Anda di halaman 1dari 21

BAB K ELIM A.

H U K U M P E R H U T A N G A N
( S C H U L D E N R E C H T ).
1. H A K 2 A T A S R U M A H 2, T U M B U H 2A N Y A N G
T E R T A N A M , T E R N A K , B EN D A 2.

Di waktu melukiskan hak2 atas tanah, maka hak masyarakatlah


(gemeenschapsrecht) diterkemukakan, pada hal terhadap jenis2
benda yang tersebut di atas hak yang nomor satu dilakukan atasnya,
ialah „ h a k m i l i k ( he t I n l a n d s bezitsrecht);
suatu hak daripada masyarakat sebagai kesatuan susunan rakyat, ya-
itu hak yang lebih tinggi, tidak terletak atas benda2 tersebut selainnya
sebagai perkecualian saja ; di kalangan suku2 Dayak seperti suku
Maanyan Siung tidaklah boleh barang2 pusaka diwariskan kepada
orang2 di luar daerah suku, juga tidak boleh dibawanya ke luar, dan
dalam republik dusun Tnganan Pagringsingan (Bali) rupa2nya ha-
rus dikemukakan dahulu, bahwa segala milLk orang2 dusun, lembu2-
nya, ayam2nya dan perkakas rumahnya, kesemuanya itu ada di bawah
hak dusun, sedangkan di beberapa dusun lainnya di pulau situdapat-
lah dusun itu menuntut sebagai ternak dan barang2 untuk keperluan
masyarakat tanpa penggantian kerugian suatu apa.

Hak milik atas rumah dan atas Uunbufi2an tertanam adalah pada
asasnya terpisah dari hak atas tanah, di mana benda- itu berada . se-
seorang dapat menjadi pemilik pohon2 dan rumah2 yang berada di-
atas pekarangan orang lain ; menanam pohon2 atas tanah geromfoo-
lannya itu (misalnya di Ambon hal itu sering terjadi), maka mereka
menjadi pemilik2 pohon2 itu ; terhadap hak untuk mempunyai ru-
mah — hak mana dapat dicabut kembali — atas pekarangan orang
lain di samping rumahnya si pemilik pekarangan itu sendiri, maka
untuk itu adalah istilah2 hukumnya yang tersebut di halaman 125; is-
tilah numpang (demikian juga terhadap orang luaran yang berdiam
di tanah daerah hak pertuanan) menunjukkan bahwa oiang itu ti-
dak ada sama sekali sangkut-pautnya dengan tanah dan berada ter-
lepas di atasnya (hal. 80) walaupun ia ada rumah di atasnya, pohon2,
buah2an dapat dijual dan digadaikan sendiri2.
T a p i pemisaihan yang principieel di antara hak atas tumbuh2an,
rumah2 di sa'tu fihak dan hak atas tanah di lain fihak, ada juga pem-
batasan2nya.
Pertama kali bila ada perjanjian2 (transacties) mengenai pe-
karangan, maka dalam prakteknya selalu termasuk situ juga rumah2
dan tanaman2nya ; jadi dengan demikian maka rumah2 dan tana-
m an 2 b ersam a pek aran gan n y a a d a la h o by ek p e r ja n jia n ju a l, se-
d an gk an d i sam p in g itu ad alah m u n g k i n b ah w a, ru m a h 2- dan
pohon 2 d ip e rd agan gk an terlepas d ari tan ah n ya, ia la h se c a r a oran g
m e n ju al bend a2 ; n am un h a l terak h ir in i, b ila m e n g e n ai rum ah,
biasan ya berarti bahw a rum ah itu d ip in d ah k an n y a. D e m ik ian la h da-
lam b ah asa Ja w a di S w ap raja terd apat d u a istilah y an g b erh ad a-
p an satu sam a lain, ialah adol ngebregi d a n ad ol b e d o l : m e n ju al
rum ah supaya d id iam i oleh si pem beli d i tem p at situ ju g a , berh ad a-
pan dengan : m en jual rum ah supaya d ian g k u tn y a o leh si pem beli
d ari tem pat situ.
K ed u a kalinya h ak atas pohon 2 (dan atas ru m a h 2) itu terkad an g
m em bawa serta hak atas tanah. Su atu m isal p a lin g tep at d alam hal
ini ialah peristiw a, bahw a seseorang an gg au ta m asy arak at telah me-
nanam pohon2 (buah2an) di tanah pe rtan ian cetakan n ya, m ak a se-
sudah dipanennya tanah itu terpaksa d itin g g alk an n y a b u at w aktu
yang lam a, itupun karena gersangnya tanah. K are n a itu p a d a umum-
nya, d an berh adapan dengan hak pertu an an m u tlak y an g se d an g pu-
lih kem bali, m aka ia kehilangan haknya p erseo ran g an a tas tanah
itu, tetapi ia tetap m em egang hak m ilik n ya atas po h o n 2 y an g dita-
nam nya itu, pu la di beberapa lingk un gan 2 hulkum d ita m b ah h ak atas
sekian tanah seluas yang din aun gi oleh d au n -an p oh on 2 itu . B ila -
m ana pohon2 itu tertanam sedem ikian d ek atn ya satu sam a la in se-
di antaran ya tak ada lagi sisa2 ruangain y an g p a tu t b u a t a p a 2
lain, m aka hak m ilik atas tanah itu — atas k ebun 2, b u ah 2a-n itu —
tetaplah ada pad a si pem ilik pohon2 itu ; ja d i d alam h al2 sed em ikian
itu m aka hak atas tanah m engikuti hak atas tu m b u h 2an y an g lebih
dari sa-tu tahun umurnya (ha-1. 76). K arib den gan tok oh in i ialah
•bahwa hak m enebus (hak m ilik) si p en ju al g ad ai len yap, k are n a d ia
sudah mem-biarkan si pem beli gadai m en anam i tan ah p ertan ian yang
tergadai itu dengan pohon2 (hal. 125).
Selanjutnya m ak a hak atas tanali itu dengan tiad a d a p at terpu-
tus bertalian dengan haJc atas seb u ah rum ah b atu, yan g m em an g
begitu, tak dap at dipindahk an (lain halnya den gan ru m ah 2 b am b u
atau rum ah2 k ay u ). M aka d ari itu aturan 2 hu k um m en gen ai pek a-
rangan2 (ju ga aturan2 wet seperti laran gan m em in d ah k an tangan
tanah kepada orang2 bukan P ribum i ialah „vervreem din gsverbo d” )
terpaksa harus ju ga berlaku atas rum ah 2 b atu (b ersam a tan ah yang
iK*rkenaan dengan i t u ) ; tentamg ketidakpasrian 2 b erd asark an ke-
nyataan, yaitu apakah harus dian ggap rum ah b atu a p a tid ak , b e ra p a
luas tanah yang harus dian ggap pekarangan nya ru m ah itu , m ak a per-
so alan 2 ini adalah tim bul, ta p i tid ak m en guran gi sam a se k ali pokok-
pangkalnya.
Suatu kebiasaan aneh dalam hubungan antara hak atas rumah
bersama tanaman3nya dan hak atas tanah, sudah pernah tersebut
•dalam lain nasabah. Ialah kebiasaan dalam alam raja2 yang tetap
menyebut liak atas tanah i t u : liajk Raja, tanahnya disebut tanah-
nya Raja (kagungan dalem, J .), akan tetapï hak2 perseorangan
atas tanah seperti se-nya>ta2nya diakui juga sedemikian rupa,
•sehingga disebutnya ; hak atas rumah dan tanamannya ; di sini asal-
Tiya istilah tersebut di atas tadi b u a t: menjual rumah dengan hak
untuk pembelinya untuk mendiami pekarangannya sekali (ngedol
ngebregi) . Tindakan2 dan pembatasan2 hak dari fihak pemerintahan,
dalam hubungan2 mengenai hak pura2 daripada raja atas tanah ini,
adalah pada hakekatnya berdasarkan atas kekuasaan besar daripada
raja dalam menjalankan pemerintahannya (hal. 9 4).
Orang yang telah menanamnya, yaitu pemilik tumbuh-an yang di-
tanamnya, dapat juga menjadi pokok pangkal daripada imba-
ngan’ hukum yang timbul bilamana ia menanam padi atau hasil bumi
serupa itu atas tanahnya lain orang. Si penanam yang melanggar hak
itu dapat diwajibkan menyerahkan kepada si pemilik tanah itu se-
bagai pembayaran kerugian baik seperduanya, maupun sebagian la-
innya daripada panennya ; bedanya di antara mengei jakan tanah de-
ngan melanggar hak „dengan itikad baik” (te goeder trouw) dan
„dengan itikad jahat” (te kwader trouw) rupa’ nya dmyatakan se-
demikian rupa, bahwa penanam beritikad baik dipeibolehkan memu-
ngut sebagian yang pa tut sebagai pengganti usahanya dan biaya yang
telah dibelanjakannya (biasanya separuh liasil panennya), dan bah-
wa si penanam beritikad jahat diwajibkan nomor satu berusaha
supaya si pemilik tanah tidak merugi - walaupun yang terakhir im
tidak usali lantas mendapat keuntungan ber-lebih-an* enanam
yang sah atas tanah orang lain yang telah dengan izinnya pemilik ada
d i situ menurut persetujuan, misalnya pemaruh hasil tanam menurut
hukum adat dapat juga dianggap sebagai pemilik hasil panen yang
sebagian harus ia menyerahkannya kepada pemilik tanah. Bila sebi-
dang tanah pertanian yang ada tanamannya padi yang sedang meng-
hïjau di Tnganan (Bali) harus dikembaïikan kepada dusun, maka
hasil panen adalah untuk dusun (apakah ini suatu gambaran daripa-
da suatu perkecualian ? ).
M ilik ternak ter-kadang2 terikat pada aturanS tersendiri mengenai
menyembelihnya dan memindahkannya tangan, tapi tidak sedemikian
sehingga haik atas ternak itu tidak dapat disebut hak milik. Di bebe-
rapa daerah, ialah di daerah2 Batak, terdapatlah karena adanya pa-
ruh hasil pelihara (deelwinning), banyak milik paruhan (deelbezit)
atas terna'k; seseorang oleh karenanya adalah pemilik atas misalnya
seperempat lembu. Milik kapal2 (acapkali milik kerabat atas pera-
hu2, misalnya di Sulawesi Selatan) dipandang dari sudut hukum-
adat tidaik ada keistimewaannya suatu a p a ; bila fatsal 1 dari Staats-
blad 1933 No. 49 ditafsirkan menurut suatu tafsiran yang tertentu,
maka kewajiban untuk mendaftarkan menurut fatsal 1 dari Staats-
blad 1933 No. 48 yang mengakibatkain berlakunya hukum bagi orang2
Eropah atas Pribumi, dapat mengakibatkan kesukaran2 besar.
Mengenai benda2 yang ada hubungan khasiatnya dengan pemilik-
nya telah sedikit dibicarakan di halaman 98 ialah bahwa benda2 tadi
hanya dengan perjanjian jual dapat diserahkan ke lain tangan. Pen-
jualan benda2 dari tangan satu ke tangan lain, berlangsung biasa
saja; juga istilah menjual yang dipakai untuk itu menunjukkan
selalu penjualan (tunai), lain halnya dengan m enggad ai ka n (ver-
panden) atau „menyewakan" (verhuren). Menggadaikan benda2
(megangkan, Ind., nyekelakê, J.) itu berlangsung dengan jalan
menyerahkan barang-nya ke tangan lain. Barang gadainya harus di-
simpan sampai lama. Bila si pemberi gadai kelamaan lengahnya un-
tuk menehusnya, maka barangnya dapat dijual untuk diperhitung-
kan, atau dapat jatuh ke tangan si penerima gadai. Bila barang ga-
dainya -hanya disimpan saja, maka biasanya harus dibayar .bunganya
wang gadai itu ; bila barang dipakainya, maka tak usah dibayar
bunganya.

a(^a aIasannya (dan tidak mungkin dapat) untuk me-


mu as u ungan2 hukum atas tanah dan benda2 yang telah dilukis-
311 ml f3 suatu Pembagian dua (tweedeling) dengan jalan
me-misah kan barang2 itu menjadi barang2 bergerak dan barang2
tetap apakah terpisah atau tidak terpisah hak atas tanah dengan
a a as tanamannya, maka pertanyaan sedemikian itu — suatu ke-
balikan yang berpangkal pada susunan hukum asing - rupa2nya
membmgungkan (bukankah tanal. dan tanaman ke-dua2nya dapat
disebut „barang- tetap”, tapi walaupun b itu atas masjn^
Iamlah yang mempunyai hak miliknya) . Bilamana orang .karena se-
suatu aturan wet terpaksa mem-beda^kan barang* tetap dari ba-
rang bergerak dalam suatu harta kekayaan yang dlmiliki orang me-
nurut hukum adat seperti misalnya aturan2 Reglemen Bumiputera
(Inlands Reglement) mengenai penyitaan, maka bila terjadi tumbuk-
an hukum tertulis (wettenreoht) dan hukum adat, maka lantas tim-
bul pertanyaan bagaimanakal, tafsirannya yang menurut sesuatu cara
yang past, (methodische interpretatie). Cara yang tepat untuk me-
„afsirkan rupa-nya begini: tanah tidak syak lagi sebagai barang
tetap dipasang berhadapan dengan ternak dan benda2 yang pasti
barang2 bergerak ; tap, di antara keduanya harus diakui segolongan
„benda2 kesangsian” (twijfelgoederen) ; ruraah2 kayu, rumah2 bam-
bu, pohon2, buah2an, padi yang masih beraxla di tanah pertanian, dar»
sebagainya. Jenis barang2 ini karena itu seharusnya digolongkan
dalam golongan barang tetap atau barang bergerak, tergantung dari
maksud yang logis daripada peraturan yang ditafsirkan, dihubung-
kan dengan sifat2 istimewa barang2 itu, jadi penggolongan itu tidak
usah selalu secara sama buat masing2 barang. Tentang pertanyaan :
„Apakah pohon kelapa itu menurut hukum adat barang tetap atau
barang bergerak Y’ bilam&na dikemukakan dahulu dan selanjutnya
diinginkan jawabannya yang bersifat umum, maka persoalan demi-
kian itu pada hernat saya tidak masuk di akal.
Hak pencipta (auteursrecht) atas perhiasan perahu di kepulauan
Kei adalah sejaik dahulukala asli Bumiputera; hak pencipta atas
bunga2 di sarong2 Minangkabau adalah rupa2nya di zaman modern,
ini timbulnya. .

2. P E R B U A T A N K R E D IT , T O L O N G -M E N O L O N G A N T A R A
S A T U SA M A LA IN D A N B E R T IM B A L -B A L IK (CR E D IE T-
H A & D E L IN G , O N D E R L IN G EN W E D E R K E R IG
H U L P B E TO O N )

Bila pokok pikiran untuk perbuatan tunai (kontante handeling)


adalah : saya hanya dapat melepaskan tanah, benda2 dan orang2 yang
semuanya bertalian dengan saya, ke luar dari lingkaran hidup saya
yang terikat, hanya bilamana pada saat saya melepaskannya itu de-
ngan serentak ada taranya yang menggantinya (dalam arti magis,
ekonomis dan hukum adat) - namun pokok pikiran untuk p e r -
b ua t a n kr edit adalah sama sekali laan, ialah ; sayamembe-
rikan apa2 kepada orang lain atau saya bekerja buat orang lain ,
hal ini memberikan hak pada saya atas balasan budi pada waktu
di belakangnya ; hal ini memberikan — hairus dikataikan di sini — ke-
pada orang lain tadi suatu keharusan atas balasan budi (yang di
inginkan olehnya dan pada waktu di belakangnya) dari fihaknya
kepada saya ; perbuatan2 kita adalah suatu bagian dari pergaulan
segolongan kita, atau pergaulan orang seorang, yang kesemuanya
menu ju k e s e i m b a n g a n ( e v e n w i c h t ) , yang menyebabkan
kemenangan kepada siapa yang memberi lebih dari pada menerima,
sehingga memberikan kembali (mengembali'kan kelebihan) itu men-
jadi suatu keinginan, suatu kewajiban, suatu aonalan untuk mem-
pertahankan derajatnya, malahan untuk mempertahankan hidupnya
sendiri (bivkankah itu menjaga jangan sampai ia dijadikan budak)
(pandeling) karena tak dapat melunasi hutangnya. Tiada alasan-
nya untuk mempersoalkan pokok pikiran mengenai perbuatan tunai
ini menurut waktunya mula2 terjadinya sebelum atau sesudahnya
perbuatan kredit. Ke-dua2nya adalali bentuk2 dasar, tokoh2 asli se-
jaik purbakala, yang terdapat di dasar peristiwa hukum ke Indonesia-
an.
Juga soal p e m b e r i ”, „menerima” dan „mem ber! kem bali'1 ini
berlaku ke dalam masyarakat dan berlaku ke luar sebagai halnya ju -
ga dengan hubungan hukum mengenai tanah. Sesama anggauta me-
nolong satu sama lain bertimbal-baliik; golongan2 ialali golongan2
kerabat, ke jurusan luar berhubungan secara tertib dengan jalan sa-
ling tukar barang2, ihal mana digandengkan pada penukaran perem-
puan ; dalam hal ini maka ter-kadang2 bagian2 clan exogaamlah
yang menjadi pelaku2-nya.
Tolong-menolong di antara satu sama lain
(onderling hulpbetoon). Tolong-menolong bertimbal-balik di dalam
masyarakat dapat dibedaka-n dari pada tindakan ber-sama2 buat satu
maksud untuk masyarakat, ialah tolong-menolong d i a n t a r a s a -
t u s a m a l a i n (onderling hulpbetoon). Kewajiban untuk ikut
berbuat sedemikian itu, berdasarkan langsung atas kaidah hukum
adat, bukannya atas dasar „-karena sudah menerima apa2” , atau
„karena mgin menerima pembalasan budi nanti” . Batasnya adalah
samar- akan tetapi tokohnya mudah dapat dikenal. Bila misalnya
harus didirikan sebuah rumah masyarakat, atau harus dicetak suatu
pekuburan untuk masyarakat, maka orang2 lelaki yang kuat me-
nyumbang untuk iiu berupa tenaganya dan benda. Bila orang2 du-
sun ber-sama2 membuka sebidang tanah hutan di bawah pirnpinan
kepalanya, yang lantas oleh kepala itu di-bagi2kannya di antara me-
reka sebagai tanah2 pertanian perseorangan, maka di sini dapat di-
anggap adalah tokoh „tolong-menolong di antara satu sama lain".
Bila tanah2nya terlebih dulu sudah dipilih dan di-bagi2kan, dan
sesudah itu satu menolong yang Iain dalam pembukaan tanah itu,
maka di sini harus disebut tolong-menolong bertimbal-balik (we-,
d erk eiig); perincian2 ini hanya berguna buat kepentingan susunan
yang theoietis. Bila penghulu2 mendapat pertolongan dari segenap
masyaiakat dalam hal mendirikan rumahnya dan menanami tanah2-
nya jabatan, maka di sini da:pat dianggip pertolongan sesama ang-
gota2 di antara satu sama lain untuk kepentingan penjabat peme-
rintahan masyarakatnya, juga dapat dianggapnya pula pemberian
tenaga sebagai penukaran pekerjaan2 penghulu tadi untuk kepen-
tingan masyarakat. Pekerjaan2 untuk penghulu2 itu d i sana-s-ini da-
pat terkenal sebagai lembaga tersendiri: pancen (J .), resayo (M in.),
kwarto. (A m b .).
D i Jawa dan di tempat2 lain maka tolong-menolong di antaxa satu
sama lain ini masili 'berlangsung terus berupa pekerjaan2 desa;
sebagai kebalikan pekerjaan2 untuk penghulu2, maka biasanya di-
sebutnya dengan istilah yang sama dengan „tolong-menolong ber-
timbal-balik” .
P e n u k a r a n b a r a n g 2 d i a n t a r a g o l o n g a n 2 o r a n g 2.
Penukaran barang2 berupa „jujur” (bruidschat) dan pemberian2
pada waiktu peristiwa2 penting dalam kehidupan, ter-kadang2 pada
azasnya berlangsung menurut jalan yang sudah menjadi adat, hal
mana mengakibatkan kepindahan tangan barang2 ke satu jurusan,
dari satu bagian clan ke bagian clan lainnya; begitu juga halnya
dengan perempuan (asymmetrisch connubium). Di kalangan orang2
Batak dan di bagian Timur daripada Nusantara (hal. 49, 52), maka
banyak daripada adat ini masili terdapat di sana, walaupun hal ini
baru akhir2 ini saja dikenal orang. Perjanjian berupa cara daripa-
da orang2 Euri di Nias dulu mengandung persetujuan2 mengenai
penetapan takaran Beras, ukuran berat untuk babi2, ukuran ikadar
untuk campuran mas, persetujuan mana tentunya diadakan berhu-
bung dengan faliam penukaran barang2 tersebut ta d i; apa yang
disebut „peralatan2”, upacara2 adat dan lebih2 upacara peralihan
(overgangsriten) adalah terdiri dari „memberi dan menerima” itu,
dan dari „jamuan2 dan pemborosan2” itu, kesemuanya sebagai sya-
rat mutlak. Tentang artinya funksioneel, pula sebagai faktor da-
lam penetapan aturan2 mengenai tingkah-laku di antara golongan2
satu sama lain ditepatL — tidak mengundang buat datang di suatu
upacara, tidak datang di suatu peralatan yang diadakan pada waktu
ada perselisihan tentang tingkah-laku mereka satu sama lain — maka
arti funksioneel sedemikian itu tidak dapat diabaikan begitu saja.
Masih amat sangat ktirangnya penyelidikan yang se-mata2 diadakan
tentang berlakunya faktor2 lersebut tadi.
Tolong-menolong b e r t i m b a 1- b a 1i k (weder-
k e r i g h u l p b e t o o n ) . Tolong-menolong bertimbal-balik di da-
lam masyarakat, di dalam dusun, persekutuan wilayah, gerombolan
genealogis, pula penukaran tenaga dan barang2 dari keluarga satu
ke keluarga lainnya kesemuanya itu selalu terdapat di mana3 di
Nusantara ini, hanya saja tidak sama nilainya. Untuk itu juga ma-ka
sangat pentingnya: slamatarij peralatan2 khitanan dan perkawinart
dan sokongan di waktu ada kelahiran dan kematiart. Siimbangan2
tamu2 (sumbang, J., panyambung, Sund. passoloq, Bug, dan sebagai-
nya) itu terkadang benar2 ada di bawaili pengawasan tertib mengé-
nai apakah sama nilainya atau tidak. Selanjutnya lebih2 peristiwa2
seperti mengerjakan tanah2 pertanian dan mendirikan rumah2, me-
nyebabkam. penukaran tenaga: adat ini disebut sambat-sinambat
(J.)^* resaya (Sund.), marsiadapari (Bat.), seraya (Ind.), tulung-me-
nulung (In d .), masohi (Am b.) dan sebagainya. Mendekati „tolong-
menolong bertimbal-bali'k’' ialah pemberian kecil2 yang sebegitu
banyak kali di antara sanak-saudara dan tetangga baik satu sama
lain, yang kesemuanya berdasarkan atas anggapan pada suatu waktu
nanti si terberi akan membalas budi secara patut berhubung dengan
sudah diterimanya pekerjaan atau barang dari orang lain itu ; pula
mendekati itu, ialah hubungan2 satu sama lain, d i mana diwajibkan
mengamalkan kesabaran se-<banyak2nya, dan bila tim bul perselisihan
tidak lekas harus memberikan suatu ikeputusan yang dipaksakan
kepada mereka tapi suatu perdamaian antara satu sama lain (rukun-
an, J .) . Juga arti funksioneel daripadanya adalah besar; sesama
anggauta2 dalam masyarakat2 terikat tidak dapat melepaskan diri
dari apa yang diharapkan oleh masyarakat mengenai tingkah-laiku-
nya ; perbuatan kredit perseorangan masih bersifat sangat terikat.
Pertolongan khusus (gespecialiseerd hulpbe-
t o o n ) . Di samping itolong-menolong bertimbal-balik yang bercoraik
umum dalam masyarakat, ma.ka pertolongan khusus yang diberikan
oleh golongan2 khusus seperti : oleh pemuda2, pemudi2, pemotong*
kayu, pemilik2 tanah adalah merupakan corak khusus dalam adat.
toloivg-menolong bertimbal-balik oleh keluarga2, nam un dalam pada
itu tetaplah masyarakat, yaitu dusun, menjadi dasar daripada tolong-
menolong itu.

3. P E R K U M P U L A N 2.

Suatu azas lain terdapat bilamana terjadi, bahwa lingkungan yang


di dalamnya orang2 bertolong-menolong satu sama lain,, menjadi ter-
Iepas. Dengan maksud untuk pertukaran tenaga dan barang2 ber- i
timbal-balik, maka timbullah golongan2 yang bercenderung aikan I
bertindak ke luar sebagai ikesatuain2 yang berdiri sendiri. Makin
lema-h atau makin menjadi lemah dusun2 atau masyarakat2 lain itu
karena sebab2 dari dalam atau dari luar, atau makin suka orang
akan bertindak ke luar batas dusun, maka makin teranglah peristiwa
ini menampakkan diri. Acapkali adalah kepentingan2 tertentu, yang
sedang dipelihara orang dalam pelbagai macam kerjasama. Sebagai
misal ialah cara pinjam uang — yang rupa2nya ditirunya dari orang2
Tionghoa — yang disebut hiue, yaitu di mana beberapa orang setiap
bulan membayar sejumlah uang yang tertentu dan masing2 dari
mereka ber-gilir- boleh memakai jumlah uang sekaligus seluruhnya
(sarikat di Jakarta, jula-jula di Minangkabau, mohaqka di Salayar).
Pula kongsi2 kecil untuk potong lembu2 di Aceh dan misalnya apa
yang disebut perkumpulan2 kematian yang sangat tersebar seluruh
tanah Jawa. Di Minahasa namanya ialali perkumpulan2 ma-
palus, dalam hal mana perkataan m a p a l u s berarti baik tolong-
menolong bertimbal-balik, maupun gerombolan:2 yang dibentuik
untuk beraneka tujuan, misalnya untuk memberikan bantuan di
waktu mengerjakan tanah — tidak hanya oleh anggauta2nya saja
dalam hubungan tolong-menolong bertimbal-balik, tapi juga ditu-
jukan bantuannya kepada orang2 luaran dengan memungut upah ;
juga untuk pemberian pinjaman (mapalus uang) dibentuk perkum-
pulan2 serupa itu juga, yang paling terkenal dan paling meningikat
ialah pembentukan gerombolan merdeka yang ditujukan kepada
kepentingan benda di Bali. Di sana sakaha itu seperti di Minahasa
dapat mengandung dua arti, ialah suatu gerombolan yang akan me*
nunaikan suatu tugas dalam lingkungan ikatan desa dan karenanya
ter-kadang2 — tapi tidak selalu begitu (seperti perkumpulan banjar,
perkumpulan pemuda2) — memperoleh kepribadian sebagai „per-
kumpulan” , atau artinya yang kedua iala h ; suatu perkumpulan
yang iterbentuk dengan sukarela juga di luar ikatan d e s a , yang
bertujuan menggali tembusan2 bukit, memanen tanaman di tanah
pertanian, menyelenggarakan permainan musik, meminjamkan uang.

Persekutuan2 pengairan yang tersohor iaïah subak Bali, dengan


dasarnya benda (milik sawah) dan sifatnya dinas sedikit banyak te-
lah disebut di halaman 58.

Demikianlah lembaga tolong-m enolong bertimbal-balik di satu


fihak dapat dianggap sebagai dasarnya perbuatan k r e d it; yaitu
„m em beri” agar supaya nanti dapat menerima penggantiannya yang
senilai, hal mana dipribadikan (geindividualiseerd) dan dikhusus-
kan m enjadi „pem injam an uang” , „pem belian barang2 dengan kre-
dit” dan sebagainya, m e n ja d i : titang-piutang, yang ditentukan sam-
pai se-cermat2nya dan kebanyakan kurang cermatnya pula, terikat
oleh tem po2nya, di lain fihak dapat diamggapnya sebagai dasar
daripada kerjasama yang beraneka warna bentuknya, yang kesemua-
nya tim bul dari pelbagai kebutuhan masyarakat Pribumi.
Pada umum nya ini tidak berarti, bahwa segala bentuk2 kerjasa-
ma yang tetap, berpangkal pada tokoh „tolong-m enolon g bertim bal-
balik” itu. Suatu lembaga seperti apa yang disebut s a s i m odel baru
di A m bon, yaitu kerjasama antara pem ilik2 kebun kelapa untuk
penjagaan dan penjualan hasilnya, berdiri sendiri terlepas dari-
padanya, dem ikian juga perkumpulan2 yang m en con toh kooperasi
Eropah, Koorram2 pribum i yang telah mendaftarkan diri adalah
di bawah peraLuran^ wei iliciniinit Staatsblad 1927 Xo. 91.
P a r u h h a s i l t a n a m sebagai kongsi.
Dalam bab keempat maka paruh hasil tanam (deelbouw) dibe-
rrkan sebagai suatu perjanjian yang bersangkut-paut dengan tanah,
agar supaya perjanjian itu per-tama2 ditempatkan dalam hubungan
menurut susunannya dengan perjanjian2 tanah. Paruh hasil ta-
nam harus dibicarakan di sini juga karena perjanjian itu juga
dapat dipandang sebagai suatu bentuk kerjasama — dikatakan
orang juga semacam kongsi (maatschap) — antara pemilik tanah
■dan pekerja, di mana jasa si pemilik ialah mengizinkan sipekerja
masuk di tanahnya dan jasa si pekerja terdiri dari mengerjakan,
menanami dan memaneni tanah itu, sedangkan satu atau lainnya
yang menyediakan padi bibit dan lembu pembajak, dan selanjutnya
hasil kerjasama itu dibagi menjadi bagian2 yang ditetapkan atas
persetujuan lebih dulu atau oleh kebiasaan.

P a r u h l a b a (deelwinning). Kerjasama ber-


bentuk serupa itu terdapat di seluruh Nusantara mengenai ternak.
Pemilik ternak - karena beberapa sebab — menyerahkan ternaknya
ke tangan orang iain yang memeliharanya dan memungut ber-sama2
si pemilik masing2 separuhnya dari hasil atau tambahnya liarga dari-
pada hewan yang diserahkan itu. Perjainjian sedemikian itu dalam
bahasa Belanda disebut „deelwinning van vee” . Dengan sangat ba-
nyak cara sedemikian itu maka sapi2 dan kerbau2 diserahkan orang
lain dan diperhasilkan; anak2nya dibagi menurut urutan tertentu
antara si pemaruh laba dan si pemilik ternak, atau anak2nya dijual
dan pendapatannya dibagi, atau hewannya sendiri pada permulaan
perjanjian ditetapkan harganya kemudian dijualnya dan kelebihan*
harganya dibagi, atau pada akhimya, anak2nya tetap dalam imbangan
tertentu menjadi milik bersama (milik paruhan) daripada si pemi-
Jik induk dan si pemelihara hewan2, itu. Maka di mana2 karena se-
ringnya dijatuhkan .keputusan2, sudah timbul aturan3 yang pasti
mengenai hak2 dan ikewajiban2 kedua fihak. Bilamana hewannya
mati di tangan pemaruh laba, maka dialah yang memikul tanggung-
jawabnya tentang kerugiannya, bila ia lalai dalam pemeliharaannya
dan ma'tinya hewan itu disebabkan oleh kelalaian itu. Bilamana
hewannya diambil kembali oleh pemiliknya sebelum beranak, pada
hal si pemaruh laba tidak menyebabkan pengambilan kembali itu,
maka dia, pemilik, harus mengembalikan segala biaya yang telah
diperuntukkan pemeliharaan hewan itu, kecuali bila si pemaruh
laba sampai saat itu sudah memungut hasil dari .tenaga hewan itu ;
persetujuan2 beraneka warna pada umumnya tiap2 kali membubuhi
corak setempat atau corak perseorangan pada perjanjian ini. Isti-
laih2 Pribumi untuk itu ter-ikadang2- sama dengan istilah* un'tuk pa-
ruh hasil tanam. Tidak hanya temak besar, melairakan juga kam-
bing, ayam dan itik dipelihara dan diperhasilkan dalam kerjasama
satu sama lain secara demikian itu.

4. P E R B U A T A N 2 K R E D IT PE R SE OR AN GAN
(IN D IV IDU ELE C R E D IE T H A N D E L IN G E N ).

M e m i n j a m k a n wang dengan berbunga atau tidak, ada-


lah sudah menjadi kelaziman di masyarakat Pribumi, tidak hanya
sebagai perbuatan hukum dengan orang2 Arab, Tionghoa, India dan
Eropah saja, melainkan juga sebagai pembuatan hukum orang2
Indonesia satu sama lain, dan tidak jarang untuk memenuhi kewa-
jibannya membayar kepada pemerintah. Dalam pada itu memang
benar terdapat sekedar daya penghambat karena larangan memungut
buiiga dari agama Islam, tapi walaupun demikian jumlah pemin-
jamkan wang dan perkumpulan2 peminjamkan wang Pribumi
adalah banyak sekali. Orang Batak merabedakan manganahi — me-
minjam dengan membayar bunga — dari morsali, ialah meminjam
tanpa bayar bunga. Di samping itu maka „meminjam” (utang, me-
minjam) barang2, barang2 toko, makanan dan sebagainya ber-ulang2
terdapat, begitu juga sebaliknya, ialah meminjam' wang dengan
permufakatan mengembalikannya berwujud buah2an, tanaman,
kulit- hewan dan barang perdagangan serupa itu.

Bilamana dalam bahasa Belanda faham2 „beli (dan jual) dengan


harga tunai” dan „beli atas kredit" ke-dua^nya satu sama lain di-
sambung dengan perkataan „beli (dan jual) ” sebagai pembagi
persekutuan yang terbesar (grootste gemene deler), maka dalam
bahasa hukum Indonesia kedua faham itu pada hakekatnya berlainan
berhadapan satu sama lain, ialah sebagai membeli menjual berha-
dapan dengan meminjam (meminjamkan). Karena meminjamkan
wang dengan bunga itu sudah begitu lazimnya sehingga wang itu di-
hargai sebagai bagian harta yang dapat menghasilkan bunga, maka
hakim bila ada kelalaian membayar mungkin akan memutuskan su-
paya yang lalai itu juga membayar bunga kepada si peminjamkan
wang sebagai pembayaran kerugiannya, yaitu pembayaran „ b u n g a
karena k e l a l a i a n ” (moratoire interessen).
Tapi di kalangan orang2 Batak penggantian bunga itu sama sekali
tidak diizinkan oleh -hukum adat, malahan bunga buat tempo sejak
jatuhnya vonnis sampai pelunasan hutangpun tidak diizinkan pula.
Menagih hutang harus dijalankan dengan kesopanan terhadap
si pemmjam ; menagih seseorang begitu saja di jalan umum ada-
lah tidak senonoh (di daerah2 Batak, Bali dan sebagainya) .

M e n a n g g u n g pri badi buat hutangnya orang lain


per-tama2 mungkin disebabkan karena adanya ikatan sekerabat ber-
hadapan dengan dunia luar. Hutangnya seorang daripada sesama
anggauta clan — lebih2 bila mengenai kewajiban adat yang harus
dipenuhi — adalah hutangnya rombongan, penagihan dapat dituju-
kan kepada masing2 dari anggauta rombongan itu : tanggung-me-
nanggung. Seorang anggauta yang menyebabkan beban keharusan
membayar yang sangat keberatan buat sesama anggauta2nya, dapat
dikucilkan atau dibuang ke luar adat (sebagaimana sebagian tanah
dari lingkungan beschikkingsrecht dapat ditanggalkan bila ummat
semasyarakat situ tidak dapat atau tidak mau memenuhi pembayaran-
adat karena ada terjadi kejahatan atau pelanggaran di situ sedang-
kan yang berbuat itu tidak dapat diketemukan). Ini adalah soal ber-
lakunya hubungan kredit ke luar (dipandang dari sudut golongan
sekerabat). Tanggung-jawab ahli waris terhadap hutang2nya
si mati — jika memang meninggalkannya hutang (hal. 252) —
barangkali bertalian dengan faham tadi.

Menanggung pribadi buat hutangnya orang lain mungkin juga


berdasarkan atas rasa kesatuan daripada sanak-saudara2, seperti
misalnya di daerah2 Batak. Di kalangan orang2 Batak Karo maka se-
seorang lelaki selalu bertindak ber-sama2 atau dengan penanggung-
nya anak beru seninanya, yaitu sanak-saudaranya semenda dan kera-
batnya sedarah, yang se-akan2 mewakili golongan2 mereka berdua
yang bertanggung-jawab (hal. 52).

Ber-sama2 menanggung hutangpun ada juga, yaitu di antara sua-


mi dan isteri, itupun bilamana kesatuan harta perkawinan ada ber-
dasarkan atas adanya bekerja ber-sama2 untuk keluarganya.

Kemudian juga dalam hukum adat terdapat perjanjian, di mana


seseorang menjadi penanggung hutangnya orang lain. Si penang-
gung itu disebut dalam bahasa Indonesia jamin, perkataan borreg,
ialah perkataan yang sudah berubah menjadi perkataan Pribumi,
adalah penjaminan berupa tanah (hal. 131). Si penanggung dapat
ditagili bila dapat dianggap bahwa pelunasan piutang tak mungkin
lagi diperoleh dari si peminjam sendiri. Menurut susunannya maka
dalam hukum adat tidak banyak kemungkinannya untuk perkemba-
ngan tokoh perjanjian semacam ini. Tentang diperhambakan ke-
pada si peminjamkan wang karena tak dapat mengembalikan wang
pinjamannya — sedemikian •rupa sehingga si peminjamkan wang
berkuasa penuh atas diri sipeminjam — maka hal ini adalah lem-
baga yang terkenal umum dalam hukum adat Indonesia: „perbuda-
kan karena berhutang” (pandelingschap). Lebih2 bila hutang2 adat
(wang perdamaian dan sebagainya) tidak dapat dilunasi oleh yang
bersalah atau oleh golongan. kerabatnya, maika yang bersalali itu ke-
hilangan pribadinya untuik keuntungan si penagih pinjaman, ialah
sebagai satu2nya cara untuk memulihkan kembali kesetimbangan
(evenwicht) yang telah dirusaknya. Siapa yang mencari pertolongan
kepada seorang penghulu yang kaya dalam mengliadapi penagih2nya
hutang yang memusuhi dia, maka dia menjadi budaknya (pande-
ling) penghulu itu. W alaupun lembaga ini sudah terlarang, tapi bu-
ah pikiran yang menjadi dasarnya masih terus berlaku dalam per-
gaulan2 Pribumi, ter-kadang2 dalam bentuik yang tak terlarang yaitu
melunasi hutang dengan jalan bekerja untuk si penagih hutang.
Sebagaimana meminjam wang dan barang sebagai penbuatan
kredit perseorangan dapat dipandang dalam hubungan memben
apa2 satu sama lain dalam tolong-menolong bertimbal-balik, pun per-
janjian bekerja (arbeidsovereenkomst) dengan bekerja untuk
satu sama lain bertimbal-baliknya dapat dihubungkan dengan bentuk
perbuatan ikredit yang telah berkepribadian (geïndividualiseerd).
Tentang menumpang di rumah orang lain dengan mendapat makan
cuma2 tapi harus bekerja untuk tuan rumah, maika tokoh sedemi-
kian itu ber-ulang2 terdapat dan dengan bercampur-baur dengan
memberikan penumpangan kepada sanak-saudara yang miskin de-
ngan imbangan tenaga bantuannya di rumah dan di ladang (rayat,
J)-
Perihal bekerja sebagai buruh dengan mendapat upah di ladang,
di pertenunan2, di pembatikan2 dan sebagainya juga banyak terdapat
di Jawa dan di lain2 tempat, itupun bilamana tak dapat diselesaikan
dengan caira tolong-menolong bertimbal-balik. Hubungan pekerja-
an mulai berlaku dengan terbayarnya sedLkit wang pengikat (pari-
jer, hal. 156), yang mungkin dijadikan persekot atas upah, seba-
gaimana pembayaran di muka sebagian dari wang jujur ter->kadang2
dijadikan hadiah pertunangan. Suatu sisa dari zaman buta hukum
adat dengan kebodohannya menyebabkan berlakunya formeel hukum
perdata Belanda (Staatsblad 1879 N o. 256) atas kebanyakan hu-
bungan2 pekerjaan (tidaik atas pekerjaan yang bertingkatan lebih
tinggi) .
T idak kurang seringnya terdapat pengupahan untuk ber^macam2
pekerjaan (pekerjaan2 perantaraan, pertolongan, pengobatan, pe-
kerjaan orang ahli sihir, dan sebagainya) .
Saksi2 yang didatangkan di waktu perjanjian dibuat biasanya di-
beri sejumlah wang sedikit sebagai tanda sudah tersangkut-paut
dengan urusan itu (di kalangan orang2 Dayaik disebutnya turns) atau
sebagai „wang kenang2an” (orang2 Batak menyebutnya : ingot~ingol
pula, di tempat2 lain juga terkenal sebagai wang saksi).

Beberapa perbuatan2 krediit rupa2nya sudah lazim (endemisch)


di wilayah2 yang tertentu. Misalnya p e r j a n j i a n k o m i-
s i (commissie kontract) (k e m p i t a n) di Ja-
wa, yaitu menyerahkan barang2 kepada orang2 lain untuk dijual
dengan perjanjian bahwa sesudah Iewat tempo yang tertentu baik
barang2nya, maupun harganya yang sudah ditetapkan sebelumnyar
diterimak&n kepada pemiliknya. Orang harus ber-hati2 terhadap ang-
gapan bahwa perjanjian2 serupa itu terdapat khusus dalam ling
kungan2 hukum yang tertentu, karena anggapan sedemikian itu
mungkin berdasarkan atas ketidaktahuam tentang soal serupa ini
di daerah2 lain. Di Jawa terdapat wilayah2 d i mana perjanjian
ijon atau ijoan, penjualan tanaman padi yang masih muda, sama
sekali tidak ada, melainikan di mana biasaniya hanya tanaman padi
yang sudah tua dan sedang berada di sawah dijual (tebasan), se-
dangkan di tempat2 lain kedua cara penjualan ini sudah lazim, dan
sebagainya.

Mempunyai kedudukan istimewa dalam hukum kekayaan adat


adalah p e r j a n j i a n pel i ha ra (verzorgings-
kontract) Minaihasa. Nama „verzorgingskontrakt” ini asal-
nya dari Van Vollenhoven, di Minahasa sendiri perjanjian ini di-
sebut „adoptie”, tapi menurut isinya sesungguhnya ternyata bukannya
perbuatan di lapangan hukum kesanak-saudaraan; istilah2 Pribumi
antara lain ialah ngaranan dan tnengara anak. Isinya perjanjian
ini ialah baihwa fihak yang satu — pemelihara — (zorggever) me-
nanggung nafkahnya fihak yang Iain - terpelihara - (zorgtrekker)
lebih2 selama masa tuanya, pula menanggung pemakamannya dan
pengurusan harta peninggalannya, sedangkan sebagai imbangan si
pemelihara mendapat sebagian dari harta peninggalannya si terpeli-
hara ter-'kadang2 sebagian sama dengan seorang anak. Bilamana ti-
dak ada anak, maka si pemelihara adalah satu2nya waris. W alau-
pun perjanjian ini dapat diselenggarakan di antara orang2 dari se-
barang umur dan malahan juga dengan orang yang tak berkawin.
sebagai si terpelihara, namun sampai tingkat tertentu funksinya ialah
funksi „adoptie” (ambil anak) di -mana lebih2 suami-isteri yang
tak mempunyai anak dengan cara demikian mengikat orang2 muda
sebagai pemelihara2nya hal mana lebih2 dalam bahasa Indonesia
disebutnya mengaku anak. Tapi hubungan menurut hukum kesanak
saudaraan di antara anak dan orang2 tuanya sendiri oleh karenanya
tidak terputus ; si terpelihara tidaik mewaris dari si pemelihara. Mes-
kipun kesemuanya itu, namun rupa%ya kebalikan yang menyolok
mata — yaitu perjanjian pelihara bersifat hukum kekayaan diban-
dingkan dengan „adoptie” yang berdasar perbuatan hukum menurut
hukum fcesanak-saudaraan — itu menguirangkan unsur kepribadian
dalam hubungan si terpelihara dan si pemelihara dan oleh karena-
nya hubungan ini tidak memuaskan hal mana dulu timbul di waktu
pembicaraan tentang hukum perkawinan untuk orang2 Indonesia
Kristen.

Dari dekat dapat dibandingkani dengan perjanjian pelihara Mina-


hasa ini ialah suatu adat di Bali di mana seseorang menyerahkan
dirinya bersama segala harta bendanya kepada orang Iain (makehi-
dang raga). Orang yang menerima penyerahan sedemikiain itu wajib
menyelenggarakan pemakamamnya dan pembaskaran mayatnya si
penyerah, pula wajib memelihara sanak-saudaa-anya yang diting-
gaUcan; untuk itu kesemuanya maka ia ada hak atas harta pening-
galannya.

Suatu alamat bahwa di tempat2 lain juga terdapat hubungan3


pelihara: seperti di Minahasa itu, ialah misalnya khabar, bahwa di
A m bon terdapat surat2 wasiat yang memberikan bagian juga kepa-
da orang yang telah memelihara si peninggal warisan sampai pada
saat ajalnya.

5. M E R U G IK A N P E N A G IH 2 H U T A N G .

Sampai di mana barang2 milik seseorang tetap dapat diperuntuk-


kan guna membayar hutang3nya pemiliknya walaupun barang2 itu
sudah dipindahkan tangan kepada fihak ketiga, maka soal ini harus-
lah dijawab dengan tertibnya menurut hukum tak tertulis rakyat
Pribumi. Dalam banyak hal maka pemecahannya soal pasti dapat
diperoleh, jika orang berpedoonan pada syarat yang mutlak, ialah
bahwa harus dibela -kepentingan mereka yang disangkut-pautnya da-
lam lalu-lintas hukum dan bahwa harus ada kejujuran hati (goe-
de 'trouw) dalam lalu-lintas hukum tadi. Tidak termasuk di sini per-
cabaan2 akan merugikan penogih2 hutang dengan jalan perbuatan3
pura2 (schijnhandelingen) yang disengaja benar2 (absolute simula-
tie) ; perbuatan2 itu dapat dituntut khusus sebagai perbuatan2 pura2
beia&a, Merugikan penagih2 hutang dengan jalan hibahan2 kepada
bakal waris, pembagian halt a porkawhlïlft bevStUfla, pemberian3,
ja d i ; perbuaitan2 yang dapat dijauhi, dan karena sudah dijalankan-
nya, perbuatan2 itu hampir2 menyebabkan gagalnya tuntutan2 si
penagih -hutang atas barang2 itu — maka oleh keputusan2 hakim2
gubernemen dianggap batal. Begitu juga tidak diakuinya sail per-
buatan2 menjual atau menggadaikan barang dalam keadaan sede-
mikian rupa sehingga fihak lainnya patut harus mengerti bahwa
penagi.h2 hutang karena perbuatan2 itu akan menjadi korban, ialah
merugi. Hal yang sudah diketahui umum bahwa telah ada masuk
gugat penagilian terhadap si penjual itu, hal adanya hubungan ke-
sanaik-saudaraan yang kairib di antara si pembeli dan si penjual, dan
hal2 lain serupa itu, 'kesemuanya itu sudah ber-ulang2 dijadikan
dasar untuk keputusan, yang bermaksud bahwa perbuatan hukum
tadi tidak melenyapkan haknya si penagih hutang untuk menumtut
haknya atas ibarang2 tadi. Tetapi bila fihak 'ketiga yang tersangkut
dalam perjanjian dalam hal itu iberhati jujur, maka i harus dilin-
dungi juga lawan si penagih hutang itu. Dalam hal2 serupa itu
harus ada ikemungkinan pemecahan soal yang mempertahankan baik
kepentingan si penagih hutang, maupun si fihak ketiga tadi wa-
laupun tidak seluruhnya (misalnya hasil tanah buat selama tempo
tertentu -diperuntukkan si penagih hutang yang patut dapat meng-
harapkan hasilnsya setimbang dengan piutangnya — tapi hak atas
tanah ditetapkan menjadi haknya si pembeli, ialah fihak ketiga
tadi) . Boleh jadi pemecahan2 soal serupa itu dapat diselenggarakan
dengan jalan perdamaian (minnelijke schikkingen).

Juga bilamana harta si peminjam dalam keadaan terjepit oleh


„beschikkingsrecht ’ masyarakat, atau termasuk harta benda yang be-
lum 'di-bagi2 atau karena sesuatu hal masiih terikat, maka dalam
lial2 ini banyak timbul kesulitan2 karena peraturan executie yang
masih mengandung -kekurangan2. Dalam keputusan2 harus diusaha-
kan agax supaya kepentingan2 si penagih hutang dikawinkan secara
patut dengan kepentingan2 mereka untuk guna siapa milik2 itu ja-
tuh dalam keadaan terikat tadi. Ternyata- bahwa kebanyakan si pena-
gih hutanglah yang kalah, tapi sebaliknya sekali tempo kepentingan2
fihak2 yang turut 'berhak juga dilanggar dengan kekerasan yang
melampaui batas oleth penagih2 hutang itu.

6. A L A T P E N G IK A T , T A N D A Y A N G K E L I H A T A N
(H E T B IN D M ID D EL , H E T Z IC H T B A R E T E K E N )

Bedanya di antara perjanjian dengan wang pengikat dan perbuat-


an tunai sudah terang — ke-dua2nya se-olah2 adalah kebalikannya
saitu sama lain ; ke-di>a2nya dapat diharapkan satu lawan lain se-
bagai : perjanjian „consensueel” lawan perjanjian „reëel” , yaitu yang
portama suatu perjanjian yang menimbulkan akibat2 karena perse-
tujuan kemauan, lawan yang kedua yaitu suatu perjanjian yang
terdiri dari perwujudan perobahan2 yaing memang dituju ; jadi de-
ngan demikian tidak akan .timbul lagi kewajiban2 urnuk berbuat
jasa2 (prestaties) nanti, tapi jasa2 i'tu sudali terselenggara pada saat
dibuat perjanjian itu juga. Kedua macam perbuaitan- itu — per-
buatan tunai dan perjanjian dengan wang pengikait — dapat juga,
sebagaimana adakalamya terjadi, disebut „reëel1' karena dalam ke-
duaenya itu ada barang dipindahkam tangan dari seorang ke seorang
walaiupun diperjanjian pertama; aigar supaya serentaik terwujud
ma-ksudnya dan diperjanjian kedua ; agar supaya masing2 teriikat
secara nyata untuk mewujudkan apa yang dijanjikan, pada tempo
yang akan datang. Maka dari itu pada hakekatnya perjanjian de-
ngan memakai pengiikat itu lebih karib dengan perbuatan kredk.
Bedanya di antara ke-dua2nya terletak di sini, ialah bahwa dalam
hal perbuatan ikredit maka salah satu fihak sudah seketika mewu-
judkan jasanya, jasa mama mempunyai daya akan mewaji;bkan fihaik
lainnya untuk mewujudkan juga jasa imbangan nya (tegenprestatie)
yang sudah dipersiskan lebih lanjut dalam perjanjian itu atau ti-
da)k; sedangkan dalam hal perjanjian dengan memakai wang- pcng-
ikat, jasa2 .kedua fihak yang sudah ditetapkan dalam persetujuan
sama5 harus diwujudkan di masa datang dan kedua fihak itu ma-
sing2 berjanji untuk melaksanakan itu.
Nam un perjanjian2 dengan memakai wang pengiikat sudah semes-
tinya tidak boleh disebut „consensueel” begitu saja, sebab dalam
pada itu p e r m u f a k a t a n d e n g a n k a t a 2 s a j a belum me-
wajibkan apa2. Pada saat sesudah terselenggara suatu hubungan —
dalam mana persetujuan harus berlaku — di antara kedua fihak,
ialah dengan jalan menerimakan di tangan sekeping mata wang
kecil atau sebuah benda lain, baharulah terlahir kewajiban2 tertentu
dari persetujuan itu ; amat acapkaili persetujuan itu mengenai suatu
perbuatan tunai yang mereka akan menyelenggarakan : yang satu
fihak a k a n membeli sawahnya, pekarangannya dan juga lembu-
nya, dan fihak yang lain a k a n menjual tanahnya dan sebagainya
kepadanya. Bila kedua fihak sudah mencapai kata sepakat, maka
si calon pembeli memberikan kepada si calon penjual se-
jum lah uang sebagai panjer, tanda. Bila tidak diterimakan pan-
jernya itu, maka orangnya menganggap dirinya tidak terikat; bila
sudah diTjerikail dan a panjernysL itu, (wis dipanjeri, be-
gitulah disebutnya perjanjian iLii dalam bfthasa JïW?) m <*ka orang-
nya merasa dirinya sudah terikat. Ini mengandung arti yang sebe-
narnya dalam pergaulan se-hari2, ba/hwa orangnya j u m e n e p a t i
/ persetujuan itu — terdorong oleh rasa terikait oleh hubungan sihir
dan oleh rasa kesopanan. Menurut hukum adait artinya hanyalah
demikian, bahwa si calon .pembeli kehilangan panjenvys. bila ia se-
sudah menerimakannya toch tidak menepati persetujuannya, atau
dalam hal terakhir ini fihak lainnya diberinya suatu alas an yang
patut untuk tidak menepati persetujuannya; sedangkan sebagai ke-
balikannya, si calon penjual bila timbul kelengahan dari fihaknya
sendiri wajib mengembalikan panjer itu dan biasanya diharuskan
pula membayar sejumlah uang sebesar panjer itu sekali lagi. Dikha-
barkan, bahwa di kalangan orang2 Toraja sesuatu perjanjian seke-
tika mengikat setelah diucapkan dengan formil perkataan ,,ya” , hal
mana berarti, bahwa ia menanggung kewajibannya untuk raemba-
yar. Di tempat2 lain rupa2nya tidak terdapat hal serupa itu.

Tentang m e m a k s a -untuk m e n e p a t i persetujuannya, ma-


ka hal ini (hampir) tetap tak mungkin. Kerugian yang diderka
(kebanyakan) dapat dituntut dari fihak yang bersala/h kelengahan.

W ang pengikat itu tim bul tidaik hanya dalam persetujuan akan
menyelenggarakan perbuaitan tunai di masa datang saja, melainkan
juga misalnya bila jasa dari satu fihak, walaupun seketika dimu-
lainya, penyelenggaraannya akan memakan tem po yang lama, se-
dangkan jasa dari fihak lainnya harus diselenggarakan di masa da-
tang; demikianlah halnya dengan perjanjian kerja (arbeidskon-
trakt). Orang yang masuk kerja menerima panjer sejumlah kecil
dari majiikannya yang membayarkan upahnya di .belaikang. Panjer
itu dipotongkan dari pembayaran -upah, maka dari itu panjer itu
mendapat sebutan ekonomis sebagai persekot (voorschot), dan oleh
karena itu artinya menurut hukum adat, -pula menurut alam pikiran
„serba berpasangan” (participerend) menghilang di belakang sebu-
tan ini.

H a d z a h p e r t u n a n g a n . Suatu ikejadian yang benar2 seja-


lan dengan itu dalam hukum perkawinan ialah ihadiah pertunangan
(verlovingsgeschenk). Terikatnya bertimbal-balik m em ulai pada saat
menerimakan pemberian pertunangan aitau perianth pertunangan
(verlovingspand). Di mana pertunangan itu merupakan pengantar
daripada perkawinan jujur dalam masyarakat berhukum bapa, maka
hadiah pertunangn itu luliih menjadi satu dengan pembayaran di
muka daripada sebagian dari jujur. Di Minangkabau d a n d i tempat2
lain 'terdapat tukar-memikar tanda2 pertunangan (mempertimbang-
kan tanda); namun kebanyakan lelakilah yang memberikan hadiah
pertunangan - fyang ter-kadang3 lurusnya disebut ^pengilkat” juga
(bandinglah dengan sebutan2 tercantum di halaman 189), dan pe-
rempuanlah yang menerimanya. D i Krinci tanda paletak itu adalah
petaruh pertunangan (verlovingspand,) yang dikembalikan sesudah
perkawinan. Terikatnya adalali sesuai dengan terikatnya dalam hu-
kum kekayaan; siapa yang memutuskan atau menyebabkan alasan
patut untuk memutuskan pertunangan, maka kehilanganlah ia ha-
diah pertunangannya (kerabat fihak pemuda) atau harus mengem-
balikannya secara berlipat (kerabat fihak pemudi) dan harus mem-
bayar kerugiannya (karena sudah memberikan hadiah2 berhubung
dengan perkawinan yang akan datang).

B e n t u k 2 lain. Di Minahasa ma'ka hubungan ikatan antara


bapa, yang 'tak berkawin sah, dengan anaknya, diselenggarakan de-
ngan jalan pemberian hadiah adat ikepada ibunya anak itu (lilikur);
begitu juga pertalian antara si pemungut anak dan si terpu-
ngut anak diselenggarakan dengan jalan pemberian hadiah tamah
(paradé). Juga tanda2 yang kelihatan tadi rupa2nya dapat ditaf-
sirkan artinya sebagai pernyataan dengan benda buat hubungan da-
lam angan2, yang berlaku di masa datang.

Kebiasaan2 lain yang begitu banyak jumlahnya berdasaxkan atas


buaJi pikiran, bahwa penyerahan sesuatu benda dari seorang ke se-
orang lainnya itu, menyelenggarakan ikatan yang diinglnkan di waktu
penyerahan benda itu. Sedikit pemberian, biasanya terdiri dari ma-
kanan, yang disertakan dengan suatu permohonan kepada seseorang
yang berkuasa atau berpengaruh (di mata Barat terlalu keseringan
dianggap suap an); sedikit pemberian berupa daging, yang unenyer*
tai u ndaugan; petaruh untuk pemeriksaan perkara (proces-pand),
mungkin juga pemberian untuk pemeriksaan perkara (proces-ge-
schenk) yang oleh si penggugat ditambahkan pada jumlah dalam
gugatannya, maka kesemuanya. itu harus ditafsirkan secara semacam
itu j u g a ; pemberian2 itu membuka jalan, sepanjang mana akan
diletakkan hubungan sementara yang diinginkan, dan sepanjang
•mana jawabannya — ialah keputusannya — dapat mendatang. Da-
lam makna sedemikian itu juga dapatlah pemberian srama dalam
paruh hasil tanam (hal. 127) kiranya dihubungkan dengan perjan-
jian tersebut terakhir ini. Saya sudah menerima apa2 dari lain orang,
saya sekarang wajib .memenuhi apa yang dikehendaki dari saya, m i-
salnya mem enuhi undangan, memberikan jawaban (walaupun juga
jawaban m en olak ), memberikan keputusan (walaupun keptitusam
m enolak), mengizinkan d ia mengerjakan tanaih saya. sebagai pe-
maruh, dan sebagainya. Ini tidak seluruhnya sama dengan panjer,
tapi sangat karib sekali padanya, dan rupa2m T
a dipandang dari su-
dwt sihir (magisch) sama alamnya. Dalam hal panjer, dan paning*
set, maka persetujuannya disusuli dengan suatu tanda yang kelihat-
an, dan memberi dan menerima itu menyebabkan persetujuan men-
jadi mengikat bertimbal-balik; dalam hal suatu pembeiian yang
menyertai suatu permohonan, maka orang yang diberi karena mene-
rima pemberian itu mewajibkan dirinya untuk memberikan suatu
jawaban ; ter-kadang2 juga wajib memenuhi permohonan itu (da-
lam hal undangan, dalam hail sram a?); „pemberian” itu merigan-
dung sedikit banyak unsur paksaan (walaupun mungkin lemah) .

Orang dapat mengikat dirinya pada keputusan2 yang dij&tuhkan


pada hal ia sendiri tidak hadir, ialah karena suatu „tanda yang ke-
lihatan” juga, sebagai halnya dengan orang di Bali yang membawa-
kan kerisnya kepada seorang penduduk inti dusun ke rapat desa,
bilamana ia sama sekali berhalangan datang ; sebagai halnya janda
di Bali yang mempergunakan keris suaminya yang m ati sebagai wa-
kilnya untuk mengambil anak (adopteren) buat almarhum ; atau me-
ngikat dirinya pada perbuatan2 hukum yang terselenggara selama ia
taik hadir, seperti halnya dengan raja (di Jawa) yang untuk per-
kawLnannya dengan bini muda diwakilinya oleh seorang pegawai yang
di'bawakannyL kerisnya; dapat juga orang — seperti tuan2 besar
Mandar di Sulawesi Selatan — mengikat dalam a T t i kata sihir se-
orang gadis pada dirinya dengan jalan mengirimkannya sepucuk
keris, dan haruslah gadis tadi „ditebus kembali” dari pemberian ke-
ris itu supaya dapat memperoleh kemerdekaannya kembali kalau ia
menghendakinya.
T a n d a l a r a n g an . Dengan jalan ini kentara karibnya
di antara „tanda yang kelihatan” sebagai hubungan dari seorang
dengan seorang, dengan tainda yang kelihatan sebagai hubungan
dari seorang dengari tanah atau dengan pohon : tanda larangan (hal.
104) yang sudut positifnya menimbulkan hubungan hukum, sedang-
kan sudut negatifnya yaitu mencegaih supaiya mereka lain orang te-
tap menjauhkan diri dari padanya. Dengan jalan demikian — di-
pandang dari sudut lebih umum — terdekatilah salaih saitu dari dasar2
hubungan hukum perseorangan atas benda yang sudah dikerjakan
sendiri : sebidang itanah atau sebuah sungai kecil di Kalimantan yang
telah dibersihkan sendiri, sebatang pohon yang sudah ditarah sen-
diri, dan seterusnya. Menurut alam pikiram „serba berpasangan”
(participerend), maika dengan jalan demikian iitu rupa2nya terse-
lenggara pertalian gaib (metajuridisch) yang menimbulkan pencer-
minannya yuridis dalam hukum adat.

Sur at akte. Surat ini sudah barang ten/tu adakalaaiya di-


anggap sebagai „tanda yang kelihatan” serupa itu juga. Bukannya
surat akte perjanjian jual, karena anggapan serupa tadi menurut
sistimnya tak dapat dipertanggung-jawabkan (hal. 1 21 ); juga
tidak (dianggap sebagai tanda yang kelihatan) suatu surat tanda
bukti dari sesuatu perbuatan kredit perseorangan, karena dalam
hal ini daya yang mengikat itu berpancar dari jasa (prestatie) sen-
diri yang sudah ditunaikain (jadi „prestatie” ini sendiri dalaan berla-
kunya, ada karib dengan „.tanda yang kelihatan” ) ; tapi benar da,pat
dianggap sebagai „tanda yang kelihatan” ialah misalnya penandata-
nganannya surat akte oleh kepala dusun, dengan mana ia memper-
lihatkan umum hubungan masyarakat dengan kedudukan hukum
yang baru ini buat masa datang; atau juga secarik surat yang oleh se-
orang diberikan kepada seorang lainnya yang lantas berjanji (me-
ngikat dirinya) untuk memberikan suaranya untuk si pemberi surat
tadi, atau surat yang dipakai untuk mengambil orang lain sebagai pe-
kerjanya, dan sebagainya.

Dalam a l a m r a j a 2, maka „tanda yang kelihatan” itu


adalah suatu tokoh hukum yang di mana2 sudah lazim, sebagai per-
nyataan dan perkuatan pertalian hukum antara raja dan raja ang-
katan, antara raja dan penghulu rakyat. Buat maiksud itu maka di-
berikan oleh raja2 kepada raja2 di bawah kekuasaannya satu setel
pakaian, sepucuk senjata, sebatang tongkat, juga pernyataan pe-
ngakuan yang digoreskan dalam logam (piagem), dan benda2 itu
diterima oleh yang berkepentingan dengan kesadaran akan maksud-
nya tadi. Boleh jadi diperkemankan juga menyamakannya seluruh-
nya dengan „tanda2 yang kelihatan” serupa itu ialah : gelar2 yang
oleh raja dikaruniakan kepada penghulu2 yang mengabdi padanya.
Persembahan2 yang dihaturkan ke hadapan raja sebaliknya keba-
nyakain bersifat persembahan'pengantar yang disusul dengan permo-
honan ke arah pengaikuan.

Anda mungkin juga menyukai