Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Keperawatan

Volume 13 Nomor 3, September 2021


e-ISSN 2549-8118; p-ISSN 2085-1049
http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan

SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) BERPENGARUH


TERHADAP KECEMASAN DAN MOTIVASI SEMBUH PASIEN COVID-19
Mardiah Fajar Kurnianingsih1, Ima Nahdatien2, Chilyatiz Zahro3
1
Program Studi Magister Terapan Keperawatan, Fakultas Keperawatan dan Kebidanan, Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya, Jl. SMEA No. 57 Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
2
Fakultas Keperawatan dan Kebidanan, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, Jl. SMEA No. 57 Surabaya,
Jawa Timur, Indonesia
*mardiahfajar002.mk19@student.unusa.ac.id

ABSTRAK
COVID-19 dapat mempengaruhi aspek sosial, psikologis serta kesehatan fisik. Kecemasan pada
pasien COVID-19 dapat mengakibatkan terjadinya perubahan psikologis yang serius, termasuk
ketakutan akan kematian dan depresi. Motivasi yang dimiliki oleh seorang pasien COVID-19
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan dan
perawatan. Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) adalah terapi yang menggunakan unsur
spiritual untuk mengurangi masalah psikologis dan fisik yang disebabkan oleh emosional atau
psikosomatik. Tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh SEFT terhadap kecemasan dan motivasi
sembuh pasien COVID-19. Penelitian menggunakan True Experiment dengan pendekatan Pre-Post
test control grup design. Populasi penelitian adalah pasien COVID-19 di Rumah Karantina Kota
Probolinggo. Pengambilan sampel dengan teknik simple random sampling dengan total responden 68
pasien. Intervensi SEFT dilakukan 5 kali selama 5 hari. Alat ukur kecemasan menggunakan HARS
dan tingkat motivasi sembuh menggunakan kuisioner motivasi sembuh. Analisa data menggunakan
Uji Wilcoxon dan Mann Whitney. Terdapat perbedaan tingkat kecemasan (p 0,000) dan motivasi
sembuh (p 0,000) setelah dilakukan intervensi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) pada
pasien COVID-19 di Rumah Karantina Kota Probolinggo. Spiritual Emotional Freedom Technique
(SEFT) dapat menurunkan tingkat kecemasan dan meningkatkan motivasi sembuh pasien COVID-19.

Kata kunci: COVID-19; EFT; kecemasan, motivasi sembuh; SEFT

SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) EFFECTS ON ANXIETY


AND MOTIVATION TO HAVE COVID-19 PATIENTS

ABSTRACT
COVID-19 can affect social, psychological and physical health aspects. Anxiety in COVID-19 patients
can lead to serious psychological changes, including fear of death and depression. The motivation of a
COVID-19 patient is one of the factors that affect patient compliance in undergoing treatment and
care. Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) is a therapy that uses spiritual elements to
reduce psychological and physical problems caused by emotional or psychosomatic causes. The
purpose of this study was to analyze the effect of SEFT on anxiety and motivation to recover from
COVID-19 patients. This research uses True Experiment with Pre-Post test control group design
approach. The study population was COVID-19 patients at the Probolinggo City Quarantine House.
Sampling using simple random sampling technique with a total of 68 patients as respondents. The
SEFT intervention was performed 5 times for 5 days. Anxiety measuring instrument using HARS and
motivation to recover using a motivation questionnaire to recover. Data analysis using Wilcoxon and
Mann Whitney Test.There is a difference in the level of anxiety (p 0.000) and motivation to recover (p
0.000) after the Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) intervention in COVID-19 patients at
the Probolinggo City Quarantine House. Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) can reduce
anxiety levels and increase motivation to recover from COVID-19 patients.

Keywords: anxiety; COVID-19; EFT; motivation to recover; SEFT

665
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

PENDAHULUAN
Keluhan pasien COVID-19 tidak terbatas pada gejala sesak, batuk, mual dan muntah namun
memiliki banyak efek dan komplikasi sistemik yang terkait dengan sistem kardiovaskular,
sistem muskuloskeletal, sistem saraf, nutrisi dan metabolisme. Selain masalah fisik, virus
COVID-19 juga mempengaruhi psikologis penderita, Penelitian yang dilakukan oleh Feng
dkk (2020) menemukan bahwa COVID-19 menyebabkan distress bagi masyarakat umum, hal
ini merupakan bentuk pertahanan emosi seseorang akibat stres, yang terkadang muncul dalam
bentuk depresi (misalnya: putus asa, sedih, dan kehilangan minat dan motivasi) dan
kecemasan (misalnya: perasaan tegang), gejala lain bisa berupa rasa lelah yang ditandai
dengan gejala somatik (misalnya: sakit kepala). (Mazza dkk, 2020). Barber dkk (2020)
menyatakan bahwa kecemasan dan depresi merupakan gangguan mental terbesar yang
diakibatkan oleh COVID-19. Selain itu, kecemasan dan depresi juga dapat menjadi komorbid
munculnya OCD (Koran dkk, 2007; Moore & Howell, 2017; Moroney, 2017; Pigot dkk,
1994). Pasien terkonfirmasi positif COVID-19 mengalami dampak psikologis di antaranya
perasaan tertekan dan cemas ketika privasi dan identitasnya diketahui publik serta takut
dikucilkan. Pasien COVID-19 juga dapat mengalami menurunnya motivasi untuk sembuh
yang dapat mengakibatkan tidak kooperatif dalam menjalani program pengobatan (Pratama &
Hidayat, 2020; Rayani & Purqoti, 2020).

World Health Organization (WHO) telah menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-
19) sebagai pandemik global pada Rabu, 11 Maret 2020. Penetapan tersebut didasarkan pada
sebaran 118 ribu kasus yang menjangkiti di 114 negara. Coronavirus sudah menginfeksi
90.308 orang dengan jumlah kematian mencapai 3.087 orang atau 6%, jumlah pasien COVID-
19 yang sembuh 45.726 orang. Sampai dengan 23 Agustus 2020, secara global dilaporkan
23,7 juta kasus konfimasi di 210 negara dengan 806 ribu kematian. (WHO, 2020). Di
Indonesia sendiri per tanggal 04 Februari 2021 terdapat 1.123.105 kasus terkonfirmasi,
917.306 sembuh dan 31.001 meninggal dunia. Urutan tertinggi adalah di Provinsi Jawa Timur
sebesar 22,0% dari jumlah kasus atau sebesar 14,013 kasus COVID-19. Sedangkan di Kota
Probolinggo sampai dengan tanggal 03 Februari 2021 terdapat kasus 2008 kasus confirm
COVID-19, 183 kasus di rawat di RSUD dr. Mohamad Saleh Kota Probolinggo, 1688
dinyatakan sembuh dan 137 orang meninggal dunia.(DINKESP2KB Kota Probolinggo,
2020).

Penelitian yang dilakukan oleh Siti Nurjanah, 2020 terhadap pasien COVID-19 menunjukkan
bahwa keluhan terbanyak adalah keluhan psikis yaitu merasa cemas, tegang/khawatir (40%),
diikuti dengan keluhan aktivitas, tidak adanya motivasi (37%), kehilangan nafsu makan (30%)
dan tidur tidak nyenyak (30%). Pada penelitian ini ditemukan 90 Subjek (57,3 %)
mengalami distress selama pandemi COVID-19. Hasil yang serupa juga ditemukan oleh
Wang dkk (2020) ketika melakukan penlitian di Wuhan. Orang-orang yang tinggal di daerah
terpapar virus memiliki skor distress yang tinggi daripada yang tidak tinggal disana. Selain
itu, pemberitaan media masa dalam melaporkan COVID-19 juga berpengaruh terhadap skor
distress. Bentuk distress yang muncul akibat COVID-19 diantaranya: masalah tidur, ketakutan
terhadap virus,susah fokus, cemas, dan depresi (Wang dkk, 2020). Penelitian yang dilakukan
oleh Nasrullah, 2020 menunjukkan sekitar 65.8% responden tenaga kesehatan di Indonesia
mengalami kecemasan akibat wabah COVID-19, sebanyak 3.3% mengalami kecemasan
sangat berat dan 33.1% mengalami kecemasan ringan. Sedangkan yang mengalami stress
akibat wabah COVID-19 sebesar 55%, tingkat stress sangat berat 0.8% dan stress ringan
34.5%. Tenaga kesehatan yang mengalami depresi sebesar 23.5%. tingkat depresi sangat
0.5% dan depresi ringan 11.2%.

666
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Dikutip dari Journal of Adolescent Health (2021) mayoritas peserta penelitian mengalami
peningkatan perasaan cemas (77%), peningkatan perasaan depresi (73%), dan peningkatan
rasa terisolasi (79%), hampir setengah dari peserta (45%) melaporkan kondisi pandemi tidak
mempengaruhi motivasi untuk sembuh, sementara 17% melaporkan motivasi sembuh yang
agak meningkat, 9% melaporkan motivasi yang tinggi dan sekitar seperempat dari peserta
(22%) melaporkan motivasi sembuh yang menurun.

Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) adalah salah satu teknik yang telah terbukti
efektif dalam menangani kecemasan dan meningkatkan motivasi secara umum. SEFT adalah
sebuah metode atau teknik yang mempergunakan tubuh dirinya sendiri untuk mengendalikan
serta menghilangkan berbagai permasalahan yang dialami, baik masalah fisik seperti
gangguan mual, sakit kepala, pusing, sampai gangguan berat seperti stroke, gangguan jantung
dan lain sebagainya, maupun masalah psikis, seperti takut, panik, cemas, stress, phobia,
trauma dan masih banyak lagi. Tehnik tapping pada SEFT dapat melancarkan aliran energi
yang tersumbat di beberapa titik kunci di tubuh hingga mengalir dengan lancar, dengan
membebaskan aliran energi di tubuh maka kita dapat membebaskan emosi dari berbagai
kondisi negatif. (Faiz, 2008).

Metode SEFT pertama kali dibawa dan dikembangkan di Indonesia oleh Faiz Zainuddin
dengan bendera Logos-Institute. Teknik ini selain diklaim sangat ampuh mengatasi berbagai
permasalahan fisik dan psikis juga dapat digunakan dalam bidang spiritual, keuangan,
marketing dan lain sebagainya. Berbagai penelitian telah dilakukan terkait efektifitas terapi ini
terhadap objek yang berbeda. Penelitian lain yang menggunakan terapi SEFT yaitu:
efektivitas terapi SEFT terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien paska-operasi Sectio
Caesaria (Wijiyanti, 2010), pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan tekanan darah pada
lansia hipertensi di Puskesmas Jagir Surabaya (Zulaichah, 2013), pengaruh SEFT terhadap
penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Pauh Kota
Padang (Deby, 2015), pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan tingkat kecemasan pada para
pengguna NAPZA (Inggriane Puspita Dewi, Diana-Fauziah, 2017), dan pengaruh terapi SEFT
terhadap ketenangan jiwa pada pengguna NAPZA (Hazbullah, 2019).

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terapi ini sangat bermanfaat dan berbeda
dengan penelitian yang lain. Berkenaan dengan situasi pandemik COVID-19 ini maka teknik
ini dianggap mampu mengatasi berbagai permasalahan yang muncul terutama yang
menimbulkan kecemasan dan meningkatkan motivasi sembuh bagi mereka yang terdampak.
Maka penelitian bertujuan menganalisis lebih mendalam mengenai bagaimana pengaruh
SEFT sebagai teknik terapi dalam mengatasi kecemasan akibat virus COVID-19 dan
meningkatkan motivasi untuk sembuh. Berdasarkan tersebut diatas dan mengingat
pentingnya menurunkan kecemasan dan meningkatkan motiva si sembuh pasien
COVID-19 maka peneliti i ngin melakukan penelitian tentang pengaruh Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap kecemasan dan motivasi sembuh pasien.

METODE
Desain penelitian ini menggunakan True Experimental dengan rancangan Pre test and post
test with control group. Populasi pada penelitian ini adalah pasien COVID-19 di Rumah
Karantina. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dengan kriteria
inklusi : pasien yang telah dinyatakan positif COVID-19 lewat hasil pemeriksaan swab PCR
dan dirawat di Rumah Karantina Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk Dan Keluarga
Berencana Kota Probolinggo, pasien yang sudah dirawat 2x24 jam setelah dinyatakan positif
COVID-19 lewat hasil swab PCR, mengalami gangguan kecemasan, tingkat kesadaran

667
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

compos mentis GCS 456, dapat berkomunikasi dengan baik, bersedia menjadi responden
penelitian dan mengikuti terapi yang diberikan, dan kriterian eksklusi : pasien COVID-19
yang disertai desaturasi. Total responden pada penelitian ini sebesar 68 dengan pembagian
34 kelompok intervensi dan 34 kelompok kontrol. Pengumpulan data pada penelitian ini
berbetuk kuesioner dan lembar observasi, kuesioner berisi data demografi (Usia, Jenis
kelamin, pendidikan, dan riwayat penyakit (komorbid)). Lembar kuisioner HARS untuk
mengukur nilai cemas sebelum dan sesudah perlakuan, Skala HARS telah dibuktikan
memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan
pada penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran
kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable
(Thompson, 2015). Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai pada masing-
masing gejala dengan kategori: < 6 : Tidak ada kecemasan, 7-14 : kecemasan ringan 15-27:
kecemasan sedang, > 27: Kecemasan berat. Kriteria motivasi dikategorikan menjadi =
motivasi kuat: 55-72, motivasi sedang = 37-54 dan motivasi lemah =18-36. Instrumen
penilaian motivasi sembuh menggunakan kuesioner dari Rosya (2020) yang sudah diuji
reabilitasnya reliabilitas dengan hasil Alpha Cronbachs 0,851, kuisioner ini menilai
motivasi sembuh sebelum dan sesuah perlakuan. Instrumen selanjutnya adalah lembar
observasi pelaksanaan Spiritual Emotional Freedom Tehnique (SEFT).

Analisa dalam penelitian ini untuk menganalisis pengaruh Spiritual Emotional Freedom
Tehnique (SEFT) terhadap kecemasan dan motivasi sembuh dengan menggunakan uji Mann-
Whitney dengan tingkat kemaknaan <0,05. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli
2021. Intervensi Spiritual Emotional Freedom Tehnique (SEFT) diberikan selama 5 kali
pertemuan dengan durasi 20-25 menit persesinya. Prosedur penelitian ini pertama
melakukan perizinan dan melakukan studi pendahuluan kemudian mengajukan proposal,
setelah proposal diterima maka mengurus surat izin laik etik. Kedua adalah mempersiapkan
instrument yang digunakan untuk pengumpulan data berupa kuisioner HARS, kuisioner
tingkat motivasi sembuh, lembar observasi, modul Spiritual Emotional Freedom Tehnique
(SEFT) dan video SEFT. Modul dan video SEFT berisi tentang prosedur pelaksanaan
Spiritual Emotional Freedom Tehnique (SEFT), Pengetahuan tentang COVID-19,
pengetahuan tentng kecemasan dan pengetahuan tentang motivasi sembuh,. Ketiga adalah
peneliti meminta persetujuan dengan menggunakan informed consent, kemudian peneliti
melakukan intervensi Spiritual Emotional Freedom Tehnique (SEFT) pada pasien COVID-
19. Keempat adalah : peneliti mengunjungi responden selama 5 kali dengan pertemuan
pertama terdapat pengukuran kecemasan dan motivasi sembuh pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol kemudian memberikan intervensi Spiritual Emotional Freedom
Tehnique (SEFT) pada kelompok intervensi. Pada hari ke 5 responden baik kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol akan dievaluasi dengan mengisi kuisioner kecemasan
dan motivasi sembuh. Penelitian ini telah lulus uji laik etik dengan NO. KEPK/093/STIKes-
HPzH/VII/2021

HASIL
Tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin mayoritas laki-
laki yaitu 22 pasien (64,7%) pada kelompok perlakuan dan 21 pasien (61,8%) pada kelompok
kontrol. Karakteristik pasien berdasarkan usia pada kelompok perlakuan terbanyak pada usia
51-60 tahun ( 26,47%) dan pada kelompok perlakuan terbanyak pada usia 31-40 tahun
(29,41%). Pendidikan pada kelompok perlakuan dan kontrol terbanyak adalah SMA yaitu 12
pasien (35,29%) pada kelompok perlakuan dan 11 pasien (32,35%) pada kelompok kontrol.
Karakteristik riwayat penyakit penyerta (komorbid) dengan jumlah 16 pasien pada kelompok
perlakuan (47,06%) dan 18 pasien pada kelompok kontrol (52,94%).

668
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Tabel 1.
Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan dan Riwayat Penyakit
(Komorbid) pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol (n=68)
Karakteristik Responden Perlakuan Kontrol
f % f %
Jenis Kelamin
Laki-laki 22 64,7 20 61,8
Perempuan 12 35,3 14 38,2
Usia
Usia ≤ 30 tahun 3 8,82 3 8,82
Usia 31 - 40 tahun 7 20,59 10 29,41
Usia 41 - 50 tahun 7 20,59 7 20,59
Usia 51 - 60 tahun 9 26,47 9 26,47
Usia > 61 tahun 8 23,53 5 14,71
Pendidikan
Tidak Sekolah 1 2,94 1 2,94
SD 10 29,41 10 29,41
SMP/sederajat 6 17,65 5 14,71
SMA/sederajat 12 35,29 11 32,35
Perguruan tinggi 5 14,71 7 20,59
Riwayat penyakit
Ada 16 47,06 18 52,94
Tidak Ada 18 52,94 16 47,06

Tabel 2.
Uji normalitas data kecemasan dan motivasi sembuh pasien COVID-19
Variabel kelompok Normalitas
Kolmogorov- Shapiro-Wilk
Smirnov
pre post pre post
Kecemasan Intervensi 0,000 0,000 0,000 0,000
Kontrol 0,000 0,000 0,000 0,000
Motivasi sembuh Intervensi 0,000 0,000 0,000 0,000
Kontrol 0,000 0,000 0,000 0,000

Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas variabel kecemasan dan motivasi sembuh
pre test dan post test pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan uji
Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro wilk test didapatkan nilai p < 0,05 yang berarti sebaran
data tidak normal sehingga analisa data dapat dilanjutkan dengan menggunakan uji statistik
Wilcoxon dan Mann-whitney

Tabel 3.
Uji homogenitas karakteristik responden
Karakteristik responden p Keterangan
Jenis kelamin 0,339 Homogen
Usia 0,512 Homogen
Pendidikan 0,610 Homogen
Riwayat penyakit 1,00 Homogen

669
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Tabel 3 menunjukkan bahwa, semua data karakteristik responden homogen

Tabel 4.
Tingkat kecemasan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dilakukan
intervensi SEFT
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Tingkat cemas f % Tingkat cemas f %
Tidak cemas 0 0 Tidak cemas 0 0
Ringan 9 26,47 Ringan 5 14,71
Sedang 18 52,94 Sedang 26 76,47
Berat 7 20,59 Berat 3 8,82

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien COVID-19 di Rumah Karantina


mengalami cemas sedang yaitu sebesar 52,94 % pada kelompok perlakuan dan 76,47 % pada
kelompok kontrol

Tabel 5.
Tingkat kecemasan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah dilakukan
intervensi SEFT
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Tingkat cemas Jumlah Persentase Tingkat cemas Jumlah Persentase
Tidak cemas 10 29,41 % Tidak cemas 0 0%
Ringan 11 32,35 % Ringan 5 14,71 %
Sedang 13 38,24 % Sedang 24 70,59 %
Berat 0 0% Berat 5 14,71 %

Tabel 5 menunjukkan bahwa setelah di lakukan intervensi SEFT terjadi penurunan jumlah
pasien yang mengalami cemas sedang. pada kelompok perlakuan tingkat cemas sedang turun
menjadi 38,24 % dan pada kelompok kontrol turun menjadi 70,59%

Tabel 6.
Perbedaan tingkat kecemasan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah
dilakukan intervensi SEFT
Variabel Kelompok n p
Kecemasan Intervensi 34 0,000
Kontrol 34 0,317
Analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks Test

Tabel 6 hasil uji Wilcoxon two related samples test didapatkan hasil Asymp. Sig. (2-tailed)
sebesar 0,000 pada kelompok perlakuan dimana ini lebih kecil dari 0,005 yang artinya ada
perbedaan signifikan tingkat kecemasan pre dan post dilakukannnya intervensi SEFT pada
kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol didapatkan hasil Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar
0,317 dimana ini lebih besar dari 0,005 yang artinya tidak ada perbedaan signifikan tingkat
kecemasan pre dan post tanpa dilakukannnya intervensi SEFT pada kelompok kontrol

Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien COVID-19 di Rumah Karantina


mempunyai motivasi sembuh tingkat sedang yaitu sebesar 64,71 % pada kelompok perlakuan
dan 58,82 % pada kelompok kontrol.

670
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Tabel 7.
Tingkat motivasi sembuh pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum
dilakukan intervensi SEFT
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Tingkat motivasi f % Tingkat motivasi f %
Rendah 9 26,47 Rendah 11 32,35
Sedang 22 64,71 Sedang 22 58,82
Tinggi 3 8,82 Tinggi 3 8,82

Tabel 8.
Tingkat motivasi sembuh pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sesudah dilakukan
intervensi SEFT
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Tingkat motivasi f % Tingkat f %
motivasi
Rendah 0 0 Rendah 8 23, 53
Sedang 14 41,18 Sedang 23 67,65
Tinggi 20 58,82 Tinggi 3 8,82

Tabel 8 menunjukkan bahwa setelah di lakukan intervensi SEFT terjadi peningkatan jumlah
pasien yang mempunyai motivasi sembuh tinggi, pada kelompok perlakuan tingkat motivasi
sembuh tinggi naik menjadi 58,82 % dan pada kelompok kontrol motivasi sembuh sedang
naik menjadi 67,65 %
.
Tabel 9.
Perbedaan tingkat kecemasan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah
dilakukan intervensi SEFT
Variabel Kelompok N p
Motivasi sembuh Intervensi 34 0,000
Kontrol 34 0,180
Analisis statistic Wilcoxon Signed Ranks Test

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon two related samples test didapatkan hasil Asymp. Sig.
(2-tailed) sebesar 0,000 pada kelompok perlakuan dimana ini lebih kecil dari 0,005 yang
artinya ada perbedaan signifikan tingkat motivasi pre dan post dilakukannnya intervensi
SEFT pada kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol didapatkan hasil Asymp. Sig. (2-
tailed) sebesar 0,180 dimana ini lebih besar dari 0,005 yang artinya tidak ada perbedaan
signifikan tingkat motivasi sembuh pre dan post tanpa dilakukannnya intervensi SEFT pada
kelompok control.

Tabel 10.
Pengaruh intervensi SEFT terhadap kecemasan pasien COVID-19
Variabel Kelompok N Pre test Post test
Median (Min-max) Median (Min-max)
Kecemasan Perlakuan 34 19 (7-28) 10,7 (4-22)
Kontrol 34 19,88 (7-28) 20,91 (7-28)
Analisis statistik p 0,658 0,000

671
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Setelah dilakukan uji Mann-Whitney diketahui bahwa nilai Aasymp.Sig (2-tailed) post test
sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada
perbedaan bermakna tingkat kecemasan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
sesudah diberikan terapi SEFT.

Tabel 11.
Pengaruh intervensi SEFT terhadap motivasi sembuh pasien COVID-19
Variabel Kelompok n Pre test Post test
Median (Min- Median (Min-
max) max)
Motivasi Intervensi 34 37 (18-55) 54,76 (40-68)
Kontrol 34 36,94 (20-58) 38,76 (20-58)
Analisis statistik p 0,658 0,000

Setelah dilakukan uji Mann-Whitney diketahui bahwa nilai Aasymp.Sig (2-tailed) post test
sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada
perbedaan bermakna tingkat motivasi sembuh antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol sesudah diberikan terapi SEFT.

PEMBAHASAN
Kecemasan pasien COVID-19 sebelum pemberian Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 68 responden, pada tabel 5.4 menunjukkan
bahwa sebagian besar (lebih dari 50 persen) pasien di rumah karantina mengalami cemas
sedang yaitu 52,94% pada kelompok perlakuan dan 76,47% pada kelompok kontrol. Cemas
sedang yang dialami pasien COVID-19 di Rumah Karantina tersebut diatas ditandai dengan
adanya perasaan cemas, merasa tegang, merasa ketakutan dan adanya gangguan tidur.

Terdapat kesesuaian antara konsep teori dengan kejadian pada penelitian dilapangan, bahwa
faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri
(faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Menurut Asmadi (2008),
penyebab cemas dapat dikelompokan ke dalam dua kategori yaitu : ancaman terhadap
integritas diri, meliputi ketidak mampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktifitas
sehari-hari guna pemenuhan terhadap kebutuhan dasarnya, dan ancaman terdapat sistem diri
yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan
status atau peran diri, dan hubungan interpersonal. Menurut (Hurlock 1998:130) semakin
cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir
dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang lebih dewasa dipercaya dari orang
yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai pengalaman dan kematangan jiwa, dan
menurut Kartono (2002:66) mengatakan bahwa semakin tua seseorang semakin baik
seseorang dalam mengendalikan emosinya.

Dilihat dari jenis kelamin kecemasan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.
Selain itu umumnya perempuan lebih kuat dan lebih intensif dalam merespon stimulus atau
rangsangan yang berasal dari luar daripada laki-laki. Dilihat dari segi pendidikan responden
hal ini sesuai dengan teori Bloom (2005:53) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007:108)
bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan perilaku yang dibagi
dalam tiga domain, yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Terbentuknya
suatu perilaku baru dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu

672
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

terhadap stimulus selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap dan lebih jauh
lagi akan menimbulkan respon berupa tindakan terhadap stimulus tersebut. Berdasarkan hal
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa umur, jenis kelamin, pendidikan mempengaruhi
respon untuk terjadinya kecemasan.. Namun untuk mengetahui perbedaan dan persamaan
hasil tersebut diperlukan pengkajian lebih lanjut.

Peneliti berpendapat tingginya rasa cemas yang dirasakan oleh sebagian responden di Rumah
Karantina bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : diagnosa COVID-19
merupakan penyakit pandemik, harus tinggal di rumah karantina yang asing, bukan rumah
sendiri. Khawatir akan kondisi kesehatannya serta kepastian akan berapa lama berada di
rumah karantina. Berada di Rumah Karantina menyebabkan aktivitas dan kegiatan sehari hari
menjadi terbatas. Kondisi cemas juga mempengaruhi keinginan untuk makan, dan
kemampuan untuk tidur.

Kecemasan pasien COVID-19 sesudah pemberian Spiritual Emotional Freedom


Technique (SEFT)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 68 responden, pada tabel 5.6 menunjukkan
bahwa setelah di berikan intervensi spiritual emotional freedom technique (SEFT) pada
pasien COVID-19 berdasarkan skor pre test dan post test, sebagian besar kelompok perlakuan
mengalami penurunan tingkat kecemasan setelah diberikan intervensi SEFT. Penurunan
tersebut dilihat dari skor cemas sedang yang turun menjadi 38,24%, cemas ringan turun
menjadi 32,35% dan pasien yang tidak cemas naik menjadi 29,41%. Penurunan tingkat
kecemasan tersebut juga ditandai respon responden yang mengatakan setelah dilakukan
intervensi SEFT merasa lebih tenang, bisa tidur dengan nyenyak, nafsu makan meningkat,
menerima dengan ikhlas kondisinya dan merasa nyaman untuk menjalani proses karantina.

Peneliti berpendapat perubahan ini terjadi pada sebagian besar kelompok perlakuan, hal ini
juga terlihat dari evaluasi peneliti di setiap akhir sesi intervensi SEFT, hampir semua
responden menyatakan mengalami perubahan yang didapatkan dan dirasakan setelah
melakukannya terutama perubahan pada kekhawatiran atau kecemasan yang dirasakan serta
merasa lebih tenang dan rileks. Beberapa responden menyatakan bahwa setelah melakukan
intervensi SEFT tidak lagi mengalami kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan
dibandingkan sebelum dilakukan terapi SEFT.

Dalam proses SEFT terdapat aspek spiritual, yaitu memasukkan doa sebagai bagian dari
terapi. Doa tersebut terkandung dalam salah satu tahap dari terapi SEFT, yaitu pada tahap Set-
Up di mana berisikan doa penetralisir yang bermanfaat untuk “Psychological Reversal” atau
“Perlawanan Psikologis”, hal tersebut berpengaruh terhadap kesehatan psikologis
(menimbulkan harapan, ketabahan, dan hikmah) dan pada aspek sosial, yaitu menetralkan
emosi dan meminimalkan kecemasan. Bersamaan dengan doa (fase tune-in) dilakukanlah
tapping. Pada proses inilah terjadi proses menetralisir emosi negatif atau rasa sakit fisik.
Tingkat motivasi sembuh pasien COVID-19 di Rumah Karantina milik Dinas Kesehatan
Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana Kota Probolinggo sebelum pemberian
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 68 responden, pada tabel 5.7 menunjukkan
bahwa sebagian besar responden yang berada di Rumah Karantina mempunyai tingkat
motivasi sembuh sedang yaitu sebesar 64,71 % pada kelompok perlakuan dan 58,82 % pada
kelompok kontrol. Motivasi sembuh sedang yang dialami pasien COVID-19 di Rumah
Karantina tersebut diatas ditandai dengan adanya pernyataan responden yang mengatakan

673
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

tidak kuat dalam menghadapi cobaan/sakit yang diderita, keraguan untuk sembuh/menjadi
lebih parah, tidak mampu menjalani proses karantina sampai dengan selesai serta merasa
terpaksa menjalani proses pengobatan di Rumah Karantina.

Menurut Gerungan 2004:167 ada dua faktor yang mempengaruhi motivasi, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah motivasi yang berasal dari dalam diri
manusia, biasanya timbul dari perilaku yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga menjadi
puas. Faktor internal meliputi : 1. Faktor fisik Faktor fisik adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan kondisi fisik, missal status kesehatan pasien. Fisik yang kurang sehat dan
cacat yang tidak dapat disembuhkan berbahaya bagi penyesuaian pribadi dan sosial. Pasien
yang mempunyai hambatan fisik karena kesehatannya buruk sebagai akibatnya mereka selalu
frustasi terhadap kesehatannya. 2. Faktor proses mental : motivasi merupakan suatu proses
yang tidak terjadi begitu saja, tapi ada kebutuhan yang mendasari munculnya motivasi
tersebut. Pasien dengan fungsi mental yang normal akan menyebabkan bias yang positif pada
diri. Seperti halnya ada kemampuan untuk mengontrol kejadian-kejadian dalam hidup yang
harus dihadapi, keadaan pemikiran dan pandangan hidup yang positif dari diri pasien dalam
reaksi terhadap perawatan akan meningkatkan penerimaan diri serta keyakinan diri, sehingga
mampu mengatasi kecemasan dan selalu berpikir optimis untuk kesembuhannya. 4. Keinginan
dalam diri sendiri Misalnya keinginan untuk lepas dari keadaan sakit yang mengganggu
aktivitasnya sehari-hari, masih ingin menikmati prestasi yang masih berada dipuncak karir,
merasa belum sepenuhnya mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. 5. Kematangan
usia Kematangan usia akan mempengaruhi proses berfikir dan pengambilan keputusan dalam
melakukan pengobatan yang menunjang kesembuhan pasien.

Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor motivasi yang berasal dari luar diri seseorang
yang merupakan pengaruh dari orang lain atau lingkungan Gerungan, 2004:168. Faktor
eksternal meliputi : 1. Faktor lingkungan Lingkungan adalah suatu yang berada disekitar
pasien, baik fisik, psikologis, maupun sosial. Lingkungan rumah sakit sangat berpengaruh
terhadap motivasi pasien untuk sembuh. Lingkungan rumah sakit yang tidak mendukung dan
kurang kondusif akan membuat stress bertambah. Secara fisik misalnya penataan ruangan
dirumah sakit, konstruksi bangunan akan meningkatkan ataupun menguranginstress dan
secara biologis lingkungan ini tidak mengganggu kenyamanan yang dapat memicu stress,
sedangkan lingkungan sosial salah satunya adalah dukungan perawat khususnya dukungan
sosial. 2. Dukungan sosial menurut Rachmawati dan Turniani 2002:137, dukungan sosial
terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan atau nonverbal, bantuan nyata atau tindakan
yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka yang mempunyai
manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Dukungan sosial sangat
mempengaruhi dalam memotivasi pasien untuk sembuh, meliputi dukungan emosional,
dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan jaringan. Komunikasi teraupetik
perawat yang ditujukan untuk menolong pasien dalam melakukan koping secara efektif
dimana perawat membutuhkan waktu untuk menanyakan dan mendengarkan ketakutan,
kekhawatiran, keyakinan mengenai kesehatan dan keadaan pasien sendiri. 3. Fasilitas sarana
dan prasarana Ketersediaan fasilitas yang menunjang kesembuhan pasien tersedia, mudah
dijangkau menjadi motivasi pasien untuk sembuh. Termasuk dalam fasilitas adalah
tersedianya sumber biaya yang mencukupi bagi kesembuhan pasien, tersedianya alat-alat
medis yang menunjang kesembuhan pasien. 4. Media menurut Rachmawati dan Turniani
2002:137, media yaitu dukungan yang diberikan dalam bentuk informasi pengetahuan tentang
penyakit, nasehat, atau petunjuk saran. Adanya media ini pasien menjadi lebih tahu tentang
kesehatannya dan pada akhirnya dapat menjadi motivasi untuk sembuh.

674
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Peneliti berpendapat tingkat motivasi sembuh responden di Rumah Karantina bisa


dipengaruhi hal tersebut diatas, diantaranya proses perawatan secara isolasi, jauh dari
keluarga dan diagnosis COVID-19 yang mengakibatkan stigma. Untuk itu diperlukan suatu
pendekatan atau intervensi yang mudah di terapkan tetapi signifikan meningkatkan rasa
motivasi untuk sembuh.

Tingkat motivasi sembuh pasien COVID-19 sesudah pemberian Spiritual Emotional


Freedom Technique (SEFT).
Hasil penelitian pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan mengalami
peningkatan motivasi sembuh yang sangat signifikan setelah dilakukan intervensi SEFT.
Dilihat dari hasil nilai motivasi tinggi meningkat jadi 20%, sedangkan pada kelompok kontrol
juga mengalami peningkatan tetapi hanya sedikit. hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Motivasi sembuh yang meningkat yang dialami pasien COVID-19 di Rumah
Karantina tersebut diatas ditandai dengan adanya pernyataan responden yang mengatakan
kuat dalam menghadapi cobaan/sakit yang diderita, keyakinan untuk sembuh, mampu
menjalani proses karantina sampai dengan selesai serta ikhlas dalam menjalani proses
pengobatan dan karantina.

Sebagaimana telah diungkapkan Handoko (1998) dan Widayatun (1999), ada dua faktor yang
mempengaruhi motivasi yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal
diantaranya fisik, proses mental, herediter, keinginan dari diri sendiri dan kematangan usia,
sedangkan factor eksternal dipengaruhi oleh lingkungan, sosial, fasilitas dan media. Motivasi
sembuh ialah suatu daya dalam diri seseorang sebagai pendorong maupun penggerak yang
melatarbelakangi seseorang untuk berperilaku yang mengarahkan pada tindakan
penyembuhan. Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) adalah salah satu factor
internal, didalam SEFT terdapat kata kata afirmasi diri yang dipadu dengan spiritualitas
dilanjutkan dengan langkah langkah Set-up, Tapping dan Tune-in, dapat meningkatkan rasa
percaya diri keikhlasan dan kepasrahan, hal tersebut juga dapat mempengaruhi tingkat
motivasi dalam diri seseorang.

Terdapat kesesuaian antara konsep teori dengan kejadian pada penelitian dilapangan,
Motivasi diri dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam dan faktor yang berasal dari
luar. Faktor motivasi yang berasal dari dalam didapat dari kekuatan diri yang dimiliki
individu, sedangkan faktor luar yang mempengaruhi motivasi didapat dari keluarga,
pengaruh rekan sebaya maupun dukungan masyarakat (Syed Zakaria, 2015). Peneliti
berpendapat Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) merupakan salah satu faktor
internal dari diri sendiri yang dapat meningkatkan motivasi. Didalam tahapan SEFT terdapat
aspek spiritual, yaitu memasukkan doa sebagai bagian dari terapi. Doa tersebut terkandung
dalam salah satu tahap dari terapi SEFT, yaitu pada tahap Set-Up di mana berisikan doa
penetralisir yang bermanfaat untuk “Psychological Reversal” atau “Perlawanan Psikologis”,
hal tersebut berpengaruh terhadap kesehatan psikologis (menimbulkan harapan, ketabahan,
dan hikmah) dan pada aspek sosial, yaitu menetralkan emosi dan meminimalkan
kecemasan. Mengingat COVID-19 adalah penyakit baru yang mewabah di seluruh dunia,
menimbulkan stigma negatif di dalam masyarakat dan proses karantina yang memakan
waktu lama (14 hari), maka diperlukan kekuatan emosional yang menimbulkan motivasi
dalam diri untuk sembuh.

675
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Pengaruh pemberian Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap


kecemasan pasien COVID-19
Hasil penelitian dan uji statistik menunjukkan ada pengaruh spiritual emotional freedom
technique (SEFT) terhadap kecemasan pada pasien COVID-19. Berdasarkan skor pre test dan
post test, sebagian besar kelompok perlakuan mengalami penurunan tingkat kecemasan
setelah diberikan SEFT. Penurunan tingkat kecemasan tersebut ditandai dengan menurunnya
gejala kecemasan pada sebagian besar pasien kelompok perlakuan. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa SEFT berpengaruh terhadap tingkat
kecemasan. Menurut Clond (2016) menyatakan bahwa teknik EFT dapat menurunkan
kecemasan. Penelitian Brattberg (2008) menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik
dalam hal penurunan rasa sakit, penurunan kecemasan dan depresi pada pasien dengan
fibromyalgia yang menerima EFT.

Teknik SEFT memiliki prinsip dasar sama dengan EFT. Dalam SEFT terdapat aspek spiritual,
yaitu memasukkan doa sebagai bagian dari terapi. Doa tersebut terkandung dalam salah satu
tahap dari terapi SEFT, yaitu pada tahap Set-Up di mana berisikan doa penetralisir yang
bermanfaat untuk “Psychological Reversal” atau “Perlawanan Psikologis”, hal tersebut
berpengaruh terhadap kesehatan psikologis (menimbulkan harapan, ketabahan, dan hikmah)
dan pada aspek sosial, yaitu menetralkan emosi dan meminimalkan kecemasan. Bersamaan
dengan doa (fase tune-in) dilakukanlah tapping. Pada proses inilah terjadi proses menetralisir
emosi negatif atau rasa sakit fisik. Menurut penelitian Swingle et al. (2004) Tapping
mengurangi frekuensi gelombang otak yang terkait dengan stres atau memperkuat yang
terkait dengan relaksasi, serta menghasilkan perubahan fisiologis yang bermanfaat lainnya
(Church, 2013).

Tapping adalah mengetuk ringan dengan dua ujung jari pada titik tertentu di tubuh dan jika
diketuk beberapa kali akan berdampak pada ternetralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit
yang dirasakan (Banerjee, Puri and Luqman, 2015). Titik yang terdapat dalam EFT
merupakan titik yang didasarkan pada titik akupuntur. Dalam akupuntur, sinyal akan dikirim
langsung kepada amigdala dan struktur otak lainnya dalam sistem limbik yang memproses
rasa takut. Penemuan ini juga diperkuat oleh Fang yang menyatakan bahwa akupuntur dapat
menciptakan penonaktifan secara luas pada sistem limbik-paralimbik-neokorteks (Church, De
Asis & Brooks, 2012).

SEFT berfokus pada lima hal, yaitu keyakinan, keikhlasan, kekhusyukan, kepasrahan, dan
rasa syukur. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam mengurangi tingkat kecemasan. Ketika
seseorang merasa cemas maka sistem tubuh akan bekerja dengan meningkatkan kerja saraf
simpatis sebagai respons terhadap stres. Sistem saraf simpatis bekerja melalui aktivasi medula
adrenal untuk meningkatkan pengeluaran epinephrine, norepinephrine, kortisol serta
menurunkan nitric oxide. Keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan respons tubuh
seperti peningkatan denyut jantung, pernapasan, tekanan darah, aliran darah ke berbagai
organ meningkat serta peningkatan metabolisme tubuh. Untuk menghambat kerja saraf
simpatis dapat dilakukan dengan meningkatkan aktivasi kerja saraf parasimpatis untuk
menimbulkan respons relaksasi.

Pada saat dilakukan SEFT proses set-up, tune-in, tapping respons relaksasi yang ditimbulkan
oleh saraf parasimpatis bekerja dengan cara menstimulasi medula adrenal untuk menurunkan
pengeluaran epinephrine, norepinephrine, kortisol serta meningkatkan nitric oxide. Aspek
selanjutnya adalah aspek biologi, yang terdiri dari Tapping atau ketukan ringan pada 18 titik
energi tubuh yang melewati 12 jalur meridian tubuh (The Major Energy Meridians). Ketukan

676
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

yang dilakukan akan merangsang “electrically active cells” sebagai pusat aktif yang terdiri
dari kumpulan sel aktif yang ada di permukaan tubuh. Tapping dalam SEFT akan
menimbulkan hantaran rangsang berupa sinyal transduksi yang terjadi dalam proses biologik
akibat rangsangan pada titik utama SEFT. Sinyal transduksi kemudian akan
menstimulasi gland pituitary untuk mengeluarkan hormon endorphine (Rokade,2011),
hormon tersebut akan memberikan efek menenangkan serta menimbulkan perasaan bahagia
(Goldstein dan Lowry, 1975 dalam Rokade, 2011), sehingga dapat menurunkan tingkat
depresi pada penderitanya. Kondisi depresi dan kecemasan yang berkepanjangan tanpa
penanganan, dapat menciptakan ketidakseimbangan serotonin, zat kimia penting dalam otak
yang bertanggung jawab untuk membuat orang bahagia dan berjiwa sosial (Rokade, 2011).

Kelompok kontrol terdapat tujuh pasien yang mengalami penurunan nilai HARS, peneliti
berpendapat hal tersebut karena beberapa faktor diantaranya karena empat pasien yang
mengalami penurunan kecemasan memiliki latar belakang pendidikan yang baik (SMA dan
Sarjana) sehingga memungkinkan pasien memiliki respons terhadap kecemasan dengan baik.
Tingkat kecemasan sangatlah berhubungan dengan tingkat pendidikan seseorang dimana
seseorang akan dapat mencari informasi atau menerima informasi dengan baik sehingga akan
cepat mengerti akan kondisi dan keparahan penyakitnya dan dengan keadaan yang seperti ini
akan menyebabkan peningkatan kecemasan pada orang tersebut (Hawari, 2012).

Menurut Stuart dan Sundeen (2000) dalam Ade Sutrimo (2014), tingkat pendidikan yang
rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan,
disebabkan kurangnya pengetahuan seseorang. Menurut Kaplan dan Sadock (1997)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah pada seseorang akan menyebabkan orang
tersebut lebih mudah mengalami kecemasan dan jika semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka semakin rendah tingkat kecemasannya. Tingkat pendidikan yang tinggi pada
seseorang akan membentuk pola yang adaktif terhadap kecemasan, karena memiliki pola
koping terhadap sesuatu yang lebih baik. Sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka makin banyak pengetahuan yang dimiliki dan makin mudah proses
penerimaan informasi. Sehingga, kecemasan terkait kondisi yang diderita dapat diterima
dengan baik. Selain itu beberapa pasien juga mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit lain
yang diderita sehingga pasien merasa tidak mengalami komplikasi penyakit yang bisa
memperburuk kondisi kesehatannya.

Selain pendidikan penurunan tingkat kecemasan bisa juga karena usia responden, usia
mempengaruhi sesorang dalam bersikap dan bertindak. Usia yang semakin matang dan
dewasa maka seseorang lebih siap dalammenghadapi suatu massalah. Ketika usia masih muda
bahkan masih anak-anak maka seseorang akan kesulitan dalam beradaptasi dengan keadaaan
lingkungan. Supartini (2004) menyatakan bahwa seperti kondisi kecemasan yang menjalani
perawatan dipengaruhi beberapa faktor, semakin muda usia seorang maka akan semakin sulit
dalam menyesuaikan dengan lingkungan perawatan. Menurut Rumaiah (2003) dalam I Ketut
Maendra (2014), usia berkaitan dengan kedewasaan berpikir individu. Dengan usia yang lebih
matang seseorang cenderung lebih dewasa dalam menghadapi masalah. Bahsoan (2013)
menyatakan bahwa umumnya umur yang lebih tua akan lebih baik dalam menangani masalah
kecemasan, mekanisme koping yang baik akan mempermudah mengatasi masalah
kecemasan, sehingga tingkat kecemasan seseorang bisa lebih rendah.

Jenis kelamin responden juga bisa memberingan pengaruh, Santoso (2009) dalam
penelitianya menyatakan bahwa pada laki- laki lebih rileks daripada perempuan dalam
menghadapi masalah. Pada umumnya seorang laki-laki dewasa mempunyai mental yang kuat

677
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

terhadap suatu hal yang dianggap mengancam bagi dirinya dibandingkan perempuan. Laki-
laki lebih mempunyai tingkat pengetahuan dan wawasan lebih luas dibanding perempuan,
karena laki-laki lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan luar sedangkan sebagian besar
perempuan hanya tinggal dirumah dan menjalani aktivitasnya sebagai rumah tangga, sehingga
tingkat pengetahuan atau informasi yang didapat terbatas (Kuraesin, 2009). Perempuan
mempunyai perasaan yang lebih peka dan sensitif daripada laki-laki, sehingga stresor-stresor
yang ada akan cenderunglebih mudah membuat perempuan menjadi cemas.

Riwayat penyakit (komorbid) atau memiliki pengalaman sakit di masa lalu, juga memberi
peran penting terhadap kecemasan seseorang karena pengalaman sakit memberikan seseorang
gambaran suatu kejadian yang telah dialami. Sehingga seseorang tersebut akan lebih siap
dalam menghadapainya jika hal tersebut terjadi lagi. Pengalaman ini menjadikan seseorang
lebih secara fisik dan mental, sehingga mengurangi rasa cemas yang ada. Pengalaman masa
lalu terhadap penyakit baik yang positif maupun yang negatif dapat mempengaruhi
perkembangan dalam menggunakan koping. Keberhasilan seseorang pada masa lalu dapat
membantu individu mengembangkan mekanisme koping yang akan digunakan, sebaliknya
kegagalan atau reaksi emosional menyebabkan seseorang menggunakan koping yang
maladaptif terhadap stresor tertentu (Kuraesin, 2009). Penurunan rasa cemas pada responden
diungkapkan kepada peneliti setelah di akhir sesi SEFT, rata rata responden mengemukakan
setelah intervensi merasa lebih tenang dan cemasnya menurun.

Pengaruh pemberian Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap motivasi


sembuh pasien COVID-19
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh SEFT terhadap motivasi sembuh pasien COVID-
19. Berdasarkan skor motivasi sembuh pre test dan post test, kelompok perlakuan mengalami
peningkatan skor setelah diberikan SEFT dari pada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil dari
uji yang dilakukan, secara umum motivasi sembuh pasien kelompok perlakuan di Rumah
Karantina berada pada kategori tinggi yaitu 58,82%, sedangkan sisanya berada pada kategori
sedang yaitu 41,18%. Peningkatan motivasi sembuh pasien tersebut ditandai dengan
pernyataan akan sembuh, semangat dalam menjalani pengobatan dan pernyataan ikhlas dalam
menjalani pengobatan

Motivasi sembuh merupakan daya atau kekuatan yang berasal dari dalam diri individu atau
penderita suatu penyakit yang mendorong, membangkitkan, menggerakkan, melatar
belakangi, menjalankan dan mengontrol seseorang serta mengarahkan pada tindakan
penyembuhan atau pulih kembali serta bebas dari suatu penyakit yang telah dideritanya
selama beberapa waktu dan membentuk suatu keadaan yang lebih baik dari dalam badan, jiwa
dan sosial yang memungkinkan seseorang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Sobur
(2003), mendefinisikan motivasi merupakan istilah yang lebih umum yang menunjuk pada
seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri
individu, tingkah laku yang ditimbulkannya dan tujuan atau akhir dari gerakan atau perbuatan.
Karena itu, bisa juga dikatakan bahwa motivasi berarti membangkitkan motif,
membangkitkan daya gerak, atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri untuk berbuat
sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau tujuan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi. Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa
pengetahuan seseorang merupakan faktor awal dari suatu perilaku yang diharapkan dan
berkorelasi positif dengan tindakannya. Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2005)
mendefinisikan pengertian pengetahuan merupakan hasil “tahu” yang terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, sehingga individu tahu apa yang

678
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

dilakukan dan bagaimana melakukannya, termasuk untuk berobat. Leavitt (1978) dalam
Sobur (2003) menyatakan bahwa persepsi adalah bagaimana cara orang melihat sesuatu,
sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu pandangan seseorang
mengartikan sesuatu dari stimulus yang ia terima. Semiun (2006) mengemukakan persepsi
penderita COVID-19 terkait penyakitnya merupakan faktor yang memiliki pengaruh terhadap
motivasi penderita. Persepsi ini bisa berkembang dari pengalaman penderita tersebut terhadap
suatu kejadian, interaksi sosial dan juga latar belakang penderita itu sendiri.

Peneliti berpendapat bahwa Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dengan 4


langkah yaitu spiritual, set-up, tune-in, tapping efektif meningkatkan motivasi sembuh dari
faktor instrinsik pasien. Kata kata dalam SEFT menimbulkan adanya dorongan dalam diri
individu, terwujud dalam tingkah laku pasien yang positif. Motivasi untuk sembuh menjadi
suatu kekuatan yang berasal dari dalam diri pasien yang mendorong perilaku menuju
kesembuhan yang ingin dicapai. Banyak persoalan psikologis yang timbul ketika seseorang
pasien didiagnosa COVID-19 diantaranya rasa denial dan marah akan kondisinya. Ketika
seorang pasien berdoa dengan tenang (disertai dengan hati ikhlas dan pasrah) maka tubuh
akan mengalami relaksasi dan menyebabkan seorang pasien menjadi tenang dan menerima
dengan ikhlas kondisinya. Hal ini dibuktikan dengan ketika evaluasi di setiap akhir sesi SEFT
responden lebih merasa tenang dan optimis bisa sembuh dan menjalani proses karantina dari
pada sebelumnya. Konsep teknik SEFT merupakan bagian dari teori adaptasi, manusia
dipandang sebagai sistem yang holistik dan adaptif secara keseluruhan dengan bagian-bagian
yang berfungsi sebagai unit untuk tujuan tertentu.

SIMPULAN
Pasien COVID-19 di Rumah Karantina Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk Dan
Keluarga Berencana Kota Probolinggo sebelum mendapatkan intervensi Spiritual Emotional
Freedom Technique (SEFT) sebagian besar mengalami cemas sedang, tingkat kecemasan
pasien COVID-19 di Rumah Karantina Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk Dan
Keluarga Berencana Kota Probolinggo sesudah pemberian Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) mengalami penurunan, pasien COVID-19 di Rumah Karantina Dinas
Kesehatan Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana Kota Probolinggo sebelum
mendapatkan intervensi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) sebagian besar
mempunyai tingkat motivasi sembuh sedang, tingkat motivasi sembuh pasien COVID-19 di
Rumah Karantina Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana Kota
Probolinggo sesudah pemberian Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) mengalami
peningkatan, SEFT yang dilaksanakan sebanyak lima kali memberikan pengaruh terhadap
penurunan kecemasan pasien COVID-19 di Rumah Karantina milik Dinas Kesehatan
Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana Kota Probolinggo, SEFT yang
dilaksanakan sebanyak lima kali memberikan pengaruh terhadap peningkatan motivasi
sembuh pasien COVID-19 di Rumah Karantina Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk
Dan Keluarga Berencana Kota Probolinggo

DAFTAR PUSTAKA
Adinugraha,T.S.(2014)„Analisis Penerapan Model Adaptasi Roy Dalam Asuhan
Keperawatan Pasien Diabetes Melitus, Evidence Based Nursing Practice Dan Inovasi
Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Asuhan Keperawatan Pasien Diabetes
Melitus‟.
Alifi Karima,I., Kusnanto and Pradanie, R. (2016). „Spiritual Emotional Freedom Technique
(SEFT) terhadap Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Paru, JKP, 4(4), pp. 213–224

679
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Al-Qahthani, S.( 2006). Ensiklopedia Shalat Menurut Al-Qur‟an Dan As-Sunnah, Pustaka
Iman, Jakarta.
Asmawati, Ikhlasia, M., & Panduragan, S. L. (2020). The effect of Spiritual Emotional
Freedom Technique (SEFT) therapy on the anxiety of NAPZA (narcotics, psychotropic,
and other addictive substances) residents. Enfermería Clínica, 30,206–
208.doi:10.1016/j.enfcli.2019.11.055 sci-hub.se/10.1016/j.enfcli. 2019.11.055
Babamahmoodi, A., Arefnasab, Z., Noorbala, AA. et al. (2015). „Emotional Freedom
Technique (EFT) Effects On Psychoimmunological Factors Of Chemically Pulmonary
Injured Veterans‟, Iranian Journal of Allergy, Asthma and Immunology, 14(1), pp.
37–47.
Banerjee, P., Puri, A. and Luqman, N. (2015). „Emotional Freedom Technique : An
Alternative Therapy in Destressing‟, International Journal of Application or Innovation
in Engineering & Management, 4(9), pp. 19–26.
Black J.M & Hawk J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. (Edisi 8). St. Louis: Elsevier. Inc. Hal : 1124-1145.
Bougea, A. M., Nick Spandideas. (2013). „Effect Of The Emotional Freedom Technique On
Perceived Stress, Quality Of Life, And Cortisol Salivary Levels In Tension-Type
Headache Sufferers: A Randomized Controlled Trial‟, The Journal of Science and
Healing.Elsevier Inc., 9(2), pp. 91–99. doi:10.1016/j.explore.2012.12.005.
Brattberg, G. (2008). „Self-administered EFT (Emotional Freedom Techniques) in Individuals
With Fibromyalgia: A Randomized Trial‟, Integrative Medicine, 7(4), pp. 30–35.
Chatwin, H., Stapleton, P.,Porter, B. (2016). „The Effectiveness of Cognitive Behavioral
Therapy and Emotional Freedom Techniques in Reducing Depression and Anxiety
Among Adults: A Pilot Study.‟, Integrative medicine (Encinitas, Calif.), 15(2), pp. 27–
34.
Church, D. (2013). „Clinical EFT as an Evidence-Based Practice for the Treatment of
Psychological and Physiological Conditions‟, Psychology, 4(8), pp. 645–654. doi:
10.4236/psych.2013.48092.
Church, D., De Asis, M. A. and Brooks, A. J. (2012). „Brief Group Intervention Using
Emotional Freedom Techniques for Depression in College Students: A
Randomized Controlled Trial‟, Depression Research and Treatment, 2012, pp. 1–7.
doi: 10.1155/2012/257172.
Church, D., Yount, G. and Brooks, A. J. (2012). „The Effect of Emotional Freedom
Techniques on Stress Biochemistry‟, The Journal of Nervous and Mental Disease,
200(10), pp. 891–896. doi: 10.1097/NMD.0b013e31826b9fc1.
Clond, M. ( 2016). „Emotional Freedom Techniques for Anxiety‟, The Journal of Nervous
and Mental Disease, 204(5),pp.388–395. doi: 10.1097/ NMD.0000000000000483.
Dr. Axe. ( 2017). 5 Emotional Freedom Technique or EFT Tapping Benefits - Dr.Available
at: https://draxe.com/emotional-freedom-technique-eft- tapping-therapy/.
Elaine, M. ( 2009). „Nurses Work Environment and Spirituality : A DescriptiveStudy‟,
International Journal, 2(3), pp. 118–125.
Feinstein, D. and Ashland, O. (2012). „What Does Energy Have to Do With Energy
Psychology?‟, Energy Psychology, 4(2), pp. 59–78. Available at:
http://technosociology.org/?p=1021.

680
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Hakam, M., Yetti, K. and Hariyati, R. T. S. (2009). „Intervensi Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) Untuk Mengurangi Rasa Nyeri Pasien Kanker‟, Makara, Kesehatan,
13(2), pp. 95–99.
Hasanshahi, M., Mazaheri, M.A., (2016). ' The Effect of Education on Spirituality Through
Virtual Sosial Media on The Spiritual Well-Being of The Public Health Students of
Isfahan University of Medical Sciences in 2015'. IJCBNM, 4(2): 168-175.
Irmak Vural, P., Körpe, G., & Inangil, D. (2019). Emotional freedom techniques (EFT) to
reduce exam anxiety in Turkish nursing students. European Journal of Integrative
Medicine, 32, 101002. doi:10.1016/j.eujim.2019.101002.sci-
hub.se/10.1016/j.eujim.2019. 101002
Irmak, M. ( 2014). „Medical Aspects Of Ablution And Prayer‟, Journal of
Experimental and Integrative Medicine, 4(2), p. 143.
doi:10.5455/jeim.291213.hp.010.
Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A. ( 1997). Sinopsis Psikiatri Jilid 1. Edisi ke-
7.Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara. p. 86-108.
Muara.T. (2021). Psikologi Masyarakat Indonesia di tenganh pandemic covid-19: Sebuah
studi analisis kondisi psikologis menghadapi covid-19 perspektif comfort zone theory.
Jurnal Bmbingan dan Konseling
Nasrullah. D d. (2020). Dampak psikolog tenaga Kesehatan Dalam upaya menghadapi
pandemic corona virus (covid-19) di Indonesia.Ristek-Brin
Nikčević, A. V., & Spada, M. M. (2020). The COVID-19 Anxiety Syndrome Scale:
Development and psychometric properties. Psychiatry Research,
113322.doi:10.1016/j.psychres.2020.113322.scihub.se/10.1016/j.psychres. 2020.113322
Notoatmodjo, (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Nurjanah, Siti, (2020). Gangguan Mental Emotional pada Klien pandemic Covid-19 di
Rumah Karantina,Jurnak Keperawatan Jiwa Volume 3 No 3 Hal 329-334 (Agustus
2020)
Nursalam, ( 2015). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis. 4th Edn.
Jakarta: Salemba Medika.
Patimah, I., Suryani and Nuraeni, A. ( 2015). „Pengaruh Relaksasi Dzikir terhadap Tingkat
Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa‟, Jurnal
Keperawatan Padjadjaran, 3(April 2015), pp. 18–24.
Pumar, M. I., J. Thorac Dis. (2014). „Anxiety And Depression-Important Psychological
Comorbidities Of COPD‟, Journal of Thoracic Disease, 6(11), pp. 1615–1631. doi:
10.3978/j.issn.2072-1439.2014.09.28.
Rector A, N., Danielle Bourdeau. (2008). Anxiety Disorders An Information Guide.
Revai, Alwan. (2018). “Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) tehadap
Kecemasan, Saturasi Oksigen dan Kualitas Tidur Pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik “. Jurnal Keperawatan Unair
Safitri, R. P. and Sadif, R. S.(2013). „Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) to
Reduce Depression for Chronic Renal Failure Patients are in Cilacap Hospital to
Undergo Hemodialysis‟, International Journal of Social Science and Humanity,
3(3),pp. 300–303. Doi 10.7763/IJSSH.2013.V3.249.

681
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 665 - 682, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Sebastian, B. and Nelms, J. (2017). „The Effectiveness of Emotional Freedom Techniques in


the Treatment of Posttraumatic Stress Disorder: A Meta- Analysis‟, Explore: The
Journal of Science and Healing. Elsevier, 13(1), pp. 16–25. doi:
10.1016/j.explore.2016.10.001.
Siti Nurjanah, (2020). Gangguan mental emosional pada klien pandemi covid 19 di rumah
karantina. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Susilowati, (2021). Dampak Psikologis akibat Covid-19 pada masyarakat Indonesia.Wacana,
Vol.13, No.1, Januari2021, pp 104-111
Thompson, E. ( 2015).„Hamilton Rating Scale For Anxiety (HAM-A)‟, Occupational
Medicine, 65(7), p. 601. doi: 10.1093/occmed/kqv054.
Valenza, M. C..Valenza-Pena., Torres-Sanchez. (2014). „Effectiveness of Controlled
Breathing Techniques on Anxiety and Depression in Hospitalized Patients With COPD:
A Randomized Clinical Trial‟, Respiratory Care, 59(2), pp. 209–215.
doi:10.4187/respcare.02565.
Vitagliano J.A., Milliren C.E., Richmond T.K. (2021). Covid-19‟s Impact on Patients With
Eating Disorders: the Relationship Beetween Eating Diaorder/mental health symptoms
and Eating Disorder Motivation to Recover. Journal of Adolescent Health.
doi:10.1016/j.jadohealth.2020.12.093
Wachholtz, A. B. and Sambamthoori, U. (2013). „National Trends in Prayer Use as a
Coping Mechanism for Depression: Changes from 2002 to 2007‟, Journal of
Religion and Health, 52(4), pp. 1356–1368. doi:10.1007/s10943-012-9649-y.
World Health Organization. Situation Report – 42. (2020) [updated 2020 March 02; cited
2020 March 15]. Available from: https://www.who.int/docs /defaultsource/
coronaviruse/situation-reports/20200302-sitrep-42-covid-19. pdf?sfvrsn=224c1add_2
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Info Infeksi Emerging Kementerian
Kesehatan RI [Internet]. 2020 [updated 2020 March 30; cited 2020 March 31].
Available from: https:// infeksiemerging.kemkes.go.id/
Zainudin, A. F. (2020). Spiritual Emotional Freedom Tehnique. In A. F. Zainudin. Jakarta:
ARGA Publishin

682

Anda mungkin juga menyukai