Anda di halaman 1dari 146

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.

R DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERSARAFAN: POST OPERATIVE HARI KE-1 ATAS INDIKASI
DEBRIDEMENT CRANIOTOMY E.C. MULTIPLE VULNUS +
CEDERA KEPALA RINGAN

KARYA ILMIAH AKHIR

Oleh:

AFDHALUN NISA’
NIM. 402021038

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
BANDUNG
2022
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. R DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERSARAFAN: POST OPERATIVE HARI KE-1 ATAS INDIKASI
DEBRIDEMENT CRANIOTOMY E.C. MULTIPLE VULNUS +
CEDERA KEPALA RINGAN

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Studi Profesi Ners


Universitas `Aisyiyah Bandung

Oleh:

AFDHALUN NISA’
NIM. 402021038

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan rasa


syukur atas limpahan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dap[at menyusun karya
ilmiah akhir ini yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Tn. R dengan Gangguan
Sistem Persarafan: Post Operative Hari Ke-1 atas Indikasi Debridement
Craniotomy e.c. Multiple Vulnus + CKR. Banyak pihak yang telah membantu dalam
penyusunan karya ilmiah akhir ini, karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada
yang terhormat:
1. Tia Setiawati, S.Kp.,M.Kep.Ns.,Sp.Kep.An selaku Rektor Universitas ‘Aisyiyah
Bandung yang telah memberikan kesempatan untuk belajar dan menyelesaikan studi
di Prodi Profesi Ners Universitas ‘Aisyiyah Bandung.
2. Poppy Siti Aisyah, S.Kep.Ners.,M.Kep sebagai Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas ‘Aisyiyah Bandung yang telah memberikan ilmu dan arahan serta
motivasi sehingga penulis pun mendapatkan ilmu tambahan yang sangat
bermanfaat.
3. Riandi Alvin, S.Kep.Ners.,M.Kep sebagai Koordinator Prodi Profesi Ners sekaligus
Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan inspirasi, bimbingan serta
motivasi untuk semangat dalam belajar dan menyelesaikan tugas-tugas selama
kuliah profesi.
4. Anggriyana Tri Widianti, S.Kep.Ners.,M.Kep sebagai Pembimbing Karya Ilmiah
Akhir yang senantiasa memberikan masukan, ide-ide serta motivasi untuk
bersemangat dalam penyusunan dan memahami dasar penelitian ini.
5. Teh Ratih sebagai CI Klinik Ruang Rawat Inap Multazam 2 RS Muhammadiyah
Bandung yang senantiasa memberikan masukan, bimbingan serta penuh rasa sabar
dan semangat sehingga penilitian ini berjalan dengan lancar.
6. Pak H. Iwan sebagai Kepala Ruangan serta rekan perawat lainnya yang bertugas di
Rawat Inap Multazam 2 RS Muhammadiyah Bandung yang senantiasa memberikan

i
dukungan, bimbingan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama melakukan
penelitian.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih belum sempurna, dari
isi maupun sistematika penulisannya, maka dari itu penulis sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang positif untuk kesempurnaan karya ilmiah akhir ini.

Bandung, 06 Juni 2022

Afdhalun Nisa’

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

AFDHALUN NISA
402021038

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. R DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERSARAFAN: POST OPERATIVE HARI KE-1 ATAS INDIKASI
DEBRIDEMENT CRANIOTOMY E.C. MULTIPLE VULNUS +
CEDERA KEPALA RINGAN

Lembar Tugas Akhir ini telah disetujui untuk dipertahankan


pada sidang laporan tugas akhir
Tanggal 19 Juli 2022

Oleh
Pembimbing:

Anggriyana Tri W, M.Kep


NPP. 2009250984029

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa Karya Ilmiah Akhir yang
berjudul:

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. R DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERSARAFAN: POST OPERATIVE HARI KE-1 ATAS INDIKASI
DEBRIDEMENT CRANIOTOMY E.C. MULTIPLE VULNUS +
CEDERA KEPALA RINGAN

Disusun Oleh
Afdhalun Nisa
402021038

Telah disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Sidang Karya Ilmiah Akhir
Program Studi Profesi Ners Universitas ‘Aisyiyah Bandung dan dinyatakan telah
memenuhi syarat untuk diterima
Bandung, 19 Juli 2022

Penguji I Penguji II

Riandi Alvin, S.Kep., Ners., M.Kep Angga Wilandika, S.Kep., Ners., M.Kep
NPP. 2019310890073 NPP. 2011180886043

Diketahui Oleh
Ketua Program Studi Profesi Ners
Universitas ‘Aisyiyah Bandung

Nina Gartika, S.Kp.,M.Kep.


NPP. 2014290478050

iv
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini


Nama : Afdhalun Nisa
NIM : 402021038
Program Studi : Profesi Ners

Dengan ini menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiatisme atau


penjiplakan/pengambilan karangan, pendapat atau karya orang lain dalam penulisan
Karya Ilmiah Akhir yang berjudul:

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. R DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERSARAFAN: POST OPERATIVE HARI KE-1 ATAS INDIKASI
DEBRIDEMENT CRANIOTOMY E.C. MULTIPLE VULNUS +
CEDERA KEPALA RINGAN”

Apabila suatu saat nanti saya terbukti melakukan plagiatisme, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya
ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan kesadaran sendiri dan tidak dalam
tekanan ataupun paksaan dari pihak manapun demi menegakkan integritas akademik
di institusi ini.

Bandung, 19 Juli 2022


Yang membuat pernyataan,

(Afdhalun Nisa)

v
ABSTRAK

Afdhalun Nisa
402021038

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. R DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERSARAFAN: POST OPERATIVE HARI KE-1 ATAS INDIKASI
DEBRIDEMENT CRANIOTOMY E.C. MULTIPLE VULNUS + CEDERA
KEPALA RINGAN

IV; 2022; 122 halaman; 1 gambar;18 tabel; 2 lampiran

Cedera kepala yang terjadi secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala dapat
mengakibatkan luka di kulit kepala, sehingga perlu dilakukan debridement craniotomy
untuk menghentikan pendarahan dan mempercepat penyembuhan luka. Setelah
tindakan operasi, pasien selama di ruang rawat inap, mengeluh mual muntah pasca
operasi (PONV) dan nyeri. Tujuan karya ilmiah akhir ini untuk mendeskripsikan
asuhan keperawatan holistik islami secara komprehensif dengan pendekatan ilmiah
pada Tn. R dengan gangguan sistem persarafan: postoperative hari ke-1 atas indikasi
debridement craniotomy e.c. multiple vulnus + cedera kepala ringan. Metode penelitian
yang digunakan adalah deskriptif dengan pengumpulan data melalui wawancara,
pemeriksaan fisik dan studi literature. Hasil pengkajian menunjukkan adanya keluhan
mual muntah muntah pasca operasi (PONV) dan nyeri pada Tn. R. Diagnosa
keperawatan utama yang muncul pada Tn. R adalah nausea, nyeri akut, ketidakstabilan
kadar glukosa darah dan deficit perawatan diri. Hasil intervensi dan implementasi
setelah diberikan beberapa terapi komplementer dan alternatif antara lain: Pemberian
aromaterapi lavender selama 40 menit mampu mengatasi pada nausea dan pemberian
aromaterapi selama 15 menit dapat menurunkan skala nyeri pada nyeri akut; Pemberian
karbohidrat kompleks dan protein sesuai diet pada ketidakstabilan kadar glukosa darah;
Dukungan keluarga saat pemnuhan kebutuhan perawatan diri pasien pada defisit
keperawatan diri: mandi, toileting, makan. Pada penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa pada pemberian aromaterapi lavender pada pasien post operasi efektif
mengatasi keluhan mual muntah pasca operasi (PONV) dan nyeri. Diharapakan pihak
rumahsakit untuk memberika aromaterapi lavender kepada pasien post operasi yang
mengeluh mual, muntah (PONV) dan nyeri.

Kata kunci: aromaterapi lavender, debridement craniotomy, post operasi, terapi


komplementer

vi
ABSTRACT

Afdhalun Nisa
402021038

NURSING CARE FOR MR. R WITH NERVOUS SYSTEM DISORDERS: FIRST


DAY OF POSTOPERATIVE ON INDICATIONS OF DEBRIDEMENT
CRANIOTOMY E.C. MULTIPLE WOUNDS +MILD HEAD INJURY

IV; 2022; 122 pages; 1 pitcure; 18 tables; 2 attachments

Head injuries that occur directly or indirectly on the head can result in injuries to the
scalp, so a craniotomy debridement is necessary to stop bleeding and accelerate wound
healing. After the operation, the patient was in the inpatient room, complaining of
postoperative nausea and vomiting (PONV) and pain. The purpose of this final
scientific work is to describe comprehensive Islamic holistic nursing care with a
scientific approach to Mr. R with nervous system disorders: first day of postoperative
on the indication of debridement craniotomy e.c. multiple wounds + minor head injury.
The research method used is descriptive with data collection through interviews,
physical examinations, and literature studies. The results of the study showed
complaints of postoperative nausea and vomiting (PONV) and pain in Mr. R. The main
nursing diagnosis that Mr. R stands for nausea, acute pain, unstable blood glucose
levels, and self-care deficit. The results of the intervention and implementation after
being given several complementary and alternative therapies include: Giving lavender
aromatherapy for 40 minutes can overcome nausea and giving aromatherapy for 15
minutes can reduce pain scale in acute pain; Administration of complex carbohydrates
and protein according to the diet in unstable blood glucose levels; Family support
when meeting the patient's self-care needs in self-care deficits: bathing, toileting,
eating. In this study, it can be concluded that giving lavender aromatherapy to
postoperative patients is effective in overcoming complaints of postoperative nausea
and vomiting (PONV) and pain. It is hoped that the hospital will provide lavender
aromatherapy to postoperative patients who complain of nausea, vomiting (PONV),
and pain.

Keywords: debridement craniotomy, complementary therapy, lavender aromatherapy,


postoperative

vii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ v
ABSTRAK .................................................................................................................. vi
ABSTRACT ............................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL........................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Tujuan......................................................................................................... 5
1. Tujuan Umum ..................................................................................... 5
2. Tujuan Khusus .................................................................................... 5
C. Sistematika Penulisan................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN TEORITIS ................................................................................ 7
I. Konsep Dasar Penyakit Cedera Kepala ...................................................... 7
A. Definisi Cedera Kepala ....................................................................... 7
B. Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan .................................................. 7
C. Etiologi dan Faktor Risiko ................................................................ 15
D. Klasifikasi ......................................................................................... 15
E. Patofisiologis ..................................................................................... 17
F. Manajemen Medis ............................................................................. 18
G. Manajemen Bedah............................................................................. 20
H. Perawatan Mandiri ............................................................................ 21
I. Rehabilitasi........................................................................................ 21
J. Modifikasi pada Klien Lansia ........................................................... 21
K. Konsep Debridement......................................................................... 22
L. Konsep Craniotomy .......................................................................... 23

viii
M. Pengaruh Anestesi Umum terhadap Post-Operatif Nausea-Vomiting
(PONV) ............................................................................................. 25
II. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Cedera Kepala ...................... 26
A. Pengkajian ......................................................................................... 26
B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan yang Muncul........................ 40
III. Evidence Base Nursing Aromaterapi Lavender Terhadap Mual Muntah 49
BAB III TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN ............................................ 53
A. Laporan Asuhan Keperawatan ................................................................. 53
1. Pengkajian ......................................................................................... 53
PATHWAYS ............................................................................................ 66
2. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan Prioritas .................................. 67
3. Rencana Tindakan Keperawatan ....................................................... 68
4. Implementasi dan Evaluasi ............................................................... 80
B. Pembahasan .............................................................................................. 92
1. Analisis Kondisi Tn. R saat Pre-Operasi........................................... 92
2. Analisis Keperawatan Tn. R saat Post-Operasi................................. 94
3. Hambatan dan Alternatif Penyelesaian Masalah yang Penulis
Lakukan ........................................................................................... 119
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 120
A. Kesimpulan............................................................................................. 120
B. Saran ...................................................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Glasgow Coma Scale _______________________________________ 17


Tabel 2. 2 Panduan Pengkajian Neurologis _______________________________ 33
Tabel 2. 3 Intervensi Nausea __________________________________________ 40
Tabel 2. 4 Intervensi Nyeri Akut _______________________________________ 42
Tabel 2. 5 Intervensi Defisit Keperawatan Diri ____________________________ 43
Tabel 2. 6 Intervensi Ketidakstabilan Kadar Glukkosa Darah _________________ 44
Tabel 2. 7 Intervensi Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif __________________ 45
Tabel 2. 8 Intervensi Risiko Infeksi _____________________________________ 46
Tabel 2. 9 Intervensi Risiko Jatuh ______________________________________ 46
Tabel 2. 10 Intervensi Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual __________ 47
Tabel 2. 11 Hasil Rekapitulasi Artikel Literature Review ____________________ 51
Tabel 3. 1 Pola Aktivitas Hidup Sehari-Hari ______________________________ 57
Tabel 3. 2 Hasil Laboratorium Imunoserologi Lain_________________________ 61
Tabel 3. 3 Hasil Laboratorium Darah ___________________________________ 61
Tabel 3. 4 Program Terapi Tn. R _______________________________________ 62
Tabel 3. 5 Analisa Data ______________________________________________ 62
Tabel 3. 6 Rencana Tindakan Keperawatan pada Tn. R _____________________ 68
Tabel 3. 7 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan ________________________ 80

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3. 1 Pathway pada Tn. R ______________________________________ 66

xi
DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Skrining Jatuh dengan Morse Fall Scale


2. Dokumentasi Luka Post Operas pada Tn. R

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis (Nubli, 2019). Cedera kepala terjadi ketika
kekuatan eksternal dari suatu peristiwa seperti jatuh, cedera olahraga, kecelakaan
kendaraan bermotor, atau ledakan melukai otak dan menyebabkan hilangnya
kesadaran atau kehilangan memori (Maas et al., 2017). Defisit kognitif, intelektual,
psikologis, ataupun gangguan fisik yang lain dapat ditimbulkan akibat terjadinya
cedera kepala (Kadek, 2014 dalam Kristyaningsih & Rahmawati, 2022).
Di Amerika Serikat, cedera kepala dialami kira-kira setiap 15 detik. Cedera
kepala terjadi pada sekitar 7 juta orang Amerika setiap tahunnya. Di antara orang-
orang yang mengalami cedera kepala ini, lebih dari 500.000 dirawat di rumah sakit,
100.000 mengalami disabilitas kronis, dan sekitar 2.000 berada dalam keadaan
vegetatif persisten. Pada lebih dari 30% kasus, karena keseriusan cedera, cedera
kepala bersifat fatal sebelum orang yang cedera tersebut tiba di rumah sakit.
Sebanyak 20% meninggal kemudian karena cedera otak sekunder. Cedera otak
sekunder meliputi iskemia karena hipoksia dan hipotensi, perdarahan sekunder,
serta edema serebral.
Hingga saat ini cedera kepala merupakan salah satu penyebab kecacatan
dan kematian terbesar di tingkat dunia. Setiap tahunnya kejadian cedera kepala di
Dunia diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita
meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita
berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala (Kemenkes RI, 2013 dalam
Ginting et al., 2020). Kejadian cedera kepala di Indonesia setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Penderita cedera kepala meninggal sebelum

1
2

tiba di rumah sakit sejumlah 10 % dan pasien yang sampai di rumah sakit, 80% di
kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10% termasuk cedera kepala sedang,
dan 10% termasuk cedera kepala berat (Ginting et al., 2020).
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik
Indonesia (2008) dalam (Ristanto, 2017) presentasi kejadian cedera kepala yang
disebabkan oleh jatuh yaitu (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%). Data
Kementerian Kesehatan RI, 2019 dalm Riskesdas 2018 menujukkan total kejadian
cedera kepala di Provinsi Jawa Barat adalah 12,32% dan di Kota Bandung sebanyak
12,06%. Data di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung didapatkan jumlah cedera
kepala ringan tahun 2020 sebanyak 15 kasus dengan jumlah keselurahan sebanyak
50 kasus.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3%-5%
yang memerlukan tindakan operasi, sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis
pasien cedera kepala lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan
cepat (Yasa et al., 2019). Penanganan cedera kepala sangat penting untuk
mendeteksi secara dini ada tidaknya lesi intrakranial yang membutuhkan operasi
dan untuk menangani lesi tersebut timbul, sehingga outcome pasien dapat lebih
baik (Yasa et al., 2019).
McNair & Kuric, 2014 mengatakan kondisi yang mungkin memerlukan
pembedahan anatara lain hematoma subdural dan epidural, fraktur depresi pada
tengkorak, dan benda asing yang menembus. Manajemen bedah saraf umumnya
dilakukan dengan menggunakan anestesia umum. Pasien-pasien dianestesi umum
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami mual dan muntah
dibandingkan dengan pasien yang menggunakan jenis anestesi lain (Islam & Jain,
2004; Indrawati, 2010 dalam Rihiantoro et al., 2018).
Insidensi mual muntah post operasi atau dikenal dengan istilah Post
Operative Nausea And Vomiting (PONV) mencapai 30% dari 100 juta lebih pasien
bedah di seluruh dunia (Sholihah et al, 2015 dalam Rihiantoro et al., 2018). Di
Indonesia insiden terjadinya PONV belum tercatat secara jelas namun terdapat
3

laporan angka kejadian PONV terdapat di dua rumah sakit yang berbeda, yaitu di
RSCM Jakarta, tahun 2013 didapatkan angka kejadian PONV 31% dan di RSUD
Ulin Banjarmasin tahun 2014 sebanyak 27% (Rachmad Try et al., 2018).
Sedangkan insidensi mual pada 2 jam pertama post operasi di PACU (Post
Anesthesia Care Unit) mencapai 20% dan muntah 5%. Sedangkan pada 2 jam
berikutnya sampai 24 jam insidensi mencapai 50% dan muntah 25% (Kovac, 2003;
Silaban, 2015 dalam Rihiantoro et al., 2018).
Terjadinya PONV bila tidak segera mendapat penanganan akan
menyebabkan timbulnya masalah baru. PONV dapat menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, hipertensi vena, perdarahan, ruptur esofageal, dan
dalam keadaan lanjut dapat membuat pasien mengalami dehidrahi berat (Conway,
2009; Supatmi & Agustiningsih, 2015 dalam (Rihiantoro et al., 2018). Selain itu,
PONV juga dapat menyebabkan stress post operasi dan kecenderungan malas
latihan gerak atau ambulasi dini pada pasien (Allen, 2004; Supatmi &
Agustiningsih, 2015 dalam Rihiantoro et al., 2018). Dampak lebih lanjut dari
PONV apabila tidak ditangani maka dapat memperpanjang waktu perawatan,
meningkatkan biaya perawatan dan dapat menyebabkan peningkatan stressor
(Buckle, 2007;Supatmi & Agustiningsih, 2015 dalam Rihiantoro et al., 2018).
Penanganan PONV dapat dilakukan secara farmakologi dengan obat
antiemetik dan non farmakologi (Utomo et al, 2009 dalam Rihiantoro et al., 2018).
Menurut penulis pemberian kombinasi terapi farmakologi dan terapi komplementer
akan memberikan efektifitas yang lebih tinggi bagi pasien. Hal ini juga didukung
oleh Hewitt & Watts, 2009; Supatmi & Agustiningsih, 2015 dalam Rihiantoro et
al., 2018) menyatakan penggunaan terapi komplementer relatif mudah, relatif
murah, efektif mengurangi mual dan muntah, menarik dan dapat diterima pasien.
Tugas seorang perawat adalah membantu memenuhi kebutuhannya
pasiennya secara biopsikospiritual. Pemberian aromaterapi sebagai salah satu
intervensi pada pasien POVN adalah bagian dari penyelenggara praktik
keperawatan dengan memasukkan terapi komplementer dan alternatif dalam
4

pelaksanaan asuhan keperawatan. Aromaterapi yang dapat digunakan untuk


mencegah dan mengurangi mual muntah post operasi salah satunya adalah
aromaterapi lavender. Aromaterapi lavender merupakan tindakan terapeutik yang
bermanfaat meningkatkan keadaan fisik dan psikologis menjadi lebih baik.
Menurut Hines et al., 2014 dalam Aromatherapy Scents Used to Treat
Postoperative Nausea, 2020, aromaterapi dengan minyak esensial yang dihirup
dapat menjadi pilihan pengobatan yang berguna untuk mual pasca operasi. Enam
aroma aromaterapi yang biasa digunakan untuk mengobati mual pasca operasi:
lavender, mawar, peppermint, jahe, spearmint, campuran (contohnya: jahe,
spearmint, peppermint, cardamom). Ramadhan & Zettira, 2017 menemukan bahwa
aromaterapianga lavender (lavandula angustifolia) dari proses penyulingan
mengandung bahan aktif utama yaitu linalool (C10H180) yang memiliki efek
sedatif dalam menurunkan risiko insomnia. Hayati & Hartiti, 2021 menemukan
dalam penelitian bahwa terapi aromaterapiavender yang dilakukan selama 3 hari
dapat menurunkan nyeri pasien ulkus granulosum post op debridement. Rihiantoro
et al., 2018 menyatakan bahwa pemberian terapi aromatik peppermint secara
inhalasi pada pasien post operasi dengan anastesi umum dapat menurunkan
intensitas mual muntah yang ditunjukan dengan penurunan rata-rata skor PONV.
Rihiantoro et al., 2018 juga menemukan hasil jauh lebih memberikan pengaruh
dalam menurunkan skor rata-rata PONV antara kelompok eksperimen yang
diberikan terapi premedikasi obat antiemetik yang disertai pemberian
aromaterapiaeppermint inhalasi dengan kelompok kontrol yang diberikan terapi
premedikasi obat antiemetik yang disertai pemberian plasebo, dengan hasil yang
didapatkan penurunan skor rata-rata PONV pada kelompok eksperimen jauh lebih
besar dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Berdasarkan uraian di atas, pemberian aromaterapi lavender merupakan
salah satu terapi komplementer untuk menangani mual muntah pada pasien POVN.
Sehingga penulis ingin melakukan asuhan keperawatan komprehensif dengan
5

penerapan evidence based nursing (EBN) pada Tn. R dengan diannosa medis post
operative hari ke-1 atas indikasi debridement craniotomy e.c. multiple vulnus + ckr.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan karya ilmiah akhir ini adalah untuk melakukan asuhan
keperawatan holistik islami secara komprehensif dengan pendekatan ilmiah.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkaijan pada kasus pada Tn. R dengan gangguan sistem
persarafan: post operative debridement craniotomy e.c. multiple vulnus + ckr
akibat jatuh
b. Mampu merumuskan diagnosis keperawatan pada Tn. R dengan gangguan
sistem persarafan: post operative debridement craniotomy e.c. multiple
vulnus + ckr akibat jatuh
c. Mampu membuat perencanaan pada Tn. R dengan gangguan sistem
persarafan: post operative debridement craniotomy e.c. multiple vulnus +
ckr akibat jatuh
d. Mampu melakukan implementasi pada Tn. R dengan gangguan sistem
persarafan: post operative debridement craniotomy e.c. multiple vulnus +
ckr akibat jatuh
e. Mampu mengevaluasi proses keperawatan pada Tn. R dengan gangguan
sistem persarafan: post operative debridement craniotomy e.c. multiple
vulnus + ckr akibat jatuh
f. Mampu melakukan dokumentasi asuhan keperawatan pada Tn. R dengan
gangguan sistem persarafan: post operative debridement craniotomy e.c.
multiple vulnus + ckr akibat jatuh
6

C. Sistematika Penulisan
Dalam karya ilmiah akhir ini yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada
Tn. R dengan Gangguan Sistem Persarafan: Post Operative Hari Ke-1 atas Indikasi
Debridement Craniotomy e.c. Multiple Vulnus + CKR”, penulis membagi dalam
IV BAB (Alvin, 2021), sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Pada pendahuluan berisi tiga bagian, yaitu latar belakang masalah, tujuan dan
sitematika penulisan. Latar belakangan masalah berisi alasan penulis dalam
pengambilan kasus. Tujuan berisi kemampuan yang yang ingin dicapai penulis
dalam mengelola kasus secara professional. Sistematika penulisan berisi bagian-
bagian dalam penyusunan karya ilmiah akhir.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Tinjauan teorirtis ini dibuat berdasarkan pemikiraan penulis yang disesuaikan
dengan kasus yang didapat di lapangan. Konsep yang dituliskan pada BAB II yakni
mengacu pada literature review.
BAB III LAPORAN KASUS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas dokumentasi laporan kasus mulai dari pengkajian,
perencanaan, pelakasanaan, evaluasi dan catatan perkembangan. Pembahasan
memuat perbandingan antara teori dan kasus yang ditangani di lapangan.
Munculkan kendala, hambatan, dampak dari adanya hambatan dan alternative
solusi penulis pada saat pengkajian, perumusan diagnosis keperawatan,
perencanaan, implementasi dan evaluasi.
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan berisi apakah data yang ditemukan pada kasus sama dengan konsep teori
atau ditemukan penyakit penyerta lainnya. Saran berhubungan dengan kendala dan
hambatan yang dirasakan dan ditemukan pada tiap tahap.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

I. Konsep Dasar Penyakit Cedera Kepala

A. Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala adalah istilah luas yang menggambarkan sejumlah besar
cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak, otak dan jaringan di bawahnya
dan pembuluh darah di kepala (Alvin, 2021). Cedera kepala dapat menyebabkan
perdarahan di jaringan otak dan pada lapisan yang mengelilingi otak (subarachnoid
hemorrhage, subdural hematoma, hematoma ekstradural) (Haryono & Utami,
2019). Cedera kulit kepala dapat menyebabkan laserasi, hematoma, dan kontusi
atau abrasi pada kuli dan kondisi ini mungkin tidak enak dilihat dan dapat berdarah
deras (McNair & Kuric, 2014).
Cedera kepala juga sering disebut sebagai cedera otak atau cedera otak
traumatik (TBI), tergantung pada sejauh mana trauma kepala (Haryono & Utami,
2019). Cedera otak traumatik menyumbang lebih dari 1 dari 6 perawatan rumah
sakit yang berhubungan dengan cedera setiap tahun (Haryono & Utami, 2019).
Klien dengan cedera kepala traumatik sering mengalami cedera besar lainnya,
termasuk cedera pada struktur wajah, paru-paru, jantung, tulang belakang leher,
abdomen dan tulang (McNair & Kuric, 2014).
B. Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan
Sistem saraf merupakan sistem fungsional dan struktural yang paling
terorganisasi dan paling kompleks. Sistem ini memengaruhi fungsi tubuh, baik
secara fisiologis maupun psikologis. Unit ini akan mendiskusikan pentingnya
sistem neurologis pada fungsi manusia dan konsekuensi utama akibat gangguan
neurologis (McNair & Kuric, 2014).
1. Otak

7
8

Otak merupakan organ paling besar dan paling kompleks pada sistem saraf. Otak
terdiri atas lebih dari 100 miliar neuron dan serabut terkait. Jaringan otak memiliki
konsistensi seperti gelatin. Organ semisolid ini memiliki berat 1.400g (sekitar 3
pon) pada dewasa.
a. Serebrum
Serebrum terbagi oleh suatu lekukan dalam (fisura longitudinalis)
menjadi dua bagian yang disebut hemisfer serebri. Suatu fisura berjalan
transversal memisahkan serebrum dari serebelum. Lapisan paling luar serebrum
disebut sebagai korteks serebri, memiliki tebal 2-5 mm. Langsung di bawah
korteks ini, terdapat traktus asosiasi dengan beragam ketebalan yang terletak di
atas traktus komisura yang disebut sebagai korpus kalosum.
Korteks serebri tersusun atas substansiagrisea (didominasi oleh badan sel
saraf dan dendrit) yang terbentuk dalam kelokan-kelokan, atau girus.
Sekitar75% badan sel saraf otak terletak di korteks. Lekukandangkal di antara
girus (sulkus) membagi korteks serebri menjadi lima lobus: frontalis, parietalis,
oksipitalis, temporalis, dan sentral (insula).
Istilah neokorteks sering digunakan untuk merujuk korteks serebri.
Neokorteks meliputi seluruh korteks serebri kecuali pada bagian olfaktorius dan
daerah hipokampus.
Kedua korteks serebri, kanan dan kiri menginterpretasi data sensoris,
menyimpan memori, mempelajari dan membentuk konsep; akan tetapi tiap
hemisfer mendominasi hemisfer yang lain dalam beberapa fungsi. Sebagai
contoh, pada sebagian besar orang, kortekskirimemiliki dominasi untuk analisis
sistematis, bahasa dan kemampuan berbicara, matematika, abstraksi, serta
penalaran. Kortekskanan memiliki dominasi untuk asimilasi
pengalamansensoris, seperti informasi visual-spasial, dan aktivitas seperti
menari, senam, musik, dan apresiasi seni.
Di lobus frontalis, girus presentralis(korteksmotorik) mengontrol
aktivitas motorik volunter. Kebanyakan serabut S sarafini menyilang ke sisi
9

otak yang berlawananpadamedula dan turun atau desenden melalui medula


spinalissebagai traktus kortikospinal lateralis. Area anterior girus presentralis
(area premotor) juga berhubungan dengan aktivitas motorik volunter. Area
Brocca, terletak di anterior korteks motorik primer dan superior sulkus lateralis
mengoordinasikan aktivitas muskular kompleks mulut, lidah, dan laring serta
memungkinkan pembicaraan ekspresif (motorik). Kerusakan pada area ini akan
menyebabkan klientidak bisa berbicara dengan jelas, suatu gangguan yang
disebut afasia Brocca.
Area prefrontalis mengontrol: (1) perhatian jangka panjang
(konsentrasi), (2) motivasi, (3) kemampuan memformulasikan atau memilih
tujuan, (4) kemampuan perencanaan, (5) kemampuan inisiasi, mempertahankan
atau mengakhiri aksi, (6) kemampuan monitor diri, dan (7) kemampuan
menggunakan umpan balik (disebut sebagai fungsi eksekutif). Area yang sama
diduga berperan pada penalaran, aktivitas memecahkan masalah, dan stabilitas
emosi dengan menghambat area limbik pada serebrum (lihat pembahasan
selanjutnya).
Tiap lobus parietalis berlokasi posterior dari sulkus sentral Rolando dan
mengandung area reseptif somatik (taktil) primer dan area asosiasi somatik
(taktil). Girus postsentralis dan bagian anterior lobus parietalis merupakanarea
reseptif primer (interpretasi) untuk sensasi taktil (seperti suhu, sentuhan,
tekanan). Area asosiasi menempati sisa lobus parietalis. Pembentukan konsep
danabstraksi dilakukan oleh area asosiasi parietal. Area
parietalkananjugadominan untuk orientasi spasialdan kesadaran akan ukuran
dan bentuk (stereognosis) dan posisi tubuh (propriosepsi). Area parietal kiri
membantu orientasi kanan-kiri dan matematika.
Tiap lobus oksipitalis mengandung area reseptif visual primer
(interpretasi) dan area asosiasi visual. Korteks visual primer terletak pada sisi
sulkus kalkarin. Area selain korteks visual primer pada lobus oksipitalis adalah
area asosiasi visual. Memori visual disimpan pada area ini yang memberikan
10

kontribusi pada kemampuan kita mengenali secara visual dan memahami


lingkungan kita.
Tiap lobus temporalis terletak di bawah (inferior) sulkus lateralis. Lobus
temporalis mengandung area reseptif auditori primer (interpretasi) dan area
asosiasi auditori. Memori bahasa disimpan di area asosiasi auditori lobus
temporalis kiri. Semua memori suara selain bahasa (musik, suara aneka
binatang, suara lain) disimpan di area auditori lobus temporalis kanan.
Kerusakan area ini akan menyebabkan seseorang tidak dapat memahami bahasa
yang diucapkan atau ditulis atau mengenal musik atau suara lingkungan yang
lain. Sel yang memfasilitasi pemahaman bahasa terletak di area Wernicke.
Lobus sentral (insula) terletak di dalam sulkus lateral dan dikelilingi
lobus frontalis, parietalis, dan temporalis. Serabut saraf untuk pengecapan
melalui lobus parietalis menuju lobus insula. Banyak serabut asosiasi menuju
bagian lain dari korteks serebri melalui lobus ini.
b. Hipokampus
Hipokampus merupakan bagian dari daerah medial pada lobus
temporalis, berperan penting dalam proses mengingat (memori), suatu
fenomena yang kompleks.
Terdapat tiga tingkatan memori: memori jangka pendek (baru saja) akan
hilang setelah beberapa detik atau menit; memori jangka menengah
berlangsung selama beberapa hari dan akan hilang; memori jangka panjang
(lama)disimpandan berlangsung seumur hidup. Teori mengenai dasar fisiologis
memori menyebutkan pesanneuronal reverberasi menyebabkan memori jangka
pendek dan perubahan neuronal aktual menyebabkan memori jangka panjang.
Hipokampus membantu konversi memori jangka pendek menjadi jangka
menengah dan jangka panjang dalam talamus. Serabut asosiasi pada lobus
frontalis, parietalis, temporalis, dan oksipitalis dan diensefalon penting untuk
memori jangka panjang.
c. Ganglia Basal
11

Ganglia basal terdiri atas beberapa struktur substansia grisea subkortikal


yeng terkubur di dalam hemisfer serebri. Struktur ini adalah putamen, nukleus
kaudatus, substansia nigra, nukleus subtalamikus, dan globus palidus. Ganglia
basal berperan sebagai stasiun pemroses yang menghubungkan korteks serebri
ke nukleus talamus. Hampir semua serabut motorik dan sensorik
menghubungkan korteks serebri dan medula spinalis berjalan melalui jaras
substansia alba dekat nukleus kaudatus dan ganglia putamen. Jaras ini dikenal
sebagai kapsula interna. Ganglia basal bersama dengan traktus kortikospinal
penting untuk mengontrol aktivitas motorik kompleks.
d. Diensefalon
Diensefalon tersusun atas talamus dan hipotalamus. Sepasang
talamiterletak di antara hemisfer serebri dan superior terhadap batang otak.
Substansia grisea mengelilingi tepi lateral ventrikel ketiga. Hipotalamus
membentuk lantai dan dinding ventrikel ketiga. Struktur penting lain di dalam
dan dekat diensefalon adalah: (1) traktus optikus dan kiasma optikus, (2)
kelenjar pituitaria pada lantai diensefalon, dan (3) kelenjar pineal pada atap
diensefalon.
Talamus menyalurkan semua informasi asendens (sensorik) kecuali
penghidu menuju ke sel kortikal. Hipotalamus mengatur fungsi sistem saraf
autonom (SSA) seperti denyut jantung, tekanan darah, keseimbangan air dan
elektrolit, motilitas lambung dan usus, suhu tubuh, lapar, berat badan, dan
siklus tidur-terjaga. Struktur ini juga berperan sebagai regulator kelenjar
pituitaria dengan melepaskan faktor pelepas yang akan menstimulasi atau
menghambat produk kelenjar pituitari
e. SistemLimbik
Sistem limbik terdiriatas banyak nuklei, termasuk sebagian dari bagian
medial lobus frontalis dan temporalis (hipokampus), talamus, hipotalamus, dan
ganglia basal. Bagian ini berperan sebagai pusat perasaan dan kontrol ekspresi
emosional (rasa takut, marah, senang, sedih). Sistem limbik (komponen lobus
12

temporalis) juga menerima serabut saraf dari bulbus olfaktorius sehingga


berperan penting dalam interpretasi bau-bauan.
f. Batang Otak
Batang otak terdiri atas otak tengah, pons, dan medula. Struktur ini terdiri
atas jaras formasio retikularis, dan jaras desendens motorik autonomik.
g. Formasio Retikularis
Formasio retikularis tersusun atas rangkaian kompleks substansia grisea
(nuklei), jaras retikular asendens dan jaras retikular desendens. Nuklei formasio
retikularis memanjang dari bagian superior medula spinalis menuju diensefalon
dan berkomunikasi dengan ganglia basal serebrum dan serebelum.
Formasio retikularis membantu pengaturan gerakan motorik skeletal dan
refleks spinal. Struktur ini juga menyaring informasi sensorik yang menuju ke
korteks serebri. Sekitar 99% informasi sensorik dianggap tidak esensial. Satu
komponen formasio retikularis yaitu sistem aktivasi retikular asendens
(asenden reticular activating system [ARAS]) mengontrol siklus tidur-terjaga
dan kesadaran.
h. Serebelum
Serebelum terdiri atas substansia alba dan grisea. Korteks serebeli
merupakan lapisan tipis substansia grisea yang tersusun atas girus yang dalam
dan panjang, berjalan paralel
yang disebut folia dan dipisahkan oleh sulkus sereberalis. Fisura dalam
membagi serebelum menjadi tiga lobus, tetapi pembagian fungsional serebelum
terdiri hari hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan olehsuatupita tipis
substansia alba yang disebut sebagai vermis. Kelanjutan dura mater yang
disebut falkus serebeli memisahkan kedua hemisfer.
Serebelum mengintegrasikan informasi sensoris berkaitan dengan posisi
bagian tubuh, koordinasi gerakan otot skelet dan mengatur kekuatan otot yang
penting untuk keseimbangan dan postur. Tiga pasang traktus saraf (pedunkulus
serebelaris) berperan sebagai jaras komunikasi.
13

Pedunkulus inferior merupakan jaras sensorik (aferen) dari medula


spinalis dan medula, yang membawa informasi terkait posisi bagian tubuh
kepada serebelum. Pedunkulus media membawa informasi mengenai aktivitas
motorik volunter (disengaja) dari korteks serebri ke serebelum. Serebelum juga
menerima informasi sensorik dari reseptor pada otot, tendon, sendi, mata, dan
telinga dalam. Setelah informasi ini diintegrasikan dan dianalisis, serebelum
mengirimkan impuls melalui pedunkulus superior (jaras eferen) ke batang otak,
talamus dan korteks.
Kebanyakan traktus di serebelum berjalan melalui bermacam nuklei
tanpa menyilang. Oleh karena itu, hemisfer serebeli kanan lebih dominan
mengurus sisi kanan tubuh (ipsilateral) dan sebaliknya.
2. Struktur Protektif Dan Nutrisional
a. Kranium dan Kolumna Vertebralis
Delapan tulang yang menyatu pada awal masa anak-anak menyusun
kranium. Penyatuan ini disebut sebagai sutura. Kranium menutup struktur otak
dan berperan sebagai sumber perlindungan.
Lantai rongga kranium yang disebut lempeng basilaris memiliki tiga
penurunan yang disebut fosa. Lobus frontalis terletak pada fosa anterior. Lobus
temporalis dan basis diensefalon terletak pada fosa mediana. Serebelum terletak
di fosa posterior.
Kolumna vertebralis, merupakan suatu rangkaian vertebra yang fleksibel,
mengelilingi dan melindungi medula spinalis. Kolumna ini terdiri atas 7
vertebra servikalis, 12 vertebra torakalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra
sakralis yang menyatu membentuk sacrum dan 4 vertebra koksigis yang
menyatu membentuk koksiks (coccyx). Ligamen menyatukan vertebra dan
diskus di antara vertebra mencegah tulang saling bergesek.
b. Meningen
14

Meningen, tiga membran yang membungkus otak dan medula spinalis,


berfungsi sebagai pelindung. Tiap lapisan-pia mater, arakhnoid, dan dura
mater-merupakan membran yang terpisah.
Pia mater merupakan lapisan jaringan ikat dengan vaskularisasi yang
berhubungan langsung dengan otak dan medula spinalis sehingga mengikuti
tiap sulkus dan fisura. Lapisan ini berperan sebagai struktur penyokong yang
melintasi semua jaringan otak dan medula spinalis. Pia mater dan astrosit
membentuk bagian membran sawar darah otak (lihat Sawar Darah Otak).
Arakhnoid, lapisan tipis jaringan ikat, meluas dari puncak girus menuju
puncak girus di dekatnya. Arakhnoid tidak mengikuti sulkus dan fisura.
Ruangan antara lapisan ini dan pia mater disebut sebagai ruang subarakhnoid.
Cairan serebrospinal (CSS) mengalir pada ruangan ini.
Dura mater kranial adalah membran vaskular yang tidak dapat
diregangkan, kuat yang terdiri atas dua lapis. Lapisan luar dura mater
merupakan membran yang sebenarnya (periosteum) tulang kranial. Lapisan
dalam dura mater membentuk lempeng yang memisahkan dua hemisfer serebri
(falkus serebri), serebrum dan batang otak dan serebelum (tentorium serebeli).
Tentorium serebeli merupakan suatu istilah yang sering digunakan oleh klinisi
untuk memisahkan bagian-bagian otak, sering hanya disebut sebagai tentorium.
Supratentorial mengacu pada serebrum dan seluruh bagian pada superior
tentorium serebeli; infratentorial mengacu oada struktur inferior tentorium
serebeli, yaitu serebelum dan batang otak.
Ruangan otak yang sering diisi darah setelah trauma kepala termasuk
ruangan yang potensial (ruang subdural) antara dura mater dalam dan arakhnoid
dan ruang epidural di antara dura mater dan periosteum.
Meningen menambatkan medula spinalis. Pia mater, yang mengelilingi
medula spinalis, berlanjut dari ujung konus berlanjut sebagai struktur
menyerupai benang (filum terminal) menuju ke ujung kolumna vertebralis,
dimana struktur ini ditambatkan pada ligament pada sisi posterior coccyx.
15

Ligamentum dentikulatum memanjang di lateral pia mater ke dura mater untuk


menggantung medula spinalis dari dura mater.
Dua ruang yang sering diakses dokter adalah ruang subaraknoid (untuk
studi diagnosis) dan ruang epidural (untuk memberikan obat). Ruang
subaraknoid terdapat di sepanjang medula spinalis di bawah vertebra sakral2(S-
2) danruang epidural terletak antara lapisan dura dan tulang vertebral.
3. Saraf Kranial
Dua belas pasang saraf kranial berasal dari otak. Kebanyakan saraf kranial
tersusun atas neuron motorik dan sensorik, walaupun ada saraf kranial yang hanya
membawa impuls sensorik.
C. Etiologi dan Faktor Risiko
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera
kepala. Faktor risiko kedua adalah menegemudi tanpa sabuk pengaman. Puncak
kejadiaan adalah petang hari, malam, dan akhir pekan. Penyebab lainnya adalah
penyerangan, jatuh, dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (McNair &
Kuric, 2014).
Trauma kepala terjadi kali lebih sering pada pria dibanding wanita.
Populasi dengan risiko yang lebih tinggi adalah individu antara usia 15-24 tahun
dan individu yang berusia 75 tahun ke atas (Haryono & Utami, 2019). Setengah
dari semua cedera otak traumatis terjadi pada pengguna alkohol. Alkohol
memperlambat reflex serta mengganggu proses kognitif dan persepsi (McNair &
Kuric, 2014). Perubahan fisiologis ini meningkatkan kemungkinan terlibat dalam
kecelakaan atau perkelahiaan. Anak-anak berusia lima tahun atau lebih muda juga
beresiko lebih tinggi dari rata-rata (Haryono & Utami, 2019).
D. Klasifikasi
Berdasarkan patologi, (Haryono & Utami, 2019):
1. Cedera kepala primer
16

Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan integritas


fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut, yang menyebabkan kematian
sel
2. Cedera kepala sekunder, (Haryono & Utami, 2019):
Cedera ini merypakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut
yang terjadi setelah trauma sehingga TIK yang tak terkendali meliputi respon
fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan biokimia, dan
perubahan hemodinamik serebral, iskemia serebral, hipotensi sitemik dan
infeksi local atau sistemik.
Menurut jenis cedera, (Haryono & Utami, 2019):
1. Cedera kepala terbuka: dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi durameter. Taruma yang menembus tengkorakdan jaringan otak
2. Cedera kepala tertutup: dapat disamakan pada pasien gegar otak ringan dengan
cedera serebral yang luas
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glasgow Coma Scale), (Haryono &
Utami, 2019):
1. Cedera kepala ringan/ minor
a. GCS 14-15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia tetapi kurang 30 menit
c. Tidak ada fraktur tengkorak
d. Tidak ada kontusia serebral, hematoma
2. Cedera kepala sedang
a. GCS 9-13
b. Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak
d. Diikuticontusia serebral, laserasi dan hematoma intrakranial
3. Cedera kepela berat
a. GCS 3-8
17

b. Kehilangan kesadaran dana tau terjadi amnesia lebih dari 24 jam


c. Juga meliputi kontusia serebra, laserasi atau hematoma intracranial
Tabel 2. 1
Glasgow Coma Scale
Dewasa Respon
Buka Mata (Eye)
Spontan 4
Berdasarkan perintah verbal 3
Berdasarkan rangsangan nyeri 4
Tidak memberi respon 1
Respon Verbal
Orientasi baik 5
Percakapan kacau 4
Kata-katkacau 3
Mengerang 2
Tidak memberi respon 1
Respon Motorik
Menurut bperintah 6
Melokalisir rangsang nyeri 5
Menjauhi rangsang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak memberi respon 1
Skor 14-15 12-13 11-12 8-10 <5
Kondisi Compos Mentis Apatis Somnolent Stupor Koma
Sumber: Satyanegara, 2010 dalam Nurarif & Kusuma, 2015)

E. Patofisiologis
Cedera kepela dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi sesesorang.
Sebagian masalahmerupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya
terjadi sekunder akibat cedera. Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan
secepatnya oleh tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan kematian (Lombardo, 2012).
Tepat di atas tengkorak terletak galen aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa,
padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma
eksternal. Di antara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan
membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek,
pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan
18

kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala. Tepat di bawah
galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika.
Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke
dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan
debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak (Lombardo, 2012).
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua
dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut
tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna. Struktur demikian
memungkinkan kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih
ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior,
media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya
salah satu dari arteria-arteria ini, perdarahan arterial yang diakibatkannya, yang
tertimbun dalam ruang epidural, dapat menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila
segera ditemukan dan diobati. Ini merupakan salah satu kedaruratan bedah saraf
yang memerlukan pembedahan segera (Lombardo, 2012).
F. Manajemen Medis
Manajemen medis untuk klien dengan cedera kepala yang parah berfokus
pada mendukung semua sistem organ saat pemulihan dari cedera terus berlangsung.
Hal ini melibatkan (1) dukungan ventilasi, (2) manajemen keseimbangan cairan
dan eliminasi, serta (3) manajemen nutrisi dan fungsi gastrointestinal. Trauma
kepala memengaruhi semua sistem tubuh, sehingga manajemen dampaknya
memerlukan perspektif yang holistic (McNair & Kuric, 2014).
1. Manajemen Awal
Manajemen awal untuk klien dengan cedera kepala adalah sama dengan
manajemen awal untuk klien dengan cedera lainnya, yaitu jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi. Terdapat hubungan yang erat antara fraktur servikal dengan cedera
kepala, sehingga klien harus diimobilisasikan di tempatcedera. Pemeriksaan foto
rontgen terhadap tulang belakang servikal lateral harus dilakukan sebelum kepala
19

klien dipindahkan atau perangkat imobilisasi dilepaskan. Klien dengan cedera


kepala harus dilindungi dari kemungkinan komplikasi cedera medula spinalis
dengan segera imobilisasi kepala dan leher menggunakan gelang leher atau kantong
pasir sampai diperoleh gelang leher.
Jika intubasi diperlukan, manuver tolak dagu (jaw thrust) harus digunakan
dan bukan fleksi leher untuk membuka jalan napas tanpa kemungkinan cedera
medula spinalis. Pengkajian data dasar fungsi sensoris dan motorik klien harus
dilakukan di tempat kecelakaan. Intervensi mencakup oksigenasi dan penurunan
TIK dengan hiperventilasi menggunakan ventilasi mekanis atau melakukan
hiperventilasi manual pada klien dengan perangkat kantong-katup-sungkup (bag-
valve-mask) jika klien menunjukkan tanda-tanda herniasi.
Infus dipasang dan cairan diberikan untuk menstabilkan tekanan darah agar
tekanan sistolik lebih dari 90 mm Hg. Cedera kepala itu sendiri tidak menyebabkan
kehilangan darah yang hebat. Jika diduga terjadi kehilangan darah yang besar, cari
adanya cedera lain (misal, fraktur, cederaabdomen, dan laserasi kulit kepala yang
parah).
Riwayat yang lengkap termasuk mekanisme cederaa dalah penting. Data-
data ini memungkinkan dokter untuk menentukan kemungkinan luasnya cedera dan
memungkinkan personil gawat darurat untuk mempersiapkan kedatangan klien.
Luka kepala yang terbuka harus ditutupi dan ditekan untuk mengontrol perdarahan
kecuali jika terlihat adanya fraktur tengkorak depresi atau majemuk.
Jangan mencoba mengeluarkan benda asing atau benda tembus dari luka.
Luka kulit kepala tanpa komplikasi (yang tidak berhubungan dengan fraktur
tengkorak depresi atau majemuk) dibius dengan obat anestesi lokal, dibersihkan,
dan dijahit. Di unit gawat darurat, dilakukan penyelidikan primer dan sekunder
terhadap cedera klien. Resusitasi berlanjut dengan pemberian cairan.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan, begitu pula pemeriksaan radiologi
yang diperlukan. Jika ada cedera yang diidentifikasi memerlukan operasi darurat,
klien langsung dibawa ke ruang operasi (OR) sebelum masuk ke unit perawatan
20

intensif (ICU). Setelah klien cukup stabil untuk dipindahkan ke ICU, tim bedah
saraf dan trauma serta staf keperawatan akan mempertahankan pemberian asuhan
yang berkelanjutan.
2. Manajemen Lanjutan
Asuhan yang berkelanjutan untuk mempertahankan perfusi serebral dan
mengurangi TIK adalah fokus dari asuhan kritis. Laju metabolisme serebral
diturunkan dengan pemberian sedatif, agen paralitik, antipiretik, barbiturat, dan
hipotermia. Morfin adalah opioid yang biasa digunakan untuk klien cedera kepala.
Morfin mengurangi nyeri dan dapat diberikan secara intravena. Depresi pernapasan
dikontrol pada klien yang diintubasi dan berventilasi. Agen paralitik dapat
digunakan untuk meningkatkan ventilasi yang adekuat dan harus diberikan bersama
sedatif dan analgesik karena agen paralitik tidak memiliki efek sedatif atau
analgesik.
G. Manajemen Bedah
Kondisi yang mungkin memerlukan pembedahan antara lain hematoma sub
dural dan epidural, fraktur depresi pada tengkorak, dan benda asing yang
menembus. Bekuan epidural dapat dikeluarkan dengan pembedahan melalui lubang
burr atau kraniotomi. Selama pembedahan luka tersebut mungkin harus didrainasi
dan pembuluh yang mengalami perdarahan harus diikat (diligasi). Kulit kepala,
tengkorak, dan otak yang mengalami devitalisasi akan didebridema, serta luka
dibersihkan secara menyeluruh. Kecuali semua benda asing sudah dibuang, abses
otak atau kejang dapat terjadi. Debridema luka tembus atau fraktur depresi pada
tengkorak sering meninggalkan defek kranial tidak sedap dipandang dari segi
kosmetik. Defek tersebut nantinya dapat dikoreksi dengan pembedahan yaitu
dengan kranioplasti(McNair & Kuric, 2014).
Sebelum pembedahan, TIK diturunkan sebanyak mungkin. Data dasar
neurologis didokumentasikan. Persetujuan (informed consent) harus diperoleh dari
keluarga jika pasien tidak sadar atau bingung. Setelah pembedahan, berikan asuhan
21

keperawatan untuk klien sesuai pedoman untuk kraniotomi (McNair & Kuric,
2014).
H. Perawatan Mandiri
Klien dengan kemungkinan cedera kepala atau cedera kepala ringan
sebelumnya dirawat inap untuk observasi selama minimal 6 jam (idealnya selama
48jam) karena adanya risiko perdarahan ekstradural. Jika klien dipulangkan,
berikan instruksi yang jelas untuk membantu pemberi asuhan mengkaji adanya
komplikasi (McNair & Kuric, 2014).
I. Rehabilitasi
Sebagian besar klien yang dirawat di rumah sakit selama lebih dari 48 jam
karena cedera kepala pada akhirnya akan membutuhkan beberapa rehabilitasi.
Klien dengan cedera kepala ringan mungkin dapat terabaikan dalam populasi orang
yang membutuhkan perawatan lanjutan. Cedera kepala ringan dapat menyebabkan
sakit kepala, kesulitan memori, kesulitan melakukan tugas-tugas sederhana, dan
iritabilitas. Manifestasi klinis ini dapat bertahan selama satu bulan atau lebih
(McNair & Kuric, 2014).
Rehabilitasi dapat berlangsung di tempat rawat inap atau rawat jalan, bergantung
pada kondisi klien. Rehabilitasi dapat mencakup fisik, okupasi, terapi bicara dan
kognitif, serta sangat penting dalam mengembalikan klien ke fungsi maksimalnya.
Perawat memainkan peran utama dalam rehabilitasi klien cedera kepala dan dalam
pendidikan orang yang terdekat dengan klien.
J. Modifikasi pada Klien Lansia
Meskipun sebagian besar cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, pada lansia cedera lebih banyak disebabkan karena jatuh.
Diagnosis cedera kepala sering kali lebih sulit pada lansia karena tampilan yang
atipis. Klien-klien ini juga mengalami lebih banyak komplikasi. Klien lansia dapat
kurang mampu menolerir masalah pernapasan atau disritmia jantung. Kehadiran
penyakit kronis seperti penyakit paru obstruktif kronis atau gagal jantung dapat
membuat pengelolaan ventilasi dan keseimbangan cairan lebih sulit dilakukan. Jika
22

terdapat gangguan mental sebelum cedera, pemulihan kemandirian secara penuh


cenderung sulit dicapai. Stamina yang buruk dan komplikasi medis dapat
menghambat rehabilitasi (McNair & Kuric, 2014).
K. Konsep Debridement
Debridement adalah tindakan operasi yang dilakukan untuk mengangkat
jaringan yang mati atau luka (Hayati & Hartiti, 2021). Debridement luka didasarkan
pada premis penagan dasar luka bahwa debridement akan mendorong reepitelisasi
(Manna et al., 2022). Tujuan utama dari debridement adalah untuk menghilangkan
semua jaringan yang rusak dari dasar luka untuk mempercepat penyembuhan luka
(Manna et al., 2022). Debridement juga digunakan untuk menghilangkan biofilm
dan bioburden bersama dengan sel-sel tua, serta dilakukan setiap temuan (Esumi et
al., 2019; Leeds et al., 2019; Mervis & Phillips, 2019). Beberapa jenis debridement
dapat dilakukan untuk menghilangkan jaringan yang mengalami devitalisasi. Ini
termasuk debridement bedah, debridement biologis, debridement enzimatik, dan
debridement autolitik (Manna et al., 2022).
Schiffman et al. dalam Manna et al., 2022 menyatakan beberapa indikasi
umum untuk Debridement Bedah Tajam (Surgical Debridement with Sharp
Instruments), sebagai berikut.
1. Penghapusan sumber sepsis, terutama jaringan nekrotik
2. Penghapusan infeksi lokal untuk mengurangi beban bakteri, untuk mengurangi
kemungkinan resistensi dari pengobatan antibiotik, dan untuk mendapatkan
kultur yang akurat
3. Koleksi kultur dalam yang diambil setelah debridement dari jaringan yang
tertinggal untuk mengevaluasi infeksi persisten dan persyaratan untuk
pengobatan antibiotik sistemik
4. Stimulasi dasar luka untuk mendukung penyembuhan dan untuk
mempersiapkan cangkok kulit atau flap
Debridement bedah tajam adalah jenis debridement di mana jaringan yang
rusak (slough, necrotic, atau eschar) dengan adanya infeksi yang mendasari
23

dihilangkan dengan menggunakan instrumen tajam seperti pisau bedah,


metzenbaum, kuret, dan lain-lain. Ini dapat dilakukan di samping tempat tidur, di
kantor atau pusat perawatan luka, atau di ruang operasi tergantung pada kecukupan
anestesi dan kemampuan untuk mengontrol komplikasi perioperatif seperti
perdarahan. Profesional kesehatan harus terampil dan terlatih dan memenuhi syarat
dan berlisensi untuk memberikan perawatan bedah.
Debridemen bedah tajam dapat dikombinasikan dengan semua metode
debridemen lainnya selama periode perioperatif.
Kerugian dari debridement bedah termasuk efek samping dari debridement
itu sendiri, misalnya, perdarahan dan kemungkinan komplikasi umum dari anestesi.
Kontraindikasi untuk debridement bedah di ruang operasi harus
mempertimbangkan stratifikasi risiko bedah tertentu dari pasien. Debridement
bedah tajam dikontraindikasikan pada pasien dengan eschar yang utuh dan tidak
ada bukti klinis dari infeksi yang mendasarinya karena dalam kasus ini, eschar yang
utuh berfungsi sebagai penutup biologis untuk defek kulit yang mendasarinya.
Debridement bedah tajam dan debridemen mekanis akan memiliki risiko
perdarahan yang lebih tinggi, bersama dengan nyeri peri-prosedural.
Debridement bedah tajam yang dilakukan di kamar operasi harus
memperhitungkan morbiditas dan mortalitas akibat anestesi yang digunakan.
Sebuah studi oleh J. Shiffman et al. telah menunjukkan mortalitas operasi menjadi
2% dengan mortalitas jangka panjang, dan setinggi 68% setelah debridement.
Debridement bedah tajam telah terbukti mengatur ulang waktu yang tepat
dari fase reepitelisasi luka dengan memberikan trauma awal yang terlihat pada fase
hemostasis penyembuhan luka. Angiogenesis juga telah terbukti dirangsang oleh
debridement bedah yang tajam (Manna et al., 2022).
L. Konsep Craniotomy
Istilah craniotomy berarti membuat sebuah bukaan ke dalam tengkorak
secara pembedahan (McNair & Kuric, 2014). Craniotomy adalah salah satu bentuk
24

dari operasi pada otak.Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk
mengangkat tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat
bekuan darah (hematom), untuk mengontrol perdarahan, aneurisma otak, abses
otak, memperbaiki malformasi arteri vena, mengurangi tekanan intrakranial, atau
biopsi (Gulli. dkk, 2010 dalam Hastuti, 2019).
1. Komplikasi (Gulli. dkk, 2010 dalam Hastuti, 2019)
a. Edema cerebral
b. Perdarahan epidural: Yaitu penimbunan darah dibawah durameter. Terjadi
secara akurat dan biasanya karena perdarahan arteri yang mengancam jiwa.
c. Perdarahan subdural
d. Perdarahan intracranial
e. Hipovolemik syok
f. Hydrocephalus
g. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau diabetes Insipidus)
h. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
i. Infeksi: Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi
j. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan
menutup waktu pembedahan.
2. Penatalaksanaan Keperawatan (Hastuti, 2019)
a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan Craniotomy
b. Mempercepat penyembuhan
c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum
operasi
d. Mempertahankan konsep diri pasien
e. Mempersiapkan pasien pulang
3. Perawatan pasca Pembedahan (Satyanegara, 2010 dalam Hastuti, 2019)
25

a. Tindakan keperawatan post craniotomy: monitor kesadaran, tanda-tanda


vital, cvp, intake dan output; observasi dan catat sifat drain (warna, jumlah)
drainage; dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati-hati
jangan sampai drain tercabut; perawatan luka operasi secara steril
b. Makanan. Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan
menelan makanan sesudah pembedahan, makanan yang dianjurkan pada
pasien post craniotomy adalah makanan tinggi protein dan vitamin C yang
dapat meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi.
c. Mobilisasi
d. Pemenuhan kebutuhan eliminasi
M. Pengaruh Anestesi Umum terhadap Post-Operatif Nausea-Vomiting
(PONV)
Operasi bedah saraf umumnya dilakukan dengan menggunakan anestesia
umum. Anestesi umum pada pembedahan dapat menyebabkan permasalahan antara
lain mual, muntah, batuk kering, nyeri tenggorokan, pusing, nyeri kepala, nyeri
punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi serta hilang ingatan sementara (Allen,
2004; Conway, 2009; Hewitt & Watts, 2009; Supatmi & Agustiningsih, 2015
dalam Rihiantoro et al., 2018). Pasien-pasien dianestesi umum mempunyai resiko
yang lebih tinggi untuk mengalami mual dan muntah dibandingkan dengan pasien
yang menggunakan jenis anestesi lain (Islam & Jain, 2004; Indrawati, 2010 dalam
Rihiantoro et al., 2018). Mual muntah post operasi atau Post Operative Nausea and
Vomiting (PONV) adalah komplikasi yang sering terjadi pada anestesi umum
dalam 24 jam pertama setelah operasi GAN, T.J, 2006 ; Silaban, 2015 dalam
Rihiantoro et al., 2018).
Terjadinya PONV bila tidak ditangani dengan segera dapat menyebebkan
timbulnya masalah baru. PONV dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan
elektrolit, hipertensi vena, perdarahan, ruptur esofageal, dan dalam keadaan lanjut
dapat membuat pasien mengalami dehidrahi berat (Conway, 2009; Supatmi &
26

Agustiningsih, 2015 dalam Rihiantoro et al., 2018). Selain itu, PONV juga dapat
menyebabkan stress post operasi dan kecenderungan malas latihan gerak atau
ambulasi dini pada pasien (Allen, 2004; Supatmi & Agustiningsih, 2015 dalam
Rihiantoro et al., 2018). Dampak lebih lanjut dari PONV apabila tidak ditangani
maka dapat memperpanjang waktu perawatan, meningkatkan biaya perawatan dan
dapat menyebabkan peningkatan stressor (Buckle, 2007; Supatmi & Agustiningsih,
2015 dalam Rihiantoro et al., 2018). Oleh karena itu perawat harus memahami
dengan benar kondisi mual dan muntah yang dialami pasien dan bagaimana
penangananya untuk mencegah dampak lebih lanjut dari PONV.
Penanganan PONV dapat dilakukan secara farmakologi dengan obat
antiemetik dan non farmakologi (Utomo, Sudirman & Syafi’i, 2009 dalam
Rihiantoro et al., 2018). Obat antiemetik kelas baru untuk pencegahan dan
penanganan mual muntah post operasi adalah antagonis reseptor serotonin (5-HT),
diantaranya ondansetron. Penggunaan antagonis reseptor serotonin masih
menimbulkan efek samping berupa konstipasi, sakit kepala, mengantuk, gangguan
saluran cerna, nyeri dada, dan susah bernafas (Sulistia, 2007; Farid & Ramli, 2005;
Indrawati, 2010 dalam Rihiantoro et al., 2018). Selain itu, menurut Utomo,
Sudirman & Syafi’i ,2009 dalam Rihiantoro et al., 2018 belum ditemukan obat
antiemetik yang efektif yang dapat mencegah mual dan muntah secara total dan
tanpa adanya efek samping.
II. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Cedera Kepala
A. Pengkajian
Pengkajian klien yang mengalami gangguan neurologis sangat menantang.
Gangguan neurologis berkisardari yangsederhanasampaikompleks dan dapat
memiliki konsekuensi yang sangat besar bagi aktivitas sehari-hari dan ketahanan
hidup. Pengkajian neurologis memberikan data dasar yang digunakan untuk
membandingkan pengkajian lanjutan, diagnosis masalah kesehatan yang potensial
dan aktual, mengelola perawatan klien, dan mengevaluasi hasil yang diharapkan.
Oleh karena kompleksitas sistem saraf, pengkajian neurologis bersifat multifaset
27

dan lama. Suatu riwayat yang komprehensif, pemeriksaan neurologis dan studi
neurodiagnostik general maupun spesifik merupakan komponen primer pengkajian
neurologis.
Pengkajian neurologis mencakup penilaian anatomis dan fungsional.
Observasi yang tajam penting karena banyak perubahan neurologis yang terjadi
perlahan-lahan dan ringan. Perawat mengumpulkan data kemampuan klien untuk
berfungi secara psikis (defisit perawatan diri) dan mental (konfusi dan gangguan
pemecahan masalah). Oleh karena banyak gangguan neurologis yang serius,
perawat memberikan dukungan yang terampil, terorientasi pada krisis untuk klien
dan orang yang berpengaruh bagi klien.
1. Riwayat
Riwayat terdiri atas data biografi, keluhan utama, riwayat medis lampau,
riwayat bedah, alergi, riwayat pengobatan, kebiasaan makan, riwayat psikososial,
dan riwayat kesehatan keluarga. Pemeriksaan neurologis detail diindikasikan jika
klien melaporkan perubahan perilaku, gangguan tingkat kesadaran, masalah
tumbuh kembang, perubahan fungsi motorik dan sensorik, infeksi atau trauma. Kaji
masalah neurologis yang dapat terkait masalah lain, seperti alkohol dan
penggunaan obat untuk tujuan rekreasi, dan lesi metastasis.
2. Temuan Pengkajian Fisik Sistem Neurologis Pada Individu Dewasa Yang
Sehat (McNair & Kuric, 2014)
a. Inspeksi
1) Status Mental.
Berorientasi pada orang, tempat, waktu, situasi. Tidak sulit
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi dan yang sudah lama berlalu.
Pemeriksaan serial 7 (menghitung mulai dari angka 100 dikurang 7-ed) ditunda,
efek dan mood sesuai kooperatif, dan menyenangkan. Proses pikir jernih dan
logis. Mendemontrasikan pemecahan masalah yang efektif. Artikulasi
pembicaraan jelas dan lancar.
2) Kepala, Leher, dan Punggung.
28

Normosefalik tanpa lesi yang tampak. Mempertahankan posisi


kepala. Tulang belakang sejajar dengan kelenglungan servikal, torakal, lumbal
yang normal. Leher dan punggung memiliki rentang gerak sendi yang normal.
b. Saraf Kranialis
1) Saraf Kranial I. Dapat Membedakan Bau Kopi, Kayu Manis, Dan Alcohol
2) Saraf Kranial II. Tajam Penglihatan Dengan Diagram Snellen: 20/20
Lapang Pandang Penuh Ada Konfrontasi. Tepi Diskus Optikus Tajam,
Tidak Ada Pencekungan, Rasio Cekungan: Diskus (Cup:Disk)=1:3, Rasio
Retina:Arteriovenosa 2:3, Tanpa Torehan. Fovea Dapat Divisualisasi.
3) Saraf Kranial III,IV,VI. Perrla, Langsung Dan Konsensual. Terdapat
Akomodasi. Otot Ekstraokular Intak, Tanpa Nistagmus. Cover Uncover
Test Negatif. Pantulan Cahaya Kornea Simetris.
4) Saraf Kranial V. Membuka Dan Menurup Mulut; Mengunyah,
Mencengkeram Gigi Geligi Dan Gerakan Rahang Dari Satu Sisi Ke Sisi
Lain Volumter. Sensasi Baik Pada Dahi, Pipi, Dagu. Refleks Kornea Ada.
5) Saraf Kranial VII. Gerakan Wajah Simetris Pada Saat Tersenyum,
Mengerutkan Dahi, Mengangkat Alis, Mulut, Mencucu, Dan
Menggelembungkan Pipi. Dapat Membedakan Manis, Asin, Asam, Dan
Pahit (Saraf Kranial IX).
6) Saraf Kranial VIII. Pendengaran Kasar Baik. Bisikan Terdengar Dari 3
Kaki. Konduksi Udara Lebih Baik Dari Konduksi Tulang Bilateral.
7) Saraf Kranial IX Dan X. Lidah Dan Uvula Pada Garis Tengah. Uvula Dan
Palatum Mole Naik Pada Garis Tengah Saat Bersuara. Refleks Muntah Ada
Bilateral. Menelan, Batuk, Berbicara Tanpa Kesulitan.
8) Saraf Kranial XI. Dapat Mengangkat Bahu. Memalingkan Kepala Melawan
Tahanan. Mempertahankan Posisi Kepala Melawan Tahanan.
9) Saraf Kranial XII. Lidah Saat Dijulurkan Berada Pada Garis Tengah,
Tanapa Deviasi. Mendorong Dari Sisi Yang Satu Dan Sisi Sebaliknya
Dengan Kekuatan Yang Sama.
29

c. Fungsi Motorik. Kelompok otot simetris. Koorniasi motoric sesuai ROM. Tes
Romberg negative. Tidak terdapat pronator drift. Gaya berjalan halus, stabil.
Mempertahankan keseimbangan saat berjalan pada jari dan tumit. Gerakan
berubah dengan cepat dan maneuver point to point dapat dilakukan tanpa
kesulitan.
d. Fungsi Sensorik. Sensasi pada rabaan ringan, nyeri dan getar intak pada
ekstremitas distal dan badan, leher dan wajah. Indra pada posisi jari dan kaki
intak. Stereognosis dan grafestesia ada bilateral. Diskriminasi dua titik: 2 mm
pada jari telunjuk, dapat membedakan dua titik stimulasi secara simultan.
e. Palpasi
1) Kepala, Leher, dan Punggung. Tengkorak tanpa lesi atau nyeri, lembut dan
kokoh. Lher dan otot paraverbral kokoh, relak dan tidak nyeri. Tidak ada
nyeri dan ketegangan pada prosesus spinosus.
2) Fungsi motoric. Massa otot penuh dan tonus normal. Kekuatan 5/5 bilateral
f. Perkusi

Refleks tendon dalam +2 (pada skala 0 sampai +4) pada bisep, trisep,
peregelangan, lutut, dan pergelangan kaki. Refleks plantar positif bilateral. Refleks
abdomen posistif di empat kuadran
g. Auskultasi
Aliran vascular. Tidak ada atau bruit ada arteri karotis bilateral
1) Pemeriksaan Status Mental
Tingkat kesadaran: Bagian pengkajian yang paling penting. (Tingkat kesadaran
adalah indikator paling sensitive perubahan status neurologis). Kaji
kemampuan klien untuk berespons pada lingkungan. Mulai dengan stimulus
paling tidak invasif, tingkatkan stimulus jika tidak ada respons. Catat respons
terbaik.
30

Tipe Stimulus: Tanpa stimulus, verbal, sentuhan ringan, nyeri (gunakan


stimulus sentral; tekanan otot trapezius atau otot pektoralis mayor, gosokan
pada sternum, tekanan supraorbital)
Tipe Respons:
a) Mematuhi perintah sederhana
b) Melokalisasi nyeri: Menggerakkan lengan melintasi garis tengah menjai
stimulus
c) Menarik diri: Gerakan untuk menjauhi stimulus tetapi tidak melintasi
garis tengah
d) Postur abnormal: Hanya terlihat pada koma, dapat bilateral atau uniteral
(a) Fleksi-abduksi lengan dan fleksi siku, mungkin dengan fleksi
pergelangan tangan, platar fleksi, dan ekstensi ekstremitas bawah.
(b) Ekstensi-adduksi lengan, ekstensi siku, mungkin dengan fleksi
pergelangan tangan, ekstensi rigid ekstremitas bawah
2) Orientasi:
a) Orang (biasanya tidak hilang): Siapa nama Anda?
b) Waktu (biasanya hilang pertama): Tahun berapa sekarang?
c) Tempat dan peristiwa (atau situasi = orientasi x4): Tempat apakah ini?
Dimanakah Anda? Apa yang membuat Anda ke rumah sakit hari ini?
3) Memori (harus dapat memverifikasi informasi untuk mengevaluasi
konfabulasi):
a) Memori jangka panjang (dipertahankan kecuali pada demensia):
Riwayat kesehatan dahulu, tanggal bersejarah seperti hari ulang tahun,
tanggal wisuda, nama anggota keluarga
b) Memori jangka pendek: peristiwa yang baru saja: “Apa yang membawa
Anda ke sini hari ini?” “Tadi pagi sarapan apa?”
c) Kemampuan mempelajari: Tiga kata untuk diingat (missal: merah,
Monas, tigas). Minta klien mengatakan kata-kata ini segera dan ulang
setelah beberapa menit.
31

4) Suasana hati dan afek: Minta klien mendeskripsikan perasaanya, amati


ekespresi fasial. Apakah afek klien tepat dengan situasi?
5) Performa intelektua: Kemampuan untuk mengindentifikasi tempat, orang,
peristiwa sekarang yang umum, serial 3 atau 7 dibalik sola matematika
penambahan atau pengurangan sederhana.
6) Pengambilan keputusan dan daya tilik diri. Apakah jawaban logis? Apakah
jawaban dan pertanyaan saling terkait? “Apa yang Anda lakukan jika Anda
kehilangan kunci rumah Anda? Minta klien menjelaskan arti suatu
peribahasa. “A’rolling stone gathers no moss” (lumut tidak akan terkumpul
pada batu yang berguling).
7) Bahasa dan Komunikasi
a) Ekspresi: evaluasi alur pembicaraan, pilihan kata, dan kelengkapan
frase atau kalimat. Kaji kualitas pembicaraan kaji pembicaraan untuk
masalah artikulasi (disartria, biasanya gangguan motoric) atau
pemahaman atau masalah ekspresi (gangguan afasia). Kaji pemahaman
untuk bahasa tertulis dan lisan. Jika klien afasia ekspresif, uji
pemahaman dengan pertanyaan “ya atau tidak” dengan memeinta klien
mengikuti perintah verbal sederhana. Kaji ekspresi tertulis dengan
meminta klien menulis jawaban pertanyaan yang sederhana.
b) Pemahaman bahasa lisan. Kemampuan mengikuto perintah (“julurkan
lidah Anda”).
c) Pemahaman bahasa tertulis. Kemampuan membaca beberapa kata atau
kalimat dan mejelaskan kata atau kalimat tersebut. Minta klien
membaca perintah sederhana dan melakukan perintah tersebut.
8) Fungsi sensorik teintegrasi: Integrasi fungsi kortikal (kalkulasi) dan
rekognisi visual dengan pembicaraan ekspresif. Minta klien
mengidentifikasi objek yang umum seperti pena, kunci, dan jam tangan.
Minta klien menulis suatu kalimat.
32

9) Memelihara Tekanan Perfusi Serebal: Manajemen asuhan keperawatan dan


medis berfokus untuk memelihara tekanan darah untuk menjaga CPP.
Setelah aneurisma diamankan, tekanan darah harus dijaga untuk
memelihara tekanan sistematik pada level yang cuckup tinggi untuk
memberikan CPP yang baik. Berbagai obat-obatan dan infus dapat
digunakan untuk menjaga tekanan darah kurang lebih 10% di atas tekanan
darah normal klien. Selain obat-obat yang menyokong tekanan darah klien,
dapat digunakan pula produk-produk darah albumin jika terdapat indikasi.
33

Tabel 2. 2
Panduan Pengkajian Neurologis
Kategori Daerah pada Sistem Saraf
Kategori Spesifik Teknik Pengkajian Contoh Gangguan
Fungsional yang Terlibat
Kesadaran Respon siaga pada Sistem aktivasi retikulas Apakah klien sadar? Peningkatan: agitasi, mania, insomnia,
(Kesadaran stimulus verbal, (reticular activating system Apakah dapat memusatkan delirium
pada diri dan taktil dan visual [RAS]) perhatian?
lingkungan (mesensefalon, diensefalon) Apakah terdapat respons Penurunan:somnolen,letargi,semikoma,
Kedua hemisfer normal pada stimulus visual koma
dan auditori? Reaksi pada suara
keras, goyangan, tekanan
dalam di atas tulang orbita atau
pada sternum?
Apakah tanda vital, pupil dan
refleks normal?
Kejiwaan Berpikir Hemisfer serebri dengan fungsi Apakah klien berorientasi baik Disorientasi
regional spesifik (orang, tempat, waktu)?

Menilik diri, Lobus frontalis, dengan serabut Apakah klien menyadai Ketidakmampuan mengambil
pengambilan asosiasi menuju area serebrum pengaruh sakit? Apakah tujuan keputusan, tidak perhatian pada
keputusan, lain kongruen dengan kemampuan? pakaian, penampilan, dan kebisaan
perencanaan Bagaimana klien berespons personal
terhadap situasi (kebakaran
rumah)?
Sumber informasi Gangguan-berfungsi tidak kongruen
Kecerdasan biologis dasar Kemampuan berhitung, dengan tingkat pendidikan
(lobus frontalis) teringrasi pengetahuan mengenai
dengan area lain peristiwa sekarang konsisten
dengan tingkat pendidikan?
Memori Siapa presiden Amerika
Serikat?
Baru saja Lobus temporalis dan serabut Demensia
asosiasi ke area lain di korteks
Masa lalu Hipokampus Perubahan pada memori peristiwa
lampau dapat terjadi bersama dengan
34

Kategori Daerah pada Sistem Saraf


Kategori Spesifik Teknik Pengkajian Contoh Gangguan
Fungsional yang Terlibat
Lobus frontalis Apa yang dimakan saat sarapan masalah SSP lama (trauma, infeksi,
pagi? trauma psikis)
Perasaan (afek) Apa yang terjadi kemarin? Afek tumpul: histeria, skizofrenia, lesi
(kongruen antara Mengingat kembali masa lalu lobus frontalis bilateral
respons dan Sistem limbik (biasanya selama melakukan wawancara
stimulus) melibatkan kedua hemisfer)
Gangguan persepsi Lesi iritatif pada korteks dapat
(ilusi, halusinasi) Bandingkan reaksi yang menyebabkan halusinasi (korteks
Area kortikal umum dan diamati dan yang diharapkan. oksipitalis → visual, girus postsentralis
spesifik pada halusinasi Apakah emosi labil? Tepat? → sensasi somatik, unkus →
pembauan)
Amati perilaku yang
mengindikasi masalah persepsi

Bahasa dan Disartria (defek Gangguan otot lidah, palatum, Minta klien mengtkuti frase Bergumam, kelambatan, bicara tidak
Pembicaraan pada artikulasi, faring, atau bibir (dapat saht ("Suse sells seashells by jelas, sengau, ritme pembicaraan
pengucapan, ritme dikarenakan impuls atau the seashore") normal yang terganggu (intoksikasi
pembicaraan) inkoordinasi) pembicaraan); sklerosis lateral
amyotrofik; pseudobulbar palsy,
myastenia gravis, stroke
Apakah suara klien serak, keras
Disfonia (produksi Batang otak, serebelum, atau lembut?
suara abnormal dari penyebab ekstraneural, saraf
laring) kranial V, VII, IX, X, XII Parkinsonisme, distonia

Suara berbisik

Afasia (tidak Banyak penyebab ekstraneural Kompresi saraf laringeus berulang oleh
mampu karsinoma bronkogenik pada bronkus
menggunakan, Gunakan temuan laringoskopi utama kiri
memahami kata- indirek
35

Kategori Daerah pada Sistem Saraf


Kategori Spesifik Teknik Pengkajian Contoh Gangguan
Fungsional yang Terlibat
kata yang terucap Masalah saraf laringeal
atau dituliskan) berulang (bagian saraf Hipertrofiatrium kanan
vagus/saraf kranial X) Amati ekspresi vokal, ekspresi
yang tertuli pemahaman bahasa
yang tertulis atau terucap,
komunikas gestur Tumor batang otak, oklusi arteri
Medula (area nukleus saraf vertebralis atau arteri serebelar
Agnosia kranial X) posterior inferior

Organ indra utuh? Dapatkah


klien mengenali objek dengan
(ketidakmampuan Lancar (reseptif): lobus rabaan, pendengaran? Stroke pada arteri serebralis media
mengenali objek temporalis dan parietalis kiri
atau simbol dengan (area Wernick)
indra)
Trauma, tumor, abses pada area lobus
temporalis dan parietalis
Tidak lancar (ekspresif): area
Brocca (lateral) bagian inferior
lobus frontalis sisi yang
dominan Kerusakan area Brocca atau serabut
asosiasi (stroke, tumor)

Global (kombinasi)
Stroke

Terutama di lobus oksipitalis,


temporalis dan parietalis Kelemahan wajah sentral (disfungsi
upper motor neuron); kelemahan
separuh wajah bagian bawah
36

Kategori Daerah pada Sistem Saraf


Kategori Spesifik Teknik Pengkajian Contoh Gangguan
Fungsional yang Terlibat

Penyebab: stroke, traktus kortikobulbar

Fungsi Ekspresi (wajah) Saraf kranial VII Simetrisitas senyum, berkerut, Kelemahan wajah perifer (disfungsi
Motorik alis lower motor neuron); kelemahan
separuh wajah Penyebab: Bell's palsy,
tumor batang otak, fraktur tulang
temporalis

Makan Saraf Kranial V, VII, IX, X, Tetanus, spasme otot perifer, sklerosis
(mengunyah, XII Kekuatan otot mastikator lateral amiotropik, tumor medula,
menelan) (pengunyah), refleks muntah, kelumpuhan pseudobulbar dapat
kemampuan menelan disertal dengan disartria

Gerakan mata Tekanan pedunkulus serebralis →


Saraf kranial III, IV, VI Gerakan ekstraokular, ukuran disfungsi saraf kranial III, trombus
pupil, reaktivitas, pupil sinus kavernosus → masalah saraf
bereaksi serasi dengan kranial III, IV, VI
akomodasi, diplopia, Masalah otot (miastenia gravis,
nistagmus Sindrom Horner (ptosis, pupil
konstriksi) anisokoria

Bergerak Saraf motorik atas;


Gyrus presentral motorik Otak dan sel kornu anterior yang
(piramidal) dan sistem Gaya berjalan, berjalan dengan bersama medula
serebelar, ganglia basal, saraf tumit ke ujung kaki, ada atau Tonus ↑↑ (spastik)
37

Kategori Daerah pada Sistem Saraf


Kategori Spesifik Teknik Pengkajian Contoh Gangguan
Fungsional yang Terlibat
kranial XI, medula spinalis, tidaknya gerakan involunter, Massa ↓ karena atrofi atau keadaan
Saraf motorik atas (otak -> koordinasi, tonus otot, massa, tidak digunakan (disuse)
medula spinalis melalui traktu kekuatan, tes Romberg, Refleks ↑↑ karena hilangnya inhibisi
kortikospinal) kemampuan mengangkat bahu sentral
dan bangun dari kursi Tidak ada fasikulasi
Klonus yang sering

Saraf motorik bawah:


Saraf tepi sel kornu anterior segmen
anterior
Saraf motorik bawah (sel Tonus ↓↓ (flaksid)
motorik saraf kranial dan spinal Massa ↓ karena kehilangan tonus
dan sel kornu anterior -> otot Refleks ↓ atau hilang karena hilangnya
perifer) sel kornu anterior
Fasikulasi
Klonus (-)

Masalah serebelum → hilangnya


koordinasi dan keseimbangan

Melibatkan serebelum
Fungsi Melihat Saraf kranial II: optikus, lobus Tajam penglihatan, lapang Lapang pandang: lepasnya refina atau
Sensorik oksipitalis pandang, funduskopi saraf optik -> hilangnya keterlibatan
mata, kiasma optikum -> hemianopsia
homonim
Traktus optikus -> hemianopsia
homonim
Lobus parietalis -> masalah kuadran
(inferior)
Lobus temporalis -> masalah kuadran
superior
38

Kategori Daerah pada Sistem Saraf


Kategori Spesifik Teknik Pengkajian Contoh Gangguan
Fungsional yang Terlibat
↑ Tekanan intrakranial -> papiledema
(peningkatan diskus -> perdarahan)
Menghidu/Membau Saraf kranial I, lobus Kemampuan mendeteksi bau
temporalis (unkus) yang familiar Biasanya ↓ pembauan karena sebab
ekstraneural (infeksi saluran napas atas,
alergi, merokok), sulkus olfaktorius,
meningioma, halusinasi olfaktorik

Mendengar Saraf kranial VIII: bagian Tajam pendengaran, ada tau Dapat memiliki tuli konduski (saraf
koklear, lobus temporalis tidaknya sara yang tidak biasa, OK) atau neural; sindrom Meinere
tes Weber dan Rinne (tinnitus, kehilangan pendengaran,
nistagmus), fraktur dasar tengkorak →
otorea
Disfungsi vaskular batang otak atau
tumor → ↓ pendengaran

Mengecap Saraf kranial VII, IX, lobus Kemampuan untuk Lesi batang otak atau insula →
insular membedakan manis, asin, pengecapan, penyebab ekstraneural,
asam, dan pahit merokok, higienis mulut yang jelek

Merasa (sensorik) Polineuropati (diabetes melitus,


Saraf tepi Nyeri: tes tusuk jarum anemia)
- dermatom Sentuhan: kapas yang Lesi medula spinalis → gangguan
- medula spinalis disentuhkan ke kulit dermatom
- traktus (menuju ke) Proprioseptif: mengecek jari Pons bagian atas → talamus, kehilangan
nyeri-suhu-taktil, sistem yang berada di udara kontralateral
anterolateral, proprioseptif, Vibrasi: menempatkan garpu Talamus → kehilangan kontralateral
stereognosis, radiks dorsalis → tala yang bergetar pada dan parestesia
talamus menuju ke area tonjolan tulang Talamus →korteks →kehilangan
somastetik (girus post- Suhu: tes tabung berisi air sensorik kortikal
sentralis, lobus parietalis) hangat dan dingin pada kulit;
klien mengidentifikasi apakah
hangat atau dingin
39

Kategori Daerah pada Sistem Saraf


Kategori Spesifik Teknik Pengkajian Contoh Gangguan
Fungsional yang Terlibat
Fungsi usus Sistem saraf Aferen Cek adakah impaksi feses atau Inkontinenzia feses dengan lesi S3-5
dan kandung otonom Saraf Spinal 3-5 inkotinesia
kemih Sfingter eksterna (kontrol Cek tonus otot Anestesia anal-konus medularis dan
volume) tabes dorsalis
Sfinter interna Mungkin disebabkan ekstraneural
Sistem saraf otonom Kehilangan kontrol inhibisi (stroke)
Korteks Serebralis
Inkontinenzia urine
Sistem saraf otonom Rasakan jika kandung kemih
Aferen penuh, pengosongan lengkap Kandung kemih flaksid
Saraf spinal Torakal 9 - Lumbal Apakah klien mengalami Kandung kemih spastik
2, Sakral 2 -4 urgensi dan frekuensi? Kehilangan kontrol inhibisi (stroke)
Sarafr Pupendus Mungkin disebabkan ekstraneural
Eferen
Saraf Spinal T11-L2
Sfingter eksterna; (volunteer)
Saraf spinal S2-4
Korteks Serebal
40

B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan yang Muncul


1. Nausea b.d. efek agen farmakologi: pasca anestes umum atas indikasi Postoperative Nausea & Vomiting
(PONV) Post Operasi Debridement Craniotomy
Tabel 2. 3
Intervensi Nausea
Intervensi Alasan
Manajemen Mual Manajemen Mual
Observasi Observasi
• Identifikasi pengalaman mual • Agar mengetahui frekuensi dan tingkat keparahan mual
• Monitor mual (mis. Frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan) • Untut mengetahui frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan
Terapeutik mual sebelum ataupun sesudah diberika terapi
Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual (mis. Bau tak sedap, Terapeutik
suara, dan rangsangan visual yang tidak menyenangkan) Untuk mencegah stimulus-stimulus yang merangsang resptor mual

Manajemen Muntah Manajemen Muntah


Observasi Observasi
• Identifikasi karakteristik muntah (mis. Warna, konsistensi, • Untuk mengantisipasi muntah termasuk muntah proyektif atau
adanya darah, waktu, frekuensi dan durasi) muntah biasa
Kolaborasi Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu Untuk mengatasi mual dengan cepat dan tepat

Aromaterapi Aromaterapi
Observasi Observasi
• Identifikasi pilihan aroma yang disukai dan tidak disukai • Agar selama aromaterapi diberikan pasien merasa nyaman
• Identifikasi tingkat mual muntah alam perasaan sebelum dan • Untuk mengetahui efektiftas dan keberhasilan terapi dengan
sesudah Aromaterapi aroma yang dipilih pasien
• Monitor ketidaknyamanan sebelum dan setelah pemberian • Untuk mengetahui keluhan penyertaa saat pasien mual muntah
(mis. Mual, pusing) • Untuk mencegah komplikasi akibat aromaterapi yang diterima
• Monitor masalah yang terjadi saat pemberian Aromaterapi • Untuk melihat apakah ada pengaruh dan perubahan terhadap
(mis. Dermatitis, kontak, asma) tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aromaterapi pada pasien
• Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah Aromaterapi Terapeutik
Terapeutik
41

Intervensi Alasan
• Pilih minyak asensial yang tepat sesuai dengan indikasi • Adapun beberapa aroma yang dapat menjadi pilihan pasien,
• Lakukan uji kepekaan kulit dengan uji tempel (patch test) anatar lain: peppermint, spearmint, jahe, rose, lavender
dengan larutan 2% pada daerah lipatan lengan atau lipatan ataupun campuran sepert jahe, spearmint dan cardamom
belakang leher (Aromatherapy Scents Used to Treat Postoperative Nausea,
• Berikan minyak esensial dengan metode yang tepat (mis. 2020).
Inhalasi, pemijatan, mandi, uap, atau kompres) • Untuk mengetahui apakah pasien memiliki alergi terhadap
kandungan oil atau dengan aroma pilihannya
• Pasien diberikan aromaterapi menggunakan essential oil
dengan aroma lavender selama 40 menit menggunakan alat
bantu berupa difusser. Aromaterapi menggunakan merupakan
upaya yang praktis dan efektif karena metode terpi ini bekerja
dengan metode inhalasi. Secara farmakologi, wewangian dari
essential oil (EO) dapat mengirimkan efek secara langsung
pada sistem saraf pusat dan sistem endokrin tanpa sadar.
Melalui inhalasi, molekul- molekul volatile minyak esensial
yang melewati reseptor olfaktori di hidung mengenali
karakteristik molekuler tersebut dan mengirimkan sinyal ke
otak melalui saraf olfaktori dan beberapa unsur pokok dari
molekul tersebut masuk ke dalam aliran darah melalui paru-
paru dan berpengaruh secara langsung terhadap saraf-saraf di
otak setelah melewati barier darah di otak. (Rihiantoro et al.,
2018)

Manajemen Mual
• Observasi
• Identifikasi pengalaman mual
• Identifikasi faktor penyebab mual (mis. Pengobatan dan
prosedur)
• Identifikasi antiemetik untuk mencegah mual (kecuali mual
pada kehamilan)
• Monitor mual (mis. Frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan)
• Monitor asupan nutrisi dan kalori
Terapeutik
42

Intervensi Alasan
Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual (mis. Bau tak sedap,
suara, dan rangsangan visual yang tidak menyenangkan)

Manajemen Muntah
Observasi
• Identifikasi karakteristik muntah (mis. Warna, konsistensi,
adanya darah, waktu, frekuensi dan durasi)
• Identifikasi faktor penyebab muntah (mis. Pengobatan, dan
prosedur)
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu
2. Nyeri Akut b.d. Agen Pencedera Fisik: Post Operasi Debridement Craniotomy
Tabel 2. 4
Intervensi Nyeri Akut
Intervensi Alasan
Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
Observasi : Observasi
• Identifikasi lokasi karakteristik dan durasi frekuensi kualitas • Untuk mengetahui lokasi, lamanya serta kualitas nyeri yang
dan intensitas nyeri dirasakan
• Identifikasi skala nyeri • Untuk mengetahui skala nyeri dalam rentang 0 hingga 10
• Identifikasi respon nyeri non verbal • Untuk mengetahui nyeri lain yang dirasakan saat dilakukan
• Identifikasi faktor yang memperberat pemeriksaan fisik
dan memperingan nyeri • Untuk mengetahui penyebab nyeri yang disebabkan pengaruh
• Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri budaya
• Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup • Untuk mengetahui pengaruh nyeri terhadap tingkat psikososial
• Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah dan spiritual pasien
diberikan • Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari terapi yang telah
Terapeutik : diberikan
• Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Terapeutik
seperti aromaterapi lavender • Terapi pemberian aromaterapi lavender diberikan selama 15
• Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri seperti suhu menit dengan menggunakan difusser menjadi tindakan
ruangan pencahayaan dan kebisingan nonfarmakologi yang berguna untuk mengurangi nyeri pasien
43

Intervensi Alasan
• Fasilitasi istirahat dan tidur tanpa menunggu obat. Zat aktif yang terkandung didalam
• Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan aroma terapi lavender akan merangsang hipotalamus untuk
strategi meredakan nyeri memproduksi dan mengeluarkan endorpin proses ini terjadi
Edukasi : pada saat aroma terapi dihisap(Hayati & Hartiti, 2021).
• Jelaskan penyebab periode dan pemicu nyeri • Untuk memberikan rasa nyaman dengan tujuan memperingan
• Jelaskan strategi meredakan nyeri nyeri yang dirasakan
• Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri • Untuk menghindari memperberat rasa nyeri pasien.
• Ajarkan teknik non farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri. • Observasi kembali penyebab dan sumber nyeri secara yakin
Kolaborasi dan pasti.
Kolaborasi pemberian analgesik Edukasi :
• Nyeri yang dirasakan pasien akibat luka insisi operasi
• Dengan distrasi tarik nafas dalam.
• Mengetahui kualitas nyeri secara mandiri
• Mengurangi tingkat ketergantungan dan memonitor nyeri
secara mandiri
Kolaborasi
Untuk mengatasi nyeri dengan cepat
3. Defisit Perawatan Diri: Mandi; Toileting; Makan b.d. Kelemahan Post Operasi Debridement Craniotomy
Tabel 2. 5
Intervensi Defisit Perawatan Diri
Intervensi Alasan
Dukungan Perawatan Diri Dukungan Perawatan Diri
Observasi Observasi
Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, Agar selama perawatan diri, tindakan tidak terkendala karena alat
berhias dan makan yang kurang
Terapeutik Terapeutik
• Sediakan lingkungan yang Terapeutik (mis. Suasana hangat, • Selain memperhatikan kenyamanan pasien, perawat juga
rileks, privasi) menjaga privasi pasien
• Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri • Untuk menjaga pasien dalam pengawasan perawqat sehingga
• Siapkan keperluan pribadi (mis. Partum, sikat gigi dan sabun tidak terjadi hal yg tidak diinginkan.
mandi) • Dalam menyiapkan keperluan pribadi libatkan keluarga
Edukasi sehingga pasien dapat menggunakan alat-alatnya sendiri
44

Intervensi Alasan
Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai Edukasi
kemampuan Untuk mencegah keleahan atau perburukan kondisi setelah
perawatan diri
Perawatan Kuku
Terapeutik Perawatan Kuku
• Rendam kuku dengan air hangat Terapeutik
• Fasilitas pemotongan dan kebersihan kuku, sesuai kebutuhan • Agar kuku lembut saat dipotong
• Bersihkan kuku dengan bahan alami (mis. Air putih, lemon, • Agar selama perawatan kuku, tidak ada hambatan karena
belimbing wuluh) peralatan yang kurang
• Bersihkan bagian bawah kuku dengan alat bantu pembersih • Untuk meminimalkan efek samping dari bahan kimia dan
kuku praktis
• Oleskan minyak zaitun hangat pada kuku • Agar tidak ada sisa kotoran pada bawah kuku dan
• Lembabkan daerah sekitar kuku meminimalisisr terjadinya luka (bila menggunakan alat yang
runcing)
• Agar kuku mendapat nutrisi dan menjadi tidak kering
• Untuk mencegah kekeringan
4. Ketidakstabilan Kadar Glukkosa Darah b.d. Disfungsi Pankreas: Riwayat Diabetes Mellitus Tipe 2
Tabel 2. 6
Intervensi Ketidakstabilan Kadar Glukkosa Darah
Intervensi Alasan
Manajemen Hiperglikemia Manajemen Hiperglikemia
Observasi Observasi
• Monitor kadar glukosa darah, jika perlu • Untuk mengetahui kondisi kadar glukosa dalam darah apakah
• Monitor tanda dan gejala hiperglikema (mis. Poliuria, sudah dalam rentang normal atau meningkat/menurun
Polidipsia, polifagia, kelemahan, malaise, pandangan kabur, • Agar dapat penanganan segera apabila pasien menunjukkan
sakit kepala) tanda dan gejala
Edukasi Edukasi
• Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri • Sebagai upaya pencegahan perburukan dari hiperglikemia
• Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olahraga • Untuk mencegah terjadinya hiperglikemia dan mengontrol gula
Manajemen Hipoglikemia darah
Kolaborasi Manajemen Hipoglikemia
Kolaborasi
45

• Pemberian karbohidrat kompleks dan protein sesuai diet • Pemberian karbohidrat kompleks dan protein sesuai diet
dengan Nutrsionist dengan Nutrsionist
• Anjurkan berdiskusi dengan tim perawatan diabetes tentang • Agar pengobatan dan penangan untuk pasien bisa diberikan
penyesualan program pengobatan dengan tepat

5. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif d.d cedera kepala; hipertensi; post operasi debridement craniotomy
Tabel 2. 7
Intervensi Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
Intervensi Alasan
Pemantauan Tekanan Intrakranial Pemantauan Tekanan Intrakranial
Observasi Observasi
• Monitor peningkatan TD • Untuk memastikan tekanan darah, frekuensi jantung dan irama
• Monitor penurunan frekuensi jantung menunjukkan rentang normal atau tidak
• Monitor ireguleritas irama napas • Untuk mengetahui jika ada penurunan tingkat kesadaran pada
• Monitor penurunan tingkat kesadaran pasien, akan segera dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan diberi
• Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon pupil penangan
• Jika ketidaksimetrisan respon pupil, pasien akan dilakukan
Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial pemeriksaan lebih dalam dan pengkajian focus agar dapat segera
Terapeutik diatasi dengan tindakan yang tepat
Berikan posisi head up 30 derajat
Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
Terapeutik
Posisi head up 30 derajat bertujuan untuk menurunkan tekanan
intrakranial pada pasien cedera kepala. Selain itu posisi tersebut juga
dapat meningkatkan oksigen ke otak. Prosedur kerja pengaturan posisi
head
up 30 derajat adalah sebagai berikut: a. Meletakkan posisi pasien dalam
keadaan terlentang
b. Mengatur posisi kepala lebih tinggi dan tubuh dalam keadaan datar
c. Kaki dalam keadaan lurus dan tidak fleksi
d. Mengatur ketinggian tempat tidur bagian atas setinggi 30 derajat
(Kusuma & Anggraeni, 2019).
46

6. Risiko Infeksi d.d. post operasi debridement craniotomy, riwayat diabetes melitus tipe 2, ketidakadekuatan
pertahanan tubuh sekunder: leukopenia
Tabel 2. 8
Intervensi Risiko Infeksi
Intervensi Alasan
Pencegahan Infeksi Pencegahan Infeksi
Observasi Observasi
Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistematik Untuk mengetahui adanya infeksi
Terapeutik
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien Terapeutik
dan lingkungan pasien • Mencegah invasi patogen pada luka operasi
Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi • Mencegah potensi adanya infeksi
Edukasi Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi Agar pasien ataupun keluarga mengetahui dan segera lapor jika ditemukan
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi tanda dan gejala infeksi seperti kemerahan, bengkak, munculnya cairan pus
Kolaborasi selama perawatan dirumah.
Kolaborasi pemberian antibiotik Pasien disarankan untuk makanan tinggi protein dan vitamin C yang dapat
meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi Satyanegara, 2010
dalam Hastuti, 2019).
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
7. Risiko Jatuh d.d. usia 67 tahun, riwayat jatuh 2 hari yang lalu, kekuatan otot menurun, post operasi
debridement craniotomy; pasca anestesi umum, lingkungann tidak aman: lantai licin
Tabel 2. 9
Intervensi Risiko Jatuh
Intervensi Alasan
Pencegahan Jatuh Pencegahan Jatuh
Observasi Observasi
Hitung risiko jatuh dengan menggunakan skala morse Untuk mengetahui tingkat resiko jatuh pasien sehingga pemantauan
Terapeutik pada pasien bisa disesuaikan
47

Intervensi Alasan
• Pastikan roda tempat tidur dan kursi roda selalu dalam kondisi Terapeutik
terkunci • Agar pasien tidak jatuh karena pergerakkan tempat tidur
• Pasang handrall tempat tidur • Agar pasien tidak jatuh disamping tempat tidur
• Atur tempat tidur mekanis pada posisi terendah • Untuk meminimalisir cedera yang mungkin dialami pasien jika
• Dekatkan bel pemanggil dalam jangkauan pasien terjatuh
Edukasi • Untuk mempermudah pasien menggil perawat saat
Ajarkan cara menggunakan bel pemanggil untuk memanggil membutuhkan pertolongan
perawat Edukasi
Agar pasien tahu cara menggunakan bel dengan tepat dan bijak
Manajemen keselamatan lingkungan
Terapeutik Manajemen Keselamatan Lingkung-an
• Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko Terapeutik
• Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis. Commode • Dekatkan segala kebutuhan pasien dengan pasien, sesuaikan
chair dan pegangan tangan) penerangan dengan kenyamanan pasien serta menyediakan
• Gunakan perangkat pelindung (mis. Pengekangan fisik, rel kursi untuk keluarga agar selalu dekat dengan pasien
samping, pintu terkunci, pagar) • Jika alat bantu tidak tersedia, libatkan keluarga selama pasien
mobilisasi
• Pinggiran tempat tidur harus selalu dinaikkanterutama pada
pasien dengan risiko tinggi jatuh
8. Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual

Tabel 2. 10
Intervensi Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual
Intervensi Alasan
AKSM (Dewi & Aisyah, 2021) AKSM (Dewi & Aisyah, 2021)
• Bimbingan doa • Agar bersama-sama dengan pasien untuk selalu berdoa untuk
• Berikan Psikoreligius: kesembuhan pasien
Terapi Murottal Al-Qur’an • Berikan Psikoreligius:
• Fasilitasi untuk pelaksanaan ibadah Terapi Murottal Al-Qur’an terbukti dapat meningkatkan hormone
• Berikan dukungan spiritual endorphin. Saat mendengar alunan murottal, endorphin yang
• Tingkatkan harapan klien dihasilkan akan ditangkap oleh reseptor di hypothalamus dan
48

Intervensi Alasan
sistem limbik yang berfungsi mengatur emosi (Syamsudin &
Kadir, 2021)
• Agar pasien nisa memenuhi ritual ibadahnya walaupun sedang sakit
Agar pasien bisa terus mampu menguatkan diri dan sealalu memaknai
kondisinya dengan keyakinan yang postif.
49

III. Evidence Base Nursing Aromaterapi Lavender Terhadap Mual Muntah

Aromaterapi adalah teknik pengobatan dengan aroma minyak esensial dari

proses penyulingan berbagai bagian tanaman, bunga, maupun pohon yang masing-

masing mengandung sifat terapi yang berbeda. Salah satu sumber minyak harum yang

digunakan sebagai aromaterapi antara lain berasal dari bunga lavender. Bunga lavender

(Lavandula Angustifolia) berbentuk kecil, berwarna ungu kebiruan, dan tinggi tanaman

mencapai 72 cm berasal dari wilayah selatan Laut Tengah sampai Afrika tropis dan ke

timur sampai India. Lavender termasuk tumbuhan menahun, tumbuhan dari jenis

rumput-rumputan, semak pendek, dan semak kecil. Tanaman ini juga menyebar di

Kepulauan Kanari, Afrika Utara dan Timur, Eropa selatan dan Mediterania, Arabia,

dan India (Ramadhan & Zettira, 2017).

Penggunaan aromaterapi bunga lavender (Lavandula angustifolia) salah

satunya dengan cara inhalasi untuk mendapatkan manfaat langsung kedalam tubuh.

Aromaterapi bunga lavender (Lavandula angustifolia) ini mengandung bahan aktif

utama yaitu linalool (C10H18O) yang berfungsi sebagai efek sedative. Aromaterapi

lavender bermanfaat untuk relaksasi, kecemasan, mood, dan pasca pembedahan

menunjukkan terjadinya penurunan kecemasan, perbaikan mood, dan terjadi

peningkatan kekuatan gelombang alpha dan beta yang menunjukkan peningkatan

relaksasi (Taukhit & Haryono, 2018). Gelombang alpha sangat bermanfaat dalam

kondisi relaks mendorong aliran energi kreativitas dan perasaan segar dan sehat

(Taukhit & Haryono, 2018). Kondisi gelombang alpha ideal untuk perenungan,
50

memecahkan masalah, dan visualisasi, bertindak sebagai gerbang kreativitas

seseorang.

Terdapat dua mekanisme utama bagaimana aromaterapi menghasilkan efeknya,

sebagai berikut: yang pertama adalah hipotesis farmakologis, kedua hipotesis

psikologis (Ramadhan & Zettira, 2017). Hipotesis farmakologis menunjukkan bahwa

komponen minyak esensial secara langsung berinteraksi dan mempengaruhi sistem

saraf dan endokrin. Lavender, yang dikenal dengan efek menenangkan dan sedatifnya,

telah terbukti bekerja secara pascasinaks - di mana ia telah diusulkan untuk mengatur

aktivitas cyclic andenosine monophosphate (cAMP). Pengurangan aktivitas cAMP

berkorelasi dengan sedasi. Dengan demikian menunjukkan bahwa minyak esensial

lavender bertindak melalui mekanisme neurofarmakologis (Whitley, 2019).

Hipotesis psikologis, mekanismenya dimulai ketika seseorang menghirup

aromaterapi bunga lavender maka aroma yang dikeluarkan akan menstimulasi reseptor

silia saraf olfactorius yang berada di epitel olfactory untuk meneruskan aroma tersebut

ke bulbus olfactorius melalui saraf olfactorius. Bulbus olfactorius berhubungan dengan

sistem limbik. Sistem limbik menerima semua informasi dari sistem pendengaran,

sistem penglihatan, dan sistem penciuman. Limbik adalah struktur bagian dalam dari

otak yang berbentuk seperti cincin yang terletak di bawah korteks serebri. Bagian

terpenting dari sistem limbik yang berhubungan dengan aroma adalah amygdala dan

hippocampus. Amygdala merupakan pusat emosi dan hippocampus yang berhubungan

dengan memori (termasuk terhadap aroma yang dihasilkan bunga lavender)(Whitley,

2019).
51

Tabel 2. 11
Hasil Rekapitulasi Artikel Literature Review
Judul dan
No. Variabel Metodologi Hasil
Peneliti
1 The Use of Aromatherapy, Studi Kasus Aromaterapi untuk pengobatan PONV semakin
Aromatherapy for Lavender, Post- populer di kalangan rumah sakit dan pasien dengan
the Treatment of Operative Nausea semakin banyak bukti keefektifannya. Aromaterapi
Post-Operative Vomiting (PONV) memungkinkan perawat untuk memulai pengobatan
Nausea Vomiting, tanpa perintah dokter dan memungkinkan pasien
(Whitley, 2019). pilihan alternatif dan kekuatan dalam pengambilan
keputusan tentang perawatan mereka.
2 A Randomized Complementary Studi Kasus Penelitian kami mengungkapkan bahwa keparahan
Placebo- Therapies mual dan muntah pasien diubah oleh aromaterapi
Controlled Study Postoperative lavender seperti halnya aromaterapi jahe.
of Aromatherapy Nausea And
for The Treatment Vomiting
of Postoperative Aromatherapy
Nausea and
Vomiting,
(Karaman et al.,
2019)
3 Aromaterapi Aromaterapi, Studi Kasus Aromaterapi bunga lavender (Lavandula
Bunga Lavender Bunga Lavender angustifolia) dari proses penyulingan mengandung
(Lavandula (Lavandula bahan aktif utama yaitu linalool (C10H18O) yang
angustifolia) Angustifolia), memiliki efek sedatif dalam menurunkan risiko
dalam Insomnia, Linalool insomnia
Menurunkan Lavender
Risiko Insomnia,
(Aromatherapy
52

Judul dan
No. Variabel Metodologi Hasil
Peneliti
Scents Used to
Treat
Postoperative
Nausea, 2020)
4 Pemberian Nyeri; Studi Kasus Pemberian terapi aromaterapi lavender yang
Aromaterapi Debridement; dilakukan selama 3 hari dapat menurunkan nyeri
Lavender Aromaterapi pasien ulkus granulosum post op debridement.
Menurunkan Lavender
Intensitas Nyeri
Post Op
Debridement Pada
Pasien Ulkus
Granulosum,
(Hayati & Hartiti,
2021)
5 The Use of Aromatherapy, Systematic Review Aromaterapi merupakan salah satu terapi modalitas
Aromatherapy in Postoperative, yang dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan
Postoperative Nausea, Vomiting, PONV pada pasien bedah dewasa.
Nausea and Surgical Patient,
Vomiting: A PONV
Systematic
Review, (Asay et
al., 2019)
BAB III
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Laporan Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. R
Tanggal Lahir : 4 Agustus 1954
Usia : 67 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Alamat : Jalan Babakan Tarogong
Pekerjaan : Pensiun
Agama : Islam
Pendidikan : Sarjana
Status marital : Menikah
Nomor RM : 852957
Diagnosa Medis : Post Operative Debridement
Craniotomy e.c. Multiple
Vulnus+CKR
Tanggal Pengkajian : 28/11/2021
Tanggal Masuk RS : 29/11/2021
b. Identitas Penanggung Jawab Pasien
Nama : Tn. F
Jenis Kelamin : Pria
Pendidikan : Sarjana
Hubungan dengan Pasien : Anak
Alamat : Jalan Babakan Tarogong
c. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Pasien mengeluh mual dan muntah menyembur sebanyak empat
kali
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada tanggal 28 November 2021, pasien mengalami penurunan
kesadaran (pingsan) dan terjatuh hingga kepala berdarah akibat
terbentur mengenai jalan yang terdapat batu dan paku kecil setelah
melakukan perjalanan dengan kendaraan mobil bersama anak

53
54

sulungnya dari Kabupaten Ciamis - Kota Bandung. Kemudian,


keluarga pasien membawa pasien ke RS Immanuel, beberapa saat
kemudian pasien sadar dan langsung dirujuk ke RS
Muhammadiyah atas perminntaan pasien. Setelah dirujuk ke RS
Muhammadiyah, saat pasien masuk IGD langsung dilakukan
pemeriksaan penunjang CT Scan, lab darah, foto thorax dan swab
antigen. Kemudian pasien dipindah kan ke Ruang Rawat Inap
Multazam 2 pada pukul 00.20. Pasien didiagnosis multiple vulnus
+ cedera kepala ringan. Pasien direncanakan untuk melakukan
operasi pagi hari, pada pukul 02.00 pasien mulai puasa persiapan
operasi.
Pada tanggal 29 November 2021 pukul 06.30 pasien dilakukan
pemeriksaan EKG dan pukul 07.00 wib pasien diantar ke Ruang
Operasi untuk dilakukan Debridement Craniotomy. Kepala pasien
tampak mengalami perdarahan, GCS 15, tingkat kesadaran pasien
compos mentis, tidak ada tanda sianosis, terapi cairan infus ringer
laktat dengan sisa cairan 300cc . Tanda-tanda vital: Tekanan darah
162/75 mmHg, suhu 36, 5 derajat celcius, nadi 66 kali permenit,
frekuensi napas 15 kali permenit.
Anestesi dimulai pada pukul 08.30 dan operasi dimulai pada pukul
09.00 dengan diagnose pra bedah Scalp Avulsion. Selama operasi
berlangsung pasien berada dalam posisi supine, dan dibawah
pengaruh obat anestesi. Anestesi yang diguakan pada pasien
merupakan anestesi umum. Medikasi yang diberikan pada pasien
selama intra anestesi yaitu Propofol 130mg, Fentanyl 100 ug,
Artracurium 30mg, Dexa I, Tramadol II (dosis total 200mg),
Keterolac serta Anestesi inhalasi berupa Isoflurance+N20+O2.
Perdarahan yang dialami pasien ±50 cc. Pasien juga mendapatkan
terapi cairan RLdan Nacl. Operasi pada pasien berakhir pada pukul
09.35 dan anestesi berakhir pukul 09.49. Tanda-tanda vital pasca
operasi 180/70 mmHg, N 88x/mnt, pasien terpasang iv line dengan
terapi NaCl+Analagesik.
Saat pukul 13.25 pasien dijemput dari recovery room, pasien
mengeluh sering mual dan muntah menyembur ≥2 kali. Pada pukul
13.30 wib pasien dibawa kembali ke ruang rawat inap mulatazam
2. Kemudian pada pukul 13.55 wib perawat melakukan pengkajian
pada pasien.
55

Saat perawat melakukan pengkajian, pasien muntah menyembur


sampai ≥4 kali yang disertai mual. Pasien tampak lemah, gelisah,
hipersaliva, pucat, diaforesis, pupil dilatasi. Pada kepala sebelah
kiri pasien tertutup perban karena terdapat luka pasca operasi.
Pasien mengeluh nyeri dan tampak memegang area kepala kiri.
Pasien mengatakan bahwa nyeri yang ia rasakan yaitu skala 5
(Numeric Scale: 0-10), terasa seperti ditusuk-tusuk, nyeri
dirasakan terutama saat pasien berusaha menggerakkan kepalanya.
Keluhan pasien dirasakan hingga belakang leher disertai
kegelisahan dan sesekali meringis. Pasien tampak sangat hati-hati
terhadap kepalanya. Selama wawancara pasien juga mengatakan
merasa lemas dan haus, pasien juga ingin BAK tetapi ingin
langsung ke kamar mandi tidak bisa ia lakukan karena kondisinya.
Pasien juga mengatakan merasa tidak nyaman atas badannya yang
lengket karena berkeringat. Hasil inspeksi menunjukkan banyak
bercak darah kering pasca operasi sekeliling are yang tertutup
perban, kuku hitam dan juga ditemukan bercak darah pada sela-
sela kuku.
Hasil Pemeriksaan tanda-tanda vital menunjukkan TD = 140/80
mmHg, HR = 80 kali permenit, RR = 20 kali permenit, S = 36,7
o
C, status kesadaran CM, BU lemah ±3x dalam semenit.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus sejak
lama namun baru terkontrol 10 tahun yang lalu. Pasien juga
memiliki benjolan cairan lutut sejak 2009, cairan lutut tersebut
pernah dikeluarkan sekali dengan indikasi nyeri pada lutut pada
tahun 2017. Pasien juga pernah melakukan laser mata satu kali
pada mata sebelah kiri pada tahun 2020, namun indikasi laser mata
tidak diketahui pasien karena anak pertamanya yang
membantunya.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Istri pasien memiliki riwayat hipertensi, parkinson dan sekarang
sedang mengalami stroke.
d. Data psikologis, sosial dan spiritual
1) Data Psikologis
a) Konsep Diri
− Gambaran diri: pasien menyukai seluruh tubuhnya
56

− Harga diri: pasien merasa puas dan tidak hal yang membuat
dirinya malu.
− Identitas diri: pasien merupakan seorang laki laki dan
seorang pensiunan guru disalah satu sekolah swasta di Kota
Bandung.
− Ideal diri: Pasien berharap luka di kepala kirinya lekas
sembuh dan segera pulang ke rumah.
− Peran diri: Pasien adalah seorang laki-laki yang memiliki
seorang istri dan empat orang anak laki-laki dan sudah
tidak menjadi tidak menjadi tulang punggung semenjak
pensiun.
b) Status Emosi
Pasien tampak gelisah
2) Data Sosial
Pasien dekat keluarga pasien terutama anak dan cucunya. Pasien
adalah seorang guru ngaji privat yang juga mengajar ngaji di
masjid sekitar lingkungannya. Pasien merupakan salah satu tokoh
masyrakat di area lingkungannya. Pasien juga merupakan kader
Muhammadiyah.
3) Data Spiritual
☑Agama: Islam ☑Baligh/Belum Baligh/Halangan Lain
☑ Ibadah: Mandiri/ Dibantu
Penggunaan Kerudung: Ya/Tidak/Kadang-Kadang*Khusus Wanita
☑Kegiatan Ibadah Lain: Mengaji, Wirit
☑Bersuci: Wudhu /Tayamum ☑/Tidak Tahu
☑Pelaksanaan Shalat: Teratur ☑Tidak Teratur /Tidak Shalat

Kemampuan Shalat: Berdiri Duduk Berbaring ☑


Kendala Tidak Shalat: Tidak Tahu /Mampu /Mau☑
☑Makna Sakit: Ujian ☑/Guna-Guna /Gangguan Jin
Lainnya:……
☑Harapan Sembuh: Tidak /Ya ☑
☑Penerimaan Tentang Penyakit: Tidak Menrima /
Menerima ☑/ Tawar Menawar
57

☑ Dukungan Komunitas Spiritual: Baik ☑/ Kurang Baik ,


Yang Paling Mendukung: Keluarga…
Uraian persepsi pasien terhadap konsep ketuhanan, makna hidup,
sumbr harapan: menurut pasien sakit yang dialami pasien adalah
pemberian dari Allah, sama seperti kesehatan juga dari Allah,
sehingga pasien merasa harus selalu sabar karena sakit juga
merupakan salah satu ujian dan nikmat dari Allah.
e. Pola Aktivitas Hidup Sehari-Hari (Activity Daily Living)
Tabel 3. 1
Pola Aktivitas Hidup Sehari-Hari
No Kebiasaan Di Rumah Di Rumah Sakit
1 Nutrisi
Makan
● Jenis Nasi, lauk pauk, Berpuasa
sayur dan buah
● Frekuensi Tiga kali sehari
● Porsi Satu porsi
● Keluhan Tidak ada
keluhan
Minum
● Jenis Air Putih Berpuasa
● Frekuensi ≥10 kali
● Jumlah (cc) 2000-2500
● Keluhan Tidak ada
keluhan
2 Eliminasi
BAB
● Frekuensi Satu kali sehari
● Warna Kuning Belum BAB
● Konsistensi kecoklatan
● Keluhan Lunak
Tidak ada
keluhan
BAK
● Frekuensi 7-8 kali
● Warna Bening Belum BAK
● Jumlah (cc) Jernih
● Keluhan Tidak ada
keluhan
3 Istirahat dan tidur
● Waktu tidur
58

No Kebiasaan Di Rumah Di Rumah Sakit


o Malam, 21.00 wib 19.30 wib
pukul 12.00 11.50
o Siang, pukul Sembilan jam Sembilan jam
● Lamanya Tidak ada Tidak ada keluhan
● Keluhan keluhan
4 Kebiasaan diri
● Mandi 2-3 x sehari Belum dilakukan
● Perawatan Setiap Belum dilakukan
rambut mandi
● Perawatan 2 minggu Belum dilakukan
kuku sekali
● Perawatan gigi 2-3 x sehari Belum dilakukan
● Tingkat Tidak ada Tidak Ada
ketergantungan
● Kebiasaan Tidak Tidak dilakukan
merokok merokok
● Kebiasaan Jarang Tidak dilakukan
olahraga dilakukan
f. Data Pemeriksaan Fisik
1) Status Kesehatan Umum
Penampilan umum : Lemah dan mengantuk
Kesadaran : Compos mentis/somnolen/stupor/coma
GCS 13 (E4 M6 V5)
Tanda-tanda vital : TD = 140/80 mmHg
HR = 80 kali permenit
RR = 20 kali permenit
S = 36,7 oC
Status Antopometri : BB = 70 kg
TB = 165 cm
IMT = 25. 71
2) Hasil Pemeriksaan Sistem : head to toe, pengkajian neurologis
dasar dan saraf kranial
1) Kepala dan leher
Terdapat luka post op debridement craniotomy pada area
kepala sinistra.
Pada pengkajian saraf kranial, hasilnya adalah sebagai berikut:
Nervus Kranial I Olfaktorius: Pasien mampu membedakan
bau kopi dan minyak kayu putih
59

Nervus Kranial II Optikus: Pasien mampu membaca papan


nama perawat dalam jarak 30 cm tanpa menggunakan alat
bantu, pasien memiliki keluhan rabun dekat dan kesehariannya
menggunakan kaca mata saat membaca.
Nervus Kranial III, IV, VI Okulomotoris, Trokhealis,
Abdusen: Gerak bola mata kesegala arah, respon pupil
anisokor pada pupil kanan kurang merespon cahaya. Sebelum
sakit pasien sesekali merasakan ada bayangan putih pada
penglihatannya, ia pernah melakukan laser pada matanya
kanannya, namun pasien tidak menyampaiakan atas indikasi
apa dan menyangkal glaucoma.
Nervus Kranial V Trigeminus: Pasien mampu menuttup dan
membuka mulut dengan baik, pasien mampu mengigit gemas,
sensasi kasar, halus, tajam dan tumpul bagus pada dahi, dagu,
pipi, Refleks kornea positif ditandai dengan mata klien
berkedip ketika diusapkan tissue pada pinggir mata klien.
Nervus Kranial VII Fasialis: Gerakan wajah pasien simetris
saar tersenyum dan mengerutkan alis, dapat membedakan
manis, asin, asam dan pahit (saraf kranial IX).
Nervus Kranial VIII Auditorius: Kemampuan mendengar
(+/-), pada telinga kanan konduksi udara lebih baik
dibandingkan telinga kiri, saat berbicara dengan klien harus
dengan suara dan intonasi yang jelas dan agak keras agar dapat
mendengar dengan baik.
Nervus Kranial IX dan X Glosofaringeus: Pasien dapat
menelan dengan baik saat minum, reflex muntah ada, mampu
berbicara tanpa kesulitan
Nervus Kranial XI Asesorius: Pasien mampu mengangkat
bahu, menoleh ke kanan dan ke kiri dengan normal. Kekuatan
otot sternokleidomastoideus dan trapezius (+)
Nervus Kranial XII Vagus: Pasien dapat menggerakan
lidahnya ke segala arah dengan bebas dan mendorong sisi yang
satu dengan yang lainnya.
Fungsi memori pasien bagus, pasien mengingat dirinya T. R
sedang di rawat inap multazam 2 RS Muhammadiyah waktu
ba’da zuhur akibat terjatuh sehari sebelumnya, pasien juga
60

mampu berhitung sederhana, dan mampu membaca name tag


perawat dan jam.
Hidung pasien bersih, tidak terdapat pernapasan cuping
hidung.
Warna bibir merah muda, lidah klien bersih namun hipersaliva,
tidak ada luka pada daerah bibir, tidak stomatitis, jumlah gigi
tingga satu, pasien menggunakan gigi palsu, hipersaliva.
2) Dada anterior
Tidak ada penggunaan otot bantu napas tambahan, bentuk dada
simetris, irama napas reguler, pengembangan dada seimbang,
vocal fremitus seimbang kanan kiri. Tidak nyeri tekan di area
dada. Terdengar suara resonan di area dada, terdengar bunyi
vesikuler di sekitar area paru, saat di auskultasi tidak terdengar
wheezing (-/-). Tidak terlihat kebiruan pada bagian
dada/jantung, bunyi jantung S1 dan S2 terdengar lub dub,
terdengar pulsasi lebih dari ics 6 dengan stetosko.
3) Dada posterior
Batas paru normal, suara vesikuler ka/ki
4) Abdomen
Bising usus lemah ±3x, perut kembung, belum ada flatus,
perkusi perkusi kuadran kanan atas/ bawah dan kiri atas/bawah
hipertimpani
5) Genital
Kandung kemih tidak distensi, tidak ada gangguan pada area
genital
6) Ekstremitas atas
Akral dingin, crt <2 detik, terpasang infus NaCl 0,9%,
kekuatan ekstremitas atas 2/3, peregerakan dapat melakukan
rom secara penuh dan melawan garivtasi namun pada tangan
kanan tidak dapat menahan tekanan dari perawat, tidak
terdapat nyeri tekan pada area ekstremitas atas., kuku kotor
7) Esktremitas bawah
Kuku bersih, akral teraba dingin, tidak terdapat edema,
terdapat nyeri tekan pada ekstremitas sebelah kanan, kekuatan
otot ekstremitas bawah 3/3, peregerakan dapat melakukan rom
secara penuh dan melawan tekanan minimal, pada lutut kiri
61

terdapat benjolan. Menurut pasien benjolan ini merupkan


kumpulan cairan lutut, pasien menyangkal ini gout atritis.
g. Data Penunjang Diagnostik
1) Laboratorium Imunoserologi Lain
Tanggal/ Waktu: 28 November 2021/ 19:01:13 wib
Hasil:
Tabel 3. 2
Hasil Laboratorium Imunoserologi Lain
Jenis
Hasil Nilai Rujukan Satuan Keterangan
Pemeriksaan
Antigen Rapid
Test SARS- Negatif Negatif
CoV-2

2) Laboratorium Darah
Tanggal/ Waktu: 28 November 2021/ 21:34:58 wib
Hasil:
Tabel 3. 3
Hasil Laboratorium Darah
Jenis
Hasil Nilai Rujukan Satuan Keterangan
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hematologi 8 Parameter, Hitung Jenis:
Hemoglobin 15,6 Pria: 14-18 gr/dl Normal
Hematokrit 48 Pria: 40-54 % Normal
Leukosit 13.500 4.000-10.000 sel/mm3 Meningkat
Trombosit 228.000 150.000-400.000 sel/mm3 Normal
Eritrosit 5,3 Pria: 4,5-6,0 Juta Sel/m Normal
MCV 89 80-100 fL Normal
MCH 29 27-34 pg Normal
MCHC 33 32-36 % Normal
Hitung Jenis
Basofil - 0-1 %
Eosinofil 2 1-4 % Normal
Netrofil 86 35-70 % Meningkat
Monosit 4 2-10 % Normal
Limfosit 8 20-40 % Menurun
DIABETES
Gula Darah
170 Sampai 160 mg/dl Meningkat
Sewaktu
3) Elektrokardiogram (EKG)
62

Tanggal: 29 November 2021 (Pre-Operasi jam 06.30)


Hasil: Sinus Rhythm dengan HR 66x/mnt
4) Foto Thorax
Tanggal: 28 November 2021
Hasil: Cardiomegali tanpa bendungan paru dan tidak tampak
kelainan pulmo.
5) CT Scan
Tanggal: 28 November 2021
Hasil: CT Scan kepala tanpa memakai kontras tidak menunjukka
tanda-tanda perdarahan/infark/SOL intracranial/fraktur
cranium/kelainan lain.
6) Program Terapi
Tabel 3. 4
Program Terapi Tn. R
Nama Obat Rute Dosis Obat Waktu Indikasi
Obat
Ceftriaxone IV 1x1gr 06.00;18.00 Obat antibiotik
untuk mengobati
berbagai macam
infeksi bakteri.
Pantoprazole IV 2x1amp 04.00;16.00 Meredakan
keluhan dan
gejala akibat
peningkatan
asam lambung.
Sanmol IV 3x1gr 08.00;16.00;24.00 Obat Analgesik
dan antipiretik
NaCl 0,9% IV 1500cc/24jam Tiap 8 jam Cairan kristaloid
untuk
menggantikan
cairan tubuh yang
hilang.
h. Analisa Data
Tabel 3. 5
Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1 Data subjektif: Terlampir Nausea
− Pasien mengeluh muntah
menyembur ±4x
Data Objektif:
− Pasien tampak sering menelan
63

No Data Etiologi Masalah


− Saliva tampak banyak pada
mulut
− Pasien tampak pucat
− Diaforesis (+)
− Pupil Dilatasi 1mm/1,5mm
− Tekanan Darah 140/80 mmHg

2 Data subjektif: Terlampir Nyeri Akut


− Pasien mengeluh nyeri post
operasi pada kepala
Data Objektif:
− Terdapat luka postop-
debridement craniotomy
− Pasien tampak gelisah disertai
meringis
− Pasien tampak sangat fokus dan
hati-hati terhadap kepalanya
− Skala Nyeri 5 (numeric scale 0-
10)
− Nyeri dirasakan pada hingga
belakang leher
− Nyeri disertai keluhan pusing
− Karakteristik nyeri seperti
ditusuk-tusuk
− Diaforesis
− Nyeri dirasakan terutama saat
pasien berusaha ambulasi
− Tanda-tanda vital:
TD = 140/80 mmHg
HR = 80 kali permenit
RR = 20 kali permenit
S = 36,7 oC
3 Data subjektif: Gaya hidup Ketidakstab
− Pasien mengatakan memiliki ↓ ilan Kadar
riwayat diabetes mellitus ↓ kerja pankreas Glukkosa
− Pasien mengeluh lemas dan haus ↓ Darah
Data Objektif: ↓ jumlah reseptor
− Pasca Puasa 12 jam sebelum insulin
operasi ↓
− GDS sebelum operasi Defisiensi insulin
Tanggal/ Waktu: 28 November (absolute dan relatif)
2021/ 21:34:58 wib kuantitas serta
Hasil: 170mg/dL kualitas insulin

Gangguan
metabolism
karbohidrat, protein
dan lemak

64

No Data Etiologi Masalah


↑ kadar glukosa
dalam tubuh

Hiperglikemia

Lama puasa dan
efek medikasi
perioperative

↓ kadar glukosa
dalam tubuh

Ketidakstabilan
kadar glukosa darah
4 Data subjektif: Terlampir Defisit
− Pasien mengeluh badan lengket, Perawatan
hingga merasa tidak nyaman Diri:
− Pasien mengatakan tidak mampu Makan.
berjalan ke kamar mandi secara Mandi:
mandiri Toileting
− Pasien mengeluh belum bisa
makan dan minum secara
mandiri
Data Objektif:
− Pasien tampak tidak mampu ke
kamar mandi secara mandiri
− Pasien belum mampu mandi
secara mandiri
− Kulit pasien tampak berminyak
− Area kepala pasien masih
banyak bercak darah kering
pasaca operasi
− Sekeliling area perban pasca
operasi masih kotor (darah
kering menempel)
− Kuku hitam dan masih ada
bercak darah kering disela kuku
5 Data Objektif: Terlampir Risiko
− Post Operasi Debridement Infeksi
Craniotomy
− Memiliki riwayat diabetes
mellitus tipe 2
6 Data Objektif: Terlampir Risiko
− Usia pasien 67 tahun Jatuh
− Pasien memiliki riwayat jatuh
− Lingkungan tidak aman: lantai
licin
− Post Operasi Debridement
Craniotomy
− Efek anastesi umum
65

No Data Etiologi Masalah


− GDS sebelum operasi: 170
mg/dL
− Skala MFS: 60 (Resiko Tinggi
Jatuh)
− Kekuatan otot menurun pada
ekstremitas bawah maupun atas
2/3 atas, 3/3 bawah
7 Data Objektif: Terlampir Risiko
− Hipertensi Perfusi
− Cedera kepala Serebral
− Efek samping tindakan operasi Tidak
debridement craniotomy Efektif
− Pasca operasi perdarahan
sebanyak ±50cc
8 Data subjektif: Kejadian jatuh yang Kesiapan
− Pasien mengatakan beragama dialami pasien Peningkata
islam. Pasien mengatakan masih hingga harus di n
mampu melakukan ibadah lakukan operasi Kesejahtera
secara mandiri. debridement an Spiritual
− Menurut pasien, sakit yang craniotomy
dialami pasien adalah ↓
pemberian dari Allah, sama Menerima dan tetap
seperti kesehatan juga dari bersyukur atas ujian
Allah, sehingga pasien merasa yang Allah berikan
harus selalu sabar karena sakit ↓
juga merupakan salah satu ujian ↑ harapan ingin
dan nikmat dari Allah sembuh
− Pasien mengatakan ia ↓
memaknai sakit sebagai ujian Umpan balik positif
− Pasien mengatakan berharap dari lingkungan
segera sembuh sekitar
− Pasien mengatakan menerima ↓
kondisi sakitnya Kesiapan
− Pasien mangatakan selama Peningkatan
dirawat keluarganya selalu Kesejahteraan
merawat dan mendukung agar Spiritual
lekas sembuh.
Data Objektif:
− Pasien bersuci dengan cara
tayamum
− Pasien solat 5 waktu dan diawal
waktu solat (setelah azan)
− Tidak ada kendala solat
66

PATHWAYS

Gambar 3. 1
Pathway pada Tn. R
67

2. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan Prioritas


a. Nausea b.d. efek agen farmakologi: pasca anestes umum atas indikasi
Postoperative Nausea & Vomiting (PONV) Post Operasi Debridement
Craniotomy
b. Nyeri Akut b.d. Agen Pencedera Fisik: Post Operasi Debridement
Craniotomy
c. Ketidakstabilan Kadar Glukkosa Darah b.d. Disfungsi Pankreas:
Riwayat Diabetes Mellitus Tipe 2
d. Defisit Perawatan Diri: Mandi; Toileting; Makan b.d. Kelemahan Post
Operasi Debridement Craniotomy
e. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif d.d cedera kepala; hipertensi; post
operasi debridement craniotomy
f. Risiko Infeksi d.d. post operasi debridement craniotomy, riwayat
diabetes melitus tipe 2, ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder:
leukopenia
g. Risiko Jatuh d.d. usia 67 tahun, riwayat jatuh 2 hari yang lalu, kekuatan
otot menurun, post operasi debridement craniotomy; pasca anestesi
umum, lingkungann tidak aman: lantai licin
h. Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual
68

3. Rencana Tindakan Keperawatan

Nama Pasien : Tn.R Tn. I Ruangan : Multazam 2

No. Medrek : 852957 Diagnosa Medis : Post Op Debridement Craniotomy

Tabel 3. 6
Rencana Tindakan Keperawatan pada Tn. R
Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
Nausea b.d. efek Setelah dilakukan Manajemen Mual Manajemen Mual
agen farmakologi: tindakan Observasi Observasi
pasca anestes umum keperawatan 3x • Identifikasi pengalaman mual • Agar mengetahui frekuensi dan
atas indikasi 24jam, di-harapkan • Monitor mual (mis. Frekuensi, durasi, tingkat keparahan mual
Postoperative masalah dan tingkat keparahan) • Untut mengetahui frekuensi,
Nausea & Vomiting keperawatan Nausea Terapeutik durasi, dan tingkat keparahan
(PONV) Post pada Tn. R dapat Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual sebelum ataupun sesudah
Operasi teratasi dengan mual (mis. Bau tak sedap, suara, dan diberika terapi
Debridement kriteria hasil: rangsangan visual yang tidak Terapeutik
Craniotomy 1. Tidak ada menyenangkan) Untuk mencegah stimulus-stimulus
muntah yang merangsang resptor mual
2. Tidak ada mual Manajemen Muntah
3. Tidak Observasi Manajemen Muntah
hipersaliva • Identifikasi karakteristik muntah (mis. Observasi
4. Tidak pucat Warna, konsistensi, adanya darah, • Untuk mengantisipasi muntah
5. Rentang waktu, frekuensi dan durasi) termasuk muntah proyektif atau
tekanan darah Kolaborasi muntah biasa
(90-120)/(80- Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu Kolaborasi
Untuk mengatasi mual dengan cepat
60) mmHg
Aromaterapi dan tepat
6. Tidak Diforesis
Observasi
Aromaterapi
Observasi
69

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
• Identifikasi pilihan aroma yang disukai • Agar selama aromaterapi
dan tidak disukai diberikan pasien merasa nyaman
• Identifikasi tingkat mual muntah alam • Untuk mengetahui efektiftas dan
perasaan sebelum dan sesudah keberhasilan terapi dengan aroma
Aromaterapi yang dipilih pasien
• Monitor ketidaknyamanan sebelum dan • Untuk mengetahui keluhan
setelah pemberian (mis. Mual, pusing) penyertaa saat pasien mual
• Monitor masalah yang terjadi saat muntah
pemberian Aromaterapi (mis. • Untuk mencegah komplikasi
Dermatitis, kontak, asma) akibat aromaterapi yang diterima
• Monitor tanda-tanda vital sebelum dan • Untuk melihat apakah ada
sesudah Aromaterapi pengaruh dan perubahan terhadap
Terapeutik tanda-tanda vital sebelum dan
• Pilih minyak asensial yang tepat sesuai sesudah aromaterapi pada pasien
dengan indikasi Terapeutik
• Lakukan uji kepekaan kulit dengan uji • Adapun beberapa aroma yang
tempel (patch test) dengan larutan 2% dapat menjadi pilihan pasien,
pada daerah lipatan lengan atau lipatan anatar lain: peppermint,
belakang leher spearmint, jahe, rose, lavender
• Berikan minyak esensial dengan metode ataupun campuran sepert jahe,
yang tepat (mis. Inhalasi, pemijatan, spearmint dan cardamom
mandi, uap, atau kompres) (Aromatherapy Scents Used to
Treat Postoperative Nausea,
2020).
• Untuk mengetahui apakah pasien
memiliki alergi terhadap
kandungan oil atau dengan aroma
pilihannya
• Pasien diberikan aromaterapi
menggunakan essential oil
dengan aroma lavender selama 40
menit menggunakan alat bantu
70

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
berupa difusser. Aromaterapi
menggunakan merupakan upaya
yang praktis dan efektif karena
metode terpi ini bekerja dengan
metode inhalasi. Secara
farmakologi, wewangian dari
essential oil (EO) dapat
mengirimkan efek secara
langsung pada sistem saraf pusat
dan sistem endokrin tanpa sadar.
Melalui inhalasi, molekul-
molekul volatile minyak esensial
yang melewati reseptor olfaktori
di hidung mengenali karakteristik
molekuler tersebut dan
mengirimkan sinyal ke otak
melalui saraf olfaktori dan
beberapa unsur pokok dari
molekul tersebut masuk ke dalam
aliran darah melalui paru-paru
dan berpengaruh secara langsung
terhadap saraf-saraf di otak
setelah melewati barier darah di
otak. (Rihiantoro et al., 2018)

Manajemen Mual
• Observasi
• Identifikasi pengalaman mual
• Identifikasi faktor penyebab mual
(mis. Pengobatan dan prosedur)
71

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
• Identifikasi antiemetik untuk
mencegah mual (kecuali mual
pada kehamilan)
• Monitor mual (mis. Frekuensi,
durasi, dan tingkat keparahan)
• Monitor asupan nutrisi dan kalori
Terapeutik
Kendalikan faktor lingkungan
penyebab mual (mis. Bau tak sedap,
suara, dan rangsangan visual yang
tidak menyenangkan)

Manajemen Muntah
Observasi
• Identifikasi karakteristik muntah
(mis. Warna, konsistensi, adanya
darah, waktu, frekuensi dan
durasi)
• Identifikasi faktor penyebab
muntah (mis. Pengobatan, dan
prosedur)
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiemetik, jika
perlu
Nyeri Akut b.d. Setelah dilakukan Manajemen Nyeri Observasi
Agen Pencedera tindakan Observasi : • Untuk mengetahui lokasi,
Fisik: Post Operasi keperawatan 3x • Identifikasi lokasi karakteristik dan lamanya serta kualitas nyeri yang
Debridement 24jam, di-harapkan durasi frekuensi kualitas dan intensitas dirasakan
Craniotomy masalah nyeri • Untuk mengetahui skala nyeri
keperawatan Nyeri • Identifikasi skala nyeri dalam rentang 0 hingga 10
Akut pada Tn. R • Identifikasi respon nyeri non verbal
dapat teratasi • Identifikasi faktor yang memperberat
72

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
dengan kriteria dan memperingan nyeri • Untuk mengetahui nyeri lain yang
hasil: • Identifikasi pengaruh budaya terhadap dirasakan saat dilakukan
1. Keluhan nyeri respon nyeri pemeriksaan fisik
berkurang (1-3) • Identifikasi pengaruh nyeri pada • Untuk mengetahui penyebab
2. Tidak ada kualitas hidup nyeri yang disebabkan pengaruh
keluhan • Monitor keberhasilan terapi budaya
penyerta komplementer yang sudah diberikan • Untuk mengetahui pengaruh
3. Tidak gelisah Terapeutik : nyeri terhadap tingkat psikososial
4. Tanda-tanda • Berikan teknik non farmakologis untuk dan spiritual pasien
vital normal: mengurangi rasa nyeri seperti • Untuk mengetahui tingkat
5. TD (90- aromaterapi lavender keberhasilan dari terapi yang
120)/(80-60) • Kontrol lingkungan yang memperberat telah diberikan
rasa nyeri seperti suhu ruangan Terapeutik
mmHg
pencahayaan dan kebisingan • Terapi pemberian aromaterapi
N= 60-100x/
• Fasilitasi istirahat dan tidur lavender diberikan selama 15
mnt
• Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri menit dengan menggunakan
R= 16-20x/ mnt difusser menjadi tindakan
dalam pemilihan strategi meredakan
S= 36,5-37,5 oC nyeri nonfarmakologi yang berguna
Edukasi : untuk mengurangi nyeri pasien
• Jelaskan penyebab periode dan pemicu tanpa menunggu obat. Zat aktif
nyeri yang terkandung didalam aroma
• Jelaskan strategi meredakan nyeri terapi lavender akan merangsang
• Anjurkan memonitor nyeri secara hipotalamus untuk memproduksi
mandiri dan mengeluarkan endorpin
• Ajarkan teknik non farmakologi untuk proses ini terjadi pada saat aroma
mengurangi rasa nyeri. terapi dihisap(Hayati & Hartiti,
Kolaborasi 2021).
Kolaborasi pemberian analgesik • Untuk memberikan rasa nyaman
dengan tujuan memperingan
nyeri yang dirasakan
• Untuk menghindari memperberat
rasa nyeri pasien.
73

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
• Observasi kembali penyebab dan
sumber nyeri secara yakin dan
pasti.
Edukasi :
• Nyeri yang dirasakan pasien
akibat luka insisi operasi
• Dengan distrasi tarik nafas dalam.
• Mengetahui kualitas nyeri secara
mandiri
• Mengurangi tingkat
ketergantungan dan memonitor
nyeri secara mandiri
Kolaborasi
Untuk mengatasi nyeri dengan cepat
Defisit Perawatan Setelah dilakukan Dukungan Perawatan Diri Dukungan Perawatan Diri
Diri: Mandi; tindakan Observasi Observasi
Toileting; Makan keperawatan 3x Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan Agar selama perawatan diri, tindakan
b.d. Kelemahan 24jam, di-harapkan diri, berpakaian, berhias dan makan tidak terkendala karena alat yang
Post Operasi masalah Terapeutik kurang
Debridement keperawatan Defisit • Sediakan lingkungan yang Terapeutik Terapeutik
Craniotomy Perawatan Diri pada (mis. Suasana hangat, rileks, privasi) • Selain memperhatikan
Tn. R dapat teratasi • Dampingi dalam melakukan perawatan kenyamanan pasien, perawat juga
dengan kriteria diri sampai mandiri menjaga privasi pasien
hasil: • Siapkan keperluan pribadi (mis. Partum, • Untuk menjaga pasien dalam
1. Pasien mampu sikat gigi dan sabun mandi) pengawasan perawqat sehingga
makan di Edukasi tidak terjadi hal yg tidak
tempat tidur Anjurkan melakukan perawatan diri secara diinginkan.
2. Muka, badan konsisten sesuai kemampuan • Dalam menyiapkan keperluan
dan kuku pasien pribadi libatkan keluarga
bersih Perawatan Kuku sehingga pasien dapat
Terapeutik menggunakan alat-alatnya sendiri
• Rendam kuku dengan air hangat Edukasi
74

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
3. Mampu • Fasilitas pemotongan dan kebersihan Untuk mencegah keleahan atau
toileting, walau kuku, sesuai kebutuhan perburukan kondisi setelah perawatan
dengan alat • Bersihkan kuku dengan bahan alami diri
bantu missal (mis. Air putih, lemon, belimbing
pispot wuluh) Perawatan Kuku
• Bersihkan bagian bawah kuku dengan Terapeutik
alat bantu pembersih kuku • Agar kuku lembut saat dipotong
• Oleskan minyak zaitun hangat pada • Agar selama perawatan kuku,
kuku tidak ada hambatan karena
• Lembabkan daerah sekitar kuku peralatan yang kurang
• Untuk meminimalkan efek
samping dari bahan kimia dan
praktis
• Agar tidak ada sisa kotoran pada
bawah kuku dan meminimalisisr
terjadinya luka (bila
menggunakan alat yang runcing)
• Agar kuku mendapat nutrisi dan
menjadi tidak kering
• Untuk mencegah kekeringan
Ketidakstabilan Setelah dilakukan Manajemen Hiperglikemia Manajemen Hiperglikemia
Kadar Glukkosa tindakan Observasi Observasi
Darah b.d. keperawatan 3x • Monitor kadar glukosa darah, jika perlu • Untuk mengetahui kondisi kadar
Disfungsi Pankreas: 24jam, di-harapkan • Monitor tanda dan gejala hiperglikema glukosa dalam darah apakah
Riwayat Diabetes masalah (mis. Poliuria, Polidipsia, polifagia, sudah dalam rentang normal atau
Mellitus Tipe 2 keperawatan kelemahan, malaise, pandangan kabur, meningkat/menurun
Ketidakstabilan sakit kepala) • Agar dapat penanganan segera
Kadar Glukkosa Edukasi apabila pasien menunjukkan
Darah pada Tn. R • Anjurkan monitor kadar glukosa darah tanda dan gejala
dapat teratasi secara mandiri Edukasi
dengan kriteria • Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan • Sebagai upaya pencegahan
hasil: olahraga perburukan dari hiperglikemia
75

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
Kadar glukosa Manajemen Hipoglikemia • Untuk mencegah terjadinya
pasien dalam Kolaborasi hiperglikemia dan mengontrol
rentang normal • Pemberian karbohidrat kompleks dan gula darah
protein sesuai diet dengan Nutrsionist Manajemen Hipoglikemia
• Anjurkan berdiskusi dengan tim Kolaborasi
perawatan diabetes tentang penyesualan • Pemberian karbohidrat kompleks
program pengobatan dan protein sesuai diet dengan
Nutrsionist
• Agar pengobatan dan penangan
untuk pasien bisa diberikan
dengan tepat
Risiko Perfusi Setelah dilakukan Pemantauan Tekanan Intrakranial Pemantauan Tekanan Intrakranial
Serebral Tidak tindakan Observasi Observasi
Efektif d.d cedera keperawatan 3x • Monitor peningkatan TD • Untuk memastikan tekanan
kepala; hipertensi; 24jam, di-harapkan • Monitor penurunan frekuensi jantung darah, frekuensi jantung dan
post operasi masalah • Monitor ireguleritas irama napas irama menunjukkan rentang
debridement keperawatan Risiko • Monitor penurunan tingkat kesadaran normal atau tidak
craniotomy Perfusi Serebral • Monitor perlambatan atau • Untuk mengetahui jika ada
Tidak Efektif pada ketidaksimetrisan respon pupil penurunan tingkat kesadaran pada
Tn. R dapat teratasi pasien, akan segera dilakukan
dengan kriteria Manajemen Peningkatan Tekanan pemeriksaan lebih lanjut dan
hasil: Intrakranial diberi penangan
1. Tanda-tanda Terapeutik • Jika ketidaksimetrisan respon
vital normal Berikan posisi head up 30 derajat pupil, pasien akan dilakukan
2. Tidak ada sesak pemeriksaan lebih dalam dan
3. Irama napas pengkajian focus agar dapat
regular segera diatasi dengan tindakan
4. GCS 14-15 yang tepat
5. Pupil mata
isokor Manajemen Peningkatan Tekanan
Intrakranial
Terapeutik
76

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
Posisi head up 30 derajat bertujuan
untuk menurunkan tekanan
intrakranial pada pasien cedera
kepala. Selain itu posisi tersebut juga
dapat meningkatkan oksigen ke otak.
Prosedur kerja pengaturan posisi head
up 30 derajat adalah sebagai berikut:
a. Meletakkan posisi pasien dalam
keadaan terlentang
b. Mengatur posisi kepala lebih tinggi
dan tubuh dalam keadaan datar
c. Kaki dalam keadaan lurus dan tidak
fleksi
d. Mengatur ketinggian tempat tidur
bagian atas setinggi 30 derajat
(Kusuma & Anggraeni, 2019).
Risiko Infeksi d.d. Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi Pencegahan Infeksi
post operasi tindakan Observasi Observasi
debridement keperawatan 3x Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan Untuk mengetahui adanya infeksi
craniotomy,riwayat 24jam, di-harapkan sistematik
diabetes melitus masalah Terapeutik Terapeutik
tipe 2, keperawatan Risiko Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak • Mencegah invasi patogen pada
ketidakadekuatan Infeksi pada Tn. R dengan pasien dan lingkungan pasien luka operasi
pertahanan tubuh dapat teratasi Pertahankan teknik aseptik pada pasien • Mencegah potensi adanya infeksi
sekunder: dengan kriteria berisiko tinggi Edukasi
leukopenia hasil: Edukasi Agar pasien ataupun keluarga
1. Tidak ada Jelaskan tanda dan gejala infeksi mengetahui dan segera lapor jika
kemerahan Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi ditemukan tanda dan gejala infeksi
2. Tidak ada Kolaborasi seperti kemerahan, bengkak,
demam Kolaborasi pemberian antibiotik munculnya cairan pus selama
3. Tidak ada perawatan dirumah.
bengkak
77

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
4. Tidak ada pus Pasien disarankan untuk makanan
tinggi protein dan vitamin C yang
dapat meningkatkan daya tahan tubuh
untuk pencegahan infeksi
Satyanegara, 2010 dalam Hastuti,
2019).
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu
Risiko Jatuh d.d. Setelah dilakukan Pencegahan Jatuh Pencegahan Jatuh
usia 67 tahun, tindakan Observasi Observasi
riwayat jatuh 2 hari keperawatan 3x Hitung risiko jatuh dengan menggunakan Untuk mengetahui tingkat resiko jatuh
yang lalu, kekuatan 24jam, di-harapkan skala morse pasien sehingga pemantauan pada
otot menurun, post masalah Terapeutik pasien bisa disesuaikan
operasi keperawatan Risiko • Pastikan roda tempat tidur dan kursi Terapeutik
debridement Jatuh pada Tn. R roda selalu dalam kondisi terkunci • Agar pasien tidak jatuh karena
craniotomy; pasca dapat teratasi • Pasang handrall tempat tidur pergerakkan tempat tidur
anestesi umum, dengan kriteria • Atur tempat tidur mekanis pada posisi • Agar pasien tidak jatuh
lingkungann tidak hasil: terendah disamping tempat tidur
aman: lantai licin 1. Pasien tidak • Dekatkan bel pemanggil dalam • Untuk meminimalisir cedera yang
mengalami jangkauan pasien mungkin dialami pasien jika
jatuh selama Edukasi terjatuh
perawatan Ajarkan cara menggunakan bel pemanggil • Untuk mempermudah pasien
2. Pasien mampu untuk memanggil perawat menggil perawat saat
memanggil membutuhkan pertolongan
perawat Manajemen keselamatan lingkungan Edukasi
menggunakan Terapeutik Agar pasien tahu cara menggunakan
bel • Modifikasi lingkungan untuk bel dengan tepat dan bijak
3. Lingkungan meminimalkan bahaya dan risiko
aman bagi • Sediakan alat bantu keamanan Manajemen Keselamatan Lingkung-
pasien lingkungan (mis. Commode chair dan an
pegangan tangan) Terapeutik
78

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
• Gunakan perangkat pelindung (mis. • Dekatkan segala kebutuhan
Pengekangan fisik, rel samping, pintu pasien dengan pasien, sesuaikan
terkunci, pagar) penerangan dengan kenyamanan
pasien serta menyediakan kursi
untuk keluarga agar selalu dekat
dengan pasien
• Jika alat bantu tidak tersedia,
libatkan keluarga selama pasien
mobilisasi
• Pinggiran tempat tidur harus
selalu dinaikkanterutama pada
pasien dengan risiko tinggi jatuh
Kesiapan Setelah dilakukan AKSM (Dewi & Aisyah, 2021) AKSM (Dewi & Aisyah, 2021)
Peningkatan tindakan • Bimbingan doa • Agar bersama-sama dengan
Kesejahteraan keperawatan 3x • Berikan Psikoreligius: pasien untuk selalu berdoa untuk
Spiritual 24jam, di-harapkan Terapi Murottal Al-Qur’an kesembuhan pasien
masalah • Fasilitasi untuk pelaksanaan ibadah • Berikan Psikoreligius:
keperawatan • Berikan dukungan spiritual Terapi Murottal Al-Qur’an
Kesiapan • Tingkatkan harapan klien terbukti dapat meningkatkan
Peningkatan hormone endorphin. Saat
Kesejahteraan mendengar alunan murottal,
Spiritual pada Tn. R endorphin yang dihasilkan akan
dapat teratasi ditangkap oleh reseptor di
dengan kriteria hypothalamus dan sistem limbik
hasil: yang berfungsi mengatur emosi
1. Meningkatnya (Syamsudin & Kadir, 2021)
praktik ibadah • Agar pasien nisa memenuhi ritual
ritual ibadahnya walaupun sedang sakit
2. Ketenangan • Agar pasien bisa terus mampu
hati/ menguatkan diri dan sealalu
ketenangan memaknai kondisinya dengan
jiwa keyakinan yang postif.
79

Dx Keperawatan
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI Kriteria Hasil Rasional
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
DPP PPNI, 2017)
3. Pasien memilki
harapan dan
makna positif
4. Kesejahteraan
spiritual:
bersyukur
5. Memilki
ketrampilan
interaksi social
yang baik
6. Pasien mampu
melakukan self-
healing mandiri
80

4. Implementasi dan Evaluasi


Nama Pasien : Tn.R Tn. I Ruangan : Multazam 2

No. Medrek : 852957 Diagnosa Medis : Post Op Debridement Craniotomy

Tabel 3. 7
Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
Hari/ Implementasi Dan Catatan
Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

Selasa, Pagi Diagnosa 1


30 06.50 7 1. Memasang tanda risiko tinggi jatuh S Pasien menyukai aroma lavender.
November
2021 pada bed , mendekatkan bel dan Pasien juga sangat antusias selama
Afdhal
menaikkan pinggiran bed diberikan terapi, karena menurutnya
2. Melakukan pengkajian sangat unik dan menyenangkan.
06.55
R/ Pasien mengatakan bahwa dirinya O Mual (-) Muntah (-)
merasa tidak nyaman dan semalaman A Masalah sudah teratasi
susah tidur karena nyeri kepala dan mual P Pemberian aromaterapi dilanjutkan
yang ia rasakan. Hasil skoring morse
masih 60 yang artinya pasien masih risiko Diagnosa 2
tinggi jatuh. S Pasien mengatakan nyeri kepala
08.00 1,2,5 3. Memeriksa tanda tanda vital yang ia rasakan juga menurun karena
R/ Pemeriksaan dilakukan satu kali per aroma lavender yang dihirup membuat
shift pasien menjadi lebih nyaman. Pasien
TD = 160/94 mmHg
81

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

HR = 68 kali permenit dan keluarga sudah bisa melakukan


RR = 20 kali permenit teknik napas dalam.
o
S = 36,9 C O Skala Nyeri 3 (0-10)
SpO2: 97% A Masalah belum teratasi
o
4. Memposisikan pasien head up 30 P Pemberian aromaterapi dilanjutkan
5
1 5. Memonitor keluhan mual muntah
R/ pasien mengatakan bahwa dirinya Diagnosa 4
masih sering mual dan sudah muntah 3 S Pasien sangat senang karena
kali sejak siang kemarin. Muntah terakhir kukunya bersih dan harum. Tangannya
dialaminya pada subuh juga menjadi lembut karena pelembab
2 6. Memonitor skala nyeri yang diberikan oleh perawat. Keluarga
R/ pasien mengatakan nyeri pada luka pasien mengatakan mampu melakukan
operasi pada kepala dengan skala nyeri 5. perawatan diri mandi, makan dan
7. Memfasilitasi aromaterapi dengan toileting secara mandiri. Anak pasien
08.30 1
diffuser untuk mengatasi mual mengatakan bahwa sebelumnya sudah
muntah dan menurunkan intensitas sering melakukannya. Pasien juga
nyeri sudah mampu makan secara mandiri
R/ pasien menyukai aroma lavender. walaupun pelan-pelan.
Pasien juga sangat antusias selama O Pasien tampak bersih, wangi dan
diberikan terapi, karena menurutnya sudah berganti pakaian.
sangat unik dan menyenangkan. Selama A Masalah teratasi
82

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

40 menit diberikan aromaterapi pasien P Jadwalkan pasien untuk pearwatan


tidak mengalami mual ataupun muntah. diri mandi minmal 1 x sehari
Pasien mengatakan nyeri kepala yang ia
rasakan juga menurun menjadi 3 karena Diagnosa 5
aroma lavender yang dihirup membuat S Tidak ada keluhan sakit kepala
pasien menjadi lebih nyaman. Waktu O Posisi pasien sudah head up 30o
pemberian aroma terapi diperpanjang TD = 160/94 mmHg
menjadi 1 jam atas permintaan pasien. HR = 68 kali permenit
10.00 4 8. Mendampingi pasien saat mau makan RR = 20 kali permenit
dan mendekatkan makanan pada S = 36,9 oC
pasien SpO2: 97%
R/ Pasien sudah mampu makan secara A Masalah belum teratasi

11.00 2 mandiri walaupun pelan-pelan P Pantau tanda-tanda vital, pastikan


9. Mengajarkan cara distraksi tarik derajat posisi pasien tidak berubah
nafas dalam menurunkan nyeri pada
pasien dan keluarga Diagnosa 7
R/ Pasien dan keluarga mengikuti S Tidak ada keluhan

4 instruksi yang diberikan dan dapat O Sudah terpasang tanda risiko tinggi
mengulang jatuh pada bed , mendekatkan bel dan
10. Membantu pasien melakukan menaikkan pinggiran bed
perawatan kuku A Masalah belum teratasi
83

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

R/ pasien sangat senang karena kukunya P Skoring dengan skala morsep POD2
bersih dan harum. Tangannya juga
11.20
menjadi lembut karena pelembab yang
4 diberikan oleh perawat
11. Menyediakan waslab dan ember
berisi air serta sebelumnya meminta
keluarga membawa alat pribadi
pasien seperti parfum, pelembab,
obat kumur.
R/keluarga pasien mengatakan mampu
melakukan perawatan diri mandi, makan
dan toileting secara mandiri. Anak pasien
mengatakan bahwa sebelumnya sudah
13.00 5 sering melakukannya. Pasien tampak
bersih wangi dan sudah berganti pakaian.
12. Pasien biasa minum Amlodipine
10mg – diberikan kepada pasien
13.50 3
untuk mengontrol tekanan darah Afdhal
Siang Diagnosa 3
1. Memeriksa kadar glukosa darah
84

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

R/ Pasien mengatakan semenjak hari S Pasien mengatakan semenjak hari


masuk rumah sakit, obat rutin metformin masuk rumah sakit, obat rutin
15.00 1,2
5,7 200 mg nya tidak diminum. Hasil GDS: metformin 200 mg nya tidak diminum
62 mg/dL O Hasil GDS: 62 mg/dL
2. Memeriksa tanda tanda vital dan A Masalah belum teratasi
menghitung skoring skal morse P Kolaborasi dengan nutrisionist
H/ Diagnosa 5
TD = 140/80 mmHg S Tidak ada keluhan sakit kepala
HR = 81 kali permenit O Posisi pasien sudah head up 30o
RR = 20 kali permenit TD = 140/80 mmHg
16.00 5 S = 36,5 oC HR = 81 kali permenit
6 Skor= 60 (Resiko Tinggi Jatuh) RR = 20 kali permenit
S = 36,5 oC
8 3. Memposisikan pasien head up 30o A Masalah belum teratasi
4. Memberikan injeksi sanmol 1 gr dan P Pantau tanda-tanda vital, pastikan
pantoprazole 1 amp derajat posisi pasien tidak berubah
5. Memfasilitasi terapi murottal Al-

3,6 Qur’an Diagnosa 6


R/ pasien mengatakan bahwa dirinya S R/ pasien dan keluarga paham
merasa sangat tenang dan tentram dengan yang disampaikan perawat,
selama Murottal Al-Qur’an dilantunkan. dan keluarga mengatakan akan
85

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

6. Mengedukasikan pada pasien untuk membawa jeruk yang tidak asam dari
menjaga area luka agar tetap aman rumah
dan tertutup serta menyarankan O Rembesan mulai terlihat namun
pasien dan keluarga mengkonsumsi tidak banyak dan sampai menembus
makanan dari rumah sakit, namun A Masalah belum teratasi
jika ingin tetap membawa dari P Observasi tanda-tanda infeksi
rumah dianjurkan buah yang
mengandung vitamin C Diagnosa 7
18.00 6 R/ pasien dan keluarga paham dengan S Tidak ada keluhan
yang disampaikan perawat, dan keluarga O Skor: 60 (Resiko Tinggi Jatuh)
mengatakan akan membawa jeruk yang A Masalah belum teratasi
tidak asam dari rumah. P Skoring dengan skala morse POD3
7. Memberikan injeksi ceftriaxone 1 gr Libatkan keluarga atau memanggil
perawat setiap pasien mobilisasi di
tempat tidur
Afdhal
20.55 6

Malam Diagnosa 5
1. Memonitor tanda-tanda infeksi S Tidak ada keluhan sakit kepala
O Posisi pasien sudah head up 30o
86

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

H/ Tidak ada tanda dan gejala yang TD = 130/90 mmHg


menunjukkan terjadinya infeksi pada HR = 80 kali permenit
21.00 1,2,5 sekitar luka RR = 20 kali permenit
2. Mengedukasi tanda-tanda infeksi S = 35,7 oC
pada pasien dan keluarga A Masalah belum teratasi
R/ pasien dan keluarga paham dengan P Pantau tanda-tanda vital, pastikan
yang disampaikan perawat dan mampu derajat posisi pasien tidak berubah
mengenali tanda dan gejala apabila
terjadi infeksi Diagnosa 6
3. Memeriksa tanda tanda vital S Pasien dan keluarga paham dengan
5 R/ yang disampaikan perawat dan
23.55 2 TD = 130/90 mmHg mampu mengenali tanda dan gejala
HR = 80 kali permenit apabila terjadi infeksi
RR = 20 kali permenit O Tidak ada tanda dan gejala yang
o
S = 35,7 C menunjukkan terjadinya infeksi pada
sekitar luka
4. Memposisikan pasien head up 30o A Masalah belum teratasi
5. Memberikan injeksi ceftriaxone 1 gr P Observasi tanda-tanda infeksi

Diagnosa 7
S Tidak ada keluhan
87

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

O Skor: 60 (Resiko Tinggi Jatuh)


A Masalah belum teratasi
P Skoring dengan skala morsep POD3
Libatkan keluarga atau memanggil
perawat setiap pasien mobilisasi di
tempat tidur
Rabu, Pagi Diagnosa 2
1 1. Memeriksa tanda risiko tinggi jatuh S Pasien merasa agak lemah dan nyeri
Desember 07.00 7
2021 pada pinggir bed pada kepala lebih terasa dibanding
2. Melakukan pengkajian kemarin
R/ pasien merasa agak lemah dan nyeri O Skala nyeri setelah diberikan
pada kepala lebih terasa dibanding aromaterapi 4
kemarin. Hasil inspeksi menujukan A Masalah nyeri belum teratasi
rembesan pada luka operasi lebih banyak P Teknik napas dalam dapat
dari kemarin. Hasil skori skala morse: 60 diterapkan selama di rumah
(risiko tinggi jatuh) Afdhal
07.30 6 3. Mengganti linen pasien dan Diagnosa 3
membuang sampah yang ada di meja S Pasien mengatakan hanya makan
07.35 7
pasien makanan yang disediakan di rumah
4. Mempertahankan posisi pasien head sakit.
up 30o O Hasil GDS: 84 mg/dL
8
88

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

R/ Pasien mengtakan posisi seperti ini A Masalah teratasi


membuat pasien cukup nyaman P Disiplin minum obat pengontrol
5. Memfasilitasi terapi murottal Al- gula darah selama di rumah
08.00 3 Qur’an
R/ pasien merasa lebih tenang dan nyeri Diagnosa 5
mulai teralihkan. S Pasien mengtakan posisi seperti ini
6. Memberikan injeksi ceftriaxone 1 gr membuat pasien cukup nyaman
dan memeriksa tanda tanda vital dan O
kadar glukosa darah TD = 150/80 mmHg
R/ Pasien mengatakan hanya makan HR = 74 kali permenit
makanan yang disediakan di rumah sakit. RR = 20 kali permenit
Hasil GDS: 84 mg/dL S = 36,8 oC

09.00 2 TD = 150/80 mmHg A Masalah belum teratasi,


HR = 74 kali permenit P
RR = 20 kali permenit Intervensi tidak dilanjutkan karena
S = 36,8 oC pasien pulang
7. Memfasilitasi aromaterapi lavender
2
dengan diffuser untuk menurunkan Diagnosa 6
intensitas nyeri S pasien mengatakan nyeri kepala
8. Memonitor skala nyeri berkurang terutama saat setelah

14.20 6
89

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

R/ skala nyeri setelah diberikan penggantian perban dan luka


aromaterapi 4 dibersihkan
9. Melakukan perawatan luka : O Tidak ada tanda dan gejala yang
penggantian perban menunjukkan terjadinya infeksi pada
R/ pasien mengatakan nyeri kepala luka
berkurang terutama saat setelah Penyembuhan luka bagus tidak ada
penggantian perban dan luka dibersihkan pus
H/ Tidak ada tanda dan gejala yang A Masalah sudah teratasi
menunjukkan terjadinya infeksi pada P
luka Konsumsi diit tinggi protein dan
Penyembuhan luka bagus tidak ada pus vitamin C selama perawatan di rumah
Diagnosa 7
S Tidak ada keluhan
O Skor: 60 (Resiko Tinggi Jatuh)
A Masalah belum teratasi
P Intervensi tidak dilanjutkan
Kamis, 09.00- Home Visite Diagnosa 2
2 12.00 1. Melakukaan pemeriksaan tanda- S Selama dirumah klien tidak ada
Desember 1,2
2021 3,5 tanda vital dan GDS keluhan apa apa, nyeri kepala juga
Hasil GDS: 89 mg/dL walupun terasa namun tidak sampai
TD = 145/90 mmHg menggangu aktivitas pasien. Afdhal
90

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

HR = 74 kali permenit O Skala nyeri 1.


RR = 20 kali permenit A Masalah nyeri teratasi
o
S = 36,8 C P Pasien akan kontrol ke RS kembali
R/ pasien mengatakan obat pengontro pada tanggal 8 Desember 2021
tekanan darah dan gula darahnya untuk
hari ini belum diminum. Diagnosa 3
2. Anamnesa keluhan selama dirumah S Pasien mengerti apa yang
R/ selama dirumah klien tidak ada disampaikan perawat dan membuat
keluhan apa apa, nyeri kepala juga komitmen untuk diri sendisi akan
walupun terasa namun tidak sampai menjaga pola makan dan melakukan
menggangu aktivitas pasien. Skala nyeri olahraga di rumah seperti senam
1. Pasien akan kontrol ke RS kembali ringan pagi hari..
pada tanggal 8 Desember 2021 O Hasil GDS: 89 mg/dL
3 3. Edukasi mengenai: A Masalah teratasi
a. Asupan nutrisi untuk P Disiplin minum obat pengontrol
penyembuhan luka gula darah selama di rumah
b. Pematauan kadar glukosa darah
minimal 1x sebulan
c. Komitmen dalan patuh terhadap
diet dan olahraga dalam
mengontrol gula
91

Hari/ Implementasi Dan Catatan


Waktu Dx Evaluasi Nama/Paraf
Tanggal Perkembangan

R/ pasien mengerti apa yang disampaikan


perawat dan membuat komitmen untuk
diri sendisi akan menjaga pola makan
dan melakukan olahraga di rumah seperti
senam ringan pagi hari.
92

B. Pembahasan
Asuhan keperawatan Tn. R umur 67 tahun dengan diagnosa medis Post
Operative Debridement Craniotomy e.c. Multiple Vulnus+CKR dilakukan sejak
tanggal 29 November – 1 Desember 2021. Sebelum dilakukan operasi Tn. R, pasien
tidak bertemu dengan peneliti sehingga tidak sempat dilakukan pengkajian pada
fase sebelum operasi. Namun, terdapat data sekunder dari pihak rumah sakit berupa
data penunjang diagnostik yang dilakukaan sebelum pasien dioperasi.
1. Analisis Kondisi Tn. R saat Pre-Operasi
Pemeriksaan penunjang diagnostik dilakukan pada saat pasien masih di
unit gawat darurat dan di ruang rawat inap. Adapun beberapa pemeriksaan
penunjang yang dilakukan yaitu laboratorium imunoserologi lain, laboratorium
darah, hasil elektrokardiogram (EKG), foto thorax dan ct scan kepala.
Pada hasil laboratorium darah menunujukkan adanya peningkatan kadar
leukosit dengan peningkatan neutrophil dan penurunan pada limfosit. Neutrofil dan
limfosit merupakan komponen utama pada leukosit (Wulandari, 2019). Pasien
cedera kepala mengalami inflamasi sistemik yang mengaktifkan beberapa sitokin,
seperti TNF-α, IL-6, dan CD11d (Agustiawan & Al-Fajri, 2021). Peradangan
sistemik akan menyebabkan perubahan leukosit dalam sirkulasi khususnya
neutrofilia dengan limfositopenia relative (Sipahutar, 2021). Selama infeksi akut,
neutrofil merupakan garis depan pertahanan tubuh (Sipahutar, 2021). Pertahanan
antibakteri memerlukan neutrofil dalam jumlah memadai, mekanisme yang efektif
untuk menarik sel-sel ini ke tempat invasi mikroba (kemotaksis), dan kemampuan
neutrofil untuk memakan (fagositosis) dan menghancurkan penyerang (Sipahutar,
2021). Peningkataan produksi sel neutrofil akibat sitokin peradangan, akan
menghasilkan Arginase, Nitric Oxide (NO) dan Reactive Oxygen Species (ROS)
(Sipahutar, 2021). Ketiga senyawa ini akan menekan produksi dan menghambat
fungsi sitotoksik limfosit T dengan hasil akhir penurunan hitung limfosit absolut
(Sipahutar, 2021).
93

Hasil laboratorium darah juga menujukkan adanya peningkatan gula darah


sewaktu pada pasien. Tn. R sebelumnya memang memilki riwayat diabetes mellitus
dan minum obat harian pengontrol gula darah yaitu metformin 200mg. Namun,
pada hari pemeriksaan dilakukan, Tn. R belum meminum obatnya karena Tn. R
biasa meminum obat pada malam hari dan sebelum waktu minum obat, pasien
terjatuh hingga meimbulkan cedera pada kepalanya. Disamping itu, penulis
berasumsi adanya keterkaitan cedera kepala yang dialami pasien. Agustiawan &
Al-Fajri, 2021 mengatakan bahwa hiperglikemia pada pasien TBI merupakan salah
satu komplikasi paling umum dan berkorelasi dengan tingkat keparahan cedera dan
hasil klinis serta prognosis buruk. Gądek-Michalska et al., 2013 dalam Agustiawan
& Al-Fajri, 2021 juga menyampaikan respons inflamasi juga dapat meningkatkan
kadar corticotropin-releasing hormone (CRH) dan merangsang pelepasan
adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari hipofisis anterior yang dapat
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah.
Hasil pemeriksaan elektrokardiogram Tn. R mengalami kardiomegali
tanpa bendungan paru. Faktor yang mendasari terjadinya kardiomegali pada pasien
adalah memiliki riwayat hipertensi diabetes mellitus. Disamping data mayoritas
penderita kardiomegali adalah seseorang yang usia lebih dari 60 tahun
(Febrianingrum, 2019), Tn. R sudah menagalami hipertensi sejak lama namun baru
mulai mengontrol tekanan darah dan kadar gula darah nya 10 tahun yang lalu.
Menurut Miraza, 2019 pasien dengan hipertensi tidak terkontrol berada pada risiko
tinggi untuk terjadinya kerusakan organ target seperti hipertrofi ventrikel kiri atau
left ventricular hypertrophy (LVH), gagal jantung, infark miokard, stroke,
retinopati, mikroalbuminuria dan PGK (penyakit ginjal kronik), dibandingkan
pasien hipertensi terkontrol. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban kerja
jantung bertambah dan sebagai akibatnya, terjadi hipertrofi ventrikel kiri untuk
meningkatkan kekuatan kontraksi yang semakin lama dapat menyebabkan
kardiomegali (Miraza, 2019). Nurahman, 2019 juga menambahakan dalam
94

penelitiannnya bahwa ada hubungan lama menderita diabetes melitus >5 tahun
sebanyak 61,1% dengan kardiomegali pada penderita Diabetes Melitus tipe II dan
tidak ada hubungan menderita DM tipe II <5 tahun sebanyak 75% dengan yang
tidak kardiomegali pada penderita DM di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung Periode Januari-Desember 2013.
Pada tanggal 29 November 2021 pukul 02.00 pasien sudah mulai puasa
pre-operasi. Operasi berlansung pada pukul 09.10- 09.45. Pasien dioperasi dengan
diagnose pra-bedah scalp avulsion. Scalp Avulsion merupakan traumatis yang
terjadi pada lapisan kulit kepala akibat gaya tangensial dan sulit untuk
direkonstruksi. Pada Tn. R scalp avulsion terjadi akibat kepala terbentur dengan
sudut pagar yang struktur permukaannya tidak mulus hingga meimbulkan cedera
pada kulit kepala yang menembus hingga merobek lapisan pembuluh darah. Oleh
karena itu pasien dilakukan debridement craniotomy.
Tujuan pembedahan ini dilakukan untuk mengangkat bekuan darah
(hematom), untuk mengontrol perdarahan, mengurangi tekanan intracranial dan
menghilangkan semua jaringan yang rusak dari dasar luka untuk mempercepat
penyembuhan luka (Gulli. dkk, 2010 dalam Hastuti, 2019; Manna et al., 2022).
Manna et al., 2022 mengatakan debridement bedah tajam telah terbukti merangsang
angiogenesis dan mengatur ulang waktu yang tepat dari fase reepitelisasi luka
dengan memberikan trauma awal yang terlihat pada fase hemostasis penyembuhan
luka. Pada saat angiogenesis terjadi pertumbuhan pembuluh kapiler yang saling
terhubung membentuk vaskular yang bersifat tetap pada jaringan yang mengalami
perlukaan sehingga peran penting pada proses penghilangan debris, penyediaan
nutrien dan oksigen untuk proses metabolisme selama berlangsungnya proses
perbaikan jaringan pada daerah luka dapat terjadi (Fitrian, 2018).
2. Analisis Keperawatan Tn. R saat Post-Operasi
Saat melakukan pengkajian pada tanggal 29 November 2021, penulis
melakukan anamnesa mengenai identitas dan riwayat kesehatan pada Tn. R. Hasil
95

anamnesa didapakan pasien berumur 67 tahun dengan diagnosa medis Post


Operative Debridement Craniotomy e.c. Multiple Vulnus+CKR. Keadaan umum
pasien lemah dan mengantuk, kesadaran composmentis yang artinya pasien
memilki kesadaran penuh dan masih stabil. Hasil anamnesa ditemukan riwayat
kesehatan terdahulu yang cukup kompleks. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan
diabetes mellitus sejak lama namun baru terkontrol 10 tahun yang lalu. Pasien juga
pernah melakukan laser mata satu kali pada mata sebelah kiri pada tahun 2020,
namun indikasi laser mata tidak diketahui pasien karena anak pertamanya yang
membantunya. Pasien juga memiliki benjolan cairan lutut sejak 2009, cairan lutut
tersebut pernah dikeluarkan sekali dengan indikasi nyeri pada lutut pada tahun
2017, saat dikaji penumpukkan cairan lutut kirinya tidak disertai nyeri dan tidak
mengganggu pasien saat beraktivitas. Setelah anamnesa selesai, pengkajian
dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan fisik head to toe.
Pada tanggal 30 November 2021, penulis melakukan pemeriksaan
neurologis pada Tn. R dengan pertimbangan diagnosa medis pasien Post Operative
Debridement Craniotomy e.c. Multiple Vulnus+CKR. Menurut Lombardo, 2012
menyatakan bahwa pemeriksaan neurologis detail diindikasikan jika klien
melaporkan perubahan perilaku, gangguan tingkat kesadaran, masalah tumbuh
kembang, perubahan fungsi motorik dan sensorik, infeksi atau trauma. Pada Tn.R
dilakukan pemeriksaan neurologis dasar lengkap dan pemeriksaan saraf cranial.
Karena pasien sadar dan stabil maka pemeriksaan yang dilakukan cukup
pemeriksaan neurologis dasar lengkap dan pemeriksaan terfokus pada interval
tertentu saja.
Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan, peneliti melakukan
perumusan diagnosa keperawatan mungkin muncul pada pasien dengan
menggunakan buku panduan: Standar Diagnosis Keperawayan Indonesia (Tim
Pokja SIKI DPP PPNI, 2017). Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn.R
adalah: (1) Nausea b.d. efek agen farmakologi: pasca anestes umum atas indikasi
Postoperative Nausea & Vomiting (PONV) Post Operasi Debridement
96

Craniotomy; (2) Nyeri Akut b.d. Agen Pencedera Fisik: Post Operasi Debridement
Craniotomy; (3) Ketidakstabilan Kadar Glukkosa Darah b.d. Disfungsi Pankreas:
Riwayat Diabetes Mellitus Tipe 2; (4) Defisit Perawatan Diri: Mandi; Toileting;
Makan b.d. Kelemahan Post Operasi Debridement Craniotomy; (5) Risiko Perfusi
Serebral Tidak Efektif d.d Cedera Kepala; Hipertensi; Post Operasi Debridement
Craniotomy; (6) Risiko Infeksi d.d. Post Operasi Debridement Craniotomy,
Riwayat Diabetes Melitus Tipe 2 (7) Risiko Jatuh d.d. Usia 67 Tahun, Riwayat
Jatuh 2 Hari Yang Lalu, Kekuatan Otot Menurun, Post Operasi Debridement
Craniotomy; Pasca Anestesi Umum, Lingkungann Tidak Aman: Lantai Licin; (8)
Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual.
a. Diagnosa Nausea
Masalah keperawatan nausea dapat muncul karena pasien selama
operasi berlangsung menerima induksi anestesi umum. Pasien-pasien dianestesi
umum mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami mual dan muntah
dibandingkan dengan pasien yang menggunakan jenis anestesi lain (Islam &
Jain, 2004; Indrawati, 2010 dalam Rihiantoro et al., 2018). Beberapa medikasi
yang ditermia pasien selama anestesi yaitu: propofol 130 mg, fentanyl 100𝜇m,
atracurium 30mg, dexa I, Tramadol 200 mg, ketorolac dan
isoflurance+N20+O2. Karnina & Ismah, 2021 juga mengatakan bahwa
tramadol menunjukkan peningkatan risiko Post-Operatif Nausea-Vomiting
(PONV) dan kejang.
Perjalanan penyakit pada PONV bisa menjadi kompleks dan bervariasi
untuk pasien yang berbeda. Pusat muntah di otak terletak di medula oblongata
yang dapat dirangsang oleh empat area yaitu saluran cerna, korteks serebri dan
talamus, daerah vestibular, dan chemoreceptor trigger zone (CRTZ) (Becker,
2010 dalam Whitley, 2019). Obat opiate misalnya yang diterima pasien yaitu
fentanyl, diterima selama dan setelah operasi dapat menyebabkan mual dan
muntah terutama melalui CRTZ serta saluran pencernaan (De Pradier, 2006;
97

Whitley, 2019). CRTZ terletak dekat dengan pusat muntah di otak dan unik
karena tidak dilindungi oleh sawar darah otak seperti struktur otak lainnya
(Becker, 2010 dalam Whitley, 2019). Perubahan kimia dalam darah dapat
mempengaruhi CRTZ dan menyebabkan muntah. Induksi gastrointestinal mual
dan muntah dihasilkan oleh hilangnya tonus pada serat lambung sehingga
memperlambat pengosongan lambung (De Pradier, 2006; Whitley, 2019).
Berdasarkan asessmen pra-anestesi, status fisik Tn, R diklasifikasikan
sebagai status fisik ASA 2 karena pasien memiliki riwayat hipertensi dan
diabetes mellitus yang terkontrol. Menurut (Karnina & Ismah, 2021)
mengatakan bahwa klasifikasi status ASA kemungkinan berkaitan dengan
resiko kejadian PONV, dimana pasien yang diklasifikasikan sebagai status
ASA I dan II (mempunyai status fisik lebih baik) lebih sering mengalami
kejadian PONV dibandingkan pasien yang mempunyai komorbiditas dan
berada pada status ASA III atau lebih. Pasien yang berada pada status ASA III
dan lebih memiliki setidaknya satu penyakit sistemik sedang hingga berat, salah
satu contohnya yaitu penyakit DM yang tidak terkontrol (Karnina & Ismah,
2021). Pada DM yang tidak terkontrol dapat terjadi neuropati saraf otonom, hal
ini dapat menyebabkan saraf aferen yang menerima rangsangan mual muntah
tidak sensitif sehingga terdapat gangguan penghantaran sinyal dari rangsangan
ke pusat muntah di batang otak dan karena itu pasien yang memiliki penyakit
sistemik berat biasanya memiliki batas ambang mual muntah yang lebih baik
daripada pasien yang sehat (Karnina & Ismah, 2021).
Antiemetik yang digunakan untuk mengobati PONV dapat bervariasi
dalam efektivitas dan seringkali memiliki efek samping yang tidak diinginkan
(Briggs et al., 2016). Pada Tn. R saat di recovery room, ia sempat mendapatkan
terapi ondansentron. Becker, 2010 dalam Whitley, 2019 mengatakan bahwa
ondansetron merupakan golongan obat antiemetik antagonis 5-HT3 (serotonin)
yang paling umum digunakan. Ondansetron ialah obat selektif yang
menghambat sebuah ikatan anatar serotonin, dan reseptor 5-HT3. Obat jenis
98

anestesi mengakibatkan pengeluaran/pelepasan serotonin dari sel mukosa


enterochromafin (Arif, 2022). Melalui lintasan yang melibatkan 5-HT3 maka
akan dapat merangsang area postrema sehingga mengakibatkan respon muntah
(Arif, 2022). Pelepasan serotonin ini akan diikat reseptor 5-HT3 sehingga
memacu aferen vagus yang mengaktifkan refleks muntah (Arif, 2022).
Serotonin juga dilepaskan karena adanya manipulasi pembedahan, atau adanya
iritasi usus yang merangsang distensi pada gastrointestinal (Nisita Kenya, 2010
dalam Arif, 2022)
Arif, 2022 dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa terdapat
hubungan mobilisasi dini terhadap PONV dengan bukti kelompok perlakuan
yang telah diberi tiga kali intervensi mobilisasi dini mengalami penurunan nilai
mual muntah yang lebih cepat dan lebih banyak dari pada kelompok kontrol
yang tidak diberi intervensi mobilisasi dini. Arif, 2022 melatih gerakan
mobilisasi dini melalui beberapa tahap: Tahap pertama adalah latihan kepala
gerak fleksi, ekstensi dan rotasi; Tahap kedua adalah Latihan gerak fleksi,
ekstensi, abduksi dan adduksi pada lengan dan tungkai; Tahap ketiga adalah
Latihan gerak fleksi, ekstensi, abduksi, dan adduksi pergelangan dan jari-jari
tangan dan kaki; Tahap keempat adalah latihan gerak fleksi dan ekstensi pada
siku tangan. Mobilisasi dini diberikan selama 5-10 menit dan diberikan
sebanyak 3 kaliperlakuan (Arif, 2022). Pada Tn. R tidak diberikan perlakuan
dan edukasi mengenai mobilisasi dini karena keterbatasan pengetahuan penulis
saat menyusun dan memberikan tindakan keperawatan.
Selama perawatan di Ruang Multazam 2, penulis menyiapkan rencana
tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah nausea dengan pemberian
aromaterapi lavender. Aroma lavender merupakan aroma pilihan pasien dari
beberapa pilihan aroma yang ditawarkan penulis. Aromaterapi bunga lavender
(lavandula angustifolia) ini mengandung bahan aktif utama yaitu linalool
(C10H18O) yang berfungsi sebagai efek sedative (Ramadhan & Zettira, 2017).
Pada penelitiam Ziemba et al., 2015 menyatakan bahwa linalool, yang
99

merupakan salah satu komponen utama minyak lavender, juga ditemukan


menjadi antagonis 5HT3 yang kuat (Karaman et al., 2019). Selain itu,
aromaterapi lavender dapat bermanfaat untuk relaksasi, kecemasan, mood, dan
pasca pembedahan menunjukkan terjadinya penurunan kecemasan, perbaikan
mood, dan terjadi peningkatan kekuatan gelombang alpha dan beta yang
menunjukkan peningkatan relaksasi (Taukhit & Haryono, 2018). Gelombang
alpha sangat bermanfaat dalam kondisi relaks mendorong aliran energi
kreativitas dan perasaan segar dan sehat (Taukhit & Haryono, 2018).
Sesuai dengan Standart Intervensi Keperawatan Indonesia ((Tim Pokja
SIKI DPP PPNI, 2018)), sebelum pemberian aromaterapi lavender, penulis
melakukan uji kepekaan kulit dengan uji tempel dengan larutan 2% pada daerah
lipatan lengan atau lipatan belakang leher. Setelah dilakukan uji kepekaan kulit,
pasien tidak ada menujukkan respon alergi. Pemberian aromaterapi lavender
pada Tn. R direncanakan selama 40 menit. Pemberian aroma terapi selama 40
menit dapat lebih efektif menurunkan intensitas mual muntah pada PONV
(Karaman et al., 2019). Saat aromaterapi diberikan, pasien meminta penulis
meminta agar pemberian aroma diperpanjang selama satu jam. Alasannya
karena Tn. R sangat menyukai terapi yang diberikan penulis.
Selama satu jam aromaterapi diberikan pada Selasa, 30 November 2021
pada pukul 08.40-09.40 wib, pada pasien tidak ada keluhan mual maupun
muntah. Kemudian, 15 menit pasca aromaterapi pasien juga di lakukan kembali
pemantauan apakah terdapat keluhan atau tidak. Hasil pemantauan
menunjukkan bahwa pasien sudah tidak ada mual dan muntah. Penulis
menyimpulkan bahwa masalah keperawatan nausea pada Tn. R teratasi dengan
satu kali pemberian aromaterapi lavender selama 40 menit.
b. Diagnosa Nyeri Akut
Masalah Keperawatan yang ketiga adalah nyeri akut karena Tn. R
mengeluh nyeri pada luka operasi debridement craniotomy. Antara stimulus
cedera jaringan post operasi dan pengalaman nyeri yang dirasakan Tn. R, nyeri
100

terdapat empat proses tersendiri: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi


(Wilson & Hartwig, 2012). Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang
mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Salah
satu kemungkinan mekanisme transduksi adalah pengaktivan nosiseptor oleh
zat-zat kimia penghasil nyeri yang dibebaskan di tempat cedera jaringan.
Berbagai zat kimia ditemukan di daerah cedera dan masing-masing memiliki
kemampuan yang berlainan dalam merangsang nosiseptor. Banyak dari zat
kimia ini dibebaskan dari jaringan yang rusak (ion kalium, histamin), oleh sel
mast yang aktif (seperti stimulan nyeri yang kuat, bradikinin), atau oleh sel T
yang telah tersensitisasi dan makrofag aktif (berbagai zat yang disebut sitokin,
termasuk toksin, faktor nekrosis tumor [TNF]) (Friedman, 2000). Selama
proses inflamasi banyak zat kimia lain yang disintesis dan dibebaskan. Di
antaranya adalah matabolit-metabolit asam arakidonat, prostaglandin dan
leukotrien. Keduanya diproduksi dalam suatu jenjang reaksi kimia yang diawali
dengan penguraian enzimatik fosfolipid yang dibebaskan dari membran lapis-
ganda lemak sel yang rusak.
Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat
transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medula spinalis dan
jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medula spinalis ke otak. Serat
saraf C dan A-𝛿 aferen yang menyalurkan impuls nyeri masuk ke medula
spinalis di akar saraf dorsal. Serat saraf C dan A-𝛿 aferen dapat dibedakan oleh
dua tipe nyeri yang ditimbulkan, yang disebut nyeri lembat dan nyeri cepat.
Sinyal nyeri cepat disalurkan ke medula spinalis oleh serat A-𝛿 dan dirasakan
dalam waktu 0,1 detik.
Nyeri cepat biasanya memiliki lokalisasi yang jelas dengan kualitas
menusuk, tajam, atau elektris. Nyeri cepat timbul sebagai respons terhadap
rangsangan mekanis (misalnya, sayatan, tusukan) atau suhu di permukaan kulit
tetapi tidak dirasakan di jaringan tubuh sebelah dalam.
101

Nyeri lambat disalurkan oleh serat aferen C dan dirasakan 1 detik setelah
rangsangan yang mengganggu. Nyeri lambat memiliki lokalisasi yang kurang
jelas dengan kualitas seperti terbakar, berdenyut, atau pegal. Nyeri lambat dapat
dipicu oleh rangsangan mekanis, suhu, atau kimiawi di kulit atau sebagian besar
jaringan atau organ dalam dan biasanya disertai kerusakan jaringan. Karena
sistem persarafan nyeri yang ganda ini, maka cedera jaringan sering
menimbulkan dua sensasi nyeri yang tersendiri: nyeri tajam yang lebih awal
(disalurkan oleh serat A-𝛿) diikuti oleh nyeri tumpul, seperti terbakar, yang
sedikit banyak berkepanjangan (disalurkan oleh serat nyeri C).
Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda dan kemudian kembali
menyatu di kornu dorsalis (posterior) medula spinalis. Daerah ini menerima,
menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Kornu dorsalis medula spinalis
dibagi menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut lamina. Dua dari lapisan ini
(lamina II dan III), yang disebut substansia gelatinosa, sangat penting dalam
transmisi dan modulasi nyeri. Substansia gelatinosa dihipotesiskan merupakan
suatu tempat mekanisme gerbang yang dijelaskan dalam teori pengendalian
gerbang (lihat pembahasan selanjutnya).
Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf
desendens dari otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medula
spinalis. Modulasi juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan
atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. Daerah-daerah
tertentu di otak itu sendiri mengendalikan atau memengaruhi persepsi nyeri:
hipotalamus dan struktur limbik berfungsi sebagai pusat emosional persepsi
nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan interpretasi dan respons rasional
terhadap nyeri. Namun, terdapat variasi yang luas dalam cara individu
mempersepsikan nyeri. Salah satu penyebab variasi ini adalah karena sistem
saraf pusat (SSP) memiliki beragam mekanisme untuk memodulasi dan
menekan rangsangan nosiseptif. Akhirnya, persepsi nyeri adalah pengalaman
102

pasien nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri
oleh saraf.
Saat pengkajian pasien juga tampak gelisah disertai meringis, tampak
sangat fokus dan hati-hati terhadap kepalanya, nyeri dirasakan pada hingga
belakang leher, nyeri disertai keluhan pusing, karakteristik nyeri seperti
ditusuk-tusuk, diaphoresis, nyeri dirasakan terutama saat pasien berusaha
ambulasi, nilai tekanan darah abnormal= 140/80 mmHg.
Respon pasien saat dilakukan pengkajian sejalan dengan Wilson &
Hartwig, 2012 yang menyampaikan bahwa sensasi nyeri memiliki fungsi
protektif, memicu respons terhadap stres berupa penarikan, melarikan diri, atau
imobilisasi bagian tubuh. Namun, apabila fungsi protektioni sudah selesai,
nyeri yang berlanjut dapat memperlemah pasien, karena sering disertai oleh
suatu respons stres berupa meningkatnya rasa cemas, gelisah, denyut jantung,
tekanan darah, dan kecepatan pernapasan (Wilson & Hartwig, 2012).
Dalam menetukan derajat nyeri pada Tn. R, penulis juga menggunakan
numeric rating scale yaitu dengan meminta Tn. R memilih angka 0-10 untuk
mendakan tingkat nyeri yang dirasakannya. Skala 0 menunjukkan tidak adanya
nyeri, skala 5 menunjukkan nyeri sedang dan 10 menujukkan nyeri hebat. Skala
nyeri pada Tn. R adalah 5 (0-10). Mengamati ekspresi wajah pasien,
mendengarkan tangisan atau erangan, dan mengamati tanda-tanda vital
(misalnya, tekanan darah, kecepatan denyut jantung) juga dapat memberi
petunjuk mengenai derajat nyeri yang dialami pasien. Namun, pengamatan-
pengamatan di atas sangat tidak dapat diandalkan, sehingga pasien berisiko
mendapat terapi nyeri yang kurang adekuat (Wilson & Hartwig, 2012).
Berdasarkan hasil analisis data, penulis menyiapkan aromaterapi lavender
dan teknik napas dalam sebagai tindakan keperawatan untuk menurunkan
intensitas dan skala nyeri pada Tn. R. Teknis pemberian aromaterapi lavender
dalam menurunkan intensitas dan skala nyeri tetap sama dengan teknis ketika
penulis menangani mula muntah post operasi pada Tn. R, yaitu menggunakan
103

diffuser. Namun waktu saat pemberian lebih singkat, hanya 15 menit (Hayati &
Hartiti, 2021)
Aromaterapi yang digunakan melalui dihirup akan masuk ke sistem
limbic dimana nantinya aroma akan diproses sehingga kita dapat mencium
baunya. Pada saat kita menghirup suatu aroma, komponen kimianya akan
masuk ke bulbus olfactory, kemudian ke limbic sistem pada otak. Limbic adalah
struktur bagian dalam dari otak yang berbentuk seperti cincin yang terletak di
bawah cortex cerebral. Tersusun ke dalam 53 daerah dan 35 saluran atau tractus
yang berhubungan dengannya, termasuk amygdala dan hipocampus. Sistem
limbic sebagai pusat nyeri, senang, marah, takut, depresi, dan berbagai emosi
lainnya (Karlina et al., 2014 dalam Hayati & Hartiti, 2021).
Terapi pemberian aromaterapi lavender menjadi tindakan
nonfarmakologi yang berguna untuk mengurangi nyeri pasien tanpa menunggu
obat dan terbukti setelah pemberian terapi aromaterapi lavender yang dilakukan
selama 3 hari, nyeri pasien ulkus granulosum post op debridement dapat
menurun (Hayati & Hartiti, 2021). Zat aktif yang terkandung didalam aroma
terapi lavender akan merangsang hipotalamus untuk memproduksi dan
mengeluarkan endorpin proses ini terjadi pada saat aroma terapi dihisap (Hayati
& Hartiti, 2021). Endorpin sebagai zat yang menimbulkan rasa tenang, relaks,
dan bahagia, endorpin dikenal dengan hormon kebahagiaan dan memiliki efek
sebagai analgetik (Anwar et al., 2018).Setelah perawat melakukan pemberian
aromaterapi selama 15 menit pada pasien didapatkan adanya penurun skala
nyeri menjadi 3 (0-10).
Teknik relaksasi napas dalam atau teknik napas dalam, juga penulis
berikan perlakuan dan edukasi pada Tn. R. Respon pasien dan keluarga setelah
diberikan edukasi menunjukan pemahaman mampu untuk mengulang kembali
teknik relaksasi napas dalam. Teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik relaksasi terdiri
atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat
104

memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman (Smeltzer et


al., 2010 dalam Aini & Reskita, 2017). Teknik relaksasi nafas dalam mampu
merangsang tubuh untuk melepaskan opoid endogen yaitu endorphin dan
enkafalin (Aini & Reskita, 2017). Hormon endorphin merupakan substansi
sejenis morfin yang berfungsi sebagai penghambat transmisi impuls nyeri ke
otak (Aini & Reskita, 2017). Sehingga pada saat neuron nyeri mengirimkan
sinyal ke otak, terjadi sinapsis antara neuron perifer dan neuron yang menuju
otak tempat seharusnya subtansi p akan menghasilkan impuls dan pada saat
tersebut endorphin akan memblokir lepasnya substansi p dari neuron sensorik,
sehingga sensasi nyeri menjadi berkurang (Aini & Reskita, 2017).
Dari Tabel 3. 7 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan pada Rabu, 1
Desember 2021, pasien sempat mengeluh adanya peningkatan tingkat nyeri.
Namun, saat penulis menanyakan pada penyebab keluhan dan karakteristik
keluhan seperti apa, pasien hanya memberikan respon nyeri dirasakan pada
kepala dengan skala 5 (0-10) dan lanjut fokus pada nyerinya. Kemudian
perawat kembali memberikan aromaterapi untuk menanganinya. Setelah
diberikan aromaterapi skala nyeri menjadi 4 (0-10)
c. Diagnosa Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
Masalah keperawatan ketiga yang muncul adalah ketidakstabilan kadar
glukosa darah karena saat pasien dilakukan pemeriksaan gula darah pada hari
kedua post operasi, didapatkan hasil pemeriksaan dengan nilai gula darah
sewaktu (GDS) 62mg/dL. Berdasarkan penuturan pasien, semenjak hari insiden
jatuh hingga perawatan post operasi pasien belum sama sekali meminum obat
pengontrol gula darahnya yaitu metformin 200mg. Selain itu, metformin yang
diresepkan tanpa insulin atau insulin sekretagog (sulfonylurea/glinide) jarang
menyebabkan hipoglikemia (Rusdi, 2020).
Kurangnya asupan makan diketahui merupakan salah satu factor risiko
terjadinya hipoglikemia (Rusdi, 2020). Diketahui Tn. R melakukan puasa
perioperative dari pukul 02.00 hingga 4 jam pasca operasi, yaitu pukul 13.50
105

wib. Menurut Hipszer et al., 2017 bahwa puasa perioperatif adalah penyebab
paling umum dari hipoglikemia perioperatif dan hipoglikemia pasca operasi
dapat dialami seseorang tanpa diduga pada individu diabetes dan non-diabetes.
Selain itu, Bernard et al., 2009 dalam Hipszer et al., 2017 juga menambahkan
bahwa agen anestesi pada periode perioperatif jarang menyebabkan
hipoglikemia, sehingga riwayat anestesi pasien kemungkinan tidak ada
kaitannya dengan kondisi hipoglikemia pada Tn. R.
Berdasarkan data pengkajian, Tn. R berusia 67 tahun. Menurut Hipszer
et al., 2017 kelompok lansia dan perlu pertimbangan khusus. Penuaan dapat
menumpulkan respons kontra-regulasi, mekanisme yang memungkinkan tubuh
untuk menghindari hipoglikemia dengan mengurangi sekresi insulin dan
meningkatkan produksi glukosa, sementara respons kontra-regulasi yang utuh
dan kuat dapat menekankan sistem kardiovaskular selama episode
hipoglikemik (Frier et al., 2011 dalam Hipszer et al., 2017).
Menurut Paluchamy, 2020; Yale et al., 2018 dalam Rusdi, 2020, nilai
glukosa darah dengan rentang 54-70 mg/dL, berdasarkan tingkat keparahannya
merupakan kategori hipoglikemia ringan. Pada pasien dengan hipoglikemia
ringan, pasien dapat melakukan pengobatan secara mandiri (Rusdi, 2020). Pada
salah satu rencana tidakan keparawatan pada manajemen hipoglikemia yang
akan dilakukan perawat adalah melakukan kolaborasi dengan nutrisionis terkait
pemberian karbohidrat kompleks dan protein sesuai diet. Hal ini didukung oleh
Rusdi, 2020 yang menyatakan bahwa beberapa terapi yang dapat dilakukan
pada pasien dengan hipoglikemia ringan-sedan, tiga diantarannya yaitu: (1)
Pemberian makanan tinggi glukosa (karbohidrat); (2) Ketika terapi
hipoglikemia, pilihan karbohidrat menjadi penting; (3) Karbohidrat kompleks
atau makanan yang mengandung lemak bersamaan dengan karbohidrat (seperti
coklat) dapat memperlambat absorbsi glukosa dan tidak boleh digunakan pada
kasus hipoglikemia yang darurat. Dari Tabel 3. 7 Implementasi dan Evaluasi
Keperawatan, setelah perawat melakukan kolaborasi dengan nutrisionis, pada
106

Rabu, 1 Desember 2021 didapatkan hasil pemeriksaaan GDS pasien yaitu 84


mg/dL. Hasil ini menujukkan bahwa masalah keperawatan pada Tn. R sudah
teratasi karena kadar glukosa darah pasien sudah kembali stabil.
d. Diagnosa Defisit Keperawatan Diri: Mandi, Toileting, Makan
Masalah Keperawatan yang keempat adalah defisit perawatan diri
karena pasien masih lemah akibat post operasi sehingga tidak mampu
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Saat pengkajian pasien tampak
masih kotor dan terdapat bercak darah, badan lengket, kulit berminyak dan
kuku kotor karena dibersihkan setiap dua minggu dan terdapat bercak darah
kering di sela-sela kuku. Menurut Chairil & Hardiana, 2017 mengatakan bahwa
kebersihan kuku dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang yang malas untuk
mencuci tangan setelah menggaruk badan dan kebiasaan tidak menyikat kuku
saat mandi serta memotong kuku lebih dari seminggu sekali atau ditunggu
sampai kuku benar benar kotor baru dipotong dan dibersihkan. Pasien juga
mengatakan tidak bisa ke kamar mandi dan belum mampu toileting dan makan
secara mandiri.
Oleh karena itu, perawat menyiapkan rencana tindakan keperawatan
untuk Tn. R berdasarkan Tautan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018) dengan intervensi utama yaitu defisit perawatan diri dan intervensi
pendukung yaitu perawatan kuku. Perawatan kuku pada Tn. R dilakukan oleh
penulis dengan menggunakan peralatan yang disiapkan oleh penulis sendiri.
Peralatan yang penulis gunakan yaitu potong kuku, air hangat baskom kecil,
waslap, dan hand cream agar tangan lembut dan wangi.
Selama implementasi perawatan diri makan, mandi dan toileting,
keluarga pasien turut aktif dalam upaya pemenuhan perawatan diri pada Tn. R
seperti membantu pasien buang air kecil, membersihkan badan dengan waslap,
membantu pasien mengambil minum dan peran penulis disini sebagai
fasilitator. Menurut Nuraisyah et al., 2017 dukungan keluarga terbagi menjadi
107

4 dimensi yaitu dimensi empathethic (emosional), dimensi encouragement


(penghargaan), dimensi facilitative (instrumental), dan dimensi participative
(partisipasi). Salah satu dimensi dukungan keluarga Tn. R adalah dimensi
empathethic (emosional) dilihat dari perilaku membantu pasien dengan merasa
tidak terbebani melainkan merasa bersemangat dan aktif dalam membantu
menjalankan aktivitas sehari-hari (activity daily living) khususnya pada
pemenuhan perawatan diri. Hal ini didukung oleh PH et al., 2018 yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perawatan
diri pasien. Siregar & Anggeria, 2019 juga menemukan terdapat gambaran
dukungan keluarga dan kemampuan perawatan diri (self-care) pasien pasca
stroke.
e. Diagnosa Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
Masalah keperawatan yang kelima adalah resiko perfusi serebral tidak
efektif karena pasien memiliki riwayat hipertensi dan adanya riwayat
pendarahan post operasi debridement craniotomy (Anggraini & Chanif, 2020;
Lombardo, 2012; Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Untuk mengatasi masalah
keperawatan ini, penulis memberikan posisi head up 30o pada Tn. R. Posisi
head up 30o derajat ini merupakan cara meposisikan kepala seseorang lebih
tinggi sekitar 30o dari tempat tidur dengan posisi tubuh sejajar dan kaki lurus
atau tidak menekuk (Kusuma & Anggraeni, 2019).
Pemberian elevasi kepala berdasarkan pada respon fisiologis merupakan
perubahan posisi untuk meningkatkan aliran darah ke otak dan mencegah
terjadinya peningkatan TIK. Elevasi kepala tidak boleh lebih dari 30 o, dengan
rasional pencegah peningkatan resiko penurunan tekanan perfusi serebral dan
selanjutnya dapat memperburuk iskemia serebral jika terdapat vasopasme
(Hasan, 2018 Anggraini & Chanif, 2020).
Dengan memberikan tindakan mandiri keperawatan yaitu menggunakan model
elevasi kepala 30o dan sesuai anjuran dokter melalui tindakan kolaborasi
(Anggraini & Chanif, 2020). Pada penelitian Anggraini & Chanif, 2020, setelah
108

diberikan posisi head up 30o pasien merasa lebih nyaman dan dapat beristirahat
dengan nyaman, hal tersebut dapat membuat hemodinamik pasien lebih stabil.
Dimana posisi head up 30o atau elevasi kepala 30o dilakukan selama 30 menit,
kemudian melihat saturasi oksigen yang ada di bedsite monitor terpantau
selama 30 menit (Hasan, 2018.
Tabel 3. 7 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan menunjukkan terdapat
penurunan tekanan darah yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan
posisi head up 30o. Sehingga dapat disimpulkan bahwa posisi head up 30o
mampu mengatasi masalah keperawatan risiko perfusi serebral tidak efektif
pada Tn. R
f. Diagnosa Risiko Infeksi
Masalah Keperawatan yang keenam adalah risiko infeksi karena Tn. R
memiliki luka operasi pada luka operasi pada kepalanya dan memiliki riawayat
diabetes mellitus. Luka operasi adalah terputusnya kontinuitas jaringan melalui
sayatan dilanjutkan dengan tindakan tertentu, kemudian diakhiri dengan
penutupan dan penjahitan luka (Riana & Jeffrey, 2021). Luka operasi akan
mengalami penyembuhan primer (primary intention) yaitu tepi luka bisa
menyatu kembali, permukaan bersih, tidak ada jaringan yang hilang dan juga
penyembuhan (secondary intention) yaitu sebagian jaringan hilang, proses
penyembuhan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi di dasar
luka dan sekitarnya (Mustamu et al., 2020; Riana & Jeffrey, 2021). Faktor-
faktor yang mendasari seperti usia pasien dan adanya komorbiditas kronis yang
mendasari, beberapa luka tidak mengikuti proses penyembuhan normal.
Penuaan dapat menganggu semua tahap penyembuhan luka karena
terjadi perubahan vaskuler yang menganggu sirkulasi ke daerah luka,
penurunan fungsi hati menganggu sintesis faktor pembekuan, respons inflamasi
lambat, pembentukan antibodi dan limfosit menurun, jaringan kolagen kurang
lunak, jaringan parut kurang elastic (Riana & Jeffrey, 2021). Peningkatan risiko
infeksi daerah operasi pada pasien DM dikaitkan dengan abnormalitas dari
109

kadar glukosa darah yang dapat menyebabkan penurunan fungsi imunitas


seperti penurunan kemotaksis dan oxidative killing potential dari sel neutrophil
(Riana). Hal ini sesuai penelitian Mc. Connel YJ dan kawan-kawan, studi
kohort pada 149 pasien kasus reseksi kolorektal yang menyatakan bahwa
dengan glukosa darah yang tidak terkontrol, Surgical site infecsion atau infeksi
luka operasi terjadi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan pasien
dengan glukosa darah yang terkontrol baik (Riana & Jeffrey, 2021).
Berdasarkan pengkajian pada Tn. R, penulis merencanakan tindakan
keperawatan dengan melakukan mempertahankan teknik aseptik pada pasien,
melakukan hand hygiene, kolaborasi pemberian antibiotik dan monitoring
tanda dan gejala infeksi disertai edukasi kepada pasien dan keluarga. Menurut
Hinchliff (dalam Dwi Handayani, 2003, dalam Setianto, 2015; dalam (Budiana
& Nggarang, 2019), teknik aseptik adalah metode penjagaan yang digunakan
dalam setiap tindakan yang membawa resiko masuknya mikroorganisme ke
dalam tubuh pasien. Teknik aseptik yang bisa diakukan perawat di ruangan
seperti membersihkan dan menggantikan linen pasien, membersihkan lantai
ruangan perawatan, membuang kasa atau sampah yang berada dalam ruangan
perawatan, melakukan hand hyigene sebelum dan sesudah melakukan
perawatan serta memilah sampah medis dan sampah non medis (Budiana &
Nggarang, 2019). Hand hygiene bertujuan untuk menurunkan bioburden
(jumlah mikroorganisme) pada tangan dan untuk mencegah penyebarannya ke
area yang tidak terkontaminasi (Budiana & Nggarang, 2019).
Pada saat mengedukasi tanda dan gejala infeksi kepada pasien dan
keluarga, respon yang didapatkan penulis yaitu keluarga mengenali tanda dan
gejala apabila ada terjadi infeksi. Menurut Sari, 2019 menyatakan bahwa faktor
penyebab munculnya tanda gejala terjadinya infeksi di rumah sakit pada
dasarnya bergantung pada mikroorganisme, tuan rumah (pasien, dan staf),
lingkungan, dan pengobatan. Menurut (Septiari, 2012 dalam Sari, 2019) tanda-
tanda infeksi adalah sebagai berikut:
110

1) Rubor (Kemerahan)
Rubor adalah kemerahan, ini terjadi pada area yang mengalami infeksi
karena peningkatan aliran darah ke area tersebut sehingga menimbulkan warna
kemerahan.
2) Calor (Panas)
Kalor adalah rasa panas pada daerah yang mengalami infeksi akan terasa
panas, ini terjadi karena tubuh mengkompensasi aliran darah lebih banyak ke
area yang mengalami infeksi untuk mengirim lebih banyak antibody dalam
memerangi antigen atau penyebab infeksi.
3) Tumor (Bengkak)
Tumor dalam konteks gejala infeksi bukan sel kanker seperti yang
umum dibicarakan akan tetapi pembengkakan yang terjadi pada area yang
mengalami infeksi karena meningkatnya permeabilitas sel dan meningkatnya
aliran darah.
4) Dolor (Nyeri)
Dolor adalah rasa nyeri yang dialami pada area yang mengalami infeksi,
ini terjadi karena sel yang mengalami infeksi bereaksi mengeluarkan zat
tertentu sehingga menimbulkan nyeri. Rasa nyeri mengisyaratkan bahwa terjadi
gangguan atau sesuatu yang tidak normal jadi jangan abaikan nyeri karena
mungkin saja ada sesuatu yang berbahaya.
Pada tanggal 1 Desesmber 2021, beberapa menit setelah perawat
melakukan operan. DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan Pasien)
melakukan kunjungan pada Tn. R sekaligus membuka balutan dan melakukan
perawatan luka post operasi pada kepalanya. Jika dihitung sejak hari operasi,
perawatan luka dilakukan pada hari ketiga post operasi. Mustamu et al., 2020
menyatakan metode perawatan luka modern dilakukan 3-5 hari
sekali/tergantung jenis luka dan kotornya balutan. Perawatan luka dengan
metode modern adalah metode penyembuhan luka dengan cara memperthatikan
kelembababan luka (moist wound healing) dengan menggunakan tehnik okulsif
111

dan tertutup (Mustamu et al., 2020). Mengenai penggunaan balutan dalam


perawatan luka modern, maka kriteria balutan, yang digunakan adalah balutan
dalam kondisi lembab merupakan cara yang paling efektif untuk penyembuhan
luka (Mustamu et al., 2020). Balutan dalam kondisi lembab tidak menghambat
aliran oksigen, nitrogen dan zat-zat udara lainya (Mustamu et al., 2020).
Kondisi lembab adalah lingkungan yang baik untuk sel-sel tubuh tetap hidup
dan melakukan replikasi secara optimum, karena pada dasarnya sel dapat hidup
dilingkungan yang lembab atau basah. (kecuali sel kuku dan rambut, sel-sel ini
merupakan sel mati) (Mustamu et al., 2020). Mustamu et al., 2020 juga
mengungkapkan apabila perawatan luka yang dilakukan sering (sehari 2-3 kali,
bahkan lebih), pasien akan merasakan nyeri yang sering, perbaikan luka yang
lama perasaan minder pada pasien karena bau.
g. Diagnosa Risiko Jatuh
Masalah keperawatan yang ketujuh adalah risiko jatuh karena pada data
pengkajian Tn. R ditemukan beberapa faktor yang mengindikasikan pasien
rentan mengalami jatuh. Data tersebut yaitu: Usia pasien 67 tahun; Pasien
memiliki riwayat jatuh; Lingkungan tidak aman: lantai licin; Post Operasi
Debridement Craniotomy; Efek anastesi umum; GDS sebelum operasi: 170
mg/dL; Skala Morse Fall Scale: 60 (Resiko Tinggi Jatuh); Kekuatan otot
menurun pada ekstremitas bawah maupun atas 2/3 atas, 3/3 bawah. Setiorini,
2021 menyatakan bahwa prevalensi jatuh lebih tinggi terjadi pada wanita,
dewasa lanjut usia, dan pasien dengan penyakit seperti diabetes, penyakit
jantung, dan arthritis. Faktor risiko terkait dengan kejadian jatuh dibagi menjadi
faktor intrinsik dan ekstrinsik, dan kombinasinya (Setiorini, 2021). Faktor
intrinsik berupa faktor internal, seperti usia dan penurunan fungsi organ indera
seperti penurunan ketajaman visual dan pendengaran, dan faktor ekstrinsik
berupa lingkungan dan kondisi kehidupan yang mungkin mempengaruhi
terjadinya jatuh (Yoo et al., 2016 dalam Setiorini, 2021). Dalam mengatasi
masalah keperawatan resiko jatuh, penulis mengacu pada Tautan Standar
112

Diagnosis Keperawatan Indonesia dan Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia, memberikan dua intervensi utama yaitu pencegahan jatuh dan
manajemen keselamatan lingkungan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Keselamatan pasien di rumah sakit merupakan sistem pelayanan di
rumah sakit yang dapat memberikan rasa aman kepada pasien dalam
memberikan asuhan kesehatan (Saprudin et al., 2021). Modifikasi lingkungan
pasien yang dapat dilakukan dalam upaya pecegahan risiko jatuh yaitu
menyingkirkan benda-benda yang membahayakan pasien dan memastikan jalur
ke kamar mandi atau toilet bebas hambatan, tidak licin dan terang (Saprudin et
al., 2021).
Upaya pencegahan risiko jatuh merupakan tindakan untuk
meminimalisir terjadinya kejadianjatuh atau bahaya cedera pada pasien selama
menjalani masa perawatan (Saprudin et al., 2021). Tindakan pencegahan jatuh
seharusnya menjadi tindakan yang wajib dilakukan oleh seorang perawat pada
pasien rawat terutama pasien dengan skor risiko jatuh yang tinggi (Astuti et al.,
2021). Pengkajian risiko jatuh pada pasien dilaksanakan saat pasien pertama
kali masuk kerumah sakit dan saat pasien, bertujuan memberikan perhatian
khusus pada pasien yangberisiko untuk jatuh dibandingkan dengan yang tidak
memiliki risiko untuk jatuh danmeminimalkan atau mencegah jumlah kejadian
pasien jatuh dan cedera (Nursalam, 2014 dalam Saprudin et al., 2021).
Menurut Maulina et al, 2015 dalam Astuti et al., 2021, insiden jatuh bisa
dicegaholeh perawat dengan melaksanakan pedoman prevention falls seperti
memonitoring pasiensecara ketat yang memilik risiko tinggi jatuh serta
melibatkan keluarga pasien untukmencegah terjadinya insiden jatuh pada
pasien. Nurhasanah & Nurdahlia, 2020 menambahkan bahwa perawat
memegang peran untuk melakukan pengkajian dan pencegahan jatuh pada
pasien dengan memberikan edukasi kepada pasien dan melakukantindakan
pencegahan jatuh berdasarkan SOP (Standard Operasional Prosedur) yang
berlaku.
113

Menurut Saprudin et al., 2021, adanya hubungan antara pengetahuan


dengan upaya pencegahan risiko jatuh pada pasien. Perawat dengan
pengetahuan yang memadai ialah perawat yang mampu melaksanakan tugasnya
dengan baik dan memiliki kecakapan dalam melakukan tindakankeperawatan
khususnya dalam melakukan tindakan upaya pencegahan risiko jatuh dalam
patient safety, karena pada saat melakukan tindakan tersebut didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran, sehingga akan menghasilkan tindakan
keperawatan upaya pencegahan risiko jatuhdalam patient safety yang lebih baik
dibandingkan dengan perawat yang pengetahuan tidak memadai (Saprudin et
al., 2021).
h. Diagnosa Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual
Masalah keperawatan yang kedelapan adalah kesiapan peningkatan
kesejahteraan spiritual karena pasien mengatakan bahwa ia mau dan mampu
melakukan ibadah shalat dengan posisi berbaring. Walaupun sedang sakit,
pasien tetap melaksanakan shalat diawal waktu. Kondisi sakit merupakan hal
yang niscaya dialami oleh setiap orang, begitu pun seorang muslim/ muslimah
yang menderita sakit, selama masih ada kesadaran, maka kewajiban shalat
masih melekat (Dewi & Anugerah, 2020). Bagi orang sakit, Allah
Subhanallahu wa ta’ala telah memberikan keringanan (rukhsah) untuk tidak
membebani hambanya dengan berbagai hal yang memberatkannya (Dewi &
Anugerah, 2020). Dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari dalam (Dewi
& Anugerah, 2020) disebutkan:

“Shalatlah engkau dengan berdiri, kalau engkau tidak mampu


maka duduklah, dan (kalau engkau) tidak mampu (untuk duduk)
maka shalatlah dengan berbaring.”

Sebelum shalat, pasien melakuan bersuci dengan tayamum


menggunakan debu dari gorden yang dekat degan pasien karena Tn. R sedang
terpasang selang infus, masih dalam kondisi bed rest dan terdapat luka pada
114

bagian kepala. Hal ini sejalan dengan (Dewi & Anugerah, 2020) yang
menyatakan bahwa pada kondisi tertentu, bagi orang yang sedang sakit, wudhu
tidak mampu dilakukan maka cara bersuci yang dilakukan bisa dengan
tayamum. Dasar bertayamum adalah al-Qur’an surah al-Maidah (5):6, yang
artinya:

“Dan apabila kamu sakiit atau dalam perjalanan atau kembali


dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak
mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
dan bersih, sapulah mukamu dan kedua tangan mu dengan tanah
itu…”

Dalam arti ayat diatas digunakan kata: (sho’idan) bukan: (turobun). Ini
berarti tanah kering yang berdebu. Kata sha’id dapat mencakup pengertian yang
luas bukan saja debu yang berasal dari tanah yang sengaja dikeringkan
melainkan juga debu-debu halus lainnya yang dapat menempel pada berbagai
permukan benda seperti batu, dinding, kaca dan lain-lain (Dewi & Anugerah,
2020).
Berdasarkan hasil pengkajian, pasien mengatakan bahwa sakit yang
dialami pasien adalah pemberian dari Allah, sama seperti kesehatan juga dari
Allah, sehingga pasien merasa harus selalu sabar karena sakit juga merupakan
salah satu ujian dan nikmat dari Allah. Dari pernyataan tersebut tampak
kerendahan hati dan kepercayaan kepada Allah dengan sikap sabar dan tetap
bersyukur atas kondisinya walaupun sedang sakit. Menurut Dewi & Anugerah,
2020, kesabaran adalah bagian penting dari iman, kesabaran terhadap
penderitaan yang dialami nya merupakan situasi dimana seseorang berada pada
keyakinan akan kasih sayang Allah Subhanallahu wa ta’ala. Dewi &
Anugerah, 2020 juga mengatakan bahwa kesabaran erat kaitannya dengan rasa
syukur. Firman Allah Subhanallahu wa ta’ala dalam surat Luqman ayat 31,
115

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat


tandatanda (kemahakuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat
sabar dan banyak bersyukur”

Pasien juga mengatakan ia berharap bisa segera sembuh. Ucapan dari


psaien menujukkan bahwa pasien memiliki harapan positif dan tidak putus asa
karena sakit yang diaaminya. Adapun salah satu hadist yang dikutip dalam
(Dewi & Anugerah, 2020):

“Dari Anas radiallahu anhum dia berkata: Rasulullah


Shalallahu’alaihi wassalam bersabda “Jangan sekalikali
seseorang diantara kamu mengharap-harapkan mati karena ada
bahay yang menimpanya. Jika dia harus mengharapkannya, maka
hendaklah dia ucapkan: Ya Allah, hidupkanlah aku kalau
sekiranya kehidupan itu lebih baik bagiku, tapi bila kematian itu
lebih baik bagiku matikanlah aku”(HR. Muutafa’alaih)

Tn. R mengungkapkan bahwa ia menerima kondisinya yang kini sedang


sakit. Ungkapan dari pasien menujukkan bahwa ia menerima atas kondisi yang
sedang ia dihadapinya tanpa berprasangka buruk terhadap Allah. Adapun salah
satu hadist yang sesuai dengan sikap positif yang dimiliki pasien:

”Dan orang yang sakit hendaklah berbaik sangka kepada Allah


karena Allah mengetahui dan berkuasa Allah bersifat pengasih,
penyayangdan pengampun.”(HR. Muslim)

Selain itu, bentuk penerimaan pasien ikhtiar berobat dan ikhtiar untuk sembuh
selama masa perawatan.

“Berobatlah kamu karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan


sesuatu penykit tanpa menurunkan obatnya kecuali satu macam
penyakit, yaitu tua.” (HR. Ashab Sunan)

Berdasarkan data pengkajian pada aspek spiritual Tn. R, perawat


menyiapkan beberapa intervensi dengan tiga intervensi terapeutik antara lain
bimbingan doa, dukungan kebutuhan spiritual dan Terapi Murottal AlQur’an.
116

Bimbingan doa dilakukan saat pergatian shift, sebelum minum obat dan sesudah
minum obat. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya, Ad-Daa' Wad
Dawaa, menyebutkan bahwa do'a termasuk sebab untuk mendapatkan
keinginan dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, meski demikian,
kadang do'a tidak memberikan dampak apapun, disebabkan do'a tersebut
mengandung kezaliman atau memutuskan silaturahim, bahkan do'anya sendiri
memang lemah karena tidak adanya ketundukan hati pendo'anya, akibat
kelalain, atau disebabkan sesuatu yang menghalangi sebab terkabulnya do'a
seperti kemaksiatan, makanan dan minuman yang haram, terkuasai hawa nafsu.
Abu Hurairah r.a. dalam (Dewi & Anugerah, 2020), mengatakan bahwa
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda,

"Berdo'alah kepada Allah dengan keyakinan bahwa do'a kalian


akan terkabul, ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan
do'a yang hatinya lalai serta tidak yakin." (HR. Tirmidzi)

Beberapa do'a yang dapat diamalkan ketika sedang sakit:


Doa menghadapi rasa sakit.

"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang." "Aku berlindung dengan keagungan dan kekuasaan
Allah dan kekuasaan-Nya dari pada kejahatan apapun yang aku
temui dan yang aku khawatirkan."

Doa akan minum obat.

"Ya Tuhannya manusia, hilangkan derita sakit, sembuhkan.


Engkaulah Maha Penyembuh, tiada penyembuh kecuali Engkau.
Ya Allah, sungguh hamba hanya mohon sehat kepada-Mu."
117

Doa setelah minum obat.

"Segala puji bagi Allah yang telah memberi kepada kita


kecukupan dan kepuasan yang tidak terabaikan dan tidak
tertolak." (HR. Bukhari dari Ummah)

Intervensi yang kedua yaitu psikoterapi religius, dimana metode


psikoterapi dengan memanfaatkan iman dan kepercayaan pada Allah
Subhanallahu wa ta’ala, seperti doa harian, ibadah sholat, puasa, infaq dan
sedekah, shalat taubat, mengaji ayat-ayat al-Qur’an, sebagai media kuratif
karena dipercaya dapat memperkuat jiwa seseorang (Dewi & Anugerah, 2020).
Secara khusus, mengingat Allah Subhanallahu wa ta’ala dianggap sebagai
faktor yang mampu menenangkan hati umat islam. Telah disebutkan dalam
firman Allah Subhanallahu wa ta’ala surat ar-R’adu (13):28:

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi


tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.”

Psikoterapi yang penulis berikan pada pasien adalah terapi murottal al-
Qur’an. Murottal adalah rekaman suara Al-Qur’an yang dilagukan oleh seorang
qori’(Syamsudin & Kadir, 2021). Suara AlQur’an ibarat gelombang suara yang
memiliki ketukan dan gelombang tertentu, menyebar dalam tubuh kemudian
menjadi getaran yang bisa mempengaruhi fungsi gerak sel otak dan membuat
keseimbangan didalamnya (Syamsudin & Kadir, 2021). Sesuatu yang
terpengaruh dengan tilawah Al-Qur’an, getaran neuronnya akan stabil kembali.
AlQur’an mempunyai beberapa manfaat karena terkandung beberapa aspek
yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan antara lain: mengandung unsur
meditasi, autosugesti dan relaksasi (Ernawati, 2013 dalam Syamsudin & Kadir,
2021).
118

Alunan murottal terbukti dapat meningkatkan hormone endorphin. Saat


mendengar alunan murottal, endorphin yang dihasilkan akan ditangkap oleh
reseptor di hypothalamus dan sistem limbic yang berfungsi mengatur emosi.
Peningkatan endorphin berperan penting dalam menurunkan nyeri,
meningkatkan daya ingat, memperbaiki nafsu makan, tekanan darah, dan
pernafasan (Tria, 2014 dalam Syamsudin & Kadir, 2021).
Dan intervensi yang terakhir perawat memberikan dukungan spiritual
kepadan pasien sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Arifin, 2017 salah
kebutuhan spiritual pasien selama di rumah sakit adalah peberian nasehat.
Secara umum terdapat beberapa kebutuhan spiritual yang dapat diberikan
dalam layanan penasehatan seperti: (1) kebutuhan untuk mendapat penjelasan
mengenai berbagai hal terkait dengan masalah agama selama sakit; (2)
Kebutuhan mendapat jawaban menenai masalah psikologis yang dihadapi; (3)
Butuh mendapat kepastian den pegangan selama sakit; (4) Butuh menemukan
solusi kesembuhan yang tidak bertentangan dengan agama; (5) Butuh teman
‘curhat’ dan berbagi dari berbagai beban psikologis yang dihadapi (Arifin,
2017).
Dukungan spiritual serta dukungan emosi, penulis berikan dalam
bentuk motivasi, mendengarkan pasien hingga bimbingan konseling saat
melakukan kunjungan pasien. Konseling untuk pasien di rumah sakit tidak
dapat dilakukan dalam sessi yang panjang dan lama melainkan harus dalam
waktu yang singkat dan tepat mengenai masalah yang dibutuhkan oleh pasien
(Arifin, 2017). Karena itu dikenal istilah brief focused counseling yaitu
konseling yang singkat tetapi terfokus kepada inti permasalahan, dan bila perlu
dilakukan dengan single session, atau sessi konseling tunggal, hal ini sangat
membantu terutama untuk pasien rawat inap yang tidak lama tinggal di rumah
sakit (Arifin, 2017).
Selama perawatan sejak hari pertama post operasi sampai hari pasien
pulang, Tn. R menujukkan semangat, sikap dan perilaku yang positif terlepas
119

dari kondisi sakitnya dan usianya yang sudah tidak lagi muda. Bahkan ia selama
di rumah sakit, tidak sekalipun pernah melalaikan ibadahnya. Pasien mampu
menjaga kesejahteraan spiritualnya karena selalu tenang, ikhlas, sabar dan
penuh rasa syukur selama menjalani perawatan. Di samping itu, penulis turut
bisa melihat bahwa dukungan keluarga atau peran keluarga sebagai support
system terhadap Tn. R begitu kuat dan berpengaruh terhadap kesejahteraan
spiritual pasien. Hal tersebut sejalan dengan penelitian terdahulu Febriana et
al., 2019 yang menemukan bahwa adanya hubungan dukungan keluarga dengan
pemenuhan kebutuhan spiritual lansia.
3. Hambatan dan Alternatif Penyelesaian Masalah yang Penulis Lakukan
Hambatan yang penulis temukan dan alternatif penyelesaian masalah yang
penulis lakukan selama pemberian asuhan keperawatan pada Tn. R antara lain:
a. Kurangnya pengalaman dan pengetahuan penulis mengenai anestesi dan
komplikasi pasca operasi sehingga penulis agak kesulitan dalam menyusun
asuhan keperawatan. Penyelesaian dilakukan penulis dengan cara
konsultasi dengan dosen pembimbing, alumni dan rekan sesama mahasiswa
yang menguasai di bidang tersebut.
b. Kurangnya pengalaman dan pengetahuan penulis saat melakukan home
visite, disamping itu penulis kurang mencari sumber informasi sehingga
saat penulis melakukan home visite kurang mendapatkan hasil evaluasi
yang maksimal. Penyelesaian dilakukan penulis dengan cara melanjutkan
implementasi melalui whatsapp.
c. Sumber literasi yang terbatas karena dominan penelitian yang sesuai dengan
kondisi Tn. R terbit tahun < 2017. Penyelesaian dilakukan penulis dengan
cara memperluas akses pencarian penelitian dengan menggunakan bahasa
asing, seperti Malay dan English. Selain itu, penulis juga menggunakan
lebih banyak database penelitian international.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Asuhan keperawatan Tn. R umur 67 tahun dengan diagnosa medis Post
Operative Debridement Craniotomy e.c. Multiple Vulnus+CKR dilakukan sejak
tanggal 29 November – 1 Desember 2021. Berdasarkan hasil analisis pembahasan
pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengkajian pada Tn. R. Hasil anamnesa didapakan Tn. R umur 67 tahun
dengan diagnoseavmedis Post Operative Debridement Craniotomy e.c.
Multiple Vulnus+CKR. Keadaan umum pasien lemah dan mengantuk,
kesadaran composmentis yang artinya pasien memilki kesadaran penuh dan
masih stabil.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn.R adalah: (1) Nausea b.d. efek
agen farmakologi: pasca anestes umum atas indikasi Postoperative Nausea &
Vomiting (PONV) Post Operasi Debridement Craniotomy; (2) Nyeri Akut b.d.
Agen Pencedera Fisik: Post Operasi Debridement Craniotomy; (3)
Ketidakstabilan Kadar Glukkosa Darah b.d. Disfungsi Pankreas: Riwayat
Diabetes Mellitus Tipe 2; (4) Defisit Perawatan Diri: Mandi; Toileting; Makan
b.d. Kelemahan Post Operasi Debridement Craniotomy; (5) Risiko Perfusi
Serebral Tidak Efektif d.d Cedera Kepala; Hipertensi; Post Operasi
Debridement Craniotomy; (6) Risiko Infeksi d.d. Post Operasi Debridement
Craniotomy, Riwayat Diabetes Melitus Tipe 2 (7) Risiko Jatuh d.d. Usia 67
Tahun, Riwayat Jatuh 2 Hari Yang Lalu, Kekuatan Otot Menurun, Post Operasi
Debridement Craniotomy; Pasca Anestesi Umum, Lingkungann Tidak Aman:
Lantai Licin; (8) Kesiapan Peningkatan Kesejahteraan Spiritual.
3. Hasil intervensi dan implementasi setelah diberikan beberapa terapi
komplementer dan alternatif, pasien menunjukkan pemulihan dan kepuasan.
Terapi komplementer dan alternatif tersebut antar lain: Pemberian aromaterapi

120
121

lavender selama 40 menit mampu mengatasi pada nausea dan pemberian


aromaterapi selama 15 menit dapat menurunkan skala nyeri pada nyeri akut;
Pemberian karbohidrat kompleks dan protein sesuai diet pada ketidakstabilan
kadar glukosa darah; Dukungan keluarga saat pemnuhan kebutuhan perawatan
diri pasien pada defisit keperawatan diri: mandi, toileting, makan; Posisi head
up 30o dapat mencegah perfusi serebral tidak efektif ; Mempertahankan teknik
aseptik pada pasien, melakukan hand hygiene, kolaborasi pemberian antibiotik
dan monitoring tanda dan gejala infeksi disertai edukasi kepada pasien dan
keluarga dapat mencegah infeksi; Pengkajian risiko jatuh, menyingkirkan
benda-benda yang membahayakan pasien dan memastikan jalur ke kamar
mandi atau toilet bebas hambatan, tidak licin, terang, memonitoring dengan
melibatkan keluarga pasien yang memilik risiko tinggi jatuh, serta
meningkatkan pengetahuan perawat sehingga mampu melaksanakan tugasnya
dengan baik dan memiliki kecakapan dalam melakukan upaya pencegahan
risiko jatuh dalam patient safety; Terakhir, untuk meningkat kan kesejahteraan
spiritual selama sakit, sikap dan perilaku yang harus dilakukan yaitu dengan
selalu bersabar dan bersyukur, tidak putus asa karena sakit yang dialami, ikhlas
menerima kondisi diri; ikhtiar berobat agar sembuh, berdoa kepada Allah,
memperoleh psikoterapi religiusitas (salah satunya:terapi murottal al-Qur’an)
dan dukungan spiritual dari keluarga maupun melalui konseling.

B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan di antaranya:
1. Instansi akademik sebaiknya menambahkan lebih banyak materi terkait
keperawatan home care, keperawatan perioperatif dan pengetahuan umum
terkait anestesi sehingga mahasiswa memiliki bekal ilmu yang cukup dalam
memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif.
2. Intansi Rumah Sakit sebaiknya melakukan pemberian aromaterapi lavender
kepada pasien post operasi yang mengeluh mual, munta dan nyeri. Perawat juga
122

hendaknya menguasai seputar terapi komplementer dan alternatif khususnya


aromaterapi lavender sehingga dapat membantu perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien post operasi di ruang rawat inap sesuai dengan
kebutuhan pasien secara komprehensif.
3. Mahasiswa hendaknya lebih banyak memperluas referensi materi mengenai
terapi komplementer dan alternatif, sehingga mahasiswa lebih mahir dalam
pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Agustiawan, & Al-Fajri, M. J. (2021). Hiperglikemia Reaktif pada Kasus Traumatic


Brain Injury (TBI). Cermin Dunia Kedokteran, 48(7), 435–439.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/1463
Aini, L., & Reskita, R. (2017). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap
Penurunan Derajat Nyeri. Pengaruh Tehnik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap
Penurunan Nyeri Pasien Fraktur, 9(2013), 8–19.
Alvin, R. (2021). Buku Panduan: Karya Ilmiah Akhir Komprehensif. Pendidikan
Profesi Ners IX Universitas ’Aisyiyah.
Anggraini, S., & Chanif, C. (2020). Efektifitas Pemberian Posisi Kepala Elevasi Pada
Pasien Hipertensi Emergensi. Ners Muda, 1(2), 78.
https://doi.org/10.26714/nm.v1i2.5491
Anwar, M., Astuti, T., & Bangsawan, M. (2018). Pengaruh Aromaterapi Lavender
terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pasien Paska Operasi Sectio Caesarea.
Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai Betik, 14(1), 84.
https://doi.org/10.26630/jkep.v14i1.1013
Arif, T. (2022). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Post Operative Nausea and
Vomitting Pada Pasien Post Operasi Dengan General Anestesi Di Rumah Sakit
Ngudi Waluyo Wlingi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada, 11(1), 26–33.
https://doi.org/10.33475/jikmh.v11i1.288
Arifin, I. Z. (2017). Bimbingan & Perawatan Rohani Islam di Rumah Saki. Fokus
Media.
Aromatherapy scents used to treat postoperative nausea. (2020, September 28).
AORN Journal. https://doi.org/10.1002/aorn.13192
Asay, K., Olson, C., Donnelly, J., & Perlman, E. (2019). The Use of Aromatherapy in
Postoperative Nausea and Vomiting: A Systematic Review. Journal of
Perianesthesia Nursing, 34(3), 502–516.
https://doi.org/10.1016/j.jopan.2018.08.006
Astuti, N. P., Santos, O. S. C. Dos, Indah, E. S., & Pirena, E. (2021). Upaya
Pencegahan Pasien Resiko Jatuh dalam Pelaksanaan Asuhan Keperawatan di
Rumah Sakit. Jurnal Manajemen Asuhan Keperawatan, 5(2), 81–89.
https://doi.org/10.33655/mak.v5i2.117
Becker, D. E. (2010). Nausea, Vomiting, and Hiccups: A Review of Mechanisms and
Treatment. Anesthesia Progress, 57(4), 150–157. https://doi.org/10.2344/0003-
3006-57.4.150
Bernard, P. A., Makin, C. E., & Werner, H. A. (2009). Hypoglycemia associated with
dexmedetomidine overdose in a child? Journal of Clinical Anesthesia, 21(1),
50–53. https://doi.org/10.1016/j.jclinane.2008.06.025
Budiana, I., & Nggarang, K. F. (2019). Penerapan Teknik Aseptik Pada Asuhan
Keperawatan Di Ruang Bedah RSUD Kabupaten Ende. Jurnal Keperawatan
Terpadu (Integrated Nursing Journal), 1(2), 56.
https://doi.org/10.32807/jkt.v1i2.38
Chairil, & Hardiana. (2017). Gambaran Perilaku Personal Hygiene Pada Lansia Di
Upt Pstw Khusnul Khotimah Pekanbaru. Photon: Jurnal Sain Dan Kesehatan,
8(01), 29–36. https://doi.org/10.37859/jp.v8i01.524
De Pradier, E. (2006). A trial of a mixture of three essential oils in the treatment of
postoperative nausea and vomiting. International Journal of Aromatherapy,
16(1), 15–20. https://doi.org/10.1016/j.ijat.2006.01.004
Dewi, I. P., & Aisyah, P. S. (2021). Resume Askep Spritual Muslim. In Modul
Praktik Keperawatan Medikal Bedah (p. 98). Prodi Profesi Ners,
Universitas ’Aisyiyah Bandung.
Dewi, I. P., & Anugerah. (2020). Asuhan Keperawatan Spiritual Muslim (P. S.
Aisyah (Ed.)). Penerbit Manggu.
Esumi, G., Matsuura, T., Hayashida, M., Takahashi, Y., Yoshimaru, K., Yanagi, Y.,
Wada, M., & Taguchi, T. (2019). Efficacy of Prophylactic Negative Pressure
Wound Therapy After Pediatric Liver Transplant. Experimental and Clinical
Transplantation : Official Journal of the Middle East Society for Organ
Transplantation, 17(3), 381–386. https://doi.org/10.6002/ect.2018.0076
Febriana, Y., Andarmoyo, S., Susanti, S., & Ponorogo, U. M. (2019). Hubungan
dukungan keluarga dengan pemenuhan kebutuhan spiritual lansia. Jurnal
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 156–161.
Febrianingrum, D. A. (2019). Asuhan Keperawatan Ketidakefektifan Pola Nafas Pada
Pasien Kardiomegali. In Perpustakaan Universitas Airlangga.
Fitrian, A. (2018). Efek Angiogenesis Gel Ekstrak Daun Lamtoro (Leucaena
Leucocephala) Pada Luka Insisi Tikus. Jurnal Biosains Pascasarjana, 20(1), 22.
https://doi.org/10.20473/jbp.v20i1.2018.22-32
Frier, B. M., Schernthaner, G., & Heller, S. R. (2011). Hypoglycemia and
cardiovascular risks. Diabetes Care, 34 Suppl 2, S132-7.
https://doi.org/10.2337/dc11-s220
Gądek-Michalska, A., Tadeusz, J., Rachwalska, P., & Bugajski, J. (2013). Cytokines,
prostaglandins and nitric oxide in the regulation of stress-response systems.
Pharmacological Reports : PR, 65(6), 1655–1662.
https://doi.org/10.1016/s1734-1140(13)71527-5
Ginting, L. R., Sitepu, K., & Ginting, R. A. (2020). Pengaruh Pemberian Oksigen
Dan Elevasi Kepala 30o Terhadap Tingkat Kesadaran Pada Pasien Cedera
Kepala Sedang. Jurnal Keperawatan Dan Fisioterapi (Jkf), 2(2), 102–112.
https://doi.org/10.35451/jkf.v2i2.319
Haryono, R., & Utami, M. P. S. (2019). Keperawatan Medikal Bedah 2. Pustaka Baru
Press.
Hastuti, D. S. (2019). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada An. Az Dengan Post
Operasi Craniotomy Atas Indikasi Space Occupying Lesion (Sol) Dengan
Intervensi Inovasi Penggunaan 2 %Chlorhexidine Gluconate (Chg) Sebagai
Perawatan Menyeka Harian Untuk Mengurangi Bakteremia Pa. Universitas
Muhammadiyah Kalimantan Timur.
Hayati, N. A., & Hartiti, T. (2021). Pemberian Aromaterapi Lavender Menurunkan
Intensitas Nyeri Post Op Debridement Pada Pasien Ulkus Granulosum. Ners
Muda, 2(1), 49. https://doi.org/10.26714/nm.v2i1.6233
Hines, S., Steels, E., Chang, A., & Gibbons, K. (2014). Aromatherapy for treatment
of postoperative nausea and vomiting. Journal of Perioperative Practice, 24(12),
266. https://doi.org/10.1002/14651858.cd007598.pub2
Hipszer, B., Heitz, J. W., & Joseph, J. I. (2017). Hypoglycemia. In J. W. Heitz (Ed.),
Post-Anesthesia Care (pp. 114–121). Cambridge University Press.
https://doi.org/10.1017/CBO9781139519557.017
Karaman, S., Karaman, T., Tapar, H., Dogru, S., & Suren, M. (2019). A randomized
placebo-controlled study of aromatherapy for the treatment of postoperative
nausea and vomiting. Complementary Therapies in Medicine, 42(December
2018), 417–421. https://doi.org/10.1016/j.ctim.2018.12.019
Karnina, R., & Ismah, M. N. (2021). Gambaran Kejadian Postoperative Nausea and
Vomiting (PONV) pada Pasien Pasca Tindakan Dilatasi Kuretase dengan
Anestesi Umum di RSIA B pada Tahun 2019. Muhammadiyah Journal of
Midwifery, 2(1), 10. https://doi.org/10.24853/myjm.2.1.10-20
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Laporan Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2018. In
Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kristyaningsih, P., & Rahmawati, I. (2022). PRIMARY SURVEY PASIEN
CEDERA KEPALA OLEH PERAWAT. Judika (Jurnal Nusantara Medika),
6(1), 38–45.
Kusuma, A. H., & Anggraeni, A. D. (2019). Pengaruh Posisi Head Up 30 Derajat
Terhadap Nyeri Kepala Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. Jurnal Ilmu
Keperawatan Dan Kebidanan, 10(2), 417.
https://doi.org/10.26751/jikk.v10i2.699
Leeds, S. G., Mencio, M., Ontiveros, E., & Ward, M. A. (2019). Endoluminal
Vacuum Therapy: How I Do It. Journal of Gastrointestinal Surgery : Official
Journal of the Society for Surgery of the Alimentary Tract, 23(5), 1037–1043.
https://doi.org/10.1007/s11605-018-04082-z
Lombardo, M. C. (2012). Cedera Sistem Saraf Pusat. In Patofisiologi: Konsep Klinisi
Proses-Prose Penyakit (6th ed.). Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Maas, A. I. R., Menon, D. K., Adelson, P. D., Andelic, N., Bell, M. J., Belli, A.,
Bragge, P., Brazinova, A., Büki, A., Chesnut, R. M., Citerio, G., Coburn, M.,
Cooper, D. J., Crowder, A. T., Czeiter, E., Czosnyka, M., Diaz-Arrastia, R.,
Dreier, J. P., Duhaime, A.-C., … Zumbo, F. (2017). Traumatic brain injury:
integrated approaches to improve prevention, clinical care, and research. The
Lancet Neurology, 16(12), 987–1048. https://doi.org/10.1016/S1474-
4422(17)30371-X
Manna, B., Nahirniak, P., & Morrison, C. A. (2022). Wound Debridement. In
StatPearls. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29939659
McNair, N. D., & Kuric, J. L. (2014). Penatalaksanaan Klien dengan Trauma
Neurologis. In Keperawatan Medikal Bedah (8th ed.). Elsavier.
Mervis, J. S., & Phillips, T. J. (2019). Pressure ulcers: Prevention and management.
Journal of the American Academy of Dermatology, 81(4), 893–902.
https://doi.org/10.1016/j.jaad.2018.12.068
Miraza, G. A. (2019). Hubungan Hipertensi Terkontrol Dan Tidak Terkontrol Dengan
Kardiomegali DI RSMP 2018. In Repositiry Universitas Muhammadiyah
Palembang. Universitas Muhammadiyah Palembang.
Mustamu, A. C., Mustamu, H. L., & Hasim, N. H. (2020). Peningkatan Pengetahuan
& Skill Dalam Merawat Luka. Jurnal Pengamas Kesehatan Sasambo, 1(2),
103–109.
Nubli, M. A. (2019). Depresi Pada Penderita Cedera Kepala. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada, 10(2), 207–211.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.151
Nurahman, A. (2019). Hubungan Lamanya Diabetes Melitus Dengan Kardiomegali
Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe Ii Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H.
Abdul Moeloek Provinsi Lampung Periode Januari-Desember 2013 Tahun 2015.
In Repository Malahayati. Universitas Malahayati Bandar LAMPUNG.
Nuraisyah, F., Kusnanto, H., & Rahayujati, T. B. (2017). Dukungan keluarga dan
kualitas hidup pasien diabetes mellitus. Berita Kedokteran Masyarakat, 33(1),
25. https://doi.org/10.22146/bkm.7886
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA, NIC-NOC (Revisi). Medication.
Nurhasanah, A., & Nurdahlia, N. (2020). Edukasi Kesehatan Meningkatkan
Pengetahuan Dan Keterampilan Keluarga Dalam Pencegahan Jatuh Pada Lansia.
JKEP, 5(1), 84–100. https://doi.org/10.32668/jkep.v5i1.359
Paluchamy, T. (2020). Hypoglycemia: Essential Clinical Guidelines. In Blood
Glucose Levels. IntechOpen. https://doi.org/10.5772/intechopen.86994
PH, L., Hermanto, & Pratama, N. P. (2018). Dukungan Keluarga Dengan Perawatan
Diri Pada Pasien Gangguan Jiwa Di Poli Jiwa. Jurnal Kesehatan Manarang,
4(1).
Rachmad Try, H., Erwin, P., & Indriasari. (2018). Penggunaan Skor Apfel sebagai
Prediktor Kejadian Mual dan Muntah Pascaoperasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Jurnal Anestesi Perioperatif, 6(2), 89–97.
Ramadhan, M. R., & Zettira, O. Z. (2017). Aromaterapi Bunga Lavender ( Lavandula
angustifolia ) dalam Menurunkan Risiko Insomnia. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung, 6, 60–63.
Riana, A., & Jeffrey. (2021). Hubungan Glukosa Darah Terhadap Proses Sakit
Sumber Waras Di Jakarta. EBERS PAPYRUS, 27(2), 50–56.
Rihiantoro, T., Oktavia, C., & Udani, G. (2018). Pengaruh Pemberian Aromaterapi
Peppermint Inhalasi Terhadap Mual Muntah Pada Pasien Post Operasi Dengan
Anestesi Umum. Jurnal Keperawatan, XIV(1).
Ristanto, R. (2017). Deskripsi Klien Cedera Kepala Yang Mengalami Trauma Mayor.
Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, 5(1), 48–54.
Rusdi, M. S. (2020). Hipoglikemia Pada Pasien Diabetes Melitus. Journal Syifa
Sciences and Clinical Research, 2(2), 83–90.
Saprudin, N., Nengsih, N. A., & Asyiyani, L. N. (2021). Analisis Faktor Yang
Berhubungan Dengan Upaya Pencegahan Risiko Jatuh Pada Pasien Di
Kabupaten Kuningan. Jurnal Kampus STIKES YPIB Majalengka, 9(2), 180–193.
https://doi.org/10.51997/jk.v9i2.138
Sari, I. P. (2019). Efektitas Kepatuhan Perawat Dengan Kejadian Infeksi Post OP Di
Ruang Mawar RSI Nashrul Ummah Lamongan. Medica Majapahit, 11(1), 29–
35.
Satyanegara. (2010). Ilmu Bedah Saraf (IV). Gramedia Pustaka Utama.
Setiorini, A. (2021). Sarcopenia dan Risiko Jatuh pada Pasien Geriatri.
Muhammadiyah Journal of Geriatric, 2(1), 10.
https://doi.org/10.24853/mujg.2.1.10-16
Sipahutar, N. E. R. (2021). Hubungan Rasio Neutrofil-Limfosit (Rnl) Dengan Derajat
Keparahan Pasien Covid-19 Di Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun
2021. Universitas HKBP Nonmensen Medan.
Siregar, P. S., & Anggeria, E. (2019). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan
Kemampuan Perawatan Diri (Self Care) Pada Pasien Pasca Stroke Di Rsud
Pirngadi Kota Medan. Jurnal Keperawatan Priority, 2(2), 70.
https://doi.org/10.34012/jukep.v2i2.542
Syamsudin, F., & Kadir, R. (2021). Terapi Murottal Al-Qur’an dan Terapi Dzikir
Terhadap Penurunan Nyeri Pasien Laparatomi. Jurnal Islamika, 000(1), 1–87.
Taukhit, & Haryono, R. (2018). Pengaruh Terapi Kombinasi Aromaterapi Lavender
Dan Dzikir Terhadap Penurunan Stres Dan Tekanan Darah Pada Penderita
Hipertensi. Jurnal Keperawatan Notokusumo, VI(1), 68–79.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (I).
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (II).
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Whitley, M. (2019). The Use of Aromatherapy for the Treatment of Post-Operative
Nausea Vomiting [Portland State University].
https://doi.org/10.15760/honors.767
Wilson, L. M., & Hartwig, M. S. (2012). Nyeri. In Patofisiologi: Konsep Klinisi
Proses-Prose Penyakit (VI, pp. 1063–1104). Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Wulandari, T. (2019). Rasio Neutrofil Limfosit Sebagai Prediktor Tingkat Keparahan
Stroke Iskemik. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(2 SE-Articles),
217–221. https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.153
Yale, J.-F., Paty, B., & Senior, P. A. (2018). Hypoglycemia. Canadian Journal of
Diabetes, 42 Suppl 1, S104–S108. https://doi.org/10.1016/j.jcjd.2017.10.010
Yasa, I. M. W. D. P., Golden, N., & Niryana, I. W. (2019). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan tindakan operasi pada pasien cedera kepala ringan dan
cedera kepala sedang di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari-Desember
2017. Medicina, 50(1), 174–179. https://doi.org/10.15562/medicina.v50i1.471
Yoo, J. S., Kim, C. G., Yim, J., & Jeon, M. Y. (2016). Factors influencing falls in the
frail elderly individuals in urban and rural areas. Aging Clinical and
Experimental Research, 28(4), 687–697. https://doi.org/10.1007/s40520-015-
0469-2
Ziemba, P. M., Schreiner, B. S. P., Flegel, C., Herbrechter, R., Stark, T. D., Hofmann,
T., Hatt, H., Werner, M., & Gisselmann, G. (2015). Activation and modulation
of recombinantly expressed serotonin receptor type 3A by terpenes and pungent
substances. Biochemical and Biophysical Research Communications, 467(4),
1090–1096. https://doi.org/10.1016/j.bbrc.2015.09.074
Lampiran
1
Hasil Skrining Jatuh dengan Morse Fall Scale
2

Dokumentasi Luka Post Operas pada Tn. R

Anda mungkin juga menyukai