Anda di halaman 1dari 3

Nama : Maulana Josentono

Nim : B11.2019.06194
Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam

Tugas :
Hukum Peniadaan Sholat Jum’at dan Sholat 5 Waktu Berjama’ah di masjid ? (Hal tersebut sesuai dengan
kondisi kita sekarang yaitu adanya wabah virus covid-19).
Jawab :
Menurut pendapat saya dan sumber dari Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(LBM PBNU). Ketetapannya harus disusun berdasarkan sejumlah dalil dan pertimbangan maslahat dan
mudarat yang matang. khususnya zona-zona merah, zona-zona bahaya, zona-zona rawan. Sedangkan
untuk zona-zona yang aman, maka shalat jamaah harus jalan terus. Mengapa demikian? Karena jamaah
dan shalat Jumat terutama, harus jalan terus. Karena shalat Jumat ini, adalah fardlu ‘ain (hukumnya) yang
harus dilaksanakan oleh setiap muslim yang telah memenuhi syarat. Sholat jumat dan sholat jamaah
diperlukan kedisiplinan. Seperti Shaf-nya rapat. Iya, kan?, berhubung terjadi bencana virus covid-19
dinegara tercinta kita maka Sholat jumat sementara ini tidak dilakukan dimasjid. “Sholat jumat tidak
dilaksanakan di masjid untuk semetara” dikatakan oleh ulama. Dalam perkataan tersebut Ada yang
menganggap fatwa ulama (untuk meliburkan shalat Jumat) bertentangan dengan ajaran tawakal. Apa
benar? Islam itu tidak hanya memiliki ajaran tawakal. Akan tetapi Islam juga memiliki ajaran mawas diri
dan ajaran waspada, iya kan? Betapa banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mengajak
kita agar supaya selalu tawakal kepada Allah SWT. Pasrah. Akan tetapi juga banyak ayat-ayat Al-Qur’an
dan hadits-hadits Nabi yang memerintahkan kita agar supaya mawas diri dan waspada.
Salah satu contohnya, Allah SWT berfirman: ‫ُقْل َلْن ُيِص يَبَنا ِإال َم ا َكَتَب ُهَّللا َلَن ا ُه َو َم ْو الَن ا َو َع َلى ِهللا َفْلَيَتَو َّك ِل اْلُم ْؤ ِم ُن وَن‬
Artinya: Katakanlah:
“Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah
Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS at-
Taubah: 51).
Katakanlah bahwa tidak ada musibah apa pun yang akan menimpa kita, kecuali apa yang sudah
ditakdirkan. Oleh karena itu, marilah kaum mukminin bertawakal kepada Allah SWT. Ini kan ajaran
tawakal.
Ayat lain mengatakan: ‫ ۗ َأْيَنَم ا َتُك وُنوا ُيْد ِركُّك ُم اْلَم ْو ُت َو َلْو ُك نُتْم ِفي ُبُروٍج ُّم َشَّيَدٍة‬Artinya: “Di mana saja kamu berada,
akan terkejar oleh maut, kematian. Walaupun kamu berada di benteng-benteng yang kokoh dan kuat” (QS
an-Nisa:78).
Allah subhanahu wata’ala juga berfirman: ‫ُق ْل َّلْن َّيْنَفَع ُك ُم اْلِف َر اُر ِاْن َف َر ْر ُتْم ِّم َن اْلَم ْو ِت َاِو اْلَقْت ِل َو ِاًذ ا اَّل ُتَم َّتُع ْو َن ِااَّل َقِلْياًل‬
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Lari tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari
kematian atau pembunuhan, dan jika demikian (kamu terhindar dari kematian) kamu hanya akan
mengecap kesenangan sebentar saja’,” (QS al-Ahzab: 16) Kalau kamu mau lari dari kematian dan
pembunuhan, maka larimu tidak bermanfaat bagimu, kalau memang sudah ditakdirkan mati. Ini ajaran
takdir namanya. A
kan tetapi juga banyak ayat dan hadits yang memerintahkan kita agar supaya kita ini waspada dan mawas
diri. Misalnya firman Allah SWT: ‫ َو َأنِفُقو۟ا ِفى َس ِبيِل ٱِهلل َو اَل ُتْلُقو۟ا ِبَأْيِد يُك ْم ِإَلى ٱلَّتْهُلَك ِةۛ َو َأْح ِس ُنٓو ۟ا ۛ ِإَّن ٱَهلل ُيِح ُّب ٱْلُم ْح ِس ِنيَن‬Artinya:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik” (QS al-Baqarah: 195) Ayat ini mengandung arti begini: “Janganlah kalian melakukan hal-hal yang
menyebabkan kamu celaka”. Sebaliknya: “jangan kamu meninggalkan hal-hal yang menyebabkan kamu
celaka”. Ini kan ajaran mawas diri namanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: firra minal majdzûmi firaraka minal asad.
“Hendaklah kamu lari”–maksudnya menghindar–“dari orang yang terjangkit penyakit kusta,
sama halnya kamu harus lari dari singa”. Dekat-dekat dengan orang yang mengidap penyakit kusta,
sama dengan orang yang dekat dengan singa. Artinya dalam kondisi bahaya. Ini kan harus mawas diri
namanya. Ini artinya bahwa ajaran tawakal dan ajaran waspada harus berjalan seiring. Dalam waktu yang
sama kita tawakal, dan dalam waktu yang sama pula kita harus mawas diri dan harus waspada. Artinya
tidak ada pertentangan antara ajaran tawakal dan ajaran waspada dan mawas diri. Harus sama-
sama dilakukan. Ada dua hadits yang sekilas terlihat bertentangan: “firra minal majdzûmi firaraka minal
asad” dan “laa ‘adwa walaa tiyarata”. Dua hadist tersebut berbunyi : “firra minal majdzûmi firaraka minal
asad”. Hendaklah kamu menghindar dari orang yang terjangkit penyakit kusta, sebagaimana kamu harus
menghindar daripada singa. Hadits yang satu mengatakan: “lâ ‘adwa walâ tiyrata”. Hadits ini mengatakan
bahwa yang namanya menular itu tidak ada. Sementara hadits pertama kan mengesankan penularan itu
ada. Hadits yang kedua tegas mengatakan lâ ‘adwa, yakni penularan tidak ada. Kan bertentangan, itu. Ini
yang dalam ilmu hadits disebut dengan ilmu mukhtalifil hadits.
Yang pertama-tama membuat istilah ini dan konsepnya sekalian adalah Imam Syafi’i radliyallahu ‘anh.
Yaitu ada dua hadits yang tampaknya bertentangan. Menghadapi hal yang seperti ini, pertama-tama yang
harus dilakukan adalah melakukan al-jam’u, melakukan kompromi. Hal yang seperti ini mengajarkan
kepada kita bahwa tak mungkin kita memahami satu hadits, tanpa dikaitkan dengan hadits yang lain. Kita
tidak akan memahami hadits “firra minal majdzûmi..,” kalau tanpa dikaitkan dengan hadits “laa
‘adwa…”. Sebaliknya, kita tidak akan memahami apa arti daripada “laa ‘adwa…” kalau tanpa dikaitkan
dengan “firra minal majdzûmi..”. Ini artinya bahwa, penularan itu tidak ada dengan tabiatnya sendiri.
Tidak ada sesuatu yang menular dengan tabiatnya sendiri. Sebaliknya: penularan itu ada dengan
kehendak Allah SWT. Kehendak Allah SWT terkait dengan penularan ini akan terjadi jika dikaitkan
dengan salah satu sebab. Salah satu sebab yang menyebabkan penularan adalah “mukhalathathus
shahiihi lil mariidli,” yakni berkumpulnya orang sehat dengan orang yang sakit. Berkumpulnya
orang sehat dengan orang yang terjangkit penyakit kusta. Jadi kalau dua hadits ini dimaknai, bahwa pada
hakikatnya penularan itu tidak ada, terkecuali kalau dikehendaki oleh Allah SWT, melalui sebab-sebab
yang Allah SWT sendiri ciptakan. Dalam kondisi darurat perang saja masih dianjurkan shalat jamaah,
mengapa saat menghadapi virus Corona dilarang? Shalatul khauf atau shalat dalam suasana perang
termasuk di dalamnya adalah shalat jamaah, sesungguhnya melihat tata-caranya itu, merupakan
perpaduan antara ajaran tawakal, dilihat dari satu sisi, dan ajaran mawas diri dan waspada. Di dalam Al-
Qur’an dikatakan: walya’khudzu khidzrahum, hendaklah mereka itu mawas diri dan waspada. Ini kan
dalam rangka kehati-hatian dan waspada. Tetapi menghadapi Corona ini kan tak bisa dibagi, karena
kita tidak tahu Corona sekarang sedang ada di mana? Tidak bisa dibagi-bagi jamaah itu, seperti
jamaah dalam suasana perang, kan? Tak mungkin. Oleh karena itu tidak ada jalan lain kecuali ya
dilarang itu. Seandainya kita tahu bahwa yang sedang mengidap Corona itu Si A, barangkali SI A ini
dikeluarkan saja dari masjid. Atau Coronanya berada di selatan. Walhasil, ya tak mungkin kita melakukan
antisipasi sebagaimana kita melihat musuh yang kasat mata, yaitu manusia itu. Para ulama sendiri tidak
mungkin berfatwa menyangkut pelarangan tanpa lebih dulu tanya kepada para dokter dan ahli kesehatan.
Mereka wajib ditaati. Kalaupun ada sebagian ulama yang berbeda, meskipun jumlahnya sangat sedikit,
namun negara kita sudah mengikuti para ulama yang melarang. Dengan demikian, maka seluruh warga
negara terikat dengan keputusan negara itu.

Anda mungkin juga menyukai