Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

TEEORI MODAL SOSIAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kelembagaan

Dosen Pengampu: Ibu Yunesia Pramesthi, M.Pd.

Disusun oleh kelompok 04:

1. Ely Ermawati 126402212155


2. Isna Rif’atul Laila 126402212156
3. Fanja Rahayu Estetika 126402212161
4. Sukma Ardiyanti 126402212188

SEMESTER 6

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

MARET 2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah
memberikan kelancaran sehingga dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Ekonomi Kelembagaan yang berjudul “Teori Modal Sosial” dalam bentuk
makalah. Solawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, semoga syafaatnya selalu
tercurahkan kepada kita semua di akhirat kelak.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu kami menyelesaikan makalah ini, kepada:
1. Prof. Dr. H. Abd. Aziz, M.Pd.I. selaku Rektor UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung yang telah memberikan kesempatan
kepada kita untuk menimba ilmu di UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung.
2. Dr. Binti Nur Asiyah, M.Si. selaku Koordinator Program Studi
Ekonomi Syariah yang selalu memberi semangat dan motivasi kepada
kami.
3. Yunesia Pramesthi, M.Pd. selaku Dosen Pengampu mata kuliah
Ekonomi Kelembagaan.
4. Semua teman-teman ES – 6D.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa kemampuan
dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Tulungagung, 05 Maret 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1

C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

A. Akar dan Definisi Modal Sosial .............................................................................. 3

B. Modal Sosial: Empat Prespektif ............................................................................ 10

C. Modal Sosial: Implikasi Negatif ........................................................................... 17

D. Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi ........................................................... 22

BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 28

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 28

B. Saran ..................................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Modal sosial merupakan fasilitator penting dalam pembangunan
ekonomi. Modal sosial yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan
sosial dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan kehidupan
berekonomi secara luas. Jika digunakan secara tepat, modal sosial akan
melahirkan serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang
dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarkat yang
memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka (Erani, 2006). Tanpa
adanya modal sosial, seseorang tidak akan bisa memperoleh keuntungan
material dan mencapai keberhasilan lainnya secara optimal. Sebagaimana
modal-modal lainnya, seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial
tidak selalu memberi manfaat dalam segala situasi, tetapi hanya terasa
manfaatnya dalam situasi tertentu (Coleman, 2010).
Modal sosial dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dan
memfasilitasi kerja sama antar anggota masyarakat. Hal ini dapat membawa
manfaat ekspektatif yang berasal dari kerjasama antara berbagai kelompok
dan individu. Namun, modal sosial juga dapat menghasilkan hasil negatif,
seperti implikasi negatif yang dapat membebani masyarakat dan
mempengaruhi konsekuensi negatif bagi individu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana akar dan definisi modal sosial?
2. Bagaimana modal sosial: empat perspektif?
3. Bagaimana modal sosial: implikasi negatif?
4. Bagaimana modal sosial dan pembangunan ekonomi?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui akar dan definisi modal sosial.
2. Untuk mengetahui modal sosial: empat perspektif.
3. Untuk mengetahui modal sosial: implikasi negatif.
4. Untuk mengetahui modal sosial dan pembangunan ekonomi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akar dan Definisi Modal Sosial


Muasal teori modal sosial pertama kali sesungguhnya dipicu oleh
tulisan Pierre Bourdieu yang dipublikasikan pada akhir 1970-an (Fine dan
Lapavitsas, 2004:19). Judul tulisan Bourdieu tersebut antara lain adalah 'Le
Capital Social: Notes Provisoires', yang diterbitkan dalam 'Actes de la
Recherche en Sciences Sociales (1980). Namun, karena publikasi tersebut
dilakukan dalam bahasa Perancis, membuat tidak banyak ilmuwan sosial
(khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh perhatian (Portes,
1998:3). Setelah James S. Coleman mempublikasikan topik yang sama pada
1993, barulah para intelektual mengunduh tema tersebut sebagai salah satu
'santapan penting yang mempertemukan antardisiplin ilmu. Akhirnya,
hingga saat ini, banyak pihak yang berkeyakinan bahwa Coleman
merupakan ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep modal sosial,
seperti yang ia tulis dalam jurnal American Journal of Sociology yang
berjudul 'Social Capital in the Creation of Human Capital' (1988). Jadi,
dalam batas-batas tertentu, persoalan bahasa bisa menimbulkan
misinformasi dan kesalahpahaman yang mengganggu bagi perkembangan
ilmu pengetahuan. Bourdieu hanyalah bagian kecil saja dari 'korban
dominasi bahasa (Inggris), yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Lepas dari misinformasi tersebut, topik modal sosial memang sangat
wajar mendapatkan atensi yang besar dari para pemikir sosial karena
cakupan dan relevansinya yang kasat mata. Bahkan, Poldan (dalam Walis,
Killerby, dan Dollery, 2004:239) menyebut modal sosial 'sangat dekat untuk
menjadi konsep gabungan bagi seluruh disiplin ilmu sosial (close to
becoming a joint concept for all social sciences). Berbeda dengan dua modal

3
lainnya yang lebih dulu1 populer dalam bidang ilmu sosial, yakni modal
ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital),
modal sosial baru eksis bila ia berinteraksi dengan struktur sosial. Sifat ini
jelas berbeda dengan dua modal sebelumnya, yakni modal ekonomi dan
manusia. Dengan modal ekonomi yang dimiliki seseorang/perusahaan bisa
melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur
sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia. Hal inilah yang
menyebabkan Coleman (1988:98) mendel isikan modal sosial berdasarkan
fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah entitas tunggal (single
entity), tetapi entitas majemuk yang mengandung dua elemen: (i) modal
sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial; dan (ii) modal sosial
memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (aktor) -baik individu maupun
perusahaan-di dalam struktur tersebut (within the structure). Dari perspektif
ini, sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif,
yakni membuat pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin diraih bila
keberadaannya tidak eksis.
Pengertian modal sosial semacam itulah yang membuat terjadinya
beragam definisi dengan bentangan yang sangat luas. Bourdieu, sebagai
peletak pondasi konsep modal sosial, mendefinisikan modal sosial sebagai
'agregat sumber daya aktual ataupun potensial yang diikat untuk
mewujudkan jaringan yang awet (durable) sehingga
menginstitusionalisasikan hubungan persahabatan (acquaintance) yang
saling menguntungkan. Melalui pemaknaan tersebut, Bourdieu
berkeyakinan bahwa jaringan sosial (social network) tidaklah alami (natural
given), melainkan dikonstruksi melalui strategi investasi yang berorientasi
kepada pelembagaan hubungan-bubungan kelompok (group relations),
yang bisa dipakai sebagai sumber terpercaya untuk meraih keuntungan
(benefits). Selanjutnya, definisi tersebut juga mengandaikan bahwa modal

1
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan,
(Jakarta: Erlangga, 2012), hlm 138

4
sosial memisahkan dua elemen: (a) hubungan sosial itu sendiri yang
mengizinkan individu untuk mengklaim akses terhadap sumber daya yang
dipunyai oleh asosiasi mereka; dan (b) jumlah dan kualitas dari sumber daya
tersebut. Dengan deskripsi tersebut, melalui modal sosial, aktor dapat
meraih akses langsung terhadap sumber daya ekonomi (pinjaman yang
bersubsidi, saran-saran investasi, pasar yang terlindungi); mereka bisa
meningkatkan modal budaya (cultural capital) lewat kontak dengan ahli-ahli
atau individu yang beradab (yang melekat dalam modal budaya); atau
alternatifnya mereka dapat berafiliasi dengan institusi yang membahas nilai-
nilai terpercaya/valued credentials (pelembagaan modal budaya)
(Portes, 1998:3-4].
Di luar definisi yang sudah disebutkan oleh para pendiri teori modal
sosial tersebut, terdapat banyak pemikir lainnya yang mencoba
mendefinisikan modal sosial menurut versinya masing-masing, walaupun
secara prinsip sebetulnya tidaklah mengubah banyak dari definisi yang telah
diuraikan di atas. Baker, misalnya, mendefinisikan modal sosial sebagai
'sumber daya yang diraih oleh pelakunya melalui struktur sosial yang
spesifik dan kemudian digunakan untuk memburu kepentingannya; modal
sosial tersebut diciptakan lewat perubahan-perubahan2 dalam hubungan
antarpelakunya. Sedangkan Schiff mengartikan modal sosial sebagai
'seperangkat elemen dari struktur sosial yang memengaruhi relasi
antarmanusia dan sekaligus sebagai input atau argumen bagi fungsi
produksi dan/atau manfaat (urility). Selain itu, Burt memaknai modal sosial
sebagai 'teman, kolega, dan lebih umum kontak lewat siapa pun yang
membuka peluang bagi pemanfaatan modal ekonomi dan manusia (Portes,
1998:6). Demikian pula dengan Uphoff yang menyatakan bahwa modal
sosial dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek
sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat
(intangible) yang mer engaruhi perilaku kerja sama (Dhesi, 2000:210).

2
Ibid., hlm 139

5
Sementara itu, Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai "gambaran
organisasi sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang
memfasilitasi koordinasi dan kerja sama yang saling menguntungkan
(Krishna, tt:1). Seluruh definisi tersebut berujung dalam satu hal saja, bahwa
modal sosial baru terasa bila telah terjadi interaksi dengan orang lain yang
dipandu oleh struktur sosial.
Dengan deskripsi tersebut, sekurangnya terdapat tiga pembagian besar
konsep modal sosial yang digagas oleh para pengusung utamanya, yakni
Bourdieu, Coleman, dan Putnam. Coleman (1988) fokus melihat modal
sosial sebagai struktur hubungan sosial, khususnya peran modal sosial
dalam mengakuisisi modal manusia. Selanjutnya, Bourdieu (1993) lebih
peduli dengan kemampuan modal sosial dalam menghasilkan sumber daya
ekonomi. Sementara itu, Putnam (1993; 1995) menekankan hubungan kerja
sama yang memapankan demokrasi melalui keanggotaan kelompok sipil
(civic group) (Adjargo, 2012:220). Ketiganya itu eksis bukan untuk saling
meniadakan, tapi pancaran sudut pandang yang saling melengkapi sehingga
menjadi sumber pengayaan konsep modal sosial. Tentu saja, secara
langsung perspektif yang dipakai oleh Bourdieu lebih dekat keterkaitannya
dengan pembangunan ekonomi, tapi jika ditelisik lebih dalam pandangan
yang disampaikan oleh Coleman dan Putnam juga lekat dengan bidang
ekonomi, setidaknya secara tidak langsung.
Melalui serangkaian pengertian tersebut, akhirnya terdapat sebuah
aporisme terkenal yang menyatakan bahwa modal sosial bukanlah masalah
apa yang Anda ketahui, tetapi siapa yang Anda kenal' (it's not what you
know, it's who you know that matters) [Fine dan Lapavitsas, 2004:17).
Dengan dasar tersebut, modal sosial bisa merujuk kepada norma atau
jaringan yang memungkinkan orang untuk melakukan tindakan kolektif.
Implikasinya, makna tersebut lebih memfokuskan kepada sumber (sources)
daripada konsekuensi atas modal sosial, sementara pentingnya deskripsi
tentang modal sosial seperti kepercayaan dan hubungan timbal-balik-
diembangkan dalam sebuah proses yang terus-menerus. Di luar itu, definisi

6
ini jūga mengizinkan adanya penyatuan (incorporation) dimensi-dimensi
yang berbeda dari modal sosial dan mengakui bahwa komunitas bisa
memiliki akses yang lebih luas atau kecil. Terakhir, meskipun definisi ini
melihat komunitas sebagai unit analisis utama (ketimbang individu, rumah
tangga, atau negara), namun tetap mengakui bahwa individu dan rumah3
tangga (sebagai anggota dari komunitas) merupakan pelaku dari modal
sosial dan komunitas sendiri dibentuk sebagai bagian dari relasinya dengan
negara (Woolcock dan Narayan, 2000:225-227). Realitas ini menguatkan
proposisi yang sudah diterangkan di muka, bahwa jaringan dan norma
merupakan unsur penting dalam formulasi modal sosial sehingga
eksistensinya sangat dibutuhkan.
Selanjutnya, pertanyaan yang bisa diajukan adalah, apa saja bentuk-
bentuk (forms) dari modal sosial tersebut? Coleman (1988:102-105)
menyebut setidaknya terdapat tiga bentuk dari modal sosial. Pertama,
struktur kewajiban (obligations), ekspektasi (expectations), dan
kepercayaan (trustworthiness). Dalam konteks ini, bentuk modal sosial
tergantung dari dua elemen kunci: kepercayaan dari lingkungan sosial dan
perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held). Dari
perspektif ini, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan saling
kepercayaan tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi
sebaliknya. Kedua, jaringan informasi (information channels). Informasi
sangatlah penting sebagai basis tindakan. Tetapi harus disadari bahwa
informasi itu mahal, tidak gratis. Pada level yang paling minimum, di mana
ini perlu mendapatkan perhatian, informasi selalu terbatas. Tentu saja,
individu yang memäki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan murah)
untuk memeroleh informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya
tinggi; demikian pula sebaliknya. Ketiga, norma dan sanksi yang efektif
(norms and effective sanctions). Norma dalam sebuah komunitas yang
mendukung individu untuk memeroleh prestasi (achievement) tentu saja

3
Ibid., Hlm. 140

7
bisa digolongkan sebagai bentuk modal sosial yang sangat penting. Contoh
lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah
komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda, mempunyai potensi
untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu sebaik-
baiknya (having a good time).
Dari deskrispi tersebut terlihat bahwa bentuk-bentuk modal sosial
selalu berkaitan dengan struktur sosial di mana masyarakat tersebut
berdiam. Dalam kasus bentuk modal sosial yang bertumpu kepada
kepercayaan dan ekspektasi, seseorang yang dianggap jujur dan memiliki
reputasi bagus akan lebih mudah untuk memeroleh penghargaan (reward)
daripada individu yang tidak memiliki kredibilitas, misalnya dalam hal
mendapatkan kredit. Dalam masyarakat tradisional, hubungan transaksi
ekonomi yang selalu berulang dan menghasilkan pencapaian yang bagus,
dalam jangka panjang mempunyai ekspektasi untuk bertahan ketimbang
relasi ekonomi yang dipenuhi dengan manipulasi. Modal sosial dalam
bentuk ekspektasi dan kepercayaan inilah yang bisa ditransformasikan
menjadi keunggulan untuk memeroleh benefit ekonomi. Demikian halnya
dengan jejaring informasi yang bersumber dari banyak pihak,
mengandaikan bahwa individu tersebut gampang mendapatkan informasi
secara lengkap dan murah. Implikasinya, keputusan (ekonomi) yang
dilakukan bisa diambil secara tepat dan cepat sehingga menghasilkan
keuntungan. Sedangkan norma lebih berorientasi menyiapkan kerangka
budaya yang memberi arah dan keamanan bagi kehidupan yang lebih baik.
Contoh, norma yang mengucilkan4 orang-orang yang suka malas-malasan
(menganggur) akan menuntun komunitas di mana norma tersebut hidup
mencapai kehidupan (material) yang lebih bagus.
Demikian pula, menurut Lina dan Von Bern, 1999:538 (dalam Chegini,
et. al., 2012:3158) modal sosial memiliki sumbangan positif dalam
kaitannya dengan komitmen pekerja, fleksibilitas organisasi, pengelolaan

4
Ibid., Hlm. 141

8
tindakan bersama yang lebih baik, dan pengembangan modal pengetahuan
(conceptual capital). Dalam konteks ini, modal sosial dapat memperkuat
kinerja organisasi. Dengan kata lain, modal sosial dapat menjadi aset bagi
organisasi (lewat penciptaan nilai) maupun anggota organisasi (via
peningkatan keterampilan pekerja). Secara lebih spesifik modal sosial dapat
(Chegini, et. al., 2012:3158):
1. Memengaruhi sukses pekerjaan/professional.
2. Membantu pekerja menemukan pekerjaan dan menciptaan portofolio
pekerja yang lebih baik di organisasi.
3. Memfasilitasi pertukaran sumber daya antarunit.
4. Memotivasi pembaruan/kebaruan (novelty), penciptaan modal
intelektual, dan efisiensi multifungsi tim/kelompok.
5. Mengurangi perubahan pekerjaan karyawan (employees' job changes).
6. Memperkuat hubungan dengan pemasok, jaringan produksi regional,
dan pembelajaran organisasi.
Seluruh uraian tersebut membawa kepada satu nuansa, bahwa secara
umum modal sosial bisa didekati dari dua perspektif. Pertama, mengkaji
modal sosial dari perspektif pelaku (actor's perspective) yang
diformulasikan oleh Bourdieu, yang melihat modal sosial berisi sumber
daya-sumber daya di mana pelaku individu dapat menggunakannya kerena
kepemilikannya terhadap jaringan secara eksklusif (exclusive networks).
Kedua, mencermati modal sosial dari perspektif masyarakat (society's
perspective) yang dikonseptualisasikan oleh Putnam, yang melihat modal
sosial sebagai barang publik yang diatur oleh organisasi dan jaringan
horizontal yang eksis dalam masyarakat. Sedangkan Coleman melihatnya
sekaligus dari dua sudut pandang tersebut, tetapi dengan cakupan yang lebih
luas (wider range) mengenai bentuk-bentuk modal sosial, termasuk
ekspektasi, norma, dan sanksi (dalam Rosyadi, 2003:29). Kedua pendekatan
tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
sehingga penerapannya tergantung dari kasus yang digunakan. Pada titik ini,
yang terpenting adalah meletakkan individu sebagai bagian yang tidak

9
terpisah dari struktur sosialnya.5

B. Modal Sosial: Empat Prespektif


Pertanyaan yang sering mengemuka menyangkut modal sosial ini
adalah, mengapa sumber daya yang melekat dalam jaringan sosial dapat
memperkuat pencapaian sebuah tindakan? Sulit untuk mendapatkan
jawaban yang memuaskan dari pertanyaan itu. Namun, setidaknya terdapat
empat argumentasi yang dapat disodorkan untuk memberikan penjelasan
yang cukup representati. Pertama, aliran informasi. Dalam pasar yang tidak
sempurna ikatan sosial dalam posisi lokasi/hierarki yang strategis dapat
menyediakan individu dengan informasi yang berguna tentang kesempatan
dan pilihan-pilihan. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki posisi yang
strategis, dipastikan tidak memiliki keuntungan tersebut. Dengan informasi
di tangan berarti individu tersebut bisa mengurangi biaya transaksi untuk
melakukan kegiatan ekonomi. Kedua, ikatan sosial (social ties) bisa
memengaruhi pelaku (agents), misalnya supervisor organisasi, yang
memiliki peran penting (crucial role) dalam pengambilan keputusan (seperti
penggajian ataupun promosi). Ketiga, ikatan sosial mungkin diberikan oleh
organisasi atau pelakunya sebagai sertifikasi kepercayaan sosial individu
(individual's social credentials), yakni sesuatu yang merefleksikan
aksesibilitas individu terhadap sumber daya lewat jaringan dan relasi yang
dipunyai. Keempat, hubungan sosial diekspektasikan dapat memperkuat
kembali identitas dan pengakuan (recognation). Penguatan kembali
(reinforcements) tersebut sangat esensial bagi pemeliharaan kesehatan
mental dan pembagian sumber daya (entitlement to resources). Jadi,
keempat elemen tersebut, informasi (information), pengaruh (influence),
kepercayaan sosial (social credentials), dan penguatan kembali
(reinforcement), mungkin bisa menjelaskan mengapa modal sosial bekerja
dalam tindakan-tindakan instrumental dan ekspresif yang tidak dapat

5
Ibid., Hlm. 142

10
dihitung dalam bentuk modal personal (personal capital), seperti modal
ekonomi atau manusia.6
Deskripsi di atas bisa diperjelas dengan uraian berikut, bahwa dalam
operasionalisasinya modal sosial yang dilihat menurut fungsinya (seperti
yang dinyatakan oleh Coleman) mengandaikan memiliki aspek struktur dan
kognisi (cognitive). Jika dipilah dalam tiga penampakan, maka akan
didapatkan sebuah operasionalisasi modal sosial sebagai berikut. Pertama,
menurut sumber dan pengejawantahannya, secara struktur modal sosial
terdiri dari peran dan aturan (roles and rules), jaringan dan hubungan
interpersonal dengan pihak lain, serta prosedur dan kejadian (procedures
and precedents). Sedangkan aspek kognisinya terdiri dari norma-norma,
nilai-nilai, perilaku, dan keyakinan. Kedua, menurut cakupannya (domains),
struktur modal sosial terbentuk dari organisasi sosial dan aspek kognisinya
mewujud dalam budaya sipil (civic culture). Budaya sipil bisa dimaknai
sebagai kemampuan warga negara/masyarakat untuk mengekspresikan dan
mengorganisasikan kepentingannya melalui saluran-saluran yang tersedia.
Ketiga, menurut elemen-elemen umunı (common elements) struktur modal
sosial terbangun berdasarkan ekspektasi yang mengarah kepada perilaku
kerja sama yang saling menguntungkan. Sedangkan aspek kognisi dari
elemen umum ini tidak bisa diidentifikasi secara jelas karena sangat
tergantung dari kesepakatan anggota-anggota yang terlibat dalam hubungan
kerja sama tersebut (secara lebih detail bisa dilihat pada Tabel 1.1).

Tabel 1.1: Dimensi Struktur dan Kognisi Modal Sosial


Struktur Kognisi
Sumber dan Peran dan aturan Norma-norma
pengejawantahan Jaringan dan hubungan Nilai-nilai
interpersonal dengan Perilaku (attitudes)
pihak lain Keyakinan
Prosedur dan kejadian
Cakupan (domains) Organisasi sosial Budaya sipil (civic culture)
Faktor dinamis Keterkaitan horizontal Kepercayaan¸solidaritas,
Keterkaitan vertikal Kerjasama, kedermawaan

6
Ibid., Hlm. 143

11
Elemen bersama Ekspektasi yang
mengarahkan kepada _
perilaku kerja sama yang
saling menguntungkan
Sumber: Uphoff; dalam Walis; Killerby; dan Dallery, 2004:241

Selanjutnya, konsep modal sosial tidaklah dipahami secara tunggal,


melainkan mempunyai dimensi yang multispektrun.7 Sampai saat ini,
setidaknya terdapat empat cara pandang terhadap modal sosial. Pertama,
pandangan komunitarian (communitarian view). Pandangan ini
menyamakan modal sosial dengan organisasi lokal, seperti klub, asosiasi,
dan kelompok-kelompok sipil. Komunitarian, yang melihat jumlah dan
keeratan (density) kelompok dalam sebuah komunitas, menganggap modal
sosial sebagai sesuatu yang secara inheren baik (inherently good), dan
memandang eksistensinya selalu bernilai positif bagi kesejahteraan
komunitas. Secara lebih lanjut, pandangan komunitarian secara implisit
mengasumsikan bahwa komunitas merupakan entitas homogen yang secara
otomatis menyertakan seluruh anggota memetik keuntungan. Terlepas dari
beberapa fakta-fakta yang bisa berseberangan dari kacamata ini, pendekatan
komunitarian sudah bisa memotret sebagian dari struktur sosial yang hidup
di masyarakat. Perspektif ini diakui telah memberikan kontribusi yang besar
dalam membantu analisis tentang kemiskinan dengan memusatkan ikatan
sosial (social ties) sebagai instrumen untuk membantu kaum Iniskin
mengelola risiko dan kerentanan (vulnerability).
Kedua, pandangan jaringan/jejaring (network view). Pandangan ini
menggabungkan dua level, sisi atas (upside) dan sisi bawah (downside),
yang menekankan pentingnya asosiasi vertikal dan horisontal di antara
orang-orang dan relasinya dengan entitas organisasi lain, semacam
kelompok komunitas dan perusahaan (firms). Secara jelas, konsep ini
sebetulnya mengoperasikan dua sifat penting dari modal sosial, yakni
sebagai ikatan (bonding) dan jembatan (bridging). Dalam pandangan

7
Ibid., Hlm. 143—144

12
jejaring ini, modal sosial sebagai 'ikatan' karena kekuatan hubungan di
dalam sebuah komunitas (intracommunity) bisa memberikan kepada setiap
keluarga dan komunitas sebuah identitas dan tujuan bersama (common
purpose).8 Selanjutnya, modal sosial sebagai 'jembatan' bermakna tanpa
adanya kelemahan ikatan antarkomunitas (intercommunity), seperti
keragaman sosial yang dipicu oleh perbedaan agama, kelas, etnisitas, jender,
dan status sosial ekonomi; ikatan horizontal yang kuat dapat menjadi basis
bagi kepentingan sektarian yang sempit. Dengan begitu, pandangan jejaring
ini bisa dikarakteristikkan dalam dua proposisi kunci: (i) modal sosial
adalah pedang bersisi dua (double-edged sword). Maksudnya, modal sosial
dapat menyediakan layanan-layanan yang bermanfaat bagi anggota
komunitas, tetapi juga ongkos yang mungkin keluar akibat ikatan yang sama
(same ties) melakukan klaim non-ekonomi terhadap anggota-anggota
komunitas dalam hal kewajiban dan komitmen (obligation and
commitment) yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif ekonomi.
Misalnya, anggota komunitas yang kuat bisa saja mengisolasi anggota
komunitas lainnya untuk mendapatkan informasi mengenai kesempatan
kerja, dan lain-lain; dan (ii) sumber-sumber modal sosial perlu dipisahkan
dari konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari kemungkinan negatif.
Artinya, pencapaian modal sosial yang diinginkan bisa jadi mengabaikan
kemungkinan bahwa hasil tersebut diperoleh dengan jalan membebani
kelompok lainnya (another group's expense) sehingga sebetulnya
pencapaian (outcome) tersebut tidak optimal, atau hasil yang diinginkan saat
ini sebenarnya akan menimbulkan biaya di kemudian hari.9

8
Ibid., Hlm. 144
9
Ibid., Hlm. 144—145

13
Bagan 1.1: Hubungan antara Jembatan Modal Sosial
(Bridjing Social Capital) dan Tata Kelola (Govermance)

Catatan: Komplementer merujuk kepada interaksi optirnal antara pemerintah dan pasar
dalam masyarakat yang matang (civil society); sedangkan substitusi adalah penggantian
melalui organisasi sosial (keluarga, jaringan, dan lain-lain) atas pelayanan umum yang
disediakan oleh pemerintah dan lembaga.

Dalam level yang lebih makro, jembatan modal sosial dapat


dikaitkan dengan tata kelola (governance) yang menghasilkan pencapaian
ekonomi. Narayan (1999) mengintegrasikan ide inti dari jembatan modal
sosial (bridging social capital) yang menyatakan bahwa intervensi yang
berbeda dibutuhkan bagi kombinasi tata kelola yang berlainan dan jembatan
modal sosial dalam sebuah kelompok, komunitas, atau masyarakat (lihat
Bagan 1.1). Dalam masyarakat (atau komunitas) dengan tata kelola yang
baik dan level jembatan modal sosial yang tinggi, diestimasikan terdapat

14
komplementaritas antara negara dan masyarakat, serta antara kemakmuran
ekonomi dan ketertiban sosial (social order). Tetapi, apabila modal sosial
masyarakat yang inheren dalam kelompok sosial tidak terkoneksi satu
dengan lainnya, maka kelompok yang lebih kuat akan mendominasi negara
sehingga mengucilkan kelompok lainnya. Pada titik ini, pekerjaan kunci
yang harus dilakukan oleh kelompok yang tersisih (subordinate groups)
adalah melakukan koalisi dan mengajak bergabung pihak yang
terpinggirkan untuk memeroleh posisi kekuasaan, sehingga setelah itu
mereka dapat memeroleh hak-hak dan sumber daya yang sebelumnya tidak
bisa dimiliki/diakses.
Ketiga, pandangan kelembagaan (institutional view). Pandangan ini
berargumentasi bahwa vitalitas jaringan komunitas dan masyarakat sipil
merupakan produk dari sistem politik, hukum, dan lingkungan kelembagaan
(institutional environment). Berbeda dengan pandangan komunitarian dan
jaringan yang menganggap modal sosial sebagai variabel independen yang
mendorong pencapaian yang berbeda-beda, baik ataupun buruk, maka
pandangan kelembagaan menempatkan modal sosial sebagai variabel
dependen. Dengan kata lain, perspektif kelembagaan menganggap kapasitas
kelompok-kelompok sosial untuk melakukan aksi/tindakan menurut
kepentingan kolektifnya tergantung kepada mutu kelembagaan formal di
mana kelompok tersebut tinggal/berdiam.10 Sampai di sini terdapat dua
varian dari model kelembagaan ini, namun sebenarnya bisa saling
melengkapi: (1) studi yang dilakukan oleh Skocpol (1995, 1996) dengan
menggunakan pendekatan sejarah perbandingan (comparative history)
menyimpulkan bahwa masyarakat sipil yang sedang tumbuh berperan untuk
memperkuat negara; dan (2) studi yang dilakukan oleh Knack dan Keefer
(1995, 1997) yang melihat efek kinerja pemerintah terhadap kinerja
ekonomi, menghasilkan temuan bahwa kepercayaan, aturan hukum,

10
Ibid., Hlm. 146

15
kebebasan sipil, dan kualitas birokrasi memiliki efek positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Secara jelas, Knack (1999) menyimpulkan bahwa
modal sosial dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan memperbaiki, atau
pada level minimum tidak membuat lebih buruk, ketimpangan pendapatan.

Tabel 1.2: Empat Perspektif Modal Sosial


Perspektif Pelaku Preskripsi Kebijakan
Perspektif Komunitarian Kelompok komunitas Kecil itu indah
Asosiasi lokal Organisasi sukarela Mengidentifikasi asset
sosial kaum miskin
Perspektif Jaringan Wirausahawan Kelompok Desentralisasi
Ikatan dan jembatan ikatan bisnis Perantara informasi Menciptakan zona
komunitas usaha Menjembatani
pemisahan sosial
Perspektif Kelembagaan Sektor privat dan publik Desain kebebasan sipil
Kelembagaan politik dan dan pilitik
hukum
Perspektif Energi Kelompok komunitas, Produksi bersama,
Jarring komunitas dan relasi masyarakat sipil, perusahaan partisipasi,
negara-masyarakat dan negara komplementaritas,
keterkaitan Penguatan
kapasitas dan skala
organisas lokal
Sumber: Woolcock dan Narayan, 2000:239

Keempat, pandangan sinergi (synergy view). Pandangan ini kurang


lebih berupaya mengintegrasikan konsep jejaring (network) dan
kelembagaan (institutional). Evans (1992, 1995, 1996), sebagai pioner dari
pandangan ini, menyimpulkan bahwa sinergi antara pemerintah dan
masyarakat/warga negara (citizen) didasarkan atas prinsip komplementer
dan kelekatan (complementarity and embeddedness).11 Komplementer
merujuk kepada hubungan yang saling menguntungkan (mutually
supportive relations) antara aktor publik dengan privat dan diwujudkan
dalam kerangka kerja legal yang melindungi hak-hak asosiasi, misalnya
kamar dagang (chambers of commerce) memfasilitasi pertukaran di antara
asosiasi komunitas dan kelompok-kelompok bisnis. Sedangkan kelekatan

11
Ibid., Hlm. 147—147

16
mengacu kepada sifat dan luas (extent) ikatan yang dapat menghubungkan
warga negara dengan pejabat publik (public officials). Contoh yang baik
untuk menjelaskan kelekatan ini adalah kasus irigasi, di mana pelaku paling
rendah dari manajemen irigasi dilaksanakan sendiri oleh komunitas.
Akhimya, secara umum, pendekatan kelembagaan ini bekerja hanya dalam
situasi di mana tindakan-tindakan pejabat publik/pemerintah secara
simultan diikat oleh lingkungan organisasi yang berorientasi kinerja
(performance-oriented), nisalnya diukur dari kompetensi, koherensi, dan
kredibilitas (ringkasan empat perspektif tersebut bisa dilihat dalam Tabel
1.2).12

C. Modal Sosial: Implikasi Negatif


Meskipun konsep modal sosial diakui eksistensi dan relevansinya
dalam dataran teoretis maupun empiris, namun masih banyak
ketidaksepakatan menyangkut beberapa hal mendasar sehingga
menimbulkan kontroversi yang tidak berujung hingga kini. Dalam
identifikasi yang mendalam, setidaknya kontroversi menyangkut konsep
modal sosial ini bisa dibagi dalam empat isu (Lin, 2001:26-28). Pertama,
kontroversi yang menghadapkan apakah modal sosial itu aset kolektif atau
individu. Kontroversi ini berasal dari persinggungan antara perspektif
makro versus level hubungan (relational-level). Sebagian besar ahli sepakat
bahwa modal sosial sekaligus menjadi barang publik dan individu, di mana
keberadaannya terlembagakan dalam relasi sosial dengan melekat kepada
sumber daya yang diekspektasikan untuk memeroleh keuntungan, baik
kolektif maupun individu (dalam sebuah kelompok). Sedangkan pada level
kelompok, modal sosial merepresentasikan beberapa agregasi sumber daya
yang bernilai (ekonomi, politik, budaya, atau sosial dalam koneksi sosial)
bagi interaksi anggota dalam sebuah jaringan. Kesulitan muncul apabila
modal sosial didiskusikan sebagai barang kolektif atau publik karena

12
Ibid., Hlm. 147

17
membaur dengan norma, kepercayaan (trust), dan barang publik lainnya.
Kedua, kontroversi yang melihat modal sosial sebagai 'klosur' (closure) atau
jaringan terbuka dalam sebuah jaringan atau relasi sosial. Melalui perspektif
kelas (class perspective), Bourdieu melihat modal sosial sebagai investasi
dari anggota-anggota modal sosial yang berasal dari kelas dominan (sebagai
kelompok atau jaringan) yang bertujuan menjaga dan mereproduksi
solidaritas kelompok dan melestarikan kelompok dominan Persoalannya
adalah, setiap jaringan itu bersifat tertutup (eksklusif) sehingga tidak
dipengaruhi oleh kelompok lain, atau terbuka melalui proses interaksi
dengan kelompok/jaringan lainnya.

Tabel 8.3: Kontroversi Modal Sosial

Isu Isi Masalah


Aset koletif atau individu Modal sosial sebagai aset Membaur (confounding)
(Coleman, Pulnam) kolektif dengan norma,
kepercayaan
Clouser atau jaringan Kelompok harus tertutup Visi kelas masyarakat dan
terbuka (Bourdieu, dan rekat (dense) keadilan mobilitas
Coleman, Pulnam)
Fungsional (Coleman) Modal sosial diindikasikan Taulogi (sebab ditentukan
oleh efeknya terhadap oleh efeknya)
tindakan tertentu
(particular)
Pengukuran (Coleman) Tidak bisa dikuantifikasi Heuristik tidak dapat salah
(not falsifiable)
Sumber. Lin, 2001:26

Ketiga, kontroversi yang dipicu oleh pandangan Coleman, yang


menyatakan bahwa modal sosial merupakan 'sumber daya struktur sosial'
(social-structure resource) yang menghasilkan keuntungan (returns) bagi
individu dalam sebuah tindakan yang spesifik. Coleman memberikan
tekanan bahwa ‘modal sosial didefinisikan berdasarkan fungsinya’ dan
bahwa ‘modal sosial bukanlah entitas tunggal, melainkan bermacam-

18
bermacam etnisitas yang berbeda dan memiliki dua karakteristik penting:
modal sosial berisi aspek dari struktur sosial dan modal sosial memfasilitasi
tindakan-tindakan tertentu individu dalam struktur tersebut. Implikasinya,
pandangan fungsional ini mungkin bersifat tautologi: modal sosial
diidentifikasi ketika dan jika ia bekerja; dengan begitu penjelasan penyebab
potensi modal sosial dapat ditangkap hanya melalui efeknya; atau modal
sosial merupakan investasi yang tergantung kepada pengembalian (return)
terhadap individu tertentu dalam sebuah tindakan yang spesifik. Sehingga,
faktor penyebab (causal factor) didefinisikan lewat faktor pengaruhnya
(effectual factor). Keempat, kontroversi mengenai pengukuran
(measurement). Coleman mempertanyakan, apakah modal sosial bisa
disepadankan dengan modal ekonomi, fisik, dan manusia sehingga bisa
dikuantifikasi dalam bidang ilmu sosial? Sampai saat ini, modal sosial lebih
banyak didekati dengan analisis kualitatif dan untuk analisis kuantitatifnya
biasanya dilakukan dengan mengambil indikator-indikator kualitatif.
Kecenderungannya, bagi kebanyakan ahli, mereka menghendaki modal
sosial bisa diukur melalui pendekatan kuantitatif (secara lebih detail, empat
kontroversi modal sosial tersebut bisa dilihat dalam Tabel 8.3).

Di luar kontroversi di atas, bahasan tentang konsep modal sosial


selama ini didominasi oleh cara pandang yang terlalu positif. Artinya,
menempatkan modal sosial sebagai variabel yang dapat memberikan
manfaat bagi kemaslahatan bersama, misalnya dalam pembangunan
ekonomi. Padahal, modal sosial yang bertumpu kepada interaksi
antarmanusia dalam struktur sosial yang inheren di dalamnya, bisa saja
menimbulkan implikasi negatif bagi, misalnya, alokasi kegiatan, ekonomi.
Dalam salah satu bagian risalahnya, Yoram Ben-Porath (dalam Coleman,
1988:96) mengembangkan konsep yang kemudian sangat dekat dengan
pengertian modal sosial, yakni yang dia sebut sebagai 'F-connection.' F-
connection tersebut terdiri dari families (keluarga), friends (teman), dan
firms (perusahaan). Kemudian Ben-Porath menjelaskan bahwa bentuk-
bentuk koneksi tersebut dalam organisasi sosial dapat memengaruhi

19
pertukaran ekonomi (economic exchange). Jika dikembangkan secara lebih
jauh, bisa jadi hubungan keluarga dan pertemanan bisa bermanfaat bagi
seseorang untuk mendapatkan pekerjaan atau karir yang lebih bagus.
Contoh yang lebih sederhana, transaksı dengan seorang teman tentu akan
lebih mudah dilakukan daripada dengan orang yang tidak dikenal
sebelumnya.13

Tetapi, konsep F-connection tersebut, dan secara lebih jauh konsep


tentang modal sosial, dapat memiliki implikasi negatif terhadap pertukaran
ekonomi atau kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa studi terbaru
sekurangnya menunjukkan empat konsekuensi negatif dari modal sosial
(Portes, 1998:15): pengucilan dari pihak luar (exclusion of outsiders),
dampak klaim terhadap anggota kelompok (excess claims on groups
members), rintangan terhadap kebebasan individu (restrictions on
individual freedoms), dan penyempitan ruang lingkup dari norma
(downward leveling norms). Dalam beberapa hal, keempat konsekuensi
negatif dari modal tersebut nyaris tidak terbantahkan, bahkan ditengarai
menjadi penyebab terpenting terjadinya keterbelakangan (ekonomi) di
negara-negara berkembang. Modal sosial, yang secara netral lebih banyak
dimaknai sebagai energi penting bagi individu untuk menangkap dan
memanfaatkan peluang melalui struktur sosial yang tersedia, ternyata secara
empiris dapat menjadi sumber kegagalan bagi sebuah sistem untuk bekerja
mencapai tujuan yang diinginkan. Inilah yang menyebabkan sistem yang
dibangun di negara-negara berkembang sulit berjalan karena diganjal dalam
tahap implementasinya.

Secara lebih detail, keempat konsekuensi negatif dari modal sosial


bisa dipaparkan sebagai berikut. Pertama, ikatan sosial yang terlalu kuat
cenderung akan mengabaikan atau membatasi akses pihak luar memeroleh
peluang yang sama dalam melakukan kegiatan (ekonomi), misalnya untuk

13
Ibid., Hlm. 148—149

20
memeroleh pekerjaan. Bahkan, secara lebih jauh, ikatan sosial bisa menjadi
sumber diskriminasi laten yang merusak iklim persaingan sehat, seperti
diskriminasi ras dan warna kulit di Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Di
beberapa negara, sering kali aparat birokrasi dimonopoli oleh etnis tertentu,
yang semua itu dicapai melalui rekayasa sistematis yang berbasis 'ikatan
sosial.' Pendeknya, individu/kelompok yang tidak diidentifikasi sebagai
anggota ikatan sosial akan dihalangi untuk memeroleh akses terhadap setiap
peluang (ekonomi) yang timbul. Kedua, sangat mungkin terjadi dalam
sebuah kelompok terdapat beberapa individu/aktor yang berpotensi
mengganjal individu lainnya karena kepemilikan akses, misalnya, informasi
yang lebih besar. Atau, kelompok/komunitas berupaya menghalangi
anggotanya mengembangkan bisnisnya karena akan mengganggu
kepentingan (ekonomi) bagi komunitas tersebut. Pada titik ini, inisiatif
individu harus dikorbankan demi kepentingan kelompok/komunitas yang
lebih besar.

Ketiga, selalu ada pilihan atas sebuah dilema antara 'solidaritas


komunitas' dan 'kebebasan individu'. Dalam sebuah komunitas atau wilayah
yang memiliki norma sangat kuat, kontrol sosial umumnya represif sehingga
berpotensi menghalangi kebebasan personal dari tiap anggotanya. Deskripsi
ini, dengan ungkapan lain, bisa diterangkan lebih jauh dengan pernyataan
bahwa norma yang sangat kuat memungkinkan setiap anggota
kelompok/komunitas saling mengawasi sehingga tidak ada celah bagi
individu untuk berbuat 'menyimpang'. Sayangnya, dalam beberapa hal,
tindakan 'menyimpang' sebetulnya tidak selalu berarti salah, bahkan bisa
menjadi energi kreatif untuk melakukan inovasi. Namun, hal ini sangat sulit
terjadi dalam sebuah komunitas yang ikatan normanya sangat kuat.
Keempat, jamak terjadi sebuah situasi di mana solidaritas kelompok
dibangun berdasarkan pengalaman bersama untuk melawan masyarakat
yang mendominasi (mainstream society). Dalam posisi ini, sebuah
kelompok masyarakat, atas nama norma, bisa menentukan hidup-matinya
individu/kelompok lainnya. Hasilnya, ruang lingkup norma menjadi

21
menyempit, yang seharusnya berfungsi melindungi anggotanya dari praktik-
praktik penindasan. Jadi, norma dapat menjadi pemandu dan perekat bagi
sebuah komunitas untuk menyelenggarakan hidup bersama. Tapi, norma,
dalam sebuah struktur ikatan yang tidak adil, bisa berlaku eksploitatif
terhadap anggota kelompok yang memiliki posisi lemah sehingga terdapat
insentif bagi mereka untuk melarikan diri dari komunitas tersebut.

Jadi, deskripsi tersebut dengan jelas menyatakan bahwa modal sosial


bisa merusak bila digunakan untuk kepentingan-kepentingan sempit.
Sampel yang sering digunakan sebagai contoh adalah kasus mafia, di mana
ikatan yang kuat di dalam organisasi tersebut digunakan secara tertutup
demi melindungi operasi usaha ilegal, kekerasan, dan kejahatan. Dalam
konteks negara berkembang, keterbatasan sistem politik dan ekonomi
dimanfaatkan untuk mengoperasikan sebuah praktik kegiatan ekonomi dan
politik yang koruptif, kolutif, dan nepotis. Dalam perspektif ini, modal
sosial yang dipunyai digunakan secara eksklusif menguntungkan individu/
kelompok yang tertentu, sambil pada saat yang bersamaan dipakai untuk
mengucilkan kelompok lainnya dengan cara yang tidak adil (fair). Tentu
saja, dalam sudut pandang ekonomi, hal ini akan merugikan tercapainya
efisiensi. Misalnya, kebijakan tata niaga ataupun monopoli diberikan
kepada pelaku ekonomi tertentu bukan karena pertimbangan ekonomi,
melainkan kesamaan etnis atau ikatan sosial lainnya. Implikasinya,
kebijakan tersebut.14

D. Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi


Dalam konteks ilmu ekonomi, seperti halnya modal ekonomi dan
manusia, pembahasan modal sosial sudah barang tentu direlasikan dengan
pencapaian (pembangunan) ekonomi. Meskipun berasal dari sosiologi,
modal sosial dianggap sebagai bentuk modal yang dapat memengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Diskusi ini telah berlangsung sejak awal 1990-an,

14
Ibid., Hlm.150—151

22
dengan dua level riset utama: penelitian hulu yang mencari landasan teoretis
hubungan antara modal sosial dan pembangunan ekonomi, serta penelitian
hilir yang melacak implikasi konkret modal sosial terhadap pertumbuhan
ekonomi. Keduanya memberikan pemahaman mendalam tentang hubungan
ini, dengan dukungan teoretis dan empiris yang kaya.

Tabel 8.4: Rasionalitas Pertukaran Ekonomi dan Sosial

Elemen Pertukaran Ekonomi Pertukaran Sosial


Fokus pertukaran Transaksi Hubungan (relationship)
Kegunaan Laba relatif terhadap biaya Laba relatif terhadap biaya
(optimisasi) dalam transaksi (iransaction dalam hubungan (relationship
at a cost) at a cost)
Pilihan rasional Relasi alternatif Transaksi alternatif
Biaya transaksional dan Biaya hubungan/relasional
reduksi dan reduksi
Bentuk pembayaran Uang (kredit ekonomi, utang Pengakuan/recognition (kredit
(episodic payoff) ekonomi) sosial, utang sosial)
Penghargaan umum Kesejahteraan (status Reputasi (status sosial)
(generalized payoff) ekonomi)
Penjelasan logika Hukum alam (law of nature) Hukum manusia (law of
(explanatory logic) Daya tahan pelaku humans)
Optimisasi laba Daya tahan kelompok
Minimalisasi kerugian

Sebelum mengupas masalah hubungan antara modal sosial dan


pembangunan ekonomi, terlebih dulu akan dipaparkan perbedaan antara
pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial, seperti yang dijelaskan oleh Lin
(2001:154-155). Dalam perspektif rasionalitas transaksional, yang secara
tipikal digunakan untuk melakukan analisis pertukaran ekonomi, tujuan
utamanya adalah memeroleh modal ekonomi (sumber daya melalui
transaksi) dan kepentingan dalam aspek transaksional pertukaran yang
dimediasi oleh harga dan uang. Kegunaan dari pertukaran adalah untuk

23
mengoptimalisasi keuntungan transaksional, sedangkan pilihan rasional
didasarkan kepada analisis hubungan-hubungan alternatif yang
memproduksi beragam keuntungan dan biaya transaksional. Dengan basis
ini, aturan-aturan pertukaran berperan dalam dua hal. Pertama, jika
hubungan dengan agen tertentu menghasilkan keuntungan, maka
keputusannya adalah melanjutkan hubungan transaksi berikutnya. Kedua,
bila hubungan tersebut gagal menghasilkan laba relatif, maka ada dua
pilihan yang dapat diambil: (1) menemukan hubungan alternatif yang bisa
memproduksi keuntungan; atau (2) merawat hubungan tersebut, tetapi
dengan berupaya mengurangi biaya transaksional. Keputusan di antara dua
pilihan itu didasarkan kepada bobot relatif yang mungkin diambil dari
kemungkinan memeroleh keuntungan atau mengurangi biaya transaksi.
Dengan begitu, analisis kritis dalam pertukaran ekonomi memfokuskan
kepada transaksi simetris dalam episodis atau transaksi yang berulang (lihat
Tabel 8.4).

Rasionalitas relasional menitikberatkan pada aspek hubungan dalam


pertukaran, dengan fokus pada pengakuan atau harapan pengakuan dari
pihak lain. Motivasi dari rasionalitas relasional adalah memperoleh reputasi
melalui pengakuan dalam jaringan sosial. Pertukaran dilakukan untuk
mengoptimalkan keuntungan relasional dan mempertahankan hubungan
sosial, dengan mempertimbangkan analisis biaya dan keuntungan. Terdapat
dua aturan partisipasi dalam pertukaran: pertama, transaksi akan dilanjutkan
jika mempromosikan hubungan yang kuat dan pengakuan; kedua, jika
transaksi tidak mendukung hubungan yang kuat, opsi termasuk mencari
alternatif transaksi yang menguntungkan atau merawat transaksi tersebut
dengan mengurangi ongkos relasional. Keputusan didasarkan pada proses
menemukan alternatif transaksi dan biaya relasional relatif.

Modal sosial dapat menjadi sumber daya ekonomi dalam kegiatan


transaksi, terutama ketika pasar tidak dapat mengatasi persoalan seperti
eksternalitas, barang publik, hak kepemilikan, dan monopoli. Berbeda

24
dengan pandangan ekonomi klasik yang menganggap pasar sebagai
instrumen paling efisien, modal sosial dianggap sebagai alternatif yang
lebih efisien dalam penyelesaian masalah tersebut. Contohnya, dalam kasus
barang publik, pemindahan produksi kepada individu dengan dukungan
modal sosial dapat meningkatkan tanggung jawab dan keeratan komunitas,
meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi free-rider. Hubungan
antara modal sosial dan pembangunan ekonomi juga dapat dilihat dari sisi
kerja sama dalam kegiatan ekonomi, yang memerlukan kepercayaan.
Masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi mampu melakukan kerja
sama hingga level organisasi besar, sementara masyarakat dengan tingkat
kepercayaan rendah terbatas pada kerja sama yang lebih terlokalisasi. Oleh
karena itu, modal sosial dipahami sebagai prakondisi untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai hasil akhir dari pertumbuhan
tersebut.

Secara operasional, standar model ekonomi produksi menjelaskan


beberapa mekanisme efek modal sosial terhadap kinerja ekonomi.
Asumsikan bahwa fungsi output per kapita bisa ditulis seperti dalam
persamaan (1). Implisit di dalam persamaan (1) tersebut adalah eksistensi
ekonomi pasar dapat memfasilitasi pelakunya untuk mendapatkan laba,
upah, dan pengembalian modal sehingga terdapat insentif berproduksi.
Tapi, apabila pasar gagal, alternatif insentif mungkin dilakukan oleh aturan
pemerintah dan sanksi, misalnya pengenaan ntul pembiayaan barang publik.
Seterusnya, apabila pemerintah maupun maka insentif mungkin disediakan
lewat norma kerja sama (cooperative norms) dan sanksi sosial (social
sanctions) yang ada dalam masyarakat sipil (civil society). Masing-masing
dari mekanisme tersebut bisa komplementer (seperti dikutip dari Wallis,
Killerby, dan Dollery, 2004:244).

25
yi = output/pekerja di negara i
Ki = stok modal fisik
Hi = stok modal manusia
Yi = total output
Li = tenaga kerja
Ai = teknologi

Andaikan dua negara memimiliki ekonomi pasar yang berfungsi,


teknologi yang sama serta stok modal fisik dan manusia yang ekuivalen,
sangat mungkin level produksi dari kedua. negara tersebut berlainan karena
perbedaan efektifitas kelembagaan dan norma masyarakat. Efek
produktivitas langsung dari modal dapat ditunjukan pada persamaan:

Sebagai tambahan efek langsung terhadap produktivitas, modal


sosial juga mepunyai efek tidak langsung melalui peningkatan akumulasi
modal manusia, seperti pada persamaan diatas. Lewat investasi yang lebih
besar dalam pendidikan publik masyarakat, partispiasi komunitas yang
lebih insentif dalam manajemen akses sekolah, dan akses yang lebih baik
terhadap kredit informal bagi kaum miskin. Coleman (1998) menemukan
bahwa modal sosial berhubungan dengan tingkat putus sekolah.

Akhirnya modal sosial juga memfasilitasi akumulasi bersih dari


modal fisik, seperti yang ditunjukan diatas tingkat investasi dan tabungan
dosmetik selama ini diandaikan lebih tinggi di bawah stabilitas politik
ekonomi dan kepastian keuangan. Guiso et all (2000) menemukan bahwa
level wilayah kepercayaan sosial yang tinggi rumah tangga yang lebih
banyak menginvestasikan modalnya dalam wujud uang saham daripada
uang dan memiliki akses yang lebih baik terhadap kredit

26
Dengan pembahasan yang sudah dijelaskan, menjadi jelas bahwa
perbedaaan pencapaian (outcomes) pembangunan tidak dapat dijelaskan
dari ketidaksamaan input material saja. Dalam hal ini terdapat konsensus
umum bawha inisiatif pembangunan seharusnya dengan memasukan
peranan modal sosial, semacam ilmu pengetahuan, pemahaman, nilai nilai,
norma, sifat sifat dan jaringan sosial mempekuat hasil yang diinginkan.

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Muasal teori modal sosial pertama kali dipicu oleh tulisan Pierre
Bourdieu yang dipublikasikan pada akhir 1970-an (Fine dan
Lapavitsas, 2004:19). Judul tulisan Bourdieu tersebut antara lain adalah
'Le Capital Social: Notes Provisoires', yang diterbitkan dalam 'Actes de
la Recherche en Sciences Sociales (1980). Karena publikasi tersebut
dilakukan dalam bahasa Perancis, membuat tidak banyak ilmuwan
sosial yang menaruh perhatian (Portes, 1998:3). Setelah James S.
Coleman mempublikasikan topik yang sama pada 1993. Akhirnya,
hingga saat ini, banyak pihak yang berkeyakinan bahwa Coleman
merupakan ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep modal
sosial. Melalui serangkaian pengertian para ahli, terdapat sebuah
aporisme terkenal yang menyatakan bahwa modal sosial bukanlah
masalah apa yang Anda ketahui, tetapi siapa yang Anda kenal' (it's not
what you know, it's who you know that matters) [Fine dan Lapavitsas,
2004:17). Dengan dasar tersebut, modal sosial bisa merujuk kepada
norma atau jaringan yang memungkinkan orang untuk melakukan
tindakan kolektif.
2. Konsep modal sosial tidaklah dipahami secara tunggal, melainkan
mempunyai dimensi yang multispektrun. Sampai saat ini, setidaknya
terdapat empat cara pandang terhadap modal sosial. Pertama,
pandangan komunitarian (communitarian view). Kedua, pandangan
jaringan/jejaring (network view). Ketiga, pandangan kelembagaan
(institutional view). Keempat, pandangan sinergi (synergy view).
3. Meskipun konsep modal sosial diakui eksistensi dan relevansinya
dalam dataran teoretis maupun empiris, namun masih banyak
menimbulkan kontroversi yang tidak berujung hingga kini. Kontroversi
menyangkut konsep modal sosial ini bisa dibagi dalam empat isu (Lin,

28
2001:26-28). Pertama, kontroversi yang menghadapkan apakah modal
sosial itu aset kolektif atau individu. Kedua, kontroversi yang melihat
modal sosial sebagai 'klosur' (closure) atau jaringan terbuka dalam
sebuah jaringan atau relasi sosial. Ketiga, kontroversi yang dipicu oleh
pandangan Coleman, yang menyatakan bahwa modal sosial merupakan
'sumber daya struktur sosial' (social-structure resource) yang
menghasilkan keuntungan (returns) bagi individu dalam sebuah
tindakan yang spesifik. Keempat, kontroversi mengenai pengukuran
(measurement).
4. Modal sosial dapat menjadi sumber daya ekonomi dalam kegiatan
transaksi, terutama ketika pasar tidak dapat mengatasi persoalan seperti
eksternalitas, barang publik, hak kepemilikan, dan monopoli. Berbeda
dengan pandangan ekonomi klasik yang menganggap pasar sebagai
instrumen paling efisien, modal sosial dianggap sebagai alternatif yang
lebih efisien dalam penyelesaian masalah tersebut. Hubungan antara
modal sosial dan pembangunan ekonomi juga dapat dilihat dari sisi
kerja sama dalam kegiatan ekonomi, yang memerlukan kepercayaan.
B. Saran
Setelah dilakukannya penyusunan makalah mengenai Teori Modal
Sosial diharap para pembaca dapat memahaminya dengan seksama agar
penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Kami menyadari
makalah ini masih jauh dengan kesempurnaan, maka dari itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.
Apabila terdapat kesalahan mohon dimaafkan dan dapat dimaklumi. Terima
kasih.

29
DAFTAR PUSTAKA

Yustika, Ahmad Erani. 2021. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma Teori


dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga

30

Anda mungkin juga menyukai