SEMESTER 6
MARET 2024
KATA PENGANTAR
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu kami menyelesaikan makalah ini, kepada:
1. Prof. Dr. H. Abd. Aziz, M.Pd.I. selaku Rektor UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung yang telah memberikan kesempatan
kepada kita untuk menimba ilmu di UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung.
2. Dr. Binti Nur Asiyah, M.Si. selaku Koordinator Program Studi
Ekonomi Syariah yang selalu memberi semangat dan motivasi kepada
kami.
3. Yunesia Pramesthi, M.Pd. selaku Dosen Pengampu mata kuliah
Ekonomi Kelembagaan.
4. Semua teman-teman ES – 6D.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa kemampuan
dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 28
B. Saran ..................................................................................................................... 29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana akar dan definisi modal sosial?
2. Bagaimana modal sosial: empat perspektif?
3. Bagaimana modal sosial: implikasi negatif?
4. Bagaimana modal sosial dan pembangunan ekonomi?
1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui akar dan definisi modal sosial.
2. Untuk mengetahui modal sosial: empat perspektif.
3. Untuk mengetahui modal sosial: implikasi negatif.
4. Untuk mengetahui modal sosial dan pembangunan ekonomi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
lainnya yang lebih dulu1 populer dalam bidang ilmu sosial, yakni modal
ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital),
modal sosial baru eksis bila ia berinteraksi dengan struktur sosial. Sifat ini
jelas berbeda dengan dua modal sebelumnya, yakni modal ekonomi dan
manusia. Dengan modal ekonomi yang dimiliki seseorang/perusahaan bisa
melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur
sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia. Hal inilah yang
menyebabkan Coleman (1988:98) mendel isikan modal sosial berdasarkan
fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah entitas tunggal (single
entity), tetapi entitas majemuk yang mengandung dua elemen: (i) modal
sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial; dan (ii) modal sosial
memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (aktor) -baik individu maupun
perusahaan-di dalam struktur tersebut (within the structure). Dari perspektif
ini, sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif,
yakni membuat pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin diraih bila
keberadaannya tidak eksis.
Pengertian modal sosial semacam itulah yang membuat terjadinya
beragam definisi dengan bentangan yang sangat luas. Bourdieu, sebagai
peletak pondasi konsep modal sosial, mendefinisikan modal sosial sebagai
'agregat sumber daya aktual ataupun potensial yang diikat untuk
mewujudkan jaringan yang awet (durable) sehingga
menginstitusionalisasikan hubungan persahabatan (acquaintance) yang
saling menguntungkan. Melalui pemaknaan tersebut, Bourdieu
berkeyakinan bahwa jaringan sosial (social network) tidaklah alami (natural
given), melainkan dikonstruksi melalui strategi investasi yang berorientasi
kepada pelembagaan hubungan-bubungan kelompok (group relations),
yang bisa dipakai sebagai sumber terpercaya untuk meraih keuntungan
(benefits). Selanjutnya, definisi tersebut juga mengandaikan bahwa modal
1
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan,
(Jakarta: Erlangga, 2012), hlm 138
4
sosial memisahkan dua elemen: (a) hubungan sosial itu sendiri yang
mengizinkan individu untuk mengklaim akses terhadap sumber daya yang
dipunyai oleh asosiasi mereka; dan (b) jumlah dan kualitas dari sumber daya
tersebut. Dengan deskripsi tersebut, melalui modal sosial, aktor dapat
meraih akses langsung terhadap sumber daya ekonomi (pinjaman yang
bersubsidi, saran-saran investasi, pasar yang terlindungi); mereka bisa
meningkatkan modal budaya (cultural capital) lewat kontak dengan ahli-ahli
atau individu yang beradab (yang melekat dalam modal budaya); atau
alternatifnya mereka dapat berafiliasi dengan institusi yang membahas nilai-
nilai terpercaya/valued credentials (pelembagaan modal budaya)
(Portes, 1998:3-4].
Di luar definisi yang sudah disebutkan oleh para pendiri teori modal
sosial tersebut, terdapat banyak pemikir lainnya yang mencoba
mendefinisikan modal sosial menurut versinya masing-masing, walaupun
secara prinsip sebetulnya tidaklah mengubah banyak dari definisi yang telah
diuraikan di atas. Baker, misalnya, mendefinisikan modal sosial sebagai
'sumber daya yang diraih oleh pelakunya melalui struktur sosial yang
spesifik dan kemudian digunakan untuk memburu kepentingannya; modal
sosial tersebut diciptakan lewat perubahan-perubahan2 dalam hubungan
antarpelakunya. Sedangkan Schiff mengartikan modal sosial sebagai
'seperangkat elemen dari struktur sosial yang memengaruhi relasi
antarmanusia dan sekaligus sebagai input atau argumen bagi fungsi
produksi dan/atau manfaat (urility). Selain itu, Burt memaknai modal sosial
sebagai 'teman, kolega, dan lebih umum kontak lewat siapa pun yang
membuka peluang bagi pemanfaatan modal ekonomi dan manusia (Portes,
1998:6). Demikian pula dengan Uphoff yang menyatakan bahwa modal
sosial dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek
sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat
(intangible) yang mer engaruhi perilaku kerja sama (Dhesi, 2000:210).
2
Ibid., hlm 139
5
Sementara itu, Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai "gambaran
organisasi sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang
memfasilitasi koordinasi dan kerja sama yang saling menguntungkan
(Krishna, tt:1). Seluruh definisi tersebut berujung dalam satu hal saja, bahwa
modal sosial baru terasa bila telah terjadi interaksi dengan orang lain yang
dipandu oleh struktur sosial.
Dengan deskripsi tersebut, sekurangnya terdapat tiga pembagian besar
konsep modal sosial yang digagas oleh para pengusung utamanya, yakni
Bourdieu, Coleman, dan Putnam. Coleman (1988) fokus melihat modal
sosial sebagai struktur hubungan sosial, khususnya peran modal sosial
dalam mengakuisisi modal manusia. Selanjutnya, Bourdieu (1993) lebih
peduli dengan kemampuan modal sosial dalam menghasilkan sumber daya
ekonomi. Sementara itu, Putnam (1993; 1995) menekankan hubungan kerja
sama yang memapankan demokrasi melalui keanggotaan kelompok sipil
(civic group) (Adjargo, 2012:220). Ketiganya itu eksis bukan untuk saling
meniadakan, tapi pancaran sudut pandang yang saling melengkapi sehingga
menjadi sumber pengayaan konsep modal sosial. Tentu saja, secara
langsung perspektif yang dipakai oleh Bourdieu lebih dekat keterkaitannya
dengan pembangunan ekonomi, tapi jika ditelisik lebih dalam pandangan
yang disampaikan oleh Coleman dan Putnam juga lekat dengan bidang
ekonomi, setidaknya secara tidak langsung.
Melalui serangkaian pengertian tersebut, akhirnya terdapat sebuah
aporisme terkenal yang menyatakan bahwa modal sosial bukanlah masalah
apa yang Anda ketahui, tetapi siapa yang Anda kenal' (it's not what you
know, it's who you know that matters) [Fine dan Lapavitsas, 2004:17).
Dengan dasar tersebut, modal sosial bisa merujuk kepada norma atau
jaringan yang memungkinkan orang untuk melakukan tindakan kolektif.
Implikasinya, makna tersebut lebih memfokuskan kepada sumber (sources)
daripada konsekuensi atas modal sosial, sementara pentingnya deskripsi
tentang modal sosial seperti kepercayaan dan hubungan timbal-balik-
diembangkan dalam sebuah proses yang terus-menerus. Di luar itu, definisi
6
ini jūga mengizinkan adanya penyatuan (incorporation) dimensi-dimensi
yang berbeda dari modal sosial dan mengakui bahwa komunitas bisa
memiliki akses yang lebih luas atau kecil. Terakhir, meskipun definisi ini
melihat komunitas sebagai unit analisis utama (ketimbang individu, rumah
tangga, atau negara), namun tetap mengakui bahwa individu dan rumah3
tangga (sebagai anggota dari komunitas) merupakan pelaku dari modal
sosial dan komunitas sendiri dibentuk sebagai bagian dari relasinya dengan
negara (Woolcock dan Narayan, 2000:225-227). Realitas ini menguatkan
proposisi yang sudah diterangkan di muka, bahwa jaringan dan norma
merupakan unsur penting dalam formulasi modal sosial sehingga
eksistensinya sangat dibutuhkan.
Selanjutnya, pertanyaan yang bisa diajukan adalah, apa saja bentuk-
bentuk (forms) dari modal sosial tersebut? Coleman (1988:102-105)
menyebut setidaknya terdapat tiga bentuk dari modal sosial. Pertama,
struktur kewajiban (obligations), ekspektasi (expectations), dan
kepercayaan (trustworthiness). Dalam konteks ini, bentuk modal sosial
tergantung dari dua elemen kunci: kepercayaan dari lingkungan sosial dan
perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held). Dari
perspektif ini, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan saling
kepercayaan tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi
sebaliknya. Kedua, jaringan informasi (information channels). Informasi
sangatlah penting sebagai basis tindakan. Tetapi harus disadari bahwa
informasi itu mahal, tidak gratis. Pada level yang paling minimum, di mana
ini perlu mendapatkan perhatian, informasi selalu terbatas. Tentu saja,
individu yang memäki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan murah)
untuk memeroleh informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya
tinggi; demikian pula sebaliknya. Ketiga, norma dan sanksi yang efektif
(norms and effective sanctions). Norma dalam sebuah komunitas yang
mendukung individu untuk memeroleh prestasi (achievement) tentu saja
3
Ibid., Hlm. 140
7
bisa digolongkan sebagai bentuk modal sosial yang sangat penting. Contoh
lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah
komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda, mempunyai potensi
untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu sebaik-
baiknya (having a good time).
Dari deskrispi tersebut terlihat bahwa bentuk-bentuk modal sosial
selalu berkaitan dengan struktur sosial di mana masyarakat tersebut
berdiam. Dalam kasus bentuk modal sosial yang bertumpu kepada
kepercayaan dan ekspektasi, seseorang yang dianggap jujur dan memiliki
reputasi bagus akan lebih mudah untuk memeroleh penghargaan (reward)
daripada individu yang tidak memiliki kredibilitas, misalnya dalam hal
mendapatkan kredit. Dalam masyarakat tradisional, hubungan transaksi
ekonomi yang selalu berulang dan menghasilkan pencapaian yang bagus,
dalam jangka panjang mempunyai ekspektasi untuk bertahan ketimbang
relasi ekonomi yang dipenuhi dengan manipulasi. Modal sosial dalam
bentuk ekspektasi dan kepercayaan inilah yang bisa ditransformasikan
menjadi keunggulan untuk memeroleh benefit ekonomi. Demikian halnya
dengan jejaring informasi yang bersumber dari banyak pihak,
mengandaikan bahwa individu tersebut gampang mendapatkan informasi
secara lengkap dan murah. Implikasinya, keputusan (ekonomi) yang
dilakukan bisa diambil secara tepat dan cepat sehingga menghasilkan
keuntungan. Sedangkan norma lebih berorientasi menyiapkan kerangka
budaya yang memberi arah dan keamanan bagi kehidupan yang lebih baik.
Contoh, norma yang mengucilkan4 orang-orang yang suka malas-malasan
(menganggur) akan menuntun komunitas di mana norma tersebut hidup
mencapai kehidupan (material) yang lebih bagus.
Demikian pula, menurut Lina dan Von Bern, 1999:538 (dalam Chegini,
et. al., 2012:3158) modal sosial memiliki sumbangan positif dalam
kaitannya dengan komitmen pekerja, fleksibilitas organisasi, pengelolaan
4
Ibid., Hlm. 141
8
tindakan bersama yang lebih baik, dan pengembangan modal pengetahuan
(conceptual capital). Dalam konteks ini, modal sosial dapat memperkuat
kinerja organisasi. Dengan kata lain, modal sosial dapat menjadi aset bagi
organisasi (lewat penciptaan nilai) maupun anggota organisasi (via
peningkatan keterampilan pekerja). Secara lebih spesifik modal sosial dapat
(Chegini, et. al., 2012:3158):
1. Memengaruhi sukses pekerjaan/professional.
2. Membantu pekerja menemukan pekerjaan dan menciptaan portofolio
pekerja yang lebih baik di organisasi.
3. Memfasilitasi pertukaran sumber daya antarunit.
4. Memotivasi pembaruan/kebaruan (novelty), penciptaan modal
intelektual, dan efisiensi multifungsi tim/kelompok.
5. Mengurangi perubahan pekerjaan karyawan (employees' job changes).
6. Memperkuat hubungan dengan pemasok, jaringan produksi regional,
dan pembelajaran organisasi.
Seluruh uraian tersebut membawa kepada satu nuansa, bahwa secara
umum modal sosial bisa didekati dari dua perspektif. Pertama, mengkaji
modal sosial dari perspektif pelaku (actor's perspective) yang
diformulasikan oleh Bourdieu, yang melihat modal sosial berisi sumber
daya-sumber daya di mana pelaku individu dapat menggunakannya kerena
kepemilikannya terhadap jaringan secara eksklusif (exclusive networks).
Kedua, mencermati modal sosial dari perspektif masyarakat (society's
perspective) yang dikonseptualisasikan oleh Putnam, yang melihat modal
sosial sebagai barang publik yang diatur oleh organisasi dan jaringan
horizontal yang eksis dalam masyarakat. Sedangkan Coleman melihatnya
sekaligus dari dua sudut pandang tersebut, tetapi dengan cakupan yang lebih
luas (wider range) mengenai bentuk-bentuk modal sosial, termasuk
ekspektasi, norma, dan sanksi (dalam Rosyadi, 2003:29). Kedua pendekatan
tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
sehingga penerapannya tergantung dari kasus yang digunakan. Pada titik ini,
yang terpenting adalah meletakkan individu sebagai bagian yang tidak
9
terpisah dari struktur sosialnya.5
5
Ibid., Hlm. 142
10
dihitung dalam bentuk modal personal (personal capital), seperti modal
ekonomi atau manusia.6
Deskripsi di atas bisa diperjelas dengan uraian berikut, bahwa dalam
operasionalisasinya modal sosial yang dilihat menurut fungsinya (seperti
yang dinyatakan oleh Coleman) mengandaikan memiliki aspek struktur dan
kognisi (cognitive). Jika dipilah dalam tiga penampakan, maka akan
didapatkan sebuah operasionalisasi modal sosial sebagai berikut. Pertama,
menurut sumber dan pengejawantahannya, secara struktur modal sosial
terdiri dari peran dan aturan (roles and rules), jaringan dan hubungan
interpersonal dengan pihak lain, serta prosedur dan kejadian (procedures
and precedents). Sedangkan aspek kognisinya terdiri dari norma-norma,
nilai-nilai, perilaku, dan keyakinan. Kedua, menurut cakupannya (domains),
struktur modal sosial terbentuk dari organisasi sosial dan aspek kognisinya
mewujud dalam budaya sipil (civic culture). Budaya sipil bisa dimaknai
sebagai kemampuan warga negara/masyarakat untuk mengekspresikan dan
mengorganisasikan kepentingannya melalui saluran-saluran yang tersedia.
Ketiga, menurut elemen-elemen umunı (common elements) struktur modal
sosial terbangun berdasarkan ekspektasi yang mengarah kepada perilaku
kerja sama yang saling menguntungkan. Sedangkan aspek kognisi dari
elemen umum ini tidak bisa diidentifikasi secara jelas karena sangat
tergantung dari kesepakatan anggota-anggota yang terlibat dalam hubungan
kerja sama tersebut (secara lebih detail bisa dilihat pada Tabel 1.1).
6
Ibid., Hlm. 143
11
Elemen bersama Ekspektasi yang
mengarahkan kepada _
perilaku kerja sama yang
saling menguntungkan
Sumber: Uphoff; dalam Walis; Killerby; dan Dallery, 2004:241
7
Ibid., Hlm. 143—144
12
jejaring ini, modal sosial sebagai 'ikatan' karena kekuatan hubungan di
dalam sebuah komunitas (intracommunity) bisa memberikan kepada setiap
keluarga dan komunitas sebuah identitas dan tujuan bersama (common
purpose).8 Selanjutnya, modal sosial sebagai 'jembatan' bermakna tanpa
adanya kelemahan ikatan antarkomunitas (intercommunity), seperti
keragaman sosial yang dipicu oleh perbedaan agama, kelas, etnisitas, jender,
dan status sosial ekonomi; ikatan horizontal yang kuat dapat menjadi basis
bagi kepentingan sektarian yang sempit. Dengan begitu, pandangan jejaring
ini bisa dikarakteristikkan dalam dua proposisi kunci: (i) modal sosial
adalah pedang bersisi dua (double-edged sword). Maksudnya, modal sosial
dapat menyediakan layanan-layanan yang bermanfaat bagi anggota
komunitas, tetapi juga ongkos yang mungkin keluar akibat ikatan yang sama
(same ties) melakukan klaim non-ekonomi terhadap anggota-anggota
komunitas dalam hal kewajiban dan komitmen (obligation and
commitment) yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif ekonomi.
Misalnya, anggota komunitas yang kuat bisa saja mengisolasi anggota
komunitas lainnya untuk mendapatkan informasi mengenai kesempatan
kerja, dan lain-lain; dan (ii) sumber-sumber modal sosial perlu dipisahkan
dari konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari kemungkinan negatif.
Artinya, pencapaian modal sosial yang diinginkan bisa jadi mengabaikan
kemungkinan bahwa hasil tersebut diperoleh dengan jalan membebani
kelompok lainnya (another group's expense) sehingga sebetulnya
pencapaian (outcome) tersebut tidak optimal, atau hasil yang diinginkan saat
ini sebenarnya akan menimbulkan biaya di kemudian hari.9
8
Ibid., Hlm. 144
9
Ibid., Hlm. 144—145
13
Bagan 1.1: Hubungan antara Jembatan Modal Sosial
(Bridjing Social Capital) dan Tata Kelola (Govermance)
Catatan: Komplementer merujuk kepada interaksi optirnal antara pemerintah dan pasar
dalam masyarakat yang matang (civil society); sedangkan substitusi adalah penggantian
melalui organisasi sosial (keluarga, jaringan, dan lain-lain) atas pelayanan umum yang
disediakan oleh pemerintah dan lembaga.
14
komplementaritas antara negara dan masyarakat, serta antara kemakmuran
ekonomi dan ketertiban sosial (social order). Tetapi, apabila modal sosial
masyarakat yang inheren dalam kelompok sosial tidak terkoneksi satu
dengan lainnya, maka kelompok yang lebih kuat akan mendominasi negara
sehingga mengucilkan kelompok lainnya. Pada titik ini, pekerjaan kunci
yang harus dilakukan oleh kelompok yang tersisih (subordinate groups)
adalah melakukan koalisi dan mengajak bergabung pihak yang
terpinggirkan untuk memeroleh posisi kekuasaan, sehingga setelah itu
mereka dapat memeroleh hak-hak dan sumber daya yang sebelumnya tidak
bisa dimiliki/diakses.
Ketiga, pandangan kelembagaan (institutional view). Pandangan ini
berargumentasi bahwa vitalitas jaringan komunitas dan masyarakat sipil
merupakan produk dari sistem politik, hukum, dan lingkungan kelembagaan
(institutional environment). Berbeda dengan pandangan komunitarian dan
jaringan yang menganggap modal sosial sebagai variabel independen yang
mendorong pencapaian yang berbeda-beda, baik ataupun buruk, maka
pandangan kelembagaan menempatkan modal sosial sebagai variabel
dependen. Dengan kata lain, perspektif kelembagaan menganggap kapasitas
kelompok-kelompok sosial untuk melakukan aksi/tindakan menurut
kepentingan kolektifnya tergantung kepada mutu kelembagaan formal di
mana kelompok tersebut tinggal/berdiam.10 Sampai di sini terdapat dua
varian dari model kelembagaan ini, namun sebenarnya bisa saling
melengkapi: (1) studi yang dilakukan oleh Skocpol (1995, 1996) dengan
menggunakan pendekatan sejarah perbandingan (comparative history)
menyimpulkan bahwa masyarakat sipil yang sedang tumbuh berperan untuk
memperkuat negara; dan (2) studi yang dilakukan oleh Knack dan Keefer
(1995, 1997) yang melihat efek kinerja pemerintah terhadap kinerja
ekonomi, menghasilkan temuan bahwa kepercayaan, aturan hukum,
10
Ibid., Hlm. 146
15
kebebasan sipil, dan kualitas birokrasi memiliki efek positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Secara jelas, Knack (1999) menyimpulkan bahwa
modal sosial dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan memperbaiki, atau
pada level minimum tidak membuat lebih buruk, ketimpangan pendapatan.
11
Ibid., Hlm. 147—147
16
mengacu kepada sifat dan luas (extent) ikatan yang dapat menghubungkan
warga negara dengan pejabat publik (public officials). Contoh yang baik
untuk menjelaskan kelekatan ini adalah kasus irigasi, di mana pelaku paling
rendah dari manajemen irigasi dilaksanakan sendiri oleh komunitas.
Akhimya, secara umum, pendekatan kelembagaan ini bekerja hanya dalam
situasi di mana tindakan-tindakan pejabat publik/pemerintah secara
simultan diikat oleh lingkungan organisasi yang berorientasi kinerja
(performance-oriented), nisalnya diukur dari kompetensi, koherensi, dan
kredibilitas (ringkasan empat perspektif tersebut bisa dilihat dalam Tabel
1.2).12
12
Ibid., Hlm. 147
17
membaur dengan norma, kepercayaan (trust), dan barang publik lainnya.
Kedua, kontroversi yang melihat modal sosial sebagai 'klosur' (closure) atau
jaringan terbuka dalam sebuah jaringan atau relasi sosial. Melalui perspektif
kelas (class perspective), Bourdieu melihat modal sosial sebagai investasi
dari anggota-anggota modal sosial yang berasal dari kelas dominan (sebagai
kelompok atau jaringan) yang bertujuan menjaga dan mereproduksi
solidaritas kelompok dan melestarikan kelompok dominan Persoalannya
adalah, setiap jaringan itu bersifat tertutup (eksklusif) sehingga tidak
dipengaruhi oleh kelompok lain, atau terbuka melalui proses interaksi
dengan kelompok/jaringan lainnya.
18
bermacam etnisitas yang berbeda dan memiliki dua karakteristik penting:
modal sosial berisi aspek dari struktur sosial dan modal sosial memfasilitasi
tindakan-tindakan tertentu individu dalam struktur tersebut. Implikasinya,
pandangan fungsional ini mungkin bersifat tautologi: modal sosial
diidentifikasi ketika dan jika ia bekerja; dengan begitu penjelasan penyebab
potensi modal sosial dapat ditangkap hanya melalui efeknya; atau modal
sosial merupakan investasi yang tergantung kepada pengembalian (return)
terhadap individu tertentu dalam sebuah tindakan yang spesifik. Sehingga,
faktor penyebab (causal factor) didefinisikan lewat faktor pengaruhnya
(effectual factor). Keempat, kontroversi mengenai pengukuran
(measurement). Coleman mempertanyakan, apakah modal sosial bisa
disepadankan dengan modal ekonomi, fisik, dan manusia sehingga bisa
dikuantifikasi dalam bidang ilmu sosial? Sampai saat ini, modal sosial lebih
banyak didekati dengan analisis kualitatif dan untuk analisis kuantitatifnya
biasanya dilakukan dengan mengambil indikator-indikator kualitatif.
Kecenderungannya, bagi kebanyakan ahli, mereka menghendaki modal
sosial bisa diukur melalui pendekatan kuantitatif (secara lebih detail, empat
kontroversi modal sosial tersebut bisa dilihat dalam Tabel 8.3).
19
pertukaran ekonomi (economic exchange). Jika dikembangkan secara lebih
jauh, bisa jadi hubungan keluarga dan pertemanan bisa bermanfaat bagi
seseorang untuk mendapatkan pekerjaan atau karir yang lebih bagus.
Contoh yang lebih sederhana, transaksı dengan seorang teman tentu akan
lebih mudah dilakukan daripada dengan orang yang tidak dikenal
sebelumnya.13
13
Ibid., Hlm. 148—149
20
memeroleh pekerjaan. Bahkan, secara lebih jauh, ikatan sosial bisa menjadi
sumber diskriminasi laten yang merusak iklim persaingan sehat, seperti
diskriminasi ras dan warna kulit di Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Di
beberapa negara, sering kali aparat birokrasi dimonopoli oleh etnis tertentu,
yang semua itu dicapai melalui rekayasa sistematis yang berbasis 'ikatan
sosial.' Pendeknya, individu/kelompok yang tidak diidentifikasi sebagai
anggota ikatan sosial akan dihalangi untuk memeroleh akses terhadap setiap
peluang (ekonomi) yang timbul. Kedua, sangat mungkin terjadi dalam
sebuah kelompok terdapat beberapa individu/aktor yang berpotensi
mengganjal individu lainnya karena kepemilikan akses, misalnya, informasi
yang lebih besar. Atau, kelompok/komunitas berupaya menghalangi
anggotanya mengembangkan bisnisnya karena akan mengganggu
kepentingan (ekonomi) bagi komunitas tersebut. Pada titik ini, inisiatif
individu harus dikorbankan demi kepentingan kelompok/komunitas yang
lebih besar.
21
menyempit, yang seharusnya berfungsi melindungi anggotanya dari praktik-
praktik penindasan. Jadi, norma dapat menjadi pemandu dan perekat bagi
sebuah komunitas untuk menyelenggarakan hidup bersama. Tapi, norma,
dalam sebuah struktur ikatan yang tidak adil, bisa berlaku eksploitatif
terhadap anggota kelompok yang memiliki posisi lemah sehingga terdapat
insentif bagi mereka untuk melarikan diri dari komunitas tersebut.
14
Ibid., Hlm.150—151
22
dengan dua level riset utama: penelitian hulu yang mencari landasan teoretis
hubungan antara modal sosial dan pembangunan ekonomi, serta penelitian
hilir yang melacak implikasi konkret modal sosial terhadap pertumbuhan
ekonomi. Keduanya memberikan pemahaman mendalam tentang hubungan
ini, dengan dukungan teoretis dan empiris yang kaya.
23
mengoptimalisasi keuntungan transaksional, sedangkan pilihan rasional
didasarkan kepada analisis hubungan-hubungan alternatif yang
memproduksi beragam keuntungan dan biaya transaksional. Dengan basis
ini, aturan-aturan pertukaran berperan dalam dua hal. Pertama, jika
hubungan dengan agen tertentu menghasilkan keuntungan, maka
keputusannya adalah melanjutkan hubungan transaksi berikutnya. Kedua,
bila hubungan tersebut gagal menghasilkan laba relatif, maka ada dua
pilihan yang dapat diambil: (1) menemukan hubungan alternatif yang bisa
memproduksi keuntungan; atau (2) merawat hubungan tersebut, tetapi
dengan berupaya mengurangi biaya transaksional. Keputusan di antara dua
pilihan itu didasarkan kepada bobot relatif yang mungkin diambil dari
kemungkinan memeroleh keuntungan atau mengurangi biaya transaksi.
Dengan begitu, analisis kritis dalam pertukaran ekonomi memfokuskan
kepada transaksi simetris dalam episodis atau transaksi yang berulang (lihat
Tabel 8.4).
24
dengan pandangan ekonomi klasik yang menganggap pasar sebagai
instrumen paling efisien, modal sosial dianggap sebagai alternatif yang
lebih efisien dalam penyelesaian masalah tersebut. Contohnya, dalam kasus
barang publik, pemindahan produksi kepada individu dengan dukungan
modal sosial dapat meningkatkan tanggung jawab dan keeratan komunitas,
meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi free-rider. Hubungan
antara modal sosial dan pembangunan ekonomi juga dapat dilihat dari sisi
kerja sama dalam kegiatan ekonomi, yang memerlukan kepercayaan.
Masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi mampu melakukan kerja
sama hingga level organisasi besar, sementara masyarakat dengan tingkat
kepercayaan rendah terbatas pada kerja sama yang lebih terlokalisasi. Oleh
karena itu, modal sosial dipahami sebagai prakondisi untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai hasil akhir dari pertumbuhan
tersebut.
25
yi = output/pekerja di negara i
Ki = stok modal fisik
Hi = stok modal manusia
Yi = total output
Li = tenaga kerja
Ai = teknologi
26
Dengan pembahasan yang sudah dijelaskan, menjadi jelas bahwa
perbedaaan pencapaian (outcomes) pembangunan tidak dapat dijelaskan
dari ketidaksamaan input material saja. Dalam hal ini terdapat konsensus
umum bawha inisiatif pembangunan seharusnya dengan memasukan
peranan modal sosial, semacam ilmu pengetahuan, pemahaman, nilai nilai,
norma, sifat sifat dan jaringan sosial mempekuat hasil yang diinginkan.
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Muasal teori modal sosial pertama kali dipicu oleh tulisan Pierre
Bourdieu yang dipublikasikan pada akhir 1970-an (Fine dan
Lapavitsas, 2004:19). Judul tulisan Bourdieu tersebut antara lain adalah
'Le Capital Social: Notes Provisoires', yang diterbitkan dalam 'Actes de
la Recherche en Sciences Sociales (1980). Karena publikasi tersebut
dilakukan dalam bahasa Perancis, membuat tidak banyak ilmuwan
sosial yang menaruh perhatian (Portes, 1998:3). Setelah James S.
Coleman mempublikasikan topik yang sama pada 1993. Akhirnya,
hingga saat ini, banyak pihak yang berkeyakinan bahwa Coleman
merupakan ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep modal
sosial. Melalui serangkaian pengertian para ahli, terdapat sebuah
aporisme terkenal yang menyatakan bahwa modal sosial bukanlah
masalah apa yang Anda ketahui, tetapi siapa yang Anda kenal' (it's not
what you know, it's who you know that matters) [Fine dan Lapavitsas,
2004:17). Dengan dasar tersebut, modal sosial bisa merujuk kepada
norma atau jaringan yang memungkinkan orang untuk melakukan
tindakan kolektif.
2. Konsep modal sosial tidaklah dipahami secara tunggal, melainkan
mempunyai dimensi yang multispektrun. Sampai saat ini, setidaknya
terdapat empat cara pandang terhadap modal sosial. Pertama,
pandangan komunitarian (communitarian view). Kedua, pandangan
jaringan/jejaring (network view). Ketiga, pandangan kelembagaan
(institutional view). Keempat, pandangan sinergi (synergy view).
3. Meskipun konsep modal sosial diakui eksistensi dan relevansinya
dalam dataran teoretis maupun empiris, namun masih banyak
menimbulkan kontroversi yang tidak berujung hingga kini. Kontroversi
menyangkut konsep modal sosial ini bisa dibagi dalam empat isu (Lin,
28
2001:26-28). Pertama, kontroversi yang menghadapkan apakah modal
sosial itu aset kolektif atau individu. Kedua, kontroversi yang melihat
modal sosial sebagai 'klosur' (closure) atau jaringan terbuka dalam
sebuah jaringan atau relasi sosial. Ketiga, kontroversi yang dipicu oleh
pandangan Coleman, yang menyatakan bahwa modal sosial merupakan
'sumber daya struktur sosial' (social-structure resource) yang
menghasilkan keuntungan (returns) bagi individu dalam sebuah
tindakan yang spesifik. Keempat, kontroversi mengenai pengukuran
(measurement).
4. Modal sosial dapat menjadi sumber daya ekonomi dalam kegiatan
transaksi, terutama ketika pasar tidak dapat mengatasi persoalan seperti
eksternalitas, barang publik, hak kepemilikan, dan monopoli. Berbeda
dengan pandangan ekonomi klasik yang menganggap pasar sebagai
instrumen paling efisien, modal sosial dianggap sebagai alternatif yang
lebih efisien dalam penyelesaian masalah tersebut. Hubungan antara
modal sosial dan pembangunan ekonomi juga dapat dilihat dari sisi
kerja sama dalam kegiatan ekonomi, yang memerlukan kepercayaan.
B. Saran
Setelah dilakukannya penyusunan makalah mengenai Teori Modal
Sosial diharap para pembaca dapat memahaminya dengan seksama agar
penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Kami menyadari
makalah ini masih jauh dengan kesempurnaan, maka dari itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.
Apabila terdapat kesalahan mohon dimaafkan dan dapat dimaklumi. Terima
kasih.
29
DAFTAR PUSTAKA
30