Anda di halaman 1dari 202

SKRIPSI

PENGARUH PENERAPAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA


BUNDLE TERHADAP KEPATUHAN PERAWAT DALAM
PENCEGAHAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA
DI ICU RSU HAJI SURABAYA

PENELITIAN PRA-EXPERIMENTAL

OLEH:

NANIK DWI LESTARI


NIM. 131811123010

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
SKRIPSI

PENGARUH PENERAPAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA


BUNDLE TERHADAP KEPATUHAN PERAWAT DALAM
PENCEGAHAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA
DI ICU RSU HAJI SURABAYA

PENELITIAN PRA-EXPERIMENTAL

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperwatan (S, Kep)


Dalam Program Studi Pendidikan Ners Pada Program Studi Ners Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga

OLEH:

NANIK DWI LESTARI


NIM. 131811123010

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020

2
LEMBAR PERNYATAAN

Saya bersumpah bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan belum
pernah dikumpulkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar dari berbagai
jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi manapun

Surabaya, 29 Januari 2020


Yang menyatakan,

Nanik Dwi Lestari


NIM. 131811123010

3
HALAMAN PERNYATAAN

PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN


AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik universitas airlangga, saya yang bertanda tangan di bawah
ini
Nama : Nanik Dwi Lestari
NIM : 13181112310
Program studi : Pendidikan Ners
Fakultas : Keperawatan
Jenis karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Airlangga Hak Bebas Royalty Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“PENGARUH PENERAPAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA
BUNDLE TERHADAP KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENCEGAHAN
VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA
DI ICU RSU HAJI SURABAYA”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneklusif ini Universitas Airlangga berhak menyimpan, alih media (format),
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian peryataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 29 Januari 2020


Yang menyatakan,

Nanik Dwi Lestari


NIM.131811123010

4
SKRIPSI
PENGARUH PENERAPAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA
BUNDLE TERHADAP KEPATUHAN PERAWAT DALAM
PENCEGAHAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA
DI ICU RSU HAJI SURABAYA

Oleh:
Nanik Dwi Lestari
NIM. 131811123010

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI


Tanggal 16 Januari 2020

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

Oleh

Pembimbing Ketua

Harmayetty, S.Kp.,M.Kes
NIP. 197004102000122001

Pembimbing II

Lailatun Ni’mah, S.Kep., Ns., M.Kep


NIP. 198606022015042001

Mengetahui

a.n Dekan Fakultas Keperawatan


Universitas Airlangga
Wakil Dekan 1

Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes.


NIP. 196808291989031002

5
SKRIPSI
PENGARUH PENERAPAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA
BUNDLE TERHADAP KEPATUHAN PERAWAT DALAM
PENCEGAHAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA
DI ICU RSU HAJI SURABAYA

Oleh:
Nanik Dwi Lestari
NIM. 131811123010

Telah diuji
Pada tanggal 20 Januari 2020

PANITIA PENGUJI

Ketua : Laily Hidayati, S.Kep., Ns., M.Kep ( )


NIP. 198304052014042002

Anggota : 1. Harmayetty, S.Kp., M.Kes ( )


NIP. 197004102000122001

2. Candra Panji Asmoro, S.Kep., Ns., M.Kep ( )


NIP. 19870603201903100

Mengetahui

a.n Dekan Fakultas Mahasiswa


Universitas Airlangga
Wakil Dekan 1

Dr. Kusnanto, S. Kp., M.Kes.


NIP. 196808291989031002

6
MOTTO

HANYA ALLAH SWT TEMPAT CURHAT

7
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
bimbinganNya kami dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH
PENERAPAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA BUNDLE
TERHADAP KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENCEGAHAN
VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA DI ICU RSU HAJI
SURABAYA”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana keperawatan (S.Kep) pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga.
Bersama ini perkenankanlah saya mengucapakan terimakasih yang sebesar-
besarnya dengan hati yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons), selaku Dekan Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan Program Studi Pendidikan Ners.
2. Bapak Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes, selaku Wakil Dekan I, ibu Eka Mishbahatul
M.HAS.S.Kep.Ns.,M.Kep selaku Wakil Dekan II, bapak Dr AH.Yusuf
S.,S.Kp.,M.Kes selaku Wadek Dekan III, Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada kami
untuk menyelesaikan Program Studi Pendidikan Ners.
3. Ibu Harmayetty, S.Kp., M.Kes selaku pembimbing I dan Ibu Lailatun Ni’mah,
S.Kep., Ns., M.Kep selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk
membagikan ilmunya serta memberikan motivasi yang luar biasa dan penuh
kesabaran sampai diselesaikannya skripsi ini.
4. Ibu Dr. Yulis Setiya Dewi, S.Kep., Ns., M.Ng dan bapak Candra Panji Asmoro,
S.Kep., Ns., M.Kep selaku penguji proposal yang telah memberikan saran dan
masukan demi perbaikan penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Laily Hidayati, S.Kep., Ns., M.Kep dan bapak Candra Panji Asmoro,
S.Kep., Ns., M.Kep selaku penguji hasil penelitian yang telah memberikan
saran dan masukan demi perbaikan penyusunan skripsi ini.

8
6. Seluruh responden perawat ICU dan ICCU yang telah berpartisipasi serta
membantu dalam penelitian ini.
7. Semua dosen dan staf Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah
membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
8. Kepala Diklit RSU Haji Surabaya dr.Abdul Rohim,.SpA dan dr Ali
Mahmud,SpOG(K-FER), selaku ketua Tim Etik RSU Haji Surabaya yang telah
memberikan bantuan dan kerjasamanya dalam penelitian ini.
9. Kepala intalasi intensive care dan pembimbing klinik dr.Yudianto,SpAn.KIC,
Sulistyorini, S.Kep.Ns (IPCN) yang banyak memberikan masukan dan koreksi
dalam penelitian ini. Bapak sugiman S.kep,.Ns sebagai kepala ruangan ICU dan
ibu Khusnul khatimah, SST sebagai kepala ruangan ICCU membantu dalam
penelitian ini.
10. Kedua orang tuaku Bapak Misrawi (almarhum) dan Ibu Mariana, ibu mertua
saya serta suamiku dan kedua anakku sayang terimakasih yang senantiasa
dengan tulus dan ikhlas memberikan doa, dukungan baik moril maupun materiil
kepada saya tiada henti. Dan sesungguhnya semua pencapaian ini saya
persembahkan untuk mereka. Restu ibu, suami dan kedua anakku turut
memudahkan setiap langkah saya dalam menempuh Program Studi Pendidikan
Ners.
11. Teman-teman seperjuangan Program Studi Pendidikan Ners Angkatan 2018 (Aj
1), kebersamaan dan kekompakan selama ini akan menjadi kebahagiaan
tersendiri.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
membantu untuk penyelesaian skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu peneliti
membuka, menerima kritikan yang bersifat membangun untuk kelengkapan atau
kesempurnaan dari skripsi ini, sehingga dapat bermanfaat bagi semua orang.
Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberi
kesempatan, dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Surabaya, 13 Januari 2020

Penulis

9
ABSTRAK

PENGARUH PENERAPAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA


BUNDLE TERHADAP KEPATUHAN PERAWAT DALAM
PENCEGAHAN VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA DI ICU
RSU HAJI SURABAYA
Penelitian Pra-experimental di RSU Haji Surabaya
Oleh: Nanik Dwi Lestari
Pendahuluan: Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) sampai sekarang
masih menjadi masalah perawatan kesehatan seluruh dunia. VAP menjadi
penyebab kematian tertinggi mencapai 20-30% dengan angka mortalitas 0-50%
(Maqbool et al., 2017). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh
penerapan Ventilator associated pneumonia Bundles (VAPb) terhadap kepatuhan
perawat dalam pencegahan Ventilator associated Pnemonia (VAP) di ICU RSU
Haji Surabaya.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian pra-experimental
(One- group pre-post test design). Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di
ruang ICU dan ICCU. Sampel diambil menggunakan total sampling dengan total
responden 46 perawat. Variabel independen adalah pelatihan VAPb terhadap
perawat. Variabel dependen pengetahuan, Attitude toward behavior (sikap),
Subjective norm, Perceived behavioral control, intensi, kepatuhan perawat. Data
diambil dengan memberikan kuesioner. Data dianalisis menggunakan uji statistik
Wilcoxon signed rank test dengan nilai signifikansi α≤0,05.
Hasil dan analisis: uji statistik menunjukkan bahwa pelatihan VAPb
terhadap perawat sebelum dan setelah pelatihan berpengaruh terhadap pengetahuan
(p=0,000), sedangkan pelatihan VAPb tidak menunjukkan pengaruh terhadap
Attitude toward behavior (sikap) (p=0,1000), Subjective norm (p=0,827), Perceived
behavioral control (p=0,257), intensi (p=0,127), kepatuhan perawat (p=0,1000).
Diskusi: Pemberian pelatihan VAPb tidak merubah Attitude toward behavior
(sikap), Subjective norm, perceived behavioral control, intensi, kepatuhan perawat
disebabkan tingkat pengetahuan yang kurang sehingga perlu dilakukan pelatihan
secara rutin, pelatihan khusus VAPb dan monitoring evaluasi pelaksanaan VAPb.

Kata kunci: VAP bundle, VAP, pengetahuan, Attitude toward behavior (sikap),
Subjective norm, Perceived behavioral control, intensi, kepatuhan

10
ABSTRACT

THE EFFECT OF VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA BUNDLE


ON ADHERENCE TOWARD VENTILATOR-ASSOCIATED
PNEUMONIA PREVENTION IN ICU RSU HAJI SURABAYA
Pra-experimental Sudy in RSU Haji Surabaya
By: Nanik Dwi Lestari
Introduction: Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) is still a health care
problem worldwide. VAP is the highest cause of death reaching (20-30%) with a
mortality rate of (0-50%) (Maqbool et al., 2017). The purpose of this study was to
analyze the application of ventilators associated with pneumonia bundles (VAPb)
to the consent of nurses against pneumonia-related ventilators (VAP) at ICU Haji
Hospital Surabaya.
Method: This study used a pre-experimental research design (one group pre-post
test design). The population in this study were nurses in the ICU and ICCU. Samples
were taken using total sampling with a total of 46 nurse respondents. The
independent variable is VAPb training for nurses. Dependent variable knowledge,
Attitudes toward behavior (norms), subjective norms, perception of behavior
control, intention, nurse competence. Data is taken by giving questionnaires and
sheets. Data were analyzed using the Wilcoxon statistical test signing the rank test
with a significance value of α≤0.05.
Results and analysis: statistical tests showed VAPb training of nurses before and
training of knowledge (p = 0,000), while VAPb training did not show an influence
on attitudes towards behavior (attitude) (p = 0.1000), subjective norms (p = 0.827)
, Control of perceived behavior (p = 0.257), intention (p = 0.127), nurse training (p
= 0.1000).
Discussion: The provision of VAPb training does not change Attitude toward
behavior, Subjective norms, perceived behavioral control, intentions, nurse
compliance due to lack of knowledge so routine training is needed, VAPb special
training and monitoring evaluation of VAPb implementation.
Keywords: VAP bundle, VAP, knowledge, attitude toward behavior, subjective
norms, perceived behavioral control, intention, involvement

11
DAFTAR ISI
Halaman

Halaman Depan ii
Lembar Pernyataan iii
Halaman Pernyataan iv
Lembar Pengesahan Pembimbing v
Lembar Penguji vi
Motto vii
Ucapan Terima Kasih viii
Abstrak xi
Abstract xii
Daftar Isi xiii
Daftar Tabel xvi
Daftar Lampiran xviii
Daftar Singkatan, xix

BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 1
1.2 5
1.3 6
1.3.1 6
1.3.2 6
1.4 6
1.4.1 6
1.4.2 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 8


2.1 8
2.1.1 8
2.1.2 8
2.1.3 9
2.1.4 11
2.1.5 16
2.1.6 17
2.2 22
2.3 24
2.3.1 24
2.3.2 26
2.3.3 27
2.4 47
2.4.1 47
2.4.2 48
2.5 52
2.5.1 52
2.5.2 53
2.5.3 55

12
2.6 71

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 77


3.1 77
3.2 79

BAB 4 METODE PENELITIAN 80


4.1 80
4.2 81
4.2.1 81
4.2.2 81
4.3 81
4.3.1 81
4.3.2 81
4.4 85
4.5 94
4.6 99
4.7 100
4.8 102
4.9 103
4.10 104
4.11 104

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 103


5.1 106
5.1.1 106
5.1.2 107
5.1.3 109
5.2 116
5.2.1 116
5.2.2 121
5.2.3 126
5.2.4 130
5.2.5 133
5.2.6 135

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 136


6.1 139
6.2 139

DAFTAR PUSTAKA 138

13
DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 2. 1 Kategori VAP 10


Tabel 2. 2 Faktor resiko VAP 11
Tabel 2. 3 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) 12
Tabel 2. 4 Pengobatan VAP secara Farmakologi 15
Tabel 2. 5 The Richmond Agitation and Sedation Scale (RASS) 38
Tabel 2. 6 Keaslian penelitian 71

Tabel 4. 1 Definisi operasional....………………………………………………. 82


Tabel 4. 2 Blue print kuesioner pengetahuan 86
Tabel 4. 3 Blue print kuesioner sikap terhadap VAPb 88
Tabel 4. 4 Blue print kuesioner subjectif norm 89
Tabel 4. 5 Blue print kuesioner perceived behavioral control (PBC) 90
Tabel 4. 6 Blue print kuesioner intensi 91
Tabel 4. 7 Kepatuhan perawat terhadap pencegahan VAP 92
Tabel 4. 8 Realiabilitas kuesioner 96

Tabel 5. 1 Karakteristik perawat terhadap kepatuhan VAP..…………………..105


Tabel 5. 2 Pengetahuan perawat sebelum dan setelah pelatihan 106
Tabel 5. 3 Atitude toward behavior perawat sebelum dan setelah perawat
pelatihan 107
Tabel 5. 4 Subjective norm perawat sebelum dan setelah pelatihan 107
Tabel 5. 5 Percieved behavioral control (PBC) perawat sebelum dan setelah
pelatihan 108
Tabel 5. 6 Intensi perawat sebelum dan setelah pelatihan 109
Tabel 5. 7 Analisis Kepatuhan Perawat sebelum dan setelah pelatihan 110

14
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2. 1 Algoritma strategi diagnostik dan penatalaksanaan 14


Gambar 2. 2 Mekanisme dan faktor resiko terjadi VAP (Rawal et al., 2018)
17
Gambar 2. 3 19
Gambar 2. 4 Pencegahan VAP menurut (Hill, 2016) 22
Gambar 2. 5 VAP 26
Gambar 2. 6 30
Gambar 2. 7 6 langkah menurut WHO(2009) 31
Gambar 2. 8 33
Gambar 2. 9 36
Gambar 2. 10 Protokol mobilisasi 45
Gambar 2. 11 Alat mengukur tekanan 47

Gambar 3. 1 Kerangka konseptual penerapan 77

Gambar 4. 1 Desain penelitian 80


Gambar 4. 2 Kerangka operasional penelitian 100

15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Lembar penjelasan penelitian.……………………………. 132
Lampiran 2 Lembar persetujuan responden………...…………………. 134
Lampiran 3 Kuesioner penelitian………………...……………………. 135
Lampiran 4 Satuan acara penyuluhan….………………………………. 143
Lampiran 5 Cek List monitoring VAP………………………................ 163
Lampiran 6 Bundle ventilator…………...……………………............... 165
Lampiran 7 Lembar observasi icu………...…………………………… 167
Lampiran 8 SOP ventilator mekanik…………………………………... 168
Lampiran 9 Surat perijinan dari fakultas........…………………………. 169
Lampiran 10 Surat perijinan dari RSU Haji Surabaya………….............. 170
Lampiran 11 Ijin kuesioner suadyani…………………………………… 171
Lampiran 12 Ijin kuesioner ajzen…………….…………………………. 172
Lampiran 13 Ijin ceklis vap...…………………………………................ 178

16
DAFTAR SINGKATAN

ATS : America Thoracic Society


CDC : Centers for Disease Control and Prevention
CPSI : Clinical Pulmonary Infection Score
DVT : Deep Vain Trombosis
EBGs : Evidence Based Quide Liness
ETT : Endotraceal Tube
HAIs : heathcare aquiered infeksius
IHI : Institute for Healthcare Improvement
ICU : Intensive Care Unit
IDSA : Infectious Diseases Society
LOS : Length of Stay
PBC : Perceived Behavior Control
RASS : Richmond Agitation Seation Scala
RS : Rumah Sakit
RSU : Rumah Sakit Umum
SBT : Spontan Breathing Trial
SOP : Standar Operasional Prosedur
TPB : Theory of Planned Behavior
VAP : Ventilator Associated Pnemonia
VM : Ventilator Mechanic
VAPb : Ventilator Associated Pnemonia Bundle

17
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) sampai sekarang masih menjadi

masalah perawatan kesehatan seluruh dunia. VAP menjadi penyebab kematian

tertinggi mencapai 20-30% dengan angka mortalitas 0-50% (Maqbool et al., 2017).

VAP di Amerika Serikat mencapai 25% dan meningkat 6-20 kali pada pasien yang

memakai Ventilation Mekanic (VM). Angka kematian di Intensive Care Unit (I CU)

menunjukkan hasil 20-50% karena infeksi (Grgurich, Hudcova, Lei, Sarwar, &

Craven, 2012). Di Iran, angka kematian karena VAP antara 10-40%. Dampaknya

Length of Stay (LOS) pasien dengan VAP menjadi 4-19 hari dan biaya rumah sakit

meningkat menjadi $40.000-57.000 (Yazdani, Sabetian, Roudgari, & Feizi, 2015).

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2019 menyatakan

63% pasien ICU terjadi VAP. Kejadian VAP ini dikarenakan oleh kolonisasi oral

dari mikroorganisme, mikroorganisme ini mirip dengan di organ paru-paru. Bakteri

yang terkandung diantaranya P.Aeruginosa dan bakteri Enterobacteria, S Aureus

(Kalil et al., 2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017

VAP merupakan salah satu Healthcare-Associated Infections (HAIs) penyebab

kematian yang sering ditemukan di rumah sakit setelah 48 jam pemakaian VM.

VAP banyak disebabkan karena pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau

tracheostomy (Permenkes No 27, 2017). Pasien terpasang VM sepertiga

mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadi pneumonia nosokomial dari pada

pasien tidak terpasang VM (Spalding, Cripps, & Minshall, 2017). Kejadian VAP
2

meningkat seiring dengan peningkatan durasi penggunaan VM. Estimasi insiden

adalah sebanyak 3% perhari selama 5 hari pertama, 2% perhari selama 6-10 hari,

dan 1% perhari setelah 10 hari (Kalanuria, Zai, & Mirski, 2014a).

Hasil penelitian Jannson et al (2013) di ICU Finlandia didapatkan

pengetahuan perawat ICU tentang evidence-based guidelines (EBGs) masih kurang

59,9% sedangkan sikap kepatuhan VAPb 84,0%. Hambatan utama terhadap EBGs

disebabkan sumber daya yang tidak memadai dan ketidaksesuaian VAP bundles

(VAPb), kurangnya waktu, keterampilan, pengetahuan, dan bimbingan (Jansson,

Ala-Kokko, Ylipalosaari, Syrjälä, & Kyngäs, 2013). Dilaporkan Peng et al 2015 di

Cina, kepatuhan perawat dalam melaksanakan VAPb belum optimal dan tidak tepat

waktu serta kurang menyeluruh (Peng et al., 2015). Hasil penelitian Resar et al

2015 pada 35unit ICU menggunakan VAPb didapatkan angka kejadian VAP

menurun 44,5% (Resar et al., 2005). Pelaksanaan prosedur VAPb dipengaruhi

antara lain kepatuhan, tangkat professional dan kerja sama tim (Kollef, 2015).

Dalam rangka standarisasi prosedur untuk meningkatan kepatuhan VAPb, di

Rumah Sakit Pusat Jantung menggunakan checklist dengan metode Delphi untuk

evaluasi dan observasi kepatuhan (Li et al., 2018a). Penerapan teknik VAPb sudah

dilaksanakan namun kejadian VAP masih ada (Metersky & Kalil, 2018).

Hasil penelitian Idawaty, Huriani dan Gusti (2018) VAP di RSUP Dr. Djamil

Padang menunjukkan angka 85,1% hal tersebut disebabkan oleh standar

operasional prosedur yang tersedia belum sesuai dengan VAPb. Ditemukan perawat

yang tidak konsisten dalam menerapkan intervensi keperawatan untuk pencegahan

VAP dan ketidaktahuan perawat dalam penerapan VAPb. Penelitian lainnya yang

dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) kejadian VAP 36% dengan angka


3

mortalitas 57,2 %. VAP di RSCM disebabkan pemberian antibiotik empiris yang

tidak tepat, prokalsitonin yang tinggi, usia pasien 60 tahun atau lebih dan renjatan

sepsis (Saragih, Amin, Sedono, Pitoyo, & Rumende, 2017).

Penelitian yang telah dilakukan di RS Katolik Surabaya

ditemukan bahwa kejadian VAP pada tahun 2015 0,29-0,63/mil.

Sementara standar yang ditetapkan rumah sakit ≤ 0,1/mil.

Hasil penelitian Suadnyani tahun 2017 tentang perilaku

kepatuhan perawat dalam pencegahan VAP masih kurang

yaitu sebesar 31,8%. Penyebabnya adalah kurangn intensi

yang baik dalam berperilaku patuh (Suadnyani, 2017). Hasil

laporan HAIs (2018) di RS Haji Surabaya tahun 2015

didapatkan pasien yang terpasang alat VM 220 orang (0,45%)

dengan jumlah pasien yang terpasang alat sebanyak 753 hari

(1,33%). Tahun 2016 jumlah pasien yang terpasang alat VM 228

orang (0,88%) dengan jumlah pasien yang terpasang alat

sebanyak 753 hari (2,76%). Tahun 2017 jumlah pasien yang

terpasang alat 208 orang (0,48%) dengan pasien yang

terpasang alat sebanyak 1027 hari (0,97%). lLaporan HAIs RSU

Haji Surabaya kejadian VAP tahun 2016 mengalami

peningkatan sebesar 108%, sedangkan pada tahun 2017

mengalami penurunan kembali sebesar 65% dengan standar

mutu yang ditetapkan (< 5‰).


4

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis di RS Haji Surabaya melalui

teknik wawancara pada tanggal 11 Juli 2019 didapatkan data bahwa dari 46

perawat 7 perawat yang diwawancarai terdapat 4 perawat kurang memahami

pengisian VAPb dan pencegahan VAP, didapatkan dalam lembar observasi

penilaian sedasi dan SBT (spontan breathing trial) tidak pernah di isi disebabkan

belum tahu cara pengisiannya,oral haygine masih dilakukan 1kali sehari pada dinas

pagi,perawat belum konsisten menerapkan cuci tangan sesuai prosedur,tidak ada

jadwal penggatian sirkuit ventilator,oleh karena itu kejadian VAP setiap tahun di

RS Haji Surabaya masih ada, seharusnya kejadian VAP menunjukkan data <5‰

dari standar yang ditetapkan.

Hasil penerapan di RS Albany New York City menunjukkan bahwa sejak

perawat patuh dan mampu mengaplilkasikan VAPb, angka kejadian VAP turun

menjadi 0 kejadian (Futaci, Arifin & Saktini, 2013). Saber (2011) melakukan

penelitian tentang implementasi VAPb di ICU dan berhasil menunjukkan

penurunan angka kejadian VAP pada pasien yang terpasang ventilator, dari 71.400

kasus menjadi 46.100 kasus. Depkes RI Nomer 27,Tahun 2017 pencegahan VAP

di Indonesia telah dilakukan pencegah dan pengendalian VAP dengan VAP

Bundels (Permenkes No 27, 2017). Sikap, pengetahuan, kepatuhan perawat dalam

pencegahan VAP dilakukan dengan theory of planned behavior (TPB)

(ajzen,2005).

Kalanuria, Zai and Mirski (2014b) menyatakan bahwa VAP sebagian besar

berasal dari aspirasi organisme orofaring ke bronkus distal. Organisme tersebut

membentuk biofilm oleh bakteri diikuti dengan proliferasi dan invasi bakteri pada

parenkim paru. Pada keadaan normal, organisme di dalam rongga mulut dan
5

orofaring didominasi oleh Streptococcus viridans, Haemophilus species dan

organisme anaerob. Adanya air liur yang mengandung immunoglobulin dan

fibronectin menjaga keseimbangan organisme rongga mulut, sehingga jarang

didapatkan basil gram negatif aerobik. Organisme yang dominan di dalam rongga

mulut yaitu basil gram negatif aerobik dan Staphylococcus aureus (Kalanuria et al.,

2014b). Terpasangnya ETT akan menjadi jalan masuk bakteri secara langsung

menuju saluran nafas bagian bawah. Hal ini akan mengakibatkan adanya bahaya

antara saluran nafas bagian atas dan trakea, yaitu terbukanya saluran nafas bagian

atas dan tersedianya jalan masuk bakteri secara langsung. Karena terbukanya

saluran nafas bagian atas akan terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk

menyaring dan menghangatkan udara. Sekret dalam saluran nafas akan tergenang

dan menjadi media untuk pertumbuhan bakteri (Rahman, Huriani, & Julita, 2017).

Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi VAP adalah dengan

VAPb. VAP bundle digambarkan sebagai sekelompok intervensi berbasis-bukti

yang akan membantu mencegah VAP. VAPb diterbitkan oleh The Institute for

Healthcare Improvement (IHI) dan telah dinyatakan dapat menurunkan angka

kejadian VAP bila diimplementasikan secara sempurna pada semua pasien yang

terpasang ventilator. Berdasrkan latar belakang tersebut diperlukan suatu penelitian

untuk mengetahui apakah ada pengaruh Ventilator associated pneumonia bundles

(VAPb)terhadap kepatuhan perawat dalam pencegahan ventilator associated

pneumonia (VAP) di RS Haji Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah


6

Apakah ada pengaruh penerapan Ventilator associated pnemonia Bundles

terhadap kepatuhan perawat dalam pencegahan Ventilator associated Pnemonia

(VAP) di ICU RSU Haji Surabaya.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Menganalisis implementasi pengaruh penerapan Ventilator associated

pneumonia Bundles (VAPb) terhadap kepatuhan perawat dalam pencegahan

Ventilator associated Pnemonia (VAP) di ICU RSU Haji Surabaya.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Menganalisis pengaruh pelatihan VAPb terhadap pengetahuan perawat.

2. Menganalisis pengaruh pelatihan VAPb terhadap Atitude toward behavior

(Sikap terhadap VAPb)

3. Menganalisis pengaruh pelatihan VAPb terhadap subjectif norm

4. Menganalisis pengaruh pelatihan VAPb. Terhadap perceived behavior control

(PBC)

5. Menganalisis pengaruh pelatihan VAPb terhadap intensi

6. Menganalisis pengaruh pelatihan VAPb.terhadap kepatuhan perawat

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Hasil penelitian dapat membuktikan VAP bundle dan ceklist dapat di gunakan

untuk mengetahui kepatuhan perawat di ruang ICU.

1.4.2 Praktis
7

1. Ruang ICU

Hasil penelitian dapat memberikan informasi khususnya pengaruh penerapan

Ventilator Associated Pneumonia Bundle (VAPb) terhadap kepatuhan perawat

dalam pencegahan Ventilator Associated Pneumonia (VAP).

2. Perawat

Hasil penelitian untuk menambah pengetahuan, sikap, norma subjektif, perceived

behavior control, intensi dan kepatuhan terhadap VAPb.

3. PPI

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan terhadap permasalahan

tentang penerapan VAPb khususnya untuk Komite PPI dalam program

survailans pencegahan dan pengendalian HAIs.

4. Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam

upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit dalam penerapan ventilator

associated pneumonia bundle terhadap kepatuhan perawat dalam pencegahan

ventilator associated pneumonia di RSU Haji Surabaya.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

2.1.1 Pengertian

Ventilator-associated pneumonia (VAP) berdasarkan Centers for Disease

Control and Prevention (CDC) adalah pneumonia yang terjadi setelah pemasangan

intubasi endotrakea lebih dari 48-72 jam adanya infiltrat baru atau persisten pada

gambaran radiologi; demam >38,5◦C; leukositosis atau leukopenia; hasil kultur

aspirasi endotrakea positif(CDC, Ncezid, & DHQP, 2019). VAP merupakan salah

satu bagian dari Hospital acquired pneumonia (HAP) (Permenkes No 27, 2017).

2.1.2 Epidemologi

Ventilator-associated pneumonia VAP dapat terjadi pada 9-27% dari semua

pasien diintubasi dan menyumbang 86% dari pneumonia nosokomial di ICU

(Samra, Sherif, & Elokda, 2017a). VAP adalah salah satu jenis yang paling umum

dari Intensif Care Unit (ICU). Di Eropa, Insiden tetap lebih tinggi daripada di

Amerika Serikat meskipun VAPb dilaksanakan . Berbagai Metode pendekatan

multimodal untuk menurunkan kejadian VAP sudah dilakukan morbiditas dan

mortalitas masih tinggi(Jadot et al., 2018).

Persatuan Dokter Intensive Care Indonesia tahun 2009 di Indonesia, sampai

saat ini data mengenai insidensi nasional VAP belum tersedia. Keterlibatan VAP

menyebabkan terjadinya peningkatan lama rawat inap rata-rata antara 7 sampai 9

hari perpasien dan juga dilaporkan menyebabkan peningkatan biaya perawatan

sampai lebih dari US$ 40.000 per pasien. Data-data yang ada mengindikasikan

bahwa insiden berkisar antara 5 sampai 10 kasus per 1.000 pasien rawat inap, dan
9

pada pasien yang menggunakan ventilator insidensinya dapat meningkat antara 6

sampai 20 kali lipat. Insidensi VAP yang akurat sulit untuk didefinisikan, oleh

karena adanya kemungkinan saling silang dengan infeksi saluran napas bawah

lainnya seperti trakeobronkitis infeksiosa pada pasien yang menggunakan

ventilator. Insidensi yang pasti dapat bervariasi tergantung dari definisi kasus dan

populasi yang dievaluasi.

Ventilatory Associated Pnemonia (VAP) menyebabkan kurang lebih 25%

dari semua infeksi di ICU dan lebih dari 50% dari semua antibiotika yang

diresepkan. VAP timbul pada 9-27% dari semua pasien yang diintubasi. Pada

pasien-pasien ICU, hampir 90% dari VAP timbul pada saat penggunaan ventilasi

mekanik. Pada pasien-pasien dengan ventilasi mekanik, insidensi VAP meningkat

seiring dengan peningkatan durasi pemakaian ventilator. Risiko untuk VAP paling

tinggi terjadi pada saat masa-masa awal rawat inap, dan estimasinya berkisar sekitar

3%/hari untuk lima hari pertama rawat inap, 2% untuk lima sampai sepuluh hari

dan 1% per hari untuk selanjutnya (Perdici Dr. Yohannes George SpAn. KIC,

2008)

2.1.3 Etiologi dan klasifikasi

1. Etiologi

Penyebab VAP biasanya tergantung pada durasi Invasive Ventilation

Mekanic (IVM). VAP, terjadi dalam empat hari pertama pemakian VM,

biasanya disebabkan oleh bakteri yang didapat dari komunitas antibiotik-

sensitif seperti Haemophilus dan Streptococcus. VAP lebih dari 5 hari setelah

inisiasi dari VM biasanya disebabkan oleh bakteri resisten seperti

Pseudomonas aeruginosa (Miller, 2018). Widyaningsih (2016), RSAB


10

Harapan Kita, Jakarta penyebab VAP kuman gram negatif yang paling

dominan Pseudomonas sp. (22,4%), Pseudomonas aeruginosa (18,1%),

Stenotrophomonas maltophilia (9.5%), Serratia marcescens (8,6%),

Enterobacter aerogenes (7,8%), Klebsiella pneumonia, Bacillus sp., dan

Escherichia coli masing-masing 5,2% (Widyaningsih & Buntaran, 2016)

2. Klasifikasi Ventilatory Associated Pnemonia

Rawal et al., 2018 Klasifikasi VAP dikategorikan menjadi dua kategori antara lain:

1) Onset awal (Early onset):

VAP yang terjadi dalam 48-96 jam setelah intubasi. Hal ini biasanya

berhubungan dengan antibiotik spesies yang rentan.

2) Akhir onset (Late-onset):

VAP yang terjadi lebih dari 96 jam setelah intubasi. Hal ini biasanya

berhubungan dengan organisme yang resisten Multi Drug Resistant

(MDR) (Rawal et al., 2018).

Kalanuria, Zai and Mirski, 2014 kategori klasifikasi VAP

berdasarkan kuman dapat dilahat pada tabel 2.1 dibawah ini.

Tabel 2. 1 Kategori VAP


Early onset Late-onset
(Kurang dari 4 hari) (Lebih dari 5 hari)

1. Streptococcus pneumoniae 1. MDR bacteria


1) Hemophilus influenzae Acinetobacter
2) Methicillin-sensitive 2. Pseudomonas aeruginosa
3) Staphylococcus aureus (MSSA) 3. Extended-spectrum-beta-
2. Antibiotic-sensitive enterc Gram-negative lactamase producing
1) bacilli bacteria (ESBL)
2) scherichia coli
3) Klebsiella
4) Pneumonia
5) Enterobacter species
6) Proteus species
7) Serratiamarcescens
11

3. Faktor risiko VAP

Rawal.et.al 2018 Faktor resiko terjadinya VAP antara lain dapat dilihat di tabel

2.2 dibawah ini:

Tabel 2. 2 Faktor resiko VAP


A. Faktor resiko 1) Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
endogen (terkait (1) Umur (> 60 tahun)
dengan pasien) (2) Jenis kelamin (laki-laki dan perempuan)
(3) Kondisi medis:
(4) PPOK,
(5) infeksi HIV
(6) ARDS
(7) MODF
(8) Trauma kepala
(9) bedah saraf
(10) koma

2) Faktor yang dapat dimodifikasi


(1) Intubasi (jumlah dan frequency)
(2) Posisi tubuh pasien (posisi terlentang)
(3) Penggunaan obat / antibiotik
(4) Lambung over-disteded

B. Faktor resiko eksogen 3) Resiko dari peralatan yang diguakan


(1) Endotrakeal tube dan sirkuit ventilator
(2) Tekanan rendah dicuff ETT
(3) Tabung Orogastric atau nasogastric (NGT)

4) Faktor resiko dari perawat, dokter,


5) Hand haygiene yang tidak sesuai prosedur.
6) Tidak menggunakan APD sesuai prosedur.

2.1.4 Diagnosis dan penatalaksana VAP

American Thoracic society Consensus Conference on VAP (ATS) diagnosis

VAP berdasar pembentukan infiltrat baru yang progresif pada foto toraks disertai

paling sedikit dua dari tiga gejala: demam >38◦C, leukositosis atau leukopeni dan

sekret purulen. Gambaran foto toraks disertai dua dari tiga kriteria tersebut

memberikan sensitivitas 69% dan spesifisitas 75% (Kalanuria, Zai and Mirski,

2014).
12

Depkes No 27/2017 menetapkan untuk mengetahuai diagnosis VAP

berdasarkan tiga komponen yaitu (1) tanda infeksi sistemik yaitu demam suhu

>38C‫ﹾ‬, (2) takikardi denyut nadi >100 kali permenit dan (3) leukositosis hasil

pemeriksaan darah lekosit 12.000/mm² yang disertai dengan gambaran infiltrat baru

ataupun perburukan di foto toraks dan penemuan bakteri penyebab infeksi paru

(Permenkes No 27, 2017).

Kalanuria, Zai and Mirski, 2014 Diagnosis VAP ditegakkan setelah

menyingkirkan adanya pneumonia sebelumnya, terutama pneumonia komunitas

(Community Acquired Pneumonia). Bila dari awal pasien masuk ICU sudah

menunjukkan gejala klinis pneumonia maka diagnosis VAP disingkirkan, namun

jika gejala klinis dan biakan kuman didapatkan setelah 48 jam dengan ventilasi

mekanik serta nilai total CPIS > atau = 6, maka diagnosis VAP dapat ditegakkan,

jika nilai total CPIS <6 maka diagnosis VAP disingkirkan Spesifisitas diagnosis

klinis dapat ditingkatkan dengan menghitung Clinical Pulmonary Infection Score

(CPIS) yang menggabungkan data klinis, laboratorium, perbandingan tekanan

oksigen dengan fraksi oksigen (PaO2/FiO2) dan foto toraks. Skor <6

menyingkirkan diagnosis VAP sedangkan skor lebih tinggi mengindikasikan

kecurigaan VAP. CPIS menggunakan penilaian VAP dengan menggunakan

Clinical Pulmonary Infection Score dapat di lihat di tabel 2.3 bawah ini.

Tabel 2. 3 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)


Komponen Nilai Skor
1. Suhu (° Celsius) 1) 36,5-38,4 ° C 0
2) 38,5-38,9 ° C 1
3) ≤ 36 atau ≥ 39 ° C 2

0
2. Leukosit dalam darah (sel / mm 3) 1) 4,000-11,000 / mm 3 1
2) <4.000 atau> 11.000 / mm 3 2
3) ≥ 500 Bandcell
0
13

3. Sekresi trakea (skala visual yang 1


subjektif) 1) Ketiadaan sekresi
2) Adanya sekresi trakea non purulen 2
3) Adanya sekresi trakea purulent

0
4. Foto THorax (pada radiografi dada, 1) Tidak ada infiltrat 1
tidak termasuk CHF dan ARDS) 2) Bercak atau infiltrat diffus 2
3) Infiltrate local

0
5. Hasil kultur (endotrakeal aspirasi) 1) Tidak ada atau pertumbuhan 1
ringan
2) sedang atau ada pertumbuhan 2
kuman
3) Pertumbuhan kuman sedang dan
ada patogen konsisten dengan 0
pewarnaan Gram 2

6. Oxygenation status (PaO2:FiO2)


1) ≥ 240 ARDS
2) ≤ 240 tidak adanya ARDS

PERDICI 2009, ATS 2016 dan IDSA 2016, semua pasien yang dicurigai

VAP harus dilakukan pemeriksaan kultur sputum. Bila hasil pemeriksaan sputum

positif berarti pneumonia atau infeksi ekstra pulmonal. Algoritma strategi

diagnostik dan penatalaksanaan pneumonia nosokomial dapat dilihat pada gambar

2.1 di bawah ini


14

Suspek VAP

Kultur diambil dari saluran napas bawah


(kuantitatf dan mikrokopis)

Mulai terapi antibiotik secara empiris sesuai algoritma dan data


microbiologi lokal kecuali hasil pemeriksaan mikrokopis
negative dan klinis pneumoni tidak terlalu mendukung

Hari ke 2 & 3 pemeriksaan kultur dan nilai respon


klinis(suhu,lekosit,foto thorax,sputum,oksigen asi dan
perubahan hemodinamik dan fungsi organ

tidak Perbaikan klinis pada jam ke 48-72 jam ya

Kultur (-)
Kultur (+)
Kultur (+)
Kultur (-)
Cari :
Pathog
Pertimbangkan
en lain
penghentian
Diagnos antibiotik
e lain
Infeksi
Penurunan
Sesuikan terapi antibiotik jika
antibiotic memungkinkan
Cari komplikasi Obati selama 7-
lain 8 hari dan
Patogen

Gambar 2. 1 Algoritma strategi diagnostik dan penatalaksanaan VAP PERDICI


(2009),ATS (2016),IDSA (2016)
15

Infectious Diseases Society of America and the American Thoracic Society

(IDSA) Pengobatan VAP secara farmakologi dengan antibiotik yang di

rekomendasikan sesuai dengan waktu onset ((File, 2017). Pemberian dosis optimal

disesuaikan pada gagal hati dan ginjal, harus sering diukur untuk menghindari efek

samping sistemik yang tidak diinginkan. Pemberian dianjurkan adalah melalui infus

intravena. Durasi terapi biasa adalah 8 hari kecuali pengobatan untuk organisme

yang resisten multi-obat, dalam hal ini pengobatan akan dilakukan selama 14 hari

(File, 2017). Jenis antibiotik yang diberikan dapat dilihat pada tabel 2.4 di bawah

ini.

Tabel 2. 4 Pengobatan VAP secara Farmakologi


Early-onset VAP Late-onset VAP

1. Sefalosporin generasi kedua atau 1. Sefalosporin misalnya,


ketiga: misalnya: 1) cefepime: 1-2 g setiap 8 jam
1) ceftriaxone: 2g setiap hari 2) ceftazidime 2 g setiap 8 jam
2) cefuroxime: 1,5 g setiap 8 ATAU
jam 2. Carbepenem misalnya,
3) sefotaksim: 2 g setiap 8 jam 1) imipenem + cilastin: 500 mg setiap 6 jam atau 1 g
ATAU setiap 8 jam
2) meropenem: 1 g setiap 8 jam
2. Fluoroquinolon misalnya,
ATAU
1) levofl oxacin: 750 mg setiap
3. Penghambat beta-laktam / beta-laktamase
hari
misalnya
2) moxifl oxacin: 400 mg setiap 1) piperasilin + tazobactam: 4,5 g setiap 6 jam
hari PLUS
ATAU 4. Aminoglikosida misalnya
3. Aminopenicillin + beta-lactamase 1) amikacin: 20 mg / kg / hari
inhibitor misalnya, 2) gentamisin: 7 mg / kg / hari
1) ampisilin + sulbaktam: 3 g 3) tobramycin: 7 mg / kg / hari
setiap 8 jam ATAU
ATAU 5. Antipseudomonal/uoroquinolone misalnya,
4. Ertapenem 1 g setiap hari 1) ciprofl oxacin 400 mg setiap 8 jam
2) levofl oxacin 750 mg setiap hari
PLUS
6. Cakupan untuk MRSA misalnya
1) vankomisin: 15 mg / kg setiap 12 jam
ATAU
7. linezolid: 600 mg setiap 12 jam
16

2.1.5 Mekanisme VAP

Mekanisme VAP sangat komplek, Kollef 2015 insiden VAP tergantung pada

lamanya paparan lingkungan perawat dan dokter dan faktor kesehatan yang lain.

Faktor-faktor endogen dan eksogen kemungkinanan dapat meningkatkan terjadinya

VAP dengan cara meningkatkan terjadinya kolonisasi traktus aerodigestive. Sistem

pernapasan normal mempunyai berbagai mekanisme pertahanan paru terhadap

infeksi seperti glottis dan laring, refleks batuk, sekresi trakeobronkial, gerak

mukosilier, imunitas humoral, serta sistem fagositik. Pneumonia akan terjadi

jika pertahanan tersebut terganggu dan invasi mikroorganisme virulen.

Sebagian besar terjadinya VAP disebabkan oleh aspirasi kuman

patogen yang berkolonisasi dipermukaan mukosa orofaring. Intubasi adalah cara

paling mudah untuk kuman masuk dan menyebabkan kontaminasi sekitar ujung

pipa endotrakeal pada penderita. Dengan posisi terlentang kuman gram negatif dan

staphylococcus aureus merupakan koloni yang sering ditemukan disaluran

pernapasan atas saat menjalani perawatan lebih dari 5 hari. VAP dapat terjadi juga

karena mikroaspirasi lambung, bronkoskopi serat optik, penghisapan lendir sampai

trakea maupun ventilasi manual dapat mengkontaminasi kuman patogen ke

dalam saluran pernapasan bawah.

Mikroorganisme patogen dan meningkatkan terjadinya aspirasi sekret

yang terkontaminasi ke dalam saluran napas bawah. Kuman yang teraspirasi akan

menghasilkan biofilm didalam saluran napas bawah dan di parenkim paru. Biofilm

tersebut akan memudahkan kuman untuk menginvasi parenkim paru lebih lanjut

sampai kemudian terjadi reaksi peradangan di parenkim paru.


17

Rawal et.al 2018 lambung adalah reservoir utama kolonisasi dan aspirasi

mikroorganisme. Kolonisasi mikroorganisme dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti pemakaian obat yang memicu kolonisasi bakteri (antibiotika dan

pencegah stress ulcer), posisi pasien yang datar, pemberian nutrisi enteral, dan

derajat keparahan penyakit pasien.

Factor resiko Koloni Faktor risiko


endogen aerodigesif eksogen

Prosedur
Umur > 60 tahun, invasiv
Jenis kelamin. Pipa napas,
Penyakit akut Kontrol
balon pipa
/kronik
infeksi
Imunodefisiensi.
Merokok/PPOK.
Peminum alkohol Koloni Inokulasi

trakeobronkial langsung,

Respon imun (host) Patogen, virulensi

Emboli septik VAP Bakterimia

Gambar 2. 2 Mekanisme dan faktor resiko terjadi VAP (Rawal et al., 2018)
2.1.6 Pencegahan VAP

Todi and Chawla, (2012) pencegahan VAP dibagi 2 kategori yaitu strategi

farmakologi yang mempunyai tujuan untuk menurunkan kolonisasi kuman pada

saluran cerna terhadap kuman patogen serta strategi non farmakologi yang

bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi (Todi & Chawla, 2012).

1. Pencegahan nonfarmakologi lebih murah untuk dilaksanakan bila

dibandingkan dengan pencegahan secara farmakologi meliputi, menghindari

intubasi trakea, penggunaan VM sesingkat mungkin, pembagian kerja tim


18

perawat dan dokter, subglottic suctioning, intubasi nonnasal, menghindari

manipulasi yang tidak perlu pada sirkuit ventilator, dan mencuci tangan serta

pemakaian desinfektan sebelum dan esudah kontak dengan pasien.

2. Pencegahan farmakologi meliputi dekolonisasi traktus aerodigestif,

pencegahan pembentukan biofilm kuman, dan menghindari penggunaan

profilaksis stress ulcer secara berlebihan.

Rawal et al.,2018 pencegahan VAP di lakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Mengurangi faktor resiko

Pasien terpasang ETT dan durasi pemakian VM merupakan faktor resiko

terjadinya VAP. Pembatasan penggunaan VM di ICU dapat dicapai dengan

cara:

1) Non Ivasif ventilation (NIV):

Penggunaan NIV sebagai penggati pemakian ETT.Tujuan pemakian NIV

sebagai pengganti ETT untuk mengurangi risiko VAP dengan demikian

menurunkan mortalitas / morbiditas.

2) Pengkajian sedasi dan Spontaneous Breathing Trial (extubasi/ wining)).

Dengan melakukan Pengkajian sedasi dan Spontaneous Breathing Trial

(extubasi/ wining)), mobilisasi dini dapat mengurangi durasi VM.

Tujuannya menghidari kolonisasi dan masuknya bakteri langsung ke paru-

paru dan mengurangi panjang pemakaian VM.

3) Menghindari re-intubasi:

Re-intubasi (kegagalan wining) tindakan ekstubasi yang tidak hati-hati dan

direncana dapat menyebabkan terjadi risiko aspirasi yang lebih tinggi dan
19

mengarah ke tingkat VAP yang lebih tinggi. Ekstubasi harus direncanakan

dengan hati-hati dengan cara sesuai prosedur.

2. Mengurangi kolonisasi mikroaspiri dan penggunaan ETT

1) Endotrakeal tube (ETT) dengan suction subglottic:

Endotrakeal tube dengan suction subglottic yaitu ETT yang

memiliki port suction subglottic. Port suction subglottic dapat

menurunkan tingkat kejadian VAP. Port digunakan secara intermiten atau

untuk pengisapan kontinu dapat membantu menghilangkan sekresi yang

terkumpul di atas manset ETT, sehingga mencegah aspirasi.

Gambar 2. 3 Endotrakeal tube (ETT) dengan suction subglottic


https://www.slideshare.net/RandyClare/vyaire-tri-flo-subglottic-suctioning-external-
presentation-v4

2) Posisi pasien head up:

Pasien yang diposisikan head up (semi-telentang) 30-45◦ telah terbukti

memiliki insiden VAP yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien

dalam posisi terlentang. Posisi Head up 30-45⸰untuk mengurangi aspirasi

isi lambung.
20

3) Endotrakeal tube (ETT) berlapis antimikroba:

ETT berlapis antimikroba (ETT berlapis silver) telah terbukti mengurangi

kolonisasi bakteri intra-luminal dan pembentukan biofilm. Berdasarkan

pada hipotesis bahwa mikroorganisme dari orofaring atau refluks

lambung. Setelah mencapai permukaan lumen-dalam ETT menghasilkan

biofilm yang melindungi organisme terhadap mekanisme pertahanan

alami pasien dan membantu dalam proliferasi bakteri. Ketika biofilm ini

lepas secara spontan atau karena pengisapan / bronkoskopi, dapat

menimbulkan risiko signifikan yang menyebabkan VAP. ETT yang

dilapisi perak memiliki sifat bakterisida, sehingga mengurangi bakteri.

3. Pengendalian infeksi di ICU

Tujuan untuk pengendalian infeksi adalah mencegah penularan silang

patogen. Strategi pencegahan harus difokuskan pada pendidikan perawat antara

lain penggunaan metode kebersihan tangan yang tepat dan direkomendasikan,

penggunaan alat pelindung diri, dan pengawasan mikrobiologis. Semua

penyedia dokter dan perawat harus termotivasi dan dididik untuk mengikuti

pedoman pencegahan untuk mengurangi kejadian infeksi yang didapat di

rumah sakit.

4. Pencegahan kolonisasi bakteri

Pencegahan kolonisasi bakteri di orofaring, saluran napas bagian atas

dan saluran pencernaan dapat mengurangi kejadian VAP. Pencegahan

kolonisasi bakteri termasuk dekontaminasi oral, selective decontamination of

the digestive tract (SDD). Dekontaminasi oral dengan chlorhexidine telah

digunakan secara luas dalam berbagai penelitian, dan terbukti mengurangi


21

tingkat VAP. SDD mengacu pada penggunaan antibiotik untuk pemberantasan

mikroorganisme patogen yang berada dalam rongga mulut, lambung dan usus.

Chlorhexidine merupakan antimikroba dengan spektrum luas yang

sangat efektif untuk menghambat bateri Gram (-), Gram (+), ragi, jamur,

protozoa, algae dan virus. Chlorhexidine berbahan dasar gelatin terhidrolisa,

mempunyai muatan positif, setelah berinteraksi dengan permukaan sel akan

menghancurkan membran sel untuk masuk ke dalam sel. Kemudian

chlorhexidine akan mempresipitasi sitoplasma sehingga terjadi kematian sel

(Anderson LJ, et al.2004). Chlorhexidine akan diserap oleh lapisan

hidroksiapatit permukaan gigi kemudian akan dilepaskan perlahan-lahan

dalam bentuk aktif sampai dengan 7-10 hari berikutnya (Wiryana, 2007).

5. Teknik Manajemen Ventilasi:

Perubahan ventilator sirkuit: diubah hanya ketika terlihat kotor atau ada

kerusakan sirkuit, dan tidak secara rutin atau sesuai prosedur dari alat sirkuit

yang dipakai. Tekanan cuff ETT harus dipantau secara teratur untuk mencegah

microaspirasi (tekanan harus dijaga di atas 20 cm H2O).

6. VAP Bundle:

Sekelompok tindakan bagi dokter dan perawat untuk pencegahan VAP

di sebut dengan VAPb. VAPb meliputi empat komponen: antara lain (1) head

up 30-45º, (2) penilaian harian ganguan sedasi atau liburan sedasi, (3) penilaian

harian pasien untuk kesiapan untuk extubate dan (4) profilaksis untuk

thrombosis vena dan penyakit ulkus peptikum. Penerapan VAPb sebagai

pencegahan telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi insiden dan

mortalitas dan lama perawatan di ICU.


22

Hill 2016 pencegahan VAP dengan insiden VAP nol maka diperlukan

peran dan kerjasama dalam pencegahan VAP seperti digambarkan pada

gambar 2.5 di bawah ini.

Profilaksis Pasien terpasang Adequate


stress ulkus ETT dan Ventilator sterillisation
ulcer dan cleaning
Mencegah Mengurangi Clean sution
distensi lambung Mengurangi
kolonisasi kontaminasi perawat
Oral haygine peralatan Keeping a
secara teratur di
orofaringeal ventilator closed circuit
3/2x perhari Empaty
Suction sesuai condensatio
Tidak ada
VAP n from vent
Oral haygine
cicuits
dengan
Universal
clorhecxcidine Mengurangi precaution
0.12% Menguran
Cuci tangan
Head up kepala gi aspirasi lama pemakian
Inline suction
tempat tidur 30- ventilator
45 ⸰
Mengukur
Penilaian harian Penilaian harian
tekanan cuff
whining ventilator penyapihan sedasi
secara teratur
Hindari re-
intubasi

Gambar 2. 4 Pencegahan VAP menurut (Hill, 2016)

2.2 Ventillator Mekanik

Ventilasi mekanik adalah alat bantu nafas secara mekanik yang menghasilkan

aliran udara terkontrol pada jalan nafas pasien untuk mempertahankan ventilasi dan

pemberian oksigen dalam jangka waktu lama (Kamayani, 2016). Ventilasi

mekanik merupakan terapi defenitif pada pasien kritis yang mengalami

hipoksemia dan hiperkapnia. Indikasi penggunaannya adalah pada pasien dengan

kondisi gagal nafas yang tidak bisa diperbaiki dengan bantuan nafas biasa. Gagal
23

nafas sendiri dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk mempertahankan pH

7,35-7,45, PaO2 50 mmHg (Wijayanti, 2004).

Ada beberapa komplikasi ventilasi mekanik menurut Whiteley SM. Complications

of Artificial Ventilation (2007) antara lain:

1. Risiko yang berhubungan dengan intubasi endotrakea, termasuk kesulitan

intubasi, sumbatan pipa endotrakea oleh sekret.

2. Intubasi endotrakea jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan laring

terutama pita suara dan trakea. Umumnya setelah 14 hari dilakukan

trakeostomi, namun beberapa institusi saat ini melakukan trakeostomi

perkutaneus lebih awal.

3. Gas ventilasi dapat menyebabkan efek mengeringkan jalan napas dan retensi

sekret dan mengganggu proses batuk sehingga dapat menimbulkan infeksi

paru-paru.

4. Masalah-masalah yang berhubungan dengan pemberian sedasi dan anestesi

yang memiliki efek depresi jantung, gangguan pengosongan lambung,

penurunan mobilitas dan memperlama proses pemulihan.

5. Gangguan hemodinamik terutama pada penggunaan IPPV dan PEEP yang

dapat mengurangi venous return, curah jantung dan tekanan darah sehingga

mengurangi aliran darah ke saluran pencernaan dan ginjal.

6. Barotrauma dan volutrauma

Dampak pemasangan VM adalah saluran napas bagian atas kehilangan fungsi

karena terpasang selang endotrakeal, kemampuan tubuh untuk menyaring dan

melembabkan udara mengalami penurunan. Selain itu, refleks batuk sering

mengalami penurunan bahkan hilang akibat pemasangan selang endotrakeal dan


24

kebersihan mukosasilier bisa terganggu karena cedera mukosa selama intubasi.

Selang endotrakeal menjadi tempat bagi bakteri untuk melekat di trakea. ventilator

sebagai alat bantu napas namun juga berdampak pada pasien menyebakan

terjadinya infeksi. VAPb serangkaian intervensi yang berhubungan dengan

perawatan pada pasien dengan ventilator meknik yang ketika diimplementasikan

Bersama-sama akan mencapai hasil signifikan dibandingkan bila diterapkan secara

individual.

2.3 VAP bundles

Institute for Healthcare Improvement (IHI,2012) dan Centers for Disease

Control and Prevention (CDC, 2012) mengeluarkan sebuah rangkaian pencegahan

VAP yang dinamakan VAP bundle (VAPb) merupakan kumpulan Evidence Based

Practise yang diimplementasikan secara bersama-sama sehingga dihasilkan

penurunan insiden VAP(Guillamet & Kollef, 2015).

2.3.1 VAP bundle

Permenkes RI nomor 27 tahun 2017 tentang pedoman pencegahan dan

pengendalian infeksi. VAP bundle yaitu:

1. Cuci Tangan

Membersikan tangan setiap akan melakukan kegiatan terhadap pasien yaitu dengan

menggunakan lima momen kebersihan tangan. kebersihan tangan adalah

mencegah agar tidak terjadi infeksi, kolonisasi pada pasien dan mencegah

kontaminasi dari pasien ke lingkungan termasuk lingkungan kerja petugas

2. Elevasi kepala tempat tidur (30 -45 derajat)


25

Perawatan pasien terpasang VM dalam posisi semi-berbaring bertujuan untuk

mencegah aspirasi isi lambung (Hellyer, Ewan, Wilson, & Simpson, 2016).

3. Menjaga kebersihan mulut atau oral hygiene setiap 2-4 jam dengan

menggunakan bahan dasar anti septik clorhexidine 0,02% dan dilakukan gosok

gigi setiap 12 jam untuk mencegah timbulnya flaque pada gigi karena flaque

merupakan media tumbuh kembang bakteri patogen yang pada akhirnya akan

masuk ke dalam paru pasien.

4. Manajemen sekresi oroparingeal dan trakeal yaitu:

Suctioning bila dibutuhkan saja dengan memperhatikan teknik aseptik bila harus

melakukan tindakan tersebut

1) Petugas yang melakukan suctioning pada pasien yang terpasang ventilator

menggunakan alat pelindung diri (APD).

2) Gunakan kateter suction sekali pakai.

3) Tidak sering membuka selang/tubing ventilator.

4) Perhatikan kelembaban pada humidifire ventilator.

5) Tubing ventilator diganti bila kotor.

5. Melakukan pengkajian setiap hari „sedasi dan extubasi”:

Melakukan pengkajian penggunaan obat sedasi dan dosis obat tersebut.

Melakukan pengkajian secara rutin akan respon pasien terhadap penggunaan

obat sedasi tersebut. Bangunkan pasien setiap hari dan menilai responnya untuk

melihat apakah sudah dapat dilakukan penyapihan modus pemberian ventilasi.

6. Peptic ulcer disease Prophylaxis diberikan pada pasien-pasien dengan risiko

tinggi.

7. Berikan Deep Vein Trombosis (DVT Prophylaxis.


26

2.3.2 VAP bundles menurut American hospital association (AHA) Health

Research & Educational Trust (HRET) Hospital Engagement Network

(HEN) (2016)

H Head of bed up to 30 — 45 degrees (Elevasi kepala tempat tidur (30 -45

derajat)

E Interal feeding and every 2 hours oral care (Diet enteral dan oral care setiap

2jam)

A Ai r mattress and turn every two hours (Mobilisasi setiap 2 jam)

D DVT prophylaxis (Profilaksis DVT)

S Sedation vacation (pengurangan sedasi)

U Ulcer prophylaxis ( Pencegahan stress ulcer)

P Pain control (kontrol nyeri)

Gambar 2. 5 VAP bundles dikutip (ASMIC 2016)


27

2.3.3 Ventilator Associated Pneumonia Bundles terdiri dari:

1. Cuci tangan (Hand Haygine)

Cuci tangan masuk dalam VAPb tujuannya untuk mengurangi

kontaminasi dari petugas atau dari peralatan ventilator mekanik. Salah satu cara

untuk mencegah kontaminasi silang dari mikrorganisme sehingga dapat

menurunkan dan mencegah insiden kejadian infeksi nosokomial yaitu hand

hygiene, baik itu melakukan proses cuci tangan atau disinfeksi tangan (Akyol,

2007). Cuci tangan yang benar salah satu cara terpenting dalam rangka

pengontrolan infeksi agar dapat mencegah infeksi nosokomial yaitu dengan

cara melaksanakan hand hygiene, baik melakukan cuci tangan ataupun hand

rubbing (Mani, et al, 2010).

a. Tujuan:

1) Cuci tangan dilakukan secara rutin dalam perawatan pasien ialah

untuk menghilangkan kotoran dan bahan organik serta kontaminasi

mikroba dari kontak dengan pasien atau lingkungan (WHO, 2009).

2) Kebersihan tangan tenaga kesehatan sangat membantu pencegahan

penularan kuman berbahaya dan mencegah infeksi terkait perawatan

kesehatan. Hal ini dikarenakan tangan adalah jalur utama penularan

kuman selama perawatan pasien (Pratami, dkk., 2012).

b. Five Moments Hand Hygiene

1) World Health Organization (WHO, 2009) memperkenalkan konsep

five moments hand hygiene sebagai evidence-based untuk mencegah

penyebaran infeksi nosokomial yang harus dilaksanakan sesuai


28

dengan seluruh indikasi yang telah ditetapkan tanpa memperhatikan

apakah petugas kesehatan menggunakan sarung tangan atau tidak.

2) WHO (2009) menetapkan indikasi five moments hand hygiene yang

dimaksud meliputi:

a) Sebelum menyentuh pasien

Indikasi ini bertujuan memutus kejadian kontak terakhir dengan

lingkungan petugas kesehatan serta kontak selanjutnya dengan

pasien. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan mencegah

transmisi kuman dari tangan perawat atau tenaga kesehatan lain

ke pasien.

b) Sebelum prosedur aseptic

Tindakan ini dilakukan bertujuan untuk memutuskan kejadian kontak

dengan semua permukaan lingkungan petugas rumah sakit serta

zona pasien dan segala prosedur bersih/ aseptic termaksuk

kontak langsung atau tidak langsung dengan mukus membran,

kulit yang tidak utuh atau invasive. Tindakan ini bertujuan untuk

mencegah tranmisi kuman ke pasien dan dari satu bagian tubuh

kebagian tubuh lain pada pasien yang sama.

c) Setelah terkena cairan tubuh pasien

Cuci tangan dilakukan segera setelah selesai melakukan tindakan

keperawatan ataupun selesai tindakan yang mengenai risiko

terkena cairan tubuh ataupun setelah selesai melepai sarung

tangan. Indikasi ini bertujuan memutus kejadian kontak dengan

darah pasien. Tindakan cuci setelah kontak dengan cairan tubuh


29

pasien bertujuan unutk melingdungi petugas kesehatan dari

infeksi dengan kuman pasien dan untuk melindungi lingkungan

disekitar petugas kesehatan dari potensi penyebaran kuman.

d) Setelah kontak dengan pasien

Indikasi tindakan ini bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari

potensialnya terkena infeksi oleh kuman dari pasien dan untuk

melindungi lingkungan sekitar petugas kesehatan dari

kontaminasi kuman dan potensial penyebaran.

e) Setelah kontak di lingkungan pasien

f) Setelah menyentuh benda benda di lingkungan sekitar pasien

untuk sementara dan khusus disediakan untuk pasien. Tindakan

ini dilakukan untuk memutus kejadian terakhir dengan benda di

sekitar pasien dan kontak selanjutnya dengan lingkungan di

sekitar petugas kesehatan. Tindakan cuci tangan setelah kontak

dengan lingkungan pasien dilakukan untuk melindungi petugas

kesehatan, melawan kolonial kuman pasien yang mungkin

terdapat pada permukaan / benda di lingkungan sekitar pasien

dan melindungi lingkungan disekitar petugas kesehatan dari

potensial penyebaran kuman.


30

Gambar 2. 6 Five Moments Hand Hygiene (WHO, 2009) dikutip


https://www.hha.org.au/hand-hygiene/5-moments-for-hand-
hygiene.

c. Enam Langkah Hand Hygiene:

1) Prinsip dari 6 langkah hand hygiene antara lain:

Dilakukan dengan menggosokkan tangan menggunakan cairan

antiseptik (handrub) atau dengan air mengalir dan sabun antiseptik

(handwash). Rumah sakit akan menyediakan kedua ini di sekitar

ruangan pelayanan pasien secara merata. Handrub dilakukan selama

20-30 detik sedangkan handwash 40-60 detik. 5 kali melakukan

handrub sebaiknya diselingi 1 kali handwash WHO (2009)

menyatakan 6 langkah prosedur hand hygiene, yaitu:

a) Ratakan sabun dengan kedua telapak tangan

b) Gosokan punggung dan sela-sela jari tangan dengan tangan kanan

dan sebaliknya.

c) Gosokan kedua telapak tangan dan sela-sela jari.

d) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci.


31

e) Kemudian gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan

kanan dan lakukan sebaliknya.

f) Gosok dengan memutar ujung jari ditelapak tangan kiri dan

sebaliknya

Gambar 2. 7 6 langkah menurut WHO(2009)

2. Head of bed up to 30 — 45 degrees (Elevasi kepala tempat tidur (30 -45 derajat)

Pasien dalam kondisi kritis dengan penggunaan ventilator mekanik

disertai dengan feeding tube berisiko tinggi mengalami aspirasi isi gaster.

Elevasi kepala atau di kenal dengan Head of The Bed (HOB) merupakan salah

satu langkah VAPb yang dianjurkan oleh The Institute for Healthcare

Improvement (IHI) adalah 30-45 derajat. Aspirasi dapat di definisikan sebagai

akibat inhalasi dari secret oropharyngeal atau inhalasi dari gaster kedalam

saluran pernapasan. Efek dari aspirasi paru tergantung pada komposisi volume

dari kimia material yang ter-aspirasi serta letak dimana material aspirasi berada

atau ada tidaknya agen infeksi dan kondisi dari pasien itu sendiri. Beberapa

komplikasi yang diakibatkan dari aspirasi, seperti pneumonitis ringan banhkan

terjadi acute respiratory distress dan kematian.

Factor risiko terjadi aspirasi adalah karena kondisi penurunan kesadaran,

peningkatan gastrointestinal refluk, intubasi trakea, penggunaan gastrik tube


32

dan isi perut yang penuh. Elevasi kepala dapat mempengaruhi penurunan

angka kejadian VAP yaitu dengan cara mengurang risiko aspirasi

gastrointestinal atau oropharyngeal, dan sekresi nasopharyngeal. Beberapa

hasil dari studi membantu memperjelas dan menunjukkan bahwa HOB elevasi

unggul daripada posisi flat in bed dalam mencegah aspirasi. Elevasi 30 derajat

umumnya di rekomendasikan dan di praktekkan secara nyata.

Dibuktikan penelitian yang dilakukan oleh Clouse, et al (2006), dimana

didapatkan data pasien dengan elevasi HOB < 30 º memiliki resiko yang

bernilai signifikan untuk terjadinya aspirasi dan pneumonia. Dari penelitian

Ozurt, Sungkurtekin, et al (2007) yang menerangkan jika pasien dengan posisi

terletang 2 - 9 kali lebih beresiko terkena VAP. Hasil penelitian O’Keefe,

Caldwell, et al (2012) yaitu ditemukan VAP sebanyak 23% pada pasien dengan

posisi terlentang dan 5% pasien dibandingkan posisi semi tegak yakni elevasi

30º sampai 45º. Elevasi kepala disarankan untuk meningkatkan ventilasi

pasien. Pasien dalam posisi terlentang akan memiliki volume tidal spontan

yang rendah akibat tekanan ventilasi dan yang membantu ventilasi lebih baik

jika duduk dalam posisi tegak.

Beberapa kontraindikasi yang perlu diperhatikan dalam melakukan

intervensi elevasi kepala 30-45 derajat adalah pada pasien pengguna ventilator

mekanik dalam keadaan: fraktur spinal, fraktur pelvis, pasien dengan intro-

aortic balloon pump (IABP) hipotensi akut, trauma kepala, dan pasien yang

karena beberapa alasan tidak dapat dilakukan elevasi berdasarkan keputusan

terapis. Hasil penilitian (Sari, Delli, & Agrina, 2019) perawat yang mengatur

posisi kepala pasien setinggi 30º - 45º dengan persentase 72,8%.Tidak


33

dilakukan elevasi kepala karena pasien dengan kasus trauma cervical dan

trauma thorax dengan fraktur pelvix (patah tulang panggul) mendapat

perlakuan berbeda yakni tidak dilakukan head up setinggi 30-45 derajat karena

beresiko memperburuk kondisi pasien. Dengan pengaturan posisi kepala

pasien yang tidak sesuai dengan VAPb konsekuensinya adalah resiko terjadi

VAP akibat aspirasi dan pneumoni sangat tinggi.

Gambar 2. 8 Head of bed up to 30 — 45 degrees dikutip (Hang, Nurse, & Care,


2014)Haconvention Hospital Authority Convention.

3. Penghentian secara berkala obat sedasi dan penilain kesiapan ektubasi

a. Spontaneous Breathing Trial (penilaian harian wining ventilator)

PERDICI 2017 Penyapihan di artikan sebagai proses secara

bertahap untuk lepas dari alat bantu pernapasan atau ventilator dan

diperkirakan proses ini memerlukan hampir 40% dari keseluruhan proses

saat di ventilator. Keterlambatan dalam melakukan wining akan

memberikan komplikasi seperti Ventilator Induced Lung Injury (VILI),

Ventilator Associated Pneumonia (VAP) dan Ventilator Induced

Diaphragmatic Dysfunction (VIDD), dampak dari komplikasi


34

ini akan menambah beban biaya bahkan meningkatkan

morbiditas, mortalitas. SBT merupakan bagian dari

cara untuk melakukan proses wining dan untuk

melakukan SBT dapat melalui beberapa cara yaitu

tanpa bantuan tekanan inspirasi (T piece atau CPAP ≈

5 cmH20) atau dengan bantuan tekanan inspirasi

(Pressure support 5 - 8 cmH20 atau automatic tube compentation).

Ouellette D et al merekomendasi penggunaan bantuan tekanan

inspirasi (Pressure support 5-8 cmH20) lebih baik dibanding dengan

menggunakan T piece atau CPAP terutama pada kasus pasca gagal napas

akut yang memerlukan ventilator lebih dari 24 jam. Sebelum melakukan

SBT harus dipastikan apakah penderita siap untuk dilakukan proses

penyapihan. Telah banyak metode untuk meramalkan tentang keberhasilan

atau kegagalan terhadap proses penyapihan dan salah satu yang penting

adalah Rapid Shallow Breathing Index (RSBI) yaitu perbandingan antara

frekuensi pernapasan dan tidal volume perliter, apabila RSBI < 100 – 104

kali /menit/L maka kemungkinan SBT akan berhasil. Marik P

menggabungkan antara RSBI dan minute volume (tidal volume x frekuensi

pernapasan) untuk meramalkan keberhasilan SBT, apabila RSBI < 104 dan

minute volume < 10 l/menit maka keberhasilan SBT akan semakin tinggi.

Didapatkan 11-23 % kasus mengalami kegagalan ekstubasi atau

reintubasi, walaupun sebelum dilakukan SBT di ramalkan akan berhasil.

Saat melakukan proses wining aktif (SBT) haruslah di ikuti atau diawali
35

dengan penilaian tingkat kesadaran yang dikenal dengan pendekatan Wake

Up and Breathe Protocol (Spontaneous Awakening Trials + Spontaneous

Breathing Trials) lihat algoritma penyapihan (gambar 2.9) Apabila

pelaksanaan SBT berjalan dengan baik, diharapkan keberhasilan untuk

lepas lebih awal dari ventilator sangat tinggi.


36

Gambar 2. 9 Wake Up and Breathe Protocol (Spontaneous Awakening Trials +


Spontaneous Breathing Trials) (The AHA/HRET HEN would like to
acknowledge our partner, Cynosure Health, 2016)

b. Penilaian harian penyapihan sedasi

Pemakaian obat sedasi yang terlalu lama berdampak pada

ketidakmampuan pasien bernapas secara spontan, hal ini dikarenakan


37

obat sedasi menyebabkan kelemahan pada otot dan saluran nafas

sehingga berakibat hilangnya kemampuan membatukkan secara alami.

Keadaan ini menjadi media bagi kuman untuk membentuk koloni dan

berkembang dengan memproduksi sputum dijalan nafas (Sugiyono,

2012). CPSI (2015) menyatakan bahwa perlu adanya pengkajian sedasi

dan ekstubasi pada pasien terpasang ventilator setiap harinya untuk

mencegah VAP.

Pengkajian setiap hari ini meliputi indikasi pemberian sedasi,

pengurangan dosis sedasi setiap hari, penilaian rutin terhadap respons

terapi dan membangunkan pasien setiap hari kecuali kontraindikasi

terhadap penggunaan obat-obat penenang (sedasi), anti nyeri (analgetik)

dan pelumpuh otot (relaxan) dan kesiapan untuk ekstubasi. Ekstubasi

yang tidak terencana meningkatkan risiko VAP karena tidak dilakukan

penilaian kesiapan ekstubasi dan evaluasi obat sedatif Penilaian sedasi di

ICU menggunakan Richmond Agitation Seation Scale (RASS).

Richmond Agitation Seation Scale RASS terdiri dari 10 poin skala

terdiri dari skala agitasi (+ 1 sampai +4) dan kesadaran (skala -1 sampai

-5) serta skala 0 untuk sadar baik. Sedasi dalam diukur dengan 2 tahap

yaitu tes respon terhadap instruksi verbal seperti buka mata dan diikuti

tes respon kognitif seperti penderita dapat fokus melihat mata pemberi

perintah. Skala pengukuran tersebut memiliki korelasi yang baik dengan

proses elektroensefalografi, sama baiknya dengan akselerasi dan gerakan

ekstremitas
38

0Richmond Agitation and Sedation Scale


(RASS)
score Terminologi Keterangan
+4 Combative Sangat melawan, tidak terkendali, membahayakan
(Agresif) petugas

+3 Very Agitated Menarik atau melepas selang atau kateter, agresif


(sangat gelisah)
+2 Agitated Gerakan berulang tanpa tujuan, melawan ventilator
(agitasi)
+1 Restless Gelisah tetapi gerakan tidak agresif berlebihan
(gelisah)
0 Alert & Calm Terjaga dan tenang
(sadar dan tenang)
-1 Drowsy Tidak sepenuhnya terjaga, tetapi terbangun perlahan
(mengantuk) (>10 detik), dengan kontak mata, terhadap suara

-2 Light Sedation Terbangun (<10 detik), dengan kontak mata, terhadap


(sedasi ringan) suara

-3 Moderate Sedation Ada gerakan (tetapi tidak ada kontak mata) terhadap
(sedasi sedang) suara

-4 Deep sedation Tidak ada respon terhadap suara, tetapi ada gerakan
(sedasi dalam) dengan stimulus fisik

-5 Unarousable Tidak ada respon terhadap suara atau stimulus fisik


(tidak dapat
dibangunkan)

Tabel 2. 5 The Richmond Agitation and Sedation Scale (RASS)

Prosedur Penilaian RASS (lihat tabel diatas)

1) Lakukan observasi perilaku penderita (untuk memberikan nilai +4 hingga 0

sesuai dengan skala RASS

a. Bila penderita terlihat sangat melawan, berikan nilai +4

b. Bila terlihat agresif, berikan nilai +3

c. Bila melakukan gerakan tidak bertujuan, berikan nilai +2

d. Bila terlihat gelisah tapi tidak agresif, berikan nilai +1

e. Bila terlihat tenang dan terjaga, berikan nilai 0


39

2) Dilanjutkan (jika perlu) dengan penilaian respon verbal dengan cara

memanggil penderita;

a) Penderita terbangun dengan mata membuka > 10 detik, dan menatapi yang

bicara (nilai -1)

b) Penderita terbangun, membuka mata dan menatap yang bicara tetapi tak

bertahan lama < 10 detik (nilai -2)

c) Penderita bergerak merespons terhadap stimulus suara tetapi tanpa kontak

mata (nilai -3)

3) Dilanjutkan dengan penilaian respon terhadap stimulus fisik (jika tidak ada

respons terhadap stimulasi verbal) seperti menggoyang bahu atau menekan

sternum jika tidak ada respon terhadap mengguncang bahu;

a) Penderita bergerak merespons stimulasi fisik (skor -4)

b) Penderita tidak respons terhadap stimulus apapun (Skor -5.

4. Profilaksisi ulkus peptikum

Ulserasi adalah penyebab perdarahan gastrointestinal pada pasien di ICU

dan adanya perdarahan gastrointestinal karena lesi ini dikaitkan dengan

peningkatan lima kali lipat dalam kematian dibandingkan dengan pasien ICU

tanpa perdarahan. Menerapkan profilaksis peptikum merupakan intervensi

penting pada pasien kritis. Ulserasi dapat meningkatkan risiko nosokomial

pneumonia. Penyebab PUD adalah agen yang meningkatkan pH lambung dan

dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri di perut, terutama basil gram negatif

yang berasal dari duodenum. Refluks isi lambung dan sekresi dapat terjadi pada

orang sehat, begitu pula pada pasien berventilasi dalam keadaan kritis akan

lebih rentan terhadap kejadian aspirasi. Lebih buruknya lagi, saat pasien kritis
40

terintubasi pasien tentu tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan

jalan napas mereka.

Refluks esofagus dan aspirasi isi lambung pada pengggunaan pipa

endotrakeal dapat menyebabkan kolonisasi endobronkial dan pneumonia. Obat

– obat yang dapat menjadi profilaksis PUD antara lain obat golongan antagonis

H2, yang lebih direkomendasikan daripada Sukralfat, dan proton pump

inhibitor (PPI) yang dapat bermanfaat, serta dapat menjadi alternatif untuk

menggantikan sukralfat atau antagonis H2. Obat-obatan tersebut telah menjadi

standar perawatan di banyak ICU, dan dapat tersedia dalam bentuk intravena,

setelah sebelumnya hanya tersedia secara oral. PPI memiliki kegunaan yang

sama baiknya dengan antagonis H2, dan mungkin lebih baik. PPI cenderung

untuk memberikan kontrol pH lebih konsisten daripada antagonis H2

5. Oral haygine Harian dengan Chlorhexidine atau sejenisnya

Plak gigi dapat menjadi reservoir yang berpotensi untuk kolonisasi

bakteri patogen pernafasan yang dapat menyebabkan VAP. Biofilm plak pada

gigi yang dikolonisasi oleh bakteri patogen yang berasal dari saluran

pernafasan pada pasien VM. Plak gigi berkembang pada pasien yang

menggunakan ventilasi mekanik karena kurangnya gerakan mengunyah dan

produksi saliva yang menurun, padahal saliva mempunyai peran untuk dapat

meminimalkan munculnya biofilm pada gigi.

Oral haygine, direkomendasikan oleh The Institute for Healthcare

Improvement (IHI), Antiseptik chlorhexidine telah lama disetujui sebagai

penghambat pembentukan plak gigi dan radang gusi. Pada awal tahun 1996,

DeRiso dan rekan menerbitkan sebuah studi yang memberikan bukti untuk
41

mendukung penggunaan 0,12% chlorhexidine bilas mulut sebagai tindakan

pencegahan untuk mengurangi infeksi saluran pernapasan nosokomial untuk

pasien operasi jantung. Sejak saat itu telah ada banyak diskusi yang membahas

tentang pemanfaatan chlorhexidine sebagai tambahan penting untuk menjaga

kebersihan mulut, tetapi beberapa penelitian yang memberikan bukti kuat

bahwa penggunaan chlorhexidin sebagai antiseptik yang dapat mengurangi

resiko terjadinya VAP. Chlorhexidine terbagi dalam dua dosis: 0,12 % dan 0,2

%. US Food and Drug Administrasi merekomendasikan 0,12% chlorhexidine

oral yang digunakan sebagai obat kumur.

Sedangkan menurut Chandan, penelitiannya yang diterbitkan pada tahun

2007 dalam British Medical Journal, ada sekitar sebelas studi yang

mengevaluasi efek antiseptik oral terhadap terjadinya VAP dan kematian pada

ventilasi mekanik pasien dewasa. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa

dekontaminasi oral pada pasien dewasa dengan penggunaan ventilasi mekanik

yang menggunakan chlorhexidine dengan rendahnya risiko VAP. Kebersihan

mulut yang baik dengan penggunaan antiseptik oral dapat mengurangi bakteri

pada mukosa mulut dan potensi kolonisasi bakteri pada saluran pernapasan. ini

berhubungan dengan pengurangan bakteri, dan juga mengurangi potensi untuk

terjadinya VAP bagi pasien pada penggunaan ventilasi mekanik.

6. Deep Vain Throbosis (DVT) prophylaxis (Profilaksis DVT) dan Mobilisasi

dini (Early mobilization)


42

Deep Vain Throbosis (DVT) prophylaxis merupakan penggumpalan

darah yang terjadi di pembuluh balik (vena) sebelah dalam. Terhambatnya

aliran pembuluh balik merupakan penyebab yang sering mengawali DVT.

Penyebabnya dapat berupa penyakit pada jantung, infeksi, atau imobilisasi

lama dari anggota gerak pencegahan dan pengobatan dilakukan denga cara (1)

farmakologi pemberian Obat-obatan yang digunakan untuk trombo profilaksis

adalah Unfractionated Heparin (UFH), Low Molecular Weight Heparin

(LMWH), fondaparinux. Pada pasien yang tidak ada kontraindikasi. (2) TIdak

dengan farmakologi graduated compression stockings, pneumatic compression

devices, Early mobilization.

Early mobilization adalah suatu usaha untuk menggerakkan bagian

tubuh secara bebas dan normal baik secara aktif maupun pasif untuk

mempertahankan sirkulasi, memelihara tonus otot-otot dan mencegah

kekakuan otot. Prinsip dalam melakukan mobilisasi yaitu mencegah dan

mengurangi komplikasi sekunder seminimal mungkin, menggantikan

hilangnya fungsi motorik, memberikan rangsangan lingkungan, memberikan

dorongan untuk bersosialisasi, meningkatkan motivasi, memberikan

keseimbangan untuk dapat berfungsi dan melakukan aktifitas sehari-hari

sedangkan tujuan mobilisasi dini adalah untuk mencegah terjadi infeksi

nosokomial pneumonia, kekakuan sendi, thombophebitis, atrofi otot,

penumpukan sekret pada saluran pernafasan, mengurangi nyeri pada sisi yang

lumpuh memperlancar sirkulasi darah, mencegah kontraktur, dan dekubitus

(Yemima, 2007).
43

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan Pneumonia di Indonesia tahun 2003 juga mengatakan bahwa

mobilisasi dini dapat mencegah infeksi nosokomial pneumonia dengan tujuan

mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien. Pasien yang diposisikan supine dan

immobility akan menimbulkan reflek batuk, otot mucosilliary, dan drainage

tidak bekerja dengan baik sehingga beresiko lebih tinggi terkena infeksi

nosokomial pneumonia. Selain itu pasien yang tidak dilakukan early

mobilization akan terjadi kelemahan otot termasuk otot pernapasan sehingga

proses weaning off of ventilation akan ditunda dan beresiko terjadi VAP

(Kathleen, 2010). Early mobilization dilakukan sesuai dengan kondisi pasien

secara berangsur-angsur dan bertahap, misalnya pasien kritis yang bed rest total

dan kondisi tidak stabil bisa dilakukan positioning side to side tiap 2 jam

tergantung kondisi pasien atau dilakukan gerakan Range of Motion (ROM).

Early Mobilization juga merupakan salah satu tindakan preventif non

farmakologi yang dapat mencegah atau mengurangi kejadian infeksi

nosokomial pneumonia. Pasien kritis yang bed rest total dan fisiknya lemah

karena otot pada pasien immobility mengalami penurunan sintesis protein dan

peningkatan proses katabolisme di otot yang menyebabkan otot-otot menjadi

lemah termasuk otot pernapasan (Kathleen, 2010). Selain itu pada pasien

dengan atelektasis yang terjadi karena suatu kompresi mengakibatkan expansi

parunya tidak optimal. Hal-hal tersebut menimbulkan fungsi normal paru

seperti reflek batuk, otot mucosilliary, dan drainage tidak bekerja dengan baik

sehingga beresiko lebih tinggi terkena infeksi Nosocomial Pneumonia karena

bakteri pathogen akan berkoloni di paru.


44

Early mobilization pada tahap awal bisa dilakukan dengan positioning

side to side atau alih baring dan ROM pasif. Positioning side to side selain

untuk mencegah dekubitus juga sangat efektif untuk meningkatkan proses

pengeluaran sekret bronchial dengan dasar efek gravitasi. Hal ini menstimulus

sekret untuk berpindah dari satu atau lebih segmen paru ke jalan napas dimana

sekret dapat keluar dengan sendirinya melalui mulut, dengan reflek batuk atau

dengan aspirasi mekanik (Kathleen, 2010).

Selain itu ROM pasif dapat meningkatkan kekuatan otot pasien dan

secara psikologis juga dapat memotivasi pasien untuk meningkatkan otot

pernapasan diafragma sehingga pernapasan bisa adekuat dan proses weaning

off of ventilator dapat lebih cepat dan resiko terjadi pneumonia dapat

diminimalkan. Seperti halnya pada pasien dengan atelektasis juga dilatih napas

dalam dan batuk efektif supaya otot pernapasannya dapat kuat serta pasien

tidak kelelahan karena batuk yang tdak efektif. Cara tersebut menjadikan

expansi paru akan optimal, bersihan jalan napas adekuat, sekret dapat keluar

dan tidak terjadi penumpukan sekret bronchial di paru sehingga dapat

mencegah atau meminimalkan koloni bakteri pathogen penyebab pneumonia.

Early mobility ini dilakukan dengan melihat kondisi pasien, pasien yang

kondisi atau vital signnya tidak stabil, ditunda untuk dilakukan early

mobility karena dapat meningkatkan metabolisme tubuh sehingga menambah

beban kerja jantung.


45

Gambar 2. 10 Protokol mobilisasi di kutip (The AHA/HRET HEN would like to


acknowledge our partner, Cynosure Health, 2016)
46

7. Mengukur tekanan cuff ETT 20-30 cm H2O

Tekanan cuff ETT harus diukur segera setelah tindakan intubasi

dilakukan. Tekanan yang ideal antara 25 cmH2O - 30 cmH2O. Tekanan

dibawah 20 cm H2O akan menyebabkan risiko aspirasi dan kebocoran oksigen,

ventilator associated pneumonia (VAP). Tekanan diatas 30 cmH2O terjadinya

iskemik trakea, obstruksi ETT, kerusakan dinding trakea (Sole et al, 2011).

Pengembangan cuff ETT yang kurang akan mengakibatkan kebocoran dan

masuknya udara ke lambung atau aspirasi dari cairan lambung menuju jalan

nafas dan ke paru- paru (Sundana, 2008). Tekanan cuff ETT harus

dipertahankan untuk mencegah sekresi yang terakumulasi di atas cuff masuk

atau aspirasi karena refluks cairan gastrointestinal dengan dilakukan gangguan

fungsi sfingter gastroesofageal akibat pemasangan pipa nasogatrik atau

orogastrik.

Pengembangan cuff pada pasien terintubasi ETT menggunakan spuit

dengan menginflasikan 5 sampai 10 cc udara ke dalam cuff ETT secara

perlahan sampai dirasa cukup. Tekanan intra cuff ETT diukur pada pilot balon

dengan teknik estimasi jari (finger palpation). Secara teori metode ini tidak

dapat mengetahui tekanan cuff secara tepat sehingga dapat terjadi

underinflation atau overinflation. Hal ini dapat mempengaruhi perubahan

hemodinamik (ZHANG, 2019). Micro-aspirasi dapat dikurangi dengan

mempertahankan tekanan cuff ETT antara 20 - 30 cmH2O. Tekanan cuff harus

diperiksa dan disesuaikan sekitar 25 cmH2O, setiap 6 jam. Berdasarkan

(Setiyawan1, 2018) penelitian deskriptif pada 30 pasien yang diintubasi di

ruang intensif Rumah Sakit Bagas Waras Klaten. Hasil: Berdasarkan


47

pengamatan 4 (empat) jam setelah pengembangan manset ETT menggunakan

manset inflator, hasil rata-rata pengukuran tekanan manset ETT awal adalah 28

cmH2O ± 17,43, kemudian setelah empat jam 19,63 cmH2O ± 17,43.

Gambar 2. 11 Alat mengukur tekanan cuff ETT 20-30 cm H2O dikutip(Hang et


al., 2014) Haconvention Hospital Authority Convention

2.4 Kepatuhan

2.4.1 Definisi Kepatuhan

Patuh adalah sikap positif individu yang ditunjukkan dengan adanya

perubahan secara berarti sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Kepatuhan perawat

adalah kepatuhan perawat terhadap suatu tindakan, prosedur atau peraturan yang

harus dilakukan atau ditaati. Ketidak patuhan adalah suatu kondisi pada perawat

yang sebenarnya mau melakukannya, akan tetapi ada faktor faktor yang

menghalangi ketaatan untuk melakukan tindakan. Kepatuhan perawat adalah

perilaku perawat terhadap suatu tindakan, prosedur atau peraturan yang harus

dilakukan atau ditaat (Notoatmojo, 2010)

Kepatuhan adalah tingkat perilaku seseorang yang tertuju terhadap instruksi

atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik
48

diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter. Kepatuhan

petugas profesional (perawat) adalah sejauh mana perilaku seorang perawat sesuai

dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan perawat ataupun pihak rumah

sakit (Niven.2002).

Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang berperilaku. Notoatmojo,

(2010) menjelaskan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu diawali dengan

proses patuh, identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi. Pada awalnya

individu mematuhi anjuran/instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan

tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sangsi jika dia tidak

patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran

tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance). Biasanya perubahan

yang terjadi pada tahap ini sifatnya sementara artinya bahwa tindakan itu dilakukan

selama masih ada pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur/ hilang,

perilaku itupun ditinggalkan.

Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidak pahaman

tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dengan kepatuhan yang

berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan tokoh yang

menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Perubahan perilaku individu baru

dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi

dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri

dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya (Al-Assaf, 2010).

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

1. Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan (Brannon & Nord 1990):


49

a. Karakter dalam diri individu yang dapat mempengaruhi kepatuhan antara

lain:

b. Usia, kepatuhan dapat meningkat atau menurun seiring dengan

bertambahnya usia. Hal ini juga tergantung dari spesifikasi penyakit,

kerangka waktu, dan kepatuhan pengobatan.

c. Gender, terdapat sedikit perbedaan kepatuhan pada wanita dan pria.

Beberapa perbedaan kepatuhan terjadi pada saat menjalani rekomendasi

khusus.

d. Dukungan sosial, dukungan sosial yang diterima dari teman atau keluarga

dapat meningkatkan kepatuhan

e. Dukungan emosional, kualitas dukungan sosial (dukungan emosional)

lebih meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan, dari pada secara

kuantitas.

f. Kepribadian individu, meskipun masalah kepribadian yang tidak patuh

nampak menjadi mitos, beberapa penelitian menemukan bahwa

kepribadian yang obsesif kompulsif mempunyai hubungan yang positif

dengan kepatuhan, sedangkan kepribadian yang sinis mempunyai

hubungan yang positif dengan ketidak patuhan.

g. Keyakinan individu tentang penyakit yang dideritanya, pada umumnya

ketika individu percaya bahwa dengan patuh terhadap pengobatan yang

direkomendasikan dapat memberikan keuntungan kesehatan, maka

individu akan patuh terhadap pengobatan tersebut. Individu yang perhatian

terhadap kesehatan mereka juga memungkinkan untuk patuh terhadap

nasihat medis. Selain itu, individu yang percaya atas kontrol mereka
50

terhadap kesehatan mereka sendiri cenderung untuk tidak patuh terhadap

nasihat medis.

h. Norma Budaya Individu gagal melakukan kepatuhan tidak dikarenakan

kepribadian mereka yang tidak mau bekerjasama, tapi lebih disebabkan

karena mereka tinggal dalam budaya yang memegang kepercayaan dan

tingkah laku yang kurang kondusif untuk mematuhi peraturan.

2. Factor-faktor kepatuhan menurut Niven (2002)

a. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara. Tingginya pendidikan seorang perawat dapat meningkatkan

kepatuhan dalam melaksanakan kewajibannya, sepanjang bahwa

pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

b. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari pimpinan rumah

sakit, kepala perawat, perawat itu sendiri dan teman-teman sejawat.

Lingkungan berpengaruh besar pada pelaksanaan prosedur asuhan

keperawatan yang telah ditetapkan. Lingkungan yang harmonis dan positif

akan membawa dampak yang positif pula pada kinerja perawat,

kebalikannya lingkungan negatif akan membawa dampak buruk pada

proses pemberian pelayanan asuhan keperawatan.


51

c. Perubahan model prosedur

Program pelaksanan prosedur asuhan keperawatan dapat dibuat

sesederhana mungkin dan perawat terlihat aktif dalam mengaplikasikan

prosedur tersebut. Keteraturan perawat melakukan asuhan keperawatan

sesuai standar prosedur dipengaruhi oleh kebiasaan perawat menerapkan

sesuai dengan ketentuan yang ada.

d. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan

Meningkatkan interaksi profesional kesehatan antara sesama

perawat (khususnya antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana)

adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada perawat.

Suatu penjelasan tentang prosedur tetap dan bagaimana cara

menerapkannya dapat meningkatkan kepatuhan. Semakin baik pelayanan

yang diberikan tenaga kesehatan, maka semakin mempercepat proses

penyembuhan penyakit klien.

e. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan

penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan

lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

f. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan aksi atau respon seseorang yang masih tertutup. Menurut, sikap

manusia terhadap suatu rangsangan adalah perasaan setuju (favorablere)


52

ataupun perasaan tidak setuju (non favorable) terhadap rangsangan

tersebut.

g. Usia

Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan berulang

tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang

akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan,

masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang

belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari

pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka

cara berfikir semakin matang dan teratur melakukan suatu tindakan.

Kepatuhan adalah tingkat seseorang melaksanakan suatu cara atau berprilaku

seseorang dengan apa yang disarankan atau dibebankan kepadanya. Kepatuhan

perawat adalah perilaku perawat sebagai seorang professional terhadap suatu

anjuran, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau ditaati (Setiadi, 2007).

Theory of Planned Behavior menyampaikan bahwa perilaku yang ditampilkan oleh

individu timbul karena adanya intensi/ niat untuk berperilaku, munculnya niat

berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu sikap terhadap perilaku, norma

subjektif dan perceived behavioral control. Variabel lain yang memengaruhi intensi

selain beberapa faktor utama tersebut antara lain : Usia, Jenis Kelamin, Masa Kerja,

Pengetahuan, Sikap, Lingkungan Kerja, dan Beban Kerja.

2.5 Theory of Planned Behaviour (TPB)

2.5.1 Definisi theory of planned behavior


53

Theory of Planned Behaviour (TPB) atau teori perilaku terencana merupakan

pengembangan lebih lanjut dari Theory of Reasoned Action (TRA). Ajzen, 1988

menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu perceived behavioral

control (PBC). penambahan satu faktor ini dalam upaya memahami keterbatasan

yang dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu (Nursalam, 2016).

2.5.2 Sejarah theory of planned behavior

TRA dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) memberikan bukti

ilmiah bahwa intensi unruk melakukan suatu tingkah laku dipengaruhi oleh dua

faktor yaitu sikap terhadap perilaku (Attitude toward behavior) dan norma subjektif

(subjective norms). Namun setelah beberapa tahun, Ajzen melakukan metananalisis

terhadap TRA dan mendapatkan hasil bahwa TRA hanya berlaku bagi tingkah laku

yang berada dibawah kontrol penuh individu dan tidak sesuai untuk menjelaskan

tingkah laku yang tidak sepenuhnya di bawah kontrol individu, karena ada faktor

yang menghambat atau mempermudah/memfasilitasi realisasi intensi ke dalam

tingkah laku. Berdasarkan analisis ini, pada tahun 1988 Ajzen menambahkan

perceived behavioral control (PBC) sebagai salah satu faktor anteseden bagi intensi

yang berkaitan dengan kontrol individu. Dengan penambahan satu faktor ini

kemudian mengubah TRA menjadi Theory of Planned Behaviour yang selanjutnya

disebut TPB (Nursalam, 2016).

Theory of Planned Behaviour (TPB) menyampaikan bahwa perilaku yang

ditampilkan oleh individu timbul karena adanya intensi/niat untuk berperilaku.

Sementara munculnya niat berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu:

1. Behavioral beliefs yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku
54

(beliefs strength) dan evaluasi atau hasil tersebut (outcame evaluation)

2. Normative beliefs yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain

(normative belifs) dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (Motivation

to comply)

3. Control beliefs yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung

atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan

persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat

perilakunya tersebut (perceived power)

Behavior
beliefs Atitude
toward
Evaluation of behavior
behavioral
outcome
Normative
beliefs Behavioral
Subjektif
intention Behavioral
Norm
Motivation of
comply

Control Perceived
beliefs behaviora
l control
Perceived
Gambar 2.4 Teori Perilaku Terencana (Nursalam, 2016)

Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap terhadap perilaku

positif atau negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang

dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subjektif (subjective norm)

dan control beliefs menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol


55

perilaku yang dipersepsikan (Ajzen, 2002). Bagan di atas dapat menjelaskan empat

hal yang berkaitan dengan perilaku manusia, yaitu:

1. Hubungan yang langsung antara tingkah laku dan intensi. Hal ini dapat berarti

bahwa intensi merupakan faktor terdekat yang dapat memprediksi munculnya

tingkah laku yang akan ditampilkan individu.

2. Intensi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu sikap individu terhadap tingkah laku

yang dimaksud (attitude toward behavior), norma subjektif (subjective norm)

dan persepsi terhadap kontrol yang dimiliki (perceived behavioral control).

3. Masing-masing faktor yang mempengaruhi intensi di atas (sikap, norma

subjektif, dan PBC) dipengaruhi oleh anteseden lainnya yaitu beliefs. Sikap

dipengaruhi oleh behavioral beliefs, norma subjektif dipengaruhi oleh normative

beliefs, dan PBC dipengaruhi oleh beliefs tentang kontrol yang dimiliki yang

disebut control beliefs. Baik sikap, norma subjektif dan PBC merupakan fungsi

perkalian dari masing-masing beliefs dengan faktor lainnya yang mendukung.

4. PBC merupakan ciri khas teori ini dibandingkan dengan TRA. Pada bagan di

atas dapat dilihat bahwa ada dua cara yang menghubungkan tingkah laku dengan

PBC, cara pertama diwakili oleh garis penuh yang menghubungkan PBC dengan

tingkah laku secara tidak langsung melalui perantara intensi. Cara kedua adalah

hubungan secara langsung antara PBC dengan tingkah laku yang digambarkan

dengan garis putus-putus, tanpa melalui intensi (Ajzen, 2005).

2.5.3 Variabel Lain yang Mempengaruhi Intensi

Menurut Ajzen, 2005 bahwa variabel lain yang mempengaruhi intensi selain

beberapa faktor utama tersebut (sikap terhadap perilaku, norma subjektif dan PBC),

yaitu variabel yang mempengaruhi atau berhubungan dengan beliefs (Nursalam,


56

2016). Beberapa variabel tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok,

yaitu:

1. Faktor personal

Faktor personal adalah sikap umum seseorang terhadap sesuatu, sifat

kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi, dan kecerdasan

yang dimilikinya.

2. Faktor sosial

Faktor sosial antara lain adalah usia, jenis kelamin (gender), etnis, pendidikan,

penghasilan, dan agama.

a. Usia

Secara fisiologi, pertumbuhan dan perkembangan seseorang dapat

digambarkan dengan penambahan usia. Dengan penambahan usia diharapkan

terjadi peningkatan kemampuan motorik sesuai dengan tumbuh kembangnya.

Akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan seseorang pada titik tertentu

akan mengalami kemunduran akibat faktor degeneratif. Umur adalah rentang

kehidupan yang diukur dengan tahun, dikatakan masa awal dewasa adalah

usia 18 tahun sampai 40 tahun, dewasa madya adalah 41 sampai 60 tahun,

dewasa lanjut > 60 tahun. Umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang

dihitung sejak dilahirkan. Usia yang lebih tua umumnya lebih bertanggung

jawab dan lebih teliti dibanding usia yang lebih muda. Hal ini terjadi

kemungkinan karena yang lebih muda kurang berpengalaman.

Menurut umur/usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau

maturitas seseorang. Kedewasaan adalah tingkat kedewasaan teknis dalam


57

menjalankan tugas-tugas, maupun kedewasaan psikologis. Ajzen (2005)

menyampaikan bahwa pekerja usia 20-30 tahun mempunyai motivasi kerja

relatif lebih rendah dibandingkan pekerja yang lebih tua, karena pekerja yang

lebih muda belum berdasar pada landasan realitas, sehingga pekerja muda

lebih sering mengalami kekecewaan dalam bekerja. Hal ini dapat

menyebabkan rendahnya kinerja dan kepuasan kerja, semakin lanjut usia

seseorang maka semakin meningkat pula kedewasaan teknisnya, serta

kedewasaan psikologisnya yang akan menunjukkan kematangan jiwanya.

Usia semakin lanjut akan meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam

mengambil keputusan, mengendalikan emosi, berpikir rasional, dan toleransi

terhadap pandangan orang lain sehingga berpengaruh juga terhadap

peningkatan motivasinya.

b. Jenis kelamin

Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis

kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis

kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis kelamin laki-laki adalah

manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma. Sementara

perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk

melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat

menyusui.

c. Pendidikan

Ajzen (2006) menyebutkan bahwa latar belakang pendidikan seseorang

akan mempengaruhi kemampuan pemenuhan kebutuhannya sesuai dengan

tingkat pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda yang pada akhirnya


58

mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Dengan kata lain bahwa pekerja

yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi akan mewujudkan

motivasi kerja yang berbeda dengan pekerja yang berlatar belakang

pendidikan rendah. Latar belakang pendidikan mempengaruhi motivasi kerja

seseorang. Pekerja yang berpendidikan tinggi memeiliki motivasi yang lebih

baik karena telah memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas

dibandingkan dengan pekerja yang memiliki pendidikan yang rendah.

Notoatmodjo (1992) menyebutkan bahwa dengan pendidikan seseoarng akan

dapat meningkatkan kematangan intelektual sehingga dapat membuat

keputusan dalam bertindak.

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan produktivitas atau kinerja

perawat adalah pendidikan formal perawat. Pendidikan memberikan

pengetahuan bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan tugas, tetapi juga

landasan untuk mengembangkan diri serta kemampuan memanfaatkan semua

sarana yang ada di sekitar kita untuk kelancaran tugas. Semakin tinggi

pendidikan semakin tinggi produktivitas kerja, pendidikan merupakan salah

satu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk pengembangan diri.

Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah mereka menerima serta

mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sehingga akan meningkatkan

produktivitas yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga.

3. Faktor informasi

Faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan dan paparan media. Pengetahuan

adalah merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca


59

indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan

peraba. Variabel-variabel dalam background factor ini mempengaruhi belief dan

pada akhirnya berpengaruh juga pada intensi dan tingkah laku.

Background factors Behavioral


Behavioral Attitude
Attitude
Personal beliefs
beliefs toward the
toward the
behavioral
behavioral
General
Attitude
Personality
Values
Emotions Norma-
Norma- Subjec-
Subjec-
Intelligence tive
tive tive
tive norm
Intention Behavior
beliefs
beliefs norm
Social
Age
Gender
Race
Ethnicity Control Perceived
Control Perceived
Income beliefs
beliefs Behavioral
Behavioral

Religion Control
Control

Information

GambarKnowledge
2.5 Peran faktor-faktor latar belakang pada Theory of Planned
Behavior (Ajzen, 2005 dalam Nursalam, 2016)
Experience
Media exposure

Keberadaan faktor tambahan ini memang masih menjadi pertanyaan empiris

mengenai seberapa jauh pengaruhnya terhadap belief, intensi dan tingkah laku.

Namun faktor ini pada dasarnya tidak menjadi bagian dari TPB yang dikemukakan

oleh Ajzen, melainkan hanya sebagai pelengkap untuk menjelaskan lebih dalam

determinan tingkah laku manusia.


60

Pengalaman seperti lama kerja yang dimiliki oleh perawat serta jenjang karir

perawat klinis mempengaruhi perilaku dan kinerja profesionalisme perawat yang

mampu memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif dan efisien (Menkes

RI, 2017). Perawat yang memiliki masa kerja yang lama akan meningkatkan

pengalaman dan motivasi kerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

yang professional sesuai dengan standar operasional prosedur yang ada (Siagian,

1997 dalam Lombogia, 2019). Jenjang karir mempunyai makna tingkatan

kompetensi untuk melaksanakan asuhan keperawatan yang akuntabel dan etis

sesuai batas kewenangan. Adanya jenjang karir perawat dapat meningkatkan

pelayanan profesional perawat. Pengembangan karir profesional perawat mencakup

empat peran utama perawat yaitu, Perawat Klinis (PK), Perawat Manajer (PM),

Perawat Pendidik (PP), dan Perawat Peneliti/Riset (PR). Perawat Klinis (PK) yaitu,

perawat yang memberikan asuhan keperawatan langsung kepada klien sebagai

individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.

Jenjang karir perawat ditetatapkan berdasarkan level karir, kompetensi dan

pendidikan formal. Kompetensi perawat klinis di Rumah Sakit dideskripsikan

sesuai level jenjang karir perawat klinis (PK I – PK V). Kompetensi sesuai level

pada perawat klinis yaitu:

1. Perawat Klinis I

Perawat klinis I adalah jenjang perawat klinis dengan

kemampuan melakukan asuhan keperawatan dasar dengan

penekanan pada keterampilan teknis keperawatan dibawah

bimbingan. Perawat Klinis I (Novice) memiliki latar


61

belakang pendidikan D-III Keperawatan dengan pengalaman

kerja ≥ 1 tahun dan menjalani masa klinis level I selama 3-

6 tahun atau Ners dengan pengalaman kerja ≥ 1 tahun dan

menjalani masa klinis level I selama 2-4 tahun. Perawat

Klinis I harus mempunyai sertifikat pra klinis.

2. Perawat Klinis II

Perawat klinis II adalah jenjang perawat klinis dengan

kemampuan melakukan asuhan keperawatan holistik pada

klien secara mandiri dan mengelola klien/sekelompok klien

secara tim serta memperoleh bimbingan untuk penanganan

masalah lanjut/kompleks. Perawat klinis II (Advance

Beginner) memiliki latar belakang pendidikan D-III

Keperawatan dengan pengalaman kerja ≥ 4 tahun dan

menjalani masa klinis level II selama 6-9 tahun atau Ners

dengan pengalaman kerja ≥ 3 tahun dan dan menjalani masa

klinis level II selama 4-7 tahun. Perawat Klinis II harus

mempunyai sertifikat PK I.

3. Perawat Klinis III

Perawat Klinis III adalah jenjang perawat klinis dengan

kemampuan melakukan asuhan keperawatan komprehensif

pada area spesifik dan mengembangkan pelayanan


62

keperawatan berdasarkan bukti ilmiah dan melaksanakan

pembelajaran klinis. Perawat klinis III (competent)

memiliki latar belakang pendidikan D-III Keperawatan

dengan pengalaman kerja ≥ 10 tahun dan menjalani masa

klinis level III selama 9-12 tahun atau Ners dengan

pengalaman kerja ≥ 7 tahun dan menjalani masa klinis level

III selama 6-9 tahun atau Ners Spesialis I dengan

pengalaman kerja 0 tahun dan menjalani masa klinis level III

selama selama 2-4 tahun. Perawat klinis III lulusan D-III

Keperawatandan Ners harus mempunyai sertifikat PK II.

4. Perawat Klinis IV

Perawat klinis IV adalah jenjang perawat klinis dengan

kemampuan melakukan asuhan keperawatan pada masalah

klien yang kompleks di area spesialistik dengan pendekatan

tata kelola klinis secara interdisiplin, multidisiplin,

melakukan riset untuk mengembangkan praktek keperawatan

serta mengembangkan pembelajaran klinis. Perawat klinis IV

(Proficient) memiliki latar belakang pendidikan Ners

denganpengalaman kerja ≥13 tahundan menjalani masa

klinis level IV selama 9–12 tahun atau Ners Spesialis I

denganpengalaman kerja ≥2 tahun dan menjalani masa klinis


63

level IV selama 6–9 tahun. PerawatKlinis IV harus mempunyai

sertifikat PK III.

5. Perawat Klinis V

Perawat klinis V adalah jenjang perawat klinis dengan

kemampuan memberikan konsultasi klinis keperawatan pada

area spesialistik, melakukan tata kelola klinis secara

transdisiplin, melakukan riset klinis untuk pengembangan

praktik, profesi dan kependidikan keperawatan. Perawat

klinis V (Expert) memiliki latar belakang pendidikan Ners

Spesialis Idengan pengalaman kerja ≥4 tahun dan mempunyai

sertifikat PK IV atau Ners Spesialis II (Konsultan) dengan

pengalaman kerja 0 tahun. Perawat klinis V menjalanimasa

klinis level 5 sampai memasuki usia pensiun (Menkes RI,

2017).

1. Intensi
Ajzen (1991) dalam (Nursalam, 2016) menjelaskan intensi merupakan indikasi

seberapa kuat keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku. Niat berperilaku

(behavioral intention) masih merupakan keinginan atau rencana. Niat bukan

merupakan perilaku, perilaku (behavior) adalah tindakan nyata yang dilakukan.

Intensi sebagai disposisi tingkah laku yang akan diwujudkan dalam bentuk tindakan

pada waktu dan kesempatan yang tepat (Ajzen, 2005).


64

Intensi merupakan faktor motivasional yang memiliki pengaruh pada

perilaku, sehingga dapat mengharapkan orang lain berbuat sesuatu berdasarkan

intensinya. Pada umumnya, intensi memiliki korelasi yang tinggi dengan perilaku,

oleh karena itu dapat digunakan untuk meramalkan perilaku. Intensi diukur dengan

sebuah prosedur yang menempatkan suatu subjek didimensi probabilitas subjektif

yang libatkan suatu hubungan antara dirinya dengan tindakan. Berdasarkan theory

of planned behavior, intensi memiliki tiga determinan yaitu: sikap, norma subjektif

dan kontrol perilaku dipersepsikan.

Menurut Ajzen (2005) untuk melihat besar bobot pengaruh masing-masing

determinan digunakan perhitungan analisis multiple regensi dengan persamaan

sebagai berikut:

B ~ I = (Ab) W1 + (SN) W2 + (PBC) W3


Keterangan:
B = Behavior
I = Intensio
Ab = Attitudes
SN = Subjective norms
PBC = Perceived Behavior Control
W123 = Weight
Keakuratan intensi dalam memprediksi tingkah laku tentu bukan tanpa syarat

karena ternyata ditemukan pada beberapa studi bahwa intensi tidak selalu

menghasilkan tingkah laku yang dimaksud. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kemampuan intensi dalam memprediksi tingkah laku (Ajzen, 2005)

yaitu:

1) Kesulitan antara intensi dan tingkah laku


65

Pengukuran intensi harus disesuaikan dengan perilakunya dalam hal konteks dan

waktunya.

2) Stabilitas Intensi

Faktor kedua adalah kestabilan dalam intensi seseorang. Hal ini terjadi jika terdapat

jarak/jangka waktu yang cukup panjang antara pengukuran intensi dengan

pengamatan tingkah laku. Setelah dilakukan pengukuran intensi sangat

mungkin ditemui hal-hal/kejadian yang dapat mencampuri atau mengubah

intensi seseorang untuk berubah, sehingga pada tingkah laku awal yang

ditampilkannya tidak sesuai dengan intensi awal. Semakin panjang interval

waktunya, maka semakin besar kemungkinan intensi akan berubah.

3) Literal Inconsistency

Pengukuran intensi dan tingkah laku sudah sesuai (compatible) dan jarak waktu

antara pengukuran intensi dengan tingkah laku singkat, namun

kemungkinan terjadi ketidaksesuaian antara intensi dengan tingkah laku

yang ditampilkannya. Literal inconsistency adalah individu yang terkadang

tidak konsisten dalam mengaplikasikan tingkah lakunya sesuai dengan

intensi yang telah dinyatakan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa

alasan, di antaranya individu tersebut mereka merasa lupa akan apa yang

mereka ucapkan. Maka untuk mengatisipasi hal ini dapat dilakukan dengan

strategi implementation intention, yaitu dengan meminta individu untuk

merinci bagaimana intensi tersebut akan mengimplementasikan dalam

tingkah laku. Rinciannya mencakup dimana dan bagaimana tingkah laku

akan dilakukan.

4) Base rate
66

Base rate adalah tingkat kemungkinan sebuah tingkah lakukan dilakukan oleh

orang. Tingkah laku dengan base rate yang tinggi adalah tingkah laku yang

dilakukan oleh hampir semua orang, misalnya mandi, makan. Sedangkan

tingkah laku dengan base rate rendah tingkah laku yang hampir tidak

dilakukan oleh kebanyakan orang, misalnya bunuh diri. Intensi dapat

memprediksi perilaku aktualnya dengan baik jika perilaku tersebut memiliki

tingkat base rate yang sedang, misalnya pendokumentasian asuhan

keperawatan.

Pengukuran intensi dapat digolongkan kedalam pengkuran beliefs.

Sebagimana pengukuran beliefs, pengukuran intensi terdiri atas dua hal, yaitu

pengukuran isi (content) dan kekuatan (strenght). Isi dari intensi diwakili oleh jenis

tingkah laku yang akan diukur, sedangkan kekuatan responden pada pilihan skala

yang tersedia (Ajzen, 2005). Contoh pilihan skalanya adalah mungkin, tidak

mungkin, dan setuju, tidak setuju.

2. Sikap
Menurut Ajzen (2005) sikap merupakan besarnya perasaan positif atau negatif,

positif terhadap objek (favorable) atau negatif (unfavorable) terhadap suatu objek,

orang, institusi, atau kejadian. Konsep sentral yang menentukaan beliefs.

Beliefs mempresentasikan pengetahuan yang dimiliki seseorang terhadap suatu

objek, dimana beliefs menghubungkan suatu objek dengan beberapa atribut.

Kekuatan hubungan ini diukur dengan prosedur yang menempatkan seseorang

dengan dimensi probabilitas subjektif yang melibatkan objek dengan atribut terkait.
67

Sikap seseorang terhadap suatu objek sikap dapat diestimasikan dengan

menjumlahkan hasil kali antara evaluasi terhadap atribut yang diasosiasikan pada

obajek sikap (beliefs evaluation) dengan probabilitas subjektifnya bahwa suatu

objek memiliki atau tidak memiliki atribut tersebut (behavioral beliefs). Menurut

(Nursalam, 2016) berdasarkan TPB, sikap yang dimiliki seseorang terhadap suatu

tingkah laku dilandasi oleh beliefs seseorang terhadap konsekuensi (outcome) yang

akan dihasilkan jika tingkah laku tersebut dilakukan (outcome evaluation) dan

kekuatan terhadap beliefs tersebut (beliefs strenght). Beliefs adalah pernyataan

subjektif seseorang yang menyangkut aspek-aspek yang dapat dibedakan tentang

dunianya, yang sesuai dengan pemahaman tentang diri dan lingkungannya (Ajzen,

2005). Beliefs mempunyai tingkatan atau kekuatan yang berbeda-beda.

Kekuatan ini berbeda-beda pada setiap orang dan kuat lemahnya beliefs

ditentukan berdasarkan persepsi seseorang terhadap tingkat keseringan suatu objek

memiliki atribut tertentu. Sebagai salah satu komponen dalam rumusan intensi,

sikap terdiri atas beliefs dan evaluasi beliefs, seperti berikut:

AB = Σ b i e i
Keterangan:
AB = Sikap terhadap perilaku tertentu
B = Beliefs terhadap perilaku tersebut mengarah pada konsekuensi
E = Evaluasi seseorang terhadap outcome (outcome evaluation)
Berdasarkan rumus diatas, sikap terhadap perilaku tertentu (AB) di dapatkan

dari penjumlahan hasil kalian antara beliefs terhadap outcome yang dihasilkan (bi)

dengan evaluasi terhadap outcome (ei). Dengan kata lain seseorang percaya sebuah

tingkah laku dapat menghasilkan sebuah outcome sikap yang positif. Begitu juga

sebaliknya, jika seseorang memiliki keyakinan bahwa dengan melakukan suatu


68

tingkah laku akan menghasilkan outcome negatif, maka seseorang tersebut juka

akan memiliki sikap negatif terhadap perilaku tersebut (Ajzen, 2005).

Pengukuran sikap tidak bisa didapatkan melalui pengamatan langsung,

melainkan harus melalui pengukuran respon. Pengukuran sikap ini didapatkan dari

interaksi antara beliefs content-outcome evaluation dan beliefs strength (Nursalam,

2016). Beliefs seseorang mengenai suatu objek atau tindakan dapat dimunculkan

dalam format respon bebas dengan cara meminta subjek untuk menuliskan

karakteristik, kualitas dan atribut dari objek atau konsekuensi tingkah laku tertentu

disebut dengan elisitasi. Elisitasi digunakan untuk menetukan beliefs utama (salient

beliefs) yang akan digunakan dalam penyusunan alat ukur instrumen.

3. Norma subjektif
Norma subjektif merupakan kepercayaan seseorang mengenai persetujuan

orang lain terhadap suatu tindakan atau persepsi individu tentang apakah orang lain

akan mendukung atau tidak terwujudnya tindakan tersebut. Norma subjektif adalah

pihak-pihak yang dianggap berperan dalam perilaku seseorang dan memiliki

harapan pada orang tersebut, dan sejauh mana keinginan untuk memenuhi harapan

tersebut (Nursalam, 2016).

Menurut Ajzen (2005) norma subjektif adalah produk dari persepsi individu

tentang beliefs yang dimiliki orang lain. Orang lain di sebut refrent, dan dapat

merupakan orang tua, sahabat, atau orang yang dianggap ahli atau penting. Terdapat

dua faktor yang mempengaruhi norma subjektif: normative beliefs, yaitu keyakinan

individu bahwa referent berpikir ia harus atau harus tidak melakukan suatu perilaku

dan motivation to comply yaitu motivasi individu untuk memenuhi norma dari

referent tersebut.
69

Rumusan norma subjektif pada intensi perilaku tertentu (Ajzen, 2005),

dirumuskan sebagai berikut:

SN = Σ b i m i
Keterangan:
SN = Norma Subjektif
bi = Normatif Beliefs
mi = Motivasi untuk mengikuti anjuran (motivation to comply)
Berdasarkan rumusan tersebut, norma subjektif (SN) didapatkan dari hasil

penjumlahan hasil kali normative beliefs tentang tingkah laku (bi) dan dengan

motivation to comply untuk mengikuti motivasinya (mi). Dengan kata lain bahwa,

seseorang yang memiliki keyakinan bahwa individu atau kelompok yang cukup

berpengaruh terhadapnya (refrent) akan mendukung ia untuk melakukan hal

tersebut, maka hal ni akan menjadi tekanan sosial untuk seseorang tersebut

melakukannya. Sebaliknya, jika seseorang percaya orang lain yang berpengaruh

padanya tidak mendukung tingkah laku tersebut, maka hal ini menyebabkan ia

memiliki norma subjektif untuk tidak melakukannya. Sehingga dapat dikatakan

bahwa norma subjektif adalah persepsi seseorang terhadap orang-orang yang

dianggap penting bagi dirinya untuk berperilaku atau tidak berperilaku tertentu, dan

sejauh mana seseorang ingin memematuhi anjuran oang tersebut. Norma subjektif

secara umum dapat ditentukan oleh harapan spesifik yang dipersepsikan seseorang,

yang merupakan refrensi atau anjuran dari orang-orang sekitarnya dan motivasi

untuk mengikuti refrensi atau anjuran tersebut (Ajzen, 2005).

4. Perceived behavioral control (PBC)


Kendali perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control) merupakan

persepsi terhadap mudah atau sulitnya sebuah perilaku yang dapat dilaksanakan.
70

Variabel ini diasumsikan merefleksikan masa lalu, dan mengantisipasi halangan

yang mungkin terjadi atau persepsi seseorang tentang kemudahan atau kesulitan

untuk berperilaku tertentu. Menurut Ajzen (2005) terdapat dua asumsi mengenai

kendali perilaku yang dipersepsikan. Pertama, kendali perilaku yang dipersepsikan

memiliki pengaruh motivasional terhadap intensi. Individu yang meyakini bahwa

ia tidak memiliki kesempatan untuk berperilaku, tidak akan memiliki intensi yang

kuat, meskipun ia besikap positif dan didukung oleh refrents (orang-orang

disekitarnya). Kedua, kendali perilaku yang dipersepsikan memiliki kemungkinan

untuk mempengaruhi perilaku secara langsung, tanpa melalui intensi, karena ia

merupakan subtitusi parsial dari pengukuran terhadap kendali aktual (Nursalam,

2016).

Perceived behavioral control sama dengan kedua faktor sebelumnya yaitu

dipengaruhi juga oleh beliefs. Beliefs yang dimaksud adalah hal tentang ada

tidaknya faktor yang menghambat atau mendukung performa tingkah laku (control

beliefs). Rumus yang menjelaskan hubungan antara perceived behavioral control

dan control beliefs (Ajzen, 2005):

PBC = Σ C i P i
Keterangan:
PBC = Perceived Behavioral Control
Ci = Control beliefs
Pi = Power beliefs
Kendali perilaku yang persepsikan (PBC) didapat dengan menjumlahkan

hasil kali antara keyakinan mengenai mudah atau sulitnya suatu perilaku dilakukan

(control beliefs) dan kekuatan faktor dalam memfasilitasi atau menghambat tingkah

laku (power beliefs). Dengan kata lain, semakin besar persepsi seseorang mengenai
71

kesempatan dan sumber daya yang dimiliki (faktor mendukung), serta semakin

kecil persepsi tentang hambatan yang dimiliki, maka semakin besar PBC yang

dimiliki seseorang (Ajzen, 2005).

Pengukuran PBC yang dapat dilakukan hanyalah mengukur persepsi individu

yang bersangkutan terhadap kontrol yang ia miliki terhadap beberapa faktor

penghambat atau pendukung tersebut. Beberapa faktor yang dipersepsi sebagai

penghambat atau pendorong tersebut didapatkan dari proses elisitasi untuk

mendapatkan beliefs yang utama.

2.6 Keaslian Penelitian

Pencarian sumber ilmiah yang untuk keaslian penelitian pada tabel berikut

mengunakan empat database (Scopus, lib unair. Google Scholar dan proques). Kata

kunci yang digunakan peneliti antara lain: VAP bundle, VAP, ICU nurse, ventilator

mekanik pneumonia, adherence.

Tabel 2. 6 Keaslian penelitian


No Judul penelitian Metode Hasil
1 Pelaksanaan Pencegahan Desain: kualitatif Pelaksanaan
dan Pengendalian Sampel: 12 perawat ICU pencegahan dan
Ventilator Associated Variabel: pengendalian
Pneumonia (VAP) di a. independen: Pencegahan dan ventilator associated
Ruang ICU (Ramdhan, pengendalian ventilator pneumonia (VAP)
2019) associated pneumonia (VAP) cukup baik masih
di Ruang ICU. diperlukan pengingat
b. Dependen: pelaksanaan untuk melaksanakn
standar operasional prosedur VAPb sesuai dengan
SOP yaitu oral
(SOP) VAPb
hygiene setiap 8 jam.
Instrumen:
wawancara, observasi, dan
telaah dokumen
Analisis: content analisis
(analisis isi)

2 Knowledge Level of Desain: deskritif Tingkat pengetahuan


Critical Care Nurse on Sampel: 119 perawat ICU perawat ICU dengan
Evidence-Base Practices Variabel: evidence-based
for the Preventive of terhadap praktek
72

Ventilator-Associated a. independen: Tingkat pencegahan


Pneumonia (Özen & pengetahuan perawat ICU ventilator associated
Armutçu, 2018) b. dependen: pencegahan VAP pnemonia didapatkan
hasilnya rendah
Instrumen: Koleksi Form (39,24%).
Identifikasi Karakteristik
Peserta dan Formulir
Informasi dari
literaturpenelitain.
Analisis: Mann-Whitney U Test
dan Uji Kruskal-Wallis.
Di dapatkan hasil
p=0.0005(p<0,05)
3 Development,Validation Desain: cross sectional Hasil
and Application of Sampel: 18 perawat ICU pengembangan,
Ventilator Associated Variabel: validasi dan
Pneumonia Prevention a. independent: Pengembangan pencegahan VAP
Checklist in A Single validasi, pencegahan, VAP dengan aplikasi
Cardiac Sugery Center (Li b. dependen: pengunaan checklist sangat baik
et al., 2018b) checklist VAP pasien yg terpasang
IVM>48 jam
Instrumen: checklist mengalami
pencegahan VAP penurunan tahun
Analisis: mengunakan checklis 2016 (68.1%), tahun
delphi, 2017 (35,7%),
Statistik IBM SPSS versi 19.0 kejadian VAP tahun
2016 (14,48%) tahun
2017 (5,47%)
kematian disebabkan
VAP tahun 2016
(2,6%) tahun 2017
(2.0%).

4 Impact of a VAP bundle in Desain: cross sectional Hasil dari


Belgia Intensive Care Sampel: 44 perawat ICU dampak VAPb di
Units(Jadot et al., 2018) Variabel: ICU belgia
a. independent: VAPb
prevalensi VAP,
b. dependen: kejdian VAP di
secara
ICU belgia
signifikan
Instrumen: partisipan, surve menurun dari
dan implementasi VAPb (28%) pasien
Analisis: Chi-square dengan IVM
atau uji Fisher pada tahun 2010
didapakan nilai p menjadi (10,1%)
≤0,0001(p<0,05) pada tahun 2016
(p≤0,0001).

5 The Effect of Bundle Desain: cross sectional Pengaruh Bundle


Adaptation Control on Sampel: 94 pasien di ICU Adaptasi Control
VAP Speed and Lengh of 43 yang terkontrol dan 51 yang pada VAP cepat dan
Hospital Stay in Avoiding tidak dikontrol. Lama Sakit dalam
The Ventilator Associated Variabel: Menghindari VAP di
Pneumonia (VAP) at a. independen: VAPb ICU anastesi(lebih
Anastesia Intensive Care b. dependen: lama rawat inap. baik pada pasien
Unit.(Klinis et al., 2018) yang di control) ada
perbedaan pada
73

Intrumen: Pengantar Fitur pasien lama dirawat


Form, aplikasi daftar dengan kontrol(X =
pencegahan VAPb dan cheklis 11,41 ± 12,29) cukup
pencegahan VAPb. pendek dari
kelompok yang tidak
(X = 31,41 ± 36,41);
Analisis: uji chi square di dan kejadian VAP
dapatkan hasil dibandingkan dengan
p≥0,05(p<0,05), Mann- kelompok kontrol
Whitney U dan uji Kruskal- (4,7%) tidak
Wallis. (19,6%) dan
kecepatan pemakian
VM yang tidak
terkontrol (7.12) hari
ventilator terkotrol
(4.14)hari. Dalam
penelitian ini,
ditemukan bahwa
tingkat adaptasi
dokter dan perawat
yang bekerja di ICU
untuk ventilator
bundle adalah
(69,89%)

6 Tingkat Pengetahuan Desain: analitik pendekatan cross Hasil yang di dapat


Perawat dan Penerapan sectional (60%) perawat
Ventilator Associated Sampel: 29 perawat ICU memiliki
Pneumonia Bumdle di Variabel: pengetahuan tinggi
Ruang Perawatan Intensif a. independen Tingkat (93,3%) perawat
(Idawaty et al., 2018) pengetahuan perawat melakukan
b. dependen: penerapan VAPb penerapan VAPb.
Terdapat hubungan
Intrumen: kuesioner, bundle bermakna antara
checklist, bservasi tingkat
pengetahuan
dengan penerapan
VAPb (p<0,05)
karena responden
70% sudah
menyelesaikan
Pendidikan S1
keperawatan dal
lama bekerja
(79,9%) lebih dari
5 tahun.
7 Kejadian Ventilator Desain: deskritif analitik Hasil kejadian VAP
Associated Pneumonia Sampel: 15 pasien yang dirawat di RS DR.M. Jamil
(VAP) Pada Klien Dengan di ICU (accidental sampling) Padang dengan skor
Vetilasi Mekanik CPIS terjadi
Menggunakan Indicator Variabel: penurunan dari
Clinical Pulmonary a. independen: penggunaan CPIS (2,87%) menjadi
Infection Score b. dependen: kejadian VAP pada (2.00%) terdapat
(CPIS)(Rahman et al., pasien dengan IVM perbedaan yang
2017) bermakna antara
Intrumen: lembar observasi, tanda-tanda VAP
checklis simplified version pada klien dengan
CPIS. IVM yang dilakukan
74

pengisapan secret
Analisis: univariat dan bivariat. ETT hari I dan hari
III

8 Penerapan Theory of Desain: explanative Hasil penelitian


Planned Behavior observasional. pendekatan: menunjukkan niat
Terhadap Perilaku cross sectional perawat dalam
Kepatuhan Perawat Dalam Sampel: 30 perawat ICU menjalani
Pencegahan Ventilator Variabel: pencegahan VAP
Associated Pneumonia a. independent: penerapan theory masih ada yang
(VAP) di ICU RS Katolik of planned bihavior kurang (68,2%)
(Suadnyani,2017) b. dependen: kepatuhan sudah berprilaku
pencegahan VAP yang baik atas dasar
niat dari perawat.
Intrumen: kuesioner, observasi Perawat merasa
Analisis: bivariat chi-square, terlalu ribet dan
partial least squaredan focus butuh waktu banyak
group discussion. dalam kepatuhan
pencegahan VAP.
9 Ventilator Associated Desain: studi observasional Hasil 178 pasien yang
Pneumonia-Incidence prospektif dirawat di ICU, 92
and Outcome in Adults in Sampel: 178 pasien di ICU (51,68%) dikelola
Medical Intensive Care Variabel: dengan invasif MV.
Unit of A Tertiary Care a. independen: VAP Dari 92 pasien
Hospital of North India b. dependen: insiden dan hasil tersebut, 12 (13,04%)
(Maqbool et al., 2017) kejadian VAP yang dikembangkan
VAP sesuai sistem
Instrumen: mendiagnosa insiden penilaian CPIS. Dari
VAP dengan system penilain 12 pasien, 6
CPIS meninggal, (50%) di
Analisis: EpiInfo 7.0. Hubungan sebabkan VAP.maka
antara dua variabel kategori di perlukan
dianalisis menggunakan uji pencegahan VAP di
Chi-square p<0,05, didapat fokuskan pemikiran
hasil untuk menurukan
Pada jenis kelamin p=0,655 kejadian VAP.
Durasi pemakaian VM hari
<0,001
Pada pasien terpasang VM dengan
VAP dan bukan VAP
p=0872
10 Impact of VAP Bundle Desain: intervensi komparatif, Semua pasien
Adherence Among Sampel: 14 bed di ICU dan 380 terpasang IVM
Ventilated Critically Ill pasien, 250 yang prospektif dikelompokkan
Ptients and Its diamati melalui dua tahun dalam dua
Effectiveness in Adult (kelompok B), 130 pasien kelompok,
ICU(Samra, Sherif, & secara retrospektif selama kelompok A (130)
Elokda, 2017b) satu tahun (kelompok A) pasien non bundel
dan kelompok B
Variabel: (250) pasien
a. independent: pengaruh dengan vap bundel
kepatuhan dan efektif VAPb analisis statistik,
b. dependen: pasien kritis dengan rata-rata kelompok
IVM A lebih tinggi
kejadian VAP
Instrumen: pelaksaan VAPb (18,5%) kelompok
Analisis: - B mengalami
statistic perbandingan 2 kelompok penurunan secara
75

signifikan (9%
)setengah dari
kelompok A.
signifikan korelasi
negatif yang kuat
antara kepatuhan
dari bundel dan
VAP dan tingkat
VAP ditemukan, p
< 0,0001, VAP
bunde .dengan
kepatuhan berkisar
antara 94% sampai
100%
11 Analisis Factor-Faktor Desain: deskriptif korelasional Hasil dari penelitian
yang Berhubungan Dengan pendekatan cross sectional menunjukkan bahwa
Pengetahuan Perawat Sampel: 25 perawat d ICU tidak ada hubungan
Tentang Pencegahan antara pendidikan
Ventilator Associated Variabel: dengan pengetahuan
Pneumonia (VAP) Di a. independent: fakto-faktor yang perawat tentang
Ruang ICU RSUD DR. berhubungan dengan pencegahan VAP
Mawardi (Rifai, 2016) pengetahuan perawat. dibuktikan dengan
b. dependen: pencegahan VAP nilai r hitung sebesar
– (0,036) lebih kecil
Instrumen: kuesioner dengan dari r tabel (0,4005).
pertanyaan tertutup Tidak ada hubungan
Analisis: uji non parametik rank antara masa kerja
spearman dengan bantuan dengan pengetahuan
SPSS for windows versi 10,0 perawat tentang
pencegahan VAP
dibuktikan dengan
nilai r hitung sebesar
(0,026) lebih kecil
dari r tabel (0,4005).
Tidak ada hubungan
antara pelatihan
dengan pengetahuan
perawat tentang
pencegahan VAP
12 Hubungan Pengetahuan Desain: analitik pendekatan cross Hasil distribusi
Perwat Tentang sectional frekuensi tingkat
Pencegahan Ventilator Sampel: 10 perawat ICU pengetahuan tentang
Associated Pneumonia Variabel: pencegahan VAP
(VAP)di Ruang ICU a. independen: hubungan (77%) distribusi
Rumah Sakit Sari Asih pengetahuan perwat tentang frekuensi kejadian
Karawaci Tanggerang pencegahan VAP VAP dengan angka
(Fitriani,2015) b. dependen: peningkatan angka CPIS <6 (77%.) ada
VAP hubungan signifikan
tingkat pengetahuan
Intrumen: penilaian dengan scor tentang pencegahan
CPIS VAP pvalue
Analisis: bivariat uji independent (0.000<0.05).
T-test, univariat
13 Gambaran Tingkat Desain: deskritip analitik, cross Hasil penelitian
Kepatuhan dan Faktor- sectional menunjukkan bahwa
Faktor yang Sampel: 45 perawat ICU tingat kepatuhan
Mempengaruhi Kepatuhan Variabel: perawat terhadap
76

Perawat Dalam Penerapan a. independen: gambaran VAPb adalah (75,9%)


Budle Ventilator tingkat kepatuhan perawat hubungan
Associated Pneumonia dan factor-faktor yang predisposisi,
(Durhayati & Aryani, mempengaruhi. pemungkin, penguat
2015) b. dependen: kepatuhan perawat terhadap kepatuhan
terhadap penerapan VAPb tidak ada hubungan
(nilai p 0,473)
Intrumen: VAPb checklis dari
IHI 2012 dan adaptasi
PRECEDE model
Analisis: chisqure
14 A Comparative Study of Desain: eksperimental menunjukkan bahwa
Teaching Clinical randomized clinical trial. kedua metode tatap
Guideline For Preventive of Sampel: 75 perawat ICU muka p dan
Ventilatory-Associated Variable: workshop sangat
Pneumonia in Two Ways: a. independen: studi perbandingan efektif. Insiden
Face-To-Face And mengajar pedoman klinis tekanan yang tidak
Workshop Training on The pencegahan VAP dalam dua pantas dari manset di
Knowledge and Practice of cara: tatap muka dan pelatihan tabung trakea dan
Nurse in The Intensive workshop tabung trakeostomi
Care unit.(Sabetian & b. dependen: pengetahuan dan berkurang secara
Roudgari, 2015) signifikan setelah
praktek perawat di ICU
pelatihan (p = 0,001).
Intrumen: tatap muka, workshop, Tapi, dengan
observasi perbandingan dua
Kuesioner. metode ini dan
Analisis: statistik deskriptif, hubungan antara
paired t-test, independent t- variabel
test, uji McNemar, Fisher mengungkapkan
exact, tanda dan Chi-square bahwa tidak ada
tes, menggunakan SPSS 14. perbedaan signifikan
yang ditemukan
Analisis pada fisher exact didapat antara kedua
sebelum training (p=0,69) kelompok tatap
dan setelah training (p=1). muka pelatihan dan
workshop.
15 Critical Care Nurses Desain: A quantitative cross- Hasil penelitian skor
Knowledge of, Adherence sectional survey dalam tes
To and Barriers Towards Sampel: 101 perawat ICU pengetahuan 59,9%.
Evidence-Based Variabel: Perawat yang lebih
Guidelines For The a. independen: kepedulian, berpengalaman
Prevention of Ventilator- pengetahuan dan kepatuhan, memiliki kinerja yang
Associated Pneumonia — perawat icu jauh lebih baik dari
A Survey(Jansson et al., b. dependen: terhadap pada rekan yang
2013) hambatanEBGs, kurang
pencegahan VAP. berpengalaman (p =
0,029). Secara
Intrumen: multiple chois, keseluruhan,
kuesioner. kepatuhan yang
Analisis: SPSS 18.0 windows dilaporkan sendiri
statistik (SPSS Inc, Chicago, adalah (84,0%)
IL, USA). statistik deskriptif Hambatan utama yang
dilaporkan sendiri
terhadap pedoman
berbasis bukti adalah
sumber daya yang
tidak memadai dan
ketidak sepakatan
77

dengan hasil serta


kurangnya waktu,
keterampilan,
pengetahuan dan
bimbingan

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Backgrround Atituden toward


faktors: behavior
Behavior
Personal: belief Sikap terhadap
pelaksanaan
Sikap VAPb

Kepribadian
Nilai
Subjective
Emosi norm
Kepatuh
Kecerdasan Montivasi diri an
Social : Normatie sendiri perawat
Motivasi dari terhadap
beliefs atasan, Intention pencega
Usia
pendidikan motivasi dari han
lingkungan VAP
Ras
Etnik
Pendapata
n Perceived
Agama behavioral Kejadian
Jenis control VAP
kelamin Monitoring
Control
Informasi : kepala Keterangan:
beliefs
1 Pengalaman ruangan
Standar Di teliti
Lama kerja operasional
di icu prosedur
Perawat Tidak diteliti
klinis 1-5
2 Pengetahuan
3. Pelatihan
78

Gambar 3. 1 Kerangka konseptual penerapan Theory of Plannet Behavior terhadap


pengaruh VAPb terhadap kejadian VAP ICU Rumah Sakit Surabaya.

Teori yang mendasari penelitian ini adalah Theory of Planned Behavior.

Dalam teori ini menyatakan bahwa perilaku individu muncul karena adanya niat

untuk berperilaku. Theory of Planned Behavior oleh Ajzen (2005), terdapat tiga

background factors yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku yang

direncanakan yakni faktor personal (personal), sosial (social), dan informasi

(information). Faktor personal terdiri dari sikap umum seseorang terhadap sesuatu,

kepribadian (personality), nilai hidup (values), emosi dan kecerdasan. Faktor sosial

antara lain usia, jenis kelamin, ras, etnis, pendapatan, dan agama. Faktor informasi

meliputi pengalaman (pengalaman selama dinas diICU dan sebagai perawat klinik

1-5), pengetahuan, dan media eksposur(workshop). Selain ketiga faktor latar

belakang juga di dukung oleh tiga variabel lain antara lain behavioral belief yang

menghasilkan attitude toword the behavior (Sikap dalam melakukan VAP bundle)

yang dapat menimbulkan suatu persepsi mengenai intensi atau niat melakukan

kepatuhan perawat dalam pencegahan VAP. Kedua yaitu normative belief yang

menghasilkan subjective norm (Motivasi dari diri sendiri, Motivasi dari lingkungan,

atasan) yang menjadi sumber motivasi dan mempengaruhi intensi perawat untuk

melakukan VAPb dalam pencegahan VAP. Selain itu, dapat berpengaruh secara

positif maupun negatif dalam diri perawat khususnya dalam berperilaku melakukan

VAPb. Ketiga yaitu control belief yang akan menimbulkan atau control perceived

behaviorl control (Sarana dan fasilitas penunjang, serta SOP yang sudah

ditetapkan) persepsi ini merupakan keyakinan individu yang dapat mempengaruhi


79

perilaku baik secara langsung maupun tidak melalui intensi. Seluruh komponen

teori ini menjadi dasar adanya dorongan, maksud, atau tujuan untuk melakukan

perilaku tertentu (Niat atau inten) prilaku kepatuhan untuk melakukan pencegahan

VAP.

3.2 Hipotesisi Penelitian

H1:

1. Ada pengaruh pelatihan VAPb.terhadap pengetahuan perawat

2. Ada pengaruh pelatihan VAPb terhadap atitude toward behavior perawat

3. Ada pengaruh pelatihan VAPb terhadap subjectif norm perawat

4. Ada pengaruh pelatihan VAPb.terhadap perceived behavior control (PBC)

perawat

5. Ada pengaruh pelatihan VAPb terhadap intensi perawat

6. Ada pengaruh pelatihan VAPb.terhadap kepatuhan perawat


BAB 4

METODE PENELITIAN

Pada Bab 4 peneliti menguraikan Metode penelitian. Metode penelitian

menggunakan peneliti metode pra experimental design dengan rancangan pretest-

postest one group design.

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitian

eksperimental dengan metode penelitian pra-experimental design dengan

rancangan pretest-postest one group design. Pre-test pos-ttest one group design

adalah penelitian untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat yaitu sebelum

eksperimen (pre-test) dan sesudah eksperimen (post-test) dengan satu kelompok

subjek. Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis pengaruh penerapan

VAPb terhadap kepatuhan perawat tehadap pencegahan VAP.

Y
S X₁ x₂
W

Gambar 4. 1 Desain penelitian pretest-postest one group design


Keterangan:

S: Responden perawat di ruang ICU dan ICCU RSU Haji Surabaya

X₁: Nilai kepatuhan perawat sebelu dilakukan pelatihan VAPb

X₂: Nilai keparuhan perawat setelah dilakukan pelatihan


81

Y: Intervensi pelatihan VAPb dan ceklist.


W: waktu diberikan pelatihan selama 30 hari pelatihan dilakukan 1 kali.

4.2 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

4.2.1 Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah menggunakan total sampel seluruh

perawat di ruangan ICU dan ICCU RS Haji Surabaya dengan jumlah 46 perawat

pada bulan november tahun 2019

4.2.2 Teknik Sampling

Sampling adalah proses menyelesaikan porsi dari populasi dapat mewakili

populasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara non

random.

4.3 Variabel penelitian dan definisi operasional variabel

4.3.1 Variabel penelitian

Variabel penelitian terdiri dari 2 yaitu variabel independen dan dependen.

Variabel penelitian terdiri dari:

1. Variabel independen

Variabel independen (bebas) yaitu Pelatihan VAPb yang diberikan kepada perawat

2. Variabel dependen

Variable dependen (terikat) yaitu pengetahuan, Atitude toward behavior subjectif

norm, perceived behavioural control, intensi, kepatuhan.

4.3.2 Definisi operasional


82

Definisi operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4. 1 Definisi operasional Pengaruh VAPb terhadap kepatuhan perawat


dalam pencegahan VAP
Variable Definisi parameter Alat Skala Skor
Operasional ukur

Independen Responden
Pelatihan Pelatihan VAPb mampu SAP dan - -
pelaksanaanya menjelaskan: ceklis
dalam 3 1 Kepatuhan
gelombang perawat
disesuaikan melakukan
jadwal dinas VAPb.
masing – masing 2 Kepatuhan
individu. perawat mengisi
1.Demotrasi
VAPb
2.Seminar

Dependen

1. Pengetahuan

kuesioner Ordinal
Informasi yang di Penilaian Terdiri dari 15
dapat perawat pengetahuan pertanyaan
tentang tentang: dengan skor
pencegahan VAP 1. Pemahaman jawaban benar
bundle Tidak tahu tentang VAP skor =1
menjadi tahu dan VAPb jawaban salah
tentang VAP dan 2. Cara skor=0 total
VAPb melakukan skor:
pencegahan 1 Baik 76-
VAP 100%
3. Komponen 2 Cukup:56-
VAPb 75%
3 Kurang:
<55%

2. Atitude Pandangan 1. Keyakinan Kusioner Ordinal Skor jawaban


toward perawat terhadap terhadap hasil pernyataan
behaviour pentingnya 2. Evaluasi positif =
(sikap pelaksanaan VAP terhadap hasil STS: 1, TS: 2,
terhadap bundle 1) Keuntungan S: 3, SS: 4.
pelaksanaan 2) Kerugian Skor jawaban
pernyataan
VAPb)
negatif =
STS: 4, TS: 3,
S: 2, SS: 1
83

Kategori:
Positif
jika skor ≥
T mean
Negatif jika
skor < T mean

3.Subjective Persepsi individu 1 Keyakinan Kuesioner Ordinal Skor jawaban


norm terhadap tekanan normative TP:1
sosial atau 2 Motivasi K:2
sejumlah orang untuk SR:3
yang dianggap memenuhi SL:4
berpengaruh harapan Kategori:
dalam pelaksaan 1. Baik :34-40
VAPb dan sejauh 2. Sedang :27-
mana individu 33
berkeinginan 3. Kurang:
untuk mematuhi
≤ 26
anjuran atau
larangan tersebut.

4.Perceived Persepsi individu Keyakinan Kuesioner Ordinal Skor jawaban


Behavior mengenai kondisi kontrol dan pernyataan
Control (PBC) atau situasi yang kekuatan kontrol. positif =
mendorong atau STS: 1, TS: 2,
menghambat S: 3, SS: 4.
pencegahan VAP Skor jawaban
bundle. pernyataan
negatif =
STS: 4, TS: 3,
S: 2, SS: 1

Kategori:
1 Baik: 46-60
2 Sedang: 31-
45
3 Kurang:
≤30

5.Intensi Niat atau Penilaian intensi kuesioner Ordinal Skor jawaban


keinginan untuk terhadap peryataan
melakukan VAPb pelaksanaan positip =
pada pasien VAPb TP:1
terpasang VM. K:2
84

SR:3
SL:4

Skor
pernyataan
negative:
TP:4
K:3
SR:2
SL:1

Kategori:
Baik:34-40
Sedang :27-33
Kurang:
≤26
6.Kepatuhan Kepatuhan pelaksanaan Kuisioner Ordinal Skor jawaban
Perawat terhadap prosedur perawat dalam dan pernyataan
Terhadap melakukan ceklist STS: 1, TS: 2,
Pencegahan serangkaian S: 3, SS 4
VAP tindakan VAPb Kategori:
1 Patuh: 60
2 Tidak Patuh:
<60
sekunder
1. kelengkapan Observasi
data menggunakan
monitoring lembar
pasien dengan checklist
VM Bundle
2. komponen ventilator dan
kepatuhan ceklist
VAPb yang pencegahan
dilakukan. VAP
Klasifikasi data
berdasarkan
(Kepmenkes
RI no 129
tahun 2008)
1. Tinggi:
hasil
presentas
e
kelengka
pan data
≥75%
2. Rendah:
hasil
presentas
85

e
kelengka
pan data
≤ 75%

4.4 Instrumen Penelitian

Intrumen penelitian untuk mengukur variabel independen peneliti

menggunakan SAP (Satuan Acara Penyuluhan) yang dibuat oleh peneliti. Isi Materi

pelatihan VAPb (powerpoint) yang disampaikan kepada responden terlebih dulu di

konsulkan peneliti kepada IPCN (infection prevention control nurse) RSU haji

sebagai tim ahli PPI (Sulistyorini, S.Kep.,Ns) dan telah mendapat persetujuan.
86

Instrumen penelitian untuk variabel dependen yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kuesioner yang di adopsi dari ajzen (2005) yang dikembangkan

peneliti dari Wahyuni Erna (2012) yaitu instrumen kuesioner pengetahuan terdiri

dari 15 pertanyaan multipelcoise dan dimodifikasi sesuai SOP yang ada di RSU

Haji Surabaya. Kuisiner Atitude toward behaviour, subjectif norm, perceived

behavioural control, intensi. yang di adopsi dari Ajzen (2005) dan di kembangkan

peneliti dari Suadnyani,(2017) dan dimodifikasi sesuai SOP yang ada di RSU Haji

Surabaya, untuk kuesioner kepatuhan peneliti mengadopsi dari ceklis dan SOP yang

ada di RS Haji Surabaya.

Intrumen penelitian dependen derdiri dari:

1. Kuesioner pengetahuan

Kuesioner pengetahuan pada penelitian ini merupakan kuesioner dari Erna Dwi

(2012), terdiri dari 15 pertanyaan multipelcoise dan diadopsi 15 pertanyaan

multipecoise yang dimodifikasi oleh peneliti sesuai SOP yang berada di RS haji.

Kuesioner pengetahuan perawat terhadap VAPb terdiri dari 15 item pertanyaan dan

setiap item pertanyaan diberikan skor dengan menggunakan multiplecoise yang

masing-masing pertanyaan diberi skor 1 atau 0, artinya: nilai 1= bila jawaban benar.

Nilai 0= bila jawaban salah. Penilaian pengetahuan di golongkan menjadi 3 kategori

yaitu:

Kurang : Jika hasil perhitungan didapat sebesar < 56%

Cukup : Jika hasil perhitungan didapat sebesar 56 % - 75%

Baik : jika hasil perhitungan didapat sebesar 76 % - 100%


87

Pada kuesioner pengetahuan dinilai dengan menggunakan rumus sebagai

berikut (Arikunto 2006 dalam Asiadi 2017):


f
P = X 100%
N
Keterangan:

P: presentase

F: frekuensi item soal benar

N: nilai tertinggi

Tabel 4. 2 Blue print kuesioner pengetahuan


NO ASPEK NOMOR SOAL TOTAL

1 Pemahan VAP definisi Favourabel:


1,2,3,4,5,7 6
Unfavourable: -

2 Pemahaman setiap komponen Favourabel:


VAPb 8,9,10,11,12,13,14 7
Unfavourable:

Cara melakukan pencegahan Favourabel:


VAP 6,15 2
Unfavourable: -

Jumlah 15

Tabel 4.2 Hasil blue print kuesioner pengetahuan telah dilakukan uji validitas

dan reliabilitas oleh peneliti pada tanggal 16 Oktober 2019 di NICU RS Haji

Surabaya dengan nilai validitas yaitu dengan nilai correlation r hasil 0,390-0,938.

Serta nilai Cronbach’s alpha 0,788.

2. Atituden toward behavior (Sikap) terhadap pelaksanaan VAPb

Kuesioner sikap pada penelitian ini merupakan kuesioner Instrumen sikap ini

berasal dari Instrumen TBP Ajzen (2006). Instrumen ini dikembangkan dari
88

kuesioner penelitian sebelumnya atas nama Suadnyani,(2017) terdiri dari 25

pertanyaan skor skala likert dengan kategori sangat tidak setuju (STS), tidak setuju

(TS), setuju (S), sangat setuju (SS) dan di adopsi peneliti 15 pertanyaan yang

dimodifikasi oleh peneliti dengan SOP yang berada di RS haji. Kuesioner sikap

perawat terhadap VAPb terdiri dari 15 item pertanyaan dan setiap item pertanyaan

diberikan skor skala likert dengan menggunakan kategori. Kategori pertanyaan

dibagi menjadi 2 yaitu:

a) Untuk pertanyaan positif:


Sangat setuju (SS) = diberi nilai 4
Setuju (S) = diberi nilai 3
Tidak setuju (TS) = diberi nilai 2
Sangat tidak setuju (STS) = diberi nilai 1
b) Untuk pertanyaan negatif:
Sangat setuju (SS) = diberi nilai 1
Setuju (S) = diberi nilai 2
Tidak setuju (TS) = diberi nilai 3
Sangat tidak setuju (STS) = diberi nilai 4

Sikap dikatakan positif jika T > mean dan sikap

dikatakan negative jika T ≤ mean (Azwar, 2005). Nilai

tertinggi yang diperoleh adalah 60 dan nilai terendah adalah

15, dengan kriteria sikap positif jika nilai ≥ T means, sikap

negatif jika nilai < T means. Indikator keyakian terhadap

hasil pada soal nomor 2,6,15. Indikator evaluasi terhadap

hasil berdasarkan keuntungan adalah soal nomor 5,8,10.


89

Indikator evaluasi terhadap hasil berdasarkan kerugian

adalah soal nomor 1,3,4,7,9,11,12,13,14

NO ASPEK INDIKATOR TOTAL


1 Keyakinan terhadap hasil Favourabel: 2,6,15 3

Unfavourable:1,3,7,9,11,12,13 7

2 Evaluasi terhadap hasil Favourabel: 5,8,10 3

Unfavourable:4,14 2
Jumlah 15

Tabel 4. 3 Blue print kuesioner sikap terhadap VAPb

Tabel 3.3 Hasil blue print kuesioner sikap telah dilakukan uji validitas dan

reliabilitas oleh peneliti pada tanggal 16 Oktober 2019 di NICU RS Haji Surabaya

dengan nilai validitas yaitu dengan nilai correlation r hasil 0,469-0,800. Serta nilai

Cronbach’s alpha 0,684.

3. Subjective norm

Norma subjektif diukur menggunakan instrumen kuesioner norma subjektif

yang berasal dari Instrumen Theory of Planned Behaviour (TPB) Ajzen (2005).

Instrumen ini dikembangkan dari kuesioner penelitian sebelumnya atas nama

Suadnyani, (2017) terdiri dari 15 pertanyaan skor skala likert dengan kategori

sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), setuju (S), sangat setuju (SS) diadopsi

peneliti 10 pertanyaan dengan yang dimodifikasi oleh peneliti dengan SOP yang

berada di RS haji. Kuesioner Terdiri dari 10 pertanyaan semua pertanyaan

favorable dengan skala likert nilai 1 untuk jawaban tidak

pernah, (TP) nilai 2 untuk kadang-kadang (K) nilai 3 untuk


90

jawaban sering (SR), nilai 4 untuk jawaban selalu (SL). Nilai

tertinggi yang diperoleh adalah 40 dan nilai terendah adalah

10 dengan kategori hak jika nilai 34-40, sedang jika nilai

27-33 dan kategori kurang jika nilai ≤26.

Tabel 4. 4 Blue print kuesioner subjectif norm


NO ASPEK INDICATOR TOTAL

1 Skala normative Favorable 1.2.3.4 4


Unfavorable: -

2 Skala motivasi Favorable 5,6,7,8,9,10 6


Unfavorable: -

Jumlah 10

Tabel 4.4 Hasil dari Blue print kuesioner norma subjektif telah dilakukan uji

validitas dan reliabilitas oleh peneliti pada tanggal 16 Oktober 2019 di NICU RS

Haji Surabaya dengan nilai validitas yaitu dengan nilai correlation r hasil 0,333-

0,841. Serta nilai Cronbach’s alpha 0,723.

4. Percieved behavioral control (PBC) keyakinan SOP sebagai kontrol.

Kuesioner PBC keyakinan adanya SOP sebagai kontrol

pada penelitian ini merupakan kuesioner Instrumen PBC ini

berasal dari Instrumen TBP Ajzen (2006). Instrumen ini

dikembangkan dari kuesioner penelitian sebelumnya atas

nama Suadnyani,(2017) terdiri dari 15 pertanyaan skor skala

likert dengan kategori sangat tidak setuju (STS), tidak

setuju (TS), setuju (S), sangat setuju (SS) diadopsi peneliti


91

15 pertanyaan yang dimodifikasi oleh peneliti dengan SOP

yang berada di RS haji. Kuesioner keyakinan SOP sebagai

kontrol perawat pencegahan VAP terdiri dari 15 item

pertanyaan dan setiap item pertanyaan diberikan skor

dengan menggunakan kategori kategori 15 pertanyaan dan

untuk pertanyaan favorable dengan menggunakan skala

likert nilai 1 untuk jawaban sangat tidak setuju (STS), nilai

2 untuk jawaban tidak setuju (TS), nilai 3 untuk jawaban

setuju (S), nilai 4 untuk jawaban sangat setuju (SS). Nilai

tertinggi yang dapat diperoleh adalah dan nilai terendah

adalah 15 dengan kategori baik jika nilai 46-60, kategori

sedang jika skor 31-45 dan kategori kurang jika nilai ≤ 30.

Skala yang mengukur keyakinan kontrol pada nomor

2,3,10,9,11,12,13,14 dan skala tentang kekuatan kontrol pada

nomor 1,6,15,4,5,7,8.

Tabel 4. 5 Blue print kuesioner perceived behavioral control (PBC)


NO ASPEK INDIKATOR TOTAL
1 Skala hambatan Kontrol Favourabel: 2,3,10 3
Unfavourable:9,11,12,13,14 5
2 Skala Kekuatan Kontrol Favourabel: 1,6,15 3
Unfavourable:4,5,7,8, 4

Jumlah 15

Tabel 4.5 Hasil blue print kuesioner Percieved behavioral control (PBC) telah

dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh peneliti pada tanggal 16 Oktober 2019
92

di NICU RS Haji Surabaya dengan nilai validitas yaitu dengan nilai correlation r

hasil 0,339-0,815. Serta nilai Cronbach’s alpha 0,859.

5. Intensi

Intensi diukur menggunakan instrumen kuesioner Intensi yang berasal dari

Instrumen Theory of Planned Behaviour (TPB) Ajzen (2006) Instrumen

ini dikembangkan dari kuesioner penelitian sebelumnya atas

nama Suadnyani, (2017) terdiri dari 10 pertanyaan skor skala

likert dengan kategori sangat tidak setuju (STS), tidak

setuju (TS), setuju (S), sangat setuju (SS) diadopsi peneliti

10 pertanyaan yang dimodifikasi oleh peneliti dengan SOP

yang berada di RS haji. Kuesioner terdiri dari 10 pertanyaan

dan pertanyaan favorable dengan mengunakan skala likert

nilai 1 untuk jawaban tidak pernah (TP), nilai 2 untuk kadang

– kadang (K), nilai 3 untuk jawaban sering (SR), nilai 4 untuk

jawaban selalu (SL). Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 40

dan nilai terendah adalah 10 dengan kreteria baik jika nilai

34-40, sedang jika nilai 27-33 dan kurang jika nilai ≤26.

Tabel 4. 6 Blue print kuesioner intensi


NO ASPEK INDIKATOR TOTAL

1 Intensi Favorable 1,2,3,6,7,8,9,10 8


Unfavorable 4,5 2

Jumlah 10
93

Tabel 4.6 Hasil blue print kuesioner intensi telah dilakukan uji validitas dan

reliabilitas oleh peneliti pada tanggal 16 Oktober 2019 di NICU RS Haji Surabaya

dengan nilai validitas yaitu dengan nilai correlation r hasil 0,371-0,838. Serta nilai

Cronbach’s alpha 0,742.

6. Kepatuhan perawat terhadap pencegahan VAP

Kuesioner dan ceklist kepatuhan perawat terhadap

pencegahan VAP pada penelitian ini merupakan kInstrumen

yang dimodifikasi oleh peneliti dari SOP yang berada di RS

haji. Ceklist monitoring kepatuhan perawat peneliti

mrngunakan data sekunder terdiri dari 14 komponen yang

dinilai dan monitoring kelengkapan pengisian pasien

terpasang VM terdiri dari 33 komponen yang dinilai.

Klasifikasi data berdasarkan (Kepmenkes RI no 129 tahun

2008) penilaian kepatuhan tinggi: hasil presentase

kelengkapan data ≥75% rendah: hasil presentase

kelengkapan data ≤ 75% menilainya jumlah yang jumlah item

yang terisi atau jumlah tindakan yang dilakukan dibagi

total responden dikalikan 100%.

Kuesioner untuk menganalisa kepatuhan perawat

terhadap pencegahan VAP terdiri dari 15 item pertanyaan

dan setiap item dengan nilai 1 untuk jawaban sangat tidak


94

setuju (STS), nilai 2 untuk jawaban tidak setuju (TS), nilai 3

untuk jawaban setuju (S), nilai 4 untuk jawaban sangat setuju

(SS). Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 60 dan nilai

terendah adalah 15 dengan kriteria perilaku patuh jika nilai

60 dan perilaku tidak patuh jika nilai ≤ 60.

Tabel 4. 7 Blue print kepatuhan perawat terhadap pencegahan VAP


NO ASPEK INDIKATOR TOTAL
1 Kepatuhan perawat terhadap pencegahan VAP Favourabel: 12
1,3,4,5,6,7,8,9,10,11,
13,14 3
Unfavourable: 2,12,15
Jumlah 15

Tabel 4.7 Hasil Blue print kuesioner kepatuhan telah dilakukan uji validitas

dan reliabilitas oleh peneliti pada tanggal 16 Oktober 2019 di NICU RS Haji

Surabaya dengan nilai validitas yaitu dengan nilai correlation r hasil 0,51-0,895.

Serta nilai Cronbach’s alpha 0,705.

4.5 Uji validitas dan reliabilitas

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan ujivaliditas dan

reliabilitas. Responden dalam uji coba kuesioner ini tidak termasuk responden

penelitian. Hasil uji coba alat ukur selanjutnya dilkukan analisis validitas dan

reliabitasnya.

Tujuan dari uji validitas untuk menilai pertanyaan pada suatu kuesioner

mampu atau tidak dalam mengungkapkan sesuatu yang diukur menggunakan

angket/kuesioner tersebut. Suatu instrument dapat dianggap valid jika mampu


95

mengukur hal yang diinginkan. Peneliti uji validitas mengunakan Korelasi Product

Moment untuk melihat valid atau tidak valid suatu instrument.

Penghitungan validitas item pernyataan dilakukan dengan menggunakan

bantuan software SPSS Valid apabila nilai korelasi tiap-tiap pertanyaan tersebut

signifikan, maka apabila r hitung lebih besar dari r tabel atau > (0,25-030)

(Dahlan,2010).

1. Uji validitas untuk kuesioner pengetahuan yang terdiri dari 15 pertanyaan


pilihan ganda semua dinyatakan valid.
Tabel 4.8.1 uji validitas kuesioner pengetahuan
Pertanyaan r Hitung r Tabel Keterangan

Peng 1 0,450 0,30 valid

Peng 2 0,507 0,30

Peng 3 0,390 0,30

Peng 4 0,582 0,30

Peng 5 0,507 0,30

Peng 6 0,938 0,30

Peng 7 0,468 0,30

Peng 8 0,505 0,30

Peng 9 0,938 0,30

Peng 10 0,588 0,30

Peng 11 0,659 0,30

Peng 12 0,632 0,30

Peng 13 0,517 0,30

Peng 14 0,517 0,30

Peng 15 0,390 0,30

2. Uji validitas untuk kuesioner Atitude toward behavior 15 pernyataan semua


dinyatakan valid.
96

Table 4.8.2 kuesioner Atitude toward behavior

Pertanyaan r Hitung r Tabel Keterangan

ATTB 1 0,800 0,30 valid

ATTB 2 0,547 0,30

ATTB 3 0,665 0,30

ATTB 4 0,530 0,30

ATTB 5 0,531 0,30

ATTB 6 0788 0,30

ATTB 7 0,592 0,30

ATTB 8 0,776 0,30

ATTB 9 0,469 0,30

ATTB 10 0,588 0,30

ATTB 11 0,410 0,30

ATTB 12 0,617 0,30

ATTB 13 0,456 0,30

ATTB 14 0,657 0,30

ATTB 15 0,469 0,30

3. Uji validitas untuk kuesioner subjective norm terdiri dari 10 pernyataan

semua dinyatakan valid.

Tabel 4.8.3 kuesioner subjective norm


Pertanyaan r Hitung r Tabel Keterangan

SN 1 0,364 0,30 valid

SN 2 0,476 0,30

SN 3 0,333 0,30

SN 4 0,641 0,30

SN 5 0,742 0,30

SN 6 0,393 0,30

SN 7 0,628 0,30

SN 8 0,721 0,30
97

SN 9 0,841 0,30

SN 10 0,606 0,30

4. Uji validitas untuk kuesioner Percieved behavioral control (PBC) terdiri

dari 15 pertanyaan semua dinyatakan valid

Tabel 4.8.4 kuesioner Percieved behavioral control (PBC)


Pertanyaan r Hitung r Tabel Keterangan

PBC 1 0,574 0,30 valid

PBC 2 .0,710 0,30

PBC 3 0,568 0,30

PBC 4 0,512 0,30

PBC 5 0,603 0,30

PBC 6 0,696 0,30

PBC 7 0,620 0,30

PBC 8 0,639 0,30

PBC 9 .0,339 0,30

PBC 10 0,501 0,30

PBC 11 0,512 0,30

PBC 12 0,372 0,30

PBC 13 0,478 0,30

PBC 14 0,564 0,30

PBC 15 0,815 0,30

5. Uji validitas untuk kuesioner intensi terdiri dari 10 pernyataan semua


dinyatakan valid.
Table 4.8.5 kuesioner intensi
Pertanyaan r Hitung r Tabel Keterangan

Intensi 1 0,524 0,30 valid

Intensi 2 0,535 0,30

Intensi 3 0,542 0,30


98

Intensi 4 0,371 0,30

Intensi 5 0,375 0,30

Intensi 6 0,683 0,30

Intensi 7 0,601 0,30

Intensi 8 0,837 0,30

Intensi 9 0,781 0,30

Intensi 10 0,837 0,30

6. Uji validitas untuk kuesioner kepatuhan terdiri dari 15 pernyataan semua

dinyatakan valid.

Tabel 4.8.6 kuesioner kepatuhan


Pertanyaan r Hitung r Tabel Keterangan

Patuh 1 0,428 0,30 valid

Patuh 2 0,351 0,30

Patuh 3 0,496 0,30

Patuh 4 0,407 0,30

Patuh 5 0,647 0,30

Patuh 6 0,559 0,30

Patuh 7 0,895 0,30

Patuh 8 0,403 0,30

Patuh 9 0,647 0,30

Patuh 10 0,647 0,30

Patuh 11 0,762 0,30

Patuh 12 0,581 0,30

Patuh 13 0,680 0,30

Patuh 14 0,508 0,30

Patuh 15 0,807 0,30


99

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat sejauhmana kemampuan suatu

instrument mempunyai kepercayaan, konsistensi dan bias digunakan secara

berulang-ulang. Uji reliabilitas terhadap instrument dilakukan untuk mengetahui

tingkat kesenjangan dari alat ukur. Pengujian reliabilitas instrument penelitian

dapat dilakukan dengan menggunakan teknik Cronbach Alfa correlation, bila hasil

<dari 0.5 reliabilitas rendah. Pada penelitian ini kuesioner yang telah digunakan

diuji validitas reliabelitas mengunakan aplikasi SPSS. Hasil uji reliabilitas peneliti

dilihat pada tabel 4.8 di bawah ini:

Tabel 4. 8 Realiabilitas kuesioner pengaruh penerapan Ventilator


Associated Pneumonia Bundle terhadap kepatuhan perawat
dalam pencegahan Ventilator Associated Pneumonia di RSU haji
Surabaya
Variable Cronbach’s Alpha Kesimpulan

Pengetahuan 0,788 Reliabel

Atitude toward behavior 0,684 Reliabel

subjective norm 0,723 Reliabel

Percieved behavioral 0,858 Reliabel


control

Intensi 0,742 Reliabel

Kepatuhan 0,705 Reliabel

4.6 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data

Lokasi penelitian dilakukan pada perawat yang bekerja di ICU dan ICCU

Rumah Sakit Surabaya. Waktu penelitian direncanakan dilakukan setelah proposal

disetujui dan setelah uji etik di RS Haji Surabaya 24 Oktober 2019. Penelitian sudah

dilaksanakan pada 4 November sampai dengan 9 Desember 2019.


100

4.7 Prosedur Pengumpulan dan Pengambilan Data

Peneliti mengikuti tahapan lulus uji proposal tanggal 23 september 2019, Uji

etik di RS Haji Surabaya (no. 073/33/KOM.ETIK/2019) tanggal 24 Oktober 2019

untuk keperluan prosedur penelitian di Ruang ICU dan ICCU Rumah Sakit Haji

Surabaya, pada 46 perawat. Peneliti datang ke lokasi penelitian untuk pengambilan

data awal nama perawat di ruang ICU dan ICCU RS Haji Surabaya dengan total

sampel.

Waktu pengambilan data adalah jam dinas pagi dengan pertimbangan banyak

perawat yang berdinas pagi dan sore sehingga tidak mengganggu pelayanan jam

dinas pagi. Peneliti memastikan bahwa intervensi yang diberikan tidak akan

mengganggu jam bekerja responden. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti

memberikan informasi (informed consent) kepada seluruh responden dengan tujuan

untuk aspek formal dan legal menggunakan perawat Ruang ICU, ICCU. Peneliti

menanyakan apakah responden bersedia mengikuti tahapan penelitian sampai

selesai. Seluruh perawat bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

pre test pada 46 perawat di ICU dan ICCU RS Haji dengan memberikan

kuesioner pengetahuan, Atituden toward behavior (sikap), Subjective norm

Perceived behavioral control, intensi, kepatuhan perawat sebelum dilakukan

intervensi pelatihan VAPb di Ruang ICU dan ICCU. Lembar kuesioner diisi oleh

responden dengan didampingi oleh peneliti. Pre-Test responden waktu yang

dibutuhkan pengisian 60 menit setiap responden. Pre test di lakukan peneliti selama

7 hari dimana setiap hari mendapatkan 6-7 perawat yang mengisi kuesioner.

Pre test ini mulai tanggal 5 November sampai dengan 12 November 2019. Peneliti juga

melakukan ceklis terhadap kepatuhan perawat dalam melakukan VAPb dan melihat
101

kelengkapan pengisian VAPb. Penilaian dilakukan menceklis setiap respoden

dalam penerapan VAPb terhadap pasien.

Data pre test telah terkumpul peneliti memberikan pelatihan. Waktu pelatihan

disesuaikan dengan jam dinas masing-masing responden. Pelaksanakan VAPb

dilakukan dalam 3 gelombang, pelatihan gelombang 1 terdiri dari 15 perawat,

gelombang 2 terdiri 15 perawat, gelombang ke 3 terdiri 16 perawat. Setiap

responden mendapat kesempatan pelatihan 1 kali. Peneliti akan melakukan

pelatihan dan demontrasi terkait VAPb dengan waktu pelatihan 120 menit sesuai

yang tersusun dalam struktur acara penyuluhan (SAP). Pelatihan VAPb dilakukan

pada jam 12 .30-14.30 dimana yang pekerjaan dinas pagi sudah tidak terlalu sibuk

dan dinas sore dating lebih awal. Tempat di ruangan dalam ICU di ners station jadi

tidak jauh dari pasien. Pelatihan kelompok 1 dilaksanankan pada tanggal 13

November 2019, kelompok 2 tanggal 19 November 2019, kelompok 3 tanggal 21

November 2019. Setelah memberikan pelatihan peneliti melakukan observasi pada

setiap perawat apakah sudah melakukan pengisian VAPb setiap responden di

observasi 2 kali. Pelaksanaan pelatihan peneliti di dukung oleh kepala instalasi

intensive dr yudianto Sp.An.KIC sebagai naras umber medis, komite PPI di wakili

oleh IPCN Dwiono mudjiant, S.Kep.,Ns.,M.

Hari ke 7 setelah melakukan intervensi pelatihan peneliti memberikan post-

test pada tanggal 27 November 2019, waktu pengisian 60 menit setiap responden

dengan kuesioner kepatuhan antara laia; pengetahuan, Atituden toward behavior

(sikap), Subjective, norm Perceived behavioral control, intensi, kepatuhan. Pre test

di lakukan peneliti selama 7 hari dimana setiap hari mendapatkan 6-7 perawat yang

mengisi kuesioner. Pos test ini mulai tanggal 27 November sampai dengan 7
102

Desember 2019 muali post tes setiap kelompoknya berbeda dijadwalkan 7 hari

setelah mendapatkan intervensi pelatihan. Peneliti juga melakukan ceklis sebanyak

2 kali setiap perawat terhadap kepatuhan perawat dalam melakukan VAPb dan

melihat kelengkapan pengisian VAPb.

4.8 Analisa Data

Data yang telah didapatkan dari responden kemudian akan dilakukan uji

normalitas data terlebih dahulu menggunakan uji kolmogorov smirnov test dengan

membandingkan distribusi data yang akan diuji normalitasnya dengan distribusi

normal baku. Dasar pengambilan keputusan dalam uji normalitas kolmogorov

smirnov test:

(1) Jika nilai signifikasi (sig) lebih besar dari 0,05 maka data penelitian

berdistribusi normal.

(2) Sebaliknya, jika nilai signifikasi (sig) lebih kecil dari 0,05 maka data penelitian

tidak berdistribusi normal

Hasil uji variabel dependen Setelah di uji kolmogorof smirnov (normalitas) dalam

penelitian didapatkan hasil data tidak nomal nilai signifikansi (sig) ≤ 0,05,

karena data yang telah diuji terdistribusi tidak normal,

data peneliti ordinal maka menggunakan uji Wilcoxon sign rank

test. Dasar pengambilan keputusan dalam uji Wilcoxon:

(1) Jika nilai asymp.sig. (2-tailed) lebih kecil dari > 0,05, maka Hi ada pengaruh.

(2) Sebaliknya, jika nilai asymp.sig. (2-tailed) lebih besar dari >0,05, maka Hi

tidak ada pengaruh.


103

4.9 Kerangka Operasional

Kerangka operasional penelitian peneliti menggunakan sesuai dengan gambar

di bawah ini:

Menentukan populasi total populasi perawat ICU dan ICCU 46


orang bulan November 2019

Memberi penjelasan kepada responden tentang


penelitian ini dan meminta informed concent

Pengupulan Pre-test memberikan kuesioner pengetahuan, Atituden toward


data Pre behavior(sikap), subjective norm percieved behavioral control (PBC),
intervensi intensi.dan kepatuhan perawat terhadap pencegahan terjadinya VAP

intervensi Pelatihan terkait VAP budle dan mendokumentasi VAPb

Pengumpulan Post-test memberikan kuesioner pengetahuan, Atituden toward


data Pos behavior(sikap), subjective norm, percieved behavioral control (PBC),
intensi dan kepatuhan perawat terhadap pencegahan terjadinya VAP
intervensi

Analisis data akan dilakukan uji nomalitas data uji kolmogorof


smirnov, data yang telah diuji terdistribusi tidak normal, data
peneliti ordinal maka menggunakan uji Wilcoxon sign rank test.

Penyusunan laporan

Gambar 4. 2 Kerangka operasional penelitian pengaruh penerapan ventilator


associated pneumonia bundles tehadap kepatuhan perawat dalam
pencegahan ventilator associated pneumonia di RSU Haji Surabaya
104

4.10 Etika Penelitian


Prosedur penelitian ini mematuhi peraturan komisi etik Fakultas Keperawatn

Universitas Airlangga. Peneliti akan melakukan penelitian dengan memperhatikan

masalah etik penelitian yang meliputi:

1. Lembar persetujuan (informed consent)

Peneliti akan mengajukan lembar persetujuan bersedia untuk menjadi responden

sebelum penelitian dilakukan dengan tujuan agar subjek mengerti maksud dan

tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya. Responden diberi format

persetujuan untuk menjadi responden sebelum mengisi lembar kuesioner

2. Tanpa nama (anonimity)

Setelah subjek bersedia menjadi responden, nama responden tidak akan dicantumkan

pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan

data atau hasil penelitian yang disajikan Responden yang sudah terpilih peneliti

tidak menuliskan nama tapi kode yang hanya peneliti tahu.

3. Kerahasiaan (confidentiality)

Jaminan kerahasiaan hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti.

4. Keadilan (fair treatment)

Semua kelompok perawat dalam penelitian ini mendapat perlakuan yang sama.

Perawat hanya ada 1 kelompok yang semua diberi perlakuan sama pre-test,

treatmen, posttest.

4.11 Keterbatasan Penelitian


105

Keterbatasan penelitian yang ditemukan peneliti sebagai berikut:

1. Pengumpulan data dilakukan dengan membagi seluruh responden menjadi

beberapa kelompok yang menyebabkan terjadi diskusi pada kelompok yang

sudah mengisi kuesioner dengan responden yang belum mengisi kuesioner.

Hal tersebut mempengaruhi hasil pre tes dan pos tesnya

2. Pemberian pelatihan dilakukan di tempat ners station yang berada didalam

ruangan di dekat dengan pasien sehingga berdampak pada responden tidak

fokus pada materi yang disampaikan peneliti karena pasien ICU yang tidak

stabil mendadak mengalami henti jantung yang perlu penanganan segera.

3. Peneliti menggunakan total sampel tanpa mengelompokkan berdasarkan

latar belakang Pendidikan, usia, lama bekerja, jenjang karir perawat yang

sama sehingga mempengaruhi pada tingkat pengetahuan responden.


BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Pada Bab 5 ini peeliti akan membahas hasil penelitian yang meliputi gambaran

umum lokasi penelitian, data karakteristik responden serta variabel pengetahuan,

Atituden toward behavior (sikap), Subjective, norm Perceived behavioral control,

intensi, kepatuhan setelah dilakukan intervensi pelatihan VAPb, ceklist. dan

intervensi. Penelitian ini dilakukan di ruang ICU dan ICCU RSU Haji Surabaya

pada tanggal 4 November 2019 sampai 9 Desember 2019.

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Gambaran umum tempat penelitian

Rumah Sakit Umum Haji Surabaya adalah rumah sakit milik pemerintah

Provinsi Jawa Timur yang didirikan berkenaan dengan peristiwa yang menimpa

para jamaah haji Indonesia di Terowongan Mina pada tahun 1990. Adanya bantuan

dana dari Pemerintah Arab Saudi dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur digunakan

untuk pembangunan gedung beserta fasilitasnya dan resmi dibuka pada tanggal 17

April 1993 sebagai Rumah Sakit Umum tipe C. Pada tahun 1998 berkembang

menjadi RSU tipe B non pendidikan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Kesehatan No. 1003/MENKES/SK/X/2008 pada tanggal 30 Oktober 2008, Rumah

Sakit Umu Haji Surabaya berubah status menjadi RSU tipe B pendidikan dan

bertanggung jawab langsung melalui Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur

kepada Gubernur
107

Pelayanan intensif RSU Haji Surabaya dilakukan di Instalasi Intensif Care

Unit (ICU). Instalasi ICU terdiri dari Ruang ICU, Ruang PICU, Ruang Neonatus

Instensif Care Unit (NICU), dan Ruang ICCU. Instalasi ICU merupakan salah satu

bagian rumah sakit dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus. Pasien

yang tidak perlu masuk ICU adalah pasien dengan penyakit terminal yang

mengalami kondisi kritis. ICU RSU Haji mempunyai kapasitas 8 tempat tidur. Bed

Occupancy Ratio (BOR) angka persentase penggunaan tempat tidur (TT) pasien di

ICU pada tahun 2019 setiap bulannya adalah bulan januari 70% bed, februari 67%

bed, 77%, April 60% bed, mei 50% bed, juni 50% bed, juli 58% bed, agustus 66%

bed, sepember 52% bed, oktober 46% bed, 68%, november 68% bed, desember

64% bed.

Pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) mempunyai kecenderungan

terkena infeksi nosokomial 5-8 kali lebih tinggi dari pada pasien yang dirawat

diruang rawat biasa. Infeksi nosokomial banyak terjadi di ICU pada kasus paska

bedah dan kasus dengan pemasangan infus dan kateter. Laporan kejadian infeksi di

ICU pada tahun 2019 pada bulan januari infeksi IADP 1 pasien (4,3%), februari

infeksi IADP 2 pasien (28,7%), agustus infeksi HAP 1 pasien (3.3%), desember

infeksi VAP 1 pasien (5,5 %).

5.1.2 Hasil Karakteristik responden

Karakteristik responden terdiri dari umur, pendidikan, lama bekerja, jenjang

karir yang dapat dipelajari pada tabel dibawah ini:


108

Tabel 5. 1 hasil Karakteristik perawat terhadap kepatuhan VAPb

No Karakteristik responden frekuensi (X) %

1 Usia (X) %

− 17-25 5 10.9 %
− 26-35 24 52.2 %
− 36-45 10 21.7 %
− 46-55 15.2 %

∑responden perawat 46 100%

2 Pendidikan (X) %

− D3 33 71.7 %
− D4 3 6.5 %
− S1 10 21.7 %

∑ responden perawat 46 100%


3 Lama bekerja (tahun) (X) %

− <1-3 21 45.7 %
− 4-7 11 23.9 %
− 8-11 5 10.9 %
− >12 9 19.6 %

∑ responden perawat 46 100%


4 Jenjang karir (perawat klinis) (X) %

− PK1 7 15.2 %
− PK2 19 41.3 %
− PK3 20 43.5 %

∑ responden perawat 46 100%

Berdasarkan tabel 5.1 dari 46 responden di dapatkan sebagian besar

berdasarkan usia responden 24 orang (52,2%) berusia 26-35 tahun, pendidikan

responden sebagian besar berpendidikan D3 33 orang (71,7%), lama bekerja di

ruang ICU dan ICCU sebagian besar 21 orang (45,7%) <1-3 tahun. jenjang karir

responden sebagian besar 20 orang (43,5%) jenjang karir PK 3.


109

5.1.3 Varibel yang diukur

Hasil penelitian pengaruh pelatihan penerapan ventilator associated

pneumonia bundles di RSU Haji Surabaya sebagai berikut:

1. Perubahan pengetahuan perawat sebelum dan setelah pelatihan VAPb

Hasil pengetahuan perawat sebelum dan setelah pelatihan dapat dilihat pada

tabel dibawah ini:

Tabel 5. 2 Perubahan pengetahuan perawat sebelum dan setelah pelatihan VAPb

Pengetahuan
Kategori Sebelum Sesudah
frekuensi (X) % frekuensi (X) %
Baik 0 0% 15 32 %
Cukup 6 13% 18 39,1%
Kurang 40 87% 13 28,3%
∑(respond 46 100% 46 100%
en)
Wilcoxon sign rank test p=0,000

Berdasarkan tabel 5.2 dari 46 responden didapatkan sebelum diberikan

pelatihan sebagian besar pengetahuannya dalam kategori kurang 40 orang (87%)

sebagian kecil pengetahuan cukup 6 orang (13%). Setelah diberikan pelatihan

sebagian besar pengetahuannya cukup 18 orang (39,1%) terdapat kenaikan ada

responden pengetahuanya baik yaitu sebanyak menjadi 15 orang (32%),

berpengetahuan kurang 13 orang (28,3%). Hasil uji statistik wilcoxon sign rank test

nilai sig p= 0,000 yaitu p ≤ 0,05, menunjukkan ada pengaruh tingkat

pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan.

2. perubahan Atitude toward behavior (sikap) perawat sebelum dan setelah

pelatihan VAPb
110

Hasil Atitude toward behavior (sikap) perawat sebelum dan setelah pelatihan

dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 5. 3 perubahan Atitude toward behavior perawat sebelum dan setelah


perawat pelatihan
Atitude toward behavior
Kategori Sebelum Sesudah
frekuensi (X) % frekuensi (X) %
Negatif 26 56,5% 26 56,5%
Positif 20 43,5% 20 43,5%
∑(respond 46 100% 46 100%
en)
Wilcoxon sign rank test p=0,1000

Berdasarkan tabel 5.3 dari 46 responden didapatkan Atitude toward behavior

(sikap) responden sebelum dan sesudah diberikan intervensi pelatihan VAPb adalah

sama yaitu sebagian besar responden memiliki Atitude toward behavior (sikap)

yang negatif sebanyak 26 orang (56,5%) dan sebanyak 20 orang (43,5%) memiliki

Atitude toward behavior (sikap) yang positif. Hasil uji statistik wilcoxon sign rank

test nilai sig p= 0,1000 yaitu p ≥0,05, menunjukkan tidak ada

pengaruh Atitude toward behavior (sikap) sebelum dan sesudah pelatihan

VAPb.

3. perubahan Subjective norm perawat sebelum dan setelah pelatihan

Hasil subjective norm perawat sebelum dan setelah pelatihan dapat di lihat

pada tabel di bawah ini:

Tabel 5. 4 perubahan Subjective norm perawat sebelum dan setelah pelatihan


VAPb
111

Subjective norm
Kategori Sebelum Sesudah
frekuensi (X) % frekuensi (X) %
Baik 14 30,4% 15 32,6 %
Sedang 30 65,2% 29 63,0%
Kurang 2 4,3% 2 4,3%
∑(respond 46 100% 46 100%
en)
Wilcoxon sign rank test p=0,827

Berdasarkan tabel 5.4 dari 46 responden di dapatkan subjective norm

responden sebelum diberikan pelatihan sebagian besar subjective norm dalam

kategori sedang 30 orang (65,2%), kategori baik 14 orang (30,4%) dan sebagian

kecil kategori kurang 2 orang (4,3%). Setelah diberikan pelatihan sebagian besar

subjective norm dalam kategori sedang 29 orang (63,0%), ada kenaikan sedikit

kategori baik 15 (32,6%), kategori kurang tetap sama 2 0rang (4,3%). Hasil uji

statistik wilcoxon sign rank test nilai sig p= 0,82 p ≥0,05, menunjukkan tidak

ada pengaruh subjective norm sebelum dan sesudah pelatihan VAPb.

4. perubahan Percieved behavioral control (PBC) perawat sebelum dan setelah

pelatihan VAPb

Hasil Percieved behavioral control (PBC) perawat sebelum dan setelah

pelatihan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 5. 5 hasil Perceived behavioral control (PBC) perawat sebelum dan setelah
pelatihan VAPb
perceived behavioral control (PBC)
Kategori Sebelum Sesudah
frekuensi (X) % frekuensi (X) %
Baik 5 10,9% 8 17,4%
Sedang 41 89,1% 38 82,6%
∑(respond 46 100% 46 100%
en)
112

Wilcoxon sign rank test p=0,257

Berdasarkan tabel 5.5 dari 46 responden didapatkan perceived behavioral

control (PBC) responden sebelum diberikan pelatihan sebagian besar perceived

behavioral control (PBC) dalam kategori sedang 41 orang (89,1%) dan hanya

sebagian kecil perceived behavioral control (PBC) dalam kategori baik 5 orang

(10,9%). Setelah diberikan pelatihan sebagian besar percieved behavioral control

(PBC) responden dalam kategori sedang 38 orang (82,6%) ada kenaikan sedikit di

kategori baik 8 orang (17,4%). Hasil uji statistik wilcoxon sign rank test nilai sig

p= 0,257 yaitu p ≥0,05, menunjukkan tidak ada pengaruh

percieved behavioral control (PBC) sebelum dan sesudah pelatihan VAPb.

5. Perubahan Intensi perawat sebelum dan setelah pelatihan VAPb

Hasil Intensi perawat sebelum dan setelah pelatihan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

Tabel 5. 6 perubahan Intensi perawat sebelum dan setelah pelatihan VAPb


Intensi
Kategori Sebelum Sesudah
frekuensi (X) % frekuensi (X) %
Baik 17 37,0% 24 47,8%
Sedang 27 58,7% 22 52,2%
Kurang 2 4,3% 0 0%
∑(respond 46 100% 46 (100%)
en)
Wilcoxon sign rank test p=0,127

Berdasarkan tabel 5.2.6 dari 46 responden di dapakan intensi responden

sebelum diberikan pelatihan sebagian besar intensi dalam kategori sedang sebanyak

27 orang (58,7%), intensi kategori baik 17 orang (37,0) dan hanya sebagian kecil
113

yang memiliki intensi dalam kategori kurang 2 orang (4,3%). Setelah diberikan

pelatihan sebagian besar intensi responden kategori baik 24 orang (47,8%), intensi

kategori cukup menurun 22 orang (52,2%) dan tidak ada yang memiliki intensi yang

kurang. Hasil uji statistik wilcoxon sign rank test nilai sig p= 0,127 yaitu p

≥0,05 menunjukkan tidak ada pengaruh hasil intensi sebelum dan

setelah pelatihan VAPb.

6. Perubahan kepatuhan perawat sebelum dan setelah pelatihan VAPb

1) Kepatuhan perawat sebelum dan setelah pelatihan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

Tabel 5. 7 Perubahan Kepatuhan Perawat sebelum dan setelah pelatihan VAPb


Kepatuhan
Kategori Sebelum Sesudah
frekuensi (n) % frekuensi (n) %
Patuh 46 100 % 46 100%
Tidak patuh 0 0% 0 0%
∑(respond 46 100% 46 100%
en)
Wilcoxon sign rank test p=0,1000

Berdasarkan tabel 5.7 dari 46 responden didapatkan kepatuhan responden

sebelum dan setelah diberikan pelatihan sama sebagian besar responden memiliki

kepatuhan dalam kategori patuh sebanyak 46 orang (100%) sebelum pelatihan dan

sebanyak 46 orang (100%) setelah pelatihan. Hasil uji statistik wilcoxon sign rank

test nilai sig p= 0,1000 yaitu p ≥0,05, menunjukkan tidak ada

pengaruh kepatuhan sebelum dan sesudah pelatihan VAPb.

2) Hasil Observasi kepatuhan dan kelengkapan pengisian VAPb.


114

Hasil observasi ceklist kepatuhan perawat dalam pelaksanaan VAPbb dan


kepatuhan pengisian vapb pasien terpasang ventilator
Tabel 5.8 Ceklis Kepatuhan Perawat Melakukan Vapb
No Komponen Di Tidak di Kelengkapan Kualitas
lakukan lakukan (%) data
(standar
75%)
1 Hand hygynie 43 3 93% Tinggi
2 Posisi kepala 30֠-45֠ 28 18 60% Rendah
3 Oral hygine dengan 6 40 13% Rendah
chlorhexidine 0.2% setiap 2-
3x/hari dan sikat yang lembut
4 Pengunaan APD saat suction 44 2 95% Tinggi
5 Sebelum suction melakukan 33 13 71% Rendah
desinfeksi (alkhohol 70
%) pada ujung conektor
suction
6 Menggunakan kateter suction 23 23 50% Rendah
sekali pakai
7 Menggunakan close suction 46 0 100% Tinggi
8 Mengukur tekanan cuff 3x/hari 0 46 0% Rendah
tekanan 20-30 mmhg
9 Pengkajian sedasi dan ektubasi 0 46 0% Rendah
10 Dekotaminasi peralatan: 16 30 34% Rendah
• Segera buang cairan
kondensasi

• Ganti sirkuit 0 46 0% Rendah


ventilator jika kotor
(sesuai pengaturan
alat)

• Saat intubasi 0 46 0% Rendah


laryngoscope di
alkohollise

• Saat pemasangan 0 46 0% Rendah


tubing

• ventilator dilakukan 4 40 8% Rendah


dengan steril.

• Tidak sering 46 0 100% Tinggi


membuka selang
/tubing ventilator

• Kebersihan 37 9 80% Tinggi


lingkungan pasien

11 Penggunaan propilaktik DVT 0 46 0% Rendah


12 Penggunaan propilaktik peptic 46 0 100% Tinggi
ulcer
115

13 Exercise dan mobilisasi


• Setiap 2 jam 0 46 0% Rendah

• Setiap 4 jam 2 44 4% Rendah

14 Nebulizer 44 2 95% Tinggi


15 PARAF PETUGAS 39 7 84% Tinggi
Tabel 5.9 kelengkapan pengisian pasien dengan VM

No Komponen Di isi Tidak Kelengkapan Kualitas


diisi (%) data
(standar
75%)
1 Intubasi 46 0 100% Tinggi
2 Ekstubasi 42 4 91% Tinggi
3 Cuci tangan sesuai enam langkah dan 5 46 0 100% Tinggi
moment
4 Oral Hygiene dengan cholorexidien 2-3 46 0 100% Tinggi
x/hari
5 Head up 30-45° (kecuali ada 45 1 97% Tinggi
kontraindikasi)
6 Ganti tubing sesuai program 0 46 0% Rendah
7 Profilaktik Peptic ulcer 46 0 100% Tinggi
8 Profilatik Deep Vein Thrombosis 0 46 0% Rendah
(DVT)(mobilisasi)
9 Monitoring tekanan cuff ETT 3x/hari 0 46 0% Rendah
10 Penilaian sedasi 0 46 0% Rendah
11 Penilaian kesiapan untuk tindakan 0 46 0% Rendah
wining (penyapihan)

12 VAC PEEP min (cmH2O) & 44 2 95% Tinggi


FIO2 min (%)
13 Nilai PEEP min (tulis 44 2 95% Tinggi
angka terendah harian)
14 Nilai FIO2 min (tulis angka 46 0 100% Tinggi
terendah harian)
15 Selama 2 hari atau lebih 0 46 0% Rendah
nilai PEEP min atau FIO2
min harian stabil atau turun
(disebut periode stabil)
16 Setelah periode 2 44 4% Rendah
stabil, nilai PEEP
min naik ≥ 3 cmH2O
atau FIO2 min naik
≥ 20% dari nilai
PEEP min pada
periode stabil
IVAC TEMPERATUR
116

17 36-38◦c 40 6 86% Tinggi


18 > 38◦c 39 7 84% Tinggi
19 < 38◦c 41 5 89% Tinggi
LEUKOSIT
19 4000-11.999/mm3 12 34 26% Rendah
20 ≥ 12.000/ mm3 0 46 0% Rendah
21 ≤4000/ mm 3 0 46 0% Rendah
ANTIBIOTIKA YANG
DIBERIKAN
Beri √ pada AB yang
diberikan
22 Nama Ab 1………………. 3 43 6% Rendah
23 Nama Ab 2………………. 0 46 0% Rendah
24 Nama Ab 3………………. 0 46 0% Rendah
25 SEKRESI
TRACHEA/SPUTUM
26 VAP Tidak ada / ada non 2 44 4% Rendah
purulent
27 Ada, purulent 3 43 6% Rendah
28 HASIL PEMERIKSAAN
KULTUR SPUTUM
29 Tidak ada pertumbuhan 0 46 0% Rendh
kuman (tumbuh
yeast/candida)
30 Ada pertumbuhan kuman 0 46 0% Rendah
selain yeast/candida
31 Tumbuh kuman 0 46 0% Rendah
selain
yeast/candida
dengan jumlah ≥
105CFU/ml
32 Terdapat hasil foto thorax 0 46 0% Rendah
infiltrate baru, menetap
atau meluas
33 Total kreteria 0 46 0% Rendah

5.2 Pembahasan

Setelah melalui tahap analisis data, maka pada bagian pembahasan ini akan

dibahas mengenai pengaruh pelatihan VAPb terhadap prilaku kepatuhan perawat.

5.2.1 Analisis pengaruh pelatihan VAPb terhadap pengetahuan perawat


117

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan perawat sebelum

diberikan pelatihan sebagian besar pengetahuannya dalam kategori kurang. Setelah

diberikan pelatihan terdapat kenaikan pengetahuan perawat, dimana sebagian besar

pengetahuannya cukup (39.1%) terdapat juga pengetahuan kurang (28.3%).

Dilihat dari jawaban kuesioner setelah pelatihan jawaban benar rata-rata 8

pertanyaan dari 15 pertanyaan. Pertanyaan yang benar perawat mampu menjawab

penilaian sedasi pasien terpaseng VM dengan menggunakan RASS dan cara

melakukan pencegahan VAP, komponen VAPb. Jawaban pertanyaan kuesioner

pengetahuan sebelum dilakukan pelatihan jawaban benar tertinggi 4 dan rendah 0

3 responden dan rata-rata jawaban benar 2 pertanyaan dari 15 pertanyaan.

Pertanyaan yang benar dijawab oleh perawat oral hygine dilakukan 2 kali sehari

dengan sikat khusus dan lembut dengan chorhecsidine 0,2%, head up pada pasien

dengan VM dilakukan sesuai indikasi.

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu”. Pengetahuan didapatkan seseorang

melalui dukungan dari panca indera terhadap suatu objek tertentu, yang terdiri dari

indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba (ajzen, 2005).

Adanya panca indera tersebut mendukung seseorang untuk memahami informasi

dengan baik terkait dengan pelaksanaan pendidikan pelatihan terkait VAPb. Akan

tetapi, informasi yang diterima responden tidak bisa optimal karena tingkat

kemampuan responden dalam menerima informasi berbeda-beda dan fokus

perhatian responden di ruangan tidak bisa optimal dikarenakan adanya tindakan-

tindakan yang emergency serta memerlukan respon cepat.


118

Sebelum diberi pelatihan sebagian besar 40 orang responden tingkat

pengetahuan rendah adalah sebagian besar di usia di rentang usia 26-35 tahun 20

orang masuk dalam awal dewasa, lama bekerja sebagian besarv<1-3 tahun 19

orang, pendidikan sebagian besar 30 orang berpendidikan D3, S1 8 orang dari 10

orang berpendidikan S1, pendidikan D4 2 orang dari 3 orang berpendidikan D4.

jenjang perawat klinis sebagian 17 orang PK 3 dan sebagian lagi 16 orang PK 2.

Setelah dilakukan pelatihan ada kenaikan tingkat pengetahuan baik 15 orang

adalah responden tingkat pengetahuan kurang ke tingkat pengetahuan baik 11

orang dan responden yang tingkat pengetahuannya tetap rendah 12 orang dengan

karakteristik yang di miliki sebagian besar 8 orang pengalaman kerja <1-3 tahun,

jenjang karir perawat PK 3 7 orang, rentang usia di 26-35, Pendidikan D3 7 orang,

S1 4 orang, D4 1 orang. Hasil pengetahuan rendah, pelatihan VAPb di RS Haji

belum menjadi prioritas, belum ada pelatihan khusus membahas tentang VAP dan

VAPb.

Hal ini sejalan dengan teori Ajzen (2005) menyampaikan bahwa pekerja usia

20-30 tahun mempunyai motivasi kerja relatif lebih rendah dibandingkan pekerja

yang lebih tua. Dalam menjalankan pekerjaan, pekerja yang berusia muda atau

pekerja yang berusia 20-30 tahun belum bekerja berdasarkan pada landasan realitas,

sehingga pekerja yang berusia muda lebih sering mengalami kekecewaan dalam

bekerja. Sesuai hasil penelitian ini, usia memengaruhi tingkat pengetahuan perawat.

Sebagian besar perawat masuk dalam ketegori usia dewasa awal dengan rentang

usia 26-35 tahun.


119

Dalam penerimaan informasi dan pengetahuan rentang usia dewasa awal

lebih dapat menerima informasi dengan baik meskipun sebelum diberi pelatihan

tingkat pengetahuan yang dimiliki kurang karena secara kognitif dewasa awal lebih

dapat menerima informasi dengan baik. Hal ini dapat disimpulkan bahwa hasil dari

penelitian ini terdapat pengaruh pelatihan VAPb terhadap tingkat pengetahuan.

Terdapat kesenjangan antara fakta dan teori, hasil penelitian menunjukkan

bahwa tidak ada pengaruh antara lama kerja dengan tingkat pengetahuan. Sebagian

besar responden memiliki lama kerja 12 tahun tingkat pengetahuannya setelah di

beri pelatihan dalam kategori kurang. Hal ini diprediksi karena perawat yang

memiliki masa kerja yang lebih lama akan muncul rasa bosan sehingga akan

menurunkan semangat, motivasi dan produktivitas dalam menerima pengetahuan

baru. Dalam hal ini perlu diberikan adanya pelatihan secara terus menerus dan

motivasi pelaksanaan VAPb.Sesuai dengan hasil penelitian Sadli, Tavianto, &

Redjeki, (2017) sebagian responden lama bekerja > 5 tahun hasil tingkat

pengetahuan perawat 73,63 dan 73,16 dalam kategori cukup.

Hal ini dipengaruhi oleh sebagian besar responden memiliki jenjang karir PK

III dengan tingkat pengetahuan kurang dan hanya sebagian kecil dengan PK I

dengan sikap positif. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan tidak ada

pengaruh yang bermakna antara jenjang karir dengan tingkat pengetahuan dalam

pelaksanaan VAPb, adalah karena jenjang karir yang mayoritas adalah PK III. Serta

tidak ada perbedaan yang signifikan jumlah responden antara PK I, PK II dan PK

III yang memiliki tingkat pengetahuan baik, yang seharusnya secara teori semakin

tinggi jenjang karir seseorang maka akan semakin tingkat pengetahuannya. Hal ini
120

menunjukkan bahwa belum adanya komitmen yang kuat pada setiap tingkatan

jenjang karir perawat untuk meningkatkan pengetahuannya pada pelaksanaan

VAPb. Sehingga diperlukan bimbingan, pelatihan dan supervisi dari atasan sebagai

upaya pelaksanaan VAPb pada pasien yang terpasang VM.

Pengalaman seperti lama kerja yang dimiliki oleh perawat serta jenjang karir

perawat klinis mempengaruhi perilaku dan kinerja profesionalisme perawat yang

mampu memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif dan efisien (Menkes

RI, 2017). Jenjang karir mempunyai makna tingkatan kompetensi untuk

melaksanakan asuhan keperawatan yang akuntabel dan etis sesuai batas

kewenangan. Adanya jenjang karir perawat dapat meningkatkan pelayanan

profesional perawat. Namun dalam penelitian ini terjadi kesenjangan antara teori

dengan fakta, karena hasil penelitian membuktikan jenjang karir tidak memiliki

pengaruh yang bermakna dengan tingkat pengetahuan perawat dalam pelaksanaan

VAPb.

Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang dan untuk merubah pengetahuan, sikap dan

perilaku adalah dengan pendidikan dan latihan. Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah pendidikan, umur, pengelaman, status

sosial, ekonomi, budaya dan kondisi kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang maka tingkat pengetahuannya akan semakin bertambah, pengalaman

seseorang akan menambah wacana dan meningkatkan pengetahuannya

(Notoatmodjo,2007).
121

Salah satu usaha untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang VAPb

adalah dengan perawat mengikuti pelatihan atau seminar yang diselenggarakan oleh

Rumah Sakit atau institusi lain. Hal ini sesuai dengan penelitian Badawy (2014)

yang menyebutkan bahwa program pendidikan terstruktur terkait VAP dan

pencegahannya selama dua minggu dengan 3 sesi setiap minggu selama 20 menit

terbukti efektif meningkatkan skor pengetahuan perawat (Rahma & Ismail, 2019).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Jannson et al (2013) di ICU

Finlandia didapatkan pengetahuan perawat ICU tentang evidence-based guidelines

(EBGs) masih kurang 59,9%. Hambatan utama terhadap EBGs disebabkan sumber

daya yang tidak memadai dan ketidaksesuaian VAP bundles (VAPb), kurangnya

waktu, keterampilan, pengetahuan, dan bimbingan (Jansson et al., 2013).

Pentingnya pelatihan pengetahuan VAP bundle dalam pencegahan infeksi

nosokomial adalah dapat mengurangi biaya 10 kali lipat dan meningkatkan

keselamatan pasien dan kualitas pelayanan. Intervensi keperawatan kritis dilakukan

secara rutin telah terbukti mengurangi angka kejadian VAP.

5.2.1 Analisis pengaruh pelatihan VAPb terhadap Atitude toward behavior

(sikap) perawat,

Hasil Atitude toward behavior (sikap) sebelum dan sesudah intervensi

pelatihan tidak ada pengaruh menunjukkan nilai yaitu sebanyak 20 responden

memiliki sikap positif dan 26 responden memiliki sikap negatif. Beberapa

responden mempunyai sikap negatif di karenakan pengetahuan yang kurang

terhadap VAPb diantaranya bagaimana mengurangi lama pemakian VM dengan

cara penilaian harian whining ventilator dan penilaian harian penyapihan sedasi di
122

lembar observasi selalu kosong belum terdokumentasi. Sikap positip responden

untuk mengurangi kolonisasi di orofaringeal dan mengurangi kontaminasi peralatan

Ventilator penggunaan close suction dan suction sesuai kebutuhan.berbeda dengan

hasil penelitianUlfa & Fiqih Adhyaksafitri, (2015) Semakin baik sikap,

pengetahuan dan faktor eksternal maka perawat akan semakin patuh terhadap

kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO pemasangan ventilator(Ulfa & Fiqih

Adhyaksafitri, 2015).

Ajzen (2012) menjelaskan bahwa setiap individu memiliki penilaian

tersendiri untuk menilai suatu perilaku, baik perilaku tersebut bersifat positif atau

negatif. Hal tersebut dapat membuat individu menyukai perilaku yang dipercaya

mempunyai konsekuensi yang diinginkan dan juga sebaliknya individu tersebut

membentuk sikap negatif terhadap suatu perilaku yang dipercaya mempunyai

konsekuensi yang tidak diinginkan.

Setelah dilakukan intervensi yakni pelatihan menunjukkan 20 responden

memiliki sikap positif. Sikap positif ini ditunjukkan oleh hasil nilai responden T >

T mean (Azwar 2008). Sebanyak 26 responden memiliki sikap negatif dengan

ditunjukkan nilai responden T < T mean. Meskipun sudah dilakukan intervensi

berupa pelatihan dan ceklis pengisian VAPb, masih ditemukan hasil post-test

menunjukkan responden tidak memiliki perubahan sikap secara signifikan. Hasil

analisis menunjukkan bahwa apabila dihubungkan dengan pengetahuan, maka ada

responden yang memiliki sikap negatif namun memiliki pengetahuan baik, ada pula

yang memiliki sikap negatif namun memiliki pengeta huan yang cukup.
123

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman

pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau

lembaga, serta faktor emosi dari individu (Azwar 2008). Menurut Azwar (2008),

Pengetahuan responden dengan kategori negatip akan menimbulkan respon yang

kurang maksimal sehingga keyakinan untuk bersikap kurang ada penguatan yang

mendasar. Selain itu tetapnya pembentukan sikap responden setelah intervensi

diberikan belum adanya keyakinan terhadap materi pelatihan yang diberikan, atau

faktor emosional dari responden yang tidak mendukung saat berlangsungnya

pelatihan karena intervensi pelatihan dilakukan pada jam dinas dimana kondisi

pasien ICU yang mayoritas dalam kondisi kritis yang sewaktu waktu dalam kondisi

memburuk. Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah pendidikan kesehatan

yang berlangsung dalam waktu relatif singkat belum dapat meningkatkan sikap

secara signifikan karena proses pembentukan sikap memerlukan waktu yang cukup

lama (Cooke 2008).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi sikap responden terhadap VAPb

diantaranya Karena pengetahuan yang rendah dan kurangnya mendapat informasi

mengenai pentingnya penerapan VAPb dan tujuan dilakukan pendokumentasi

VAPb sehingga kurang berpengaruh terhadap Atitude toward behavior (sikap),

kurangnya dukungan dari atasan. Di ICU RS Haji supervisi belum berjalan optimal,

sehingga sistem supervisi memang harus ditingkatkan. dan SOP yang ada tahun

2015. Sesuai dengan hasil penelitian Jahansefat, ( 2016) pengetahuan yang kurang

berpotensi dapat menyebabkan sikap negatif dari profesional kesehatan terhadap

EBGs dari VAP dan sebaliknya. (Jahansefat, Vardanjani, Bigdelian, & Massoumi,
124

2016). Perawat yang bekerja di ICU dan ICCU adalah perawat Perawat yang sudah

dididik dan dilatih agar mampu memberikan pelayanan sesuai dengan standar yang

sudah ditetapkan. Seorang perawat ICU harus memiliki sikap yang baik/positif

dalam memberikan pelayanan. Secara teori dikatakan bahwa seseorang yang

mempunyai sikap yang baik maka orang tersebut akan berperilaku positif.

Tingkat pendidikan responden tidak berpengaruh terhadap sikap responden

dalam pelaksanaan VAPb karena tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini

sebagian besar adalah D3 Keperawatan yang memiliki kecenderungan sikap dalam

kategori negatif. Responden dengan pendidikan D4 Keperawatan semuanya

memiliki kecenderungan sikap dalam kategori negatif. Responden yang memiliki

tingkat pendidikan S1 Keperawatan dan ners sebagian besar memiliki

kecenderungan sikap dalam kategori negatif. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan dapat dijelaskan bahwa tingkat pendidikan responden tidak berpengaruh

terhadap sikap pelaksanaan VAPb. Secara teori tingkat pendidikan yang semakin

tinggi mempengaruhi kematangan intelektual dalam pengambilan keputusan dalam

bertindak. Perawat akan berpikir dan mempertimbangkan resiko dan dampak yang

akan terjadi pada pasien terpasang VM, yang tidak dilakukan pelaksanaan VAPb

sehingga akan mempengaruhi sikap perawat dalam pelaksanaan VAPb.

Terdapat kesenjangan antara fakta dan teori Ajzen (2006) dalam Nursalam

(2016) menyebutkan bahwa latar belakang pendidikan seseorang akan

mempengaruhi kemampuan pemenuhan kebutuhannya sesuai dengan tingkat

pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda yang pada akhirnya mempengaruhi

motivasi kerja seseorang. Latar belakang pendidikan mempengaruhi motivasi kerja


125

seseorang. Notoatmodjo (1992) dalam Trihastutik (2018) menyebutkan bahwa

dengan pendidikan seseorang akan dapat meningkatkan kematangan intelektual

sehingga dapat membuat keputusan dalam bertindak.

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan produktivitas atau kinerja

perawat adalah pendidikan formal perawat. Pendidikan memberikan pengetahuan

bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan tugas, tetapi juga landasan untuk

mengembangkan diri serta kemampuan memanfaatkan semua sarana yang ada di

sekitar kita untuk kelancaran tugas. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi

produktivitas kerja, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia

yang diperlukan untuk pengembangan diri. Semakin tinggi tingkat pendidikan

semakin mudah mereka menerima serta mengembangkan pengetahuan dan

teknologi, sehingga akan meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya akan

meningkatkan kesejahteraan.

Tingkat pengetahuan memiliki pengaruh terhadap norma subjektif perawat

dalam pelaksanaanVAPb dikarenakan sebagian besar responden dengan tingkat

pengetahuan kurang dalam kategori norma subjektif negatif. Ajzen (2005)

menjelaskan bahwa norma subjektif merupakan pengaruh sosial yang

mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Pengetahuan yang merupakan

background factor akan berhubungan dengan normative belief kemudian

mempengaruhi norma subjektif seseorang.

Menurut (Notoadmojo, 2012) perilaku seseorang terbentuk dari

pengetahuan, sikap dan tindakan yang saling mempengaruhi satu sama lain, dimana

pengetahuan merupakan syarat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Hal


126

ini sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa hubungan yang dimiliki seseorang

akan mempengaruhi keyakinan normatif dan motivasinya, baik hubungan yang

bersifat vertikal maupun horizontal. Responden yang memiliki pengatahuan baik

akan menciptakan hubungan yang baik sehingga akan berpengaruh dan akan

memberikan dukungan kepada responden tersebut dalam pelaksanaan VAPb.

5.2.2 Analisis Pengaruh pelatihan VAPb terhadap subjective norm perawat.

Hasil penelitian sebelum dan setelah dilakukan pelatihan terkait VAPb

perawat paling banyak memiliki norma subyektif perawat dengan kategori sedang.

Pelatihan yang diberikan belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

subjective norm perawat. Pada variabel norma subjektif terdapat 10 (sepuluh) item

pernyataan terkait dengan norma subyektif perawat tentang penerapan VAPb, dari

10 item pernyataan tersebut terbagi menjadi 2 komponen yaitu 5 item pernyataan

mengenai keyakinan normative (Normatives Beliefs) dan 5 item pernyataan

mengenai motivasi untuk melakukan (motivation to comply). Pada normative

beliefs, pernyataan 1,2,3,4, mayoritas jawaban responden kurang nilai 1 karena

kurang adanya dukungan dari kepala ruangan, ketua tim, dan teman sejawat dan tim

kesehatan lain (dokter, kepala intalasi, tim PPI) sedangkan pernyataan 6,7,8,9,10

jawaban paling tinggi nilai 4 pernyataan 5,6, motivasi dukungan dari kepala

ruangan, ketua tim dan kepala instalasi. Norma subyektif yang dimaksud dalam

penelitian ini yaitu pandangan responden mengenai harapan orang-orang sekitar

yang berpengaruh, baik perorangan ataupun perkelompok untuk patuh atau tidak

dalam menerapkan VAPb.


127

Hal ini menunjukkan bahwa perawat memiliki keyakinan yang positif

terhadap harapan orang lain pada dirinya untuk menerapkan VAPb serta memiliki

motivasi yang positif untuk memenuhi harapan dari orang disekitarnya terhadap

penerapan VAPb. Dorongan-dorangan orang- orang sekitar (significant others)

bersumber dari rekan kerja perawat sendiri di setiap masing-masing ruangan untuk

patuh dalam menerapkan VAPb.

Subjective norm responden sebelum dan setelah pelatihan tidak ada pengaruh,

responden mempersepsikan dukungan motivasi dari luar kurang dan tidak ada

evaluasi. Komitmen dari tim IPCN dan IPCLN, kepala ruangan serta koordinator

pelayanan dan mutu pelayanan untuk mensosialisasikan dan mencontohkan

pelaksanaan SOP VAPb kepada seluruh pelaksana kurang dan belum menjadi

prioritas. Berbeda hasil penelitian dari Suadnyani, (2017) meskipun sikap umum

yang baik jika motivasinya kurang dan lingkungan budaya tidak mendukung belum

tentu norma subjektifnya juga baik. (Suadnyani, 2017).

Dukungan teman sejawat sangat penting dalam tim perawatan intensif karena

tindakan kolaborasi merupakan tindakan yang paling banyak dilakukan di

keperawatan kritis Gomes (2010). Setiap anggota tim perawatan intensif harus

saling mendukung satu sama lain karena VAPb berisi tindakan keperawatan

mandiri dan tindakan kolaborasi. Keberhasilan tim menentukan keberhasilan

tujuan, Durhayati & Aryani (2015). Peneliti berpendapat perlu adanya supervisi

yang ketat dari Katim, PJ Shift ataupun KARU, dan saling mengingatkan antar

teman saat berperilaku tidak sesuai SPO, bahwa role model sangat diperlukan untuk

meningkatkan motivasi seseorang.


128

Usia tidak memiliki pengaruh menentukan norma subjektif responden.

Sebagian besar responden berusia 26-35 tahun yang memiliki norma subjektif

negatif. Hal ini diprediksi kemungkinan karena di usia 26-35 tahun belum mencapai

puncak dari usia yang memiliki kematangan kedewasaan serta pada usia tua mulai

merasakan kebosanan dan sebagian lagi responden usia 46-55 tahun yang memiliki

norma subjektif yang negative dan positif. Sebagian responden mengatakan belum

ada supervisi dan pengawasan serta evaluasi tentang pelaksanaan VAPb. Peran

yang dianggap memiliki pengaruh oleh responden adalah kepala ruangan. Sehingga

perlu perhatian khusus dari kepala ruangan dalam melakukan monitoring dan

evaluasi terkait pelaksanaan VAPb yang dilakukan oleh perawat.

Tingkat pendidikan tidak ada pengaruh terhadap norma subjektif responden

sebelum dan setelah pelatihan. Beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab

adalah karena sebagian besar responden yang berpendidikan D3 Keperawatan dan

hanya sebagian kecil responden yang berpendidikan S1 Keperawatan dan Ners.

Latar belakang pendidikan membentuk struktur pola pikir dan substansi

pengetahuan yang lebih baik dalam setiap jenjang tingkatan pendidikan. Semakin

tinggi jenjang pendidikan maka dimungkinkan pemahaman akan penggunaan

VAPb pada pasien yang terpasang VM akan semakin paripurna, hal tersebut yang

mendasari dalam membentuk keyakinan-keyakinan sehingga mengerucut pada

norma subjektif responden dalam melaksanakan VAPb.

Ajzen (2006) dalam Nursalam (2016) menyebutkan bahwa latar belakang

pendidikan seseorang akan mempengaruhi kemampuan pemenuhan kebutuhannya

sesuai dengan tingkat pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda yang pada

akhirnya mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Dengan kata lain bahwa pekerja
129

yang mempunyai latarbelakang pendidikan tinggi akan mewujudkan motivasi kerja

yang berbeda dengan pekerja yang berlatar belakang pendidikan rendah. Latar

belakang pendidikan mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Terdapat

kesenjangan antara fakta dan teori, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa

tingkat pendidikan tidak memiliki pengaruh norma subjektif sebelum dan setelah

pelatihan.

Jenjang karir tidak berpengaruh dalam menentukan norma subjektif

responden sebelum dan setelah pelatihan. Menurut Ajzen (2005) norma subjektif

adalah produk dari persepsi individu tentang beliefs yang dimiliki orang lain. Orang

lain di sebut refrent, dan dapat merupakan orangtua, sahabat, atau orang yang

dianggap ahli atau penting. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi norma

subjektif: normative beliefs, yaitu keyakinan individu bahwa referent berpikir ia

harus atau tidak harus melakukan suatu perilaku dan motivation to comply yaitu

motivasi individu untuk memenuhi norma dari referent tersebut. Semakin

seseorang mempersepsikan bahwa referensi sosial yang dimiliki mendukung untuk

melakukan suatu perilaku maka akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk

memunculkan perilaku tersebut. Norma subjektif banyak dipengaruhi oleh

beberapa faktor baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengalaman seperti

jenjang karir merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keyakinan

dalam suatu perilaku (Ajzen, 2005 dalam Nursalam, 2016).

Perawat yang memiliki jenjang karir yang lebih tinggi setelah mendapat

pelatihan akan mempengaruhi keyakinan dalam membentuk norma subjektif.

Namun dalam penelitian ini terdapat kesenjangan antara teori dan fakta, diprediksi

karena responden sebagian besar memiliki jenjang karir yaitu PK III harusnya
130

memiliki norma subjektif yang baik. Responden dengan jenjang karir PK I dan PK

II memiliki semangat yang baik dalam memenuhi harapan dari orang di sekitar

lingkungan kerjanya sehingga hal ini lah yang mempengaruhi keyakinan yang

membentuk norma subjektif sehingga memberikan motivasi bagi responden untuk

melaksanakan VAPb.

5.2.3 Analisis pengaruh pelatihan VAPb terhadap percieved behavioral control

(PBC) perawat.

Hasil statistik penelitian menunjukkan bahwa percieved behavioral control

(PBC) responden sebelum diberikan intervensi pelatihan VAPb sebagian besar

responden memiliki percieved behavioral control (PBC) dalam kategori sedang

sebanyak 41 orang (89,1%) dan hanya sebagian kecil yang memiliki percieved

behavioral control (PBC) dalam kategori baik yaitu sebanyak 5 orang (10,9%).

Setelah diberikan intervensi ada kenaikan sedikit sebanyak 8 orang (17,4%)

memiliki percieved behavioral control (PBC) baik dan ada penurunan sedikit yang

memiliki kategori sedang yaitu sebanyak 38 orang (82,6%). tidak ada perbedaan

percieved behavioral control (PBC) sebelum dan sesudah pelatihan VAPb.

Dalam penelitian ini karakteristik (usia, pendidikan, pengetahuan, lama kerja

dan jenjang karir) tidak memiliki pengaruh terhadap PBC sebelum dan setelah

pelatihan. Hal ini diprediksi karena adanya beberapa faktor yaitu sebagian besar

responden memiliki PBC dalam kategori sedang sehingga karakteristik responden

tidak berpengaruh secara signifikan serta karena faktor lingkungan sosial dan

kebiasaan. Lingkungan sosial yang dimaksud adalah adalah pengaruh dari orang

yang dianggap berpengaruh seperti kepala ruangan dan teman sejawat serta
131

kebiasaan yang telah terbentuk di ruangan masing-masing. Lingkungan sosial dan

kebiasaan yang selama ini ditemukan peneliti memiliki kecenderungan untuk

mempengaruhi perilaku dan keyakinan normatif terhadap suatu tindakan termasuk

pelaksanaan VAPb. Selain itu, kondisi pasien yang gawat, faktor beban kerja yang

tinggi, supervisi yang jarang dilakukan, faktor kesediaan waktu yang terbatas,

kurang tersedianya sarana dan prasarana menyebabkan karakteristik responden

(usia, pendidikan, pengetahuan, lama kerja dan jenjang karir) tidak memiliki

pengaruh dalam pembentukan persepsi kontrol perilaku (PBC) sebelum dan setelah

pelatihan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pelatihan VAPb,

setalah di beri pelatihan ada kenaikan sedikit dari hasil percieved behavioral control

(PBC) disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi persepsi responden terhadap

kepatuhan melakukan VAPb diantaranya dari pertanyaan kuesioner adanya SOP

yang ditetapkan dapat sebagai pendorong untuk melakukan pencegahan VAP.

Kurangnya supervisi atasan dapat mempengaruhi dalam melakukan pencegahan

VAP. Hasil mayoritas responden pengetahuan yang kurang juga mempengaruhi

karena faktor pengetahuan dapat menjadi hambatan untuk melakukan pencegahan

VAP dalam asuhan keperawatan merupakan faktor pendorong untuk melakukan

tindakan pencegahan VAP sesuai penelitian Ulfa & Fiqih Adhyaksafitri, (2015)

Kendali perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control) merupakan

persepsi terhadap mudah atau sulitnya sebuah perilaku yang dapat dilaksanakan.

Variabel ini diasumsikan merefleksikan masa lalu, dan mengantisipasi halangan


132

yang mungkin terjadi atau persepsi seseorang tentang kemudahan atau kesulitan

untuk berperilaku tertentu.

Menurut Ajzen (2005) terdapat dua asumsi mengenai kendali perilaku yang

dipersepsikan. Pertama, kendali perilaku yang dipersepsikan memiliki pengaruh

motivasional terhadap intensi. Individu yang meyakini bahwa ia tidak memiliki

kesempatan untuk berperilaku, tidak akan memiliki intensi yang kuat, meskipun ia

besikap positif dan didukung oleh refrents (orang-orang disekitarnya). Kedua,

kendali perilaku yang dipersepsikan memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi

perilaku secara langsung, tanpa melalui intensi, karena ia merupakan subtitusi

parsial dari pengukuran terhadap kendali aktual.

Ramdhani (2011) mengatakan bahwa persepsi atas kontrol perilaku dibentuk

oleh keyakinan individu mengenai keberadaan faktor-faktor penentu (control belief

strength) yaitu faktor pendorong atau penyulit dalam berperilaku dan besarnya

peranan faktor-faktor penentu tersebut (power of control factor) dalam

menampilkan perilaku. Kuatnya persepsi atas kontrol perilaku terhadap suatu

tindakan dipengaruhi oleh besarnya keyakinan individu terhadap tersedianya

faktor-faktor penentu dalam berperilaku dan besarnya peranan faktor-faktor

tersebut. Individu yang memiliki persepsi atas kontrol perilaku yang kuat akan lebih

termotivasi dan berupaya untuk berhasil karena individu yakin dengan faktor-faktor

pendukung dan tersedianya kesempatan.

Berbeda dengan penelitian Ramdhan, (2019) Hasil penelitian pada faktor

sumber daya fasilitas dan sumber daya manusia, ditemukan bahwa fasilitas ruangan

sangat mendukung dalam melaksanakan SOP VAPb. Alat dan bahan untuk
133

melakukan SOP VAPb tersedia dan sangat memadai. Pelaksana diberi kesempatan

untuk memperbarui dan penyegaran ilmu melalui pelatihan, workshop, seminar,

dan kegiatan peningkatan kompetensi lainnya

percieved behavioral control (PBC) yang kurang baik mempengaruhi

kepatuhan penerapan VAPb adalah sikap, motivasi, beban kerja, perubahan SOP

(Standar Operasional Prosedur). Kurangnya motivasi perawat dalam penerapan

VAPb yang tidak kondusif dapat mempengaruhi perubahan perilaku kepedulian

perawat terhadap penerapan VAPb.

5.2.4 Analisis pengaruh pelatihan VAPb terhadap intensi perawat.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa intensi responden sebelum diberikan

intervensi pelatihan VAPb sebagian besar responden memiliki intensi dalam

kategori sedang sebanyak 27 orang (58,7%) dan hanya sebagian kecil yang

memiliki intensi dalam kategori kurang 2 orang (4,3%). Setelah diberikan

intervensi mayoritas responden memiliki intensi yang baik sebanyak 24 orang

(47,8%) dan tidak ada yang memiliki intensi yang kurang. Hasil uji statistik

menunjukkan tidak ada perbedaan hasil intensi sebelum dan setelah diberikan

intervensi pelatihan VAPb.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pelatihan

terhadap intensi renponden sebelum pelatihan memiliki intensi sedang sedangkan

setelah diberikan pelatihan ada perbedaan intensi sedikit menjadi baik. Penelitian

tersebut dapat menggambarkan bahwa apabila perawat di berikan pelatihan secara

rutin perawat akan memiliki niat untuk melakukan VAPb yang tinggi, maka ia akan

menghasikan aksi atau tindakan berupa kepatuhan dalam menerapkan VAPb itu
134

sendiri. Intensi yang baik di lakukan oleh responden bersedia untuk mengikuti

pelatihan yang dilakukan peneliti.

Fishbein dan Ajzen (2010) bahwa niat dan keyakinan dapat diubah dengan

pelatihan. Niat seseorang berubah ketika keyakinan juga diubah. Dengan demikian,

sebuah intervensi pendidikan dapat memiliki kemampuan untuk mempengaruhi

niat dan keyakinan perawat terkait dengan mencegah VAP.

Sesuai penelitian yang dilakukan Jahansefat, Vardanjani, Bigdelian,

Massoumi, et al (2016) Pelaksanaan EBGs adalah proses yang penting dan

kompleks yang bertujuan untuk meningkatkan intensi dan kepatuhan perawat

melaksanakan strategi berbasis bukti dalam praktek klinis. Perilaku manusia

dipengaruhi oleh banyak variabel yang dapat memperkuat atau menghambat

manusia, untuk melakukan atau tidak melakukan intensi (Jahansefat, Vardanjani,

Bigdelian, Massoumi, et al., 2016).

Berbeda hasil penelitian dari Suadnyani (2017) didapatkan bahwa intensi

perawat dalam menjalani pencegahan VAP masih ada kurang, intensi seseorang

dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif dan persepsi. salah satu upaya

meningkatkan kepatuhan seseorang adanya dukungan profesional dengan teknik

meningkatkan komunikasi antar teman. Sesuai dengan komitmen yang sudah

disepakati untuk meningkatkan kepatuhan selain meningkatkan niat yang kurang

juga dengan saling mengingatkan antar teman, supervisi dari atasan, pemberian

reward untuk yang sudah berperilaku patuh. Dengan adanya niat dan komunikasi

yang baik niscaya perilaku kepatuhan perawat dalam menjalani tatalaksana

pencegahan VAP juga akan menjadi baik.


135

Hasil penelitian berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari

(2019) yakni behavioral intention baik memiliki hubungan yang signifikan dengan

kepatuhan dalam menerapkan Universal Precaution. Hal ini dikarenakan semakin

keras intensi individu untuk terlibat dalam suatu perilaku, maka semakin kuat

kecenderungan individu tersebut untuk benar-benar melakukan perilaku tersebut.

Sebelum dilakukan pelatihan sebagian besar perawat memiliki intensi

sedang. intensi dipengaruhi oleh pengetahuan responden sebagian besar kategori

rendah, sikap sebagian responden kategori negatif, norma subjektif kategori sedang

perceived behavior control sedang mempengaruhi intensi perawat dalam

pelaksanaan VAPb Hal ini dikarenakan intensi individu untuk berperilaku

merupakan salah satu faktor yang memiliki andil besar menjadi perilaku nyata jika

perilaku tersebut berada pada kontrol individu yang bersangkutan. VAPb bila

dilakukan dengan niat yang sungguh-sungguh akan mempunyai dampak yang baik

kejadian VAP bisa dicegah.

5.2.5 Analisis pengaruh pelatihan VAPb terhadap kepatuhan perawat.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kepatuhan responden sebelum dan

setelah diberikan intervensi pelatihan VAPb adalah sama yaitu sebagian besar

responden memiliki kepatuhan dalam kategori patuh sebanyak 46 orang (100%)

sebelum intervensi dan sebanyak 46 orang (100%) sesudah intervensi. Hasil uji

statistik menunjukkan tidak ada perbedaan kepatuhan sebelum dan sesudah tidak

ada pengaruh pelatihan VAPb.

Perawat yang mempunyai kepatuhan yang baik cenderung memiliki

keinginan yang baik pula dalam penerapan VAPb. Akan tetapi keputusan perawat

untuk patuh dalam penerapan VAPb bersumber dari proses yang dipengaruhi oleh
136

sikap, norma subjektif, dan persepsi atas kontrol perilaku. Sehingga perbedaan

persentase niat dengan perilaku yang ditunjukkan oleh responden dalam penelitian

ini adalah karena intensi dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif dan persepsi atas

kontrol perilaku responden masih kurang.

Kategori tingkat kepatuhan responden terhadap bundle VAP sebagian besar

patuh. Kepatuhan dalam pencegahan VAP sangat di perlukan karena kepatuhan

merupakan salah satu perilaku yang bisa mencegah terjadinya infeksi, jika perawat

tidak patuh maka akan semakin banyak terjadi infeksi sehingga angka kejadian

VAP semakin besar. Kepatuhan perawat professional adalah sejauh mana perilaku

seorang perawat sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan perawat

ataupun pihak rumah sakit (Niven, 2012).

Kepatuhan yang harus dilakukan dalam penerapan bundle VAP meliputi

elevasi kepala tempat tidur 30 – 45 derajat, penghisapan secret endotracheal

dengan prinsip steril, menngkaji setiap hari sedasi dan ektubasi, mobilisasi kepada

pasien setiap 2 jam, perawatan mulut dengan chlorhexidine, menjaga balon cuff

tetap mengembang 25 – 30 cmH20, cuci tangan sebelum melakukan tindakan

(Ismail & Zahran, 2015)

Sesuai dengan Penelitian Jannson et al (2013) di ICU Finlandia didapatkan

pengetahuan perawat ICU tentang evidence-based guidelines (EBGs) masih kurang

59,9% sedangkan kepatuhan VAPb 84,0%. Hambatan utama terhadap EBGs

disebabkan sumber daya yang tidak memadai dan ketidaksesuaian VAP bundles

(VAPb), kurangnya waktu, keterampilan, pengetahuan, dan bimbingan (Jansson et

al., 2013). Hasil penelitian sesuai dengan Jannson et al (2013),alat ukur responden

kuesioner yang di pakai berbeda.


137

Berbeda dengan Hasil Saodah (2019) ada korelasi antara tingkat

pengetahuan dengan tingkat kepatuhan perawat dalam pencegahan VAP. Semakin

tinggi pengetahuan maka semakin baik pula tingkat kepatuhan perawat dalam

pencegahan VAP, begitu pula sebaliknya pengetahuan yang baik akan di ikuti

perilaku yang baik, serta pengetahuan yang kurang akan diikuti perilaku yang

kurang tentang bundle VAP (Saodah, 2019).

Hasil penelitian sebelum dan setelah pelatihan tidak ada pengaruh

kepatuhan responden mayoritas patuh. Dalam menjawab kuesioner responden

dalam kategori patuh namun dalam implementasi pengisian ceklis pencegahan

VAPb belum terisi secara lengkap karena dipengaruhi oleh pengetahuan tentang

VAPb dan sosialisasi yang mendalam terkait VAPb.

Kepatuhan adalah tingkat perilaku seseorang yang tertuju terhadap instruksi

atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik

diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter. Kepatuhan

petugas profesional (perawat) adalah sejauh mana perilaku seorang perawat sesuai

dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan perawat ataupun pihak rumah

sakit (Niven.2002). Ketidak patuhan adalah suatu kondisi pada perawat yang

sebenarnya mau melakukannya, akan tetapi ada faktor faktor yang menghalangi

ketaatan untuk melakukan tindakan. Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat

terhadap suatu tindakan, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau ditaat

(Notoatmojo, 2010)

Pelaksanaan prosedur VAPb dipengaruhi antara lain kepatuhan, tangkat

professional dan kerja sama tim (Kollef, 2015). Dalam rangka standarisasi prosedur

untuk meningkatan kepatuhan VAPb, di Rumah Sakit Pusat Jantung menggunakan


138

checklist dengan metode Delphi untuk evaluasi dan observasi kepatuhan (Li et al.,

2018). Hasil ceklis yang dilakukan peneliti terhadap responden kepatuhan perawat

dalam pelaksanaan dan pengisian VAPb. Berdasarkan Kepmenkes RI No.129 tahun

2008 kualitas data tinggi apabila >75% formulir data atau laporan tidak ada jawaban

kosong dan dikatakan kualitas data rendah apabila <75% formulir data atau laporan

terdapat jawaban kosong. Dari tabel di bawah dapat diketahui bahwa masih banyak

item di form bundle prevention yang belum diisi oleh perawat.

Penentuan kelengkapan form ini berdasarkan Kepmenkes RI No.129 tahun

2008 yang memiliki standar bahwa kualitas data bisa dikatakan tinggi apabila

memiliki kelengkapan data >75%. Kualitas data pada sistem survailans infeksi

nosokomial VAP di RSU Haji Surabaya termasuk dalam kualitas data yang rendah,

Dari Hasi observasi peneliti terhadap pelaksanaan kepatuhan perawat dari pengisian

kelenkapan SOP pasien terpasang ventilator data yang lengkap hanya pada 12

(36.33%) item dari 33 (100,00%) item data yang seharusnya diisi. Ceklis kepatuhan

perawat dalam melakukan VAPb 8 (53,33%) item dari 15 (100,00%).

Sesuai dengan hasil penelitian Nur (2018) melakukan magang di RSU Haji

surabaya dengan judul Evaluasi Kelengkapan Pengisian Form Bundle Prevention

Pemasangan Ventilator Terhadap Kejadian Ventilator Associated Pneumonia

(VAP). Kepatuhan kelengkapan pengisian ceklis VAPb masih rendah disebabkan,

rendahnya pengetahuan perawat di ruangan tentang pengisian form bundle

prevention VAP. Rendahnya keingintahuan (antusiasme) perawat tentang tata cara

pengisian form bundle prevention VAP. sosialisasi tentang VAP dan tata cara

pengisian skor pada form bundle prevention. Hal ini terkait dengan VAP yang

belum menjadi prioritas survailans HAIs, (Nur, 2018).


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah dilakukan di

ruangan ICU dan ICCU RSU Haji Surabaya pada tanggal 4 November – 9

Desember 2019 dapat disimpulkan bahwa; implementasi yang dilakukan oleh

peneliti mengenai pengaruh penerapan Ventilator Associated Pneumonia Bundles

(VAPb) terhadap kepatuhan perawat dalam pencegahan Ventilator Associated

Pnemonia (VAP) di ICU RSU Haji Surabaya VAPb berpengaruh terhadap tingkat

pengetahuan perawat. Namun, pelatihan VAPb tidak berpengaruh terhadap sikap,

norma subjektif, perceived behavior control, intensi, dan kepatuhan perawat.

6.2 Saran

1. Perawat

Perawat ICU dan ICCU harus meningkatkan pengetahuan baik secara formal atau

non formal karena tingkat pengetahuan VAPb akan memengaruhi

implementasi VAPb dalam praktik sehari-hari. Pengetahuan yang kurang

akan menjadi hambatan kepatuhan melaksanakan rangkaian VAPb.

2. Ruang ICU

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai uapaya untuk penerapan Ventilator

Associated Pneumonia Bundle (VAPb) terhadap kepatuhan perawat dalam

pencegahan Ventilator Associated Pneumonia (VAP).


140

3. PPI

Penerapan VAPb khususnya untuk Komite PPI dalam program survailans pencegahan

dan pengendalian HAIs perlu lebih diupayakan agar dalam pelaksanaanya lebih

optimal.

4. Rumah sakit

Pelatihan terkait VAPb menjadi prioritas dan dilakukan secara rutin sebagai

salah satu usaha untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang VAPb.

Dengan perawat mengikuti pelatihan atau seminar yang diselenggarakan oleh

Rumah Sakit atau institusi lain. Meningkatkan komunikasi, sosialisasi dari

Infection Prevention Control Link Nurse (IPCLN) dan IPCN kepada kepala

ruangan serta koordinator pelayanan dan mutu pelayanan Instalasi Rawat

Intensif.

5. Peneliti berikutnya

peneliti berikutnya menggunakan desain quasi ekperimen dengan kelompok kontrol,

dengan karakteristik responden homogen.


DAFTAR PUSTAKA

Akmad Rifai. (2016). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Pengetahuan Perawat Tentang Pencegahan Ventilator Associated Pneumonia
(Vap) Di Ruang Icu Rsuddr. Moewardi Iafik. Jrurnal Keperawatan Global,
1(2), 64–72.
Asmic 2016. (N.D.). Do Bundle Make A.
CDC, Ncezid, & DHQP. (2019). National Healthcare Safety Network (NHSN)
Patient Safety Component Manual. Cdc And NHSN. Retrieved From
Https://Www.Cdc.Gov/Nhsn/Pdfs/Hps-Manual/Vaccination/Hps-Flu-
Vaccine-Protocol.Pdf
Durhayati, Y., & Aryani, D. F. (2015). Memengaruhi Kepatuhan Perawat Dalam
Penerapan Bun- Mahasiswa Ekstensi 2015 Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia , Jl . Ma- Laka 2 Gg . 12 No . 108 , Malaka Sari - Duren
Sawit , Jakarta Timur 13460 Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Ind.
File, T. M. (2017). Highlights From The 2016 Clinical Practice Guidelines By The
Infectious Diseases Society Of America And The American Thoracic Society
On Management Of Adults With Hospital-Acquired And Ventilator-
Associated Pneumonia. Infectious Diseases In Clinical Practice, 25(1), 1–2.
Https://Doi.Org/10.1097/IPC.0000000000000476
Grgurich, P. E., Hudcova, J., Lei, Y., Sarwar, A., & Craven, D. E. (2012).
Management And Prevention Of Ventilator-Associated Pneumonia Caused By
Multidrug-Resistant Pathogens. Expert Review Of Respiratory Medicine, 6(5),
533–555. Https://Doi.Org/10.1586/Ers.12.45
Guillamet, C. V., & Kollef, M. H. (2015). Update On Ventilator-Associated
Pneumonia. Current Opinion In Critical Care, 21(5), 430–438.
Https://Doi.Org/10.1097/MCC.0000000000000231
Hang, S. O., Nurse, M., & Care, I. (2014). Ventilator Associated Pneumonia ( VAP
) Algorithm. (May), 8–9.
Hellyer, T. P., Ewan, V., Wilson, P., & Simpson, A. J. (2016). The Intensive Care
Society Recommended Bundle Of Interventions For The Prevention Of
Ventilator-Associated Pneumonia. Journal Of The Intensive Care Society,
17(3), 238–243. Https://Doi.Org/10.1177/1751143716644461
Hill, C. (2016). Nurse-Led Implementation Of A Ventilator-Associated Pneumonia
Care Bundle In A Children’s Critical Care Unit. Nursing Children And Young
People, 28(4), 23–27. Https://Doi.Org/10.7748/Ncyp.28.4.23.S21
Idawaty, S., Huriani, E., & Gusti, R. P. (2018). Tingkat Pengetahuan Perawat Dan
Penerapan Ventilator Associated Pneumonia Bundle Di Ruang Perawatan
Intensif. NERS Jurnal Keperawatan, 13(1), 34.
142

Https://Doi.Org/10.25077/Njk.13.1.34-41.2017
Ismail, R., & Zahran, E. (2015). The Effect Of Nurses Training On Ventilator-
Associated Pneumonia (VAP) Prevention Bundle On VAP Incidence Rate At
A Critical Care Unit. Journal Of Nursing Education And Practice, 5(12), 42–
48. Https://Doi.Org/10.5430/Jnep.V5n12p42
Jadot, L., Huyghens, L., De Jaeger, A., Bourgeois, M., Biarent, D., Higuet, A., …
Damas, P. (2018). Impact Of A VAP Bundle In Belgian Intensive Care Units.
Annals Of Intensive Care, 8(1). Https://Doi.Org/10.1186/S13613-018-0412-8
Jahansefat, L., Vardanjani, M. M., Bigdelian, H., & Massoumi, G. (2016).
Eksplorasi Pengetahuan , Kepatuhan Terhadap , Sikap Dan Hambatan
Terhadap Pedoman Berbasis Bukti ( Ebgs ) Untuk Pencegahan Ventilator-
Associated Pneumonia ( VAP ) Di Worke Kesehatan ... Unit ( Pcicus ): Survei
A Quali-Kuantitatif. (September).
Jahansefat, L., Vardanjani, M. M., Bigdelian, H., Massoumi, G., Khalili, A., &
Mardani, D. (2016). Exploration Of Knowledge Of, Adherence To, Attitude
And Barriers Toward Evidence-Based Guidelines (Ebgs) For Prevention Of
Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) In Healthcare Workers Of Pediatric
Cardiac Intensive Care Units (Pcicus): A Quali-Quantitative. International
Journal Of Medical Research & Health Sciences, 5(9), 67–73. Retrieved From
Http://Www.Ijmrhs.Com/Medical-Research/Exploration-Of-Knowledge-Of-
Adherence-To-Attitude-And-Barriers-Towardevidencebased-Guidelines-
Ebgs-For-Prevention-Of-Ven.Pdf
Jansson, M., Ala-Kokko, T., Ylipalosaari, P., Syrjälä, H., & Kyngäs, H. (2013).
Critical Care Nurses’ Knowledge Of, Adherence To And Barriers Towards
Evidence-Based Guidelines For The Prevention Of Ventilator-Associated
Pneumonia - A Survey Study. Intensive And Critical Care Nursing, 29(4),
216–227. Https://Doi.Org/10.1016/J.Iccn.2013.02.006
Kalanuria, A. A., Zai, W., & Mirski, M. (2014a). Ventilator-Associated Pneumonia
In The ICU. Critical Care, 18(2), 208. Https://Doi.Org/10.1186/Cc13775
Kalanuria, A. A., Zai, W., & Mirski, M. (2014b). Ventilator-Associated Pneumonia
In The ICU. Critical Care, 18(2), 1–8. Https://Doi.Org/10.1186/Cc13775
Kalil, A. C., Metersky, M. L., Klompas, M., Muscedere, J., Sweeney, D. A., Palmer,
L. B., … Roberts, J. A. (2016). Pengelolaan Dewasa Dengan Rumah Sakit-
Diperoleh Dan Pneumonia Ventilator Terkait : 2016 Pedoman Clinical
Practice Oleh Infectious Diseases Society Of America Dan American Thoracic
Society. 1–51.
Klinis, P., Karagözoğlu, S., Yildiz, F. T., Gursoy, S., Perawat, A., Gulsoy, Z., …
Koçyiğit, H. (2018). Pengaruh Bundle Adaptasi Control Pada VAP Kecepatan
Dan Lama Sakit Tetap Menghindari Ventilator Associated Pneumonia ( VAP
) Di Anestesi Intensive Care Unit. 5.
LAPORAN Hais TAHUN 2018. (N.D.).
143

Li, L., Wang, Q., Wang, J., Liu, K., Wang, P., Li, X., … Peng, F. (2018a).
Development, Validation And Application Of A Ventilator-Associated
Pneumonia Prevention Checklist In A Single Cardiac Surgery Centre.
Intensive And Critical Care Nursing, 49, 58–64.
Https://Doi.Org/10.1016/J.Iccn.2017.10.002
Li, L., Wang, Q., Wang, J., Liu, K., Wang, P., Li, X., … Peng, F. (2018b).
Development, Validation And Application Of A Ventilator-Associated
Pneumonia Prevention Checklist In A Single Cardiac Surgery Centre.
Intensive And Critical Care Nursing, 49, 58–64.
Https://Doi.Org/10.1016/J.Iccn.2017.10.002
Lombogia, A. (2019). Hubungan Perilaku Dengan Kemampuan Perawat Dalam
Melaksanakan Keselamatan Pasien (Patient Safety) Di Ruang Akut Instalasi
Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Journal Of Chemical
Information And Modeling, 53(9), 1689–1699.
Https://Doi.Org/10.1017/CBO9781107415324.004
Maqbool, M., Shabir, A., Naqash, H., Amin, A., Koul, R. K., & Shah, P. A. (2017).
Ventilator Associated Pneumonia-Insiden Dan Hasil Di Dewasa Di Medis
Intensive Care Unit Rumah Sakit Tersier Perawatan Dari. 4, 73–76.
Menkes RI. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2017 Tentang Pengembangan Jenjang Karir Profesional Perawat
Klinis.
Metersky, M. L., & Kalil, A. C. (2018). Management Of Ventilator-Associated
Pneumonia: Guidelines. Clinics In Chest Medicine, 39(4), 797–808.
Https://Doi.Org/10.1016/J.Ccm.2018.08.002
Miller, F. (2018). Tutor Ial 382 Ventilator-Associated Pneumonia. 6–11.
Notoatmojo, S. (2010). Konsep Perilaku Kesehatan. Promosi Kesehatan, Teori Dan
Aplikasi.
Ns. Made Oka Ari Kamayani, S. K. M. K. (2016). Asuhan Keperawatan Pasien
Dengan Ventilasi Mekanik. Udayana University, 1–17.
Nur, W. (2018). EVALUASI KELENGKAPAN PENGISIAN FORM BUNDLE
PREVENTION PEMASANGAN VENTILATOR TERHADAP KEJADIAN
VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DI RSU HAJI KOTA
SURABAYA.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis
Edisi 4.
Özen, N., & Armutçu, B. (2018). Knowledge Levels Of Critical Care Nurses On
Evidence-Based Practices For The Prevention Of Ventilator-Associated
Pneumonia. Journal Of Medical And Surgical Intensive Care Medicine, 9(3),
78–83. Https://Doi.Org/10.5152/Dcbybd.2018.1880
Perdici Dr. Yohannes George Span. KIC. (2008). Panduan Tata Laksana Hospital-
144

Acquired Pneumonia, Ventilator-Associated Pneumonia Dan Healthcare-


Associated Pneumonia Pasien Dewasa.
Permenkes No 27. (2017). Pedoman Pencegahan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Kemenkes Republik Indonesia, (857).
Rahma, A. W., & Ismail, S. (2019). Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang
Intervensi Mandiri Ventilator Associated Pneumonia Bundle Care Pada Pasien
Dengan Ventilasi Mekanik Di Unit Perawatan Intensif Abstrak Atau
Healthcare Associated Infection ( Hais ) Yang Paling Umum Ditemukan Di
Sebagai. Jurnal Perawat Indonesia, 3(1), 1–7.
Rahman, D., Huriani, E., & Julita, E. (2017). Ventilator Associated Pneumonia
Pada Klien Dengan Ventilasi Mekanik Menggunakan Indikator Clinical
Pulmonary Infection Score (CPIS). Artikel Kesehatan, 6(2), 126–135.
Retrieved From Https://E-
Journal.Unair.Ac.Id/Index.Php/JNERS/Article/Viewfile/3975/2691
Ramdhan, Heru Noor. (2019). Artikel Penelitian Pelaksanaan Pencegahan Dan
Pengendalian Ventilator Associated Pneumonia ( VAP ) Di Ruang ICU. 01,
3–8.
Rawal, G., Healthcare, M., Yadav, S., Clinic, C., Nagar, M., Delhi, N., … Delhi, N.
(2018). Ventilator-Associated Pneumonia ( VAP ): Overview And Preventive
Strategies Review Article Ventilator-Associated Pneumonia ( VAP ): Overview
And Preventive Strategies. (May).
Sabetian, G., & Roudgari, A. (2015). Sebuah Studi Perbandingan Mengajar
Pedoman Klinis Untuk Pencegahan Ventilator-Associated Pneumonia Dalam
Dua Cara: Face-To-Face Dan Pelatihan Workshop Pengetahuan Dan
Praktek Perawat Di Unit Perawatan Intensif. 3(2), 3–6.
Sadli, M. F., Tavianto, D., & Redjeki, I. S. (2017). Gambaran Pengetahuan Klinisi
Ruang Rawat Intensif Mengenai Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
Bundle Di Ruang Rawat Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal
Anestesi Perioperatif, 5(2), 85. Https://Doi.Org/10.15851/Jap.V5n2.1108
Samra, S. R., Sherif, D. M., & Elokda, S. A. (2017a). Impact Of VAP Bundle
Adherence Among Ventilated Critically Ill Patients And Its Effectiveness In
Adult ICU. Egyptian Journal Of Chest Diseases And Tuberculosis, 66(1), 81–
86. Https://Doi.Org/10.1016/J.Ejcdt.2016.08.010
Samra, S. R., Sherif, D. M., & Elokda, S. A. (2017b). Impact Of VAP Bundle
Adherence Among Ventilated Critically Ill Patients And Its Effectiveness In
Adult ICU. Egyptian Journal Of Chest Diseases And Tuberculosis, 66(1), 81–
86. Https://Doi.Org/10.1016/J.Ejcdt.2016.08.010
Saodah, S. (2019). Knowledge Of Guideline VAP Bundle Improves Nurse
Compliance Levels In Preventing Associated Pneumonia ( VAP ) Ventilation
In The Intensive Care Unit. (18).
Https://Doi.Org/10.26714/Mki.2.3.2019.113-120
145

Saragih, R. J., Amin, Z., Sedono, R., Pitoyo, C. W., & Rumende, C. M. (2017).
Prediktor Mortalitas Pasien Dengan Ventilator-Associated Pneumonia Di RS
Cipto Mangunkusumo. Ejournal Kedokteran Indonesia, 2(2), 2–9.
Https://Doi.Org/10.23886/Ejki.2.4011.
Sari, N., Delli, H., & Agrina. (2019). Gambaran Pelaksanaan VAP Bundle (Vapb)
Pada Pasien Yang Terpasang Ventilator. JOM Fkp, 6(1), 19–27.
Setiyawan1, S. D. S. (2018). Studi Deskriptif: Tekanan Cuff Endotracheal Tube
(Ett) Pada Pasien Terintubasi Di Intensive Care Unit. Interest : Jurnal Ilmu
Kesehatan, 7(2), 123–126.
Spalding, M. C., Cripps, M. W., & Minshall, C. T. (2017). Ventilator-Associated
Pneumonia: New Definitions. Critical Care Clinics, 33(2), 277–292.
Https://Doi.Org/10.1016/J.Ccc.2016.12.009
Suadnyani, N. K. (2017). Penerapan Theory Of Plan Behaviour Terhadap Perilaku
Kepatuhan Perawat Dalam Pencegahan Ventilator Associated Pneumonia
(VAP). Universitas Airlangga.
The AHA/HRET HEN Would Like To Acknowledge Our Partner, Cynosure
Health, For Their Work In Developing The V. A. P. (VAP)/Ventilator A. E.
(VAE) C. P. (2016). Ventilator Associated Events ( VAE ). Health Research
& Educational Trust (February 2016). Ventilator Associated Events (VAE)
Change Package: 2016 Update. Chicago, IL: Health Research & Educational
Trust. Accessed At Www.Hret-Hen.Org.
Todi, S., & Chawla, R. (2012). Antibiotic Stewardship. In ICU Protocols: A
Stepwise Approach. Https://Doi.Org/10.1007/978-81-322-0535-7_49
Ulfa, M., & Fiqih Adhyaksafitri. (2015). Operasional Pemasangan Ventilator Di
Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Yogyakarta Abstrak. Department Of Public
Health, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2., 1(2), 117–126.
Widyaningsih, R., & Buntaran, L. (2016). Pola Kuman Penyebab Ventilator
Associated Pneumonia(VAP) Dan Sensitivitas Terhadap Antibiotik Di RSAB
Harapan Kita. Sari Pediatri, 13(6), 384.
Https://Doi.Org/10.14238/Sp13.6.2012.384-90
Wijayanti, A. M. N. (2004). Mechanical Ventilation. Critical Care Nursing
Quarterly, 27(3), 258–294. Https://Doi.Org/10.1097/00002727-200407000-
00006
Wiryana, M. (2007). Tinjauan Pustaka VENTILATOR ASSOCIATED
PNEUMONIA Made Wiryana Bagian/SMF Ilmu Anestesi Dan Reanimasi,
FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam, 8(September
2007), 254–268.
Yazdani, M., Sabetian, G., Roudgari, A., & Feizi, M. (2015). A Comparative Study
Of Teaching Clinical Guideline For Prevention Of Ventilator-Associated
Pneumonia In Two Ways: Face-To-Face And Workshop Training On The
Knowledge And Practice Of Nurses In The Intensive Care Unit A Comparative
146

Study Of Teaching Clinica. J Adv Med Educ Prof, 3(2), 68–71. Retrieved
From
Https://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Pmc/Articles/PMC4403567/Pdf/Jamp-3-
68.Pdf
ZHANG, C. (2019). Informasi Umum Kriteria Inklusi : Kriteria Eksklusi : Metode
Statistik Teori Dasar Interval Waktu Di Itoring Senin-Tekanan Cuff. 81–85.
147

Lampiran 1
LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN

(INFORMATION FOR CONSENT)


Assalamu’alaikum Wr. Wb
Judul Penelitian: Pengaruh penerapanVentilator-Associated Pnemonia Bundle terhadap
kepatuhan perawat dalam pencegahan Ventilator associated penemonia di RS Haji
Surabaya.
Nama Peneliti : Nanik dwi lestari
NIM : 131811123010
Peneliti adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga Surabaya.
Bapak /ibu dimohon kesediaannya untuk menjadi responden dalam penelitian ini
Partisipasi ini bersifat sukarela. Bapak/ibu berhak memutuskan untuk
Berpartisipasi atau mengajukan keberatan atas penelitian ini kapanpun tanpa
konsekuensi dan dampak negatif. Sebelum bapak/ibu memutuskan berpartisipasi,
saya akan menjelaskan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan model perilaku
pelaksanaan VAP bundle dengan berdasarkan teori perilaku terencana.
2. Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk informasi tentang pentingnya
implementasi VAP bundle dan beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga
akan mampu meningkatkan profesionalisme dalam kinerja keperawatan. Serta
jika diketahui faktor dominan yang mempengaruhi perilaku pelaksanaan VAP
bundle, maka perawat (responden) akan mendapatkan pembinaan dan atau
pengembangan profesionalisme khususnya dalam hal VAP bundle. Penelitian
ini juga diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu keperawatan serta
peran perawat di pelayanan keperawatan.
3. Jika bapak/ibu bersedia berpartisipasi dalam penelitian, maka peneliti akan
menyebarkan kuesioner dan pelatihan, bapak/ibu di mohon untuk mengisi
kuesioner tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kuesioner sekitar 60
menit untuk tiap responden. Peneliti akan melakukan observasi dan wawancara
pengambilan data awal setelah itu akan melakukan pre test dengan kuesioner
pengetahua, Atituden toward behavior (sikap), Subjective norm Perceived
behavioral control, intensi, kepatuhan sebelum dilakukan intervensi pelatihan
VAPb dan ceklist. Selanjutnya akan diiberi pelatihan terkait VAPb meliputi
seminar dan demotrasi dengan waktu 120 menit , kemudian pos test kuesioner
pengetahua, Atituden toward behavior (sikap), Subjective norm Perceived
148

behavioral control, intensi, kepatuhan setelah dilakukan intervensi pelatihan


VAPb dan ceklist.dengan kuesioner pada perawat dalam implementasi VAPb
terhadap pencegahan VAP.
4. Penelitian ini tidak mengandung resiko, karena identitas bapak/ibu akan peneliti
rahasiakan kepada siapapun. Apabila bapak/ibu merasa tidak nyaman selama
penelitian, bapak/ibu boleh mengundurkan diri dari penelitian ini.
5. Data hanya disajikan untuk penelitian dan pengembangan ilmu keperawatan dan
tidak digunakan untuk maksud-maksud yang lain. Hasil penelitian ini akan
diberikan kepada institusi tempat peneliti belajar dan pelayanan kesehatan
setempat dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas responden.
6. Oleh karena keikutsertaan responden bersifat sukarela maka peneliti
memberikan imbalan berupa souvenir (botol minum, snak, makan pada waktu
pelatihan) yang akan diberikan kepada responden. Selain itu responden tidak
menerima ganti rugi berupa uang atau lainnya dan tidak mendapatkan jaminan
asuransi dari peneliti.
7. Jika ada yang belum jelas atau ada masalah, bapak/ibu dipersilahkan bertanya
kepada peneliti. Alamat yang dapat dihubungi: Fakultas Keperawatan Kampus
C universitas Airlangga Surabaya, Nomor Handphone 08155022379, Email:
nanik.dwi.lestari-2018@fkp.unair.ac.id
8. Untuk itu saya mohon partisipasi bapak/ibu untuk mengisi kuesioner atau daftar
pertanyaan yang telah saya persiapkan dengan sejujur-jujurnya.
9. Jika bapak/ibu sudah memahami dan bersedia ikut berpartisipasi dalam
penelitian ini, silahkan bapak/ibu menandatangani lembar persetujuan yang akan
dilampirkan,
Atas partisipasi bapak/ibu dalam mengisi kuesioner ini sangat saya hargai dan
saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Surabaya, 4 Agustus 2019
Responden Penelitian Peneliti

................................. (Nanik dwi lestari)


(nama jelas)

Saksi

....................................
(nama jelas)
149

Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama :
Alamat :
Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, saya memahami/mengerti dengan baik maka
saya menyatakan bersedia untuk berpartisipasi pada penelitian dengan judul
Pengaruh penerapan Ventilator-Associated Pnemonia Bundle terhadap kepatuhan
perawat dalam pencegahan Ventilator associated penemonia di RS Haji Surabaya.
yang dilakukan oleh Nanik dwi lestari mahasiswa Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga Surabaya.
Atas dasar pemikiran bahwa penelitian ini dilakukan untuk pengembangan ilmu
keperawatan, maka saya memutuskan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Tanda tangan di bawah ini menunjukkan bahwa saya telah diberi penjelasan dan
menyatakan bersedia menjadi responden dengan sadar serta tanpa adanya
keterpaksaan.

Surabaya, 7 Agustus 2019


Peneliti Responden Penelitian

(Nanik dwi lestari) .....................................


(Nama Jelas)
150

Lampiran 3
KUESIONER PENELITIAN
Code
responden

Petunjuk:
Berilah tanda centang (√) pada kotak yang telah disediakan
sesuai dengan jawaban saudara.
Tanggal pengisian :………….
1. Data demografi
1) Lama bekerja di ICU :……………tahun/bulan
2) Pendidikan
□ D-3 keperawatan
□ D-4 keperawatan
□ S1 keperawatan
3) Usia :………tahun.
4) Jenjang karir perawat klinis
• Perawat Klinis (PK) I
• Perawat Klinis (PK) II
• Perawat Klinis (PK)III
• Perawat Klinis (PK)IV
• Perawat Klinis (PK)V
151

1. KUESIONER PENGETAHUAN

Petunjuk Pengisian:
Berilah tanda (√) pada pernyataan yang dianggap benar pada kotak
didepan pernyataan boleh lebih dari satu:
1. Pengertian VAP adalah:
• Pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam pada pasien dengan bantuan
ventilator mekanik baik itu melalui pipa endotracheal maupun tracheostomi.
• Pneumonia yang terjadi 48 jam di ruang ICU
• VAP merupakan salah satu bagian dari Hospital Acquired Pneumonia (HAP)
2. Prensentase risiko terjadi VAP paling tinggi terjadi pada
• Awal setelah pemasangan ETT berkisar sekitar 1%/hari untuk lima hari
pertama rawat inap, 2% untuk lima sampai sepuluh hari dan 3% per hari untuk
selanjutnya
• Awal setelah pemasangan ETT berkisar sekitar 3%/hari untuk lima hari
pertama rawat inap, 2% untuk lima sampai sepuluh hari dan 1% per hari untuk
selanjutnya
• Setelah pasien dirawat di ICU
3. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian VAP adalah
• Penjamu,peraralatan yang digunakan,dan faktor petugas yang terlibat dalam
perawatan pasien.
• Penyakit dasar dari pasien HIV,PPOK,ARDS.
• Kepatuhan perawat dalam melakukan prosedur cuci tangang dan pemasangan
ventilator
4. Pengertian Ventilator associated pnemonia bundle (VAPb) adalah:
• Sekelompok tindakan bagi dokter dan perawat untuk pencegahan VAP
• Kumpulan pedoman pencegahan VAP
• Bundle VAP merupakan kumpulan Evidence Based Practise yang
diimplementasikan secara bersama-sama sehingga dihasilkan penurunan
insiden VAP
5. Tujuan dilakukan VAPb adalah:
• Mengurangi kematian,mengurangi morbiditas.
• Mengurangi komplikasi,mengurangi lama tinggal di rumah sakit.
• Mengurangi biaya lebih rendah.
6. Cara pencegahan VAP adalah:
• Mengurangi kolonisasi di orofaringeal, mengurangi kontaminasi peralatan
ventilator, mengurangi lama pemakian ventilator, mengurangi aspirasi.
• Melakukan sactionning setiap 4 jam
• Menghindari intubasi trakea, penggunaan VM sesingkat mungkin.
7. Diagnosa VAP dapat dilakukan dengan:
• Diagnosa cukup Dengan pemeriksaan hasil kultur sputum.
152

• Diagnosa VAP secara klinis ditegakkan berdasarkan adanya demam (>


38,3° C), leukositosis (> 10.000 mm3), sekret trakea bernanah dan adanya
infiltrat yang baru atau menetap dari radiologi.
• Diagnosa VAP dengan spesifisitas yang tinggi dapat dilakukan dengan
menghitung Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) yang
mengkombinasikan data klinis, laboratorium, perbandingan tekanan
oksigen dengan fraksi oksigen (PaO2/FiO2) dan foto toraks.
8. Komponen VAPb menurut departemen kesehatan 2017:
• Cuci Tangan, Elevasi kepala tempat tidur (30-45 derajat), menjaga kebersihan
mulut atau oral hygiene.
• Manajemen sekresi oroparingeal dan trakeal.
• Melakukan pengkajian setiap hari sedasi dan extubasi, Peptic ulcer disease
Prophylaxis diberikan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi, berikan Deep
Vein Trombosis (DVT Prophylaxis).
9. Menejemen sekresi oroparingeal dan trakeal dengan cara:
• Petugas yang melakukan suctioning pada pasien yang terpasang ventilator
menggunakan alat pelindung diri (APD).
• Gunakan kateter suction sekali pakai, Tidak sering membuka selang/tubing
ventilator.
• Perhatikan kelembaban pada humidifire ventilator. Tubing ventilator diganti
bila kotor.
10. Melakukan pengkajian setiap hari sedasi dan extubasi meliputi:
• Melakukan pengkajian penggunaan obat sedasi dan dosis obat tersebut.
• Melakukan pengkajian secara rutin akan respon pasien terhadap
penggunaan obat sedasi tersebut.
• Bangunkan pasien setiap hari dan menilai responnya untuk melihat
apakah sudah dapat dilakukan penyapihan modus pemberian ventilasi
11. Head up pada pasien dengan ventilator dilakukan;
• Sesuai indikasi
• Semua pasien dilakukan head up
• Memberikan Head up > 90 derajat
12. Spontaneous Awakening Trial (SATs) + Spontaneous Breathing Trials
(SBTs) (penilaian kesiapan untuk tindakan wening dan extubasi) meliputi:
• Inspirasi (T piece atau CPAP ≈ 5 cmH20) atau dengan
bantuan tekanan inspirasi (Pressure support 5 - 8 cmH20 atau
automatic tube compentation)
• Menghitung Rapid Shallow Breathing Index (RSBI).
• Di lakukan penilaian dengan SATs dan SBTs.
13. Ekstubasi yang tidak terencana meningkatkan risiko VAP karena tidak
dilakukan penilaian kesiapan ekstubasi dan evaluasi obat sedatif Penilaian
sedasi di ICU menggunakan:
153

• Richmond Agitation Seation Scale (RASS).


• Tidak ada alat ukur untuk menilai sedasi
• sedation-analgesia scale (SAS)
14. Oral hygine di ICU dilakukan:
• Dilakukan 1 kali sehari dengan betadin
• Dilakukan 2 kali sehari dengan sikat khusus dan lembut dan clorhexsidine
0,2%
• Dilakukan 3 kali sehari dengan clorhexsidine 0,2% dengan kassa depress.
15. Tujuan pengisian form VAPb:
• Pelaporan dengan kualitas yang baik akan meningkatkan keselamatan
pasien selama menjalani perawatan dirumah sakit sekaligus dapat pula
menurunkan kejadian HAIs terutama kejadian VAP
• Menambah pekerjaan perawat.
• Sebagai dasar untuk mengotrol dan menganalisa risiko pasien yang
mengalami VAP.

2. KUESIONER SIKAP DALAM MELAKUKAN VAPb

Petunjuk Pengisian jawaban:


a. Beri tanda Checklist atau centang (√) pada jawaban yang
sesuai dengan sikap yang anda lakukan. Mohon bantuan
untuk mengerjakan dengan cermat dan teliti
b. Pilihan SS = Sangat Setuju, S = Setuju, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak
Setuju.
NO PERNYATAAN SS S TS STS
1 Bagi saya melakukan VAPb adalah kegiatan yang
banyak membutuhkan waktu
2 Bagi saya VAPb harus dilakukan karena dapat mecegah
terjadinya VAP
3 Saya melakukan oral hygiene 1 kali dalam sehari
4 Saya tidak menandai jadwal pegantian sirkuit ventilator
karena sudah biasa tidak dilakukan
5 Saya bertanggung jawab terhadap penilaian extubasi
dan sedasi setiap hari.
6 Saya bertanggung jawab terhadap posisi elevasi kepala
pasien yang dirawat dengan ventilator
7 Saya terlalu sibuk untuk melakukan kebersihan mulut
sesuai jadwal
8 Saya percaya kebersihan mulut yang benar dapat
mencegah terjadinya VAP
9 Saya hanya memberikan posisi elevasi kepala pada
pasien saat hanya dibutuhkan.
10 SOP VAPb sudah mewakili dari pencegahan VAP
11 saya tidak melakukan cuci tangan saat memberikan
tindakan keperawatan ketika emergency
154

12 Panduan VAPb menggagu otoritas professional saya


dan sulit di mengerti
13 Saya sangat sulit melakukan mobilisasi pada pasien
dengan ventilator.
14 Bagi saya melakukan mobilisasi pada pasien dengan
ventilator tidak mengurangi terjadinya VAP.
15 Saya bertanggung jawab terhadap tekanan cuff ETT
dilakukan pengkajian setiap 6 jam.

3. KUESIONER NORMA SUJEKTIF

Petujuk pengisian
Berilah tanda centang (√) pada kotak yang telah disediakan
sesuai dengan jawaban anda .
Pilihan jawabannya adalah sebagai brikut:
TP = Tidak Pernah
K = Kadang-kadang
SR = Sering
SL = Selalu
No Pertanyaan TP K SR SL
1 Kepala ruangan saya mendukung saya untuk
melaksankan VAPb
2 Ketua Tim jaga saya mendukung saya untuk
melaksanakan VAPb
3 Rekan sejawat saya mendukung saya untuk
melaksanakan VAPb
4 Tim kesehatan lain (salah satunya dokter)
mendukung saya untuk melaksanakan VAPb
5 Saya akan mengikuti apa yang disampaikan oleh
kepala ruangan saya
6 Saya akan melakukan apa yang dianjurkan oleh
ketua tim jaga saya.
7 Saya akan mengikuti apa yang disarankan oleh
rekan sejawat saya
8 Saya akan mengikuti apa yang disarankan oleh tim
kesehatan lain (salah satunya dokter)
9 Kepala instalasi ICU mendukung saya untuk
melakukan penceghan VAP
10 Biasanya saya akan mengikuti apa yang ditetapkan
oleh PPI

4. KUESIONER PERCEIVED BEHAVIOR CONTROL

Petunjuk Pengisian jawaban:


155

a. Beri tanda Check list atau centang (√) pada jawaban yang
sesuai dengan persepsi yang anda lakukan. Mohon bantuan
untuk mengerjakan dengan cermat dan teliti.
b. Pilihan SS = Sangat Setuju, S = Setuju, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak
Setuju
NO PERNYATAAN STS TS S SS
1 Peraturan rumah sakit merupakan faktor pendorong untuk
melakukan tindakan pencegahan VAP
2 Kesadaran akan akibat yang ditimbulkan jika terjadi VAP
menjadi faktor pendorong untuk melakukan tindakan
pencegahan VAP
3 Motivasi untuk menjalankan kewajiban, tanggung jawab
perawat menjadi faktor pendukung untuk melakukan
tindakan pencegahan.
4 Kondisi ruangan yang memerlukan tindakan yang cepat
merupakan hambatan untuk melakukan tindakan
pencegahan VAP
5 Adanya supervise dari atasan merupakan faktor pendorong
untuk melakukan tindakan pencegahan VAP
6 Adanya SOP yang ditetapkan dapat sebagai pendorong
untuk melakukan pencegahan VAP
7 Kenutuhan akreditasi rumah sakit atau evaluasi mutu
merupakan faktor pendorong untuk melakukan
pencegahan VAP
8 Kurangnya supervisi dari atasan dapat mempengaruhi
dalam melakukan pencegahan VAP
9 Belum ada pedoman buku dan format khusus menjadi
hambatan untuk melakukan tindakan pencegahan VAP
10 Faktor pengetahuan perawat tentang pentingnya
pencegahan VAP dalam asuhan keperawatan merupakan
faktor pendorong untuk melakukan tindakan pencegahan
VAP
11 Faktor malas merupakan faktor penghambat untuk
melakukan tindakan pencegahan VAP
12 Kondisi pasien yang gawat menjadi faktor penghambat
untuk melakukan tindakan pencegahan VAP
13 Faktor beban kerja merupakan penghambat untuk
melakukan pencegahan VAP
14 Minimnya reward merupakan penghambat untuk
melakukan pencegahan VAP.
15 Kurang informasi dalam pengetahuan terhadap pencegahan
VAP menjadi faktor penghambat tidak melakukan VAPb.

5. KUESIONER INTENSI

Petujuk pengisian
156

Berilah tanda centang (√) pada kotak yang telah disediakan


sesuai dengan jawaban Anda!
Pilihan jawabannya adalah sebagai berikut:
TP = Tidak Pernah
K = Kadang-kadang
SR = Sering
SL = Selalu
No Pertanyaan TP K SR SL
1 Saya berkeinginan untuk melaksanakan VAPb sesuai
dengan format dan pedoman yang berlaku
2 Saya berkeinginan untuk melaksannakan VAPb sesuai
dengan kondisi pasien
3 Saya berniat melaksanakan VAPb untuk meningkatkan
kualitas pelayanan keperawatan
4 Saya berkeinginan untuk melakukan VAPb jika ada
reward yang didapat dari tindakan tersebut
5 Saya berniat untuk melakukan VAPb jika dilakukan
supervisi
6 Saya berkeinginan untuk melakukan VAPb walaupun
pasien banyak
7 Saya berniat rutin menjalani pencegahan VAP pada
pasien dengan ventilator
8 Saya berniat untuk melakukan tindakan pencegahan
VAP sesuai standar yang sudah di tetapkan.
9 Saya berusaha melakukan penilaian sedasi dan SBT
ddengan benar sesuai prosedur
10 Saya yakin bahwa saya dapat melakukan oral hygine
dengan benar sesuai prosedur.

6 KUESIONER KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENCEGAHAN VAP

Petunjuk Pengisian jawaban:


157

a. Beri tanda Check list atau centang (√) pada jawaban yang
sesuai dengan sikap yang anda lakukan. Mohon bantuan
untuk mengerjakan dengan cermat dan teliti.
b. Pilihan SS = Sangat Setuju, S = Setuju, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak
Setuju

NO PERNYATAAN STS TS S SS
1 Saya melakukan cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
tindakan
2 Saya hanya melakukan oral hygine 1 kali dalam sehari
dengan menggunakan betadin.
3 Saya melakukan oral hygine dengan menggunakan sikat
yang lebut
4 Saya melakukan oral hygine setiap 4-6 jam dalam sehari
dengan clorhexsidine 0,2%.
5 Saya hanya memberikan posisi head up 30-45‫ ﹾ‬bila tidak
ada kotra indikasi.
6 Saya melakukan mobilisasi dengan setiap 2 jam
7 Saya melakukan suctioning bila dibutuhkan
8 Sebelum sutionning ujung cateter close sution selula
disuweb dulu dengan alcohol 70%
9 Saya akan memberi label pada sirkuit ventilator dan
humidifer untuk memudahkan kapan waktu penggantian.
10 Saya selalu mengkaji setiap hari sedasi dan ektubasi
11 Setiap melakukan suntioning saya memakai APD
12 Pada hari ke3 saya selalu melakukan pengambilan darah
dan secreat untuk dilakukan kultur.
13 Saya setiap hari melakukan pengisian lembar ventilator
bundle.
14 Saya setiap hari melakukan pencegahan VAP sesuai
dengan SOP.
15 Saya selalu melakukan pengukuran ETT cuff 20-30 mmhg
setiap 8 jam

Lampiran 4
158

SATUAN ACARA PENYULUHAN


PENCEGAHAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DAN
IMPLEMENTASI, PENGISIAN VENTILATOR ASSOCIATED
PNEUMONIA BUNDLE (VAPB)
SATUAN ACARA PENYULUHAN
TOPIK : Pencegahan ventilator associated pneumonia
(VAP) dan implementasi, pengisian
Ventilator associated pneumonia bundle
(VAPb)
SASARAN : Perawat
HARI/TANGGAL :
TEMPAT : RS Haji Surabaya
PELAKSANAAN : Di lakukan dengan pembagian 3 kelompok
PERTEMUAN : Pertemuan ke 1

1. Tujuan
1) Tujuan Instruksional Umum
Setelah dilakukan kegiatan selama 120 menit diharapkan peserta mampu
melakukan dan menjelaskan kembali tentang pencegahan VAP dan VAPb
2) Tujuan Intruksional Khusus
Setelah dilakukan kegiatan selama 45 menit diharapkan peserta manpu:
a. Peserta dapat menjelaskan pengertian VAP dan VAPb.
b. Peserta mengetahui tujuan pencegahan VAP dan VAPb.
c. Peserta mengetahui komponen VAPb
d. Peserta dapat mengimplemetasikan ke pasien
2. Pokok bahasan
VAP dan VAPb
3. Sub pokok bahasan
1) Pengertian VAP dan VAPb
2) Tujuan pencegahan VAP dan VAPb
3) Cara pencegahan VAP
4) Cara mendiagnosa VAP
159

5) Komponen VAPb
4. Langkah-langkah kegiatan
No Tahap waktu kegiatan Kegiatan peserta metode media Media
kegiatan /alat

1 Fase 20 1) Salam pembuka 1) Menjawab salam


orientasi menit
2) Perkenalan 2) Mendengarkan
3) Penjelasan topik 3) Mendengarkan
4) Penjelasan 4) Mendengarkan
TIUdan TIK
5) Mendengarkan
5) Apersepsi
(mengali sejauh 6) Mengemukakan
mana pengetuan jawaban
dan pemahaman 7) mendengarkan
responden terkait
VAP dan VAPb
materi (manfaat
dan alasan)
6) Kontrak waktu

2 Fase kerja 80 1) Pengertian VAP 1) Mendengarkan diskusi Power Laptop dan


menit dan VAPb point proyektor
2) menanyakan
2) Tujuan
pencegahan VAP
dan VAPb
3) Cara pencegahan
VAP
4) Cara mendiagnosa
VAP
5) Komponen VAPb
(Manfaat
kelengkapan
dokumentasi)
6) Demotrasi VAPb
dan pengisian
VAPb

3 Fase 20 1) mengevaluasi 1) mendengarkan


terminasi menit dan
2) menyimpulkan mengemukakan
materi jawaban
3) salam penutup 2) mendengarkan
3) menjawab salam

5. Metode evaluasi
160

a. Metode evaluasi: tanya jawab

b. Jenis evaluasi: implementasi dan pengisian VAPb

6. Evaluasi

Evaluasi keteptan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan


peserta, keterlibatan peserta dan proses pelaksanaan keinginan secara
keseluruhan.

MATERI
PENCEGAHAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DAN
IMPLEMENTASI, PENGISIAN VENTILATOR ASSOCIATED
PNEUMONIA BUNDLE (VAPb)
Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) sampai sekarang masih menjadi
masalah perawatan kesehatan seluruh dunia. VAP menjadi penyebab kematian
tertinggi mencapai 20-30% dengan angka mortalitas 0-50% (Maqbool et al., 2017).
Dampaknya Length of Stay (LOS) pasien dengan VAP menjadi 4-19 hari dan biaya
rumah sakit meningkat menjadi $40.000-57.000 (Yazdani et al., 2015). Kejadian
VAP setiap tahun di RS Haji Surabaya masih ada, seharusnya kejadian VAP
menunjukkan data <5‰ dari standar yang ditetapkan.
1. Pengertian
Ventilator-associated pneumonia (VAP) berdasarkan Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) adalah pneumonia yang terjadi setelah
pemasangan intubasi endotrakea lebih dari 48-72 jam adanya infiltrat baru atau
persisten pada gambaran radiologi; demam >38,5◦C; leukositosis atau
leukopenia; hasil kultur aspirasi endotrakea positif. VAP merupakan salah satu
bagian dari Hospital acquired pneumonia (HAP) (Permenkes No 27, 2017)
Ventilator-associated pneumonia bundle (VAPb) merupakan kumpulan
Evidence Based Practise yang diimplementasikan secara bersama-sama
sehingga dihasilkan penurunan insiden VAP.
2. Etiologi
VAP banyak disebabkan karena pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau
tracheostomy setelah 48 jam pemakaian ventilator mekanik (Permenkes No 27,
2017) Kejadian VAP meningkat seiring dengan peningkatan durasi penggunaan
161

VM. Estimasi insiden adalah sebanyak 3% perhari selama 5 hari pertama, 2%


perhari selama 6-10 hari, dan 1% perhari setelah 10 hari (Kalanuria et al., 2014a).
3. Tujuan VAPb :
1) Mengurangi kematian
2) Mengurangi morbiditas
3) Mengurangi komlikasi
4) Mengurangi lama tinggal (hari perawatan)
5) Biaya lebih rendah
4. Klasifikasi
1) Onset awal (Early onset)):
VAP yang terjadi dalam 48-96 jam setelah intubasi. Hal ini biasanya berhubungan
dengan antibiotik spesies yang rentan.
2) Onset Akhir(Late-onset):
VAP yang terjadi lebih dari 96 jam setelah intubasi. Hal ini biasanya berhubungan
dengan organisme yang resisten multi drug resistant (MDR) (Rawal et al.,
2018)
5. Mekanisme VAP
VAP sebagian besar berasal dari aspirasi organisme orofaring ke bronkus
distal. Organisme tersebut membentuk biofilm oleh bakteri diikuti dengan
proliferasi dan invasi bakteri pada parenkim paru. Pada keadaan normal,
organisme di dalam rongga mulut dan orofaring didominasi oleh Streptococcus
viridans, Haemophilus species dan organisme anaerob. Adanya air liur yang
mengandung immunoglobulin dan fibronectin menjaga keseimbangan
organisme rongga mulut, sehingga jarang didapatkan basil gram negatif arobik.
Organisme yang dominan di dalam rongga mulut yaitu basil gram negatif
aerobik dan Staphylococcus aureus (Kalanuria et al., 2014b).
Terpasangnya ETT akan menjadi jalan masuk bakteri secara langsung
menuju saluran nafas bagian bawah. Hal ini akan mengakibatkan adanya
bahaya antara saluran nafas bagian atas dan trakea, yaitu terbukanya saluran
nafas bagian atas dan tersedianya jalan masuk bakteri secara langsung. Karena
terbukanya saluran nafas bagian atas akan terjadi penurunan kemampuan tubuh
untuk menyaring dan menghangatkan udara. Sekret dalam saluran nafas akan
162

tergenang dan menjadi media untuk pertumbuhan bakteri (Rahman, Huriani, &
Julita, 2017).

6. Pencegahan dan penatalaksanaan VAP

Profilaksis stress Pasien terpasang Adequate


ulkus ulcer ETT dan Ventilator sterillisation
Mencegah dan cleaning
distensi lambung Mengurangi Mengurangi Clean sution
Oral hygine kolonisasi kontaminasi perawat
secara teratur
di peralatan Keeping a
3/2x perhari orofaringeal ventilator closed circuit
Suction sesuai Empaty
kebutuhan Tidak ada condensatio
Oral haygine VAP n from vent
dengan cicuits
clorhecxcidine Universal
0.12% Menguran Mengurangi precaution
Head up gi aspirasi lama Cuci tangan
kepala tempat pemakian Inline suction
tidur 30-45 ⸰
Mengukur Penilaian harian Penilaian harian
tekanan cuff whining ventilator penyapihan sedasi
secara teratur
Hindari re-
intubasi

1. Pencegahan nonfarmakologi lebih murah untuk dilaksanakan bila diban


dingkan dengan pencegahan secara farmakologi meliputi, menghindari
intubasi trakea, penggunaan VM sesingkat mungkin, pembagian kerja tim
perawat dan dokter, subglottic suctioning, intubasi nonnasal, menghindari
manipulasi yang tidak perlu pada sirkuit ventilator, dan pemakaian desinfektan
serta mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien.
2. Pencegahan farmakologi meliputi dekolonisasi traktus aerodigestif,
pencegahan pembentukan biofilm kuman, dan menghindari penggunaan
profilaksis stress ulcer secara berlebihan.
163

7. Diagnose vap
Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)
Komponen Nilai Skor

1. Suhu (° Celsius) 4) 36,5-38,4 ° C 0


5) 38,5-38,9 ° C 1
6) ≤ 36 atau ≥ 39 ° C 2

0
2. Leukosit dalam darah (sel / mm 4) 4,000-11,000 / mm 3 1
3) 5) <4.000 atau> 11.000 / mm 3 2
6) ≥ 500 Band cell
0
1
3. Sekresi trakea (skala visual
4) Ketiadaan sekresi
yang subjektif) 2
5) Adanya sekresi trakea non purulen
6) Adanya sekresi trakea purulent
0
4) Tidak ada infiltrat 1
5) Bercak atau infiltrat diffus 2
4. Foto Thorax (pada radiografi
dada, tidak termasuk CHF dan 6) Infiltrate local
ARDS) 0

5. Hasil kultur (endotrakeal 4) Tidak ada atau pertumbuhan 1


aspirasi) ringan
5) sedang atau ada pertumbuhan 2
kuman
6) Pertumbuhan kuman sedang dan
ada patogen konsisten dengan 0
2
pewarnaan Gram

6. Oxygenation status 3) 240 ARDS


(PaO2:FiO2) 4) ≤ 240 tidak adanya ARDS

Diagnosis VAP ditegakkan setelah menyingkirkan adanya pneumonia


sebelumnya, terutama pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia).
Bila dari awal pasien masuk ICU sudah menunjukkan gejala klinis pneumonia maka
diagnosis VAP disingkirkan, namun jika gejala klinis dan biakan kuman didapatkan
setelah 48 jam dengan ventilasi mekanik serta nilai total CPIS > atau = 6, maka
diagnosis VAP dapat ditegakkan, jika nilai total CPIS <6 maka diagnosis VAP
disingkirkan Spesifisitas diagnosis klinis dapat ditingkatkan dengan menghitung
Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) yang menggabungkan data klinis,
laboratorium, perbandingan tekanan oksigen dengan fraksi oksigen (PaO2/FiO2)
164

dan foto toraks. Skor <6 menyingkirkan diagnosis VAP sedangkan skor lebih tinggi
mengindikasikan kecurigaan VAP. CPIS menggunakan penilaian VAP dengan
menggunakan Clinical Pulmonary Infection Score dapat di lihat di tabel diatas.

8. Ventilator associated pneumonia bundle (VAPb)


Permenkes RI nomor 27 tahun 2017 tentang pedoman pencegahan dan pengendalian
infeksi. VAP bundle yaitu:

1. Cuci Tangan:
Membersikan tangan setiap akan melakukan kegiatan terhadap pasien yaitu
dengan menggunakan lima momen kebersihan tangan. kebersihan tangan adalah
mencegah agar tidak terjadi infeksi, kolonisasi pada pasien dan mencegah
kontaminasi dari pasien ke lingkungan termasuk lingkungan kerja petugas.
2. Elevasi kepala tempat tidur (30 -45 derajat)
Perawatan pasien terpasang VM dalam posisi semi-berbaring bertujuan
untuk mencegah aspirasi isi lambung (Hellyer, Ewan, Wilson, & Simpson,
2016).
3. oral hygiene
Menjaga kebersihan mulut atau oral hygiene setiap 2-4 jam dengan
menggunakan bahan dasar anti septik clorhexidine 0,02% dan dilakukan gosok
gigi setiap 12 jam untuk mencegah timbulnya flaque pada gigi karena flaque
merupakan media tumbuh kembang bakteri patogen yang pada akhirnya akan
masuk ke dalam paru pasien.
4. Manajemen sekresi oroparingeal dan trakeal yaitu:
Suctioning bila dibutuhkan saja dengan memperhatikan teknik aseptik bila
harus melakukan tindakan tersebut
1) Petugas yang melakukan suctioning pada pasien yang terpasang ventilator
menggunakan alat pelindung diri (APD).
2) Gunakan kateter suction sekali pakai.
3) Tidak sering membuka selang/tubing ventilator.
4) Perhatikan kelembaban pada humidifire ventilator.
5) Tubing ventilator diganti bila kotor.
165

5. Melakukan pengkajian setiap hari sedasi dan extubasi:


Melakukan pengkajian penggunaan obat sedasi dan dosis obat tersebut.
Melakukan pengkajian secara rutin akan respon pasien terhadap penggunaan obat sedasi
tersebut. Bangunkan pasien setiap hari dan menilai responnya untuk melihat
apakah sudah dapat dilakukan penyapihan modus pemberian ventilasi.
6. Peptic ulcer disease Prophylaxis diberikan pada pasien-pasien dengan risiko
tinggi.
7. Berikan Deep Vein Trombosis (DVT Prophylaxis).

9. Tujuan Pengisian VAPb


1) Pelaporan dengan kualitas yang baik akan meningkatkan keselamatan
pasien selama menjalani perawatan di rumah saki sekaligus dapat
menurunkan kejadian HAIs terutama kejadian VAP
2) VAPb harus terisi dengan lengkap karena data yang terdapat didalamnya
sangat berguna bagi keberlangsungan program surveilans VAP yang
dilaksanakan oleh komite pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) di
RS Haji Surabaya.
3) Pengisian VAPb menjadi dasar untuk mengontrol dan menganalisa risiko
pasien yang mengalami VAP. Apa bila pengisian VAPb tidak terisi
dengan lengkap maka evaluasi tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan
akurat,sehingga perlu dilakukan analisis yang meliputi keberadaan SOP
pengisian dan kelengkapan VAPb di RS Haji Surabaya.

10. Komponen Ventilator associated pneumonia bundle (VAPb)


A. Cuci tangan (Hand Haygine)
Salah satu cara untuk mencegah kontaminasi silang dari mikrorganisme sehingga
dapat menurunkan dan mencegah insiden kejadian infeksi nosocomial
1) Tujuan cuci tangan
a. Cuci tangan dilakukan secara rutin dalam perawatan pasien
ialah untuk menghilangkan kotoran dan bahan organik serta
kontaminasi mikroba dari kontak dengan pasien atau
lingkungan (WHO, 2009).
166

b. Kebersihan tangan tenaga kesehatan sangat membantu


pencegahan penularan kuman berbahaya dan mencegah infeksi
terkait perawatan kesehatan. Hal ini dikarenakan tangan adalah
jalur utama penularan kuman selama perawatan pasien (Pratami,
dkk., 2012).
2) WHO (2009) menetapkan indikasi five moments hand hygiene yang
dimaksud meliputi:
(1) Sebelum menyentuh pasien
(2) Sebelum prosedur aseptic
(3) Setelah terkena cairan tubuh pasien
(4) Setelah kontak dengan pasien
(5) Setelah kontak di lingkungan pasien

3) Handrub dilakukan selama 20-30 detik sedangkan handwash 40-60


detik.5 kali melakukan handrub sebaiknya diselingi 1 kali handwash
4) WHO (2009) menyatakan 6 langkah prosedur hand hygiene yaitu:
1. Ratakan sabun dengan kedua telapak tangan
167

2. Gosokan punggung dan sela-sela jari tangan dengan tangan


kanan dan sebaliknya.
3. Gosokan kedua telapak tangan dan sela-sela jari.
4. Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci.
5. Kemudian gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman
tangan kanan dan lakukan sebaliknya.
6. Gosok dengan memutar ujung jari ditelapak tangan kiri dan
sebaliknya.

B. Head up 30-45 derajat


Elevasi tempat tidur (head of bed up to 30-45 degree). Pasien dalam
kondisi kritis dengan penggunaan ventilator mekanik disertai dengan
feeding tube berisiko tinggi mengalami aspirasi isi gaster. Elevasi kepala
atau di kenal dengan Head of The Bed (HOB) merupakan salah satu langkah
VAPb yang dianjurkan oleh The Institute for Healthcare Improvement (IHI)
adalah 30-45 derajat. Aspirasi dapat di definisikan sebagai akibat inhalasi
dari secret oropharyngeal atau inhalasi dari gaster kedalam saluran
pernapasan.
Factor risiko terjadi aspirasi adalah karena kondisi penurunan
kesadaran peningkatan gastrointestinal refluk, intubasi trakea, penggunaan
gastrik tube dan isi perut yang penuh. Elevasi kepala dapat mempengaruhi
penurunan angka kejadian VAP yaitu dengan cara mengurang risiko aspirasi
gastrointestinal atau oropharyngeal, dan sekresi nasopharyngeal.
168

C. Penilaian Kesiapan Untuk Tindakan Wining Dan Extubasi


PERDICI 2017 Penyapihan(wining) di artikan sebagai proses secara bertahap
untuk lepas dari alat bantu pernapasan atau VM (ventilator mekanik).
1. Tujuannya:
1) Menghidari kolonisasi dan masuknya bakteri langsung ke paru-paru dan
mengurangi panjang pemakaian VM.
2) Mengembalikan kerja pernafasan pasien dari VM ke pasien.
3) Mengevaluasi kesiapan dari pasien untuk percobaan wining dan perkiraan
keberhasilan wining
2. Manejemen kesiapan untuk tindakan winning dan extubasi
1) Sebelum melakukan Spontaneous Breathing Trials SBT harus dipastikan
apakah penderita siap untuk dilakukan proses penyapihan anara lain
(1) Penilaian tingkat kesadaran yang dikenal dengan pendekatan Wake Up
and Breathe Protocol (Spontaneous Awakening Trials + Spontaneous
Breathing Trials).
169

(2) Rapid Shallow Breathing Index (RSBI) yaitu perbandingan antara


frekuensi pernapasan dan tidal volume perliter, apabila RSBI < 100 – 104
kali /menit/L maka kemungkinan SBT akan berhasil.
(3) Marik P menggabungkan antara RSBI dan minute volume (tidal volume
x frekuensi pernapasan) untuk meramalkan keberhasilan SBT, apabila
RSBI < 104 dan minute volume < 10 l/menit maka keberhasilan SBT akan
semakin tinggi.
1) Tanpa bantuan tekanan inspirasi (T piece atau CPAP ≈ 5
cmH20)
2) Dengan bantuan tekanan inspirasi (Pressure support 5 - 8 cmH20 atau
automatic tube compentation)
170

Kreteria SAT Kreteria SAT aman (+)


aman
(+) Tidak ada kejang aktif
Tidak ada widrowel alkhohol
Tidak ada paralitik
Tidak ada iskemic miocard
Kreteria indikasi aktif
penyapihan SAT Tekanan intracranial normal
aman (+)
Kreteria SAT gagal (-)

obat penenang
Restart di 1/2 Gelisah, agitasi dan kesakitan
dosis Respirasi rate>36x/menit
Oksigen saturasi <88%
Distress pernapasan
Acut aritmia
Kreteria
penyapihan SBT
aman (+) Kreteria SBT aman (+)

Tidak ada agitasi


Oksigen saturasi ≥ 88%
FIO2 ≤50%
kreteria SBT PEEP ≤7,5cm H2O
aman(+) Tidak ada iskemic jantung
Tidak ada pengunaan
vasopressor
Upaya inspirasi (nafas
Dukungan spontan)
penuh ventilator
Kreteria SBT gagal (-)

Pertimbangkan
untuk ektubasi Respirasi rate 36x/menit
Pernapasan rate <8x/menit
Oksigen saturasi <88%
Pernapasan distress
Akut aritmia
Perubahan tingkat
kesadaran
171

D. Penilaian harian penyapihan sedasi


Richmond Agitation and Sedation Scale (RASS)

Skor Terminologi Keterangan


+4 Combative Sangat melawan, tidak terkendali, membahayakan
(Agresif) petugas
+3 Very Agitated Menarik atau melepas selang atau kateter, agresif
(sangat gelisah)
+2 Agitated Gerakan berulang tanpa tujuan, melawan ventilator
(agitasi)
+1 Restless Gelisah tetapi gerakan tidak agresif berlebihan
(gelisah)
0 Alert & Calm Terjaga dan tenang
(sadar dan tenang)
-1 Drowsy Tidak sepenuhnya terjaga, tetapi terbangun perlahan
(mengantuk) (>10 detik), dengan kontak mata, terhadap suara
-2 Light Sedation Terbangun (<10 detik), dengan kontak mata, terhadap
(sedasi ringan) suara
-3 Moderate Sedation Ada gerakan (tetapi tidak ada kontak mata) terhadap
(sedasi sedang) suara
-4 Deep sedation Tidak ada respon terhadap suara, tetapi ada gerakan
(sedasi dalam) dengan stimulus fisik
-5 Unarousable Tidak ada respon terhadap suara atau stimulus fisik
(tidak dapat
dibangunkan)
Pemakaian obat sedasi yang terlalu lama berdampak pada
ketidakmampuan pasien bernapas secara spontan, hal ini dikarenakan obat
sedasi menyebabkan kelemahan pada otot dan saluran nafas sehingga berakibat
172

hilangnya kemampuan membatukkan secara alami. Keadaan ini menjadi media


bagi kuman untuk membentuk koloni dan berkembang dengan memproduksi
sputum dijalan nafas (Sugiyono, 2012).
CPSI (2015) menyatakan bahwa perlu adanya pengkajian sedasi dan
ekstubasi pada pasien terpasang ventilator setiap harinya untuk mencegah
VAP. Pengkajian setiap hari ini meliputi indikasi pemberian sedasi,
pengurangan dosis sedasi setiap hari, penilaian rutin terhadap respons terapi
dan membangunkan pasien setiap hari kecuali kontraindikasi terhadap
penggunaan obat-obat penenang (sedasi), anti nyeri (analgetik) dan pelumpuh
otot (relaxan) dan kesiapan untuk ekstubasi. Ekstubasi yang tidak terencana
meningkatkan risiko VAP karena tidak dilakukan penilaian kesiapan ekstubasi
dan evaluasi obat sedatif Penilaian sedasi di ICU menggunakan Richmond
Agitation Sedation Scale (RASS).
Richmond Agitation Seation Scale RASS terdiri dari 10 poin skala
terdiri dari skala agitasi (+ 1 sampai +4) dan kesadaran (skala -1 sampai -5)
serta skala 0 untuk sadar baik. Sedasi dalam diukur dengan 2 tahap yaitu tes
respon terhadap instruksi verbal seperti buka mata dan diikuti tes respon
kognitif seperti penderita dapat fokus melihat mata pemberi perintah. Skala
pengukuran tersebut memiliki korelasi yang baik dengan proses
elektroensefalografi, sama baiknya dengan akselerasi dan gerakan ekstremitas
seperti tabel di bawah ini:

Prosedur Penilaian RASS (lihat tabel diatas)


1. Lakukan observasi perilaku penderita (untuk memberikan nilai +4 hingga 0
sesuai dengan skala RASS
(1) Bila penderita terlihat sangat melawan, berikan nilai +4
(2) Bila terlihat agresif, berikan nilai +3
(3) Bila melakukan gerakan tidak bertujuan, berikan nilai +2
(4) Bila terlihat gelisah tapi tidak agresif, berikan nilai +1
(5) Bila terlihat tenang dan terjaga, berikan nilai 0
2. Dilanjutkan (jika perlu) dengan penilaian respon verbal dengan cara memanggil
penderita;
173

(1) Penderita terbangun dengan mata membuka > 10 detik, dan menatapi yang
bicara (nilai -1)
(2) Penderita terbangun, membuka mata dan menatap yang bicara tetapi tak
bertahan lama < 10 detik (nilai -2)
(3) Penderita bergerak merespons terhadap stimulus suara tetapi tanpa kontak
mata (nilai -3)
3. Dilanjutkan dengan penilaian respon terhadap stimulus fisik (jika tidak ada
respons terhadap stimulasi verbal) seperti menggoyang bahu atau menekan
sternum jika tidak ada respon terhadap mengguncang bahu;
(1) Penderita bergerak merespons stimulasi fisik (skor -4)
(2) Penderita tidak respons terhadap stimulus apapun (Skor -5.
E. Profilaksisi ulkus peptikum (PUD)
Menerapkan profilaksis peptikum merupakan intervensi penting pada
pasien kritis. Ulserasi dapat meningkatkan risiko nosokomial pneumonia.
Penyebab PUD adalah agen yang meningkatkan pH lambung dan dapat
meningkatkan pertumbuhan bakteri di perut, terutama basil gram negatif yang
berasal dari duodenum. Refluks isi lambung dan sekresi dapat terjadi pada
orang sehat, begitu pula pada pasien berventilasi dalam keadaan kritis akan
lebih rentan terhadap kejadian aspirasi. Lebih buruknya lagi, saat pasien kritis
terintubasi pasien tentu tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan
jalan napas mereka. Refluks esofagus dan aspirasi isi lambung pada
pengggunaan pipa endotrakeal dapat menyebabkan kolonisasi endobronkial
dan pneumonia.
F. Oral haygine dengan clorexidine 2 kali perhari
Plak gigi dapat menjadi reservoir yang berpotensi untuk kolonisasi bakteri
patogen pernafasan yang dapat menyebabkan VAP. Biofilm plak pada gigi yang
dikolonisasi oleh bakteri patogen yang berasal dari saluran pernafasan pada
pasien ventilasi mekanik. Plak gigi berkembang pada pasien yang menggunakan
ventilasi mekanik karena kurangnya gerakan mengunyah dan produksi saliva
yang menurun, padahal saliva mempunyai peran untuk dapat meminimalkan
munculnya biofilm pada gigi.
174

Oral haygine, direkomendasikan oleh The Institute for Healthcare


Improvement (IHI),Antiseptik chlorhexidine telah lama disetujui sebagai
penghambat pembentukan plak gigi dan radang gusi.

G. Mobilisasi dini (Early mobilization)


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Pneumonia di Indonesia tahun 2003 juga mengatakan bahwa
mobilisasi dini dapat mencegah infeksi nosokomial pneumonia dengan tujuan
mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien. Pasien yang diposisikan supine dan
immobility akan menimbulkan reflek batuk, otot mucosilliary, dan drainage
tidak bekerja dengan baik sehingga beresiko lebih tinggi terkena infeksi
nosokomial pneumonia. Selain itu pasien yang tidak dilakukan early
mobilization akan terjadi kelemahan otot termasuk otot pernapasan sehingga
proses weaning off of ventilation akan ditunda dan beresiko terjadi VAP
(Kathleen, 2010).
Early mobilization dilakukan sesuai dengan kondisi pasien secara
berangsur-angsur dan bertahap, misalnya pasien kritis yang bed rest total dan
kondisi tidak stabil bisa dilakukan positioning side to side tiap 2 jam tergantung
kondisi pasien atau dilakukan gerakan Range of Motion (ROM). Positioning
side to side selain untuk mencegah dekubitus juga sangat efektif untuk
meningkatkan proses pengeluaran sekret bronchial dengan dasar efek gravitasi.
Hal ini menstimulus sekret untuk berpindah dari satu atau lebih segmen paru
ke jalan napas dimana sekret dapat keluar dengan sendirinya melalui mulut,
dengan reflek batuk atau dengan aspirasi mekanik (Kathleen, 2010).
Range of Motion ROM pasif dapat meningkatkan kekuatan otot pasien
dan secara psikologis juga dapat memotivasi pasien untuk meningkatkan otot
pernapasan diafragma sehingga pernapasan bisa adekuat dan proses weaning
off of ventilator dapat lebih cepat dan resiko terjadi pneumonia dapat
diminimalkan. Seperti halnya pada pasien dengan atelektasis juga dilatih napas
dalam dan batuk efektif supaya otot pernapasannya dapat kuat serta pasien
tidak kelelahan karena batuk yang tdak efektif. Cara tersebut menjadikan
175

expansi paru akan optimal, bersihan jalan napas adekuat, sekret dapat keluar
dan tidak terjadi penumpukan sekret bronchial di paru sehingga dapat
mencegah atau meminimalkan koloni bakteri pathogen penyebab pneumonia.
Early mobility ini dilakukan dengan melihat kondisi pasien, pasien yang
kondisi atau vital signnya tidak stabil, ditunda untuk dilakukan early
mobility karena dapat meningkatkan metabolisme tubuh sehingga menambah
beban kerja jantung.

H. Suction
Tindakan suction merupakan suatu prosedur penghisapan lendir, yang
dilakukan dengan memasukkan selang kateter suction melalui selang
endotrakeal selang kateter suction yang digunakan ada 2 tipe yaitu close suction
system (CSS) dan open suction system (OSS).
Penggunaan CSS digunakan pada pasien yang terpasang ETT atau VM terutama dalam
pencegahan hipoximea dan infeksi nasokomial. Open suction digunakan satu
kali pemakian.

I. Deep Vain Throbosis (DVT) prophylaxis (Profilaksis DVT)


Deep Vain Throbosis (DVT) prophylaxis merupakan penggumpalan darah
yang terjadi di pembuluh balik (vena) sebelah dalam. Terhambatnya aliran
pembuluh balik merupakan penyebab yang sering mengawali DVT.
Penyebabnya dapat berupa penyakit pada jantung, infeksi, atau imobilisasi
lama dari anggota gerak pencegahan dan pengobatan dilakukan denga cara (1)
farmakologi pemberian Obat-obatan yang digunakan untuk trombo profilaksis
adalah Unfractionated Heparin (UFH), Low Molecular Weight Heparin
(LMWH), fondaparinux. Pada pasien yang tidak ada kontraindikasi. (2) TIdak
dengan farmakologi graduated compression stockings, pneumatic compression
devices, Early mobilization.
176

PROGRESSIVE MOBILITY PROTOCOL

Step 1- screening keamanan

Evalu Pasien harus memenuhi semua kreteria


asi
M- Myocardial stabil
(jantung stabil)
Tidak ada akut iskemic miocard x 24 jam Evaluasi
Tidak ada aritmia /penyebab aritmia yang
baru x24 jam
ulang
O- Oksigenasi baik dalam 24
jam
FIO2 ≤ 60 %
PEEP ≤n10 cmH2O
V- Vasopresor minimal
Tidal ada kenakan vasopressor x2jam
E- Engages to voice
(respon verbal baik)
Psien merespon stimulasi verbal

Step 2- Progresive mobilisasi

Lengan
mampu
Kaki mampu bergerak
bergerak melawan
melawan
gravitasi
177

J. Mengukur tekanan cuff ETT 20-30 cm H2O


Tekanan cuff ETT harus diukur segera setelah tindakan intubasi
dilakukan. Tekanan yang ideal antara 20 cmH2O - 25 cmH2O. Tekanan
dibawah 20 cm H2O akan menyebabkan risiko aspirasi dan kebocoran
oksigen, ventilator associated pneumonia (VAP). Tekanan diatas 30
cmH2O terjadinya iskemik trakea, obstruksi ETT, kerusakan dinding trakea
(Sole et al, 2011). Pengembangan cuff ETT yang kurang akan
mengakibatkan kebocoran dan masuknya udara ke lambung atau aspirasi
dari cairan lambung menuju jalan nafas dan ke paru- paru (Sundana, 2008).
Tekanan cuff ETT harus dipertahankan untuk mencegah sekresi yang
terakumulasi di atas cuff masuk atau aspirasi karena refluks cairan
gastrointestinal dengan dilakukan gangguan fungsi sfingter gastroesofageal
akibat pemasangan pipa nasogatrik atau orogastrik. Micro-aspirasi dapat
dikurangi dengan mempertahankan tekanan cuff ETT antara 20 - 30
cmH2O. Tekanan cuff harus diperiksa dan disesuaikan sekitar 25 cmH2O,
setiap 6 jam (Setiyawan1, 2018).
178
179

Lampiran 5 ceklist monitoring pencegahan ventilator associated pneumonia (VAP)


CEKLIST MONITORING PENCEGAHAN VENTILATOR ASSOCIATED
PNEUMONIA (VAP)
FORM DI ISI OLEH KEPALA TIM SETIAP HARI

Ruang: Tgl MRS:


Bulan/Tahun: Diagnosa:
N Komponen TANGGAL
o Beri tanda √ bila dilakukan, tanda – bila tidak dilakukan

Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tid


1 Hand hygynie
2 Posisi kepala 30֠-45֠
3 Oral hygine dengan
chlorhexidine 0.2% setiap 2-
3x/hari dan sikat yang lembut
4 Pengunaan APD saat suction
5 Sebelum suction melakukan
desinfeksi (alkhohol 70 %)
pada ujung conektor suction
6 Menggunakan kateter suction
sekali pakai
7 Menggunakan close suction
8 Mengukur tekanan cuff 3x/hari
tekanan 20-30 mmhg
9 Pengkajian sedasi dan ektubasi
1 Dekotaminasi peralatan:
• Segera buang cairan
kondensasi
• Ganti sirkuit ventilator
jika kotor (sesuai
pengaturan alat)
• Saat intubasi
laryngoscope di
alkohollise
• Saat pemasangan tubing
ventilator dilakukan
dengan steril.
• Tidak sering membuka
selang /tubing ventilator
• Kebersihan lingkungan
pasien
1 Penggunaan propilaktik DVT
180

1 Penggunaan propilaktik peptic


ulcer
1 Exercise dan mobilisasi
• Setiap 2 jam
• Setiap 4 jam
1 Nebulizer

PARAF PETUGAS

Surabaya…………………….
Mengetahui,
Kepala ruangan

(…………………………..) (…………
181

Lampiran 6 bundle ventilator


FORMULIR MONITORING PASIEN TERPASANG VENTILATOR
FORM DI ISI OLEH PJ PASIEN SETIAP HARI
Ruang: Tgl MRS:
Bulan/Tahun: Diagnosa:
Ventilator Bundle Prevention Cheklist Tanggal
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Beri tanda √ bila dilak


dilakukan
Intubasi
Ekstubasi
Cuci tangan sesuai enam langkah dan 5 moment
Oral Hygiene dengan cholorexidien 2-3 x/hari
Head up 30-45° (kecuali ada kontraindikasi)
Ganti tubing sesuai program
Profilaktik Peptic ulcer
Profilatik Deep Vein Thrombosis (DVT)(mobilisasi)
Monitoring tekanan cuff ETT 3x/hari
Penilaian sedasi
Penilaian kesiapan untuk tindakan wining (penyapihan)
VENTILATOR ASSOCIATED EVENT
VAC PEEP min (cmH2O) & FIO2 min (%) kriteria Beri tanda √ pada item ya
Nilai PEEP min (tulis angka terendah harian)
Nilai FIO2 min (tulis angka terendah harian)
Selama 2 hari atau lebih nilai PEEP min atau FIO2 min harian stabil atau
turun (disebut periode stabil)
Setelah periode stabil, nilai PEEP min naik ≥ 3 A
cmH2O atau FIO2 min naik ≥ 20% dari nilai PEEP min
pada periode stabil
IVAC TEMPERATUR
36-38◦c
> 38◦c B
< 38◦c
LEUKOSIT
4000-11.999/mm3
≥ 12.000/ mm3 C
≤4000/ mm3
ANTIBIOTIKA YANG DIBERIKAN
diberikan
Nama Ab 1:.........................................
Nama Ab 2:.........................................
Nama Ab 3: .........................................
SEKRESI TRACHEA/SPUTUM
VAP Tidak ada / ada non purulent
Ada, purulent D
HASIL PEMERIKSAAN KULTUR SPUTUM
Tidak ada pertumbuhan kuman (tumbuh yeast/candida)
Ada pertumbuhan kuman selain yeast/candida E1
Tumbuh kuman selain yeast/candida dengan jumlah ≥ E2
105CFU/ml
Terdapat hasil foto thorax infiltrate baru, menetap atau meluas
Total kreteria
182

Keterangan:
VAC (Ventilator Associated Condition): bila memenuhi kriteria A Bila pasien menggunakan ventilator l
IVAC (Infection-related Ventilator-Associated Complication): surveilans VAE sesuai kondisi harian pasi
VAC+kriteria B dan C+ antbiotika baru prevention yang dilakukan. Observasi ha
Possible VAP (ventilator Associated Pneumonia): untuk mengetahui secara pasti hari ke
IVAC+Kriteria D atau E1 mengalami pneumonia akibat ventilator da
Probable VAP: IVAC+kriteria E2 setiap pasien terpasang ventilator. sebelu
harap kolom total hari pemasangan di
pemasangan menjadi denominator penghitu
data tambahan, tulis data dibagian keteran
nama kuman, hasil kultur dan sensitifitasnya
183

Lampiran 7 lembar observasi ruang ICU RSU Haji


184

Lampiran 8 SOP pasien terpasang ventilator mekanik


185

Lampiran 9 permohonan survey pengambilan data awal

Anda mungkin juga menyukai