TESIS
Oleh
SUHENDRA
196070300111036
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
TESIS
Oleh:
Suhendra
196070300111036
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Prof. Dr. dr. Teguh Wahju Sardjono, Dr. Ns Laily Yuliatun, S.Kep., M.Kep.,
DTM&H.,M.Sc., Sp. Par. K)
NIP. 197707112005012001
NIP. 195204101980021001
Komisi Penguji
Ketua Anggota
Prof. Dr. Titin Andri Wihastuti, S. Kp, M. Kes Dr. Yulian Wiji Utami , S.Kp., M.Kes
NIP. 197702262003122001 NIP.197707222002122002
Mengetahui
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
Suhendra
196070300111036
IDENTITAS PENGUJI TESIS
JUDUL TESIS :
Nama : Suhendra
NIM : 196070300111032
Program Studi : Magister Keperawatan
Peminatan : Keperawatan Gawat Darurat
KOMISI PEMBIMBING :
Ketua : Prof. Dr. dr. Teguh Wahju Sardjono, DTM&H., M.Sc., Sp. Par. K
Anggota : Dr. Ns Laily Yuliatun, S.Kep., M.Kep
TIM PENGUJI :
Dosen Penguji 1 : Prof. Dr. Titin Andri Wihastuti, S.Kp, M.Kes
Dosen Penguji 2 : Dr. Yulian Wiji Utami , S.Kp., M.Kes
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : “Faktor Prediktor Kejadian Henti
Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di Kota Singkawang”. Tesis ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan
(M.Kep) dalam Program Studi Magister Keperawatan di Universitas Brawijaya
Malang.
1. Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si.Med., SpA (K), selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di fakultas
kedokteran Universitas Brawijaya.
2. Dr. Asti Melani, S.Kp., M.Kep selaku Ketua Jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang TA 2020/2021.
3. Dr. Kuswantoro Rusca Putra, selaku Ketua Program Studi Magister
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan di fakultas Keperawatan Universitas Brawijaya.
4. Prof. Dr. dr. Teguh Wahju Sardjono, DTM&H., M.Sc., Sp. Par. K, selaku
pembimbing yang telah memberikan dorongan, perhatian, bimbingan dan
saran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
5. Dr. Ns Laily Yuliatun, S.Kep., M.Kep., selaku pembimbing yang telah
memberikan dorongan, perhatian, ide dan konsep selama proses penyusunan
tesis ini.
6. Prof. Dr. Titin Andri Wihastuti, S.Kp, M.Kes, selaku pembimbing akademik
sekaligus sebagai penguji I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
hadir serta memberikan arahan dan masukan guna penyempurnaan tesis ini.
7. Dr. Yulian Wiji Utami , S.Kp., M.Kes, selaku penguji II atas kesediaannya untuk
hadir, memberikan saran serta arahan dalam penyusunan tesis ini.
8. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memfasilitasi dan
memberikan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) selama proses
perkuliahan
v
9. Direktur RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang yang telah memberikan izin
sehingga penelitian ini dapat dilakukan.
10. Orang Tua dan semua pihak keluarga yang senantiasa mendoakan dan
memberikan motivasi
11. Teman-teman Magister Keperawatan Angkatan 2019 Universitas Brawijaya,
khususnya peminatan gawat darurat yang selalu mendukung dalam
menyelesaikan tesis.
12. Dosen dan staff adminitrasi Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya yang telah membantu dalam administrasi.
Penulis
September, 2021
vi
Predictors of cardiac arrest in patients with acute myocardial infarction in
Singkawang City
1 2 3
Suhendra ; Teguh Wahju Sardjono ; Laily Yuliatun
ABSTRACT
The current nursing literature has not devoted adequate attention to studying
cardiac arrest in hospitals, especially in patients with acute myocardial infarction.
Identifying predictors of cardiac arrest in patients with acute myocardial infarction
is needed to determine appropriate nursing strategies to prevent cardiac arrest.
This study aims to determine the predictor factors of cardiac arrest in patients with
acute myocardial infarction. This study used a retrospective cohort design with a
population of 181 people who were treated with a diagnosis of STEMI and NSTEMI
during 2017-2020. Data analysis used chi-square test, Spearman rank and logistic
regression. Spearman rank analysis test, age p=0.045, r=0.149; systolic pressure
p=0.002, r=-0.228; diastolic pressure p=0.020, r=-0.173; Heart rate p=0.064,
r=0.138; the number of comorbid diseases p = 0.322, r = 0.074 and Killip class p =
0.000, r = 0.431. Chi square analysis test, gender p=0.487, OR=1.322; ECG
picture p=0.885, OR=1.060; troponin enzyme levels p=0.951, OR=1.025; and
length of stay p=0.000, OR=0.181. The predictor factors for cardiac arrest in
patients with acute myocardial infarction were Killip class, length of stay, systolic
pressure and heart rate. The most dominant factor in influencing cardiac arrest in
patients with acute myocardial infarction is the Killip class.
vii
Faktor Prediktor Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
di Kota Singkawang
1 2 3
Suhendra ; Teguh Wahju Sardjono ; Laily Yuliatun
ABSTRAK
viii
DAFTAR ISI
ix
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian …………………………………………………………….35
4.2 Subjek Penelitian…………………………………………………………………..35
4.3 Variabel Penelitian………………………………………………………………...36
4.4 Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………………………37
4.5 Instrumen Penelitian………………………………………………………………37
4.6 Definisi Operasional………………………………………….……………………37
4.7 Prosedur Penelitian…………………………………………….………………….39
4.8 Analisis Data ………………………………………………………………………41
4.9 Etika Penelitian ……………………………………………………………………42
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Kejadian Henti jantung pada pasien infark miokard di RSUD dr Abdul
Tabel 5.3 Hasil Uji Analisis Regresi Logistik Faktor Prediktor Kejadian Henti
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Ilustrasi kinetika troponin jantung pada pasien infark miokard akut.15
Gambar 2.2 Gambaran VT pada pasien VT dan etiologinya ……………………..25
Gambar 2.3 Ritme EKG Ventricular fibrillation ……………………………………..26
Gambar 2.4 Ritme EKG pulseless electric activity ………………………………...27
Gambar 2.5 Ritme Gelombang Asistol ……………………………………………...28
Gambar 2.6 Kerangka Teori ………………………………………………………….32
Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian …………………………………33
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kota Singkawang ………………………………………44
Gambar 5.2 Diagram Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark
Miokard Akut Berdasarkan Kelompok Usia ………………………………………...47
Gambar 5.3 Diagram Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark
Miokard Akut Berdasarkan Jenis Kelamin ………………………………………….49
Gambar 5.4 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Tekanan Sistolik ……………………………………………………….50
Gambar 5.5 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Tekanan Diastolik ……………………………………………………..51
Gambar 5.6 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Heart Rate ……………………………………………………………..52
Gambar 5.7 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Gambaran EKG ……………………………………………………….53
Gambar 5.8 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Enzim Troponin Jantung ……………………………………………..54
Gambar 5.9 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Jumlah Penyakit Komorbid …………………………………………..55
Gambar 5.10 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Lama Rawat ……………………………………………………………56
Gambar 5.11 Diagram Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Kelas Killip ……………………………………………………………...57
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
Hal ini berdampak pada pergeseran pola penyakit yaitu penurunan kematian
akibat penyakit infeksi secara signifikan. Di lain sisi, terjadi peningkatan pada
diperkirakan akan terus meningkat hingga 23,4 juta kematian pada tahun 2030
risiko Sindrom Koroner Akut (SKA) (Dharmawan et al., 2019). Sindrom Koroner
Akut (SKA) menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia dan salah satu
bentuk yang paling parah adalah infark miokard akut. Infark Miokard Akut (IMA)
sering dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi dan komplikasi lainnya seperti
Sebagian besar henti jantung terjadi pada pasien yang mengalami infark miokard
dengan resiko 4-6 kali lebih besar dibandingkan dengan penyakit jantung lainnya
(Zaman & Kovoor, 2014). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan
data Direktorat Jendral Pelayanan Medik Indonesia tahun 2009, jumlah penderita
jiwa. Penyakit iskemik merupakan jumlah terbanyak dari kasus tersebut yaitu
1
110.183 jiwa. Infark miokard akut (IMA) adalah kasus dengan Case Fatality Rate
(CFR) tertinggi sebanyak 13,48 % diikuti gagal jantung dan penyakit jantung
Astuti, 2017). Manifestasi klinis IMA adalah nyeri dada yang disebabkan oleh
ventrikel (VF) ataupun ventrikel takikardi (VT) tanpa nadi (Widiyaningsih & Kusyati,
2019). Kematian dapat terjadi dengan cepat apabila IMA tidak ditangani dengan
segera. Pertolongan pertama dalam mengatasi nyeri dan sumbatan tidak mutlak
menyebabkan kondisi jantung menjadi lebih baik karena IMA masih menimbulkan
resiko kematian pada 6 bulan pertama pasca serangan meskipun pasien telah
berbagai komplikasi merupakan bentuk sindrome koroner akut yang paling berat.
Infark berulang, gagal jantung, syok kardiogenik, stroke perdarahan, dan henti
jantung merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Oleh sebab itu, kunci
Sebagian besar pasien IMA mengalami henti jantung sebagai manifestasi pertama
dari kejadian akut. Banyak pasien mungkin tidak dirawat di rumah sakit segera
setelah timbulnya gejala. Dalam banyak kasus, henti jantung pada kejadian
koroner akut bisa berhasil diresusitasi jika perawatan khusus diberikan tepat
pemulihan aliran koroner di arteri yang mengalami infark (Bărcan et al., 2016).
Namun penelitian yang dilakukan oleh Kontos et al., (2018) menemukan bahwa
pasien infark miokard akut yang mengalami serangan jantung mempunyai tingkat
bertahan hidup di rumah sakit yang rendah. Kematian di rumah sakit pada pasien
henti jantung secara substansial lebih tinggi dari pada pasien non-henti jantung.
2
Banyak faktor yang dapat menjadi prediktor henti jantung pada pasien
infark miokard akut. Menurut Widiyaningsih & Kusyati (2019), status hemodinamik
pasien dapat digunakan untuk menentukan risiko henti jantung pasien IMA.
onset gejala hingga stabil kembali dalam waktu 48 jam. Namun henti jantung dapat
terjadi pada pasien dengan kondisi hemodinamik yang menurun secara terus
menerus. Pada pasien IMA, kondisi hemodinamik yang sering terlihat adalah
namun dapat memberikan data terkini tentang kondisi pasien sebagai dasar dalam
yang bertahan hidup dari Out Of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) pada fase awal
infark miokard adalah syok kardiogenik, gagal ginjal, anemia atau penyakit
multivessel, serta waktu yang lebih lama sejak timbulnya gejala atau serangan
jantung hingga revaskularisasi. Namun predictor yang paling kuat adalah lama
rawat di ICU dan kebutuhan ventilasi mekanis selama ≥ 48 jam. Penilaian data ini
dapat memainkan peran penting dalam stratifikasi risiko pada pasien OHCA
dengan IMA, dan dapat membantu mengidentifikasi sub kelompok pasien dengan
peningkatan risiko henti jantung setelah serangan jantung yang diresusitasi. Selain
itu, Lepojarvi et al., (2018) menyatakan bahwa pengukuran biomarker dari sampel
darah memberikan informasi tentang risiko henti jantung pada pasien infark
miokard dengan fungsi ventrikel kiri yang terjaga. Biomarker yang paling kuat
3
sebagai predictor henti jantung adalah hs-TnT (highly sensitive Troponin T) dan
sST2 (soluble ST 2). Kombinasi keduanya menghasilkan akurasi yang tinggi dalam
prediksi henti jantung setelah penyesuaian dengan beberapa variabel klinis dan
laboratorium.
tertinggi selama periode awal pasca infark miokard (MI) (Elayi et al., 2017). Hal ini
rumah sakit dan hipokalemia dikaitkan dengan serangan jantung di rumah sakit
dan onset baru atrial fibrilasi / flutter pada pasien yang dirawat Sindrome Koroner
Akut (SKA). Pasien dengan usia yang lebih tua beserta penyakit komorbitas
memiliki resiko henti jantung yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya.
Secara keseluruhan, faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor henti jantung pada
pasien dengan infark miokard akut di rumah sakit adalah tekanan darah sistolik,
usia, detak jantung, perubahan ST-T pada EKG, dan kelas Killip (Faxén J, 2019).
Wanita memiliki risiko kematian yang lebih besar setelah infark miokard
dibandingkan dengan pria. Infark miokard dengan Coronary Artery Desease (CAD)
memiliki peran penting dalam manajemen klinik pasien. Peran yang dapat
dilakukan oleh perawat dalam perawatan infark miokard akut antara lain
yang memadai untuk henti jantung yang terjadi di rumah sakit, terutama yang
berkaitan dengan PEA dan asistol pada infark miokard akut. Penerapan
mencegah dan meminimalkan resiko henti jantung pada infark miokard akut.
EKG dengan cepat dan akurat dalam mencegah konsekuesi IMA yang tidak
kematian akibat henti jantung merupakan fokus dari penelitian keperawatan klinis
infark miokard akut saat ini. Henti jantung pada pasien dengan IMA dikaitkan
dengan beragam faktor penyebab. Pendekatan keperawatan yang aktif dan efektif
dapat membantu mengurangi risiko henti jantung pada pasien IMA. Strategi
predictor henti jantung pada infark miokard akut. Hal ini bertujuan agar perawat
observasi yang ketat dalam mencegah terjadi henti jantung pada pasien IMA. Hal
ini sebagai upaya dalam membantu mengurangi kematian akibat IMA dan
Ada beberapa sistem skor yang digunakan untuk stratifikasi risiko pasien
/ IIIa pada angina tidak stabil: skor Receptor Suppression Using Integrilin
(FRISC), skor HEART, dan skor CHADS2. Skor ini sebagian besar digunakan
untuk memprediksi mortalitas dan morbiditas selama masa tindak lanjut. Cara
untuk memprediksi In-Hosptal Cardiac Arrest (IHCA) di antara pasien STEMI tetap
Aziz dapat diketahui bahwa terdapat 42 pasien yang dirawat di ruang ICU dan
penyakit dalam selama tahun 2020. Dari jumlah tersebut terdapat 13 pasien yang
penyakit penyerta dan kelas killip merupakan faktor terbesar yang dapat
adalah “Apakah faktor-faktor prediktor terjadinya henti jantung pada pasien Infark
kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut di Kota Singkawang.
6
1.3.2 Tujuan Khusus
11) Mengetahui factor yang paling dominan dalam mempengaruhi kejadian henti
7
1.4 Manfaat Penelitian
faktor prediktor dalam mencegah henti jantung pada pasien infark mikard akut
yang dapat menyebabkan terjadinya henti jantung pada pasien infark miokard akut
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi umum infark miokard akut tidak terbatas pada patologi yang mendasari
dan tetap tidak berubah. Infark miokard akut didefinisikan sebagai nekrosis
secara konsisten ditandai dengan adanya iskemia miokard akut dan peningkatan
biomarker jantung (troponin) minimal satu nilai diatas URL persentil ke-99 dengan
9
2.1.3 Etiologi Infark Miokard Akut
sehingga terjadi iskemia jantung. Aliran darah koroner yang menurun bersifat
(Massberg & Polzin, 2018). Etiologi lain dari penurunan oksigenasi / iskemia
miokard termasuk emboli arteri koroner, yang terjadi pada 2,9% pasien, iskemia
yang diinduksi kokain, diseksi koroner, dan vasospasme coroner (Scheen AJ,
2018).
Selain itu, terdapat faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu Seks,
Usia, Sejarah keluarga, Pola kebotakan pria. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
raga, kebersihan mulut yang buruk, adanya penyakit vaskular perifer, dan
diseksi aorta, aktivitas berlebih pada jantung seperti kasus hipertiroidisme dan
Infark miokard ditandai dengan adanya nekrosis pada otot jantung yang
terjadi secara ireversibel akibat aliran darah yang tidak adekuat. Jantung adalah
pompa otot yang berfungsi untuk mengalirkan darah yang mengandung oksigen
paru. Miokardium membutuhkan suplai oksigen agar dapat bekerja secara efektif.
Suplai tersebut berasal dari dua arteri koroner utama dan cabangnya (Duksta &
Younker, 2012).
10
1) Arteri Koroner Utama Kiri
Arteri coroner kiri memasok darah ke ruang di sisi kiri jantung melalui
cabang-cabangnya, Darah yang berasal dari arteri turun ke anterior kiri dan arteri
sirkumfleksa. LAD memberikan darah ke bagian depan sisi kiri jantung. Lingkaran
termasuk node sinoatrial (SA) dan node atrioventricular (AV). Node ini, khususnya
SA node, bekerja untuk mengatur detak jantung (Duksta & Younker, 2012).
Apabila suplai darah ke jantung terganggu selama lebih dari 20 menit, maka
akan terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis secara permanen yang disebut
sebagai infark miokard. Kondisi apa pun yang dapat mengganggu aliran darah ke
merupakan penumpukan timbunan lemak atau plak di dinding arteri. Plak di arteri
dapat menembus endotel dan bersentuhan dengan aliran darah. Permukaan kasar
darah dapat menyumbat pembuluh dan mencegah aliran darah ke bagian suplai
mebuat adenosin trifosfat (ATP) akan dihasilkan oleh kardiomiosit yang mengalami
iskemia dengan cara yang tidak lazim yakni glikolisis anerobik. Penumpukan
asam laktat dalam jaringan miokard sebagai efek samping dari glikolisis anerobik
11
menyebabkan kondisi asidosis intraseluler dan hyperosmolar. Kondisi ini sangat
berbahaya bagi jantung. Asidosis intraseluler dapat berakibat pada kematian sel
karena kadar ATP akan jatuh pada batas minimal untuk mempertahankan fungsi
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), disritmia dan
namun disebabkan karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
Terlepas dari variasi gejala, IMA muncul dengan beberapa gejala "klasik"
yaitu :
1) Nyeri dada yang dirasakan seperti tertekan di daerah tulang dada. Nyeri
berlangsung lebih dari 30 menit. Gejala ini tidak dapat diatasi dengan kondisi
seperti "mulas".
4) Sinkop yang tidak dapat dikaitkan dengan kondisi lain. (Duksta & Younker,
2012).
12
Penting untuk diperhatikan bahwa beberapa pasien akan mengalami semua
gejala ini; orang lain mungkin hanya mengalami satu atau beberapa. Bertentangan
dengan apa yang diyakini banyak orang, timbulnya gejala paling sering terjadi saat
terdapat gelombang Q pada beberapa sadapan atau > 0,04 detik. Ketika
gelombang selama < 3 detik pada lead yang sama maka meningkatkan
yang berdekatan atau blok cabang bundel baru dengan pola repolarisasi iskemik
dengan STEMI, NSTEMI, atau angina tidak stabil biasanya dimasukkan dalam
konsep Acute Coronary Syndrome (ACS). Selain kategori ini, IMA dapat
al., 2018). Tingkat keparahan IMA juga dapat diidentifikasi dengan menentukan
klasifikasi Killip pada penderita infark miokard akut berdasarkan pedoman Killip T
2) Killip II: Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan
3) Killip III: Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru;
13
4) Killip IV: Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg)
2.1.7 Diagnosis
1) Gejala Klinis
riwayat pasien dan dari EKG. Gejala iskemik yang mungkin terjadi meliputi
epigastrium selama aktivitas atau saat istirahat, atau iskemik yang setara seperti
gejala tersebut tidak spesifik untuk iskemia miokard dan dapat diamati pada
muskuloskeletal. IMA dapat terjadi dengan gejala atipikal seperti palpitasi atau
2) Deteksi Biomarker
Troponin jantung I (cTnI) dan T (cTnT) adalah komponen alat kontraktil sel
2012). Peningkatan nilai cTnI belum dilaporkan terjadi sebagai akibat cedera pada
cedera otot rangka mengekspresikan protein yang terdeteksi oleh uji cTnT, yang
mengarah ke beberapa situasi di mana peningkatan cTnT dapat berasal dari otot
rangka (Mair et al., 2018). Biomarker seperti cTnI dan cTnT adalah pilihan untuk
sensitif dan kurang spesifik. Cedera miokard terjadi saat kadar cTn dalam darah
meningkat di atas batas referensi atas persentil ke-99. Cedera akut dibuktikan
dengan pola naik dan turunnya nilai cTn yang baru terdeteksi di atas URL persentil
14
ke-99, atau kronis, dalam pengaturan level cTn yang terus meningkat (Apple,
2015).
Gambar 2.1. Ilustrasi kinetika troponin jantung pada pasien infark miokard
3) Pemeriksaan EKG
Pada sadapan V2-V3 titik potong untuk elevasi titik J adalah ≥ 0.2mV pada pria
≥40 tahun, ≥0.25 mV pada pria <40 tahun dan ≥0.15 mV pada wanita, tanpa
adanya blokade cabang berkas kiri dari hipertrofi ventrikel kiri . Derajat
sadapan tambahan seperti V3R dan V4R (yang mencerminkan dinding bebas
EKG serial, pada pasien yang datang dengan nyeri dada iskemik dan EKG awal
4) Teknik Pencitraan
15
emission computed tomography) atau PET (Positron emission tomography), CMR
dalam menilai viabilitas, perfusi, dan fungsi miokard ke tingkat yang lebih besar
atau lebih kecil. Hanya teknik radionuklida yang memberikan penilaian langsung
terhadap viabilitas miosit karena sifat inheren pelacak yang digunakan. Teknik lain
ekstraseluler akibat hilangnya miosit oleh CMR atau CT (Thygesen et al., 2018).
sedangkan faktor lainnya tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko utama IMA
1) Aktivitas Fisik
Olahraga yang dapat dilakukan adalah berjalan kaki, jalan cepat, atau jogging.
koroner sebanyak 20-30 % .Berbagai jenis aktivitas fisik dapat memiliki efek
(Rathore, 2018).
16
2) Merokok
STEMI dini terutama pada pasien yang lebih sehat. Merokok meningkatkan risiko
serum dan mengurangi kolesterol HDL serum. Selain itu, asap rokok
kolesterol LDL yang teroksidasi di dalam dinding arteri (Rathore et al., 2018).
3) Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol dikaitkan dengan risiko infark miokard yang lebih tinggi
pada jam-jam berikutnya di antara orang-orang yang biasanya tidak minum alkohol
setiap hari. Kebiasaan konsumsi alkohol yang moderat dikaitkan dengan risiko
kejadian kardiovaskular yang lebih rendah pada bulan dan tahun berikutnya.
4) Dyslipidemia
umumnya didefinisikan sebagai kadar kolesterol total, LDL, trigliserida, apo B atau
Lp (a) di atas persentil ke-90 atau HDL dan tingkat apo A di bawah persentil ke-10
dari populasi umum. Peningkatan kadar trigliserida dan LDL menjadi faktor risiko
predisposisi infark miokard. Kadar trigliserida non puasa menjadi prediktor yang
kuat dan independen untuk risiko IMA di masa depan, terutama jika kadar
5) Diabetes Mellitus
6) Hipertensi
semakin tinggi tekanannya, semakin besar risikonya. hal Ini adalah faktor risiko
serangan jantung atau infark miokard. Di usia tua, hipertensi bahkan lebih buruk
bagi jantung dan bertanggung jawab atas setidaknya 70 persen penyakit jantung
7) Obesitas
Infark sangat ditingkatkan oleh obesitas ekstrim karena merupakan faktor risiko
infark miokard yang diakui. Kelebihan berat badan dan obesitas berhubungan
8) Stres
dan stroke. Stres psikologis akut juga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
jantung koroner, dan telah dilaporkan bahwa kesedihan yang intens pada hari-hari
2012).
9) Gout
Pada pasien gout, respon inflamasi yang terkait dengan gout memainkan
18
10) Penyakit Periodontal
dan produk sampingannya merupakan agen etiologi utama. Terdapat bukti yang
untuk IMA. Beberapa varian genetik dikaitkan dengan peningkatan risiko IMA dan
12) Umur
Usia lanjut dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada infark miokard akut.
mortalitas. Sekitar 80% kematian akibat penyakit jantung terjadi pada orang yang
Tingkat serangan jantung wanita meningkat setelah menopause tetapi tidak sama
dengan tingkat pria. Meski begitu, penyakit jantung merupakan penyebab utama
2.1.9 Komplikasi
pasien setelah IMA dan biasanya muncul antara 3 dan 5 hari setelah IMA. Sejak
19
0,17% dan biasanya didiagnosis dalam 24 jam pertama setelah presentasi IMA
Insiden FWR adalah 2% dan meningkat menjadi 6,2% di era pra-perfusi. Hal
ini menyumbang 15% dari kematian setelah IMA. Namun, kejadiannya telah
menurun secara signifikan di era perfusi. Kejadian FWR adalah 0,2% dengan
mortalitas di rumah sakit sebesar 80% . PCI secara independen mengurangi risiko
tinggi bahkan dengan diagnosis cepat dan pembedahan tepat waktu. Sebagian
besar ruptur terjadi dalam 3 hingga 5 hari pertama tetapi dapat terjadi hingga 2
minggu. Beberapa faktor yang terkait dengan FWR meliputi: usia lebih dari 55
tersumbatnya anterior kiri menurun (LAD), transmural MI, hipertensi, kelas killip
lebih > 2, peningkatan ST yang persisten, dan penggunaan kortikosteroid dan obat
3) Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah keadaan perfusi jaringan yang tidak adekuat karena
curah jantung yang rendah. Hal Ini didefinisikan sebagai hipotensi persisten
(tekanan darah sistolik <80 atau 90 mm Hg atau tekanan arteri rata-rata <30 mm
Hg di bawah garis dasar) dengan penurunan berat pada indeks jantung kurang
dari 1,8 L / menit per m2 tanpa dukungan atau kurang dari 2,2 L / menit per mm2
dengan dukungan dan tekanan pengisian yang memadai atau tinggi, misalnya,
tekanan diastolik ujung ventrikel kiri (LVEDP) lebih besar dari 18 atau tekanan
diastolik akhir ventrikel kanan (RVEDP) lebih besar dari 10 hingga 15 mm Hg (Bajaj
et al., 2015).
20
4) Acute Mitral Regurgitation
pecahnya PMR secara tiba-tiba dan yang kedua adalah disfungsi dinding otot
papiler yang berhubungan dengan iskemia. Biasanya hal ini terjadi 2 hingga 7 hari
setelah IMA dengan gejala berkisar dari gagal jantung akut dekompensasi hingga
syok kardiogenik, yang mengarah ke hipotensi dan gagal pernapasan akut karena
Tanda dan gejala Right Ventricle Infarction (RVI) bervariasi dan berkisar dari
pasien tanpa gejala hingga syok kardiogenik. Tiga gejala klasik RVI yaitu hipotensi,
vena leher buncit, dan bidang paru-paru yang jelas dalam pengaturan dinding
inferior infark miokard memiliki sensitivitas yang sangat rendah untuk RVI, sekitar
25% . Tekanan vena jugularis yang meningkat dan tanda kussmaul dalam
pengaturan infark miokard dinding inferior memiliki sensitivitas yang sangat tinggi
mendiagnosis RVI. Dalam pengaturan infark miokard dinding inferior, sadapan sisi
berkontraksi secara efektif. Berhentinya fungsi jantung dapat terjadi secara tiba-
tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui menderita penyakit jantung.
Waktu dan kejadiannya tidak diduga-duga, yakni segera setelah timbul keluhan.
21
Hal ini terjadi ketika sistem kelistrikan jantung menjadi tidak berfungsi dengan
layanan medis darurat (EMS) atau unit gawat darurat (UGD) dan: menerima upaya
defibrilasi eksternal (oleh responden awam atau personel gawat darurat) atau
kompresi dada oleh personel EMS atau UGD terorganisir; atau kondisi nadi yang
22
2.2.3 Manifestasi Klinis Henti Jantung
Manifestasi klini henti jantung menurut Cameron, Brown, & Little, (2015)
yaitu:
pernafasan dibuka.
Sekitar 50% dari serangan jantung terjadi pada individu tanpa penyakit
jantung yang diketahui, tetapi sebagian besar menderita penyakit jantung iskemik
untuk mencegah henti jantung mendadak dalam populasi umum adalah meminta
seperti total kolesterol, glukosa, tekanan darah, merokok dan indeks massa tubuh.
Sekitar 40% dari penurunan henti jantung mendadak yang diamati adalah
variabilitas detak jantung, sensitivitas refleks baro, dispersi interval QT, alternans
gelombang-T mikrovolt dan turbulensi detak jantung. Namun, tidak satu pun dari
23
prediktor-prediktor ini yang mempengaruhi praktik klinis. Satu-satunya indikator
kematian mendadak dalam pengaturan infark miokard dan disfungsi ventrikel kiri
adalah Left Ventrikel Ejection Fraction (LVEF) . Variabel ini telah digunakan untuk
defibrillator (ICD) untuk pencegahan primer henti jantung (Priori et al., 2015).
yang dikoreksi (QTc) adalah indikator yang dapat diandalkan untuk risiko kejadian
jantung pada sindrom long QT (LQTS), dan septum hipertrofi memprediksi hasil
pada hipertrofik kardiomiopati (HCM). pada penyakit lain, seperti sindrom Brugada
atau sindrom QT pendek (SQTS), metrik stratifikasi risiko tidak kuat, meninggalkan
beberapa penyakit seperti LQTS dan lamin A/C yang berhubungan dengan
Henti jantung sering diawali dengan timbulnya aritmia. Secara garis besar
aritmia terdiri atas dua kelompok besar, yaitu bradiaritmia yang dicirikan dengan
laju jantung yang terlalu lambat (kurang dari 60 kali per menit/) dan takiaritmia yang
dicirikan dengan laju jantung yang terlalu cepat (lebih dari 100 kpm). Masing-
24
fibrilasi ventrikular (VF), takikardi ventrikel (VT), pulseless electrical activity (PEA),
hipertensi, atau kelainan katup. Pada kasus benigna, VT dapat juga terjadi pada
pasien dengan struktur jantung normal. Tanda dan gejala VT biasanya dapat
diketahui dari ritme jantung cepat yang berasal dari ventrikel di bawah berkas His,
2018)
Pada kondisi VF, terjadi depolarisasi ventrikel yang kacau dan tidak
terkoordinasi. Kontraksi sinkron dari ventrikel hilang, dengan kelompok sel pada
ventrikel tampak bergetar. Ini adalah ritme henti jantung dimana aksi pemompaan
25
ventrikel berhenti dan kematian akan terjadi dalam beberapa menit kecuali jika
Jantung akan bergetar sangat cepat dan tidak teratur sehingga menyebabkan
tidak adanya darah yang mengalir ke seluruh tubuh atau sedikit darah yang dapat
dipompa oleh jantung. ciri khas dari VF adalah irama jantung ireguler, frekuensi
jantung tidak dapat dihitung, tidak ditemukan gelombang P dan interval PR dan
gelombang QRS yang tidak dapat dihitung serta ireguler (Brunner & Suddarth,
2013).
Jantung bergetar sangat cepat dan tidak teratur. Ketika kondisi ini terjadi
menyebabkan jantung akan memompa sedikit darah atau tidak ada darah yang
dihitung, tidak ditemukan gelombang P dan interval PR dan gelombang QRS yang
Gambar 2.3 Ritme EKG Ventricular fibrillation (Brunner & Suddarth, 2013)
Pseudo-PEA, dan PEA sejati. PEA normotensif terjadi dalam situasi kontraksi
jantung dasar dan pemendekan serat miokard dan biasanya terjadi akibat masalah
didefinisikan sebagai situasi dengan kontraksi miokard yang lemah yang hanya
pemantauan invasif atau ekokardiografi. PEA sejati adalah tidak adanya kontraksi
miokard, yang biasanya merupakan tahap akhir PEA yang terjadi setelah paparan
26
asidosis, hipoksia atau tonus vagal yang meningkat dalam waktu lama (Patil et al.,
2015).
Gambar 2.4 Ritme EKG pulseless electric activity (Brunner & Suddarth,
2013)
4) Asistole
menyebabkan serangan jantung. Asistol adalah hasil dari pacu jantung primer dan
kedua yang gagal, membuat tidak ada depolarisasi, tidak ada kontraksi, tidak ada
curah jantung, dan tidak ada perfusi ke seluruh tubuh. Asistol juga dikenal sebagai
aritmia kematian. Pasien mengalami henti jantung paru, tanpa inisiasi CPR yang
cepat dan pengobatan yang tepat, kematian akan terjadi dalam beberapa menit
(Coviello 2016). Asistol disebabkan oleh hipoksia miokard; penyebab paling sering
jantung. Pasien asistol akan tidak responsif tanpa denyut nadi, tekanan darah,
atau pernapasan; pupil tetap dan melebar; kulit berwarna sianotik atau belang-
27
Gambar 2.5 Ritme Gelombang Asistol (Ceyssens, J. 2016)
2.2.6 Penatalaksanaan
defibrilasi akses publik tersedia, maka hal itu harus diaktifkan dan digunakan jika
jantung termasuk memastikan pasien tidak responsif, tanpa denyut sentral dan
tidak bernapas dengan normal. Setelah korban diidentifikasi, CPR harus dilakukan
segera mungkin dan aktivasi sistem tanggap darurat harus menjadi prioritas (Patel
28
direkomendasikan jika tersedia (Olasveengen et al., 2017). Jika pasien mengalami
episode tenggelam, mereka dapat mencoba dua kali penyelamatan napas, karena
penyebab henti jantung kemungkinan besar berasal dari henti napas primer. Jika
tidak ada respons untuk penyelamatan pernapasan, CPR harus segera dimulai.
selama CPR aktif. Pedoman saat ini merekomendasikan 2 tarikan napas untuk
memungkinkan ventilasi yang baik. Manuver ini termasuk head-tilt, chin-lift, dan
jaw thrust. Tambahan jalan nafas oral termasuk oral pharyngeal airway (OPA) dan
lanjutan, termasuk perangkat saluran napas supraglottic (King LT, Igel) dan
cepat jika diindikasikan. Advanced Cardiac Life Support (ACLS) dapat mengajari
29
2.3 Faktor Yang Berpengaruh Pada Kejadian Henti Jantung Pasien Infark
Miokard Akut
Insiden henti jantung yang tinggi diakui sebagai mekanisme utama kematian
yang saat ini digunakan untuk memprediksi kejadian seperti itu adalah pengukuran
digunakan pada pasien subkelompok tertentu yang sebagian besar diuji pada
pasien dengan resiko tinggi sehingga tidak akurat digunakan pada populasi umum
(Huikuri, 2011).
Faktor risiko seperti kolesterol tinggi dan hipertensi, tidak secara spesifik
umum telah menunjukkan bahwa variabel klinis dan demografi tertentu terkait
kapasitas olahraga, kapasitas vital, detak jantung, riwayat diabetes, obesitas, dan
saat ini tidak cocok untuk strategi pencegahan skala besar (Huikuri, 2011).
korban infark miokard akut (IMA) risiko tinggi, prediktor independen henti jantung
antara lain termasuk usia > 70 tahun, detak jantung ≥ 70 bpm, merokok, kelas
killip III / IV, LVEF ≤ 30%, fibrilasi atrium, riwayat infark miokard sebelumnya, gagal
jantung atau diabetes, perkiraan laju filtrasi glomerulus < 60 mL /menit/ 1,73 m,
tidak ada reperfusi koroner atau terapi revaskularisasi untuk indeks AMI. Skor
risiko henti jantung mendadak yang mudah digunakan dikembangkan dari variabel
klinis yang dikumpulkan secara rutin pada pasien dengan gagal jantung, disfungsi
sistolik ventrikel kiri atau keduanya. Skor ini mungkin berguna dalam
mengidentifikasi pasien untuk uji coba perawatan di masa depan untuk mencegah
31
2.4 Kerangka Teori
Infark Miokard Faktor Prediktor Henti
Faktor Risiko (Rathore, Left Ventricular
Akut : Jantung :
2018) Ejection Fraction
- STEMI - Usia
Infark Miokard Akut : Diagnosis Infark Miokard (LVEF)
- NSTEMI - Jenis Kelamin
- Aktivitas Fisik Akut : - Unstable - Tekanan Sistolic
- Merokok - Gejala Klinis Angina - Tekanan Diastolik
- Alkohol - Deteksi Biomarkers
- Dislipidemia - Enzim Troponin
- EKG Tingkat
- Diabetes Mellitus - Gambaran EKG
- Teknik Pencitraan Keparahan IMA :
- Hipertensi - Denyut Jantung
(Thygesen et al., 2018). - Killip 1
- Obesitas - Penyakit Komorbid
- Killip 2
- Stres - Lama Rawat Etiologi Henti Jantung :
- Killip 3
- Gout - Kelas Killip - Penyakit Jantung
- Killip 4
- Penyakit Periodontal (Docherty et al., 2020; - Non Jantung
- Riwayat Keluarga Burstein et al., 2020, (Sudoyo et al., 2015).
Tipe IMA :
- Umur Huikuri, 2011)
- Tipe 1
- Jenis Kelamin - Tipe 2
- Tipe 3
Gejala Klasik IMA :
- Tipe 4A Manifestasi Klinis Henti
- Nyeri dada, menjalar
- Tipe 4B Jantung Cameron, Brown, &
ke rahang, bahu,
- Tipe 5 Henti Jantung : Little, (2015) :
Kerusakan lengan , punggung
(Thygesen et al., - Ventrikel Takikardia - Ketiadaan respon
jaringan dan - Sinkop
2018). - Ventrikel Fibrilasi - Ketiadaan pernafasan
nekrosis (Duksta & Younker,
2012). - Pulseles Electrical Activity - Tidak teraba denyut nadi
- Asistole (Neumar et al.,
-
2010).
-
Komplikasi IMA :
Etiologi IMA : Kelompok Resiko Henti
- Ventrikular Septal Ruptur
- Penurunan aliran darah Jantung :
- Free Wall Rupture
coroner - Syok Kardiogenik - Individu dengan penyakit
Penatalaksanaan Henti
- Plak aterosklerosis - Acute Mitral Regurgitation jantung tak diketahui
Jantung :
(Mechanic & Grossman, 2020). - Right Ventricle Infarction - Penderita penyakit
- CPR Hands Only jantung iskemik
(Bajaj et al., 2015) - Basic Life Support (BLS) - Pasien dengan penyakit
- Advance Cardiac Life aritmogenik yang
Support (ACLS) diturunkan
(Patel & Hipskind, 2020). (Perk et al., 2012).
1
BAB III
Variabel Independent
Faktor Demografi
a. Usia
b. Jenis Kelamin
Faktor Pemeriksaan
Penunjang
a. Gambaran EKG
b. Enzim Troponin
Jantung
1
3.2 Hipotesis Penelitian
2. Resiko terjadinya henti jantung pada laki-laki dengan infark miokard akut
3. Semakin tinggi tekanan sistolik pada pasien infark miokard akut, semakin
4. Semakin tinggi tekanan diastolik pada pasien infark miokard akut, semakin
5. Risiko terjadinya henti jantung pada pasien infark miokard akut dengan
enzim toponin reaktif lebih besar dibanding pasien dengan enzim troponin
non-reaktif.
6. Risiko terjadinya henti jantung pada pasien dengan gambaran EKG STEMI
7. Semakin tinggi denyut jantung pada pasien infark miokard akut, semakin
8. Semakin banyak jumlah penyakit komorbid pada pasien infark miokard aku,
9. Semakin panjang lama rawat pasien infark miokard akut, semakin tinggi
10. Semakin tinggi kelas killip pada pasien infark miokard akut, semakin tinggi
2
BAB IV
METODE PENELITIAN
demografi, vital sign, pemeriksaan penunjang, riwayat penyakit dan klasifikasi killip
dalam memprediksi kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut.
Rancangan ini dipilih karena data yang digunakan adalah data pasien infark
miokard akut yang dirawat di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang pada tahun 2017
4.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sampel pasien yang dirawat di
RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang dari tahun 2015 – 2020 dengan diagnosis infark
4.2.2 Sampel
dalam penelitian ini adalah seluruh pasien infark miokard akut di RSUD dr. Abdul
Aziz Singkawang yang telah tercatat dalam rekam medis dari tahun 2017-2020.
dalam.
Variabel dependent dalam penelitian ini adalah kejadian henti jantung pada
4.3.2.1 Vital sign dengan subvariabel yaitu : tekanan darah sitolik, tekanan darah
4.3.2.2 Data demografi dengan subvariabel yaitu : usia dan jenis kelamin.
4.3.2.4 Riwayat penyakit dengan subvariabel yaitu : penyakit komorbid dan lama
rawat di ICU.
4
4.4 Waktu dan Tempat Penelitian
pasien yang menjalani perawatan RSUD dr Abdul Aziz dari tahun 2017 - 2020.
data rekam medis yang diperlukan dalam penelitian. Lembar dokumentasi ini berisi
informasi penelitian yaitu : data demografi pasien yang meliputi usia dan jenis
kelamin, data pemeriksaan penunjang pasien yang meliputi gambaran EKG dan
kadar enzim troponin, data vital sign pasien yang meliputi tekanan darah sistolik,
tekanan darah diastolik dan denyut jantung, data riwayat penyakit yang meliputi
penyakit komorbid dan lama rawat serta data mengenai kelas killip.
3 : Lansia
Akhir (56 –
65 tahun)
4 :
Manula
(65
tahun
keatas)
(Depkes,
2009)
5
2. Jenis Jenis kelamin Studi Rekam Nominal 1 : Laki-laki
Kelamin responden baik laki- dokumentasi medis
laki maupun 2:
perempuan Perempuan
3. Tekanan Hasil pengukuran Studi Rekam Ordinal 1: < 120
darah tekanan darah dokumentasi medis MmHg
sistolik sistolik responden
yang diukur oleh 2: 120 -
perawat 139 MmHg
menggunakan
sphygmomanometer 3: 140 -
pada saat hari 159 MmHg
pertama dirawat di
rumah sakit . 4: ≥ 160
MmHg
(AHA,
2017)
4. Tekanan Hasil pengukuran Studi Rekam Ordinal 1: < 80
darah tekanan darah dokumentasi medis MmHg
diastolik diastolik responden
yang diukur oleh 2: 80 – 89
perawat MmHg
menggunakan
sphygmomanometer 3: 90 – 109
pada saat hari MmHg
pertama dirawat di
rumah sakit . 4: ≥ 110
MmHg
(AHA,
2017)
5. Heart Frekuensi denyut Studi Rekam Ordinal 1: ≤ 40 x/
Rate jantung responden dokumentasi medis menit
dalam satu menit
yang diukur saat 2: 41 - 90
pasien menjalani x/Menit
perawatan
3: 91 - 130
x/Menit
4: ≥ 131x/
menit
(AHA,
2017)
6. Gambaran Interpretasi hasil Studi Rekam Nominal 1 : STEMI
EKG pemeriksaan EKG dokumentasi medis
yang diukur Ketika 2 : NSTEMI
responden
menjalani
perawatan di rumah
sakit
7. Kadar Indikasi nilai awal Studi Rekam Ordinal 1 : Reaktif
enzim Troponin T yang dokumentasi medis
Troponin diperoleh pada 24 2:
(cTn) jam pertama ketika Nonreaktif
perawatan atau dari
rumah sakit
6
8. Jumlah Jumlah penyakit Studi Rekam Nominal 1 : Tidak
Penyakit penyerta selain dokumentasi medis ada
komorbid infark miokard akut
yang didiagnosis 2 : Satu
pada responden penyakit
yang sama. komorbid
3:>1
penyakit
komorbid
9. Lama Jumlah hari rawat Studi Rekam Ordinal 1 : ≤ 5 hari
rawat inap pasien saat dokumentasi medis
pertama masuk 2 : 6 – 10
sampai dengan hari
keluar rumah sakit
3 : > 10
hari
10. Kelas killip Derajat beratnya Melakukan Rekam Ordinal 1 : Killip 1
gagal jantung pada klasifikasi medis
responden berdasarkan 2 : Killip 2
data rekam
medis 3 : Killip 3
dengan
mengacu 4 : Killip 4
pada
pedoman
Killip &
Kimball
(1967)
tentang
klasifikasi
killip pada
penderita
infark
miokard
akut.
Dependent Hasil akhir Studi Lembar Nominal 1 : Terjadi
1. Kejadian perawatan pasien dokumentasi dokumentasi Cardiac
Henti infark miokard akut Arrest
jantung di ICU yang dilihat
pada dari ada tidaknya 2 : Tidak
pasien kejadian henti terjadi
infark jantung yang Cardiac
miokard tercatat dalam Arrest
akut rekam medis
7
untuk mendapatkan surat keterangan lulus uji etik dari fakultas kedokteran
2) Setelah dinyatakan lulus uji etik, maka peneliti mengajukan surat permohonan
diteruskan ke tempat penelitian yaitu RSUD dr. Abdul Aziz. Setelah mendapat
pelaksanaan penelitian.
2021. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang diperoleh dari instalasi rekam medis RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dan cross
section atau biasa disebut panel data. Data bersifat time series karena data
dalam penelitian ini adalah data dalam interval waktu tertentu, yaitu tahun
2017 - 2020.
yang sudah ada. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan penelusuran dan
laporan penelitian
8
4.8 Analisis Data
variabel dependent (terikat). Uji analisis bivariat dalam penelitian ini dapat dilihat
persyaratan ke dalam satu model. Adapun langkah awal yang dilakukan dalam uji
ini adalah menentukan variabel yang termasuk ke dalam kriteria atau kandidat
model untuk dilakukan analisis regresi logistik, yakni variabel yang memiliki nilai p
<0.25 dengan CI 95 %. Output dari analisis regresi logistik ini adalah berupa nilai
9
dependent. Untuk melihat faktor mana saja yang paling berpengaruh terhadap
kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut dapat dilihat dari nilai OR
(Exp (B)).
dengan ketentuan uji F pada Alpha = 0,05 ataup ≤ 0,05 sebagai taraf signifikansi
F (sig. F) sedangkan untuk uji T taraf signifikansi Alpha = 0,05 atau p≤ 0,05 yang
dimunculkan kode (sig.T) dimana hal tersebut digunakan untuk melihat signifikansi
mendapatkan surat etik dan surat lulus uji etik melalui komite etik keperawatan
FKUB, sebagai upaya melindungi hak azazi dan kesejahteraan subyek penelitian
Pertimbangan etik dalam penelitian yaitu beneficence, respect for human dignity,
4.1.2 Beneficence
penelitian.
perlindungan hak bagi subjek dan menghindari pelanggaran HAM serta publikasi
ilmiah pada peneliti. Peneliti juga mengurus perizinan penelitian kepada pihak
10
Rumah Sakit dan pengambilan data dilakukan setelah memperoleh izin dari
tempat penelitian.
4.1.5 Confidentiality
kepentingan penelitian.
4.1.6 Non-malefiecence
responden baik secara langsung maupun tidak langsung karena tidak ada
intervensi yang dilakukan dan instrument yang digunakan berupa data sekunder
11
BAB V
HASIL PENELITIAN
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kota Singkawang (Sumber : Pemerintah Kota Singkawang)
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Singkawang, pada
sebanyak 235.064 jiwa. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Abdul Aziz adalah rumah
12
sakit Pemerintah Kota Singkawang yang terletak di Jalan Dr. Soetomo No.28
Singkawang, sebelumnya RSUD dr. Abdul Aziz ini terletak di JL. Diponegoro
Singkawang yang ditetapkan namanya menjadi Rumah Sakit Daerah dr. Abdul
Aziz Singkawang melalui PERDA No.2 Kabupaten Sambas tahun 1987 sebagai
Sambas kepada Pemkot Singkawang pada tahun 2004. Saat ini, RSUD dr. Abdul
Aziz telah berkembang menjadi Rumah Sakit yang melayani rujukan tingkat
pertama dari Rumah Sakit yang berada disekitarnya yaitu dari Kab. Sambas, Kab.
5.2 Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut Berdasarkan
Karakteristik Responden
bawah ini :
13
Tabel 5.1 Kejadian Henti jantung pada pasien infark miokard di RSUD dr
Abdul Aziz Singkawang periode tahun 2017 – 2020 berdasarkan
karakteristik responden
Karakteristik Responden Jumlah Henti Tidak Nilai Statistik
Responden Jantung
Usia Dewasa (26 - 45 21 1 20 p: r:
tahun) 0.045* 0.149*
Lansia Awal (46 44 5 39
– 55 tahun)
Lansia Akhir (56 66 14 52
– 65 tahun)
Manula (65 50 11 39
tahun keatas)
Jenis Laki-laki 115 18 97 p: OR :
Kelamin Perempuan 66 13 53 0.487** 1.322**
(0.601
–
2.907)
Tekanan < 120 MmHg 49 14 35 p: r:
darah 120 - 139 MmHg 39 10 29 0.002* -0.228*
sistolik 140 - 159 MmHg 54 3 51
≥ 160 MmHg 39 4 35
Tekanan < 80 MmHg 65 15 50 p: r:
darah 80 – 89 MmHg 37 9 28 0.0208* -
diastolik 90 – 109 MmHg 66 6 60 0.1738*
≥ 110 MmHg 13 1 12
Heart Rate ≤ 40 x/ menit 2 0 2 p: r:
41 - 90 x/Menit 118 18 100 0.064* 0.138*
91 - 130 x/Menit 53 9 44
≥ 131x/ menit 8 4 4
Gambaran STEMI 113 19 94 p: OR:
EKG NSTEMI 68 12 56 0.885** 1.060**
(0.479
–
2.347)
Kadar Reaktif 106 18 88 p: OR:
enzim Non Reaktif 75 13 62 0.951** 1.025**
Troponin (0.468
(cTn) –
2.245)
Jumlah Tidak ada 10 2 8 p: r:
Penyakit 1 penyakit 46 5 41 0.322* 0.074*
komorbid komorbid
>1 penyakit 125 24 101
komorbid
Lama <5 hari 68 22 46 p: OR :
rawat >5 hari 113 9 104 0.000** 0.181**
(0.077
–
0.423)
Kelas killip Kelas Killip 1 90 4 84 p: r:
Kelas Killip 2 46 6 40 0.000** 0.431**
Kelas Killip 3 23 9 14
Kelas Killip 4 22 12 10
Keterangan : * uji analisis Spearman, ** uji analisis chi square
14
5.3 Kejadian Henti jantung pada pasien infark miokard di RSUD dr Abdul
Maret 2021 hingga 1 April 2021, terkumpul data sebanyak 181 orang yang dirawat
di RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang dengan diagnosis infark miokard akut selama
periode tahun 2017 hingga tahun 2021. Data-data yang dicatat dalam penelitian
ini terdiri dari usia, jenis kelamin, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik,
heart rate, gambaran EKG, kadar enzin troponin, penyakit komorbid, lama rawat,
dan kelas killip. Hasil penelitian ini dapat dilihat pada diagram-diagram di bawah
ini :
5.3.1 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut di
usia pada pasien infark miokard akut paling sering terjadi pada kelompok usia
lansia akhir yaitu sebanyak 14 orang (7.7 %). Sedangkan jumlah paling sedikit
terjadi pada kelompok usia dewasa yaitu sebanyak 1 orang (0.6 %). Distribusi
kejadian henti jantung pasien infark miokard akut berdasarkan kelompok usia
15
60
50
52
40
39 39
30
20
20
10 14
1 5 11
0
Dewasa (26-45 tahun) Lansia Awal (46-55 Lansia Akhir (56-65 Manula (65 tahun keatas
tahun) tahun)
Diagram 5.1 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard
Akut Berdasarkan Kelompok Usia
kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut diperoleh p-value sebesar
0.045 (p-value < α) dengan nilai Correlation coefficient (r) sebesar 0.149.
5.3.2 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa henti jantung pada pasien infark
miokard akut paling sering terjadi pada responden berjenis kelamin laki-laki yaitu
sebanyak 18 orang (9.9 %). Distribusi kejadian henti jantung pasien infark miokard
akut berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada diagram di bawah ini :
16
97
100
90
80
70
53
60
50
40
30 18
13
20
10
0
Laki-laki Perempuan
Diagram 5.2 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard
Akut Berdasarkan Jenis Kelamin
dengan kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut diperoleh nilai p-
value sebesar 0.487 (p-value > α) dengan nilai OR (CI 95%) sebesar 1.322 (0.601
– 2.907).
5.3.3 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa henti jantung pada pasien infark
miokard akut lebih sering terjadi pada kelompok responden yang memiliki tekanan
darah sistolik < 120 mmHg yaitu (14 orang/7.7 %) dan kelompok responden
dengan tekanan sistolik 120-139 mmHg yaitu (10 orang/ 5.5 %), dibandingkan
pada tekanan yang lebih tinggi yaitu 140-159 mmHg sebanyak (3 orang/ 1.7%)
dan di atas 160 mmHg sebanyak (4 orang/ 2.2 %). Distribusi kejadian henti jantung
pasien infark miokard akut berdasarkan tekanan sistolik dapat dilihat pada diagram
berikut ini :
17
60
51
50
40 35 35
29
30
20 14
10
10 4
3
0
< 120 MmHg 120 - 139 MmHg 140 - 159 MmHg ≥ 160 MmHg
Diagram 5.3 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Tekanan Sistolik
henti jantung pada pasien infark miokard akut dilakukan menggunakan uji
spearman dan diperoleh nilai p-value sebesar 0.002 (p-value < α) dengan
5.3.4 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
terjadi pada responden yang memiliki tekanan diastolik <80 MmHg yaitu 15 orang
(8.3 %). Jumlah kejadian henti jantung mengalami penurunan seiring dengan
80-89 MmHg, 6 orang dengan tekanan diastolik 90-109 MmHg dan 1 orang dengan
tekanan diastolik ≥110 MmHg. Distribusi kejadian henti jantung pada pasien infark
18
miokard aku berdasarkan tekanan diastolik dapat dilihat pada diagram di bawah
ini :
≥ 110 MmHg 12
1
90–109 MmHg 60
6
80–89 MmHg 28
9
< 80 MmHg 50
15
0 10 20 30 40 50 60
Diagram 5.4 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Tekanan Diastolik
antara tekanan diastolik dengan kejadian henti jantung pada pasien infark miokard
akut memperoleh nilai p-value sebesar 0.020 (p-value < α) dengan nilai Correlation
5.3.5 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
henti jantung terjadi pada responden yang memiliki heart rate 40-90 kali/menit
yaitu sebanyak 18 orang (9.9 %). Sedangkan pasien infark miokard akut dengan
heart rate ≤ 40 kali/menit tidak ada yang mengalami kejadian henti henti jantung
selama masa perawatan. Distribusi kejadian henti jantung pada pasien infark
miokard akut berdasarkan heart rate dapat dilihat pada diagram berikut ini :
19
≥ 131x/ menit 4
4
91-130 x/Menit 44
9
≤ 40 x/ menit 2
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Diagram 5.5 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Heart Rate
rate dengan kejadian henti jantung diperoleh hasil p-value sebesar 0.064 (p-value
5.3.6 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
pasien infark miokard akut adalah pasien dengan ST elevasi/STEMI sebanyak 113
(67.6%). Dari jumlah tersebut, henti jantung lebih sering terjadi pada STEMI yaitu
sebanyak 19 orang (10.5 %). Distribusi kejadian henti jantung pada pasien Infark
Miokard aku berdasarkan gambaran EKG dapat dilihat pada diagram berikut ini :
20
NSTEMI 56
12
STEMI 94
19
0 20 40 60 80 100
Diagram 5.6 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Gambaran EKG
hubungan gambaran EKG dengan kejadian henti jantung pasien infark miokard
akut dan diperoleh nilai p-value sebesar 0.885 (p-value > α) dengan nilai OR (CI
5.3.7 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Jantung
miokard aku sebagian besar pasien infark miokard akut menunjukkan hasil
pemeriksaan enzim troponin jantung (cTnT) reaktif yaitu sebanyak 106 orang (58.6
%). Dari jumlah tersebut, pasien dengan cTnT reaktif yang mengalami henti
jantung adalah sebanyak 18 orang (9.9 %). Distribusi kejadian henti jantung pada
pasien infark miokard akut berdasarkan enzim troponin jantung dapat dilihat pada
21
88
90
80
70 62
60
50
40
30 18
13
20
10
0
Reaktif Non Reaktif
Diagram 5.7 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Enzim Troponin Jantung
(cTnT) dengan kejadian henti jantung dilakukan analisis menggunakan uji chi
square sehingga diperoleh nilai p-value sebesar 0.951 (p-value > α) dengan nilai
5.3.8 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Komorbid
paling sering terjadi pada responden dengan penyakit komorbid > 1 yaitu sebanyak
24 orang (13.3 %). Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa henti jantung
juga dapat terjadi pada pasien yang tidak memiliki penyakit komorbid yaitu
sebayak 2 orang (1.1 %). Distribusi kejadian henti jantung pada pasien infark
miokard akut berdasarkan jumlah penyakit komorbid dapat dilihat pada diagram di
bawah ini :
22
120
100
101
80
60
40
41
20 24
2 8 5
0
Tidak ada 1 penyakit komorbid >1 penyakit komorbid
Diagram 5.8 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Jumlah Penyakit Komorbid
antara jumlah penyakit komorbid dengan kejadian heti jantung pada pasien infark
miokard akut diperoleh p-value sebesar 0.322 (p-value > α) dengan nilai
5.3.9 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang dirawat < 5 hari
lebih sering mengalami henti jantung dengan jumlah sebanyak 22 orang (12.2 %)
dibandingkan responden yang dirawat > 5 hari yaitu sebanyak 9 orang (5.0 %).
Distribusi kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut berdasarkan
23
>5 hari 104
<5 hari 46
22
0 20 40 60 80 100 120
Diagram 5.9 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Lama Rawat
komorbid dengan kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut diperoleh
nilai p-value sebesar 0.000 (p-value > α) dengan nilai OR (CI 95%) sebesar 0.181
(0.077 – 0.423).
5.3.10 Distribusi Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
bahwa sebagian besar henti jantung terjadi pada responden dengan kiliip 4 yaitu
sebanyak 12 orang (6.6 %). Jumlah kejadian henti jantung mengalami penurunan
seiring dengan penurunan kelas killip. Distribusi henti jantung pada pasien infark
miokard akut berdasarkan kelas kiliip dapat dilihat pada diagram berikut ini :
24
90 84
80
70
60
50 40
40
30
20 14 12
9 10
4 6
10
0
Kelas Killip 1 Kelas Killip 2 Kelas Killip 3 Kelas Killip 4
Diagram 5.10 Distribusi Henti Jantung Pada Pasien Infark Miokard Akut
Berdasarkan Kelas Killip
jantung pada pasien infark miokard akut digunakan uji spearman. Hasil analisis
adalah variavel yang mempunyai nilai p-value < 0,25. Adapun tahap seleksi
25
Tabel 5.2 Proses Seleksi Variabel
syarat untuk dimasukkan ke dalam analisis multivariat adalah usia, tekanan darah
sistolik, tekanan darah diastolik, heart rate, lama rawat dan kelas killip karena
dalam analisis multivariat karena mempunyai nilai p-value > 0,25. Dalam penelitian
Hasil uji analisis regresi logistik dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 5.3 Hasil Uji Analisis Regresi Logistik Faktor Prediktor Kejadian Henti
26
Berdasarkan hasil uji analisis regresi logistik, maka dapat diketahui bahwa
penelitian ini melalui 3 tahapan pemodelan. Pada tahap pertama dan kedua, model
diatas, pada model pertama variabel tekanan darah diastolik mempunyai nilai p
paling besar yaitu 0.970 dengan nilai OR sebesar 1.014 dan CI 95 % berada pada
rentang 0.495 – 2.076. dengan demikian, maka variabel tekanan darah diastolik
pemodelan berikutnya.
mempunyai nilai p paling besar yaitu 0.147 dengan nilai OR sebesar 1.471 dan CI
95 % berada dalam rentang 0.874 – 2.746. dengan demikian maka variabel usia
tersebut antara lain tekanan sistolik dengan nilai p-value 0.036, heart rate dengan
nilai p-value 0.092 dan lama rawat dengan nilai p-value 0.001 serta kelas killip
dapat diketahui dengan melihat nilai OR dan koefisien B. Variabel tekanan sistolik
sebesar 2.032, variabel lama rawat mempunyai nilai OR sebesar 0.160 dan
variabel paling dominan dalam mempengaruhi kejadian henti jantung adalah kelas
killip dengan nilai koefisien B sebesar 1.104 yang menyatakan terdapat hubungan
positif antara kelas killip terhadap kejadian henti jantung. Dengan demikian,
27
semakin tinggi kelas killip maka semakin besar pula resiko terjadinya henti jantung
pada pasien infark miokard akut. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka
Keterangan:
y = 1.897 – 0.498 (sistolik) + 0.709 (heart rate) -1.833 (lama rawat) + 1.104
(kelas killip).
a. Jika seluruh variabel bernilai konstan, maka nilai y (kejadian henti jantung) =
1.897.
b. Jika variabel lain bernilai konstan, maka henti jantung akan menurun sebesar
c. Jika variabel lain bernilai konstan, maka henti jantung akan meningkat
d. Jika variabel lain bernilai konstan, maka henti jantung akan menurun sebesar
e. Jika variabel lain bernilai konstan, maka henti jantung akan meningkat
28
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1.1 Hubungan Usia Dengan Kejadian Henti Jantung Pada Pasien Infark
mengalami infark miokard akut adalah responden dengan kategori usia lansia
akhir, yaitu 56 – 65 tahun sebanyak 66 kasus (36.4%). Hal ini sejalan dengan
bahwa sebagian besar pasien infark miokard akut berada dalam rentang usia 56-
dalam penelitian ini adalah sebanyak 14 orang (7.7 %). Jumlah ini merupakan yang
terbanyak dari semua kategori usia dalam penelitian ini. Hal ini sejalan dengan
lima kali lipat pada usia 40-60 tahun. Kerentanan seseorang terhadap
al., 2019). Penelitian lainnya oleh Putri et al (2018), menyatakan bahwa sebagian
besar infark miokard akut pada usia 45 tahun keatas disebabkan oleh faktor stress,
obesitas dan hipertensi yang memicu kerja ventrikel kiri sehingga menyebabkan
kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut dengan nilai p-value
sebesar 0.045 dan nilai koefisien korelasi sebesar 0.149. Hasil ini menunjukkan
29
terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian henti jantung pada
pasien infark miokard akut. Dengan demikian, semakin tinggi usia maka akan
semakin tinggi pula resiko terjadinya henti jantung pada individu. Hasil ini sejalan
Berdasarkan penelitian ini, henti jantung terjadi pada seluruh kategori usia.
Hal ini menunjukkan bahwa kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut
tidak memandang usia. Peningkatan usia sejalan dengan peningkatan resiko henti
jantung namun usia muda juga mempunyai resiko yang hampir sama dengan usia
tua. Saat ini terdapat kecenderungan peningkatan henti jantung pada usia yang
lebih muda karena faktor lain yang meningkatkan resiko henti jantung.
sleep apnea dan gangguan kejang yang lebih tinggi dibandingkan populasi tua.
Oleh sebab itu, sifat prediksi henti jantung pada usia paruh baya dan usia tua akan
berusia tua memiliki mortalitas jangka panjang lebih tinggi daripada pasien yang
lebih muda, tetapi usia bukanlah prediktor independen dari kematian jangka
panjang. Hal ini karena pengaruh usia dimodulasi oleh hemodinamik, pasien > 75
tahun dengan tekanan darah sistolik > 80mmHg dan heart rate <100 kali/menit
menunjukkan mortalitas yang jauh lebih baik daripada pasien < 60 tahun yang
memiliki tekanan darah sistolik < 100 mmHg dan heart rate > 100 kali/menit, dan
hasil yang serupa dengan pasien 60 –75 tahun dengan sistolik > 80 mmHg dan
heart rate > 100 kali/menit. Oleh karena itu, pasien yang lebih tua, meskipun
berisiko lebih tinggi, dengan sendirinya tidak boleh menjadi faktor penentu dalam
Pada penelitian ini, angka kejadian infark miokard akut lebih sering terjadi
pada laki-laki yaitu sebanyak 116 kasus (63.5%) dibandingkan dengan perempuan
hanya terdapat 66 kasus (36.5%). Hal ini serupa dengan penelitian sebelumnya
oleh Muhammad & Ardhianto (2015) yang menyatakan bahwa sebagian besar
penderita infark miokard akut adalah laki-laki yaitu sebanyak 67.02%. penelitian
lain yang dilakukan oleh Susilo (2015) juga menunjukkan bahwa laki-laki
mempunyai persentase yang lebih besar mengalami infark miokard akut yaitu
perbandingan 4:1. Meskipun kejadian henti jantung di rumah sakit lebih sering
terjadi pada pria, namun antara pria dan wanita memiliki hasil klinis yang serupa,
wanita usia subur dengan rentang 15 sampai 44 tahun mungkin memiliki hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan pria pada usia yang sama (Andersen et al., 2019).
hubungan antara jenis kelamin terhadap kejadian henti jantung pada pasien infark
miokard akut dengan nilai p-value sebesar 0,487 (p-value > α). Hal ini sejalan
perbedaan signifikan antara gender dengan kejadian henti jantung. Namun, wanita
dengan tingkat depresi, stress, psikologis dan kecemasan. Temuan ini diperkuat
lagi pada penelitian sebelumnya oleh Yang H.Y et al (2012), bahwa perbedaan
gender memang berperan penting dalam fatofisiologi IMA, namun ruptur plak
koroner serta pembentukan trombosis akut merupakan hal yang biasa terjadi baik
pada pria maupun wanita. Perbedaannya adalah pada wanita IMA sering terjadi di
31
usia yang lebih tua namun mempunyai mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan
pria.
laki-laki. jumlah laki-laki yang mengalami henti jantung sebanyak 18 orang dengan
membuktikan bahwa pada pasien perempuan dengan IMA lebih rentan mengalami
sering mengalami IMA pada usia yang lebih tua dibandingkan laki-laki. IMA yang
terjadi pada usia yang lebih muda dikaitkan dengan risiko kematian yang
substansial pada wanita dibandingkan dengan pria, terutama pada Wanita berusia
< 60 tahun.
sehingga perempuan mempunyai resiko komplikasi IMA yang lebih besar. Namun
karena jumlah penderita IMA pada laki-laki lebih besar menyebabkan jumlah
keseluruhan pasien IMA dengan komplikasi pada laki-laki juga masih lebih besar
32
6.2. Faktor Tanda-Tanda Vital
kejadian henti jantung pada pasien infark miokard berdasarkan tekanan darah
sistolik didapatkan nilai P-value sebesar 0,002 dan nilai koefisien korelasi sebesar
-0.228. Dengan demikian maka terdapat hubungan negatif antara tekanan darah
sistolik dengan kejadian henti jantung pasien IMA yang menunjukkan bahwa
semakin rendah tekanan sistolik maka semakin tinggi resiko terjadinya henti
jantung pada pasien infark miokard aku. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hubungan antara tekanan darah sistolik dengan kejadian mortalitas pasien STEMI.
Perbedaannya adalah dalam penelitian ini terdapat hubungan yang positif antara
tekanan sistolik dengan kejadian mortalitas pasien STEMI dengan nilai coefficient
correlation sebesar r= 0.472 yang berarti semakin tinggi tekanan darah sistolik
Dalam penelitian ini, sebagian besar kejadian henti jantung terjadi pada
tekanan sistolik <120 MmHg yaitu sebanyak 14 responden (7.7 %). Hanya 4
responden (2.2 %) dengan tekanan sistolik ≥ 160 MmHg yang mengalami henti
henti jantung adalah responden yang mempunyai tekanan sistolik dalam rentang
140-159 MmHg yaitu sebayak 3 orang (1.6 %). Hal ini sejalan dengan penelitian
Weber (2013) yang menunjukkan bahwa kejadian infark miokard dan kematian
jantung mendadak terjadi pada pasien dengan tekanan sistolik pada kisaran 120
berkurang pada tekanan sistolik 140 mmHg. Dengan semikian maka semakin
33
tinggi tekanan sistolik seseorang maka resiko kematian jantung mendadak akan
semakin rendah.
pada pasien infark miokard akut, tekanan darah sistolik dapat mempengaruhi
peluang terjadinya infark pada pasien sindrom koroner akut. Pasien dengan
tekanan darah sistolik yang tinggi beresiko terjadi infark sebanyak 71,4 %. Angka
ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan resiko infark pasien yang mempunyai
tekanan sistolik normal yaitu sebanyak 25%. Oleh sebab itu, peluang infark pada
pasien sindrome koroner akut dengan tekanan sitolik tinggi adalah 7,5 kali lebih
besar jika dibandingkan dengan pasien dengan tekanan sistolik normal pada 24
nilai p-value sebesar 0.020 dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0.173 yang
dengan kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut. Dengan demikian
maka semakin rendah tekanan diastolik maka akan semakin tinggi resiko
tersebut, tidak ditemukan efek yang tidak menguntungkan dari tekanan diastolik
<60 mmHg setelah disesuaikan dengan variabel perancu. Hal ini menyiratkan
bahwa tekanan diastolik <60 mmHg tidak meningkatkan risiko pasien ketika
yang buruk pada pasien dengan tekanan diastolik rendah seringkali disertai oleh
34
riwayat penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronis, riwayat merokok serta usia
Namun hasil penelitian ini didukung oleh Flint (2019). Dalam penelitiannya
merugikan, meskipun hipertensi sistolik memiliki efek yang lebih besar. Hubungan
antara tekanan sistolik dan diastolik terhadap hasil yang merugikan juga terlihat
penelitian ini beban sistolik dan diastolik diukur secara bersama-sama dalam
tinggi meningkatkan resiko infark hingga 6,2 kali lebih besar dibanding tekanan
diastolik normal. Peningkatan tekanan darah pasien ACS 24 jam pertama dapat
terjadi oleh karena riwayat hipertensi atau respon stress serangan ACS.
mengalami henti jantung adalah responden dengan rentang tekanan sistolik < 80
MmHg sebanyak 15 orang (8.2 %) dengan lebih dari satu penyakit penyerta.
kejadian koroner terjadi pada pasien dengan penyakit yang sudah ada
sebelumnya.
6.2.3 Hubungan Heart Rate Dengan Kejadian Henti Jantung Pada Pasien
hasil P-value > α (0.064> 0.05) dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.138 yang
kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut. Berdasarkan penelitian
35
yang dilakukan oleh Custodis et al (2013), bahwa heart rate dapat menentukan
mordibitas dan mortalitas pasien sindrom coroner akut karena peningkatan heart
rate saat istirahat dapat mengganggu tahap kontinum penyakit kardiovaskuler dan
faktor resiko masih kurang. Dalam penelitian ini, sebagian besar responden yang
mengalami henti jantung adalah kelompok responden dengan rentang heart rate
berhubungan dengan kematian jangka panjang pada pasien infark miokard akut.
yang keluar terkait dengan peningkatan risiko kematian 5 tahun, didorong oleh
kematian yang lebih tinggi selama tahun pertama. Peningkatan mortalitas pada 1
tahun setelah pasien rawat inap dengan denyut jantung> 80 denyut per menit di
rumah sakit pada era fibrinolisis. Detak jantung yang tinggi ini merupakan penanda
Hubungan antara denyut jantung saat pulang dan kematian jangka panjang
secara signifikan lebih kuat daripada hubungan yang sesuai untuk denyut jantung
saat masuk, dimulai dengan denyut jantung <60 bpm. Denyut jantung terakhir di
rumah sakit muncul sebagai faktor risiko yang lebih kuat untuk mortalitas 3 tahun
daripada detak jantung masuk di antara pasien dengan infark miokard akut.
2019). Menurut Attin et al (2015), penurunan detak jantung sebelum henti jantung
yang kuat terkait kejadian henti jantung pasien infark miokard akut. Namun,
variabel heart rate dipengaruhi oleh faktorlain seperti seperti usia, jenis kelamin
seluruh populasi IMA. Selain itu, keterbatasan penelitian mengenai heart rate
harus dikombinasikan dengan hasil EKG untuk mencapai nilai yang substansial
dan tidak dapat diukur pada pasien dengan fibrilasi atrium yang dirawat inap
sehingga hal ini menjadi kendala teknis saat pemeriksaan. Oleh sebab itu, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara heart rate dengan
kejadian henti jantung dalam penelitian ini adalah karena prediksi yang dilakukan
dalam jangka pendek saat keluar dari rumah sakit, sedangkan variabel heart rate
hasil P-value > α (0.885 > 0.05) yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara gambaran EKG dengan kejadian henti jantung
pada pasien infark miokard akut. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Behnes (2018), yang menyatakan ada hubungan antara
37
gambaran EKG dengan kematian pasien infark miokard akut. Pasien NSTEMI
dikaitkan dengan semua penyebab kematian jangka panjang yang lebih tinggi
dikaitkan dengan mortalitas yang lebih tinggi bila terjadi ≥48 jam dibandingkan
Namun hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Smilowits (2017), yang
menunjukkan efektivitas variabel hanya sebagai alat skrining. Hingga saat ini, tidak
ada temuan EKG individu yang dapat membuat stratifikasi pasien secara memadai
Sistem pemantauan EKG saat ini tidak dapat mendeteksi perubahan EKG
penting sebelum serangan jantung dan memberi tahu dokter tentang perubahan
tersebut. Sistem EKG membunyikan alarm saat detak jantung tinggi atau rendah.
Namun, hal itu tidak mengingatkan dokter ketika denyut jantung menurun secara
perawatan tepat waktu dari beberapa subjek dengan PEA dan asistol yang dapat
hasil P-value > α (0.951 > 0.05) yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat
hubungan antara enzim troponin dengan kejadian henti jantung pada pasien infark
38
miokard akut. Dalam penelitian ini, Sebagian besar pasien yang mengalami henti
jantung. pada orang yang sehat, Troponin I dan troponin T merupakan protein
struktural jantung tertentu yang biasanya tidak terdeteksi dalam serum. Pasien
stratifikasi risiko karena pasien dengan elevasi konsentrasi troponin serum berada
pada peningkatan risiko infark miokard non fatal dan kematian jantung mendadak,
Juga dapat digunakan untuk mendeteksi reinfark Tetap tinggi selama 7-14 hari
antara unstabel angina dan NSTEMI. Pada unstabel angina nilai troponin relatif
normal atau tidak ada perubahan, sedangkan pada infrak miokard, adanya
serta menilai keparahan nekrosis miokard namun belum ada bukti yang
henti jantung.
hasil P-value > α (0.322 >0.05) dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.074 yang
terdapat hubungan kuat antara penyakit komorbid dengan kematian yang terjadi
peningkatan resiko henti jantung. Pada pasien sindrom koroner akut yang
kesehatan jantung yang buruk, ukuran infark yang lebih besar dan status klinis
pada resiko yang lebih tinggi untuk mengalami henti jantung terlepas dari adanya
Dalam penelitian ini, sebagian besar henti jantung terjadi pada responden
dengan lebih dari satu penyakit komorbid yaitu sebanyak 24 orang (13.25 %).
infark miokard akut tidak mengalami henti jantung, namun secara statistik terdapat
semakin kecil resiko sesorang mengalami henti jantung. Hal ini sejalan dengan
penelitian Nguyen et al (2014) bahwa pasien Infark Miokard Akut dengan beberapa
strategi yang efektif dalam mengelola pasien IMA dengan beberapa komorbid.
40
6.4.2 Hubungan Lama Rawat Dengan Kejadian Henti Jantung Pada Pasien
Berdasarkan hasil analisis chi square didapatkan hasil P-value < α (0.000
< 0.05) dengan nilai OR 0.181 yang mengindikasikan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara lama rawat dengan kejadian henti jantung pada pasien
infark miokard akut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan
lama rawat < 5 hari memiliki kecenderungan 0.181 atau 18.1 kali lebih besar
mengalami henti jantung dibandingkan responden yang dirawat > 5 hari. Namun,
temuan ini berbeda dengan temuan sebelumnya bahwa henti jantung yang terjadi
dalam 48 jam saat rawat inap mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan
henti jantung yang terjadi > 48 jam selama rawat inap. Iskemia miokard yang
henti jantung dini, perluasan cedera miokard selama dirawat serta ketidakstabilan
meninggal. Henti jantung yang terjadi kemudian selama rawat inap juga
henti jantung terjadi pada responden yang dirawat selama <5 hari yaitu sebanyak
22 orang (71 %), sedangkan pasien yang dirawat > 5 hari mengalami henti jantung
sebanyak 9 orang (29 %). Hal ini menunjukkan bahwa semakin panjang lama
rawat dirumah sakit maka semakin kecil kemungkinan terjadinya henti jantung.
Hasil ini juga berbeda dari penelitian penelitian Ghazi et al (2017) yang
menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian henti jantung di rumah sakit terjadi
setelah 3 hari rawat inap. Pasien yang mengalami henti jantung setelah 3 hari
rawat memiliki kelangsungan hidup yang lebih rendah saat pulang dan pasien
yang bisa bertahan mempunyai status neurologis yang lebih rendah serta lama
disebabkan sejumlah faktor yang dapat menurunkan lama rawat pasien dengan
perbaikan manajemen medis dan waktu terapi, peningkatan kualitas praktik dokter,
preferensi pasien, dan tekanan ekonomi untuk meningkatkan efisiensi rawat inap.
Beberapa terapi jantung yang efektif telah terbukti berhubungan dengan lama
rawat di rumah sakit yang lebih pendek. Demikian pula, peningkatan penggunaan
PCI pada pasien dengan infark miokard akut memungkinkan untuk revaskularisasi
kebutuhan untuk risiko lebih lanjut di rumah sakit stratifikasi yang juga diharapkan
jantung < 5 hari lama rawat merupakan pasien infark miokard akut yang memiliki
tingkat keparahan tinggi dan prognosis buruk. Hal ini ditandai dengan kondisi syok
kardiogenik sejak masuk IGD sehingga henti jantung sering terjadi pada pasien
setelah dirawat beberapa saat di rumah sakit. Hal ini menyebabkan tingkat
kejadian henti jantung pada pasien dengan lama rawat < 5 hari lebih tinggi
dibandingkan lama rawat > 5 hari yang sebagian besar datang ke rumah sakit
6.5.1 Hubungan Kelas Killip Terhadap Kejadian Henti Jantung Pada Pasien
keparahan gagal jantung pasca infark miokard. Klasifikasi killip terdiri dari killip 1
hingga 4 berdasarkan kondisi klinis pasien. Sistem ini memberikan stratifikasi yang
42
efektif dari hasil jangka panjang dan jangka pendek pada pasien dengan IMA dan
Kelas killip yang tinggi memprediksi prognosis jangka pendek yang buruk. Oleh
sebab itu, klasifikasi killip merupakan alat yang valid dan handal untuk stratifikasi
risiko dini pada pasien dengan STEMI, terutama di negara terbatas sumber daya
hasil P-value < α (0.000 < 0.05) dan nilai koefisien korelasi sebesar 0.431. Hasil
ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kelas kiliip dengan
kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut. Semakin tinggi kelas killip
maka akan semakin meningkatkan resiko terjadinya henti jantung pada pasien
IMA. Dalam penelitian ini, sebagian besar responden yang mengalami henti
jantung merupakan responden dengan kelas Killip 4 berjumlah 12 orang. Hal ini
killip merupakan prediktor jangka pendek hasil post treatment pasien SKA program
menemukan bahwa pasien ACS yang dirawat di rumah sakit dengan ≥ Killip II
perawatan.
prediktor independen penting terkait resiko kematian pasien infark miokard akut
termasuk henti jantung selama rawat inap. Semakin tinggi klasifikasi killip maka
akan semakin meningkatkan resiko terjadinya henti jantung. Menurut Yang (2018),
klasifikasi killip adalah turunan faktor prognostik dari tekanan darah dan auskultasi.
dengan metode backward. Uji ini menghasilkan tiga tahapan pemodelan dan
variabel yang mempunyai nilai p paling besar akan dikeluarkan dari model dan
tidak disertakan dalam model berikutnya. Dari total enam variabel yang
Variabel tekanan darah sistolik dieliminasi pada pemodelan yang pertama karena
mempunyai nilai p paling besar yaitu 0.874, diikuti variabel usia pada pemodelan
kedua dengan nilai p sebesar 0.144. Dengan demikian kedua variabel tersebut
dianggap bukan faktor prediktor yang efektif dalam memprediksi kejadian henti
(2014) pada penelitiannya tentang gambaran tekanan darah pada pasien sindrom
koroner akut yang menyebutkan bahwa setiap kenaikan tekanan darah sistolik
akut. Menurut Haryuni et al (2019), usia merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam mortalitas IMA. Hal ini disebabkan karena resiko perdarahan dan
resiko mortalitas.
Perbedaan hasil dalam penelitian ini dapat terjadi karena penyebab henti
sistolik, dan usia tidak dapat berdiri sendiri dalam mempengaruhi kejadian henti
meningkatkan mortalitas namun efek ini akan jauh lebih besar jika terjadi
hubungan negative antara tekanan darah sistolik dan diastolik terhadap kejadian
baik sistolik maupun diastolik pada pasien STEMI menunjukkan insiden syok
kardiogenik, edema paru, takikardia, fibrilasi ventrikel dan AV blok yang lebih tinggi
dibandingkan pasien STEMI tanpa peningkatan tekanan darah. Kondisi inilah yang
namun kedua faktor baik sistolik maupun diastolik tidak dapat dipisahkan dalam
bersama-sama dapat meningkatkan henti jantung pada pasien IMA. Usia tua
karena gejala atipikal. Penurunan fungsi ginjal dan faktor lainnya menyebabkan
semakin tingginya resiko mortalitas. Berbeda dengan penelitian ini bahwa jenis
dalam kejadian henti jantung pasien AMI. Dengan demikian, maka faktor usia juga
jantung pada pasien infark miokard akut adalah kelas killip, lama rawat, tekanan
diastolik dan heart rate. Berdasarkan pengaruh heart rate terhadap kejadian henti
jantung, menurut Alapati et al., (2019) denyut jantung yang tinggi dihubungkan
dengan hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan denyut jantung yang lebih
45
rendah. Hal ini biasa terjadi pada wanita dengan usia yang lebih muda dan tidak
merokok namun mempunyai indeks masa tubuh yang tinggi disertai diabetes,
riwayat penyakit paru dan jantung serta gejala depresi berat. Sedangkan pada
heart rate yang lebih rendah memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan pasien
dengan heart rate tinggi. Terdapat hubungan positif antara heart rate rendah
terhadap kejadian kardiovaskuler. Hal ini menegaskan peran heart rate dalam
berguna dalam stratifikasi resiko pasien IMA tanpa melihat fungsi sistolik karena
seringkali ditemukan terjadi perbaikan fungsi sistolik dengan fungsi diastolik yang
tetap buruk. Pada pasien IMA dengan fungsi sistolik yang bersifat reversibel akan
diastoliknya telah pulih. Pada penilaian diastolik, informasi prognostik tidak lagi
dihubungkan dengan faktor demografi seperti jenis kelamin dan usia lanjut. Selain
itu, penyakit penyerta seperti stroke dan komplikasi syok kardiogenik serta adanya
rawat di rumah sakit. Pada penelitian ini, sebagian besar responden yang
mengalami henti jantung adalah responden yang dirawat < 5 hari yaitu sebanyak
22 orang (32.4 5). Mayoritas pasien yang mengalami henti jantung ini dirawat
sangat singkat yaitu selama 1-2 hari. Sedangkan responden yang mengalami henti
jantung dengan lama rawat > 5 hari adalah sebanyak 9 orang (8 %). Hal ini sejalan
Pasien dengan lama rawat yang sangat singkat sering terjadi pada laki-laki dengan
umur yang sama dan mempunyai berbagai penyakit penyerta, sedangkan Pasien
kematian hingga 50% dibandingkan lama rawat 1-2 hari. Hal ini juga diperkuat oleh
penelitian Jang et al (2020), bahwa pasien yang menjalani lama rawat sangat
pendek dikaitkan dengan angka kematian 30 hari yang lebih tinggi dibandingkan
dengan lama rawat yang lebih panjang atau setidaknya lama rawat minimal 3 hari
di rumah sakit.
dominan yang berhubungan dengan kejadian henti jantung pada pasien IMA. Hal
tersebut dapat diketahui dari hasil analisis regresi logistik yang memperoleh hasil
kelas killip 4 merupakan yang terbanyak mengalami henti jantung yaitu sebanyak
12 orang (54.5 %), diikuti oleh responden dengan kelas kiliip 3 yaitu sebanyak 9
orang (39.1 %). Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh positif kelas killip
terhadap kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut, artinya bahwa
semakin tinggi kelas killip seseorang maka akan semakin tinggi pula resiko
(2014) menyatakan prognosis yang sangat baik terlihat pada pasien dengan kelas
resiko henti jantung terjadi pada pasien dengan kelas killip >2. Hal ini dapat
dijelaskan karena tingkat keparahan yang lebih tinggi dan infark yang lebih luas.
Hasil penelitian ini juga didukung penelitian berikutnya oleh Taguchi et al (2017)
mengenai dampak klasifikasi killip pada infark miokard yang membuktikan bahwa
47
pasien dengan killip kelas 4 saat masuk rumah sakit beresiko 16 kali lipat
sistolik, tekanan diastolik, lama rawat dan kelas killip dengan kejadian henti
jantung pada pasien infark miokard akut. Namun tidak terdapat hubungan faktor
lainnya yaitu jenis kelamin, heart rate, gambaran EKG, enzim troponin dan jumlah
penyakit komorbid dengan kejadian henti jantung. Hasil ini dapat memberikan
terkait faktor prediktor kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor paling dominan sebagai prediktor
henti jantung adalah kelas killip. Hal ini dapat menjadi landasan bagi peneliti
berhubungan dengan prediktor henti jantung pada pasien infark miokard akut.
mengarah kepada kejadian henti jantung pada pasien infark miokard akut,
rawat dan kelas killip. Dengan adanya faktor ini maka dapat menjadi perhatian
keperawatan dan kerjasama tim yang tepat dan cepat serta melakukan tindakan-
mengetahui kondisi pasien secara langsung. Seluruh data yang diperoleh dalam
penelitian ini merupakan data awal saat pasien masuk rumah sakit. Peneliti tidak
hari-hari berikutnya yang mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu,
49
BAB VII
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dapat diperoleh kesimpulan bahwa :
7.1.1 Semakin tinggi usia maka semakin tinggi resiko henti jantung pada pasien
7.1.2 Tidak Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian henti jantung
7.1.3 Ada hubungan negative antara tekanan darah sistolik dengan kejadian henti
7.1.4 Ada hubungan negative antara tekanan darah diastolik dengan kejadian
henti jantung pada pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota Singkawang.
7.1.5 Tidak ada hubungan antara heart rate dengan kejadian henti jantung pada
7.1.6 Tidak ada hubungan antara jumlah penyakit komorbid dengan kejadian henti
7.1.7 Ada hubungan positif antara lama rawat dengan kejadian henti jantung pada
7.1.8 Tidak ada hubungan antara gambaran EKG dengan kejadian henti jantung
7.1.9 Tidak terdapat hubungan antara kadar enzim troponin jantung (cTnT) dengan
kejadian henti jantung pada pasien Infark Miokard Akut (IMA) di Kota
Singkawang.
7.1.10 Ada hubungan positif antara kelas Killip dengan kejadian henti jantung pada
pasien infark miokard akut adalah kelas killip. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi kelas Killip maka semakin tinggi pula resiko kejadian henti
jantung pada pasien infark miokard aku (IMA). Peningkatan resiko henti
7.2 Saran
Sebagian besar pasien henti jantung menjalani masa rawat yang sangat
singkat dan masuk rumah sakit dengan kondisi yang sulit diresusitasi, oleh sebab
miokard akut sering datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah parah.
sakit dalam kondisi yang sudah stabil sehingga angka kejadian henti jantung dapat
ditekan.
perburukan pasien IMA seperti penurunan tekanan sistolik dan diastolik serta
peningkatan klasifikasi killip pada usia lanjut yang mengarah pada terjadinya henti
jantung. Oleh sebab itu, perlu adanya indentifikasi awal dan kerjasama interdisiplin
Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya dalam
agama, keyakinan, dan pola makan. Oleh sebab itu, menarik untuk dilakukan
51
penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan tempat penelitian yang
lebih luas.
52
DAFTAR PUSTAKA
Ainiyah, Nur. (2015). peran perawat dalam identifikasi dini dan penatalaksanaan
pada Acute Coronary Syndrome. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Vol. 8, No. 2. hal
184-192.
Alhamid, A.Z; Yulidia, H; Supriatna, I.I. (2021). Simple Risk Stratification based on
Killip Classification and the Six-minute Walk Test Borg Scale for Outcomes of
Acute Coronary Syndrome for Papuanese People in Rural Hospital.
Cardiovascular Cardiometabolic Journal. Vol 3: 91-96.
American Heart Association. (2015). Scientific Position Risk Faktors & Coronary
Heart Disease. AHA Scientific Position.
Andersen L.W, Holmberg M.J, Berg K.M, Donnino M.W, Granfeldt. A. (2019). In-
Hospital Cardiac Arrest: A Review. JAMA. 321(12) : 1200-1210.
doi:10.1001/jama.2019.1696.
Attin, Mina; Feld, Gregory; Lemus, Hector; Najarian, Kayvan; Shandilya, Sharad;
Wang, Lu; Sabouriazad, Pouya; Lin, Chii-Dean. (2015). Electrocardiogram
characteristics prior to in-hospital cardiac arrest. J Clin Monit Comput (2015)
29:385–392.
Attin M, Tucker R.G, Carey M.G. (2016). In-Hospital Cardiac Arrest An Update on
Pulseless Electrical Activity and Asystole. Crit Care Nurs Clin N Am 28
(2016) 387–397. http://dx.doi.org/10.1016/j.cnc.2016.04.010
53
Baechli C, Koch D, Bernet S, Gut L, Wagner U, Mueller B, Schuetz P, Kutz A.
(2020). Association of comorbidities with clinical outcomes in patients after
acute myocardial infarction. IJC Heart & Vasculature 29 (2020) 100558.
Cameron, P., Brown, A., & Little, M. (2015). Textbook of Adult Emergency Medicine
(4th ed.). London: Churchill Livingstone Elsevier.
Canty JM, Jr., Duncker DJ. (2015). Coronary Blood Flow and Myocardial Ischemia.
Dalam: Mann DL. Zipes DP, Libby P editor. Braundwald’s Heart Disease. ed
10. Philadelphia: Elsevier; 2015;1029-55.
Canto J.G; Rogers W.J; Goldberg R.J; Peterson E.D; Wenger N.K; Vaccarino.V et
al. (2012). Association of Age and Sex With Myocardial Infarction Symptom
Presentation and In-Hospital Mortality. JAMA. 22; 307 (8): 813–822. doi:
10.1001/jama.2012.199.
Ceyssens, J. (2016). EKG PA Class 2017. SlideShare: Art & Photos. Available at:
https://www.slideshare.net/JanCeyssens/ekg-pa-class-2017.
Cui L.P, Lie L.L, Liu A.Q, et al. (2018). Clinical analysis for the death of 127 patients
with acute myocardial infarction and nursing strategies. Biomedical Research
2018; 29 (13): 2697-2702.
Custodis, F; Christian Reil, J; Laufs, U; Böhm, M. (2013). Heart rate: A global target
for cardiovascular disease and therapy along the cardiovascular disease
continuum. Journal of Cardiology 62 (2013) 183–187.
De Mello, B.H.G; Oliveira, G.B.F; Ramos, R.F et al. (2014). Validation of the Killip–
Kimball Classification and Late Mortality after Acute Myocardial Infarction. Arq
Bras Cardiol. 103(2):107-117).
54
Dharmawan M, Hidayat W.L, Tiluata L.J. (2019). Profil Infark Miokard Akut dengan
Kenaikan SegmenST Di ICCU RSUD Prof W. Z. Johannes Kupang, Nusa
Tenggara Timur, Januari-April 2018. CDK-281/ vol. 46 no. 12 th. 2019
Docherty K.F et al. (2020). Predictors of sudden cardiac death in high-risk patients
following a myocardial infarction. European Journal of Heart Failure, 22(5),
pp. 848-855. (doi: 10.1002/ejhf.1694) (PMID:31944496)
Duksta, Cheryl & Younker, Jacquelyn. (2012). Stemi Alert! Rapid Response To
Acute Myocardial Infarction. Lakeway, Texas : National Center of Continuing
Education, Inc.
Eggers K.M. (2015). Defining acute myocardial infarction. Heart Metab. (2015)
67:34-38.
Elayi C.S, Charnigo R.J, Heron P.M, Lee B.K, Olgin J.E. (2017). Primary
Prevention of Sudden Cardiac Death Early Post-Myocardial Infarction, Root
Cause Analysis for Implantabel Cardioverter–Defibrillator Failure and
Currently Available Options. Circ Arrhythm Electrophysiol.
2017;10:e005194. DOI: 10.1161/CIRCEP.117.005194
Fang, S.C; Wu, Y.L; and Tsai, P.S. (2020). Heart Rate Variability and Risk of All-
Cause Death and Cardiovascular Events in Patients With Cardiovascular
Disease: A Meta-Analysis of Cohort Studies. Biological Research for Nursing.
Vol. 22(1) 45-56.
Flint, Alexander C; Conell, Carol; Ren, Xiushui; Banki, Nader M; Chan, Sheila L;
Rao, Vivek A;. Melles, Ronald B; and Bhatt, Deepak L. (2019). Effect of
Systolic and Diastolik Blood Pressure on Cardiovascular Outcome. The new
england journal of medicine. 381: 243-51. DOI: 10.1056/NEJMoa1803180.
Han K.W, Chen S.Y, Weng Y.M, Ng C.J, Chiu T.F, Hsieh I.C, Chen J.C. (2017).
Validation of different score systems in predicting cardiac arrest occurrence
55
of ST-elevation myocardial infarction. Hong Kong Journal of Emergency
Medicine 2017, Vol. 24(5): 224–229
Haryuni, Sri; Yunalia E.M; Yusuf, Anita. (2019). Hubungan tekanan darah sistolik
dengan kejadian mortalitas pasien STEMI di RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar.
NSJ. Volume 3 Nomor 2.
Humphreys M & Warlow C. (2011). Nursing the Cardiac Patient, First Edition.
Hoboken : Blackwell Publishing Ltd.
Irmalita, Juzar DA, Andrianto, Setianto BL, Tobing D, Firman D et al. (2015).
Pedoman tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI, pp:43-72.
Jang, S.J; Yeo, I; Feldman, D.N. et al. (2020). Associations Between Hospital
Length of Stay, 30-Day Readmission, and Costs in ST-Segment–Elevation
Myocardial Infarction After Primary Percutaneous Coronary Intervention: A
Nationwide Readmissions Database Analysis. J Am Heart Assoc. 9:e015503.
DOI: 10.1161/JAHA.119.015503.
JS, Katus H, Jaffe AS. (2012). Study Group on Biomarkers in Cardiology of the
ESC Working Group on Acute Cardiac Care. How to use high-sensitivity
cardiac troponins in acute cardiac care. Eur Heart J. 2012;33:2252–2257.
Kontos MC, Fordyce CB, Chen AY, et al. (2019). Association of acute myocardial
infarction cardiac arrest patient volume and in-hospital mortality in the United
States: Insights from the National Cardiovascular Data Registry Acute
Coronary Treatment And Intervention Outcomes Network Registry. Clin
Cardiol. 2019;42:352–357. https://doi.org/10. 1002/clc.23146.
56
Lepojarvi ES, Huikuri HV, Piira O-P, Kiviniemi AM, Miettinen JA, Kentta T, et al.
(2018) Biomarkersas predictors of sudden cardiac death in coronary artery
disease patients with preserved left ventricular function (ARTEMIS study).
PLoS ONE 13(9):e0203363.https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0203363
Liu SC, Xia L, Zhang J, Lu XH, Hu DK, Zhang HT et al. (2015). Gout and Risk of
Myocardial Infarction: A Systematic Review and Meta-Analysis of Cohort
Studies. PLoS One ; 10:e0134088.
McManus, D.D; Aslam, F; Goyal, P; Goldberg, R.J; Huang, W; and Gore, J.M.
(2012). Incidence, prognosis, and faktors associated with cardiac arrest in
patients hospitalized with acute coronary syndromes (the Global Registry of
Acute Coronary Events Registry). Coron Artery Dis. 23(2): 105–112.
doi:10.1097/MCA.0b013e32834f1b3c.
Mechanic OJ, Grossman SA. (2020). Acute Myocardial Infarction. [Updated 2020
Aug 11]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2020 Jan-.
Mostofsky E, Maclure M, Sherwood JB, Tofler GH, Muller JE, Mittleman MA.
(2012). Risk of acute myocardial infarction after the death of a significant
person in one's life: the Determinants of Myocardial Infarction Onset Study.
Circulation 2012;125:491–6.
Mostofsky E, Van der Bom JG, Mukamal KJ, Maclure M, Tofler GH, Muller JE, et
al. (2015). Risk of myocardial infarction immediately after alcohol
consumption. Epidemiology. 2015;26:143–50.
Muhammad, G.R & Ardhianto, Pipin. (2015). Profil Faktor Risiko Atherosklerosis
Pada Kejadian Infark Miokard Akut Dengan ST-Segment Elevasi Di RSUP dr.
Kariadi Semarang. Media Medika Muda. Volume 4, Nomor 4 : 849-858.
Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C.
W., & McNally, B. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support:
57
2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122(18 Suppl
3), S729-67. https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.110.970988.
Nguyen HL, Nguyen QN, Ha DA, Phan DT, Nguyen NH, et al. (2014). Prevalence
of Comorbidities and Their Impact on Hospital Management and Short Term
Outcomes in Vietnamese Patients Hospitalized with a First Acute Myocardial
Infarction. PLoS ONE 9(10): e108998. doi:10.1371/journal.pone.010.
Patel K, Hipskind JE. (2020). Cardiac Arrest. [Updated 2020 Nov 18]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
Patil K.D, Halperin H.R, Becker L.B. (2015). Cardiac Arrest: Resuscitation and
Reperfusion. Circulation Research. DOI: 10.1161/CIRCRESAHA.116.304495
Priori, Silvia G et al. (2015). 2015 ESC Guidelines for the management of patients
with ventricular arrhythmias and the prevention of sudden cardiac death.
European Heart Journal (2015) 36, 2793–2867.
Putri R.N, Suryanti, Lestari S. (2018). Gambaran Serum Elektrolit Pada Pasien
Acute Miokard Infark (AMI) di Ruang Intensive Cardiovaskuler Care Unit
(ICVCU) RSUD Dr. Moewardi di Surakarta. Jurnal Keperawatan Global.
Volume 3. No 2. 58-131.
Qazi, A.H; Kennedy, K; Bradley, S.M; and Chan, P.S. (2017). Impact of Timing of
Cardiac Arrest During Hospitalization on Survival Outcomes and Subsequent
58
Length of Stay. Resuscitation. 121: 117–122.
doi:10.1016/j.resuscitation.2017.10.003.
Rathore et al., (2018). Risk Faktors for Acute Myocardial Infarction / doi:
10.14744/ejmi.2018.76486.
Saczynski, J.S; Lessard, D; Spencer, F.A; Gurwitz, J.H; Gore, J.M; Yarzebski, J.
(2010). Declining Length of Stay for Patients Hospitalized with AMI: Impact on
Mortality and Readmissions. Am J Med. 123(11): 1007–1015.
doi:10.1016/j.amjmed.2010.05.018.
Siagian, L.A. (2018). Tatalaksana Takikardia Ventrikel. CDK-268/ vol. 45 no. 9 th.
2.
Smilowitz, N.R; Mahajan, A.M; Roe, M.T, et al. (2017). Mortality of Myocardial
Infarction by Sex, Age, and Obstructive Coronary Artery Disease Status in the
ACTION Registry–GWTG (Acute Coronary Treatment and Intervention
Outcomes Network Registry–Get With the Guidelines). Circ Cardiovasc Qual
Outcomes. 10:e003443. DOI: 10.1161/CIRCOUTCOMES.116.003443.
59
Postdischarge Outcomes, A Community-Wide Perspective. Arch Intern Med.
164:733-740.
Sudoyo, A., Setiyohadi, B., Alwi, I., K, M. S., & Setiati, S. (2015). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (V). Jakarta: Bukupedia.
Susilo, Cipto. (2015). Identifikasi Faktor Usia, jenis Kelamin Dengan Luas infark
Miokard Pada Penyakit Jantung Koroner (PJK) di Ruang ICCU RSD dr.
Soebandi Jember. The Indonesian Journal Of Health Science. Vol 6, No 1.
Takahashi, M.; Kondo, Y.; Senoo, K.; Fujimoto, Y.; Kobayashi, Y. (2018). Incidence
and prognosis of cardiopulmonary arrest due to acute myocardial infarction in
85 consecutive patients. Journal of Cardiology 72 (2018) 343–349.
Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Chaitman BR, Bax JJ, Morrow DA, White HD.
(2018). The Executive Group on behalf of the Joint European Society of
Cardiology (ESC)/American College of Cardiology (ACC)/American Heart
Association (AHA)/World Heart Federation (WHF) Task Force for the
Universal Definition of Myocardial Infarction. Fourth universal definition of
myocardial infarction (2018). Circulation ;138:e618–e651. DOI:
10.1161/CIR.0000000000000617.
Widiyaningsih & Kusyati. (2019). Hemodinamik Pasien Akut Miokard Infark (IMA)
Di Ruang Perawatan Kritis. Journal of Holistic Nursing Science. Vol. 6 No.
1 (2019) pp. 22-27. p-ISSN: 2579-8472. e-ISSN: 2579-7751.
60
Yang, H.Y; Ahn, M.J; Jeong, M.H; Ahn, Y; Kim, Y.J; Cho, M.C; Kim C.J. (2018).
Predictors of In-Hospital Mortality in Korean Patients with Acute Myocardial
Infarction. Chonnam Medical Journal. 55:40-46.
Yoon, H.J; Kim, K.H; Kim, J.Y et al. (2015). Impaired Diastolik Recovery after
Acute Myocardial Infarction as a Predictor of Adverse Events. Journal of
Cardiovascular Ultrasound. 23(3):150-157.
Yuniadi, Y. (2017). Mengatasi Aritmia, Mencegah Kematian Mendadak. eJKI. Vol
5 (3). DOI: 10.23886.
Zaman S & Kovoor P. (2014). Sudden Cardiac Death Early After Myocardial
Infarction Pathogenesis, Risk Stratification, and Primary Prevention.
Circulation. 2014; 129 : 2426 - 2435. DOI : 10. 1161/ CIRCULATIONAHA.
113.007497
61
LAMPIRAN 1 Permohonan Studi Pendahuluan
62
LAMPIRAN 2 Permohonan Izin Penelitian
63
LAMPIRAN 3 Surat Laik Etik
64
LEMBAR KONSULTASI TESIS
Nama : Suhendra
NIM : 196070300111036
Program Studi : Magister Keperawatan
Peminatan : Keperawatan Gawat Darurat
Judul Tesis : Faktor Prediktor Kejadian Henti
Jantung Pada pasien Infark
Miokard Akut di Kota Singkawang
Ketua komisi Pembimbing : Prof. Dr. dr. Teguh Wahju Sardjono,
DTM&H., M.Sc., Sp. Par. K
Anggota komisi Pembimbing: Dr. Ns. Laily Yuliatun S.Kep., M.Kep
65
bab yang
harus
disederhanaka
n seperti :
gambaran
tempat
penelitian,
tabel crosstab
setiap variabel
dihilangkan
dan dirangkum
dalam 1 tabel,
tambahkan
peta lokasi
penelitian
beserta
referensinya.
3. Tambahkan
analisis
multivariat
27/06/2 Prof. Dr. dr. Via chat WA 1. Secara umum
1 Teguh 1. Melanjutkan sudah baik,
Wahju konsultasi BAB namun
Sardjono, V berdasarkan terdapat
DTM&H., masukan beberapa
M.Sc., Sp. sebelumnya koreksi
Par. K terutama
redaksi dan
pengulangan
kata.
2. Usul
pembimbing,
tabel
disederhanaka
n dengan
contoh
terlampir
3. Sebelum lanjut
SHP
sebaiknya ada
pertemuan
diskusi daring
Bersama
pembimbing 2
06/07/2 Prof. Dr. dr. Konsultasi Zoom 1. Judu gambar
1 Teguh diletakkan
Wahju 1. Revisi BAB V pada bagian
Sardjono, bawah
DTM&H., 2. Susun
M.Sc., Sp. pembahasan
Par. K berdasarkan
hasil
penelitian
dengan setiap
Alinea terdiri
66
dari main
sentence,
supportive
sentence dan
conclussion
17/07/2 Prof. Dr. dr. Konsultasi via 1. Pada
1 Teguh zoom pembahasan
Wahju 1. Revisi BAB V dijabarkan
Sardjono, fakta penelitian
DTM&H., terlebih dahulu
M.Sc., Sp. beserta teori
Par. K pendukung
2. Bahasa hasil
penelitian
berdasarkan
hasil analisis
data.
Masukkan
teori-teori yang
pro dan kontra
terhadap hasil
tersebut.
3. Lakukan revisi
secepatnya
4. Sudah boleh
ujian hasil
(SHP) dan
rencanakan
waktunya
18/07/2 Prof. Dr. dr. Konsultasi via Acc seminar hasil
1 Teguh pesan whats’ up penelitian.
Wahju 1. Menyampaikan
Sardjono, hasil revisi dari
DTM&H., bab v, vi dan vii
M.Sc., Sp.
Par. K
Nama : Suhendra
NIM : 196070300111036
67
Program Studi : Magister Keperawatan
Peminatan : Keperawatan Gawat Darurat
Judul Tesis : Faktor Prediktor Kejadian Henti
Jantung Pada pasien Infark
Miokard Akut di Kota Singkawang
Ketua komisi Pembimbing : Prof. Dr. dr. Teguh Wahju Sardjono,
DTM&H., M.Sc., Sp. Par. K
Anggota komisi Pembimbing: Dr. Ns. Laily Yuliatun S.Kep., M.Kep
68
square.
2. Alternatif uji
multivariat
menggunaka
n analisis
regresi linier
atau logistik
25/05/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Disarankan
1 Laily 2. Konsultasi untuk
Yuliatun keseluruhan menggunaka
S.Kep., bab V n uji analisis
M.Kep regresi
logistik pada
analisis
multivariat
2. Revisi
redaksi dan
kata-kata
3. Hapus uji
yang tidak
perlu seperti
uji hosmer
dll
4. Lanjutkan
Menyusun
pembahasan
20/06/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Jelaskan
1 Laily 1. Konsultasi hasil
Yuliatun pembahasan penelitian
S.Kep., beserta teori
M.Kep yang pro dan
kontra
2. Tambahkan
implikasi
keperawatan
dan
keterbatasan
penelitian
3. Lanjutkan
bab VII
06/07/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Untuk bab V
1 Laily 2. Konsultasi bab (hasil) buat
Yuliatun v dan VI dan dengan
S.Kep., VII tampilan
M.Kep yang
sederhana,
tanpa opini
dan
tambahkan
diagram,
merujuk
pada saran
disen
pembimbing
1
69
2. Redaksi
agar
diperbaiki
sehingga
lebih mudah
dipahami
17/01/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. Sudah cukup
1 Laily 1. Konsultasi baik,
Yuliatun hasil revisi bab tambahkan
S.Kep., V,VI dan VII pembahasan
M.Kep berdasarkan
fakta hasil
penelitian,
sertakan
teori pro dan
kontra serta
fakta-fakta
lainnya yang
didapat
berdasarkan
hasil
penelitian
17/01/2 Dr. Ns. Zoom meeting 1. ACC SHP
1 Laily 1. Konsul terakhir
Yuliatun persiapan
S.Kep., SHP
M.Kep
70
Lembar Dokumentasi Rekam Medis
No Sistolik Diastolik HR Usia Jenis Gambaran Kadar Penyakit Lama Kelas Henti
Resp Kelamin EKG cTnT Komorbid rawat Killip Jantung
Ya Tidak