Anda di halaman 1dari 12

Metode Kritik Hadis di Kalangan Ulama Mutaqaddimun

M. Agussalim Nur
UIN Alauddin Makassar
magussalimnur@gmail.com

Abstrak:
Hadis merupakan sumber hukum kedua dalam agama Islam setelah Al-Qur'an. Oleh
karena itu, penting bagi ulama dan cendekiawan Islam untuk memastikan keaslian
dan kebenaran setiap hadis yang disampaikan. Sejarah kritik hadis merupakan bagian
integral dari pengembangan ilmu hadis dalam dunia Islam. Ulama-ulama
mutaqaddimun (ulama yang hidup pada masa awal Islam) memainkan peran penting
dalam mengembangkan metodologi kritik hadis yang kemudian menjadi landasan
bagi ilmu hadis modern. Dalam jurnal ini, kami akan membahas secara komprehensif
metode-metode kritik hadis yang digunakan oleh ulama mutaqaddimun, atau ulama-
ulama terdahulu, untuk mengevaluasi keaslian dan kebenaran hadis. Metode-metode
ini meliputi metode sanad (riwayat), metode matan (isi), metode dirayah (penelitian),
metode ilmiah, dan metode mu'tabar (terpercaya). Melalui pendekatan kritis dan
ilmiah, ulama mampu memastikan bahwa hadis-hadis yang diterima adalah yang
paling dapat diandalkan dan sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kata Kunci: Hadis, Ulama Mutaqaddimun, Metode Kritik, Sanad, Matan

Pendahuluan
Hadis merupakan warisan penting dari Nabi Muhammad SAW dan menjadi sumber
hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an. Namun, kesempurnaan dan keandalan hadis
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan sosial, politik, dan budaya dari
masa ke masa. Oleh karena itu, para ulama mutaqaddimun telah mengembangkan metode
kritik hadis yang cermat dan sistematik untuk mengevaluasi keaslian dan kebenaran setiap
hadis yang disampaikan.
Kajian hadis jika ditinjau dari kesejarahannya sudah ada sejak zaman Nabi SAW.
Para sahabat yang kala itu memiliki kebimbangan terhadap hadis baik dari perkataan,
perbuatan, serta taqrir dari Nabi bisa langsung melakukan direct confirmation kepada Nabi
sebagai sumber utama hadis. Akan tetapi, sepeninggalan Rasulullah mulai banyak terjadi
peristiwa-peristiwa besar yang menyebabkan keotentikan hadis menjadi bermasalah.
Sebagaimana yang diketahui bahwa pasca wafatnya Nabi telah muncul orang-orang yang
mengaku sebagai Nabi palsu, banyaknya pemalsuan hadis, terjadinya fitnah besar,
pengelompokkan kubu-kubu dalam Islam dan lain sebainya.
Berbeda dengan al-Qur’an yang ditulis pada masa Nabi, hadis mulai ditulis sekitar
dua abad pasca wafatnya Rasululllah SAW. Dalam hal ini, peran ulama atau cendikiawan
dalam ranah hadis menjadi sangat vital karena dari sumber hafalan merekalah hadis-hadis
ditulis oleh ulama-ulama seperti al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.
Ulama hadis yang lahir dan hidup di masa-masa awal islam lebih dikenal dengan
istilah mutaqaddimun. Hal ini mencakup sahabat, tabi’in, atba’ at-tabi’in dan setelahnya.
Dalam tulisan ini, akan dipaparkan bagaimana perkembangan kritik hadis dari masa sahabat
sampai masa akhir mutaqaddimun. Tulisan ini juga berupaya menelaah bagaimana metode
kritik hadis yang digunakan oleh kalangan mutaqaddimun dalam mengkritik hadis.

Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian, tentunya diperlukan metodologi dalam meniliti sesuatu.
Dalam hal ini, objek yang dikaji adalah hadis-dari segi matan dan sanad-yang ada di era
mutaqaddimun. Dipelukan penelaahan spesifik mengenai kesejarahan hadis di masa-masa
awal dan mengidentifikasi pola-pola kritik atau metode kritik yang dilakukan oleh muhaddits
di masa awal tersebut.

Studi ini menggunakan metode historis-kritis untuk menganalisis teks-teks klasik dan
literatur primer yang relevan dengan sejarah kritik hadis di kalangan ulama mutaqaddimun.
Data diperoleh dari kitab-kitab klasik, risalah-risalah ilmiah, dan karya-karya terjemahan
modern yang mengupas sejarah ilmu hadis.
Konsep Kritik Hadis dan Mutaqaddimun

Dalam studi hadis, istilah kritik lebih dikenal dengan sebutan naqd.
Kritik hadis, atau al-Naqd al-Hadis, adalah sebuah bidang studi yang memeriksa dan
mengevaluasi hadis-hadis dalam tradisi Islam. Istilah "al-Naqd" memiliki makna yang luas,
termasuk pengkritikan, pemisahan antara yang baik dan buruk, dan penilaian objektif
terhadap suatu materi.Penting untuk dicatat bahwa kritik hadis dalam ilmu hadis tidak
bermakna menghujat atau bersifat negatif. Sebaliknya, itu merupakan usaha penelitian yang
bertujuan untuk menentukan kualitas hadis, apakah itu dianggap sahih (shahih) atau lemah
(da'if), serta untuk menilai keandalan atau kecacatan dari para perawi.

Berbagai ulama memberikan makna atau tujuan yang berbeda terhadap kritik hadis.
Misalnya, menurut M. Azami, kritik hadis adalah upaya untuk menilai kualitas hadis,
menentukan statusnya apakah sahih atau lemah, dan juga untuk menilai keandalan atau
kelemahan dari seorang perawi hadis. 1 Dalam konteks kajian hadis, kritik hadis merupakan
proses yang penting untuk memastikan bahwa hadis-hadis yang disampaikan dianggap dapat
dipercaya dan dapat digunakan sebagai sumber ajaran dan panduan dalam agama Islam .

Adapun mengenai istilah mutaqaddimun merupakan sebuah istilah yang biasa


terdengar dalam studi hadis. Hal ini sering disandingkan dengan term mutaakhirun.
Dalam bidang ilmu hadis, para ulama yang hidup pada masa awal disebut sebagai
Mutaqaddimin, sementara mereka yang hidup pada masa kemudian disebut Mutaakhirin.
Namun, terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan batasan waktu yang memisahkan
antara Mutaqaddimin dan Mutaakhirin.

Al-Hafiz az-Zahabi, seperti yang dicatat dalam Mizan al-I'tidal, menyebutkan bahwa
batasan waktu yang memisahkan antara Mutaqaddimin dan Mutaakhirin adalah 300 tahun.
Ini berarti mereka yang hidup setelah tahun 300 Hijriah dianggap sebagai Mutaakhirin. Di
antara ulama yang tergolong muraqaddimin adalah Abu Hanifah (wafat 150H), al-Awza'i

1 Eky Wifky Afandi, “SEJARAH PERIODISASI KRITIK HADIS,” DIRAYAH: Jurnal Ilmu Hadis 3, no. 2
(2023): hlm. 176.
(wafat 156H), Syu'bah (wafat 160H), Sufyan al-Thawri (wafat 161H), al-Laith bin Sa'd
(wafat 175H), Malik bin Anas (wafat 179 H), Ibn al-Mubarak (wafat 181H), al-Qattan (wafat
189H), Sufyan bin 'Uyaynah (wafat 198H) dan 'Abd al-Rahman bin Mahdi (wafat 198H).

Diikuti seterusnya oleh as-Syafie (wafat 204H), Ibn Ma'in (wafat 233H), Ibn al-
Madini (wafat 234H), Ishaq bin Rahuyah (wafat 238H), Ahmad (wafat 240H), al-Bukhari
(wafat 256H), Muslim (wafat 261H), Abu Zur'ah (wafat 264H), Abu Dawud (wafat 275H),
Abu Hatim (wafat 277H), al-Tirmidzi (wafat 279H), al-Bazzar (wafat 292H), dan al-Nasa'i
(wafat 303H).2

Periode 300 tahun pertama mencakup sebagian besar tokoh yang memberikan kontribusi
yang sangat besar dalam bidang keilmuan Islam, termasuk para sahabat dan tabi'in

Telaah Historis Kritik Hadis di Era Ulama Hadis Mutaqaddimin

1. Kritik Hadis Pada Masa Nabi dan Sahabat

Sebagaimana yang diketahui bahwa hadis lahir pertama kali pada zaman Nabi
Muhammad SAW. Hal ini jika ditinjau dari segi kritik hadisnya lebih mudah di bandingkan
dengan era-era setelahnya. Hal disebabkan para sahabat dapat melakukan konfirmasi
langsung kepada Nabi SAW mengenai keotentikan suatu hadis.3 Hal ini dapat dilihat dari
upaya kriti hadis yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab terkait redaksi hadis yang di
dengarnya.

Dalam redaksi hadisnya, Umar bin al-Khattab mendatangi Rasulullah SAW seraya
bertanya tentang berita yang didengar dari tetangganya yang merupakan seorang Anshar
yang bernama Umayyah Zaid. Ia setelah datang dari pengajian yang diisi Rasulullah,
mengabarkan bahwa Rasulullah SAW telah menceraikan Istri-istrinya. Mendengar berita ini,

2 https://www.hmetro.com.my/addin/2020/12/652621/mengenal-ulama-hadis-mutaqaddimin -
mutaakhirin
3 Siti Badiah, “Kritik Hadits Di Kalangan Ilmuwan Hadits Era Klasik Dan Ilmuwan Hadits Era Modern

(Tokoh, Parameter, Dan Contohnya),” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadits 9, no. 1 (2017):
hlm. 59, http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/al-dzikra/article/view/1725.
membuat Umar terkejut karena salah seorang istri Nabi adalah Putrinya. Untuk memastikan
berita ini, keesokan hari nya ia menemui Rasulullah SAW dan bertanya: “apakah anda telah
menceraikan istri-istri anda?”. Sambil menegakkan kepalanya dan memandang Umar,
Rasulullah menjawab: “tidak”. Dari percakapan tersebut Umar mengetahui bahwa Nabi tidak
menceraikan Istri-istrinya, tapi ia hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istir-istrinya.4

Upaya kritik dalam bentuk lainnya adalah dengan melalui dialog antara sahabat dan
Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat terlihat pada hadis dari riwayat Abdullah bin Mas’ud:

ُ‫ص ََلة‬
‫ال ال ه‬َ َ‫ض ُل ق‬ ُّ ‫اَّللُ َعلَْيهِ َو َسله َم أ‬
َ ْ‫َي ال َْع َم ِل أَف‬ ‫صلهى ه‬ َ ِ‫اَّلل‬
‫ول ه‬ َ ‫ت َر ُس‬ ُ ْ‫ال َسأَل‬
َ َ‫ود ق‬ٍ ‫اَّللِ بْ ِن مس ُع‬ ِ
ْ َ ‫َع ْن َع ْبد ه‬
ُ ‫اَّللِ فَ َما تَ َرْك‬
‫ت‬ ‫يل ه‬ ِ ِ‫ال ا ْْلِ َها ُد ِِف َسب‬ َ َ‫ت ُثُه أَيٌّ ق‬ َ َ‫ال بُِّر ال َْوالِ َديْ ِن ق‬
ُ ْ‫ال قُل‬ َ َ‫ت ُثُه أَيٌّ ق‬ُ ْ‫ال قُل‬َ َ‫لِ َوقْتِ َها ق‬
ِ‫َستَزِي ُدهُ إِهَّل إِ ْر َعاء َعلَْيه‬
ْ‫أ‬
ً
Dari Abdullah bin Mas'ud dia berkata, "Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, 'Amalah apakah yang paling utama? ' Beliau menjawab: "Shalat
pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab:
"Berbakti kepada kedua orang tua." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau
menjawab: "Berjuang pada jalan Allah." Kemudian aku tidak menambah pertanyaan
lagi karena semata- menjaga perasaan beliau."(H.R. Muslim: 120)

Pada hadis di atas menggambarkan dialog yang berisi pertanyaan-pertanyaan dari


Abdullah bin Mas’ud mengenai amalan yang mulia di sisi Allah. Selain bentuk di atas, juga
terdapat bentuk sanggahan dari sahabat terkait redaksi hadis yang didengar langsung dari
Rasulullah. Hal ini dapat diamati pada pembahasan hadis tentang wishal:

4 Mimi Rahmah Sari, “Aisyah dan Kontribusinya dalam Ilmu Kritik Hadis” (Tesis, Jakarta, UIN Syarif
Hidayatullah, 2006), hlm. 60.
‫ول‬
ُ ‫ال ََنَى َر ُس‬
َ َ‫اَّللُ َعْن ُه َما ق‬ ِ ‫اَّللِ بْ ِن ُعمر ر‬
‫ض َي ه‬ ‫ك َع ْن ََنفِ ٍع َع ْن َع ْب ِد ه‬
ٌ ِ‫َبََن َمال‬ ِ‫حدهثَنَا َع ْب ُد ه‬
َ ََ َ َ ‫ف أَ ْخ‬
َ ‫وس‬
ُ ُ‫اَّلل بْ ُن ي‬ َ
ِ ُ ‫ال إِِِّن لَس‬ ِ ‫ك تُو‬
ْ ‫ت م ْث لَ ُك ْم إِِِّن أُط َْع ُم َوأ‬
‫ُس َقى‬ ْ َ َ‫اص ُل ق‬ ِ‫ص‬
َ َ ‫ال قَالُوا إِنه‬َ ِ‫اَّللُ َعلَْيهِ َو َسله َم َع ْن الْو‬ َ ِ‫اَّلل‬
‫صلهى ه‬ ‫ه‬

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami
Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam melarang puasa wishal. Orang-orang berkata: "Namun,
bukankah anda sendiri melakukan puasa wishal?" Beliau bersabda: "Aku tidak sama
dengan keadaan seorang dari kalian karena aku diberi makan dan minum".

Adapun kritik terhadap hadis pada masa sahabat mengalami perkembangan


signifikan dibandingkan dengan masa sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh
ekspansi wilayah dakwah Islam yang semakin luas dan munculnya individu-individu
yang tidak bertanggung jawab dalam meriwayatkan hadis. Dampaknya, tidak jarang
hadis yang disampaikan kepada orang lain tidak berasal dari Rasulullah saw. Oleh karena
itu, beberapa sahabat, termasuk Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi
Thalib, dan sahabat lainnya, memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini.5

Para sahabat ini menetapkan kriteria atau pedoman khusus untuk menilai apakah sebuah

hadis dapat diterima atau tidak. Salah satunya adalah dengan menunjukkan kesaksian dari

sahabat lainnya. Hal ini mulai berlaku dari zaman ke khalifahan Abu Bakar dan Umar. Di mana

keduanya menetapkan ketentuan bawha sahabat yang meriwayatkan hadis harus disumpah dan

harus ada kesaksian dari sahabat lain tentang keotentikan hadis tersebut. Adapun contoh

5 Afandi, “SEJARAH PERIODISASI KRITIK HADIS,” hlm. 176.


hadisnya yaitu hadis tentang pembagian harta yang di tanyakan oleh seorang nenek yang

di tinggal meninggal oleh cucunya.

َ َ‫ب أَنههُ ق‬
‫ال‬ َ ِ‫اب عَ ْن عُثْ َما َن بْ ِن إِ ْس َح َق بْ ِن َخ َر َشةَ عَ ْن قَب‬
ٍ ْ‫يصةَ بْ ِن ذُ َؤي‬ ٍ ‫ك عَ ْن ابْ ِن ِش َه‬ ٍ ِ‫ِب عَ ْن َمال‬
ُّ َِ‫َحدهثَنَا الْقَ ْعن‬
‫َك ِِف‬ ِ‫تل‬ ُ ‫اَّللِ تَعَ َاَل َش ْيءٌ َوَما عَلِ ْم‬
‫اب ه‬ ِ َ‫َك ِِف كِت‬ِ ‫ال َما ل‬ َ َ‫رياثَ َها فَق‬ ِ ِ ‫الصِ ِِد‬
ِ ٍ‫ت ا ْْل هدةُ إِ ََل أَِِب ب ْكر‬
َ ‫يق تَ ْسأَلُهُ م‬ َ َ ْ ‫اء‬ َ ‫َج‬
ِ َ َ‫َسأ ََل النهاس فَسأ ََل النهاس فَق‬ ْ ‫اَّللُ عَلَْيهِ َو َسله َم َشْي ئًا فَ ْارِجعِي َح هَّت أ‬
‫صلهى ه‬ َ ِ‫اَّلل‬ ِ
َ‫ريةُ بْ ُن ُش ْعبَة‬
َ ‫ال ال ُْمغ‬ َ َ َ ‫ِب ه‬ ِِ َِ‫ُسنهة ن‬
‫ام ُُمَ هم ُد بْ ُن‬
َ َ‫ري َك فَق‬ُ ْ َ‫ك غ‬َ ‫ال أَبُو بَ ْكرٍ َه ْل َم َع‬
َ َ‫س فَق‬ َ ‫الس ُد‬
ُّ ‫اها‬ َ َ‫اَّللُ عَلَْيهِ َو َسله َم أَ ْعط‬
‫صلهى ه‬ َ ِ‫اَّلل‬
‫ول ه‬ َ ‫ت َر ُس‬ ُ ‫َحضَ ْر‬
‫ت ا ْْلَ هدةُ ْاْلُ ْخ َرى إِ ََل ُع َم َر بْ ِن‬ ِ َ َ‫ال ِمثْل ما ق‬
ْ ‫اء‬ َ ‫ريةُ بْ ُن ُش ْعبَةَ فَأَنْ َف َذهُ ََلَا أَبُو بَ ْكرٍ ُثُه َج‬
َ ‫ال ال ُْمغ‬ َ َ َ َ‫َم ْسلَ َمةَ فَق‬
ِ ُ‫ضاء اله ِذي ق‬ ِ‫اب ه‬ ِ َ‫َك ِِف كِت‬ ِ ‫ال َما ل‬ ِ ِ ‫اب ر‬
‫ض َي‬ ُ َ َ‫اَّلل تَ َع َاَل َش ْيءٌ َوَما َكا َن الْق‬ َ َ‫رياثَ َها فَق‬
َ ‫اَّللُ َعنْهُ تَ ْسأَلُهُ م‬‫ض َي ه‬ َ ِ ‫ا ْْلَطه‬
‫اجتَ َم ْعتُ َما فِيهِ فَ ُه َو بَْي نَ ُك َما َوأَيهتُ ُك َما‬
ْ ‫س فَِإ ْن‬ُ ‫الس ُد‬
ُّ ‫ك‬ َ ِ‫ض َولَكِ ْن ُه َو ذَل‬ ِ ِ‫بِهِ إِهَّل لِغَ ِْري ِك َوَما أَ ََن بِ َزائِ ٍد ِِف الْ َف َرائ‬
‫ت بِهِ فَ ُه َو ََلَا‬
ْ َ‫َخل‬
Telah menceritakan kepada kami al-Qa'naby, dari Mālik dari Ibnu Syihāb, dari
Utsmān bin Isĥaq bin Kharasyah, dari Qabīshah bin Dzuaib, bahwa ia berkata; telah
datang seorang nenek kepada Abū Bakr al-Shiddīq, ia bertanya kepadanya mengenai
warisannya. Kemudian ia berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun dalam kitab
Allah Ta'ala, dan aku tidak mengetahui sesuatu untukmu dalam sunnah Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam. Kembalilah hingga aku bertanya kepada orang-orang.
Kemudian Abū Bakar bertanya kepada orang-orang, lalu al-Mughīrah bin Syu'bah
berkata; aku menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberikan
kepadanya seperenam. Kemudian Abū Bakr berkata; apakah ada orang (yang
menyaksikan) selainmu? Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata
seperti apa yang dikatakan al-Mughīrah bin Syu'bāh. Lalu Abū Bakr
menerapkannya.” (H.R. Abū Daud)6

Dalam hadits tersebut terlihat sikap penolakan Khalifah Abū Bakr alShiddīq terhadap

pemberitaan yang disampaikan oleh Mughīrah bin Syu'bah bahwa Rasulullah Saw telah

membagikan 1/6 (seperenam) harta pusaka kepada nenek yang menjadi ahli warisnya. Sang

6 Abū
Daud; Kitab : Waris; Bab : Penjelasan tentang nenek ( ‫(;انجدح في‬No. Hadist : 2894. Lihat: Abū
Dawud, Sunan Abū Dāwūd, (Beirut: Dār Ibn Ĥazm, 1418H/1997M), cet. I, jilid III, hlm. 213
Khalifah baru berkenan menerima pemberitaan tersebut setelah datang kesaksian

Muĥammad bin Maslamah alAnshari yang mendukung kebenaran hadits dari Mughīrah.

Selain contoh di atas, terdapat pula kritik hadis dalam bentuk lain. Hal ini tergambar
pada riwayat-riwayat yang disampaikan oleh Aisyah RA yang mengkritik riwayat-riwayat
lain disebabkan adanya lafaz yang terpotong yang tidak disampaikan oleh sahabat serta
minimnya pengetahuan sahabat tentang sabab wurud hadis tersebut. Hadis seperti kritik
Aisyah terhadap riwayat Abu Hurairah tentang mayat yang disiksa karena tangisan
keluarganya dan hadis tentang wanita, anjing, dan himar yang dapat membatalkan shalat
dapat menjadi contoh dalam kasus ini.7

2. Kriitik Hadis Pada Masa Tabi’in dan Tabi’ at-Tabi’in

Dalam akhir generasi sahabat, konflik sosial dan politik di kalangan umat Muslim
menyebabkan tercemarnya keaslian dan kesucian hadis. Pada periode ini, banyak muncul
pemalsu hadis yang didorong oleh berbagai faktor, baik individual maupun kelompok. Selain
itu, sejumlah hadis palsu juga beredar pada masa fitnah atau gejolak politik, seperti hadis
yang mengangkat kelebihan para khalifah, pemimpin partai, atau mencela pihak lain di luar
kelompok tertentu. Kegiatan pemalsuan hadis pada masa tersebut tidak hanya dilakukan oleh
pihak Muslim, tetapi juga oleh pihak-pihak luar dengan tujuan memecah belah persatuan
umat Muslim dan meruntuhkan Islam.8

Dari peristiwa tersebut menjadi permulaan pengetatan dalam menyeleksi sanad -sanad
hadis. Kriteria seorang rawi pun mulai dilakukan penelitian pada masa ini. Hal utama yang
menjadi pentingnya kritik hadis di era ini adalah menyebarnya hadis-hadis ke berbagai
wilayah islam. Para ahli kritik hadis berasal dari kalangan tabi'in, dan sebagian besar dari
mereka tinggal di Madinah. Di antara mereka terdapat Sa’id bin al-Musayyib, al-Qasim bin

7 Husen Maswara, “Kritik matan hadis di kalangan sahabat,” Tahkim 9, no. 2 (2017): hlm. 147,
https://www.academia.edu/download/62110000/10-Husen_Maswara20200215-49171-w5xoxt.pdf.
8 Hedhri Nadhiran, “Kritik Sanad Hadis: Tela’ah Metodologis,” Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin,

Pemikiran, dan Fenomena Agama 15, no. 1 (2014): hlm. 4.


Muhammad bin Abu Bakar, Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali, dan
lain-lain. Para kritikus dari Madinah ini berhasil membimbing para ahli riwayat seperti
Hisyam bin ‘Urwah, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sa’d bin Ibrahim, dan yang paling menonjol
adalah al-Zuhri.

Meskipun pusat aktivitas kritik hadis terfokus di Madinah, Irak pada saat itu juga
melahirkan beberapa ahli kritik hadis yang sangat selektif dalam menerima riwayat dari
orang lain. Contohnya adalah al-Hasan al-Bashri, Thawus, Sa’id bin Jubair, Ibrahim al-
Nakha’i, dan yang sangat terkenal adalah Ibnu Sirin. Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali, Ibnu
Sirin adalah yang pertama kali mulai mengritik para perawi dan memilih beberapa di antara
mereka yang dianggap tsiqah atau kredibel.

Meskipun demikian, ada beberapa tokoh di Madinah yang mendahului Ibnu Sirin dan
bisa disebut sebagai pelopor dalam kritik hadis. Di Irak, al-Sya’bi juga mendahului Ibnu Sirin
dalam hal kritik hadis. Mungkin maksud dari ucapan Yahya bin Ma’in yang menyebut Ibnu
Sirin sebagai pelopor adalah bahwa Ibnu Sirin menjadi pelopor dalam kedalaman dan luasnya
kritik terhadap hadis.9

Standar penerimaan hadis pada periode ini telah d ijelaskan oleh para ulama sebagai
berikut:

1. Menghindari menerima hadis dari individu yang ambisius dan cenderung


mementingkan hawa nafsu negatif.
2. Menolak menerima hadis dari individu bodoh yang seringkali berdusta atas nama
Rasulullah karena kebodohannya.
3. Tidak menerima hadis dari seseorang yang dianggap shalih jika riwayat hadis yang
disampaikannya tidak dikenal secara luas.

9 https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/mengenal-sejarah-kritik-hadi ts-dari-masa-ke-mas a-
bZD85
c. Kritik Hadis di Era Kodifikasi Hadis

Di masa kodifikasi pada abad ke-3, kritik hadis mengalami puncaknya sebagai bagian
dari upaya untuk menyusun kumpulan hadis yang terpercaya dan terstandarisasi. Pada saat
itu, muncul kesadaran akan pentingnya menilai keabsahan hadis secara kritis untuk
memastikan integritas dan keandalannya. Proses kodifikasi ini dipandang sebagai tonggak
penting dalam sejarah ilmu hadis, yang didorong oleh keinginan untuk mengatasi
keberagaman dan kekacauan dalam koleksi hadis serta meningkatkan kredibilitas ilmu hadis
itu sendiri.

Para ulama pada masa tersebut, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan ulama
lainnya, tidak hanya menyusun kumpulan hadis, tetapi juga secara cermat memilih hadis-
hadis yang akan dimasukkan berdasarkan kriteria ketat kritik hadis. Mereka meneliti sanad
(rantai perawi) dan matan (teks hadis) secara mendalam, serta mempertimbangkan integritas
perawi dan konsistensi dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Dalam proses kodifikasi ini, ulama-ulama tersebut memperkuat konsep jarh wa ta'dil
(penilaian terhadap perawi) dan menggunakan kaidah-kaidah kritis yang telah ditetapkan
untuk menilai keabsahan hadis-hadis yang disampaikan. Hadis-hadis yang diragukan
keabsahannya atau dipertanyakan asal-usulnya dihapuskan dari kumpulan hadis tersebut,
sementara hadis-hadis yang terbukti sahih dengan berbagai cara ditetapkan sebagai bagian
dari kumpulan hadis yang terpercaya.

Melalui proses ini, terbentuklah kumpulan hadis-hadis yang terkenal seperti "Sahih
al-Bukhari" dan "Sahih Muslim", yang diakui sebagai sumber utama dalam ilmu hadis.
Pendekatan kritis yang diambil dalam masa kodifikasi ini tidak hanya memberikan fondasi
yang kuat bagi ilmu hadis, tetapi juga menegaskan pentingnya kritik hadis dalam menjaga
integritas dan keaslian tradisi Islam. Ini menjadi tonggak penting dalam perkembangan kritik
hadis yang membawa pengaruh besar dalam studi hadis hingga saat ini.Pada masa ini bisa
dikatakan bahwa cikal bakal penetapan kaidah-kaidah dalam penentuan kualitas hadis.
Di era ini juga diberikan penjelasan mengenai kualitas hadis yang belum sampai pada
derajat shahih dan disebut dengan istilah Hasan. Term ini dikemukakan oleh at-Tirmidzi yang
hidup di akhir abad ke-III.

Kesimpulan

Sejarah kritik hadis di kalangan ulama mutaqaddimun mencerminkan dedikasi


mereka dalam menyusun metodologi yang ketat untuk menilai keabsahan hadis. Kontribusi
mereka membentuk landasan penting bagi pengembangan ilmu hadis modern. Studi lebih
lanjut tentang karya-karya ulama mutaqaddimun ini menjadi penting untuk memahami dan
menghargai warisan intelektual mereka dalam ilmu hadis Islam.

Kritik hadis yang ada di zaman nabi saat masih hidup cenderung lebih mudah karena
dapat langsung konfirmasi kepada Nabi mengenai orisinalitas hadis. Pada masa sahabat,
selain pada kritik matannya. Penilaian pada sanad hadis juga sudah mulai diperhatikan,
seperti pentingnya syahid dalam periwayatan hadis serta penilaian tentang kedhabitan
seorang rawi. Pada era setelahnya, dimana hadis mulai terjadi pemalsuan. Maka ulama dari
situ mulai memperhatikan kajian pada ketersambungan sanadnya.
Daftar Pustaka

Afandi, Eky Wifky. “SEJARAH PERIODISASI KRITIK HADIS.” DIRAYAH: Jurnal Ilmu
Hadis 3, no. 2 (2023): 174–87.
Badiah, Siti. “Kritik Hadits Di Kalangan Ilmuwan Hadits Era Klasik Dan Ilmuwan Hadits
Era Modern (Tokoh, Parameter, Dan Contohnya).” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-
Qur’an dan al-Hadits 9, no. 1 (2017). http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/al-
dzikra/article/view/1725.
Maswara, Husen. “Kritik matan hadis di kalangan sahabat.” Tahkim 9, no. 2 (2017).
https://www.academia.edu/download/62110000/10-Husen_Maswara20200215-
49171-w5xoxt.pdf.
Nadhiran, Hedhri. “Kritik Sanad Hadis: Tela’ah Metodologis.” Jurnal Ilmu Agama:
Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama 15, no. 1 (2014): 91–109.
Sari, Mimi Rahmah. “Aisyah dan Kontribusinya dalam Ilmu Kritik Hadis.” Tesis, UIN
Syarif Hidayatullah, 2006.
https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/mengenal-sejarah-kritik-hadits-dari-masa-ke-masa-bZD85
https://www.hmetro.com.my/addin/2020/12/652621/mengenal-ulama-hadis-mutaqaddimin-
mutaakhirin

Anda mungkin juga menyukai