Anda di halaman 1dari 11

Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

HUKUM ADAT 12 APRIL 2016


Pak Afdol

Masyarakat Hukum Adat punya hak dan kewajiban untuk mengatur wilayahnya dan hubungan
hukum antar orang-orang yang ada dalam wilayah itu. MHA seperti negara.
Unsur MHA: wilayah, satu kesatuan penguasa, warga masyarakat, maka dikatakan MHA sama
dengan negara.
Setiap MHA punya tanah ulayat, sebagai wilayah yang dikuasai.

Aspek MHA:
1. Satu totalitas
Penjumlahan seluruh orang.
Seluruh orang dalam satu MHA (satu desa) termasuk kepala adatnya dijumlahkan
semuanya. Kepala adat dianggap sebagai satu individu yang memiliki hak dan kewajiban
yang sama dengan warga masyarakat hukum adat.
MHA punya hak bersama atas tanah. Tanah ulayat dikuasai oleh MHA sebagai satu
totalitas.

2. Penguasa
Kepala adat bertindak sebagai penguasa. Kepala adat adalah wakil dari MHA , punya
kewajiban untuk mengatur tanah ulayat (peruntukkan, perbuatan hukum yang berkaitan
dengan tanah ulayat). Kepala adat yang membuat peraturan. Meninjau dan melihat
permohonan hak.

3. Badan hukum
Entitas hukum, MHA adalah subyek hukum, punya hak dan kewajiban. Punya harta
kekayaan dsb.
Dikaitkan dengan kepala adat --> prinsip primus interpares yang mengangkat kepala adat
secara turun temurun, dan dari suatu marga tertentu

HAK ATAS TANAH


MHA punya hak bersama atas tanah. Tanah ulayat dikuasai oleh MHA sebagai satu totalitas.
Hak ulayat = hak atas tanah dan segala isinya, contohnya pembagian-pembagian tanahnya.
Dalam hukum adat:
Tanah adalah benda terikat. --> karena dimiliki seluruhnya oleh MHA, dan digunakan untuk
kemakmuran seluruh anggota MHA nya, dengan kepala adat yang mengatur peruntukkan tanah
tersebut: Siapa yang boleh dan tidak boleh mengambil bagian dari tanah tersebut, dan
pembagian wilayahnya.
Selain tanah adalah benda bebas.
Hubungan antara tanah dengan MHA bersifat abadi. Selama MHA masih ada, tanah tersebut
juga masih ada.
Diadaptasi dalam UU Pokok Agraria. Hak kamsa (Pasal 1).
Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

Semua orang yang merupakan anggota dari MHA termasuk kepala adat punya hak peserta-->
hak untuk ikut serta mendapat manfaat dari tanah dalam wilayah tersebut.
Syarat keanggotaan: faktor teritorial maupun faktor genealogis.
Hak peserta: untuk mendapatkan sebidang tanah.
Bagaimana orang-orang tersebut mendapatkan hak atas tanah?
 Proses menciptakan hak: dari yang tidak ada hak menjadi punya hak.
 Bukan menciptakan: proses jual beli. Orang bisa memiliki tanah karena ia membeli tanah
tersebut
Hak milik bersama tidak bisa menghilangkan hak individu masing-masing orang.

Pembagian tanah ulayat:


 Tanah larangan : bagian tanah ulayat yang dianggap tidak boleh memiliki hak perorangan:
Didirikan tanah lapang, rumah ibadah, pasar, daerah pemakaman, fasilitas desa lainnya.
 Tanah kosong: bagian tanah ulayat yang masih berupa hutan belantara; masih kosong.
Belum digunakan, tidak ada hak perorangan di atas tanah kosong. Tanah kosong akan
dibuka apabila penduduk dalam MHA itu semakin berkembang dengan pesat. Hutan akan
dibakar dan dijadikan daerah pemukiman apabila tanah usaha sudah tidak muat lagi.
 Lahan usaha: tempat tinggal, pemukiman, berladang, berkebun, dan sebagainya. Punya
hak perorangan untuk mendapatkan sebidang tanah dari lahan usaha.
Kita tidak mengenal prinsip res nulius, yaitu konsep tanah yang tidak bertuan atau tidak
ada pemiliknya. Prinsip tersebut dianut warga Eropa yang menganggap tanah di luar Eropa
itu tidak bertuan, sehingga mereka menjajah bangsa-bangsa di luar Eropa dengan motif
Gold, Gospel, Glory. Dalam MHA, tanah sudah ada pemiliknya.

Kalau orang tersebut meminta sebidang tanah di tanah usaha, biasanya kepala adat akan
memberikan izin, kemudian tanah itu diberikan patok-patok. Atas dia muncul hak utama, untuk
mendapat manfaat dari sebidang tanah yang dia mohonkan. Dengan adanya patok-patok -->
visualisasi atau penggambaran --> masyarakat mengetahui ada seseorang yang membuka
hubungan hukum antara dia dengan tanah. Hak utama bersifat sementara.
Hak utama akan berubah menjadi hak pakai --> sudah ada hubungan atau kontak fisik antara
tanah dengan orang itu (contoh: Ditanami lalu diambil panennya).
Hak pakai lebih kuat dari hak utama.
Petani Sub-sistem: petani yang berdasarkan atas kebaikan alam, bukan berdasarkan teknologi
yang tinggi. Setelah panen, diberikan waktu terlebih dahulu. Setelah subur lagi baru ditanami
lagi dan dipanen, dst.
Hubungan A dengan tanah: terus-menerus, continuous --> hak pakai berubah menjadi hak
milik --> hak yang paling penuh. Muncul hak perorangan atas tanah padanya. Tidak ada MHA
lain yang merasa keberatan.
Hak milik muncul dari proses menciptakan hak.
Kalau setelah ia memiliki hak milik atas tanah, ia membiarkan tanahnya, maka hak milik akan
berubah lagi (menurun) menjadi hak pakai. Kalau beberapa kali musim tanam tidak lagi
ditanami, maka hak tersebut akan berubah lagi menjadi hak utama. Patok-patok masih ada.
Tapi kalau dibiarkan terus-menerus, maka hak utama akan hilang dan akan kembali menjadi
tanah ulayat.
Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

Hak pakai: sekali panen. Kalau orang asing, hanya sampai hak pakai, untuk sekali panen. Kalau
MHA, bisa berkali-kali dipakainya. Orang asing boleh memakai lagi, tapi harus membayar
pajak (mesi), dan ketika ia pakai berkali-kali tidak akan berubah menjadi hak milik.
Hak milik: boleh melakukan jual beli.

UUPA sudah tidak memperbolehkan proses mendapatkan hak atas tanah tersebut. Semua harus
seizin pemerintah

Tanah tidak hanya semata-mata aspek ekonomi, namun juga aspek kultural.

Tanah bisa disewakan, yang penting harus berfungsi sosial. Hak milik atas tanah hanya bisa
dimiliki oleh anggota dari MHA yang memiliki tanah tersebut.
Semua perbuatan atas tanah dilakukan di hadapan kepala adat. Sistem ini diadaptasi di masa
modern: peran kepala adat adalah sebagai notaris/PPAT.

Dalam hukum adat dianut Asas Pemisahan Horizontal: benda tanah dan benda selain tanah.
Apabila seseorang memiliki rumah yang merupakan benda bebas, orang tersebut bebas
melakukan apapun terhadap rumahnya, entah itu digunakan atau ditelantarkan, dan ia tidak
akan kehilangan haknya. Hak atas tanah bisa hilang, hak atas rumah tidak. Apabila masyarakat
ingin menggunakan tanah yang di atasnya sudah ada rumah milik seseorang, maka rumah
tersebut harus dipindahkan ke tempat lain. Namun dalam BW, dipakai asas perlekatan
(natrekking), yaitu hak milik tas tanah mencakup juga hak milik atas benda-benda di atasnya.

HUKUM ADAT 19 APRIL 2016


Pak Afdol

Benda dalam Masyarakat Hukum Adat dibagi 2, yaitu


1. Tanah
Merupakan benda yang terikat, di mana seluruh tanah adalah milik Masyarakat Hukum
Adat (MHA). Tanah tersebut disebut tanah ulayat, yaitu tanah bersama yang merupakan
warisan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Tanah digunakan untuk kepentingan bersama dan harus dilestarikan (tidak boleh
berkurang, tidak boleh hilang).
Sifat tanah ulayat:
- Abadi: selama MHA masih ada, tanah ulayat pun tetap ada
- Terikat: tanah tidak berhubungan dengan benda-benda di atas tanah. Tanah harus
bermanfaat secara sosial.
Hak milik bersama atas tanah ulayat tidak mengalahkan / menghilangkan hak individu.
a. Hak peserta
 Hak yang dipunyai oleh seluruh masyarakat hukum adat (misalnya: anggota
suatu desa yang sama) berdasarkan alasan genealogis maupun teritorial
 Hak untuk ikut serta memanfaatkan bidang tanah
Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

 Hanya hak / kewenangan, tanpa adanya kewajiban


b. Hak utama
 Timbul ketika seorang subjek hukum yang sudah dewasa punya kepentingan
untuk memiliki sebidang tanah, sehingga ia sudah mulai memiliki kewajiban
 Bersifat sementara
 Tanah tersebut diberikan patok-patok yang menandakan bahwa seseorang akan
menggarap tanah tersebut
 Tanah ulayat terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:
i. Tanah Kosong: Tanah yang belum dimanfaatkan, masih berupa hutan
belantara dan sebagai cadangan. Tanah ini akan semakin mengecil
sejalan dengan semakin banyaknya anggota MHA.
ii. Tanah Usaha: tanah untuk digarap. Sebidang tanah bagi individu yang
memerlukannya dibuka dari bagian tanah usaha ini.
iii. Tanah Larangan: tidak boleh ada hak kepemilikan seseorang. Tanah ini
digunakan sebagai alun-alun desa, pekuburan, rumah ibadah
c. Hak pakai
 Timbul setelah tanah yang diberi patok tersebut digarap, yang menandakan
adanya hubungan fisik antara seseorang dengan tanah tersebut. Tanah itu berarti
sudah dipakai oleh orang yang bersangkutan.
 Bagi anggota MHA, hak pakai ini akan terus berlanjut (bisa lebih dari satu kali
panen), namun bagi anggota di luar MHA, tanah tersebut hanya bisa digunakan
untuk satu kali panen.
d. Hak milik
 Hak ini tidak bisa menghilangkan hak ulayat
 Hak milik bersifat tidak mutlak, yang berarti apabila tanah ditelantarkan, maka
tanah tersebut tidak berfungsi sosial sehingga akan diambil alih kembali oleh
MHA.
*Keempat hak di atas merupakan proses menciptakan hak*
2. Bukan Tanah

Jual Beli Tanah (Grond Transactie)


Jual beli tanah adalah suatu perbuatan hukum pemindahan hak milik atas tanah secara terang
dan tunai.
A dan B melakukan suatu jual beli tanah. Syaratnya adalah A dan B harus ada dalam MHA
yang sama. A tidak boleh menjual tanahnya ke orang lain di luar MHA nya.
Dalam jual beli tanah, yang dipindahkan adalah tanah secara fisik serta hak dan kewajiban atas
tanah.
Penjelasan terang dan tunai:
1. Terang
- Dilakukan di hadapan kepala adat agar secara hukum jual beli itu dinyatakan sah
Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

-Kepala adat mengetahui riwayat tanah yang akan dijual, oleh karena itu kepala adat
yakin bahwa penjual tanah tersebut memang pemilik tanah tersebut atau bukan.
- A dan B ingin melakukan jual beli tanah. Apabila dilakukan di hadapan kepala adat, ia
bisa menjamin kalau B ada dalam 1 anggota MHA yang sama dengan A, bukan orang
dari luar MHA. Kepala adat juga mengetahui bahwa tanah tersebut bukanlah tanah
sengketa.
- Sistem kekuasaan kolektif: A dan 9 orang saudaranya adalah ahli waris atas tanah.
Apabila A ingin menjual tanahnya, bukan hanya A yang terikat dalam hubungan jual-
beli, namun juga 9 orang saudaranya.
- Apabila A menjual tanah kepada B namun tidak dilakukan di hadapan kepala adat, jual
beli itu sah, namun si pembeli tidak dilindungi oleh hukum apabila ada kasus nanti.
2. Tunai
- Pemindahan hak milik sudah berpindah saat jual beli selesai dilaksanakan  saat B
sudah membayar, terlepas dari B mencicil atau tidak, lunas pada saat itu juga atau tidak.
- Dalam hukum adat, jual beli tidak pernah didahului oleh perjanjian. Jual-beli dalam
hukum adat juga bukan masuk ke dalam hukum perikatan.
Dalam hukum Barat, jual beli tidak bersifat tunai apabila A belum mengganti namanya
dengan nama B di sertifikat tanah.
Isi Jual Beli Tanah:
1. Selama-lamanya
2. Sementara waktu: si penjual dengan atau tanpa perbuatan hukum akan kembali
memperoleh hak milik atas tanah yang dijual tersebut.
Bentuk Transaksi Tanah
1. Jual lepas
Jual beli selama-lamanya; melepaskan hubungan hukum dengan tanah untuk selama-
lamanya
2. Jual gangsur
Penyerahan tanah dari A ke B ditunda, menunggu hasil panen diambil oleh A terlebih
dahulu, lalu kemudian diberikan kepada B.
Fisik tanahnya masih dipegang penjual untuk sementara.
3. Sementara
- Jual tahunan: A menjual tanah kepada B hanya untuk waktu 5 tahun. Dalam jangka
waktu 5 tahun tersebut, B tidak boleh menjual tanah secara lepas kepada pihak lain.
Setelah 5 tahun terlewati, A akan memperoleh kembali hak miliknya.
Tanpa melakukan perbuatan hukum.
- Jual Gadai: dengan melakukan perbuatan hukum.

HUKUM ADAT 26 APRIL 2016


Pak Afdol

Hak atas tanah dapat diperoleh melalui 2 cara, yaitu:


A. Proses menciptakan hak  grondtransactie yang unilateral (sepihak), contohnya
membuka hutan setelah diizinkan
Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

B. Peristiwa hukum  contoh: matinya orang


Grondtransactie terbagi 2, yaitu:
A. Unilateral / segi satu : antara orang dengan tanah; proses penciptaan hak
B. Bilateral: ada 2 pihak, yaitu penjual dan pembeli. Ada 2 subjek hukum.
Grondtransactie Transaksi yang berkaitan dengan tanah
(Transaksi Tanah)
Obyek Tanah Bukan tanah, namun hal yang berkaitan dengan
tanah
Sifat Pemindahan hak milik atas Tidak ada pemindahan hak milik. Kalaupun ada
tanah pemindahan hak atas tanah, hak tersebut hanya
hak pakai.
Syarat Orang yang ada dalam satu Boleh dilakukan dengan siapa saja (termasuk
MHA yang sama. orang-orang di luar MHA) karena obyeknya
Memperhatikan hak dan bukan tanah.
wewenang pihak ketiga.
Dalam Hukum Benda Hukum Perikatan
KUHPer
Contoh - Perjanjian Bagi Hasil
A memiliki tanah, lalu ia bekerjasama dengan
B yang tidak memiliki tanah. B menggarap
tanah A. Pada saat panen, hasil tersebut dibagi
2.
- Sewa Tanah:
Obyek: pemanfaatan tanah, pemindahan atas
hak pakai, bukan hak milik.
- Tanah sebagai jaminan hutang
A perlu uang, dan ia meminjam dari B. B
butuh jaminan agar hutang tersebut dibayar
oleh A. A memberikan tanahnya sebagai
jaminan; bahwa tanah itu akan digunakan
untuk membayar hutang kepada B. Hak milik
tetap ada di A, namun A dapat menjual tanah
tersebut kepada C untuk membayar hutang ke
B.
Perjanjian pokok: pinjam meminjam uang.
Tanah hanya terkait. Asesor: jaminan.
- Perjanjian Menumpang
Menumpang rumah (bentuk: menumpangkan
rumah di atas tanah orang lain)

Gadai
Menurut hukum adat, gadai adalah jual beli tanah secara sementara, di mana tanah menjadi hak
milik pembeli untuk sementara. Tanah tersebut kembali menjadi milik si penjual setelah
penjual tersebut menebus tanahnya.
Gadai termasuk ke dalam transaksi tanah karena obyeknya adalah tanah dan ada perpindahan
hak milik atas tanah.
Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

Jual gadai ada 2, yaitu:


- Gadai biasa: hak untuk menebus dan jangka waktu maksimal tidak ditentukan oleh
orang yang menggadaikan, tergantung kapan si A mampu. Namun ada ketentuan
minimal: A tidak boleh menebus kalau si B belum menikmati tanah tersebut. A
memerlukan gadai karena dia mempunyai hajat tertentu, sementara B harus orang
dalam dan dilakukan di hadapan kepala adat. Hasil panennya semacam interest/bunga.
Gadai ini banyak terjadi sampai bertahun-tahun. A harus menebus dan B tetap
mendapat hasil panen. B tidak bisa memaksa A untuk melunasi hutangnya, namun B
dapat memindahkan gadai atas persetujuan si A, sehingga gadai dapat pindah ke si C.
Dengan memindahkan gadai ini, maka hubungan antara B dengan A putus, dan A
mempunyai hubungan dengan si C. B juga dapat menjual tahunan, walaupun saat A
melakukan perbuatan hukumnya maka tanah tersebut harus kembali ke A. Si B juga
bisa menganakgadaikan atau menggadaikan kembali ke orang lain secara diam-diam.
- Gadai jaga waktu: jangka waktu maksimal untuk menebus diperjanjikan antara A dan
B.
Gadai bukan hukum perjanjian tetapi bisa diperjanjikan. Gadai tetap tunai dan terang.

HUKUM ADAT 3 MEI 2016


Pak Afdol
(akan dilengkapi kemudian)
Perikatan dalam Konsep Hukum Adat
Apa itu perikatan? Hubungan hukum antara pihak, di mana pihak yang satu punya hak prestasi
(menuntut suatu prestasi) dan pihak lainnya kontraprestasi (berkewajiban untuk memenuhi
prestasi tersebut). Hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak.
Perjanjian merupakan penyebab dari perikatan. Perjanjian bersifat konkret, namun perikatan
bersifat abstrak.
Isi dari perjanjian adalah:
- Berbuat sesuatu
- Tidak berbuat sesuatu
Kontrak merupakan bentuk konkret.
Perikatan timbul ketika: ada kata sepakat (asas konsensualisme) di dalam BW. Menurut MHA,
perikatan bukanlah suatu konsensualisme, namun bersifat real atau nyata, yang ditunjukkan
dengan adanya penyerahan barang panjer / barang jadi atau barang pusaka keluarga. Riil
menunjukkan adanya suatu visualisasi mengenai apa yang akan terjadi, sesuai dengan corak
MHA.
Syarat perikatan dalam Pasal 1320 BW:
- Syarat subyektif: kalau tidak dipenuhi bisa dibatalkan.
o Konsensualisme
o Para pihak cakap
- Syarat obyektif: kalau tidak terpenuhi maka akan batal demi hukum.
o Mengenai hal tertentu
Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

o Sebab yang halal


Yang membedakan dengan hukum adat: kapan pihak tersebut dikatakan cakap? Ukuran dewasa
di dalam BW berbeda dengan ukuran dewasa di hukum adat. Menurut BW, seseorang dianggap
dewasa dari segi umur, namun dalam hukum adat, seseorang sudah dianggap dewasa saat ia
kuat gawe.
Syarat ‘mengenai hal tertentu’ sama antara BW dan hukum adat. Tidak mungkin perikatan ada
apabila tidak ada obyeknya. Benda berwujud atau tidak berwujud.
Sebab yang halal: ada hal-hal yang tidak boleh diperjanjikan di dalam hukum adat. Contoh:
apabila A menjual tanah kepada B yang ada di luar MHA nya maka akan dianggap batal demi
hukum.
Macam-macam perikatan:
Menurut BW:
- Perikatan terjadi karena perjanjian
- Perikatan terjadi karena perbuatan manusia yang halal maupun melawan hukum. Dalam
pasal 1354 (zaakwaarneming), contohnya adalah menutup keran air tetangga yang
sedang pergi.
Melawan hukum diatur dalam Pasal 1365.
- Perikatan terjadi karena UU
Dalam hukum adat:
- Perjanjian
o Tanah, misal: bagi hasil, sewa tanah, perjanjian menumpang, tanah sebagai
pelunasan hutang
o Yang tidak terkait dengan tanah, misalnya:
 Tebasan
 Perburuhan
 Kredit perorangan
 Bagi hasil ternak
 Pemeliharaan
 Serikat
 Pertangguhan kerabat
 Pand
- Sikap tindak atau perilaku
o Misalnya: Panjer  memberikan suatu tanda jadi
o Karena orang memberikan sesuatu maka ia terikat
o Perikatan itu abstrak,

HUKUM ADAT 10 MEI 2016


Pak Afdol

Keberlakuan Hukum Adat


Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

Keberlakuan kaedah hukum  faktor sosiologis, yuridis, filosofis.


Apakah hukum adat memenuhi ketiga unsur tersebut?
1. Filosofis : dikaitkan dengan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Pancasila adalah
sumber dari segala sumber hukum.
Apakah hukum adat bertentangan dengan Pancasila?
- Ruang lingkup yang berbeda
o Pancasila: lingkup nasional
o Hukum adat: lokal / regional  setiap daerah punya nilai dan budaya tersendiri
 norma hukum berbeda
Apabila ada budaya lokal, kita tidak bisa langsung men-judge bahwa budaya
tersebut tidak sesuai dengan Pancasila.
- Sumber pembentukan sama
o Pancasila: nilai-nilai luhur bangsa
o Hukum adat: nilai-nilai budaya yang luhur dari masing-masing daerah. Nilai-
nilai tersebut dianggap baik dan benar, dan diakui, sehingga diulang-ulang dan
menjadi adat.
Apabila ada kebiasaan yang negatif, itu deviasi / penyimpangan dari adat,
contoh: menyabung ayam.
- Komunalistik (tidak membedakan kedudukan individu dan masyarakat)
o Pancasila: hubungan antara individu dan masyarakat secara serasi, seimbang,
dan selaras
o Hukum adat: kedua-duanya diharmonisasikan. Hak bersama tidak
menghilangkan hak pribadi, begitu pun sebaliknya. Contoh: tanah ulayat.

2. Yuridis: kaedah hukum berlaku secara yuridis apabila 1) dibuat oleh pejabat / lembaga yang
berwenang, 2) tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
Bagaimana dengan hukum adat?
Negara: organisasi kekuasaan dan kedaulatan tertinggi  menentukan hukum nasional dan
juga hukum di wilayah-wilayahnya
Apakah ada landasan yuridis (UU tertulis) yang mendasari keberlakuan hukum adat di
Indonesia? Tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa hukum adat tidak
berlaku atau tidak boleh berlaku.
Tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 sebelum amandemen yang menyinggung
mengenai hukum adat.
Di samping UUD 1945, terdapat pula hukum dasar yang tidak tertulis (hukum adat atau adat
istiadat) yang berlaku dalam praktek-praktek kenegaraan / penyelenggaraan negara
(Soepomo). Contohnya adalah konvensi ketatanegaran. Di dalam UUD 1945 tidak
tercantum, namun dalam prakteknya, hal ini muncul.
Hukum adat merupakan hukum dasar yang dipertahankan dalam pergaulan hidup sehari-
hari. Hukum adat tersebut punya landasan konstitusional. Dibuktikan dalam Penjelasan
UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945: Perekonomian disusun ....... atas asas
kekeluargaan  identik dengan asas komunalistik yang merupakan salah satu corak dari
Masyarakat Hukum Adat.
Hukum adat merupakan hukum positif, yaitu hukum yang berlaku sekarang (ius
constitutum).
Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

3. Sosiologis
Hukum adat merupakan hukum yang dibentuk oleh masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa hukum adat sudah berlaku secara efektif karena memenuhi syarat
keberlakuan sebagai kaedah hukum.

Kedudukan dan Peranan Hukum Adat Dalam Proses Legislasi dan Praktek Hukum
(Peradilan dan Yurisprudensi)

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kedudukan hukum adat sama / sederajat dengan hukum
lain, yaitu hukum agama dan hukum negara.
Terdapat 2 peranan hukum adat, yaitu:
1. Sumber utama pembentukan hukum nasional
2. Pelengkap hukum nasional
Ad.1. Hukum adat sebagai sumber utama pembentukan hukum nasional
Hukum adat menjadi sumber pembentukan UU Pokok Agraria no. 5 tahun 1960 yang dibentuk
atas dasar hukum tanah adat. UUPA menghapuskan ketentuan-ketentuan tanah yang berlaku
di zaman Hindia-Belanda, contohnya Agrarische Wet, dan lain-lain. Yang diambil bukan
normanya, tetapi konsepnya, asasnya, prinsipnya, atau sistem hukumnya. Konsep yang diambil
dari hukum adat dalam UUPA adalah asas pemisahan horizontal dan konsep terang dan tunai
dalam jual-beli tanah.
Norma hukum adat tentang tanah baru berlaku apabila dalam UUPA tidak berlaku.
Dalam hukum adat, terdapat ketenuan bahwa jual-beli tanah harus dilakukan di hadapan kepala
adat. Dalam UUPA, fungsi kepala adat tersebut dipegang oleh Notaris / PPAT. Dalam jual beli
tanah ia akan memastikan bahwa pembeli memang memiliki hak milik atas tanah tersebut dan
ada di dalam 1 kampung (MHA), serta penjual adalah pemilik tanah yang sebenarnya. Selain
itu, ia juga memastikan bahwa tanah yang diperjualbelikan bukan tanah sengketa.
Karena UUPA sudah diberlakukan, maka buku 2 BW (hukum benda tanah) dihapuskan,
kecuali mengenai hipotik. Lembaga hipotik berlaku, namun normanya tidak berlaku. Setelah
UU Hak Tanggungan dikeluarkan, lembaga hipotik dihapuskan total.
UUPA tidak menggunakan asas perlekatan. Dalam UUPA, jual-beli tanah antara orang yang
ada dalam satu desa maupun berlainan pulau tidak diatur. Namun konsepnya diambil dari
hukum adat  tanah harus diperjualbelikan antara orang dalam MHA yang sama. Dalam
UUPA konsep tersebut diambil dengan scope wilayah yang diperluas : tanah di Indonesia
merupakan milik seluruh bangsa Indonesia, yang berarti bahwa jual beli tanah tersebut boleh
dilakukan di antara orang-orang Indonesia, tidak boleh orang-orang dari kewarganegaraan lain.
Pasal 3 UUPA mengenai hak ulayat dianggap menghapuskan konsep hak ulayat dalam hukum
adat, padahal tidak. Hak ulayat tetap diakui, tapi dalam pelaksanaannya tidak boleh
bertentangan dengan hukum / UU yang lebih tinggi dan kepentingan lain. Hak ulayat juga
diakui apabila masih ada dalam kenyataannya.
Ad.2. Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum Nasional
Disusun oleh Dominique Virgil – Isella Safira

UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 menunjukkan bahwa hukum adat sebagai norma hukum
pelengkap. UU Perkawinan merupakan sebuah unifikasi, sehingga ada bentuk perkawinan adat
yang masih berlaku, namun juga ada yang tidak lagi berlaku. Pasal 2 UU no. 1 tahun 1974
bermasalah, karena agama di Indonesia ada 5, sehingga terdapat 5 jenis perkawinan.
Kalau suami isteri bercerai, bagaimana hartanya? UU Perkawinan ini tidak mengatur
pembagian harta, sehingga berlaku hukum masing-masing untuk membagi harta. Karena tidak
diatur dalam UU Perkawinan, maka menggunakan hukum adat.
Ada pula UU No. 5 tahun 1979 yang menghapuskan semua jenis MHA dan menyamakan
semua jenis MHA tersebut sebagai desa di Jawa.
Hukum waris adat masih berlaku untuk orang Indonesia yang non-muslim, dan diadili oleh
Pengadilan Negeri. Untuk orang Muslim diadili di Pengadilan Agama dengan menggunakan
Kompilasi Hukum Islam.

Peranan Hukum Adat dalam Peradilan


Hukum Adat dijadikan dasar pertimbangan hakim.
Dalam UU No. 14 tahun 1970 diatur bahwa Badan Peradilan lain dihapus termasuk Badan
Peradilan Adat Agama. Yang memutuskan suatu perkara hanyalah hakim Pengadilan Negeri.
Hanya ada 1 badan peradilan. Namun, walaupun yang dihapuskan adalah badan peradilannya,
tidak berarti bahwa hukum adatnya pun dihapus. Hanya badan peradilan adat yang dihapus;
hukum adat tidak dihapus.
Hukum tidak hanya aturan tertulis  aliran legisme ditinggalkan.
Hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara, termasuk dengan alasan tidak ada hukum.
Pasal 27: Hakim wajib menggali norma hukum yang dipakai untuk mengadili perkara ini,
termasuk hukum adat. Lembaga peradilan tetap menggunakan hukum adat.
Dalam sistem hukum Common Law, terdapat asas precedent (yurisprudensi), di mana hakim
terikat pada yurisprudensi.
Hakim di Indonesia bebas memutus perkara karena hakim terikat kepada nilai-nilai yang hidup
dan berkembang di masyarakat. Hakim bukan saja pelaksana, namun juga dapat menciptakan
hukum. Hakim wajib menggali norma hukum adat.
Pasal 23: dalam pertimbangan hukum dalam vonis / putusan hakim, hakim harus menyatakan
dasar hukumnya, kenapa pakai dasar hukum itu. Kalau tidak disebutkan, maka putusannya akan
batal demi hukum. Norma hukum adat menjadi salah satu dasar untuk memutuskan perkara
apalagi kalau hukum yang ada tidak jelas atau tidak ada yang mengatur perkara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai