Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan anak didefinisikan oleh UNICEF sebagai “perkawinan formal atau
persatuan informal sebelum usia 18 ”dan telah terjadi di seluruh dunia. Pemaksaan
untuk menikah sebelum seseorang mampu memberi persetujuan adalah melanggar
hak asasi manusia dasar pada anak laki-laki maupun perempuan. Sebagian besar
remaja yang menikah adalah perempuan, dengan perkiraan bahwa 1 dari 3
perempuan di negara berkembang diperkirakan menikah sebelum usia 18 tahun.
Rata-rata secara global, hanya 5% pria yang menikah sebelum mereka ulang tahun
ke-19.
Diperkirakan 10 juta gadis menikah setiap tahun sebelum mereka mencapai
usia 18 tahun di negara berkembang, 1 dari 7 anak perempuan menikah sebelum
ulang tahunnya yang ke 15. Secara regional, 46% dari anak perempuan di bawah 18
tahun menikah di sub-Sahara Afrika, 21% di Karibia, dan 18% di Timur Tengah.
Sekitar 1 dari 3 gadis remaja di Asia Selatan sudah menikah. Diperkirakan 2,2 juta
perempuan dan anak perempuan di Indonesia, Eropa dan Eurasia menikah sebelum
usia 18. Studi menunjukkan bahwa 1 dari 9 anak perempuan, atau 15 juta, dipaksa
menikah antara usia dari 10 dan 14.
Menurut Hurlock (1980) awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga
belas tahun sampai enam belas atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja
bermulai dari usia enam belas tahun atau tujuh belas tahun sampai delapan belas
tahun. CEDAW terutama merekomendasikan umur individu harus di atas 18 tahun
sebelum melakukan pernikahan (UNICEF/United Nations found of Children
Emergency Federation, 2006). Remaja perempuan menjadi kelompok yang paling
terkena dampak. Setidaknya terdapat 51 juta remaja perempuan berumur 15 – 19
tahun yang telah menikah di seluruh dunia (Mathur, Greene, Malhotra dalam ICRW,
2012). Sekitar jutaan remaja perempuan, kebanyakan di area Asia Selatan dan
Afrika telah menjadi korban dari perkawinan. Data dari 40 Demographic and Health
Surveys di seluruh dunia menunjukkan bahwa kurang lebih 20-50% perempuan
menikah di bawah umur 18 tahun, dan hal ini sangat banyak ditemukan di Asia
Selatan dan Afrika (Singh dan Samara, 1996). Namun ironisnya, praktek pernikahan
usia dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini merefleksikan
perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan. Implementasi
Undang-undangpun seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta
tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat. Perkawinan pada
remaja menimbulkan dampak pada setiap aspek kehidupan. Dampak yang sering
terlihat adalah perubahan pada aspek sosial individu, aspek ekonomi, fisiologi dan
khususnya pada aspek psikologis perempuan.
Indonesia merupakan negara berkembang yang termasuk negara dengan
presentase pernikahan usia dini tinggi di dunia. Berdasarkan data BKKBN tahun
2012 keberadaan negara Indonesia yang berada dirangking 37 di dunia pada
angka pernikahan usia dini. Posisi ini merupakan yang tertinggi kedua di ASEAN
setelah Kamboja. Pernikahan usia dini merata tersebar di berbagai provinsi yang
ada di Indonesia (Widyawati, 2017). Banyak generasi muda Indonesia saat ini
masih rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi dan seksual, seperti
perkawinana dini remaja, pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual yang
rendah, kehamilan di usia remaja, pengetahuan kesehatan reproduksi dan
seksual rendah, kehamilan di usia muda (di bawah 20 tahun), kehamilan tidak
diinginkan, penyakit menular seksual seperti HIV dan AIDS, aborsi yang tidak
aman, hingga kekerasan berbasis gender. Pada tahun 2013, BKKBN mencatatat
rasio pernikahan dini di daerah pedesaan sebesar 67 per 1000 pernikahan
sedangkan di perkotaan sebesar 36 per 1000 pernikahan, parahnya lagi rata-
rata yang mengajukan permintaan dispensasi pihak laki-laki yang usianya
dibawah 19 tahun sedang pihak perempuan dibawah 16 tahun atau
bertentangan dengan aturan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal
7 Ayat 1, dan kebanyakan perempuannya sudah dalam keadaan hamil
(Susanto, 2018)
Berdasarkan hasil Susenas tahun 2013 prevalensi perkawinan usia anak
pada perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin sebesar 24%. Pada
tahun 2015 prevalensinya turun menjadi 23%. Pada tahun 2016 prevalensi
perkawinan anak turun lagi menjadi 22,35%, berarti 1 dari 4 perempuan usia 20
– 24 tahun yang berstatus pernah kawin melakukan perkawinan pada usia anak.
Walaupun angka prevalensi perkawinan anak terus menurun, hal tersebut
tergolong sangat lambat. Pada tahun 2018, persentase kelompok usia 15-19
tahun sebesar 4,89% telah menikah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Kondisi Global
Menurut Hurlock (1980) awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga
belas tahun sampai enam belas atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja
bermulai dari usia enam belas tahun atau tujuh belas tahun sampai delapan
belas tahun. CEDAW terutama merekomendasikan umur individu harus di atas
18 tahun sebelum melakukan pernikahan (UNICEF/United Nations found of
Children Emergency Federation, 2006). Remaja perempuan menjadi kelompok
yang paling terkena dampak. Setidaknya terdapat 51 juta remaja perempuan
berumur 15 – 19 tahun yang telah menikah di seluruh dunia (Mathur, Greene,
Malhotra dalam ICRW, 2012). Sekitar jutaan remaja perempuan, kebanyakan di
area Asia Selatan dan Afrika telah menjadi korban dari perkawinan.
Data dari 40 Demographic and Health Surveys di seluruh dunia
menunjukkan bahwa kurang lebih 20-50% perempuan menikah di bawah umur
18 tahun, dan hal ini sangat banyak ditemukan di Asia Selatan dan Afrika (Singh
dan Samara, 1996). Namun ironisnya, praktek pernikahan usia dini masih
berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini merefleksikan perlindungan
hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan

2. Kondisi di Indonesia

Banyak generasi muda Indonesia saat ini masih rentan terhadap masalah
kesehatan reproduksi dan seksual, seperti perkawinana dini remaja,
pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual yang rendah, kehamilan di usia
remaja, pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual rendah, kehamilan di
usia muda (di bawah 20 tahun), kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular
seksual seperti HIV dan AIDS, aborsi yang tidak aman, hingga kekerasan
berbasis gender. Pada tahun 2013, BKKBN mencatatat rasio pernikahan dini di
daerah pedesaan sebesar 67 per 1000 pernikahan sedangkan di perkotaan
sebesar 36 per 1000 pernikahan, parahnya lagi rata-rata yang mengajukan
permintaan dispensasi pihak laki-laki yang usianya dibawah 19 tahun sedang
pihak perempuan dibawah 16 tahun atau bertentangan dengan aturan dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1, dan kebanyakan
perempuannya sudah dalam keadaan hamil (Susanto, 2018)
Berdasarkan hasil Susenas tahun 2013 prevalensi perkawinan usia anak
pada perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin sebesar 24%. Pada
tahun 2015 prevalensinya turun menjadi 23%. Pada tahun 2016 prevalensi
perkawinan anak turun lagi menjadi 22,35%, berarti 1 dari 4 perempuan usia 20
– 24 tahun yang berstatus pernah kawin melakukan perkawinan pada usia anak.
Walaupun angka prevalensi perkawinan anak terus menurun, hal tersebut
tergolong sangat lambat. Pada tahun 2018, persentase kelompok usia 15-19
tahun sebesar 4,89% telah menikah.
Perkawinan pada anak juga mencerminkan rendahnya status perempuan.
Studi yang dilakukan oleh UNICEF menyatakan bahwa perkawinan anak sering
terjadi pada perempuan yang memiliki pendidikan rendah dan rentan terhadap
tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal, seorang anak adalah
harapan terbesar orang tua, dan praktik perkawinan anak telah memadamkan
api harapan tersebut.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)
bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 telah
mengumpulkan informasi mengenai jenjang pendidikan yang ditempuh oleh
perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan
perkawinan di bawah atau di atas 18 tahun. Hasilnya cukup memprihatinkan,
sebesar 94,72% perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang
melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun atau usia anak tidak bersekolah
lagi, sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4,38%.
Perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan
perkawinan pada usia anak pun cenderung memiliki pendidikan yang lebih
rendah dibandingkan dengan mereka yang kawin di atas usia 18 tahun.
Perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang kawin pada usia
anak paling tinggi hanya menyelesaikan pendidikan dasar (SD) hingga Sekolah
Menengah Pertama (SMP), yakni sebesar 42,11%, dan yang menyelesaikan
jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya 11,54%. Sedangkan yang
melakukan perkawinan di atas usia 18 tahun mayoritas menyelesaikan
pendidikannya hingga ke jenjang SMA, yakni sebesar 45,89%. Karena menikah
pada usia anak, maka mereka tidak dapat lagi memperoleh hak atas pendidikan.
Padahal, selain bisa menjadi tangga bagi masyarakat untuk mengubah status
sosial mereka, pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk
kepribadian, mendapatkan pengalaman, dan membentuk generasi bangsa yang
cemerlang.
Selain itu, data SDKI tahun 2012, menunjukkan enam dari sepuluh
responden pria usia 15-24 tahun menyatakan bahwa mereka mempunyai
pasangan yang pernah menggugurkan kandungannya (termasuk aborsi
disengaja atau spontan) dan tiga dari sepuluh melanjutkan kehamilan mereka,
termasuk mencoba menggugurkan kandungan namun gagal. Bila dbandingkan
dengan Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007,
proporsi kehamilan yang tidak diinginkan berada di posisi yang sama. Remaja
berusia 15-19 tahun berisiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami komplikasi
selama kehamilan dan persalinan dan berujung pada kematian. Sementara itu,
risiko kematian perempuan berusia remaja di bawah 15 tahun, meningkat lima
kali lipat selama kehamilan dan persalinan dibandingkan dengan perempuan
berusia 20 tahun atau lebih tua.

3. Pengertian Perkawinan
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Kawin adalah status dari mereka yang terikat perkawinan pada saat
pencacahan, baik tinggal bersama maupun terpisah. Dalam hal ini yang dicakup
tidak saja mereka yang kawin sah secara hukum (adat, agama, negara, dan
sebagainya) tetapi juga mereka yang hidup bersama dan oleh masyarakat
sekelilingnya dianggap sebagai suami istri (BPS, 2018).

4. Pengertian Remaja
Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10 hingga 19
tahun. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 25 tahun 2014, remaja
adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun. Sementara itu, menurut
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), rentang usia
remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah.
Remaja merupakan proses seseorang mengalami perkembangan semua
aspek dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Peralihan masa kanak-
kanak menjadi dewasa sering disebut dengan masa pubertas. Pematangan
remaja bervariasi sesuai dengan perkembangan psikososial pada setiap
individu, misalnya bersikap tidak ingin bergantung pada orang tua, ingin
mengembangkan keterampilan secara interaktif dengan kelompoknya dan
mempunyai tanggung jawab pribadi dan sosial (Sarwono, 2011).
Kesehatan pada usia remaja merupakan salah satu aspek penting dalam
siklus kehidupan individu. Pada masa ini merupakan masa dimana individu
mulai belajar dan mempunyai kemampuan fungsional dan kesehatan. Secara
kesehatan, masa ini merupakan periode penting untuk kesehatan reproduksi
dan pembentukan awal perilaku hidup sehat. Kesehatan pada usia sekolah
menjadi penting karena adanya keterkaitan antara kesehatan dan fungsi
akademik karena periode ini merupakan periode belajar, pertumbuhan dan
perkembangan. Indikator kesehatan yang berkaitan dengan fungsi akademik
dapat dikategorikan dalam indikator sosial psikologikal dan fisik (WHO, 2015).
Masalah kesehatan usia remaja merupakan salah satu masalah penting
dalam siklus kehidupan. Masalah kesehatan di usia dewasa sebagian berkaitan
dengan perilaku kesehatan ataupun gaya hidup di usia muda termasuk di usia
remaja. Perilaku hidup sehat sejak usia dini merupakan salah satu upaya yang
cukup penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang produktif dan
berkualitas di masa yang akan datang. Beberapa perilaku berisiko pada usia
remaja diantaranya adalah kebiasaan merokok, gizi tidak seimbang, kurang
aktifitas fisik, hygiene dan sanitasi individu, depresi/stress, konsumsi obat-
obatan terlarang dan konsumsi minuman beralkohol. Gambaran permasalahan
perilaku berisiko kesehatan menjadi penting sebagai dasar dalam menetapkan
prioritas dan arah intervensi yang harus dikembangkan serta untuk mencegah
terjadinya penyakit ataupun kematian premature pada usia yang lebih dewasa
(WHO, 2015).
Kesehatan reproduksi juga masih merupakan salah satu masalah kesehatan
di usia remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Suwandono, dkk di Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Bali, menunjukkan bahwa 65% orang tua remaja, 83.3% guru
sekolah, dan 77.3% remaja mempunyai pengetahuan yang kurang, dalam hal
perkembangan reproduksi remaja, perubahan psikologis dan emosional remaja,
penyakit menular seksual dan abortus(WHO, 2015).

5. Perkembangan Remaja
a. Perkembangan fisik
Perkembangan fisik pada remaja ditandai dengan tumbuhnya rambut di
tubuh seperti di ketiak dan sekitar alat kemaluan. Pada anak laki-laki tumbuhnya
kumis dan jenggot, dan suara membesar. Organ reproduksinya juga sudah
mencapai puncak kematangan yang ditandai dengan kemampuannya dalam
ejakulasi, dan sudah bisa menghasilkan sperma. Anak laki-laki mengalami
ejakulasi pertama kali saat tidur atau yang lebih sering dikenal dengan mimpi
basah (Sarwono, 2011).
Perkembangan fisik pada anak perempuan yaitu tumbuhnya payudara,
panggul yang membesar, dan suara yang berubah menjadi lembut. Pada anak
perempuan mengalami puncak kematangan reproduksi yang ditandai dengan
menstruasi pertama (menarche). Menstruasi merupakan tanda bahwa anak
perempuan sudah mampu memproduksi sel telur yang tidak dibuahi, sehingga
akan keluar bersama dengan darah menstruasi melalui vagina (Sarwono, 2011).

b. Perkembangan emosi
Pada remaja awal mulai ditandai dengan lima kebutuhan dasarnya yaitu :
fisik, rasa aman, afiliasi sosial, penghargaan, dan 13 perwujudan diri. Setiap
remaja juga masih menunjukkan reaksireaksi dan ekspresi emosinya yang
masih labil. Remaja awal masih belum terkendali dalam meluapkan ekspresinya
seperti pernyataan marah, gembira, dan sedih yang setiap saat dapat berubah-
ubah dalam waktu yang cepat (Potter & Perry, 2010).

c. Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif remaja dapat dilihat dari mereka dalam
menyelesaikan masalahnya yaitu dengan penyelesaian yang logis. Dalam
menyelesaikan masalah remaja juga dapat mencari solusi dan jalan keluarnya
secara efektif. Remaja juga mampu berpikir secara abstrak setiap
menyelesaikan masalah (Potter & Perry, 2010).

d. Perkembangan psikososial
Perkembangan psikososial pada remaja biasanya ditandai dengan
ketertarikannya remaja tersebut untuk bersosial pada teman sebayanya. Remaja
pada masa ini biasanya mengalami masalah pada teman dan memiliki
ketertarikan pada lawan jenisnya. Remaja sudah memiliki rasa solidaritas yang
tinggi dan memiliki rasa saling menghormati pada teman sebayanya maupun
orang yang lebih tua pada mereka. Pada masa ini remaja sudah mementingkan
penampilannya ketika bertemu seseorang yang sesama jenis ataupun lawan
jenisnya (Potter & Perry, 2010).

e. Perkembangan kesehatan reproduksi


Masa remaja juga dicirikan dengan banyaknya rasa ingin tahu pada diri
seseorang dalam berbagai hal, tidak terkecuali bidang seks. Seiring dengan
bertambahnya usia seseorang, organ reproduksipun mengalami perkembangan
dan pada akhirnya akan mengalami kematangan. Pada masa pubertas, hormon-
hormon yang mulai berfungsi selain menyebabkan perubahan fisik/tubuh juga
mempengaruhi dorongan seks remaja. Remaja mulai merasakan dengan jelas
meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan
dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Kematangan organ reproduksi dan perkembangan psikologis remaja yang mulai
menyukai lawan jenisnya serta arus media informasi baik elektronik maupun non
elektronik akan sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual individu remaja
tersebut.
Usia reproduksi sehat untuk wanita adalah antara 20 – 35 tahun. Faktor
yang mempengaruhinya ada bermacam-macam. Misalnya, sebelum wanita
berusia 20 tahun secara fisik kondisi organ reproduksi seperti rahim belum
cukup siap untuk memelihara hasil pembuahan dan pengembangan janin. Selain
itu, secara mental pada umur ini wanita belum cukup matang dan dewasa. Ibu
muda biasanya kemampuan perawatan pra-natal kurang baik karena rendahnya
pengetahuan dan rasa malu untuk datang memeriksakan diri ke pusat
pelayanan kesehatan.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan remaja

a. Faktor Orang tua/ Keluarga Faktor keluarga merupakan faktor adanya


perkawinan usia muda, dimana keluarga dan orang tua akan segera
menikahkan anaknya jika sudah menginjak masa dewasa. Hal ini merupakan
hal yang sudah biasa atau turun-temurun. Sebuah keluarga yang mempunyai
anak gadis tidak akan merasa tenang sebelum anak gadisnya menikah.
Orang tua akan merasa takut apabila anaknya akan melakukan ha-hal yang
tidak diinginkan yang akan mencemari nama baik keluarganya.

b. Faktor Ekonomi Pada beberapa wilayah, ketika kemiskinan benar-benar


menjadi permasalahan yang sangat mendesak, perempuan muda sering
dikatakan sebagai beban ekonomi keluarga. Oleh karenanya perkawinan usia
muda dianggap sebagai suatu solusi untuk mendapatkan mas kawin dari
pihak laki-laki untuk menganti seluruh biaya hidup yang telah dikeluarkan oleh
orangtuanya.

c. Tentunnya tingkat ekonomi keluarga juga sangat berpengaruh pada tingkat


pendidikan anggota keluarga. Rendahnya pendapatan ekonomi keluarga
akan memaksa si anak untuk putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan
kejenjang yang lebih tinggi lagi. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang, dengan pendidikan tinggi seseorang
akan lebih mudah menerima atau memilih suatu perubahan yang lebih baik.
Tingkat pendidikan menggambarkan tingkat kematangan kepribadian
seseorang dalam merespon lingkungan yang dapat mempengaruhi wawasan
berpikir atau merespon pengetahuan yang ada di sekitarnya.

d. Faktor Kemauan sendiri


Adanya perasaan saling cinta dan sudah merasa cocok. Dalam kondisinya
yang sudah memiliki pasangan dan pasangannya berkeinginan yang sama,
yaitu menikah di usia muda tanpa memikirkan apa masalah yang dihadapi ke
depan jikalau menikah di usia yang masih muda hanya karena berlandaskan
sudah saling mencintai, maka la pun melakukan pernikahannya pada usianya
yang masih muda.

e. Faktor Media Massa


Menurut Irawati, remaja sering kali melakukan berbagai macam perilaku
seksual beresiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari
berpegangan tangan, cium kering, cium basah, berpelukan, memegang atau
meraba bagian sensitif, petting, oral sex, dan bersenggama (sexual
intercourse). Perilaku seksual pranikah pada remaja ini pada akhirnya dapat
mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan remaja itu sendiri. Tidak
hanya itu saja banyaknya remaja yang melakukan sex pranikah dipengaruhi
oleh media massa dan elektronik. Banyaknya situs-situs yang mengungkap
secara fulgar (bebas) kehidupan seks atau gambar-gambar yang belum
sesuai untuk remaja yang dapat memberikan dampak kurang baik bagi
mereka karena pada saat usia remaja terjadi perubahan psikologis yang
mengakibatkan perubahan sikap dan tingkah laku seperti mulai
memperhatikan penampilan diri, mulai tertarik dengan lawan jenis, berusaha
menarik perhatian dan muncul perasaan cinta yang kemudian akan timbul
dorongan seksual.

f. Faktor Marriged By Acident


Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa terkadang pernikahan diusia
muda terjadi sebagai solusi untuk kehamilan yang terjadi diluar nikah.
Menurut Sarwono (2010) pernikahan diusia muda banyak terjadi pada masa
pubertas, hal ini terjadi karena remaja sangat rentan terhadap prilaku seksual
yang membuat mereka melakukan aktiivitas seksual sebelum menikah. Hal ini
juga terjadi karena adanya kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada
remaja, dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari.9 Akibat
terlalu bebasnya para remaja dalam berpacaran sampai kebabalasan,
sehingga para remaja sering melakukan sex pranikah dan akibat dari sex
pranikah tersebut adalah kehamilan, yang kemudian solusi yang diambil pihak
keluarga adalah dengan menikahkan mereka.

7. Penilaian Kebutuhan Kesehatan Reproduksi Remaja


Tujuan Pelaksanaan Penilaian Kebutuhan Kesehatan Reproduksi Remaja
adalah untuk mengetahui gambaran kebutuhan kesehatan reproduksi remaja pada
situasi krisis kesehatan, sehingga program kesehatan reproduksi remaja serta
fasilitas pelayanannya dapat memenuhi kebutuhan remaja.
1. Penilaian kebutuhan kesehatan reproduksi remaja
Informasi yang perlu dikumpulkan dan dilaporkan pada rapat koordinasi sub
klaster kesehatan reproduksi adalah sebagai berikut:
a. Data demografi remaja berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur
remaja, serta kelompok remaja yang rentan dalam situasi krisis kesehatan.
b. Prevalensi isu kesehatan reproduksi di kalangan remaja, termasuk kehamilan,
kematian ibu dan bayi baru lahir serta IMS, HIV/AIDS.
c. Kerentanan remaja dan praktek-praktek berbahaya, termasuk paparan
terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual, perdagangan orang, seks
komersial dan praktek-praktek tradisional seperti mutilasi genital (FGM)/ sunat
perempuan.
d. Sumber daya masyarakat yang bersifat protektif, seperti orang tua dan guru
yang mendukung serta programprogram remaja dengan jejaring ke orang
dewasa yang memiliki kepedulian terhadap remaja.
e. Layanan untuk remaja, termasuk layanan profesional dan tradisional. Setiap
alasan untuk kesenjangan dalam penyediaan dan akses terhadap layanan
harus teridentifikasi.
f. Persepsi terhadap kesehatan reproduksi remaja, persepsi remaja dan
masyarakat terhadap kebutuhan akan kesehatan reproduksi remaja dan
penyediaan layanan serta informasi kesehatan reproduksi untuk remaja.
g. Hambatan untuk mengakses layanan yang tersedia, termasuk
ketidakamanan, norma budaya, kurangnya kerahasiaan/privasi, dan
kurangnya petugas kesehatan yang berjenis kelamin sama.

2. Prinsip Penilaian Kebutuhan Kesehatan Reproduksi Remaja


Agar dapat berjalan dengan baik, akurat dan sesuai dengan etika penelitian,
proses penilaian kebutuhan perlu memperhatikan beberapa prinsip sebagai
berikut:
a. Persetujuan sebelum melaksanakan penilaian, koordinator penilaian
kebutuhan kesehatan reproduksi remaja perlu mendapatkan izin dari
Kementerian Kesehatan sub klaster kesehatan reproduksi sebagai
pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh masyarakat serta organisasi
mitra.
b. Keamanan petugas dan penduduk sebagai penerima manfaat harus menjadi
perhatian utama. Jika pelaksanaan penilaian dapat menempatkan peserta
atau tim pengkaji dalam situasi sulit dan berisiko seperti pada situasi konflik,
kerusuhan, dan lain-lain, maka penilaian tidak dilaksanakan atau akan
dilaksanakan ketika situasi sudah memungkinkan.
c. Rujukan Penilaian (atau bagian dari penilaian) tidak harus dilaksanakan jika
pelayanan rujukan yang sesuai tidak tersedia. Misalnya pertanyaan tentang
apakah peserta mendapatkan kekerasan seksual sebaiknya tidak ditanyakan
kecuali pelayanan medis dan psikologis tersedia bagi peserta sukarela yang
menyatakan bahwa dirinya merupakan penyintas kekerasan seksual.
d. Persetujuan berdasarkan informasi Setiap individu yang terlibat dalam
penilaian harus memberikan persetujuan berdasarkan informasi yang
diberikan. Peserta harus mendapat informasi lengkap tentang tujuan
penilaian, metode yang akan digunakan, sifat dari pertanyaan yang akan
ditanyakan, dan risiko serta manfaat partisipasinya
e. Partisipasi Partisipasi dari peserta dalam kegiatan penilaian inibersifat
sukarela. Setiap orang berhak untuk menolak berpartisipasi dalam penilaian
dan dapat memutuskan untuk menarik diri setiap saat. Seseorang juga dapat
memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tanpa tekanan dari pewawancara
untuk menjawab. Individu atau lembaga pelaksana penilaian memiliki
kewajiban untuk menghormati keinginan peserta yang memutuskan untuk
tidak berpartisipasi.
f. Privasi Pengumpulan data harus dilakukan dalam lingkungan dimana privasi
terjamin (baik visual maupun suara) serta dilakukan di tempat dimana remaja
merasa nyaman sehingga peserta lebih mungkin memberikan jawaban secara
bebas terhadap pertanyaan yang diajukan. Orang dewasa atau remaja yang
lebih tua tidak diperbolehkan berada di ruangan yang sama selama
wawancara. Jika peserta adalah pengasuh dari anak yang sangat muda, anak
tersebut diperbolehkan berada di ruangan selama wawancara, tetapi
sebaiknya ada pengaturan lain untuk menemani anak jika memungkinkan.
g. Kerahasiaan Tim penilaian memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan
peserta sebelum, selama, dan setelah penilaian. Anggota tim penilaian tidak
boleh membicarakan aspek apapun dari suatu penilaian, kecuali dengan
koordinator penilaian, jika klarifikasi diperlukan. Identitas peserta harus dijaga
dan tidak boleh dikaitkan dengan jawaban yang diberikannya. Jawaban
peserta tidak boleh dibicarakan dimanapun dengan siapa pun kecuali dengan
koordinator penilaian jika klarifikasi diperlukan. Jika kuesioner digunakan,
tidak boleh berisi informasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
peserta, dan harus disimpan di lemari terkunci; dan jika ada risiko bahwa
kuesioner dapat membahayakan peserta maupun petugas di masa depan,
maka kuesioner harus dimusnahkan ketika analisis data selesai dilakukan.
8.
BAB III
PEMBAHASAN

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana


Yembise tengah mendorong revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, terutama pasal yang mengatur batas usia perkawinan. Dalam undang-
undang tersebut menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika laki-laki
sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan sudah mencapai umur 16 tahun,
serta memenuhi syarat perkawinan. Menurut Menteri Yohana batas minimal usia
perkawinan tersebut justru mendorong praktik perkawinan anak. Sebaiknya batas
minimal perkawinan dinaikkan, terutama bagi perempuan, karena usia 16 tahun
masih tergolong usia anak atau belum dewasa.
Menurut BKKBN tahun 2018, perkawinan anak (usia <18 tahun) masih tinggi,
sekitar 1 dari 4 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Anak perempuan
yang menikah, 11 kali lebih cenderung melanjutkan sekolah dibandingkan anak
perempuan yang sekolah. Pernikahan pada remaja berisiko tinggi terhadap masalah
kesehatan reproduksi remaja. Kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai
seks edukasi mengakibatkan remaja akan menghadapi kehamilan yang berisiko baik
untuk dirinya maupun untuk calon bayi (UN, 2008). Beberapa masalah kehamilan
yang akan dihadapi remaja antara lain eklamsia, anemia, persalinan macet, infeksi
pada kehamilan (WHO & UNFPA, 2003), stress pada kehamilan dan keguguran
(BKKBN, 2018). Bayi dari ibu remaja, 50% lebih mungkin meninggal selama tahun
pertama kehidupan daripada yang lahir dari ibu berusia dua puluhan.
Pernikahan dini memiliki kompleks hubungan dengan perdagangan manusia.
Perdagangan manusia dan pernikahan paksa berpotongan saat pernikahan
digunakan baik dalam hubungannya dengan kekuatan, penipuan, paksaan, atau
penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagai sarana untuk tunduk kondisi perbudakan.
Anak-anak diperdagangkan untuk tujuan pernikahan paksa, memicu keuntungan
berdagang gadis di beberapa daerah. Pernikahan dini juga meningkatkan
kerentanan anak untuk diperdagangkan atau diperdagangkan kembali. Dalam
beberapa kasus, anak perempuan dan laki-laki dalam pernikahan anak dipaksa
menjadi pelacur atau pekerja eksploitatif situasi oleh pasangan atau keluarga
pasangan mereka, sementara dalam kasus-kasus lain anak-anak dapat menjadi
mangsa yang mudah bagi para pedagang ketika mereka berusaha untuk melarikan
diri dari rumah perkawinan mereka sebagai akibat dari pelecehan.
Berbagai permasalahan sosial juga menempatkan ibu usia remaja yang hamil
ke dalam kategori risiko tinggi diantaranya terpaksa berhenti sekolah atau
perempuan hamil yang belum menikah sering dijauhi oleh keluarga atau
masyarakat, sehingga menyembunyikan kehamilannya atau mencoba mengakhiri
kehamilan dengan cara yang tidak aman. Tanpa keluarga atau jaring pengaman
sosial dan dihadapkan pada beban ekonomi untuk menghidupi anaknya, para ibu
muda menjadi rentan terhadap eksploitasi seksual. Kekerasan dalam rumah tangga
(termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual) dapat mengancam kesejahteraan
remaja yang hamil dan anak dalam kandungannya, baik bagi yang sudah menikah
ataupun belum menikah. Keadaan ini akan menjadi lebih buruk pada situasi krisis
kesehatan, walaupun belum terdapat data statistik yang menggambarkan kondisi
pada situasi krisis kesehatan, namun tetap dibutuhkan perhatian khusus mengingat
pada situasi normal atau stabil, angka kehamilan remaja cukup tinggi sehingga pada
situasi krisis kesehatan risiko komplikasi yang terjadi akan lebih meningkat.
Program yang mendukung Kesehatan Reproduksi Remaja yang telah menikah

Permasalahan remaja yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi sering kali


berakar dari kurang tersedianya informasi yang memadai. Oleh karena itu, program
kesehatan reproduksi untuk remaja difokuskan pada penyebarluasan informasi
melalui berbabagai media maupun melalui system pendidikan formal dan informal.
Dengan informasi yang benar diharapkan remaja memiliki sikap dan perilaku
keseluruhan yang bertanggung jawab.

- Generasi Berencana (GenRe)


Dalam rangka mengatasi permasalahan pada remaja terutama dalam hal
kesehatan reproduksi remaja, pemerintah melalui BKKBN tahun 2012 membuat
program bernama Generasi Berencana (GenRe) untuk remaja. Program GenRe
ini dikembangkan dalam rangka penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja
sehingga mereka mampu melangsungkan jenjang pendidikan serta terencana,
berkarir dalam pekerjaan secara terencana, serta menikah dengan pennuh
perencanaan sesuai siklus kesehatan reproduksi. Sasaran program GenRe
adalah remaja usia 10-24 tahun dan belum menikah, keluarga yang memiliki
remaja, serta masyarakat yang peduli dengan remaja. Dalam mewujudkan
pelaksanaan program yang disasarkan kepada remaja, program GenRe memiliki
sarana promosi program sebagai pendekatan kepada remaja yakni Pusat
Informasi dan Konseling (PIK) Remaja dan Bina Keluarga Remaja (BKR). PIK
Remaja adalah sarana atau wadah yang dikelola dari, oleh dan untuk remaja
guna memberikan pelayana informasi dan konseling tentang kesehatan
reproduksi remaja serta kegiatan pemberdayaan remaja lainnya. PIK biasanya
dikembangkan melalui sekolah, kampus, komunitas remaja atau karang taruna
(Susanto, 2018).

- Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja/Mahasiswa


Salah satu topik informasi dalam program kesehatan reproduksi remaja
adalah keluarga berencana. Infromasi mengenai keluarga berencana diharapkan
dapat menjadi untuk memulai kehidupan reproduksi yang sehat, antara lain
dengan menunda perkawinan, menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, dan
mencegah terjadi infeksi menular seksual (IMS). Penundaan perkawinan dan
kelahiran pada usia dini memberikan kesempatan kepada remaja untuk bisa
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan memperoleh pekerjaan
yang baik.
Pilihan tempat informasi kesehatan reproduksi adalah Pusat Informasi dan
Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja/Mahasiswa (PIK-R/M) atau Pusat
Reproduksi Remaja – Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PKPR-
PIKER) yang dikelola oleh BKKBN, Puskesmas PKPR yang dikelola oleh
Kementrian Kesehatan, Youth Center dan lainnya.
Lebih dari separuh wanita dan pria menerima pelajaran tentang kesehatan
reproduksi manusia pertama kali di SLTP, masing-masing 59 persen dan 55
persen. Pengetahuan tentang KB tidak umum dibahas di sekolah. Hal ini terlihat
dari rendahknya presentase responden yang menjawab bahwa mereka
menerima pelajaran KB di sekolah. Secara umum, 12 persen wanita dan 11
ppersen pria pertama kali mendapat pelajaran tentang KB di SLTP. Pelajaran
tentang HIV/AIDS diterima pertamakasi di SLTP oleh 48 persen wanita dan 46
persen pria.

- Pembentukan tim kesehatan reproduksi remaja harus melibatkan berbagai


sektor terkait, seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, TNI/POLRI, dan organisasi
kemasyarakatan terkait khususnya lembaga/organisasi atau komunitas remaja
seperti Pramuka dengan Saka Bhakti Husada, PMR, Tagana, Kader Kesehatan
Remaja/ Konselor Sebaya, Pendidik Sebaya, dan komunitas lainnya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Generasi penerus bangsa ini seharusnya mendapatkan akses informasi dan


konsultasi terkait kesehatan reproduksi pada umumnya dan penggunaan
kontrasepsi pada khususnya sehingga dapat merencanakan kehamilannya dengan
baik. Hal ini sesuai dengan rekomendasi yang dihasilkan dari kegiatan Temu
Remaja Nasional yang diselenggarakan oleh BKKBN pada tahun 2017. Pertemuan
tersebut menitikberatkan pada pemberian informasi terkait kesehatan reproduksi
secara komprehensif sehingga remaja dapat mengambil keputusan dengan tepat
berdasarkan informasi yang tepat pula.
Menunda pernikahan dan melahirkan anak dapat meningkatkan kesehatan
seorang ibu dan anaknya. Risiko kekurangan gizi pada anak yang lahir dari ibu di
atas usia 18 lebih kecil. Peningkatan pemberian Nutrisi pada bayi dapat
meningkatlkan menyebabkan kemampuan kognitif, yang berkontribusi pada
peningkatan kualitas seumur hidup.

Saran
Aspek peraturan perundangan, kebijakan dan koordinasi
1. Mengembangkan kebijakan yang dapat memberikan perlindungan kepada
remaja yang mengalami kehamilan untuk dapat mengakses pelayanan dan
terhindar dari stigma serta diskriminasi.
2. Memaksimalkan fungsi koordinasi lintas sektoral dalam upaya menurunkan
angka kehamilan dan kelahiran bagi remaja serta perlindungan bagi remaja
yang mengalami kehamilan.
3. Kolaborasi dan kerjasama lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung kebutuhan remaja.
4. Mendorong media dan sektor swasta untuk mempromosikan upaya pencegahan
kehamilan dan kelahiran pada remaja.
5. Pembentukan tim kesehatan reproduksi remaja dilakukan pada tahap pra krisis
kesehatan, sehingga tim kesehatan reproduksi telah mendapatkan pelatihan
PPAM Kesehatan Reproduksi Remaja, dan memiliki kemampuan untuk
melakukan advokasi, sosialisasi, penyusunan kebijakan baik dalam tingkat
nasional maupun daerah, sehingga pada saat situasi krisis kesehatan terjadi,
tim kesehatan reproduksi remaja sudah siap dalam mengimplementasikan
PPAM Kesehatan Reproduksi Remaja.

Aspek Penjangkauan Remaja


1. Menjadikan pendidikan kesehatan reproduksi sebagai bahan ajar di sekolah.
2. Memberikan akses layanan informasi dan konseling pada remaja dalam upaya
penurunan angka kelahiran dan kehamilan seperti penggunaan kontasepsi,
ANC, persalinan yang aman dan IMS.
3. Mendorong kolaborasi pemerintah, LSM dan organisasi ramah remaja untuk
memfokuskan kegiatan remaja pada daerah-daerah yang belum terjangkau oleh
program kesehatan reproduksi.
4. Meningkatkan kesadaran publik terhadap kesehatan reproduksi remaja, hak
untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang optimal.
Healthy timing and spacing of pregnancy (HTSP) is an approach to family planning that helps
women and families delay, space, or limit their pregnancies to achieve the healthiest
outcomes for women, newborns, infants, and children. HTSP works within the context of
free and informed contraceptive choice and takes into account fertility intentions and
desired family size.

This Toolkit supports evidence-based recommendations from the World Health Organization
and USAID that:
 Women should delay their first pregnancy until at least age 18.
 After a live birth, women should wait at least 24 months before attempting another
pregnancy in order to reduce the risk of adverse maternal, perinatal and infant
outcomes.
 After a miscarriage or induced abortion, women should wait at least 6 months before
attempting another pregnancy to reduce risks of adverse maternal and
perinatal outcomes.
This Toolkit for policy makers, program managers, and service providers includes:
 Key evidence on the health benefits of HTSP
 International policy guidance from organizations such as the World Health
Organization (WHO), UNFPA, and USAID
 Guidance and tools for advocating for HTSP
 Health communication tools that support the promotion of HTSP
 Training materials, counseling tools, and job aids for integrating HTSP counseling and
messaging into health services
 Guidance and indicators for monitoring and evaluating HTSP efforts
 Examples of country-specific recommendations and experiences with HTSP messaging
and programming

DAFTAR PUSTAKA

KPPA. 2018. Perkawinan Anak: Sebuah Ikatan Sakral Pemadam Api Harapan.
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1685/perkawinan-anak-
sebuah-ikatan-sakral-pemadam-api-harapan
Potter, P.A dan Perry, A.G. 2010. Fundamental Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Susanto, Bagus Aditya. 2018. Pengaruh Terhadap Tiga Ancaman Dasar Kesehatan
Reproduksi Remaja (Triad KRR) dalam Program Generasi Berencana (GenRe)
Terhadap Sikap Preventif Anggota Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja di
Kabupaten Trenggalek.
http://repository.unair.ac.id/69108/3/Jurnal_Fis.K.06%2018%20Sus%20p.pdf

https://www.bps.go.id/publication/download.html?
nrbvfeve=ODFlZGUyZDU2Njk4YzA3ZDUxMGY2OTgz&xzmn=aHR0cHM6Ly93d3cu
YnBzLmdvLmlkL3B1YmxpY2F0aW9uLzIwMTgvMTEvMjYvODFlZGUyZDU2Njk4Yz
A3ZDUxMGY2OTgzL3N0YXRpc3Rpay1rZXNlamFodGVyYWFuLXJha3lhdC0yMDE
4Lmh0bWw%3D&twoadfnoarfeauf=MjAyMC0wNS0wMyAwMjoxNzozOQ%3D%3D
https://ldfebui.org/wp-content/uploads/2017/08/BN-06-2017.pdf

Olunloyo, Adeola O. 2009. 45th International Course in Health Development


September 22, 2008 – September 11, 2009. Nigeria. KIT (Royal Tropical institute),
Vrije Universiteit Amsterdam

https://www.bkkbn.go.id/po-content/uploads/
2018.03.10.Banjarmasin.MENCEGAH_PERKAWINAN_ANAK_MEL_PROG_KKBPK.pdf

http://www.bibalex.org/Search4Dev/files/352393/185344.pdf

https://www.popcouncil.org/uploads/pdfs/TABriefs/03_MarriedGirls.pdf

https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/media/documents/event/
Berard_WhereWorldsCollide.pdf

Anda mungkin juga menyukai