Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut WHO (2020) COVID-19 merupakan penyakit menular yang pertama


ditemukan di Wuhan Tiongkok pada bulan Desember 2019. Komisi Kesehatan Nasional
(NHC) Republik Rakyat Tiongkok kemudian mengumumkan hal itu sebagai Corona
Virus Novel, sekarang bernama COVID-19 yang menjadi pandemi di dunia pada saat
sekarang. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).
Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom
pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Proses penularan yang cepat
membuat WHO menetapkan COVID-19 sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
yang Meresahkan Dunia / Public Health Emergency Of International Concern
(KKMMD/PHEIC) pada tanggal 30 Januari 2020. Angka kematian kasar bervariasi
tergantung negara dan tergantung pada populasi yang terpengaruh, perkembangan
wabahnya di suatu negara, dan ketersediaan pemeriksaan laboratorium (Kementrian
Kesehatan RI, 2020).

Kasus COVID-19 di Indonesia saat ini mencapai 1.46 juta. Kasus aktif tercatat turun
1.594 orang menjadi 128.250 orang. Sayangnya, kematian masih belum bisa terelakkan.
Angkanya bertambah 161 dalam satu hari menjadi 39.711 secara nasional. Adapun dua
provinsi yang mencatat kasus tertinggi lebih dari seribu adalah DKI Jakarta dan Jawa
Barat. Kedua provinsi masing-masing mencatat pertambahan kasus sebanyak 1.474 dan
1.253 orang. Saat ini, total kasus Covid-19 di Jakarta masih menjadi yang terbanyak yaitu
372.056 orang. Selanjutnya Jawa Barat mencatat total kasus sebanyak 241.204 orang
(Kementrian Kesehatan RI, 2021).

Menurut JBN (Jurnal Bedah Nasional) 2020, COVID-19 menimbulkan krisis yang
signifikan pada berbagai kelompok dan populasi di dunia, khususnya perawat. Perawat
kamar bedah adalah salah satu yang beresiko terjadinya penularan virus COVID-19 ini
dikarenakan perawat yang ada dikamar bedah sebagai partner dokter dalam melakukan
tindakan pembedahan dan pembiusan (intubasi) pada pasien. Kamar operasi dapat menjadi
area berisiko tinggi untuk transmisi infeksi saluran pernapasan. Selain itu, pasien
1
asymtomatic carier yang akan dilakukan pembedahan dapat berpotensi menularkan virus
selama masa inkubasi. Suatu penelitian retrospektif di China yang meneliti 34 pasien
asimtomatik berusia 34-83 tahun yang dilakukan operasi elektif di awal pandemi, menjadi
bergejala COVID-19 pasca operasi dan terkonfirmasi positif setelah dilakukan
pemeriksaan laboratorim kuantiantatif RTPCR. Sebanyak 44,1% pasien membutuhkan
perawatan ICU paska operasi dengan mortalitas sebesar 20,5% karena ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome). Gejala COVID-19 berkembang sangat cepat (rata-rata
hari ke- 2-6) pasca operasi.

Peran dan tanggung jawab yang harus dijalankan oleh perawat menjadi dilema
saat mereka juga harus menjaga diri, rekan sejawat dan keluarga di rumah dari infeksi
yang mematikan ini. Perubahan dalam emosional bila dibiarkan dan berkembang akan
dapat menjadi patologis (Khairiyah, 2016). Meningkatnya kecemasan merupakan masalah
kesehatan mental yang sering terjadi pada saat masa pandemi, termasuk pandemi
COVID-19 yang sedang terjadi (WHO, 2020). Kecemasan merupakan perasaan takut
yang tidak jelas yang disertai dengan adanya perasaan ketidakpastian, ketidakamanan,
ketidakberdayaan dan isolasi (Stuart, 2016).
Hasil penelitian Huang et al (2020) kesehatan mental dari 1.257 petugas kesehatan
yang merawat pasien COVID-19 di 34 rumah sakit Tiongkok didapatkan hasil tingkat
kecemasan 45 %, insomnia 34 %, gejala depresi 50 %, tekanan psikologis 71,5 %.
Penelitian yang dilakukan Roy et al, (2020) di India dengan sampel 662 didapatkan
tingkat kecemasan pada tenaga kesehatan laki-laki 48,6 % dan pada perempuan 51,2 %.
Gambaran Kesehatan Mental Akibat Pandemi Covid-19 menurut Perhimpunan Dokter
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan survei mengenai kesehatan
mental melalui swaperiksa yang dilakukan secara daring. Hasil survei menunjukkan,
sebanyak 63% responden mengalami cemas dan 66% responden mengalami depresi
akibat pandemi Covid-19 (Sulis Winurini dkk, 2020).
Hasil penelitan tentang tingkat kecemasan dan faktor terkait pada perawat ruang
operasi selama pandemi COVID-19 didapatkan hasil bahwa perawat memiliki kecemasan
sedang. Kecemasan ini dipengaruhi oleh faktor risiko yang terkait dengan tingkat
kecemasan yang tinggi antara lain memiliki penyakit kronis, bekerja dengan pasien yang
menyebabkan kekhawatiran, takut tertular COVID-19 dan menularkannya kepada orang
yang dicintai, ketidakmampuan rumah sakit dalam mengelola pandemi, kurangnya

2
dukungan dari manajer rumah sakit, mengambil sedikit istirahat dan bekerja dalam shift
panjang karena tindakan pencegahan di tempat kerja (Enay Gul et al., 2021).

Kecemasan dapat terjadi disetiap kehidupan manusia terutama bila dihadapkan


pada hal- hal yang baru. Kecemasan merupakan perasaan takut yang tidak jelas yang
disertai dengan adanya perasaan ketidakpastian, ketidakamanan, ketidakberdayaan dan
isolasi (Stuart, 2016). Adapun gejala kecemasan utama antara lain merasa khawatir
sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir berlebihan, mudah marah, dan sulit rileks.
Sementara gejala depresi utama yang muncul adalah gangguan tidur, kurang percaya diri,
lelah, tidak bertenaga, dan kehilangan minat. Lebih lanjut, sebanyak 80% responden
memiliki gejala stres pascatrauma psikologis karena mengalami atau menyaksikan
peristiwa tidak menyenangkan terkait Covid-19. Gejala stres pascatrauma psikologis berat
dialami 46% responden, gejala stres pascatrauma psikologis sedang dialami 33%
responden, gejala stres pascatrauma psikologis ringan dialami 2% responden, sementara
19% tidak ada gejala (JPKI, 2020). Dampak negatif lain yang berhubungan dengan
kecemasan sebagai respon terhadap pandemi COVID-19 ini dapat mencakup insomnia,
perubahan konsentrasi, iritabilitas, berkurangnya produktifitas dan konflik antar pribadi,
stigma, ketakutan penularan kepada yang rentan (Brooks, S.K, Webster, R.K, Smith, L.E,
Woodland, L, Wessely, S, Greenberg, N, & Rubin, n.d, 2020).

Respon psikologis yang dialami oleh petugas kesehatan terhadap pandemi


penyakit menular semakin meningkat karena disebabkan oleh perasaan cemas tentang
kesehatan diri sendiri dan penyebaran kepada keluarga (Cheng et al., 2020). Ukuran
dampak pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental belum dapat diukur secara
komprehensif, namun informasi mengenai dampak pandemi terhadap kesehatan mental
dapat diperkirakan dari temuan penelitian saat wabah MERS-COV pada tahun 2015 di
Korea Selatan (Ridlo, 2020).

Mengatasi masalah kecemasan dengan cara mengaplikasi Teori adaptasi Calista


Roy merupakan model keperawatan yang menguraikan bagaimana individu mampu
meningkatkan kesehatan dengan cara mempertahankan perilaku adaptif serta mampu
merubah perilaku yang inadaptif (Zelyanti, 2016). Perilaku adaptif yang harus kita
lakukan pada masa pandemi yaitu mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer,
hindari menyentuh mata, hidung dan mulut, terapkan teknik batuk dan bersin yang betul

3
menurut kesehatan, gunakan masker yang sesuai menurut kesehatan dan mencuci tangan
setelah membuang masker serta jaga jarak minimal 1 meter dari orang yang mengalami
gangguan pernapasan, Jenderal Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (2020).

Dampak dari pandemi COVID 19 menimbulkan banyak kerugian seperti halnya


gangguan kesehatan fisik, kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial dan gangguan mental
(Wang et al. 2020). Gangguan mental yang terjadi pada pandemi covid 19 ini ialah
kecemasan, ketakutan, stress, depresi, panik, kesedihan, frustasi, marah, serta menyangkal
(Huang et al. 2020). Keadaan tersebut bukan Kecemasan yang berlebihan dapat
mempunyai dampak yang merugikan pada pikiran serta tubuh bahkan dapat menimbulkan
penyakit penyakit fisik (Cutler, 2004).

Hasil wawancara peneliti data awal, pada perawat ruang operasi Santosa Hospital
Bandung Central berjumlah 10 orang, didapatkan 6 orang mengatakan adanya perasaan
anxietas ( rasa cemas, firasat buruk ), ketegangan ( lesu, mudah terkejut ), gangguan tidur (
tidak bisa tidur nyenyak ) dan 4 orang tidak cemas. Alasan responden mengatakan cemas
karena takut tertular dengan keluarga yang ada dirumah dan takut tertular pada diri sendiri
yang dapat mempengaruhi kualitas dalam bekerja. Sedangkan responden yang
mengatakan tidak cemas alasannya tuntutan dalam kebutuhan ekonomi yang dapat
memberikan semangat untuk bekerja walaupun dalam kondisi pandemi COVID 19 sangat
berbahaya dan harus mematuhi protokol Kesehatan dengan APD yang lengkap serta
menjaga daya tahan tubuh dengan meminum vitamin.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik mengetahui seberapa


tingkat kecemasan perawat bedah di ruang operasi. Karena kecemasan yang tidak
ditangani akan membawa dampak negatif terhadap individu maupun terhadap mutu
pelayanan keperawatan. Maka dari itu peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul
Gambaran Tingkat kecemasan Perawat Ruang Operasi Selama Pandemi COVID-19 Di Santosa
Hospital Bandung Central.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini
adalah bagaimana Gambaran Tingkat Kecemasan Perawat Ruang Operasi Selama Pandemi
COVID-19 Di Santosa Hospital Bandung Central ?

4
1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi Gambaran Tingkat Kecemasan Perawat Ruang Operasi


Selama Pandemi COVID-19 Di Santosa Hospital Bandung Central.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan menambah referensi
perpustakaan Universitas Adhirajasa Reswara Sanjasa Bandung tentang Gambaran
Tingkat Kecemasan Perawat Ruang Operasi Selama Pandemi COVID-19 Di Santosa
Hospital Bandung Central.
2. Bagi Tenaga Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan membantu perawat dalam meningkatkan pelayanan
dan kewaspadaan terhadap pasien COVID-19. Serta dapat menerapkan asuhan
keperawatan yang optimal.
3. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Santosa Hospital Bandung
Central khusunya ruang bedah sebagai bahan masukan dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tujuan Rumah sakit.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar bagi peneliti selanjutnya
yang ingin meneliti topik yang berkaitan dengan metode yang berbeda.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kecemasan

2.1.1. Definisi Kecemasan

Kecemasan merupakan perasaan takut yang tidak jelas yang disertai dengan
adanya perasaan ketidakpastian, ketidakamanan, ketidakberdayaan dan isolasi (Stuart,
2016). Sedangkan menurut Hawari, (2011), kecemasan merupakan gangguan alam
perasaan yang ditandai dengan adanya rasa khawatir dan ketakutan yang berkelanjutan
tetapi tidak mengalami gangguan dalam realita, kepribadian masih tetap utuh, perilaku
terganggu tetapi masih dalam batas normal. Kecemasan adanya rasa takut akan terjadi
sesuatu yang disebabkan karena adanya antisipasi bahaya yang merupakan sinyal bagi
individu dalam mengambil tindakan untuk menghadapi ancaman (Sutejo, 2018).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosional pada
seseorang yang tidak jelas yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa
terancam disebabkan adanya ketegangan dari luar tubuh.

2.1.2. Faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan

Berikut ini faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan (untari, 2014), yaitu
1. Usia
Semakin meningkat usia seseorang semakin baik tingkat kematangan seseorang
walau sebenarnya tidak mutlak.
2. Jenis kelamin
Gangguan lebih sering di alami perempuan dari pada laki-laki. Perempuan
memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan subyek yang berjenis
kelamin laki-laki. Dikarenakan perempuan lebih peka terhadap emosi yang pada
akhirnya peka juga terhadap perasaan cemasnya. Perempuan cenderung melihat

6
hidup atau peristiwa yang dialaminya dari segi detil sedangkan laki-laki
cenderung global atau tidak detail.

3. Tahap perkembangan
Setiap tahap dalam usia perkembangan sangat berpengaruh pada perkembangan
jiwa termasuk didalamnya konsep diri yang akan mempengaruhi ide, pikiran,
kepercayaan dan pandangan individu tentang dirinya dan dapat mempengaruhi
individu dalam berhubungan dengan orang lain. Individu dengan konsep diri yang
negatif lebih rentang terhadap kecemasan.
4. Tipe kepribadian
Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan stress dari pada
yang memiliki kepribadian B. Orang-orang pada tipe A dianggap lebih memiliki
kecenderungan untuk mengalami tingkat stress yang lebih tinggi, sebab mereka
menempatkan diri mereka sendiri pada suatu tekanan waktu dengan menciptakan
suatu batas waktu tertentu untuk kehidupan mereka.
5. Pendidikan
Seorang dengan tingkat pendidikan yang rendah mudah mengalami kecemasan,
karena semakin tinggi pendidikan akan mempengaruhi kemampuan berfikir
seseorang.
6. Status kesehatan
Seseorang yang sedang sakit dapat menurunkan kapasitas seseorang dalam
menghadapi stress.
7. Makna yang dirasakan
Jika stressor dipersepsikan akan berakibat baik maka tingkat kecemasan yang akan
dirasakan akan berat. Sebaliknya jika stressor dipersepsikan tidak mengancam
dan individu mampu mengatasinya maka tingkat kecemasanya yang dirasakanya
akan lebih ringan.
8. Nilai-nilai budaya dan spritual
Nilai-nilai budaya dan spritual dapat mempengaruhi cara berfikir dan tingkah
laku seseorang.
9. Dukungan sosial dan lingkungan
Dukungan sosial dan lingkungan sekitar dapat mempengaruhi cara berfikir
seseorang tentang diri sendiri dan orang lain. Hal ini disebabkan oleh pengalaman

7
seseorang dengan keluarga, sahabat rekan kerja dan lain-lain. Kecemasan akan
timbul jika seseorang merasa tidak aman terhadap lingkungan.

10. Mekanisme koping


Ketika mengalami kecemasan, individu akan menggunakan mekanisme koping
untuk mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara
konstruktif menyebabkan terjadinya perilaku patologis.
11. Pekerjaan
Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang
kehidupan keluarga. Bekerja bukanlah sumber kesenangan tetapi dengan bisa
diperoleh pengetahuan.
2.1.3. Tanda Gejala Kecemasan
Menurut Vye, (Hidayat dkk, 2016), gejala kecemasan dapat diidentifikasi melalui 3
komponen :
1. Komponen kognitif
Cara individu memandang, mereka berfikir bahwa adanya kemungkinan –
kemungkinan yang buruk yang selalu mengintainya sehingga menimbulkan rasa
khawatir, takut dan ragu yang berlebihan dan merasa dirinya, tidak mampu, dan
tidak percaya diri dan itupun merasa suatu ancaman bagi mereka.
2. Komponen fisik/ sensasi fisiologis
Gejala yang dapat dirasakan lansung seperti sakit kepala, sesak nafas, tremor,
detak jantung yang cepat, sakit perut, dan ketegangan otot.
3. Komponen perilaku
Melibatkan perilaku atau tindakan seseorang yang overcontrolling Menurut
Greenberger dan Padesky dalam (Fenn, K., & Byrne, 2013) menjabarkan 4 aspek
kecemasan:
1. Physical symtom atau reaksi fisik yang terjadi pada orang cemas misalnya otot
tegang, telapak tangan berkeringat, sulit bernafas, jantung berdebar- debar,
pusing.
2. Thought, yaitu pemikiran yang negatif dan irasional individu berupa perasaan
tidak siap, tidak mampu, merasa tidak memiliki ke ahlian, dan tidak yakin
dengan kemampuan dirinya sendiri. Pemikiran ini cendrung akan menetap bila
individu tidak merubah pemikirannya menjadi lebih positif.

8
3. Behavior, individu dengan kecemasannya cendrung menghidari situasi
penyebab kecemasan tersebut dikarenakan individu merasa dirinya terganggu
dan tidak nyaman seperti sakit kepala, mual, keringat dingin, gangguan tidur.
Perilaku yang muncul seperti kesulitan tidur karena memikirkan pekerjaan.
4. Feellings, suasana hati individu dengan kecemasan cendrung meliputi panik,
perasaan marah, perasaan gugup saat ada pembicaraan dunia kerja.
2.1.4. Jenis dan Tingkat Kecemasan
1. Menurut Freud (MGBK, 2010) terdapat tiga jenis kecemasan :
1) Kecemasan realistik, yaitu ketakutan terhadap bahaya atau ancaman nyata
yang ada dilingkungan maupun didunia luar.
2) Kecemasan neuorotik, yaitu ketakutan terhadap hukuman yang akan
menimpanya, kecemasan ini berkembang adanya pengalaman yang diperoleh
pada masa kanak-kanak terkait dengan hukuman atau ancaman dari orang tua
maupun orang lain yang otoritas jika melakukan perbuatan salah (implusif).
3) Kecemasan moral, yaitu rasa takut pada suara hati (super ego).
2. Berdasarkan HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety) kecemasan dapat
dikelompokan dengan gejala-gejalas secara spesifik ( Hawari, 2008) :
1) Perasaan meliputi firasat buruk, rasa cemas, mudah tersinggung.
2) Ketegangan meliputi ; lesu, tidak bisa istirahat dengan tenang, rasa tegang,
mudah menangis, mudah tersinggung, mudah terkejut, gemetar dan gelisah.
3) Ketakutan meliputi: takut ditinggal sendiri, takut pada keramain, takut pada
orang asing.
4) Gangguan tidur yaitu sering terbangun tengah malam, tidak bisa tidur
nyenyak, mimpi buruk, susah tidur.
5) Gangguan kecerdasan: tidak bisa konsentrasi, ingatan menurun.
6) Gangguan depresi: sering merasa sedih, hilangnya minat, berkurangnya
kesenangan terhadap hobi.
7) Gejala somatik; merasa sakit pada tubuh, otot2 persendian,kaku.
8) Gejala pendengaran : telinga berdenging, penglihatan kabur, muka merah.
9) Gejala kardiovaskuler misalnya berdebar-debar, nadi kencang, lemas detak
jantung menghilang berhenti sekejap.
10) Gejala respiratorik , misalnya merasa sesak nafas, tercekik, napas
pendek dan dangkal.
11) Gejala gastro intestinal meliputi: rasa terbakar diperut, mual, perut

9
terasa melilit, kembung, muntah, susah buang air besar.
12) Gejala urogenital meliputi: sering buang air kecil, tidak datang
menstruasi, haid yang berlebihan, masa haid yang pendek.

13) Gejala autonom meliputi mudah berkeringat, sakit kepala, sering


merasa pusing, mulut kering.
14) Tingkah laku meliputi gemetar, kulit kering, napas pendek dan cepat,
gelisah, muka tegang.

2.1.5. Pengukuran tingkat kecemasan


Menurut (Stuart, 2016), kecemasan ada empat tingkatan :
1. Kecemasan ringan, kecemasan ini terjadi karena adanya kekecewaan yang
berhubungan dengan adanya ketegangan pada kehidupan sehari- hari, tetapi
kecemasan ini bisa memotifasi untuk belajar dan menghasilkan kreatifitas.
2. Kecemasan sedang, kecemasan ini berfokus pada hal-hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain, kecemasan ini mempersempit lapang persepsi
individu, sehingga individu kurang selektif.
3. Kecemasan berat, sangat mempengaruhi lapang persepsi individu. Individu
cendrung berfokus pada suatu yang spesifik dan rinci serta tidak berfikir pada hal
yang lain.
4. Kecemasan panik, kecemasan atau ketakutan berhubungan dengan teror,
terperangah, takut dan cendrung mengalami hilang kendali, kehilangan
pemikiran yang rasional, tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan
bila berlangsung lama dapat mengalami kelelahan dan keletihan.
Cara memberikan penilaian terhadap tigkat kecemasan menurut Hamilton Rating
Scale For Anxiety ( HRS-A) terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing- masing
dirinci lagi dengan gejala-gejala spesifik. Masing- masing kelompok gejala diberi
penilaian angka (score) antara 0–4
Nilai :
0 = Tidak Ada Gejala
1 = Gejala Ringan
2 = Gejala Sedang
3 = Gejala Berat
4 = Gejala Berat Sekali
10
Masing- masing nilai angka (score) dari ke 14 kelompok gejala dijumlahkan dan
dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui drajat kecemasan seseorang yaitu :
Total nilai ( Score) :
<6 = Tidak Ada Kecemasan
7 – 14 = Kecemasan Ringan
15 – 27 = Kecemasan Sedang
28 – 41 = Kecemasan Berat
>41 = Kecemasan Berat Sekali
2.1.6. Penatalaksanaan Kecemasan
Menurut ( Hawari, 2011 ) penatalaksanaan atau manajemen ada tahap
pencegahan dan terapi memerlukan metode pendekatan yang bersifat holistic yaitu
a. Penatalaksanaan farmakologi.
Dengan menggunakan obat – obatan misalnya anti kecemasan
benzodiazepim, obat ini tidak boleh digunakan dalam waktu lama karena bisa
mnyebabkan ketergantungan
b. Non Farmakologi.
1) Distraksi : merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan dengan
mengalihkan perhatian dari rasa cemas. Stimulus sensori yang menyenangkan
menyebabkan pelepasan endokrin akan menghambat stimulus cemas yang
mengakibatkan lebih sedikit stimulus yang di transmisikan ke otak ( Perry dkk,
2005).
2) Relaksasi : terapi relaksasi yang dapat dilakukan berupa relaksasi tarik napas
dalam, mediasi, relaksasi imajinasi dan visualisasi.

2.2. Perawat
2.2.1. Definisi Perawat
Perawat adalah seseorang yang profesional mempunyai kemampuan, tanggung
jawab dan kewenangan melaksanakan pelayanan dan asuhan yang berhubungan
dengan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan keperawatan (Kusnanto, 2004).
Sedangkan menurut UU 38 Tahun 2014 Perawat adalah seseorang yang telah lulus
11
dalam pendidikan tinggi Keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang di
akui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang- undangan.
Perawat adalah bagian penting dari tenaga Kesehatan karena mereka bertanggung
jawab untuk pencegahan infeksi, pengendalian, isolasi dan Kesehatan masyarakat dan
global (Schwerdtle et al., 2020; Smith et al., 2020). Perawat adalah orang pertama
yang bertemu orang dengan atau berisiko COVID-19. Mereka telah bekerja siang dan
malam untuk memerangi pandemic sejak awal. Perawatan dan jenis posisi
keperawatan yang berbeda merupakan sumber stress potensial bagi perawat karena
mereka tidak hanya harus mengatasi beban kerja yang terus bertambah, tetapi mereka
juga harus mengikuti protocol Kesehatan dan keselamatan terkait pandemic sambal
melindungi diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Di masa COVID-19, seperti
pandemi lainnya, perawat mengkhawatirkan Kesehatan mereka sendiri dan keluarga
karena mereka berisiko tinggi tertular virus mematikan. Mereka menghadapi stress,
kecemasan, ketakutan, dan dilema karena mereka bertanggung jawab secara etis untuk
memberikan perawatan yang berkualitas, apa pun kondisinya ( Cai et al., 2020; Kim
& Choi, 2016). Lin dkk. (2020) melaporkan bahwa perawat baru mengalami
kecemasan ringan. Hacimusalar dkk. (2020) menemukan bahwa perawat memilki
tingkat kecemasan yang lebih tinggi daripada professional perawatan Kesehatan
lainnya di turki sejak awal pandemi.
2.2.2. Perawat kamar bedah (operating room nurse)
Perawat kamar bedah (operating room nurse) adalah perawat yang memberikan
asuhan keperawatan perioperatif kepada pasien yang akan mengalami pembedahan
yang memiliki standar, pengetahuan, keputusan, serta keterampilan berdasarkan
prinsip-prinsip keilmuan khususnya kamar bedah (AORN, 2013 dalam Hipkabi,
2014).
Perawat kamar bedah adalah salah satu yang beresiko terjadinya penularan virus
COVID-19 ini dikarenakan perawat yang ada dikamar bedah sebagai partner dokter
dalam malakukan tindakan pembedahan dan pembiusan (intubasi) pada pasien.
Pembedahan yang menjadi salah satu layanan dari sistem kesehatan dengan prosedur
“emergency” dan “elektive” menjadi aspek penting yang harus diperhatikan. Kamar
operasi juga dapat menjadi area berisiko tinggi untuk transmisi infeksi saluran
pernapasan. Selain itu, pasien asymtomatic carier yang akan dilakukan pembedahan
dapat berpotensi menularkan virus selama masa inkubasi
2.2.3. Peran dan Fungsi Perawat

12
Peran dan Fungsi Perawat menurut (Hidayat, 2012)
a. Sebagai pemberi pelayanan keperawatan ( care giver)
Perawat memberikan pelayanan keperawatan dengan memenuhi kebutuhan asah,
asih dan asuh
b. Sebagai Advocate
Perawat sebagai pembela, pelindung keluarga atau pasien . misalnya perawat
membantu klien untuk menadapatkan hak – haknya dan membantu pasien untuk
menyampaikan keinginannya (Berman, 2010).
c. Pencegahan penyakit atau sebagai educator
Perawat dalam melakukan asuhan keperawatan harus selalu mengutamakan
tindakan pencegahan untuk terjadinya masalah baru sebagai dampak dari
penyakit atau masalah yang dideritanya. Misalnya dengan memberikan
penyuluhan preventif dapat menurunkan tingkat kecacatan dan mortalitas akibat
cedera pada pasien (Wong, 2009).
d. Sebagai Pendidik
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dapat memberikan pendidikan
pada pasien atau keluarga, misalnya keseluruhan mengenai penyuluhan tujuan
nya adalah dapat merubah perilaku klien atau keluarga kearah yang lebih baik
atau kearah perilaku sehat seperti mengajarkan cara menghilangkan stress dan
melakukan perawatan klien yang sesuai dirumah setelah pulang dari rumah sakit
pada keluarga (Carman, 2015).
e. Sebagai Pemberi Konseling
Dalam hal ini perawat memberikan dukungan yang melibatkan emosi, intelektual
dan psikologis, perawat memberikan waktu untuk berkonsultasi terhadap masalah
yang dihadapi oleh klien atau keluarga, misalnya individu tidak mampu atau ada
kesulitan dalam penyesuaian diri yang normal kemudian perawat memberikan
dorongan pada individu untuk mencari perilaku alternatif, mengenai pilihan yang
tersedia untuk mengembangkan pengendalian diri (Berman, 2010).
f. Kolaborasi
Perawat melakukan tindakan kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam
menyelesaikan permasalahan klien atau keluarga seperti dokter, ahli gizi,
psikolog dan lain- lain karena pasien merupakan individu yang komplek atau
individu yang membutuhkan perhatian dan perkembangan (Hidayat, 2012).

13
g. Pengambil Keputusan Etik
Perawat dalam mangambil keputusan etik misalnya akan melakukan tindakan
pelayan keperawatan karena perwat yang berada disamping pasien selam 24 jam
(Wong, 2009).
h. Sebagai Peneliti
Perawat harus melakukan kajian – kajian keperawatan pasien yang dapat
dikembangkan untuk perkembangan teknologi keperawatan untuk peningkatan
mutu pelayanan keperwatan pasien (Hidayat, 2012)
Fungsi Perawat
a. Fungsi Independen
Fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain.
b. Fungsi Dependen
Perawat dalam melaksanakan kegiatan atas pesan dan instruksi perawat lain
misalnya adanya tugas limpah, pemberian tugas dari perawat primer kepada
perawat pelaksana.
c. Fungsi Interdependen
Fungsi ini membutuhkan kerjasama dengan tim kesehatan lain dalam
menyelesaikan masalah pasien.
2.3. Pandemi COVID-19
2.3.1. Sejarah Pandemi COVID-19
COVID-19 pertama kali terjadi pada bulan Desember 2019 yang ditemukan di
Wuhan Tiongkok di Provinsi Hubei Cina (Holsuhue et al, 2020). Pada tanggal 11
Januari 2020 cina mengumumkan salah seorang dari rakyatnya, pria berusia 61 tahun
meninggal karena COVID-19 yang terpapar saat kepasar makanan laut (WHO, 2020).
Selang beberapa minggu virus ini menyebar keseluruh dunia dengan cepat (WHO,
2020).
2.3.2. Definisi COVID-19
COVID-19 atau disebut juga dengan Corona Virus adalah kelompok virus yang
bisa menyebabkan penyakit, baik itu pada manusia maupun pada hewan, pada manusia
bisa menyebabkan infeksi saluran pernafasan mulai dari flu biasa sampai penyakit
yang serius seperti Middle East Respiratory Syndroma (MERS) dan syndroma
pernafasan akut berat/ Severe Acute Respiratory Syndroma (SARS) menurut (WHO,
2020). COVID-19 adalah penyakit menular disebabkan oleh corona virus yang baru
ditemukan di Wuhan Tiongkok pada bulan Desember 2019. Komisi Kesehatan
14
Nasional (NHC) Republik Rakyat Tiongkok kemudian mengumumkan hal itu dengan
Corona Virus Novel, yang sekarang bernama COVID-19. COVID-19 inilah yang
menjadi pandemi yang terjadi di banyak negara di seluruh dunia pada saat sekarang
ini.

2.3.3 Manifestasi COVID-19


Masa inkubasi COVID-19 ini rata – rata 5 – 6 hari dengan masa inkubasi
terpanjang adalah 14 hari (buku pedoman pencegahan dan pengendalian COVID-19,
Kemenkes RI, 2020) . Adapun tanda dan gejala dari COVID-19 ini dapat
menyebabkan dari gejala ringan hingga berat. Temuan klinis yang dapat diklasifikasi
dari penyakit ini menurut tingkat keparahannya (Elmasri, Juli 2020) yaitu :
a. Tahap awal (ringan) menunjukan gejala infeksi dini dan non spesifik seperti
malaise, demam, dan batuk kering, diare Pada tahap ini dapat diketahui dengan
pemeriksaan Reverse transcriptase –polymerase chain reaction (RT- PCR), foto
thorak, tes darah lengkap dan fungsi hati.
b. Tahap II Moderat: dapat terjadi penyakit paru yang terbentuk karena adanya
penggandaan virus dan peradangan lokal di paru. Pada tahap ini pasien akan
mengalami batuk, pneumoni, demam tinggi dan mungkin hipoksia, pada hasil
rontgen dada atau Computed Tomograpy menggambarkan infiltrasi bilateral
c. Stadium III (berat) peradangan sistemik. Pada tahap ini merupakan tahap yang
paling parah pada pasien COVID-19 dari seluruh stadium yang memanifestasikan
sebagai sindrom hiper peradangan sistemik ekstra paru bahkan sebuah penelitian di
propinsi Hubei Cina juga dapat memeberikan gejala pada mata misal konjuctiva
hiperemi, kemosis, epifora, dan peningkatan sekresi pada mata.
2.3.4. Transmisi COVID-19
Menurut (WHO, 2020) cara penyebaran virus COVID-19 bisa melalui udara
dengan cara :
1. Penyebaran virus COVID-19 melalui droplet :
Penularan virus COVID-19 bisa terjadi pada saat bersin, batuk, berbicara,
bernyanyi, hingga bernafas. Saat melakukan hal- hal tersebut udar yang keluar
dari mulut dan hidung mengeluarkan partikel kecil atau aerosol dalam jarak

15
dekat.
2. Penyebaran COVID-19 melalui udara :
COVID-19 dapat menyebar melalui partikel-partikel kecil yang melayang
diudara.
3. Penyebaran COVID-19 melalui permukaan yang terkontaminasi:
Penularan COVID-19 terjadi bila seseorang menyentuh permukaan yang sudah
terkontaminasi virus misalnya pada saat batuk atau bersin.
4. Penyebaran COVID-19 melalui Fecal Oral atau limbah manusia:
Laporan sampai sekarang ini belum ada yang dipublikasikan.

5. Penyebaran COVID-19 bisa melalui darah, dari ibu ke anak, dari hewan ke
manusia.
6. Kelompok orang yang paling rentan terhadap COVID-19.
Menurut (Fitri, 2020) orang yang paling rentan adalah :
1. Orang yang tinggal satu rumah dengan suspek atau punya gejala COVID-19.
2. Tenaga medis yang menangani pasien suspek dan pasien positif COVID-19.
3. Kelompok orang yang masuk kontak sosial.
4. Area dari orang-orang yang terkomfirmasi COVID-19.
Menurut (Azizah, 2020) kelompok beresiko tinggi terhadap COVID-19 yaitu:
1. Mereka yang memiliki daya tahan tubuh rendah atau auto imun
2. Adanya penyakit penyerta/ komorbid
3. Obesitas atau BMI lebih dari 40
4. Ibu hamil.
5. Usia 60 tahun keatas
6. Pencegahan COVID-19
Menurut buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease
(COVID-19), (Kemenkes RI, 2020), langkah-langkah pencegahan COVID–19
dimasyarakat diantaranya :
1. Melakukan cuci tangan dengan sabun atau hand saniter.
2. Hindari menyentuh mata, hidung dan mulut.
3. Terapkan tehnik batuk dan bersin yang betul menurut kesehatan.
4. Gunakan masker yang sesuai menurut kesehatan, dan mencuci tangan setelah
membuang masker.
5. Jaga jarak minimal 1 meter dari orang yang mengalami gangguan pernafasan.
16
Menurut Pawitri (2020), cara pencegahan COVID-19 dapat dilakukan dengan
cara :
1. Sering – sering cuci tangan.
2. Menyemprotkan cairan desinfektan pada benda yang sering terkontaminasi.
3. Menjaga sistem imunitas tubuh dengan menerapkan pola hidup sehat.
4. Menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut.
5. Menjaga kebersihan disaat batuk dan bersin.
6. Tetap jaga protokol kesehatan saat sampai di rumah.

2.3.5 Dampak Psikologis COVID-19 pada Perawat

Hasil penelitian Huang et al (2020) kesehatan mental dari 1.257 petugas


kesehatan yang merawat pasien COVID-19 di 34 rumah sakit Tiongkok didapatkan
hasil tingkat kecemasan 45 %, insomnia 34 %, gejala depresi 50 %, tekanan psikologis
71,5 %. Penelitian yang dilakukan Roy et al, (2020) di India dengan sampel 662
didapatkan tingkat kecemasan pada tenaga kesehatan laki-laki 48,6 % dan pada
perempuan 51,2 %. Gambaran Kesehatan Mental Akibat Pandemi Covid-19 menurut
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan survei
mengenai kesehatan mental melalui swaperiksa yang dilakukan secara daring. Hasil
survei menunjukkan, sebanyak 63% responden mengalami cemas dan 66% responden
mengalami depresi akibat pandemi Covid-19. Gejala cemas utama adalah merasa
khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir berlebihan, mudah marah, dan sulit
rileks. Sementara gejala depresi utama yang muncul adalah gangguan tidur, kurang
percaya diri, lelah, tidak bertenaga, dan kehilangan minat. Lebih lanjut, sebanyak 80%
responden memiliki gejala stres pascatrauma psikologis karena mengalami atau
menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait Covid-19. Gejala stres
pascatrauma psikologis berat dialami 46% responden, gejala stres pascatrauma
psikologis sedang dialami 33% responden, gejala stres pascatrauma psikologis ringan
dialami 2% responden, sementara 19% tidak ada gejala.

17
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan


desain cross sectional. penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk
melihat atau mengetahui gambaran fenomena atau gambaran kesehatan pada sekumpulan
objek yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini
digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan pada perawat ruang operasi selama
pandemi COVID-19 di Santosa Hospital Bandung Central tahun 2021.

18

Anda mungkin juga menyukai