan kejang.
Perjalanan penyakit pada PONV bisa menjadi kompleks dan bervariasi
untuk pasien yang berbeda. Pusat muntah di otak terletak di medula oblongata
yang dapat dirangsang oleh empat area yaitu saluran cerna, korteks serebri dan
talamus, daerah vestibular, dan chemoreceptor trigger zone (CRTZ) (Becker,
2010 dalam Whitley, 2019). Obat opiate misalnya yang diterima pasien yaitu
fentanyl, diterima selama dan setelah operasi dapat menyebabkan mual dan
muntah terutama melalui CRTZ serta saluran pencernaan (De Pradier, 2006;
97
Whitley, 2019). CRTZ terletak dekat dengan pusat muntah di otak dan unik
karena tidak dilindungi oleh sawar darah otak seperti struktur otak lainnya
(Becker, 2010 dalam Whitley, 2019). Perubahan kimia dalam darah dapat
mempengaruhi CRTZ dan menyebabkan muntah. Induksi gastrointestinal mual
dan muntah dihasilkan oleh hilangnya tonus pada serat lambung sehingga
memperlambat pengosongan lambung (De Pradier, 2006; Whitley, 2019).
Berdasarkan asessmen pra-anestesi, status fisik Tn, R diklasifikasikan
sebagai status fisik ASA 2 karena pasien memiliki riwayat hipertensi dan
diabetes mellitus yang terkontrol. Menurut (Karnina & Ismah, 2021)
mengatakan bahwa klasifikasi status ASA kemungkinan berkaitan dengan
resiko kejadian PONV, dimana pasien yang diklasifikasikan sebagai status
ASA I dan II (mempunyai status fisik lebih baik) lebih sering mengalami
kejadian PONV dibandingkan pasien yang mempunyai komorbiditas dan
berada pada status ASA III atau lebih. Pasien yang berada pada status ASA III
dan lebih memiliki setidaknya satu penyakit sistemik sedang hingga berat, salah
satu contohnya yaitu penyakit DM yang tidak terkontrol (Karnina & Ismah,
2021). Pada DM yang tidak terkontrol dapat terjadi neuropati saraf otonom, hal
ini dapat menyebabkan saraf aferen yang menerima rangsangan mual muntah
tidak sensitif sehingga terdapat gangguan penghantaran sinyal dari rangsangan
ke pusat muntah di batang otak dan karena itu pasien yang memiliki penyakit
sistemik berat biasanya memiliki batas ambang mual muntah yang lebih baik
daripada pasien yang sehat (Karnina & Ismah, 2021).
Antiemetik yang digunakan untuk mengobati PONV dapat bervariasi
dalam efektivitas dan seringkali memiliki efek samping yang tidak diinginkan
(Briggs et al., 2016). Pada Tn. R saat di recovery room, ia sempat mendapatkan
terapi ondansentron. Becker, 2010 dalam Whitley, 2019 mengatakan bahwa
ondansetron merupakan golongan obat antiemetik antagonis 5-HT3 (serotonin)
yang paling umum digunakan. Ondansetron ialah obat selektif yang
menghambat sebuah ikatan anatar serotonin, dan reseptor 5-HT3. Obat jenis
98
Nyeri lambat disalurkan oleh serat aferen C dan dirasakan 1 detik setelah
rangsangan yang mengganggu. Nyeri lambat memiliki lokalisasi yang kurang
jelas dengan kualitas seperti terbakar, berdenyut, atau pegal. Nyeri lambat dapat
dipicu oleh rangsangan mekanis, suhu, atau kimiawi di kulit atau sebagian besar
jaringan atau organ dalam dan biasanya disertai kerusakan jaringan. Karena
sistem persarafan nyeri yang ganda ini, maka cedera jaringan sering
menimbulkan dua sensasi nyeri yang tersendiri: nyeri tajam yang lebih awal
(disalurkan oleh serat A-𝛿) diikuti oleh nyeri tumpul, seperti terbakar, yang
sedikit banyak berkepanjangan (disalurkan oleh serat nyeri C).
Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda dan kemudian kembali
menyatu di kornu dorsalis (posterior) medula spinalis. Daerah ini menerima,
menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Kornu dorsalis medula spinalis
dibagi menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut lamina. Dua dari lapisan ini
(lamina II dan III), yang disebut substansia gelatinosa, sangat penting dalam
transmisi dan modulasi nyeri. Substansia gelatinosa dihipotesiskan merupakan
suatu tempat mekanisme gerbang yang dijelaskan dalam teori pengendalian
gerbang (lihat pembahasan selanjutnya).
Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf
desendens dari otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medula
spinalis. Modulasi juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan
atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. Daerah-daerah
tertentu di otak itu sendiri mengendalikan atau memengaruhi persepsi nyeri:
hipotalamus dan struktur limbik berfungsi sebagai pusat emosional persepsi
nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan interpretasi dan respons rasional
terhadap nyeri. Namun, terdapat variasi yang luas dalam cara individu
mempersepsikan nyeri. Salah satu penyebab variasi ini adalah karena sistem
saraf pusat (SSP) memiliki beragam mekanisme untuk memodulasi dan
menekan rangsangan nosiseptif. Akhirnya, persepsi nyeri adalah pengalaman
102
pasien nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri
oleh saraf.
Saat pengkajian pasien juga tampak gelisah disertai meringis, tampak
sangat fokus dan hati-hati terhadap kepalanya, nyeri dirasakan pada hingga
belakang leher, nyeri disertai keluhan pusing, karakteristik nyeri seperti
ditusuk-tusuk, diaphoresis, nyeri dirasakan terutama saat pasien berusaha
ambulasi, nilai tekanan darah abnormal= 140/80 mmHg.
Respon pasien saat dilakukan pengkajian sejalan dengan Wilson &
Hartwig, 2012 yang menyampaikan bahwa sensasi nyeri memiliki fungsi
protektif, memicu respons terhadap stres berupa penarikan, melarikan diri, atau
imobilisasi bagian tubuh. Namun, apabila fungsi protektioni sudah selesai,
nyeri yang berlanjut dapat memperlemah pasien, karena sering disertai oleh
suatu respons stres berupa meningkatnya rasa cemas, gelisah, denyut jantung,
tekanan darah, dan kecepatan pernapasan (Wilson & Hartwig, 2012).
Dalam menetukan derajat nyeri pada Tn. R, penulis juga menggunakan
numeric rating scale yaitu dengan meminta Tn. R memilih angka 0-10 untuk
mendakan tingkat nyeri yang dirasakannya. Skala 0 menunjukkan tidak adanya
nyeri, skala 5 menunjukkan nyeri sedang dan 10 menujukkan nyeri hebat. Skala
nyeri pada Tn. R adalah 5 (0-10). Mengamati ekspresi wajah pasien,
mendengarkan tangisan atau erangan, dan mengamati tanda-tanda vital
(misalnya, tekanan darah, kecepatan denyut jantung) juga dapat memberi
petunjuk mengenai derajat nyeri yang dialami pasien. Namun, pengamatan-
pengamatan di atas sangat tidak dapat diandalkan, sehingga pasien berisiko
mendapat terapi nyeri yang kurang adekuat (Wilson & Hartwig, 2012).
Berdasarkan hasil analisis data, penulis menyiapkan aromaterapi lavender
dan teknik napas dalam sebagai tindakan keperawatan untuk menurunkan
intensitas dan skala nyeri pada Tn. R. Teknis pemberian aromaterapi lavender
dalam menurunkan intensitas dan skala nyeri tetap sama dengan teknis ketika
penulis menangani mula muntah post operasi pada Tn. R, yaitu menggunakan
103
diffuser. Namun waktu saat pemberian lebih singkat, hanya 15 menit (Hayati &
Hartiti, 2021)
Aromaterapi yang digunakan melalui dihirup akan masuk ke sistem
limbic dimana nantinya aroma akan diproses sehingga kita dapat mencium
baunya. Pada saat kita menghirup suatu aroma, komponen kimianya akan
masuk ke bulbus olfactory, kemudian ke limbic sistem pada otak. Limbic adalah
struktur bagian dalam dari otak yang berbentuk seperti cincin yang terletak di
bawah cortex cerebral. Tersusun ke dalam 53 daerah dan 35 saluran atau tractus
yang berhubungan dengannya, termasuk amygdala dan hipocampus. Sistem
limbic sebagai pusat nyeri, senang, marah, takut, depresi, dan berbagai emosi
lainnya (Karlina et al., 2014 dalam Hayati & Hartiti, 2021).
Terapi pemberian aromaterapi lavender menjadi tindakan
nonfarmakologi yang berguna untuk mengurangi nyeri pasien tanpa menunggu
obat dan terbukti setelah pemberian terapi aromaterapi lavender yang dilakukan
selama 3 hari, nyeri pasien ulkus granulosum post op debridement dapat
menurun (Hayati & Hartiti, 2021). Zat aktif yang terkandung didalam aroma
terapi lavender akan merangsang hipotalamus untuk memproduksi dan
mengeluarkan endorpin proses ini terjadi pada saat aroma terapi dihisap (Hayati
& Hartiti, 2021). Endorpin sebagai zat yang menimbulkan rasa tenang, relaks,
dan bahagia, endorpin dikenal dengan hormon kebahagiaan dan memiliki efek
sebagai analgetik (Anwar et al., 2018).Setelah perawat melakukan pemberian
aromaterapi selama 15 menit pada pasien didapatkan adanya penurun skala
nyeri menjadi 3 (0-10).
Teknik relaksasi napas dalam atau teknik napas dalam, juga penulis
berikan perlakuan dan edukasi pada Tn. R. Respon pasien dan keluarga setelah
diberikan edukasi menunjukan pemahaman mampu untuk mengulang kembali
teknik relaksasi napas dalam. Teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik relaksasi terdiri
atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat
104
wib. Menurut Hipszer et al., 2017 bahwa puasa perioperatif adalah penyebab
paling umum dari hipoglikemia perioperatif dan hipoglikemia pasca operasi
dapat dialami seseorang tanpa diduga pada individu diabetes dan non-diabetes.
Selain itu, Bernard et al., 2009 dalam Hipszer et al., 2017 juga menambahkan
bahwa agen anestesi pada periode perioperatif jarang menyebabkan
hipoglikemia, sehingga riwayat anestesi pasien kemungkinan tidak ada
kaitannya dengan kondisi hipoglikemia pada Tn. R.
Berdasarkan data pengkajian, Tn. R berusia 67 tahun. Menurut Hipszer
et al., 2017 kelompok lansia dan perlu pertimbangan khusus. Penuaan dapat
menumpulkan respons kontra-regulasi, mekanisme yang memungkinkan tubuh
untuk menghindari hipoglikemia dengan mengurangi sekresi insulin dan
meningkatkan produksi glukosa, sementara respons kontra-regulasi yang utuh
dan kuat dapat menekankan sistem kardiovaskular selama episode
hipoglikemik (Frier et al., 2011 dalam Hipszer et al., 2017).
Menurut Paluchamy, 2020; Yale et al., 2018 dalam Rusdi, 2020, nilai
glukosa darah dengan rentang 54-70 mg/dL, berdasarkan tingkat keparahannya
merupakan kategori hipoglikemia ringan. Pada pasien dengan hipoglikemia
ringan, pasien dapat melakukan pengobatan secara mandiri (Rusdi, 2020). Pada
salah satu rencana tidakan keparawatan pada manajemen hipoglikemia yang
akan dilakukan perawat adalah melakukan kolaborasi dengan nutrisionis terkait
pemberian karbohidrat kompleks dan protein sesuai diet. Hal ini didukung oleh
Rusdi, 2020 yang menyatakan bahwa beberapa terapi yang dapat dilakukan
pada pasien dengan hipoglikemia ringan-sedan, tiga diantarannya yaitu: (1)
Pemberian makanan tinggi glukosa (karbohidrat); (2) Ketika terapi
hipoglikemia, pilihan karbohidrat menjadi penting; (3) Karbohidrat kompleks
atau makanan yang mengandung lemak bersamaan dengan karbohidrat (seperti
coklat) dapat memperlambat absorbsi glukosa dan tidak boleh digunakan pada
kasus hipoglikemia yang darurat. Dari Tabel 3. 7 Implementasi dan Evaluasi
Keperawatan, setelah perawat melakukan kolaborasi dengan nutrisionis, pada
106
diberikan posisi head up 30o pasien merasa lebih nyaman dan dapat beristirahat
dengan nyaman, hal tersebut dapat membuat hemodinamik pasien lebih stabil.
Dimana posisi head up 30o atau elevasi kepala 30o dilakukan selama 30 menit,
kemudian melihat saturasi oksigen yang ada di bedsite monitor terpantau
selama 30 menit (Hasan, 2018.
Tabel 3. 7 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan menunjukkan terdapat
penurunan tekanan darah yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan
posisi head up 30o. Sehingga dapat disimpulkan bahwa posisi head up 30o
mampu mengatasi masalah keperawatan risiko perfusi serebral tidak efektif
pada Tn. R
f. Diagnosa Risiko Infeksi
Masalah Keperawatan yang keenam adalah risiko infeksi karena Tn. R
memiliki luka operasi pada luka operasi pada kepalanya dan memiliki riawayat
diabetes mellitus. Luka operasi adalah terputusnya kontinuitas jaringan melalui
sayatan dilanjutkan dengan tindakan tertentu, kemudian diakhiri dengan
penutupan dan penjahitan luka (Riana & Jeffrey, 2021). Luka operasi akan
mengalami penyembuhan primer (primary intention) yaitu tepi luka bisa
menyatu kembali, permukaan bersih, tidak ada jaringan yang hilang dan juga
penyembuhan (secondary intention) yaitu sebagian jaringan hilang, proses
penyembuhan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi di dasar
luka dan sekitarnya (Mustamu et al., 2020; Riana & Jeffrey, 2021). Faktor-
faktor yang mendasari seperti usia pasien dan adanya komorbiditas kronis yang
mendasari, beberapa luka tidak mengikuti proses penyembuhan normal.
Penuaan dapat menganggu semua tahap penyembuhan luka karena
terjadi perubahan vaskuler yang menganggu sirkulasi ke daerah luka,
penurunan fungsi hati menganggu sintesis faktor pembekuan, respons inflamasi
lambat, pembentukan antibodi dan limfosit menurun, jaringan kolagen kurang
lunak, jaringan parut kurang elastic (Riana & Jeffrey, 2021). Peningkatan risiko
infeksi daerah operasi pada pasien DM dikaitkan dengan abnormalitas dari
109
1) Rubor (Kemerahan)
Rubor adalah kemerahan, ini terjadi pada area yang mengalami infeksi
karena peningkatan aliran darah ke area tersebut sehingga menimbulkan warna
kemerahan.
2) Calor (Panas)
Kalor adalah rasa panas pada daerah yang mengalami infeksi akan terasa
panas, ini terjadi karena tubuh mengkompensasi aliran darah lebih banyak ke
area yang mengalami infeksi untuk mengirim lebih banyak antibody dalam
memerangi antigen atau penyebab infeksi.
3) Tumor (Bengkak)
Tumor dalam konteks gejala infeksi bukan sel kanker seperti yang
umum dibicarakan akan tetapi pembengkakan yang terjadi pada area yang
mengalami infeksi karena meningkatnya permeabilitas sel dan meningkatnya
aliran darah.
4) Dolor (Nyeri)
Dolor adalah rasa nyeri yang dialami pada area yang mengalami infeksi,
ini terjadi karena sel yang mengalami infeksi bereaksi mengeluarkan zat
tertentu sehingga menimbulkan nyeri. Rasa nyeri mengisyaratkan bahwa terjadi
gangguan atau sesuatu yang tidak normal jadi jangan abaikan nyeri karena
mungkin saja ada sesuatu yang berbahaya.
Pada tanggal 1 Desesmber 2021, beberapa menit setelah perawat
melakukan operan. DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan Pasien)
melakukan kunjungan pada Tn. R sekaligus membuka balutan dan melakukan
perawatan luka post operasi pada kepalanya. Jika dihitung sejak hari operasi,
perawatan luka dilakukan pada hari ketiga post operasi. Mustamu et al., 2020
menyatakan metode perawatan luka modern dilakukan 3-5 hari
sekali/tergantung jenis luka dan kotornya balutan. Perawatan luka dengan
metode modern adalah metode penyembuhan luka dengan cara memperthatikan
kelembababan luka (moist wound healing) dengan menggunakan tehnik okulsif
111
bagian kepala. Hal ini sejalan dengan (Dewi & Anugerah, 2020) yang
menyatakan bahwa pada kondisi tertentu, bagi orang yang sedang sakit, wudhu
tidak mampu dilakukan maka cara bersuci yang dilakukan bisa dengan
tayamum. Dasar bertayamum adalah al-Qur’an surah al-Maidah (5):6, yang
artinya:
Dalam arti ayat diatas digunakan kata: (sho’idan) bukan: (turobun). Ini
berarti tanah kering yang berdebu. Kata sha’id dapat mencakup pengertian yang
luas bukan saja debu yang berasal dari tanah yang sengaja dikeringkan
melainkan juga debu-debu halus lainnya yang dapat menempel pada berbagai
permukan benda seperti batu, dinding, kaca dan lain-lain (Dewi & Anugerah,
2020).
Berdasarkan hasil pengkajian, pasien mengatakan bahwa sakit yang
dialami pasien adalah pemberian dari Allah, sama seperti kesehatan juga dari
Allah, sehingga pasien merasa harus selalu sabar karena sakit juga merupakan
salah satu ujian dan nikmat dari Allah. Dari pernyataan tersebut tampak
kerendahan hati dan kepercayaan kepada Allah dengan sikap sabar dan tetap
bersyukur atas kondisinya walaupun sedang sakit. Menurut Dewi & Anugerah,
2020, kesabaran adalah bagian penting dari iman, kesabaran terhadap
penderitaan yang dialami nya merupakan situasi dimana seseorang berada pada
keyakinan akan kasih sayang Allah Subhanallahu wa ta’ala. Dewi &
Anugerah, 2020 juga mengatakan bahwa kesabaran erat kaitannya dengan rasa
syukur. Firman Allah Subhanallahu wa ta’ala dalam surat Luqman ayat 31,
115
Selain itu, bentuk penerimaan pasien ikhtiar berobat dan ikhtiar untuk sembuh
selama masa perawatan.
Bimbingan doa dilakukan saat pergatian shift, sebelum minum obat dan sesudah
minum obat. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya, Ad-Daa' Wad
Dawaa, menyebutkan bahwa do'a termasuk sebab untuk mendapatkan
keinginan dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, meski demikian,
kadang do'a tidak memberikan dampak apapun, disebabkan do'a tersebut
mengandung kezaliman atau memutuskan silaturahim, bahkan do'anya sendiri
memang lemah karena tidak adanya ketundukan hati pendo'anya, akibat
kelalain, atau disebabkan sesuatu yang menghalangi sebab terkabulnya do'a
seperti kemaksiatan, makanan dan minuman yang haram, terkuasai hawa nafsu.
Abu Hurairah r.a. dalam (Dewi & Anugerah, 2020), mengatakan bahwa
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda,
Psikoterapi yang penulis berikan pada pasien adalah terapi murottal al-
Qur’an. Murottal adalah rekaman suara Al-Qur’an yang dilagukan oleh seorang
qori’(Syamsudin & Kadir, 2021). Suara AlQur’an ibarat gelombang suara yang
memiliki ketukan dan gelombang tertentu, menyebar dalam tubuh kemudian
menjadi getaran yang bisa mempengaruhi fungsi gerak sel otak dan membuat
keseimbangan didalamnya (Syamsudin & Kadir, 2021). Sesuatu yang
terpengaruh dengan tilawah Al-Qur’an, getaran neuronnya akan stabil kembali.
AlQur’an mempunyai beberapa manfaat karena terkandung beberapa aspek
yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan antara lain: mengandung unsur
meditasi, autosugesti dan relaksasi (Ernawati, 2013 dalam Syamsudin & Kadir,
2021).
118
dari kondisi sakitnya dan usianya yang sudah tidak lagi muda. Bahkan ia selama
di rumah sakit, tidak sekalipun pernah melalaikan ibadahnya. Pasien mampu
menjaga kesejahteraan spiritualnya karena selalu tenang, ikhlas, sabar dan
penuh rasa syukur selama menjalani perawatan. Di samping itu, penulis turut
bisa melihat bahwa dukungan keluarga atau peran keluarga sebagai support
system terhadap Tn. R begitu kuat dan berpengaruh terhadap kesejahteraan
spiritual pasien. Hal tersebut sejalan dengan penelitian terdahulu Febriana et
al., 2019 yang menemukan bahwa adanya hubungan dukungan keluarga dengan
pemenuhan kebutuhan spiritual lansia.
3. Hambatan dan Alternatif Penyelesaian Masalah yang Penulis Lakukan
Hambatan yang penulis temukan dan alternatif penyelesaian masalah yang
penulis lakukan selama pemberian asuhan keperawatan pada Tn. R antara lain:
a. Kurangnya pengalaman dan pengetahuan penulis mengenai anestesi dan
komplikasi pasca operasi sehingga penulis agak kesulitan dalam menyusun
asuhan keperawatan. Penyelesaian dilakukan penulis dengan cara
konsultasi dengan dosen pembimbing, alumni dan rekan sesama mahasiswa
yang menguasai di bidang tersebut.
b. Kurangnya pengalaman dan pengetahuan penulis saat melakukan home
visite, disamping itu penulis kurang mencari sumber informasi sehingga
saat penulis melakukan home visite kurang mendapatkan hasil evaluasi
yang maksimal. Penyelesaian dilakukan penulis dengan cara melanjutkan
implementasi melalui whatsapp.
c. Sumber literasi yang terbatas karena dominan penelitian yang sesuai dengan
kondisi Tn. R terbit tahun < 2017. Penyelesaian dilakukan penulis dengan
cara memperluas akses pencarian penelitian dengan menggunakan bahasa
asing, seperti Malay dan English. Selain itu, penulis juga menggunakan
lebih banyak database penelitian international.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Asuhan keperawatan Tn. R umur 67 tahun dengan diagnosa medis Post
Operative Debridement Craniotomy e.c. Multiple Vulnus+CKR dilakukan sejak
tanggal 29 November – 1 Desember 2021. Berdasarkan hasil analisis pembahasan
pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengkajian pada Tn. R. Hasil anamnesa didapakan Tn. R umur 67 tahun
dengan diagnoseavmedis Post Operative Debridement Craniotomy e.c.
Multiple Vulnus+CKR. Keadaan umum pasien lemah dan mengantuk,
kesadaran composmentis yang artinya pasien memilki kesadaran penuh dan
masih stabil.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn.R adalah: (1) Nausea b.d. efek
agen farmakologi: pasca anestes umum atas indikasi Postoperative Nausea &
Vomiting (PONV) Post Operasi Debridement Craniotomy; (2) Nyeri Akut b.d.
Agen Pencedera Fisik: Post Operasi Debridement Craniotomy; (3)
Ketidakstabilan Kadar Glukkosa Darah b.d. Disfungsi Pankreas: Riwayat
Diabetes Mellitus Tipe 2; (4) Defisit Perawatan Diri: Mandi; Toileting; Makan
b.d. Kelemahan Post Operasi Debridement Craniotomy; (5) Risiko Perfusi
Serebral Tidak Efektif d.d Cedera Kepala; Hipertensi; Post Operasi
Debridement Craniotomy; (6) Risiko Infeksi d.d. Post Operasi Debridement
Craniotomy, Riwayat Diabetes Melitus Tipe 2 (7) Risiko Jatuh d.d. Usia 67
Tahun, Riwayat Jatuh 2 Hari Yang Lalu, Kekuatan Otot Menurun, Post Operasi
Debridement Craniotomy; Pasca Anestesi Umum, Lingkungann Tidak Aman:
Lantai Licin; (8) Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual.
3. Hasil intervensi dan implementasi setelah diberikan beberapa terapi
komplementer dan alternatif, pasien menunjukkan pemulihan dan kepuasan.
Terapi komplementer dan alternatif tersebut antar lain: Pemberian aromaterapi
120
121
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan di antaranya:
1. Instansi akademik sebaiknya menambahkan lebih banyak materi terkait
keperawatan home care, keperawatan perioperatif dan pengetahuan umum
terkait anestesi sehingga mahasiswa memiliki bekal ilmu yang cukup dalam
memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif.
2. Intansi Rumah Sakit sebaiknya melakukan pemberian aromaterapi lavender
kepada pasien post operasi yang mengeluh mual, munta dan nyeri. Perawat juga
122