Anda di halaman 1dari 179

EFEKTIFITAS SUCTION ABOVE CUFF ENDOTRACHEAL TUBE

DALAM MENCEGAH VENTILATOR ASSOCIATED PENUMONIA


PADA PASIEN KRITIS DI RUANG ICU

TESIS

Untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai derajat Sarjana


S2-Magister Terapan Kesehatan Program Studi Keperawatan

ARFIYAN SUKMADI
NIM. P1337420815009

PROGRAM STUDI MAGISTER TERAPAN KEPERAWATAN


PROGRAM PASCASARJANA POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
KEMENTERIAN KESEHATAN
2017
HALAMAN PENGESAHAN

TESIS

EFEKTIFITAS SUCTION ABOVE CUFF ENDOTRACHEAL TUBE


DALAM MENCEGAH VENTILATOR ASSOCIATED PENUMONIA
PADA PASIEN KRITIS DI RUANG ICU

Oleh

ARFIYAN SUKMADI
NIM. P1337420815009

Telah diujikan dan dinyatakan lulus ujian tesis pada tanggal 17 bulan Februari tahun 2017
oleh tim penguji Program Studi Magister Terapan Kesehatan Program Pascasarjana Poltekkes
Kemenkes Semarang.

Semarang, Februari 2017


Menyetujui,
Penguji Ketua

Dr. Rr. Sri Endang Pujiastuti, SKM., MNS.


NIP. 19700629 199203 2 002
Penguji Anggota I

Dr. Aris Santjaka, SKM., M.Kes.


NIP. 19650212 198702 1 002
Penguji Anggota II

Dr. Sudirman, MN.


NIP. 19731215 199803 1 003
Penguji Anggota III

Mardiyono, MNS., PhD.


NIP. 19700612 199403 1 002
Mengetahui,
Ketua Program Pascasarjana Ketua Program Studi Keperawatan
Poltekkes Kemenkes Semarang

Prof. Dr. dr. Soeharyo Hadisaputro, Sp.PD-KPTI. Mardiyono, MNS., PhD.


NIDK. 8887000016 NIP. 19700612 199403 1 002

ii
DEKLARASI ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Arfiyan Sukmadi
NIM : P1337420815009
Alamat : Kr. Anyar, Desa Sikur, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok
Timur, Nusa Tenggara Barat.

Dengan ini menyatakan bahwa :


a. Tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar
akademik (magister), baik di Poltekkes Kemenkes Semarang atau di
perguruan tinggi lain.
b. Tesis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan orang lain, kecuali Tim Pembimbing dan Para Narasumber.
c. Dalam Tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan judul
buku aslinya serta dcantumkan dalam daftar pustaka.
d. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah saya
peroleh, dan sanksi lain sesuai dengan normal yang berlaku di Poltekkes
Kemenkes Semarang.

Semarang, Februari, 2017


Yang membuat pernyataan,

Arfiyan Sukmadi
NIM. P1337420815009

iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI TESIS UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Poltekkes Kemenkes Semarang, saya yang bertanda


tangan dibawah ini :

Nama : Arfiyan Sukmadi


NIM : P1337420815009
Program Studi : Keperawatan
Program : Magister Terapan Kesehatan
Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Poltekkes Kemenkes Semarang Hak Bebas Royalti Noneksklusif atas karya
ilmiah saya yang berjudul :

Efektifitas Suction Above Cuff Endotracheal Tube dalam Mencegah


Ventilator Associated Penumonia pada Pasien Kritis di Ruang ICU

Beserta perangkat yang ada. Dengan Hak bebas Royalti Noneksklusif ini Magister
Terapan Kesehatan Pascasarjana Poltekkes Kemenkes Semarang berhak
menyimpan, mengalih media/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database) merawat, dan mempublikasikan tesis saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Dibuat di : Semarang
Pada tanggal : Februari 2017
Yang menyatakan

Arfiyan Sukmadi
NIM. P1337420815009

iv
ABSTRAK

ARFIYAN SUKMADI

EFEKTIFITAS SUCTION ABOVE CUFF ENDOTRACHEAL TUBE


DALAM MENCEGAH VENTILATOR ASSOCIATED PENUMONIA PADA
PASIEN KRITIS DI RUANG ICU

Latar belakang : Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan yang


sangat diperlukan dalam Intensive Care Unit (ICU) akan tetapi ventilator mekanik
berkaitan dengan resiko terjadinya Ventilator Associated Penumonia (VAP). VAP
terjadi akibat kurang terjaganya kebersihan endotracheal tube (ETT). Kebersihan
ETT harus tetap dijaga untuk menghambat perkembangan bakteri di dalam paru
menggunakan suction above cuff endotracheal tube (SACETT ) untuk mencegah
terjadinya VAP.
Tujuan : Menganalisis efektifitas SACETT dalam mencegah Ventilator
Associated Pneumonia (VAP) pada pasien kritis di ruang ICU.
Metode : Penelitian ini adalah quasy experimental post test only with control
group design dengan sampel sebanyak 15 untuk kelompok intervensi (SACETT +
Chlorhexidine 0,2%) dan 15 untuk kelompok kontrol (ETT + Open Suction +
Chlorhexidine 0,2%) yang didapatkan dengan teknik purposive sampling. Alat
ukur yang digunakan adalah Clnical Pulmonary Infection Score (CPIS) terdiri dari
suhu tubuh, leukosit, sekret trakea, PaO2/FiO2, dan foto torak.
Hasil : Penelitian ini menggambarkan bahwa tidak ada kejadian VAP pada
kelompok intervensi dan 13,3% VAP pada kelompok kontrol. SACETT lebih
efektif mencegah VAP dibandingkan ETT standar pada hari ke 4 (p=0.001). Uji t-
Test menunjukkan p=0.334 (suhu tubuh), p=0.005 (leukosit), dan p=0.013
(PaO2/FiO2). Uji Mann Withney U Test menunjukkan p=0.143 (sekret trakea),
p=0.417 (foto torak). Terdapat perbedaan bermakna antara SACETT dan ETT
standar terhadap nilai CPIS, leukosit, dan PaO2/FiO2. Namun tidak terdapat
perbedaan bermakna pada sekret trakea dan foto torak.
Simpulan : SACETT lebih efektif mencegah VAP dibandingkan ETT standar
dihari ke 4 pada pasien dengan gangguan sistem saraf, kardiovaskular, urinaria,
digestif, dan sistem imun.

Keyword : Suction Above Cuff Endotracheal Tube, Standard Endotracheal Tube,


Ventilator Associated Pneumonia, Pasien Kritis.

v
ABSTRACT

ARFIYAN SUKMADI

EFFECTIVITY OF SUCTION ABOVE CUFF ENDOTRACHEAL TUBE


TO PREVENT VENTILATOR ASSOCIATED PENUMONIA ON
CRITICAL ILL PATIENT IN INTENSIVE CARE UNIT

Background : Mechanical ventilator is support breathing tool that indispensable


in Intensive Care Unit (ICU), but mechanical ventilator associated with the risk of
Ventilator Associated Penumonia (VAP). VAP occurs due to a lack of cleanliness
of the endotracheal tube (ETT). The cleanliness of ETT must be maintained to
inhibit the growth of bacteria in the lung using a suction above the endotracheal
tube cuff (SACETT) in preventing VAP.
Aim : To analyze the effectiveness of SACETT for prevent Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) in critically ill patients in the ICU.
Methods : This study was quasy experimental post-test only with control group
design. Sample was 15 for intervention group (SACETT + Chlorhexidine 0,2%)
and 15 for control (ETT + Open Suction + Chlorhexidine 0,2%) group was
obtained by purposive sampling. Instrument used is Clinical Pulmonary Infection
Score (CPIS) which consists of body temperature, leukocyte, tracheal secretions,
PaO2/FiO2, and chest x-ray.
Result : No one suffered VAP in intervention group and 13,3% VAP in control
group. SACETT was more effective to prevent VAP compared with standard ETT
on day 4 (p=0,001). Independent t-test showed p = 0334 (body temperature), p =
0.005 (leukocytes), and p = 0.013 (PaO2/FiO2). Mann Whitney U Test showed p =
0.143 (tracheal secretions), and p = 0.417 (chest x-ray). This means that there was
significant differences between SACETT and standard ETT for leukocytes,
PaO2/FiO2, and CPIS scores. There was no significant differences between the
tracheal secretions and chest x-ray.
Conclusion : SACETT was effective to prevent VAP than standard ETT on day 4
for patient with disorders of neurological system, cardiovasculer, urinary,
digestive, and immune system.

Keyword : Suction Above Cuff Endotracheal Tube, Standard Endotracheal Tube,


Ventilator Associated Pneumonia, Criticall Ill Patients.

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini sesuai waktu yang telah
direncanakan. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna mencapai derajat sarjana S-2 Magister Terapan Keperawatan di Politeknik
Kesehatan Kemenkes Semarang.
Dalam penyusunan tesis ini, peneliti mendapatkan banyak pengarahan,
bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Sugiyanto, S.Pd., M.App.Sc., selaku Direktur Poltekkes Kemenkes
Semarang.
2. Prof. Dr. dr. Soeharyo Hadisaputro, Sp.PD-KPTI., selaku Ketua Program
Magister Terapan Kesehatan Poltekkes Kemenkes Semarang.
3. Bapak Putrono, S.Kep., Ns., selaku Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Semarang
4. Bapak Mardiyono, MNS., PhD., selaku Ketua Program Studi Keperawatan
Program Magister Terapan Kesehatan Poltekkes Kemenkes Semarang
sekaligus selaku penguji dalam tesis ini.
5. Bapak Dr. Sudirman, MN., selaku penguji dalam tesis ini
6. Ibu Dr. Rr. Sri Endang Pujiastuti, SKM., MNS., selaku pembimbing I dalam
tesis ini
7. Bapak Dr. Aris Santjaka, SKM., M.Kes., selaku pembimbing II dalam tesis
ini
8. Bapak dr. Rupii, Sp.An., KIC., selaku expert di bidang intensive care unit
yang telah memberikan saran dan masukan dalam tesis ini.
9. Ibu Ns. Ana Tri Hastuti, S.Kep., selaku kepala ruang intensive care unit RS.
Pantiwilasa Citarum Kota Semarang.
10. Bapak Ns. Failasuf Wibisono, S.Kep., selaku kepala ruang intensive care
unit RS. Roemani Mohammadiyah Kota Semarang.

vii
11. Ibu dan Bapakku tercinta H. M. Ya’kub dan Hj. Kartiwi yang selama ini
telah banyak dan selalu memberikan dukungan serta do’a, Ruli Mustiyawan
dan keluarga, Afrizal Sunarya, Heru Setiyahadi, dan M. Rezky Raditiya,
saudara-saudaraku tercinta yang banyak memberikan dorongan dan semangat
dalam menyelesaikan tesis ini.
12. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Terapan Kesehatan Poltekkes
Kemenkes Semarang dan seluruh pihak yang telah membantu kelancaran
penulisan tesis ini yang penulis tidak dapat sebutkan satu per satu.

Peneliti telah berusaha untuk dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-
baiknya. Namun demikian peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu demi kesempurnaan, peneliti mengharapkan adanya kritik dan
saran dari semua pihak, untuk menyempurnakannya.

Semarang, Februari 2017

Peneliti

viii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ................................................................................................. i


Halaman Pengesahan ...................................................................................... ii
Deklarasi Orisinalitas ...................................................................................... iii
Pernyataan Persetujuan Publikasi Tesis untuk Kepentingan Akademis ......... iv
Abstrak ............................................................................................................ v
Abstract ........................................................................................................... vi
Kata Pengantar ................................................................................................ vii
Daftar Isi .......................................................................................................... ix
Daftar Tabel .................................................................................................... xii
Daftar Gambar ................................................................................................. xiii
Daftar Lampiran .............................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 10
E. Relevansi Penelitian ................................................................... 10
F. Ruang Lingkup .......................................................................... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Pasien Kritis ............................................................................... 16
B. Ventilator Mekanik .................................................................... 16
1. Pengertian ............................................................................ 16
2. Fungsi dan Tujuan ............................................................... 17
3. Indikasi ................................................................................. 18
4. Mekanisme Kerja ................................................................. 18
5. Mode Ventilator ................................................................... 21
6. Pemilihan Mode Ventilator .................................................. 23
7. Perawatan pada Ventilasi Mekanis ...................................... 32
8. Komplikasi Ventilasi Mekanis ............................................. 36
C. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) ................................... 39
1. Pengertian ........................................................................... 39
2. Etiologi ................................................................................. 39
3. Faktor Risiko ........................................................................ 41
4. Patogenesis ........................................................................... 42

ix
5. Pemeriksaan Diagnostik ...................................................... 45
6. Pencegahan .......................................................................... 48
D. Suction ....................................................................................... 52
1. Pengertian ............................................................................ 52
2. Jenis Suction ........................................................................ 52
3. Indikasi ................................................................................. 53
4. Kontra Indikasi .................................................................... 53
5. Komplikasi ........................................................................... 54
6. Prosedur Open Suction System ............................................ 54
E. Endotracheal Tube (ETT) .......................................................... 58
F. Intubasi ....................................................................................... 60
G. Suction Above Cuff Endotracheal Tube (SACET) ..................... 62
H. Pengaruh Suction Above Cuff dengan Oral Hygiene
Chlorhexidine terhadap VAP ..................................................... 64
I. Kerangka Teori .......................................................................... 67
J. Hipotesis .................................................................................... 68

BAB III METODOLOGI PENELITIAN PENELITIAN


A. Kerangka Konsep ....................................................................... 69
B. Desain Penelitian ....................................................................... 70
C. Populasi dan Sampel .................................................................. 71
1. Populasi ................................................................................ 71
2. Sampel ................................................................................. 71
3. Besar Sampel ....................................................................... 72
4. Teknik Sampling .................................................................. 74
D. Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Skala
Pengukuran ................................................................................ 76
1. Variabel Penelitian ............................................................... 76
2. Definisi Operasional ............................................................ 76
E. Sumber Data Penelitian ............................................................. 78
1. Data Primer .......................................................................... 78
2. Data Skunder ........................................................................ 79
F. Alat Penelitian/Instrumen Penelitian ......................................... 79
G. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 85
1. Tahap Persiapan ................................................................... 85
2. Tahap Pelaksanaan ............................................................... 86
H. Pengolahan dan Analisis Data ................................................... 87
1. Editing/Memeriksa ............................................................... 87
2. Coding/Pengkodean ............................................................. 88
3. Entry/Memasukkan .............................................................. 88

x
4. Cleaning/Pembersihan Data ................................................ 89
5. Analisis Data ........................................................................ 89
I. Etika Penelitian .......................................................................... 92
J. Jadwal Penelitian ....................................................................... 94

BAB IV HASIL PENELITIAN


A. Gambaran Umum Penelitian ...................................................... 95
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................... 95
C. Analisis Univariat ...................................................................... 96
1. Karakteristik Responden ...................................................... 96
2. Gambaran Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) ....... 100
D. Analisis Bivariat ........................................................................ 102
1. Kejadian VAP ....................................................................... 102
2. Komponen CPIS .................................................................. 103

BAB V PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden ............................................................ 107
1. Usia ....................................................................................... 107
2. Jenis Kelamin ........................................................................ 108
3. Diagnosa Medis .................................................................... 108
4. Penggunaan antibiotik ........................................................... 109
5. Posisi Kepala ......................................................................... 110
6. Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi ............................................. 110
7. Manajemen Sirkuit Ventilator ............................................... 111
B. Kejadian VAP ............................................................................. 111
C. Komponen CPIS ......................................................................... 112
D. Penggunaan SACETT dan OSS-ETT dalam Mencegah
Kejadian VAP ............................................................................. 116
E. Open Suction dan Chlorhexidine dalam Mencegah
Kejadian VAP ............................................................................. 118
F. Penggunaan SACETT dan OSS-ETT dalam
Mempengaruhi Nilai CPIS ......................................................... 119
G. Keterbatasan Penelitian .............................................................. 121
H. Implikasi Penggunaan SACETT terhadap Dunia
Keperawatan .............................................................................. 122

BAB VI PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................... 124
B. Saran .......................................................................................... 125

DAFTAR PUSTAKA

xi
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1. Penelitian yang terkait tentang pengaruh suction above cuff
dan ventilator associated pneumonia .............................................. 11
Tabel 2.1. Etiologi VAP dengan bronkoskopi .................................................. 40
Tabel 2.2. Faktor-faktor resiko berkaitan dengan VAP .................................... 41
Tabel 2.3. Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS).................................... 48
Tabel 2.4. Penelitian Terkait Suction Above Cuff dan Oral Hygiene
Chlorhexidine terhadap Kejadian VAP .......................................... 65
Tabel 3.1. Rancangan penelitian kuasi eksperimental .................................... 70
Tabel 3.2. Definisi operasional ........................................................................ 76
Tabel 4.1. Uji Homogenitas, Distribusi Mean, Median, SD, Min, Max
berdasarkan usia ............................................................................. 97
Tabel 4.2. Uji Homogenitas, Distribusi Frekuensi dan Persentasi
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Diagnosa Medis ....... 97
Tabel 4.3. Uji Homogenitas, Distribusi Frekuensi dan Persentasi
Responden Berdasarkan Counfounding Variabel .......................... 99
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Kejadian VAP
pada Pasien dengan Ventilator Mekanik ....................................... 100
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi, Mean dan SD CPIS pada Pasien
dengan Vantilator Mekanik di Ruang ICU .................................... 100
Tabel 4.6 Efektifitas Penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap
Kejadian VAP ................................................................................. 103
Tabel 4.7 Efektifitas Penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap
Suhu tubuh Leukosit, dan Oksigenasi pada Pasien
Terpasang Ventilator ...................................................................... 104
Tabel 4.8 Efektifitas Penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap
Sekret Trakea dan Foto Thorax pada PasienTerpasang
Ventilator ....................................................................................... 105
Tabel 4.9 Effect Size SACETT dan OSS-ETT dalam Mencegah VAP
Pada Pasien Terpasang Ventilator ................................................. 106

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Mekanisme kerja ventilator mekanik ......................................... 21


Gambar 2.2. Mekanisme perkembangan VAP ................................................. 43
Gambar 2.3. Standar Endotracheal Tube ....................................................... 59
Gambar 2.4. Intubasi Endotracheal Tube (ETT).............................................. 61
Gambar 2.5. Suction Above Cuff Endotracheal Tube (SACETT) .................... 62
Gambar 2.6. Desain Suction Above Cuff pada ETT ........................................ 64
Gambar 2.7. Kerangka Teori SACETT dan OSS-ETT pada VAP .................... 67
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian ................................................ 69

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Penjelasan Informed Consent


Lampiran 2 Form Informed Consent
Lampiran 3 Lembar Demografi dan Observasi
Lampiran 4 Master Tabel
Lampiran 5 Analisis Univariat
Lampiran 6 Uji Normalitas dan Homogenitas Data
Lampiran 7 Analisis Bivariat
Lampiran 8 Jadwal Penelitian
Lampiran 9 Lembar Konsultasi
Lampiran 10 Sertifikat Ethical Clearence
Lampiran 11 Surat Rekomendasi Riset/Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik (KESBANGPOL) Kota Semarang
Lampiran 12 Surat Keterangan Penelitian (RS ROEMANI Muhammadiyah)
Lampiran 13 Surat Keterangan Penelitian (RS PANTIWILASA Citarum)
Lampiran 14 Daftar Riwayat Hidup

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan yang sangat

diperlukan dalam Intensive Care Unit (ICU) sebuah rumah sakit. Namun

ventilasi mekanik juga sangat terkait dengan risiko terhadap Ventilator

Associated Pneumonia (VAP).1 VAP merupakan salah satu penyebab

morbiditas dan mortalitas di ICU. Pneumonia akibat penggunaan ventilator

merupakan pneumonia nosokomial yang sangat sering terjadi pada pasien

yang telah terpasang ventilasi mekanis (dengan endotracheal tube atau

trakeostomi) selama sedikitnya 48 jam.2, 3


Pneumonia merupakan penyakit

infeksi yang terjadi dengan frekuensi yang sangat tinggi, dengan kejadian 9-

24% setelah 48 jam dari awal manajemen pernapasan buatan. Data

menunjukkan bahwa tidak ada perbaikan yang terlihat dalam insiden ini. Di

ICU, kejadian VAP telah meningkat menjadi 1 % per hari.4

Survei prevalensi satu hari di 1417 ICU di seluruh dunia pada tahun

2007 menyebutkan bahwa prevalensi infeksi saluran pernapasan adalah 64%

di antara semua pasien yang terinfeksi.5 Insiden VAP di dunia cukup tinggi,

bervariasi antara 9 sampai 27% dan angka kematiannya melebihi 50%.

Masalah VAP menduduki urutan ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Rumah

Sakit di Amerika Serikat. Angka kejadian pneumonia nosokomial berkisar 5

sampai 10 kasus per 1000 pasien, angka kejadian meningkat 6 sampai 20 kali

1
pada pasien yang terpasang ventilator, angka kematian berkisar 20 sampai

50%.6

Penelitian mengenai Global prospective epidemiologic and

surveillance study of ventilator-associated pneumonia di ICU pada 56 lokasi

di 11 negara di empat wilayah yaitu: Amerika Serikat, Eropa, Amerika Latin,

dan Asia Pasifik dengan total kejadian sebanyak 1873. Secara global, kejadian

VAP diperkirakan sebesar 13.5% di Amerika Serikat. Sebanyak 2.9‰ VAP di

ICU pediatrik dan 15.2‰ VAP di ICU trauma. Eropa sebanyak 19.4%, 13.8%

di Amerika Latin, dan 16.0% di Asia Pasifik. Angka kejadian pneumonia

karena pemasangan ventilator di Jepang berkisar 20–30%.6-8 Kejadian VAP di

Indonesia berdasarkan penelitian tentang VAP di Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo telah ditemukan 27.4% kasus selama kurun waktu Januari

2003 sampai Desember 2012.9 Data kejadian VAP di Rumah Sakit Umum

Pusat (RSUP) Fatmawati didapatkan bahwa terjadi peningkatan tren, insiden

tertinggi terjadi pada bulan Juli 2014 yaitu 21.2‰ dan terendah bulan

September 2014 yaitu 5.53‰.10 Sementara berdasarkan penelitian di Rumah

Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, kejadian VAP selama

tahun 2014 sebanyak 21.8% pasien.11

VAP terjadi akibat kurang terjaganya kebersihan dan lama

pemasangan endotracheal tube (ETT). Kebersihan ETT harus tetap dijaga

untuk menghambat perkembangan bakteri di dalam paru, perkembangbiakan

bakteri juga dipengaruhi oleh populasi penderita, lama perawatan, dan

pemberian antibiotika.9 Pasien yang mengalami VAP memiliki tingkat

2
kematian yang lebih tinggi, tinggal lebih lama di ICU dan rumah sakit, serta

membutuhkan lebih banyak biaya untuk pengobatan. Oleh karena itu

pencegahan VAP sangat dibutuhkan dan telah menjadi prioritas dalam

penelitian perawatan intensif yang bertujuan untuk meningkatkan status

kesehatan pasien dengan cara mengurangi angka kematian.12

Terpasangnya ETT menjadi port de entree bakteri yang langsung

menuju saluran pernapasan bagian bawah dan trakea. Oleh karena terbukanya

saluran pernapasan bagian atas, terjadi penurunan kemampuan untuk

menyaring dan menghangatkan udara. Pemasangan ETT juga dapat

mengurangi reflek batuk dan gangguan pada silia mukosa saluran pernapasan

karena terdapat cedera pada mukosa saat intubasi dilakukan sehingga menjadi

tempat bakteri untuk berkolonisasi pada trakea.13 Pencegahan aspirasi

orofaring atau biofilm pada pasien terpasang ETT adalah dengan

menggunakan desain ETT yang berbeda dari standar. Inovasi dalam desain

ETT terletak pada penempatan sebuah lubang tepat di atas balon manset,

terhubung ke lumen yang memungkinkan penghisapan intermiten atau terus-

menerus pada sekresi subglotis yang dikenal dengan suction above cuff.14

Penelitian terkait antara lain oleh Supriandi yang membandingkan

suction terbuka dan suction tertutup dengan Chlorhexidine 0.2% sebagai oral

hygiene terhadap kejadian VAP mengemukakan hasil bahwa penggunaan

suction terbuka disertai oral hygiene 2 kali sehari sama baiknya dengan

penggunaan suction tertutup disertai oral hygiene 1 kali sehari dalam

mencegah VAP pada hari ke 3.15 Speroni yang membandingkan keefektifan

3
ETT standar dengan ETT-continuous subglotic suction (CSS-ETT) terhadap

VAP dimana hasilnya adalah CSS-ETT lebih efektif dalam mencegah VAP

dibanding ETT standar dalam kejadian VAP pada hari ke 3 dengan effect size

sebesar 0.277 (kategori kuat).16

Penelitian oleh Lorente pengaruh endotracheal tube dengan

polyurethane cuff (PUC) dan subglottic secretion drainage (SSD) dengan

menggunakan open suction system (OSS) dan Chlorhexidine sebagai oral

hygiene pada pneumonia dengan hasil tidak ada perbedaan signifikan antara

kedua kelompok yang diteliti (ETT konvensional dan ETT PUC-SSD) setelah

hari ke 4, namun kejadian VAP pada kelompok ETT PUC-SSD lebih rendah

dibandingkan kelompok ETT konvensional dengan effect size sebesar 0.186

(kategori sedang).17 Penelitian tentang tracheotomy tubes with suction above

the cuff dengan elevasi kepala 30o, tekanan cuff 24 mmHg dan oral hygiene

care dalam mengurangi rata-rata kejadian VAP di ICU oleh Ledgerwood

dengan hasil bahwa pasien yang menggunakan suction above the cuff

tracheotomy lebih sedikit dalam kejadian VAP (11%) sedangkan kelompok

kontrol sebanyak 56% yang diukur pada hari ke 5 dan ke 7, lebih pendek pada

lama hari rawat dan lama penggunaan alat bantu ventilator dibandingkan

pasien yang mendapat standard tube dengan effect size sebesar 0.268 (kategori

kuat).18

Jena membandingkan Suction Above Cuff Endotracheal Tube

(SACETT) dengan ETT standar dalam mencegah VAP pada pasien penyakit

syaraf dengan ventilator menggunakan metode randomized controlled pilot

4
study, studi yang dilaksanakan dalam 24 bulan dengan 54 responden tersebut

dimana 4 diantaranya dropped out dan hasilnya ditemukan perbedaan insiden

microbiological VAP pada hari ke 5 antara kedua model ETT tersebut dimana

pada SACETT lebih rendah dibanding dengan ETT standar namun tidak

signifikan secara statistik dengan effect size sebesar 0.14 (kategori sedang) dan

tidak spesifik dalam penggunaan antiseptik oral hygiene.19

Penelitian oleh Munro, dkk yang membandingkan Chlorhexidine

0.12% dengan tootbrush sebagai oral hygiene pada penggunaan ETT standar

dengan OSS terhadap kejadian VAP menunjukkan hasil bahwa Chlorhexidine

lebih efektif mencegah VAP pada hari ke 3 perawatan (early onset).20 Laoh,

dkk yang membandingkan Chlorhexidine 0.12% sebagai oral hygiene dengan

listerine pada penggunaan ETT standar dengan OSS terhadap kejadian VAP

menunjukkan hasil bahwa kejadian VAP lebih rendah pada responden yang

diberikan Chlorhexidine 0.12% pada hari ke 3 yakni 15% berbanding 65%.21

Penelitian oleh Wijaya tentang pengaruh pemberian Chlorhexidine

0.2% sebagai oral hygiene pada penggunaan ETT standar dengan OSS

terhadap jumlah bakteri orofaring pada pasien dengan ventilator mekanik

menujukkan hasil bahwa terdapat penurunan jumlah bakteri orofaring pada

pemberian Chlorhexidine 0.2% pada hari ke 2 perawatan.22 Dewi, dkk

membandingkan Chlorhexidine 0.2% dan povidone iodine pada penggunaan

ETT standar dengan OSS terhadap jumlah bakteri trakea pada penderita

dengan ventilator mekanik dimana penurunan jumlah bakteri trakea lebih

besar pada responden yang diberikan Chlorhexidine 0.2% pada hari ke 2.23

5
Oral hygiene sebagai salah satu tindakan mandiri pelayanan

keperawatan sangat penting untuk dilaksanakan secara rutin dalam rangka

memelihara kesehatan rongga mulut pasien dan mencegah risiko infeksi paru

dari saluran pencernaan bagian atas. Chlorhexidine telah banyak dibuktikan

dan digunakan sebagai antiseptik profilaksis yang efektif dalam mencegah

terjadinya VAP pada pasien terpasang ventilator mekanik yang terintubasi.

Pemeriksaan diagnostik VAP dilakukan melalui Clinical Pulmonary

Infection Score (CPIS) dengan beberapa elemen untuk mengukur pneumonia

seperti metode noninvasif yang sering dilakukan adalah endotracheal

aspiration (ETA) dan metode invasif antara lain protected specimen brush

(PSB) dan bronchoalveolar lavage (BAL).24, 25 CPIS sangat efektif digunakan

untuk mengidentifikasi pasien yang memerlukan terapi antibiotik,

meminimalkan paparan, dan pasien yang memerlukan terapi pengobatan lebih

lama. CPIS klasik berisi 7 variabel pemeriksaan yang terdiri dari suhu tubuh,

leukosit, sekret trakea, PaO2/FiO2, foto torak, dan perkembangan infiltrat paru

serta pemeriksaan kultur.26

Da Silva dalam penelitiannya memodifikasi CPIS dengan

mengeluarkan komponen perkembangan infiltrat paru dan pemeriksaan kultur

untuk meminimalisir penggunaan antibiotik yang tidak perlu akan tetapi tetap

menyediakan fleksibilitas dalam pengelolaan pasien dengan pneumonia.27

Balanchivadze dalam penelitiannya mengemukakan bahwa modified CPIS

tanpa pemeriksaan kultur lebih mudah untuk dilakukan penliaian pada pasien

6
yang menderita pneumonia setelah 72 jam (hari ke 4), yang mana modified

CPIS memiliki korelasi yang baik dengan hasil pemeriksaan CPIS klasik.28

Berdasarkan beberapa penemuan dan penelitian tersebut diatas,

melatarbelakangi peneliti untuk lebih lanjut meneliti mengenai efektifitas

penggunaan SACETT dengan Chlorhexidine 0.2% sebagai antiseptik oral

hygiene dalam mencegah VAP pada pasien kritis di ruang ICU dengan

menggunakan simplified CPIS sebagai alat ukur.

B. Perumusan Masalah

Tingginya kejadian dan kematian yang ditimbulkan karena VAP

mengharuskan adanya terobosan dalam upaya pencegahan dan perawatan

pasien dengan ventilator mekanik. Upaya-upaya pencegahan dari sisi non

farmakologik sangat perlu ditingkatkan guna meminimalisir efek samping

terapi medis, salah satunya adalah SACETT yang merupakan modifikasi ETT

standar dengan penambahan port untuk jalur suction sepanjang lumen tepat di

atas balon cuff.

Pasien kritis dengan penurunan kesadaran dan terpasang ventilator

mengalami gangguan dalam refleks batuk dan menelan yang mana saluran

pernapasan merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh. Pada

penggunaan ETT standar yang umumnya digunakan di berbagai Rumah Sakit,

sekret yang tertumpuk pada saluran pernapasan atas pasien dikeluarkan

dengan menggunakan selang suction yang dimasukkan ke dalam kavum oral,

kavum nasal dan atau sampai rongga tenggorokan namun tidak menjangkau ke

daerah di atas balon cuff. Hal ini tentunya memungkinkan kontaminasi dari

7
selang suction ke dalam saluran pernapasan yang akan meningkatkan risiko

infeksi pada paru sehingga bisa menimbulkan VAP yang dapat berdampak

pada bertambahnya lama hari rawat dan biaya perawatan pasien diruang ICU.

SACETT bertujuan untuk membersihkan sekret yang ada di atas

balon cuff ETT dengan tujuan mencegah mikroaspirasi dan kolonisasi kuman

patogen di dalam paru. Sekret yang menumpuk dikeluarkan dengan cara

menghubungkan mesin suction dengan suction cap pada SACETT sehingga

tidak perlu lagi memasukkan selang suction ke dalam saluran pernapasan atas

dengan jangkauan sampai pada daerah tepat di atas balon cuff. Dengan

demikian, penggunaan SACETT diharapkan dapat meminimalkan risiko

terjadinya VAP di ruang ICU.

Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan masalah penelitian

sebagai berikut: “Bagaimanakah efektifitas penggunaan Suction Above Cuff

Endotracheal Tube dalam mencegah VAP pada pasien kritis di ruang ICU ?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengidentifikasi efektifitas penggunaan SACETT terhadap nilai

CPIS: suhu tubuh, leukosit, sekret trakea, status oksigenasi (PaO2/FiO2),

dan foto thorax dalam mencegah VAP pada pasien kritis di ruang ICU.

8
2. Tujuan khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik responden berdasarkan usia, jenis

kelamin, diagnosa medis, dan kejadian VAP pada pasien kritis di ruang

ICU.

b. Mendeskripsikan perbedaan skor CPIS pada penggunaan SACETT dan

OSS-ETT standar dalam mencegah VAP pada pasien kritis di ruang

ICU.

c. Menganalisa efektifitas penggunaan SACETT dan OSS-ETT dalam

mencegah VAP pada pasien kritis di ruang ICU.

d. Menganalisa perbedaan suhu tubuh pada penggunaan SACETT dan

OSS-ETT dalam mencegah VAP pada pasien kritis di ruang ICU.

e. Menganalisa perbedaan leukosit pada penggunaan SACETT dan OSS-

ETT dalam mencegah VAP pada pasien kritis di ruang ICU.

f. Menganalisa perbedaan sekret trakea pada penggunaan SACETT dan

OSS-ETT dalam mencegah VAP pada pasien kritis di ruang ICU.

g. Menganalisa perbedaan status oksigenasi (PaO2/FiO2) pada

penggunaan SACETT dan OSS-ETT dalam mencegah VAP pada pasien

kritis di ruang ICU.

h. Menganalisa perbedaan foto thorax pada penggunaan SACETT dan

OSS-ETT dalam mencegah VAP pada pasien kritis di ruang ICU.

9
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Keilmuan

Memberikan informasi dan ilmu pengetahuan berdasarkan

evidence based practice dalam bidang ilmu keperawatan kritis dan sebagai

fakta ilmiah bahwa penggunaan SACETT sebagai salah satu upaya

pencegahan terjadinya VAP pada pasien kritis di ruang ICU.

2. Manfaat Aplikatif

a. Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data pendukung

dan peningkatan kualitas pelayanan keperawatan dalam upaya

mencegah terjadinya VAP melalui penggunaan SACETT pada pasien

kritis di ruang ICU.

b. Instansi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar

pertimbangan kebijakan Rumah Sakit dalam mengendalikan infeksi

nosokomial di ruang ICU.

3. Manfaat Metodologis

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan dasar penelitian lebih

lanjut yang berhubungan dengan VAP pada pasien kritis di ruang ICU.

E. Relevansi Penelitian

Penelitian ini dikembangkan berdasarkan studi penelitian sebelumnya

yang memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan. Beberapa

penelitian yang terkait antara lain:

10
Tabel 1.1
Penelitian yang terkait tentang pengaruh suction above cuff dan ventilator
associated pneumonia.

Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Hasil


Peter, J Victor (2007). Mengetahui Tidak ada perbedaan
Comparison of Closed perbedaan antara efek perawatan
Endotracheal Suction Versus Open Endotracheal menggunakan Open
Open Endotracheal Suction in The Suction dengan Endotracheal Suction
Development of Ventilator- Close Endotracheal dan Close
Associated Pneumonia in Suction terhadap Endotracheal Suction
Intensive Care Patients: an perkembangan VAP pada VAP ataupun
Evaluation Using Meta-Analytic tingkat mortalitas.
Techniques.29

Lorente, Leonardo et al (2007). Membandingkan Tidak ada perbedaan


Influence of an Endotracheal insiden VAP signifikan antara dua
Tube with Polyurethane Cuff and menggunakan kelompok yang diteliti
Subglottic Secretion Drainage on Endotracheal Tube (ETT konvensional
Pneumonia: a Randomized Trial with Polyurethane dan ETT PUC-SSD),
Study.17 Cuff dengan namun kejadian VAP
Subglottic pada kelompok ETT
Secretion Drainage PUC-SSD lebih
rendah dibandingkan
kelompok ETT
konvensional

Akerman, Eva et al (2010). Menginvestigasi Tidak ada perbedaan


Clinical Experience and Incidence efek dari Closed pada kolonisasi
of Ventilator-Associated Suction System saluran nafas yang
Pneumonia Using Closed Versus (CSS) pada insiden terdeteksi antara
Open Suction System: an VAP, kontaminasi kedua kelompok CSS
Observational Cohort Study.30 suction dan efek dan OSS, namun CSS
sampingnya yang lebih baik dalam
dibandingkan Simplified Acute
dengan Open Physiology Score
Suction System (SAPS) III.
(OSS).

11
Tabel 1.1 Lanjutan...

Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Hasil


Speroni, K Gabel et al (2011). Mengukur Endotracheal Tubes
Comparative Effectiveness of perbandingan cost with Continuos
Standard Endotracheal Tubes vs effective dalam Subglottic Suctioning
Endotracheal Tubes with mencegah VAP lebih efektif dalam
Continuos Subglottic Suctioning antara Standard mencegah VAP
On Ventilator-Associated Endotracheal dibanding ETT standar
Pneumonia Rates: a Retrospective Tubes dengan dalam hal cost
Study.16 Endotracheal effective dan kejadian
Tubes with VAP
Continuos
Subglottic
Suctioning

de Souza, C Ramos (2012): Mengetahui Suction pada sekresi


Impact of supra-cuff suction on pengaruh suction di subglotis tidak efektif
ventilator-associated pneumonia atas cuff terhadap dalam mengurangi
prevention:a Literature Review.31 VAP mortalitas namun
efektif dalam
mencegah onset awal
insiden VAP

Barbas, Carmen SV & Lara Mengetahui apakah Dari analisis sebanyak


Poletto Couto (2012). Do Endotracheal 2,213 pasien dari total
Endotracheal Tubes with Suction Tubes with Suction 10 randomisasi
Above Cuff Decrease the Rate of Above Cuff menggunakan
Ventilator-Associated Pneumonia, mengurangi rata Endotracheal Tubes
and Are They Cost-Effective ?: a kejadian VAP dan with Suction Above
Literature Review.32 apakah Cuff menunjukkan
Endotracheal hasil signifikan dalam
Tubes with Suction mengurangi insiden
Above Cuff efektif VAP.
secara biaya.

Ledgerwood, Levi G et al (2013). Mengevaluasi efek pasien yang mendapat


Tracheotomy Tubes With Suction dari pipa suction above the cuff
Above the Cuff Reduce the Rate of tracheotomy yang tracheotomy lebih
Ventilator-Associated Pneumonia memungkinakan sedikit dalam kejadian
in Intensive Care Unit Patients: a penghisapan tepat VAP, lama hari rawat
Randomized Controlled Study.18 di atas cuff pada dan penggunaan alat
perkembangan bantu ventilator
VAP. dibandingkan pasien
yang mendapat
standar tube.

12
Tabel 1.1 Lanjutan...

Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Hasil


Supriandi (2014): Mengevaluasi Penggunaan suction
Penggunaan Suction Terbuka perbedaan Clinical terbuka dengan oral
dan Tertutup Sebagai Pulmonary hygiene Chlorhexidine
Pencegahan VAP pada Pasien Infection Score dua kali sehari sama
Terpasang Ventilator.15 antara penggunaan baiknya dengan
suction terbuka dan penggunaan suction
tertutup dengan tertutup dengan oral
oral hygiene hygiene Chlorhexidine
Chlorhexidine satu kali sehari.

Jena, Sritam et al (2016): Mengetahui Sebanyak 50 pasien


Comparison of suction above cuff perbedaan antara telah dianalisis,
and standard endotracheal tubes SACETT dengan insiden VAP lebih
in neurological patients for the ETT standar tinggi pada ETT
incidence of ventilator-associated terhadap VAP standar 20% dan 12%
pneumonia and in-hospital pada SACETT namun
outcome: A randomized controlled tidak signifikan
pilot study.19 (p=0.78)

Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa VAP dari pemasangan endotracheal tube pada pasien

dengan ventilator mekanik sangat sering terjadi. SACETT mampu mengurangi

onset kejadian VAP dengan meminimalkan mikroaspirasi ke paru-paru

penderita dengan ventilator mekanik.

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya antara lain terdapat pada alat

yang digunakan untuk pencegahan VAP, dimana sebelumnya Closed Suction

System dianggap mampu mencegah terjadinya VAP, namun tidak ada

perbedaan antara Closed Suction System dan Open Suction System dalam

mencegah terjadinya VAP. Perbedaan selanjutnya yakni pada subjek penelitian

yang mana pada penelitian sebelumnya meneliti SACETT pada pasien

gangguan sistem syaraf sementara subyek penelitian ini adalah pada semua

pasien kritis yang terpasang ventilator mekanik. Perbedaan juga terdapat pada

13
instrumen penilaian VAP yakni dengan menggunakan Simplified CPIS yakni

mengeluarkan kultur mikrobiologi dalam hal ini adalah Bronchoalveolar

Lavage, Protected Specimen Brush, dan Endotracheal Aspiration dengan

alasan untuk meminimalisir resistensi antibiotik.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, pada penelitian ini juga akan

digunakan Clorhexidine 0.2% sebagai oral hygiene rutin pada pasien. Salah

satu tugas dan kewenangan perawat adalah mengontrol dan mencegah infeksi

pada pasien dengan tindakan-tindakan keperawatan, dalam hal ini tindakan

perawatan oral hygiene.

F. Ruang Lingkup

1. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2016 sampai

dengan Januari 2017.

2. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini dilakukan di ruang ICU Rumah Sakit Pantiwilasa

Citarum dan ICU Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Kota Semarang.

Beberapa Rumah Sakit tersebut pada umumnya belum sepenuhnya

menggunakan SACETT dalam intubasi pasien terpasang ventilator

mekanik sehingga peneliti memilih beberapa rumah sakit tersebut untuk

dilakukan penelitian.

3. Ruang Lingkup Materi

Penelitian ini meneliti tentang infeksi pada paru atau penumonia

yang berhubungan dengan pemasangan ventilator mekanik atau VAP.

14
Penelitian membahas pengaruh intervensi penggunaan alat SACETT dalam

mencegah VAP pada pasien kritis menggunakan CPIS dengan komponen:

temperatur, leukosit, oksigenasi (PaO2/FiO2), sekret trakea, dan foto torak.

15
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pasien Kritis

Pasien kritis adalah pasien pasien yang secara fisiologis tidak stabil

dan mengalami dekompensasi fisiologis yang memerlukan penanganan

terkoordinir dan berkelanjutan serta memerlukan perhatian yang teliti untuk

dilakukan intervensi segera agar dapat dilakukan pengawasan yang ketat dan

terus menerus serta mencegah timbulnya penyulit yang merugikan.33

Pasien kritis dengan risiko tinggi terpasang ventilator mekanik (VM)

adalah pasien yang tidak mampu memasukkan udara ke dalam paru-paru

mempertahankan level oksigen di darah arteri (pO2) atau memiliki level

karbondioksida (pCO2) yang tinggi. Penurunan pO2 ke arah 50 dan

peningkatan pCO2 lebih dari 50 membutuhkan intervensi yang agresif dengan

ventilasi mekanis.34

B. Ventilator Mekanik

1. Pengertian

Ventilator mekanik merupakan alat untuk mentransmisikan energi

oleh mekanisme ventilator drive dengan rangkaian kontrol tertentu dalam

menggantikan fungsi otot pernapasan.35 Ventilator mekanik adalah sistem

alat bantu hidup untuk menggantikan atau menunjang fungsi pernapasan

yang normal.36

16
Ventilasi mekanis merupakan istilah untuk mendeskripsikan

dukungan hidup pada pasien dengan menggunakan metode invasif pada

saluran pernapasan dan mesin yang memberikan oksigen bertekanan dari

sebuah pompa besar melalui ETT atau trakeostomi yang dapat dibedakan

menjadi ventilator tekanan positif dan tekanan negatif.34 Ventilator

mekanik pada dasarnya adalah bentuk perawatan suportif dan tidak

mengobati penyakit pokoknya.35

Ventilator mekanis adalah mesin sebagai pendukung hidup

melalui transmisi energi dengan mekanisme dan kontrol tertentu pada

saluran pernapasan melalui ETT atau trakeostomi yang memberikan

oksigen bertekanan.

2. Fungsi dan Tujuan

Secara umum fungsi pemasangan ventilator mekanis adalah:

mengembangkan paru-paru selama inspirasi, pengaturan waktu dari

inspirasi ke ekspirasi, mencegah kolaps paru saat ekspirasi, pengaturan

waktu saat fase ekspirasi ke fase inspirasi.37

Pemasangan ventilator pada pasien yang dirawat di ICU bertujuan

mempertahankan ventilasi alveolus jika pasien tidak mampu

mempertahankan kepatenan jalan napas, pertukaran gas yang adekuat atau

keduanya.38 Ventilator mekanik bertujuan mengembalikan fungsi normal

pertukaran udara dan memperbaiki fungsi pernapasan kembali pada

keadaan normal.36 Ventilator mekanik harus mendukung dua tujuan

fisiologis yang sangat penting yaitu: 35

17
a. Menormalkan arterial blood gas dan keseimbangan asam-basa dengan

menyediakan ventilasi yang adekuat dan oksigenasi dengan

penggunaan volume dan tekanan positif.

b. Menurunkan kerja pernapasan pasien dengan membongkar otot

pernapasan secara sinkron.

3. Indikasi

Penggunaan ventilator mekanik dindikasikan pada henti jantung

(cardiac arrest), henti napas (respiratory arrest), hipoksemia yang tidak

teratasi dengan pemberian oksigen non invasif, asidosis respiratorik yang

tidak teratasi dengan obat-obatan dan pemberian oksigen non invasif,

kelelahan pernapasan yang tidak responsif dengan obat-obatan dan

pemberian oksigen non invasif, gagal napas (dengan manifestasi klinis

takipneu, penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, penurunan

kesadaran dengan GCS <8, saturasi oksigen menurun drastis), dan

tindakan pembedahan yang menggunakan anastesi umum.39

4. Mekanisme kerja

Udara yang masuk ke paru-paru akan dimasukkan secara paksa

oleh mesin ventilator sesuai dengan jumlah yang diinginkan, meliputi

besarnya tekanan udara inspirasi atau inspiratory pressure level (IPL),

besarnya volume udara atau minute volume (MV), atau jumlah napas

semenit. Untuk mengalirkan udara yang terdiri dari oksigen (O2), nitrogen

(N), karbondioksida (CO2) dan air (H2O) seperti halnya campuran udara di

alam bebas, mesin ventilator memerlukan sistem pendukung yang disebut

18
dengan sentral oksigen dan udara campuran. Selang O2 dan udara akan

dihubungkan langsung dengan mesin ventilator sebelum langsung

dihubungkan dengan paru-paru pasien. 39

Support pada ventilator mekanik dapat berupa support total,

controlled mechanical ventilation (CMV) atau support parsial, associated

mechanical Ventilation (AMV). Pada support total pola pernapasan pasien

secara total digantikan oleh ventilator. Keadaan tekanan yang dihasilkan

oleh otot pernapasan terhambat oleh sedasi atau paralisis otot pernapasan.

Ventilator mekanik menentukan aliran, volume, dan atau tekanan. Pada

support parsial, ventilator hanya membantu pasien selama bernapas,

ventilator mengirimkan aliran inspirasi yang telah diatur dalam responnya

pada usaha inspirasi pasien dan pasien dapat mengatur kurs respirasi,

durasi waktu inspirasi dan ekspirasi serta rasio waktu inspirasi sampai total

durasi siklus pernapasan.40

Variabel yang diperiksa selama fase inspirasi dan ekspirasi

disebut tahap perubahan (phase variable). Pengertian tahap perubahan

berguna untuk mengetahui bagaimana ventilator dimulai, menyokong, dan

mengakhiri inspirasi. Setiap siklus pernapasan spontan maupun yang

diperintahkan terdiri dari empat fase yaitu fase pemicuan (trigger phase),

fase penyokongan (limit phase), fase siklus (cycling phase), dan fase basis

atau ekspirasi (baseline phase).35

19
Variabel yang dapat mengatur pemicuan napas adalah: 35, 40

a. Machine timer (time trigger), digunakan selama support total, dimana

napas mulai saat pengaturan waktu untuk satu siklus respirasi (waktu

inspirasi dan ekspirasi) yang lengkap telah dilakukan.

b. Patient trigger, digunakan selama support parsial, dimana tekanan dan

aliran diatur oleh ventilator digunakan sebagai variabel untuk

menginisiasi pernapasan.

Terdapat dua target atau batas yang biasa digunakan: 37

a. Flow target, yaitu laju aliran dan pola diatur oleh klinisi, tekanan jalan

napas dengan demikian bervariasi; dan

b. Pressure target, yaitu batas inspirasi yang diatur oleh klinisi; aliran

bervariasi.

Pada fase penyokongan (limit phase) dimana inspirasi diteruskan,

diikuti oleh fase siklus (cycling phase), pada waktu mesin menghentikan

napas dengan empat kriteria cycle-off yang sering digunakan, yaitu: 37

a. Volume, dimana napas dihentikan saat volume target sudah terpenuhi.

b. Waktu (time), dimana napas dihentikan saat waktu inspirasi yang telah

ditentukan sudah terpenuhi.

c. Aliran (flow), dimana aliran gas inspirasi dari ventilator akan berhenti

apabila tekanan yang ditetapkan telah tercapai.

d. Tekanan (pressure), dimana aliran gas inspirasi dari ventilator akan

berhenti apabila tekanan yang ditetapkan sudah tercapai.

20
Empat mekanisme cycle-off ini juga digunakan untuk

mengelompokkan ventiator mekanik menjadi volume-cyclced, time-cycled,

flow-cycled, dan pressure-cycled.

Ventilatory
Trigger Delivery Cycle Expiration
Cycle

Clinical set Machine Pressure Pressure


variabel Timer, Flow Flow
Flow,
Pressure

Alarm

Gambar 2.1 Mekanisme kerja ventilator mekanik.39

5. Mode Ventilator

Pengaturan mode ventilator secara umum meliputi dua hal yaitu

pemilihan MODE dan penentuan SETTING (setting terdapat di dalam

mode). Mode ventilator tetrbagi menjadi tiga target utama: 39, 41

a. Target volume

Besarnya volume udara yang masuk ke dalam paru-paru pasien

tergantung pada jumlah tidal volume (TV) dan atau minute volume

(MV) yang ditentikan pada mesin ventilator. Mode-mode dengan target

volume diantaranya: volume control (VC), Controlled Mandatory

Ventilation (CMV), Intermitten Positive Pressure Ventilation (IPPV),

Synchronize Controlled Mandatory Ventilation (S) CMV, Synchronize

Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV) dan APV CMV.

21
b. Target tekanan

Besarnya volume udara yang masuk ke dalam paru-paru pasien

tergantung pada besarnya tekanan udara inspirasi atau IPL (Inspiratory

Pressure Level) yang kita tentukan pada mesin ventilator. Pada mode

ini, jumlah TV atau MV tidak perlu ditentukan karena besarnya volume

udara yang dihasilkan tergantung pada kecukupan IPL yang di set pada

mesin ventilator. Dan karena komplain paru selalu berubah maka pada

mode ini TV yang dihasilkan akan bervariasi dan selalu berubah-ubah.

Mode-mode dengan target tekanan diantaranya: Pressure Control

(PC), Pressure Support (PS), bilevel Positive Airway Pressure

(BIPAP), BIPAP ASSIST, Continous Positive Airway Pressure

(CPAP), Assist Spontaneous Breathing (ASB), Pressure Control

Ventilation (PCV+), Duo Positive Airway Pressure (DUO PAP),

Airway Pressure Release Ventilation (APRV), SPON, dan NIV.

c. Gabungan volume dan tekanan

Besarnya volume dan tekanan udara di dalam paru-paru pasien

tergantung pada TV atau MV dan IPL yang ditentukan pada mesin.

Nilai TV dan IPL harus ditentukan, karena ini merupakan mode

gabungan. Mode-mode dengan target gabungan volume dan tekanan

diantaranya: SIMV + PS, IPPV, SIMV, Must Minute Ventilation

(MMV), Independent Lung Ventilation (ILV), APV SIMV, dan ASV.

Terlepas dari mode volume ataupun mode tekanan yang

digunakan, inti penggunaan ventilator adalah untuk membantu memenuhi

22
kebutuhan tidal volume (TV) atau minute volume (VM) optimal dengan

Work of Breathing (WOB) minimal.

6. Pemilihan Mode Ventilator

Pemilihan mode ventilator tidak mutlak harus menggunakan

mode volume atau mode tekanan. Namun pemilihan ditentukan oleh

beberapa hal yang harus dipertimbangkan diantaranya: 39

a. Kenyamanan pasien (WOB tidak meningkat)

b. Kebutuhan TV atau MV optimal terpenuhi

c. Mode volume yang diberikan membuatu tekanan peak inspiratory

pressure (PIP) berada dalam batas aman

d. Mode tekanan TV atau MV dapat dihasilkan dalam jumlah yang

adekuat dan PIP dalam batas aman

e. Frekuensi napas pasien berada dalam batas yang diharapkan

f. Saturasi O2 dan nilai-nilai analisa gas darah (AGD) menunjukkan

perbaikan

g. Kebutuhan respirasi pasien dapat terpenuhi dengan mode bantuan

sebagian atau sebaliknya harus dengan mode kontrol (full control)

Berikut penjelasan mengenai mode-mode ventilator: 39

a. Volume Control (VC)

Pada mode ini, frekuensi nafas (f), jumlah Tidal Volume (TV)

dan Menit Volume (MV) yang diberikan kepada pasien secara total

diatur oleh mesin. Sehingga pada mode ini pasien tidak diberikan

kesempatan untuk napas spontan (jika trigger sensitivity dibuat off).

23
Mode ini digunakan jika pasien tidak sanggup lagi memenuhi

kebutuhan TV dengan usaha napas sendiri. Karena pada setiap mode

kontrol, jumlah napas (frekuensi napas) dan TV mutlak diatur oleh

ventilator, maka pada pasien-pasien yang sadar atau tidak kooperatif

akan mengakibatkan benturan napas (fighting) antara pasien dengan

ventilator saat inspirasi atau ekspirasi. Sehingga pasien harus diberikan

obat-obat sedasi dan pelumpuh otot (relaksan) pernapasan sampai pola

napas kembali efektif.

Pemberian obat pelumpuh otot napas harus benar-benar

dipertimbangkan terhadap efek merugikan berupa hipotensi.

Pemberian sedasi dan relaksan yang tidak tepat akan mengakibatkan

pasien mencoba untuk melakukan napas spontan sehingga pola napas

akan menjadi tidak sesuai dengan mesin ventilator dan jika demikian,

dinamik hiperinflasi mungkin terjadi. Beberapa setting yang harus

dibuat pada mode VC diantaranya: TV, MV, frekuensi napas, PEEP,

trigger sensitivity, FiO2, dan beberapa alarm tanda MV rendah atau MV

yang tinggi untuk memberi tanda kemungkinan terjadi kebocoran atau

sumbatan sirkuit karena adanya lendir (slym).

Lebih lanjut setting di atur dengan catatan sebagai berikut: 39

1) MV merupakan frekuensi napas dikalikan TV.

2) Frekuensi napas (f) dibuat 10-12 kali/menit (sesuai penyakit yang

medasarinya).

24
3) PEEP dibuat 5-20 cmH2O. Standar dibuat 5 cmH2O. Pemberian

yang terlalu tinggi dapat menyebabkan risiko barotrauma dan

dinamik hiperinflasi.

4) Trigger, agar usaha napas tidak dapat terdeteksi oleh mesin, trigger

dibuat tidak sensitif atau lebih rendah dari -20 cmH2O atau dibuat

off. Semakin tinggi trigger akan semakin mudah mesin membaca

napas spontan dan mesin akan segera memberikan bantuan pada

setiap ada rangsangan usaha napas spontan dari pasien. Jika usaha

napas spontan pasien sudah efektif, trigger dapat dibuat menjadi -2

cmH2O.

5) FiO2, untuk paska intubasi dapat diberikan hiperoksigenasi dengan

FiO2 100% dan berangsur-angsur diturunkan dengan acuan nilai

saturasi masih di atas 95% dan PaO2 80-100 mmHg

6) Lower MV dibuat <100 ml/kgBB (di bawah MV yang sudah

dihitung)

7) Upper MV dibuat >100 ml/kgBB (di atas MV yang sudah dihitung)

b. Pressure control (PC)

Jika pada mode VC, sasaran mesin adalah memenuhi

kebutuhan TV atau MV melalui pemberian volume secara langsung,

maka pada mode PC target ventilator adalah memenuhi kebutuhan TV

atau MV melalui pemberian tekanan inspirasi (IPL) dan

RR/Respiration Rate (frekuensi napas). Umumnya mode ini efektif

digunakan pada pasien-pasien dengan kasus edema paru akut.

25
Beberapa pengaturan (setting) yang harus dibuat pada mode PC

diantaranya:

1) Frekuensi napas dibuat 10-12 kali/menit

2) Trigger sensitifity dibuat -20 cmH2O (agar tidak memicu

ventilator)

3) PEEP dibuat 5–20 cmH2O

4) FiO2 dibuat 21–100%

5) Upper pressure limit dibuat 30–35 cmH2O

c. Synchronize Iintermitten Mandataory Ventilator (SIMV)

SIMV adalah bantuan sebagian dengan targetnya volume.

Mode ini sama dengan VC hanya saja pada mode SIMV, trigger dibuat

sensitif, SIMV memberikan bantuan ketika usaha napas spontan

memicu (men-trigger) mesin ventilator. Tapi jika usaha napas tidak

sanggup memicu mesin, maka ventilator tetap akan memberikan

bantuan sesuai dengan jumlah frekuensi napas (RR) yang sudah diatur.

Untuk memudahkan bantuan, maka trigger dibuat mendekati standar

atau dibuat lebih tinggi. Tetapi jika kekuatan untuk mengawali

inspirasi belum kuat dan frekuensi napas terlalu cepat, pemakaian

mode ini akan mengakibatkan tingginya WOB yang dialami pasien.

Mode ini memberikan keamanan jika terjadi apneu. Pada

pasien jatuh apneu maka mesin tetap akan memberikan tidak volume

dan frekuensi napas sesuai dengan jumlah napas (RR) yang di set pada

mesin ventilator. Tetapi jika pola inspirasi pasien masih terlalu cepat

26
(hiperventilasi), maka bisa terjadi fighting antara mesin dengan pasien.

Beberapa setting yang harus dibuat pada mode SIMV diantaranya: TV,

MV, Frekuensi napas, trigger, PEEP, FiO2, upper pressure level (PIP)

dan alarm batas atas serta batas bawah MV.

d. Pressure Support (PS)

PS merupakan mode bantuan sebagian dengan targetnya

tekanan. Pada mode PS, TV dihasilkan dari pemberian tekanan atau

IPL. Pada mode ini tidak perlu mengatur frekuensi napas karena

frekuensi napas ditentukan sendiri oleh pasien (pasien bebas bernapas

setiap saat) dan setiap ada usaha napas spontan, ventilator akan segera

memberikan bantuan tekanan. Semakin mudah nilai picuan dibuat,

maka semakin mudah ventilator mendeteksi usaha napas spontan

pasien (semakin tinggi trigger yang diberikan semakin mudah mesin

ventilator memberikan bantuan). Demikian pula dengan IPL, semakin

tinggi IPL yang diberikan akan semakin mudah TV pasien terpenuhi.

Demikian pula dengan IPL yang menghasilkan peak pressure

>35 akan mengakibatkan risiko barotrauma dan juga gangguan

hemodinamik. Tapi untuk tahap weaning (penyapihan), pemberian

trigger yang tinggi atau IPL yang tinggi akan mengakibatkan

ketergantungan pasien terhadap mesin dan ini akan mengakibatkan

kesulitan pasien untuk segera lepas dari mesin ventilator (weaning atau

ekstubasi).

27
Kerugian mode PS ini adalah jika pasien mengalami apneu,

ventilator tidak akan memberikan bantuan karena tidak terdeteksi ada

napas spontan. Mode ini efektif pada pasien dengan kekuatan inspirasi

yang sudah cukup kuat. Beberapa pengaturan yang harus dibuat pada

mode PS diantaranya: IPL, trigger, PEEP, FiO2, alarm batas atas dan

bawah MV serta upper pressure level. Jika pemberian IPL sudah dapat

diturunkan mendekati 6 cm H2O, dan TV atau MV yang dihasilkan

sudah terpenuhi optimal, maka pasien dapat segera untuk disapih ke

mode CPAP (Continous Positive Airway Pressure).

e. Synchronize Intermitten Mechanical Ventilation+Presseure Support

(SIMV+PS)

Mode ini merupakan gabungan dari mode SIMV dan mode

PS. Umumnya digunakan untuk perpindahan dari mode kontrol.

Bantuan yang diberikan berupa volume dan tekanan. Jika dengan mode

ini IPL dibuat 0 cmH2O, maka sama dengan mode SIMV saja atau

sebaliknya jika ferkuensi napas dibuat nol mala mode ini sama dengan

PS saja. Mode SIMV+PS memberikan kenyamanan pada pasien

dengan kekuatan inspirasi yang masih lemah. Beberapa setting yang

harus dibuat pada mode SIMV + PS diantaranya: TV, MV, Frekuensi

napas, trigger, IPL, PEEP, FiO2, alarm batas atas dan bawah dari MV

serta Upper Pressure Limit.

28
f. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)

Mode ini digunakan pada pasien yang sudah dapat bernapas

spontan dengan komplain paru adekuat (C statis >50) atau jika dengan

mode PS dan IPL rendah (<5 cmH2O) sudah cukup menghasilkan TV

secara optimal. Bantuan yang diberikan melalui mode ini berupa PEEP

dan FiO2 saja atau mode ini sama dengan mode PS dengan setting IPL

0 cmH2O. Penggunaan mode ini cocok pada pasien yang siap

ekstubasi.

g. Adaptive Support Ventilation (ASV)

Mode ASV digunakan pada pasien dengan napas sudah

spontan. Ini merupakan gabungan mode volume dan mode tekanan.

Dapat digunakan pada pasien dengan paru normal, restriktif atau

penyakit paru obstruktif. Tiga pengaturan utama meliputi % minute

volume (% MinVol), PEEP, dan FiO2. Dengan tiga pengaturan sudah

dapat mewakili kebutuhan TV dan frekuensi napas yang tidak terdapat

pada mode-mode lain. Mode ASV dapat menghindari terjadinya apneu,

auto PEEP, takipneu, dan juga terhadap kemungkinan volutrauma atau

barotrauma sehingga mode ini disebut juga sebagai mode yang

dilengkapi dengan strategi lung protective ventilation.

Pada mode ASV setting tambahan adalah Index Body Weight

(IBW), Pressure Rise Time (R amp), Expiratory Trigger Sensitivity

(ETS) dan alarm P high. Jika % MinVol dibuat 100% dan IBW diset 80

kg maka mesin akan memberikan menit volume 8 L/menit ((100 x

29
80)/menit). Karena setiap penambahan volume akan mengakibatkan

penambahan tekanan di dalam paru maka target ASV dengan MV 8

L/menit ini akan dicapai oleh mesin selama komplain paru dapat

menampung volume dengan jumlah tekanan yang memadai. Jika

pasien mengalami penyakit paru restriktif maka komplain paru

mengalami penurunan dan dengan penambahan volume 8 L/menit ini

akan meningkatkan tekanan puncak (peak pressure) di dalam ruang

paru sehingga penting juga untuk menentukan batas P high untuk

menghindari terjadinya barotrauma akibat peningkatan tekanan puncak

inspirasi (peak pressure).

Jika batas alarm P high diatur pada batas aman 35 cmH2O

maka mesin akan berusaha memenuhi menit volume sebesar 8 L/menit

dengan tekanan maksimum di bawah 35 cmH2O. Jika elastisitas atau

komplain paru menurun (stiff lung) maka mesin akan memberi tanda

alarm bahwa dengan tekanan <35 cmH2O mesin tidak mampu

mencukupi target menit volum (alarm yang muncul berupa check hi

press limit). Namun jika komplain paru cukup adekuat maka dengan

tekanan <35 cmH2O mesin masih dapat memenuhi target menit

volume sesuai yang ditentukan.

Alarm check hi press limit selain memberikan informasi

tentang komplain paru yang kurang bagus, juga memberikan informasi

kemungkinan sumbatan jalan napas meningkat yang bisa disebabkan

oleh kinking ETT, sekret atau tertutupnya diameter pipa inspirasi oleh

30
air dari humidifier. Target dari mode ini adalah peak pressure <35

cmH2O namun target menit volum tercapai dan frekuensi napas dalam

batas normal serta saturasi oksigen adekuat dengan pemberian oksigen

yang rendah. Untuk menentukan IBW pada mode ASV dapat dihitung

dengn formula sebagai berikut:

1) Laki-laki

IBW (kg)= 50 + 2.3 [(tinggi badan dalam inchi) – 60]

= 50 + 0.91 [(tinggi badan dalam cm) – 152.4]

2) Perempuan

IBW (kg)= 45.5 + 2.3 [(tinggi badan dalam inchi) – 60]

= 45.5 + 0.91 [(tinggi badan dalam cm) – 152.4]

h. Duo Positive Airway Pressure (DuoPAP)

DuoPAP merupakan mode dengan target tekanan yang sudah

di modifiikasi. Pada jenis ventilator tertentu yang diengkapi dengan

adanya P high sehingga memungkinkan Peak Inspiratory Pressure

(PIP) atau peak pressure tidak akan melebihi tekanan yang sudah kita

tentukan (nilai peak pressure akan tetap). Jika P high ditentukan pada

angka 35 cmH2O maka setiap bantuan tekanan inspirasi akan berakhir

pada nilai 35 cmH2O dan ini merupakan strategi untuk mencegah

terjadinya peningkatan peak pressure yang akan berdampak pada

barotrauma.

Strategi DuoPAP terdapat pada ventilator jenis tertentu yang

dilengkapi dengan P high. Keadaan hiperventilasi memungkinkan

31
terjadinya fighting jika frekuensi napas (f) ditentukan pada nilai

tertentu (kecuali jika frekuensi napas dibuat nol). Jika pasien apneu,

ventilator akan memberikan bantuan napas sesuai dengan jumlah napas

(f atau RR) yang ditentukan. Pengaturan pada mode ini meliputi:

ferkuensi napas, PEEP, fraksi oksigen, trigger sensitivity, P support

(IPL), R amp, P high, ETS dan T high.

i. Airway Pressure Release Ventilation (APRV)

AVRP merupakan mode dengan target tekanan yang

memungkinkan pasien bernapas secara bebas setiap saat sehingga tidak

akan memungkinkan terjadinya fighting atau benturan antara ventilator

dengan pasien (karena tidak diperlukan pengaturan frekuensi napas).

AVRP merupakan pengembangan dari DuoPAP dan digunakan pada

pasien dengan napas spontan dan daya pengaturan inspirasi sudah kuat.

Pengaturan pada mode APRV meliputi: FiO2, flow trigger, P support,

P-ramp, P high, P low, ETS, T high dan T low.

7. Perawatan pada ventilasi mekanis

Perawatan ventilasi mekanis bertujuan untuk:42

a. Mencegah hipoksemia dan hiperkarbia akibat ketidakmampuan pasien

dalam mempertahankan upaya ventilasi

b. Memperbaiki ventilasi alveolar, oksigenasi arteri, dan volume paru

c. Mencegah atau menangani atelektasis

d. Menurunkan usaha napas

32
Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika dilakukan perawatan

ventilasi mekanis antara lain: 42

a. Jenis dan pengaturan ventilator mekanis yang digunakan

Perawatan pada pasien dengan ventilator mekanis disesuikan

dengan kondisi fisiologis dan keadaan klinis pasien seperti

menyesuaikan pengaturan volume tidal antara pasien dengan penyakit

paru obstruktif dengan tanpa penyakit paru obstruktif. Pengaturan

PEEP disesuaikan dengan kondisi fisiologis paru apakah terdapat

edema paru atau tidak.43

b. Selang trakeostomi atau endotracheal (jenis dan ukuran), serta tekanan

manset

Umumnya ETT terbuat dari polyvinyl chloride, namun

terdapat tabung khusus yang terbuat dari silikon, lateks, atau stainless

steel. Intubasi pada pasien dewasa laki-laki menggunakan ETT

berukuran 7.5 sedangkan pasien dewasa perempuan menggunakan ETT

berukuran 7.0 disesuaikan dengan diameter trakea.44

Tekanan manset atau cuff pada rentang ideal sangat penting

untuk meminimalisir komplikasi, pengembangan cuff menggunakan

spuit dengan metode finger palpation yang selama ini dilakukan tidak

dapat mengetahui dengan tepat jumlah volume udara yang dibutuhkan

untuk mencapai tekanan intracuff ideal yaitu 25 cmH2O–30 cmH2O.

Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya underinflation atau bahkan

overinflation yang berdampak pada perubahan hemodinamik pasien.44

33
c. Bunyi napas dan konsistensi sekret

Pasien terintubasi mengalami gangguan refleks batuk dan

menelan sehingga produksi sekret pada rongga mulut akan tertahan di

dalamnya, hal ini dapat ditandai dengan adanya bunyi napas gargling.

Penghisapan harus dilakukan untuk mempertahankan jalan napas tetap

paten, membersihkan hipersalivasi, sekresi paru, darah, muntahan, atau

benda asing dari jalan napas.45

Dua metode dalam penghisapan sekret pada intubasi

endotrakea adalah open endotracheal suction (OES) dan closed

endotracheal suction (CES). OES dalam aplikasinya dilakukan dengan

melepaskan koneksi ETT dengan ventilator, hal ini berhubungan

dengan terjadinya desaturasi arteri, aritmia, dan tidak dapat untuk

mengkodisikan PEEP khususnya pada pasien dengan

cardiorespiratory instability. CES dikembangkan untuk meminimalisir

komplikasi tersebut, dalam aplikasinya CES dapat dilakukan tanpa

melepaskan koneksi ETT dengan ventilator.29

d. Hasil pemeriksaan gas darah arteri, hasil pemeriksaan oksimeter nadi

Gas darah arteri dan saturasi oksigen harus tetap dipantau

secara rutin dan kontinue untuk menyesuaikan kondisi klinis dan

patologis pada pasien dengan ventilator mekanik. Pola napas tidak

normal mengindikasikan perubahan status gas darah serta saturasi

oksigen pada pasien disesuaikan dengan setting PEEP dan FiO2 yang

diberikan dari ventilator.39

34
e. Respon pasien terhadap ventilator, apakah terdapat tanda-tanda nyeri

dan fighting antara napas pasien dan ventilator

Ventilator mekanik pada pasien sadar dan tidak kooperatif

relatif akan menimbulkan benturan atau fighting karena volume tidal

mutlak diatur oleh ventilator, dalam keadaan ini pasien akan

menunjukkan tanda-tanda nyeri sehingga diperlukan sedasi untuk

mengembalikan pola napas pasien. Tingkat sensitiftas ventilator atau

trigger diatur pada angka yang tinggi untuk mendeteksi usaha napas

spontan untuk menghindari nyeri akibat benturan napas pasien dengan

ventilator.39

f. Peralatan untuk oral hygiene dan obat kumur.

Perawatan kebersihan rongga mulut pada pasien terpasang

ventilator sangat penting untuk meminimalisir bakteri yang dapat

menyebabkan infeksi pada paru. Metode yang digunakan dalam

perawatan kebersihan rongga mulut antara lain menggunakan sikat gigi

dan obat kumur. Munro dkk dalam penelitiannya mengemukakan

bahwa cairan kumur Chlorhexidine mampu mengurangi terjadinya

VAP late onset dibandingkan dengan perawatan menggunakan sikat

dan pasta gigi.20

Hasil yang diharapkan dari perawatan ventilator mekanis ini adalah

pasien akan mengembalikan atau mempertahankan pola pernapasan yang

efektif via ventilator tanpa penggunaan otot bantu pernapasan, nilai gas

35
darah arteri dan SaO2 dalam rentang normal, dan bunyi napas jernih serta

tidak terjadi infeksi pada paru-paru.42

8. Komplikasi ventilator mekanik

a. Pneumonia Aspirasi

Pneumonia aspirasi merupakan risiko pada pasien yang sedang

mendapat makanan melalui pipa nasogastrik sebagai suplemen nutrisi

selama terpasang MV. Pnemonia aspirasi terjadi ketika pasien

menghirup sekresinya atau pipa makanan. Hal ini terjadi seperti saat

pasien diintubasi dan dipasang ventilator, dimana pipa nasogastrik

dimasukkan untuk menjaga dekompresi perut. Hal ini bersifat

profilaksis untuk mencegah muntah dan aspirasi.34

Pipa gasrtik kemudian dihubungkan ke suction. Rontgen dada

untuk mengkonfirmasi penempatan ETT juga dapat mengkonfirmasi

lokasi pipa gastrik Aspirasi makanan melalui pipa nasogastrik harus

dilakukan dengan interval yang sering; dilakukan minimal setiap 4 jam

dan setiap kali dibutuhkan.34

b. Pneumonia Nosokomial

Pneumonia nosokomial merupakan komplikasi yang umum

pada penggunaan ventilasi mekanis, hal ini diakibatkan oleh bakteri

dari orofaring dan gastrointestinal. Melalui aspirasi, maka infeksi akan

terjadi pada trakeobronkial. Antacid dan H2-Blocker juga dapat

menjadi faktor risiko dari pneumonia nosokomial terutama alkalin

yang berasal dari lambung dan menyebabkan pertumbuhan bakteri.

36
Oleh karena kondensasi dari ventilator dapat terjadi dengan cepat,

kolonisasi bakteri gram negatif dan kurang dari 24-48 jam untuk

terjadinya bakteri yang berhubungan dengan pneumonia.41

c. Barotrauma

Barotrauma ditandai dengan berkumpulnya udara ekstra

alveolar di interstitium dari paru dan akan menyebabkan tekanan

dalam paru meningkat sehingga udara di dalam alveoli meningkat,

keadaan ini disebut sebagai PIE (pulmonary intersitisiel emphysema),

pneumonia mediastinum, emfisema subkutan, pneumoperitonium,

pneumoperikardium, dan kista udara subpleural.41

Bersamaan dengan barotrauma ini terjadi pneumotorak yang

menyebabkan terjadinya tekanan ventilasi positif dan akan terjadi

kondisi yang lebih buruk oleh karena udara atmosfer yang banyak di

paru-paru. Peningkatan pneumotorak dapat menyebabkan kegagalan

pengisian jantung dan menyebabkan hipertensi sistemik. Komplikasi

lain dari barotrauma adalah emboli udara dalam bentuk stroke,

disfungsi kardiak, dan kurangnya aliran ke daerah ekstrim.41

d. Syok

Ventilator mekanik mengganggu kondisi hemodinamik. Hal ini

dikarenakan lebih banyak tekanan positif atau PEEP (Positive End

Expiratory Pressure) tinggi yang diberikan selama inhalasi, venous

return dan ventrikuler filling menjadi menurun karena dilatasi

ventrikel tertekan oleh tekanan intratorakal yang meningkat sehingga

37
aliran darah ke sisi kanan jantung (preload) dapat menurun. Penurunan

tekanan darah dan takikardia yang diiringi dengan penurunan keluaran

urine mengindikasikan kompromi sirkulasi. Dampak dari penurunan

curah jantung terhadap organ lain adalah gangguan fungsi hepar, ginjal

dan serebral. Gangguan hepar meliputi peningkatan Serum Glutamic

Oxalocetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic Pyruvic

Transaminase (SGPT), ginjal menunjukkan produksi urine yang

menurun. Peningkatan TIK (tekanan intra kranial) terjadi karena

penurunan cerebral venous return.34, 39

e. Gangguan Gastrointestinal

Pemasangan ventilator mekanik sangat membuat stres pada

pasien, respon stres melibatkan produksi epinefrin yang menyebabkan

peningkatan produksi asam lambung. Pasien dapat mengalami tukak

lambung jika tidak diberikan obat profilaksis untuk pencegahan tukak

lambung.34

Hipomotility dan konstipasi dapat juga terjadi karena efek

dari obat-obatan paralitik, sedasi dan analgetik. Muntah terjadi akibat

stimulus vagal pada faring, distensi gaster terjadi akibat masuknya

udara ke dalam gaster yang bisa disebabkan oleh kebocoran balon atau

posisi ETT yang tidak tepat.39

38
C. Ventilator-Associated Pneumonia

1. Pengertian

Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai

pneumonia yang terjadi dalam jangka waktu 48-72 jam berikut setelah

intubasi ETT atau trakeostomi ditandai dengan adanya infiltrasi baru atau

progresif, adanya tanda infeksi sistemik, perubahan pada sputum, dan

deteksi dari agen penyebab.46

American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai

keadaan gambar infiltrat baru dan menetap pada foto thorax disertai salah

satu tanda yaitu hasil biakan darah atau pleura sama dengan

mikroorganisme yang di temukan pada sputum maupun aspirasi trakea,

kavitasi pada foto torak, gejala pneumonia, atau terdapat dua atau tiga dari

gejala seperti demam, leukositosis, atau sekret purulen.47

2. Etiologi

Beberapa mikroorganisme yang diduga sebagai penyebab VAP

adalah kuman gram negatif (Enterobacter spp, Eschericia coli, Klebsiella

spp, Proteus spp, Serratai marcescens), Haemophilus influenza,

Streptococcus pneumoniae dan Methicilin sensitive staphylococcus aureus

(MSSA). Kuman-kuman anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin

resistan Staphylococcus aureus (MRSA), Pseudomonas aeruginosa,

Acinetobacter spp dan MRSA.25 Angka mortalitas yang tinggi pada VAP

terutama disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dan Sthapylococcus

aureus karena resistensinya terhadap beberapa antibiotik.48

39
Tabel 2.1 Etiologi VAP dengan bronkoskopi.49

Patogen Frekwensi (%)


Pseudomonas aeruginosa 24,4
Acinobacter spp 7,9
Stenotrophomonas maltophilia 1,7
Enterobacteriaciae 14,1
Haemophilus spp 9,8
Staphylococcus aureus 20,4
Streptococcus spp 8,0
Streptococcus pneumoniae 4,1
Coagulase-negative staphylococci 1,4
Neisseria spp 2,6
Anaerob 0,9
Jamur 0,9
Lain-lain 3,8

Bakteri penyebab VAP secara umum dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Bakteri pada Early onset

Merupakan onset dini dan tanpa faktor risiko untuk multidrug-

resistant pathogens yang terjadi <5 hari intubasi.50 Mikroorganisme

yang ditemukan pada early onset yaitu Enterobacter, Klebsiella,

Proteus sp, Eschericia coli, Serratia marcescens, Haemophilus

influenza, Methiciliin-sensitive Staphylococcus aureus (MSSA), dan

Streptococcus pneumonia.48

b. Bakteri pada Late onset

Merupakan onset lambat dan dengan faktor risiko untuk

multidrug-resistant pathogens yang terjadi >5 hari intubasi.50

Mikroorganisme yang ditemukan pada late onset yaitu sama seperti

pada early onset ditambah P. Aeruginosa, Acinetobacter sp, Klebsiella

pneumoniae, dan legionella pneumophila.48

40
3. Faktor risiko

Pasien-pasien terpasang ETT selama lebih dari 48 jam berisiko

untuk VAP, faktor risiko terbagi menjadi tiga kategori yaitu faktor yang

berhubungan dengan host, faktor yang berhubungan dengan alat, dan

faktor yang berhubungan dengan staf kesehatan. Faktor risiko yang

berkaitan dengan host termasuk kondisi imunosupresi, penyakit paru

obstruktif kronis, dan penyakit distress pernapasan akut. Faktor lain yang

berhubungan dengan host adalah posisi pasien, tingkat kesadaran,

seringnya terintubasi, dan pengobatan termasuk sedatif dan antibiotik.13

Faktor-faktor yang berperan dalam strategi pencegahan terhadap

VAP diidentifikasi melalui berbagai penelitian disimpulkan pada tabel

berikut:

Tabel 2.2 Faktor-faktor risiko berkaitan dengan VAP.51

Faktor penjamu Faktor intervensi


Albumin serum <2,2 g/dL Anatagonis H2, antacid
Usia>60 th Paralitik, sedasi intravena
ARDS Produksi>4 unit darah
PPOK atau penyakit paru Penilaian tekanan intrakranial
Penurunan kesadaran Ventilasi mekanik>2 hari
Luka bakar/trauma PEEP
Gagal organ Reintubasi
Keparahan penyakit Pipa nasogastrik
Aspirasi volume lambung Posisi terlentang
Kolonisasi lambung dan pH Transport keluar ICU
Kolonisasi saluran napas atas Antibiotik
Sinusitis

41
4. Patogenesis

Survei prevalensi satu hari di 1417 ICU di seluruh dunia pada

tahun 2007 menyebutkan bahwa prevalensi infeksi saluran pernapasan

adalah 64% di antara semua pasien yang terinfeksi.5 Insiden VAP di dunia

cukup tinggi, bervariasi antara 9 sampai 27% dan angka kematiannya

melebihi 50%. Masalah VAP menduduki urutan ke-2 sebagai infeksi

nosokomial di Rumah Sakit di Amerika Serikat. Angka kejadian

pneumonia nosokomial berkisar 5 sampai 10 kasus per 1000 pasien, angka

kejadian meningkat 6 sampai 20 kali pada pasien yang terpasang

ventilator, angka kematian berkisar 20 sampai 50%.6

Kejadian VAP di Indonesia cukup tinggi, berdasarkan penelitian

tentang VAP di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo telah ditemukan

27,4% kasus selama kurun waktu Januari 2003 sampai Desember 2012.9

Data kejadian VAP di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati

didapatkan bahwa terjadi peningkatan tren, insiden tertinggi terjadi pada

bulan Juli 2014 yaitu 21,2 ‰ dan terendah bulan September 2014 yaitu

5,53 ‰.10 Sementara berdasarkan penelitian di Rumah Sakit Pusat

Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, kejadian VAP selama tahun

2014 sebanyak 21,8% pasien.11

Saluran pernapasan normal memiliki mekanisme pertahanan paru

terhadap infeksi seperti glotis dan laring, refleks batuk, sekresi

trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas humoral serta sistem fagositik.

Pneumonia akan terjadi apabila pertahanan tersebut terganggu dan invasi

42
mikroorganisme virulen. Sebagian besar VAP disebabkan oleh aspirasi

kuman patogen yang tumbuh dipermukaan mukosa orofaring. Intubasi

mempermudah masuknya kuman dan menyebabkan kontaminasi sekitar

ujung pipa endotrakeal pada penderita dengan posisi terlentang.52

Kuman gram negatif dan staphylococcus aureus merupakan koloni

yang sering ditemukan di saluran pernapasan atas saat perawatan lebih dari

5 hari. VAP dapat pula terjadi akibat makroaspirasi lambung. Bronkoskopi

serat optik, penghisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual

dapat mengkontaminasi kuman patogen ke dalam saluran pernapasan

bawah.52

Gambar 2.2 Mekanisme perkembangan VAP.4

Keadaan kritis memicu terbentuknya kolonisasi cepat pada

orofaring dengan bakteri-bakteri patogen yang potensial. Hal ini

dikarenakan adanya perubahan pada kemampuan pertahanan tubuh pasien,

paparan antibiotik sebelumnya, dan perubahan pada bakteri yang

menempel atau reseptor permukaan dari penderita itu sendiri. Bakteri gram

43
negatif aerob dan staphylococcus aureus secara cepat menggantikan flora

normal yang ada. Sumber infeksi lain yang juga potensial adalah material

dari sinus dan plak gigi.52

Manset pada saluran endotrakea tidak dapat mencegah aliran

material infeksi ke dalam saluran napas. Sekret yang telah terkontaminasi

tergenang di atas manset saluran endotrakea yang memiliki volume tinggi

dan tekanan rendah sehingga memperbanyak jalan masuk ke trakea

melalui sela-sela manset. Organisme-organisme ini kemudian membentuk

kolonisasi seperti biofilm yang secara cepat dapat melapisi permukaan

bagian dalam dari saluran endotrakea. Material yang terinfeksi ini

kemudian didorong ke saluran napas distal oleh aliran udara inspirasi yang

diperoleh dari ventilator mekanik.52

Pada pasien-pasien kritis, terjadi gangguan sistem imun sehingga

mekanisme pertahanan tubuhnya tidak dapat berlangsung dengan efektif.

Ketika bagian yang terinfeksi mencapai saluran pernapasan distal, sistem

imunitas di paru akan bereaksi untuk menginaktivasi atau membunuh

organisme-organisme patogen yang ada. Makrofag alveolus, neutrofil, dan

elemen-elemen penyusun sistem imun humoral akan berinteraksi untuk

membentuk suatu respon inflamasi. Ketika sistem imun tubuh memberikan

reaksi yang berlebih, maka terjadilah pneumonia.52

Kunci dalam patogenesis VAP adalah kolonisasi kuman pada

saluran pernapasan atas (orofaring dan trakea) dengan mikroorganisme

patogen yang potensial seperti Enterobactericeaea, Staphylococcus

44
Aureus, dan Pseudomonas Aeruginosa. Hal yang dapat meningkatkan

risiko kolonisasi kuman adalah intubasi, jika intubasi terpasang selama

beberapa hari maka akan meningkatkan risiko kolonisasi mikroorganisme

patologis pada saluran pernapasan bagian atas jika terjadi aspirasi dari

mikroorganisme patogen tersebut akan berisiko menimbulkan infeksi pada

paru.5

5. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis VAP ditentukan berdasarkan pada komponen tanda

infeksi yaitu demam, leukositosis atau leukopenia dan sekret purulen

disertai gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di thorax dan

penemuan bakteri penyebab infeksi paru. Pemeriksaan foto thorax

berulang memiliki akurasi diagnostik lebih dari 68% yang umumnya

disertai dengan gambaran air bronchogram. Gambaran foto thorax disertai

dua dari tiga kriteria gejala di atas memberikan sensitivitas 69% dan

spesifitas 75%.25

Sebuah studi postmortem, ketika temuan analisis histologis dan

kultur sampel paru-paru yang diperoleh segera setelah kematian digunakan

sebagai referensi. Infiltrat baru dan menetap pada rontgen dada (> 48 jam)

ditambah dua atau lebih dari tiga kriteria yaitu demam (>38,3 oC),

leukositosis lebih dari 12 x 109/ml, dan atau sekret purulent trakeobronkial

yang memiliki sensitivitas 69% dan spesifisitas 75% untuk penegakan

diagnosis VAP.53

45
Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) merupakan suatu

instrumen yang dikembangkan untuk menegakkan diagnosis VAP. Dalam

perkembangannya CPIS terbagi menjadi dua:

a. CPIS Klasik

Penghitungan skor CPIS berdasar pada poin penilaian tanda

dan gejala yang mengarah pada pneumonia, skor klinis adalah 0-12

yang diperoleh dari 7 variabel seperti suhu tubuh, jumlah leukosit,

volume dan karakteristik sekret trakea, oksigen arteri (PaO2/FiO2),

rontgen torak, dan perkembangan infiltrat paru serta hasil pewarnaan

gram, dan hasil kultur spesimen aspirasi trakea.54

Hasil kultur antara lain bisa didapatkan melalui metode

bronchoalveolar lavage (BAL), Protected Specimen Brush (PSB), dan

Endotracheal Aspiration (ETA). BAL merupakan prosedur yang

digunakan untuk mendiagnosis Intersitisial Lung Disease (ILD)

dengan memberikan informasi gangguan pada tingkat seluler dan

aseluler.55 PSB adalah salah satu tes diagnostik yang menggambarkan

sampel mikrobiologi dari saluran pernapasan bagian bawah.56 ETA

merupakan metode yang menggambarkan kolonisasi mikroorganisme

pada saluran pernapasan bagian bawah dengan sampel spesimen yang

lebih mudah didapatkan dan lebih jelas pada media kontras.57

Oleh karena penggunaan antibiotik jangka panjang dapat

merugikan pasien, dibutuhkan pemeriksaan yang menyediakan

fleksibilitas dalam mengelola pasien dengan VAP tanpa konsekuensi

46
penggunaan antibiotik yang diputuskan dari hasil kultur, maka CPIS

mengalami modifikasi dengan sebutan Simplified CPIS dengan

mengeluarkan kultur.27

b. Simplified CPIS

Komponen Simplified CPIS terdiri dari temperatur, leukosit,

sekret trakea, oksigenasi (PaO2/FiO2), dan foto torak. Setiap komponen

memiliki tiga kategori dengan nilai terendah 0 dan tertinggi 2, kecuali

pada komponen leukosit memiliki dua kategori dengan nilai maksimal

adalah 1, sehingga nilai total adalah 9. Dikatakan VAP apabila skor

total Simplified CPIS adalah >6 dan tidak VAP jika nilai total < 6.27, 58

Penilaian CPIS awal dilakukan dalam 48 jam sejak pertama kali pasien

terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik dan pemeriksaan

mikrobiologi dilakukan jika terdapat gejala klinis, selanjutnya

pemeriksaan CPIS dilakukan berkala.

Diagnosis VAP ditegakkan setelah menyingkirkan adanya

pneumonia sebelumnya, terutama pneumonia komunitas atau

Community Acquired Pneumonia (CAP). Apabila saat awal masuk

ICU pasien sudah menunjukkan gejala klinis pneumonia maka

diagnosis VAP disingkirkan, namun jika gejala klinis didapatkan

setelah 48 jam dengan ventilasi mekanis serta nilai total CPIS >6 maka

diagnosis VAP dapat ditegakkan, namun jika total skor CPIS < 6 maka

diagnosis disingkirkan.25

47
Tabel 2.3 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS).27, 58

Komponen Nilai Skor


o
Suhu ( C) 36,5 – 38,4 0
38,5 – 38,9 1
>39,0 dan <36,4 2

Leukosit per mm3 >4000 dan <11000 0


<4000 dan >11000 1

Sekret trakea Tidak ada 0


Ada, tidak purulent 1
Purulent 2

Oksigenasi PaO2/FiO2 >240 atau terdapat ARDS 0


(mmHg) <240 dan tidak ada ARDS 2

Foto torak Tidak ada infiltrat 0


Bercak atau infiltrat difus 1
Infiltrat terlokalisir 2

Kategori VAP <5


Tidak VAP >5

6. Pencegahan

Pencegahan VAP berdasarkan hasil penelusuran literatur

keperawatan menyebutkan bahwa cuci tangan rutin merupakan hal yang

sangat penting dalam mencegah infeksi, mengurangi sekresi oral yang

mengontaminasi paru-paru, perawatan mulut yang baik (kira-kira setiap 2-

4 jam) dalam satu shift, suction harus dilakukan dengan prosedur steril,

mempertahankan posisi kepala tempat tidur pasien dalam posisi 30o–45o

akan membantu mengurangi kemungkinan aspirasi. Untuk mencegah

sekresi berkumpul di ETT atau trakeostomi, bentuk pipa ETT sekarang

dilengkapi dengan postsuction subglotis untuk men-suction area di atas

balon ETT atau trakeostomi.2, 34

48
Pencegahan VAP secara non farmakologi lebih mudah dan murah

dibandingkan dengan cara farmakologi, meliputi menghindari intubasi

trakea, penggunaan ventilasi mekanik sesingkat mungkin, subglotic

suctioning, intubasi nonnasal, menghindari manipulasi yang tidak perlu

pada sirkuit ventilator, pemakaian heat and moisture exchangers, posisi

setengah duduk, menghindari lambung penuh, pencegahan terbentuknya

biofilm dan mencuci tangan serta pemakaian desinfektan sebelum dan

sesudah kontak dengan penderita. Sedangkan pencegahan VAP secara

farmakologi meliputi pertumbuhan traktus orodigestif, pencegahan

pembentukan biofilm kuman, dan menghindari penggunaan profilaksis

stress ulcer yang berlebihan, meskipun pencegahan VAP secara non

famakologi sudah menjadi prosedur baku di ICU namun angka kejadian

VAP cukup tinggi, sehingga masih perlu dilakukan inovasi dalam

pencegahan VAP.59

Pencegahan aspirasi dapat dilakukan dengan tiga pilihan pada

pasien yang terpasang intubasi, misalnya dengan menempatkan posisi

semi-recumbent, elevasi kepala 45o, dan posisi supinasi sempurna 180o.

Namun pada posisi supinasi dapat menimbulkan faktor risiko VAP ketika

pasien mendapatkan nutrisi enteral, sama halnya dengan memposisikan

pasien pada posisi semi-recumbent, maka untuk pengaturan posisi pasien

yang paling membantu dalam pencegahan aspirasi adalah dengan elevasi

kepala 45o.5

49
Lebih lanjut dalam Guaide Line For Management Of Hospital-

Acquired Pneumonia oleh Japanese Respiratory Society memaparkan

pencegahan VAP secara non farmakologi antara lain: 4

a. Kebersihan tangan, sarung tangan dan gaun

Tindakan pencegahan standar dari Centers for Disease Control

and Prevention (CDC) serta diperlukan kesadaran menyeluruh antara

staf medis dan program pencegahan serta kegiatan pendidikan

berkelanjutan sangat penting untuk mencapai ini.

b. Posisi pasien

Risiko aspirasi meningkat pada pasien dengan posisi supinasi,

posisi semi-fowler (posisi kepala 30-45o) adalah lebih baik. Hal ini

terutama pada pasien yang diberikan pipa makanan, risiko aspirasi

dikurangi dengan pemberian nutrisi parenteral total, namun pada kasus

ini terdapat risiko infeksi pada kateter. Pencegahan ektubasi paksa oleh

pasien sangat penting untuk diperhatikan.

c. Isi lambung

Aspirasi isi lambung telah terbukti menjadi salah satu

mekanisme yang menyebabkan VAP. Lambung yang terisi penuh harus

dihindari dan obat-obat yang menekan pergerakan usus dibatasi. Pada

pasien yang menerima makan enteral, pipa makanan harus diletakkan

pada posisi distal jika memungkinkan. Ukuran nasogastric tube (NGT)

tidak mempengaruhi frekuensi aspirasi dari isi lambung.

50
d. intubasi trakeal

Sinusitis sering diakibatkan oleh intubasi nasotracheal tube

dan menunjukkan penyebab dari VAP, bagaimanapun intubasi trakea

itu sendiri menyebabkan VAP. Gunakan alat bantu napas non-invasive

jika memungkinkan dan mengganti dengan tracheotomy jika

penggunan diprediksikan jangka panjang lebih dari 2 minggu.

e. Trakeotomi

Jika pasien tidak memiliki gangguan fungsi laring, secara teori

trakeotomi diperkirakan mencegah aspirasi sama baiknya dengan tidak

intubasi.

f. Manajemen vantilator mekanik dan sirkuit

Sterilisasi dan desinfeksi tidak perlu dilakukan setiap kali

ventilator digunakan. Sterilisasi sirkuit digunakan ketika ada tanda-

tanda kontaminasi, penggantiaan reguler tidak perlu dilakukan pada

pasien yang sama.

g. Keefektifan suction subglotis dan tekanan cuff

Hasil yang bagus diperlihatkan pada penggunaan pipa trakea

dengan lubang penghisap di atas balon manset dalam menurunkan

risiko VAP yang lebih berpengaruh pada late onset.

h. Kateter suction

Aspirasi sekret pernapasan dapat dilakukan dengan baik

menggunakan closed suction system atau dengan dispossible open

51
suction namun tidak ada perbedaan signifikan diantara keduanya.

Closed suction system lebih disarankan.

Dapat disimpulkan bahwa beberapa strategi dalam pencegahan

VAP berfokus pada beberapa hal antara lain: 14

a. Meminimalisir kolonisasi bakteri patogen pada saluran pencernaan,

jalan napas, dan ETT.

b. Peningkatan sekresi paru melalui perubahan posisi.

c. Pencegahan mikroaspirasi orofaringeal menggunakan posisi semi-

rekumbent.

d. Pencegahan mikroaspirasi melalui perubahan pada desain ETT.

e. Pencegahan kolonisasi bakteri pada ETT dengan melapisi lumen ETT

dengan perak klorida.

D. Suction

1. Pengertian

Suction atau penghisapan adalah aspirasi sekret, darah, atau cairan

pada jalan napas melalui sebuah kateter yang disambungkan pada mesin

penghisap yang bertujuan untuk membebaskan jalan napas sehingga

memudahkan ventilasi pasien dan untuk mencegah infeksi yang

diakibatkan oleh akumulasi sekret.60

2. Jenis suction

a. Sistem penghisapan jalan napas terbuka

Metode ini merupakan penghisapan selang ETT atau

tracheostomy dengan cara memutus koneksi ke ventilator. Metode ini

52
dapat menyebabkan hipoksemia atau rendahnya kadar oksigen di

dalam darah jika dilakukan berulang kali. Penggunaan metode

penghisapan jenis terbuka mengaruskan untuk secara rutin mengganti

kateter suction yang digunakan.60

b. Sistem pengihsapan jalan napas tertutup

Metode ini merupakan penghisapan tanpa memutus koneksi

selang ETT atau tracheostomy dengan ventilator. Kateter suction

terpasang pada selang ventilator dan dapat digunakan berulang.60

3. Indikasi

Beberapa indikasi dilakukannya penghisapan pada pasien adalah

sebagai berikut:45

a. Kebutuhan untuk mempertahankan jalan napas tetap paten dan

menghilangkan air liur, sekresi paru, darah, muntahan, atau bahan

asing dari jalan napas.

b. Ketidak mampuan pasienn untuk mengeluarkan sekret air liur, darah,

dan cairan dari jalan napas.

c. Pengambilan sampel dahak steril bagi pasien dengan ventilator

mekanik.

4. Kontra Indikasi

Penghisapan tidak dapat dilakukan pada beberapa kondisi seperti

ritasi jalan napas berikut, cedera trakea, bronchospasme, dan epiglotitis.45

53
5. Komplikasi

Penghisapan dikaitkan dengan beberapa komplikasi, diantaranya

adalah hipoksemia, trauma jalan napas, infeksi nosokomial, dan disritmia

jantung.60

6. Prosedur Open Suction System (OSS):60

a. Perlengkapan

1) Handuk atau bantalan lembab

2) Mesin penghisap portable atau yang ada di dinding dengan selang

dan wadah pengumpul

3) Wadah steril disposable untuk cairan

4) Salin normal steril atau air

5) Googles atau pelindung wajah, bila perlu

6) Set kateter penghisap steril (ukuran 12-18 French/Fr untuk

dewasa; ukuran 8-10 Fr untuk anak-anak; dan ukuran 5-8 Fr untuk

bayi)

7) Konektor Y

8) Kasa steril

9) Kantong sampah

10) Wadah pengumpul sputum, bila spesimen akan dikumpulkan

b. Pelaksanaan

1) Jelaskan kepada pasien apa yang akan dilakukan, mengapa hal

tersebut perlu dilakukan dan bagaimana pasien dapat bekerjasama.

Beri informasi kepada pasien bahwa suctioning akan

54
menghilangkan kesulitan bernapas dan prosedur tersebut tidak

menimbulkan sakit, tetapi dapat menimbulkan rasa ketidak

nyamanan serta menstimulasi refleks batuk, muntah (gag), atau

bersin.

2) Cuci tangan dan observasi prosedur pengendalian infeksi yang

sesuai.

3) Beri privasi pasien.

4) Persiapan pasien:

a) Atur posisi pasien sadar yang masih memiliki refleks muntah

pada posisi semi Fowler dengan kepala dihadapkan ke samping

untuk suction oral atau dengan leher hiperekstensi untuk

suction hidung.

b) Atur posisi pasien tidak sadar pada posisi miring, menghadap

ke perawat yang melakukan suctioning.

c) Letakkan handuk atau bantalan lembab di atas bantal atau di

bawah dagu.

5) Persiapkan perlengkapan:

a) Atur tekanan dan nyalakan mesin suction. Alat suction

dikalibrasi dalam tiga rentang tekanan

(1) Unit di dinding

 Dewasa : 100-120 mmHg

 Anak : 95-110 mmHg

 Bayi : 50-95 mmHg

55
(2) Unit portabel

 Dewasa : 10-15 mmHg

 Anak : 5-10 mmHg

 Bayi : 2-5 mmHg

b) Buka kemasan suction steril

(1) Atur wadah, pegang hanya bagian luar saja.

(2) Tuangkan air steril atau salin ke dalam wadah.

(3) Pasang sarung tangan steril atau pasang sarung tangan tidak

steril pada tangan yang tidak dominan dan sarung tangan

steril akan menjaga sterilitas kateter suction, dan sarung

tangan tidak steril mencegah penyebaran mikroorganisme

kepada perawat.

c) Dengan tangan yang memakai sarung tangan steril, ambil

kateter, dan sambungkan ke suction.

6) Buat perkiraan ukuran kedalaman kateter yang akan dimasukkan

dan periksa peralatan.

a) Ukur jarak antara ujung hidung pasien dan cuping teling, atau

sekitar 13 cm untuk dewasa.

b) Tandai jarak tersebut dengan jari tangan yang memakai sarung

tangan steril.

c) Periksa tekanan penghisap dan kepatenan kateter dengan

menekan jari atau ibu jari yang memakai sarung tangan steril

56
ke port atau cabang terbuka dari konektor Y (kontrol

penghisap) untuk menimbulkan isapan.

7) Masukkan kateter

a) Tarik lidah ke depan, bila perlu dengan menggunakan kasa.

b) Jangan lakukan suctioning (jangan tutup lubang kontrol

suction).

c) Masukkan kateter sekitar 10-15 cm di sepanjang satu sisi mulut

hingga ke dalam orofaring.

8) Lakukan suctioning

a) Letakkan jari pada lubang kontrol suction untuk memulai

suctioning, dan dengan perlahan putar kateter.

b) Lakukan penghisapan selama 5-10 detik sambil menarik kateter

secara perlahan, kemudian lepaskan jari dari alat kontrol, dan

lepaskan kateter.

c) Tindakan suction hanya berlangsung selama 10-15 detik.

Selama waktu tersebut, kateter dimasukkan, suction dan

hentikan, kemudian kateter dilepas.

d) Selama suctioning orofaring mungkin diperlukan suction untuk

sekret yang terkumpul di vestibulum mulut dan di bawah lidah.

9) Bersihkan kateter, dan ulangi suctioning seperti di atas.

a) Bersihkan kateter dengan menggunakan kasa steril bila terdapat

sekret kental yang menempel. Buang kasa ke dalam kantong

sampah.

57
b) Bilas kateter dengan air steril atau salin.

c) Berikan jeda 20-30 detik diantara setiap suctioning dan batas

waktu suctioning total sampai dengan 5 menit

10) Ambil spesimen bila diperlukan.

11) Tingkatkan kenyamanan pasien (bantu pasien ke posisi yang

memfasilitasi pernapasan).

12) Kaji keefektifan suctioning. Auskultasi suara napas pasien untuk

memastikan suara napas bersih dari sekret.

13) Dokumentasikan data yang relevan: jumlah, konsistensi, warna dan

bau sputum serta status pernapasan pasien sebelum dan sesudah

prosedur.

E. Endotracheal Tube (ETT)

ETT merupakan jalan napas buatan untuk menghubungkan antara

bronkhus dengan mesin ventilator. Ukuran ETT pada keadaan emergensi dapat

digunakan no. 7–7.5 untuk perempuan dan laki-laki dewasa. Panjang ETT dari

ujung glotis sampai ujung mulut kurang lebih 3 x ukuran nomor ETT. Jika

digunakan no. 7 maka panjang ETT di pinggir mulut sekitar 21 cm.39 Adapun

tujuan penggunaan ETT antara lain untuk mempertahankan kepatenan jalan

napas, melindungi jalan napas dari aspirasi, aplikasi dari ventilasi tekanan

positif, memfasilitasi pengeluaran eksresi dari paru-paru, dan untuk

penggunaan oksigen berkonsentrasi tinggi.61

Penggunaan ETT tidak boleh melebih 21 hari, jika demikian maka

jalan napas harus diganti dengan tracheostomy tube. Untuk menilai ketepatan

58
ETT harus dibuktikan dengan foto thorax dan auskultais suara paru yang

menunjukkan bronkhovesikuler di kedua lapang paru (kiri dan kanan). Jika

terlalu dalam, ETT akan lebih condong masuk ke dalam paru kanan karena

anatomis bronkhus kanan lebih landai dari bronkhus kiri. Jika terjadi demikian

maka suara paru kiri akan lebih redup dan kurang mengembang sehingga

berisiko untuk terjadinya atelektasis pada paru sebelah kiri.39

Gambar 2.3 Standard Endotracheal Tube.4

Untuk mempertahankan ETT agar kedudukannya tetap dan tepat,

balon harus dikembangkan dengan tekanan udara yang cukup sekitar 18-22

mmHg (25-30 cmH2O) sehingga tidak menyebabkan iskemik trakea dan tidak

menyebabkan kebocoran udara (V leak) disaat ventilator mengalirkan tekanan

atau volume inspirasi ke dalam paru pasien. Pengembangan balon yang

kurang akan mengakibatkan kebocoran dan masuknya udara ke dalam gaster

atau aspirasi dari gaster menuju paru-paru. Kebocoran dapat diidentifikasi dari

kempesnya balon ETT, rendahnya nilai PEEP dari nilai yang seharusnya dan

atau tingginya V leak pada display ventilator.39

59
Penghisapan dan perawatan endotraheal tube dilakukan untuk

mempertahankan jalan napas terbuka sehingga membantu pernapasan dan

mempertahankan continuous positive airway pressure, memfasilitasi

pembersihan sekret. Hasil yang diharapkan dari penghisapan dan perawatan

ETT ini antara lain: pernapasan pasien dalam rentang normal 14-20 x/menit,

kedalaman napas normal, halus, dan simetris, lapang paru bersih, tidak ada

sianosis, pasien tidak memperlihatkan tanda-tanda kecemasan atau napas

pendek.42

F. Intubasi

Intubasi adalah tindakan invasif untuk memasukkan ETT ke dalam

trakea dengan menggunakan alat laryngoscopy. Diperlukan seperangkat alat

penunjang dan tenaga ahli dalam pemasangan ETT karena kejadian seperti

hipoksia, aritmia, dan bahkan henti jantung dapat terjadi dalam beberapa

kasus. Untuk mengantisipasinya diperlukan tenaga yang bersertifikasi

Advance Cardiac Life Support (ACLS). Alat-alat penunjang diantaranya

adalah troli emergensi yang dilengkapi obat-obat resusitasi seperti adrenalin

(untuk asistole), sulfas atrofin (untuk bradikardia), amiodarone (anti aritmia),

inotropik jenis dobutamine atau dopamine untuk meningkatkan afterload-

preload-kontraktilitas ventrikel jika terjadi gangguan hemodinamik saat

intubasi.39

60
Gambar 2.4 Intubasi Endotracheal Tube.39

Peralatan lain seperti defibrilator diperlukan untuk mengantisipasi

aritmia ventrikel yang dapat mengancam jiwa (ventricular tachycardia dan

ventricular fibrilasi). Peralatan suction diperlukan untuk membebaskan jalan

napas dari kemungkinan penumpukan lendir (slym) saat intubasi. Sebelum

tindakan dimulai, premedikasi diberikan untuk memberikan efek sedasi dari

yang memiliki efek cepat seperti golongan opioid atau lambat seperti

benzodiazepine. Paralise otot napas dapat dipertimbangkan jika proses

intubasi masih sulit dilakukan. Jenis premedikasi dipilih yang memiliki risiko

minimal terhadap organ yang sedang mengalami gangguan. Sebelum intubasi

dimulai, hiperoksigenasi dilakukan melalui ambu bag dengan kecepatan aliran

12-15 L/menit sampai saturasi oksigen meningkat >95%.39

Kompilkasi bisa terjadi ketika pemasangan ETT atau intubasi

dilakukan, antara lain adalah: ulserasi dan inflamasi nasal dan oral, sinusitis

dan otitis, luka pada laring dan trakea, serta obstruksi pada pipa ETT dan

pergeseran posisi. Komplikasi lain yang bisa terjadi setelah satu minggu

pengangkatan ETT atau ekstubasi meliputi stenosis laring dan trakea serta

abses tulang krikoid.61

61
G. Suction Above Cuff Endotracheal Tube pada VAP

Inovasi dalam desain ETT adalah penempatan lubang tepat di atas

manset yang terhubung pada lumen eksternal yang memungkinkan

penghisapan intermitten atau terus menerus pada sekresi subglotis. Prinsip

kerja dari inovasi ETT ini adalah mengeluarkan sekret yang terkumpul di atas

balon manset dengan tujuan untuk meminimalkan mikroaspirasi, kolonisasi

bakteri pada trakea, dan pada akhirnya akan mencegah terjadinya VAP.14

Gambar 2.5 Suction Above Cuff Endotracheal Tube.62

Patogenesis VAP yang berhubungan dengan penempatan dan

pemeliharaan dari ETT dalam mempengaruhi pneumonia nosokomial adalah

dengan mekanisme sebagai berikut:14

1. Aspirasi sekresi orofaring selama intubasi, sebagai ilustrasi bahwa

peningkatan risiko VAP berhubungan dengan reintubasi.

2. Trauma dan kekuatan mekanik pada dinding trakea yang menurunkan

integritas mukosa dan mengurangi pembersihan sekresi mukosiliar.

3. Mikroaspirasi sekret di sekitar manset ETT.

4. Pembentukan biofilm dan kolonisasi di dalam lumen ETT.

62
Studi perbandingan kejadian VAP menggunakan endotracheal tube

dengan polyurethane cuff and subglottic secretion drainage (ETT-PUC-SSD)

dan endotracheal tube conventional, menemukan penurunan insiden kejadian

VAP baik early onset ataupun late onset pada pasien yang dirawat

menggunakan ETT-PUC-SSD. Potensi keuntungan utama dari ETT-PUC-SSD

adalah pada manset polyurethane. Jika dibandingkan dengan manset Low

Volume High Pressure (LVHP) diperlukan dengan tekanan lebih dari 60 cm

H2O untuk mencapai bukti klinis, dan bahwa tekanan yang lebih tinggi dari 50

cm H2O mungkin akhirnya menghentikan aliran darah mukosa kapiler, dengan

demikian sering terjadi cedera trakea setelah penggunaan jangka panjang.

Keuntungan kedua terletak pada subglottic secretion drainage yang mampu

menurunkan kejadian VAP dengan mekanisme meminimalkan injuri pada

mukosa trakea sehingga menghindari adanya kolonisasi mikroorganisme.17

Mekanisme subglottic secretion drainage pada SACETT dengan

lumen terpisah di atas balon manset telah terbukti menurunkan kejadian VAP.

SACETT mampu meminimalkan mikroaspirasi dari penumpukan sekret di

sekitar balon manset dan mencegah kolonisasi kuman patogen pada paru-paru

yang pada akhirnya menurunkan kejadian VAP dan juga bermanfaat dalam

cost effective perawatan pasien.19

63
Gambar 2.6 Desain Suction Above Cuff pada ETT.62

H. Pengaruh Suction Above Cuff dengan Oral Hygiene Chlorhexidine

terhadap VAP

Pengaruh intervensi suction above cuff atau continuos subglottic

suctioning dalam mencegah VAP telah dipelajari dan diteliti sebelumnya.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan relevan dengan penelitian ini

dihitung dan dibandingkan effect size antara satu dan yang lain.

Effect Size merupakan ukuran mengenai seberapa besar efek pada

suatu variabel terhadap variabel lain dan dianggap sebagai ukuran tentang

tingkat kemaknaan hasil penelitian dalam tataran praktis.63 Signifikansi hasil

penelitian berupa besarnya korelasi, perbedaan, atau efek dari suatu variabel

terhadap variabel lain pada penelitian yang serupa dengan penelitian ini diukur

untuk melengkapi informasi yang menyajikan perbandingan dengan penelitian

sebelumnya sebagai dasar dalam menyimpulkan apakah hasil penelitian ini

lebih baik dalam memberikan pengaruh terhadap variabel yang diukur.

64
Berdasarkan penghitungan effect size terhadap beberapa penelitian

sebelumnya yang dijadikan dasar dalam penelitian ini, maka dapat ditentukan

urutan penelitian berdasarkan besarnya efek dalam mempengaruhi kejadian

VAP.

Tabel 2.4
Penelitian Terkait Suction Above Cuff dengan Oral Hygiene
Chlorhexidine terhadap Kejadian VAP

Nilai
Penelti Populasi Variabel Variabel
p/effect size Kategori
(tahun) & Sampel Independen Dependen
(ES)
Speroni, K Populasi: Continuos Ventilator Diukur Kuat
Gabel et al pasien subglottic Associated pada hari
(2011) ventilator suctioning Pneumonia ke 3
mekanik endotracheal (VAP) - p= 0.001
terintubasi tube (CSS- - ES=0.277
Sampel: ETT)
154(2 klp)

Ledgerwood, Populasi: Tracheotomy Ventilator Diukur Kuat


Levi G et al pasien with suction Associated pada hari
(2013) ventilator above the cuff Pneumonia ke 5 dan ke
mekanik + oral hygiene (VAP) 7
terintubasi + 30o elevated - p= 0.020
Sampel: position - ES=0.268
18 (2 klp)

Lorente, Populasi: Endotracheal Ventilator Diukur Sedang


Leonardo et pasien tube with Associated pada hari
al medical polyurethane Pneumonia ke 4
(2007) surgical cuff dengan (VAP) - p= 0.001
intensive subglottic - ES=0.186
care unit secretion
dengan drainage
ventilator
mekanik
terintubasi
Sampel:
280(2 klp)

65
Tabel 2.4 Lanjutan...

Nilai
Penelti Populasi Variabel Variabel
p/effect size Kategori
(tahun) & Sampel Independen Dependen
(ES)
Jena, Sritam Populasi: Suction above Ventilator Diukur Sedang
et al Pasien cuff Associated pada hari
(2016) gangguan endotracheal Pneumonia ke 4
sistem tube (VAP) - p= 0.780
saraf (SACETT) - ES=0.140
Sampel:
50 (2 klp)

Supriandi Populasi: Closed Ventilator Diukur -


(2014) Pasien Suction Associated pada hari
ventilator System (CSS) Pneumonia ke 3
mekanik dengan (VAP) - p= 0.766
terintubasi Chlorhexidine - ES= -
Sampel: 0.2% 2 kali
30 (2 klp) sehari

Penelitian-penelitian tersebut membandingkan intervensi dalam

mencegah VAP antara endotracheal tube standar dan endotracheal tube

dengan continuos subglottic suctioning atau suction above cuff. Sementara

intervensi dalam penelitian ini menggunakan kombinasi antara suction above

cuff endotracheal tube dengan Chlorhexidine 0.2%.

66
I. Kerangka Teori

Suction Above Intubasi ETT Endotracheal Tube


Cuff Standar + OSS
Endotracheal
Tube
Pasien dengan
ventilator mekanik
Pembatasan jumlah
kalori dan diit
>72 jam

Suction di atas Sekret di atas Pemberian Antacid,


manset ETT manset ETT H-2 Blocker

Alkalinasi di
Kuman gram (-)
pada orofaring lambung

Pertumbuhan
Mikro aspirasi Mikro aspirasi
bakteri
minimal saluran pernapasan

Makro aspirasi
Pertumbuhan dan lambung
perkembang biakan
kuman
Saluran orodigestif

Kolonisasi
kuman di Paru
Diagnosis VAP:
1. Protected specimen
brush (PSB)
VAP
2. Bronchoalveolar lavage
(BAL)
3. Endotracheal Aspiration
CPIS: Tidak VAP (<6), VAP (>6) (ETA)
1. Suhu tubuh (36,5-38,4=0, 38,5-38,9=1, 4. Clinical Pulmonary
<36,4->39,0=2).
2. Leukosit (>4000-<11000=0, <4000-
Infection Score (CPIS)
>11000=1).
3. Sekret trakea (tidak ada=0, ada, tidak
purulen=1, purulen=2).
4. PaO2/FiO2 (>240, ARDS=0, <240=2).
5. Foto torak (tidak infiltrat=0, infiltrat difus=1,
infiltrat terlokalisir=2).

Gambar 2.7 Kerangka Teori SACETT dan OSS-ETT pada VAP.19, 39, 46

67
J. Hipotesis

1. Hipotesis Peneitian (Ho)

Suction Above Cuff Endotracheal Tube (SACETT) dengan oral

hygiene Chlorhexidine 0.2% sama baiknya dengan Open Suction System

Endotracheal Tube (OSS-ETT) dengan oral hygiene Chlorhexidine 0.2%

dalam mencegah Ventilator Associated Pneumonia (VAP) pada pasien

kritis di ruang ICU.

2. Hipotesis Alternatif (Ha)

Suction Above Cuff Endotracheal Tube (SACETT) dengan oral

hygiene Chlorhexidine 0.2% lebih efektif dibandingkan Open Suction

System Endotracheal Tube (OSS-ETT) dengan oral hygiene Chlorhexidine

0.2% dalam mencegah Ventilator Associated Pneumonia (VAP) pada

pasien kritis di ruang ICU.

68
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep yang diteliti dengan menguraikan ada tidaknya

perbedaan antara suction above cuff endotracheal tube dengan standard

endotrachheal tube menggunakan Chlorhexidine sebagai oral hygiene

terhadap pencegahan VAP.

Suction Above Cuff


Endotracheal Tube
VAP (Ventilator Associated
Pneumonia)
Standard
Endotracheal Tube

1. Oral hygiene (Chlorhexidine) 0.2%


2. Antibiotik
3. Posisi kepala
4. Pemenuhan kebutuhan nutrisi
5. Manajemen sirkuit ventilator

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak diteliti

: Berpengaruh

: Berhubungan
B. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan

desain quasy experimental atau eksperimen semu dimana variabel sebab dan

akibat yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara

stimultan, sesaat atau sekali saja dalam satu kali waktu (dalam waktu yang

bersamaan), dan tidak ada follow up.64

Rancangan penelitian yang digunakan adalah post test only with

control group, dimana peneliti ingin mengungkapkan sebab akibat dengan

sekali pengukuran pada akhir intervensi yang melibatkan kelompok kontrol

disamping kelompok intervensi.65 Kontrol merupakan aturan yang dibuat

peneliti untuk mengurangi kemungkinan kesalahan, sehingga meningkatkan

kemungkinan bahwa temuan penelitian adalah refleksi akurat dari realitas.66

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kemungkinan adanya

pengaruh jenis dan desain Endotracheal Tube (ETT) yakni Suction Above Cuff

Endotracheal Tube (SACETT) dan Endotracheal Tube standar (ETT) dengan

Open Suction System (OSS) dan Chlorhexidine 0.2% sebagai oral hygiene

terhadap pencegahan VAP pada pasien terpasang ventilator mekanik. Dalam

penelitian ini terdapat dua kelompok, yakni kelompok dengan SACETT dan

kelompok dengan OSS-ETT yang mana keduanya dilakukan oral hygiene

menggunakan Chlorhexidine 0.2% sebanyak dua kali perhari. Bentuk

rancangan ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian Kuasi Eksperimental.67


Subjek Perlakuan Pasca-tes
K-A X O1
K-B - O1

70
Keterangan:

K-A: Subjek (Pasien terpasang ventilator mekanik) perlakuan

K-B: Subjek (Pasien terpasang ventilator mekanik) kontrol

X1 : SACETT

- : OSS-ETT

O1 : Observasi CPIS setelah 72 jam

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian atau subjek yang

diteliti.68, 69
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas

subjek yang mempunyai karakteristik tertentu yang ditentukan oleh

peneliti untuk dipelajari fenomena yang terjadi dan kemudian ditarik

kesimpulannya.70

Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien sakit kritis di ruang ICU

selama penelitian sejak Desember 2016 sampai Februari 2017 sebanyak 81

pasien. Populasi terjangkau adalah semua pasien yang terpasang ventilator

mekanik di ruang ICU sebanyak 67 pasien.

2. Sampel

Sampel adalah objek representatif dari populasi yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi.68 Sampel merupakan bagian dari

jumlah dan karakterstik yang dimiliki oleh populasi yang diambil dengan

cara tertentu.69, 70

71
Pada penelitian ini, sampel penelitian adalah pasien terpasang

ventilator mekanik di ruang ICU RS. Pantiwilasa Citarum dan RS.

Roemani Muhammadiyah Kota Semarang sebanyak 32 responden yang

didapatkan melalui penghitungan besar sampel dan sesuai kriteria yang

telah ditetapkan.

3. Besar sampel

Besar sampel penelitian ditentukan menggunakan rumus besar

sampel minimal untuk penelitian analitik numerik tidak berpasangan.71

Dasar penelitian yang digunakan untuk menghitung jumlah sampel ini

adalah penelitian sebelumnya yang berjudul Comparison of Suction Above

Cuff and Standard Endotracheal Tubes in Neurogical Patients for The

Incidence of Ventilator-Associated Pneumonia and In-Hospital Outcome:

A Randomized Controlled Pilot Study.19

( ) )
( )

Zα = Deviat baku alfa 5% (1.960)71


Zβ = Deviat baku beta 20% (0.842)71
S = Simpangan baku gabungan
X1-X2 = Selisih minimal rerata yang dianggap bermakna (7.7).19

Dengan rumus simpangan baku gabungan sebagai berikut:

( ) ( )
( ) ]
( )

Sg = Simpangan baku gabungan


2
(Sg ) = Varian gabungan
= Simpangan baku kelompok 1 pada penelitian
s1
sebelumnya=5.30.17
n1 = Besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya=31.17

72
= Simpangan baku kelompok 2 pada penelitian
s2
sebelumnya=11.20.17
n2 = Besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya=11. 17

( ) ( )
( )
( )

( )

( )

( ) √

( )

Selanjutnya dimasukkan ke dalam rumus besar sampel analitik numerik

tidak berpasangan:

( ) )
( )
( ) )
( )

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka besar sampel untuk

masing-masing kelompok adalah 14 responden, untuk mengantisipasi drop

out maka dilakukan penambahan jumlah subyek sebesar 10%, dihitung

dengan formula sebagai berikut: 64

( )

n = Besar sampel yang dihitung


f = Perkiraan proporsi drop out

73
( )

Sehingga dapat ditentukan sebanyak 15 responden untuk kelompok

intervensi menggunakan SACETT, dan 15 responden untuk kelompok

kontrol menggunakan OSS-ETT, jadi total responden dalam penelitian ini

adalah 30.

4. Teknik Sampling

Pengambilan sampel ditentukan dengan teknik non probability

sampling dengan pendekatan purposive sampling dimana sampel dipilih

berdasarkan petimbangan peneliti sesuai dengan kriteria dan tujuan

penelitian sehingga sampel dapat mewakili karakteristik populasi yang

telah dikenal sebelumnya.65 Teknik sampling ini dipilih karena merupakan

teknik yang sesuai untuk diterapkan pada pasien di ICU khususnya pasien

dari ruang rawat inap dengan indikasi pemasangan ventilator mekanik

dimana pasien dinilai terlebih dahulu apakah layak atau tidak menjadi

responden penelitian dengan mempertimbangkan foto thorax sebelumnya

apakah sudah terjadi infiltrat atau tidak.

Penentuan dan pembagian kelompok SACETT dan OSS-ETT

berdasarkan alur terpasang ETT, dimana responden yang terindikasi

pemasangan ventilator mekanik dari Instalasi Gawat Darurat (IGD)

dipasang ETT standar di IGD (kelompok OSS-ETT). Sedangkan responden

yang terindikasi pemasangan ventilator mekanik dari ruangan rawat inap

dan atau ICU dipasang ETT dengan suction above cuff di ICU (kelompok

74
SACETT). Dalam hal ini, peneliti mengambil responden penelitian yang

sesuai dengan syarat sebagai sampel dengan kriteria sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

1) Pasien dengan ventilator mekanik dan dirawat di ICU minimal

selama 72 jam.

2) Laki-laki dan perempuan usia dewasa (>18 tahun)

3) Pasien dengan GCS <8 (penurunan fungsi reflek batuk dan

menelan)

4) Pasien dengan suhu tubuh dalam rentang normal (36.5 – 37.5 oC)

b. Kriteria ekslusi:

1) Pasien dengan riwayat pneumonia sebelumnya

2) Pasien dengan penyakit keganasan

3) Pasien dengan HIV/AIDS

4) Pasien sedang menggunakan kortikosteroid

Pada penelitian ini, sebanyak 23 responden penelitian didapatkan di

RS Pantiwilasa Citarum dimana 2 responden dropped out diantaranya satu

responden meninggal sebelum 72 jam terpasang ventilator mekanik dan

satu responden ekstubasi pada hari kedua terpasang ventilator mekanik.

Sebanyak 9 responden didapatkan di RS. Roemani Muhammadiyah

Semarang.

75
D. Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran

1. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah SACETT dan OSS-ETT.

b. Variabel terikat adalah VAP dengan komponen: suhu tubuh, leukosit,

sekret trakea, oksigenasi (PaO2/FiO2), dan foto thorax.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan.68

Definisi operasional dalam penelitian ini diuraikan pada tabel berikut:

Tabel 3.2 Definisi operasional

Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala ukur


Variabel
Independen
SACETT Endotracheal tube atau ETT Standar - -
dengan yang memiliki lubang di Operasio-
Chlorhexidi- atas balon manset dan nal Prosedur
ne sebagai menyambung sepanjang
oral hygiene lumen ETT untuk
penghisapan lendir yang
terakumulasi di atas balon
manset dengan
menggunakan
Chlorhexidine 0.2% sebagai
oral hygiene sebanyak 2
kali sehari

ETT dan Endotracheal tube atau ETT Standar - -


open suction standar yang digunakan Operasio-
system dalam intubasi tanpa disertai nal Prosedur
dengan lubang di atas manset,
Chlorhexidi- menggunakan suction
ne sebagai terbuka untuk penghisapan
oral hygiene lendir
dengan Chlorhexidine 0.2%
sebagai oral hygiene
sebanyak 2 kali sehari

76
Tabel 3.2 Lanjutan...

Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala ukur


Variabel
Dependen
VAP Pneumonia yang didapatkan Lembar - 0–5: tidak VAP Interval
di rumah sakit setelah observasi - 6–9: VAP
terpasang ventilator dengan
mekanik minimal setelah 72 mengguna-
jam yang ditegakkan kan CPIS
melalui penilaian CPIS

Suhu Tubuh Panas dari dalam tubuh Termome- - 36,5 dan Interval
sebagai hasil dari ter <38,4=0
metabolisme tubuh dalam - >38,5 dan
satuan o celcius. <38,9=1
- >39,0 dan
<36,0=2

Leukosit Sel yang membentuk Laborato- - 4000 dan Interval


komponen sel darah putih rium <11000=0
sebagai bagian dalam sistem - <4000 dan
pertahan tubuh yang
>11000=1
berfungsi membantu tubuh
melawan berbagai infeksi.

Sekret Produk berbentuk cair yang Observasi - Tidak ada=0 Ordinal


trakea dihasilkan kelenjar di dalam - Ada, tidak
kavum oral dan menumpuk purulent=1
pada trakea.
- Purulent=2
-
Oksigenasi Rasio dari oksigen arterial Analisa gas - >240 atau Interval
(PaO2/FiO2) tekanan parsial untuk darah terdapat ARDS=0
pecahan oksigen terinspirasi - <240 dan tidak
yang didapat dari analisia ada ARDS=2
darah arteri.

Foto thorax Proyeksi radiografi dari Film - Tidak ada Ordinal


thorax menggunakan sinar- Rontgen infiltrat=0
x untuk mendiagnosis - Bercak atau
kondisi yang mempengaruhi
infiltrat difus=1
torak, isi dan struktur di
dekatnya. - Infiltrat
terlokalisir=2

77
Tabel 3.2 Lanjutan...

Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala ukur


Counfounding
Variable
Antibiotik Substansi kimiawi yang Lembar Jenis/golongan Nominal
dihasilkan oleh Observasi antibiotik yang
mikroorganisme yang diberikan
mempunyai kemampuan
menghambat pertumbuhan
atau membunuh
mikroorganisme lain yag
digunakan dalam
pengobatan penyakit
infeksi.

Posisi kepala Posisi kepala yang Lembar - >30o=1 Nominal


diletakkan lebih tinggi 30o- Observasi - <30o=2
45o untuk mencegah Karakteris
aspirasi isi lambung. tik
Respon-
den

Pemenuhan Pemberian nutrisi yang Lembar Jumlah (cc) diit Rasio


kebutuhan tidak seimbang (lambung Observasi yang diberikan
nutrisi terisi penuh) dalam Karakteris
pencegahan aspirasi isi tik
lambung. Respon-
den

Manajemen Penggunaan sirkuit Lembar - Disposible=1 Nominal


sirkuit ventilator dispossible atau Observasi - Reusable=2
ventilator sterilisasi pada penggunaan Karakteris
sirkuit reusable. tik
Respon-
den

E. Sumber Data Penelitian

1. Data primer

Data primer diambil melalui penelusuran langsung di catatan

perkembangan pasien terpasang ventilator mekanik. Data primer dalam

penelitian ini meliputi:

78
a. Data karakteristik responden meliputi nama, usia, jenis kelamin serta

diagnosa medis.

b. Data tentang nilai CPIS (temperatur, leukosit, sekret trakea, oksigenasi

(PaO2/FiO2), dan foto torak) setelah 72 jam menggunakan ventilator

mekanik.

2. Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data tentang gambaran

umum lokasi penelitian dan rekam medis.

F. Alat Penelitian/Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Lembar kuesioner data karakteristik responden yang terdiri dari:

a. Inisial Responden

b. Usia Responden

c. Jenis Kelamin

d. Nomor Rekam Medis

e. Diagnosa Medis

f. Jenis ETT yang digunakan

2. Endotracheal tube dengan dua model ETT ukuran 7.5 yaitu suction above

cuff endotracheal tube dan standard endotracheal tube with open suction

system.

3. Chlorhexidine gluconate 0.2% yang digunakan sebagai oral hygiene

sebanyak 2 kali sehari.

4. Lembar observasi CPIS sebagai indikator terjadinya VAP

79
Instrumen CPIS tanpa pemeriksaan kultur atau simplified CPIS

telah di telaah dan disetujui oleh expert dalam bidang perawatan kritis

dalam hal ini dokter konsultan intensive care, kepala ruang intensive care

unit (HIPERCCI) dimana penilaian post test dilakukan setelah 72 jam

terpasang ventilator mekanik terintubasi.

Pemeriksaan dan laboratorium untuk mendiagnosis VAP melalui

CPIS antara lain: Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi sekret trakea dan

vital sign (suhu tubuh), Analisa Gas Darah, pemeriksaan darah lengkap,

Foto Thorax.

5. Alat dan bahan dalam prosedur monitoring CPIS:

a. Alat suction dan standar operasional prosedur

b. Chateter suction

c. Sarung tangan steril

d. Bengkok

e. Mesin vakum

f. Kasa steril

6. Pemeriksaan suhu tubuh

a. Termometer

b. Cairan desinfektan

c. Lembar observasi

7. Open Suction sekret

a. Kateter penghisap steril ukuran 10/12 Fr

b. Pinset steril

80
c. Sarung tangan steril

d. Penutup kepala

e. Masker

f. Cuff inflator atau spuit 10 cc

g. Alas dada/handuk

8. Pemeriksaan darah rutin

a. Spuit 5 cc

b. Tabung dengan antikoagulan

c. Kassa steril

d. Alkohol swab

9. Pemeriksaan analisa gas darah

a. Spuit 5 cc

b. Heparin injeksi 0.1 cc

10. Foto thorax (x-ray)

11. Prosedur suction

a. Persiapan alat untuk tindakan penghisapan adalah sebagai berikut:

1) Kateter suction

2) Sarung tangan

3) Kom bersih berisi aquadest/normal saline (NaCl) untuk irigasi

4) Spuit berisi cairan NaCl steril untuk irigasi trakea jika

diindikasikan.

b. Langkah-langkah dalam melakukan tindakan penghisapan (suction)

adalah sebagai berikut:

81
1) Kaji adanya kebutuhan untuk dilakukannya tindakan penghisapan

(usahakan untuk tidak sering melakukan penghisapan karena

menyebabkan kerusakan mukosa, perdarahan, dan bronkospasme).

2) Lakukan cuci tangan, gunakan alat pelindung diri dari

kemungkinan terjdainya penularan penyakit melalui sekret.

3) Jelaskan kepada pasien mengenai sensasi yang akan dirasakan

selama penghisapan seperti napas pendek, batuk, dan rasa tidak

nyaman.

4) Check mesin penghisap, atur tekanan mesin suction pada level 80-

100 mmHg untuk menghindari hipoksia dan trauma mukosa.

5) Lakukan pre oksigenasi dengan O2 100% selama 30 detik sampai 3

menit untuk mencegah terjadinya hipoksemia.

6) Masukkan kateter suction secara cepat sedalam 15-20 cm, jangan

lakukan suction saat kateter sedang dimasukkan, tarik kateter 1-2

cm dan mulai lakukan suction, intermitten, tarik kembali kateter

sambil menghisap dengan cara memutar. Lakukan suction tidak

lebih dari 10-15 detik.

7) Bilas lumen kateter suction menggunakan cairan yang sudah

disediakan dalam kom.

8) Ulangi prosedur bila diperlukan (maksimal 3 kali suction dalam

satu waktu).

9) Catat tindakan dalam dokumentasi keperawatan mengenai

karakteristik sputum (jumlah, warna, konsitensi, bau, adanya

82
darah) dan respon pasien. Tindakan suction pada mulut boleh

dilakukan jika diperlukan.

12. Prosedur oral hygiene

Perawatan oral hygiene menggunakan Chlorhexidine 0.2%

sebanyak 2 kali sehari dengan persiapan dan langkah sebagai berikut:

a. Alat dan bahan:

1) Handuk dan kain pengalas

2) Gelas kumur berisi:

a) Air matang

b) Obat kumur Chlorhexidine 0.2%

3) Spatel lidah telah dibungkus dengan kasa

4) Bengkok/nierbekken

5) Kain kasa

6) Pinset atau arteri klem

b. Prosedur:

1) Jelaskan prosedur kepada pasien

2) Dekatkan alat-alat

3) Cuci tangan dan gunakan sarung tangan

4) Uji adanya refleks muntah dengan menempatkan spatel lidah di

atas bagian belakang lidah (pasien dengan gangguan refleks

menelan memerlukan perawatan khusus).

5) Inspeksi rongga mulut

83
6) Bila perlu nyalakan mesin suction dan sambungkan selang ke

kateter suction

7) Tempatkan handuk dan kain pengalas di atas dada pasien, dan

bengkok di bawah dagu

8) Ambil pinset dan bungkus dengan kasa yang berisi air dan

Chlorhexidine 0.2%

9) Secara hati-hati renggangkan gigi atas dan bawah pasien dengan

spatel lidah secara cepat tapi lembut, diantara molar belakang.

Masukkan bila pasien rileks (jangan memaksa)

10) Lakukan pembersihan mulai dimulai dari dinding atas rongga

mulut, bagian dalam pipi, gusi, gigi pre molar, molar, dan incicivus

atas dan bawah bagian dalam lalu bagian luar, lidah dan bibir. Jika

kasa sudah kotor letakkan di bengkok dan ganti dengan yang baru.

Ulangi sesuai kebutuhan

11) Hisap sekresi bila terakumulasi

12) Jelaskan kepada pasien bahwa tindakan telah selesai

13) Lepaskan sarung tangan

14) Kembalikan posisi pasien

15) Bersihkan alat-alat dan kembalikan ke tempatnya

16) Dokumentasikan prosedur dan keadaan pasien

84
G. Tehnik Pengumpulan Data

Bagian ini merupakan uraian langkah-langkah dalam pengumpulan

data:

1. Tahap persiapan

a. Penulisan proposal penelitian yang terdiri atas tiga bab dengan proses

pembimbingan oleh dua orang dosen. Kemudian diujikan dihadapan

tim penguji dengan kualifikasi S3 dan S2.

b. Setelah proposal dinyatakan dapat dilanjutkan, selanjutnya peneliti

mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari Direktur Poltekkes

Kemenkes Semarang dan mengajukan uji kelaikan etik/ethical

clearence dari Komite Etik Poltekkes Kemenkes Semarang.

c. Meneruskan surat permohonan ijin dari Poltekkes Kemenkes

Semarang kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Semarang

untuk mendapatkan rekomendasi survei/penelitian.

d. Meneruskan surat rekomendasi survei/penelitian dari Badan Kesatuan

Bangsa dan Politik Kota Semarang kepada pihak Rumah Sakit yang

telah ditentukan peneliti untuk mendapatkan izin pengambilan data.

e. Membentuk tim penelitian yang membantu dalam prosedur penelitian.

Tim penelitian terdiri atas peneliti utama dan asisten peneliti atau

enumerator, dimana asisten peneliti yang ditetapkan adalah perawat

senior dengan kualifikasi pendidikan minimal diploma III dan

memiliki sertifikat HIPERCCI (Himpunan Perawat Critical Care

Indonesia).

85
f. Briefing kepada enumerator untuk hal-hal yang harus diketahui antara

lain:

1) Mengidentifikasi pasien ICU yang terindikasi pemasangan alat

bantu ventilator mekanik invasif sesuai kriteria inklusi.

2) Memberikan informed consent kepada keluarga responden yang

bersedia untuk dilakukan intubasi menggunakan SACETT.

3) Melakukan oral hygiene Chlorhexidine 0.2% sebanyak 2 x sehari

saat perawatan di ICU.

4) Melakukan cek suhu, leukosit, sekret trakea, analisa gas darah, dan

foto thorax setelah pasien dirawat >72 jam di ICU.

2. Tahap pelaksanaan

a. Memberikan penjelasan kepada pihak keluarga pasien dan meminta

kesediaan dan persetujuan keluarga menggunakan form informed

consent yang telah dibuat.

b. Menentukan dan membagi kelompok SACETT dan OSS-ETT. Pasien

dari rawat inap dan atau di ICU dengan indikasi pemasangan ventilator

mekanik dipilih sesuai pertimbangan peneliti dimasukkan ke dalam

kelompok SACETT dan pasien dengan indikasi pemasangan ventilator

mekanik terintubasi dari Instalasi Gawat Darurat (IGD) dimasukkan ke

dalam kelompok OSS-ETT.

c. Melakukan intubasi pada pasien dengan indikasi pemasangan

ventilator mekanik menggunakan SACETT untuk kelompok pertama

86
(dilakukan oleh perawat ICU yang telah ditetapkan sebagai asisten

peneliti). Intubasi dilakukan di ICU).

d. Melakukan observasi tanda-tanda VAP melalui pemeriksaan CPIS

setelah 72 jam pemakaian ventilator mekanik.

e. Melakukan dokumentasi seluruh hasil observasi dan pemeriksaan

sesuai dengan pada form lembar observasi/pemeriksaan yang telah

disediakan.

f. Melakukan tabulasi data hasil penelitian dan menyusun tesis yang

terdiri dari 6 BAB.

H. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data merupakan kegiatan mengelompokkan

data berdasarkan variabel dan jenis responden, melakukan tabulasi

berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel

yang diteliti, melakukan penghitungan untuk menjawab rumusan masalah dan

melakukan penghitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan.70 Pada

penelitian ini akan dilaksanakan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Editing/Memeriksa

Editing adalah memeriksa data atau nilai yang telah didapatkan

dari para responden.72 Pemeriksaan data yang telah didapatkan dari

responden dilakukan terhadap:

a. Kelengkapan data, apakah setiap responden sudah ada nilai suhu tubuh,

sekret trakea, leukosit, oksigenasi (PaO2/FiO2), dan foto thorax sesudah

72 jam terpasang SACETT dan SETT.

87
b. Keterbacaan tulisan, tulisan yang tidak terbaca akan mempersulit

pengolahan data.

Editing dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga bila terdapat

kekurangan dapat segera dilengkapi.

2. Coding/Pengkodean

Mengklasifikasikan data-data yang telah didapatkan ke dalam

bentuk kategori. Usia responden (26-45 tahun=1; 46-65 tahun=2;>65

tahun=3). Jenis kelamin (laki-laki=1, Perempuan=2). Diagnosa medis

(sistem saraf=1; sistem kardiovaskular=2; sistem digestif=3; sistem

imun=4; sistem urinaria=5).

Komponen CPIS: suhu tubuh (<36.5=1; 36.5-37.5=2; >37.5=2),

sekret trakea (tidak ada=0; ada, tidak purulent=1; purulent=2), leukosit

(<5000=1; 5000-10000=1; >10000=3), oksigenasi PaO2/FiO2 (>240 atau

terdapat ARDS=1; <240, tidak ARDS=2), foto thorax (tidak infiltrat=1;

infiltrat difus=2; infiltrat terlokalisir=3), dan untuk kejadian VAP (tidak

VAP=1; VAP=2).

Variabel perancu: jenis antibiotik (Karbapenem=1,

Sefalosporin=2, Kinolon=3, Nitroimidazole=4), Jumlah Diit (600=1,

800=2, 1000=3), posisi kepala (>30o=1, <30o=2), jenis sirkuit ventilator

(disposable=1, reusable=2).

3. Entry Data/ Memasukkan Data

Memasukkan data yang telah melalui proses editing dan coding

menggunakan komputer, dalam hal ini menggunakan IBM SPSS

88
(International Bussines Machine Statistical Package for the Social

Sciences) versi 21.72

4. Cleaning

Kegiatan pembersihan data, yaitu melihat kembali variabel

apakah data yang diinput sudah benar atau belum.72 Pada penelitian ini

dilakukan data transform dengan melakukan recode into different

variable.

5. Analisis data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis statistik deskriptif dari

variabel penelitian dimana statistik deskriptif digunakan untuk

mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul.70

Analisis univariat mendeskripsikan setiap variabel atau subvariabel

secara terpisah dengan penyajian data melalui tabel, grafik atau

diagram.

Pada penelitian ini data yang di deskripsikan antata lain: usia,

jenis kelamin, diagnosa medis, counfounding variable dan tanda-tanda

CPIS (suhu tubuh, leukosit, sekret trakea, oksigenasi (PaO2/FiO2), dan

foto thorax) pasien yang terpasang ventilator mekanik >72 jam atau

memasuki hari ke 4 pada kelompok SACETT dan OSS-ETT.

Interpretasi pasien terkena VAP ditegakkan jika skor CPIS >6.

89
b. Analisis Bivariat

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis

inferensial. Analisis inferensial atau uji signifikansi ini dilakukan

sesuai dengan tujuan analisis.65 Uji yang digunakan adalah uji beda

yang merupakan uji untuk mengambil kesimpulan apakah kelompok

satu lebih baik dari kelompok lainnya.69 Dalam penelitian ini tujuan

analisis adalah uji komparasi yang membandingkan nilai CPIS setelah

72 jam pemasangan ventilator mekanik pada kelompok SACETT dan

OSS-ETT.

Hasil uji normalitas (Shapiro Wilk) data numerik untuk CPIS

(SACETT=0,006) dan (OSS-ETT=0,124), suhu tubuh (SACETT=0,704)

dan (OSS-ETT =0,842), leukosit (SACETT=0,546) dan (OSS-ETT

=0,228), dan oksigenasi PaO2/FiO2 (SACETT=0,097) dan (OSS-ETT

=0,238). Komponen CPIS (suhu tubuh, leukosit, dan oksigenasi

PaO2/FiO2) pada kelompok SACETT maupun OSS-ETT berdistribusi

normal dengan nilai probabilitas >0.05, maka untuk variabel ini telah

memenuhi syarat uji parametrik. Sedangkan skor CPIS untuk

kelompok SACETT berdistribusi tidak normal (probabilitas <0.05) dan

kelompok OSS-ETT berdistribusi normal (probabilitas >0.05), karena

ada salah satu kelompok yang berdistribusi tidak normal maka tidak

memenuhi syarat uji paramterik. Namun untuk mempertahankan teori

bahwa uji parametrik memiliki kajian dan kemampuan generalisasi

lebih kuat dibandingkan dengan statistik non parametrik serta

90
kemampuan dalam memberikan kesimpulan secara numerik, maka

nilai skewness, kurtosis, dan koefisien varian dipertimbangkan.73 Nilai

descriptives test of normality skor CPIS kelompok SACETT

(skewness=1.452), (kurtosis=1.302), (koefisien varian=27.267), jika

nilai skewness dan kurtosis berada pada nilai -2 sampai 2 dan nilai

koefisien varian <30% maka variabel skor CPIS berdistribusi normal.73

Hasil uji homogenitas untuk data suhu tubuh adalah tidak

homogen dengan nilai probabilitas=0.001, sedangkan untuk data

leukosit dan oksigenasi PaO2/FiO2 adalah homogen dengan nilai

probabilitas=0.619 dan 0.938 (p>0.05). Hasil ini menentukan asumsi

pada uji bivariat menggunakan Independent t-Test bahwa untuk data

tidak homogen, hasil signifikansi yang dilihat pada equal varian not

assumed sedangkan untuk data homogen pada equal varian assumed.

Untuk mengetahui pengaruh lebih lanjut penggunaan SACETT

dan OSS-ETT terhadap VAP dilakukan uji Independent t-Test untuk

variabel: Skor CPIS, suhu tubuh, leukosit dan oksigenasi PaO2/FiO2.

Uji Mann Withney Test untuk data kategorik berskala ordinal (sekret

trakea dan foto torak).73

91
I. Etika Penelitian

Penelitian dengan menggunakan subyek manusia harus

memperhatikan masalah etika dan moral yang meliputi:72, 74-76

1. Informed consent (Lembar Persetujuan)

Lembar persetujuan ini diberikan dan dijelaskan kepada

responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai

judul penelitian serta manfaat penelitian dengan tujuan responden dapat

mengerti maksud dan tujuan penelitian. Bila subyek menolak maka

peneliti tidak memaksa, tetap menghormati hak-hak subyek.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Penelitian ini menjaga kerahasiaan identitas subyek, dimana

peneliti tidak mencantumkan nama subyek pada lembar pengumpulan data

yang diisi subyek, tetapi lembar tersebut hanya diberikan kode tertentu.

3. Confidentiallity (Kerahasiaan)

Kerahasian informasi yang diberikan responden dijamin peneliti,

hanya kelompok tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

4. Nonmaleficience (terhindar dari cedera dan tidak membahayakan)

Sebelum penelitian atau pengambilan data dilakukan, terlebih

dahulu diberikan penjelasan tentang tujuan dan prosedur penelitian serta

diberikan penjelasan kepada responden bahwasanya penelitian ini tidak

membahayakan atau tidak menimbulkan dampak yang merugikan. Selama

penelitian berlangsung, jika responden atau keluarga merasa tidak nyaman

maka dapat mengundurkan diri kapan saja.

92
5. Beneficience (Bermanfaat atau Melakukan yang Baik untuk Kemanusiaan)

Prinsip ini adalah memaksimalkan manfaat dan meminimalkan

kerugian. Peneliti menjelaskan tentang keuntungan apabila responden

berpartisipasi dalam penelitian ini, yaitu dapat mencegah timbulnya infeksi

paru yang diakibatkan oleh pemasangan ventilator mekanik.

6. Autonomy (Kebebasan untuk Diri Sendiri)

Penelitian ini memberikan kebebasan atas hak responden atau

keluarga membuat keputusan sendiri. Dalam hal ini sebelum melakukan

penelitian, peneliti harus meminta persetujuan kepada calon responden

atau keluarga apakah bersedia menjadi responden penelitian dengan

diberikannya informed consent yang mencakup judul penelitian, apa yang

akan dilakukan dalam penelitian, dan output yang diinginkan peneliti

dalam penelitian ini.

7. Justice (Adil dan Tidak Membeda-Bedakan)

Penelitian ini tidak membeda-bedakan responden. Semua

responden mendapatkan perlakuan yang sama sebelum, selama, dan

sesudah penelitian. Semua responden mendapatkan intervensi sesuai

dengan tujuan penelitian. Peneliti juga tidak membeda-bedakan responden

berdasarkan agama, suku dan budaya, serta status sosial ekonomi sehingga

semua responden dalam penelitian ini baik kelompok SACETT maupun

OSS-ETT tetap mendapatkan tindakan yang sama sesuai dengan prosedur

penelitian.

93
Prinsip di atas terlihat dari telah diterbitkannya sertifikat laik etik atau

Ethical Clearence dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Politeknik

Kesehatan Kementerian Kesehatan Semarang nomor: 019/KEPK/Poltekkes-

Smg/EC/2017.

J. Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian terlampir pada lampiran 8.

94
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian yang telah

diperoleh selama pengambilan data yang dilaksanakan sejak Desember 2016

sampai Januari 2017. Dalam kurun waktu tersebut telah diperoleh 30

responden yang terpasang ventilasi mekanik pada tiga rumah sakit yakni 21

pasien di Rumah Sakit Pantiwilasa Citarum dan 9 responden di Rumah Sakit

Roemani Muhammadiyah.

B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Intensive Care Unit (ICU) merupakan unit pelayanan rawat inap di

rumah sakit yang memberikan perawatan khusus dalam mengelola pasien

dengan penyakit, trauma, atau komplikasi yang mengancam jiwa akibat

kegagalan atau disfungsi satu organ atau lebih akibat penyakit, bencana, atau

komplikasi yang masih ada harapan hidup. Ruang ICU memiliki dokter yang

memahami teknologi kedokteran, fisiologi, farmakologi, dan kedokteran

konvenesional dengan kolaborasi erat dengan perawat yang terdidik, terlatih,

dan berpengalaman dalam pengelolaan kondisi kritis.

1. Rumah Sakit Pantiwilasa Citarum

Ruang ICU Rumah Sakit Pantiwilasa Citarum berada satu lantai

dengan Instalasi Bedah Sentral, berjarak satu lantai dengan Instalasi Gawat

Darurat. SDM terdiri dari 3 perawat strata 1 dan 12 diploma 3. Fasilitas

95
yang dimiliki ICU terdiri dari 7 Bed untuk pasien ICU dan 1 Bed untuk

pasien isolasi, dilengkapi dengan 7 Ventilator Mekanik, Bed Adjustable,

dan peralatan intensif yang memadai. Setiap Bed dilengkapi dengan set

untuk haemodialisa.

2. Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah

Ruang ICU Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah memiliki

tenaga keperawatan sebanyak 13 orang, dengan kualifikasi pendidikan

Sarjana Keperawatan dan Diploma 3 Keperawatan. ICU terdiri dari 6 Bed

untuk pasien ICU dan 1 Bed untuk pasien isolasi, dilengkapi dengan 8

Ventilator Mekanik, Bed Adjustable, dan peralatan intensif yang memadai.

Namun setiap Bed belum dilengkapi dengan set untuk haemodialisa.

Kedua Rumah Sakit tersebut adalah tipe C sebagai fasilitas

kesehatan tingkat 2 yang menampung rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1

(Puskesmas atau Poliklinik, dan dokter keluarga). Selain itu, kedua Rumah

Sakit ini memiliki ruang ICU dengan fasilitas yang sama dan memiliki tenaga

keperawatan yang bersertifikasi HIPERCCI)

C. Analisis Univariat

1. Karakteristik Responden

a. Usia

Uji homogenitas dan karakteristik responden berdasarkan usia

pada kelompok SACETT dan OSS-ETT.

96
Tabel 4.1
Uji Homogenitas, distribusi Mean, Median, SD, Min, dan Max
Berdasarkan Usia (n=30).
*
Variabel Kelompok Mean Median SD Min Max p value
Usia SACETT 54.27 55.00 13.237 27 77
0.819
OSS-ETT 52.80 54.00 10.591 30 74
*) Mann Whitney U Test (p<0.05)

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata usia responden pada


kelompok SACETT adalah 54.27 tahun dengan usia maksimal adalah
77 tahun dan minimal adalah 74 tahun. Sedangkan pada kelompok
OSS-ETT dengan rata-rata usia adalah 52.80 tahun, usia maksimal 74
tahun dan minimal 30 tahun. Nilai p=0.5819 pada uji Mann Whitney U
Test menunjukkan data rentang usia responden bersifat homogen.
b. Jenis Kelamin dan Diagnosa Medis
Uji homogenitas dan karakteristik responden berdasarkan jenis
kelamin dalam penggunaan suction above cuff endotracheal tube dan
standard endotracheal tube dalam mencegah ventilator associated
pneumonia.
Tabel 4.2
Uji Homogenitas, Distribusi Frekuensi dan Persentasi Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin dan Diagnosa Medis (n=30).

Kelompok
Total
Variabel Kategori SACETT OSS-ETT p value
f % f % N %
Jenis L 8 26.7 10 33.3 18 60.0 *
0.456
Kelamin P 7 23.3 5 16.7 12 40.0

Diagnosa Saraf 4 13.3 4 13.3 8 26.7


Medis Kardio 4 13.3 8 26.7 12 40.0
**
Digestif 2 6.70 0 0.00 2 6.70 0.660
Imun 2 6.70 2 6.70 4 13.3
Urinaria 3 10.0 1 3.30 4 13.3
*) Chi Square Test (p<0.05) **) Kolmogorov Smirnov (p<0.05)

97
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa frekuensi dan persentasi jenis

kelamin responden terbanyak yaitu 18 (60%) responden laki-laki

dimana 8 (26.7%) responden pada kelompok SACETT dan 10 (33.3%)

pada kelompok OSS-ETT. Sedangkan jenis kelamin perempuan

sebanyak 12 (40%) dimana 7 (23.3%) pada kelompok SACETT dan 5

(16.7%) pada kelompok OSS-ETT. Nilai p=0.456 pada uji Chi Square

Test menunjukkan bahwa data jenis kelamin bersifat homogen.

Distribusi frekuensi dan persentasi karakteristik responden

berdasarkan diagnosa medis menunjukkan bahwa frekuensi dan

persentasi diagnosa medis yang terbagi per sistem dengan frekuensi

terbanyak adalah penyakit sistem kardiovaskular sebanyak 12 (40%)

dimana 4 (13.3%) responden pada kelompok SACETT dan 8 (26.7%)

responden pada kelompok OSS-ETT. Sedangkan frekuensi terendah

adalah penyakit sistem digestif sebanyak 2 (6.70%) responden. Nilai

p=0.730 atau p>0.05 pada uji Kolmogorov Smirnov Test menunjukkan

bahwa data diagnosa medis responden bersifat homogen.

c. Counfounding variable

Beberapa variabel perancu yang dapat mempengaruhi

keefektifan intervensi dalam mencegah VAP antara lain: jenis

antibiotik, posisi kepala, pemenuhan kebutuhan nutrisi, dan

manajemen sirkuit ventilator. Uji homogenitas dilakukan untuk

mengontrol pengaruh dari counfounding variable terhadap variabel

dependen.

98
Tabel 4.3
Uji Homogenitas, Distribusi Frekuensi dan Persentasi Responden
Berdasarkan Counfounding Variable (n=30).

Kelompok
Total p
Variabel Kategori SACETT OSS-ETT value
f % f % N %
Antibiotik Karbapenem 4 13.3 2 6.7 6 20.0
Sefalosporin 5 16.7 4 13.3 9 30.0 *
0.425
Kinolon 2 6.7 5 16.7 7 23.3
Nitroimidazole 4 13.3 4 13.3 8 26.7

Posisi 30o 7 23.3 8 26.7 15 50.0 *


1.000
Kepala 45o 8 26.7 7 23.3 15 50.0

Jumlah 600 cc 4 13.3 4 13.3 8 26.7


*
diit 800 cc 11 36.7 8 26.7 19 63.3 0.438
1000 cc 0 0.00 3 10.0 3 10.0

Jenis Disposable 8 26.7 8 26.7 16 53.3 *


1.000
Sirkuit Reusable 7 23.3 7 23.3 14 46.7
*) Levene Test (p>0.05)

Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik

paling banyak adalah golongan Sefalosporin (30.0%), posisi kepala

rata-rata adalah 30-45o (50.0%), diit (sonde) dengan frekuensi paling

tinggi diberikan sebanyak 800 cc (63.3%), penggunaan sirkuit dengan

frekuensi paling tinggi adalah sirkuit jenis disposable sebanyak 53.3%.

Hasil uji Levene Test menunjukkan nilai probabilitas untuk

variabel antibiotik (p=0.425), posisi kepala (p=1.000), jumlah diit

(p=0.438), jenis sirkuit (p=1.000). hal ini menunjukkan bahwa semua

variabel perancu dapat dikontrol.

99
d. Gambaran Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)

Distribusi frekuensi dan persentasi kejadian VAP dalam

penggunaan SACETT dan OSS-ETT dengan CPIS sebagai acuan dan

tolok ukur kejadian.

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi dan Persentasi Kejadian VAP pada Pasien
dengan Ventilator Mekanik di Ruang ICU (n=30)

Kelompok
Total
Variabel Kategori SACETT OSS-ETT
f % f % N %
Tidak VAP 15 50,0 11 36,7 26 86,7
Kejadian VAP
VAP 0 0,00 4 13,3 4 13,3
Total 15 50 15 50 30 100

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa tidak ditemukan kejadian VAP

pada kelompok SACETT sedangkan pada kelompok OSS-ETT terdapat

13.3% responden yang mengalami VAP.

Distribusi frekuensi, persentasi, mean dan standar deviasi

komponen Clinical Pulmonary Infection Score dalam penggunaan

SACETT dan OSS-ETT dalam mencegah VAP yang meliputi suhu

tubuh, leukosit, sekret trakea, PaO2/FiO2, dan foto torak.

Tabel 4.5
Dsitribusi Frekuensi, Mean dan SD CPIS pada Pasien
dengan Ventilator Mekanik diruang ICU (n=30)

Frekuensi
Variabel Kelompok Rentang Mean + SD
f %
< 36.5 0 0.00
SACETT 36.5 – 37.5 5 16.7 37.69 + 0.421
Suhu > 37.5 10 33.3
Tubuh < 36.5 4 13.3
OSS-ETT 36.5 – 37.5 3 10.0 38.20 + 1.946
> 37.5 8 26.7

100
Tabel 4.5 Lanjutan...

Frekuensi
Variabel Kelompok Rentang Mean + SD
f %
< 5000 0 0.00
SACETT 5000 – 10000 13 43.3 8193.33 + 1402.404
> 10000 2 6.70
Leukosit
< 5000 0 0.00
OSS-ETT 5000 – 10000 9 30.0 9920.00 + 1709.302
> 10000 6 20.0
Tidak ada 8 26.7
SACETT Ada/tidak purulent 7 23.3 -
Purulent 0 0.00
Sekret
Tidak ada 4 13.3
OSS-ETT Ada/tidak purulent 11 36.7 -
Purulent 0 0.00
> 240, ARDS 1 3.30
SACETT 125.68 + 61.432
< 240, tidak ARDS 14 46.7
PaO2/FiO2
> 240, ARDS 5 16.7
OSS-ETT 187.60 + 66.148
< 240, tidak ARDS 10 33.3
Tidak Infiltrat 5 16.7
SACETT Infiltrat difus 10 33.3 -
Foto Infiltrat terlokalisir 0 0.00
Torak Tidak Infiltrat 3 10.0
OSS-ETT Infiltrat difus 12 40.0 -
Infiltrat terlokalisir 0 0.00

Pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa gambaran CPIS pada

komponen suhu tubuh baik pada kelompok SACETT dan OSS-ETT yang

terbanyak pada suhu tubuh>37.5 oC masing-masing sebanyak 10 (33.3%) dan

8 (26.7%). Sedangkan yang terendah pada kelompok SACETT pada suhu tubuh <

36.5 oC dan sebanyak 3 (10%) responden pada kelompok OSS-ETT dengan suhu

36.5 – 37.5 oC.

Komponen sekret trakea kelompok SACETT yang terbanyak pada

kategori tidak ada sekret sebanyak 8 (26.7%) dan sedangkan pada kelompok

101
OSS-ETT yang terbanyak pada kategori ada/tidak purulent sebanyak 11

(36.7%) dan tidak ada responden pada kedua kelompok dengan kategori purulent.

Komponen leukosit pada kelompok SACETT yang terbanyak pada

rentang 5000-10000 sebanyak 13 (43.3%) dan sebanyak 2 (6.70%)

responden pada rentang >10000, sedangkan pada kelompok OSS-ETT yang

terbanyak pada rentang 5000-10000 sebanyak 9 (30.0%) dan sebanyak 6

(20.0%) responden dengan leukosit >10000.

Komponen PaO2/FiO2 kelompok SACETT yang terbanyak pada

kategori <240 sebanyak 14 (46.7%) dan terendah pada kategori >240

sebanyak 1 (3.30%), sedangkan pada kelompok OSS-ETT yang terbanyak

pada kategori <240 sebanyak 10 (33.3%) dan terendah pada kategori >240

sebanyak 5 (16.7%).

Komponen foto thorax kelompok SACETT yang terbanyak pada

kategori infiltrat difus sebanyak 10 (33.3%) dan terendah pada kategori

tidak infiltrat sebanyak 5 (16.7%), sedangkan pada kelompok OSS-ETT

yang terbanyak pada kategori infiltrat difus sebanyak 12 (40.0%), terendah

padakategori tidak infiltrat sebanyak 3 (10.0%) dan tidak ada responden

dengan infiltrat terlokalisir pada kedua kelompok penelitian.

D. Analisis Bivariat

1. Kejadian VAP

Efektifitas penggunaan SACETT dan OSS-ETT dalam mencegah

VAP dapat diketahui dengan analisis bivariat menggunakan uji t-Test

dengan menyajikan Mean dan standard deviation (SD) serta

102
signifikansinya untuk mengetahui perbedaan kejadian VAP pada

penggunaan SACETT dan OSS-ETT.

Tabel 4.6
Efektifitas Penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap kejadian
VAP (n=30)

Kelompok
*
Variabel SACETT OSS-ETT p value
Mean + SD Mean + SD
CPIS 2.93 + 0.799 5.07 + 1.668 0.001
*) Independent t-Test (p <0.05)

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa uji Independent t-Test dengan nilai

signifikansi p=0.001 yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara

penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap kejadian Ventilator

Associated Pneumonia pada pasien terpasang ventilator mekanik dengan

mengacu pada Clinical Pulmonary Infection Score dimana kelompok

SACETT dengan mean=2.93 (SD=0.799) lebih kecil dibandingkan

kelompk OSS-ETT dengan mean=5.07 (SD =1.668). Dapat disimpulkan

bahwa nilai CPIS lebih baik pada penggunaan SACETT daripada SETT.

2. Komponen Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)

Efektifitas penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap suhu

tubuh, leukosit, dan PaO2/FiO2 pasien terpasang ventilator mekanik

sebagai salah satu indikator terjadinya VAP dapat diketahui dengan

melakukan uji analisis bivariat menggunakan Independent t-Test.

103
Tabel 4.7
Efektifitas penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap Suhu
Tubuh, Leukosit, dan Oksigenasi Pasien Terpasang Ventilator (n=30)

Kelompok
*
Variabel SACETT OSS-ETT p value
Mean + SD Mean + SD
Suhu Tubuh 37.69 + 0.421 38.20 + 1.946 0.334
Leukosit 8193.33 + 1402.404 9920.00 + 1709.302 0.005
PaO2/FiO2 125.68 + 61.432 187.60 + 66.148 0.013
*) Independent t-Test (p <0.05)

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa uji Independent t-Test pada suhu

tubuh menunjukkan nilai signifikansi p=0.334 yang berarti bahwa tidak

ada perbedaan antara penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap suhu

tubuh pada pasien terpasang ventilator mekanik, tetapi pada kelompok

SACETT dengan nilai rata-rata=37.69 (SD=0.421) lebih baik dalam

menurunkan suhu tubuh dibandingkan OSS-ETT dengan nilai rata-

rata=38.20 (SD=1.946).

Hasil uji Independent t-Test pada leukosit dan PaO2/FiO2

menunjukkan nilai signifikansi p=0.005 dan p=0.013 yang berarti bahwa

ada perbedaan penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap leukosit dan

PaO2/FiO2 pada pasien terpasang ventilator mekanik dimana SACETT

dengan nilai rata-rata=8193.33 (SD=1402.404) lebih baik dalam

menurunkan nilai leukosit dibandingkan OSS-ETT dengan nilai rata-

rata=9920.00 (SD=1709.302).

Sama halnya dengan PaO2/FiO2 dimana pada kelompok SACETT

dengan nilai rata-rata=125.68 (SD=61.432) lebih baik dalam

104
meminimalisir risiko ARDS dibandingkan OSS-ETT dengan nilai rata-

rata=187.60 (SD=66.148).

Tabel 4.8
Efektifitas SACETT dan OSS-ETT terhadap Sekret Trakea
dan Foto thorax Pasien Terpasang Ventilator (n=30)

Kelompok *
p value
Variabel SACETT OSS-ETT
Mean + SD Mean + SD
Sekret Trakea 0.47 + 0.516 0.73 + 0.458 0.143
Foto thorax 0.67 + 0.488 0.80 + 0.414 0.417
*) Mann Withney U Test (p <0.05)

Tabel 4.8 menunjukkan uji Mann Withney U Test pada variabel

sekret trakea dan foto thorax masing-masing menunjukkan nilai

signifikansi p=0.143 dan p=0.417 yang berarti tidak terdapat perbedaan

antara penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap sekret trakea dan foto

thorax. Pada variabel sekret trakea, mean kelompok SACETT=0.47

(SD=0.516) lebih kecil dibandingkan mean kelompok OSS-ETT=0.73

(SD=0.458) yang artinya kondisi sekret trakea lebih baik pada penggunaan

SACETT daripada OSS-ETT. Pada variabel foto thorax, mean kelompok

SACETT=0.67 (standar deviasi=0.488) lebih kecil daripada mean

kelompok OSS-ETT=0.80 (SD=0.414) yang artinya gambaran foto thorax

pasien ventilator mekanik lebih baik pada penggunaan SACETT daripada

OSS-ETT.

105
Tabel 4.9
Effect Size SACETT dan OSS-ETT dalam Mencegah VAP
pada Pasien Terpasang Ventilator (n=30)

Variabel Sampel Mean + SD Cohen’s d Effect


SACETT 15 5.07 + 0.799
1.688
OSS-ETT 15 2.93 + 1.668

Tabel 4.9 menunjukkan besar effect size dari penelitian ini

ditandai dengan nilai Cohen’s d Effect untuk independent t-Test=1.688 dimana

nilai tersebut dikategorikan sangat kuat. Hasil effect size tersebut didapatkan

dengan mengkalkulasikan mean + SD kelompok SACETT dan OSS-ETT dan

jumlah sampel masing-masing kelompok menggunakan formula Effect Size

Calculator for t-Test.

106
BAB V

PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan pembahasan insiden VAP, faktor-faktor yang

mempengaruhi VAP, indikator VAP serta efektifitas penggunaan antara SACETT

dan OSS-ETT terhadap kejadian VAP, dalam perawatan pasien ventilator mekanik.

Hasil penelitian telah dilaksanakan sesuai dengan alur kerangka konsep dengan

menghubungkan antara literatur-literatur yang terkait dan penelitian yang telah

ada sebelumnya.

A. Karakteristik Responden

1. Usia

Usia rata-rata responden dalam penelitian ini adalah 54.27 tahun

pada kelompok SACETT dan 52.80 pada kelompok SETT, dimana rentang

usia 46-65 tahun dikategorikan sebagai lansia.77 Hal ini sesuai dengan

penelitian oleh Saragih 2014 dengan responden terbanyak pada usia di

bawah 60 tahun.9 Hal yang sama pada penelitian oleh Ledgerwood

mengenai penggunaan suction above cuff tracheotomy dalam menurunkan

rerata kejadian VAP di ruang ICU dengan responden terbanyak pada

rentang 43-55 tahun.18 Penelitian oleh Mahmoodpoor yang

membandingkan polyurethane dan polyvinyl cuff pada VAP dengan

responden terbanyak rata-rata berusia 54 tahun.78 Penelitian oleh Dewi

tentang hubungan usia penerita VAP dengan lama rawat inap di ICU,

107
bahwa usia rata-rata responden terpasang ventilator mekanik adalah 49

tahun.79

Faktor risiko yang dapat memicu terjadinya VAP antara lain: usia

lebih dari 60 tahun, derajat keparahan penyakit, penyakit paru akut atau

kronik, sedasi yang berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar yang berat.41

Boumendil menyebutkan bahwa usia dan derajat keperahan penyakit

merupakan dua faktor utama yang berperan dalam hasil rawat pasien di

ICU, akan tetapi hubungan ini dapat dipengaruhi gangguan fisiologis akut,

perubahan fisiologis seiring bertambah usia, dan perbedaan penanganan di

masing-masing ICU.80

2. Jenis Kelamin

Frekuensi jenis kelamin responden terbanyak adalah jenis kelamin

Laki-laki. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian oleh Ledgerwood dengan

61 % responden berjenis kelamin perempuan. Serupa dengan Yagmurdur

dalam penelitiannya dengan responden perempuan sebanyak 57%.18, 81

Pasien sakit kritis di ruang ICU pada dasarnya tidak selalu di dominasi oleh

satu jenis kelamin apakah laki-laki atau perempuan. Selama penelitian

berlangsung, peneliti menemukan lebih banyak pasien laki-laki dirawat di

ICU dengan indikasi pemasangan ventilator mekanik.

3. Diagnosa Medis

Frekuensi diagnosa medis responden terbanyak adalah penyakit

pada sistem kardiovaskular kemudian diikuti penyakit pada sistem saraf.

Penelitian oleh The Canadian Critical Care Trials Group mengemukakan

108
bahwa responden dengan ventilator mekanik terbanyak pada penyakit

trauma, kemudian penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan, dan

penyakit saraf.82 Penelitian oleh Harde dkk bahwa pasien terpasang

ventilator terbanyak adalah pada penyakit sistem kardiovaskular.83

Hal yang sama dikemukakan oleh Saragih, dkk bahwa responden

terbanyak adalah responden dengan penyakit sistem kardiovaskular.9

Kondisi pada sistem kardiovaskular erat kaitannya dengan sistem

pernapasan sehingga ketika terjadi gangguan pada jantung maka akan

mempengaruhi fungsi sistem pernapasan. Saat jantung tidak mampu

memompa darah dalam jumlah cukup untuk menjaga kelancaran sirkulasi,

akibatnya akan terjadi penumpukan darah dan tekanan ekstra yang

menyebabkan cairan terakumulasi ke dalam paru-paru. Ketika paru-paru

sudah kehilangan fungsi, maka memerlukan alat bantu napas seperti

ventilator mekanik.34 Pemakaian ventilator mekanik menjadi faktor risiko

dalam terjadinya pneumonia oleh karena saluran napas atas terintubasi

sehingga bisa menjadi jalan masuk kuman yang ada pada rongga mulut jika

tidak terjaga kebersihannya.

4. Penggunaan Antibiotik

Penggunaan antibiotik yang terbanyak dalam penelitian ini adalah

golongan sefalosporin (30.0%). Sefalosporin merupakan antibiotik yang

mampu melewati hambatan penisilinase, obat ini merupakan sediaan

semisintesis dari jamur Chepalosporium Acremonium yang efektif untuk

kuman gram positif dan negatif.84 Penggunaan antibiotik golongan

109
sefalosporin dalam penelitian ini untuk profilaksis dalam mencegah infeksi

parenkim paru akibat pemasangan ventilator terintubasi.

Sesuai dengan penelitian oleh Fauziyah dkk bahwa 60%

penggunaan antibiotik menggunakan golongan sefalosporin. Hal ini

dikarenakan bahwa sebagian besar responden dengan ekonomi rendah yaitu

pasien dengan jaminan kesehatan. Faktor lain yang mendukung tingginya

penggunaan antibiotik golongan sefalosporin adalah cara pemberian yang

sangat mudah, satu kali sehari dalam infus atau bolus.85

5. Posisi Kepala

Responden dalam penelitian ini dalam pengaturan posisi head up

50% dengan sudut 30o dan 50% dengan sudut 45o. Posisi head up pada

pasien terpasang ventilator sangat penting untuk mencegah aspirasi pada

saluran orofaringeal. Penelitian oleh Alexiou dkk mengemukakan bahwa

elevasi back-rest 15-30o tidak cukup untuk mencegah terjadinya VAP

sedangkan pasien dengan posisi elevasi 45o semirecumbent memiliki

insiden yang rendah secara signifikan dalam kejadian VAP.86

6. Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi

Pemberian nutrisi enteral dalam penelitian ini dengan volume

terbanyak adalah 800 cc/24 jam (63.3%). Pasien dengan pemasangan

ventilator mekanik terintubasi harus dikontrol dalam volume nutrisi enteral

yang diberikan untuk meminimalisir volume residu untuk mencegah

aspirasi dari saluran orodigestif.

110
Sesuai dengan penelitian oleh Poulard dkk bahwa batas toleransi

pasien ventilator mekanik terintubasi dalam pemberian nutrisi enteral tidak

lebih dari 250 cc/6 jam (tidak lebih dari 1000 cc/24 jam). Hal ini

dikarenakan jika pemberian nutrisi di atas volume yang dapat ditoleransi

pasien maka akan meningkatkan kemungkinan muntah dan risiko aspirasi

pada pasien yang juga akan meningkatkan risiko terjadinya VAP.87

7. Manajemen Sirkuit Ventilator

Penggunaan sirkuit disposable dalam penelitian ini lebih banyak

dibandingkan penggunaan sirkuit reusable, yakni 53,3% berbanding

46,7%. Selama penelitian berlangsung pasien pasien ventilator mekanik

terintubasi lebih banyak menggunakan sirkuit disposable dengan tujuan

menjaga sterilitas oksigen dan udara yang masuk ke dalam paru-paru

selama penggunaan ventilator mekanik guna mencegah terjadinya VAP.

B. Kejadian VAP

Kejadian VAP ditemukan sebanyak 4 (13.3%) pada kelompok OSS-

ETT dan tidak ditemukan VAP pada kelompok SACETT. Sesuai dengan

penelitian oleh Jena dkk yang mengemukakan bahwa insiden VAP secara

mikrobiologi lebih banyak ditemukan pada kelompok dengan standard ETT.19

Sama halnya dengan penelitian oleh Ledgerwood dkk dengan hasil bahwa

kejadian VAP pada penggunaan suction above cuff lebih rendah dibanding

penggunaan tube standar.18

Hal ini terjadi karena pada penelitian ini penggunaan model ETT

dengan port suction di atas balon cuff dapat mengontrol sekresi oral pada

111
pasien terpasang ventilator mekanik untuk tidak masuk ke dalam paru-paru,

berbeda dengan penggunaan ETT standar yang menggunakan kateter open

suction untuk mengontrol sekresi di dalam rongga mulut tetapi tidak mampu

menjangkau pada rongga napas bagian atas untuk mencegah sekret masuk ke

dalam paru-paru sehingga dapat terjadi mikroaspirasi ke dalam jaringan paru.

C. Komponen CPIS

1. Suhu Tubuh

Gambaran frekuensi suhu tubuh responden pada kelompok

SACETT dan kelompok OSS-ETT paling banyak pada rentang >37.5 oC.

Penelitian oleh Luyt dkk, menemukan bahwa rata-rata suhu tubuh


o
responden dalam rentang 38.8-38.9 C.26 Sedangkan Jung dkk

mengemukakan bahwa rata-rata suhu tubuh responden berada ada nilai 37.8
o
C.88 Nilai suhu tubuh dalam penelitian ini tidak memiliki relasi dengan

nilai leukosit seperti yang dikemukakan dalam teori bahwa peningkatan

leukosit dimanifestasikan dengan peningkatan suhu tubuh dan sebaliknya

penurunan leukosit dimanifestasikan dengan penurunan suhu tubuh kecuali

pada pasien demam berdarah dengue (DBD). Penelitian ini tidak sesuai

dengan penelitian oleh Polapa dkk yang mengemukakan bahwa suhu tubuh

dan respon inflamasi memiliki korelasi yang kuat antara satu sama lain.89

Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu tubuh antara lain:

kecepatan metabolisme basal, rangsangan saraf simpatis, kondisi

peradangan atau inflamasi, kondisi lingkungan di dalam ruang perawatan

ICU yang dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut tidak semua di analisa.

112
Pada penelitian ini pengukuran suhu tubuh dilakukan baik pada pagi, siang,

atau malam hari dimana fase diurnal dan nokturnal bisa mempengaruhi

subu tubuh. Kondisi suhu tubuh responden yang berada >37.5 oC memiliki

korelasi dengan peningkatan nilai leukosit yang menggambarkan terjadinya

proses peradangan atau inflamasi.

2. Leukosit

Gambaran frekuensi leukosit responden pada kelompok SACETT

dan OSS-ETT lebih banyak berada pada rentang 5000-10000. Namun pada

kelompok OSS-ETT terdapat lebih banyak responden dengan leukosit

berada pada rentang >10000 dibanding kelompok SACETT. Penelitian oleh

Luyt dkk menemukan bahwa rata-rata nilai leukosit responden berada pada

14000, sesuai dengan penelitian oleh Jung, dkk yang mengemukakan

bahwa nilai leukosit responden paling banyak pada rentang

<4000/>11000.26, 88

Pada kelompok yang terintubasi menggunakan SACETT

ditemukan 2 (6.70%) responden dengan nilai leukosit berada >10000

sedangkan pada kelompok SACETT terdapat 6 (20%) responden, hal ini

terjadi karena SACETT di desain untuk meminimalisir mikroaspirasi dari

rongga mulut ke dalam paru-paru sehingga risiko infkesi paru atau

pneumonia dapat dihindari mesikpun banyak faktor lain yang

mempengaruhi seperti posisi head up 45o dan pengaturan diit yang tepat

telah menjadi prosedur tetap perawatan pasien terpasang ventilator mekanik

di ruang ICU.

113
Intubasi menggunakan ETT standar tidak dapat meminimalisir

risiko mikroaspirasi, ketika terdapat cairan atau sekret pada rongga mulut

yang masuk ke dalam saluran pernapasan atas maka saat dilakukan suction,

kateter suction tidak dapat menjangkau sampai sub glotis sehingga ada

kemungkinan terjadi aspirasi dan didukung oleh pressure balon cuff yang

tidak dilakukan kontrol rutin.

3. Sekret Trakea

Frekuensi sekret trakea pada kelompok SACETT paling banyak

dengan kategori tidak ada sekret sedangkan pada kelompok OSS-ETT

paling banyak pada kategori ada sekret tapi tidak purulent. Hal ini tidak

sesuai dengan penelitian oleh Luyt dkk yang mengemukakan bahwa rata-

rata ditemukan sekret purulent pada responden, sesuai dengan penelitian

oleh Jung dkk dimana rata-rata ditemukan sekret purulent.26, 88

Pada penelitian ini tidak ditemukan pasien dengan sekret purulent

oleh sebab screening yang dilakukan di awal bahwa yang menjadi

responden penelitian adalah pasien dengan tidak ada riwayat penyakit paru

sebelumnya. Perawatan oral hygiene dengan menggunakan Chlorhexidine

0.2% yang dilakukan sebanyak 2 kali sehari pada responden terpasang

ventilator mekanik dapat menjaga kebersihan rongga napas bagian atas

pasien sehingga meminimalisir perkembang biakan kuman patogen di

dalamnya.

114
4. PaO2/FiO2

Gambaran frekuensi PaO2/FiO2 paling banyak baik pada

kelompok SACETT maupun kelompok OSS-ETT berada pada kategori

<240 dan tidak ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) dan terendah

pada kategori >240 atau ARDS. Penelitian oleh Luyt dkk mengemukakan

hal yang sama bahwa responden memiliki nilai PaO2/FiO2 rata-rata di

bawah 240 mmHg.26 Gejala ARDS tidak muncul hingga 72 jam setelah

cedera awal sehingga asosiasi dengan penyebabnya tidak jelas, misalnya

cedera langsung oleh karena aspirasi, infeksi paru (bakteri, virus, jamur,

atau mikobakterium).2

Pada penelitian ini pengukuran dilakukan saat responden

terpasang ventilator mekanik memasuki 72 jam dan tidak dilakukan

pemeriksaan kultur untuk memastikan agen penyebab infeksi secara pasti

sehingga sesuai dengan teori bahwa hubungan antara kondisi ARDS dengan

penyebab infeksi dalam waktu tersebut belum bisa terdeteksi.

5. Foto Thorax

Gambaran frekuensi foto thorax paling banyak baik pada

kelompok SACETT maupun Kelompok OSS-ETT berada pada kategori

infiltrat difus. Penelitian oleh Luyt dkk juga mengemukakan bahwa rata-

rata terdapat infiltrat baru pada responden, sedangkan Jung dkk dalam

penelitiannya mengemukakan bahwa responden dengan infiltrat difus dan

infiltrat terlokalisir sama banyak.26, 88

115
Penilaian foto thorax dengan bayangan retikular/intersitisial

seperti pada gambaran infiltrat difus atau menyebar menandakan belum

terjadinya penebalan pada lapang paru yang terlokalisir atau kondisi

pneumonia, hal ini sesuai dengan proporsi kejadian VAP pada penelitian ini

yang sedikit.90

Penelitian oleh Wang dkk mengemukakan bahwa foto thorax

memiliki kekurangan dalam mendiagnosis konsolidasi paru karena

perubahan gambaran radiografik dapat dipengaruhi oleh Positive End

Expiratory Pressure (PEEP) dan Fraction of Inspire Oxygen (FiO2) pada

penggunaan ventilator mekanik. Penggunaan Lung Ultra Sound (LUS)

lebih dianjurkan dalam mendeteksi konsolidasi pada paru-paru dalam

mendiagnosis VAP, sama halnya ketika LUS digunakan dalam mendeteksi

efusi pleura.91

D. Penggunaan SACETT dan OSS-ETT Tube dalam Mencegah Kejadian VAP

Berdasarkan penelitian, tidak ada kejadian VAP dari 15 responden

yang menggunakan atau terpasang ETT dengan suction above cuff sedangkan

pada responden yang terpasang standard endotracheal tube terdapat 4 (13,3 %)

pasien yang terkena VAP pada hari ketiga selama perawatan diruang ICU.

Analisis komparatif dilakukan pada skor CPIS sebagai tolok ukur insidensi

VAP dengan grouping variable SACETT dan OSS-ETT dimana didapatkan

perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Hasil penelitian ini bertolak

belakang dengan penelitian oleh Jena dkk dimana tidak ada perbedaan

signifikan pada insiden klinis dan mikrobiologikal VAP antara penggunaan

116
SACETT dan OSS-ETT dengan kesimpulan bahwa strategi lain untuk

pencegahan VAP adalah sama.19

Hal berbeda dikemukakan oleh Mao dkk dalam penelitiannya bahwa

subglottic secretion suction mengurangi insiden VAP dan durasi penggunaan

ventilator mekanik serta menunda onset terjadinya VAP.92 Studi lain untuk

perbandingan kejadian VAP menggunakan endotracheal tube dengan

polyurethane cuff and subglottic secretion drainage (ETT-PUC-SSD) dan

endotracheal tube conventional oleh Lorente dkk menemukan penurunan

insiden kejadian VAP baik early onset ataupun late onset pada pasien yang

dirawat menggunakan ETT-PUC-SSD.17

Agen mikroba yang menyebabkan pneumonia memiliki tiga bentuk

transmisi primer antara lain: (1) aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme

patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, (2) inhalasi aerosol yang

infeksius, dan (3) penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Cara

tersering adalah aspirasi dan inhalasi agen infeksius. Kolonisasi

mikroorganisme pada orofaring sering dijumpai dalam waktu 48 jam setelah di

rawat, sekret orofaringeal mengarah kepada konsekuensi yang patologis

dimana pada orang normal terjadi aspirasi sedikit sekret orofaringeal selama

tidur dan akan menjadi lebih buruk ketika kebersihan gigi dan rongga mulut

yang tidak bagus.93 Mekanisme suction pada subglottic secretion drainage

mampu menurunkan kejadian VAP dengan mekanisme aspirasi sekret secara

continuou untuk mecegah mikroaspirasi dari saluran napas atas ke dalam paru

117
dan meminimalkan injuri pada mukosa trakea sehingga menghindari adanya

kolonisasi mikroorganisme.17

Penelitian ini memiliki effect size sebesar 1.688 dengan kategori

sangat kuat, dimana pada penelitian terkait sebelumnya memiliki effect size di

bawah dari penelitian ini seperti yang tertera pada BAB II. Artinya bahwa

penelitian ini mampu memberikan efek lebih baik terhadap kejadian VAP

dengan letak perbedaan pada kombinasi penggunaan SACETT dan oral hygiene

menggunakan Chlorhexidine 0.2%.

E. Open Suction dan Chlorhexidine dalam Mencegah Kejadian VAP

Pada penelitian ini dilakukan tindakan oral hygiene menggunakan

Chlorhexidine dengan frekuensi 2 (dua) kali per hari dengan open suction sama

baiknya dengan penggunaan Chlorhexidine pada closed suction selama masa

intubasi dan pemasangan ventilator mekanik di ruang ICU, hal ini sesuai hasil

penelitian Supriandi penggunaan tehnik suction terbuka dan tertutup sama

baiknya pada hari ketiga dan hari ketujuh (ekstubasi) pada pasien terpasang

ventilator mekanik.3

Fatin dkk mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan penggunaan close

suction system (CSS) dan open suction system (OSS) dalam pencegahan infeksi

nosokomial VAP pada pasien terpasang ventilator.94 Sedangkan menurut

Yusnita dkk, penggunaan clorhedixine 0.2% pada OSS dan CSS sama baiknya

pada pasien terpasang ventilator.95 Menurut Tantipong H dkk yang mengatakan

bahwa clorhedixine 0.2% merupakan antiseptik yang efektif untuk menurunkan

insiden VAP dibandingkan dengan penggunaan NaCL 0.9%. Dari hasil tersebut

118
dapat disimpulkan bahwa penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian

tersebut.96

Dewi yang melakukan penelitian mengenai VAP di RSUP Dr. Kariadi

Jawa Tengah mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi antara

lain: Usia 40 tahun, FiO2 297,5 (ARDS), suhu badan 41.1oc, leukosit 12400 per

mm3, skret ada, tapi tidak purulent, pasien kondisi tidak sadar dengan diagnosa

medis stroke hemoragic. Faktor-faktor tersebut sesuai dengan penelitian

sebelumnya, yakni ada kesamaan faktor-faktor penyebab VAP seperti ARDS,

pasien koma atau penurunan kesadaran, gagal organ, keparahan penyakit, ada

skret trakea. Faktor penyebab VAP yang berbeda seperti responden ini berusia

40 tahun, tetapi pasien yang memiliki usia >60 tahun.79 Kollef mengemukakan

bahwa faktor-faktor risiko lain yang mempengaruhi terjadinya VAP meliputi:

Albumin serum <2,2 g/dl, Usia ≥60 tahun, luka bakar dan trauma, aspirasi

volume lambung, pertumbuhan pH lambung, dan Sinusitis.97

F. Penggunaan SACETT dan OSS-ETT serta Chlorhexidine dalam

Mempengaruhi Komponen CPIS

Analisis pada variabel dependen dengan skala numerik yakni suhu

tubuh, leukosit, dan nilai PaO2/FiO2 didapatkan hasil bahwa tidak ada

perbedaan pada penggunaan SACETT dan OSS-ETT terhadap nilai suhu tubuh

(p=0.334), sedangkan pada nilai leukosit dan nilai PaO2/FiO2 ditemukan

adanya perbedaan bermakna (p=0.005) dan (p=0.013).

Suhu tubuh yang tinggi memiliki korelasi satu arah dengan kondisi

inflamasi walaupun banyak kondisi yang menjadi faktor risiko. Mekanisme

119
peningkatan suhu diakibatkan oleh penetapan ulang (resetting) “termostat”

hipotalamus dimana tubuh dianggap dapat bekerja pada suhu yang lebih tinggi

dan masih dapat di kontrol. Peningkatan suhu tubuh dalam keadaan inflamasi

menjadi sebuah keuntungan karena respon imun tubuh lebih efektif dalam

kondisi tersebut namun tentunya akan menguras energi sehingga perlu dijaga

dalam rentang normal.98

Guervilly dkk dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat

hubungan antara nilai PaO2/FiO2 dengan nilai leukosit pada pasien terpasang

ventilator dimana responden dengan nilai PaO2/FiO2 >240 mmHg atau ARDS

ditemukan peningkatan nilai leukosit pada hari pertama dan ketiga.99

Jika dilihat mean + SD antara SACETT dan OSS-ETT dalam

mempengaruhi nilai PaO2/FiO2 dan nilai leukosit yang mana perbandingannya

adalah 125.68 + 61.432 berbanding 187.60 + 66.148 dan 8193.33 + 1402.404

berbanding 9920.00 + 1709.302, maka hal ini sesuai dengan penelitian dan

teori tersebut, bahwa terdapat korelasi satu arah antara nilai FiO2 yang tinggi

dengan peningkatan nilai leukosit.

Kondisi PaO2/FiO2 >240 (ARDS) merupakan terbentuknya cairan di

dalam paru-paru (intersitisium) dan alveolus, yang mana terjadi pengerasan dan

akan merusak kemampuan paru-paru untuk membawa udara masuk dan keluar

atau mengganggu proses ventilasi sebagai respon inflamasi di dalam jaringan

paru. Hal ini menjadi bias untuk manifestasi dari keadaan pneumonia.100

Analisis pada variabel dependen dengan skala kategorik yakni sekret

trakea dan foto thorax dimana tidak terdapat perbedaan antara penggunaan

120
SACETT dan OSS-ETT terhadap sekret trakea (p=0.143) dan foto thorax

(p=0.417). Tetapi dengan membandingkan mean+SD dapat disimpulkan

bahwa kondisi sekret trakea lebih baik pada penggunaan SACETT daripada

OSS-ETT (0.47+0.516) berbanding (0.73+0.458). Begitu juga gambaran foto

thorax pasien ventilator mekanik lebih baik pada penggunaan SACETT

daripada OSS-ETT (0.67+0.488) berbanding (0.80+0.414). Penelitian oleh

Kartinawati yang membandingkan gambaran foto thorax setelah 48 jam antara

penggunaan Chlorhexidine dan Povidone Iodine sebagai oral hygiene pada

pasien terpasang ventilator menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan

gambaran foto thorax sebelum perlakuan dan setelah 48 jam diberikan

perlakuan (p=0.200).101

Penelitian ini selain bertujuan untuk membandingkan dan mengetahui

efektifitas dari penggunaan dua model endotracheal tube (SACETT dan OSS-

ETT) dalam mencegah VAP, juga melakukan kontrol terhadap kebersihan

rongga mulut menggunakan Chlorhexidine. Sesuai dengan hasil penelitian ini,

kombinasi antara penggunaan suction above cuff dengan Chlorhexidine belum

mampu memberikan pengaruh terhadap kejadian VAP melalui pemeriksaan

gambaran foto thorax (p=0.417).

G. Keterbatasan penelitian

Pada penelitian ini peneliti menyadari adanya keterbatasan

diantaranya keterbatasan pada metodologi penelitian, dimana desain penelitian

ini menggunakan quasy experimental karena dalam penelitian ini tidak

dilakukan randomisasi sampel penelitian sehingga perlu dilakukan teknik

121
sampling menggunakan stratified random sampling untuk menyeimbangkan

representasi dari sampel penelitian.

Diagnosis VAP dalam penelitian ini mengabaikan pemeriksaan

kultur sehingga tidak dapat diketahui secara pasti jumlah dan jenis kuman

penyebab VAP. Penelitian selanjutnya dapat mengembangkan penilaian yang

lebih objektif yakni pemeriksaan kultur untuk mengetahui perbedaan jumlah

dan jenis mikroorganisme yang terdapat pada sekresi oral pasien selama

menggunakan SACETT pada pasien terpasang ventilator mekanik diruang ICU.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi pada paru

akibat pemasangan ventilator mekanik antara lain posisi head up, pengaturan

jumlah diit, manajemen sirkuit ventilator, dan penggunaan antibiotik. Faktor

confounding terjadinya VAP tersebut dapat dikembangkan menjadi variabel

yang diteliti.

H. Implikasi Keperawatan

Pencegahan infeksi paru akibat pemasangan ventilator mekanik juga

merupakan tanggung jawab perawat khususnya dalam hal yang berkaitan

dengan tindakan tindakan keperawatan. Pada pasien ventilator mekanik

terintubasi, terjadi perubahan atau gangguan fungsi dalam kemampuan untuk

batuk dan menelan. Hal ini dapat mengakibatkan sekresi dari oral cavity

terakumulasi dan dapat terjadi aspirasi ke dalam paru yang menjadi risiko

terjadinya VAP.

Tindakan dalam menjaga kebersihan rongga mulut pasien terpasang

ventilator mekanik terintubasi dengan melakukan dua hal yang penting yaitu

122
suctioning dan oral hygiene. Open suction merupakan teknik penghisapan

metode lama namun tetap dipertahankan oleh karena kebijakan dari Rumah

Sakit meskipun memiliki risiko untuk terjadinya kontaminasi saat

dilakukannya pengihsapan.

Metode Closed Suction System (CSS) tidak menujukkan perbedaan

dibandingkan metode Open Suction System (OSS) dalam perawatan pasien

terpasang ventilator mekanik terintubasi dalam pencegahan VAP. Berdasarkan

penelitian meta-analysis oleh Siempos dkk, menunjukkan hasil bahwa

perbandingan penggunaan CSS dan OSS dalam pencegahan VAP tidak

bermakna dengan CI=1.50-5.52 artinya penggunaan CSS tidak memberikan

benefit dalam mencegah VAP dibandingkan dengan penggunaan OSS.102

Infeksi paru pada pasien terpasang ventilator mekanik terintubasi

dimungkinkan dari kolonisasi kuman atau bakteri pada rongga orofaringeal,

oleh karena itu oral hygiene sangat penting dilakukan dalam menjaga

kebersihan rongga mulut pasien. Oral hyigene memberikan kontribusi dalam

mencegah terjadinya VAP oleh karena mencegah kolonisasi kuman atau

bakteri pada ronggal mulut. Penelitian oleh Chan dkk, menunjukkan hasil

bahwa dekontaminasi menggunakan antiseptik oral hygiene secara signifikan

mengurangi terjadinya VAP dengan CI=0.56-0.81.49

Metode terbaru dalam mencegah terjadinya VAP adalah

penggabungan sistem closed suction dengan ETT dalam satu alat yakni

SACETT yang dapat meminimalkan risiko mikroaspirasi dengan penghisapan

yang langsung menjangkau area di atas balon cuff ETT. Kombinasi antara

123
SACETT dan oral hygiene menggunakan Chlorhexidine 0.2% 2 kali sehari

mampu mencegah terjadinya VAP dibandingkan dengan sistem open suction

dengan Chlorhexidine 0.2% 2 kali sehari sebagai oral hygiene.

124
BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan selama 3 bulan pada 30

responden yang membandingkan penggunaan suction above cuff endotracheal

tube (SACETT) dan Open Suction-Endotracheal Tube (OSS-ETT) dalam

mencegah Ventilator Associated Pneumonia pada pasien kritis di ruang ICU

dapat disimpulkan bahwa:

1. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa rata-rata usia responden dalam

penelitian ini adalah <60 tahun (SACETT=54.27+13.237) dan (OSS-

ETT=52.80+10.591). Jenis kelamin laki-laki (60.0%) dan perempuan

(40.0%). Diagnosa medis dalam penelitian ini menunjukkan hasil bahwa

penyakit sistem kardiovaskuler (40.0%), sistem saraf (26.7%), sistem imun

dan sistem urinaria (13.3%), dan sistem digestif (6.70%).

2. Kejadian Ventilator Associated Pneumonia dalam penelitian ini

berdasarkan penilaian Clinical Pulmonary Infection Score pada hari ke 4

sebanyak 13,3% ditemukan pada penggunaan OSS-ETT.

3. Gambaran Clinical Pulmonary Infection Score lebih baik pada

penggunaan SACETT dibanding OSS-ETT dengan komponen sebagai

berikut:

a. Gambaran suhu tubuh pada penggunaan SACETT=37.69+0.421

sedangkan OSS-ETT=38.20+1.946.

125
b. Gambran nilai leukosit pada penggunaan SACETT=8193.33+1402.404

sedangkan OSS-ETT=9920.00+1709.302.

c. Gambaran sekret trakea pada penggunaan SACETT=0.47+0.516

sedangkan OSS-ETT=0.73+0.458.

d. Gambaran PaO2/FiO2 pada penggunaan SACETT=125.68+61.432

sedangkan OSS-ETT=187.60+66.148.

e. Gambaran foto thorax pada penggunaan SACETT=0.67+0.488

sedangkan OSS-ETT=0.80+0.414.

4. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa penggunaan SACETT lebih efektif

dibanding OSS-ETT dalam mencegah terjadinya VAP dengan nilai

p=0.001.

5. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa penggunaan SACETT lebih efektif

dalam menurunkan nilai CPIS pada komponen leukosit dengan nilai

p=0.005 dan oksigenasi (PaO2/FiO2) dengan nilai p=0.013. Namun

penggunaan SACETT tidak efektif terhadap komponen suhu tubuh dengan

nilai p=0.334, sekret trakea dengan nilai p=0.143, dan foto thorax dengan

nilai p=0.417.

B. Saran

Berdasarkan pada proses dan hasil penelitian bahwa banyak

keterbatasan dalam penelitian ini. Untuk penelitian yang lebih baik lagi

selanjutnya khsusnya dalam menilai efektiftas dan komparasi penggunaan

model ETT pada pasien terpasang ventilator mekanik terhadap VAP, maka

peneliti memberikan saran sebagai berikut:

126
1. Pelayanan keperawatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemasangan SACETT dan

intervensi penggunaan Chlorhexidine 0.2% terbukti dapat mencegah

terjadinya VAP. Sehingga dalam upaya pencegahan VAP pada pasien kritis

disarankan untuk mengkombinasikan SACETT dan oral hygiene

Chlorhexidine 0.2%.

2. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi keperawatan

oral hygiene dengan Chlorhexidine 0.2% dapat menjaga kebersihan

rongga mulut sehingga mampu mencegah terjadinya VAP. Bagi

pendidikan keperawatan hendaknya mengkaji dan mengembangkan

pembelajaran yang memberikan informasi tentang penggunaan SACETT

dan intervensi keperawatan dalam upaya pencegahan VAP dalam

mengelola pasien terpasang ventilator mekanik.

3. Rumah Sakit

Bagi Rumah Sakit diharapkan untuk menyediakan alat SACETT

sebagai alat intubasi tetap di ruang ICU guna mencegah terjadinya infeksi

nosokomial. Pemeriksaan diagnostik untuk mendiagnosis terjadinya VAP

khususnya foto thorax mungkin akan lebih baik jika menggunakan Lung

Ultrasonography untuk hasil visual yang lebih baik dan jelas dalam

mendapatkan gambaran kondisi paru-paru.

127
4. Peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya hendaknya dapat mengembangkan

penelitian dengan menganalisis faktor-faktor risiko yang berhubungan

dengan VAP dan menganalisis intevensi keperawatan dalam upaya

pencegahan VAP.

128
DAFTAR PUSTAKA

1. European Respirology Society. Nosocomial and Ventilator-Associated


Pneumonia. Sheffield. 2011.

2. Patricia Gonce Morton DF, Carolyn M. Hudak, Barbara M. Gallo.


Keperawatan Kritis, Pendekatan Model Asuhan Holistik. 8 ed. Jakarta: EGC.
2011.

3. Elsevier Clinical Advisory Board. Ventilator-associated Pneumonia an


update. New Delhi: Elsevier. 2013.

4. Respirology. Ventilator-Associated Pneumonia. Asian Pacific Society of


Respirology. 2009;14.

5. Bonten, Mark JM. Ventilator-Associated Pneumonia : Preventing the


Inevitable. Healthcare Epidemiology. Epub 1 January. 2011.

6. (PDPI) PDPI. Pneumonia Nosokomial, Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. 2003.

7. Kollef MH, Fagon JY, François B, Niederman MS, Rello J, Torres A,,
Vincent JL WR, Go KW, Rehm C. Global prospective epidemiologic and
surveillance study of ventilator-associated pneumonia due to Pseudomonas
aeruginosa. Critical Care Medicine. 2014.

8. Paul Youngquist MD, Michelle Carroll, MS., Michelle Farber, R.N., C.I.C.,
Deborah Macy, R.N., B.S.N., Pamela Madrid, R.N., M.S. Jeanine Ronning,
R.N., B.S.N., Amy Susag, R.N., M.S. Implementing a Ventilator Bundle In a
Comunity Hospital. The Joint Comission Journal on Quality and Patient
Safety. 2007;33.

9. Riahdo J. Saragih ZA, Rudyanto Sedono, Ceva W Pitoyo, Cleopas M.


Rumende. Prediktor Mortalitas Pasien dengan Ventilator-Associated
Pneumonia di RS Cipto Mangunkusumo. E Jurnal Kedokteran Indonesia.
2014;2.

10. Laporan Indikator Mutu dan Keselamatan Pasien di RSUP Fatmawati Tahun
[database on the Internet]. 2014. Available from:
www.fatmawatihospital.com. 2014.

129
11. Hubungan Antara Usia, Jenis Kelamin, Serta Lama Perawatan Dengan
Ventilator Mekanik Terhadap Angka Kejadian Ventilator Associated
Pneumonia Di Ruang Intensif Care Unit RSPAD Gatot Soebroto Jakarta
Periode Januari-Desember 2014 [database on the Internet]. Medical
Knowledge Center FK UPNVJ. 2015 [cited 18 September 2016]. Available
from: http://repository.fk.upnvj.ac.id/items/show/303.

12. Marriane Saunorus Baird SB. Manual of Ciritical Care Nursing; Nursing
Interventions and Collaborative Management. Sixth Edition ed. 2011. New
York: Elsevier.

13. Augustyn B. Ventilator-Associated Pneumonia Risk Factors and Preventions.


Ciritical Care Nurse. 2007;27.

14. Steven Deem MD, Treggiari M. New Endotracheal Tubes Designed to


Prevent Ventilator-Associated Pneumonia: Do They Make a Difference?
Respiratory Care. 2010;55:10. Epub Agustus 2010.

15. Supriandi S, Mardiyono M, Wenten Parwati MD. Open and Closed Suction
Ventilator Associated Pneumonia Prevention of Patient On Ventilator
Installed. Jurnal Riset Kesehatan. 2014 (Vol.3, No.3 (2014): September
2014):602-7.

16. Speroni KG, Lucas J, Dugan L, O'Meara-Lett M, Putman M, Daniel M, et al.


Comparative Effectiveness of Standard Endotracheal Tubes vs Endotracheal
Tubes with Continuos Subglottic Suctioning On Ventilator-Associated
Pneumonia Rates. Nursing Economics. 2011;29:8.

17. Lorente L, Lecuona M, Jimenez A, Mora ML, Sierra A. Influence of an


Endotracheal Tube with Polyurethane Cuff and Subglottic Secretion Drainage
on Pneumonia. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.
2007;176. Epub 17 september 2007.

18. Ledgerwood LG, Salgado MD, Black H, Yoneda K, Sievers A, Belafsky PC.
Tracheotomy Tubes With Suction Above the Cuff Reduce the Rate of
Ventilator-Associated Pneumonia in Intensive Care Unit Patients. Annuals of
Otology, Rhinology & Laryngology. 2013;122:6.

130
19. Jena S, Kamath S, Masapu D, Veenakumari HB, Ramesh VJ, Bhadrinarayan
V, et al. Comparison of suction above cuff and standard endotracheal tubes in
neurological patients for the incidence of ventilator-associated pneumonia
and in-hospital outcome: A randomized controlled pilot study. Indian Journal
of Ciritcal Care Medicine. 2016;2(5):7.

20. Munro CL, Grap MJ, Jones DJ, McClish DK, Sessler CN. Chlorhexidine,
toothbrushing, and preventing ventilator-associated pneumonia in critically ill
adults. American Journal of Critical Care. 2009;18(5):428-37.

21. Laoh JM. Perbedaan Kejadian Ventilator Associate Pneumonia Pada Oral
Hygiene Menggunakan Chlorhexidine Gluconate 0,12% Dan Listerine.
Majalah Keperawatan Unpad. 2011(Vol.12, No.2 (2011): Majalah
Keperawatan Unpad).

22. Wijaya DM, Harahap MS. Pengaruh Pemberian Chlorhexidine Sebagai Oral
Hygiene Terhadap Jumlah Bakteri Orofaring Pada Penderita Dengan
Ventilator Mekanik. Media Medika Muda. 2012 (2012:MMM Vol.1 No.1
Tahun 2012).

23. Dewi FH, Pujo JL, Leksana E. Perbedaan Jumlah Bakteri Trakhea pada
Tindakan Oral Hygiene Menggunakan Chlorhexidine dan Povidone Iodine
pada Penderita dengan Ventilator Mekanik. Jurnal Anestesiologi Indonesia.
2012;4(2).

24. Gul Gursel SD. Value of APACHE II, SOFA and CPIS Scores in Predicting
Prognosis in Patients with Ventilator-Associated Pneumonia. Respiration.
(Clinical Investigation). 2006.

25. Wiryana M. Ventilator Associated Pneumonia. Jurnal Penyakit Dalam.


2007;8:15. Epub September 2007.

26. Luyt C-E, Chastre J, Fagon J-Y, Group VT. Value of the Clinical Pulmonary
Infection Score for the Identification and Management of Ventilator-
Associated Pneumonia. Intensive care medicine. 2004;30(5):844-52.

27. da Silva Paulo Sergio Lucas, Vania Euzebio de Aguiar, Marcelo Cunio
Machado Fonseca. How Modified Clinical Pulmonary Infection Score Can
Identifiy Treatment Failure and Avoid Overusing Antibiotics in Ventilator-
Associated Pneumonia. Acta Paediatrica. 2014.

131
28. Balanchivadze Nino, Rajany Dy, John Boyce. QI: Modified Clinical
Pulmonary Infection Score as a Surrogate Tool to Guide Antibiotic De-
Escalation in Patients With Hospital-Acquired, Healthcare-Associated and
Ventilator-Associated Pneumonia in Intensive Care Units. Open Forum
Infectious Diseases; 2015: Oxford University Press.

29. Peter J, Chacko B, Moran J. Comparison of Closed Endotracheal Suction


Versus Open Endotracheal Suction in the Development of Ventilator-
Associated Pneumonia in Intensive Care Patients: an Evaluation Using Meta-
Analytic Techniques. Indian Journal Of Medical Sciences. 2007;61(4):201.

30. Akerman E, Larsson C, Ersson A. Clinical Experience and Incidence of


Ventilator-Associated Pneumonia Using Closed Versus Open Suction-
System. British Association of Critical Care Nurses. 2013;9.

31. de Souza Carolina Ramos, Vivian Taciana Simioni Santana. Impact of Supra-
Cuff Suction on Ventilator-Associated Pneumonia Prevention. Revista
Brasileira De Terapia Intensiva. 2012;24(4):401-6.

32. Barbas Carmen Silvia Valente, Couto Lara Poletto. Do Endotracheal Tubes
with Suction Above the Cuff Decrease the Rate of Ventilator-Associated
Pneumonia, and are They Cost-Effective?. Revista Brasileira De Terapia
Intensiva. 2012;24(4):320-1.

33. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penyelenggaran HCU


dan ICU di Rumah Sakit. In: Jendral Bina Upaya Kesehatan, editor. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2011.

34. Cynthia Lee Terry AW. Keperawatan Kritis. 1 ed. Yogyakarta: Rapha
Publishing. 2013.

35. Shaila S. Practical Application of Mechanical Ventilation. New York: The


Mc-Graw Hill. 2010.

36. Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2014.

132
37. Prendergast Virginia, Ingalil Rahm Hallberg, Heidi Jahnke, Cindy Kleiman,
Peter Hagell. Oral Health, Ventilator Associated Pneumonia, and Intracranial
Pressure in Intubated patients in a Neuroscience Intensive Care Unit.
American Journal Of Critical Care. 2009;18.

38. Janice Jones. Seri Panduan Klinis: Perawatan Kritis. Jakarta: Erlangga.
2012.
39. Sundana K. Ventilator Pendekatan Kritis Di Unit Perawatan Kritis. 1 ed.
Bandung: CICU RSHS. 2008.

40. Ronald D Miller, Lee A Flesiher, Jeanine P Wiener Kronish, William L


Young. Miller's Anesthesia. 7 ed. Philadelphia: Churchill Livingstone
Elsevier. 2010.

41. Rab, H Tabrani. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: CV. Trans Info Media. 2010.

42. Smith Temple J, Johnson JY. Buku Saku Prosedur Klinis Keperawatan. 5 ed.
Jakarta: EGC. 2010.

43. Peter J Papadakos BL. Mecanical Ventilation : Clinical Applications and


Pathophisiology. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008.

44. Hikayati H. Studi Deskriptif: Perawatan Cuff Endotracheal Tube Pada Pasien
Terintubasi di Ruang Rawat Intensif. Jurnal Keperawatan Sriwijaya.
2015;1(1):1-5.

45. Subirana M, Solà I, Benito S. Closed Tracheal Suction Systems Versus Open
Tracheal Suction Systems for Mechanically Ventilated Adult Patients. The
Cochrane Library. 2007.

46. Atul Ashok Kalanuria WZ, Marek Mirski. Ventilator-Associated Pneumonia


in the ICU. Critical Care Medicine. 2014.

47. Retno Widyaningsih LB. Pola Kuman Penyebab Ventilator Associated


Pneumonia (VAP) dan Sensitivitas Terhadap Antibiotik di RSAB Harapan
Kita. Sari Pediatrik. 2012;13.

48. Micek ST, Heuring TJ, Hollands JM, Shah RA, Kollef MH. Optimizing
Antibiotic Treatment for Ventilator-Associated Pneumonia.

133
Pharmacotherapy: The Journal of Human Pharmacology and Drug Therapy.
2006;26(2):204-13.

49. Yuee Chan AR, Maureen O Meade, Deborah J Cook. Oral decontamination
for prevention of pneumonia in mechanically ventilated adults: systematic
review and meta-analysis. British Medical Journal. 2007.

50. Dias M, Marcal P, Amaro P. Ventilator-associated pneumonia (VAP) – Early


and late-onset differences. Acute Critical Care. 2013.
51. Wunderink RG, Rello J. Ventilator Associated Pneumonia. New York:
Kluwer Academic Publisher; 2001.

52. Hunter JD. Ventilator Associated Pneumonia. Postgrad Med J. 2006:8. Epub
4 July 2005.

53. Koenig SM, D TJ. Ventilator-associated pneumonia: diagnosis, treatment,


and prevention. Clinical microbiology reviews. 2006;19(4):637-57.

54. Zilberberg Marya D. Ventilator-Associated Pneumonia: The Clinical


Pulmonary Infection Score as a Surrogate for Diagnostics and Outcome.
Clinical Infectious Deasease Society of America. 2010.

55. Meyer KC, Raghu G. Bronchoalveolar Lavage for the Evaluation of


Interstitial Lung Disease: Is It Clinically Useful?. European Respiratory
Journal. 2011;38(4):761-9.

56. Heyland D, Ewig S, Torres A. Pro/Con Clinical Debate: The Use of a


Protected Specimen Brush in the Diagnosis of Ventilator Associated
Pneumonia. Critical Care. 2002;6(2):117-20.

57. Scholte JBJ, van Dessel HA, Linssen CFM, Bergmans DCJJ, Savelkoul
PHM, Roekaerts PMHJ, et al. Endotracheal Aspirate and Bronchoalveolar
Lavage Fluid Analysis: Interchangeable Diagnostic Modalities in Suspected
Ventilator-Associated Pneumonia?. Journal of Clinical Microbiology.
2014;52(10):3597-604.

58. Sachdev A, Chugh K, Sethi M, Gupta D, Wattal C, Menon G. Clinical


Pulmonary Infection Score to Diagnose Ventilator-Associated Pneumonia in
Children. Indian pediatrics. 2011;48(12):949-54.

134
59. Ilana Porzecanski BDL. Diagnosis and Treatment of ventilator-Associated
Pneumonia. Chest. 2006:8. Epub 2 August 2006.

60. Audrey Berman SS, Barbara Kozier, Glenora Erb. Kozier and Erb's
Ttechniques in Clinical Nursing. 5 ed. New Jersey: Pearson Education Inc.
2009.
61. Urden LD, Stacy KM, Lough ME. Critical Nursing: Diagnosis and
Management. 6 ed. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier. 2010.
62. Medical Smith. Suction Above the Cuff Tracheal Tube. Smiths Medical
International Ltd.

63. Santoso A. Studi Deskriptif Effect Size Penelitian-Penelitian di Fakultas


Psikologi Universitas Santana Dharma. Jurnal Penelitian. 2010.

64. Sastroasmoro Sudigdo. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 5 ed.


Jakarta: Sagung Seto. 2014.

65. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan


: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. 2 ed. Jakarta: Salemba
Medika. 2011.

66. Burns N, Groves SK, Gray J. Understanding Nursing Research : Building an


Evidence Based Practice. Fifth ed. United States of America: Elsevier
Saunders. 2011.

67. Polit DF, Beck CT. Nursing Research : Generating and Assessing Evidence
for Nursing Practice. Ninth ed. New York: Wolters Kluwer Health. 2012.

68. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.


2015.

69. Santjaka A. Statistik Untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.


2011.

70. Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif Research & Development.


Bandung: Alfabeta. 2010.

71. Dahlan, M Sopiyudin. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. 3 ed. Jakarta: Salemba Medika. 2013.

135
72. Setiadi. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. 1 ed. Yogyakarta: Graha
Ilmu. 2007.

73. Dahlan, M Sopiyudin. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. 6 ed.


Jakarta : Epidemiologi Indonesia. 2014.

74. Purba Jeny Marlindawati, Rr Sri Endang Pujiastuti. Dilema Etik dan
Pengambilan Keputusan Etis dalam Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta:
EGC. 2009.

75. Pujiastuti RSE, Sumaryanto T, Priyatin T. Education Management Regarding


Soft Skills Based on Ethical Principles in Nursing Education. The Journal of
Educational Development. 2014;2(2).

76. Sudarmin M, Pujiastuti RSE. Scientific Knowledge Based Culture and Local
Wisdom in Karimunjawa for Growing Soft Skills Conservation. International
Journal of Science and Research. 2015.

77. Depkes, RI. Kartegori Umur Menurut Depkes RI. Available from :
http://dokumen.tips/documents/kategori-umur-menurut-depkes-ri.html. 2009.

78. Mahmoodpoor A, Peyrovi-far A, Hamishehkar H, Bakhtyari Z, Mirinezhad


MM, Hamidi M, et al. Comparison of Prophylactic Effects of Polyurethane
Cylindrical of Tapered Cuff and Polyvinil Chloride Cuff Endotracheal Tubes
on Ventilator Associated Pneumonia. Acta Medica Iranica. 2013;51.

79. Dewi H, Harahap M. Hubungan Usia Penderita Ventilator Associated


Pneumonia dengan Lama Rawat Inap Di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang:
Faculty of Medicine Diponegoro University; 2014.

80. Boumendil A, Maury E, Reinhard I, Luquel L, Offenstadt G, Guidet B.


Prognosis of patients aged 80 years and over admitted in medical intensive
care unit. Intensive care medicine. 2004;30(4):647-54.

81. Yagmurdur H, Tezcan A, Karakurt O, Leblebici F. The efficiency of routine


endotracheal aspirate cultures compared to bronchoalveolar lavage cultures in
ventilator-associated pneumonia diagnosis. Nigerian Journal of Clinical
Practice. 2016;19(1):46-51.

136
82. Canadian Critical Care Trial Group. A Randomized Trial of Diagnostic
Techniques for Ventilator-Associated Pneumonia. N Engl J Med. 2006
(355):2619-30.

83. Harde Y, Rao SM, Sahoo J, Bharuka A, Swetha B, Saritha P. Detection of


Ventilator Associated Pneumonia, Using Clinical Pulmonary Infection Score
(CPIS) in Critically Ill Neurogical Patients. Journal Of Anesthesiology &
Clinical Science. 2013.

84. Azwar, Bahar. Bijak Memanfaatkan Antibiotika. Jakarta: Kawan Pustaka.


2004..

85. Fauziyah S, Radji M, Nurgani A. Hubungan Penggunaan Antibiotika pada


Terapi Empiris dengan Kepekaan Bakteri di ICU RSUP Fatmawati Jakarta.
Jurnal Farmasi Indonesia. 2011;5(3):150-58.
86. Alexiou VG, Ierodiakonou V, Dimopoulos G, Falagas ME. Impact of Patient
Position on the Incidence of ventilator-associated Pneumonia: a Meta-
Analysis of Randomized Controlled Trials. Journal of Critical Care.
2009;24(4):515-22.

87. Poulard F, Dimet J, Martin-Lefevre L, Bontemps F, Fiancette M, Clementi E,


et al. Impact of Not Measuring Residual Gastric Volume in Mechanically
Ventilated Patients Receiving Early Enteral Feeding: A Prospective Before–
After Study. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition. 2010;34(2):125-30.

88. Jung B, Embriaco N, Roux F, Forel J-M, Demory D, Allardet-Servent J, et al.


Microbiogical data, but not procalcitonin improve the accuracy of the clinical
pulmonary infection score. Intensive care medicine. 2010;36(5):790-8.

89. Polapa M, Prasetyo E, Oley MC. Hubungan Antara Dinamika Suhu Tubuh
dan Leukosit Perifer dengan Skala Skor FOUR penderita Cedera Otak Risiko
Tinggi. Jurnal Biomedik. 2016;8(3).

90. Patel, Pradip R. Lecture Notes Radiologi. Edisi Kedua ed. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2007.

91. Wang G, et al. Lung Ultrasound: a Promising Tool to Monitor Ventilator


Associated Pneumonia in Critically Ill Patient. Critical Care. 2016.

137
92. Mao Z, Gao L, Wang G, Liu C, Zhao Y, Gu W, et al. Subglottic Secretion
Suction for Preventing Ventilator-Associated Pneumonia: an Updated Meta-
Analysis and Trial Sequential Analysis. Critical Care. 2016;20(1):353.

93. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC. 2012.

94. Fatin Lailatul B. The Application Of Close Suction To Help Ineffectiveness Of


Airway Clearance In Patients With Ventilator In The Intensive Care Unit.
2016.
95. Debora Y, Leksana E, Sutiyono D. Perbedaan Jumlah Bakteri pada Sistem
Closed Suction dan Sistem Open Suction pada Penderita dengan Ventilator
Mekanik. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2012;4(2).

96. Tantipong H, Morkchareonpong C, Jaiyindee S, Thamlikitkul V. Randomized


Controlled Trial and Meta-Analysis of Oral Decontamination with 0.2%
Chlorhexidine Solution For The Prevention Of Ventilator-Associated
Pneumonia. Infection Control & Hospital Epidemiology. 2008;29(02):131-6.

97. Dallas J, Skrupky L, Abebe N, Boyle WA, Kollef MH. Ventilator-Associated


Tracheobronchitis in a Mixed Surgical and Medical ICU Population. Chest.
2011;139.

98. James J, Baker C, Swain H. Prinsip-Prinsip Sains untuk Keperawatan.


Jakarta: Erlangga Medical Series. 2008.

99. Guervilly C, Lacroix R, Forel J-M, Roch A, Camoin-Jau L, Papazian L, et al.


High Levels of Circulating Leukocyte Microparticles are Associated with
Better Outcome in Acute Respiratory Distress Syndrome. Critical Care.
2011;15(1).

100.DiGiulio M, Jackson D, Keogh J. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 1.


Yogyakarta: Rapha Publishing. 2014.

101.Kartinawati ER, Harahap M. Perbedaan Efektivitas antara Chlorhexidine


dengan Povidone Iodine sebagai Oral Hygiene Pada Penderita dengan
Ventilator Mekanik Di ICU yang Dinilai Dengan Foto Torak: Faculty of
Medicine. Available from: eprints.undip.ac.id. 2011.

138
102.Siempos I, Vardakas K, Falagas M. Closed Tracheal Suction Systems for
Prevention of Ventilator-Associated Pneumonia. British journal of
anaesthesia. 2008;100(3):299-306.

139
LAMPIRAN 1
PENJELASAN INFORMED CONSENT

Selamat pagi/siang/malam

Saya Arfiyan Sukmadi mahasiswa Program Pascasarjana Magister Terapan


Kesehatan Poltekkes Kemenkes Semarang. Saat ini sedang diadakan penelitian
mengenai perbandingan suction above cuff endotracheal tube (SACETT) dan open
suction system endotracheal tube (OSS-ETT) dalam pencegahan ventilator
associated pneumonia (VAP). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah
penggunaan SACETT lebih baik dari OSS-ETT sebagai salah satu langkah
pencegahan terjadinya pneumonia akibat ventilator mekanik/VAP yang
bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam penggunaan endotracheal tube
(ETT) pada penderita dengan ventilator mekanik yang berisiko terjadi komplikasi
pneumonia dengan harapan dapat meningkatkan efisiensi dan angka bebas
pneumonia sehingga tidak terjadi komplikasi serta dapat membantu mempercepat
proses penyembuhan pasien. Setelah pasien terpasang ventilator mekanik dengan
intubasi SACETT akan kami lakukan pemeriksaan suhu tubuh, darah rutin, analisa
gas darah, sputum trakhea, dan foto torak pada hari ke tiga pasien terpasang
ventilator sebagai tolak ukur penegakan diagnosa VAP.

Untuk keperluan tersebut saya mohon kesediaan Bpk/Ibu/Wali yang mana pasien
terindikasi pemasangan ventilator mekanik untuk menjadi partisipan dalam
penelitian ini. Identitas pribadi sebagai partisipan akan dirahasiakan dan semua
informasi yang diberikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini.
Bpk/Ibu/Wali berhak untuk ikut atau tidak ikut berpartisipasi tanpa ada sanksi dan
konsekuensi buruk dikemudian hari. Jika ada hal yang kurang dipahami ibu dapat
bertanya langsung kepada peneliti : 087865666286 a.n Arfiyan Sukmadi.
LAMPIRAN 2
FORM INFORMED CONSENT

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama :
Umur :
Alamat :
Menyatakan bahwa :
1. Saya telah mendapat penjelasan segala sesuatu menganai penelitian : Suction
Above Cuff dan Standard Endotracheal Tube dalam Mencegah Ventilator
Associated Pneumonia pada Pasien Kritis.
2. Setelah saya memahami penjelasan tersebut, dengan penuh kesadaran dan
tanpa paksaan dari siapapun bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan
konsekuensi :
a. Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya dan
hanya dipergunakan untuk kepentingan ilmiah.
b. Apabila saya inginkan, saya boleh memutuskan untuk keluar/tidak
berpartisipasi lagi dalam penelitian ini tanpa harus menyampaikan alasan
apapun.

Semarang, __________, 2016


Wali,

(..........................................)
LAMPIRAN 3
LEMBAR DEMOGRAFI dan OBSERVASI

Hari/Tanggal : ___________________

A. Data Demografi
Inisial : Nomor Sampel :
Usia : ..... Th ..... Bln Nomor RM :
Jenis Kelamin :L/P Jenis ETT : SACETT/OSS-ETT
Diagnosa Medis :

B. Variabel Counfounding
*Isilah sesuai dengan perawatan pasien.
Antibiotik
Posisi kepala
Jumlah Diit
Jenis sirkuit ventilator

C. Lembar Observasi
* Lingkari sesuai nilai pemeriksaan pasien.
Komponen Nilai Kategori
 > 36,5 dan < 38,4

o
Suhu ( C) > 38,5 dan < 38,9
 > 39,0 dan < 36,0
 > 4000 dan < 11000
Leukosit per mm3
 < 4000 dan > 11000
 > 240 atau terdapat
Oksigenasi ARDS
PaO2/FiO2 (mmHg)  < 240 dan tidak ada
ARDS
 Tidak ada
Sekret trakea  Ada, tidak purulent
 Purulent
 Tidak ada infiltrat
 Bercak atau infiltrat
Foto thorax
difus
 Infiltrat terlokalisir

Pengambil data : ........................................ (....................)


LAMPIRAN 4
MASTER TABEL
No Jenis Kelamin Usia Klp DX Suhu Sekret Trakea Leukosit Oksigenasi Foto Torak Antibiotik Posisi Diit Sirkuit
1 Laki-Laki 51 SACET Saraf 37.8 Ada, Tidak Purulent 6200 82.3 Infiltrat Difus Sefalosforin 30 600 Dsiposable
2 Perempuan 27 SACET Urinaria 38.1 Tidak Ada Sekret 10300 74.5 Tidak Infiltrat Nitroimidazole 45 800 Dsiposable
3 Perempuan 50 SACET Kardio 37.2 Ada, Tidak Purulent 7050 182.3 Infiltrat Difus Kinolon 30 800 Reusable
4 Laki-Laki 68 SACET Digestive 37.6 Tidak Ada Sekret 6800 69.8 Tidak Infiltrat Nitroimidazole 30 600 Reusable
5 Perempuan 53 SACET Imun 38.2 Tidak Ada Sekret 8000 240.7 Infiltrat Difus Sefalosforin 30 800 Reusable
6 Perempuan 58 SACET Kardio 38.0 Ada, Tidak Purulent 9200 109.3 Tidak Infiltrat Karbapenem 45 600 Dsiposable
7 Laki-Laki 49 SACET Urinaria 36.9 Tidak Ada Sekret 10700 160.3 Infiltrat Difus Karbapenem 45 600 Reusable
8 Perempuan 67 SACET Saraf 37.3 Tidak Ada Sekret 8400 51.5 Infiltrat Difus Karbapenem 30 800 Reusable
9 Laki-Laki 57 SACET Imun 37.7 Ada, Tidak Purulent 7700 72.3 Infiltrat Difus Nitroimidazole 45 800 Dsiposable
10 Perempuan 69 SACET Kardio 37.4 Tidak Ada Sekret 6600 59.4 Infiltrat Difus Kinolon 45 800 Dsiposable
11 Laki-Laki 55 SACET Urinaria 38.1 Ada, Tidak Purulent 6950 154.0 Infiltrat Difus Sefalosforin 30 800 Dsiposable
12 Laki-Laki 57 SACET Saraf 38.3 Ada, Tidak Purulent 7600 78.7 Tidak Infiltrat Nitroimidazole 45 800 Reusable
13 Laki-Laki 77 SACET Saraf 37.9 Ada, Tidak Purulent 9800 214.0 Tidak Infiltrat Karbapenem 45 800 Dsiposable
14 Perempuan 36 SACET Kardio 37.2 Tidak Ada Sekret 9300 177.1 Infiltrat Difus Sefalosforin 45 800 Reusable
15 Laki-Laki 40 SACET Digestive 37.6 Tidak Ada Sekret 8300 159.0 Infiltrat Difus Sefalosforin 30 800 Dsiposable
16 Perempuan 30 OSS-ETT Kardio 40.2 Ada, Tidak Purulent 8300 242.0 Tidak Infiltrat Nitroimidazole 30 600 Dsiposable
17 Perempuan 56 OSS-ETT Kardio 39.7 Ada, Tidak Purulent 13400 134.5 Infiltrat Difus Kinolon 30 1000 Reusable
18 Laki-Laki 74 OSS-ETT Saraf 42.0 Tidak Ada Sekret 8100 202.3 Tidak Infiltrat Sefalosforin 30 800 Reusable
19 Laki-Laki 42 OSS-ETT Imun 38.6 Tidak Ada Sekret 7900 99.8 Infiltrat Difus Kinolon 45 800 Dsiposable
20 Laki-Laki 54 OSS-ETT Kardio 35.3 Tidak Ada Sekret 12700 255.0 Infiltrat Difus Karbapenem 45 600 Reusable
21 Perempuan 53 OSS-ETT Urinaria 40.6 Ada, Tidak Purulent 9900 139.3 Infiltrat Difus Kinolon 30 800 Dsiposable
22 Laki-Laki 56 OSS-ETT Kardio 37.5 Ada, Tidak Purulent 11900 290.0 Infiltrat Difus Nitroimidazole 45 800 Reusable
23 Laki-Laki 54 OSS-ETT Saraf 39.2 Ada, Tidak Purulent 10400 130.7 Infiltrat Difus Sefalosforin 30 1000 Dsiposable
24 Perempuan 60 OSS-ETT Kardio 36.0 Ada, Tidak Purulent 8700 102.3 Tidak Infiltrat Karbapenem 30 800 Dsiposable
25 Laki-Laki 52 OSS-ETT Imun 39.0 Ada, Tidak Purulent 9600 289.0 Infiltrat Difus Kinolon 45 600 Reusable
26 Perempuan 36 OSS-ETT Saraf 36.0 Ada, Tidak Purulent 7900 184.0 Infiltrat Difus Nitroimidazole 30 1000 Reusable
27 Laki-Laki 51 OSS-ETT Kardio 36.9 Ada, Tidak Purulent 9600 108.7 Infiltrat Difus Sefalosforin 45 600 Dsiposable
28 Laki-Laki 62 OSS-ETT Kardio 38.3 Ada, Tidak Purulent 10800 240.3 Infiltrat Difus Sefalosforin 45 800 Reusable
29 Laki-Laki 59 OSS-ETT Saraf 37.5 Ada, Tidak Purulent 10200 207.1 Infiltrat Difus Nitroimidazole 45 800 Dsiposable
30 Laki-Laki 53 OSS-ETT Kardio 36.2 Tidak Ada Sekret 9400 189.0 Infiltrat Difus Kinolon 30 800 Dsiposable
LAMPIRAN 5
ANALISIS UNIVARIAT

A. FREQUENCIES

1. Jenis ETT = SACET


Statisticsa
Jenis Sekret Status Jenis
Usia Diagnosa Suhu Tubuh Nilai Leukosit Foto Torak Skor Jenis Posisi Jumlah
Kelamin Trakea Oksigenasi Sirkuit
Responden Medis Responden Responden Responden CPIS Antibiotik Kepala Diit
Responden Responden Responden Ventilator
Valid 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
N
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mean 1.47 54.27 2.73 37.687 .47 8193.33 125.680 .67 2.93 2.40 38.00 746.67 1.47
Median 1.00 55.00 2.00 37.700 .00 8000.00 109.300 1.00 3.00 2.00 45.00 800.00 1.00
Std. Deviation .516 13.237 1.534 .4207 .516 1402.404 61.4323 .488 .799 1.183 7.746 91.548 .516
Minimum 1 27 1 36.9 0 6200 51.5 0 1 1 30 600 1
Maximum 2 77 5 38.3 1 10700 240.7 1 4 4 45 800 2

2. Jenis ETT = OSS-ETT


Statisticsa
Jenis Sekret Status Jenis
Usia Diagnosa Suhu Tubuh Nilai Leukosit Foto Torak Skor Jenis Posisi Jumlah
Kelamin Trakea Oksigenasi Sirkuit
Responden Medis Responden Responden Responden CPIS Antibiotik Kepala Diit
Responden Responden Responden Ventilator
N Valid 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mean 1.33 52.80 2.20 38.200 .73 9920.00 187.600 .80 5.07 2.73 37.00 786.67 1.47
Median 1.00 54.00 2.00 38.300 1.00 9600.00 189.000 1.00 5.00 3.00 30.00 800.00 1.00
Std. Deviation .488 10.591 1.207 1.9461 .458 1709.302 66.1484 .414 1.668 1.033 7.746 140.746 .516
Minimum 1 30 1 35.3 0 7900 99.8 0 2 1 30 600 1
Maximum 2 74 5 42.0 1 13400 290.0 1 9 4 45 1000 2
B. CROSSTABULATION
1. Karakteristik Responden

Jenis Kelamin Responden * Jenis ETT Crosstabulation


Jenis ETT Total
SACET OSS-ETT
Jenis Kelamin Responden Laki-Laki Count 8 10 18
% of Total 26.7% 33.3% 60.0%
Perempuan Count 7 5 12
% of Total 23.3% 16.7% 40.0%
Total Count 15 15 30
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Kategori Usia * Jenis ETT Crosstabulation


Jenis ETT Total
SACET OSS-ETT
Kategori Usia 2 26 - 45 Count 3 3 6
% of Total 10.0% 10.0% 20.0%
46 - 65 Count 8 11 19
% of Total 26.7% 36.7% 63.3%
> 65 Count 4 1 5
% of Total 13.3% 3.3% 16.7%
Total Count 15 15 30
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Diagnosa Medis * Jenis ETT Crosstabulation


Jenis ETT Total
SACET OSS-ETT
Diagnosa Medis Saraf Count 4 4 8
% of Total 13.3% 13.3% 26.7%
Kardio Count 4 8 12
% of Total 13.3% 26.7% 40.0%
Digestive Count 2 0 2
% of Total 6.7% .0% 6.7%
Imun Count 2 2 4
% of Total 6.7% 6.7% 13.3%
Urinaria Count 3 1 4
% of Total 10.0% 3.3% 13.3%
Total Count 15 15 30
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%
2. Counfounding Variabele

Jenis Antibiotik * Jenis ETT Crosstabulation


Jenis ETT Total
SACET OSS-ETT
Jenis Antibiotik Karbapenem Count 4 2 6
% of Total 13.3% 6.7% 20.0%
Sefalosforin Count 5 4 9
% of Total 16.7% 13.3% 30.0%
Kinolon Count 2 5 7
% of Total 6.7% 16.7% 23.3%
Nitroimidazole Count 4 4 8
% of Total 13.3% 13.3% 26.7%
Total Count 15 15 30
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Posisi Kepala * Jenis ETT Crosstabulation


Jenis ETT Total
SACET OSS-ETT
Posisi Kepala 30 Count 7 8 15
% of Total 23.3% 26.7% 50.0%
45 Count 8 7 15
% of Total 26.7% 23.3% 50.0%
Total Count 15 15 30
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Jumlah Diit * Jenis ETT Crosstabulation


Jenis ETT Total
SACET OSS-ETT
Jumlah Diit 600 Count 4 4 8
% of Total 13.3% 13.3% 26.7%
800 Count 11 8 19
% of Total 36.7% 26.7% 63.3%
1000 Count 0 3 3
% of Total .0% 10.0% 10.0%
Total Count 15 15 30
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%
Jenis Sirkuit Ventilator * Jenis ETT Crosstabulation
Jenis ETT Total
SACET OSS-ETT
Jenis Sirkuit Ventilator Dsiposable Count 8 8 16
% of Total 26.7% 26.7% 53.3%
Reusable Count 7 7 14
% of Total 23.3% 23.3% 46.7%
Total Count 15 15 30
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%
LAMPIRAN 6
UJI NORMALITAS DAN HOMOGENITAS
A. Uji Normalitas
1. Deskriptif

Descriptives
Jenis ETT Statistic Std. Error
Suhu Tubuh Responden SACET Mean 37.687 .1086
95% Confidence Interval Lower Bound 37.454
for Mean Upper Bound 37.920
5% Trimmed Mean 37.696
Median 37.700
Variance .177
Std. Deviation .4207
Minimum 36.9
Maximum 38.3
Range 1.4
Interquartile Range .8
Skewness -.278 .580
Kurtosis -.942 1.121
OSS-ETT Mean 38.200 .5025
95% Confidence Interval Lower Bound 37.122
for Mean Upper Bound 39.278
5% Trimmed Mean 38.150
Median 38.300
Variance 3.787
Std. Deviation 1.9461
Minimum 35.3
Maximum 42.0
Range 6.7
Interquartile Range 3.5
Skewness .280 .580
Kurtosis -.696 1.121
Nilai Leukosit Responden SACET Mean 8193.33 362.099
95% Confidence Interval Lower Bound 7416.71
for Mean Upper Bound 8969.96
5% Trimmed Mean 8164.81
Median 8000.00
Variance 1966738.095
Std. Deviation 1402.404
Minimum 6200
Maximum 10700
Range 4500
Interquartile Range 2350
Skewness .395 .580
Kurtosis -.967 1.121
OSS-ETT Mean 9920.00 441.340
95% Confidence Interval Lower Bound 8973.42
for Mean Upper Bound 10866.58
5% Trimmed Mean 9838.89
Median 9600.00
Variance 2921714.286
Std. Deviation 1709.302
Minimum 7900
Maximum 13400
Range 5500
Interquartile Range 2500
Skewness .717 .580
Kurtosis -.218 1.121
Status Oksigenasi SACET Mean 125.680 15.8618
Responden 95% Confidence Interval Lower Bound 91.660
for Mean Upper Bound 159.700
5% Trimmed Mean 123.411
Median 109.300
Variance 3773.929
Std. Deviation 61.4323
Minimum 51.5
Maximum 240.7
Range 189.2
Interquartile Range 104.8
Skewness .455 .580
Kurtosis -1.152 1.121
OSS-ETT Mean 187.600 17.0795
95% Confidence Interval Lower Bound 150.968
for Mean Upper Bound 224.232
5% Trimmed Mean 186.789
Median 189.000
Variance 4375.617
Std. Deviation 66.1484
Minimum 99.8
Maximum 290.0
Range 190.2
Interquartile Range 111.3
Skewness .144 .580
Kurtosis -1.313 1.121

Skor CPIS SACET Mean 2.93 .206


95% Confidence Interval Lower Bound 2.49
for Mean Upper Bound 3.38
5% Trimmed Mean 2.98
Median 3.00
Variance .638
Std. Deviation .799
Minimum 1
Maximum 4
Range 3
Interquartile Range 0
Skewness -.842 .580
Kurtosis 1.459 1.121
OSS-ETT Mean 5.07 .431
95% Confidence Interval Lower Bound 4.14
for Mean Upper Bound 5.99
5% Trimmed Mean 5.02
Median 5.00
Variance 2.781
Std. Deviation 1.668
Minimum 2
Maximum 9
Range 7
Interquartile Range 2
Skewness .732 .580
Kurtosis 1.388 1.121

2. Statistik
Tests of Normality
Jenis ETT Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
*
Suhu Tubuh Responden SACET .105 15 .200 .961 15 .704
*
OSS-ETT .115 15 .200 .969 15 .842
*
Nilai Leukosit Responden SACET .126 15 .200 .951 15 .546
*
OSS-ETT .123 15 .200 .925 15 .228
Status Oksigenasi SACET .227 15 .037 .900 15 .097
*
Responden OSS-ETT .167 15 .200 .926 15 .238
Skor CPIS SACET .333 15 .000 .819 15 .006
OSS-ETT .249 15 .013 .907 15 .124
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
B. Uji Homogenitas
1. Usia Responden

Ranks
Jenis ETT N Mean Rank Sum of Ranks
Usia Responden SACET 15 15.87 238.00
OSS-ETT 15 15.13 227.00
Total 30

Test Statisticsb Mann-Whitney Test


Usia Responden
Mann-Whitney U 107.000
Wilcoxon W 227.000
Z -.228
Asymp. Sig. (2-tailed) .819
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .838a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Jenis ETT

2. Jenis Kelamin
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .556 1 .456
b
Continuity Correction .139 1 .709
Likelihood Ratio .558 1 .455
Fisher's Exact Test .710 .355
Linear-by-Linear .537 1 .464
Association
N of Valid Cases 30
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,00.
b. Computed only for a 2x2 table

3. Diagnosa Medis
Test Statisticsa
Diagnosa Medis
Most Extreme Differences Absolute .267
Positive .000
Negative -.267
Kolmogorov-Smirnov Z .730
Asymp. Sig. (2-tailed) .660
a. Grouping Variable: Jenis ETT

4. Counfounding Variable
Test of Homogeneity of Variances
Levene df1 df2 Sig.
Statistic
Jenis Antibiotik .655 1 28 .425
Posisi Kepala .000 1 28 1.000
Jumlah Diit .620 1 28 .438
Jenis Sirkuit Ventilator .000 1 28 1.000
LAMPIRAN 7
UJI BIVARIAT
A. Data Numerik
Group Statistics
Jenis ETT N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Skor CPIS SACET 15 2.93 .799 .206
OSS-ETT 15 5.07 1.668 .431
Suhu Tubuh Responden SACET 15 37.687 .4207 .1086
OSS-ETT 15 38.200 1.9461 .5025
Nilai Leukosit Responden SACET 15 8193.33 1402.404 362.099
OSS-ETT 15 9920.00 1709.302 441.340
Status Oksigenasi Responden SACET 15 125.680 61.4323 15.8618
OSS-ETT 15 187.600 66.1484 17.0795

Independent Samples Test


Levene's Test
for Equality of t-test for Equality of Means
Variances
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2- Mean Std. Error
F Sig. t df Lower Upper
tailed) Difference Difference
Equal variances assumed 3.838 .060 -4.468 28 .000 -2.133 .477 -3.111 -1.155
Skor CPIS Equal variances not
-4.468 20.103 .000 -2.133 .477 -3.129 -1.138
assumed
Equal variances assumed 21.551 .000 -.999 28 .327 -.5133 .5141 -1.5664 .5397
Suhu Tubuh Responden Equal variances not
-.999 15.305 .334 -.5133 .5141 -1.6072 .5805
assumed
Equal variances assumed .253 .619 -3.025 28 .005 -1726.667 570.874 -2896.049 -557.285
Nilai Leukosit Responden Equal variances not
-3.025 26.971 .005 -1726.667 570.874 -2898.062 -555.271
assumed
Equal variances assumed .006 .938 -2.657 28 .013 -61.9200 23.3089 -109.6660 -14.1740
Status Oksigenasi
Equal variances not
Responden -2.657 27.848 .013 -61.9200 23.3089 -109.6778 -14.1622
assumed
B. Data Kategorik

Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Sekret Trakea Responden 30 .60 .498 0 1
Foto Torak Responden 30 .73 .450 0 1
Jenis ETT 30 1.50 .509 1 2

Ranks
Jenis ETT N Mean Rank Sum of Ranks
Sekret Trakea Responden SACET 15 13.50 202.50
OSS-ETT 15 17.50 262.50
Total 30
Foto Torak Responden SACET 15 14.50 217.50
OSS-ETT 15 16.50 247.50
Total 30

Test Statisticsb
Sekret Trakea Foto Torak
Responden Responden
Mann-Whitney U 82.500 97.500
Wilcoxon W 202.500 217.500
Z -1.466 -.812
Asymp. Sig. (2-tailed) .143 .417
Exact Sig. [2*(1-tailed
.217a .539a
Sig.)]
a. Grouping Variable: Jenis ETT
LAMPIRAN 8
JADWAL PENELITIAN

EFEKTIFITAS SUCTION ABOVE CUFF ENDOTRACHEAL TUBE DALAM MENCEGAH


VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA PADA PASIEN KRITIS DI RUANG ICU

Agustus September Oktober Nopember Desember Januari Februari


Kegiatan
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
Penyusunan proposal
tesis
Ujian proposal tesis
Revisi Proposal Thesis
Pengurusan Ijin
penelitian
Pengumpulan data
penelitian
Penyusunan tesis
Ujian tesis
Revisi tesis
LAMPIRAN 9
LEMBAR PENGESAHAN
LAMPIRAN 10
ETHICAL CLEARENCE
LAMPIRAN 11
SURAT REKOMENDASI KESBANGPOL
LAMPIRAN 12
SURAT KETERANGAN PENELITIAN RS. ROEMANI
LAMPIRAN 13
SURAT KETERANGAN PENELITIAN RS. PANTIWILASA CITARUM
LAMPIRAN 14
RIWAYAT HIDUP

Nama : Arfiyan Sukmadi


Tempat, tanggal lahir : Kr. Anyar, Desa Sikur, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok
Timur, NTB.
Agama : Islam
Alamat : Kr. Anyar, Desa Sikur, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok
Timur, NTB.
Riwayat Pendidikan : 1. SDN 05 Sikur (Tahun 1997 – 2003)
2. SMPN 01 Sikur (Tahun 2003 – 2006)
3. SMAN 01 Terara (Tahun 2006 – 2009)
4. D III Keperawatan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram
(Tahun 2009 – 2012)
5. D-IV Keperawatan Poltekkes Kemenkes Mataram (Tahun
2012 – 2013)
6. Pascasarjana Poltekkes Kemenkes Semarang (Tahun
2015 – Sekarang)
Riwayat Pekerjaan : 1. Summit Intitute of Development (tahun 2014)
2. SMK Kesehatan Yayasan Fatmayoda NW Teros Lombok
Timur (Tahun 2014)

Anda mungkin juga menyukai