Anda di halaman 1dari 29

Hakikat Hijrah

By K.H. Athian Ali M. Da’i, MA


Kamis, 05 Februari 2009 pukul 07:02:00

Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang
dilarang Allah atasnya “ (HR. Bukhari dan Muslim)
Berangkat dari sabda Rasulullah Saw seperti dalam hadits di atas, tentu sebagai mu’min akan
senantiasa berusaha menjaga dirinya dari ucap, sikap dan perilaku yang menyimpang dari aturan
dan hukum-Nya yang selanjutnya tetap istiqomah dalam meniti jalan menuju ridha Allah.
Berbicara tentang “Hijrah” dalam konteks kekinian, layaklah kiranya kita simak dan renungkan
seruan Allah SWT yang tertuju kepada Rasulullah Saw yang hakikatnya tertuju pula kepada kita
sebagai pengikutnya. Seruan Allah SWT lewat firman-Nya:
“Ya ayyuhal muddatstsir, qum fa andzir, wa rabbaka fa kabbir, wa tsiyaabaka fa thahhir, war rujza
fahjur, wa laa tamnun tastaktsir, wa li rabbika fash bir” (QS. Al Muddatstsir, 74:1-7)

Kalau kita membaca risalah turunnya wahyu, tidak lama setelah turunnya ayat “Nubuwah” (lima
ayat pertama dalam Surat Al ‘Alaq) yang secara resmi menobatkan Muhammad sebagai Nabi Allah.
Maka, tidak lama kemudian disusul dengan turunnya “tujuh” ayat pertama Surat Al Muddatstsir,
yang secara resmi mengangkat Muhammad sebagai Rasul Allah, pengemban risalah melalui “tujuh”
ayat risalah tersebut.
Inilah awal diri Rasulullah Saw berfungsi sebagai Rasul Allah, membawa risalah Allah SWT untuk
“mengislamkan” manusia yang saat itu dalam kondisi “Jahiliyyah”. Firman-Nya diawali, “Ya
ayyuhal muddatstsir” (Wahai orang yang berselimut). Kalau kita baca dalam “Asbabul Nuzul” ayat
ini diriwayatkan, Rasulullah Saw pada waktu itu sedang berselimut. Saat itu Beliau memohon
kepada istrinya, Khadijah Ra. untuk menyelimuti tubuh Beliau setelah menerima wahyu “lima” ayat
pertama dalam Surat Al ‘Alaq di Gua Hira yang pulang ke rumah kondisi badannya menggigil.
Tetapi para ahli tafsir tidak ingin berhenti hanya pada pengertian “harfiah”nya dari kata “selimut”,
yang arti “harfiah”nya adalah, orang yang berselimut atau mempergunakan selimut untuk
menghangatkan badanya sendiri. Sehingga para ahli tafsir mengartikan “selimut” dengan arti
“maknawi”, wahai orang yang menyelimuti dirinya dengan tidak mau peduil dengan kondisi
lingkungannya. Karena orang yang berselimut identik dengan tanda-tanda orang yang terkesan
hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak mau peduli terhadap sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
Bukankah Rasulullah Saw pergi ke Gua Hira itu hanya ingin mendapatkan petunjuk dari Allah SWT
tentang bagaimana membimbing ummat manusia yang sudah sangat sesat pada waktu itu. Kenapa
setelah beliau mendapat wahyu malah menyelimuti dirinya ? Konteksnya kemudian Allah SWT
berfirman, “Qum” (bangkitlah,bangunlah), lemparkan selimut ketidakpedulianmu itu. Persoalan
ummat tidak akan selesai hanya dengan menyelimuti diri, seakan-akan kita hanya ingin
menyelamatkan diri kita masing-masing lalu kita tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di
lingkungan kita.
Bangkit atau bangun tidak sekadar bangkit. Lalu apa yang harus dilakukan ? Tugas yang harus
dilakukan adalah, “fa andzir” (memberi pertingatan). Lemparkan “selimut ketidakpedulian”,
segeralah bangkit dan laksanakan tugas untuk memberikan peringatan agar mereka yang sesat
segera meninggalkan jalan sesat kehidupan mereka, yang lalai agar cepat sadar atas kelalaiannya.
Tidak dibenarkan sama sekali kita menyelimuti diri dengan tidak mau peduli atas kondisi yang
terjadi di sekitar kita. Tetapi kita harus siap bangkit dan segera memberikan peringatan kepada
masyarakat yang berada dalam jangkauan kemampuan kita. Karena tugas dakwah “bukan hanya”
tugas para da’i, ulama atau kiai saja, melainkan merupakan tugas setiap orang muslim. Salah satu
keterlambatan dakwah Islam selama ini adalah kemungkinan kesalahan persepsi atas tugas dakwah
ini yang seolah-olah tugas dakwah hanya tugasnya para da’i, ‘ulama atau para kiai saja.
Tugas setiap orang mu’min atau muslim tidak hanya sekadar bisa menyelamatkan dirinya sendiri,
tetapi harus “saling mengingatkan” dalam kebenaran. Maka digunakanlah bahasa, “wa tawaashau”,
bukan “taushiyah”. Makna kata “taushiyah” adalah nasihat dari satu fihak kepada fihak yang lain,
tapi kalau “tawaashau” sifatnya adalah “saling menasihati”. Karena perlu disadari bahwa semua
manusia sangat berpotensi untuk berbuat kesalahan atau lalai.
Pada umumnya, nasihat orangtua kepada anaknya, guru kepada muridnya, pimpinan kepada
bawahannya, ‘ulama kepada ummatnya. Namun orangtua, guru, pimpinan atau ‘ulama itu semua
adalah manusia yang sangat mungkin berbuat salah. Oleh karena itu di dalam Islam anak harus siap
dengan santun mengingatkan orangtua yang berbuat kesalahan, demikian pula murid kepada
gurunya, bawahan kepada pimpinannya atau ummat kepada ‘ulamanya. Kalau ada ‘ulama keliru
atau berprinsip salah dan pernyataannya “sangat menyesatkan”, maka ummat pun “harus berani”
segera mengingatkannya. Jangan dia dibiarkan dalam kesesatannya karena akan membawa akibat
penyesatan terhadapo ummat yang lebih luas lagi.
Hal inilah yang selama ini terkesan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua harus kita benahi
dengan kita mau bangkit memberi peringatan. Maka dari itu, “amar ma’ruf nahyi munkar” ini
adalah kewajiban setiap orang mu’min (QS. Ali Imran, 3 : 104 & 110). Ini pula seperti apa yang
dianjurkan oleh Rasulullah Saw, “Sampaikan oleh kalian apa yang telah kalian terima dariku
walaupun hanya satu ayat”.
Lalu apa yang harus kita dakwahkan ? Paling tidak, ada “Lima” konsep dakwah yang harus
ditempuh.
Konsep Pertama, kita simak lanjutan ayatnya, “wa rabbaka fa kabbir” (Allah Tuhanmu itu Akbar-
kan). Yang harus kita dakwahkan kepada masyarakat adalah menyadarkan atau mengajak ummat
sehingga mereka hanya mau meng-“Akbar”-kan Allah dalam semua aspek kehidupannya. Tidak ada
yang “Akbar” kecuali Allah. “Allahu Akbar” dari segi Dzat juga dalam sisi aturan dan hukum-Nya.
Dan, kalau kita sudah menyatakan bahwa “Allahu Akbar”, maka semua selain Allah tidaklah ada
yang Akbar. Baik hawa nafsu maupun akal kita itu kecil. Alam jagad raya ini dengan segala isinya
semuanya kecil di hadapan-Nya. Oleh karena itu semua harus tunduk kepada Allah yang Akbar.
Konsep Kedua, “Wa tsiyaabaka fa thahhir” (Bersihkanlah pakaianmu). Kita harus sudah mulai
mengupayakan mensucikan pakaian lahir terutama bathin kita. Membersihkan diri kita dari dosa
dan kemaksiatan. Kita mulai mau membersihkan mental atau akhlak-akhlak yang kotor dari
kehidupan masyarakat.
Konsep Ketiga, “war rujza fah jur” (segala perbuatan dosa dan maksiat itu harus segera dijauhi).
Kalau kita perhatikan bahasa Al Qur’an selalu menggunakan kata “jauhi” atau “jangan dekati” bila
berbicara tentang larangan (QS. Al Baqarah, 2 : 35; Al A’raaf, 7:19, Al An’aam, 6:151-152; Al
Israa’,17:34). Larangan-larangan semacam ini dimaksudkan untuk mendidik manusia agar tidak
melakukan pelanggaran. Selain itu memberikan pendidikan pula kepada manusia bahwa semua
sarana dan prasarana yang bisa menimbulkan kemaksiatan pun terkena larangannya.
Konsep Keempat, “Wa laa tamnun tastaktsir” (Dan janganlah kamu memberi dengan maksud ingin
memperoleh balasan yang banyak). Karena tugas dakwah ini adalah tugas yang mesti didasari
ikhlas semata-mata karena Allah, maka janganlah kita senantiasa berharap imbalan yang lebih
banyak dari apa yang telah kita lakukan. Bukan berarti manusia tidak boleh memetik hasil dari jerih
payah perjuangannya, tetapi tetap harus sewajarnya saja kita layak berharap.
Konsep Kelima, “Wa li rabbika fash bir” (Maka bersabarlah (taat) bagi Tuhanmu). Oleh karena
tugas dakwah ini adalah tugas yang tidak ringan, maka tentunya sangat diperlukan kesabaran dan
ketahanan diri kita untuk tetap istiqomah dalam medan perjuangan. Kita mesti tanamkan dalam diri
kita sebuah kesabaran, karena tidak mustahil kita akan berhadapan dengan orang-orang yang sangat
terusik dengan dakwah kita.
Ini semua risiko yang mesti kita hadapi bukan malah kita lari meninggalkannya. Tidaklah pantas
bila kondisi “medan dakwah” telah mengundang kita untuk terjun langsung dalam kancah
perjuangan, lantas tiba-tiba kita lari meninggalkannya. Kita sadari, sungguh tidaklah mudah kita
mengajak orang untuk senantiasa meng-“Akbar”-kan Allah dalam setiap aspek kehidupannnya.
Tidaklah ringan kita memberikan teladan tentang kebersihan lahir terutama bathin kita sehingga
tatanan kehidupan masyarakat kita bisa bersih dari yang munkar.
Tidak gampang pula kita memberikan arahan kepada orang untuk senantiasa mau menjauhi atau
tidak mendekati perbuatan dosa, apalagi terhadap orang yang selama ini hidupnya telah
bergelimang dengan dosa dan maksiat sehingga dosa dan kemaksiatan yang dilakukannya telah
dianggap bukanlah dosa lagi.
Walaupun terlihat betapa beratnya “medan dakwah” kita, tentunya harus tetap kita jalani dengan
hanya semata-mata didasari keikhlasan untuk mencapai ridha Allah. Kesabaran dan ketahanan diri
serta istiqomah dalam “medan dakwah” inilah memang menjadi syarat penting dari semua ini.
Semoga kita semua dapat meng-“hijrah”-kan diri kita dari hal-hal yang dapat mengundang murka-
Nya ke arah jalan yang lurus menuju ridha Allah SWT.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Virus-Virus Akidah
By K.H. Athian Ali M. Da’i, MA
Rabu, 18 Februari 2009 pukul 10:33:00

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu
menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat
perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk
seperti pohon buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap
(tegak) sedikit pun” (QS. Ibrahim, 14;24-26)
Para “Mufasir” (Ahli Tafsir) sepakat bahwasanya akar pohon yang ditamsilkan dengan Kalimah
Thoyyibah adalah kalimat Tauhid, “Laa ilaaha illallah”. Artinya, seorang yang dalam hidupnya tidak
berakar kepada prinsip akidah “laa ilaaha illallah”, tidak ubahnya pohon yang tidak berakar, atau
akarnya sudah terangkat dari dasar tanah. Pohon seperti itu jangankan berbuah sehingga
bermaslahat terutama bagi mereka yang hidup di sekitar pohon tersebut, bahkan untuk bertahan
hidup saja mustahil. Pada ayat lain, Allah SWT menggambarkan orang-orang yang tidak beriman
(kafir) adalah,
“Mereka orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan
mereka mengira bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”(QS. Al Kahfi, 18:104).
Dalam berbagai hadits, Rasulullah Saw menyatakan bahwasanya kalimat Tauhid, “laa ilaaha
illallah” itu tiket seseorang untuk masuk surga sekaligus membebaskannya dari ancaman keabadian
di Neraka Jahannam. Akar akidah inilah yang selama ini coba digerogoti oleh segelintir orang di
negeri ini, ironisnya mereka mempergunakan nama Islam atau atribut-atribut Islam, yang tentunya
dimaksudkan agar lebih memudahkan tercapainya tujuan mereka menyesatkan sesuatu yang
termahal bagi kehidupan mu’min, yakni akidah.
Berbagai macam virus yang telah menjangkiti akidah sebagian ummat terutama mereka yang tidak
memiliki akar akidah yang kokoh, di antaranya virus yang cukup berbahaya bagi ummat, khususnya
generasi muda adalah virus yang popular dengan sebutan “Sepilis’ (Sekularisme, Plurarisme dan
Liberalisme) karena di samping metoda pendekatan mereka yang banyak bermain dengan logika,
juga karena beberapa tokohnya sudah “kadung’ dikenal di masayarakat sebagai “Cendekiawan
Muslim” dan atau ulama/kiai.
Virus sekularisme telah lama menjangkiti dan menggerogoti akidah sebagian ummat di negeri
yang “konon” mayoritas muslim. Terbukti tidak sedikit di antara para ulama dan tokoh-tokoh Islam
yang sudah tidak merasa terancam keislamannya dengan dzalim dan fasik (QS. Al Ma-idah, 5 :
45,47) atau bahkan kufur (QS. Al Ma-idah,5:44) tatkala mereka tidak mempergunakan wewenang
yang dimilikinya untuk menetapkan dan atau melaksanakan syariat Islam secara “Kaffah” (Integral)
mencakup seluruh aspek hidup.
Sementara virus liberalisme yang dulu hanya milik Iblis, kini telah berhasil disebarkan Iblis
kepada kelompok ini. Mereka dengan takabburnya menuhankan hawa nafsu (QS. Al Furqaan,
25:43; Al Jaasiiyah, 45:23) dan akal mereka dengan menolak bahkan melecehkan syariat Allah
SWT yang tidak cocok dengan akal mereka. Benar dan salah adalah yang benar dan salah menurut
akal. Dengan gegabahnya mereka nyatakan “Tuhan telah mati” karena Tuhan yang sesungguhnya
adalah akal mereka. Kalaupun mereka masih meyakini dan menjalankan sebagian syariat, maka
hanyalah sebatas ajaran agama yang selaras dan dapat dibenarkan akal mereka.
Sesuai dengan namanya, mereka benar-benar merasa memiliki kebebasan mutlak yang tidak boleh
dibatasi siapa pun bahkan oleh Allah SWT. Ini tentu saja bertolak belakang dengan keimanan
seorang muslim yang mengakui tidak ada kebebasan mutlak dimiliki manusia. Satu-satunya
kebebasan yang dianugerahkan Allah SWT sebagai Al Khalik kepada manusia sebagai makhluk
hanyalah kebebasan memilih untuk beriman atau kafir (QS.Al Kahfi, 18 : 29).
Bila seseorang memilih mu’min, maka sudah tidak memiliki kebebasan lagi, karena yang
bersangkutan sudah harus “Aslama – Islam” (tunduk, patuh, taat) terhadap syariat Allah SWT,
dimengerti atau tidak dimengerti oleh akalnya. Sepanjang syariat itu ditetapkan dengan Nash yang
Qath’i (Al Qur’an dan As Sunnah) yang tergolong ayat Muhkamat. Akal hanya diberi kebebasan
berijtihad terhadap hal yang tidak ada Nash atau Nashnya “dzanni” (mengundang keraguan),
“tsubuut” (hadits shoheh atau bukan) atau “dalaalahnya” (pengertiannya yang dapat mengundang
berbagai interpretasi). Bila Iblis dinyatakan gugur keimanannya dan dilaknat Allah SWT karena
dengan logika sesatnya mengkufuri “satu” aturan Allah SWT. Di negeri ini, tokoh kelompok ini
malah diberi gelar Cendekiawan Mslim atau ulama.
Virus akidah lainnya yakni pluralisme terbilang sangat aneh bila dilihat dari prinsip dasar
keyakinan akan hakikat kebenaran, Sungguh sulit diterima akal sehat bila dua atau tiga hal yang
secara prinsip bukan hanya saja berbeda, bahkan sangat bertentangan, lalu dinyatakan kelompok ini
semua benar dan selamat. Setiap orang yang memiliki keyakinan pasti akan sulit memahami
pandangan seperti ini. Logika yang paling sederhana, bila seseorang meyakini suatu kebenaran
maka pada saat yang sama ia akan meyakini sesat segala sesuatu yang bertentangan dengan
kebenaran yang diyakininya,
Menurut kelompok ini, setiap amal sepanjang bermaslahat bagi orang lain, maka ia menjadi amal
shaleh apa pun agama yang diyakininya. Padahal sebagaimana ditamsilkan dalam QS. Ibrahim ayat
24-25 tersebut di atas, bahwa hanya dengan akar yang benar (Kalimat Tauhid) pohon tersebut dahan
dan rantingnya menjulang ke langit (Habluminallah) dan berbuah yang buahnya bisa dinikmati oleh
masyarakat yang hidup di sekitar pohon tersebut (Hablumminannaas). Seperti halnya kaum
liberalism, kelompok pluralisme juga menuhankan akal mereka. Mereka interpretasikan satu-dua
ayat sekehendak mereka tanpa memperdulikan kaidah-kaidah tafsir dan tanpa mau peduli bila
pandangan mereka nyata-nyata bertentangan dengan sekian puluh bahkan ratus ayat-ayat Al Qur’an
lainnya yang menjelaskan tentang maksud ayat yang mereka artikan secara serampangan.
Ketiga virus ini memang baru menyesatkan segelintir ummat di Negeri ini. namun kehadirannya
harus terus diwaspadai karena tidak mustahil bisa menjangkiti ummat yang lemah akidahnya.

Wallahu a’lam bish-shawab


Fenomena Takhayul dan Mistik
By KH. Athian Ali M. Da’i, MA
Kamis, 26 Februari 2009 pukul 14:48:00

Dunia takhayyul dan mistik sepertinya masih enggan enyah juga dari kehidupan masyarakat kita
yang konon mayoritas muslim. Bahkan akhir-akhir ini, sebagian media massa ada yang sangat getol
menyiarkan acara-acara yang berbau kemusyrikan. Padahal, Rasulullah Saw. 15 abad yang lalu
telah mengingatkan kita akan bahaya kemusyrikan, yang boleh jadi tidak disadari keberadaannya
oleh seorang muslim, seperti tidak sadarnya seseorang akan keberadaan seekor semut hitam di atas
batu hitam dalam ruangan gelap gulita di malam hari.
Takhayyul dan mistik seperti yang kita saksikan dalam kehidupan masyarakat, sudah bukan lagi
seperti semut hitam, tapi sesuatu yang sudah sangat nyata. Kemusyrikan merupakan kedzaliman
yang besar (Q.S. Luqmaan : 13) dan merupakan bentuk kesesatan yang sangat jauh (Q.S. An-
Nisaa' : 116), dimana bila seseorang mati dalam kemusyrikan maka ia akan kekal di dalam Neraka,
karena tidak akan memperoleh ampunan Allah SWT (Q.S. An-Nisaa' : 48) yang karenanya ia tidak
akan pernah berjumpa dengan Allah SWT (Q.S. Al-Kahfi : 110).
Berbagai bentuk takhayyul dan mistik yang nyata-nyata beraroma kemusyrikan di antaranya :
۞Beribadah kepada selain Allah SWT dengan melakukan kegiatan ritual yang tidak pernah
dicontohkan Rasulullah Saw, seperti, bertapa, puasa mutih, mati geni, dan lain sebagainya.
۞Menyembelih hewan dan mempersembahkannya kepada selain Allah SWT.
۞Mendatangi kuburan para wali dan orang-orang saleh atau tempat-tempat yang dikeramatkan,
lalu meminta dan berdoa kepada arwah orang yang telah tiada untuk memberkahi hidupnya.
۞Meyakini bahwa pada benda-benda tertentu, seperti, keris, batu permata, jimat, isim atau benda-
benda lain dapat memberikan manfaat memanjangkan umur, memperoleh rezeki, jabatan, jodoh dan
lain sebagainya.
۞Meyakini nasib manusia ditentukan oleh bintang dengan ramalan-ramalannya, dan bahwasanya
ada hari baik dan hari sial.
۞Percaya kepada tukang ramal, dukun atau paranormal, bahwa mereka bisa memastikan apa yang
akan terjadi dan menimpa kehidupan seseorang. Padahal, al-Qur'an dengan tegas menyatakan,
bahwa tidak ada satu makhluk pun (malaikat, jin dan manusia) yang dapat memastikan apa yang
akan terjadi di masa mendatang (Q.S. Luqman : 34).
۞Meyakini orang-orang tertentu seperti dukun santet, memiliki kekuatan ghaib dapat
mencelakakan seseorang. Padahal, jangankan manusia biasa, Rasulullah Saw saja tidak memiliki
daya kemampuan untuk menimpakan mudharat atau memberi manfaat kepada orang lain, kecuali
bila Allah SWT menghendakinya (Q.S. Al-A'raaf : 188).
Semoga kita dapat meningkatkan keimanan dan menjauhi segala bentuk khurafat dan mistik yang
dapat menjerumuskan seseorang ke lembah kemusyrikan.

Wallahu a'lam bish-shawab


Hukum Melawan Hukum Allah SWT
By Republika Newsroom
Jumat, 06 Maret 2009 pukul 08:56:00

“Dan tidaklah patut bagi mu’min dan tidak (pula) bagi mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat
dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al Ahzaab : 36)
Kalimat Thoyyibah yakni, kalimat tauhid: “Laa ilaaha illallah” di samping bermakna
meng”Esa”kan Allah SWT dalam Dzat, sifat dan Asma-Nya, juga meng”Esa”kan Allah SWT dalam
syariat-Nya. Apalah artinya seseorang meng”Esa”kan Allah SWT dalam Dzat, jika malah
menyekutukan dan atau mengkufuri Allah SWT dalam aturan dan hukum-Nya.
Mereka yang digolongkan kafir oleh Al Qur’an bukan sebatas yang ingkar akan Dzat Allah SWT
(Mulhid dan atau Musyrik) tapi juga mereka yang mengimani ”rububiyah” Allah SWT sebagai
“Pencipta, Pemelihara, Pengatur dan Pendidik” yang secara fitrah dimiliki setiap manusia (QS. Al
A’raaf :172; Ar Ruum : 30) namun mengkufuri “Uluhiyyah”nya Allah SWT sebagai Dzat satu-
satuya yang berhak diibadahi dengan melaksanakan syariat-Nya.
Simak firman Allah SWT: Katakanlah,
“Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
menciptakan, pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala
urusan ?” maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak
bertakwa kepada-Nya? (Yunus : 31)
Setiap mu’min dituntut “Aslama – Islam” (tunduk patuh dan taat) terhadap syariat Allah SWT, baik
dimengerti atau tidak dimengerti akalnya, sejalan atau tidak sejalan dengan hawa nafsunya. Setiap
mu’min sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. Al Ahzaab : 36 di atas tidak memiliki pilihan kecuali
taat terhadap syariat Allah, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka diseru
kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan,
“Kami mendengar dan kami patuh” (QS. An Nuur : 51).
Siapapun tidak mungkin meragukan Iblis dalam keimanannya terhadap Dzat Allah SWT. Mustahil
dia sesat dengan meyakini Allah beranak dan diperanakkan atau ada sekutunya bagi-Nya, karena
Iblis berdialog langsung dan menyaksikan Allah SWT tidak sebagaimana yang diyakini oleh
mereka yang mengkufurinya. Gugurnya keimanan Iblis yang berakhir dengan dilaknatnya Iblis
hanya karena kufur terhadap satu aturan Allah SWT. Bahkan logika sesatnya menuding Allah keliru
dalam aturan-Nya. Semestinya Adam (manusia)lah yang harus sujud (hormat) kepadanya.
Sikap kufur yang sama juga yang ditunjukkan sebagaian bani Israil pada zaman Nabi Musa As., di
mana ketika mereka sudah tidak memiliki argumentasi lagi untuk mengkufuri Allah dari segi Dzat
(setelah 40 orang di antara mereka mendengar firman Allah dari balik bukit Thursina), mereka pun
berupaya berkompromi dengan Nabi Musa As, bahwa mereka hanya akan tunduk dan patuh
terhadap syariat Allah SWT yang sejalan dengan hawa nafsu dan akal mereka saja. Allah SWT
menegur mereka lewat firman-Nya:
“…Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian
yang lain?” (QS.Al Baqarah : 85)
Artinya, iman tidak mengenal prosentase, yakini dan terima syariat Allah SWT sepenuhnya atau
tidak sama sekali! Tidak ada dalam kamus iman, orang itu sudah agak beriman, atau masih agak
kafir. Kesesatan yang sama juga sudah lama dipertontonkan di Negeri ini oleh kaum Sepilis
(Sekularisme, pluralism dan liberalism) mereka mengaku mu’min, namun kufur terhadap
(sebahagian) syariat Allah SWT. Bahkan di antara mereka tidak sedikit yang terjebak logika sesat
iblis dengan menuhankan akal dan melecehkan syariat Allah SWT yang tidak sejalan dengan logika
mereka.
Gejala dan upaya Transfer of seat from God to man (Pengambilalihan kekuasaan dari Tuhan kepada
manusia) sebenarnya sudah muncul sejak akhir abad 19. Ketika secara gegabah sekali Nietche
(Filusuf Jerman, 1844-1900) menyatakan : “God Was Dead”. Jauh sebelumnya, Fir’aun Abad 18,
Imanuel Kant (Filusuf Jerman, 1724-1804) telah pula memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan ,
lewat pernyataannya: “Beri saya material, niscaya akan saya perlihatkan kepada kalian, bagaimana
caranya menciptakan alam semesta”.
Semoga kaum Sepilis di negeri ini tidak sedang berupaya menjadi Fir’aun-Fir’aun kecil yang sesat
dan menyesatkan.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Iman dan Amal Shaleh
By K.H. Athian Ali M. Da’i, MA
Jumat, 13 Maret 2009 pukul 09:54:00

“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang


Shabi’in (yang menyembah bintang), siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman
kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada rasa takut terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah, 2 :
62)
Ayat ini salah satu di antara beberapa ayat yang seringkali dijadikan hujjah atau rujukan oleh
segelintir orang di negeri ini untuk menyesatkan akidah umat. Yaitu mereka yang memproklamirkan
dirinya sebagai kaum “pluralisme”, di mana mereka berkeyakinan bahwa “semua agama itu sama”
dan karenanya umat dari semua agama berhak untuk masuk syurga, setiap manusia apa pun
agamanya maka dia berhak masuk syurga bila dia beramal shaleh. Pernyataan mereka ini tentunya
saja sangat membingungkan bagi pemahaman sebagian umat yang awam yang belum memahami
kesesatan pandangan mereka, di mana sejak kecil diajarkan oleh orangtua bahwa agama di sisi
Allah hanyalah Islam dan siapa saja yang memeluk selain Islam maka celakalah kehidupan dunia
dan akhiratnya.
Pernyataan, “semua agama itu benar dan semua orang asalkan beramal shaleh maka dia berhak
masuk syurga”. Pernyataan ini sendiri sebenarnya di luar nalar yang sehat. Karena, bagaimana
mungkin sebuah akidah dan syariat yang jelas nyata-nyata berbeda bahkan satu dengan yang lain
bertentangan sangat tajam namun semuanya sama-sama benar. Sehingga orang yang beriman
kepada Allah Yang Esa, Allah yang tidak beranak dan diperanakkan dan tidak ada sekutu bagi-Nya,
sama-sama selamat dengan yang meyakini bahwa Allah itu punya anak dan diperanakan misalnya
sama juga dengan mereka yang mempertuhankan batu, pohon atau makhluk-makhluk Allah SWT
lainya.
“Kalaulah” Tuhan itu tidak Esa, hingga ada beberapa tuhan, yang satu tidak beranak dan
diperanakkan, tidak ada sekutu bagi-Nya, sementara tuhan yang satu lagi punya anak dan lain
sebagainya, ini semakin tidak masuk akal lagi. Sehingga secara nalar sehat pemikiran semacam ini
harus ditolak, karena “sebuah kebenaran itu tidak mungkin bisa lebih dari satu dalam hal yang
berbeda”.
Misalnya, suatu saat Si Fulan tidak hadir dalam sebuah pertemuan. Lantas kita tanya pada
seseorang, di mana Si Fulan ? Si A mengatakan bahwa dia sedang pergi ke Kota A, sedangkan Si B
mengatakan bahwa dia sedang pergi ke Kota B. Kemudian Si C mengatakan, kalian keliru bahwa
dia saat ini sedang ke Kota C, sedangkan Si D mengatakan, kalian semua keliru dia tidak hadir
karena sedang sakit dirawat di rumah. Berita dari Si A, B, C dan D, mungkinkah semuanya benar ?
Tidak mungkin karena jelas berbeda, yang mungkin adalah semua beritanya salah atau hanya satu
yang benar.
Kesimpulannya, sebagai seorang Muslim yang meyakini bahwa hanya Islamlah yang benar, maka
konsekuensi dari keyakinan ini bahwa semua agama selain Islam adalah sesat dan bukan agama.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran, 3 : 19).
Demikian pula dalam firman-Nya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-
kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi”(QS. Ali Imran, 3 : 85).
Sebenarnya sudah sangat jelas pengertian ayat 62 QS Al Baqarah ini, di mana baik orang-orang
yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani maupun orang-orang penyembah bintang
akan selamat bila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir dan melakukan amal shaleh.
Beriman kepada Allah berarti beriman pula kepada risalah (Islam) yang dibawa Rasulullah Saw.
Allah SWT berfirman:
“Maka jika datang kepada kalian petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS. Thaahaa, 20 : 123)
Sehingga jelas pula, arti di balik itu semua bahwa barangsiapa yang tidak mengikuti petunjuk Allah
dengan mentaati risalah Islam yang dibawa Rasulullah Saw maka akan sesat dan celaka. Allah SWT
berfirman:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih
putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku
dan Tuhan kalian”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya syurga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga (Trinitas)” (QS. Al Maidah, 5 : 72-73).
Demikian pula, Allah SWT berfirman:
“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu
putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan
orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai
berpaling?” (QS. At Taubah, 9 : 30). Mereka baru akan selamat bila mereka ikuti risalah Rasulullah
Saw.
Berbicara tentang iman dan amal shaleh, maka sering kita jumpai dalam beberapa ayat selalu
berdampingan. Artinya, seseorang baru bisa dikatakan beramal shaleh bila dia beriman kepada
Allah yang “Ahad” (Esa), akan sia-sialah amal seseorang bila tidak beriman kepada-Nya. Allah
SWT berfirman: “Katakanlah:
“Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi, 18 : 103-
104).
Perbuatan mereka sia-sia sehingga di akhirat nanti akan diperlihatkan hasil jerih payah mereka yang
sia-sia. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu
yang berterbangan” (QS. Al Furqaan, 25 : 23).
Juga dalam firman-Nya:
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang
ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil
manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah
kesesatan yang jauh” (QS. Ibrahim, 14 : 18).
Orang yang beriman kepada Allah tapi shalatnya didasari riya pun tidak akan jadi amal shaleh,
apalagi orang yang tidak beriman kepada Allah.
Pada penghujung kajian dakwah ini, saya ajak kita semua merenungkan dua firman Allah SWT di
mana secara eksplisit Allah SWT menyatakan bahwa Risalah yang Allah SWT turunkan lewat
sekian Rasul (25 di antaranya dan dikisahkan Al Qur’an) sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi
Muhammad SAW adalah Islam, karena mustahil Allah SWT Yang Esa menurunkan risalah pada
masing-masing rasul satu dengan yang lain bertentangan. Silakan simak firman-Nya :
“Katakanlah (hai orang-orang mu’min). “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya,
dan apa yang diberikan kepada Musa dan “Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari
Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dari kami hanya tunduk
dan patuh kepada-Nya” (QS. Al Baqarah, 2 : 136).
Juga dalam firman-Nya:
“Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al
Maa-idah, 5 : 3)

Wallahu a’lam bish-shawab.


Dosa yang Tak Terampuni
By Republika Newsroom
Jumat, 20 Maret 2009 pukul 09:31:00

Allah SWT tidak hanya Maha "Ghafuur" (pengampun) tapi juga Maha "Afuwwun" (penghapus)
terhadap segala macam dosa (Q.S. Az-Zumar : 53) di mana bila Dia berkenan mengampuni dosa
seseorang, maka dihapuslah seluruh dosa dari diri orang tersebut. Sehingga yang bersangkutan
tak ubahnya orang yang tidak pernah berbuat dosa (Hadits).
Prinsip ini berlaku bagi segala jenis dosa, terkecuali, "kufur" dalam berbagai bentuknya, di
antaranya "syirik", yang apabila seseorang sampai wafatnya tidak bertaubat, maka Allah SWT tidak
akan pernah mengampuninya (Q.S. An Nisaa' : 48, 116) yang bersangkutan terancam abadi di
Neraka Jahannam, sedetik pun tidak akan berjumpa dengan Allah SWT yang hanya berkenan
menjumpai hamba-hamba-Nya yang ada si surga (Q.S. Al Kahfi : 110, Al Maa-idah, 72)
Yang dimaksud "syirik" di sini, tentu saja tidak sebatas menyekutukan Dzat Allah SWT semata,
sebab apalah artinya bila Allah SWT di-Esa-kan dalam Dzat-Nya, tapi tidak di-Esa-kan dalam sifat,
aturan dan hukum-hukum-Nya ? Umumnya orang-orang musyrik sejak zaman Nabi Nuh As sampai
saat ini meyakini Allah SWT dari sisi "Tauhid Rububiyyah" (Esa-nya Allah sebagai pencipta,
pemelihara dam pendidik) yang membuat mereka kemudian tergelincir ke dalam kemusyrikan
adalah dari sisi "Tauhid Uluuhiyyah" (Esa-nya Allah sebagai Dzat satu-satunya yang berhak
disembah dalam ibadah secara integral).
Firman Allah SWT :
"Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan
bumi ?, niscaya mereka akan menjawab, semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui' (Q.S. Az Zukhruf : 9). "Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, siapakah
yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab : "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat
dipalingkan (dari menyembah Allah) ?" (Q.S. Az Zukhruf : 87).
Dengan kata lain, men-"Tauhid" (Esa) kan Allah SWT dalam pengabdian merupakan ujian terberat
dalam mempertahankan dan mengembangkan fitrah iman dan Islam (Q.S. Al A'raaf : 172; Ar
Ruum : 30). "Fitrah" dalam pengertian "suci" dari kekufuran dan kemusyrikan, dan dari segala dosa.
Ibadah yang dimaksud tentunya tidak sebatas ibadah “mahdhah” semata, tapi mencakup segala
keterikatan dan keterkaitan hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai
Al Khalik seperti rasa cinta, takut, permohonan perlindungan, berdoa, bertawakkal, berharap, ruku,
sujud, shalat, shaum, thawaf, berqurban, haji dan lain sebagainya. Termasuk syirik tentunya, yang
berkeyakinan bahwa ada selain Allah SWT yang memiliki hak menetapkan aturan dan hukum.
Menghalalkan yang diharamkan Allah SWT dan atau sebaliknya menetapkan undang-undang dan
hukum, menghalalkan zina, riba, membuka 'aurat. Menetapkan hukum yang nyata-nyata
bertentangan dengan hukum pidana Islam seperti potong tangan bagi pencuri, dera atau rajam bagi
pezina, qishash bagi pembunuh dan sebagainya. Atau mengubah ketentuan-ketentuan syara' dalam
masalah zakat, waris, nikah dan sebagainya (An Nisaa' : 61; Asy-Syuara : 21)
Setiap mu'min harus ekstra hati-hati dalam berprinsip, berucap, bersikap dan bertindak agar tidak
terjerumus dalam kemusyrikan, Rasulullah Saw lebih jauh mengingatkan bahwa kemusyrikan tidak
hanya hadir dalam bentuk yang eksplisit seperti dalam beberapa contoh tersebut di atas, tapi juga
dalam bentuk sesuatu yang saking samarnya membuat seseorang tidak menyadari bila dirinya
telah musyrik. Seperti tidak sadarnya seseorang bila di hadapannya terdapat seekor semut hitam
karena semut itu berada di atas batu hitam dalam ruangan yang gelap pada malam hari (HR.
Ahmad)
Memang benar, kecil kemungkinan ada seorang mu'min yang selain menyembah Allah SWT juga
menyembah berhala dalam bentuk patung, misalnya, tapi kiranya masih ada orang yang mengaku
mu'min mendatangi kuburan atau tempat-tempat yang dikeramatkan lalu mereka berdo'a dan
meminta-minta berkah kepada arwah-arwah yang tentu saja, "laa haula walaa quwwata illa billah".
Jangankan telah mati, ketika masih hidup sekalipun seseorang tidak bisa memberi manfaat atau
mudharat kepada orang lain. Jangankan manusia biasa, bahkan Rasulullah Saw sebagai hamba
Allah yang paling dekat dengan Allah SWT diperintahkan untuk mengingatkan ummatnya bahwa
dirinya tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk memberi manfaat atau mudharat tanpa izin
Allah SWT (Q.S. Al A'raaf : 188).
Kendati Allah SWT sudah dengan tegas sekali menyatakan, tidak ada satu "Nafs (jiwa) pun, baik
manusia, jin maupun malaikat yang dapat memastikan apa yang akan terjadi (Q.S. Luqman : 34).
Kenyataan yang kita saksikan masih ada saja sementara orang yang mendatangi paranormal, dukun
atau apalah namanya, lalu ia meyakini betul akan kebenaran ramalannya, padahal Rasulullah Saw
sudah mengingatkan, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau paranormal, lalu ia
menanyakan sesuatu kepadanya, dan ia meyakini kebenaran ramalan sang dukun, maka sungguh ia
telah kufur dengan (ajaran Islam) yang diturunkan kepada Muhammad (HR. Ahmad dan Al hakim).
Paling tidak, ia telah mengkufuri Q.S. Luqman 34, dan kufur terhadap satu ayat Al Qur'an berakibat
gugurnya keimanan secara keseluruhan, seperti gugurnya 80 ribu tahun keimanan Iblis hanya
karena kufur terhadap satu perintah Allah SWT
Ironis memang, nilai-nilai kemusyrikan itu kini bahkan telah lama masuk ke dalam rumah-rumah
kita lewat berbagai tayangan di televisi. Tayangan-tayangan tersebut tidak hanya saja menyesatkan
akidah, tapi juga membodoh-bodohi ummat, menggiring para pemirsa untuk tidak lagi
menggunakan akal sehat di dalam menghadapi realitas hidup dan kehidupan. Celakanya, tayangan-
tayangan tersebut dikemas dengan memakai atribut-atribut Islam, sementara yang ditayangkan 180
derajat bertentangan dengan ajaran Islam dan nalar sehat. Semoga akhir hidup kita dapat terhindar
dari dosa, terlebih lagi dengan dosa-dosa yang tidak terampuni.

Wallahu a'lam bish-shawab


Memilih Pemimpin
By K.H. Athian Ali M. Da'i, MA
Senin, 06 April 2009 pukul 11:59:00

"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu
menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat
perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk
seperti pohon buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap
(tegak) sedikit pun" (QS. Ibrahim, 14;24-26)
Ayat di atas menggambarkan betapa indahya gambaran yang dianugerahkan Allah SWT atas
keberadaan orang-orang yang bertakwa di mana keberadaannya ibarat sebuah pohon yang baik,
yang "akarnya sangat kuat menghujam ke dasar tanah, sementara dahan dan rantingnya menjulang
tinggi ke langit, pohon tersebut tumbuh dengan subur lalu berdaun rindang dan berbuah yang
buahnya dapat dinikmati oleh masyarakat yang hidup di sekitarnya pada setiap saat dengan seizin
Allah Tuhannya.
Akar yang dimaksud pada ayat di atas adalah akidah. Kalimat thayyibah, "la ilaha illallah",
diibaratkan sebagai akar pohon yang menghujam sangat kuat ke dasar tanah. Sehingga berdiri
kokoh dan tidak mudah tumbang bila diterpa angin. Untuk itu bisa disimpulkan bahwa seorang
yang dalam hidupnya "tidak" berpegang kepada prinsip kalimat thayyibah, "la ilaha illallah", maka
dia tidak ubahnya pohon yang tidak berakar (QS. Ibrahim, 14:26). Dapat dibayangkan kondisi
pohon yang tidak berakar, maka sudah dapat dipastikan dia tidak dapat mempertahankan hidupnya.
Perumpamaan pohon yang buruk itu adalah pohon yang akarnya sudah terangkat dari permukaan
bumi yang esok atau lusa akan mati. Keberadaan pohon semacam ini tidak ada artinya sama sekali,
dia tidak mungkin memberi manfaat, jangankan untuk berbuah, bertahan untuk hidup pun tidak
mungkin bisa. Keberadaan pohon semacam ini paling bermanfaat hanya sebagai kayu bakar.
Gambaran hidup orang-orang yang "tidak mau" berpegang dengan kalimat thayyibah, la ilaha
illallah, maka dia seperti pohon yang tidak ada akarnya, sebagaimana layaknya kondisi orang-orang
kafir, dia tidak ada nilainya sama sekali di sisi Allah. Mereka termasuk,
"Orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya"(QS. Al Kahfi, 18 : 104).
Dengan akidah atau keimanan yang kuat, seseorang akan diantarkan amal perbuatannya sampai
kepada Allah SWT. Digambarkan seperti pohon yang dahannya menjulang tinggi sampai ke langit.
Maknanya, amalnya akan sampai kepada Allah SWT.
Jadi, seorang muttaqin itu di samping memiliki dasar akidah yang kuat, dia juga harus baik dalam
"habluminallah" (hubungan secara vertikal dengan Allah SWT).
Tidak cukup demikian, tapi dia harus seperti pohon yang terus-menerus berbuah, dalam pengertian
baik hubungannya secara horisontal dengan makhluk yang ada di sekelilingnya. Setiap saat buahnya
bisa dinikmati oleh masyarakat yang hidup di sekitarnya. Inilah yang sering kita istilahkan dengan
silaturahim, dia harus baik dalam hubungan silaturahimnya. Bukan hanya dengan sesama manusia
saja, melainkan hubungan dengan sesama makhluk Allah yang lain pun harus baik.
Dapat disimpulkan bahwa gambaran manusia ideal menurut Al-Qur'an yang digambarkan pada ayat
di atas adalah akidahnya harus kokoh, hubungan vertikalnya dengan Allah dijalin sangat baik,
secara horisontal pula hubungan dengan sesama makhluk Allah harus baik.
Keberadaan pohon yang baik ini mungkin tidak hanya dinikmati oleh manusia saja, melainkan
binatang pun bisa ikut menikmatinya.
Keberadaan insan yang muttaqin harus bisa bermanfaat bagi orang lain atau makhluk-makhluk
Allah yang lain yang ada di sekitarnya. Sehinga bila suatu saat pohon ini mati, maka banyak sekali
orang yang merasa kehilangan terutama bagi yang selama ini menikmati buahnya. Yang seandainya
suatu saat dia meninggal dunia, maka banyaklah orang yang akan merasakan kehilangan terutama
mereka yang selama ini menikmati buah karyanya atau kesalehannya.
Betapa sangat erat keterkaitan dan keterikatan antara akidah dengan kehidupan seseorang.
Kesalehan seseorang secara individu harus dibangun atas dasar kokohnya akidah yang pada
gilirannya diharapkan dapat muncul kesalehan sosial yang akan mewarnai kehidupan bermasyarakat
dan bernegara sesuai petunjuk-Nya.
Berbicara tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka kita tidak bisa lepas berbicara
tentang masalah kepemimpinan. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda, "Ada tujuh
golongan manusia dari ummatku yang akan mendapat perlindungan di akhirat nanti di mana tidak
ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah".
Yang paling pertama disebut oleh Rasulullah Saw adalah "pemimpin yang adil". Hadits ini
mengisyaratkan bahwa, jika seorang pemimpin itu berbuat adil maka hakikatnya dia telah beribadah
kepada Allah dalam beentuk pengabdiannya kepada sekian juta manusia yang dipimpinnya selama
masa jabatannya. Sehingga layaklah pemimpin yang adil akan mendapatkan tiket masuk syurga
tanpa hisab.
Sebaliknya, bila seorang pemimpin itu berbuat zalim maka dia akan memperoleh tiket masuk
neraka tanpa hisab. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Adz Dzulaimi yang dikutip Al
Ghazalai dalam Kitabnya Minhajul 'Abidin, Rasulullah Saw bersabda: "Ada enam kelompok
manusia dari ummatku yang akan masuk neraka jahanam tanpa hisab". Yang paling pertama
disebut oleh Rasululah Saw adalah "pemimpin karena kezalimannya".
Hadits ini mengisyaratkan bahwa, apabila seorang pemimpin itu berbuat zalim dalam
kepemimpinannya maka dia akan masuk neraka tanpa hisab.
Betapa berat menyandang tanggung jawab sebagai seorang pemimpin, karena dia harus bisa berbuat
adil.
Ketika seorang pemimpin tidak menjalankan kepemimpinannya sesuai dengan syariat Allah maka
dia termasuk telah berbuat zalim yang konsekuensinya sangat berat bagi kehidupan kelak di akhirat.
Dalam kaitannya memilih pemimpin, layaklah kita hayati dan renungkan sebuah hadits yang
diriwayatkan Iman Al Hakim, Nabi Saw bersabda: "Barangsiapa yang memilih seseorang sebagai
pemimpin atas dasar ta'ashub.(fanatisme/taqlid) buta semata didasarkan hanya pada pertimbangan
emosional primordial, bukan atas dasar rasionalitas dan penilaian yang jernih, padahal di tengah
mereka ada orang yang lebih layak dan pantas dipilih dan diridhai Allah, maka orang itu telah
berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum muslimin.
Sebenarnya telah banyak sekali ayat-ayat yang mengingatkan kita tentang bagaimana cara kita
mesti memilih pemimpin, di antaranya dalam QS. Alli Imran, 3 : 28; Al Maa-idah, 5:51; An Nisaa',
4:138-139. Betapa sudah sangatlah jelas dan tegas peringatan-peringatan Allah tentang masalah
mengangkat seorang menjadi pemimpin, jangankan orang kafir yang kita angkat sebagai pemimpin,
bahkan orang muslim sekalipun hanya mereka yang tunduk, patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-
Nya, serta siap melaksanakan syariat Allah.
Maka dari itu sudah tidak dimungkinkan lagi dalam Islam kita mengangkat seorang pemimpin yang
kafir dengan mengenyampingkan orang mu'min, karena dia yakin bahwa yang kafir itulah yang
terbaik, maka dari sisi akidah dia sudah gugur keislamannya.
Bila kita membuka lembaran sejarah, maka kita akan menemukan salah satu teladan yang baik dari
seorang sosok anak manusia yang baru diangkat menjadi Khalifah, di mana ketika itu Abu Bakar
Ash Shidiq Ra telah diangkat menjadi khalifah. Layak timbul pertanyaan dalam diri kita dengan
diangkatnya beliau menjadi khalifah, apakah kedudukannya sebagai khalifah mengubah kepribadian
dan gaya hidupnya ? Apakah dalam kegemilangan dan kepadatan keberhasilannya, lantas ia
melupakan kerendahan hati dan sifat-sifat utama lainnya ? Apakah kehidupannya sebagai khalifah
berada di atas manusia pada iumumnya, ataukah tetap di tengah-tengah manusia ?
Jawaban dari semua pertanyaan di atas, kita akan dapatkan dengan menyimak pidato detik-detik
awal dari kekhalifannya saat ia tampil untuk pertama kalinya menghadap khalayak ramai untuk
menyampaikan kepada mereka ikrar serta janjinya, "Hai Kaum Muslimin, saya telah diangkat
sebagai pemimpin kalian, tetapi itu tidak berarti bahwa saya adalah yang terbaik di antara kalian.
Maka jika saya benar, bantu dan dukunglah saya, dan jika saya salah, betulkan dan peringatkan
saya! Ingatlah, orang yang lemah di antara kalian menjadi kuat di sisiku hingga saya serahkan
haknya kepadanya. Dan, orang yang kuat di antara kalian menjadi lemah di sisiku hingga saya
ambil yang bukan haknya daripadanya. Taatilah saya selama saya mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Dan jika saya tidak taat, maka tidak ada keharusan bagi kalian untuk mentaatiku".
Dengan ikrarnya ini, Abu Bakar Ra telah meletakkan rasa tanggung jawabnya dalam kerangka
pengakuan dan ketulusan. Tanggung jawab seorang pemimpin yang dipercaya sekaligus
mengungkapkan intisari setiap pemerintahan yang baik. Dengan pernyataan ikrar, "Saya telah
diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi saya bukanlah yang terbaik di antara kalian".
Maknanya, ia hendak mengikis persangkaan manusia yang menyebabkan mereka menaruh pihak
penguasa di tempat yang mereka tinggikan dari derajat dan kedudukan yang sebenarnya.
Ia bermaksud hendak menanamkan dalam hati mereka bahwa kekuasaan itu bukanlah suatu
kelebihan atau keistimewaan, melainkan amanah yang wajib ditunaikan dengan sebaik-baiknya
sekaligus pelayanan umum yang dalam sebagian besar di antaranya ditemui berbagai macam
kesulitan dan tanggung jawab.
Ia memberi pelajaran berharga bagi kita bahwa kepemimpinan itu bukanlah untuk suatu keagungan,
melainkan tugas dan kewajiban, memberikan bimbingan dan bukan ketakaburan.
Seorang pemimpin itu hanyalah suatu individu yang merupakan bagian dari ummat dan bukanlah
ummat suatu bagian dari individu.
Demikian pula, dapat kita simak makna ikrarnya yang dinyatakannya, "Taatilah saya selama saya
mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan jika saya tidak taat, maka tidak ada keharusan bagi kalian untuk
taat kepadaku".
Lewat pernyataannya ini beliau ingin menegaskan, bahwa umat wajib taat kepada pemerintahan dan
kepemimpinan beliau, sepanjang beliau taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, jika nanti di
dalam kepemimpinannya beliau menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada
kewajiban bagi bagi ummat untuk taat.
Disadari atau tidak, permasalahan "pilih-memilih" dalam menjalani kehidupan ini bukanlah urusan
kecil atau masalah yang sepele, terlebih lagi dalam kaitannya kita harus memilih seorang pemimpin.
Bagi kita yang berkedudukan sebagai pemilih tentu punya tanggung jawab yang sangat besar.
Bukan hanya tanggungjawab moral, tapi lebih dari itu kita punya tanggung jawab di hadapan Allah.
Di hadapan-Nya kelak, kita akan dituntut pertanggungjawabannya tentang apa yang telah kita
lakukan, tindakan dan sikap apa yang telah kita perbuat,
"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya" (Al Israa', 17 : 36).
Kita harus betul-betul siap untuk memilih seseorang yang kita yakini, paling tidak, yang siap
melaksanakan syariat Allah. Kesalahan kita dalam memilih akan berakibat fatal bagi kehidupan
ummat masa kini dan masa akan datang dan kita pun harus ikut mempertanggungjawabkan itu di
akhirat kelak.
"Salah" kita dalam memilih seorang pemimpin, dengan memilih orang yang zalim misalnya, karena
tidak terbesit tekadnya sedikit pun untuk menegakkan syariat Islam, maka kita harus ikut
mempertanggungjawabkan pilihan kita itu di hadapan Allah. Karena bukankah dia bisa menjadi
seorang pemimpin adalah juga karena kita yang memilihnya. Bahkan dalam kesalahan memilih
seorang pemimpin, bukan hanya saja menyeret seseorang masuk dalam perbuatan zalim atau dosa,
lebih dari itu bisa membuat seseorang gugur keislamannya, Na'udzubillah min dzalik!
Akhirnya, pada penghujung bahasan ini saya berpesan marilah gunakan sebaik-baiknya hak pilih
kita dengan penuh tanggung jawab demi keselamatan ummat hari ini, esok dan pada masa-masa
mendatang, dunia dan akhirat dalam ridha-Nya.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Keistimewaan Syariat Islam
By K.H. Athian Ali M. Da’i, MA
Jumat, 17 April 2009 pukul 10:04:00

“Fa ja’alnaahaa nakaalal li maa baina yadaihaa wa maa khalfahaa wa mau’izhatal lil muttaqiin”
(Maka Kami jadikan yang demikian itu hukuman yang berat bagi orang-orang pada masa itu, dan
bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi peringatan bagi orang-orang yang bertakwa).
(QS. Al Baqarah, 2 : 66)
Dalam Islam berlaku kaidah, “tidak ada hukuman kecual oleh sebab adanya pelanggaran, dan tidak
ada pelanggaran kecuali adanya nash”. Jadi, harus ada nash terlebih dahulu baru sebuah perbuatan
itu dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran, kemudian diberlakukan hukuman bagi mereka yang
melanggar.
Dari sini kita akan dapat memahami betul Ke-Mahaadilan. Allah SWT yang menyatakan:
“Wa maa kunnaa mu’adzdzibiina hattaa nab’atsa rasuulaa” (Dan Kami tidak akan mengazab
hingga Kami utus rasul terlebih dahulu) (QS. Al Israa’, 17 : 15). Allah SWT tidak akan pernah
memberikan siksa atau azab kepada orang-orang kafir dan ahli maksiat di neraka nanti kecuali
setelah Allah mengutus rasul kepada mereka untuk menjelaskan tentang syariat-Nya.
Orang-orang yang Islamfobia mencoba memanfaatkan kata, “Nakaala” dalam ayat tersebut di atas
yang bermakna “Hukuman yang berat” dengan menyebarkan fitnah terhadap Syariat Islam dengan
menyatakan, bahwa Syariat Islam itu terkesan kejam, keras, bertentangan dengan HAM, tidak
manusiawi, tidak adil, zalim dan bermacam-macam tuduhan lainnya. Dan, ironisnya tidak jarang
pernyataan semacam ini muncul dari orang-orang yang mengaku muslim, bahkan kadung dijuluki
Cendekiawan Muslim.
Benarkah hukum Allah itu keras sebagaimana yang mereka tuduhkan? Untuk menjawab tuduhan
mereka yang tidak beralasan tersebut, maka perlu dipaparkan beberapa “keistimewaan Syariat
Islam” sebagai pedoman hidup. Paling tidak, ada “empat” keistimewaannya.
Pertama, bahwa dalam Islam kekuasaan “mutlak” itu hanya di tangan Allah. Kekuasaan
menetapkan hukum itu hanya pada Allah, tidak pada perorangan, golongan, partai maupun pada
kesepakatan seperti yang terjadi pada sistim demokrasi. Dalam Syariat Islam yang berhak
menetapkan aturan dan hukum hanya Allah,
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” (QS. Al A’raaf, 7:54).
Juga firman Allah SWT pada QS. Al An’aam ayat 57; Asy Syuraa ayat 10 dan An Nisaa’ ayat 105.
Maka salah satu bentuk kesesatan oorang-orang Yahudi dan Nasrani di antaranya adalah ketika,
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah”
(QS. At Taubah, 9:31).
Kalau kita berbicara tentang hukum, maka hanya hukum Allah-lah yang pasti adil, sedangkan
hukum yang dibuat manusia sudah pasti zalim. Kenapa hukum yang dibuat manusia itu zalim?
Karena tatkala manusia membuat aturan dan hukum, maka faktor subjektifitas manusianya (hawa
nafsunya) ikut mempengaruhi aturan dan hukum yang dibuatnya. Inilah salah satu perbedaan yang
paling mendasar antara syariat Allah dan hukum buatan manusia. Kenapa hukum Allah itu pasti adil
? Karena Allah pada saat membuat aturan tidak punya kepentingan apa pun dengan aturan yang
dibuatnya (QS Al Kahfi, 18:29). Manusia mau mu’min atau kafir, mau taat atau maksiat sama sekali
tidak membuat Allah beruntung atau rugi. Aturan yang dibuat oleh yang tidak punya kepentingan
inilah yang dijamin adil bagi semua pihak.
Manusia dituntut untuk bisa mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya demi kepentingan
hukum Allah yang adil dan dituntut pula untuk bisa berbuat adil dalam melaksanakan hukum (QS.
Al Maa-idah, 5 : 49; An Nisaa’, 4:58). Dalam hadits Nabi Saw yang diriwayatkan Imam Bukhari
dikisahkan, ada seorang wanita pada zaman Rasululllah Saw sesudah fathu Mekah telah mencuri.
Lalu Rasulullah memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui
Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi wanita tersebut. Mendengar penuturan
Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau lalu bersabda: “Apakah kamu akan minta
pertolongan untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza Wajalla?” Usamah lalu menjawab,
“Mohonkan ampunan Allah untukku, ya Rasulullah”. Pada sore harinya Nabi Saw berkhotbah
setelah terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Inilah sabdanya: “Amma ba’du. Orang-
orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa
hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia ditindak dengan hukuman.
Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, “Apabila Fatimah binti Muhammad mencuri maka
akulah yang akan memotong tangannya”. Setelah bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh
memotong tangan wanita yang mencuri itu.
Yang kedua, syariat Islam bersifat komperhensif, yakni mengatur semua aspek kehidupan. Allah
SWT berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS.
An Nahl, 16:89).
Ketiga, sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maa-idah, 5:3).
Kesesuaian dengan fitrah manusia, maksudnya memandang manusia tidak sebagai hewan sehingga
hanya memenuhi kebutuhan biologisnya, tidak juga sebagai malaikat yang tidak memiliki hawa
nafsu. Tetapi seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani (QS. Al Qashash,28:77). Bahkan dua-
duanya dalam Islam tidak bisa dipsah-pisahkan antara urusan dunia dan akhirat. bila seorang
muslim mencari harta itu pun harus dalam rangka dunia dan akhirat, sehingga dalam mencarinya
harus sesuai dengan aturan-Nya.
Keempat, fleksibel (luwes). Ada beberapa bentuk fleksibelitas Syariat Islam, di antaranya,
Pertama, dari sisi hawa nafsu, Islam tidak menghendaki manusia itu mematikan hawa nafsu dan
juga tidak menyukai manusia yang memenuhi nafsunya tanpa aturan, yang dituntut adalah upaya
pengendalian (QS. Al Maa-idah, 5:87; Ali Imran, 3:134) serta tidak boleh berlebih-lebihan (QS. Al
A’raaf, 7:31-32). Rasulullah Saw bersabda: “Tiap-tiap ucapan baik tasbih, takbir. tahmid maupun
tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar sedekah, bersenggama dengan isteri pun
sedekah”. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah melampiaskan syahwat mendapat pahala?” Nabi
menjawab, “Tidakkah kamu mengerti bahwa kalau dilampiaskannya di tempat yang haram
bukankah itu berdosa? Begitu pula kalau syahwat diletakkan di tempat halal, maka dia
memperoleh pahala”(HR. Muslim).
Kedua, mudah dalam mengerjakan shalat, karena semua bumi ini masjid kecuali kuburan dan
tempat pemandian (HR. Ahmad).
Ketiga, sangat sedikit yang dibebankan dan yang diharamkan.
Keempat, gugurnya kewajiban yang bisa diganti dengan yang lebih ringan. Gugurnya haji karena
tidak mampu. Bila tidak mampu shaum boleh diganti fidiyah dan bila tidak dijumpai air untuk
berwudhu boleh bertayamum (QS. Ali Imran, 3:97, Al Baqarah, 2:184; An Nisaa’, 4:43).
Kelima, dalam kondisi yang betul-betul “darurat” seorang muslim diperbolehkan melakukan yang
dilarang (QS. Al Baqarah, 2:173; Al An’aam, 6:145, An Nahl, 16:115).
Keenam, pelaksanaan kewajiban ada yang mutlak harus sempurna tapi ada juga “ruksyah”
(keringanan).
Ketujuh, gugurnya kewajiban berperang bagi yang tidak mampu, di antaranya orang-orang buta dan
pincang (QS. Al Fat-h, 48:17).
Kedelapan, dihalalkan beberapa jenis binatang ternak yang dulu diharamkan. Kesembilan, larangan
shaum sepanjang tahun penuh.
Kesepuluh, bertahap dalam pelaksanakan kewajiban, sebagaimana pelarangan khamar (QS. Al
Baqarah, 2:219; An Nisaa’, 4:43; Al Maa-idah, 5:90).
Kesebelas, tidak ada perantara antara hamba dengan Allah, baik dalam akidah maupun dalam
ibadah, tidak seperti kesalahan yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani (QS. At Taubah, 9:31).
Keduabelas, ada hubungan interaksi sosial dengan non-muslim khususnya ahli kitab (QS. Al Maa-
idah, 5:5).

Wallahu’alam bish-shawab.
Tujuan Syariat Islam
By K.H. Athian Ali M. Da’i, MA
Rabu, 29 April 2009 pukul 14:03:00

Diturunkannya Syariat Islam kepada manusia tentu memiliki “tujuan” yang sangat mulia. Paling
tida, ada “delapan” tujuan.
Pertama, memelihara atau melindungi agama dan sekaligus memberikan hak kepada setiap orang
untuk memilih antara beriman atau tidak, karena,
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam” (QS. Al Baqaarah, 2:256).
Manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih,
“…Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin
(kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al Kahfi, 18:29).
Pada hakikatnya, Islam sangat menghormati dan menghargai hak setiap manusia, bahkan kepada
kita sebagai mu’min tidak dibenarkan memaksa orang-orang kafir untuk masuk Islam. Berdakwah
untuk menyampaikan kebenaran-Nya adalah kewajiban. Namun demikian jika memaksa maka akan
terkesan seolah-olah kita butuh dengan keislaman mereka, padahal bagaimana mungkin kita butuh
keislaman orang lain, sedangkan Allah SWT saja tidak butuh dengan keislaman seseorang. Tetapi
bila seseorang dengan kesadarannya sendiri akhirnya masuk Islam, maka wajib dipaksa oleh Ulul
Amri untuk melaksanakan Syariat Islam.
Dengan memilih muslim, maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakan
kewajibannya. Seandainya ada seorang muslim tidak shalat, hal ini “bukan hanya” urusan pribadi
tapi menjadi urusan semua muslim terutama Ulul Amri. Jika ada seorang muslim tidak
melaksanakan kewajiban shalat karena dia tidak yakin akan kewajiban shalat, maka Empat Mahzab
dan jumhur (mayoritas) ulama sepakat menyatakan yang bersangkutan kafir. Yang karenanya harus
dihukumkan kafir, artinya bila dalam tiga hari dia tidak segera sadar, maka dihukumkan sebagai
murtad yang halal darahnya sehingga Ulul Amri bisa menjatuhkan hukuman mati. Tapi, seandainya
tidak shalatnya yang bersangkutan bukan karena tidak yakin, tapi karena alasan malas misalnya,
maka dalam hal ini “tiga” mazhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki) menyatakan yang bersangkutan berdosa
besar, sementra Mazhab Hambali tetap mengkafirkannya.
Lalu bagaimana Ulul Amri menerapkan hukum bagi muslim yang tidak shalat karena malas?
Pertama, Ulul Amri tentu saja berkewajiban mengingatkannya. Andaikata yang bersangkutan tetap
tidak mau shalat padahal sudah diingatkan oleh Ulul Amri, menurut Mahzab Syafei dan Maliki,
yang bersangkutan wajib dihukum mati. Imam Hanafi, sependapat dengan Mahzab Syafei dan
Maliki, bahwasanya yang bersangkutan tidak bisa dihukumkan kafir, karena memang alasannya
malas bukan mengingkari hukum Allah. Tetapi Imam Hanafi tidak sependapat dengan hukuman
mati, karena selama tidak kafir berarti haram darahnya. Pandangan beliau, Ulul Amri harus
memberikan hukuman kepada yang bersangkutan dengan dipenjara sampai yang bersangkutan sadar
dan mau shalat. Sedangkan Mahzab Hambali, berpendapat dan berkeyakinan, bahwa seorang yang
mengaku muslim lalu tidak shalat apa pun alasannya apakah karena tidak yakin atau malas, maka
yang bersangkutan harus dihukumkan kafir. Beliau berpegang teguh kepada hadits Rasulullah Saw
yang menyatakan, “Perbedaan antara muslim dan kafir adalah meninggalkan shalat”.
Yang kedua, “melindungi jiwa”. Syariat Islam sangat melindungi keselamatan jiwa seseorang
dengan menetapkan sanksi hukum yang sangat berat, contohnya hukum “qishash”. Di dalam Islam
dikenal ada “tiga” macam pembunuhan, yakni pembunuhan yang “disengaja”, pembunuhan yang
“tidak disengaja”, dan pembunuhan “seperti disengaja”. Hal ini tentunya dilihat dari sisi kasusnya,
masing-masing tuntutan hukumnya berbeda. Jika terbukti suatu pembunuhan tergolong yang
“disengaja”, maka pihak keluarga yang terbunuh berhak menuntut kepada hakim untuk ditetapkan
hukum qishash/mati atau membayar “Diyat” (denda). Dan, hakim tidak punya pilihan lain kecuali
menetapkan apa yang dituntut oleh pihak keluarga yang terbunuh. Berbeda dengan kasus
pembunuhan yang “tidak disengaja” atau yang “seperti disengaja”, di mana Hakim harus
mendahulukan tuntutan hukum membayar “Diyat” (denda) sebelum qishash.

Bahwasanya dalam hukum qishash tersebut terkandung jaminan perlindungan jiwa, kiranya dapat
kita simak dari firman Allah SWT:
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah, 2:179).
Bagaimana mungkin di balik hukum qishash dapat disebut, “ada jaminan kelangsungan hidup”,
padahal pada pelaksanaan hukum qishash bagi yang membunuh maka hukumannya dibunuh lagi ?
Memang betul, bila hukum qishash dilaksanakan maka ada “dua” orang yang mati (yang dibunuh
dan yang membunuh), tapi dampak bila hukum ini dilaksanakan, maka banyaklah jiwa yang
terselamatkan. Karena seseorang akan berfikir beribu kali bila mau membunuh orang lain, sebab
risikonya dia akan diancam dibunuh lagi.
Kalau seorang pencuri terbukti benar bahwa dia mencuri, maka hukuman yang dijatuhkannya
adalah potong tangan, maka seumur hidup orang akan mengetahui kalau dia mantan pencuri.
Demikian pula, kalau seorang perampok dijatuhi hukuman potong tangan kanan dan kaki kiri secara
bersilang, maka dia seumur hidupnya tidak akan dapat membersihkan dirinya bahwa dia mantan
perampok. Dampak dari hukuman ini akan dapat membawa ketenangan dan kenyamanan hidup
bermasyarakat dan bernegara.
Yang ketiga, “perlindungan terhadap keturunan”. Islam sangat melindungi keturunan di antaranya
dengan menetapkan hukum “Dera” seratus kali bagi pezina ghoiru muhshon (perjaka atau gadis)
dan rajam (lempar batu) bagi pezina muhshon (suami/istri, duda/jand) (Al Hadits). Firman Allah
SWT :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (An
Nuur, 24:2). Ditetapkannya hukuman yang berat bagi pezina tidak lain untuk melindungi keturunan.
Bayangkan bila dalam 1 tahun saja semua manusia dibebaskan berzina dengan siapa saja termasuk
dengan orangtua, saudara kandung dan seterusnya, betapa akan semrawutnya kehidupan ini.
Yang keempat, “melindungi akal”. Permasalahan perlindungan akal ini sangat menjadi perhatian
Islam. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw menyatakan, “Agama adalah akal, siapa yang
tiada berakal (menggunakan akal), maka tiadalah agama baginya”. Oleh karenanya, seseorang harus
bisa dengan benar mempergunakan akalnya. Seseorang yang tidak bisa atau belum bisa
menggunakan akalnya atau bahkan tidak berakal, maka yang bersangkutan bebas dari segala macam
kewajiban-kewajiban dalam Islam. Misalnya dalam kondisi lupa, sedang tidur atau dalam kondisi
terpaksa. Kesimpulannya, bahwa hukum Allah hanya berlaku bagi bagi orang yang berakal atau
yang bisa menggunakan akalnya.
Betapa sangat luar biasa fungsi akal bagi manusia, oleh karena itu kehadiran risalah Islam di
antaranya untuk menjaga dan memelihara agar akal tersebut tetap berfungsi, sehingga manusia bisa
menjalankan syariat Allah dengan baik dan benar dalam kehidupan ini. Demikian pula, agar
manusia dapat mempertahankan eksistensi kemanusiaannya, karena memang akallah yang
membedakan manusia dengan makhluk-makhluk Allah yang lain.
Untuk memelihara dan menjaga agar akal tetap berfungsi, maka Islam mengharamkan segala
macam bentuk konsumsi baik makanan, minuman atau apa pun yang dihisap misalnya, yang dapat
merusak atau mengganggu fungsi akal. Yang diharamkan oleh Islam adalah khamar. Yang disebut
khamar bukanlah hanya sebatas minuman air anggur yang dibasikan seperti di zaman dahulu, tapi
yang dimaksud khamar adalah, “setiap segala sesuatu yang membawa akibat memabukkan” (Al
Hadits).
Keharaman Khamar sudah sangat jelas, di dalam QS. Al Maidah ayat 90 Allah SWT menyatakan,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maa-idah,5:90)
Ayat ini mengisyaratkan, bahwa seseorang yang dalam kondisi mabuk, berjudi, berkorban untuk
berhala dan mengundi nasib maka tergolong syaitan, karena sifat syaitani sedang mengusai diri
yang bersangkutan.
Kalau khamar sudah dinyatakan haram, maka keberadaannya baik sedikit maupun banyak tetap
haram. Suatu saat salah seorang sahabat mau mencoba mencampur khamar dengan obat, namun
karena kehati-hatiannya maka ditanyakanlah tentang hal ini kepada Nabi Saw sebagaimana dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Nabi Saw bersabda: “Thariq bin Suwaid Ra
bertanya kepada Nabi Saw tentang khamar dan beliau melarangnya. Lalu Thariq berkata, “Aku
hanya menjadkannya campuran untuk obat”. Lalu Nabi Saw berkata lagi, “Itu bukan obat tetapi
penyakit”. Bahkan lebih tegas lagi Nabi Saw menyatakan, “Allah tidak menjadikan
penyembuhanmu dengan apa yang diharamkan” (HR Al Baihaqi).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Abu Daud, Nabi Saw menyatakan, “Sesungguhnya Allah
menurunkan penyakit sekaligus dengan obatnya, oleh karena itu carilah obatnya, kecuali satu
penyakit yaitu penyakit ketuaan”. Sedangkan, dalam hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi saw
menyatakan, “Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obatnya, diketahui oleh yang
mengetahui dan tidak akan diketahui oleh orang yang tidak mengetahui”.
Betapa kerasnya peringatan ini yang dinyatakan, bahwa berjudi dan minum khamar adalah
perbuatan syaitan, karena dia lambat laun dapat menghilangkan fungsi akal sehingga tidak mungkin
yang bersangkutan bisa melaksanakan kewajibannya sebagai hamba-Nya. Sebaliknya, Allah SWT
sangat menghargai orang-orang yang berhasil mengembangkan fungsi akalnya dengan benar sesuai
dengan syariat-Nya. Allah SWT berfirman: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran” (QS.Az Zumar,39:9). Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ‘Ulama” (QS. Faathir, 35:9).
Yang kelima, “melindungi harta”. Yakni dengan membuat aturan yang jelas untuk bisa menjadi hak
setiap orang agar terlindungi hartanya di antaranya dengan menetapkan hukum potong tangan bagi
pencuri. “Laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al Maa-idah, 5:38). Juga peringatan keras sekaligus ancaman
dari Allah SWT bagi mereka yang memakan harta milik orang lain dengan zalim, “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka Jahannam)
(QS. An Nisaa, 4:10).
Yang keenam, “melindungi kehormatan seseorang”. Termasuk melindungi nama baik seseorang
dan lain sebagainya, sehingga setiap orang berhak dilindungi kehormatannya di mata orang lain dari
upaya pihak-pihak lain melemparkan fitnah, misalnya. Kecuali kalau mereka sendiri melakukan
kejahatan. Karena itu betapa luar biasa Islam menetapkan hukuman yang keras dalam bentuk
cambuk atau “Dera” delapan puluh kali bagi seorang yang tidak mampu membuktikan kebenaran
tuduhan zinanya kepada orang lain. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
maka deralah mereka (yang menuduh itu) dengan delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”(QS.
An Nuur, 24:4). Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-
wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan
akhirat. Dan bagi mereka azab yang besar” (QS. An Nuur,24:23). Dan larangan keras pula untuk
kita berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan dan menggunjing terhadap sesama mu’min (QS.
Al Hujurat, 49:12).
Yang ketujuh, “melindungi rasa aman seseorang”. Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang
harus aman dari rasa lapar dan takut. Sehingga seorang pemimpin dalam Islam harus bisa
menciptakan lingkungan yang kondusif agar masyarakat yang di bawah kepemimpinannya itu
“tidak mengalami kelaparan dan ketakutan”. Allah SWT berfirman: “Yang telah memberi makanan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al
Quraisy, 106:4).
Yang kedelapan, “melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Islam menetapkan
hukuman yang keras bagi mereka yang mencoba melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan yang
sah yang dipilih oleh ummat Islam “dengan cara yang Islami”. Bagi mereka yang tergolong Bughot
ini, dihukum mati, disalib atau dipotong secara bersilang supaya keamanan negara terjamin (QS. Al
Maa-idah, 5:33). Juga peringatan keras dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Saw
menyatakan, “Apabila datang seorang yang mengkudeta khalifah yang sah maka penggallah
lehernya”.

Wallahu a’lam bish-shawab


Manusia dan Akal
By K.H. Athian Ali M. Da’i, MA
Jumat, 08 Mei 2009 pukul 15:57:00

Manusia adalah salah satu makhluk yang diciptakan Allah SWT di samping makhluk-makhluk lain
ciptaan-Nya. Di samping adanya perbedaan yang sangat mendasar antara penciptaan binatang dan
manusia, ternyata masih ada kesamaan di antara keduanya. Kesamaannya, masing-masing baik
binatang maupun manusia itu diciptakan secara fitrah memiliki kecenderungan memenuhi
kebutuhan hawa nafsu. Adapun perbedaan yang sangat mendasar dari keduanya adalah dalam
proses pemenuhan hawa nafsu.
Binatang, oleh karena mereka tidak diberi akal maka naluri kecenderungan pemenuhan hawa
nafsunya hanya sebatas fitrahnya. Misalnya, bila lapar lantas mereka pun akan segera mencari
makanan untuk dimakan. Setelah kenyang mereka akan diam. Sebelum lapar mereka tidak akan
makan, mereka akan makan hanya pada saat mereka betul-betul merasa lapar.
Dalam kehidupan binatang, ada yang berusaha menutupi kebutuhan hidupnya dengan sendiri-
sendiri, ada pula yang membina kebersamaan di bawah satu kepemimpinan seperti dalam kelompok
lebah atau tawon atau An Nahl. Allah SWT berfirman:
“Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah:”Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-
pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia”. Kemudian makanlah dari tiap-tiap
(macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu) dari perut
lebah itu keluar madu yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesung-guhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”(An Nahl, 16 :68-69).
Ayat di atas mengingatkan kita akan kebersamaan para lebah untuk menjadi contoh bagi kita, di
bawah satu kepemimpinan mereka membina kesatuan, kerja sama yang sangat baik dan
menghasilkan karya yang dapat dinikmati oleh manusia di antaranya madu yang bisa menjadi obat.
Demikian pula, kehidupan semut pun dalam membina kebersamaan layaklah kita tiru.
Adapun manusia, di samping memiliki kecenderungan hawa nafsu untuk memenuhi kebutuhan
hidup baik nafsu makan ataupun nafsu kebutuhan biologis, selain itu pula manusia diberi akal.
Semestinya dengan akalnya ini manusia harus lebih bisa mengendalikan hawa nafsunya dibanding
dengan binatang. Karena dengan akalnya, manusia harus bisa terbimbing untuk bisa membedakan
mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi hak orang lain, mampu membedakan mana
yang boleh dimakan dan mana yang tidak boleh dimakan, dan harus mampu pula membedakan
mana yang bisa dinikmati dan mana yang tidak boleh dinikmatinya. Sesungguhnya, manusia
derajatnya harus lebih baik daripada binatang.
Tetapi dalam realita kehidupan, menurut Al Madudi, kita selalu menyaksikan hampir pada setiap
zaman justru sebagian besar manusia itu lebih tidak terkendali dalam memenuhi kebutuhan hawa
nafsunya dibanding dengan binatang. Ini terjadi akibat dari lepasnya kendali dalam dirinya, karena
akal yang seharusnya berfungsi mengendalikan hawa nafsu, namun pada prakteknya malah
dikendalikan hawa nafsu. Sekan-akan tugas dan fungsi akal hanyalah memikirkan bagaimana
caranya untuk memuaskan hawa nafsu. Ini semua bisa terjadi tiada lain karena tidak adanya kendali
agama.
Di dalam Al Qur’an, dijelaskan bahwa manusia-manusia yang seperti ini tidak ubahnya binatang
ternak bahkan jauh lebih rendah daripada binatang. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-
orang yang lalai” (Al A’raaf, 7 : 179).
Mereka memiliki akal tetapi tidak dipergunakan untuk berfikir pada jalan yang benar, mereka
memiliki mata tetapi tidak dipakai untuk melihat yang benar, mereka memiliki pendengaran juga
tidak dipakai untuk mendengar kalimat-kalimat Allah yang seharusnya dapat menuntun hidup
mereka. Akhirnya mereka tidak ada ubahnya seperti binatang bahkan lebih rendah daripada
binatang.
Lebih lanjut, Al Madudi menyatakan, “Bila kita mau jujur melihat, kita tidak akan pernah
menyaksikan ada sekelompok singa yang berusaha menyusun angkatan bersenjatanya untuk
menyerang kelompok singa yang lain. Atau juga, kita tidak akan pernah menyaksikan ada seekor
anjing yang berusaha untuk memperbudak anjing yang lain. Jujur saja, kita juga tidak akan pernah
melihat ada seekor katak yang berusaha menutup mulut katak yang lain dengan tidak memberinya
kesempatan untuk bersuara”. Bila dilihat dari sisi ini, ternyata hak asasi binatang (HAB) di dunia
binatang itu jauh lebih terpenuhi dengan baik dibanding dengan hak asasi manusia (HAM) dalam
kehidupan manusia.
Kata Al Madudi pula, kalau kita berbicara tentang binatang yang diberi gelar oleh manusia dengan
gelar “Binatang Buas”. Padahal, sebuas-buasnya binatang tidak akan mengalahkan buasnya
manusia. Sejak binatang buas dan manusia itu ada, berapa jumlah korban manusia yang pernah
dimakan binatang buas dibandingkan kebuasan manusia atas manusia pada Perang Dunia I,
misalnya. Bila dilhat dari sisi ini sebenarnya manusia lebih buas daripada binatang buas itu sendiri.
Yakni manusia-manusia yang tidak mau mempergunakan hati, mata dan pendengaran mereka pada
jalan yang benar. Mereka betul-betul termasuk, “kal an’aam” (binatang ternak), “bal hum adhallu”
(bahkan mereka jauh lebih redah) daripada binatang.
Pertanyaannya, lantas hal apa yang sekiranya bisa meluruskan tingkah laku manusia yang sudah
sedemikian rusak moralnya ? Jawabannya, Islamlah yang menjadi solusinya. Di dalam Al Quran
dinyatakan, bahwa Rasulullah Saw ditamsilkan oleh Allah SWT sebagai sosok hamba-Nya yang
memang hadir dalam kehidupan ini untuk menjadi suri teladan. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau Muhammad adalah orang yang memiliki akhlak yang sangat agung
atau mulia” (Al Qalam, 68 : 4)
Rasulullah Saw sendiri menyatakan bahwa: “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah SWT hanyalah
semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia” (HR. Sa’ad, Bukhari, Baihaqi dari Abu
Hurairah). Oleh karena itu, kalau kita lihat risalah Islam baik itu yang menyangkut masalah akidah
dan syariah maka seluruh risalah Islam ini bemuara pada pembentukan akhlak. Sehingga akan bisa
menjadi ukuran bahwa seseorang itu sudah benar akidah dan ibadahnya bisa dilihat dari akhlaknya.
Jadi, yang menjadi parameter atau ukurannya adalah akhlaknya. Sehinggga Ibnu Qayyim pernah
menyatakan, bahwa agama itu adalah akhlak, barangsiapa yang bertambah baik akhlaknya berarti
dia bertambah baik agamanya. Ini sejalan dengan hadits, di mana Rasululah Saw pernah bersabda:
“Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya’ (HR.
Turmudzi)
Ini adalah sebuah prinsip risalah Islam yang hadir untuk membawa manusia mencapai kepribadian
atau akhlak yang mulia agar tidak terseret dalam kehidupan seperti binatang. Pertanyaannya,
bagaimana cara Islam bisa membentuk itu semua ? Pembentukannya tiada lain diawali dengan
pembentukan keimanan atau akidah, disadarkannya manusia tentang apa yang menjadi tujuan
hidupnya. Orang yang “tidak” beragama maka jelas dia tidak akan memiliki tujuan hidupnya. Allah
SWT berfirman:
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang
itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)” (Ar
Ra’d, 13 : 25).
Hawa nafsu bisa membuat manusia menjadi buta matanya, tuli telinganya dan tumpul akalnya tidak
bisa berfikir ke jalan yang benar. Karena hawa nafsunya sudah menjadi ilah atau tuhannya. Allah
SWT berfirman: “Dan siapakah orang yang lebih sesat dari orang yang telah mengikuti hawa
nafsunya tanpa petunjuk dari Allah” (Al Qashash, 28 : 50). Dalam firman-Nya pula: “Tidakkah
engkau perhatikan mereka orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsu mereka itu sebagai ilah
atau tuhan” (Al Furqaan, 25 : 43)
Ayat di atas menggambarkan kondisi manusia yang hidup tanpa iman, mereka betul-betul sudah
menjadikan nafsu mereka sebagai tuhannya. Maka kita tidak bisa banyak berharap akan lahir sifat-
sifat kemanusiaan dari manusia-manusia seperti ini. Lebih berbahaya lagi jika orang-orang seperti
ini bisa tampil sebagai pemimpin masyarakat, maka dia tidak akan peduli dengan rintihan atau
jeritan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Segala macam cara untuk memperoleh
kenikmatan dunia ia jalankan tanpa mau melihat lagi batasan halal dan haram.
Sebaliknya, bagi seorang mu’min tidaklah demikian. Dia akan menyadari betul apa yang menjadi
tujuan hidupnya. Dia menyadari bahwa hidup di alam dunia ini bukan hanya sekadar untuk
memenuhi kebutuhan hawa nafsunya, bahkan dia pun sadar betul bahwa hidup di alam dunia ini
sendiri bukanlah merupakan tujuan. Yang menjadi tujuan hidupnya tiada lain adalah akhirat dan
ridha-Nya. Allah SWT berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan”(Al Qashash, 28 : 77).
Gambaran falsafah hidup seorang muslim terhadap dunia ini digambarkan oleh Allah SWT lewat
firman-Nya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik
dari yang demikian itu ?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan
mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan
(mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami
telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka. (Yaitu)
orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah)
dan yang memohon ampun pada waktu sahur”(Ali Imran, 3 : 14-17).

Wallahu a’lam bish-shawab


Akidah Asas Akhlak Mulia
By K.H. Athian Ali M. Da’i, MA
Kamis, 28 Mei 2009 pukul 18:41:00

Dalam pandangan Islam, akidah merupakan azas utama yang diharapkan dapat membentuk
kepribadian yang mulia dalam diri seseorang. Dan, dia juga merupakan tonggak untuk kehidupan
sebuah masyarakat yang marhamah yakni kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir bathin dalam
ridha Allah SWT.
Kita sadari betul, bahwa betapa kuatnya pengaruh akidah dalam membentuk pribadi yang mulia
dalam membentuk sebuah kehidupan masyarakat yang marhamah. Salah satu dampak akidah dalam
mengantarkan seseorang untuk mau menunaikan kewajibannya, di antaranya adalah yang berkaitan
dengan harta. Seperti kita maklumi bersama, dalam aturan hukum negara yang tidak berdasar
syariat Islam pun diaturlah bahwa setiap warga negara berkewajiban membayar pajak. Yang besaran
pajaknya ditetapkan oleh negara. Namun demikian, dalam kenyataannya betapa tidak mudah pihak
pemerintah untuk bisa mengumpulkan pajak dari rakyatnya. Padahal, berbagai imbauan telah
disebarluaskan tapi tetap saja masih susah.
Kenapa hal ini bisa terjadi ? Ini terjadi karena masing-masing manusia sesuai de-ngan
kecenderungannya yang kuat di antaranya mencintai harta. Akhirnya dia akan cenderung
menghindar dari hal-hal yang bisa mengurangi hartanya, termasuk dalam hal ini adalah membayar
pajak. Di dalam Islam, memang ada aturan juga yang menyangkut masalah kewajiban mengenai
mengeluarkan sebagian harta yang dikenal dengan infak. Infak itu sendiri adalah sebagai aturan
dasarnya. Sehingga muncul ada yang hukumnya wajib dan ada pula yang sunnah. Yang wajib di
antaranya adalah zakat fitrah, maal, fidyah, kifarat dan sebagainya.
Kalau kita lihat di dalam aturan Islam, walaupun mungkin juga ada sebagian manusia yang enggan
mengeluarkan zakat. Tapi, bagi seorang yang mu'min mustahil itu akan terjadi kalaupun tidak harus
dengan ancaman apa-apa dari pihak pemerintah, misalnya. Bahkan di negeri kita ini yang tidak
berdasar syariat Islam yang tidak mengatur seorang muslim wajib mengeluarkan zakat, dengan
konsekuensi hukum bagi mereka yang tidak mengeluarkan zakat, tapi dalam kenyataannya lebih
banyak orang muslim yang mengeluarkan zakat daripada yang membayar pajak.
Padahal, tidak ada konsekuensi hukum apa-apa dalam arti konsekuensi hukum duniawi. Demikian
pula, tidak ada yang terlibat ikut menghitung harta setiap orang muslim. Tapi, kenyataannya
masing-masing dari mereka datang untuk mengeluarkan zakatnya. Ada yang datang ke masjid-
masjid atau yayasan-yayasan dan lain sebagainya. Mereka menghitung sendiri dan mereka dengan
ikhlas membagikan zakat hartanya itu. Yang bisa mengantarkan seseorang berbuat semacam itu
tidak lain adalah keimanan.
Dengan keimanannya, dia sadar betul bahwa memang harta seseorang manakala dia sudah
memenuhi syarat yang sudah ditetapkan oleh Islam, nishab dan haul-nya, maka sebagian hartanya
terutama yang menyangkut zakat maal itu sudah bukan lagi miliknya, tapi menjadi miliki 8
golongan manusia. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-
pengurus zakat, para mu’alaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(At Taubah, 9
: 60).
Seorang muslim, dia menyadari betul jika hartanya itu sudah memenuhi kriteria nishab dan haul
maka minimal 2,5 persen itu sudah bukan harta miliknya lagi, tapi merupakan harta hak milik 8
golongan itu. Yang kalau dia tidak mengeluarkan zakatnya itu berarti dia sudah memakan hak orang
lain. Sedangkan ancaman memakan hak orang lain itu ancamannya berat sekali. Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya orang- orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka
itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka)" (An Nisaa', 4 : 10).
Sangatlah berat ancamannya. Bagi seorang mu'min, siapa yang siap menyiapkan bara api neraka
jahannam sepenuh perutnya ?
Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah itu adalah Dzat Yang Mahabaik, karena itu Dia tidak akan menerima dari
hamba-Nya kecuali yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kepada orang-
orang mu'min sebagaimana yang Allah perintahkan kepada para rasul. Lantas beliau mengutip
firman Allah SWT :
"Wahai para rasul makanlah dari yang baik-baik dan beramal shaleh-lah…" (Al Mu'minuun, 23 :
51). Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik sebagaimana yang
telah Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kalian kepada Allah…."(Al Baqarah, 2 : 172)
Intinya, pada awalnya Rasulullah Saw mengingatkan kepada kita bahwa Allah itu adalah Dzat Yang
Mahabaik. Dia tidak akan menerima dari hamba-Nya kecuali dari hal yang baik-baik. Pengertian
dari hal yang baik-baik di sini adalah baik dalam bentuk ibadah maupun dalam pribadi hamba-Nya
itu sendiri. Kemudian Rasulullah Saw menceritakan tentang adanya seorang laki-laki yang sudah
menempuh perjalanan yang sangat jauh, rambutnya kusut, pakaiannya kumal. Di tengah-tengah
teriknya padang pasir dia mengulurkan kedua tangannya sambil berdoa, wahai Tuhan - wahai
Tuhan. Dia menjerit-jerit kepada Allah SWT, berdoa memohon agar Allah SWT membebaskan dia
dari penderitaannya itu. Para sahabat yang sempat menyaksikan peristiwa itu sempat berkomentar
bagaimana mungkin Allah SWT tidak akan mengabulkan doa hamba-Nya yang sudah menderita
sedemikian rupa ? Dia telah berdoa memelas seperti itu di tengah teriknya padang pasir, seakan-
akan dia tidak mau meninggalkan padang pasir itu sebelum Allah SWT mengabulkan doanya.
Betapa terkejutnya para sahabat ketika Rasul kemudian mengatakan, bagaimana mungkin Allah
akan mengabulkan doa hamba-Nya ini ? Para sahabat bertanya, kenapa ya Rasul ? Jawab Rasul:
dalam kondisi seperti ini Allah tidak mungkin mengabulkan doa dia. Akhirnya Rasul menjelaskan,
dulu orang tersebut hidup dalam kecukupan sebelum dia menderita seperti ini. Hanya sayang
hartanya itu dia peroleh dengan jalan yang haram. Sehingga pakaian yang dia pakai sebagian dia
beli dari harta yang haram, minuman yang dia minum juga dia beli dari uang hasil yang haram,
makanan yang dia makan juga dia makan dari harta yang haram, karena itu dia
dikenyangkan/dihidupkan sehari-hari dari hasil uang yang haram. Kalau hidupnya sudah
bergelimang dengan yang haram-haram seperti itu, bagaimana mungkin Allah akan mengabulkan
doa dia? (HR. Muslim)
Kalau kita boleh tamsilkan, jika hanya sebab seseorang buang angin (kentut) membuat yang
bersangkutan tidak bisa berjumpa dengan Allah dalam shalat, sebelum berwudhu terlebih dulu
membersihkan bagian yang tidak berhubungan dengan keluarnya angin tadi. Di mana bila
dipaksakan shalat tanpa berwudhu, maka shalat kita pasti tidak diterima. Ternyata, keluarnya angin
dari tubuh kita pun bisa menghalangi kita berjumpa dengan Allah. Inilah betapa mulia ajaran Islam,
betapa Allah itu sangat thoyyib yang tidak akan menerima kecuali yang thoyyib lagi.
Jika hanya sebab kita buang air kecil atau hajat besar, maka seseorang tidak bisa lagi berjumpa
dengan Allah lewat shalat sebelum berwudhu. Bila sebab seseorang dalam keadaan junub, oleh
sebab melakukan yang halal dan bagian dari ibadah dalam bentuk hubungan suami-istri
menyebabkan seseorang tidak bisa menghadap Allah kecuali harus mandi junub terlebih dahulu.
Jangankan shalat, I'tikaf di masjid pun haram. Jika hanya sebab seorang wanita sedang kedatangan
tamu terhormat dalam tiap bulannya, maka haramlah dia baik melakukan shalat, shaum maupun
thawaf. Padahal, kedatangan tamu bulanan itu sendiri merupakan anugerah dari Allah, tapi Allah
sendiri mengharamkan bagi wanita untuk tidak shalat, shaum atau thawaf. Kalau hanya sebab kaki
kita tersentuh air liur anjing, misalnya, maka harus kita basuh dulu sebanyak 7 kali yang salah
satunya dengan tanah, barulah kita bisa shalat. Di mana bila kita biarkan najis tersebut terbawa
dalam shalat maka shalat tidak akan diterima Allah SWT.
Jika air liur anjing, buang air besar, buang air kecil, haid atau nifas, laki-laki dan wanita yang
sedang keadaan junub, bahkan sampai buang angin tadi telah menghalangi seseorang untuk
berjumpa dengan Allah, bagaimana mungkin seseorang akan diterima shalatnya, ibadahnya,
didengar dan dikabulkan do'anya oleh Allah kalau yang najis itu bahkan sudah menjadi darah dan
daging yang bersangkutan, karena yang dimakan, diminum dan dipakainya adalah sesuatu yang
haram ?
Lewat keyakinan seperti ini seorang mu'min akan sangat luar biasa berhati-hati dalam hidupnya.
Dia tidak akan mungkin korupsi, mencuri, merampok, menipu, berjudi, dan lain sebagainya. Jadi
layaklah jika kita mengatakan, bahwa krisis berkepanjangan di negeri ini sebabnya adalah “krisis
keimanan”.

Wallahu a’lam bish-shawab

Anda mungkin juga menyukai