PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan anak didefinisikan oleh UNICEF sebagai “perkawinan formal atau
persatuan informal sebelum usia 18 ”dan telah terjadi di seluruh dunia. Pemaksaan
untuk menikah sebelum seseorang mampu memberi persetujuan adalah melanggar
hak asasi manusia dasar pada anak laki-laki maupun perempuan. Sebagian besar
remaja yang menikah adalah perempuan, dengan perkiraan bahwa 1 dari 3
perempuan di negara berkembang diperkirakan menikah sebelum usia 18 tahun.
Rata-rata secara global, hanya 5% pria yang menikah sebelum mereka ulang tahun
ke-19.
Diperkirakan 10 juta gadis menikah setiap tahun sebelum mereka mencapai
usia 18 tahun di negara berkembang, 1 dari 7 anak perempuan menikah sebelum
ulang tahunnya yang ke 15. Secara regional, 46% dari anak perempuan di bawah 18
tahun menikah di sub-Sahara Afrika, 21% di Karibia, dan 18% di Timur Tengah.
Sekitar 1 dari 3 gadis remaja di Asia Selatan sudah menikah. Diperkirakan 2,2 juta
perempuan dan anak perempuan di Indonesia, Eropa dan Eurasia menikah sebelum
usia 18. Studi menunjukkan bahwa 1 dari 9 anak perempuan, atau 15 juta, dipaksa
menikah antara usia dari 10 dan 14.
Menurut Hurlock (1980) awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga
belas tahun sampai enam belas atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja
bermulai dari usia enam belas tahun atau tujuh belas tahun sampai delapan belas
tahun. CEDAW terutama merekomendasikan umur individu harus di atas 18 tahun
sebelum melakukan pernikahan (UNICEF/United Nations found of Children
Emergency Federation, 2006). Remaja perempuan menjadi kelompok yang paling
terkena dampak. Setidaknya terdapat 51 juta remaja perempuan berumur 15 – 19
tahun yang telah menikah di seluruh dunia (Mathur, Greene, Malhotra dalam ICRW,
2012). Sekitar jutaan remaja perempuan, kebanyakan di area Asia Selatan dan
Afrika telah menjadi korban dari perkawinan. Data dari 40 Demographic and Health
Surveys di seluruh dunia menunjukkan bahwa kurang lebih 20-50% perempuan
menikah di bawah umur 18 tahun, dan hal ini sangat banyak ditemukan di Asia
Selatan dan Afrika (Singh dan Samara, 1996). Namun ironisnya, praktek pernikahan
usia dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini merefleksikan
perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan. Implementasi
Undang-undangpun seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta
tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat. Perkawinan pada
remaja menimbulkan dampak pada setiap aspek kehidupan. Dampak yang sering
terlihat adalah perubahan pada aspek sosial individu, aspek ekonomi, fisiologi dan
khususnya pada aspek psikologis perempuan.
Indonesia merupakan negara berkembang yang termasuk negara dengan
presentase pernikahan usia dini tinggi di dunia. Berdasarkan data BKKBN tahun
2012 keberadaan negara Indonesia yang berada dirangking 37 di dunia pada
angka pernikahan usia dini. Posisi ini merupakan yang tertinggi kedua di ASEAN
setelah Kamboja. Pernikahan usia dini merata tersebar di berbagai provinsi yang
ada di Indonesia (Widyawati, 2017). Banyak generasi muda Indonesia saat ini
masih rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi dan seksual, seperti
perkawinana dini remaja, pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual yang
rendah, kehamilan di usia remaja, pengetahuan kesehatan reproduksi dan
seksual rendah, kehamilan di usia muda (di bawah 20 tahun), kehamilan tidak
diinginkan, penyakit menular seksual seperti HIV dan AIDS, aborsi yang tidak
aman, hingga kekerasan berbasis gender. Pada tahun 2013, BKKBN mencatatat
rasio pernikahan dini di daerah pedesaan sebesar 67 per 1000 pernikahan
sedangkan di perkotaan sebesar 36 per 1000 pernikahan, parahnya lagi rata-
rata yang mengajukan permintaan dispensasi pihak laki-laki yang usianya
dibawah 19 tahun sedang pihak perempuan dibawah 16 tahun atau
bertentangan dengan aturan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal
7 Ayat 1, dan kebanyakan perempuannya sudah dalam keadaan hamil
(Susanto, 2018)
Berdasarkan hasil Susenas tahun 2013 prevalensi perkawinan usia anak
pada perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin sebesar 24%. Pada
tahun 2015 prevalensinya turun menjadi 23%. Pada tahun 2016 prevalensi
perkawinan anak turun lagi menjadi 22,35%, berarti 1 dari 4 perempuan usia 20
– 24 tahun yang berstatus pernah kawin melakukan perkawinan pada usia anak.
Walaupun angka prevalensi perkawinan anak terus menurun, hal tersebut
tergolong sangat lambat. Pada tahun 2018, persentase kelompok usia 15-19
tahun sebesar 4,89% telah menikah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kondisi Global
Menurut Hurlock (1980) awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga
belas tahun sampai enam belas atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja
bermulai dari usia enam belas tahun atau tujuh belas tahun sampai delapan
belas tahun. CEDAW terutama merekomendasikan umur individu harus di atas
18 tahun sebelum melakukan pernikahan (UNICEF/United Nations found of
Children Emergency Federation, 2006). Remaja perempuan menjadi kelompok
yang paling terkena dampak. Setidaknya terdapat 51 juta remaja perempuan
berumur 15 – 19 tahun yang telah menikah di seluruh dunia (Mathur, Greene,
Malhotra dalam ICRW, 2012). Sekitar jutaan remaja perempuan, kebanyakan di
area Asia Selatan dan Afrika telah menjadi korban dari perkawinan.
Data dari 40 Demographic and Health Surveys di seluruh dunia
menunjukkan bahwa kurang lebih 20-50% perempuan menikah di bawah umur
18 tahun, dan hal ini sangat banyak ditemukan di Asia Selatan dan Afrika (Singh
dan Samara, 1996). Namun ironisnya, praktek pernikahan usia dini masih
berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini merefleksikan perlindungan
hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan
2. Kondisi di Indonesia
Banyak generasi muda Indonesia saat ini masih rentan terhadap masalah
kesehatan reproduksi dan seksual, seperti perkawinana dini remaja,
pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual yang rendah, kehamilan di usia
remaja, pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual rendah, kehamilan di
usia muda (di bawah 20 tahun), kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular
seksual seperti HIV dan AIDS, aborsi yang tidak aman, hingga kekerasan
berbasis gender. Pada tahun 2013, BKKBN mencatatat rasio pernikahan dini di
daerah pedesaan sebesar 67 per 1000 pernikahan sedangkan di perkotaan
sebesar 36 per 1000 pernikahan, parahnya lagi rata-rata yang mengajukan
permintaan dispensasi pihak laki-laki yang usianya dibawah 19 tahun sedang
pihak perempuan dibawah 16 tahun atau bertentangan dengan aturan dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1, dan kebanyakan
perempuannya sudah dalam keadaan hamil (Susanto, 2018)
Berdasarkan hasil Susenas tahun 2013 prevalensi perkawinan usia anak
pada perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin sebesar 24%. Pada
tahun 2015 prevalensinya turun menjadi 23%. Pada tahun 2016 prevalensi
perkawinan anak turun lagi menjadi 22,35%, berarti 1 dari 4 perempuan usia 20
– 24 tahun yang berstatus pernah kawin melakukan perkawinan pada usia anak.
Walaupun angka prevalensi perkawinan anak terus menurun, hal tersebut
tergolong sangat lambat. Pada tahun 2018, persentase kelompok usia 15-19
tahun sebesar 4,89% telah menikah.
Perkawinan pada anak juga mencerminkan rendahnya status perempuan.
Studi yang dilakukan oleh UNICEF menyatakan bahwa perkawinan anak sering
terjadi pada perempuan yang memiliki pendidikan rendah dan rentan terhadap
tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal, seorang anak adalah
harapan terbesar orang tua, dan praktik perkawinan anak telah memadamkan
api harapan tersebut.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)
bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 telah
mengumpulkan informasi mengenai jenjang pendidikan yang ditempuh oleh
perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan
perkawinan di bawah atau di atas 18 tahun. Hasilnya cukup memprihatinkan,
sebesar 94,72% perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang
melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun atau usia anak tidak bersekolah
lagi, sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4,38%.
Perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan
perkawinan pada usia anak pun cenderung memiliki pendidikan yang lebih
rendah dibandingkan dengan mereka yang kawin di atas usia 18 tahun.
Perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang kawin pada usia
anak paling tinggi hanya menyelesaikan pendidikan dasar (SD) hingga Sekolah
Menengah Pertama (SMP), yakni sebesar 42,11%, dan yang menyelesaikan
jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya 11,54%. Sedangkan yang
melakukan perkawinan di atas usia 18 tahun mayoritas menyelesaikan
pendidikannya hingga ke jenjang SMA, yakni sebesar 45,89%. Karena menikah
pada usia anak, maka mereka tidak dapat lagi memperoleh hak atas pendidikan.
Padahal, selain bisa menjadi tangga bagi masyarakat untuk mengubah status
sosial mereka, pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk
kepribadian, mendapatkan pengalaman, dan membentuk generasi bangsa yang
cemerlang.
Selain itu, data SDKI tahun 2012, menunjukkan enam dari sepuluh
responden pria usia 15-24 tahun menyatakan bahwa mereka mempunyai
pasangan yang pernah menggugurkan kandungannya (termasuk aborsi
disengaja atau spontan) dan tiga dari sepuluh melanjutkan kehamilan mereka,
termasuk mencoba menggugurkan kandungan namun gagal. Bila dbandingkan
dengan Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007,
proporsi kehamilan yang tidak diinginkan berada di posisi yang sama. Remaja
berusia 15-19 tahun berisiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami komplikasi
selama kehamilan dan persalinan dan berujung pada kematian. Sementara itu,
risiko kematian perempuan berusia remaja di bawah 15 tahun, meningkat lima
kali lipat selama kehamilan dan persalinan dibandingkan dengan perempuan
berusia 20 tahun atau lebih tua.
3. Pengertian Perkawinan
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Kawin adalah status dari mereka yang terikat perkawinan pada saat
pencacahan, baik tinggal bersama maupun terpisah. Dalam hal ini yang dicakup
tidak saja mereka yang kawin sah secara hukum (adat, agama, negara, dan
sebagainya) tetapi juga mereka yang hidup bersama dan oleh masyarakat
sekelilingnya dianggap sebagai suami istri (BPS, 2018).
4. Pengertian Remaja
Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10 hingga 19
tahun. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 25 tahun 2014, remaja
adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun. Sementara itu, menurut
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), rentang usia
remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah.
Remaja merupakan proses seseorang mengalami perkembangan semua
aspek dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Peralihan masa kanak-
kanak menjadi dewasa sering disebut dengan masa pubertas. Pematangan
remaja bervariasi sesuai dengan perkembangan psikososial pada setiap
individu, misalnya bersikap tidak ingin bergantung pada orang tua, ingin
mengembangkan keterampilan secara interaktif dengan kelompoknya dan
mempunyai tanggung jawab pribadi dan sosial (Sarwono, 2011).
Kesehatan pada usia remaja merupakan salah satu aspek penting dalam
siklus kehidupan individu. Pada masa ini merupakan masa dimana individu
mulai belajar dan mempunyai kemampuan fungsional dan kesehatan. Secara
kesehatan, masa ini merupakan periode penting untuk kesehatan reproduksi
dan pembentukan awal perilaku hidup sehat. Kesehatan pada usia sekolah
menjadi penting karena adanya keterkaitan antara kesehatan dan fungsi
akademik karena periode ini merupakan periode belajar, pertumbuhan dan
perkembangan. Indikator kesehatan yang berkaitan dengan fungsi akademik
dapat dikategorikan dalam indikator sosial psikologikal dan fisik (WHO, 2015).
Masalah kesehatan usia remaja merupakan salah satu masalah penting
dalam siklus kehidupan. Masalah kesehatan di usia dewasa sebagian berkaitan
dengan perilaku kesehatan ataupun gaya hidup di usia muda termasuk di usia
remaja. Perilaku hidup sehat sejak usia dini merupakan salah satu upaya yang
cukup penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang produktif dan
berkualitas di masa yang akan datang. Beberapa perilaku berisiko pada usia
remaja diantaranya adalah kebiasaan merokok, gizi tidak seimbang, kurang
aktifitas fisik, hygiene dan sanitasi individu, depresi/stress, konsumsi obat-
obatan terlarang dan konsumsi minuman beralkohol. Gambaran permasalahan
perilaku berisiko kesehatan menjadi penting sebagai dasar dalam menetapkan
prioritas dan arah intervensi yang harus dikembangkan serta untuk mencegah
terjadinya penyakit ataupun kematian premature pada usia yang lebih dewasa
(WHO, 2015).
Kesehatan reproduksi juga masih merupakan salah satu masalah kesehatan
di usia remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Suwandono, dkk di Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Bali, menunjukkan bahwa 65% orang tua remaja, 83.3% guru
sekolah, dan 77.3% remaja mempunyai pengetahuan yang kurang, dalam hal
perkembangan reproduksi remaja, perubahan psikologis dan emosional remaja,
penyakit menular seksual dan abortus(WHO, 2015).
5. Perkembangan Remaja
a. Perkembangan fisik
Perkembangan fisik pada remaja ditandai dengan tumbuhnya rambut di
tubuh seperti di ketiak dan sekitar alat kemaluan. Pada anak laki-laki tumbuhnya
kumis dan jenggot, dan suara membesar. Organ reproduksinya juga sudah
mencapai puncak kematangan yang ditandai dengan kemampuannya dalam
ejakulasi, dan sudah bisa menghasilkan sperma. Anak laki-laki mengalami
ejakulasi pertama kali saat tidur atau yang lebih sering dikenal dengan mimpi
basah (Sarwono, 2011).
Perkembangan fisik pada anak perempuan yaitu tumbuhnya payudara,
panggul yang membesar, dan suara yang berubah menjadi lembut. Pada anak
perempuan mengalami puncak kematangan reproduksi yang ditandai dengan
menstruasi pertama (menarche). Menstruasi merupakan tanda bahwa anak
perempuan sudah mampu memproduksi sel telur yang tidak dibuahi, sehingga
akan keluar bersama dengan darah menstruasi melalui vagina (Sarwono, 2011).
b. Perkembangan emosi
Pada remaja awal mulai ditandai dengan lima kebutuhan dasarnya yaitu :
fisik, rasa aman, afiliasi sosial, penghargaan, dan 13 perwujudan diri. Setiap
remaja juga masih menunjukkan reaksireaksi dan ekspresi emosinya yang
masih labil. Remaja awal masih belum terkendali dalam meluapkan ekspresinya
seperti pernyataan marah, gembira, dan sedih yang setiap saat dapat berubah-
ubah dalam waktu yang cepat (Potter & Perry, 2010).
c. Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif remaja dapat dilihat dari mereka dalam
menyelesaikan masalahnya yaitu dengan penyelesaian yang logis. Dalam
menyelesaikan masalah remaja juga dapat mencari solusi dan jalan keluarnya
secara efektif. Remaja juga mampu berpikir secara abstrak setiap
menyelesaikan masalah (Potter & Perry, 2010).
d. Perkembangan psikososial
Perkembangan psikososial pada remaja biasanya ditandai dengan
ketertarikannya remaja tersebut untuk bersosial pada teman sebayanya. Remaja
pada masa ini biasanya mengalami masalah pada teman dan memiliki
ketertarikan pada lawan jenisnya. Remaja sudah memiliki rasa solidaritas yang
tinggi dan memiliki rasa saling menghormati pada teman sebayanya maupun
orang yang lebih tua pada mereka. Pada masa ini remaja sudah mementingkan
penampilannya ketika bertemu seseorang yang sesama jenis ataupun lawan
jenisnya (Potter & Perry, 2010).
Kesimpulan
Saran
Aspek peraturan perundangan, kebijakan dan koordinasi
1. Mengembangkan kebijakan yang dapat memberikan perlindungan kepada
remaja yang mengalami kehamilan untuk dapat mengakses pelayanan dan
terhindar dari stigma serta diskriminasi.
2. Memaksimalkan fungsi koordinasi lintas sektoral dalam upaya menurunkan
angka kehamilan dan kelahiran bagi remaja serta perlindungan bagi remaja
yang mengalami kehamilan.
3. Kolaborasi dan kerjasama lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung kebutuhan remaja.
4. Mendorong media dan sektor swasta untuk mempromosikan upaya pencegahan
kehamilan dan kelahiran pada remaja.
5. Pembentukan tim kesehatan reproduksi remaja dilakukan pada tahap pra krisis
kesehatan, sehingga tim kesehatan reproduksi telah mendapatkan pelatihan
PPAM Kesehatan Reproduksi Remaja, dan memiliki kemampuan untuk
melakukan advokasi, sosialisasi, penyusunan kebijakan baik dalam tingkat
nasional maupun daerah, sehingga pada saat situasi krisis kesehatan terjadi,
tim kesehatan reproduksi remaja sudah siap dalam mengimplementasikan
PPAM Kesehatan Reproduksi Remaja.
This Toolkit supports evidence-based recommendations from the World Health Organization
and USAID that:
Women should delay their first pregnancy until at least age 18.
After a live birth, women should wait at least 24 months before attempting another
pregnancy in order to reduce the risk of adverse maternal, perinatal and infant
outcomes.
After a miscarriage or induced abortion, women should wait at least 6 months before
attempting another pregnancy to reduce risks of adverse maternal and
perinatal outcomes.
This Toolkit for policy makers, program managers, and service providers includes:
Key evidence on the health benefits of HTSP
International policy guidance from organizations such as the World Health
Organization (WHO), UNFPA, and USAID
Guidance and tools for advocating for HTSP
Health communication tools that support the promotion of HTSP
Training materials, counseling tools, and job aids for integrating HTSP counseling and
messaging into health services
Guidance and indicators for monitoring and evaluating HTSP efforts
Examples of country-specific recommendations and experiences with HTSP messaging
and programming
DAFTAR PUSTAKA
KPPA. 2018. Perkawinan Anak: Sebuah Ikatan Sakral Pemadam Api Harapan.
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1685/perkawinan-anak-
sebuah-ikatan-sakral-pemadam-api-harapan
Potter, P.A dan Perry, A.G. 2010. Fundamental Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Susanto, Bagus Aditya. 2018. Pengaruh Terhadap Tiga Ancaman Dasar Kesehatan
Reproduksi Remaja (Triad KRR) dalam Program Generasi Berencana (GenRe)
Terhadap Sikap Preventif Anggota Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja di
Kabupaten Trenggalek.
http://repository.unair.ac.id/69108/3/Jurnal_Fis.K.06%2018%20Sus%20p.pdf
https://www.bps.go.id/publication/download.html?
nrbvfeve=ODFlZGUyZDU2Njk4YzA3ZDUxMGY2OTgz&xzmn=aHR0cHM6Ly93d3cu
YnBzLmdvLmlkL3B1YmxpY2F0aW9uLzIwMTgvMTEvMjYvODFlZGUyZDU2Njk4Yz
A3ZDUxMGY2OTgzL3N0YXRpc3Rpay1rZXNlamFodGVyYWFuLXJha3lhdC0yMDE
4Lmh0bWw%3D&twoadfnoarfeauf=MjAyMC0wNS0wMyAwMjoxNzozOQ%3D%3D
https://ldfebui.org/wp-content/uploads/2017/08/BN-06-2017.pdf
https://www.bkkbn.go.id/po-content/uploads/
2018.03.10.Banjarmasin.MENCEGAH_PERKAWINAN_ANAK_MEL_PROG_KKBPK.pdf
http://www.bibalex.org/Search4Dev/files/352393/185344.pdf
https://www.popcouncil.org/uploads/pdfs/TABriefs/03_MarriedGirls.pdf
https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/media/documents/event/
Berard_WhereWorldsCollide.pdf