Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN KEHILANGAN


Dosen pembimbing : I Nengah Sumirta,S.Kep,Ns,SST,M.Kes

Oleh :

1. Ni Kadek Dian Pramudita Maheswari (P07120221063)


2. Ni Kadek Elsa Pratiwi (P07120221064)
3. Ni Kadek Emelia DwiJayanti (P07120221065)
4. Ni Ketut Dyah Okpiani (P07120221066)
5. Ni Komang Lisa Kastari (P07120221067)
6. Ni Komang Trisna Hadi Ningsih (P07120221068)
7. Ni Luh Ayu Kurnia Dewi (P07120221069)
8. Ni Luh Gede Pradnya Dewi (P07120221070)
9. Ni Luh Musti Meri Anggreni (P07120221071)
10. Ni Luh Putu Metri Budi Lestari (P07120221072)
11. Ni Luh Putu Mia Saraswati (P07120221073)
12. Ni Luh Putu Novi Ardani (P07120221074)
13. Ni Luh Putu Salianti Reiska Dewi (P07120221075)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN KEHILANGAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
a. Kehilangan
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi actual maupun potensial yang dapat
dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik
sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga
terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan merupakan pengalaman yang
pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupannya. Sejak
lahir, individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Setiap
individu akan berekasi terhadap kehilangan. Respons terakhir terhadap
kehilangan sangat dipengaruhi oleh respons individu terhadap kehilangan
sebelumnya (Hidayat, 2009 : 243).
2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:
1) Faktor genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan didalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis
dalam menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi
perasaan kehilangan (Hidayat, 2009 : 246 ).
2) Kesehatan jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi
dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik
(Prabowo, 2014 : 116).
3) Kesehatan mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis,
selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka
dalam menghadapi situasi kehilangan (Hidayat, 2009 : 246).
4) Pengalaman kehilangan dimasa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa
kanak-kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan
kehilangan pada masa dewasa (Hidayat, 2009 : 246).
5) Struktur kepribadian
Individu dengan konsep yang negative, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap
stress yang dihadapi (Prabowo, 2014 : 116).
b. Faktor Presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan.
Kehilangan kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti:
kehilangan sifat bio- psiko-sosial antara lain meliputi :
1) Kehilangan kesehatan
2) Kehilangan fungsi seksualitas
3) Kehilangan peran dalam keluarga
4) Kehilangan posisi dimasyarakat
5) Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
6) Kehilangan kewarganegaraan (Prabowo, 2014 : 117).
3. Pohon Masalah

Resiko isolasi sosial, menarik


diri,harga diri rendah dan berduka

Gangguan perilaku : Core problem


berduka disfungsional

Koping individu tidak efektif

Kehilangan

4. Klasifikasi
a. Kehilangan
1) Kehilangan objek eksternal (misalnya kecurian atau kehancuran akibat
bencana alam).
2) Kehilangan lingkungan yang dikenal (misalnya berpindah rumah,
dirawatdirumah sakit, atau berpindah pekerjaan).
3) Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti (misalnya pekerjaan,
kepergian anggota keluarga dan teman dekat, perawat yang dipercaya,
atau binatang peliharaan).
4) Kehilangan suatu aspek diri (misalnya anggota tubuh dan fungsi
psikologis atau fisik).
5) Kehilangan hidup (misalnya kematian anggota keluarga, teman dekat,
atau diri sendiri) (Hidayat. 2009 : 243).
5. Gejala Klinis
a. Kehilangan
Menurut Prabowo (2014 : 117) tanda dan gejala kehilangan diantaranya:
1) Perasaan sedih, menangis
2) Perasaan putus asa, kesepian
3) Mengingkari kehilangan
4) Kesulitan mengekspresikan perasaan
5) Konsentrasi menurun
6) Kemarahan yang berlebihan
7) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
8) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
9) Reaksi emosional yang lambat
10) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
(Eko prabowo, 2014 : 117).

6. Tahapan Berduka dan Kehilangan


Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial),
marah (anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan
(acceptance) atau sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui
setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui bergantung
pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada
stagnasi pada satu fase marah atau depresi. Kehilangan meliputi fase akut dan
jangka panjang.
a. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas
tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta
restitusi.
1) Syok dan tidak percaya
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat
menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya
memang dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi
kepedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
2) Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain,
perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai
cara, dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang
dalam.
3) Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan
kehilangan.
b. Fase jangka panjang
• Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
• Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang
tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada
beberapa individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri,
sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan
menggunakan alkohol.
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase
awal, pertengahan, dan pemulihan.
a. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada
perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
b. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya
perilaku obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang
peristiwa kehilangan yang terjadi.
c. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk
melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi
kembali dalam kegiatan sosial.
7. Rentang Respon
Penyangkalan marah tawar-menawar depresi menerima
a. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah
tidak percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari
kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti
tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin
muncul antara lain sebagai berikut
• “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
• “Diagnosis dokter itu salah.”
• Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,
panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta
merasa tak nyaman.
• Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme
pertahanan (defense mechanism) terhadap rasa cemas.
• Pasien perlu waktu beradaptasi.
• Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan
menggunakan pertahanan yang tidak radikal.
• Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan
dengan kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.
Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat
kematian orang yang dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan
bahwa orang yang dicintainya masih hidup, sehingga sering berhalusinasi
melihat atau mendengar suara seperti biasanya. Secara fisik akan tampak
letih, lemah, pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis,
dan gelisah. Tahap ini membutuhkan waktu yang panjang, beberapa menit
sampai beberapa tahun setelah kehilangan.
b. Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan
kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang
diproyeksikan kepada orang lain atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik
menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan
mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut.
• Emosional tak terkontrol. “Mengapa aku?”
• “Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
• Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap
orang atau lingkungan.
• Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik. “Peraturan RS
terlalu keras/kaku.”
• “Perawat tidak becus!”
• Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari
sisi pandang keluarga dan staf rumah sakit.
• Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan
perasaan yang akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.
c. Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki
tahap tawar- menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah
“....seandainya saya tidak melakukan hal tersebut. Mungkin semua tidak
akan terjadi ......” atau “misalkan dia tidak memilih pergi ke tempat itu ...
pasti semua akan baik-baik saja”, dan sebagainya. Respons pasien dapat
berupa hal sebagai berikut.
• Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah
pada masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
• Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan
waktu hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
• Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-
menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau
diungkapkan secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi
pendeta.
• “Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak
menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan
lebih berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih
baik.”
• “Bila saya sembuh, saya akan…….”
• Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali
perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang lain.
d. Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien
sadar akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu
menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa.
Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan
libido. Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya
“Apa yang terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah
keluarga saya mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran saya?” Depresi
adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang penting
dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan
damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi
kesedihan dan kegelisahannya.
e. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus
pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan
terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang
hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada objek
lain yang baru. Individu akan mengungkapkan, “Saya sangat mencintai anak
saya yang telah pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan
saya pun harus berkonsentrasi kepada pekerjaan saya ”
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan
mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di
satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap
penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila
terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai
tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang
disfungsional.
8. Bentuk Kehilangan
Kehilangan orang bermakna, misalnya seseorang yang dicintai meninggal
atau dipenjara. Kehilangan kesehatan bio-psiko-sosial, misalnya menderita
suatu penyakit, amputasi bagian tubuh, kehilangan pendapatan, kehilangan
perasaan tentang diri, kehilangan pekerjaan, kehilangan kedudukan, dan
kehilangan kemampuan seksual. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda
yang berharga, uang, atau perhiasan.
9. Mekanisme Koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain:
Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan proyeksi yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat
menyakitkan. Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang
dalam. Dalam keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai
secara berlebihan dan tidak tepat.
a. Denail
Dalam psikologi, terma “denail” artinya penyangkalan dikenakan pada
seseorang yang dengan kuat menyangkal dan menolak serta tak mau melihat
fakta-fakta yang menyakitkan atau tak sejalan dengan keyakinan,
pengharapan, dan pandangan- pandangannya. Denialisme membuat seorang
hidup dalam dunia ilusifnya sendiri, terpangkas dari kehidupan dan nyaris
tidak mampu keluar dari cengkeramannya. Ketika seseorang hidup dalam
denial “backfire effect” atau “efek bumerang” sangat mungkin terjadi pada
dirinya. Orang yang hidup dalam denial tentu saja sangat ridak berbahagia.
Dirinya sendiri tidak berbahagia, dan juga membuat banyak orang lain tidak
berbahagia.
b. Represi
Represi merupakan bentuk paling dasar diantara mekanisme lainnya. Suatu
cara pertahanan untuk menyingkirkan dari kesadaran pikiran dan perasaan
yang mengancam. Represi adalah mekanisme yang dipakai untuk
menyembuhkan hal-hal yang kurang baik pada diri kita kea lam bawah sadar
kita. Dengan mekanisme ini kita akan terhindar dari situasi tanpa kehilangan
wibawa kita.
c. Intelektualisasi
Intelektualisasi adalah pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang menganggu perasaannya. Dengan
intelektualisasi, manusia dapat mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak
menyenangkan, dan memberikan kesempatan untuk meninjau
permasalahan secara objektif.
d. Regresi
Yaitu menghadapi stress dengan perilaku, perasaan dan cara berfikir
mundur kembalike ciri tahap perkembangan sebelumnya.
e. Disosiasi
Beban emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan diputus atau diubah.
Mekanisme dimana suatu kumpulan proses-proses mental dipisahkan atau
diasingkan dari kesadaran dengan bekerja secara merdeka atau otomatis,
afek dan emosi terpisah, dan terlepas dari ide, situasi, objek, misalnya pada
selektif amnesia.
f. Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi
sebenarnya merupakan analog dari represi yang disadari. Perbedaan supresi
dengan represi yaitu pada supresi seseorang secara sadar menolak
pikirannya keluar alam sadarnya dan memikirkan yang lain. Dengan
demikian supresi tidak begitu berbahaya terhadap kesehatan jiwa, Karena
terjadinya dengan sengaja, sehingga ia mengetahui apa yang dibuatnya.
g. Proyeksi
Proyeksi merupakan usaha untuk menyalahkan orang lain mengenai
kegagalannya, kesulitannya atau keinginan yang tidak baik. Dolah dan
Holladay (1967) berpendapat bahwa proyeksi adalah contoh dari cara untuk
memungkiri tanggung jawab kita terhadap impuls-impuls dan pikiran-
pikiran dengan melimpahkan kepada orang lain dan tidak pada kepribadian
diri sendiri.
10. Penatalaksanaan Medis
Menurut Dalami, dkk (2009) isolasi social termasuk dalam kelompok
penyakit skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang
bisa dilakukan adalah :
a. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan dimana
arus listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2 elektrode yang
ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan). Arus
tersebut menimbulkan kejanggrand mall yang berlangsung 25 – 30 detik
dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak menyebabkan
terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak. Tujuan ECT adalah
untuk mengembalikan fungsi mental klien dan untuk meningkatkan ADL
klien secara periodic.
b. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relative cukup lama dan merupakan bagian
penting dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi :
memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang
terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi pasien
untuk dapat mengungkapkan perasaanya secara verbal, bersikap ramah,
sopan dan jujur kepada pasien.
c. Terapi okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan pasrtisipasi seseorang
dalam melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan
maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri
seseorang. Tujuan terapi okupasi itu sendiri adalah untuk mengembalikan
fungsi penderita semaksimal mungkin, dan kondisi abnormal ke normal
yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental, dengan memberikan
aktivitas yang terencana dengan memperhatikan kondisi penderita sehingga
penderita diharapkan dapat mandiri di dalam keluarga maupun masyarakat.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan

a. Identitas pasien
b. Alasan dirawat
c. Faktor predisposisi
d. Pemeriksaan fisik
e. Psikososial
f. Status mental
g. Kebutuhan persiapan pulang
h. Mekanisme koping
i. Masalah psikososial dan lingkungan
j. Pengetahuan kurang
k. Aspek medik
2. Diagnosis Keperawatan Yang Mungkin Muncul
Berduka disfungsional.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial) adalah
memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan
cara berikut.
1) Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.
2) Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan
kehilanganpasien secara emosional.
3) Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan
menghakimi.
4) Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu
yangmengalami kehilangan.
5) Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan,
menepuk bahu,dan merangkul.
6) Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas, dan
singkat.
7) Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.
b. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan
memberikan dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk
mengungkapkan marahnya secara verbal tanpa melawan kemarahannya.
Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah adalah ekspresi frustasi
dan ketidakberdayaan.

1) Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah,


menangis).
2) Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.
3) Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung.
c. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar ( bargaining)
adalahmembantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan perasaan
takutnya.
1) Amati perilaku pasien.
2) Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.
3) Tingkatkan harga diri pasien.
4) Cegah tindakan merusak diri.
d. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah
mengidentifikasi tingkatdepresi, risiko merusak diri, dan membantu pasien
mengurangi rasa bersalah.
1) Observasi perilaku pasien.
2) Diskusikan perasaan pasien.
3) Cegah tindakan merusak diri.
4) Hargai perasaan pasien.
5) Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.
6) Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.

7) Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.

e. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance)


adalah membantu pasien menerima kehilangan yang tidak dapat dihindari
dengan cara berikut.
1) Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.
2) Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.
Rencana Tindakan Keperawatan

Dx. Kep Tindakan Rasional


Tujuan Kriteria Evaluasi
Keperawatan
Berduka TUM : Setelah dilakukan asuhan 1. Mengucapkan salam Membina
terapeutik
disfungsional Tingkat Berduka keperawatan selama 1x15 hubungan saling
(L.09094) menit selama 2x 2. Memperkenalkan percaya dengan
membaik pertemuan, diharapkan identitas diri (nama klien. Kontak
pasien dapat menjalin dan lengkap, nama yang jujur,
TUK 1 : membina hubungan saling panggilan, asal institusi) singkat dan
Pasien dapat percaya dengan perawat konsisten dengan
3. Menanyakan nama
membina kriteria hasil : perawat depat
lengkap pasiendan nama
hubungan saling membantu klien
1. Mau menjawab salam panggilan yang disukai
percaya membina
2. Mau menyebutkan 4. Menjelaskan tujuan kembali interaksi
nama (identitas diri) interaksi
penuh percaya
5. Menyepakati kontrak dengan orang
topik, waktu dan tempat
3. Ekspresi wajah
tenang dan tersenyum setiap kali bertemu
kepadaperawat. pasien
4. Ada kontak mata
5. Mau duduk
berdampingan
6. Mau mengutarakan
masalah yang sedang
dihadapi.
Berduka TUK 2 : Setelah dilakukan asuhan 1. Bantu pasien untuk Mengetahui
disfungsional Pasien dapat keperawatan selama 1x15 mengidentifikasi penyebab dan
menerima kondisi menit dalam 1x kehilangan dan proses mekanisme
berduka yang pertemuan, diharapkan berduka yangdialami koping yang
dialaminya pasien dapat menerima 2. Bantu pasien untuk dapat digunakan
kondisi berduka yang mengekspresikan oleh pasien
dialami dengan kriteria perasaan tentang
hasil: kehilangan
1. Verbalisasi menerima 3. Diskusikan dengan
kehilangan meningkat pasien strategi koping
2. Verbalisasi perasaan yang dapat digunakan
sedihmenurun 4. Ajarkan melewati proses
berduka secara bertahap
3. Verbalisasi perasaan
bersalah atau
menyalahkan orang
lain menurun
Berduka TUK 3 : Setelah diberikan asuhan 1. Jelaskan jenis-jenis Agar pasien
disfungsional Pasien dapat keperawatan selama 1x 15 obat yang diminum dapat
menggunakan menit dalam 1x pasien pada pasien dan menggunakan
obat-obatan yang pertemuan, diharapkan keluarga obat yang
diminum (jenis, pasien dapat 2. Jelaskan prinsip benar diperoleh
waktu, dosis dan menggunakan obat-obatan minum obat(baca nama
efek) yang diminum dan yang tertera pada botol
kegunaannya (jenis, obat, dosis obat, waktu
waktu, dosis dan efek) dan caraminum)
kriteria hasil : 3. Ajarkan pasien minta
1. Pasien dapat obat dan minum tepat
menyebutkan obat- waktu
obatan yang diminum 4. Anjurkan pasien
dan kegunaannya melaporkan pada
(jenis, waktu, dan efek) perawat/dokter jika
2. Pasien dapat minum merasakan efek yang
obat sesuai program tidak menyenangkan
pengobatan
Daftar Pustaka

Muhith, Abdul. 2017. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta : CV Andi Offset


Potter & Perry. 2018. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.
Purwaningsih, Wahyu,dkk,. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogjakarta : Nuha Medika
Pres.
SDKI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI
SIKI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI
SLKI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesi. Jakarta: DPP PPNI
Suseno, Tutu April. 2017. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian danBerduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Suseno, Tutu April. 2017. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian danBerduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai