Anda di halaman 1dari 117

FAKTOR PREDIKTOR KEJADIAN HENTI JANTUNG PADA PASIEN

INFARK MIOKARD AKUT DI KOTA SINGKAWANG

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Magister

Oleh
SUHENDRA
196070300111036

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


PEMINATAN GAWAT DARURAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
TESIS

FAKTOR PREDIKTOR KEJADIAN HENTI JANTUNG


PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT
DI KOTA SINGKAWANG

Oleh:
Suhendra
196070300111036

Dipertahankan di depan penguji


Pada tanggal: 20 September 2021
Dan dinyatakan memenuhi syarat

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Prof. Dr. dr. Teguh Wahju Sardjono, Dr. Ns Laily Yuliatun, S.Kep., M.Kep.,
DTM&H.,M.Sc., Sp. Par. K)
NIP. 197707112005012001
NIP. 195204101980021001

Komisi Penguji

Ketua Anggota

Prof. Dr. Titin Andri Wihastuti, S. Kp, M. Kes Dr. Yulian Wiji Utami , S.Kp., M.Kes
NIP. 197702262003122001 NIP.197707222002122002

Mengetahui
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya

Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si.Med., Sp. A (K)


NIP.197307262005011008
PERNYATAAN
ORISINALITAS TESIS

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya


bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam Naskah
TESIS ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah
diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis di kutip dalam
naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan
daftar pustaka

Apabila ternyata di dalam naskah TESIS ini dapat


dibuktikan terdapat unsur-unsur PLAGIASI, saya bersedia
tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya
peroleh (MAGISTER) dibatalkan, serta diproses sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(UU No.20 Tahun 2003, Pasal 25 Ayat 2 dan pasal 70)

Malang, 20 September 2021


Mahasiswa,

Suhendra
196070300111036
IDENTITAS PENGUJI TESIS

JUDUL TESIS :

“FAKTOR PREDIKTOR KEJADIAN HENTI JANTUNG PADA PASIEN INFARK


MIOKARD AKUT DI KOTA SINGKAWANG”

Nama : Suhendra
NIM : 196070300111032
Program Studi : Magister Keperawatan
Peminatan : Keperawatan Gawat Darurat

KOMISI PEMBIMBING :
Ketua : Prof. Dr. dr. Teguh Wahju Sardjono, DTM&H., M.Sc., Sp. Par. K
Anggota : Dr. Ns Laily Yuliatun, S.Kep., M.Kep

TIM PENGUJI :
Dosen Penguji 1 : Prof. Dr. Titin Andri Wihastuti, S.Kp, M.Kes
Dosen Penguji 2 : Dr. Yulian Wiji Utami , S.Kp., M.Kes

Tanggal Ujian : 20 September 2021


SK Penguji :

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : “Faktor Prediktor Kejadian Henti
Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang”. Tesis ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan
(M.Kep) dalam Program Studi Magister Keperawatan di Universitas Brawijaya
Malang.

Bersama dengan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-


besarnya kepada :

1. Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si.Med., SpA (K), selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di fakultas
kedokteran Universitas Brawijaya.
2. Dr. Asti Melani, S.Kp., M.Kep selaku Ketua Jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang TA 2020/2021.
3. Dr. Kuswantoro Rusca Putra, selaku Ketua Program Studi Magister
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan di fakultas Keperawatan Universitas Brawijaya.
4. Prof. Dr. dr. Teguh Wahju Sardjono, DTM&H., M.Sc., Sp. Par. K, selaku
pembimbing yang telah memberikan dorongan, perhatian, bimbingan dan
saran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
5. Dr. Ns Laily Yuliatun, S.Kep., M.Kep., selaku pembimbing yang telah
memberikan dorongan, perhatian, ide dan konsep selama proses penyusunan
tesis ini.
6. Prof. Dr. Titin Andri Wihastuti, S.Kp, M.Kes, selaku pembimbing akademik
sekaligus sebagai penguji I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
hadir serta memberikan arahan dan masukan guna penyempurnaan tesis ini.
7. Dr. Yulian Wiji Utami , S.Kp., M.Kes, selaku penguji II atas kesediaannya untuk
hadir, memberikan saran serta arahan dalam penyusunan tesis ini.
8. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memfasilitasi dan
memberikan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) selama proses
perkuliahan
v
9. Direktur RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang yang telah memberikan izin
sehingga penelitian ini dapat dilakukan.
10. Orang Tua dan semua pihak keluarga yang senantiasa mendoakan dan
memberikan motivasi
11. Teman-teman Magister Keperawatan Angkatan 2019 Universitas Brawijaya,
khususnya peminatan gawat darurat yang selalu mendukung dalam
menyelesaikan tesis.
12. Dosen dan staff adminitrasi Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya yang telah membantu dalam administrasi.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan tesis ini.


Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang membangun
dari segenap pembaca. Semoga tesis ini dapat bermanfaat, penulis memohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis

September, 2021

vi
Predictors of cardiac arrest in patients with acute myocardial infarction in
Singkawang City

1 2 3
Suhendra ; Teguh Wahju Sardjono ; Laily Yuliatun

1Master of Nursing Student of Medical Faculty, Brawijaya University, Malang Indonesia

2,3 Department of Nursing, Medical Faculty, Brawijaya University, Malang Indonesia

ABSTRACT

The current nursing literature has not devoted adequate attention to studying
cardiac arrest in hospitals, especially in patients with acute myocardial infarction.
Identifying predictors of cardiac arrest in patients with acute myocardial infarction
is needed to determine appropriate nursing strategies to prevent cardiac arrest.
This study aims to determine the predictor factors of cardiac arrest in patients with
acute myocardial infarction. This study used a retrospective cohort design with a
population of 181 people who were treated with a diagnosis of STEMI and NSTEMI
during 2017-2020. Data analysis used chi-square test, Spearman rank and logistic
regression. Spearman rank analysis test, age p=0.045, r=0.149; systolic pressure
p=0.002, r=-0.228; diastolic pressure p=0.020, r=-0.173; Heart rate p=0.064,
r=0.138; the number of comorbid diseases p = 0.322, r = 0.074 and Killip class p =
0.000, r = 0.431. Chi square analysis test, gender p=0.487, OR=1.322; ECG
picture p=0.885, OR=1.060; troponin enzyme levels p=0.951, OR=1.025; and
length of stay p=0.000, OR=0.181. The predictor factors for cardiac arrest in
patients with acute myocardial infarction were Killip class, length of stay, systolic
pressure and heart rate. The most dominant factor in influencing cardiac arrest in
patients with acute myocardial infarction is the Killip class.

Keywords: predictor factors, myocardial infarction, cardiac arrest

vii
Faktor Prediktor Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
di Kota Singkawang

1 2 3
Suhendra ; Teguh Wahju Sardjono ; Laily Yuliatun

1Mahasiswa Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas


Brawijaya
2,3Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Literatur keperawatan saat ini belum mencurahkan perhatian yang memadai


dalam mempelajari henti jantung di rumah sakit khususnya pada pasien infark
miokard akut. Mengidentifikasi factor predictor henti jantung pasien infark miokard
akut diperlukan untuk menentukan strategi keperawatan yang tepat dalam
mencegah kejadian henti jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui factor
prediktor kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut. Penelitian ini
menggunakan desain cohort retrospective dengan populasi sebanyak 181 orang
yang dirawat dengan diagnosis STEMI dan NSTEMI selama 2017-2020. Analisis
data menggunakan uji chi-square, spearman rank dan regresi logistik. Uji analisis
spearman rank, usia p=0.045, r=0.149; tekanan sistolik p=0.002, r=-0.228; tekanan
diastolik p=0.020, r=-0.173; Heart rate p=0.064, r=0.138; jumlah penyakit komorbid
p=0.322, r=0.074 dan kelas Killip p=0.000, r=0.431. Uji analisis chi square, jenis
kelamin p=0.487, OR=1.322; gambaran EKG p=0.885, OR=1.060; kadar enzim
troponin p=0.951, OR=1.025; dan lama rawat p=0.000, OR=0.181. Factor predictor
kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut adalah kelas Killip, lama
rawat, tekanan sistolik dan heart rate. Factor paling dominan dalam mempengaruhi
henti jantung pada pasien infark miokard akut adalah kelas Killip.

Kata kunci: faktor predictor, infark miokard, henti jantung

viii
DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………………………………...i


Halaman Pengesahan ………………………………………………………………….ii
Pernyataan orisinalitas tesis …………………………………………………………..iii
Identitas Penguji Tesis ……………………………………………..………………… iv
Kata Pengantar …………………………………………………….……………………v
Ringkasan …………………………………………………………………………….. vii
Daftar Isi ……………………………………………………………………………..….ix
Daftar Tabel ……………………………………………………………………………xii
Daftar Gambar …………………………………………………………………..…….xiii
Daftar Lampiran …………………………………………..………………………..…xiv

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………….1


1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………..1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………………6
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………….6
1.4 Manfaat ……………………………………………………………………………...8

BAB II Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………..9


2.1 Konsep Teori Infark Miokard Akut ……………………………………………..9
2.1.1 Pengertian Infark Miokard Akut ……………………………………………….9
2.1.2 Kriteria Definisi Infark Miokard Akut …………………………………………..9
2.1.3 Etiologi Infark Miokard Akut………..……………..………………………….10
2.1.4 Patofisiologi Infark Miokard Akut…………………..………………………..10
2.1.5 Tanda dan Gejala Infark Miokard Akut ……………………………………..12
2.1.6 Klasifikasi Klinis Infark Miokard Akut ………………………………………..13
2.1.7 Diagnosis ………………………………………………………………………14
2.1.8 Faktor Resiko Infark Miokard Akut ……………….………………………….16
2.1.9 Komplikasi ……………………………………………………………………..19
2.2 Konsep Teori Henti Jantung …………………….……………………………..21
2.2.1 Definisi Henti Jantung ………………………………………………………...21
2.2.2 Etiologi Henti Jantung ……………………….………………………………..22
2.2.3 Manifestasi Klinis Henti Jantung …………………….………………………23
2.2.4 Kelompok Risiko Henti Jantung ……………………………………………..23
2.2.5 Patofisiologi Henti Jantung …………………………………………………..24
2.2.6 Penatalaksanaan ……………………………………………………………..28
2.3 Faktor Yang Berpengaruh Pada Kejadian Henti Jantung Pasien Infark
Miokard Akut ……………..……………………………………………………..30
2.4 Kerangka Teori ………..………………………..……………………..………..32

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN ……….…………….……………….33


3.1 Kerangka Konsep………………………………………………………………….33
3.2 Hipotesis Penelitian………………………………………………………………..34

ix
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian …………………………………………………………….35
4.2 Subjek Penelitian…………………………………………………………………..35
4.3 Variabel Penelitian………………………………………………………………...36
4.4 Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………………………37
4.5 Instrumen Penelitian………………………………………………………………37
4.6 Definisi Operasional………………………………………….……………………37
4.7 Prosedur Penelitian…………………………………………….………………….39
4.8 Analisis Data ………………………………………………………………………41
4.9 Etika Penelitian ……………………………………………………………………42

BAB V HASIL PENELITIAN ……………………………………………………..…44


5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………………………………………….44
5.2 Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut Berdasarkan
Karakteristik Responden 45
5.3 Kejadian Henti jantung pada pasien infark miokard di RSUD dr Abdul Aziz
Singkawang periode tahun 2017 – 2020 Berdasarkan Karakteristik Pasien
(Analisis bivariat) …………………………………………..…………………….47
5.3.1 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUD
dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Kelompok Usia ………………….47
5.3.2 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUD
dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Jenis Kelamin ……..…...............48
5.3.3 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUD
dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Tekanan Sistolik …………………49
5.3.4 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUD
dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Tekanan Diastolik ………………50
5.3.5 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUD
dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Heart Rate ……………………….51
5.3.6 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUD
dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Gambaran EKG ………………..52
5.3.7 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUD
dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Enzim Troponin Jantung ………53
5.3.8 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUD
dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Jumlah Penyakit Komorbid ……54
5.3.9 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUD
dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Lama Rawat …………………….55
5.3.10 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di
RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Kelas Killip……………..56
5.4 Analisis Multivariat ……………..……………………………………………… 57

BAB V PEMBAHASAN ……………………………………………………………. 61


6.1 Faktor Demografi ……………………………………………………………….. 61
6.1.1 Hubungan Usia Dengan Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark
Miokard Akut di Kota Singkawang …………………………………………..61
x
6.1.2 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Henti Jantung Pada Pasien
Infark Miokard Akut di Kota Singkawang ……………………………………63
6.2. Faktor Tanda-Tanda Vital ………………………………………………………..65
6.2.1 Hubungan Tekanan Darah Sistolik Dengan Kejadian Henti Jantung Pada
Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang ……………………………65
6.2.2 Hubungan Tekanan Darah Diastolik Dengan Kejadian Henti Jantung Pada
Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang …………………………….66
6.2.3 Hubungan Heart Rate Dengan Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark
Miokard Akut di Kota Singkawang ……………………………………………67
6.3 Faktor Pemeriksaan Penunjang …………………………………………………69
6.3.1 Hubungan Gambaran EKG Terhadap Kejadian Henti Jantung Pada Pasien
Infark Miokard Akut di Kota Singkawang …………………………………….69
6.3.2 Hubungan Enzim Troponin Terhadap Kejadian Henti Jantung Pada Pasien
Infark Miokard Akut di Kota Singkawang …………………………………….70
6.4. Faktor Riwayat Penyakit …………………………………………………………71
6.4.1 Hubungan Jumlah Penyakit Komorbid Dengan Kejadian Henti Jantung Pada
Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang ……………………………71
6.4.2 Hubungan Lama Rawat Dengan Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark
Miokard Akut di Kota Singkawang …………………………………………….73
6.5. Faktor Kelas Killip …………………………………………………………………74
6.5.1 Hubungan Kelas Killip Terhadap Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark
Miokard Akut di Kota Singkawang …………………………………………….74
6.6 Faktor Yang Paling berpengaruh Terhadap Kejadian Henti Jantung Pada
Pasien Infark Miokard Akut ……………………………………………………76
6.7. Implikasi Keperawatan …………………………………………………………..80
6.7.1 Implikasi Teoritis ………………………………………………………………...80
6.7.2 Implikasi Praktis …………………………………………………………………80
6.8. Keterbatasan Penelitian ………………………………………………………….81

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………….……….82


7.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………82
7.2 Saran ……………………………………………………………………………....83
DAFTAR PUSTAKA

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Definisi Universal Ketiga dari Infark Miokard …………………………….9

Tabel 2.2 Etiologi henti jantung………………………………………………………22

Tabel 4.1 Definisi Operasional ……………………………………………………….37

Tabel 4.2 Analisis bivariat ………..…………………………………………………..41

Tabel 5.1 Kejadian Henti jantung pada pasien infark miokard di RSUD dr Abdul

Aziz berdasarkan karakteristik responden ……………………………..46

Tabel 5.2 Proses Seleksi Variabel ………………………………………………….58

Tabel 5.3 Hasil Uji Analisis Regresi Logistik Faktor Prediktor Kejadian Henti

Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang ……..58

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Ilustrasi kinetika troponin jantung pada pasien infark miokard akut.15
Gambar 2.2 Gambaran VT pada pasien VT dan etiologinya ……………………..25
Gambar 2.3 Ritme EKG Ventricular fibrillation ……………………………………..26
Gambar 2.4 Ritme EKG pulseless electric activity ………………………………...27
Gambar 2.5 Ritme Gelombang Asistol ……………………………………………...28
Gambar 2.6 Kerangka Teori ………………………………………………………….32
Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian …………………………………33
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kota Singkawang ………………………………………44
Gambar 5.2 Diagram Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark
Miokard Akut Berdasarkan Kelompok Usia ………………………………………...47
Gambar 5.3 Diagram Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark
Miokard Akut Berdasarkan Jenis Kelamin ………………………………………….49
Gambar 5.4 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Tekanan Sistolik ……………………………………………………….50
Gambar 5.5 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Tekanan Diastolik ……………………………………………………..51
Gambar 5.6 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Heart Rate ……………………………………………………………..52
Gambar 5.7 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Gambaran EKG ……………………………………………………….53
Gambar 5.8 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Enzim Troponin Jantung ……………………………………………..54
Gambar 5.9 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Jumlah Penyakit Komorbid …………………………………………..55
Gambar 5.10 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Lama Rawat ……………………………………………………………56
Gambar 5.11 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Kelas Killip ……………………………………………………………...57

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat permohonan studi pendahuluan

Lampiran 2 Lembar dokumentasi rekam medis

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pesatnya pembangunan di negara maju dan berkembang mempengaruhi

kemajuan sosial ekonomi yang menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat.

Hal ini berdampak pada pergeseran pola penyakit yaitu penurunan kematian

akibat penyakit infeksi secara signifikan. Di lain sisi, terjadi peningkatan pada

penyakit kronis degeneratif salah satunya adalah penyakit kardiovaskuler. Sebagai

penyebab utama mortalitas dan mordibitas, penyakit kardiovaskuler telah

mengakibatkan kematian sebanyak 17,1 juta di seluruh dunia. Angka ini

diperkirakan akan terus meningkat hingga 23,4 juta kematian pada tahun 2030

(Saktiningtyastuti & Astuti, 2017). Beberapa faktor risiko penyakit kardiovaskuler

adalah hipertensi, diabetes melitus, merokok, dan dislipidemia yang meningkatkan

risiko Sindrom Koroner Akut (SKA) (Dharmawan et al., 2019). Sindrom Koroner

Akut (SKA) menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia dan salah satu

bentuk yang paling parah adalah infark miokard akut. Infark Miokard Akut (IMA)

sering dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi dan komplikasi lainnya seperti

henti jantung (Bărcan et al., 2016).

Henti jantung merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada orang dewasa

di Amerika Serikat dengan jumlah sebanyak 350.000 hingga 400.000 pertahun.

Sebagian besar henti jantung terjadi pada pasien yang mengalami infark miokard

dengan resiko 4-6 kali lebih besar dibandingkan dengan penyakit jantung lainnya

(Zaman & Kovoor, 2014). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan

data Direktorat Jendral Pelayanan Medik Indonesia tahun 2009, jumlah penderita

penyakit jantung yang menjalani perawatan di Rumah Sakit sebanyak 239.548

jiwa. Penyakit iskemik merupakan jumlah terbanyak dari kasus tersebut yaitu
1
110.183 jiwa. Infark miokard akut (IMA) adalah kasus dengan Case Fatality Rate

(CFR) tertinggi sebanyak 13,48 % diikuti gagal jantung dan penyakit jantung

lainnya yaitu masing-masing sebesar 13,42 % dan 13,37 % (Saktiningtyastuti &

Astuti, 2017). Manifestasi klinis IMA adalah nyeri dada yang disebabkan oleh

kerusakan miokard dengan komplikasi berupa henti jantung akibat fibrilasi

ventrikel (VF) ataupun ventrikel takikardi (VT) tanpa nadi (Widiyaningsih & Kusyati,

2019). Kematian dapat terjadi dengan cepat apabila IMA tidak ditangani dengan

segera. Pertolongan pertama dalam mengatasi nyeri dan sumbatan tidak mutlak

menyebabkan kondisi jantung menjadi lebih baik karena IMA masih menimbulkan

resiko kematian pada 6 bulan pertama pasca serangan meskipun pasien telah

melewati masa kritis saat serangan pertama (Emaliyawati et al., 2017).

Infark miokard akut dengan kenaikan segmen ST (STEMI) dengan

berbagai komplikasi merupakan bentuk sindrome koroner akut yang paling berat.

Infark berulang, gagal jantung, syok kardiogenik, stroke perdarahan, dan henti

jantung merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Oleh sebab itu, kunci

utama pengelolaan STEMI adalah pengendalian faktor risiko, diagnosis dan

penatalaksanaan yang sesuai dengan pedoman (Dharmawan et al., 2019).

Sebagian besar pasien IMA mengalami henti jantung sebagai manifestasi pertama

dari kejadian akut. Banyak pasien mungkin tidak dirawat di rumah sakit segera

setelah timbulnya gejala. Dalam banyak kasus, henti jantung pada kejadian

koroner akut bisa berhasil diresusitasi jika perawatan khusus diberikan tepat

waktu. Kelangsungan hidup pasca kejadian akut sangat bergantung pada

pemulihan aliran koroner di arteri yang mengalami infark (Bărcan et al., 2016).

Namun penelitian yang dilakukan oleh Kontos et al., (2018) menemukan bahwa

pasien infark miokard akut yang mengalami serangan jantung mempunyai tingkat

bertahan hidup di rumah sakit yang rendah. Kematian di rumah sakit pada pasien

henti jantung secara substansial lebih tinggi dari pada pasien non-henti jantung.
2
Banyak faktor yang dapat menjadi prediktor henti jantung pada pasien

infark miokard akut. Menurut Widiyaningsih & Kusyati (2019), status hemodinamik

pasien dapat digunakan untuk menentukan risiko henti jantung pasien IMA.

Pemantauan hemodinamik dapat dilakukan secara ketat selama 24 jam sejak

onset gejala hingga stabil kembali dalam waktu 48 jam. Namun henti jantung dapat

terjadi pada pasien dengan kondisi hemodinamik yang menurun secara terus

menerus. Pada pasien IMA, kondisi hemodinamik yang sering terlihat adalah

takikardia, penurunan tekanan darah sistolik, penurunan curah jantung,

peningkatan pulmonary artery wedge pressure, (PAWP), Peningkatan Systemic

Vascular Resistance (SVR), dan penurunan Left Ventricular Stroke Volume

(LVSV). Dengan demikian, pemantauan kondisi hemodinamik baik invasive

maupun non-invasif sangat diperlukan dalam melakukan evaluasi resusitasi

pasien IMA di ICU. Meskipun pemantauan hemodinamik bukan tindakan terapeutik

namun dapat memberikan data terkini tentang kondisi pasien sebagai dasar dalam

menangani IMA secara tepat.

Bărcan et al., (2016) menyatakan bahwa predictor kematian pasien IMA

yang bertahan hidup dari Out Of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) pada fase awal

infark miokard adalah syok kardiogenik, gagal ginjal, anemia atau penyakit

multivessel, serta waktu yang lebih lama sejak timbulnya gejala atau serangan

jantung hingga revaskularisasi. Namun predictor yang paling kuat adalah lama

rawat di ICU dan kebutuhan ventilasi mekanis selama ≥ 48 jam. Penilaian data ini

dapat memainkan peran penting dalam stratifikasi risiko pada pasien OHCA

dengan IMA, dan dapat membantu mengidentifikasi sub kelompok pasien dengan

peningkatan risiko henti jantung setelah serangan jantung yang diresusitasi. Selain

itu, Lepojarvi et al., (2018) menyatakan bahwa pengukuran biomarker dari sampel

darah memberikan informasi tentang risiko henti jantung pada pasien infark

miokard dengan fungsi ventrikel kiri yang terjaga. Biomarker yang paling kuat
3
sebagai predictor henti jantung adalah hs-TnT (highly sensitive Troponin T) dan

sST2 (soluble ST 2). Kombinasi keduanya menghasilkan akurasi yang tinggi dalam

prediksi henti jantung setelah penyesuaian dengan beberapa variabel klinis dan

laboratorium.

Tingkat kematian yang dihubungkan dengan henti jantung merupakan yang

tertinggi selama periode awal pasca infark miokard (MI) (Elayi et al., 2017). Hal ini

sebagian besar disebabkan oleh takiaritmia ventrikel dan serangan jantung

berikutnya. Hiperkalemia saat masuk rumah sakit dikaitkan dengan kematian di

rumah sakit dan hipokalemia dikaitkan dengan serangan jantung di rumah sakit

dan onset baru atrial fibrilasi / flutter pada pasien yang dirawat Sindrome Koroner

Akut (SKA). Pasien dengan usia yang lebih tua beserta penyakit komorbitas

memiliki resiko henti jantung yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya.

Secara keseluruhan, faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor henti jantung pada

pasien dengan infark miokard akut di rumah sakit adalah tekanan darah sistolik,

usia, detak jantung, perubahan ST-T pada EKG, dan kelas Killip (Faxén J, 2019).

Wanita memiliki risiko kematian yang lebih besar setelah infark miokard

dibandingkan dengan pria. Infark miokard dengan Coronary Artery Desease (CAD)

non-obstruktif (MINOCA) dikaitkan dengan mortalitas yang lebih rendah

dibandingkan infark miokard dengan penyakit arteri koroner obstruktif MI-CAD

(Smilowitz et al., 2017)

Perawatan infark miokard akut bertujuan untuk meredakan gejala,

meningkatkan aliran darah arteri coroner dan mecegah komplikasi. Perawat

memiliki peran penting dalam manajemen klinik pasien. Peran yang dapat

dilakukan oleh perawat dalam perawatan infark miokard akut antara lain

memberikan perawatan yang tepat, mengenali kerusakan dengan cepat,

menyediakan perawatan holistic dan dukungan psikososial serta mendrong pasien

terlibat dalam pencegahan sekunder (Jarvis S, 2017). Sebagian besar literatur


4
keperawatan berfokus dalam mempelajari gambaran klasik henti jantung yaitu

Ventrikel Takikardia / Ventrikel Fibrilasi namun belum mencurahkan perhatian

yang memadai untuk henti jantung yang terjadi di rumah sakit, terutama yang

berkaitan dengan PEA dan asistol pada infark miokard akut. Penerapan

pengetahuan dan keterampilan yang buruk selama resusitasi telah mengakibatkan

kematian pasien, dan penundaan pemberian vasopresor telah dikaitkan dengan

penurunan kelangsungan hidup. Sejauh ini, mengidentifikasi pasien yang berisiko

mengalami henting jantung merupakan faktor yang sangat mempengaruhi tingkat

kelangsungan hidup. Perawat dapat memberikan dampak yang signifikan dalam

mencegah dan meminimalkan resiko henti jantung pada infark miokard akut.

Meningkatnya prevalensi henti jantung menuntut perawat untuk dapat menafsirkan

EKG dengan cepat dan akurat dalam mencegah konsekuesi IMA yang tidak

diinginkan (Attin et al., 2016).

Mengidentifikasi strategi keperawatan yang sesuai untuk faktor risiko

kematian akibat henti jantung merupakan fokus dari penelitian keperawatan klinis

infark miokard akut saat ini. Henti jantung pada pasien dengan IMA dikaitkan

dengan beragam faktor penyebab. Pendekatan keperawatan yang aktif dan efektif

dapat membantu mengurangi risiko henti jantung pada pasien IMA. Strategi

keperawatan perlu disesuaikan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan

predictor henti jantung pada infark miokard akut. Hal ini bertujuan agar perawat

yang bekerja dalam sebuah tim interdisiplin dapat melakukan perencanaan

sumber daya keperawatan yang sesuai, pemantauan EKG berkelanjutan dan

observasi yang ketat dalam mencegah terjadi henti jantung pada pasien IMA. Hal

ini sebagai upaya dalam membantu mengurangi kematian akibat IMA dan

meningkatkan prognosis pasien (Cui et al., 2018).

Ada beberapa sistem skor yang digunakan untuk stratifikasi risiko pasien

STEMI. Contohnya termasuk skor Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI),


5
skor Global Registry of Acute Coronary Event (GRACE), Platelet glyco-protein IIb

/ IIIa pada angina tidak stabil: skor Receptor Suppression Using Integrilin

(PURSUIT), Revaskularisasi Cepat pada skor Instability in Coronary disease

(FRISC), skor HEART, dan skor CHADS2. Skor ini sebagian besar digunakan

untuk memprediksi mortalitas dan morbiditas selama masa tindak lanjut. Cara

untuk memprediksi In-Hosptal Cardiac Arrest (IHCA) di antara pasien STEMI tetap

tidak tersedia (Han, 2017).

Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di RSUD dr. Abdul

Aziz dapat diketahui bahwa terdapat 42 pasien yang dirawat di ruang ICU dan

penyakit dalam selama tahun 2020. Dari jumlah tersebut terdapat 13 pasien yang

meninggal dengan penyebab terbanyak adalah syok kardiogenik. Usia, jumlah

penyakit penyerta dan kelas killip merupakan faktor terbesar yang dapat

memprediksi terjadinya henti jantung. Berdasarkan latar belakang tersebut,

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor prediktor kejadian

henti jantung pada pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Apakah faktor-faktor prediktor terjadinya henti jantung pada pasien Infark

Miokard Akut di Kota Singkawang?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menganalisis faktor-faktor prediktor dan hubungannya dengan

kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut di Kota Singkawang.

6
1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1) Mengidentifikasi hubungan usia dengan kejadian henti jantung pada pasien

infark miokard akut di kota Singkawang.

2) Mengidentifikasi hubungan jenis kelamin dengan kejadian henti jantung pada

pasien infark miokard akut di kota Singkawang.

3) Mengidentifikasi hubungan tekanan sistolik dengan kejadian henti jantung

pada pasien infark miokard akut di kota Singkawang.

4) Mengidentifikasi hubungan tekanan diastolik dengan kejadian henti jantung

pada pasien infark miokard akut di kota Singkawang.

5) Mengidentifikasi hubungan heart rate dengan kejadian henti jantung pada

pasien infark miokard akut di kota Singkawang.

6) Mengidentifikasi hubungan jumlah penyakit komorbid dengan kejadian henti

jantung pada pasien infark miokard akut di kota Singkawang.

7) Mengidentifikasi hubungan lama rawat dengan kejadian henti jantung pada

pasien infark miokard akut di kota Singkawang.

8) Mengidentifikasi hubungan kelas killip dengan kejadian henti jantung pada

pasien infark miokard akut di kota Singkawang.

9) Mengidentifikasi hubungan enzim troponin dengan kejadian henti jantung

pada pasien infark miokard akut di kota Singkawang.

10) Mengidentifikasi hubungan gambaran EKG dengan kejadian henti jantung

pada pasien infark miokard akut di kota Singkawang.

11) Mengetahui factor yang paling dominan dalam mempengaruhi kejadian henti

jantung pada pasien infark miokard akut di kota Singkawang.

7
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat ilmiah

Penelitian ini diharapkan mampu menambah keragaman ilmu pengetahuan

dan wawasan bagi dunia keperawatan khususnya pelayanan kegawatdaruratan di

Rumah Sakit untuk melaksanakan asuhan keperawatan agar berfokus kepada

faktor prediktor dalam mencegah henti jantung pada pasien infark mikard akut

selama menjalani perawatan.

1.4.2 Manfaat praktis

Hasil penelitian diharapkan memberikan data dan evidence based bagi

perawat untuk meningkatkan kewaspadaan/awareness terhadap faktor-faktor

yang dapat menyebabkan terjadinya henti jantung pada pasien infark miokard akut

selama proses perawatan di rumah sakit sehingga dapat meningkatkan mutu

asuhan keperawatan khususnya dalam pencegahan in-hospital cardiac arrest.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Teori Infark Miokard Akut

2.1.1 Pengertian Infark Miokard Akut

Definisi Infark Miokard Akut (IMA) mengalami pembaruan secara universal.

Definisi umum infark miokard akut tidak terbatas pada patologi yang mendasari

dan tetap tidak berubah. Infark miokard akut didefinisikan sebagai nekrosis

miokard akibat iskemia miokard yang berkepanjangan (Thygesen et al., 2012).

2.1.2 Kriteria Definisi Infark Miokard Akut

Infark Miokard didefinisikan dengan adanya nekrosis miokard yang terjadi

secara konsisten ditandai dengan adanya iskemia miokard akut dan peningkatan

biomarker jantung (troponin) minimal satu nilai diatas URL persentil ke-99 dengan

setidaknya terdapat salah satu gejala berikut yaitu : iskemia, perubahan

gelombang ST, adanya gelombang Q Patologis, bukti pencitraan dan thrombus

coroner (Thygesen et al., 2018).

Tabel 2.1 Definisi Universal Infark Miokard Akut

Tipe Definisi Cut Off Troponin


Infark Jantung
Miokard
Tipe 1 Disfungsi asrteri coroner karena adanya > Persentil ke-99
plak yang disertai dengan aterotrombosis
koroner
Tipe 2 Iskemia yang terjadi karena > Persentil ke-99
ketidakseimbangan suplai oksigen
Tipe 3 Kematian jantung yang disebabkan oleh -
gejala iskemia miokard disertai dengan
dugaan perubahan EKG iskemik
Tipe 4A Infark miokard terkait dengan intervensi > 5 kali persentil
koroner perkutan ke-99*
Tipe 4B Infark miokarTabel jangan d terkait > Persentil ke-99
dengan trombosis stent
Tipe 5 Infark miokard terkait dengan > 10 kali persentil
pencangkokan bypass arteri coroner/ ke-99
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)
(Thygesen et al., 2018)

9
2.1.3 Etiologi Infark Miokard Akut

Penyebab infark miokard akut adalah penurunan aliran darah koroner.

Pasokan oksigen yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen,

sehingga terjadi iskemia jantung. Aliran darah koroner yang menurun bersifat

multifaktorial. Plak aterosklerotik secara klasik pecah dan menyebabkan

trombosis, berkontribusi pada penurunan aliran darah di koroner secara akut

(Massberg & Polzin, 2018). Etiologi lain dari penurunan oksigenasi / iskemia

miokard termasuk emboli arteri koroner, yang terjadi pada 2,9% pasien, iskemia

yang diinduksi kokain, diseksi koroner, dan vasospasme coroner (Scheen AJ,

2018).

Selain itu, terdapat faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu Seks,

Usia, Sejarah keluarga, Pola kebotakan pria. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

yaitu merokok, dislipidemi, diabetes mellitus, hipertensi, kegemukan, kurang olah

raga, kebersihan mulut yang buruk, adanya penyakit vaskular perifer, dan

peningkatan kadar homosistein. Penyebab IMA lainnya adalah trauma, vaskulitis,

penggunaan narkoba (kokain), anomali arteri coroner, emboli arteri coroner,

diseksi aorta, aktivitas berlebih pada jantung seperti kasus hipertiroidisme dan

anemia (Mechanic & Grossman, 2020).

2.1.4 Patofisiologi Infark Miokard Akut

Infark miokard ditandai dengan adanya nekrosis pada otot jantung yang

terjadi secara ireversibel akibat aliran darah yang tidak adekuat. Jantung adalah

pompa otot yang berfungsi untuk mengalirkan darah yang mengandung oksigen

ke seluruh sel dalam tubuh dan mengembalikan darah terdeoksigenasi ke paru-

paru. Miokardium membutuhkan suplai oksigen agar dapat bekerja secara efektif.

Suplai tersebut berasal dari dua arteri koroner utama dan cabangnya (Duksta &

Younker, 2012).

10
1) Arteri Koroner Utama Kiri

Arteri coroner kiri memasok darah ke ruang di sisi kiri jantung melalui

cabang-cabangnya, Darah yang berasal dari arteri turun ke anterior kiri dan arteri

sirkumfleksa. LAD memberikan darah ke bagian depan sisi kiri jantung. Lingkaran

sirkumfleksa jantung berfungsi untuk mensuplai darah ke bagian samping dan

posterior jantung (Duksta & Younker, 2012).

2) Arteri koroner kanan

Arteri koronen kanan berfungsi memasok darah ke sisi kanan jantung,

termasuk node sinoatrial (SA) dan node atrioventricular (AV). Node ini, khususnya

SA node, bekerja untuk mengatur detak jantung (Duksta & Younker, 2012).

Apabila suplai darah ke jantung terganggu selama lebih dari 20 menit, maka

akan terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis secara permanen yang disebut

sebagai infark miokard. Kondisi apa pun yang dapat mengganggu aliran darah ke

jantung berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan. Aterosklerosis adalah

penyebab paling umum yang mengganggu aliran darah ke jantung. Aterosklerosis

merupakan penumpukan timbunan lemak atau plak di dinding arteri. Plak di arteri

dapat menembus endotel dan bersentuhan dengan aliran darah. Permukaan kasar

dari plak mengaktifkan mekanisme pembekuan tubuh. Trombus atau bekuan

darah dapat menyumbat pembuluh dan mencegah aliran darah ke bagian suplai

miokardium. Kurangnya aliran darah secara terus menerus menyebabkan

kekurangan oksigen yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan

(Duksta & Younker, 2012).

Sumbatan trombotik koroner dapat mengganggu perfusi miokard yang

menyebabkan kondisi iskemia karena terhentinya fosforilasi oksidatif. Kondisi ini

mebuat adenosin trifosfat (ATP) akan dihasilkan oleh kardiomiosit yang mengalami

iskemia dengan cara yang tidak lazim yakni glikolisis anerobik. Penumpukan

asam laktat dalam jaringan miokard sebagai efek samping dari glikolisis anerobik
11
menyebabkan kondisi asidosis intraseluler dan hyperosmolar. Kondisi ini sangat

berbahaya bagi jantung. Asidosis intraseluler dapat berakibat pada kematian sel

karena kadar ATP akan jatuh pada batas minimal untuk mempertahankan fungsi

membran akibat terhambatnya aktifitas enzim sehingga metabolisme glikoslisis

akan terhenti. Sedangkan kondisi hiperosmolar akan memicu peningkatan cairan

intersisial dan penurunan komplians miokard (Canty & Duncker, 2015).

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah

koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat

menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).

Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium

karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), disritmia dan

remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian

pasien sindrom koroner akut tidak mengalami pecahnya plak aterosklerosis

namun disebabkan karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri

koronaria epikardial (Irmalita et al., 2015).

2.1.5 Tanda dan Gejala Infark Miokard Akut

Terlepas dari variasi gejala, IMA muncul dengan beberapa gejala "klasik"

yaitu :

1) Nyeri dada yang dirasakan seperti tertekan di daerah tulang dada. Nyeri

berlangsung lebih dari 30 menit. Gejala ini tidak dapat diatasi dengan kondisi

istirahat, pemberian nitrogliserin, dan perubahan postur atau posisi.

2) Nyeri menjalar ke leher, rahang, bahu, lengan, atau punggung.

3) Selain nyeri, penderita mengalami dispnea, diaphoresis, mual, atau muntah.

Beberapa pasien mungkin mengeluhkan ketidaknyamanan yang terasa

seperti "mulas".

4) Sinkop yang tidak dapat dikaitkan dengan kondisi lain. (Duksta & Younker,

2012).
12
Penting untuk diperhatikan bahwa beberapa pasien akan mengalami semua

gejala ini; orang lain mungkin hanya mengalami satu atau beberapa. Bertentangan

dengan apa yang diyakini banyak orang, timbulnya gejala paling sering terjadi saat

istirahat dan dini hari.

2.1.6 Klasifikasi Klinis Infark Miokard Akut

Pemeriksaan EKG dapat membantu mengklasifikasi infark miokard akut.

Berdasarkan pemeriksaan EKG, Infark Miokard Akut dapat didiagnosis apabila

terdapat gelombang Q pada beberapa sadapan atau > 0,04 detik. Ketika

gelombang Q dihubungkan dengan deviasi segmen ST atau perubahan

gelombang selama < 3 detik pada lead yang sama maka meningkatkan

kemungkinan infark miokard akut (Thygesen et al., 2018).

Infark Miokard Akut pada pasien dengan ketidaknyamanan dada atau

gejala iskemik lainnya, yang mengembangkan elevasi segmen ST baru di 2 lead

yang berdekatan atau blok cabang bundel baru dengan pola repolarisasi iskemik

sebagai MI ST-elevasi (STEMI). Sebaliknya, pasien tanpa elevasi ST-segmen

pada presentasi biasanya disebut MI non-ST-elevasi (NSTEMI). Kategori pasien

dengan STEMI, NSTEMI, atau angina tidak stabil biasanya dimasukkan dalam

konsep Acute Coronary Syndrome (ACS). Selain kategori ini, IMA dapat

diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis berdasarkan perbedaan patologis, klinis,

dan prognostik, bersama dengan strategi pengobatan yang berbeda (Thygesen et

al., 2018). Tingkat keparahan IMA juga dapat diidentifikasi dengan menentukan

klasifikasi Killip pada penderita infark miokard akut berdasarkan pedoman Killip T

& Kimball JT (1967) yaitu :

1) Killip I: Tanpa gagal jantung;

2) Killip II: Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan

peningkatan tekanan vena pulmonalis;

3) Killip III: Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru;
13
4) Killip IV: Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg)

dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis, dan diaforesis).

2.1.7 Diagnosis

1) Gejala Klinis

Iskemia miokard dalam pengaturan klinis paling sering diidentifikasi dari

riwayat pasien dan dari EKG. Gejala iskemik yang mungkin terjadi meliputi

berbagai kombinasi ketidaknyamanan dada, ekstremitas atas, rahang bawah, atau

epigastrium selama aktivitas atau saat istirahat, atau iskemik yang setara seperti

dispnea atau kelelahan. Seringkali, ketidaknyamanan menyebar; tidak

terlokalisasi, atau posisional, atau terpengaruh oleh pergerakan wilayah. Namun

gejala tersebut tidak spesifik untuk iskemia miokard dan dapat diamati pada

kondisi lain seperti keluhan gastrointestinal, neurologis, paru, atau

muskuloskeletal. IMA dapat terjadi dengan gejala atipikal seperti palpitasi atau

henti jantung, atau bahkan tanpa gejala (Thygesen et al., 2018).

2) Deteksi Biomarker

Troponin jantung I (cTnI) dan T (cTnT) adalah komponen alat kontraktil sel

miokard dan diekspresikan hampir secara eksklusif di jantung (Thygesen et al.,

2012). Peningkatan nilai cTnI belum dilaporkan terjadi sebagai akibat cedera pada

jaringan nonkardiak. Sedangkan pada cTnT, data biokimia menunjukkan bahwa

cedera otot rangka mengekspresikan protein yang terdeteksi oleh uji cTnT, yang

mengarah ke beberapa situasi di mana peningkatan cTnT dapat berasal dari otot

rangka (Mair et al., 2018). Biomarker seperti cTnI dan cTnT adalah pilihan untuk

evaluasi cedera miokard, uji high-sensitivity (hs) -cTn direkomendasikan untuk

penggunaan klinis rutin. Biomarker lainnya, seperti CK-MB dianggap kurang

sensitif dan kurang spesifik. Cedera miokard terjadi saat kadar cTn dalam darah

meningkat di atas batas referensi atas persentil ke-99. Cedera akut dibuktikan

dengan pola naik dan turunnya nilai cTn yang baru terdeteksi di atas URL persentil
14
ke-99, atau kronis, dalam pengaturan level cTn yang terus meningkat (Apple,

2015).

Gambar 2.1. Ilustrasi kinetika troponin jantung pada pasien infark miokard

akut (Thygesen et al., 2018).

3) Pemeriksaan EKG

Dalam definisi universal terbaru,diperkenalkan faktor tambahan usia pasien.

Pada sadapan V2-V3 titik potong untuk elevasi titik J adalah ≥ 0.2mV pada pria

≥40 tahun, ≥0.25 mV pada pria <40 tahun dan ≥0.15 mV pada wanita, tanpa

adanya blokade cabang berkas kiri dari hipertrofi ventrikel kiri . Derajat

perpindahan ST yang lebih rendah atau inversi gelombang T tidak mengecualikan

iskemia miokard akut yang berkembang. Direkomendasikan untuk menggunakan

sadapan tambahan seperti V3R dan V4R (yang mencerminkan dinding bebas

ventrikel kanan) dan V7-V9 (mencerminkan dinding inferobasal), serta rekaman

EKG serial, pada pasien yang datang dengan nyeri dada iskemik dan EKG awal

non-diagnostik (Nikus et al., 2014).

4) Teknik Pencitraan

Teknik pencitraan yang umum digunakan pada IMA adalah ekokardiografi,

MPS (Myocardial Perfusion Scintigraphy) menggunakan SPECT (Single photon

15
emission computed tomography) atau PET (Positron emission tomography), CMR

(Cardiac magnetic resonance), dan kemungkinan CT (computed tomography).

Ada banyak tumpang tindih dalam kemampuan masing-masing teknik pencitraan

dalam menilai viabilitas, perfusi, dan fungsi miokard ke tingkat yang lebih besar

atau lebih kecil. Hanya teknik radionuklida yang memberikan penilaian langsung

terhadap viabilitas miosit karena sifat inheren pelacak yang digunakan. Teknik lain

memberikan penilaian tidak langsung dari viabilitas miokard, seperti respons

kontraktil terhadap dobutamin dengan ekokardiografi, atau peningkatan ruang

ekstraseluler akibat hilangnya miosit oleh CMR atau CT (Thygesen et al., 2018).

2.1.8 Faktor Resiko Infark Miokard Akut

Ada berbagai faktor risiko IMA, beberapa faktor dapat dimodifikasi

sedangkan faktor lainnya tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko utama IMA

dijelaskan di bawah ini :

1) Aktivitas Fisik

Kurangnya akivitas fisik akan mengakibatkan kelebihan kalori dalam tubuh

sehingga tidak terbuang melalui pembakaran. Hal ini akan menyebabkan

penimbunan lemak di tubuh sehingga mempengaruhi gerak jantung dalam

memompa darah, sehingga banyak anggota tubuh kurang suplai oksigen.

Olahraga yang dapat dilakukan adalah berjalan kaki, jalan cepat, atau jogging.

Kegiatan olahraga yang bukan bersifat kompetisi dan tidak terlalu

berlebihan dapat menguatkan kerja jantung dan melancarkan peredaran darah ke

seluruh tubuh (Widodo, 2012).

Aktivitas fisik dapat berkontribusi terhadap penurunan risiko penyakit jantung

koroner sebanyak 20-30 % .Berbagai jenis aktivitas fisik dapat memiliki efek

berbeda pada risiko penyakit kardiovaskular dan dapat berinteraksi bersama

(Rathore, 2018).

16
2) Merokok

Merokok dianggap sebagai faktor risiko kuat dari infark miokard,

aterosklerosis prematur, dan kematian jantung mendadak. Merokok menyebabkan

STEMI dini terutama pada pasien yang lebih sehat. Merokok meningkatkan risiko

IMA melalui mekanisme yang beragam dan kompleks. Sehubungan dengan

aterogenesis, merokok meningkatkan konsentrasi kolesterol LDL dan trigliserida

serum dan mengurangi kolesterol HDL serum. Selain itu, asap rokok

meningkatkan kerusakan radikal bebas pada LDL, yang menyebabkan akumulasi

kolesterol LDL yang teroksidasi di dalam dinding arteri (Rathore et al., 2018).

3) Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol dikaitkan dengan risiko infark miokard yang lebih tinggi

pada jam-jam berikutnya di antara orang-orang yang biasanya tidak minum alkohol

setiap hari. Kebiasaan konsumsi alkohol yang moderat dikaitkan dengan risiko

kejadian kardiovaskular yang lebih rendah pada bulan dan tahun berikutnya.

Konsumsi alkohol secara episodik dikaitkan dengan risiko kardiovaskular yang

lebih tinggi (Mostofsky, 2015).

4) Dyslipidemia

Dislipidemia merupakan faktor risiko utama penyakit kardiovaskular,

umumnya didefinisikan sebagai kadar kolesterol total, LDL, trigliserida, apo B atau

Lp (a) di atas persentil ke-90 atau HDL dan tingkat apo A di bawah persentil ke-10

dari populasi umum. Peningkatan kadar trigliserida dan LDL menjadi faktor risiko

predisposisi infark miokard. Kadar trigliserida non puasa menjadi prediktor yang

kuat dan independen untuk risiko IMA di masa depan, terutama jika kadar

kolesterol total juga meningkat (Rathore et al., 2018).

5) Diabetes Mellitus

Peningkatan prevalensi diabetes secara tidak langsung berimplikasi pada

peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler. Diabetes meningkatkan risiko penyakit


17
jantung koroner (PJK) sebanyak dua hingga empat kali lipat. Pasien dengan

diabetes menanggung risiko lebih besar terkena penyakit vaskuler aterosklerotik

di jantung serta di area vaskularisasi lainnya (Rathore et al., 2018).

6) Hipertensi

Hipertensi sistolik dan diastolik meningkatkan risiko infark miokard dan

semakin tinggi tekanannya, semakin besar risikonya. hal Ini adalah faktor risiko

utama penyebab aterosklerosis pada pembuluh darah koroner, mengakibatkan

serangan jantung atau infark miokard. Di usia tua, hipertensi bahkan lebih buruk

bagi jantung dan bertanggung jawab atas setidaknya 70 persen penyakit jantung

(Rathore et al., 2018).

7) Obesitas

Peningkatan BMI berhubungan langsung dengan kejadian infark miokard.

Infark sangat ditingkatkan oleh obesitas ekstrim karena merupakan faktor risiko

infark miokard yang diakui. Kelebihan berat badan dan obesitas berhubungan

dengan risiko IMA yang lebih tinggi (Zhu et al., 2014).

8) Stres

Stres, isolasi sosial dan kecemasan meningkatkan risiko serangan jantung

dan stroke. Stres psikologis akut juga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit

jantung koroner, dan telah dilaporkan bahwa kesedihan yang intens pada hari-hari

setelah kematian seseorang dapat memicu terjadinya infark miokard (Mostofsky,

2012).

9) Gout

Pada pasien gout, respon inflamasi yang terkait dengan gout memainkan

peran kunci dalam inisiasi dan perkembangan aterosklerosis, dan promosi

lingkungan pro-trombotik yang mengarah ke kejadian koroner akut seperti angina

atau infark miokard (Liu et al., 2015).

18
10) Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal adalah sekelompok penyakit inflamasi di mana bakteri

dan produk sampingannya merupakan agen etiologi utama. Terdapat bukti yang

berkembang bahwa kesehatan gigi yang buruk, terutama adanya penyakit

periodontal, meningkatkan risiko terjadinya PJK (Rathore et al., 2018).

11) Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga dari infark miokard merupakan faktor risiko independen

untuk IMA. Beberapa varian genetik dikaitkan dengan peningkatan risiko IMA dan

riwayat keluarga (Rathore et al., 2018).

12) Umur

Usia lanjut dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada infark miokard akut.

Mekanisme dimana peningkatan usia berkontribusi secara dramatis terhadap

mortalitas. Sekitar 80% kematian akibat penyakit jantung terjadi pada orang yang

berusia 65 atau lebih (Huma et al., 2012).

13) Jenis kelamin

Pria cenderung mengalami serangan jantung lebih awal daripada wanita.

Tingkat serangan jantung wanita meningkat setelah menopause tetapi tidak sama

dengan tingkat pria. Meski begitu, penyakit jantung merupakan penyebab utama

kematian baik bagi pria maupun wanita (Huma et al., 2012).

2.1.9 Komplikasi

1) Ventrikular Septal Ruptur

Ventrikular Septal Ruptur (VSR) menunjukkan kerusakan pada septum

interventrikel yang disebabkan oleh nekrosis iskemik setelah IMA. Sebelum

diperkenalkannya trombolisis dan PCI primer, VSR terjadi pada 1% sampai 2%

pasien setelah IMA dan biasanya muncul antara 3 dan 5 hari setelah IMA. Sejak

diperkenalkannya terapi reperfusi awal, kejadian VSR telah menurun menjadi

19
0,17% dan biasanya didiagnosis dalam 24 jam pertama setelah presentasi IMA

(Kutty et al., 2013).

2) Free Wall Rupture (FWR)

Insiden FWR adalah 2% dan meningkat menjadi 6,2% di era pra-perfusi. Hal

ini menyumbang 15% dari kematian setelah IMA. Namun, kejadiannya telah

menurun secara signifikan di era perfusi. Kejadian FWR adalah 0,2% dengan

mortalitas di rumah sakit sebesar 80% . PCI secara independen mengurangi risiko

perbandingan FWR dengan trombolitik. Kematian jangka pendek tetap sangat

tinggi bahkan dengan diagnosis cepat dan pembedahan tepat waktu. Sebagian

besar ruptur terjadi dalam 3 hingga 5 hari pertama tetapi dapat terjadi hingga 2

minggu. Beberapa faktor yang terkait dengan FWR meliputi: usia lebih dari 55

tahun, jenis kelamin wanita, tidak ada riwayat MI sebelumnya, benar-benar

tersumbatnya anterior kiri menurun (LAD), transmural MI, hipertensi, kelas killip

lebih > 2, peningkatan ST yang persisten, dan penggunaan kortikosteroid dan obat

inflamasi nonsteroid (Bajaj et al., 2015).

3) Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik adalah keadaan perfusi jaringan yang tidak adekuat karena

curah jantung yang rendah. Hal Ini didefinisikan sebagai hipotensi persisten

(tekanan darah sistolik <80 atau 90 mm Hg atau tekanan arteri rata-rata <30 mm

Hg di bawah garis dasar) dengan penurunan berat pada indeks jantung kurang

dari 1,8 L / menit per m2 tanpa dukungan atau kurang dari 2,2 L / menit per mm2

dengan dukungan dan tekanan pengisian yang memadai atau tinggi, misalnya,

tekanan diastolik ujung ventrikel kiri (LVEDP) lebih besar dari 18 atau tekanan

diastolik akhir ventrikel kanan (RVEDP) lebih besar dari 10 hingga 15 mm Hg (Bajaj

et al., 2015).

20
4) Acute Mitral Regurgitation

Ada 2 mekanisme utama perkembangan Mitral Regurgitation, pertama adalah

pecahnya PMR secara tiba-tiba dan yang kedua adalah disfungsi dinding otot

papiler yang berhubungan dengan iskemia. Biasanya hal ini terjadi 2 hingga 7 hari

setelah IMA dengan gejala berkisar dari gagal jantung akut dekompensasi hingga

syok kardiogenik, yang mengarah ke hipotensi dan gagal pernapasan akut karena

edema paru (Bajaj et al., 2015).

5) Right Ventricle Infarction (RVI)

Tanda dan gejala Right Ventricle Infarction (RVI) bervariasi dan berkisar dari

pasien tanpa gejala hingga syok kardiogenik. Tiga gejala klasik RVI yaitu hipotensi,

vena leher buncit, dan bidang paru-paru yang jelas dalam pengaturan dinding

inferior infark miokard memiliki sensitivitas yang sangat rendah untuk RVI, sekitar

25% . Tekanan vena jugularis yang meningkat dan tanda kussmaul dalam

pengaturan infark miokard dinding inferior memiliki sensitivitas yang sangat tinggi

88 % dan spesifisitas 100% .Elektrokardiogram berperan sangat penting dalam

mendiagnosis RVI. Dalam pengaturan infark miokard dinding inferior, sadapan sisi

kanan harus selalu diambil dan elevasi ST di V1 hingga V6R memastikan

diagnosis. Elevasi ST terisolasi 1 mm atau lebih di V4R sudah cukup untuk

mendiagnosis RVI (Bajaj et al., 2015).

2.2 Konsep Teori Henti Jantung

2.2.1 Definisi Henti Jantung

Menurut American Heart Association (2015), Henti jantung adalah

keadaan di mana sirkulasi darah berhenti akibat kegagalan jantung untuk

berkontraksi secara efektif. Berhentinya fungsi jantung dapat terjadi secara tiba-

tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui menderita penyakit jantung.

Waktu dan kejadiannya tidak diduga-duga, yakni segera setelah timbul keluhan.
21
Hal ini terjadi ketika sistem kelistrikan jantung menjadi tidak berfungsi dengan

baik dan menghasilkan irama jantung yang tidak normal.

Henti jantung didefinisikan sebagai pasien yang dievaluasi oleh personel

layanan medis darurat (EMS) atau unit gawat darurat (UGD) dan: menerima upaya

defibrilasi eksternal (oleh responden awam atau personel gawat darurat) atau

kompresi dada oleh personel EMS atau UGD terorganisir; atau kondisi nadi yang

tidak berdenyut tetapi tidak menerima defibrilasi atau resusitasi kardiopulmoner

oleh personel EMS (Kontos et al., 2019)

2.2.2 Etiologi Henti Jantung

Tabel 2.2 etiologi henti jantung

Etiologi Henti Jantung (Sudoyo et al., 2015).


1. Penyakit Jantung (82,4%) -
2. Penyebab internal non-jantung (8,6%) Penyakit paru,
serebrovaskular, kanker,
perdarahan saluran cerna,
obstetrik pediatrik,emboli
paru, epilepsy, diabetes
mellitus, ginjal.
3. Penyebab eksternal non-jantung (9,0 %) Trauma, asfiksia, overdosis
obat, upaya bunuh diri, listrik
dan petir.
Etiologi henti jantung (Patel & Hipskind, 2020)
Penyakit jantung struktural 70 % penyakit koroner iskemik
Penyebab struktural lainnya 20 % gagal jantung kongestif,
hipertrofi ventrikel kiri,
kelainan arteri koroner
kongenital, displasia ventrikel
kanan aritmogenik,
kardiomiopati obstruktif
hipertrofik, dan tamponade
jantung.
Penyebab non-jantung 10 % perdarahan intrakranial,
emboli paru, pneumotoraks,
henti napas primer, konsumsi
racun termasuk overdosis
obat, kelainan elektrolit,
infeksi parah (sepsis),
hipotermia, atau trauma.

22
2.2.3 Manifestasi Klinis Henti Jantung

Manifestasi klini henti jantung menurut Cameron, Brown, & Little, (2015)

yaitu:

1) Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,

tepukan di pundak ataupun cubitan.

2) Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan

pernafasan dibuka.

3) Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

2.2.4 Kelompok Risiko Henti Jantung

1) Individu dengan penyakit jantung tak diketahui

Sekitar 50% dari serangan jantung terjadi pada individu tanpa penyakit

jantung yang diketahui, tetapi sebagian besar menderita penyakit jantung iskemik

yang disembunyikan. Sebagai konsekuensinya, pendekatan yang paling efektif

untuk mencegah henti jantung mendadak dalam populasi umum adalah meminta

konfirmasi risiko individu untuk mengembangkan penyakit jantung iskemik

berdasarkan grafik skor serum, diikuti dengan pengendalian faktor-faktor risiko

seperti total kolesterol, glukosa, tekanan darah, merokok dan indeks massa tubuh.

Sekitar 40% dari penurunan henti jantung mendadak yang diamati adalah

konsekuensi langsung dari penurunan penyakit jantung koroner dan kondisi

jantung lainnya (Perk et al., 2012).

2) Penderita penyakit jantung iskemik

Kelompok yang mempunyai risiko mengalami henti jantung adalah pasien

dengan iskemia miokard, termasuk pasien-pasien dengan stimulasi ventrikel

terprogram/ programmed ventricular stimulation (PVS), potensi terlambat,

variabilitas detak jantung, sensitivitas refleks baro, dispersi interval QT, alternans

gelombang-T mikrovolt dan turbulensi detak jantung. Namun, tidak satu pun dari
23
prediktor-prediktor ini yang mempengaruhi praktik klinis. Satu-satunya indikator

yang secara konsisten menunjukkan hubungan dengan peningkatan risiko

kematian mendadak dalam pengaturan infark miokard dan disfungsi ventrikel kiri

adalah Left Ventrikel Ejection Fraction (LVEF) . Variabel ini telah digunakan untuk

lebih dari satu dekade untuk menargetkan penggunaan implantabel cardioverter

defibrillator (ICD) untuk pencegahan primer henti jantung (Priori et al., 2015).

3) Pasien dengan penyakit aritmogenik yang diturunkan

Ketersediaan kimia untuk stratifikasi risiko sangat heterogen di antara

channelopathies dan kardiomiopati yang berbeda, sedangkan durasi interval QT

yang dikoreksi (QTc) adalah indikator yang dapat diandalkan untuk risiko kejadian

jantung pada sindrom long QT (LQTS), dan septum hipertrofi memprediksi hasil

pada hipertrofik kardiomiopati (HCM). pada penyakit lain, seperti sindrom Brugada

atau sindrom QT pendek (SQTS), metrik stratifikasi risiko tidak kuat, meninggalkan

ketidakpastian tentang bagaimana menargetkan penggunaan profilaksis

penggunaan implantabel cardioverter defibrillator (ICD). Sejauh ini, informasi

genetik mungkin digunakan untuk memandu stratifikasi risiko hanya pada

beberapa penyakit seperti LQTS dan lamin A/C yang berhubungan dengan

cardiomyopathy (Priori et al., 2015).

2.2.5 Patofisiologi Henti Jantung

Henti jantung sering diawali dengan timbulnya aritmia. Secara garis besar

aritmia terdiri atas dua kelompok besar, yaitu bradiaritmia yang dicirikan dengan

laju jantung yang terlalu lambat (kurang dari 60 kali per menit/) dan takiaritmia yang

dicirikan dengan laju jantung yang terlalu cepat (lebih dari 100 kpm). Masing-

masing kelompok terdiri atas berbagai jenis aritmia (Yuniadi, 2017).

Aritmia merupakan tanda malfungsi sistem kelistrikan jantung yang

dimanifestasikan melalui 4 irama jantung yang tidak normal, diantaranya adalah

24
fibrilasi ventrikular (VF), takikardi ventrikel (VT), pulseless electrical activity (PEA),

dan asystole (Neumar et al., 2010).

1) Ventricular Tachicardia (VT)

VT sering terjadi pada pasien kardiomiopati, penyakit jantung koroner,

hipertensi, atau kelainan katup. Pada kasus benigna, VT dapat juga terjadi pada

pasien dengan struktur jantung normal. Tanda dan gejala VT biasanya dapat

diketahui dari ritme jantung cepat yang berasal dari ventrikel di bawah berkas His,

pada miokardium atau keduanya. VT dapat dibedakan dari takikardia

supraventrikuler dengan adanya kompleks QRS lebar pada EKG. TV dapat

ditangani dengan terapi obat antiaritmia, impantabel cardioverter defibrillators

(ICD), dan ablasi kateter (Siagian, 2018).

Gambar 2.2 Gambaran VT pada pasien VT dan etiologinya (Siagian,

2018)

2) Ventricular Fibrillation (VF)

Pada kondisi VF, terjadi depolarisasi ventrikel yang kacau dan tidak

terkoordinasi. Kontraksi sinkron dari ventrikel hilang, dengan kelompok sel pada

tahap depolarisasi dan repolarisasi yang berbeda. Di jantung yang terbuka,

ventrikel tampak bergetar. Ini adalah ritme henti jantung dimana aksi pemompaan

25
ventrikel berhenti dan kematian akan terjadi dalam beberapa menit kecuali jika

syok defibrilatori diterapkan (Humphreys & Warlow, 2011).

Jantung akan bergetar sangat cepat dan tidak teratur sehingga menyebabkan

tidak adanya darah yang mengalir ke seluruh tubuh atau sedikit darah yang dapat

dipompa oleh jantung. ciri khas dari VF adalah irama jantung ireguler, frekuensi

jantung tidak dapat dihitung, tidak ditemukan gelombang P dan interval PR dan

gelombang QRS yang tidak dapat dihitung serta ireguler (Brunner & Suddarth,

2013).

Jantung bergetar sangat cepat dan tidak teratur. Ketika kondisi ini terjadi

menyebabkan jantung akan memompa sedikit darah atau tidak ada darah yang

mengalir ke tubuh. Karakteristiknya meliputi irama ireguler, frekuensi tidak dapat

dihitung, tidak ditemukan gelombang P dan interval PR dan gelombang QRS yang

tidak dapat dihitung serta ireguler (Brunner & Suddarth, 2013).

Gambar 2.3 Ritme EKG Ventricular fibrillation (Brunner & Suddarth, 2013)

3) PEA (pulseless electric activity)

PEA dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok / tahapan: PEA normotensif,

Pseudo-PEA, dan PEA sejati. PEA normotensif terjadi dalam situasi kontraksi

jantung dasar dan pemendekan serat miokard dan biasanya terjadi akibat masalah

ekstrakardiak, seperti pneumothroax ketegangan atau tamponade. Pseudo-PEA

didefinisikan sebagai situasi dengan kontraksi miokard yang lemah yang hanya

menghasilkan tekanan aorta yang dapat dideteksi yang diukur dengan

pemantauan invasif atau ekokardiografi. PEA sejati adalah tidak adanya kontraksi

miokard, yang biasanya merupakan tahap akhir PEA yang terjadi setelah paparan

26
asidosis, hipoksia atau tonus vagal yang meningkat dalam waktu lama (Patil et al.,

2015).

Gambar 2.4 Ritme EKG pulseless electric activity (Brunner & Suddarth,

2013)

4) Asistole

Asistol terjadi karena tidak adanya aktivitas listrik di jantung sehingga

menyebabkan serangan jantung. Asistol adalah hasil dari pacu jantung primer dan

kedua yang gagal, membuat tidak ada depolarisasi, tidak ada kontraksi, tidak ada

curah jantung, dan tidak ada perfusi ke seluruh tubuh. Asistol juga dikenal sebagai

aritmia kematian. Pasien mengalami henti jantung paru, tanpa inisiasi CPR yang

cepat dan pengobatan yang tepat, kematian akan terjadi dalam beberapa menit

(Coviello 2016). Asistol disebabkan oleh hipoksia miokard; penyebab paling sering

adalah kerusakan jantung parah yang menyebabkan kegagalan sistem produksi

jantung. Pasien asistol akan tidak responsif tanpa denyut nadi, tekanan darah,

atau pernapasan; pupil tetap dan melebar; kulit berwarna sianotik atau belang-

belang (Jordan & Morrisonpoce, 2019).

27
Gambar 2.5 Ritme Gelombang Asistol (Ceyssens, J. 2016)

2.2.6 Penatalaksanaan

Pasien yang mengalami serangan jantung dirawat dalam berbagai tahap.

Intervensi yang telah terbukti membalikkan serangan jantung diantaranya adalah

CardiacPulmonary Resusitation (CPR) dini dan defibrilasi dini. Langkah awal

melibatkan identifikasi dan tindakan penunjang kehidupan dasar. Apabila

defibrilasi akses publik tersedia, maka hal itu harus diaktifkan dan digunakan jika

diperlukan. Selanjutnya, tindakan pendukung kehidupan lanjutan digunakan,

termasuk pemberian obat intravena atau intraoseus. Jika diperoleh kembali

sirkulasi spontan, pasien akan menjalani perawatan pasca resusitasi dengan

penatalaksanaan jangka panjang selanjutnya. Identifikasi korban serangan

jantung termasuk memastikan pasien tidak responsif, tanpa denyut sentral dan

tidak bernapas dengan normal. Setelah korban diidentifikasi, CPR harus dilakukan

segera mungkin dan aktivasi sistem tanggap darurat harus menjadi prioritas (Patel

& Hipskind, 2020)

Penatalaksanaan henti jantung berdasarkan ruang lingkup praktik

penyelamat adalah sebagai berikut :

1) CPR Hands Only

Bantuan CPR hanya dengan tangan (hands only) tanpa ventilasi

diperuntukkan bagi penolong awam (bystander), penggunaan AED

28
direkomendasikan jika tersedia (Olasveengen et al., 2017). Jika pasien mengalami

episode tenggelam, mereka dapat mencoba dua kali penyelamatan napas, karena

penyebab henti jantung kemungkinan besar berasal dari henti napas primer. Jika

tidak ada respons untuk penyelamatan pernapasan, CPR harus segera dimulai.

Seseorang harus melanjutkan CPR sampai kedatangan responden darurat atau

tenaga profesional (Patel & Hipskind, 2020).

2) Basic Life Support (BLS)

BLS dapat dilakukan bagi tenaga/staf yang bersertifikat untuk mempraktikkan

dukungan hidup dasar termasuk perawatan CPR dengan penambahan ventilasi

selama CPR aktif. Pedoman saat ini merekomendasikan 2 tarikan napas untuk

setiap 30 kompresi (30: 2) (Kleinman et al., 2015). Penolong juga dapat

memanipulasi jalan napas untuk membantu patensi jalan napas, sehingga

memungkinkan ventilasi yang baik. Manuver ini termasuk head-tilt, chin-lift, dan

jaw thrust. Tambahan jalan nafas oral termasuk oral pharyngeal airway (OPA) dan

nasopharyngeal airway (NPA) juga harus digunakan untuk mendapatkan ventilasi

(Patel & Hipskind, 2020).

3) Advance Cardiac Life Support (ACLS)

BLS dapat dipraktekkan dengan tambahan obat-obatan dan saluran udara

lanjutan, termasuk perangkat saluran napas supraglottic (King LT, Igel) dan

intubasi endotrakeal. Obat yang digunakan untuk serangan jantung termasuk

Epinefrin dan Amiodarone. Penyedia bantuan hidup lanjutan (ALS) memiliki

manfaat tambahan dari interpretasi ritme jantung, memungkinkan defibrilasi lebih

cepat jika diindikasikan. Advanced Cardiac Life Support (ACLS) dapat mengajari

penyedia algoritme yang digunakan untuk menyadarkan pasien dalam serangan

jantung (Patel & Hipskind, 2020).

29
2.3 Faktor Yang Berpengaruh Pada Kejadian Henti Jantung Pasien Infark

Miokard Akut

Insiden henti jantung yang tinggi diakui sebagai mekanisme utama kematian

jantung mendadak, terutama di antara pasien dengan penyakit arteri koroner.

Variabel yang diidentifikasi sebelumnya yang membantu memprediksi risiko

serangan jantung mendadak di antara pasien dengan penyakit jantung struktural

termasuk fraksi ejeksi ventrikel kiri, berbagai penanda fungsi otonom

kardiovaskular, penanda listrik yang diukur dari standar dan latihan

elektrokardiogram dan biomarker seperti kadar plasma natriuretik peptida dan

penanda peradangan. Terlepas dari banyaknya faktor yang diketahui terkait

dengan peningkatan risiko kematian jantung mendadak, satu-satunya praktik klinis

yang saat ini digunakan untuk memprediksi kejadian seperti itu adalah pengukuran

Left Ventricular Ejection Fraction (LVEF). Namun, pengukuran LVEF hanya

digunakan pada pasien subkelompok tertentu yang sebagian besar diuji pada

pasien dengan resiko tinggi sehingga tidak akurat digunakan pada populasi umum

(Huikuri, 2011).

Faktor risiko seperti kolesterol tinggi dan hipertensi, tidak secara spesifik

mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi mengalami henti jantung. Populasi

umum telah menunjukkan bahwa variabel klinis dan demografi tertentu terkait

dengan risiko serangan jantung mendadak, seperti jenis kelamin laki-laki,

kapasitas olahraga, kapasitas vital, detak jantung, riwayat diabetes, obesitas, dan

merokok. Beberapa fitur elektrokardiografi , seperti pola repolarisasi awal pada

sadapan inferior dari elektrokardiogram sadapan standar, telah terbukti

memprediksi terjadinya kematian jantung mendadak pada populasi umum. Faktor-

faktor seperti obesitas, diabetes, kebiasaan olahraga, dan merokok dapat

dikurangi dengan menggunakan strategi pencegahan berbasis populasi yang

tersebar luas, yang dapat membantu mengurangi insiden serangan jantung


30
mendadak secara keseluruhan. Variabel lain, seperti kelainan elektrokardiografi,

saat ini tidak cocok untuk strategi pencegahan skala besar (Huikuri, 2011).

Berdasarkan pengembangan model risiko kematian jantung mendadak pada

korban infark miokard akut (IMA) risiko tinggi, prediktor independen henti jantung

antara lain termasuk usia > 70 tahun, detak jantung ≥ 70 bpm, merokok, kelas

killip III / IV, LVEF ≤ 30%, fibrilasi atrium, riwayat infark miokard sebelumnya, gagal

jantung atau diabetes, perkiraan laju filtrasi glomerulus < 60 mL /menit/ 1,73 m,

tidak ada reperfusi koroner atau terapi revaskularisasi untuk indeks AMI. Skor

risiko henti jantung mendadak yang mudah digunakan dikembangkan dari variabel

klinis yang dikumpulkan secara rutin pada pasien dengan gagal jantung, disfungsi

sistolik ventrikel kiri atau keduanya. Skor ini mungkin berguna dalam

mengidentifikasi pasien untuk uji coba perawatan di masa depan untuk mencegah

henti jantung lebih awal setelah IMA (Docherty et al., 2020)

31
2.4 Kerangka Teori
Infark Miokard Faktor Prediktor Henti
Faktor Risiko (Rathore, Left Ventricular
Akut : Jantung :
2018) Ejection Fraction
- STEMI - Usia
Infark Miokard Akut : Diagnosis Infark Miokard (LVEF)
- NSTEMI - Jenis Kelamin
- Aktivitas Fisik Akut : - Unstable - Tekanan Sistolic
- Merokok - Gejala Klinis Angina - Tekanan Diastolik
- Alkohol - Deteksi Biomarkers
- Dislipidemia - Enzim Troponin
- EKG Tingkat
- Diabetes Mellitus - Gambaran EKG
- Teknik Pencitraan Keparahan IMA :
- Hipertensi - Denyut Jantung
(Thygesen et al., 2018). - Killip 1
- Obesitas - Penyakit Komorbid
- Killip 2
- Stres - Lama Rawat Etiologi Henti Jantung :
- Killip 3
- Gout - Kelas Killip - Penyakit Jantung
- Killip 4
- Penyakit Periodontal (Docherty et al., 2020; - Non Jantung
- Riwayat Keluarga Burstein et al., 2020, (Sudoyo et al., 2015).
Tipe IMA :
- Umur Huikuri, 2011)
- Tipe 1
- Jenis Kelamin - Tipe 2
- Tipe 3
Gejala Klasik IMA :
- Tipe 4A Manifestasi Klinis Henti
- Nyeri dada, menjalar
- Tipe 4B Jantung Cameron, Brown, &
ke rahang, bahu,
- Tipe 5 Henti Jantung : Little, (2015) :
Kerusakan lengan , punggung
(Thygesen et al., - Ventrikel Takikardia - Ketiadaan respon
jaringan dan - Sinkop
2018). - Ventrikel Fibrilasi - Ketiadaan pernafasan
nekrosis (Duksta & Younker,
2012). - Pulseles Electrical Activity - Tidak teraba denyut nadi
- Asistole (Neumar et al.,
-
2010).
-

Komplikasi IMA :
Etiologi IMA : Kelompok Resiko Henti
- Ventrikular Septal Ruptur
- Penurunan aliran darah Jantung :
- Free Wall Rupture
coroner - Syok Kardiogenik - Individu dengan penyakit
Penatalaksanaan Henti
- Plak aterosklerosis - Acute Mitral Regurgitation jantung tak diketahui
Jantung :
(Mechanic & Grossman, 2020). - Right Ventricle Infarction - Penderita penyakit
- CPR Hands Only jantung iskemik
(Bajaj et al., 2015) - Basic Life Support (BLS) - Pasien dengan penyakit
- Advance Cardiac Life aritmogenik yang
Support (ACLS) diturunkan
(Patel & Hipskind, 2020). (Perk et al., 2012).

Gambar 2.6 Kerangka Teori

1
BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Variabel Independent

Faktor Demografi
a. Usia
b. Jenis Kelamin

Faktor Vital Sign


a. Tekanan Darah
Sistolik
b. Tekanan Darah
Variabel Dependent
Diastolik
c. Heart Rate
Kejadian Henti
Faktor Riwayat Jantung :
Penyakit a. Ya
a. Penyakit Komorbid b. Tidak
b. Lama Rawat

Faktor Kelas Killip

Faktor Pemeriksaan
Penunjang
a. Gambaran EKG
b. Enzim Troponin
Jantung

Keterangan : (Faktor yang berhubungan/Diteliti)


(Mempengaruhi)

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian

1
3.2 Hipotesis Penelitian

1. Semakin tinggi usia pasien infark miokard akut, semakin tinggi

kemungkinan terjadi risiko henti jantung.

2. Resiko terjadinya henti jantung pada laki-laki dengan infark miokard akut

lebih besar dibanding pada perempuan.

3. Semakin tinggi tekanan sistolik pada pasien infark miokard akut, semakin

tinggi kemungkinan terjadi risiko henti jantung.

4. Semakin tinggi tekanan diastolik pada pasien infark miokard akut, semakin

tinggi kemunhgkinan terjadi risiko henti jantung.

5. Risiko terjadinya henti jantung pada pasien infark miokard akut dengan

enzim toponin reaktif lebih besar dibanding pasien dengan enzim troponin

non-reaktif.

6. Risiko terjadinya henti jantung pada pasien dengan gambaran EKG STEMI

lebih besar dibanding gambaran EKG NSTEMI.

7. Semakin tinggi denyut jantung pada pasien infark miokard akut, semakin

tinggi kemungkinan risiko henti jantung.

8. Semakin banyak jumlah penyakit komorbid pada pasien infark miokard aku,

semakin tinggi kemungkinan risiko henti jantung.

9. Semakin panjang lama rawat pasien infark miokard akut, semakin tinggi

kemungkinan risiko henti jantung.

10. Semakin tinggi kelas killip pada pasien infark miokard akut, semakin tinggi

kemungkinan risiko henti jantung.

2
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan

pendekatan retrospective, untuk menentukan kemampuan prediksi variabel

demografi, vital sign, pemeriksaan penunjang, riwayat penyakit dan klasifikasi killip

dalam memprediksi kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut.

Rancangan ini dipilih karena data yang digunakan adalah data pasien infark

miokard akut yang dirawat di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang pada tahun 2017

– 2020. Penelitian retrospective bertujuan menemukan penyebab yang

memungkinkan perubahan perilaku, gejala atau fenomena yang disebabkan oleh

suatu peristiwa, perilaku atau hal-hal yang menyebabkan perubahan suatu

variabel bebas secara keseluruhan sudah terjadi.

4.2 Subjek Penelitian

4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sampel pasien yang dirawat di

RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang dari tahun 2015 – 2020 dengan diagnosis infark

miokard akut dan data rekam medis yang lengkap.

4.2.2 Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total

sampling yaitu mengambil seluruh populasi sebagai sampel penelitian. Sampel

dalam penelitian ini adalah seluruh pasien infark miokard akut di RSUD dr. Abdul

Aziz Singkawang yang telah tercatat dalam rekam medis dari tahun 2017-2020.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1) Pasien berusia ≥ 18 tahun


3
2) Pasien IMA dengan gambaran EKG : ST elevasi, ST Depresi, T inversi dan Q

patologis yang ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan oleh dokter penyakit

dalam.

Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :

1) Pasien dengan data rekam medis yang tidak lengkap

2) Pasien yang pulang atas permintaan sendiri

3) Pasien yang dirujuk ke rumah sakit lain

4.3 Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini, variabel yang akan diteliti terdiri dari :

4.3.1 Variabel dependent atau variabel terikat

Variabel dependent dalam penelitian ini adalah kejadian henti jantung pada

pasien infark miokard akut

4.3.2 Variabel Independent atau variabel bebas

Variabel independent dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi

beberapa subvariabel antara lain :

4.3.2.1 Vital sign dengan subvariabel yaitu : tekanan darah sitolik, tekanan darah

diastolik dan heart rate.

4.3.2.2 Data demografi dengan subvariabel yaitu : usia dan jenis kelamin.

4.3.2.3 Pemeriksaan penunjang dengan subvariabel yaitu : gambaran EKG dan

kadar enzim troponin jantung.

4.3.2.4 Riwayat penyakit dengan subvariabel yaitu : penyakit komorbid dan lama

rawat di ICU.

4.3.2.5 Kelas Killip.

4
4.4 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder (rekam medis)

pasien yang menjalani perawatan RSUD dr Abdul Aziz dari tahun 2017 - 2020.

Pengambilan data dilakukan mulai tanggal 17 Maret hingga 1 April 2021.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini berupa lembar dokumentasi untuk mencatat

data rekam medis yang diperlukan dalam penelitian. Lembar dokumentasi ini berisi

informasi penelitian yaitu : data demografi pasien yang meliputi usia dan jenis

kelamin, data pemeriksaan penunjang pasien yang meliputi gambaran EKG dan

kadar enzim troponin, data vital sign pasien yang meliputi tekanan darah sistolik,

tekanan darah diastolik dan denyut jantung, data riwayat penyakit yang meliputi

penyakit komorbid dan lama rawat serta data mengenai kelas killip.

4.6 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Skor


Operasional
Independent Usia responden Studi Rekam Ordinal 1 : Dewasa
1. Usia yang tertera dalam dokumentasi medis (26 - 45
catatan rekam tahun)
medis.
2 : Lansia
Awal (46 –
55 tahun)

3 : Lansia
Akhir (56 –
65 tahun)

4 :
Manula
(65
tahun
keatas)
(Depkes,
2009)

5
2. Jenis Jenis kelamin Studi Rekam Nominal 1 : Laki-laki
Kelamin responden baik laki- dokumentasi medis
laki maupun 2:
perempuan Perempuan
3. Tekanan Hasil pengukuran Studi Rekam Ordinal 1: < 120
darah tekanan darah dokumentasi medis MmHg
sistolik sistolik responden
yang diukur oleh 2: 120 -
perawat 139 MmHg
menggunakan
sphygmomanometer 3: 140 -
pada saat hari 159 MmHg
pertama dirawat di
rumah sakit . 4: ≥ 160
MmHg
(AHA,
2017)
4. Tekanan Hasil pengukuran Studi Rekam Ordinal 1: < 80
darah tekanan darah dokumentasi medis MmHg
diastolik diastolik responden
yang diukur oleh 2: 80 – 89
perawat MmHg
menggunakan
sphygmomanometer 3: 90 – 109
pada saat hari MmHg
pertama dirawat di
rumah sakit . 4: ≥ 110
MmHg
(AHA,
2017)
5. Heart Frekuensi denyut Studi Rekam Ordinal 1: ≤ 40 x/
Rate jantung responden dokumentasi medis menit
dalam satu menit
yang diukur saat 2: 41 - 90
pasien menjalani x/Menit
perawatan
3: 91 - 130
x/Menit

4: ≥ 131x/
menit
(AHA,
2017)
6. Gambaran Interpretasi hasil Studi Rekam Nominal 1 : STEMI
EKG pemeriksaan EKG dokumentasi medis
yang diukur Ketika 2 : NSTEMI
responden
menjalani
perawatan di rumah
sakit
7. Kadar Indikasi nilai awal Studi Rekam Ordinal 1 : Reaktif
enzim Troponin T yang dokumentasi medis
Troponin diperoleh pada 24 2:
(cTn) jam pertama ketika Nonreaktif
perawatan atau dari
rumah sakit

6
8. Jumlah Jumlah penyakit Studi Rekam Nominal 1 : Tidak
Penyakit penyerta selain dokumentasi medis ada
komorbid infark miokard akut
yang didiagnosis 2 : Satu
pada responden penyakit
yang sama. komorbid

3:>1
penyakit
komorbid
9. Lama Jumlah hari rawat Studi Rekam Ordinal 1 : ≤ 5 hari
rawat inap pasien saat dokumentasi medis
pertama masuk 2 : 6 – 10
sampai dengan hari
keluar rumah sakit
3 : > 10
hari
10. Kelas killip Derajat beratnya Melakukan Rekam Ordinal 1 : Killip 1
gagal jantung pada klasifikasi medis
responden berdasarkan 2 : Killip 2
data rekam
medis 3 : Killip 3
dengan
mengacu 4 : Killip 4
pada
pedoman
Killip &
Kimball
(1967)
tentang
klasifikasi
killip pada
penderita
infark
miokard
akut.
Dependent Hasil akhir Studi Lembar Nominal 1 : Terjadi
1. Kejadian perawatan pasien dokumentasi dokumentasi Cardiac
Henti infark miokard akut Arrest
jantung di ICU yang dilihat
pada dari ada tidaknya 2 : Tidak
pasien kejadian henti terjadi
infark jantung yang Cardiac
miokard tercatat dalam Arrest
akut rekam medis

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Tahap Persiapan

1) Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu Menyusun

proposal penelitian hingga memenuhi persetujuan pembimbing dan penguji

7
untuk mendapatkan surat keterangan lulus uji etik dari fakultas kedokteran

Universitas Tanjungpura Pontianak.

2) Setelah dinyatakan lulus uji etik, maka peneliti mengajukan surat permohonan

izin penelitian kepada fakultas kedokteran Universitas Brawijaya untuk

diteruskan ke tempat penelitian yaitu RSUD dr. Abdul Aziz. Setelah mendapat

izin, peneliti melakukan koordinasi kepada pihak Rumah Sakit terkait

pelaksanaan penelitian.

4.7.2 Tahap Pelaksanaan

1) Pengambilan data penelitian dilakukan di pada tanggal 17 Maret – 1 April

2021. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yang diperoleh dari instalasi rekam medis RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dan cross

section atau biasa disebut panel data. Data bersifat time series karena data

dalam penelitian ini adalah data dalam interval waktu tertentu, yaitu tahun

2017 - 2020.

2) Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan metode

dokumentasi, yaitu menggunakan data yang berasal dari dokumen-dokumen

yang sudah ada. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan penelusuran dan

pencatatan informasi yang diperlukan pada data sekunder berupa catatan

rekam medis rumah sakit.

3) Sampling dilakukan dengan mengambil data rekam medis pasien infark

miokard akut secara retrospektif dimulai dari tahun 2017-2020 berdasarkan

kriteria yang telah ditentukan.

4) Setelah data terkumpul, peneliti melakukan analisis data hingga penyusunan

laporan penelitian

8
4.8 Analisis Data

4.8.1 Analisis Deskriptif.

Analisis deskriptif dijabarkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi untuk

menjelaskan hasil dari masing-masing variabel.

4.8.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua

variabel yang bertujuan membuktikan hipotesis penelitian. Dalam analisis bivariat,

peneliti melakukan analisis hubungan antara variabel independent (bebas) dan

variabel dependent (terikat). Uji analisis bivariat dalam penelitian ini dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel 4.2 Analisis bivariat

Variabel Independent Skala Variabel Skala Uji Statistik


Dependent
Usia Kategorik Spearman Rank
Jenis Kelamin Kategorik Chi Square
Tekanan Sistolik Kategorik Spearman Rank
Tekanan Diastolik Kategorik Spearman Rank
Heart Rate Kategorik Spearman Rank
Gambaran EKG Kategorik Kejadian Kategorik Chi Square
Kadar enzim Troponin (cTn) Kategorik Henti Chi Square
Penyakit komorbid Kategorik Jantung Spearman Rank
Lama rawat Kategorik Chi Square
Kelas killip Kategorik Spearman Rank

4.8.3 Analisis Multivariat

Selanjutnya untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap

variabel dependent digunakan analisis regresi logistik. Uji tersebut dilakukan

dengan cara memasukkan beberapa variabel independent yang memenuhi

persyaratan ke dalam satu model. Adapun langkah awal yang dilakukan dalam uji

ini adalah menentukan variabel yang termasuk ke dalam kriteria atau kandidat

model untuk dilakukan analisis regresi logistik, yakni variabel yang memiliki nilai p

<0.25 dengan CI 95 %. Output dari analisis regresi logistik ini adalah berupa nilai

signifikansi parsial maupun simultan dari variabel independent terhadap variabel

9
dependent. Untuk melihat faktor mana saja yang paling berpengaruh terhadap

kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut dapat dilihat dari nilai OR

(Exp (B)).

Dalam melakukan analisis ini, peneliti menggunakan software SPSS 22,

dengan ketentuan uji F pada Alpha = 0,05 ataup ≤ 0,05 sebagai taraf signifikansi

F (sig. F) sedangkan untuk uji T taraf signifikansi Alpha = 0,05 atau p≤ 0,05 yang

dimunculkan kode (sig.T) dimana hal tersebut digunakan untuk melihat signifikansi

pengaruh tidak langsung dari variabel bebas terhadap variabel terikat.

4.9 Etika Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan persiapan administrative untuk

mendapatkan surat etik dan surat lulus uji etik melalui komite etik keperawatan

FKUB, sebagai upaya melindungi hak azazi dan kesejahteraan subyek penelitian

keperawatan. Penelitian ini tidak menimbulkan resiko bagi partisipan, namun

peneliti tetap memperhatikan etika selama penelitian ini berlangsung.

Pertimbangan etik dalam penelitian yaitu beneficence, respect for human dignity,

justice, confidentiality dan non-maleficience.

4.1.2 Beneficence

Peneliti mempunyai kewajiban menghindari kerugian atau bahaya yang

terjadi pada partisipan selama penelitian berlangsung. Peneliti juga menjamin

kerahasiaan penelitian dan hanya menggunakan data ini untuk keperluan

penelitian.

4.1.3 Respect for human dignity

Menghormati hak-hak dan martabat partisipan. Peneliti memastikan

perlindungan hak bagi subjek dan menghindari pelanggaran HAM serta publikasi

ilmiah pada peneliti. Peneliti juga mengurus perizinan penelitian kepada pihak

10
Rumah Sakit dan pengambilan data dilakukan setelah memperoleh izin dari

tempat penelitian.

4.1.4 Justice yaitu keadilan.

Peneliti memilih responden berdasarkan syarat, alasan atau sesuai kriteria.

4.1.5 Confidentiality

Peneliti menjaga kerahasiaan dan hak azasi sehubungan dengan informasi

yang didapatkan. Semua informasi terkait privasi dan identitas responden

menggunakan kode yang hanya diketahui peneliti dan digunakan untuk

kepentingan penelitian.

4.1.6 Non-malefiecence

Penelitian ini tidak memberikan dampak yang membahayakan bagi

responden baik secara langsung maupun tidak langsung karena tidak ada

intervensi yang dilakukan dan instrument yang digunakan berupa data sekunder

dari rekam medis.

11
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Singkawang terletak disebelah Utara Provinsi Kalimantan Barat,

sebelum pemekaran wilayah Kota Singkawang merupakan bagian dari Kabupaten

Sambas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang

pembentukan Pemerintah Kota Singkawang (Lembaran Negara RI Nomor 4119),

Secara geografis letak kota Singkawang berbatasan dengan :

- Sebelah utara kota Singkawang berbatasan dengan Kabupaten Sambas

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang,

- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang dan

- Sebelah barat dengan laut natuna

Gambar 5.1 Peta Wilayah Kota Singkawang (Sumber : Pemerintah Kota Singkawang)

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Singkawang, pada

sensus penduduk tahun 2020 jumlah penduduk Kota Singkawang adalah

sebanyak 235.064 jiwa. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Abdul Aziz adalah rumah
12
sakit Pemerintah Kota Singkawang yang terletak di Jalan Dr. Soetomo No.28

Singkawang, sebelumnya RSUD dr. Abdul Aziz ini terletak di JL. Diponegoro

Singkawang yang ditetapkan namanya menjadi Rumah Sakit Daerah dr. Abdul

Aziz Singkawang melalui PERDA No.2 Kabupaten Sambas tahun 1987 sebagai

Rumah Sakit Pemerintah kelas C milik Pemerintah Kabupaten Sambas.

Setelah pemekaran daerah, RSUD dr Abdul Aziz diserahkan oleh Pemkab

Sambas kepada Pemkot Singkawang pada tahun 2004. Saat ini, RSUD dr. Abdul

Aziz telah berkembang menjadi Rumah Sakit yang melayani rujukan tingkat

pertama dari Rumah Sakit yang berada disekitarnya yaitu dari Kab. Sambas, Kab.

Bengkayang, Kab. Pontianak serta Kep. Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

5.2 Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut Berdasarkan

Karakteristik Responden

Nilai statistik masing-masing variabel dan kejadian henti jantung

berdasarkan karakteristik responden dapat dilihat melalui rangkuman tabel di

bawah ini :

13
Tabel 5.1 Kejadian Henti jantung pada pasien infark miokard di RSUD dr
Abdul Aziz Singkawang periode tahun 2017 – 2020 berdasarkan
karakteristik responden
Karakteristik Responden Jumlah Henti Tidak Nilai Statistik
Responden Jantung
Usia Dewasa (26 - 45 21 1 20 p: r:
tahun) 0.045* 0.149*
Lansia Awal (46 44 5 39
– 55 tahun)
Lansia Akhir (56 66 14 52
– 65 tahun)
Manula (65 50 11 39
tahun keatas)
Jenis Laki-laki 115 18 97 p: OR :
Kelamin Perempuan 66 13 53 0.487** 1.322**
(0.601

2.907)
Tekanan < 120 MmHg 49 14 35 p: r:
darah 120 - 139 MmHg 39 10 29 0.002* -0.228*
sistolik 140 - 159 MmHg 54 3 51
≥ 160 MmHg 39 4 35
Tekanan < 80 MmHg 65 15 50 p: r:
darah 80 – 89 MmHg 37 9 28 0.0208* -
diastolik 90 – 109 MmHg 66 6 60 0.1738*
≥ 110 MmHg 13 1 12
Heart Rate ≤ 40 x/ menit 2 0 2 p: r:
41 - 90 x/Menit 118 18 100 0.064* 0.138*
91 - 130 x/Menit 53 9 44
≥ 131x/ menit 8 4 4
Gambaran STEMI 113 19 94 p: OR:
EKG NSTEMI 68 12 56 0.885** 1.060**
(0.479

2.347)
Kadar Reaktif 106 18 88 p: OR:
enzim Non Reaktif 75 13 62 0.951** 1.025**
Troponin (0.468
(cTn) –
2.245)
Jumlah Tidak ada 10 2 8 p: r:
Penyakit 1 penyakit 46 5 41 0.322* 0.074*
komorbid komorbid
>1 penyakit 125 24 101
komorbid
Lama <5 hari 68 22 46 p: OR :
rawat >5 hari 113 9 104 0.000** 0.181**
(0.077

0.423)
Kelas killip Kelas Killip 1 90 4 84 p: r:
Kelas Killip 2 46 6 40 0.000** 0.431**
Kelas Killip 3 23 9 14
Kelas Killip 4 22 12 10
Keterangan : * uji analisis Spearman, ** uji analisis chi square

14
5.3 Kejadian Henti jantung pada pasien infark miokard di RSUD dr Abdul

Aziz Singkawang periode tahun 2017 – 2020 Berdasarkan Karakteristik

Pasien (Analisis bivariat)

Dari pengumpulan data rekam medis yang dilakukan pada tanggal 17

Maret 2021 hingga 1 April 2021, terkumpul data sebanyak 181 orang yang dirawat

di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang dengan diagnosis infark miokard akut selama

periode tahun 2017 hingga tahun 2021. Data-data yang dicatat dalam penelitian

ini terdiri dari usia, jenis kelamin, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik,

heart rate, gambaran EKG, kadar enzin troponin, penyakit komorbid, lama rawat,

dan kelas killip. Hasil penelitian ini dapat dilihat pada diagram-diagram di bawah

ini :

5.3.1 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di

RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Kelompok Usia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian henti jantung berdasarkan

usia pada pasien infark miokard akut paling sering terjadi pada kelompok usia

lansia akhir yaitu sebanyak 14 orang (7.7 %). Sedangkan jumlah paling sedikit

terjadi pada kelompok usia dewasa yaitu sebanyak 1 orang (0.6 %). Distribusi

kejadian henti jantung pasien infark miokard akut berdasarkan kelompok usia

dapat dilihat pada diagram berikut :

15
60

50
52
40
39 39
30

20
20
10 14
1 5 11
0
Dewasa (26-45 tahun) Lansia Awal (46-55 Lansia Akhir (56-65 Manula (65 tahun keatas
tahun) tahun)

Henti Jantung Tidak henti jantung

Diagram 5.1 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard
Akut Berdasarkan Kelompok Usia

Berdasarkan hasil analisis spearman, hubungan antara usia dengan

kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut diperoleh p-value sebesar

0.045 (p-value < α) dengan nilai Correlation coefficient (r) sebesar 0.149.

5.3.2 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut

di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa henti jantung pada pasien infark

miokard akut paling sering terjadi pada responden berjenis kelamin laki-laki yaitu

sebanyak 18 orang (9.9 %). Distribusi kejadian henti jantung pasien infark miokard

akut berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada diagram di bawah ini :

16
97
100
90
80
70
53
60
50
40
30 18
13
20
10
0
Laki-laki Perempuan

Henti Jantung Tidak Henti Jantung

Diagram 5.2 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard
Akut Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil analisis chi-square, hubungan antara jenis kelamin

dengan kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut diperoleh nilai p-

value sebesar 0.487 (p-value > α) dengan nilai OR (CI 95%) sebesar 1.322 (0.601

– 2.907).

5.3.3 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut

di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Tekanan Sistolik

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa henti jantung pada pasien infark

miokard akut lebih sering terjadi pada kelompok responden yang memiliki tekanan

darah sistolik < 120 mmHg yaitu (14 orang/7.7 %) dan kelompok responden

dengan tekanan sistolik 120-139 mmHg yaitu (10 orang/ 5.5 %), dibandingkan

pada tekanan yang lebih tinggi yaitu 140-159 mmHg sebanyak (3 orang/ 1.7%)

dan di atas 160 mmHg sebanyak (4 orang/ 2.2 %). Distribusi kejadian henti jantung

pasien infark miokard akut berdasarkan tekanan sistolik dapat dilihat pada diagram

berikut ini :

17
60
51
50

40 35 35
29
30

20 14
10
10 4
3

0
< 120 MmHg 120 - 139 MmHg 140 - 159 MmHg ≥ 160 MmHg

Henti Jantung Tidak Henti Jantung

Diagram 5.3 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Tekanan Sistolik

Dalam penelitian ini hubungan antara tekanan sistolik dengan kejadian

henti jantung pada pasien infark miokard akut dilakukan menggunakan uji

spearman dan diperoleh nilai p-value sebesar 0.002 (p-value < α) dengan

Correlation coefficient (r) sebesar -0.228.

5.3.4 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut

di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Tekanan Diastolik

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar henti jantung

terjadi pada responden yang memiliki tekanan diastolik <80 MmHg yaitu 15 orang

(8.3 %). Jumlah kejadian henti jantung mengalami penurunan seiring dengan

peningkatan tekanan diastolik yaitu sebanyak 9 orang dengan tekanan diastolik

80-89 MmHg, 6 orang dengan tekanan diastolik 90-109 MmHg dan 1 orang dengan

tekanan diastolik ≥110 MmHg. Distribusi kejadian henti jantung pada pasien infark

18
miokard aku berdasarkan tekanan diastolik dapat dilihat pada diagram di bawah

ini :

≥ 110 MmHg 12
1

90–109 MmHg 60
6

80–89 MmHg 28
9

< 80 MmHg 50
15

0 10 20 30 40 50 60

Tidak Henti Jantung Henti Jantung

Diagram 5.4 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Tekanan Diastolik

Hasil analisis bivariat menggunakan uji spearman, menunjukkan hubungan

antara tekanan diastolik dengan kejadian henti jantung pada pasien infark miokard

akut memperoleh nilai p-value sebesar 0.020 (p-value < α) dengan nilai Correlation

coefficient (r) sebesar -0.173.

5.3.5 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut

di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Heart Rate

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa sebagian besar

henti jantung terjadi pada responden yang memiliki heart rate 40-90 kali/menit

yaitu sebanyak 18 orang (9.9 %). Sedangkan pasien infark miokard akut dengan

heart rate ≤ 40 kali/menit tidak ada yang mengalami kejadian henti henti jantung

selama masa perawatan. Distribusi kejadian henti jantung pada pasien infark

miokard akut berdasarkan heart rate dapat dilihat pada diagram berikut ini :
19
≥ 131x/ menit 4
4

91-130 x/Menit 44
9

40-90 x/Menit 100


18

≤ 40 x/ menit 2
0

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Tidak Henti Jantung Henti Jantung

Diagram 5.5 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Heart Rate

Berdasarkan hasil uji spearman yang menganalisis hubungan antara heart

rate dengan kejadian henti jantung diperoleh hasil p-value sebesar 0.064 (p-value

> α) dengan nilai Correlation coefficient (r) sebesar 0.138.

5.3.6 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut

di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Gambaran EKG

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa sebagian besar

pasien infark miokard akut adalah pasien dengan ST elevasi/STEMI sebanyak 113

orang (62.4 %) sedangkan pasien Non ST Elevasi /NSTEMI berjumlah 68 orang

(67.6%). Dari jumlah tersebut, henti jantung lebih sering terjadi pada STEMI yaitu

sebanyak 19 orang (10.5 %). Distribusi kejadian henti jantung pada pasien Infark

Miokard aku berdasarkan gambaran EKG dapat dilihat pada diagram berikut ini :

20
NSTEMI 56

12

STEMI 94

19

0 20 40 60 80 100

Tidak Henti Jantung Henti Jantung

Diagram 5.6 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Gambaran EKG

Berdasarkan data diatas, dilakukan analisis chi-square untuk mengetahui

hubungan gambaran EKG dengan kejadian henti jantung pasien infark miokard

akut dan diperoleh nilai p-value sebesar 0.885 (p-value > α) dengan nilai OR (CI

95%) sebesar 1.060 (0.479 – 2.347).

5.3.7 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut

di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Enzim Troponin

Jantung

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien infark

miokard aku sebagian besar pasien infark miokard akut menunjukkan hasil

pemeriksaan enzim troponin jantung (cTnT) reaktif yaitu sebanyak 106 orang (58.6

%). Dari jumlah tersebut, pasien dengan cTnT reaktif yang mengalami henti

jantung adalah sebanyak 18 orang (9.9 %). Distribusi kejadian henti jantung pada

pasien infark miokard akut berdasarkan enzim troponin jantung dapat dilihat pada

diagram di bawah ini :

21
88
90
80
70 62

60
50
40
30 18
13
20
10
0
Reaktif Non Reaktif

Henti Jantung Tidak Henti Jantung

Diagram 5.7 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Enzim Troponin Jantung

Untuk mengetahui hubungan hubungan antara enzim troponin jantung

(cTnT) dengan kejadian henti jantung dilakukan analisis menggunakan uji chi

square sehingga diperoleh nilai p-value sebesar 0.951 (p-value > α) dengan nilai

OR (CI 95%) sebesar 1.025 (0.468 – 2.245).

5.3.8 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut

di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Jumlah Penyakit

Komorbid

Proporsi kejadian henti jantung berdasarkan jumlah penyakit komorbid

paling sering terjadi pada responden dengan penyakit komorbid > 1 yaitu sebanyak

24 orang (13.3 %). Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa henti jantung

juga dapat terjadi pada pasien yang tidak memiliki penyakit komorbid yaitu

sebayak 2 orang (1.1 %). Distribusi kejadian henti jantung pada pasien infark

miokard akut berdasarkan jumlah penyakit komorbid dapat dilihat pada diagram di

bawah ini :

22
120

100
101

80

60

40
41

20 24

2 8 5
0
Tidak ada 1 penyakit komorbid >1 penyakit komorbid

Henti Jantung Tidak Henti Jantung

Diagram 5.8 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Jumlah Penyakit Komorbid

Hasil analisis bivariat menggunakan uji spearman menunjukkan hubungan

antara jumlah penyakit komorbid dengan kejadian heti jantung pada pasien infark

miokard akut diperoleh p-value sebesar 0.322 (p-value > α) dengan nilai

Correlation coefficient (r) sebesar 0.074.

5.3.9 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut

di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Lama Rawat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang dirawat < 5 hari

lebih sering mengalami henti jantung dengan jumlah sebanyak 22 orang (12.2 %)

dibandingkan responden yang dirawat > 5 hari yaitu sebanyak 9 orang (5.0 %).

Distribusi kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut berdasarkan

lama rawat dapat dilihat pada diagram berikut ini :

23
>5 hari 104

<5 hari 46

22

0 20 40 60 80 100 120

Tidak Henti Jantung Henti Jantung

Diagram 5.9 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Lama Rawat

Berdasarkan hasil analisis chi-square, hubungan antara jumlah penyakit

komorbid dengan kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut diperoleh

nilai p-value sebesar 0.000 (p-value > α) dengan nilai OR (CI 95%) sebesar 0.181

(0.077 – 0.423).

5.3.10 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut

di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang Berdasarkan Kelas Killip

Proporsi kejadian henti jantung berdasarkan kelas killip dapat diketahui

bahwa sebagian besar henti jantung terjadi pada responden dengan kiliip 4 yaitu

sebanyak 12 orang (6.6 %). Jumlah kejadian henti jantung mengalami penurunan

seiring dengan penurunan kelas killip. Distribusi henti jantung pada pasien infark

miokard akut berdasarkan kelas kiliip dapat dilihat pada diagram berikut ini :

24
90 84

80
70
60
50 40
40
30
20 14 12
9 10
4 6
10
0
Kelas Killip 1 Kelas Killip 2 Kelas Killip 3 Kelas Killip 4

Henti Jantung Tidak Henti Jantung

Diagram 5.10 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Kelas Killip

Untuk mengetahui hubungan antara kelas killip dengan kejadian henti

jantung pada pasien infark miokard akut digunakan uji spearman. Hasil analisis

tersebut menunjukkan p-value sebesar 0.000 (p-value > α) dengan nilai

Correlation coefficient (r) sebesar 0.431.

5.4 Analisis Multivariat

Dalam penelitian ini, analisis multivariat menggunakan analisis regresi

logistik biner karena variabel dependent menggunakan skala data kategori

dikotomi. Sebelum memulai analisis multivariat, dilakukan seleksi variabel terlebih

dahulu. Variabel yang dinyatakan memenuhi syarat dalam analisis multivariat

adalah variavel yang mempunyai nilai p-value < 0,25. Adapun tahap seleksi

variabel dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

25
Tabel 5.2 Proses Seleksi Variabel

Variabel Independent Variabel dependent Uji yang P-value


digunakan
Usia Kejadian Henti Jantung Spearman rank 0.045*
Jenis Kelamin Kejadian Henti Jantung Chi Square 0.487
Tekanan darah sistolik Kejadian Henti Jantung Spearman rank 0.002*
Tekanan darah diastolik Kejadian Henti Jantung Spearman rank 0.020*
Heart Rate Kejadian Henti Jantung Spearman rank 0.064*
Gambaran EKG Kejadian Henti Jantung Chi Square 0.885
Enzim Troponin Kejadian Henti Jantung Chi Square 0.951
Jumlah penyakit komorbid Kejadian Henti Jantung Spearman rank 0.322
Lama rawat Kejadian Henti Jantung Chi Square 0.000*
Kelas Killip Kejadian Henti Jantung Spearman rank 0.000*
Keterangan : * Variabel kandidat

Berdasarkan hasil uji analisis bivariat, maka variabel yang memenuhi

syarat untuk dimasukkan ke dalam analisis multivariat adalah usia, tekanan darah

sistolik, tekanan darah diastolik, heart rate, lama rawat dan kelas killip karena

mempunyai nilai p-value <0,25. Sedangkan variabel lainnya tidak dimasukkan ke

dalam analisis multivariat karena mempunyai nilai p-value > 0,25. Dalam penelitian

ini, analisis regresi logistik dilakukan dengan menggunakan metode backward.

Hasil uji analisis regresi logistik dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.3 Hasil Uji Analisis Regresi Logistik Faktor Prediktor Kejadian Henti

Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang

Variabel Koefisien (B) P-value OR (CI 95 %)


Langkah 1 Usia 0.386 0.146 1.471 (0.874 – 2.476)
Sistolik -0.495 0.144 0.610 (0.314 – 1.185)
Diastolik 0.014 0.970 1.014 (0.495 – 2.076)
Lama Rawat -1.843 0.001 0.158 (0.056 – 0.451)
Kelas Killip 1.084 0.000 2.955 (1.839 – 4.750)
Heart Rate 0.706 0.095 2.025 (0.885 - 4/632)
Konstanta -2.990 0.090 0.050
Langkah 2 Usia 0.386 0.147 1.471 (0.874 – 2.746)
Sistolik -0.486 0.043 0.615 (0.385 – 0.984)
Lama Rawat -1.842 0.001 0.158 (0.056 – 0.451)
Kelas Killip 1.084 0.000 2.955 (1.839 – 4.750)
Heart rate 0.707 0.093 2.028 (0.889 – 4.626)
Konstanta -2.987 0.090 0.050
Langkah 3 Sistolik -0.498 0.036 0.608 (0.382 – 0.968)
Lama Rawat -1.833 0.001 0.160 (0.057 – 0.449)
Kelas Killip 1.104 0.000 3.017 (1.883 – 4.833)
Heart Rate 0.709 0.092 2.032 (0.890 – 4.638)
Konstanta -1.897 0.222 0.150

26
Berdasarkan hasil uji analisis regresi logistik, maka dapat diketahui bahwa

penelitian ini melalui 3 tahapan pemodelan. Pada tahap pertama dan kedua, model

menghilangkan satu variabel yang mempunyai nilai p tertinggi. Berdasarkan tabel

diatas, pada model pertama variabel tekanan darah diastolik mempunyai nilai p

paling besar yaitu 0.970 dengan nilai OR sebesar 1.014 dan CI 95 % berada pada

rentang 0.495 – 2.076. dengan demikian, maka variabel tekanan darah diastolik

dieliminasi pada pemodelan tahap pertama dan tidak dimasukkan pada

pemodelan berikutnya.

Dalam analisis regresi logistik pemodelan tahap kedua, variabel usia

mempunyai nilai p paling besar yaitu 0.147 dengan nilai OR sebesar 1.471 dan CI

95 % berada dalam rentang 0.874 – 2.746. dengan demikian maka variabel usia

dieliminasi pada pemodelan tahap kedua dan tidak dimasukkan ke dalam

pemodelan tahap berikutnya.

Selanjutnya, pada pemodelan tahap terakhir diketahui bahwa terdapat

empat variabel yang berhubungan dengan kejadian henti jantung. Variabel

tersebut antara lain tekanan sistolik dengan nilai p-value 0.036, heart rate dengan

nilai p-value 0.092 dan lama rawat dengan nilai p-value 0.001 serta kelas killip

dengan nilai p-value sebesar 0.000. Untuk mengetahui kekuatan hubungan

masing-masing variabel tersebut dalam mempengaruhi kejadian henti jantung

dapat diketahui dengan melihat nilai OR dan koefisien B. Variabel tekanan sistolik

mempunyai nilai OR sebesar 0.608, variabel heart rate mempunyai nilai OR

sebesar 2.032, variabel lama rawat mempunyai nilai OR sebesar 0.160 dan

variabel kelas killip mempunyai nilai OR sebesar 3.017.

Berdasarkan model akhir analisis regresi logistik dapat diketahui bahwa

variabel paling dominan dalam mempengaruhi kejadian henti jantung adalah kelas

killip dengan nilai koefisien B sebesar 1.104 yang menyatakan terdapat hubungan

positif antara kelas killip terhadap kejadian henti jantung. Dengan demikian,
27
semakin tinggi kelas killip maka semakin besar pula resiko terjadinya henti jantung

pada pasien infark miokard akut. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka

persamaan yang diperoleh dapat dihitung menggunakan rumus dibawah ini :

y = konstanta + a1x1 + a2x2 + ………..aixi

Keterangan:

y: Nilai dari variabel terikat

a: Nilai koefisien tiap variabel

x: Nilai variabel bebas

Berdasarkan rumus diatas, maka dapat dilakukan persamaan sebagai berikut :

y = 1.897 – 0.498 (sistolik) + 0.709 (heart rate) -1.833 (lama rawat) + 1.104

(kelas killip).

Berdasarkan hasil tersebut, maka diperoleh persamaan sebagai berikut :

a. Jika seluruh variabel bernilai konstan, maka nilai y (kejadian henti jantung) =

1.897.

b. Jika variabel lain bernilai konstan, maka henti jantung akan menurun sebesar

0.498 setiap peningkatan 1 satuan sistolik.

c. Jika variabel lain bernilai konstan, maka henti jantung akan meningkat

sebesar 0.709 setiap peningkatan 1 satuan heart rate.

d. Jika variabel lain bernilai konstan, maka henti jantung akan menurun sebesar

1.833 setiap peningkatan 1 satuan hari rawat.

e. Jika variabel lain bernilai konstan, maka henti jantung akan meningkat

sebesar 1.104 setiap peningkatan kelas killip.

28
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Faktor Demografi

6.1.1 Hubungan Usia Dengan Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark

Miokard Akut di Kota Singkawang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden terbanyak yang

mengalami infark miokard akut adalah responden dengan kategori usia lansia

akhir, yaitu 56 – 65 tahun sebanyak 66 kasus (36.4%). Hal ini sejalan dengan

penelitian sebelumya yang dilakukan oleh Faridah et al (2016) yang menyatakan

bahwa sebagian besar pasien infark miokard akut berada dalam rentang usia 56-

65 tahun. Menurut Huma et al (2012), Usia lanjut dikaitkan dengan peningkatan

mortalitas pada infark miokard akut. Mekanisme dimana peningkatan usia

berkontribusi secara dramatis terhadap mortalitas. Sekitar 80% kematian akibat

penyakit jantung terjadi pada orang yang berusia 65 atau lebih.

Responden dengan kategori lansia akhir yang mengalami henti jantung

dalam penelitian ini adalah sebanyak 14 orang (7.7 %). Jumlah ini merupakan yang

terbanyak dari semua kategori usia dalam penelitian ini. Hal ini sejalan dengan

penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kejadian IMA akan meningkat

lima kali lipat pada usia 40-60 tahun. Kerentanan seseorang terhadap

atherosclerosis akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Muhibbah et

al., 2019). Penelitian lainnya oleh Putri et al (2018), menyatakan bahwa sebagian

besar infark miokard akut pada usia 45 tahun keatas disebabkan oleh faktor stress,

obesitas dan hipertensi yang memicu kerja ventrikel kiri sehingga menyebabkan

ketidakseimbangan suplai oksigen.

Berdasarkan hasil uji spearman rank didapatkan hubungan usia terhadap

kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut dengan nilai p-value

sebesar 0.045 dan nilai koefisien korelasi sebesar 0.149. Hasil ini menunjukkan
29
terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian henti jantung pada

pasien infark miokard akut. Dengan demikian, semakin tinggi usia maka akan

semakin tinggi pula resiko terjadinya henti jantung pada individu. Hasil ini sejalan

dengan penelitian Andersen et al (2019), bahwa peningkatan usia sering dikaitkan

dengan prognosis yang buruk pasca henti jantung.

Berdasarkan penelitian ini, henti jantung terjadi pada seluruh kategori usia.

Hal ini menunjukkan bahwa kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut

tidak memandang usia. Peningkatan usia sejalan dengan peningkatan resiko henti

jantung namun usia muda juga mempunyai resiko yang hampir sama dengan usia

tua. Saat ini terdapat kecenderungan peningkatan henti jantung pada usia yang

lebih muda karena faktor lain yang meningkatkan resiko henti jantung.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Noheria et al (2013), henti jantung

pada usia 35 – 59 tahun secara signifikan dikaitkan dengan prevalensi obesitas,

sleep apnea dan gangguan kejang yang lebih tinggi dibandingkan populasi tua.

Oleh sebab itu, sifat prediksi henti jantung pada usia paruh baya dan usia tua akan

berbeda karena perbedaan faktor resiko tersebut.

Penelitian lainnya oleh Archarya (2018), menyatakan bahwa pasien

berusia tua memiliki mortalitas jangka panjang lebih tinggi daripada pasien yang

lebih muda, tetapi usia bukanlah prediktor independen dari kematian jangka

panjang. Hal ini karena pengaruh usia dimodulasi oleh hemodinamik, pasien > 75

tahun dengan tekanan darah sistolik > 80mmHg dan heart rate <100 kali/menit

menunjukkan mortalitas yang jauh lebih baik daripada pasien < 60 tahun yang

memiliki tekanan darah sistolik < 100 mmHg dan heart rate > 100 kali/menit, dan

hasil yang serupa dengan pasien 60 –75 tahun dengan sistolik > 80 mmHg dan

heart rate > 100 kali/menit. Oleh karena itu, pasien yang lebih tua, meskipun

berisiko lebih tinggi, dengan sendirinya tidak boleh menjadi faktor penentu dalam

perumusan strategi manajemen.


30
6.1.2 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Henti Jantung Pada

Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang.

Pada penelitian ini, angka kejadian infark miokard akut lebih sering terjadi

pada laki-laki yaitu sebanyak 116 kasus (63.5%) dibandingkan dengan perempuan

hanya terdapat 66 kasus (36.5%). Hal ini serupa dengan penelitian sebelumnya

oleh Muhammad & Ardhianto (2015) yang menyatakan bahwa sebagian besar

penderita infark miokard akut adalah laki-laki yaitu sebanyak 67.02%. penelitian

lain yang dilakukan oleh Susilo (2015) juga menunjukkan bahwa laki-laki

mempunyai persentase yang lebih besar mengalami infark miokard akut yaitu

sebanyak 80% dibandingkan perempuan sebanyak 20% atau dengan

perbandingan 4:1. Meskipun kejadian henti jantung di rumah sakit lebih sering

terjadi pada pria, namun antara pria dan wanita memiliki hasil klinis yang serupa,

wanita usia subur dengan rentang 15 sampai 44 tahun mungkin memiliki hasil yang

lebih baik dibandingkan dengan pria pada usia yang sama (Andersen et al., 2019).

Berdasarkan analisis bivariat menggunakan uji chi square, tidak terdapat

hubungan antara jenis kelamin terhadap kejadian henti jantung pada pasien infark

miokard akut dengan nilai p-value sebesar 0,487 (p-value > α). Hal ini sejalan

dengan penelitian Takahashi et al (2018), yang menyatakan bahwa tidak terdapat

perbedaan signifikan antara gender dengan kejadian henti jantung. Namun, wanita

cenderung mengalami peningkatan resiko kematian kardiovaskuler yang dikaitkan

dengan tingkat depresi, stress, psikologis dan kecemasan. Temuan ini diperkuat

lagi pada penelitian sebelumnya oleh Yang H.Y et al (2012), bahwa perbedaan

gender memang berperan penting dalam fatofisiologi IMA, namun ruptur plak

koroner serta pembentukan trombosis akut merupakan hal yang biasa terjadi baik

pada pria maupun wanita. Perbedaannya adalah pada wanita IMA sering terjadi di

31
usia yang lebih tua namun mempunyai mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan

pria.

Berdasarkan hasil penelitian ini, meskipun jumlah laki-laki mengalami henti

jantung lebih banyak dibandingkan jumlah perempuan, namun secara persentase

jumlah responden perempuan lebih banyak mengalami henti jantung dibandingkan

laki-laki. jumlah laki-laki yang mengalami henti jantung sebanyak 18 orang dengan

persentase 15,65 % dari keseluruhan jumlah responden laki-laki, sedangkan

jumlah perempuan yang mengalami henti jantung sebanyak 13 orang dengan

persentase 19,69 % dari keseluruhan jumlah responden perempuan. Hal ini

membuktikan bahwa pada pasien perempuan dengan IMA lebih rentan mengalami

henti jantung dibandingkan laki-laki. Menurut Canto et al (2012), wanita lebih

sering mengalami IMA pada usia yang lebih tua dibandingkan laki-laki. IMA yang

terjadi pada usia yang lebih muda dikaitkan dengan risiko kematian yang

substansial pada wanita dibandingkan dengan pria, terutama pada Wanita berusia

< 60 tahun.

Perbedaan jenis kelamin berkontribusi pada peningkatan risiko syok

kardiogenik dan komplikasi gagal jantung pasien AMI. Pengembangan dilatasi

ventrikel pada perempuan kemungkinan lebih kecil dibanding laki-laki sehingga

sehingga perempuan mempunyai resiko komplikasi IMA yang lebih besar. Namun

karena jumlah penderita IMA pada laki-laki lebih besar menyebabkan jumlah

keseluruhan pasien IMA dengan komplikasi pada laki-laki juga masih lebih besar

dibandingkan perempuan (Dunlay et al., 2013).

32
6.2. Faktor Tanda-Tanda Vital

6.2.1 Hubungan Tekanan Darah Sistolik Dengan Kejadian Henti Jantung

Pada Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang

Berdasarkan hasil analisis bivariat menggunakan uji spearman antara

kejadian henti jantung pada pasien infark miokard berdasarkan tekanan darah

sistolik didapatkan nilai P-value sebesar 0,002 dan nilai koefisien korelasi sebesar

-0.228. Dengan demikian maka terdapat hubungan negatif antara tekanan darah

sistolik dengan kejadian henti jantung pasien IMA yang menunjukkan bahwa

semakin rendah tekanan sistolik maka semakin tinggi resiko terjadinya henti

jantung pada pasien infark miokard aku. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian sebelumnya oleh Haryuni (2019), yang menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara tekanan darah sistolik dengan kejadian mortalitas pasien STEMI.

Perbedaannya adalah dalam penelitian ini terdapat hubungan yang positif antara

tekanan sistolik dengan kejadian mortalitas pasien STEMI dengan nilai coefficient

correlation sebesar r= 0.472 yang berarti semakin tinggi tekanan darah sistolik

maka semakin tinggi pula kejadian mortalitas pasien.

Dalam penelitian ini, sebagian besar kejadian henti jantung terjadi pada

tekanan sistolik <120 MmHg yaitu sebanyak 14 responden (7.7 %). Hanya 4

responden (2.2 %) dengan tekanan sistolik ≥ 160 MmHg yang mengalami henti

jantung. Sedangkan kategori responden dengan jumlah paling sedikit mengalami

henti jantung adalah responden yang mempunyai tekanan sistolik dalam rentang

140-159 MmHg yaitu sebayak 3 orang (1.6 %). Hal ini sejalan dengan penelitian

Weber (2013) yang menunjukkan bahwa kejadian infark miokard dan kematian

jantung mendadak terjadi pada pasien dengan tekanan sistolik pada kisaran 120

mmHg. Dampak kardiovaskuler pada pasien beresiko tinggi secara efektif

berkurang pada tekanan sistolik 140 mmHg. Dengan semikian maka semakin

33
tinggi tekanan sistolik seseorang maka resiko kematian jantung mendadak akan

semakin rendah.

Meskipun tidak secara langsung mempengaruhi terjadinya henti jantung

pada pasien infark miokard akut, tekanan darah sistolik dapat mempengaruhi

peluang terjadinya infark pada pasien sindrom koroner akut. Pasien dengan

tekanan darah sistolik yang tinggi beresiko terjadi infark sebanyak 71,4 %. Angka

ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan resiko infark pasien yang mempunyai

tekanan sistolik normal yaitu sebanyak 25%. Oleh sebab itu, peluang infark pada

pasien sindrome koroner akut dengan tekanan sitolik tinggi adalah 7,5 kali lebih

besar jika dibandingkan dengan pasien dengan tekanan sistolik normal pada 24

jam pertama (Halimudin, 2016).

6.2.2 Hubungan Tekanan Darah Diastolik Dengan Kejadian Henti Jantung

Pada Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang

Berdasarkan hasil analisis bivariat menggunakan uji spearman, diperoleh

nilai p-value sebesar 0.020 dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0.173 yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara tekanan darah diastolik

dengan kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut. Dengan demikian

maka semakin rendah tekanan diastolik maka akan semakin tinggi resiko

terjadinya henti jantung.

Hasil ini berbeda dengan penelitian Sobieraj (2019). Dalam penelitian

tersebut, tidak ditemukan efek yang tidak menguntungkan dari tekanan diastolik

<60 mmHg setelah disesuaikan dengan variabel perancu. Hal ini menyiratkan

bahwa tekanan diastolik <60 mmHg tidak meningkatkan risiko pasien ketika

kofaktor dimasukkan dalam analisis. Dengan demikian maka tekanan darah

diastolik bukanlah faktor independent untuk kejadian kardiovaskuler. Prognosis

yang buruk pada pasien dengan tekanan diastolik rendah seringkali disertai oleh
34
riwayat penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronis, riwayat merokok serta usia

yang lebih tua.

Namun hasil penelitian ini didukung oleh Flint (2019). Dalam penelitiannya

ditemukan bahwa hipertensi diastolik secara independent memprediksi hasil yang

merugikan, meskipun hipertensi sistolik memiliki efek yang lebih besar. Hubungan

antara tekanan sistolik dan diastolik terhadap hasil yang merugikan juga terlihat

pada pasien yang memakai obat hipertensi. Perbedaannya adalah dalam

penelitian ini beban sistolik dan diastolik diukur secara bersama-sama dalam

mempengaruhi hasil pasien kardiovaskuler.

Dalam hubungan dengan kejadian infark, tekanan darah diastolik yang

tinggi meningkatkan resiko infark hingga 6,2 kali lebih besar dibanding tekanan

diastolik normal. Peningkatan tekanan darah pasien ACS 24 jam pertama dapat

terjadi oleh karena riwayat hipertensi atau respon stress serangan ACS.

(Halimuddin, 2016). Dalam penelitian ini, Sebagian besar responden yang

mengalami henti jantung adalah responden dengan rentang tekanan sistolik < 80

MmHg sebanyak 15 orang (8.2 %) dengan lebih dari satu penyakit penyerta.

Sejalan dengan temuan tersebut, Weber (2013), menyatakan bahwa tekanan

darah diastolik rendah selama pengobatan yang menyebabkan peningkatan

kejadian koroner terjadi pada pasien dengan penyakit yang sudah ada

sebelumnya.

6.2.3 Hubungan Heart Rate Dengan Kejadian Henti Jantung Pada Pasien

Infark Miokard Akut di Kota Singkawang

Berdasarkan hasil analisis bivariat menggunakan uji spearman didapatkan

hasil P-value > α (0.064> 0.05) dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.138 yang

mengindikasikan bahwa tidak terdapat hubungan antara heart rate dengan

kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut. Berdasarkan penelitian
35
yang dilakukan oleh Custodis et al (2013), bahwa heart rate dapat menentukan

mordibitas dan mortalitas pasien sindrom coroner akut karena peningkatan heart

rate saat istirahat dapat mengganggu tahap kontinum penyakit kardiovaskuler dan

menambah pathogenesis hipertensi arteri yang meningkatkan risiko

kardiovaskuler. Namun, prasyarat penting heart rate untuk memenuhi kriteria

faktor resiko masih kurang. Dalam penelitian ini, sebagian besar responden yang

mengalami henti jantung adalah kelompok responden dengan rentang heart rate

41-90 kali/menit sebanyak 18 orang (9.9 %).

Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa heart rate lebih

berhubungan dengan kematian jangka panjang pada pasien infark miokard akut.

Penelitian Seronde et al (2014) menunjukkan bahwa peningkatan detak jantung

yang keluar terkait dengan peningkatan risiko kematian 5 tahun, didorong oleh

kematian yang lebih tinggi selama tahun pertama. Peningkatan mortalitas pada 1

tahun setelah pasien rawat inap dengan denyut jantung> 80 denyut per menit di

rumah sakit pada era fibrinolisis. Detak jantung yang tinggi ini merupakan penanda

risiko independen untuk mortalitas.

Hubungan antara denyut jantung saat pulang dan kematian jangka panjang

secara signifikan lebih kuat daripada hubungan yang sesuai untuk denyut jantung

saat masuk, dimulai dengan denyut jantung <60 bpm. Denyut jantung terakhir di

rumah sakit muncul sebagai faktor risiko yang lebih kuat untuk mortalitas 3 tahun

daripada detak jantung masuk di antara pasien dengan infark miokard akut.

Denyut jantung keluar yang lebih tinggi dikaitkan dengan karakteristik

sosiodemografi, psikososial, klinis, dan perawatan yang merugikan (Alapati et al.,

2019). Menurut Attin et al (2015), penurunan detak jantung sebelum henti jantung

mungkin disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sistem saraf simpatis dan

parasimpatis. Telah dilaporkan bahwa respon kronotropik terhadap stimulasi vagal

berkembang secara bertahap ketika stimulasi simpatis mendahului stimulasi.


36
Detak jantung tinggi yang tidak menurun selanjutnya bisa jadi disebabkan oleh

aktivitas sistem saraf simpatis yang mendominasi aktivitas parasimpatis.

Sehubungan dengan kejadian henti jantung, Abdelghani (2016) juga

menyatakan bahwa turbulensi heart rate terbukti menjadi prediktor independen

yang kuat terkait kejadian henti jantung pasien infark miokard akut. Namun,

variabel heart rate dipengaruhi oleh faktorlain seperti seperti usia, jenis kelamin

dan riwayat obat-obatan sehingga tidak dapat dilakukan perbandingan pada

seluruh populasi IMA. Selain itu, keterbatasan penelitian mengenai heart rate

adalah periode perekaman yang singkat sehingga tidak memberikan gambaran

nyata mengenai turbulensi denyut jantung secara menyeluruh.

Menurut Murukesan (2013), kelemahan utama variabel heart rate adalah

harus dikombinasikan dengan hasil EKG untuk mencapai nilai yang substansial

dan tidak dapat diukur pada pasien dengan fibrilasi atrium yang dirawat inap

sehingga hal ini menjadi kendala teknis saat pemeriksaan. Oleh sebab itu, maka

dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara heart rate dengan

kejadian henti jantung dalam penelitian ini adalah karena prediksi yang dilakukan

dalam jangka pendek saat keluar dari rumah sakit, sedangkan variabel heart rate

lebih efektif untuk memprediksi kematian jangka panjang.

6.3 Faktor Pemeriksaan Penunjang

6.3.1 Hubungan Gambaran EKG Terhadap Kejadian Henti Jantung Pada

Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan uji chi square didapatkan

hasil P-value > α (0.885 > 0.05) yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara gambaran EKG dengan kejadian henti jantung

pada pasien infark miokard akut. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian

yang dilakukan oleh Behnes (2018), yang menyatakan ada hubungan antara
37
gambaran EKG dengan kematian pasien infark miokard akut. Pasien NSTEMI

dikaitkan dengan semua penyebab kematian jangka panjang yang lebih tinggi

dibandingkan dengan pasien STEMI. Pasien AMI dengan ventrikel takikardia

dikaitkan dengan mortalitas yang lebih tinggi bila terjadi ≥48 jam dibandingkan

dengan <48 jam onset AMI.

Namun hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Smilowits (2017), yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara temuan elektrokardiografi terhadap

mekanisme tertentu yang mendasari terjadinya henti jantung. Penelitian yang

dilakukan oleh Abdhelgani (2016), menunjukkan bahwa beberapa metode

stratifikasi risiko serangan jantung berbasis elektrokardiografi telah dipelajari dan

menunjukkan efektivitas variabel hanya sebagai alat skrining. Hingga saat ini, tidak

ada temuan EKG individu yang dapat membuat stratifikasi pasien secara memadai

terkait risiko serangan jantung.

Sistem pemantauan EKG saat ini tidak dapat mendeteksi perubahan EKG

penting sebelum serangan jantung dan memberi tahu dokter tentang perubahan

tersebut. Sistem EKG membunyikan alarm saat detak jantung tinggi atau rendah.

Namun, hal itu tidak mengingatkan dokter ketika denyut jantung menurun secara

bertahap. Perubahan EKG seperti penurunan detak jantung secara bertahap

dalam waktu 15 menit mungkin memiliki dampak prognostik langsung pada

perawatan tepat waktu dari beberapa subjek dengan PEA dan asistol yang dapat

meningkatkan kelangsungan hidup pasien henti jantung (Attin, 2015).

6.3.2 Hubungan Enzim Troponin Terhadap Kejadian Henti Jantung Pada

Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan uji chi square didapatkan

hasil P-value > α (0.951 > 0.05) yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat

hubungan antara enzim troponin dengan kejadian henti jantung pada pasien infark
38
miokard akut. Dalam penelitian ini, Sebagian besar pasien yang mengalami henti

jantung menunjukkan hasil pemeriksaan positif terdapat adanya enzim troponin

jantung. pada orang yang sehat, Troponin I dan troponin T merupakan protein

struktural jantung tertentu yang biasanya tidak terdeteksi dalam serum. Pasien

dengan peningkatan tingkat troponin memiliki peningkatan beban trombus dan

embolisasi mikrovaskular. Pemeriksaan troponin jantung Berguna dalam

stratifikasi risiko karena pasien dengan elevasi konsentrasi troponin serum berada

pada peningkatan risiko infark miokard non fatal dan kematian jantung mendadak,

Juga dapat digunakan untuk mendeteksi reinfark Tetap tinggi selama 7-14 hari

setelah infark (Rampengan, 2015).

Keberadaan troponin memainkan peran sentral dalam membangun

diagnosis dan stratifikasi risiko. Dengan pemeriksaan troponin dapat dibedakan

antara unstabel angina dan NSTEMI. Pada unstabel angina nilai troponin relatif

normal atau tidak ada perubahan, sedangkan pada infrak miokard, adanya

peningkatan troponin T atau troponin I merupakan penanda nekrosis miokard

(Ainiyah, 2015). Berdasarkan hal tersebut maka keberadaan enzim troponin

merupakan sebuah penanda dalam menegakkan diagnosis infark miokard akut

serta menilai keparahan nekrosis miokard namun belum ada bukti yang

menunjukkan bahwa adanya troponin merupakan sebuah prediktor untuk kejadian

henti jantung.

6.4 Faktor Riwayat Penyakit

6.4.1 Hubungan Jumlah Penyakit Komorbid Dengan Kejadian Henti Jantung

Pada Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang

Berdasarkan hasil analisis bivariat menggunakan uji spearman didapatkan

hasil P-value > α (0.322 >0.05) dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.074 yang

mengindikasikan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah penyakit komorbid


39
dengan kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut. Hal ini berbeda

dengan penelitian sebelumnya oleh Baechli et al (2020) yang menyatakan bahwa

terdapat hubungan kuat antara penyakit komorbid dengan kematian yang terjadi

di rumah sakit pada pasien infark miokard akut.

Namun hasil penelitian ini didukung oleh penelitian McManus et al (2012),

yang menunjukkan bahwa beberapa faktor resiko kardiovaskuler seperti

hipertensi, riwayat merokok, diabetes dan dislipidemia tidak terkait dengan

peningkatan resiko henti jantung. Pada pasien sindrom koroner akut yang

mengalami infark, resiko henti jantung dihubungkan dengan karakteristik klinis

kesehatan jantung yang buruk, ukuran infark yang lebih besar dan status klinis

penyakit. Namun, tingkat keparahan sindrom koroner akut menempatkan pasien

pada resiko yang lebih tinggi untuk mengalami henti jantung terlepas dari adanya

faktor resiko kardiovaskuler yang dialami pasien.

Dalam penelitian ini, sebagian besar henti jantung terjadi pada responden

dengan lebih dari satu penyakit komorbid yaitu sebanyak 24 orang (13.25 %).

Meskipun jumlah penyakit komorbid tidak menjamin seseorang yang terdiagnosis

infark miokard akut tidak mengalami henti jantung, namun secara statistik terdapat

penurunan jumlah kejadian henti jantung seiring dengan penurunan jumlah

penyakit komorbid. Artinya, semakin sedikit jumlah penyakit komorbid maka

semakin kecil resiko sesorang mengalami henti jantung. Hal ini sejalan dengan

penelitian Nguyen et al (2014) bahwa pasien Infark Miokard Akut dengan beberapa

komorbid cenderung mengalami tingkat kematian yang lebih tinggi saat

hospitalisasi sehingga untuk meningkatkan prognosis jangka pendek diperlukan

strategi yang efektif dalam mengelola pasien IMA dengan beberapa komorbid.

40
6.4.2 Hubungan Lama Rawat Dengan Kejadian Henti Jantung Pada Pasien

Infark Miokard Akut di Kota Singkawang.

Berdasarkan hasil analisis chi square didapatkan hasil P-value < α (0.000

< 0.05) dengan nilai OR 0.181 yang mengindikasikan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara lama rawat dengan kejadian henti jantung pada pasien

infark miokard akut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan

lama rawat < 5 hari memiliki kecenderungan 0.181 atau 18.1 kali lebih besar

mengalami henti jantung dibandingkan responden yang dirawat > 5 hari. Namun,

temuan ini berbeda dengan temuan sebelumnya bahwa henti jantung yang terjadi

dalam 48 jam saat rawat inap mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan

henti jantung yang terjadi > 48 jam selama rawat inap. Iskemia miokard yang

menyebabkan ketidakstabilan listrik jantung dapat menyebabkan berkembangnya

henti jantung dini, perluasan cedera miokard selama dirawat serta ketidakstabilan

hemodinamik berkontribusi pada meningkatnya resiko pasien henti jantung untuk

meninggal. Henti jantung yang terjadi kemudian selama rawat inap juga

menunjukkan kegagalan stabilisasi hemodinamik (McManus, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar

henti jantung terjadi pada responden yang dirawat selama <5 hari yaitu sebanyak

22 orang (71 %), sedangkan pasien yang dirawat > 5 hari mengalami henti jantung

sebanyak 9 orang (29 %). Hal ini menunjukkan bahwa semakin panjang lama

rawat dirumah sakit maka semakin kecil kemungkinan terjadinya henti jantung.

Hasil ini juga berbeda dari penelitian penelitian Ghazi et al (2017) yang

menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian henti jantung di rumah sakit terjadi

setelah 3 hari rawat inap. Pasien yang mengalami henti jantung setelah 3 hari

rawat memiliki kelangsungan hidup yang lebih rendah saat pulang dan pasien

yang bisa bertahan mempunyai status neurologis yang lebih rendah serta lama

rawat yang lebih panjang dibandingkan saat serangan jantung.


41
Perbedaan yang ditunjukkan antara penelitian ini dengan penelitian diatas

disebabkan sejumlah faktor yang dapat menurunkan lama rawat pasien dengan

infark miokard akut. Menurut Saczynski et al (2010), Faktor-faktor ini termasuk

perbaikan manajemen medis dan waktu terapi, peningkatan kualitas praktik dokter,

preferensi pasien, dan tekanan ekonomi untuk meningkatkan efisiensi rawat inap.

Beberapa terapi jantung yang efektif telah terbukti berhubungan dengan lama

rawat di rumah sakit yang lebih pendek. Demikian pula, peningkatan penggunaan

PCI pada pasien dengan infark miokard akut memungkinkan untuk revaskularisasi

segera, mengidentifikasi lesi koroner lainnya, dan dapat menghilangkan

kebutuhan untuk risiko lebih lanjut di rumah sakit stratifikasi yang juga diharapkan

dapat mengurangi lama tinggal.

Berdasarkan penelitian ini, sampel penelitian yang mengalami henti

jantung < 5 hari lama rawat merupakan pasien infark miokard akut yang memiliki

tingkat keparahan tinggi dan prognosis buruk. Hal ini ditandai dengan kondisi syok

kardiogenik sejak masuk IGD sehingga henti jantung sering terjadi pada pasien

setelah dirawat beberapa saat di rumah sakit. Hal ini menyebabkan tingkat

kejadian henti jantung pada pasien dengan lama rawat < 5 hari lebih tinggi

dibandingkan lama rawat > 5 hari yang sebagian besar datang ke rumah sakit

dengan kondisi lebih stabil.

6.5 Faktor Kelas Killip

6.5.1 Hubungan Kelas Killip Terhadap Kejadian Henti Jantung Pada Pasien

Infark Miokard Akut di Kota Singkawang

Sistem klasifikasi killip diperkenalkan untuk penilaian klinis pasien dengan

infark miokard akut dengan mengelompokkan individu sesuai dengan tingkat

keparahan gagal jantung pasca infark miokard. Klasifikasi killip terdiri dari killip 1

hingga 4 berdasarkan kondisi klinis pasien. Sistem ini memberikan stratifikasi yang
42
efektif dari hasil jangka panjang dan jangka pendek pada pasien dengan IMA dan

mempengaruhi strategi pengobatan. Penilaian klinis dalam klasifikasi killip

bertujuan untuk menilai tingkat keparahan penyakit dan memprediksi prognosis.

Kelas killip yang tinggi memprediksi prognosis jangka pendek yang buruk. Oleh

sebab itu, klasifikasi killip merupakan alat yang valid dan handal untuk stratifikasi

risiko dini pada pasien dengan STEMI, terutama di negara terbatas sumber daya

(Hashmi et al., 2020).

Berdasarkan hasil analisis bivariat menggunakan uji spearman didapatkan

hasil P-value < α (0.000 < 0.05) dan nilai koefisien korelasi sebesar 0.431. Hasil

ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kelas kiliip dengan

kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut. Semakin tinggi kelas killip

maka akan semakin meningkatkan resiko terjadinya henti jantung pada pasien

IMA. Dalam penelitian ini, sebagian besar responden yang mengalami henti

jantung merupakan responden dengan kelas Killip 4 berjumlah 12 orang. Hal ini

sejalan dengan penelitian Alhamid (2021), yang menyatakan bahwa klasifikasi

killip merupakan prediktor jangka pendek hasil post treatment pasien SKA program

rehabilitasi jantung sebagai indikator fungsi kardiorespirasi (p = 0,01). Studi ini

menemukan bahwa pasien ACS yang dirawat di rumah sakit dengan ≥ Killip II

berisiko tinggi mengalami hasil fungsi kardiorespirasi yang buruk setelah

perawatan.

Berdasarkan penelitian Mello et al (2014), bahwa klasifikasi killip adalah

prediktor independen penting terkait resiko kematian pasien infark miokard akut

termasuk henti jantung selama rawat inap. Semakin tinggi klasifikasi killip maka

akan semakin meningkatkan resiko terjadinya henti jantung. Menurut Yang (2018),

klasifikasi killip adalah turunan faktor prognostik dari tekanan darah dan auskultasi.

Faktor ini merupakan prediktor kuat yang berhubungan dengan penyebab

kematian di rumah sakit.


43
6.6 Faktor Yang Paling berpengaruh Terhadap Kejadian Henti Jantung Pada

Pasien Infark Miokard Akut

Pada penelitian ini, analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik

dengan metode backward. Uji ini menghasilkan tiga tahapan pemodelan dan

variabel yang mempunyai nilai p paling besar akan dikeluarkan dari model dan

tidak disertakan dalam model berikutnya. Dari total enam variabel yang

diikutsertakan dalam pemodelan, tersisa empat variabel pada model terakhir.

Variabel tekanan darah sistolik dieliminasi pada pemodelan yang pertama karena

mempunyai nilai p paling besar yaitu 0.874, diikuti variabel usia pada pemodelan

kedua dengan nilai p sebesar 0.144. Dengan demikian kedua variabel tersebut

dianggap bukan faktor prediktor yang efektif dalam memprediksi kejadian henti

jantung pada pasien infark miokard akut.

Hasil diatas berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Ariandiny et al.,

(2014) pada penelitiannya tentang gambaran tekanan darah pada pasien sindrom

koroner akut yang menyebutkan bahwa setiap kenaikan tekanan darah sistolik

sebesar 10 mmHg dapat meningkatkan risiko kematian pasien sindrom koroner

akut. Menurut Haryuni et al (2019), usia merupakan salah satu faktor yang

berperan dalam mortalitas IMA. Hal ini disebabkan karena resiko perdarahan dan

komplikasi serta prevalensi komobiditas yang lebih tinggi sehingga meningkatkan

resiko mortalitas.

Perbedaan hasil dalam penelitian ini dapat terjadi karena penyebab henti

jantung pada pasien IMA merupakan multifaktoral. Prediktor seperti tekanan

sistolik, dan usia tidak dapat berdiri sendiri dalam mempengaruhi kejadian henti

jantung. Menurut Ariandiny et al (2014), meskipun kenaikan tekanan sistolik dapat

meningkatkan mortalitas namun efek ini akan jauh lebih besar jika terjadi

bersamaan dengan kenaikan tekanan diastolik. Hal ini menunjukkan bahwa


44
penelitian tersebut mempunyai hubungan positif antara tekanan darah dan

mortalitas pasien AMI. Sedangkan dalam penelitian ini hasilnya menunjukkan

hubungan negative antara tekanan darah sistolik dan diastolik terhadap kejadian

henti jantung pasien IMA.

Adanya Riwayat hipertensi pada pasien AMI sering dikaitkan dengan

peningkatan kejadian kematian mendadak. Kombinasi peningkatan tekanan darah

baik sistolik maupun diastolik pada pasien STEMI menunjukkan insiden syok

kardiogenik, edema paru, takikardia, fibrilasi ventrikel dan AV blok yang lebih tinggi

dibandingkan pasien STEMI tanpa peningkatan tekanan darah. Kondisi inilah yang

menjelaskan hubungan antara tekanan darah terhadap kejadian henti jantung,

namun kedua faktor baik sistolik maupun diastolik tidak dapat dipisahkan dalam

menjelaskan hubungan ini (Picariello, 2011).

Ramadhany (2016) menyatakan bahwa usia dan jenis kelamin secara

bersama-sama dapat meningkatkan henti jantung pada pasien IMA. Usia tua

khususnya pada wanita cenderung terlambat datang ke pelayanan kesehatan

karena gejala atipikal. Penurunan fungsi ginjal dan faktor lainnya menyebabkan

semakin tingginya resiko mortalitas. Berbeda dengan penelitian ini bahwa jenis

kelamin merupakan variabel yang tidak mempunyai hubungan yang signifikan

dalam kejadian henti jantung pasien AMI. Dengan demikian, maka faktor usia juga

tidak dapat secara bersama-sama dengan jenis kelamin dalam mempengaruhi

kejadian henti jantung.

Berdasarkan pemodelan tahap ketiga atau tahap terakhir, dapat diketahui

bahwa variabel independent yang paling berpengaruh sebagai prediktor henti

jantung pada pasien infark miokard akut adalah kelas killip, lama rawat, tekanan

diastolik dan heart rate. Berdasarkan pengaruh heart rate terhadap kejadian henti

jantung, menurut Alapati et al., (2019) denyut jantung yang tinggi dihubungkan

dengan hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan denyut jantung yang lebih
45
rendah. Hal ini biasa terjadi pada wanita dengan usia yang lebih muda dan tidak

merokok namun mempunyai indeks masa tubuh yang tinggi disertai diabetes,

riwayat penyakit paru dan jantung serta gejala depresi berat. Sedangkan pada

populasi umum, Fang et al (2020) menyatakan bahwa pasien dengan variabilitas

heart rate yang lebih rendah memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan pasien

dengan heart rate tinggi. Terdapat hubungan positif antara heart rate rendah

terhadap kejadian kardiovaskuler. Hal ini menegaskan peran heart rate dalam

memprediksi kejadian kardiovaskuler dan kematian pada pasien IMA.

Dalam penelitian ini sebagian besar responden yang mengalami henti

jantung menunjukkan tekanan diastolik ≤ 80 MmHg. Hal ini sejalan dengan

penelitian Yoon et al., (2015) yang menyatakaan bahwa pengukuran diastolik

berguna dalam stratifikasi resiko pasien IMA tanpa melihat fungsi sistolik karena

seringkali ditemukan terjadi perbaikan fungsi sistolik dengan fungsi diastolik yang

tetap buruk. Pada pasien IMA dengan fungsi sistolik yang bersifat reversibel akan

memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan pada pasien dengan fungsi

diastoliknya telah pulih. Pada penilaian diastolik, informasi prognostik tidak lagi

bergantung pada evaluasi fungsi sistolik.

Dalam penelitian Spencer et al (2004), lama rawat di rumah sakit sering

dihubungkan dengan faktor demografi seperti jenis kelamin dan usia lanjut. Selain

itu, penyakit penyerta seperti stroke dan komplikasi syok kardiogenik serta adanya

Gelombang Q atau MI anterior merupakan penyebab umum peningkatan lama

rawat di rumah sakit. Pada penelitian ini, sebagian besar responden yang

mengalami henti jantung adalah responden yang dirawat < 5 hari yaitu sebanyak

22 orang (32.4 5). Mayoritas pasien yang mengalami henti jantung ini dirawat

sangat singkat yaitu selama 1-2 hari. Sedangkan responden yang mengalami henti

jantung dengan lama rawat > 5 hari adalah sebanyak 9 orang (8 %). Hal ini sejalan

dengan penelitian Swaminathan et al (2015), bahwa pasien IMA yang dirawat


46
dalam waktu singkat (1-2 hari) dikaitkan dengan hasil klinis yang lebih buruk.

Pasien dengan lama rawat yang sangat singkat sering terjadi pada laki-laki dengan

umur yang sama dan mempunyai berbagai penyakit penyerta, sedangkan Pasien

dengan lama rawat 3-4 hari mengalami kecenderungan penurunan resiko

kematian hingga 50% dibandingkan lama rawat 1-2 hari. Hal ini juga diperkuat oleh

penelitian Jang et al (2020), bahwa pasien yang menjalani lama rawat sangat

pendek dikaitkan dengan angka kematian 30 hari yang lebih tinggi dibandingkan

dengan lama rawat yang lebih panjang atau setidaknya lama rawat minimal 3 hari

di rumah sakit.

Hasil penelitian ini menunjukkan kelas killip merupakan variabel paling

dominan yang berhubungan dengan kejadian henti jantung pada pasien IMA. Hal

tersebut dapat diketahui dari hasil analisis regresi logistik yang memperoleh hasil

OR(EXP{B}) sebesar 1.151 dengan CI 95 % = 1.981 – 5.043. Responden dengan

kelas killip 4 merupakan yang terbanyak mengalami henti jantung yaitu sebanyak

12 orang (54.5 %), diikuti oleh responden dengan kelas kiliip 3 yaitu sebanyak 9

orang (39.1 %). Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh positif kelas killip

terhadap kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut, artinya bahwa

semakin tinggi kelas killip seseorang maka akan semakin tinggi pula resiko

mengalami henti jantung.

Penelitian-penelitian sebelumnya sejalan dengan temuan ini. Mello et al

(2014) menyatakan prognosis yang sangat baik terlihat pada pasien dengan kelas

Killip 1 dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sedangkan peningkatan

resiko henti jantung terjadi pada pasien dengan kelas killip >2. Hal ini dapat

dijelaskan karena tingkat keparahan yang lebih tinggi dan infark yang lebih luas.

Hasil penelitian ini juga didukung penelitian berikutnya oleh Taguchi et al (2017)

mengenai dampak klasifikasi killip pada infark miokard yang membuktikan bahwa

47
pasien dengan killip kelas 4 saat masuk rumah sakit beresiko 16 kali lipat

mengalami henti jantung di rumah sakit.

6.7. Implikasi Keperawatan

6.7.1 Implikasi Teoritis

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara usia, tekanan

sistolik, tekanan diastolik, lama rawat dan kelas killip dengan kejadian henti

jantung pada pasien infark miokard akut. Namun tidak terdapat hubungan faktor

lainnya yaitu jenis kelamin, heart rate, gambaran EKG, enzim troponin dan jumlah

penyakit komorbid dengan kejadian henti jantung. Hasil ini dapat memberikan

masukan serta referensi bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang keperawatan

terkait faktor prediktor kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor paling dominan sebagai prediktor

henti jantung adalah kelas killip. Hal ini dapat menjadi landasan bagi peneliti

selanjutnya untuk mengembangkan variabel-variabel penelitian khususnya yang

berhubungan dengan prediktor henti jantung pada pasien infark miokard akut.

6.7.2 Implikasi Praktis

Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi tim kesehahatan

khususnya perawat dalam mengidentifikasi secara dini faktor-faktor yang dapat

mengarah kepada kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut,

khususnya faktor-faktor yang berhubungan seperti usia, tekanan darah, lama

rawat dan kelas killip. Dengan adanya faktor ini maka dapat menjadi perhatian

sekaligus peringatan dini bagi tim kesehatan untuk melakukan asuhan

keperawatan dan kerjasama tim yang tepat dan cepat serta melakukan tindakan-

tindakan preventif untuk mencegah perburukan kondisi pasien yang mengarah

pada terjadinya henti jantung pasien infark miokard akut.


48
6.8. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara retrospective sehingga peneliti tidak dapat

mengetahui kondisi pasien secara langsung. Seluruh data yang diperoleh dalam

penelitian ini merupakan data awal saat pasien masuk rumah sakit. Peneliti tidak

melakukan pengkajian mengenai perubahan kondisi pasien selama dirawat pada

hari-hari berikutnya yang mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu,

penelitian ini tidak menyertakan dampak pengobatan yang diberikan kepada

pasien selama masa rawat serta tidak mengelompokkan sampel berdasarkan

tingkat keparahan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan variabel-variabel lainnya

yang mungkin dapat mempengaruhi kondisi pasien serta berhubungan dengan

kejadian henti jantung.

49
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dapat diperoleh kesimpulan bahwa :

7.1.1 Semakin tinggi usia maka semakin tinggi resiko henti jantung pada pasien

infark miokard akut,

7.1.2 Tidak Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian henti jantung

pada pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota Singkawang.

7.1.3 Ada hubungan negative antara tekanan darah sistolik dengan kejadian henti

jantung pada pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota Singkawang.

7.1.4 Ada hubungan negative antara tekanan darah diastolik dengan kejadian

henti jantung pada pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota Singkawang.

7.1.5 Tidak ada hubungan antara heart rate dengan kejadian henti jantung pada

pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota Singkawang.

7.1.6 Tidak ada hubungan antara jumlah penyakit komorbid dengan kejadian henti

jantung pada pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota Singkawang.

7.1.7 Ada hubungan positif antara lama rawat dengan kejadian henti jantung pada

pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota Singkawang.

7.1.8 Tidak ada hubungan antara gambaran EKG dengan kejadian henti jantung

pada pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota Singkawang.

7.1.9 Tidak terdapat hubungan antara kadar enzim troponin jantung (cTnT) dengan

kejadian henti jantung pada pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota

Singkawang.

7.1.10 Ada hubungan positif antara kelas Killip dengan kejadian henti jantung pada

pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota Singkawang.


50
7.1.11 Variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian henti jantung pada

pasien infark miokard akut adalah kelas killip. Hal ini menunjukkan bahwa

semakin tinggi kelas Killip maka semakin tinggi pula resiko kejadian henti

jantung pada pasien infark miokard aku (IMA). Peningkatan resiko henti

jantung terjadi pada seseorang dengan kelas Killip ≥ 2.

7.2 Saran

7.2.1 Bagi Pelayanan Kesehatan/Keperawatan

Sebagian besar pasien henti jantung menjalani masa rawat yang sangat

singkat dan masuk rumah sakit dengan kondisi yang sulit diresusitasi, oleh sebab

itu penting dilakukan optimalisasi pelayanan pre-hospital mengingat pasien infark

miokard akut sering datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah parah.

Dengan meningkatkan pelayanan pre-hospital diharapkan pasien datang ke rumah

sakit dalam kondisi yang sudah stabil sehingga angka kejadian henti jantung dapat

ditekan.

7.2.2 Bagi Rumah Sakit

Tim Kesehatan rumah sakit perlu mewaspadai adanya tanda-tanda

perburukan pasien IMA seperti penurunan tekanan sistolik dan diastolik serta

peningkatan klasifikasi killip pada usia lanjut yang mengarah pada terjadinya henti

jantung. Oleh sebab itu, perlu adanya indentifikasi awal dan kerjasama interdisiplin

untuk melakukan tidakan-tindakan yang dapat mencegah terjadinya henti jantung

pada pasien infark miokard akut.

7.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya dalam

mengembangkan faktor prediktor kejadian henti jantung pada pasien infark

miokard akut dengan menambahkan faktor-faktor lain seperti pengaruh etnis,

agama, keyakinan, dan pola makan. Oleh sebab itu, menarik untuk dilakukan
51
penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan tempat penelitian yang

lebih luas.

52
DAFTAR PUSTAKA

Abdelghani, Samy A; Rosenthal, Todd M; Morin, Daniel P. (2016). Surface


Electrocardiogram Predictors of Sudden Cardiac Arrest. Ochsner Journal 16:
280–289.

Acharya, Deepak. (2018). Predictors of Outcomes in Myocardial Infarction and


Cardiogenic Shock. Cardiology in Review 2018;26: 255–266

Ainiyah, Nur. (2015). peran perawat dalam identifikasi dini dan penatalaksanaan
pada Acute Coronary Syndrome. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Vol. 8, No. 2. hal
184-192.

Alapati, V; Tang, F; Charlap, E; Chan, P.S; Heidenreich, Paul A; Jones, Philip G;


Spertus, John A; Srinivas, V; Kizer, Jorge R. (2019). Discharge Heart Rate
After Hospitalization for Myocardial Infarction and Long-Term Mortality in 2 US
Registries. Journal of the American Heart Association. 8:e010855. DOI:
10.1161/JAHA.118.010855.

Alhamid, A.Z; Yulidia, H; Supriatna, I.I. (2021). Simple Risk Stratification based on
Killip Classification and the Six-minute Walk Test Borg Scale for Outcomes of
Acute Coronary Syndrome for Papuanese People in Rural Hospital.
Cardiovascular Cardiometabolic Journal. Vol 3: 91-96.

American Heart Association. (2015). Scientific Position Risk Faktors & Coronary
Heart Disease. AHA Scientific Position.

Andersen L.W, Holmberg M.J, Berg K.M, Donnino M.W, Granfeldt. A. (2019). In-
Hospital Cardiac Arrest: A Review. JAMA. 321(12) : 1200-1210.
doi:10.1001/jama.2019.1696.

Apple FS, Jaffe AS, Collinson P, Mockel M, Ordonez-Llanos J, Lindahl B, Hollander


J, Plebani M, Than M, Chan MH. (2015). On behalf of the International
Federation of Clinical Chemistry (IFCC) Task Force on Clinical Applications of
Cardiac Bio-Markers. IFCC educational materials on selected analytical and
clinical applications of high sensitivity cardiac troponin assays. Clin Biochem.
2015;48:201–203.

Ariandiny. M, Afriwardi, Syafri. M. (2014). Gambaran Tekanan Darah pada Pasien


Sindrom Koroner Akut di RS Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun 2011-
2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 3(2).

Attin, Mina; Feld, Gregory; Lemus, Hector; Najarian, Kayvan; Shandilya, Sharad;
Wang, Lu; Sabouriazad, Pouya; Lin, Chii-Dean. (2015). Electrocardiogram
characteristics prior to in-hospital cardiac arrest. J Clin Monit Comput (2015)
29:385–392.

Attin M, Tucker R.G, Carey M.G. (2016). In-Hospital Cardiac Arrest An Update on
Pulseless Electrical Activity and Asystole. Crit Care Nurs Clin N Am 28
(2016) 387–397. http://dx.doi.org/10.1016/j.cnc.2016.04.010

53
Baechli C, Koch D, Bernet S, Gut L, Wagner U, Mueller B, Schuetz P, Kutz A.
(2020). Association of comorbidities with clinical outcomes in patients after
acute myocardial infarction. IJC Heart & Vasculature 29 (2020) 100558.

Bajaj A, Sethi A, Rathor P, Suppogu N, Sethi A. (2015). Acute Complication of


Myocardial Infarction in the Current Era : Diagnosis and Management. Journal
of Investigative Medicine. Volume 63, Number 7.

Bărcan. A, Chițu. M, Benedek. E, et al. (2016). Predictors Of Mortality In Patients


With ST-Segment Elevation Acute Myocardial Infarction And Resuscitated
Out-Of-Hospital Cardiac Arrest. The Journal of Critical Care Medicine
2016;2(1):22-29.

Behnes, M; Mashayekhi, K; Weiß, C et al. (2018). Prognostic Impact of Acute


Myocardial Infarction in Patients Presenting With Ventricular
Tachyarrhythmias and Aborted Cardiac Arrest. Journal of the American Heart
Association. 2018;7:e010004. DOI: 10. 1161/JAHA.118.010004.

Brunner & Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8.


Jakarta : EGC

Cameron, P., Brown, A., & Little, M. (2015). Textbook of Adult Emergency Medicine
(4th ed.). London: Churchill Livingstone Elsevier.

Canty JM, Jr., Duncker DJ. (2015). Coronary Blood Flow and Myocardial Ischemia.
Dalam: Mann DL. Zipes DP, Libby P editor. Braundwald’s Heart Disease. ed
10. Philadelphia: Elsevier; 2015;1029-55.

Canto J.G; Rogers W.J; Goldberg R.J; Peterson E.D; Wenger N.K; Vaccarino.V et
al. (2012). Association of Age and Sex With Myocardial Infarction Symptom
Presentation and In-Hospital Mortality. JAMA. 22; 307 (8): 813–822. doi:
10.1001/jama.2012.199.

Ceyssens, J. (2016). EKG PA Class 2017. SlideShare: Art & Photos. Available at:
https://www.slideshare.net/JanCeyssens/ekg-pa-class-2017.

Coviello, JS. (2016). ECG Interpretation Made Incredibly Easy. 6thedition.


Philadelphia: Wolters Kluwer.

Cui L.P, Lie L.L, Liu A.Q, et al. (2018). Clinical analysis for the death of 127 patients
with acute myocardial infarction and nursing strategies. Biomedical Research
2018; 29 (13): 2697-2702.

Custodis, F; Christian Reil, J; Laufs, U; Böhm, M. (2013). Heart rate: A global target
for cardiovascular disease and therapy along the cardiovascular disease
continuum. Journal of Cardiology 62 (2013) 183–187.

De Mello, B.H.G; Oliveira, G.B.F; Ramos, R.F et al. (2014). Validation of the Killip–
Kimball Classification and Late Mortality after Acute Myocardial Infarction. Arq
Bras Cardiol. 103(2):107-117).

54
Dharmawan M, Hidayat W.L, Tiluata L.J. (2019). Profil Infark Miokard Akut dengan
Kenaikan SegmenST Di ICCU RSUD Prof W. Z. Johannes Kupang, Nusa
Tenggara Timur, Januari-April 2018. CDK-281/ vol. 46 no. 12 th. 2019

Docherty K.F et al. (2020). Predictors of sudden cardiac death in high-risk patients
following a myocardial infarction. European Journal of Heart Failure, 22(5),
pp. 848-855. (doi: 10.1002/ejhf.1694) (PMID:31944496)

Duksta, Cheryl & Younker, Jacquelyn. (2012). Stemi Alert! Rapid Response To
Acute Myocardial Infarction. Lakeway, Texas : National Center of Continuing
Education, Inc.

Dunlay, Shannon M and Roger, Véronique L. (2012). Gender Differences in the


Pathophysiology, Clinical Presentation, and Outcomes of Ischemic Heart
Failure. Curr Heart Fail Rep. 9(4): 267–276. doi:10.1007/s11897-012-0107-7.

Eggers K.M. (2015). Defining acute myocardial infarction. Heart Metab. (2015)
67:34-38.

Elayi C.S, Charnigo R.J, Heron P.M, Lee B.K, Olgin J.E. (2017). Primary
Prevention of Sudden Cardiac Death Early Post-Myocardial Infarction, Root
Cause Analysis for Implantabel Cardioverter–Defibrillator Failure and
Currently Available Options. Circ Arrhythm Electrophysiol.
2017;10:e005194. DOI: 10.1161/CIRCEP.117.005194

Emaliyawati E, Sutini T, Ibrahim K, et al. (2017). Pengalaman Psikologis Pasien


Infark Miokard Akut Selama Dirawat di Ruang Intensif. Jurnal Pendidikan
Keperawatan Indonesia. 2017;3(1):32–38

Fang, S.C; Wu, Y.L; and Tsai, P.S. (2020). Heart Rate Variability and Risk of All-
Cause Death and Cardiovascular Events in Patients With Cardiovascular
Disease: A Meta-Analysis of Cohort Studies. Biological Research for Nursing.
Vol. 22(1) 45-56.

Faridah, E.N., Pangamenan, J.A. & Rampengan, S.H. (2016).Gambaran Profil


Lipid pada Penderita Sindrom Koroner Akut di RSUP. Prof.DR.R.D. Kandou
Periode Januari-September 2015, Manado, Universitas Sam Ratulangi
Manado.

Faxén J. (2019). Predictors Of Arrhythmias, Cardiac Arrest, and Mortality in Acute


Coronary Syndrome. Stockholm : Karolinska Institutet.

Flint, Alexander C; Conell, Carol; Ren, Xiushui; Banki, Nader M; Chan, Sheila L;
Rao, Vivek A;. Melles, Ronald B; and Bhatt, Deepak L. (2019). Effect of
Systolic and Diastolik Blood Pressure on Cardiovascular Outcome. The new
england journal of medicine. 381: 243-51. DOI: 10.1056/NEJMoa1803180.

Halimuddin. (2016). Tekanan Darah dengan Kejadian Infark Pasien Acute


Coronary Syndrome. Idea Nursing Journal. Vol. VII No. 3. ISSN : 2087-2879.

Han K.W, Chen S.Y, Weng Y.M, Ng C.J, Chiu T.F, Hsieh I.C, Chen J.C. (2017).
Validation of different score systems in predicting cardiac arrest occurrence

55
of ST-elevation myocardial infarction. Hong Kong Journal of Emergency
Medicine 2017, Vol. 24(5): 224–229

Haryuni, Sri; Yunalia E.M; Yusuf, Anita. (2019). Hubungan tekanan darah sistolik
dengan kejadian mortalitas pasien STEMI di RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar.
NSJ. Volume 3 Nomor 2.

Hashmi K A, Adnan F, Ahmed O, et al. (2020). Risk Assessment of Patients After


ST-Segment Elevation Myocardial Infarction by Killip Classification: An
Institutional Experience. Cureus 12(12): e12209. DOI 10.7759/cureus.12209.

Huikuri, Heikki V. (2011). Prediction and prevention of sudden cardiac arrest.


CMAJ 2011. DOI:10.1503 /cmaj.111245.

Huma S, Tariq R, Amin F, Mahmood KT. (2012). Modifiable and non-modifiable


predisposing risk faktors of myocardial infarction -A review. J Pharm Sci Res
2012;4:1649–1653.

Humphreys M & Warlow C. (2011). Nursing the Cardiac Patient, First Edition.
Hoboken : Blackwell Publishing Ltd.

Irmalita, Juzar DA, Andrianto, Setianto BL, Tobing D, Firman D et al. (2015).
Pedoman tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI, pp:43-72.

Jang, S.J; Yeo, I; Feldman, D.N. et al. (2020). Associations Between Hospital
Length of Stay, 30-Day Readmission, and Costs in ST-Segment–Elevation
Myocardial Infarction After Primary Percutaneous Coronary Intervention: A
Nationwide Readmissions Database Analysis. J Am Heart Assoc. 9:e015503.
DOI: 10.1161/JAHA.119.015503.

Jarvis S, Saman S. (2017). Diagnosis, management and nursing care in acute


coronary syndrome. Nursing Times; 113: 3, 31-35.

Jordan, MR & Morrisonpoce D. (2019). Asystole. StatPearls Publish.

JS, Katus H, Jaffe AS. (2012). Study Group on Biomarkers in Cardiology of the
ESC Working Group on Acute Cardiac Care. How to use high-sensitivity
cardiac troponins in acute cardiac care. Eur Heart J. 2012;33:2252–2257.

Killip T, Kimball JT. (1967). Treatment of Myocardial Infarction In ACoronary Care


Unit. A Two-Year Experience with 250 Patients. Am J Cardiol. 20:457–64.

Kontos MC, Fordyce CB, Chen AY, et al. (2019). Association of acute myocardial
infarction cardiac arrest patient volume and in-hospital mortality in the United
States: Insights from the National Cardiovascular Data Registry Acute
Coronary Treatment And Intervention Outcomes Network Registry. Clin
Cardiol. 2019;42:352–357. https://doi.org/10. 1002/clc.23146.

Kutty RS, Jones N, Moorjani N. (2013). Mechanical complications of acute


myocardial infarction. Cardil Clin. 2013 Nov;31(4):519-31, vii-viii. doi:
10.1016/j.ccl.2013.07.004.

56
Lepojarvi ES, Huikuri HV, Piira O-P, Kiviniemi AM, Miettinen JA, Kentta T, et al.
(2018) Biomarkersas predictors of sudden cardiac death in coronary artery
disease patients with preserved left ventricular function (ARTEMIS study).
PLoS ONE 13(9):e0203363.https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0203363

Liu SC, Xia L, Zhang J, Lu XH, Hu DK, Zhang HT et al. (2015). Gout and Risk of
Myocardial Infarction: A Systematic Review and Meta-Analysis of Cohort
Studies. PLoS One ; 10:e0134088.

Mair J, Lindahl B, Hammarsten O, Müller C, Giannitsis E, Huber K, Möckel M,


Plebani M, Thygesen K, Jaffe AS. (2018). European Society of Cardiology
(ESC) Study Group on Biomarkers in Cardiology of the Acute Cardiovascular
Care Association (ACCA). How is cardiac troponin released from injured
myocardium? Eur Heart J Acute Cardiovasc Care. 2018;7:553–560.

Massberg S & Polzin A. (2018). Update ESC-Guideline 2017: Dual Antiplatelet


Therapy. Dtsch Med Wochenschr. 2018 Aug;143(15):1090-1093. [PubMed].

McManus, D.D; Aslam, F; Goyal, P; Goldberg, R.J; Huang, W; and Gore, J.M.
(2012). Incidence, prognosis, and faktors associated with cardiac arrest in
patients hospitalized with acute coronary syndromes (the Global Registry of
Acute Coronary Events Registry). Coron Artery Dis. 23(2): 105–112.
doi:10.1097/MCA.0b013e32834f1b3c.

Mechanic OJ, Grossman SA. (2020). Acute Myocardial Infarction. [Updated 2020
Aug 11]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2020 Jan-.

Mostofsky E, Maclure M, Sherwood JB, Tofler GH, Muller JE, Mittleman MA.
(2012). Risk of acute myocardial infarction after the death of a significant
person in one's life: the Determinants of Myocardial Infarction Onset Study.
Circulation 2012;125:491–6.

Mostofsky E, Van der Bom JG, Mukamal KJ, Maclure M, Tofler GH, Muller JE, et
al. (2015). Risk of myocardial infarction immediately after alcohol
consumption. Epidemiology. 2015;26:143–50.

Muhammad, G.R & Ardhianto, Pipin. (2015). Profil Faktor Risiko Atherosklerosis
Pada Kejadian Infark Miokard Akut Dengan ST-Segment Elevasi Di RSUP dr.
Kariadi Semarang. Media Medika Muda. Volume 4, Nomor 4 : 849-858.

Muhibbah, Wahid. A, Agustina. R, OskiiIlliandri. (2019). Karakteristik Pasien


Sindrome Koroner Akut Pada Pasien Rawat Inap Ruang Tulip Di RSUD Ulin
Banjarmasin. Indonesian Journal for Health Sciences Vol.3, No.1, Hal. 6-12.
ISSN 2549-2748.

Murukesan L, Murugappan M, Iqbal M. (2013). Sudden cardiac deathprediction


using ECG signal derivative (heart rate variability): a review. IEEE 9th
International Colloquium on Signal Processingand Its Applications. 2013:269-
274. doi: 10.1109/CSPA.2013.6530054.

Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C.
W., & McNally, B. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support:
57
2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122(18 Suppl
3), S729-67. https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.110.970988.

Nguyen HL, Nguyen QN, Ha DA, Phan DT, Nguyen NH, et al. (2014). Prevalence
of Comorbidities and Their Impact on Hospital Management and Short Term
Outcomes in Vietnamese Patients Hospitalized with a First Acute Myocardial
Infarction. PLoS ONE 9(10): e108998. doi:10.1371/journal.pone.010.

Nikus K, Birnbaum Y, Eskola M, Sclarovsky S, Zhong-qun Z, Pahlm O. (2014).


Updated Electrocardiographic Classification of Acute Coronary Syndromes.
Current Cardiology Reviews, 2014, Vol. 10, No. 3.

Noheria. A, Teodorescu. C, Uy-Evanado. A, Reinier. K, Mariani. R, Gunson. K,


Jui.J, MD, Chugh S.S. (2013). Distinctive Profile of Sudden Cardiac Arrest in
Middle-Aged vs. Older Adults: A Community-Based Study. Int J Cardiol.
168(4): 3495–3499. doi:10.1016/j.ijcard.2013.04.207.

Nursalam (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis


edisi 4. Jakarta : Salemba Medika

Patel K, Hipskind JE. (2020). Cardiac Arrest. [Updated 2020 Nov 18]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.

Patil K.D, Halperin H.R, Becker L.B. (2015). Cardiac Arrest: Resuscitation and
Reperfusion. Circulation Research. DOI: 10.1161/CIRCRESAHA.116.304495

Perk J, De Backer G, Gohlke H, Graham I, Reiner Z, Verschuren M, Albus C,


Benlian P, Boysen G, Cifkova R, Deaton C, Ebrahim S, Fisher M, Germano
G,Hobbs R, Hoes A, Karadeniz S, Mezzani A, Prescott E, Ryden L, Scherer
M, Syvanne M, Scholte op Reimer WJ, Vrints C, Wood D, Zamorano JL,
Zannad F. (2012). European Guidelines on cardiovascular disease prevention
in clinical practice(version 2012). The Fifth Joint Task Force of the European
Society of Cardiologyand Other Societies on Cardiovascular Disease
Prevention in Clinical Practice (constituted by representatives of nine societies
and by invited experts). Eur Heart J. 2012;33:1635 – 1701.

Picariello, C; Lazzeri, C; Attana, P et al. (2011). The Impact of Hypertension on


Patients with Acute Coronary Syndromes. International Journal of
Hypertension. Volume 2011, 7 pages. doi:10.4061/2011/563657.

Priori, Silvia G et al. (2015). 2015 ESC Guidelines for the management of patients
with ventricular arrhythmias and the prevention of sudden cardiac death.
European Heart Journal (2015) 36, 2793–2867.

Putri R.N, Suryanti, Lestari S. (2018). Gambaran Serum Elektrolit Pada Pasien
Acute Miokard Infark (AMI) di Ruang Intensive Cardiovaskuler Care Unit
(ICVCU) RSUD Dr. Moewardi di Surakarta. Jurnal Keperawatan Global.
Volume 3. No 2. 58-131.

Qazi, A.H; Kennedy, K; Bradley, S.M; and Chan, P.S. (2017). Impact of Timing of
Cardiac Arrest During Hospitalization on Survival Outcomes and Subsequent

58
Length of Stay. Resuscitation. 121: 117–122.
doi:10.1016/j.resuscitation.2017.10.003.

Ramadhani. K, Wahid. A, Hafifah. I. (2016). Gambaran Tekanan Darah Sistolik


Pada Kejadian Mortalitas Pasien STEMI di RSUD Ulin Banjarmasin. Dunia
Keperawatan. Vol 4. No 1. 36-42.

Rampengan, S.H. (2015). Kegawatdaruratan Jantung. Jakarta : Badan Penerbit


FKUI

Rathore et al., (2018). Risk Faktors for Acute Myocardial Infarction / doi:
10.14744/ejmi.2018.76486.

Saczynski, J.S; Lessard, D; Spencer, F.A; Gurwitz, J.H; Gore, J.M; Yarzebski, J.
(2010). Declining Length of Stay for Patients Hospitalized with AMI: Impact on
Mortality and Readmissions. Am J Med. 123(11): 1007–1015.
doi:10.1016/j.amjmed.2010.05.018.

Saktiningtyastuti. F & Astuti S. (2017). Faktor Yang Mempengaruhi Serangan


Jantung Berulang Pada Pasien IMA di Ruang ICVCU RSUD Dr. Moewardi
Tahun 2016. Jurnal Keperawatan Global, Volume 2, No1, Juni 2017 hlm
1-61.

Sani, Achmad & Vivin Maharani. (2013). Metodologi Penelitian Manajemen


Sumber Daya Manusia (Teori, Kuisioner dan Analisis Data). Malang : UIN
MALIKI Press. Cetakan Ke-2

Scheen AJ. (2018). From atherosclerosis to atherothrombosis : from a silent


chronic pathology to an acute critical event. Rev Med Liege. 2018 May;73(5-
6):224-228. [PubMed].

Seronde, M.F; Geha, R; Puymirat, E; Chaib, A; Simon, T; Berard, L; Drouet, E;


Bataille, V; Danchin, N; and Schiele, F. (2014). Discharge Heart Rate and
Mortality after Acute Myocardial Infarction. The American Journal of Medicine.
127, 954-962.

Siagian, L.A. (2018). Tatalaksana Takikardia Ventrikel. CDK-268/ vol. 45 no. 9 th.
2.

Smilowitz, N.R; Mahajan, A.M; Roe, M.T, et al. (2017). Mortality of Myocardial
Infarction by Sex, Age, and Obstructive Coronary Artery Disease Status in the
ACTION Registry–GWTG (Acute Coronary Treatment and Intervention
Outcomes Network Registry–Get With the Guidelines). Circ Cardiovasc Qual
Outcomes. 10:e003443. DOI: 10.1161/CIRCOUTCOMES.116.003443.

Sobieraj, Piotr; Lewandowski, Jacek; Siński, Maciej; and Gaciong, Zbigniew.


(2019). Low on-treatment diastolik blood pressure and cardiovascular
outcome: A post-hoc analysis using NHLBI SPRINT Research Materials.
Scientific Reports. 9:13070. https://doi.org/10.1038/s41598-019-49557-4

Spencer, F.A; Lessard, D; Gore, J.M; Yarzebski, J; Goldberg, R.J. (2004).


Declining Length of Hospital Stay for Acute Myocardial Infarction and

59
Postdischarge Outcomes, A Community-Wide Perspective. Arch Intern Med.
164:733-740.

Sudoyo, A., Setiyohadi, B., Alwi, I., K, M. S., & Setiati, S. (2015). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (V). Jakarta: Bukupedia.

Susilo, Cipto. (2015). Identifikasi Faktor Usia, jenis Kelamin Dengan Luas infark
Miokard Pada Penyakit Jantung Koroner (PJK) di Ruang ICCU RSD dr.
Soebandi Jember. The Indonesian Journal Of Health Science. Vol 6, No 1.

Taguchi, E; Konami, Y; Inoue, M. et al. (2017). Impact of Killip classifcation


on acute myocardial infarction: data from the SAIKUMA registry. Heart
Vessels. 32:1439–1447 DOI 10.1007/s00380-017-1017-0.

Takahashi, M.; Kondo, Y.; Senoo, K.; Fujimoto, Y.; Kobayashi, Y. (2018). Incidence
and prognosis of cardiopulmonary arrest due to acute myocardial infarction in
85 consecutive patients. Journal of Cardiology 72 (2018) 343–349.

Thygesen K, Alpert JS ,Jaffe AS et al. (2012).“Third universal definition of


myocardial infarction”. European Heart Journal, vol. 33,no.20,pp.2551–2567.

Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Chaitman BR, Bax JJ, Morrow DA, White HD.
(2018). The Executive Group on behalf of the Joint European Society of
Cardiology (ESC)/American College of Cardiology (ACC)/American Heart
Association (AHA)/World Heart Federation (WHF) Task Force for the
Universal Definition of Myocardial Infarction. Fourth universal definition of
myocardial infarction (2018). Circulation ;138:e618–e651. DOI:
10.1161/CIR.0000000000000617.

Thygesen K, Mair J, Giannitsis E, Mueller C, Lindahl B, Blankenberg S, Huber K,


Plebani M, Biasucci LM. Tubaro M, Collinson P, Venge P, Hasin Y, Galvani M,
Koenig W, Hamm C, Alpert JS, Katus H, Jaffe AS. (2012). Study Group on
Biomarkers in Cardiology of the ESC Working Group on Acute Cardiac Care.
How to use high-sensitivity cardiac troponins in acute cardiac care. Eur Heart
J. 2012;33:2252–2257.

Weber, Michael A; Bakris, George L; Hester, Allen; Weir, Matthew R; Hua,


Tsushung A; Zappe, Dion; Dahlof, Bjorn; Velazquez, Eric J; Pitt, Bertram and
Jamerson, Kenneth. (2013). Systolic Blood Pressure and Cardiovascular
Outcomes During Treatment of Hypertension. The American Journal of
Medicine, Vol 126, No 6.

Widiyaningsih & Kusyati. (2019). Hemodinamik Pasien Akut Miokard Infark (IMA)
Di Ruang Perawatan Kritis. Journal of Holistic Nursing Science. Vol. 6 No.
1 (2019) pp. 22-27. p-ISSN: 2579-8472. e-ISSN: 2579-7751.

Widodo, Arif. (2012). Upaya Perawat dalam Promosi Kesehatan untuk


Pencegahan Penyakit Jantung. Seminar Nasional “Optimalisasi Peran
Perawat dalam Penanganan 3 Masalah Kesehatan Utama Penyakit Tidak
Menular” di Aula RSUD Kabupaten Sukoharjo, 14 juli 2012.

60
Yang, H.Y; Ahn, M.J; Jeong, M.H; Ahn, Y; Kim, Y.J; Cho, M.C; Kim C.J. (2018).
Predictors of In-Hospital Mortality in Korean Patients with Acute Myocardial
Infarction. Chonnam Medical Journal. 55:40-46.

Yoon, H.J; Kim, K.H; Kim, J.Y et al. (2015). Impaired Diastolik Recovery after
Acute Myocardial Infarction as a Predictor of Adverse Events. Journal of
Cardiovascular Ultrasound. 23(3):150-157.
Yuniadi, Y. (2017). Mengatasi Aritmia, Mencegah Kematian Mendadak. eJKI. Vol
5 (3). DOI: 10.23886.

Zaman S & Kovoor P. (2014). Sudden Cardiac Death Early After Myocardial
Infarction Pathogenesis, Risk Stratification, and Primary Prevention.
Circulation. 2014; 129 : 2426 - 2435. DOI : 10. 1161/ CIRCULATIONAHA.
113.007497

Zhu J, Su X, Li G, Chen J, Tang B, Yang Y. (2014). The incidence of acute


myocardial infarction in relation to overweight and obesity: a meta-analysis.
Arch Med Sci 2014;10:855–62.

61
LAMPIRAN 1 Permohonan Studi Pendahuluan

62
LAMPIRAN 2 Permohonan Izin Penelitian

63
LAMPIRAN 3 Surat Laik Etik

64
LEMBAR KONSULTASI TESIS

Nama : Suhendra
NIM : 196070300111036
Program Studi : Magister Keperawatan
Peminatan : Keperawatan Gawat Darurat
Judul Tesis : Faktor Prediktor Kejadian Henti
Jantung Pada pasien Infark
Miokard Akut di Kota Singkawang
Ketua komisi Pembimbing : Prof. Dr. dr. Teguh Wahju Sardjono,
DTM&H., M.Sc., Sp. Par. K
Anggota komisi Pembimbing: Dr. Ns. Laily Yuliatun S.Kep., M.Kep

Tgl Pembimbin Topik Bahasan Saran Tanda


g Pembimbing Tanga
n
17/03/2 Prof. Dr. dr. Chat Wa 1. Segera mulai
1 Teguh 1. Pemberitahua penelitian
Wahju n bahwa
Sardjono, sudah lolos uji
DTM&H., etik
M.Sc., Sp. 2. Pemberitahua
Par. K n memulai
penelitian

10/04/2 Prof. Dr. dr. Chat WA 1. Segera


1 Teguh 1. Pemberitahua Menyusun
Wahju n bahwa laporan hasil
Sardjono, pengambilan penelitian
DTM&H., data telah
M.Sc., Sp. selesai
Par. K dilaksanakan
26/05/2 Prof. Dr. dr. Via chat WA 1. Perbaiki
1 Teguh 1. Konsultasi BAB penulisan
Wahju V (belum khususnya
Sardjono, dilengkapi pengulangan
DTM&H., analisis kata-kata yang
M.Sc., Sp. multivariat) tidak perlu
Par. K 2. Terdapat
beberapa sub-

65
bab yang
harus
disederhanaka
n seperti :
gambaran
tempat
penelitian,
tabel crosstab
setiap variabel
dihilangkan
dan dirangkum
dalam 1 tabel,
tambahkan
peta lokasi
penelitian
beserta
referensinya.
3. Tambahkan
analisis
multivariat
27/06/2 Prof. Dr. dr. Via chat WA 1. Secara umum
1 Teguh 1. Melanjutkan sudah baik,
Wahju konsultasi BAB namun
Sardjono, V berdasarkan terdapat
DTM&H., masukan beberapa
M.Sc., Sp. sebelumnya koreksi
Par. K terutama
redaksi dan
pengulangan
kata.
2. Usul
pembimbing,
tabel
disederhanaka
n dengan
contoh
terlampir
3. Sebelum lanjut
SHP
sebaiknya ada
pertemuan
diskusi daring
Bersama
pembimbing 2
06/07/2 Prof. Dr. dr. Konsultasi Zoom 1. Judu gambar
1 Teguh diletakkan
Wahju 1. Revisi BAB V pada bagian
Sardjono, bawah
DTM&H., 2. Susun
M.Sc., Sp. pembahasan
Par. K berdasarkan
hasil
penelitian
dengan setiap
Alinea terdiri

66
dari main
sentence,
supportive
sentence dan
conclussion
17/07/2 Prof. Dr. dr. Konsultasi via 1. Pada
1 Teguh zoom pembahasan
Wahju 1. Revisi BAB V dijabarkan
Sardjono, fakta penelitian
DTM&H., terlebih dahulu
M.Sc., Sp. beserta teori
Par. K pendukung
2. Bahasa hasil
penelitian
berdasarkan
hasil analisis
data.
Masukkan
teori-teori yang
pro dan kontra
terhadap hasil
tersebut.
3. Lakukan revisi
secepatnya
4. Sudah boleh
ujian hasil
(SHP) dan
rencanakan
waktunya
18/07/2 Prof. Dr. dr. Konsultasi via Acc seminar hasil
1 Teguh pesan whats’ up penelitian.
Wahju 1. Menyampaikan
Sardjono, hasil revisi dari
DTM&H., bab v, vi dan vii
M.Sc., Sp.
Par. K

LEMBAR KONSULTASI TESIS

Nama : Suhendra
NIM : 196070300111036

67
Program Studi : Magister Keperawatan
Peminatan : Keperawatan Gawat Darurat
Judul Tesis : Faktor Prediktor Kejadian Henti
Jantung Pada pasien Infark
Miokard Akut di Kota Singkawang
Ketua komisi Pembimbing : Prof. Dr. dr. Teguh Wahju Sardjono,
DTM&H., M.Sc., Sp. Par. K
Anggota komisi Pembimbing: Dr. Ns. Laily Yuliatun S.Kep., M.Kep

Tgl Pembimbin Topik Bahasan Saran Tanda


g Pembimbing Tangan
17/03/2 Dr. Ns. Chat Wa 1. Segera
1 Laily 3. Pemberitahua mulai
Yuliatun n bahwa penelitian
S.Kep., sudah lolos uji
M.Kep etik
4. Pemberitahua
n memulai
penelitian
01/04/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Segera
1 Laily 2. Pemberitahua Menyusun
Yuliatun n bahwa laporan hasil
S.Kep., pengambilan penelitian
M.Kep data telah 2. Alternatif uji
selesai bivariat yang
dilaksanakan digunakan
3. Konsultasi antara lain
terkait data krusskaal
yang wallis,
diperoleh dan spearman
uji yang akan dan pearson
digunakan

16/04/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Perbaikan


1 Laily 2. Konsultasi penulisa
Yuliatun BAB V hasil naskah
S.Kep., penelitian terutama
M.Kep 3. Konsultasi kata-kata
terkait analisis yang belum
data yang rapi.
tepat 2. Analisis data
digunakan menggunaka
pada analisis n chi square
bivariat dan
spearman
03/05/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Persetujuan
1 Laily 2. Konsultasi terkait uji
Yuliatun hasil revisi bab bivariat yaitu
S.Kep., v sekaligus uji spearman
M.Kep multivariat dan chi

68
square.
2. Alternatif uji
multivariat
menggunaka
n analisis
regresi linier
atau logistik
25/05/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Disarankan
1 Laily 2. Konsultasi untuk
Yuliatun keseluruhan menggunaka
S.Kep., bab V n uji analisis
M.Kep regresi
logistik pada
analisis
multivariat
2. Revisi
redaksi dan
kata-kata
3. Hapus uji
yang tidak
perlu seperti
uji hosmer
dll
4. Lanjutkan
Menyusun
pembahasan
20/06/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Jelaskan
1 Laily 1. Konsultasi hasil
Yuliatun pembahasan penelitian
S.Kep., beserta teori
M.Kep yang pro dan
kontra
2. Tambahkan
implikasi
keperawatan
dan
keterbatasan
penelitian
3. Lanjutkan
bab VII
06/07/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Untuk bab V
1 Laily 2. Konsultasi bab (hasil) buat
Yuliatun v dan VI dan dengan
S.Kep., VII tampilan
M.Kep yang
sederhana,
tanpa opini
dan
tambahkan
diagram,
merujuk
pada saran
disen
pembimbing
1

69
2. Redaksi
agar
diperbaiki
sehingga
lebih mudah
dipahami
17/01/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Sudah cukup
1 Laily 1. Konsultasi baik,
Yuliatun hasil revisi bab tambahkan
S.Kep., V,VI dan VII pembahasan
M.Kep berdasarkan
fakta hasil
penelitian,
sertakan
teori pro dan
kontra serta
fakta-fakta
lainnya yang
didapat
berdasarkan
hasil
penelitian
17/01/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. ACC SHP
1 Laily 1. Konsul terakhir
Yuliatun persiapan
S.Kep., SHP
M.Kep

70
Lembar Dokumentasi Rekam Medis

No Sistolik Diastolik HR Usia Jenis Gambaran Kadar Penyakit Lama Kelas Henti
Resp Kelamin EKG cTnT Komorbid rawat Killip Jantung
Ya Tidak

Anda mungkin juga menyukai